Edisi Januari 2018 -...

33
Edisi Januari 2018 Alam dan Energi Kehidupan Baca Hal 27 Asa yang tak pernah pupus di Tanggamus Baca Hal 33 Baca Hal 55 Tenun Dayak Iban tampil di Pentas Bergengsi Baca Hal 10 Mengenal Raja Rimba Sumatera dan Jawa

Transcript of Edisi Januari 2018 -...

Page 1: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Edisi

Janu

ari 2

018

Alam dan Energi Kehidupan

Baca Hal 27

Asa yang tak pernah pupus di Tanggamus

Baca Hal 33 Baca Hal 55

Tenun Dayak Iban tampil di Pentas Bergengsi

Baca Hal 10

Mengenal Raja Rimba Sumatera dan Jawa

Page 2: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Tentang KEHATI

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) berdiri sejak 12 Januari 1994 untuk menghimpun dan mengelola sumber daya yang selanjutnya disalurkan dalam bentuk dana hibah, fasilitasi, konsultasi dan berbagai fasilitas lain guna menunjang berbagai program pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya secara adil dan berkelanjutan.

Ada empat misi yang disandang KEHATI, antara lain: peningkatan kesadartahuan dan pemahaman untuk mendorong pengubahan perilaku masyarakat; penggalangan, pengelolaan dan penyaluran sumber daya; pemberdayaan lembaga masyarakat; dan pemberian dukungan kepada pertumbuhan gerakan ekonomi berbasis sumber daya alam terbarukan. KEHATI melaksanakan program-programnya melalui pendekatan ekosistem, yang mencakup ekosistem hutan, pertanian, serta ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil. Berbagai bentuk kerja sama dijalin dengan lembaga-lembaga yang dapat mendukung misi KEHATI, seperti pemerintah pusat dan daerah, komunitas bisnis, perguruan tinggi, LSM/KSM, asosiasi profesi, maupun media massa.

Keberpihakan Kesenjangan ekonomi menjadi hantu dunia. Dalam Laporan Kekayaan Dunia 2017, Credit Suisse mencatat, 70,1 persen penduduk dunia hanya menguasai 3 persen kekayaan, sementara 8,6 persen penduduk memiliki 85,6 persen kekayaan dunia. Ketimpangan penguasaan terhadap sumber daya alam disebut-sebut sebagai salah satu penyebab disparitas itu. Tak terkecuali yang terjadi di negeri kita.

Tak ada yang memungkiri, proporsi hak kelola masyarakat terhadap sumber daya hutan selama ini sangat kecil dibanding korporasi. Ironisnya, eksploitasi besar-besaran, baik dalam bentuk perkebunan, tambang, maupun kayu, ternyata tak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Diperkirakan, sekira 10,2 juta jiwa warga yang tinggal di kawasan tersebut masuk kategori miskin.

Tahun lalu, secara terbuka Presiden Joko Widodo pernah menegaskan pentingnya distribusi sumber daya hutan secara adil. Sekira 12,7 juta hektar lahan dialokasikan oleh pemerintah untuk masyarakat adat, kelompok tani, dan masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan sosial. Tujuan utama dari program ini adalah mengatasi masalah kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan sehingga ketimpangan dapat dikurangi.

Namun, dalam praktiknya, program tersebut tak berjalan mudah. Hingga akhir Oktober 2017, baru 1,09 juta hektar lahan yang direalisasikan dari target 12,7 juta hektar, seperti termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Pemerintah memang tak bisa sendirian. Untuk harapan yang sangat besar melalui program ini, semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), sektor swasta, dan masyarakat harus bahu-membahu. Hanya dengan cara itu, program perhutanan sosial ini dapat diwujudkan untuk menggapai tujuan muliannya: keberpihakan kepada yang lemah dan tercapainya pemerataan kesejahteraan.

M.S. Sembiring

01 | Warta KEHATI | Januari 2018

SUSUNAN REDAKSI

PelindungM.S. Sembiring

Penanggung JawabFardila Astari

Pemimpin RedaksiMohamad Burhanudin

Penulis & FotograferAhmad Baihaqi, Muhammad Syarifullah, M. Taufik J.Ali Sofiawan, Yudha Arif Nugroho, Irfan Bakhtiar, Hamda KhairuzaniYani Saloh, Dwi PujiyantoMozaika Hendarti, Nety Riana Sari, Muchamad Fahmi Permana, Nurma Rosalia

Kontributor Samedi, Puspa D. Liman, Indra Gunawan, Asep Suntana, Diah Y. Suradiredja, Basuki Rahmad, Puji Sumedi,

Tata Letak & Desain GrafisM. Taufik J

Redaksi Warta KEHATIJl. Bangka VIII No 3BPela Mampang Jakarta Selatan 12720T +62-21-718 3185 +62-21-718 3187F +62-21-719 [email protected]: yayasan.kehatiyoutube: yayasankehati

Prawacana

Kementerian Dalam Negeri menganugerahkan Penghargaan Ormas 2017 bidang lingkungan hidup kepada Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Kamis (30/11). Penghargaan ini diserahkan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Hadi Prabowo kepada KEHATI yang diwakili oleh Manajer Ekosistem Hutan, Aslan, di Hotel Redtop, Jakarta. Penghargaan tersebut diberikan atas peran KEHATI dalam melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia sejak tahun 1994. KEHATI menyisihkan dua organisasi kemasyarakatan (ormas), yang masuk nominasi di kategori lingkungan hidup, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dan Yayasan Pembangunan Berkelanjutan Sulawesi Utara. Dalam sambutannnya, Hadi yang mewakili Menteri Dalam Negeri mengatakan, ormas memegang peran penting di Indonesia. Oleh karena itu, dia berpesan, ormas harus berfungsi sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Acara yang sekaligus ajang forum koordinasi nasional ormas tahun 2017 ini dihadiri oleh ormas-ormas dari berbagai wilayah di Indonesia. Penghargaan Ormas 2017 meliputi tujuh bidang atau kategori yaitu: bidang kesehatan diberikan kepada Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI); bidang perempuan kepada Koalisi Perempuan Indonesia; bidang pendidikan kepada Yayasan Taman Siswa; bidang kebudayaan kepada Bentara Budaya; bidang lingkungan hidup kepada Yayasan KEHATI; bidang sosial dan kemanusiaan kepada INFID; dan kategori long live achievement kepada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. (Muhammad Syarifullah)

KEHATI Terima Penghargaan Ormas 2017

Januari 2018 | Warta KEHATI | 02

Daftar Isi

Sekjen Kemendagri Hadi Prabowo, M.M. (kiri) memberikan penghargaan Ormas 2017 bidang lingkungan hidup kepada Yayasan KEHATI yang diwakili oleh Manajer Ekosistem Hutan, Aslan, di Hotel Redtop, Jakarta, Kamis (30/11). (Foto: M. Syarifullah/KEHATI)

Melepasliarkan Orangutan di Kalimantan

Laporan Utama• Memotret Perhutanan Sosial• Perhutanan Sosial: Apa dan Mengapa?• Asa yang tak Pernah Pupus di

Tanggamus• Hidup Bermutu dengan Madu• Permata dari Dungai Utik

Merawat Kilau Sangihe

Mengenal Raja Rimba Sumatera dan Jawa

Mashadi : Kami akan terus belajar

03

132335

3943

47

55

59

Page 3: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Tantangan terbesar Indonesia di sektor kehutanan hingga saat ini adalah menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Adalah kesia-siaan belaka berbicara kelestarian hutan tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, menurut Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI M.S. Sembiring, upaya konservasi hutan juga harus didorong ke arah perbaikan kesejahteraan, serta peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di dalam dan sekitar hutan, yang imbal baliknya mereka akan menjadi pelindung hutan dan pemimpin konservasi di wilayahnya. Dari waktu ke waktu, upaya-upaya konservasi hutan terus dilakukan. Namun, faktanya ancaman terhadap kelestarian hutan masih ada, sementara spesies kunci masih tertekan. “Ironisnya, kerusakan sumber daya hutan ternyata tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan,” ujar Sembiring, 20 November 2017 lalu di Medan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2016 mencatat, dari 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, sekitar 71 persen hidupnya bergantung kepada hutan. Dari jumlah itu, diperkirakan 10,2 juta jiwa warga yang tinggal di kawasan tersebut masuk kategori miskin.

Salah satu upaya untuk menjaga kesejahteran masyarakat di dalam dan sekitar hutan adalah dengan menyediakan alternatif usaha ekonomi bagi mereka.Dengan cara itu, masyarakat dapat memperoleh kehidupan yang

tanah yang subur sebagai dampak dari debu letusan vulkanik. “Kesuburan tanah tersebut memungkinkan wilayah ini tumbuh sebagai salah satu lumbung bagi sejumlah komoditas perkebunan nasional, terutama pala, kelapa, dan sagu,” kata Puji. Tidak hanya menyuburkan, debu vulkanik dari gunung berapi di Sangihe juga membuat para petani tak lagi harus menggunakan pupuk kimia buatan pabrik untuk menumbuhkan dan menyuburkan berbagai tanaman pertanian maupun perkebunan. Dengan tanah yang kaya akan mineral serta hara, seluruh proses produksi pertanian dan perkebunan di Sangihe sudah mencukupi syarat organik. Upaya Sangihe untuk tumbuh sebagai kabupaten organik sudah diretas sejak lama. Sebagai bagian dari upaya tersebut, sejak tahun 2009, pemkab wilayah ini menjalin kerja sama dengan KEHATI, dengan menempatkan pertanian organik sebagai perhatian utama. Kerja sama tersebut diarahkan pada upaya mendorong produk-produk pertanian dan perkebunan tersebut ke pasar ekspor, termasuk ke ceruk pasar khusus. (Muhammad Syarifullah)

Burung Indonesia, YAPEKA, SAMPIRI, dan Ford Foundation. Jabes berharap, kabupaten organik dapat terwujud secara penuh dalam dua tahun ke depan. Oleh karena itu, dia berharap kerja sama semua pihak, termasuk KEHATI untuk terus memberikan dukungan kepada petani di Kabupaten Sangihe guna memperkuat status sebagai kabupaten organik. Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Puji Sumedi, Jumat (17/11), mengungkapkan, sebagai wilayah yang dihuni gunung-gunung berapi, Kepulauan Sangihe memiliki

Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai kabupaten organik. Kabupaten yang merupakan salah satu kepulauan terluar di Indonesia tersebut juga berpotensi tumbuh sebagai wilayah mandiri pangan. Deklarasi sebagai kabupaten organik tersebut dilaksanakan di pendapa kabupaten oleh Bupati Sangihe Jabes Gaghana, Kamis (16/11). Deklarasi tersebut dilaksanakan bersama sejumlah perwakilan lembaga yang selama ini turut mengupayakan program organik di kabupaten ini, yaitu: Yayasan KEHATI,

03 | Warta KEHATI | Januari 2018

TFCA Sumatera Gelar Aksi Konservasi Hutan Tropis

Kabupaten Kepulauan Sangihe deklarasikan diri menjadi kabupaten organik. Bupati Sangihe Jabes Gaghana berharap hal ini terwujud sepenuhnya pada 2019. Deklarasi dibacakan di hadapan jajaran SKPD, perwakilan NGO dan masyarakat, Kamis (16/11). (Foto: M. Syarifullah/KEHATI)

Sangihe Deklarasikan Diri sebagai Kabupaten Organik

Lepas pembukaan EXPO AKSIS 2017, Gubernur Sumatera Utara, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI bersama jajaran Pengurus KEHATI, Konsulat Amerika Serikat, Dirjen KSDAE KLHK, dan Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Utara berfoto bersama di Lapangan Merdeka, Medan, Senin (20/11). (Foto:Yudha AN)

layak, dan tidak berorientasi pada perambahan kawasan hutan untuk mendapatkan lahan garapan lagi. Sebagai bagian dari upaya menjawab permasalahan konservasi dewasa ini, khususnya di Sumatera, KEHATI melalui program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) telah melakukan aksi konservasi hutan secara sistematis di tingkat tapak di Sumatera, yang hasilnya dipresentasikan dalam kegiatan ekspo di Lapangan Merdeka, Medan, pada 20-22 November 2017. Direktur TFCA Sumatera, Samedi, mengungkapkan, ekspo yang bertemakan “Aksi Konservasi Hutan Tropis Sumatera” (AKSIS) 2017 ini diikuti seluruh mitra TFCA Sumatera-KEHATI dari Lampung hingga Aceh. Dalam ekspo tersebut mereka saling berbagi pengalaman, saling menginspirasi, serta memberikan saran, sehingga para mitra mampu meningkatkan kinerjanya. “Selain itu, mereka akan dipertemukan dengan pelaku bisnis dan pakar-pakar pemasaran untuk memperkuat kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat menjadi bisnis konservasi yang profesional dan berkelanjutan,” ujar Samedi. Aksi dalam bentuk ekspo ini juga diharapkan dapat menjadi ajang untuk membangun jejaring pasar baik konvensional maupun daring bagi para pelaku usaha kecil dan para mitra TFCA Sumatera-KEHATI, sekaligus terbangun komunikasi yang lebih baik dengan pemerintah pusat dan daerah.

Selain pameran produk, ekspo ini juga diisi dengan beragam acara menarik dan bermanfaat, di antaranya: dialog nasional yang menghadirkan Menteri LHK sebagai pembicara utama, Menteri Pariwisata yang akan memberikan arahan mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran buku, penanaman pohon serentak di Sumatera Utara dan Lampung, pelatihan kewirausahaan dan pengelolaan jasa lingkungan, ngopi bersama, menggalang 10.000 tanda tangan untuk dukungan gerakan konservasi hutan, lomba foto booth, lomba foto jurnalistik lingkungan dan pameran foto, serta lomba menggambar dan mewarnai. Ekspo ini menjadi penting karena dapat dimanfaatkan untuk berbagi informasi, baik kegagalan maupun keberhasilan program, berfungsi sebagai wadah untuk mewujudkan sinergi di antara para pelaku konservasi kehutanan di Indonesia, khususnya di Sumatera, serta mempertemukan pelaku bisnis dengan masyarakat. Keterampilan masyarakat di dalam dan sekitar hutan harus ditingkatkan untuk menjadi masyarakat mandiri dan sejahtera sehingga dapat hidup berdampingan dengan kelestarian hutan. Hal tersebut selaras dengan makna holistik konservasi hutan, yang sesungguhnya tak hanya mencakup kegiatan pengawetan, perlindungan, pemulihan dan peningkatan kualitas alam, tetapi juga pemanfaatannya secara berkelanjutan.(Mohamad Burhanudin)

orangutan di TNBBBR ini merupakan salah satu upaya lembaga tersebut dalam melakukan penyelamatan spesies-spesies kunci di Kalimantan, khususnya orangutan, melalui Program TFCA Kalimantan. “Penyelamatan ini sangat diperlukan karena keberadaan mereka semakin terancam oleh karena perubahan fungsi lahan, perambahan, dan perdagangan satwa liar yang terus terjadi,” kata Puspa. (Mohamad Burhanudin)

konservasi satwa liar dilindungi, khususnya orangutan di Kalimantan, yang saat ini statusnya kritis. “Orangutan di Kalimantan kian terancam habitatnya. Banyak hutan yang dikonversi, dijadikan kebun. Tak sedikit pula orangutan yang diburu dan diperjualbelikan. Oleh karena itu, kami tergerak untuk melakukan penyelamatan. Empat orangutan ini sebelumnya kami rescue dan rawat di pusat rehabilitasi. Dan, saatnya kini kami kembalikan ke habitat liarnya,” ujar Karmele. Empat orangutan tersebut berasal dari sejumlah lokasi yang berbeda di wilayah Kabupaten Ketapang. Dipilihnya TNBBR—yang berjarak lebih dari 500 kilometer dari Ketapang—sebagai lokasi pelepasliaran, karena kawasan itu memenuhi syarat sebagai habitat baru bagi keempat orangutan tersebut, terutama untuk aspek ketersediaan pakan di alam liar, tegakannya, dan tingkat kepadatan populasi orangutanya. Direktur Program TFCA Kalimantan pada Yayasan KEHATI, Puspa Dewi Liman, menyatakan, dukungan finansial KEHATI untuk penyelamatan, rehabilitasi, sekaligus pelepasliaran

Empat individu orangutan (Pongo pygmaeus) yang sebelumnya dirawat di Pusat Penyelematan dan Rehabilitasi Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di Kabupaten Ketapang, dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di wilayah Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, 21-22 November 2017. Keempatnya masing-masing diberi nama: Vijay (jantan, 5 tahun), Lisa (betina, 5 tahun), Mama Laila (betina, 14 tahun), dan Lili (anak Mama Laila, betina, 4 tahun). Mereka diselamatkan dan direhab oleh YIARI, oleh karena berbagai sebab, seperti perburuan, peredaran satwa liar, dan kerusakan hutan. Pelepasliaran dilaksanakan atas kerja sama YIARI, Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan-Yayasan KEHATI, Balai TNBBBR, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar, dan Kepolisian Resor Melawi. Direktur Program YIARI Karmele L Sanchez, mengungkapkan, pelepasliaran empat orangutan ini merupakan salah satu bagian dari upaya YIARI, didukung TFCA Kalimantan-KEHATI, dalam penyelamatan dan

Januari 2018 | Warta KEHATI | 04

Melepasliarkan Orangutan

Lili (4 tahun), berada di dalam kandang sesaat sebelum dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, Selasa (21/11).(Foto: Mohamad Burhanudin/KEHATI)

Highlight KEHATI

Page 4: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

keanekaragaman hayati Indonesia dan pemanfaatannya secara berkelanjutan, juga menempatkan upaya konservasi dan penyelamatan orangutan sebagai salah satu kerja pengabdiannya. “Dengan kembali ke habitatnya, kami berharap orangutan tersebut mendapatkan kembali kehidupan secara semestinya. Tumbuh dan berkembang biak sewajarnya. Para orangutan yang dilepasliarkan hidup aman jauh dari ancaman pemburu, serta menjalankan fungsinya yang teramat penting bagi kelangsungan ekosistem hutan,” kata Sembiring. Pada kesempatan yang sama, Wahjudi mengatakan, Pemerintah telah menetapkan orangutan dengan status critically endangered atau spesies yang sangat terancam punah. Pada tahun 2015, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) melalui Surat Keputusan No 180 tahun 2015 menetapkan 25 satwa terancam punah prioritas, yang salah satunya adalah orangutan. Kini, orangutan merupakan salah satu primata (satwa) yang dilindungi. Orangutan merupakan spesies yang dapat bermanfaaat sebagai seed disperser, yang memegang peranan penting untuk meregenerasi tanaman di hutan melalui biji-bijian yang telah dimakannya. Hal ini merupakan manfaat orangutan yang paling penting bagi kehidupan manusia. “Diperlukan upaya terintegrasi, berkelanjutan, dan konsisten untuk menyelamatkan orangutan dari kepunahan, baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), aparat penegak hukum, sektor swasta, maupun masyarakat,” tandas Wahjudi. (Mohamad Burhanudin/Hamda Khairuzani)

dipandu oleh pembawa acara kenamaan, Gloria Ojong. Melalui TFCA Kalimantan, sejak tahun 2016, KEHATI mendukung dan mendanai kegiatan konservasi, penyelamatan, dan rehabilitasi orangutan Kalimantan melalui salah satu mitranya, yaitu Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Dalam kurun waktu 2016-2017,sebanyak 21 individu orangutan telah dikembalikan atau dilepasliarkan ke habitatnya, khususnya di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR). Sebelumnya, mereka diselamatkan, direhabilitasi, dan dirawat di Pusat Penyelamatan dan Rehabilitasi Orangutan YIARI di Ketapang, Kalbar oleh karena berbagai sebab, seperti perburuan, perdagangan satwa, dan kerusakan hutan. Hingga November 2017, terdapat 113 individu orangutan yang direhabilitasi di YIARI. Dari 113 individu tersebut, empat di antaranya dilepasliarkan ke TNBBR pada 21-22 November lalu. Empat individu tersebut diberi nama: Mama Laila (betina, 14 tahun), Lili (anak Mama Laila, betina, 4 tahun), Lisa (betina, 5 tahun), dan Vijay (jantan, 5 tahun). Dalam gelar wicara tersebut, Sembiring mengungkapkan, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) sebagai sebuah lembaga grant-making yang sejak tahun 1994 concern terhadap upaya konservasi dan

Populasi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) terus mengalami penurunan. November 2017 lalu, The Nature Conservancy (TNC) memperkirakan, dalam satu dekade terakhir, populasi spesies ini menurun sekira 25 persen. Diperkirakan, saat ini populasinya tinggal 57.300 individu di habitat seluas 16.013.600 hektar, dari sebelumnya sekitar 75.000 individu satu dekade lalu. Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh masalah konflik dengan manusia, penyusutan dan fragmentasi habitat, dan kegiatan perburuan yang masih terus terjadi. Hal ini tentu saja sebuah keprihatinan bagi kita. Orangutan merupakan spesies dasar bagi konservasi ekosistem hutan. Mereka disebut spesies payung (umbrella species). Maka, hilangnya orangutan mencerminkan hilangnya ratusan spesies tanaman dan hewan pada ekosistem hutan hujan. Sebagai bagian dari upaya kampanye kepada publik mengenai pentingnya konservasi orangutan Yayasan KEHATI melalui Program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan mengadakan acara gelar wicara (talkshow) di segmen acara Sapa Indonesia Pagi di Kompas TV, pada Senin, 18 Desember 2017. Gelar wicara ini menghadirkan Direktur Eksekutif KEHATI M.S. Sembiring dan Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wahjudi Wardojo. Acara yang disiarkan secara langsung tersebut

KEHATI Angkat Konservasi Orangutan di Kompas TV

Maratua dalam Forum Perubahan Iklim di Bonn

Ekowisata Mangrove Berau Libatkan Masyarakat

05 | Warta KEHATI | Januari 2018 Januari 2018 | Warta KEHATI | 06

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, M.S. Sembiring (tengah) menjadi salah satu pembicara gelar wicara di Kompas TV program Sapa Indonesia Pagi tentang pelepasliaran orangutan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Senin (18/12). (Foto: Fardila Astari/KEHATI).

mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dengan memberikan nilai tambah melalui usaha ekowisata berbasis masyarakat tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama mereka sebagai nelayan. “Dengan kegiatan ekowisata, warga di Maratua turut ambil bagian dalam pelestarian lingkungan. Karena, hanya dengan lingkungan yang lestari mereka dapat mempertahankan kelangsungan ekowisatanya,” kata Fardila. (Mohamad Burhanudin)

sebagai wilayah pemijahan berbagai jenis ikan dan habitat keragaman hayati yang penting. MCA-Indonesia berkomitmen untuk mengembangkan usaha-usaha ramah lingkungan berbasis potensi lokal. Selain Kawasan Ekowisata Tanjung Batu, di Berau MCA-Indonesia juga membantu pembangunan Pusat Listrik Tenaga Surya di Kampung Teluk Alulu. Sejalan dengan itu, Direktur Program Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat KEHATI – MCA-Indonesia, Asep Suntana, mengatakan program ini menampilkan bentuk riil dari pengelolaan hutan modern berbasis masyarakat. Jika berbagai kepentingan tidak terfasilitasi dengan baik, lanjutnya, bisa saja inisiatif tersebut tidak akan berhasil guna. Jadi, peran-peran fasilitasi sungguh dibutuhkan. “Hutan dikelola perlu memenuhi berbagai kepentingan (multi-interests forestry) dalam rangka mencapai pengelolaan hutan lestari. Termasuk di kawasan mangrove,” ujar Asep. (Yani Saloh)

dan bernilai antara pemerintah, non-governmental organizations (NGO), dan sektor swasta,” ujar Fardila. MESSI merupakan program untuk mewujudkan desa sejahtera secara ekonomi, sosial, dan lingkungan yang berkelanjutan melalui desa lestari, yang memadukan ekowisata dan kampung nelayan yang produktif di Kepulauan Maratua, Kalimantan Timur, yang merupakan salah satu gugusan pulau terluar di Indonesia. Program ini merupakan kolaborasi antara Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), PT Chevron, pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat Maratua. Di forum COP23, program MESSI dipresentasikan dalam salah satu sesi seminar dengan tema “Reconfiguring Natural Resource Based Business to Address New Challenges” oleh Manager Social Performance Chevron Indonesia, Pinto Budi Bowo Laksono. Tema ini mengeksplorasi tentang rekonfigurasi ulang pemanfaatan sumber daya alam untuk kebutuhan bisnis dengan tetap memperhatikan aspek perubahan iklim. Lebih jauh, Fardila mengatakan, program MESSI telah turut membantu

mangrove itu, masyarakat dapat mengembangkan berbagai jenis usaha, seperti pengolahan hasil perikanan, budidaya kepiting bakau, usaha kuliner, penginapan, dan pengembangan pusat oleh-oleh. Sembiring menambahkan, keberadaan hutan mangrove sangat penting sebagai sistem penyangga kehidupan. Mangrove berperan menguatkan ekosistem laut dan pesisir

Maratua Ecotourism for Sustainable Small Island (MESSI) Program atau Program Ekowisata Maratua untuk Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan, mendapat sambutan hangat dan menjadi bahasan menarik dalam salah satu sesi seminar di forum Conference of the Parties 23 (COP23) di Bonn, Jerman, Senin (13/11). COP23 merupakan sebuah forum konferensi tentang perubahan iklim yang diinisiasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Forum ini diselenggarakan di Bonn, Jerman, pada tanggal 6-17 November 2017. Direktur Komunikasi dan Penggalangan Sumber Daya KEHATI, Fardila Astari, yang hadir di forum COP23 di Bonn, Selasa (14/11), mengatakan, tidak mudah bagi anggota atau peserta COP23 untuk bisa mempresentasikan program kerjanya di ajang tersebut. Program MESSI telah lolos seleksi dan terpilih sebagai salah satu program yang dipresentasikan oleh delegasi Indonesia di konferensi tersebut. “Program MESSI dinilai sebagai salah satu program kolaborasi yang baik

Ekosistem mangrove di Berau, Kalimantan Timur, berpotensi besar sebagai sumber perekonomian masyarakat melalui pengembangan ekowisata. Namun, pengelolaanya harus tetap mengedepankan keterlibatan masyarakat dan prinsip berkelanjutan. Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), M.S. Sembiring, dalam kunjungannya ke Pusat Informasi Mangrove (PIM) di Desa Tanjung Batu, Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Selasa (10/10). Ekosistem mangrove di sepanjang Pesisir Berau, ungkap Sembiring, saat ini masih relatif bagus. Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk pengembangan ekowisata sehingga nantinya dapat menghasilkan pundi rupiah bagi masyarakat. “Namun, sekali lagi, pengelolaanya harus melibatkan masyarakat,” tegasnya. Di banyak tempat, lanjutnya, warga mampu memanfaatkan jasa lingkungan mangrove melalui ekowisata. Melalui wisata berbasis lingkungan

Tim KEHATI saat mengunjungi Ekosistem Mangrove di Desa Tanjung Batu, Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur, Selasa (10/10). (Foto: Fachrudin Riyadi).

Vijay, salah satu individu orangutan Kalimantan yang turut dilepasliarkan di TNBBBR,

Kalimantan Barat, 22 November 2017 oleh YIARI bersama KEHATI-TFCA Kalimantan.

(Foto: M.Burhanudin/KEHATI)

Program ekowisata Maratua dipresentasikan dalam forum COP23 di BONN, Jerman, 13

November 2017. (Foto: Fardila Astari/KEHATI)

Highlight KEHATI Highlight KEHATI

Page 5: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

tercatat di BEI, yang susunannya ditinjau ulang dan diperbarui setiap bulan Mei dan November pada setiap tahunnya. Mekanisme tinjau ulang dan pembaruan dilakukan melalui kuesioner oleh emiten serta data lain yang relevan, dengan tahapan deteksi bisnis inti, aspek keuangan, dan aspek dasar seperti lingkungan, keterlibatan komunitas, tata kelola perusahaan, perilaku bisnis, sumber daya manusia, dan hak asasi manusia. Dengan berinvestasi di instrumen berbasis indeks SRI-KEHATI, investor secara langsung mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Hasil penyisihan pendapatan manajer investasi yang diterima KEHATI digunakan sepenuhnya untuk membiayai program pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia secara berkelanjutan tanpa mengurangi keuntungan atau yield dan kinerja instrumen investasi tersebut. (Mozaika Hendarti)

07 | Warta KEHATI | Januari 2018

serta pembangunan berkelanjutan. Indeks SRI-KEHATI sendiri merupakan indeks saham yang dikelola oleh KEHATI bersama PT BEI yang menggunakan prinsip keberlanjutan, keuangan, dan tata kelola yang baik, serta kepedulian terhadap lingkungan hidup. “Dengan indeks ini, para investor ataupun manajer investasi memiliki benchmark dalam melakukan analisis investasi perusahaan publik mana yang memiliki kinerja baik dalam menjalankan usahanya dari sisi tata kelola finansial, sosial, sekaligus lingkungan secara berkelanjutan,” jelas Sembiring. Indeks SRI-KEHATI mempunyai konstituen sebanyak 25 emiten yang

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) bekerja sama dengan PT RHB Asset Management Indonesia, meluncurkan produk reksadana RHB SRI-KEHATI Index Fund, 8 November 2017. Dengan produk ini, investor akan mendapatkan imbal hasil investasi yang selaras dengan kinerja Sustainable and Responsible Index (SRI)-KEHATI. Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI M.S. Sembiring, mengungkapkan, produk baru ini merupakan salah satu upaya ecopreneurship KEHATI guna merangkul dan menciptakan wadah bagi investor dan dunia usaha agar dapat turut serta pada upaya pelestarian keanekaragaman hayati

KEHATI Kembali Luncurkan Reksadana Baru berbasis SRI-KEHATI

Berfoto bersama para pembicara diskusi panel bertajuk “Sustainable Finance and Investment; Green Index Reference, and Sustainability Re-porting” yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 8 Desember 2017.(Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Januari 2018 | Warta KEHATI | 08

Biodieseldari Jelantah

Kebun Indoor yang Berputar 360 Derajat

Siapa bilang minyak jelantah itu limbah tak berguna sama sekali? Nah, simak info berikut ini. Berawal dari ide siswa Green School, Badung, Bali, minyak jelantah kini bisa dimanfaatkan sebagai biodiesel murni. Proyek ini diberi nama Green School Bio Bus. “Proyek ini diinisiasi siswa, ada guru dan ahli membantu. Proyek ini sudah berjalan tiga tahun,” ujar Aga, Supervisor Bio Bus, Jumat (1/12). Cara pembuatannya menggunakan bahan kimia yang diimpor dari Jerman dan alat pemanas seperti kompresor. Secara sederhana, bahan kimia dan alat pemanas ini berfungsi untuk memisahkan biodiesel dari komponen lainnya yang terdapat dalam minyak jelantah. Proses pertama adalah penghilangan kadar air dan metanol dalam minyak jelantah. Setelah terpisah dari metanol dan air, langkah selanjutnya mencampurkan minyak tersebut dengan katalis. Katalis yang paling

efektif adalah metilen. Setelah dicampur, minyak jelantah itu dimasukan ke dalam pemanas dan dipanaskan dalam suhu 63 derajat Celcius. Setelah dipanaskan, maka akan nampak tiga lapisan yang terpisah.Lapisan pertama adalah gliserin yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pembuat sabun. Lapisan kedua adalah heserin, dan lapisan teratas adalah biodiesel. Aga mengatakan tidak akan ada efek samping kepada mesin atas penggunaan biodiesel ini. Selain itu, biodiesel dari minyak jelantah ini tidak bau seperti bahan bakar lainnya, melainkan berbau makanan. “Baunya enak, seperti ayam goreng. Kalau minyak jelantah habis digunakan mengoreng ayam, ya baunya seperti ayam goreng, kalau abis menggoreng tahu, ya baunya seperti tahu goreng,” ujarnya.

Tertarik mencoba, guys? Silakan…

Sumber: www.jabar.tribunnews.com (Muhammad Syarifullah)

kubis, dan lain-lain. Langkah pertama adalah menempatkan bibit di tanah di dalam ruang penyimpanan yang telah diterangi lampu neon. Setelah menjadi tunas, tumbuhan dipindahkan ke dalam tabung. Lalu roda akan memutar dengan perlahan dengan lampu di dalamnya akan menyala dan mati, tergantung

Keterbatasan ruang tidak hanya mengharuskan kita memutar otak dalam mendesain rumah yang nyaman agar tetap dapat memanfaatkan ruang yang terbatas dengan optimal. Sayangnya, kini pekarangan yang merupakan aspek penting dalam membangun rumah mulai banyak ditinggalkan. Pekarangan rumah dapat menjadi tempat untuk menumbuhkan tanaman yang baik untuk udara sekitar, juga dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan tanaman obat keluarga (dikenal juga dengan istilah toga) untuk obat yang lebih alami bagi orang-orang tersayang di rumah. Masalah pekarangan yang terbatas dapat diselesaikan dengan ogarden, kebun indoor berbentuk tabung dengan roda putar untuk menciptakan proses pertumbuhan yang optimal dari tumbuhan yang berada di dalamnya. Sistem ogarden hadir sepakat dengan tanah organik, dan pemiliknya dapat memilih bibitnya melalui katalog, seperti selada, basil, brokoli, bawang,

siklus pertumbuhan tiap tanaman, untuk memberikan cahaya yang konsisten kepada setiap tanaman. Ogarden merupakan sistem yang tidak bersuara, tidak berbau dan didesain untuk seluruh lingkungan rumah.(sumber: www.greeners.co) (Ahmad Baihaqi)

Inovasi Kebun Indoor yang-Berputar 360-Derajat. (Sumber foto: Ogarden via Inhabitat.com)

Bus berbahan bakar biodiesel dari hasil olahan minyak jelantah. Berawal dari ide siswa Green School, Badung, Bali, minyak jelantah kini bisa dimanfaatkan sebagai biodiesel murni. Proyek ini diberi nama Green School Bio Bus. (Sumber Foto: https://www.gsbiobus.org/)

Bisnis & KEHATI Inovasi

Page 6: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Taman Nasional Way Kambas (TNWK) menghadapi dua tantangan: dari luar dan dalam kawasan. Pesatnya perkembangan populasi manusia telah mengurung satwa liar di taman nasional. Di sisi lain, di dalam kawasan hutan, ada warisan antropogenik yang menggerus daya dukung Way Kambas. Tantangan itu menegaskan semakin mendesaknya intervensi bagi upaya konservasi. Semakin menunda upaya, tantangan akan semakin berat di masa datang. Maka, tak ada ruang untuk mundur, sementara kerja keras begitu dibutuhkan. Pihak taman nasional dituntut melindungi dan mengawetkan keragaman hayati, sambil menebar manfaat bagi masyarakat sekitar. Namun, harus disadari, taman nasional juga memerlukan dukungan masyarakat dan pihak lain

dalam melaksanakan aksi pelestarian. Melalui buku berjudul Ekuilibrium Konservasi: Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional Way Kambas, Agus Prijono mencoba memaparkan tantangan dan peluang terkait konservasi di TNWK tersebut. Buku setebal 172 halaman tersebut diterbitkan oleh Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera bulan November 2017 lalu. Buku ini berisi sekumpulan tulisan yang disajikan dalam bentuk laporan jurnalistik yang segar dengan mengangkat upaya-upaya TFCA Sumatera dalam mendukung konservasi di TNWK bersama Konsorsium ALeRT-Universitas Lampung. Tidak hanya mengungkap problematika, buku ini juga memaparkan sejumlah kisah-kisah menarik mengenai persentuhan manusia dengan alam yang kian terancam, serta persamuhan antara

kepedulian dan ketidakpedulian. Juga, tentang cerita inspiratif terkait jibaku manusia menjaga alam liar yang telah dikepung populasi manusia yang begitu padat. Kisah-kisah yang mengerecut pada satu benang merah tentang tugas besar konservasi: bagaimana menjaga keragaman hayati, tapi tetap membuat masyarakat sekitar sejahtera. Dua kebutuhan yang semestinya selaras di Way Kambas. (Mohamad Burhanudin)

penyebab maupun hasil oleh akibat dari kondisi ekosistem yang rusak. Ironi yang paling menyedihkan dalam hal ini adalah krisis cara berpikir dan cara bertindak. Ini sangat telanjang ditunjukkan dalam pendekatan dan praktik pembangunan nasional yang dijalankan, di mana hanya mengedepankan pendekatan ekonomi melalui berbagai bentuk proyek investasi. Korban-korban ketidakadilan pemanfaatan sumber daya alam hanya dikalkulasi sebagai ongkos yang dapat dimusnahkan dengan cara membayar ongkos-ongkos dimaksud. Nilainya dianggap murah dan tak penting selama pendapatan yang dihasilkan dari eksploitasi sumber daya alam masih besar. Di sisi lain, manfaat atau pendapatan yang diperoleh dari proyek-proyek investasi yang mengakibatkan perusakan ekosistem selama bergenerasi tidak mampu melindungi atau bahkan melenyapkan pentingnya manfaat ekosistem akibat cara pikir yang digunakan serta kepentingan dan kekuasaan di baliknya. Perlahan namun pasti, jasa ekosistem “dibunuh”oleh alat yang berupa cara berpikir dan cara tindak arus utama ekonomi-politik yang hidup sebagai parasit di dalam ekosistem itu. Strategi kebijakan pembangunan tidak melihat dan tidak memperhitungkan berkurangnya cadangan modal alam yang tersedia, seperti berkurangnya

Intensitas dan skala bencana alam dan malapetaka sosial-lingkungan, yang di antaranya ditandai dengan penggundulan dan kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan abrasi pantai, dari waktu ke waktu terus meningkat. Keseimbangan ekosistem yang semestinya menjadi sistem penyangga kehidupan manusia dan makhluk hidup serta lingkungannya di bumi, kian terganggu dengan hebat. Maka, krisis ekosistem pun terjadi. Di balik krisis tersebut sesungguhnya tersimpan problematika persoalan yang begitu kusut masai. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, lingkungan, hukum, tata kelola, moral, hingga politik yang terkait, baik sebagai

stok lahan hutan, sumber air, dan mineral yang tersedia, ekosistem yang rusak, dan punahnya keanekaragaman hayati. Dengan cermat, runut, dan lugas, Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Hariadi Kartodiharjo, mencoba mengetengahkan problematika krisis ekosistem di atas melalui bukunya yang berjudul Di Balik Krisis Ekosistem. Dalam buku setebal 506 halaman dan diterbitkan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan Lembaga Penelitian, pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Hariadi tak hanya mengupas apa dan bagaimana berbagai jenis dan bentuk kerusakan sumber daya alam di negeri ini. Dia juga berhasil menelusuri dan menjelaskan mengapa semua tragedi terhadap ekosistem alam dan kemanusiaan bisa terjadi dan tak teratasi. Peluncuran perdana buku ini digelar tanggal 23 Oktober 2017, di Auditorium Dr Soedjarwo, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Hadir dalam peluncuran dan bedah buku tersebut di antaranya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Ketua Dewan Pembina KEHATI Ismid Hadad, Direktur Eksekutif KEHATI M.S. Sembiring, sejumlah mantan menteri bidang lingkungan hidup dan kehutanan, jajaran eselon satu Kementerian LHK, akademisi, perwakilan media, dan aktivis lingkungan. (Mohamad Burhanudin)

09 | Warta KEHATI | Januari 2018

Problematika di Balik Krisis

Konservasi yang Selaras di Way Kambas

Buku berjudul Ekuilibrium Konservasi: Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional Way Kambas, yang diterbitkan oleh Yayasan KEHATI melalui TFCA Sumatera. (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Prof. Hariadi Kartodiharjo, bersama buku Di Balik Krisis Ekosistem. (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Bentang Laut Kepala Burung (BLKB) di Papua Barat merupakan bentang alam laut dengan keanekaragaman hayati terkaya di dunia. Kawasan ini merupakan episentrum Segitiga Terumbu Karang (Coral Triangle), yang menjadi rumah bagi 75 persen spesies terumbu karang dunia. Kawasan ini membentang seluas lebih dari 22 juta hektar, yang meliputi: Teluk Cenderawasih, Kabupaten Raja Ampat, hingga perairan di wilayah Kabupaten Fakfak, dan Kaimana. Inilah pusat keanekaragaman hayati dunia. Tak hanya kaya, tapi juga dihiasi bentang elok, yang terkenal. Namun, BLKB menghadapi tekanan berupa eksploitasi terhadap sumber daya alamnya. Bentang ini terancam kehilangan spesies karismatik yang menjadi kekayaannya. Ancaman ini tidak hanya menjadi derita ekologi, namun juga derita bagi masyarakat yang mendiami kawasan ini, yang menggantungkan penghidupannya pada hasil perairannya. Oleh karena itu, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan BLKB, Yayasan Keanekaragaman Hayati

Indonesia (KEHATI) m e n a n d a t a n g a n i nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU ) dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat, 12 Oktober 2017, di Manokwari, Papua Barat. Melalui MoU yang ditandatangani oleh Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan dan Direktur Eksekutif KEHATI M.S. Sembiring tersebut, KEHATI selaku administrator Blue Abadi Fund (BAF), akan memberikan dukungan dana hibah kepada para mitra lokal yang bekerja di kawasan BLKB. BAF merupakan program yang dibentuk oleh konsorsium pengelolaan kawasan BLKB sejak tahun 2001, yang terdiri atas oleh Conservation International (CI) Indonesia, The Nature Conservancy (TNC) dan WWF-Indonesia, yang membangun kerja sama dengan berbagai mitra lokal, pemerintah provinsi dan universitas. KEHATI kemudian disepakati sebagai administrator dan pengelola hibah dari konsorsium tersebut. “Guna menjalankan perannya sebagai administrator BAF, KEHATI

Diharapkan, kehadiran tenun Dayak Iban di ajang peragaan busana besar tersebut dapat menumbuhkan apresiasi yang layak atas tingginya nilai budaya dari tenun tradisi ini. Perpaduan desain modern, tradisional, dan nasional tampak jelas dari ragam busana berbalut tenun Dayak Iban yang ditampilkan. Semua kain tenun yang diperagakan sore itu menggunakan pewarna alam, yang merupakan ciri khas sekaligus salah satu kelebihan tenun Dayak Iban. Keikutsertaan tenun Dayak Iban di ajang JFW 2017 tak lepas dari inisiatif Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). ASPPUK merupakan lembaga yang menjadi mitra Tropical Forest Conservation Act (TFCA) for Kalimantan-Yayasan KEHATI, untuk proyek pendampingan warga Dayak Iban di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dalam pengembangan dan pemanfaatan pewarna alam untuk tenun ikat Dayak Iban. Direktur ASPPUK, Mia Aryana,

perlu membangun sebuah MoU dengan Pemprov Papua Barat. Nota Kesepahaman ini akan menjadi acuan bagi KEHATI dalam menjalankan misi mendampingi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara lestari di BLKB,” ujar Sembiring, Rabu (1/11). Sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman ini, KEHATI akan mengadakan perjanjian hibah dengan mitra lokal yang nantinya bekerja di kawasan BLKB. Di antara calon mitra lokal tersebut adalah Yayasan Nazaret Papua, yang turut hadir dan secara simbolis menandatangani perjanjian hibah pertama dengan KEHATI di Manokwari, 12 Oktober 2017 lalu. (Nety Riana Sari)

mengatakan, melalui ajang JFW 2017 ini, diharapkan dapat memperkenalkan tenun tradisi Dayak Iban kepada khalayak luas, baik di dalam maupun luar negeri, sekaligus sebagai ajang promosi produk usaha kecil warga Dayak Iban itu. Saat ini ada lima desa dampingan ASPPUK yang didukung oleh TFCA Kalimantan-KEHATI dalam program ini, yakni Desa Lanjak Deras, Mansiau, Sungai Abau, dan Labiyan (keempatnya di Kecamatan Batang Lumpar), serta Desa Manua Sadap di Kecamatan Embaloh Hulu. Dayak Iban sendiri merupakan salah satu sub-suku Dayak di Pulau Kalimantan, yang umumnya mendiami wilayah hulu Sungai Kapuas di Kalimantan Barat hingga Kuching, Malaysia. Tenun Dayak Iban menjadi salah satu pakaian mewah yang biasa dipakai pada upacara-upacara kebesaran. Motifnya cenderung asimetris. Beberapa motif klasik dari kain tenun ini memiliki nilai filosofis yang bernuansa religius-magis bagi warga Dayak Iban. (Mohamad Burhanudin)

Menjaga Bentang Laut Kepala Burung

Tenun Dayak Tampil di Pentas Bergengsi

Penandatanganan Nota Kesepahaman Program Blue Abadi Fund (BAF) oleh Drs. Dominggus Mandacan, Gubernur Papua Barat, 12 Oktober. (Foto: Revalen M. Langi/ Pemprov PB-Yayasan KEHATI)

Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha

Kecil (ASPPUK) mitra TFCA Kalimantan-

Yayasan KEHATI mengikutsertakan

tenun ikat Dayak Iban berpewarna alam

yang dikenakan oleh model dalam Jakarta Fashion Week, yang diselenggarakan di

Senayan City, Jakarta, Jumat (27/10). (Foto:

Ahmad Baihaqi/KEHATI)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 10

Setelah sebelumnya sukses tampil di ajang New York Fashion Week 2017, tenun Dayak Iban kembali unjuk keindahan di ajang serupa. Kali ini di Jakarta Fashion Week (JFW) 2017, yang digelar, Jumat (27/10) sore di Senayan City, Jakarta.

Literasi KEHATI Update KEHATI

Page 7: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Laporan Utama

Koordinasi dan kerja sama yang baik oleh semua pihak, data yang akurat, pendampingan, penyelesaian pekerjaan rumah pasca-perizinan, dan konsistensi kebijakan akan menghindarkan program perhutanan sosial kali ini kembali jatuh sebagai kisah lama yang terulang kembali: layu sebelum berkembang.

““

Page 8: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Hutan merupakan anugerah Tuhan tiada terkira bagi negeri ini. Tak hanya diberkahi hamparan yang luas, kita juga diberi hutan-hutan yang begitu kaya dengan sumber daya di dalamnya. Namun, dari anugerah tersebut, kerap kali mencuat kisah miring tentang ketidakadilan. Sulit dipungkiri, selama puluhan tahun proporsi hak kelola masyarakat terhadap sumber daya hutan masih sangat kecil dibanding korporasi, sehingga kerap memicu konflik dan turut memperparah kesenjangan ekonomi. Dari waktu ke waktu, pemerintah sesungguhnya tidak benar-benar abai terhadap persoalan tersebut. Sejak tahun 1970-an, beragam program pengelolaan hutan berbasis masyarakat diselenggarakan. Sayangnya, alih-alih mempersempit ketimpangan, beragam kebijakan tersebut layu sebelum berkembang. Mudah sekali berganti, sebelum sempat menancapkan taji. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2016 menunjukkan, dari 25.863 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, sekitar 71 persen hidupnya bergantung pada hutan. Dari jumlah itu, 10,2 juta jiwa warga yang tinggal di kawasan tersebut masuk kategori miskin. Keresahan tersebut rupanya ditangkap pula oleh Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pada 21 September 2016, dalam sebuah rapat terbatas di Istana Negara, Presiden Joko Widodo menginstruksikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar mengambil langkah konkret untuk menghadapi tantangan tersebut, salah satunya merealisasikan kebijakan perhutanan sosial. Melalui perhutanan sosial, masyarakat di dalam dan sekitar hutan akan diberikan akses ruang kelola sumber daya hutan. Presiden—seperti dimuat dalam laman www.presidenri.go.id--menyebut, realisasi perhutanan sosial melalui berbagai skema yang selama ini telah dijalankan belumlah berjalan optimal. Skema hutan tanaman rakyat (HTR), misalnya, dari yang semula ditargetkan seluas 5,4 juta hektar, pada tahun 2014 lalu baru terealisasi kurang lebih 702.000 hektar atau sekira 13 persen dari target semula. Izin HTR yang diterbitkan oleh sejumlah bupati pun hanya mencapai 188.000 hektar. Skema hutan desa dan hutan kemasyarakatan

pun disebutnya tak jauh berbeda, dari yang semula ditargetkan seluas 2,5 juta hektar, baru terealisasi sekira 610.000 hektar. “Saya minta seluruh hambatan dalam merealisasi perhutanan sosial bisa segera diatasi. Saya minta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera menyederhanakan regulasi dan prosedur sehingga perhutanan sosial mudah diakses oleh masyarakat,” tegas Presiden menyikapi data-data tersebut. Beberapa hari berselang, Kementerian LHK mengeluarkan sebuah beleid: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Pada intinya, beleid ini menegaskan sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan dalam hutan negara atau hutan adat oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan (HKm) hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

Target yang problematik

Namun, rupanya kita masih harus menghunus kesabaran lebih untuk merasakan dampak dari kebijakan ini. Sebab, realisasi distribusi lahan hutan hingga dua tahun program perhutanan sosial berjalan begitu lambat, serta masih sangat jauh dari target. Hingga akhir Oktober 2017, sesuai keterangan yang disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, dari 12,7 juta hektar target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019, baru sekira 1,09 juta hektar, atau hanya 8,6 persen yang telah direalisasikan alokasinya untuk masyarakat. Capaian itu terdiri atas 268 unit hak pengelolaan hutan desa (HPHD) seluas 494.600,83 hektar, 633 unit izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 255.741,67 hektar, izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) sebanyak 2.845 unit seluas 236.906,90 hektar, dan kemitraan kehutanan sebanyak 168 unit seluas 77.652,43 hektar. Adapun untuk izin pemanfaatan hutan perhutanan

sosial (IPHPS) telah terdata sebanyak delapan unit seluas 5.439,9 hektar dan hutan adat sebanyak 10 unit seluas 8.795,34 hektar. Padahal, dalam RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan, pada tahun 2017 ditargetkan tercapai setidaknya 7,6 juta hektar. Pada 2018, luasnya bertambah menjadi 10,1 juta hektar, sehingga pada 2019 diharapkan akan tercapai target secara keseluruhan, yakni 12,7 juta hektar. Disparitas antara target dan capaian itu membuat banyak pihak mulai mempertanyakan tentang akurasi dan validitas angka 12,7 juta hektar tersebut. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum mampu memberikan jawaban yang meyakinkan perihal besaran target itu. Pertanyaannya, bagaimana bisa program berjalan di atas data yang karut marut dan tak terekap dengan baik? Menteri KLHK Siti Nurbaya seusai rapat kabinet di Istana Negara pada akhir Oktober 2017 mengakui bahwa target distribusi lahan untuk program perhutanan sosial terlampau

13 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

tinggi. Diakuinya pula, angka 12,7 juta hektar yang disodorkan pada awal kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla tersebut tidak realistis untuk diwujudkan dalam kurun waktu 4-5 tahun (Sumber: Harian Kompas edisi 31 Oktober 2017, Target Perhutanan Sosial Sulit Tercapai). Target luasan yang tertulis dalam Nawacita, menurut Siti, dihasilkan oleh tim transisi Jokowi-JK. Di awal program ini, Tim Transisi bahkan meminta agar pemerintah bisa membebaskan lahan untuk perhutanan sosial mencapai 40 juta hektar. Angka tersebut kemudian diperkecil menjadi 12,7 juta hektar saja (Kompas.com, edisi 25 Oktober 2017). Angka 12,7 juta hektar itu selanjutnya diambil dan dimasukan begitu saja ke dalam RPJMN Pemerintah. Sayangnya, meski ketidakakuratan telah disadari, kenyataannya angka tersebutlah yang kemudian tetap diulang-ulang pemerintah ketika berbicara tentang perhutanan sosial dalam berbagai kesempatan. Belakangan, Kementerian LHK

kerap memunculkan target capaian perhutanan sosial yang dipandang realistis hingga akhir 2019 dari semula 12,7 juta hektar ke level sekitar 4,38 juta hektar.

Kisah lama

Sebagai negara dengan sumber daya hutan yang luas dan kaya, sejak lama hutan mempunyai nilai politis yang tinggi. Maka, kebijakan kehutanan yang bersifat populis nyaris selalu hadir dari satu rezim ke rezim berikutnya. Kebijakan sistem pengelolaan hutan pun kerap berubah-ubah sesuai selera rezim yang berkuasa ataupun pejabat yang sedang memegang kendali. Diawali dengan program Mantri-Lurah (Ma-Lu) dan Magelang-Malang (Ma-Ma) yang digagas dan diselenggarakan Perum Perhutani pada tahun 1972, sebuah sistem pemanfaatan hutan bersama masyarakat sekitar dengan konsep tumpang sari. Lalu, pada tahun 1980-an muncul program HPH Bina Desa. Program ini kala itu muncul sebagai

upaya pemerintah saat itu untuk menghapus citra bahwa hutan hanya menguntungkan orang kaya atau korporasi besar yang dekat dengan pusat kekuasaan. Memasuki dekade 1990-an, muncul Surat Keputusan Menteri Kehutanan 251 Tahun 1993 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakay Adat. Lalu, pada 1995 melalui SK Menhut Nomor 622 muncul ketentuan mengenai HKm. Setelah itu, memasuki era reformasi, aturan baru tentang perhutanan sosial (atau nama yang sejenisnya) datang silih berganti sebanyak enam kali. Hingga akhirnya memasuki era pemerintahan Jokowi–JK, di mana target perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar masuk di dalam rencana strategis pembangunan sektor kehutanan, yang merupakan penjabaran dari RPJMN 2015-2019. Sebelum keluarnya Permen 83 Tahun 2016, proses mendapatkan izin pengelolaan HKm relatif rumit. Situasi yang membuat banyak gabungan kelompok tani maupun masyarakat adat atau desa putus asa sebelum izin mereka dapatkan. Tak sedikit yang terkena penipuan dari oknum petugas hingga mengeluarkan biaya yang tak sedikit pula. Makpul, Ketua Gabungan Kelompok Tani (gapoktan) HKm Pala Makmur, Kabupaten Tanggamus, Lampung, menceritakan, ketika tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan, Penyusunan rencana Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Hutan, banyak gapoktan di wilayah Tanggamus yang mengajukan HKm. Namun, banyak yang selama bertahun-tahun tak mendapatkan izin (Agus Prijono, Berbagi Ruang Kelola, 2017). “Pungutan liar hasil hutan menjadi umum terjadi, sampai dengan ditipu lewat iming-iming HKm,” tutur Makpul. Kerumitan tersebut terutama terletak pada panjangnya proses pengurusan. Umumnya masyarakat cenderung awam dengan prosedur-prosedur yang ada. Sementara, tak semua LSM pendamping memiliki keterampilan dan pengetahuan dalam hal pengurusan HKm. Sebelum Permen 83 Tahun 2016, pengurusan izin perhutanan sosial, skema HKm misalnya, diawali dengan

Januari 2018 | Warta KEHATI | 14

Kampung Tiongohan, Mahakam Hulu, Kalimantan Timur ini merupakan salah satu Kampung di tepi hutan di wilayah hulu Mahakam yang telah mendapatkan SK Hak Pengelolaan Hutan Desa 2017.

Kampung ini merupakan dampingan TFCA-Kalimantan/KEHATI melaui mitra KBCF-Warsi (Foto: TFCA Kalimantan/KBCF-Warsi)

Page 9: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

DATA HUTAN DI INDONESIA

Ada 72.000 desa di Indonesia.

Sebanyak 25.000 desa di sekitar/dalam kawasan hutan.

Ada 48 juta jiwa penduduk – 10 juta jiwa penduduk miskin –

1 juta jiwa masuk Perhutanan Sosial s/d 2014.

Sebanyak 9.800 desa masuk PIAPS 2015 - 2019.

Lokasi Perhutanan Sosial tersebar mulai dari ekosistem

pegunungan, dataran rendah, rawa gambut dan bakau

Kampung Lungtuyo, Mahakam Hulu, Kalimantan Timur ini merupakan salah satu Kampung di tepi hutan di wilayah hulu Mahakam yang telah mendapatkan SK Hak Pengelolaan Hutan Desa 2017. Setelah mendapatkan SK, di kampung yang menjadi salah satu dampingan TFCA-Kalimantan/KEHATI ini, akan dikembangkan sejumlah produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), sebagai sumber pendapatan alternatif bagi warga. (Foto: TFCA Kalimantan/KBCF-Warsi)

Page 10: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

tahap kelengkapan data gapoktan dan areal yang diajukan. Setelah itu, gapoktan mengajukan penetapan areal kerja (PAK) ke Kementerian LHK (dulu Kemenhut). Kemenhut lalu memverifikasi ke lapangan sebelum memberi persetujuan atau penolakan. Jika disetujui, gapoktan bersangkutan akan menerima PAK, yang selanjutnya harus memenuhi syarat berikutnya: memiliki peta persil, rencana operasional, dan rencana umum, dan dokumen-dokumen lainnya untuk mendapatkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm dari bupati. Jika arealnya lintas kabupaten, maka harus mendapat izin dari gubernur. Umummya, dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi gapoktan hingga bisa mendapatkan IUPHKm dalam proses yang panjang itu. Tak sedikit pula yang akhirnya berhenti di tengah jalan. Sedangkan, berdasar Permen 83 Tahun 2016, setelah pendataan

dan pemetaan, perhutanan sosial bisa langsung diusulkan ke Kementerian LHK. Setelah verifikasi ke lapangan, IUP bisa langsung didapatkan. Terlebih, saat ini sudah dibentuk kelompok-kelompok kerja (pokja) di sejumlah daerah meskipun masih terbatas. Meskipun relatif lebih sederhana, bukan berarti dalam praktiknya tak lagi ada hambatan. Mekanisme penyusunan rencana kerja umum (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT) umumnya masih terlalu rumit bagi masyarakat, khususnya untuk kebutuhan proses verifikasi di lapangan. Salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk mengurai masalah tersebut adalah penguatan tenaga pendamping lapangan dari kementerian dan institusi. Selama ini, banyak penyuluh yang bukan pendamping. Pendampingan lapangan sangat diperlukan untuk membantu

menyiapkan skema perhutanan sosial, baik dari proses praperizinan, perizinan, hingga pasca-perizinan. Selama ini, hal tersebut lebih banyak dilakukan oleh LSM. Keberadaan pokja sesungguhnya sebuah inovasi. Namun, perannya kurang cukup optimal dalam mengupayakan percepatan perizinan. Salah satu persoalannya adalah karena pokja-pokja yang ada kurang diperkuat dengan tenaga pendampingan.

Tahap krusial

Tercapainya izin pemanfaatan atau hak pengelolaan hutan bukanlah ujung dari implementasi perhutanan sosial. Tantangan terbesar justru setelah izin legalitas akses hutan didapatkan. Tanpa kemampuan pengelolaan hutan yang baik, keterampilan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dalam

17 | Warta KEHATI | Januari 2018

Warga merebahkan rumput untuk membuat jalur sekat bakar sebagai upaya preventif kebakaran hutan, Way Kambas, Lampung Timur. Melibatkan warga sekitar hutan dalam pelestarian hutan juga merupakan salah satu tujuan perhutanan sosial. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

mengolah sumber daya hutan dan memasarkannya sebagai sumber ekonomi, serta kemampuan masyarakat yang memadai dalam kelembagaan, perhutanan sosial dapat menjelma sebagai malapetaka. Sayangnya, aspek kunci ini belum banyak disentuh. Hal ini tentu berbahaya. Tanpa keterampilan dan kesiapan manajerial masyarakat atau kelompok masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan secara lestari, program perhutanan sosial rasanya akan sangat sulit memberi daya ungkit kesejahteraan bagi mereka. Yang rawan terjadi kemudian adalah pengelolaan tanpa arah dan tujuan. Bahkan, lebih jauh lagi mudah mengundang terjadinya penyimpangan pengelolaan, di mana investor atau korporasi besar mengambil alih pengelolaan lahan hutan dari tangan masyarakat yang tak siap secara manajerial dan permodalan. Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI M.S. Sembiring mengatakan, pemerintah semestinya tak hanya terfokus pada pemberian akses kelola hutan, tapi juga harus menyiapkan dukungan keterampilan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam mengolah produk dan jasa hutan untuk kesejahteraan mereka. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan perlu pendampingan, mulai dari penyusunan rencana umum dan rencana operasional dalam mengimplementasikan perhutanan sosial, hingga pemasaran komoditas dan produk yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya hutan. Rencana umum, kata Sembiring, dalam hal ini menyangkut rencana strategis pengelolaan lahan hutan mulai jangka pendek, jangka menengah, hingga 35 tahun ke depan, yang merupakan batas masa kelola perhutanan sosial. Sementara rencana operasional di antaranya menyangkut jenis atau tanaman dan komoditas apa yang layak dibudidayakan, metode dan manajemen pengelolaannya, pelestarian ekologisnya, rencana keuangan, pengembangan produk dan nilai tambah ekonomisnya, serta pemasarannya. Di samping itu, penguatan aspek kelembagaan masyarakat juga mutlak diperlukan. Dari hasil pendampingan KEHATI bersama para mitranya selama ini, salah satu

permasalahan pengelolaan perhutanan sosial adalah belum matangnya lembaga-lembaga yang ada di desa dalam memahami tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi), serta keterbatasan keterampilan manajerial mereka dalam pengelolaan hutan. “Pelatihan dan pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), seperti pengembangan produk madu hutan, kopi, dan kerajinan tangan, akan sangat membantu masyarakat menyukseskan program perhutanan sosial,” kata Sembiring. Untuk menjaga agar pengelolaan hutan terus berkesinambungan, dukungan terhadap penyusunan kebijakan berkelanjutan dalam rencana kerja pengelolaan hutan, baik dalam skema hutan desa, hutan adat, kemitraan, hutan tanaman rakyat, maupun hutan kemasyarakatan, sangat dibutuhkan. Rencana tersebut perlu disinergikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Dengan upaya ini, kegiatan pengelolaan perhutanan sosial dapat menjadi bagian dari kegiatan pembangunan desa. Dari pengalaman Yayasan KEHATI di berbagai program yang bersentuhan dengan perhutanan sosial, ketika kelompok masyarakat atau desa mengajukan usulan perhutanan sosial umumnya mereka belum tentu siap dengan rencana berikutnya. Meskipun sudah ada rencana untuk penanaman dan pengembangan komoditas tertentu, seperti kopi, mereka tetap membutuhkan pendamping guna memahamkan mengenai karakteristik kondisi, budaya, identifikasi potensi, dan aspek bisnis dari kopi itu sendiri. Selain aspek bisnis, yang juga perlu mendapat perhatian adalah aspek pemahaman masyarakat tentang aturan penanaman di suatu areal hutan, seperti: tanaman kayu, tajuk atas, tajuk bawah. Langkah berikutnya yang terpenting adalah bagaimana mengajak masyarakat membentuk pengamanan swakarsa untuk menjaga hutan guna memastikan perhutanan sosial yang mereka jalankan hadir sesuai harapan. Sementara itu, untuk mengatasi masalah pendampingan, pelibatan Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat dapat menjadi jalan alternatif yang strategis.

Target realistis dan kerja sama

Selain perlu mencari formula terbaik untuk aspek pascaperizinan, ada beberapa hal yang juga perlu menjadi perhatian: Pertama, pemerintah harus mulai konsisten dengan target perhutanan sosial yang terukur. Selain tak memiliki dasar perhitungan yang pasti, angka 12,7 juta hektar juga terlampau bombastis dan cenderung sebagai angka politis belaka daripada sebuah target realistis. Dalam hal ini, angka 4,38 juta hektar yang dikemukakan Menteri LHK sebagai target yang tak muluk-muluk lebih patut dicatat. Data yang tak terukur dan kurang realistis akan membuat perencanaan, strategi, dan detil pelaksanakaan perhutanan sosial di lapangan akan menemui kerumitannya. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia di Kementerian LHK dan anggaran yang minim membuat proses verifikasi di tingkat tapak berjalan lamban. Sebagai program yang diharapkan menyelesaikan persoalan ketimpangan sosial ekonomi, program perhutanan sosial belum mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Berdasarkan data di KLHK, telah terjadi penurunan anggaran untuk mendukung program perhutanan sosial, yakni Rp 308,12 miliar untuk 2015, Rp 249,58 miliar untuk 2016, dan Rp 165,17 miliar untuk 2017. Padahal, menurut perhitungan Indonesia Budget Center (IBC), minimal Rp 830 miliar per tahun yang dibutuhkan untuk penyiapan perhutanan sosial. Untuk mengatasi masalah keterbatasan sumber daya, kerja sama yang baik, terstruktur, dan erat antara KLHK dengan lembaga swadaya masyarakat, pihak swasta, pemerintah provinsi, kabupaten, ataupun lintas kementerian akan sangat membantu. Masing-masing pihak harus saling mengisi dan menyingkirkan egosektoral. Koordinasi dan kerja sama yang baik oleh semua pihak, data yang akurat, pendampingan, penyelesaian pekerjaan rumah pasca-perizinan, dan konsistensi kebijakan akan menghindarkan program perhutanan sosial kali ini kembali jatuh sebagai kisah lama yang terulang kembali: layu sebelum berkembang. (Mohamad Burhanudin/Dwi Pujiyanto/Ali Sofiawan/Yudha Arif Nugroho)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 18

Laporan Utama

Page 11: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Program Perhutanan SosialTarget: 12,7 juta ha

2015 2.5 juta

2016 5 juta

2017 7.6 juta

2018 10.1 juta

2019 12.7 juta

Dari 12,7 juta hektar target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) 2015-2019, baru sekitar 1,09 juta hektar, atau hanya 8,6 persen yang telah direalisasikan alokasinya untuk masyarakat. Capaian itu terdiri atas 268 unit hak pengelolaan hutan desa (HPHD) seluas 494.600,83 hektar, 633 unit izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKm) seluas 255.741,67 hektar, izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman rakyat (IUPHHK-HTR) sebanyak 2.845 unit seluas 236.906,90 hektar, dan kemitraan kehutanan sebanyak 168 unit seluas 77.652,43 hektar. Sedangkan, untuk izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) telah terdata sebanyak delapan unit seluas 5.439,9 hektar dan hutan adat sebanyak 10 unit seluas 8.795,34 hektar.

Kendala: Peraturan yang agak berbelit

Monitoring merupakan bagian yang penting dari pelaksanaan program, termasuk dalam implementasi Program Perhutanan Sosial. Dari kegiatan ini bisa diketahui kemajuan maupun hambatan dari pelaksanaan program. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Perhutanan Sosial dari Masa ke Masa• 1970an --> Kongres Kehutanan Sedunia 1978 --> Forest for People• Perum Perhutani --> 1972 dengan program Ma-Lu dan Ma-Ma --> Tumpang Sari• 1980an --> HPH Bina Desa --> PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) --> Bansos• 1993 --> SK Menhut 251/1993 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat Adat• 1993 --> SK Menhut 47/1998 KDTI Repong Damar Krui• 1995 --> SK Menhut 622/1995 tentang HKm• 1999 --> SK Menhutbun 865/1999 juncto SK Menhut 31/2001 Perhutanan Sosial• 2004 --> P.01/2004 tentang Social Forestry• 2007 --> PP No. 6/2007 Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan

Pemanfaatan Hutan• 2016 --> Peraturan Menteri LHK P83/2016 tentang Perhutanan Sosial• 2017 --> Peraturan Menteri LHK P39/2017 tentang Perhutanan Sosial di Perhutani

Page 12: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

1. Capaian target kinerja masih jauh dari target yang ditetapkan. Keberhasilan perhutanan sosial sangat tergantung pada komunikasi dan komitmen Pemda, LSM, pelaku usaha dan efektivitas law enforcement.

2. Pemberian akses kelola dalam bentuk izin/hak merupakan langkah awal penyelesaian konflik, kelola kelembagaan dan kelola usaha.

3. Pendampingan sejak usulan sampai dengan paska izin menentukan keberhasilan penguatan kelompok dan pengembangan usahanya.

4. Diperlukan fasilitasi kepada masyarakat yang akan mengajukan izin perhutanan sosial, tidak hanya pemerintah pusat (DITJEN PSKL, BALAI PSKL), namun peran pemda dan para pihak terkait bidang perhutanan sosial.

5. Sosialisasi harus bisa menjangkau tingkat tapak, dapat juga dilakukan dengan koordinasi dengan bupati setempat sehingga masyarakat mengerti tentang peraturan perhutanan sosial terbaru.

6. Mengaktifkan Peran Pokja PPS sebagai pengawal implementasi Kebijakan Perhutanan Sosial :• Sosialisasi dan fasilitasi sampai tingkat tapak• Fasilitasi usulan (peta, verifikasi dan pelayanan

online• Penguatan kapasitas pengelolaan• Mengelola pengetahuan (wahana belajar dan

bekerja bersama)• Monitoring dan evaluasi

Beberapa CatatanPerhutanan Sosial

21 | Warta KEHATI | Januari 2018 Januari 2018 | Warta KEHATI | 22

Masyarakat dampingan Warsi sedang mengolah kacang merah di Merangin, Jambi. (Foto: Jerry I.)

Page 13: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Perhutanan Sosial: Apa dan Mengapa?

Seperti dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Nomor 83 Tahun, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Sistem pengelolaan hutan tersebut sebelumnya banyak dikenal dengan berbagai terminologi, seperti kehutanan masyarakat, sistem hutan kerakyatan, dan pengelolaan hutan

berbasis masyarakat. Berbagai pengertian tersebut menunjukkan keberadaan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Sistem ini dipromosikan sebagai antitesis dari pengelolaan hutan konvensional yang berjalan selama ini, yaitu pengelolaan hutan skala besar (industri) berbasis negara dan korporasi. Sebagaimana diketahui, pengelolaan hutan skala besar pernah menjadi sektor andalan bagi perekonomian nasional di Indonesia. Meskipun demikian, besarnya nilai ekspor dari eksploitasi hutan ini ternyata tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Pada tahun 2007, 1,7 juta kepala keluarga yang hidup di dalam dan sekitar hutan berada di bawah garis kemiskinan (Dephut

dan Badan Pusat Statistik, 2007). Sifat eksploitatif pengusahaan hutan skala besar ini diyakini berkebalikan dengan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Di berbagai tempat di Indonesia, didapatkan bukti bahwa masyarakat dapat mengelola hutan Indonesia dengan lebih baik, dan sekaligus memberikan penghidupan yang baik bagi mereka. Di Sungai Utik, Kalimantan Barat, misalnya, masyarakat mampu mengelola hutan adatnya hingga mendapatkan pengakuan pengelolaan hutan lestari oleh Lembaga Ekolabel Indonesia. Contoh pengelolaan hutan skala kecil yang lebih komersial banyak dijumpai di berbagai tempat di Jawa, seperti di Wonosobo, Wonogiri, dan Gunungkidul. Di lahan masyarakat yang sempit, petani

23 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

Kelestarian kawasan hutan di Sukaraja Atas, Lampung Barat, menjamin ketersedian air untuk sumber energi.(Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

di Jawa banyak menanam tanaman kayu, buah-buahan, tanaman perkebunan, tanaman semusim, dan tanaman bawah tegakan di satu hamparan sehingga menjadikan lahannya berfungsi hidro-orologis yang mendekati hutan alam. Di sisi lain, hutan rakyat di Jawa telah berhasil menjadi kontributor sangat besar bagi Industri kehutanan di Indonesia. Menurut catatan JAVLEC, lebih dari 6 juta hektar di Jawa merupakan sumber bahan baku lebih dari 50 persen industri kehutanan di Indonesia . Kondisi masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang miskin, dan berbagai bukti kearifan lokal dan kemampuan masyarakat mengelola hutan, merupakan justifikasi yang tidak terbantahkan untuk memindahkan pendulum pengelolaan hutan Indonesia kepada masyarakat, dan mengubah orientasi pengusahaan hutan di Indonesia dari pengusahaan hutan skala besar menjadi pengusahaan hutan skala kecil. Sekilas perjalanan perhutanan sosial

Berangkat dari kebutuhan masyarakat hutan atas akses terhadap sumber daya, dan keyakinan bahwa masyarakat mampu mengelola hutan dengan lebih baik, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan perguruan tinggi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1990-an mempromosikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dari sisi gagasan, diakui atau tidak, perjuangan perhutanan sosial di Indonesia diwarnai oleh pemikiran people centered forestry yang diusung Jack Westoby, yang dirangkum dalam buku The Purpose of Forest: Folliest of Development (diterbitkan tahun 1987). Tema Kongres Kehutanan Sedunia di Jakarta tahun 1978, Forest for People, juga menjadi salah satu tonggak penting konsep ini. Meskipun demikian, seblum era reformasi, Pemerintah Indonesia baru mengimplementasikan karang kitri (penghijauan di lahan milik) perhutanan sosial di Perhutani, dan HKM di luar pulau Jawa, yang hanya memberi peluang masyarakat mengelola hutan selama dua atau lima tahun. Setelah era reformasi, dengan proses berliku yang didorong oleh jaringan organisasi non-pemerintah (NGO), perguruan tinggi, dan forum-forum multipihak, seperti Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dan Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat (WGP), akhirnya izin pemanfaatan hutan untuk masyarakat dengan tenor 35 tahun pun diberikan

oleh pemerintah pada tahun 2007. Di hadapan Wakil Presiden Yusuf Kalla saat itu, puluhan kelompok HKm dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Nusa Tenggara Barat, dan Lampung, menerima izin usaha pemanfaatan HKm dari para bupati mereka. Sejak itulah, secara bertahap hak akses masyarakat untuk mengelola hutan terus dikembangkan. Terlebih lagi di era Pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla, di mana target perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar masuk di dalam rencana strategis pembangunan sektor kehutanan, yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Luas hutan yang diserahkan pengelolaanya kepada masyarakat semakin bertambah, meskipun masih sangat jauh dari target RPJMN, yaitu 12,7 juta hektar. Sampai saat ini, lebih kurang 1,2 juta hektar hutan dipercayakan kepada masyarakat dalam bentuk hutan kemasyarakatan (HKm), hutan desa, hutan tanaman rakyat, kemitraan kehutanan, dan hutan adat.

Luasan ini baru mencapai 10 persen dari target perhutanan sosial. Meskipun demikian, capaian ini menunjukkan bahwa perhutanan sosial atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat sudah diakui keberadaannya sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia. Dengan capaian ini, ada dua pertanyaan yang patut menjadi pemicu semangat bekerja para pendukung perhutanan sosial, terutama dari kalangan pemerintah. Pertanyaan pertama adalah bagaimana memastikan 1,2 juta hektar hutan yang sudah dipercayakan oleh masyarakat itu akan bermanfaat sesuai dengan tujuannya? Pertanyaan ke dua, bagaimana pula mengejar target luasan perhutanan sosial 12,7 juta hektar, atau setidaknya 4,4 juta hektar?

Mewujudkan mimpi

Izin pemanfaatan atau hak pengelolaan hutan bukanlah ujung dari implementasi perhutanan sosial. Serangkaian aktivitas dan kegiatan harus dilakukan oleh pengelola hutan secara konsisten,

Januari 2018 | Warta KEHATI | 24

Plang peringatan larangan membuka hutan tanpa izin di kawasan Koridor Singkil Bengkung, Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh Selatan. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Page 14: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

25 | Warta KEHATI | Januari 2018

yang juga harus ditopang dengan kelembagaan yang baik, untuk mencapai tujuan dari didapatkannya legalitas akses tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir dari perhutanan sosial ini adalah kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 Permen LHK Nomor 83 Tahun 2016. Meskipun demikian, merujuk pada argumen dan latar belakang perjuangan perhutanan sosial, ada dua tipe tujuan yang hendak dicapai dengan didapatkannya akses legal masyarakat terhadap kawasan hutan. Tipe pertama adalah perhutanan sosial yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas alat produksi berupan lahan. Tujuan pemanfaatan lahan ini pada umumnya ada pada masyarakat dengan tingkat kepemilikan atau penguasaan lahan yang sempit, sedangkan kebutuhan hidupnya banyak dipenuhi dari hasil pertanian atau perkebunan. HKm di Lampung, DIY dan NTB, serta HTR di Sultra merupakan beberapa contoh model ini. Tipe ke dua adalah perhutanan sosial yang diperjuangkan untuk mendapatkan akses legal untuk melindungi kawasan dari kerusakan dan klaim pihak lain. Pada tipe ini, pemanfaatan hutan yang dilakukan tidak terlalu didominasi oleh pengelolaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Masyarakat lebih menginginkan bertahannya fungsi hutan sebagai penopang kehidupan mereka dari sisi lingkungan dan spiritual, meskipun pemenuhan kebutuhan ekonomi juga

dipenuhi dari hutan dengan pemanfaatan yang terbatas. Hutan desa di Lubuk Beringin dan Hutan Adat Bukit Tinggai di Jambi, Hutan Adat Sungai Utik di Kalbar, dan Hutan Desa Merabu di Kaltim merupakan beberapa contoh model perhutanan sosial yang memiliki tipe ini. Dengan tujuan yang beragam, pengelolaan perhutanan sosial harus dilakukan dengan pendekatan yang spesifik pula. Perencanaan hutan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan di lapangan, dan monitoring pelaksanaan pengelolaan hutan harus dilakukan dengan cara yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi, dan keadaan setempat. Hanya dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepatlah, perhutanan sosial dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat pengelolanya, bagi masyarakat dan wilayah di mana hutan itu berada, dan juga bagi kelestarian ekosistem yang lebih luas. Di sinilah peran pemerintahan desa dan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) sangat diperlukan. Di satu sisi, desa dapat berperan banyak untuk menempatkan pembangunan hutan di wilayahnya sebagai bagian dari pembangunan wilayah, dengan memadukan pengelolaan perhutanan sosial dengan pembangunan sektor lain. Di sisi lain, KPH dapat berperan untuk memberikan asistensi teknis bagi pengelola perhutanan sosial untuk memaksimalkan fungsi hutan, baik bagi pengelolanya, bagi wilayah di mana dia berada (desa), dan bagi ekosistem yang lebih luas (wilayah hutan dalam KPH).

Optimalisasi peran desa akan bermanfaat lebih pada tahapan lebih lanjut dari pengelolaan perhutanan sosial, yaitu pada tahapan pengolahan hasil hutan dan pemasaran hasil hutan, baik kayu, non-kayu, dan jasa lingkungan seperti wisata atau jasa lingkungan yang lain. Di beberapa lokasi perhutanan sosial, seperti Jambi dan Lombok, BUMDesa telah dapat berperan aktif dalam usaha-usaha kehutanan yang dilakukan oleh pengelola PS, baik melalui pengolahan hasil, ataupun pemasaran hasil hutan dengan berbagai strategi yang dapat ditempuh. Di sisi lain, peran KPH dalam usaha kehutanan oleh pengeola perhutanan sosial ini juga sangat penting. Untuk lokasi perhutanan sosial yang melakukan pemanfaatan kayu, misalnya, peran KPH mutlak diperlukan untuk membantu memastikan pengelola PS di wilayahnya mampu memenuhi semua persyaratan legalitas dan administrasi perkayuan. Tanpa dukungan penuh dari KPH, hampir tidak mungkin pengelola perhutanan sosial dapat memenuhi berbagai syarat administrasi pemanfaatan hasil hutan kayu. Kesulitan pengelola HKm di Gunung kidul (DIY) untuk memanfaatkan kayu jati-nya telah menjadi bukti bahwa tanpa dukungan penuh dari KPH, pemanfaatan kayu oleh pengelola perhutanan sosial sangat sulit terwujud. Belum saatnya bernafas legaCapaian yang baru sekira 1,2 juta hektar ini menunjukkan bahwa saat ini belum saatnya bagi Kementerian LHK dan para pendukung perhutanan sosial

Tanaman kopi membentuk lapisan kedua setelah pohon-pohon tajuk tinggi di HKm Sidodadi, Air Naningan. (Foto: Agus Prijono)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 26

untuk bernapas lega. Tugas berat untuk mencapai target luasan perhutanan sosial pada tahun 2019 masih sangat besar. Karena itu, tidak ada salahnya jika beberapa catatan di bawah ini menjadi pertimbangan bagi semua pihak. Catatan pertama adalah tentang perizinan perhutanan sosial. Mengacu pada Permen LHK No 83/2016, perizinan perhutanan sosial berada di tangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan dapat dilimpahkan kepada gubernur dengan persyaratan tertentu, di antaranya adalah tercantumnya perhutanan sosial dalam RPJM provinsi dan/atau adanya anggaran perhutanan sosial di provinsi. Meskipun peluang pelimpahan itu ada, sampai sekarang pelimpahan kepada gubernur tersebut belum pernah diberikan oleh Menteri LHK. Untuk mempercepat perluasan perhutanan sosial, pemangkasan prosedur perizinan ini seharusnya dapat dipertimbangkan. Pelimpahan pemberian izin kepada gubernur sudah seharusnya diberikan oleh Menteri LHK kepada beberapa provinsi yang sudah menunjukkan komitmennya untuk pelaksanaan perhutanan sosial ini. Sebagai catatan ikutan dari pelimpahan perizinan di atas, peran KPH dan/atau Dinas Kehutanan Provinsi juga harus didorong. Verifikasi lapangan, sudah saatnya didesentralisasikan kepada KPH atau Dinas Kehutanan Provinsi setempat. Keberadaan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) yang hanya ada lima unit, tentu akan terbantu apabila proses verifikasi dapat dilimpahkan kepada KPH atau dinas kehutanan setempat. Pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal PSKL, dapat lebih memainkan peran supervisi dan dukungan teknis dan finansial, jika sudah dialokasikan dalam APBN. Selain lebih cepat, proses ini tentunya akan lebih efisien karena tidak harus membiayai perjalanan staf yang terlalu banyak dari lokasi Balai PSKL ke lokasi pengusul perhutanan sosial. Sebagai konsekuensinya, seluruh KPH dan dinas kehutanan sudah harus memiliki cara pandang yang sama terhadap perhutanan sosial. Pandangan bahwa hanya di wilayah KPH dapat dilaksanakan pola kemitraan kehutanan, harus dihilangkan. Di sinilah tugas Menteri LHK untuk berkomunikasi secara intens dengan para gubernur dan kepala dinas kehutanan di tingkat provinsi. Catatan berikutnya adalah tentang penyiapan perizinan perhutanan

sosial. Sampai saat ini, sebagian besar izin perhutanan sosial diajukan oleh masyarakat yang telah didampingi oleh NGO, melalui pengorganisasian, fasilitasi pemetaan, sampai dengan fasilitasi pengurusan izin. Seperti diketahui bersama pula, sebagian besar NGO bekerja dengan pendanaan dari donor dengan jumlah yang cukup besar. Salah satu pegiat perhutanan sosial pernah menghitung, biaya pendampingan perhutanan sosial termurah yang pernah didanai oleh proyek donor dari mulai awal pendampingan sampai dengan izin didapatkan mencapai Rp 200.000 per hektar. Jika menggunakan jumlah minimal tersebut, maka untuk penyiapan perizinan saja, dibutuhkan dana hingga Rp 640 miliar untuk mengejar target 3,2 juta hektar hingga 2017. Belum lagi durasi waktu pendampingan yang biasanya selalu lebih dari satu tahun. Untuk mengatasi tantangan dalam hal penyiapan perizinan sosial tersebut, kembali peran desa dan KPH bisa menjadi solusi. Sudah saatnya dibuka Kementerian LHK bekerja sama secara lebih erat dan lebih sistematis dengan Kementerian Desa, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten untuk mendorong desa–desa yang wilayahnya tercantum dalam Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS) untuk mengajukan hak pengelolaan hutan desa, sebagai skema perhutanan sosial yang paling relevan dengan desa. KPH dan dinas kehutanan dapat berperan

aktif sebagai pendamping, dengan peningkatan kapasitas yang disiapkan oleh Pusdiklat LHK. Upaya yang lebih sistematis inilah yang akan menjadikan peluang ketercapaian target perhutanan sosial pada tahun 2019 nanti. Terlebih lagi jika pemerintah mau mengambil langkah strategis, yaitu dengan mendistribusikan kawasan hutan di dalam PIAPS kepada desa, dan mengaturnya dengan mekanisme perencanaan hutan yang difasilitasi oleh KPH, niscaya target perhutanan sosial 4,4 juta hektar (atau bahkan 12,7 juta hektar) tidak lagi menjadi target yang tidak masuk akal. Beberapa catatan di atas sebenarnya bukan merupakan gagasan baru. Serangkaian diskusi para pegiat perhutanan sosial telah merumuskan gagasan tersebut dengan cukup detail. Meskipun demikian, semuanya kembali pada pemerintah, apakah pencapaian target perhutanan sosial ini akan diupayakan semaksimal mungkin dengan kerja bersama lintas sektoral, atau hanya menjadi target sektoral yang sulit tercapai. Demikian pula dengan pekerjaan rumah pasca perizininan yang dipaparkan di atas, kiranya perlu menjadi perhatian dan catatan bersama, baik di kalangan pemerintah, ataupun juga bagi para pendukung perhutanan social, seperti NGO, perguruan tinggi, dan komunitas donor. (Irfan Bakhtiar)

Sumber air hutan Desa Merabu, Kalimantan Timu.r (Foto: M.S. Sembiring/KEHATI)

Laporan Utama

Page 15: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

P E TA P E R H U TA N A N S O S I A L K E H AT I

27 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

5

13

3

57

6

8

12

10

11

14

2

3

1

7

8

9

3

4

6

12

42

Kalimantan Barat

Sumatera Utara

SumateraBarat

Riau

Jambi

uluuluBengkulkulu

Lampung

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Utara

9

Melibatkan sembilan mitra: Konsorsium Petai, Caritas PSE KAM, Konsorsium Petra, KKI-Warsi, Akar Network, Konsorsium Kotaagung Utara, Yayasan Konservasi Way Seputih, Jikalahari, dan Yayasan Ulayat .Komoditas yang diolah dan dihasilkan para mitra, di antaranya: kopi, karet, kulit manis, padi, pinang, kakao, hortikultura, pupuk kompos, dan pupuk cair. Adapula aneka olahan minuman, seperti wedang uwuh, wedang jahe, curcuma plus, rempah kinanti, kopi jahe, madu hutan, dan gula aren.Penerapan perhutanan sosial terbukti membantu meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagai contoh pendapatan masyarakat anggota gapoktan di Kabupaten Tanggamus meningkat dari sebelumnya rata-rata Rp 1.596.000 per bulan per keluarga (data tahun 2009-2011) menjadi Rp 4.621.000 per bulan per keluarga (data tahun 2013-2015).

1. Kab. Tapanuli Utara2. Kab. Humbang Hasundutan3. Kab. Pakpak Barat4. Kab. Kerinci5. Kab. Solok 6. Kab. Solok Selatan7. Kab. Bungo8. Kab. Merangin9. Kab. Bengkulu Tengah10. Kab Bengkulu Selatan11. Kab. Kepahiang12. Kab. Pelalawan13. Kab. TanggamusSkema PS : Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa/Hutan Nagari, Hutan Adat, Hutan Tanaman Rakyat, Luas Total 129.047 Ha

Januari 2018 | Warta KEHATI | 28

35,6%

* data KLHK per Oktober 2017

Melalui program-program khususnya, seperti Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera), TFCA Kalimantan, dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) Millennium Challenge Account (MCI)-Indonesia, KEHATI memfasilitasi dan mendampingi masyarakat sekitar hutan untuk terlibat dalam pelestarian keanekaragaman hayati hutan sekaligus memanfaatkannya secara lestari sebagai sumber kesejahteraan.

Model Perhutanan Sosial yang dikembangkan melalui program khusus tidak hanya berfokus kepada luasan 12,7 juta hektar yang dapat diakses secara legal oleh masyarakat di kawasan hutan negara, namun juga melalui kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat terutama dalam hal off-farm dan akses terhadap pasar bagi masyarakat yang hidupnya berada di dalam dan atau di kawasan hutan.

1. Kab. Merangin2. Kab. Muaro jambi3. Kab. Tanjung Jabung Timur 4. Kab. Kerinci5. Kab. Solok Selatan6. Kab. Pesisir Selatan7. Kab. Kapuas Hulu8. Kab. Sintang9. Kab. Berau

Skema PS : Hutan Kemasyarakatan,Hutan Desa/Hutan Nagari, Hutan Adat,Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan,Luas Total 79.089 Ha

Melibatkan sembilan mitra: LATIN,AOI/PRCF, WARSI JBI, WARSI SB, WRI, SSS PUNDI, MPM Muhamadiyah, Satunama, dan Dian Tama.Komoditas yang diolah dan dihasilkan para mitra, di antaranya:kopi, kerajinan rotan, produk makanan olahan (kripik jahe, talas, rendang jamur), minyak tengkawang, kopi, beras organik, olahan kakao dan pala, gambir, serta kepayang. Bersama mitra-mitranya melakukan intervensi guna mendapatkan legalitas atas HD, HA, HkM, HTR, Kemitraan; memastikan wilayah kelola kelompok masyarakat melalui pelembagaan dan pengelolaan hutan di tingkat lokal; meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan hutan; meningkatkan daya dukung kawasan hutan melalui restorasi lahan dan kemitraan dengan Taman Nasional.

1. Kab. Kapuas Hulu2. Kab. Kutai Barat3. Kab. Berau4. Kab. Mahakam Hulu

Skema PS : Hutan Desa Luas total 180.314 Ha

Melibatkan enam mitra: SAMPAN, KBCF-WARSI, LPHD BUMI LESTARI, KARIMA PURI, MENAPAK, dan PRCF INDONESIA.Pelatihan dan pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK), contohnya melalui pengembangan produk madu hutan, kopi, dan kerajinan tangan.Untuk menjaga agar pengelolaan hutan desa terus berlanjut, TFCA Kalimantan melalui mitra-mitranya juga memberi dukungan penyusunan kebijakan berkelanjutan dalam Rencana Kerja Pengelolaan Hutan Desa (RKPHD) dan Rencana Tahunan Hutan Desa (RTHD), yang disinergikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RJPMDes). Dengan upaya ini, kegiatan pengelolaan hutan desa dapat menjadi bagian dari kegiatan pembangunan desa.

Dukungan KEHATI terhadap Realisasi Perhutanan Sosial Program

Perhutanan SosialDukungan KEHATI

388.450 Ha1,09 juta Ha Realisasi ProgramPerhutanan Nasional*

Model Perhutanan Sosial yang Dikembangkan KEHATI

Page 16: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Malam Tahun Baru 2014 barangkali tak akan terlupakan selamanya dari benak warga Dusun Aek Mateo Jae, Desa Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Setelah 4,5 bulan berjibaku dalam harapan dan kegagalan selama proses membuat pembangkit listrik mikrohidro di sungai di dekat dusun, akhirnya persis pada malam perayaan pergantian tahun itu desa mereka bercahaya. “Puji Tuhan, rasanya kami bahagia sekali malam itu. Anak-anak, remaja, orangtua merayakannya penuh suka di gereja sambil ibadah pergantian tahun. Itu untuk pertama kalinya ada listrik mengalir di dusun kami,” kenang Oli Simanungkalit (45), tokoh warga Aek Mateo Jae. Tak ada yang lebih melelahkan bagi warga Dusun Aek Mateo Jae, daripada perjuangan untuk menikmati aliran listrik. Bertahun-tahun upaya

mereka mentok. Sejak Indonesia merdeka, dusun yang terletak di sebuah perbukitan terjal, dataran tinggi, dan jauh terpencil di tepi Hutan Lindung Batang Toru itu, tak pernah sekalipun tersentuh instalasi listrik. Beberapa rumah warga terang oleh genset, itu pun hanya tiga jam, yaitu pukul 18.00 hingga 21.00. Sebagian besar warga tak mampu mengusahakan genset. Hal tersebut tak berlebihan, dusun yang dihuni 29 keluarga itu masuk kategori prasejahtera. Mereka umumnya bekerja sebagai penderes karet turun temurun, dengan kualitas getah karet yang minim. Maka, ketika pertengahan tahun 2013 Konsorsium Petra—salah satu mitra Yayasan KEHATI dalam program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera di Sumatera Utara—datang menawarkan bantuan untuk membangun pembangkit mikrohidro, penuh sukacita warga mendukungnya. Kebutuhan dana untuk membuat pembangkit itu sekira Rp

600 juta, sementara dana yang mampu disediakan Petra kala itu hanya Rp 200 jutaan. “Kekurangan dana tidak masalah. Kami menutupinya dengan gotong royong, pakai tenaga kami. Empat bulan kami kerja mati-matian membangunnya agar setidaknya pada saat natal 2013 listrik bisa menyala. Tapi, kami saat itu belum beruntung. Rupanya masih ada masalah, ada banjir. Lalu, empat hari sebelum tahun baru kami semua bekerja. Ibu-ibu sambil menggendok anak tak ketinggalan ikut bekerja. Hingga jadilah pembangkit itu dan listrik pun menyala. Kami semua terharu,” kisah Uli. Listrik mikrohidro yang menyala membuat anak-anak dapat belajar hingga malam hari. Warga mulai terbantu dalam beraktivitas ekonomi dengan energi yang ada. Bagi Konsorsium Petra, keberhasilan pengembangan mikrohidro

29 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

Alam dan Energi Kehidupan

Peresmian pemanfaatan mikrohidro di Dusun Aek Mateo Jae, Desa Adiankoting, Kab. Tapanuli Utara. Listrik yang dihasilkan lebih dari cukup untuk memberi penerangan bagi 29 kepala keluarga. (Foto: Dwi Pujiyanto/TFCA Sumatera/KEHATI)

di Dusun Aek Mateo Jae juga menjadi sebuah berkah tak terhingga. Bertahun-tahun mereka menempuh berbagai skema program dan upaya untuk membantu dusun tersebut sejak 2011, namun belum membuahkan hasil signifikan.

Hutan Kemasyarakatan

Hingga akhirnya, pada tahun 2016, pemerintah mengeluarkan beleid baru: Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Pada intinya, beleid ini menegaskan sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan dalam hutan negara atau hutan adat oleh masyarakat setempat sebagai pelaku utama. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Permen 83 Tahun 2016 ini membuat mekanisme pengurusan izin perhutanan sosial menjadi jauh lebih sederhana daripada sebelumnya. Akhirnya, setelah mengurus perizinan HKm pada pertengahan 2017 warga Dusun Aek Mateo Jae didampingi Konsorsium Petra berhasil mendapatkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm beberapa bulan kemudian. Dengan izin HKm yang diterima, Aek Mateo Jae mengombinasikan implementasi skema HKm dengan prinsip konservasi hutan untuk menjaga catchment area atau daerah tangkapan air. Dari daerah tangkapan air yang mendapatkan aliran air dari hutan yang terjaga baik itulah warga dapat mengembangkan pembangkit listrik mikrohidro. Daerah tangkapan air itu kemudian disepakati sebagai Lubuk Larangan: suatu area atau sungai yang disepakati oleh masyarakat setempat secara adat, serta persetujuan aparat dan pemerintah lokal, agar tidak dieksploitasi sampai periode tertentu untuk pada saat yang disepakati dimanfaatkan hasilnya. Area Lubuk Larangan dibuka setahun sekali selama seminggu. Saat pembukaan tersebut, masyarakat boleh mengambil ikan dengan memancing atau menjaring, namun membayar dengan jumlah tertentu. Mereka membayar untuk tiap ikan yang didapat. Masyarakat mengelola HKm dalam konteks menjaga hutan dan sungai, tidak merusak sama sekali. Sumber air pun terjaga karena telah ditetapkan sebagai Lubuk Larangan. Kenekatan mengambil

atau menjarah area lubuk berarti sanksi adat yang berat mengancam. Selain mikrohidro, ada sebagian kecil lahan hutan yang dikelola masyarakat secara intensif dalam bentuk tanaman perkebunan, seperti pala, kayu, tanaman obat, buah-buahan, pete, dan jengkol. Berkat mikrohidro, Aek Mateo Jae yang sebelumnya sunyi dari perhatian, kini mulai mendapat sorotan positif. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, bahkan, meminta keberhasilan penerapan HKm berbasis konservasi air ini direplikasi untuk desa-desa lain di kabupaten tersebut. HKm di Aek Mateo Jae merupakan salah satu bentuk implementasi perhutanan sosial yang dijalankan oleh KEHATI melalui program TFCA Sumatera. Hingga November 2017, luasan wilayah yang masuk ke dalam perhutanan sosial yang diupayakan program TFCA Sumatera mencapai 129.047 hektar, baik dalam bentuk HKm, hutan desa (hutan nagari), hutan adat, maupun hutan tanaman rakyat. Konsep perhutanan sosial dengan model konservasi catchment area di Lubuk Larangan merupakan satu dari dua model perhutanan sosial yang umum ditempuh TFCA Sumatera. Di samping model tersebut, TFCA Sumatera juga mengupayakan perhutanan sosial di area-area yang pernah dirambah atau dieksploitasi.

Pada model terakhir ini, masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang semula tidak tahu atau tak mengakui hutan negara, menjadi tahu dan mengakui. Salah satu contoh kesuksesan untuk model tersebut adalah apa yang dilaksanakan mitra KEHATI, Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT) di Kabupaten Tanggamus, Lampung, yang berhasil menarik warga di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung yang semula merambah hutan lindung, kini terlibat aktif dalam konservasi hutan dengan memanfaatkan sumber daya hutan secara lestari melalui produk-produk hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan komoditas perkebunan hasil pengelolaan hutan Sebagian perhutanan sosial yang dilaksanakan melalui program TFCA Sumatera diupayakan jauh sebelum Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial muncul, terutama melalui skema HKm. Bahkan, di beberapa tempat, skema HKm telah diajukan atau diurus sebelum program TFCA Sumatera tiba. Namun, tak semua perizinan yang diterima pada akhirnya mampu ditindaklanjuti dengan baik sesuai harapan. Ketiadaan pendampingan, pemberdayaan, dan peningkatan kapasitas, membuat skema HKm yang dijalankan praktis tak memberi peningkatan ekonomi. Di Tanggamus, melalui pendampingan Konsorsium Kota Agung

Januari 2018 | Warta KEHATI | 30

Lubuk larangan di Dusun Simajambu, Sumatera Utara. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera-KEHATI)

Page 17: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

31 | Warta KEHATI | Januari 2018

Utara (KORUT), pasca perizinan, sejumah gapoktan mampu merambah hingga pengembangan bisnis. Keberhasilan mereka dalam pengelolaan HKm memberi kepercayaan lembaga-lembaga keuangan, seperti Bank Rakyat Indonesia, Kementerian Desa, hingga Bank Indonesia, untuk hadir menjalin kerja sama dengan mereka. Selain aspek bisnis, yang juga perlu mendapat perhatian adalah aspek pemahaman masyarakat tentang aturan penanaman di suatu areal hutan, seperti: tanaman kayu, tajuk atas, tajuk bawah. Sementara itu, untuk mengatasi masalah pendampingan, KORUT melibatkan penyuluh, melalui kerja sama

dengan Ikatan Penyuluh Kehutanan Indonesia dan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat. Selanjutnya, melalui program TFCA Sumatera, para mitra juga mengadakan sekolah lapangan bagi masyarakat untuk pengelolaan komoditas, seperti kopi, kakao, dan dan produk-produk hortikultura lainnya, hingga ke tahap pengolahan dan pemasarannya. Melalui sekolah lapangan ini, mereka dapat belajar, mentransfer pengetahuan, saling bertukar pikiran, dan beradu kreasi bagaimana mengelola komoditas dan memasarkan dengan baik. Namun, sebelum menuju ke arah sana, harus diawali dengan analisis yang

tepat mengenai sumber daya manusia, potensi alam, dan kebutuhan masyarakat. Hal ini karena setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pengalaman Aek Mateo Jae dan Tanggamus adalah dua kisah sukses implementasi perhutanan sosial yang berangkat dari pemahaman akan akar potensi dan kebutuhan riil masyarakat setempat yang masing-masing spesifik. Melalui cara itu, masyarakat, misalnya, menjadi penuh sukarela mengkhidmati Lubuk Larangan, dan tentunya meretas kemungkinan hidup sejahtera melalui perhutanan sosial sekaligus menjaga hutan tetap lestari. (Dwi Pujiyanto/ Mohamad Burhanudin)

Lubuk larangan di Simajambu, TSumatera Utara, yang dilindungi masyarakat untuk kelestarian sungai dan kehidupan yang ada di dalamnya. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 32

Instalasi mikrohidro di Dusun Aek Mateo Jae, Desa Adian Koting, Tapanuli Utara. Dari mikrohidro ini, sebanyak 29 kepala keluarga menikmati listrik untuk keperluan sehari-hari. (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Laporan Utama

Page 18: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Air terjun yang masih alami di pedalaman hutan Kalimantan. (Foto: TFCA-Kalimantan/KEHATI)

Page 19: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Asa yang Tak Pernah Pupus di Tanggamus

35 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

Dari gubug di tepi ladang itu, mata Makpul (58) menatap ke depan, menerawang. Sejurus lalu, dia mulai bertutur tentang kenangan yang tak mungkin lekang dari ingatannya dan para anggota gabungan kelompok tani (gapoktan) Hutan Kemasyarakatan (HKm) Pala Makmur, Kabupaten Tanggamus, Lampung, lainnya. “Segalanya tak mudah untuk memulai HKm ini. Mulai dari kucing-kucingan dengan aparat, pengusiran, pungutan liar hasil hutan, sampai dengan ditipu lewat iming-iming HKm. Proses sulit itu tak mungkin kami lupakan,” tutur Makpul. Kisah Makpul ini ditulis Agus Prijono dalam buku Berbagi Ruang Kelola, yang diterbitkan TFCA Sumatera tahun 2017. Kini--masih seperti yang ditulis Agus Prijono dalam buku tersebut--kisah suram seperti yang dialami oleh Makpul dan gapoktan-gapoktan di Tanggamus, tinggal kisah lalu. Sekarang, petani Pala Makmur telah mengunduh hasil perjuangan mereka bertahun-tahun melalui skema HKm. Mereka dapat mengelola lahan hutan secara produkif dan lestari melalui produk pertanian, sekaligus menjaga kelestarian hutan.

Sebelum HKm diimplementasikan oleh sejumlah gapoktan di Kabupaten Tanggamus, perambahan liar terhadap hutan lindung di dekat kawasan tersebut umum terjadi. Menurut Makpul, dia merupakan generasi kedua yang mengelola lahan di kawasan hutan negara. Orang tuanya termasuk yang generasi pertama membuka hutan. Pembukaan hutan lindung di sekitar Tanggamus dimulai sekitar tahun 1960-an atau ada yang mengatakan jauh sebelum itu. Bukannya tanpa solusi, pemerintah berusaha memindahkan masyarakat melalui transmigrasi pada tahun 1980-an dan setelahnya. Namun sulitnya ekonomi di tempat transmigrasi membuat sebagian orang kembali ke Tanggamus. Memasuki akhir 1990-an, keadaan tak berlangsung membaik. Pada 1998-1999 kisruh politik di Jakarta memperkeruh situasi di hutan lindung, menyulut pembukaan hutan secara besar-besaran. Angin segar baru berembus tahun 2007, ketika lima gapoktan pertama di Tanggamus mendapatkan peluang izin pengelolaan hutan secara lestari melalui skema HKm. Jauh sebelum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, sejak tahun 1995 pemerintah telah memberlakukan skema HKm melalui keputusan maupun peraturan menteri yang beberapa telah diubah dan disempurnakan. Meski begitu, tak mudah bagi gapoktan untuk mendapatkan izin kelola. Mereka mengeluarkan biaya banyak untuk mengurusnya. Tak jarang upaya itu kandas karena terkena tipu oleh oknum. Kegagalan menyebakan Makpul dan anggota kelompoknya mulai putus asa (Agus Prijono, hal 51-53, 2017) Sekitar tahun 2013, Yayasan KEHATI melalui program TFCA Sumatera menggandeng Konsorsium Kota Agung Utara (KORUT) dalam upaya mengembalikan fungsi hutan di Register 39 sebagai penyangga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan daerah tangkapan air Waduk Batu Tegi melalui mekanisme teknis kehutanan yang tepat. Salah satu kegiatan dalam program ini adalah pendampingan HKm untuk warga di Tanggamus yang tinggal di dalam dan sekitar hutan penyangga tersebut. “Oleh KORUT, kami didampingi untuk mengurus izin HKm, menyusun proposal, memetakan lahan dan bermusyawarah bersama,” terang Makpul, seperti dikutip dalam buku Berbagi Ruang Kelola. Selain itu, KORUT juga turut membantu menyusun rencana kerja, menata batas, dan memperbahuri data petani. Asa Makpul dan kawan-kawan

Para petani HKm Pala Makmur menembus setapak sempit, dalam, dan licin, dengan mengendarai sepeda motor gurandong. (Foto: Agus Prijono)

Seorang petani menunjukkan pala segar yang baru dipetik. (Foto: Agus Prijono)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 36

yang meredup pun merekah kembali.Fajar Sumantri, Koordinator KORUT, menjelaskan, salah satu nilai penting dalam mendorong terbitnya izin HKm adalah kesadaran masyarakat untuk memiliki inisiatif mengusahakan HKm. Upaya memahamkan masyarakat tentang HKm haruslah matang. Untuk itu, sosialisasi dan penyadaran menjadi kuncinya. “Bila sudah paham, petani baru mau bergerak. Kelemahan di lapangan, bila hanya tahu permukaannya saja, kelompok gampang gamang” ujarnya. Pembagian kerja antara pendamping dan mitra dampingan mestinya harus jelas. Prinsipnya semua rencana dan kegaiatan disusun bersama. Semua harus dilibatkan. Transparansi ini juga untuk menghapus pengalaman pahit di masa lalu agar tidak terjebak oknum makelar HKm.

Izin HKm hanyalah Awal

Pendampingan KEHATI melalui KORUT ini mulai menampakkan hasilnya pada tahun 2014 seiring terbitnya 18 izin usaha pengelolaan HKm. Setelah mendapatkan izin usaha pengelolaan (IUP) HKm, tentu ini bukan menjadi akhir. Sebaliknya, justru menjadi awal dari tantangan sesungguhnya dalam pengelolaan perhutanan sosial. Tak berhenti pada proses pendampingan izin HKm, KORUT pun terlibat dalam proses pendampingan tata kelola kelembagaan, kawasan dan usaha. Bentuk pendampingan ini disesuaikan

dengan level kapasitas kelompok masing-masing, seperti fasilitas pemasaran, akses kredit, membentuk koperasi, sampai membuka jaringan kemitraan. Usaha-usaha ini pelan tapi pasti membuahkan hasil. Pada tahun 2015, anggota Beringin Jaya memperoleh pinjaman dari Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) Bank Rakyat Indonesia senilai Rp 1,74 miliar. Kredit itu tersebar di 69 anggota Beringin Jaya. Pinjaman kredit ini digunakan sebagai modal masyarakat untuk mengelola lahannya. Dari sisi perekonomiannya, masyarakat juga mengalami peningkatakan pendapatan yang signifikan. Penelitian KORUT tahun 2008 memperlihatkan bahwa pendapatan terendah petani adalah Rp 1,1 juta setahun. Sejak tahun 2015, setelah ada HKm, pendapatan terendahnya menjadi Rp 4,1 juta tiap musim panen. Naiknya pendapatan ini didorong oleh legalitas HKm sehingga membuat petani serius dalam mengelola tanamannya. Sedangkan, pada pemberdayaan perempuan, ada Kelompok Wanita Tani Hutan Himawari yang membuka peluang bisnis dengan menjual kopi premium. Kopi-kopi yang mereka jual, seperti kopi codot, kopi mahoni, kopi lanang, kopi cilik, kopi kemiri, dan kopi sonokeling, laku di pasaran dengan harga jual yang tinggi.

Dari sisi pengelolaan kawasan, masyarakat membentuk patroli pengamanan kawasan hutan (pamhut) secara swadaya. Hasil pamhut ini terlihat pada tahun 2015 ketika kebakaran hutan terjadi di banyak tempat, justru kawasan hutan di Tanggamus aman. Capaian-capaian ini membuat mereka diganjar penghargaan oleh Kementerian LHK sebagai HKm terbaik pada tahun 2016 dan 2017. HKm Sidodadi memenangi Wana Lestari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan pada tahun 2017 dan HKm Beringin Jaya pada tahun sebelumnya. Hasil-hasil positif ini memang menggembirakan. Tetapi, pekerjaan rumah yang lebih besar juga menanti, khususnya bagaimana menutup lubang-lubang di tingkat kelompok tani dalam hal penguatan kapasitas masyarakat, menyeragamkan pengetahuan tentang HKm, serta pengembangan usaha tingkat regional dan nasional. Selain itu, yang tak kalah penting adalah menjaga keseimbangan antara pemberdayaan masyarakat dan pemanfaatan ekonomi dengan perlindungan ekosistemnya. Hanya dengan cara itu, asa meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan di Tanggamus tak akan pernah pupus. (Yudha Arif Nugroho)

Pohon-pohon berkayu membentuk tegakan khas atau repong di antara tanaman keras yang tumbuh di antara tanaman komoditas HKm Maju Jaya, Tanggamus, Lampung. Para pemegang HKm hutan lindung berkewajiban merawat tanaman keras yang tumbuh di areal kelolanya. Mereka dilarang memungut hasil hutan kayu untuk memastikan fungsi lindung kawasan hutan. (Foto: Agus Prijono)

Page 20: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Tajuk-tajuk hutan yang berwarna warni menandakan ekosistem hutan yang masih sehat di kawasan Aek Mateo Jae, Desa Adiankoting, Kab. Tapanuli Utara.(Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Page 21: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Hidup Bermutu dengan MaduSebagai nelayan di hulu Sungai Kapuas, persisnya di Periau Penepian, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, penghasilan Junaidi (44), penuh ketidakpastian. Untuk menambah pendapatan, istrinya, Masitah (40) bekerja sebagai penderes karet. Itu pun tak bisa Masitah lakukan setiap hari. Suami–istri ini memiliki enam anak yang sebagian besar masih kecil dan masih butuh pengasuhan. Namun, keadaan ekonomi keluarga tersebut belakangan berangsur membaik. Beralihnya Junaidi dari nelayan menjadi petani tikung (lebah madu) di hutan pedalaman Kalimantan menjadi titik balik. Berkat kerja kerasnya dalam 1,5 tahun terakhir, Junaidi telah memiliki 250 tikung. Hasil yang diperolehnya dari delapan sarang sekitar 7 kilogram. Setiap bulan, dia bisa memanen 50-70 kilogram madu dengan pendapatan hingga Rp 5-7 juta. Bersama rekan-rekannya, Junaidi bergabung dalam Kelompok Periau Miman pada Subsentra Asosiasi Periau Mitra Penepian (APMP) di Kabupaten Kapuas Hulu. Di kelompok tersebut,

Junaidi, bahkan, terpilih sebagai ketua. “Saya tidak mempunyai bekal pendidikan untuk mencari kerja yang baik. SMP saja tidak lulus. Istri saya malah tidak lulus SD. Menjadi nelayan pilihan terpaksa. Jadi, sangat bersyukur ketika ada bantuan dana hibah untuk Kelompok Petani Tikung dari KEHATI melalui program TFCA-Kalimantan pada tahun 2016 lalu. Alhamdulillah, kini hasilnya kami rasakan,” kata Junaidi. Melalui program TFCA-Kalimantan, KEHATI sejak tahun 2016 menyalurkan dana hibah untuk mendorong pendapatan masyarakat di sekitar hutan di Kapuas Hulu melalui budi daya dan produksi madu hutan Kalimantan. Program diarahkan melalui empat kelompok tani tikung yang terbagi dalam Subsentra APMP, Subsentra Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS), Subsentra APMB, dan Subsentra APBS. Empat subsentra kelompok petani madu tersebut tergabung ke dalam Sentra Madu Hutan Kapuas Hulu yang kantornya berada di Kota Putussibau. Sentra Madu Hutan Kapuas Hulu ini menjadi pintu utama distribusi madu hutan ke konsumen yang dihasikan

masyarakat penggiat madu hutan Kapuas Hulu. Keberadaan sentra madu ini membuat komoditas madu Kapuas Hulu memiliki kejelasan pasar produk madu hutan dan kestabilan harga. Hal ini seperti yang dirasakan Nur Aini (32), ibu dua anak di Desa Nanga Bunut, Kapuas Hulu. Sebelum berkesempatan sebagai petani lebah madu Kalimantan, suami Nur Aini adalah seorang penebang kayu di hutan. Kini, profesi sebagai pembalak tersebut telah ditinggalkannya. Kini Nur dan suaminya, bahu membahu sebagai petani madu hutan. “Sejak harga madu diketahui telah disepakati bersama oleh kelompok dan dinilai lebih tinggi. Saya dan suami saya bekerja keras menjadi petani madu di hutan. Dulu, harga madu diperlakukan

39 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

Seorang staf koperasi Sentra Madu Hutan Kapuas Hulu, Putussibau, Kalimantan Barat, menunjukkan produk madu hutan Kalimantan yang diproduksi para petani binaan TFCA-Kalimantan melalui mitranya. Madu tersebut telah dikemas, diuji kualitasnya, dan siap dijual.(Foto: M. Burhanudin/KEHATI)

Petani madu hutan di Kapuas Hulu sebagian besar memanen madu hutan dari tikung. Tikung adalah dahan buatan (rafter) yang dipasang di pohon rendah sebagai tempat bagi lebah hutan (Apis dorsata) membuat sarangnya. (Foto: Hamda Khairuzani/KEHATI)

kayak murah kayak harga gula, cuma Rp 9.000 hingga Rp 15.000 per kilogramnya, tapi sekarang bisa sampai Rp 120.000,” kata Nur Aini. Pengembangan produk madu hutan merupakan salah satu upaya pengembangan produk hasil hutan butan kayu (HHBK) yang dilaksanakan KEHATI di Kapuas Hulu. Upaya ini diawali dengan pelatihan tentang panen madu lestari, pelatihan perencanaan dan manajemen bisnis, pengawasan hutan secara kolaboratif, maupun manajemen keuangan kelompok. Dari pemberdayaan terhadap hal-hal yang mendasar itu, para petani yang sebelumnya tak memiliki keahlian memadai dalam membudidayakan madu hutan dan mengelolanya, menjadi

terbuka wawasan dan bertambah keahliannya. “Produktivitas petani madu pun menjadi meningkat. Mereka semakin bersemangat menghasilkan madu, terlebih dengan harga yang semakin stabil dengan adanya sentra madu ini,” ujar Pengurus Sentra Madu Kapuas Hulu, Johansyah. Pengembangan komoditas madu juga menjadi salah satu upaya menyukseskan perhutanan sosial di Kalimantan. Melalui Program TFCA Kalimantan, KEHATI turut memfasilitasi pengajuan pengelolaan hutan desa dan praktik pengelolaannya dengan luasan mencapai 180.314 hektar hingga Oktober 2017 lalu, yang meliputi 23 desa di empat kabupaten: Kapuas Hulu, Kutai Barat, Berau, dan Mahakam Hulu.

TFCA Kalimantan melalui para mitranya juga melaksanakan penguatan lembaga pengelola hutan desa (LPHD). Upaya penguatan juga dilakukan kepada para kelompok tani secara langsung agar ke depan mereka siap untuk berkembang secara produktif dan lestari saat sudah mendapatkan izin pengelolaan hutan desa. Selain itu, dengan keterampilan yang baik dalam budi daya madu dan keterampilan manajerial yang terus berkembang, akan membuat mereka memiliki modal untuk tidak kembali jatuh pada perambahan hutan. Sesuatu yang lebih menjanjikan bagi hidup mereka dan kelangsungan keanekaragaman hayati hutan-hutan di Kalimantan. Hidup yang bermutu dengan madu. (Hamda Khairuzani/Mohamad Burhanudin)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 40

KapuasHulu:9Hutan Desa125.509ha

MahakamUlu:8Hutan Desa28.380ha

Berau:3Hutan Desa17.955ha

Kutai Barat:3Hutan Desa8.430ha

Perhutanan Sosial TFCA-Kalimantan

Page 22: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Rumah betang yang dihuni warga Dayak Iban, Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Foto: Yani Saloh/KEHATI)

Page 23: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Maryetha Samay, warga Desa Sungai Utik, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, masih terkenang betul. Ketika penebangan kayu marak pada tahun 1980-an, warga di desanya tidak pernah ikut-ikutan. Hal tersebut untuk satu alasan yang mereka sangat yakini: hutan harus dijaga karena sebagai warisan untuk anak cucu. “Masyarakat kami menolak perusahaan kayu meskipun mereka mendapatkan izin dari pemerintah,” tegas Samay penuh semangat saat ditemui di sela-sela perjalanan menuju ladang untuk memetik sayuran beberapa waktu lalu. Samay yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar ini adalah Ketua Kelompok Kerajinan Rumah Betang Sungai Utik, penghuni bilik Nomor 19. Rumah betang merupakan rumah adat khas Suku Dayak yang berbentuk memanjang, yang disekat menjadi bilik-bilik. Satu bilik bisa dihuni 2-3 keluarga. Sambil berjalan menelusuri hutan adat Sungai Utik, Samay menjelaskan kegiatan sehari-hari. Di samping mengajar, dia juga menderes karet, serta berladang di siang hari, dan menenun di malam hari. Penghasilan utama masyarakat Iban Sungai Utik adalah dari menoreh karet, di samping rotan, tengkawang atau gaharu. Rumah Betang Sungai Utik yang ditempati Samay, keluarga, kerabat, dan tetangganya telah ditetapkan sebagai

cagar budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 212 Tahun 2012. Pendampingan mengenai pemanfaatan rumah panjang sebagai sebuah obyek wisata dan situs masih minim dipahami oleh penghuni rumah betang terutama terkait pengelolaan. Gayung bersambut, keinginan masyarakat ini ditangkap oleh Konsorsium Pemberdayaan Ekonomi Hijau Kalimantan Barat (KUJAU Kalbar) yang dimotori oleh CU Keling Kumang, yang memasukan Sungai Utik sebagai bagian dari kegiatan ekowisata. Ada 29 bilik di Rumah Betang atau Rumah Panjang Sungai Utik, yang dihuni oleh masyarakat Iban. “Dengan pendanaan dari MCA-Indonesia kami tengah melakukan pembenahan 28 bilik di dalam rumah betang dan 18 di rumah penduduk berikut toilet dan 3 WC umum” jelas Hilarius Gimawan, koordinator proyek KUJAU Kalbar. Proyek yang telah berjalan 16 bulan ini difasilitasi oleh Yayasan KEHATI dan diresmikan pada November 2017. “Saat ini bilik-bilik kami sedang direnovasi, supaya kami bisa menerima tamu untuk tinggal dan mendapatkan penghasilan tambahan,” jelas Samay. “Tamu kelak akan lebih nyaman karena sebelumnya mereka tidur melantai bersama-sama kami dan tidak ada fasilitas kamar mandi,” tambahnya. Kegiatan pembangunan

penambahan ruang di dalam bilik ini merupakan bagian dari program penguatan ekonomi hijau melalui pemberdayaan masyarakat adat dan pemulihan lingkungan yang dilakukan oleh Konsorsium KUJAU Kalbar yang melibatkan kaum perempuan dalam pengelolaan kegiatan. Secara berkelompok, ibu-ibu yang tinggal di rumah betang diajarkan mengelola rumah adat tersebut sebagai tujuan wisata budaya, membuat aturan dan kegiatan yang dilakukan dengan basis kearifan lokal budaya Dayak Iban. “Kami ingin membangun rumah pengamat burung di atas pohon,” ujar Igoh bendahara Kelompok Kerajinan Rumah Betang Sungai Utik. Dulu, Igoh berkisah, banyak burung rangkong di sekitar rumah betang. Namun, saat ini agak susah untuk mendapatinya, dan harus masuk ke dalam hutan untuk dapat menemukannya. Untuk itu, kaum perempuan memasukan trek menjelajah hutan adat untuk mencari sarang burung rangkong sebagai jalur wisata, di samping kegiatan masuk hutan adat, memetik sayur di ladang, susur sungai dengan ban, kuliner, hingga atraksi budaya seperti anyaman, menenun, musik, tarian, tato, ukiran dan pusaka benda kuno suku Dayak Iban.

43 | Warta KEHATI | Januari 2018

Laporan Utama

Asesoris tarian Dayak Iban di Sungai Utik, Kalimantan Barat (Foto: Yani Saloh/KEHATI)

Apai Janggut sedang membaca. Apai adalah pimpinan di Rumah Betang Sungai Utik, yang juga tokoh penyelamat hutan adat di Sungai Utik. (Foto: Yani Saloh/KEHATI)

Permatadari Sungai Utik

Menjaga hutan

Melalui pengembangan wisata di desanya, warga di Desa Sungai Utik bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Dengan kesejahteraan yang bertambah mereka akan lebih bersemangat untuk turut menjaga hutan, seperti yang selama ini mereka selalu mereka jalankan. Saat pemerintah kini gencar mendorong hutan adat sebagai bagian dari Program Perhutanan Sosial, sejatinya Sungai Utik sudah mendeklarasikan wilayah hutannya menjadi hutan adat Iban Sungai Utik, dengan gagasan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” sesuai keputusan MK Nomor 35/2012. Desa ini juga memperoleh penghargaan desa pelestari hutan adat oleh MS Kaban, Menteri Kehutanan waktu itu. Masyarakat Dayak Iban memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan adatnya. Hukum adatnya menetapkan pembatasan penebangan kayu dan hanya diperuntukan untuk membangun rumah, maksimal tiga pohon dalam satu keluarga, lebih dari itu akan terkena sanksi adat. Demikian pula halnya dengan membunuh burung, terutama burung Murai akan kena sanksi adat hingga sebesar Rp 9 juta.

“Suara burung Murai ini merupakan penanda bagi kami kapan bisa mulai membangun rumah atau mulai berladang, supaya kami terhindar dari bala dan ladang kami subur,” tutur Samay yang masih meyakini hal tersebut. Apabila suara burung Murai belum terdengar, maka masyarakat belum boleh memulai kegiatan berladang atau membangun rumah. Kearifan lokal dan ritual adat suku Dayak Iban mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Hubungan dengan alam ini dijaga ketat dan menjadi dasar pengelolaan suku Dayak Iban untuk mengelola hutan adatnya seluas 9.452 hektar, yang terbagi menjadi hutan lindung adat, pemukiman, hutan produksi, dan hutan cadangan. Tanpa adanya hutan maka habitat burung murai atau burung rangkong dan jernihnya air akan hilang, di samping hutan merupakan “supermarket tanpa bayar” bagi masyarakat Sungai Utik, tempat masyarakat secara bebas memetik sayuran dan sebagai ketahanan pangan. Masyarakat Dayak Iban hidup dengan mengandalkan air yang mengalir di Sungai Utik dan hasil kebun serta ternak ayam dan babi. Hutan adat Sungai Utik menjadi

yang pertama memperoleh sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia dan pada tahun 2012 memperoleh penghargaan sebagai Desa yang melestarikan hutan adatnya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, hal ini masih belum dirasa “aman” oleh Apai Janggut selalu tetua adat Sungai Utik. “Oleh karenanya, kegiatan ekonomi tanpa merusak lingkungan dan menjaga budaya seperti program ekowisata berbasis kearifan lokal harus digalakan, sesuai tujuan utama dari kegiatan MCA-Indonesia meningkatkan ekonomi masyarakat yang rendah emisi karbon,” ujar Direktur Eksekutif KEHATI M.S. Sembiring. Rumah Panjang Sungai Utik merupakan salah satu kebudayaan hutan hujan tropis yang tersisa, di mana masyarakat suku Iban Sungai Utik dikenal sebagai komunitas penjaga hutan. Pembangunan ini digagas berdasarkan studi khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan pembenahan rumah panjang untuk mendukung bisnis ekowisata yang tetap tunduk terhadap peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya. (Yani Saloh)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 44

Pelatihan ekowisata yang melibatkan kelompok perempuan Rumah Betang Sungai Utik. (Foto: Yani Saloh/KEHATI).

Page 24: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Kanopi hutan hujan di Sumatera. Kanopi hutan yang rapat sebagai salah satu ciri kondisi hutan yang masih baik.(Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Page 25: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Inilah Indonesia mini. Permadani perairan mengelilinginya. Pulau-pulau mengambang di antara lautan berwarna hijau tosca, dengan kombinasi biru safir tembus pandang seperti kaca. Kekayaan alamnya melimpah,mulai dari laut, darat, hingga perut buminya. Tanahnya subur, tempat di mana rempah (buah pala dan bunga cengkeh), kelapa, sagu, serta beberapa buah-buah lokal (langsat, durian, manggis, nangka, pisang) tumbuh berkembang dengan jenak. Pala dan cengkeh adalah jenis rempah yang menjadi komoditas perniagaan dunia, dan daya tarik utama bagi datangnya sejumlah bangsa— terutama Portugal, Belanda, dan Inggris—ke Nusantara. Namun, sebagaimana banyak dihadapi oleh daerah-daerah kaya lainnya di Indonesia, Kepulauan Sangihe juga menghadapi tantangan yang tak mudah untuk menjaga kelestarian alam dan segala potensinya itu. Tantangan tersebut justru berasal dari sumber kekayaannya yang lain: tambang emas dan pasir besi. Sejak ditemukan beberapa tahun silam, aktivitas eksplorasi dan eksploitasi tambang emas—seperti di Kecamatan Tabukan Selatan (Desa Ojumahe) dan Manginitu Selatan (Desa Pintareng)—mulai menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian alam. Meski tak dapat dipungkiri, tambah tersebut juga menjanjikan kekayaan bagi sebagian warga. Tantangan lainnya adalah fakta bawah segala kekayaan yang dimiliki oleh Sangihe sebagian besar masih berupa potensi. Pengelolaan potensi secara baik dalam hal ini sangat diharapkan, tak semata demi mengeruk keuntungan ekonomis, tapi juga mengedepankan aspek kelestarian keanekaragaman hayati dari tiap ekosistem di kepulauan tersebut yang begitu beragam. Maka, mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian sumber nafkah dari pepohonan secara organik yang berkelanjutan menjadi jauh bernilai dan bijaksana ketimbang memburu rezeki yang sifatnya sesaat, misalnya menambang emas dengan menghancurkan lingkungan sekitarnya. Membuat model pengelolaan kekayaan alam Sangihe secara lestari atau berkelanjutan inilah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Sangihe bekerja sama dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Kerja sama yang telah dijalin

sejak tahun 2009 tersebut, pada dasarnya berisi upaya untuk menciptakan kesadaran masyarakat Sangihe akan potensi alam di daerahnya, baik ekosistem laut dan pesisir, ekosistem pertanian (kebun milik rakyat), maupun ekosistem hutan. Kesadaran masyarakat perlu ditumbuhkan agar dalam memanfaatkan seluruh hasil alam mereka tetap memperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Kerja sama tersebut nantinya diharapkan akan menghasilkan pengetahuan dan praktik yang dapat menjadi model untuk membangun wilayah lain di Indonesia.

Kabupaten Organik

Sebagai wilayah yang dihuni gunung-gunung berapi, Kepulauan Sangihe memiliki tanah yang subur sebagai dampak dari debu letusan vulkanik. “Kesuburan tanah tersebut memungkinkan wilayah ini tumbuh sebagai salah satu lumbung bagi sejumlah komoditas perkebunan nasional, terutama

pala, kelapa, dan sagu,” kata Manajer Program Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) Puji Sumedi, Jumat (17/11). Tidak hanya menyuburkan, debu vulkanik dari gunung berapi di Sangihe juga membuat para petani tak lagi harus menggunakan pupuk kimia buatan pabrik untuk menumbuhkan dan menyuburkan berbagai tanaman pertanian maupun perkebunan. Dengan tanah yang kaya akan mineral serta hara, seluruh proses produksi pertanian dan perkebunan di Sangihe sudah mencukupi syarat organik. Maka, bukan hal yang berlebihan jika pada Kamis, 16 November 2017, Bupati Sangihe Jabes Gaghana, mendeklarasikan wilayahnya sebagai kabupaten organik. Deklarasi tersebut dilaksanakan bersama sejumlah perwakilan lembaga yang selama ini turut mengupayakan program organik di kabupaten ini, yaitu: Yayasan KEHATI, Burung Indonesia, YAPEKA, SAMPIRI, dan Ford Foundation. Barangkali, inilah kabupaten pertama di Indonesia yang menyebut

47 | Warta KEHATI | Januari 2018

Bahari

Pemandangan Teluk dan Kota Tahuna dilihat dari Puncak Pusunge, Kampung Lenganeng Tabukan utara. Tempat yang juga tepat bagi para penikmat matahari tenggelam. (Foto: M.Syarifullah/KEHATI)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 48

diri sebagai kabupaten organik. Meski diakui oleh Jabes, untuk mewujudkan diri sebagai kabupaten organik sepenuhnya masih memerlukan waktu dua tahun. Oleh karena itu, dia berharap, KEHATI terus memberikan dukungan kepada petani di Kabupaten Sangihe guna mewujudkan status sebagai kabupaten organik. Upaya Sangihe untuk tumbuh sebagai kabupaten organik sudah diretas sejak lama. Sebagai bagian dari upaya tersebut, sejak tahun 2009, pemkab wilayah ini menjalin kerja sama dengan KEHATI, dengan menempatkan pertanian organik sebagai perhatian utama. Kerja sama tersebut diarahkan pada upaya mendorong produk-produk pertanian dan perkebunan tersebut ke pasar ekspor, termasuk ke ceruk pasar khusus. Dengan mengembangkan pertanian organik, komoditas pertanian di Sangihe memiliki potensi dan peluang besar untuk masuk ke pasar internasional dan ceruk pasar khusus, yaitu pasar produk organik. Upaya tersebut diawali dengan

memfasilitasi sekitar 300 anggota masyarakat untuk berhimpun dalam organisasi berbentuk koperasi. Mereka tergabung dalam kelompok swadaya masyarakat Asosiasi Petani Organik (APO)-Komunitas Masyarakat Sangihe Mandiri (Komasa). KEHATI kemudian memfasilitasi APO-Komasa mendapatkan sertifikasi organik dari International for Marketecology (IMO), lembaga sertifikator produk organik untuk pasar Eropa. Komoditas perkebunan di Sangihe yang telah mendapatkan sertifikasi IMO antara lain, pala, sagu, dan kelapa. Sertifikasi ini meliputi delapan kampung yang beranggotakan sekitar 300 petani di Sangihe, dengan hasil panen mencapai kurang lebih 500 ton per tahun. Dengan sertifikasi ini, komoditas perkebunan dari Sangihe memiliki lisensi organik untuk bisa masuk ke pasar Eropa. Sertifikasi IMO juga merupakan bagian dari upaya mengangkat kembali pala Sangihe ke pasar internasional. Kualitas pala Sangihe yang dipastikan organik menjadi nilai plus bagi produk ini untuk hadir di pasar khusus dengan harga yang lebih mahal. Petani-petani mulai menyadari peluang besar tersebut, sehingga mereka terdorong untuk secara konsisten menghindari pupuk dan pestisida kimiawi. Dengan cara itu, lingkungan mereka terjaga, ekspor pala meningkat, dan warga pun lebih sejahtera. Pada masa datang, jumlah petani yang mendapatkan sertifikasi diupayakan terus bertambah.

Sagu

Selain rempah-rempah, kelapa, ikan, dan sagu adalah potensi lain yang sangat vital bagi masa depan kemandirian pangan Sangihe. Secara turun-temurun, sagu merupakan makanan pokok masyarakat Sangihe. Tanaman ini tumbuh subur dan bertebaran di hampir seluruh wilayah Sangihe. Namun, sedikit demi sedikit, peran sagu mulai tergeser oleh beras sebagai makanan pokok. Luasan tanaman sagu dari waktu ke waktu menurun. Dinas Pertanian Kabupaten Kepulauan Sangihe mencatat, pada tahun 2001 pohon sagu tumbuh pada lahan 3.042 hektar, dengan luas panen sekitar 2.985 hektar, dengan produki 14.957 ton. Pada tahun 2010, luas areal tanaman sagu secara tinggal 398,5 hektar, dengan produksi 713,14 ton, tersebar di 15 kecamatan. Oleh karena itu, pemerintah

setempat harus mengangkat kembali sagu sebagai bakanan pokok. Dengan produksi yang mencukupi, sagu akan dapat kembali hadir sebagai sebagai bahan makanan pokok. Terlebih, jika konsep organik juga secara konsisten diterapkan untuk komoditas ini. Dengan upaya itu, peluang ekspor untuk produk khas tersebut menjadi terbuka. Sagu berpotensi besar sebagai penopang ketahanan pangan Sangihe. Sebagai wilayah kepulauan, Sangihe sangat mengandalkan transportasi laut dan udara yang rentan dengan perubahan cuaca. Padahal, sebagai dampak dari perubahan iklim, cuaca sering kurang bersahabat dan tak terprediksi. Dengan kembali kepada sagu, warga Sangihe tak perlu khawatir dengan ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim. Di samping itu, keberadaan sagu sebagai vegetasi asli sangat penting artinya bagi keseimbangan ekosistem di kepulauan tersebut. Dengan demikian, kembali ke sagu juga bermakna pelestarian keanekaragaman hayati di Sangihe. Mengembalikan kejayaan sagu, memacu potensi sektor pertanian berbasis organik, serta mendorong tumbuhnya sektor perikanan, menjadi pertaruhan penting sekaligus menentukan bagi masa depan Sangihe. Hanya dengan cara itu, masyarakat dan pemangku kepentingan tak lagi tergoda mengeksploitasi tambang di perut bumi kepulauan tersebut, agar kilau Sangihe tetap terawat. (Mohamad Burhanudin)

Teluk Talengen, Kecamatan Tabukan Tengah, Kabupaten Sangihe.( Foto: M.Syarifullah/KEHATI)

Merawat Kilau Sangihe

Page 26: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Binaran Asa di Balik Bilah Bambu

Wajah Jatnika Nanggamiharja (62) berbinar begitu rombongan tamu dari berbagai negara itu tiba di rumahnya. Mereka para delegasi Asia Pacific Conservation Trust Fund (APNET) yang Jumat (8/12) pagi itu datang ke tempat Jatnika bersama Tim Yayasan KEHATI untuk menimba pengalaman tentang budi daya bambu dan pengolahannya. “Saya senang bisa berbagi dengan siapa saja, apalagi dengan tamu-tamu dari jauh ini,” ujarnya sembari mempersilakan para tamu duduk di sebuah aula yang dibangun dengan konstruksi bambu beratap ijuk yang terletak di salah satu sudut pekarangan rumahnya yang asri di Kawasan Bumi Cibinong Indah, Bogor, Jawa Barat. Jatnika meyakini, bambu adalah penyelamat lingkungan. “Sebab, bambu dapat menyimpan air dan oksigen. Bahkan, bisa menahan longsor,” imbuhnya. Kecintaan Jatnika terhadap bambu membawanya mendirikan Yayasan Bambu Indonesia. Di yayasan ini, sejak bertahun-tahun lalu, dia melakukan pembinaan kepada masyarakat tentang bagaimana menanam, mengawetkan,

memilih, dan memanfaatkan bambu. Di tangannya, bambu bisa disulap menjadi apa saja. Mulai rumah yang menawan, beragam alat musik, kerajinan tangan, hingga meja kursi. Setiap tahun, ia mampu membuat empat rumah dari bambu yang mampu tahan hingga puluhan tahun. Dia juga eksportir bambu yang sukses. Lewat Yayasan Bambu Indonesia pula, Jatnika telah menanam bambu hingga lebih dari 3.000 hektar sejak tahun 1996. Dia juga tak pelit membagi ilmunya kepada siapa saja. Altruisme dan komitmen teguh Jatnika lewat bambu itulah yang kemudian membawanya meraih penghargaan Kalpataru dari Presiden Joko Widodo, 5 Juni 2015 lalu, untuk kategori Penyelamat Lingkungan. “Kewajiban saya menanam bambu. Hidup saya untuk bambu,” tegas salah satu mitra Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dalam budi daya bambu ini. Meskipun bambu merupakan jenis tanaman yang sangat mudah ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia, sesungguhnya orang yang memiliki

kesadaran besar akan arti penting bambu dan tekad pengembangan seperti Jatnika, belum banyak serta belum tumbuh secara kuat betul di negeri ini.

Kaya potensi

Keberadaan tanaman bambu cenderung diabaikan. Banyak warga yang memilih membabat rerumpunan bambu karena dianggap kurang berguna dan menakutkan. Situasi tersebut membuat tanaman bambu terancam mengalami kepunahan. Jika terus dibiarkan,maka akan mengganggu keseimbangan ekosistem. “Ini tentu mengkhawatirkan. Untuk fungsi dan manfaatnya yang begitu besar, upaya penanaman dan budi daya bambu di negeri ini masih relatif kurang,” kata Manajer Program untuk Ekosistem Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi. Secara ekologis, tanaman bambu sangat membantu dalam meningkatkan cadangan air bawah tanah. Pertumbuhannya sangat cepat, dan tak memerlukan perawatan khusus. Keberadaannya berguna bagi usaha konservasi lahan kritis dan daerah aliran

49 | Warta KEHATI | Januari 2018

Pertanian

Para peserta delegasi Asia Pacific Conservation Trust Fund Network berfoto bersama tim KEHATI seusai mengunjungi Yayasan Bambu Indonesia di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 8 Desember 2017 (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

sungai. Bambu juga menyimpan potensi pengembangan bagi ekonomi nasional. Pada tahun 2016, komoditas ini menyumbang pendapatan ekspor senilai Rp 6 triliun, dan menempatkan Indonesia sebagai pengekspor bambu terbesar ketiga di dunia, setelah China dan India. Indonesia merupakan rumah bagi 160 spesies bambu dari 1.200 – 1.400 spesies yang ada di dunia, di mana 88 di antaranya adalah spesies khas yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Spesies khas itu tak tumbuh di negara lain. Dari aspek sosial budaya, masyarakat Indonesia mengenal bambu sebagai bagian dari kehidupan mereka dari lahir sampai mati. Bambu juga menjadi salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat. Batang bambu dapat dijual gelondongan atau diolah menjadi aneka produk alat rumah tangga, hiasan, bangunan, mebeler, alat musik, flooring, tusuk gigi, sate, dupa, dan sebagainya. Sementara, akar bambu dimanfaatkan untuk aneka hiasan, sedangkan tunas bambu muda dimanfaatkan untuk rebung. Dengan lahan potensial yang masih luas untuk bisa ditanami bambu, Indonesia berkesempatan mendorong produktivitas bambu dan kapasitas ekspornya. Terlebih, bambu bisa ditanam di lahan-lahan kritis, sekaligus sebagai tanaman yang berfungsi untuk merehabilitasi lahan yang ada. Sebagai eksportir bambu terbesar ketiga di dunia, Indonesia baru

menguasai pangsa pasar di bawah 10 persen. Masih sangat jauh dibandingkan China yang mencapai kisaran 40 persen. Eropa adalah contoh importir sekaligus eksportir yang menarik. Meskipun mereka bukan negara produsen, selama ini mampu mengekspor produk olahan bambu. Mereka mendatangkan bambu dari berbagai tempat di dunia untuk diolah dan dijual kembali sebagai produk olahan. Pelajarannya, mendorong keterampilan produsen atau petani bambu untuk dapat mengolah bambunya menjadi komoditas olahan, akan memberi peluang pasar lebih besar. Pemanfaatan yang memberikan nilai tambah inilah yang juga masih menjadi pekerjaan rumah di negeri ini. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang mengemban visi pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, dalam beberapa tahun terakhir Yayasan KEHATI memberi perhatian lebih pada konservasi tanaman bambu. Salah satu upaya yang telah dijalankan adalah penanaman pohon bambu di sejumlah provinsi, di antaranya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Program pelestarian bambu ini telah dijalankan sejak tahun 2009. “Kami selalu terbuka untuk bekerja sama dengan semua pihak. Pelestarian lingkungan adalah tugas bersama. Dan kami yakin, sebenarnya banyak warga masyarakat dan korporasi ataupun pelaku bisnis yang sesungguhnya

memiliki keinginan untuk terlibat dalam kegiatan seperti ini,” ujar Puji.

Pascapanen

Program pelestarian bambu ini tak berhenti pada penanaman saja, tapi juga meliputi kegiatan pascapanen, seperti pelatihan budi daya, pemberdayaan petani, peningkatan kapasitas, dan pengolahan bambu. Hal ini seperti yang selama ini telah dijalankan KEHATI dalam kegiatan-kegiatan pelestarian terdahulu. Beberapa kegiatan pelestarian bambu yang telah dilakukan KEHATI di antaranya penanaman bambu di kawasan Gunung Masigit, Bandung Barat, Sumedang, Indramayu, Museum Gunung Merapi (yang totalnya mencapai 10.500 bibit), lalu daerah aliran sungai Pesanggarahan, Cisadane, dan Ciliwung (yang totalnya sebanyak 5.500 bibit). KEHATI sebelumnya juga telah mengadakan kegiatan penanaman di 3 desa adat di Bali, yaitu Desa Renon, Hutan Selat dan Pupuan, Tabanan dan Gianyar, dengan jumlah total sebanyak 7.500 bibit. Di Pulau Flores, KEHATI mendukung penanaman bambu di sekitar DAS dan mata air di Manggarai Barat, Manggarai, Ende, dan Flores Timur, yang masing-masing kawasan sebanyak 1.500 bibit. Melalui upaya intens yang mencakup pelatihan budi daya, pemberdayaan petani, peningkatan kapasitas, dan pengolahan bambu, ke depan diharapkan muncul Jatnika-Jatnika baru di Indonesia. (Mohamad Burhanudin/Ahmad Baihaqi)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 50

Jatnika (tengah) sedang menjelaskan manfaat peranan bambu di alam kepada para peserta delegasi Asia Pacific Conservation Trust Fund Network di Yayasan Bambu Indonesia di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, 8 Desember 2017 (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Jatnika (kiri) mengajari salah seorang peserta delegasi Asia Pacific Conservation Trust Fund Network cara memainkan suling bambu, produksi Yayasan Bambu Indonesia, 8 Desember 2017. (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Page 27: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Kado Manis Sang Penjaga Mandat Hutan AdatDarlismi Patih (60), lelaki yang menjabat sebagai Ketua Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam itu menjelaskan tentang kondisi desa mereka beberapa tahun yang lalu. Banjir besar pernah melanda desa mereka, Pungut Mudik,Kerinci. Wilayah ini terletak di cekungan bentang alam Kerinci Seblat. Letaknya berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). “Dari tahun 1999 masyarakat memang yang meminta kalau hutan adat ini perlu dicadangkan. Setelah melalui proses panjang baru pada tahun 2013, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam disahkan oleh bupati (menjadi hutan adat)” jelas Darlismi. Hutan tersebut, merupakan harapan masyarakat untuk sumber air bersih dan minum, irigasi, menjaga dari bencana (longsor, erosi, dan banjir) dan sumber obat-obatan. Masyarakat paham ikhwal kawasan konservasi dengan versi mereka. Alas yang disebutkan oleh Darlismi memang terlihat mencolok dibanding kawasan hutan sekitarnya. Dari luar rimbanya masih memiliki kerapatan

yang bagus. Areal ini menurutnya menjadi tempat tinggal bagi satwa, seperti kijang, rusa, beruang, dan harimau Sumatera. Luas hutan tersebut mencapai 276 hektar dan kebanyakan tumbuhannya didominasi oleh meranti, kemenyan, medang hijau, dan medang kuning. Adapula pinus merkusii strain kerinci atau masyarakat mengenalnya dengan kayu sigi. Pohon ini merupakan endemis di Kerinci Seblat dan tidak bisa tumbuh di daerah lain. Aturan adat melarang konversi hutan tersebut menjadi kebun atau areal perladangan, serta tidak boleh diambil pohonnya. Norma berlaku menyebutkan “barang siapa yang kedapatan mencuri kayu akan didenda Rp 1,5 juta”. Boleh menebang pohon asalkan digunakan untuk kebutuhan masyarakat umum, misalnya untuk pembuatan balai desa. Itu pun harus mengganti satu pohon yang ditebang dengan menanam 10 bibit kayu yang sama. Meski sudah ditetapkan sebagai hutan adat, areal tersebut tetap diincar oleh perambah. Tetapi, ancamannya berkurang dibandingkan dahulu sebelum ditetapkan. Sebagian besar perambah

berasal dari luar desa. Untuk menjaga Jenggala dari serbuan pencuri, masyarakat Pungut Mudik selalu melakukan patroli minimal tiga bulan sekali. Satu tim patroli terdiri dari 15 orang. Selain patroli, mereka juga berjaga-jaga ketika ada kabar perambah masuk ke dalam hutan. Biasanya warga akan memberikan informasi jika ada perambah yang muncul. Mereka saling bekerja sama untuk menjaga hutan.

Menjadi hutan adat

Lembaga Tumbuh Alami (LTA) dengan bantuan pendanaan dari Tropical Forest Conservation Action – Sumatera (TFCA-Sumatera) mendampingi masyarakat untuk melakukan beberapa proses penetapan hutan adat. Di antaranya, mereka melakukan verifikasi lapangan, survei flora fauna, survei tata batas, pemetaan hutan, dan membentuk kelembagaan adat. Kemudian mengajukan draf surat keputusan bupati

51 | Warta KEHATI | Januari 2018

Kehutanan

Darlismi Patih, Sang Ketua Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam. Foto oleh Yudha An/TFCA Sumatera/KEHATI)

disertai aturan-aturan adat yang mengikat pengelola hutan. “Kami yakin, hutan adat ini menjadi penting karena ini merupakan benteng taman nasional. Ketika hutan dikelola masyarakat adat itu lebih baik dan terjaga” tutur Direktur LTA, Ema Fatma. Senyatanya, masyarakat memang lebih taat dengan aturan adat. Kedudukan hukum dan aturan adat di tengah-tengah masyarakat lebih tinggi daripada hukum yang lain. Ema kemudian menjelaskan, selain mendampingi penetapan, pihaknya juga melakukan upaya peningkatan ekonomi masyarakat. “Pendampingan saja tentu belum jadi muara keberhasilan. Tantangan ke depan adalah menjaga hutan adat dan aturan adat agar tetap lestari,” kata Ema. Saat ini, Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam telah diupayakan dalam skema karbon. Penelitian dari Akar Network menunjukan jika di hutan ini ada

86 ton karbon yang tersimpan. “Kami juga mengajukan standar sertifikasi Plan Vivo dan sudah dibuat project inditification note (PIN). Sudah direvisi oleh plan vivo dan akan dilanjutkan ke project design document (PDD),” sambungnya. Ke depan, LTA berencana mendorong masyarakat Pungut Mudik untuk membudidayakan kopi arabika di daerah peladangannya (Pemetik Kecil, Renah Pemetik). Lembaga yang masuk dalam Konsorsium Akar Network ini ingin meneruskan sukses mereka dengan masyarakat Kemantan.

Kado manis

Penantian panjang masyarakat Pungut Mudik akhirnya tidak sia-sia. Sebelumnya, hutan mereka cuma diakui dengan hak “kelola” dengan Surat Keputusan Bupati Kerinci Nomor SK 522.21/Kep.373/2013. Namun, akhir tahun 2016 mereka diganjar kado akhir tahun yang manis. Atas kesetian mereka

menjaga hutan, bersama tujuh kawasan adat lain mendapatkan pengakuan dari pemerintah (hutan adat). Bagi LTA dan TFCA-Sumatera, selain Hutan Adat Tigo Luhah Permenti, ada Hutan Adat Tigo Luhah Kemantan yang masuk dalam penetapan hutan adat pertama ini. Penetapan ini merupakan klimaks dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 atau dikenal dengan MK35. MK 35 ini sebagai koreksi terhadap UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Revisi dilakukan dalam rangka menanggapi permohonan pengujian konstitusionalitas sejumlah ketentuan UU 41/1999 yang menyangkut status dan penetapan hutan adat, serta bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat (MHA). Putusan tersebut menghapus “negara” di dalam hutan adat. Bisa dibilang putusan ini mengembalikan hak hutan adat kepada masyarakat. (Yudha Arif Nugroho)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 52

Kawasan Hutan Adat Tigo Luhah Permenti Yang Berenam, salah satu hutan adat di Jambi. Hamparan ekosistem ini mampu menjadi penyedia air dan hara untuk kawasan sekitar. (Foto: Yudha AN/TFCA Sumatera/KEHATI)

Page 28: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Kawasan hutan yang masih alami di daerah Jambi (Foto: Ali Sofiawan/TFCA Sumatera/KEHATI)

Page 29: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Mengenal Raja Rimba Sumatera dan Jawa Di habitatnya, harimau merupakan satwa pemangsa teratas di dalam jaringmakanan. Maka tidak heran, mereka kerap disebut sebagai raja rimba. Dari delapan subspesies harimau yang ada di dunia, kini hanya tersisa lima subspesies yang masih bertahan hidup di muka bumi. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) kini menjadi satu-satunya kucing besar yang ada di Indonesia, dengan status kritis dan sangat terancam punah (dinyatakan The International Union for Conservation of Nature and Resources/IUCN). Laju deforestasi yang tinggi, perburuan, dan perubahan alih fungsi hutan menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah harimau di alam. Selain itu, angka kelahiran rendah, angka kematian anak cukup tinggi, tingkat ancaman tinggi dan rendahnya populasi mangsa merupakan faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi jenis di alam. Sebelum tahun 1990, status, distribusi, dan ancaman terhadap populasi harimau Sumatera di alam sebagian besar tidak diketahui. Pada tahun 1985, diperkirakan ada sekira 800 ekor (Santiapillai & Widodo, 1985). Kini, belum diketahui secara pasti berapa populasi harimau Sumatera Siswomartono (1994) menyatakan, 400 ekor harimau diduga hidup di kawasan-kawasan konservasi, sedangkan 100 ekor lainnya hidup di kawasan yang tidak dilindungi, yang cepat atau lambat areal non konservasi tersebut akan berubah menjadi lahan perkebunan atau pertanian. Angka tersebut tentu telah berkurang seiring perburuan, alih fungsi lahan, dan deforestasi. Indonesia memiliki peranan penting dalam hal pelestarian harimau di dunia karena memiliki tiga subspesies, dua spesies di antaranya, yaitu harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica) telah dinyatakan punah. Meskipun secara umum kebiasaan hidup harimau Jawa sama dengan harimau lainnya, namun berdasarkan fisiknya, sosok harimau Jawa memperlihatkan ciri khas yang jauh berbeda. Ukuran tubuh rata-rata harimau Jawa lebih besar dibandingkan dengan harimau Sumatera dan harimau Bali. Bahkan, sedikit lebih besar dari harimau Malaya dengan panjang rata-rata 200-245 cm. Berat tubuh individu jantan berkisar antara 100-140 kilogram (kg) dan individu betina berkisar antara 75-115 kg.

Dari jejak dan kotoran yang ditinggalkan, diketahui bahwa harimau Jawa tergolong predator yang oportunis. Harimau Jawa akan memangsa satwa apa saja yang dapat ditemukan selama menjelajahi hutan. Rusa (Muntiacus muntjak) dan babi hutan (Sus scrofa) adalah makanan favoritnya. Satwa lain seperti: banteng (Bos javanicus), monyet-ekor panjang (Macaca fascicularis), trenggiling (Manis javanica), ular, hingga ayam hutan juga termasuk dalam menunya. Hingga pertengahan abad ke 19 (tahun 1850), harimau Jawa masih banyak ditemukan di seluruh pelosok Pulau Jawa. Bagi penduduk lokal yang tinggal di daerah pinggiran pedesaan dan pemerintah kolonial Hindia-Belanda saat itu, harimau Jawa dianggap sebagai hama karena seringkali mencuri dan memangsa hewan ternak, seperti kambing dan domba. Sejak itu, kerap terjadi konflik dan perburuan. Hilangnya hutan-hutan di Jawa juga turut mempercepat punahnya harimau Jawa.

Harimau dan legenda lokal

Meski dulunya sama-sama memiliki spesies harimau, masyarakat Jawa dan Sumatera memiliki perbedaan

unik dalam memaknai hewan karnivora ini. Di Jawa, khususnya di Keraton Kasunaan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, harimau menjadi pusat tontonan. Mereka akan diadu dengan banteng atau menjadi sasaran menombak, dikenal dengan rampogan matjan. Sedangkan, di Sumatera tidak ditemukan demikian. Peter Boomgaard, sejarawan asal Belanda dalam bukunya Frontiers of Fear, Tigers and People in the Malay, 1600-1950 mengatakan bahwa Kerajaan Sumatera tidak memiliki budaya seperti di Jawa. Masyarakat sekitar hutan di Sumatera menghormati harimau Sumatera sebagai leluhurnya. Misalnya, masyarakat Sumatera Barat dan Jambi memanggil dengan sebutan “Datuk”. Salah satu suku di Jambi percaya bahwa keberadaan hewan belang ini dapat menjadi penanda alam. Lain lagi dengan masyarakat Batak, mereka memanggil dengan “Opung”. Sejatinya, keduanya merupakan panggilan hormat. Namun, sayangnya keadaan tersebut berbeda dengan saat ini. Hari ini, harimau Sumatera mengalami ancaman perburuan, perdagangan liar, kehilangan habitat karena deforestasi, degradasi dan kebakaran hutan. (Ahmad Baihaqi/Yudha Arif Nugroho)

55 | Warta KEHATI | Januari 2018

Tahukah Anda

Perbedaan morfologi harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) (atas) dengan harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) (bawah) (Foto: Cakrawala-Wordpreåss).

Pertolongan pertama pada gigitan ular berbisa dibutuhkan agar mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, antara lain sebagai berikut:

1. Tetap TenangPanik dan cemas adalah hal yang wajar. Namun, Anda harus tetap tenang agar penanganan dapat dilakukan secara benar

2. Menjauhi LokasiKetika baru saja digigit ular, Anda harus menjauhi lokasi tempat Anda digigit oleh si ular.

3. Tidak Banyak BergerakKorban gigitan ular harus membatasi selalu diharapkan untuk tidak banyak bergerak. Membatasi gerakan adalah hal yang penting ketika baru saja digigit ular.

4. Melepas Semua Perhiasan dan AksesorisLepaskan semua perhiasan dan aksesoris yang menempel pada tubuh. Hal ini juga sangat penting, dikarenakan ada kemungkinan pembengkakan setelah digigit ular.

5. Memosisikan Tubuh dengan BenarKetika gigitan ular terdapat pada area tangan, Anda perlu mengupayakan tangan tak terangkat tinggi-tinggi apalagi setara dengan jantung.

6. Mengikat Area Atas yang Digigit UlarPengikatan perlu dilakukan dengan kencang dan kendurkan setiap 15 menit sekali dengan lama waktu pengenduran ikatan 1 menit lamanya.

7. Membersihkan LukaBersihkan luka gigitannya. Namun Anda tidak diperkenankan menggunakan air. Cobalah untuk menggunakan kain bersih dan kering untuk menutup luka tersebut.

8. Tidak Memotong Area GigitanMemotong area pada tubuh yang digigit ular menggunakan pisau atau alat tajam lainnya tidak diperkenankan karena sangat berisiko meningkatkan kondisi yang lebih parah.

9. Tidak Mengisap RacunHal seperti ini tidaklah disarankan untuk dilakukan, apalagi bila dilakukan dengan mulut. Hal ini justru berisiko tinggi, racun semakin menyebar ke anggota tubuh lain melalui mulut.

10. Tidak Minum atau Makan ApapunApapun yang masuk ke dalam tubuh korban setelah digigit ular, berkemungkinan membuat penyerapan racun lebih cepat oleh tubuh.

11. Tidak Minum Obat SembaranganKorban tidak boleh diberi apapun melalui mulut. Obat tanpa resep dari dokter adalah langkah yang dapat membahayakan diri korban.

12. Pergi ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Terdekat

IGD sangat dibutuhkan oleh korban gigitan ular. Membawa korban langsung ke IGD tentu merupakan langkah tepat, apalagi jika ular yang menggigit adalah ular berbisa. (Ahmad Baihaqi)

Pertolonganpertama saat

digigitular

Tips

Salah satu jenis ular berbisa tinggi asli Indonesia, ular hijau ekor merah (Tropidolaemus subannulatus) (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI)

Mengidentifikasi ular serigala, salah satu jenis ular berbisa yang hidup di Indonesia. (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 56

Page 30: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Pagi masih buta, saat kami berdua puluh dengan misi sama telah berada di tepi Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur. Sesekali kami saling bertukar cerita dan memeriksa ponsel. Tidak terasa jarum jam meluncur cepat. Akhirnya, apa yang kami nantikan tiba, awan mendung pagi berduyun pelan, memberikan celah untuk sinar mentari menerobos ranting-ranting perpohonan. Ya, pagi itu kami, Biodiversity Warriors, hendak “Menggeledah” Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur. Kegiatan ini merupakan bagian dari perayaan Hari Keanekaragaman Hayati Internasional tahun 2017 yang jatuh pada tanggal 21 Mei. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) bersama Biodiversity Warriors, dengan mengambil tema Biodiversity and Sustainable Tourism. Gigitan nyamuk menyerang. Namun, hal tersebut tidak membuat semangat kami luntur untuk melakukan pengamatan dan mendokumentasikan potensi keanekaraagaman hayati Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur. Di Sungai ini, kami mengamati satwa liar dan pepohonan di sepanjang jalur pengamatan dan menyusuri sungai dengan menggunakan perahu. Tidak perlu menyusur terlalu jauh, baru sekitar 50 meter menyusuri sungai, indra penglihatan kami disambut oleh penampakan biawak air tawar (Varanus salvator) yang sedang berjemur (basking) di tepi sungai dan burung raja-udang meninting (Alcedo meninting). Titik pertama pengamatan jatuh pada jejeran pohon loa (Ficus racemosa) yang

TFCA Kalimantan bekerja sama dengan Biodiversity Warriors-Yayasan KEHATI dan Universitas Mulawarman melakukan pengamatan, pendataan, dan pendokumentasian keanekaragaman hayati di Kampung Linggang Melapeh dan Kampung Penarung Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur pada bulan Agustus – September 2017. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Gunung Menaliq, Biodiversity Wariorrs (BW)mengidentifikasi 137 jenis pohon. Jenis pohon yang mendominasi di Kawasan Gunung Menaliq adalah meranti (Shorea sp.). Selain itu, didapati ada 115 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk mengobati beberapa jenis penyakit. Selain vegetasi dan tumbuhan obat, berbagai jenis satwa liar tidak luput dari pengamatan yang dilakukan oleh gerakan pemuda yang diinisasi oleh Yayasan KEHATI tersebut. BW berhasil mengidentifikasi 59 jenis burung. Tidak hanya burung, di kawasan ini juga terdapat beberapa jenis mamalia yang dilindungi oleh UU No.5 Tahun 1990 dan PP No. 7 Tahun 1999, seperti beruang madu (Helarctos malayanus), bekantan (Nasalis larvatus), dan owa Kalimantan (Hylobates muelleri). Di Kampung Linggang Melapeh, pengamatan difokuskan di sekitar Kawasan Wisata Gunung Eno dan Danau Aco. BW berhasil mengidentifikasi 112 jenis tumbuhan obat dan 33 jenis burung. Pada lokasi tersebut, juga dijumpai bekas cakaran macan dahan (Neofelis nebulosa) pada pohon.

merupakan pohon khas pinggiran sungai. “Bagian matanya dikelilingi garis hitam!” seru Indeka. “Tubuhnya?” balas Ayumitia yang mencatat pengamatan Indeka.Mata Indeka kembali mengidentifikasi lalu menyahut, “Tubuhnya berwarna cokelat dengan garis putih di bagian punggungnya.” Keduanya kompak bekerja sama dalam pengamatan hari itu. Catatan pengamatan tersebut dicocokkan dengan foto satwa liar yang ada di buku Geledah Jakarta, Menguak Potensi Keanekaragaman Hayati Ibu Kota, yang disusun oleh Biodiversity Warriors, Yayasan KEHATI. Di titik pertama tersebut, kami berhasil mengidentifikasi beberapa jenis satwa liar, di antaranya: bunglon taman (Calotes versicolor) yang sedang beristirahat, burung kokokan laut (Butorides striata) sedang mengintai mangsa dan kupu-kupu papilio demoleus

Jenis primata yang berhasil dijumpai cukup beragam, seperti lutung hitam (Presbytis frontata) dan Owa Kalimantan (Hylobates muelleri), yang masih tergolong umum di kawasan ini. Jenis primata malam, seperti tarsius, hanya terdengar suara dan ditemukan sarang. Pada sepanjang jalur sungai yang telah mengering, ditemukan sarang landak (Hystrix brachyura). Selain itu, berbagai jenis satwa liar yang masuk ke dalam herpetofauna, yaitu reptil dan amfibi juga berhasil diamati, seperti sanca batik (Phyton reticulatus), ular pohon (Gonyosoma sp.)

sedang terbang mencari bunga. Matahari semakin naik ke ubun-ubun. Kami mencukupi pengamatan hari itu. Kami berhasil mengidentifikasi 8 jenis herpetofauna, 16 jenis burung, 4 jenis capung, 1 jenis mamalia, dan 10 jenis kupu-kupu. BW merupakan gerakan anak-anak muda yang mengemban misi memopulerkan keanekaragaman hayati Indonesia, serta mengampanyekan pentingnya konservasi keanekaragaman hayati kepada publik. Gerakan ini diinisiasi oleh Yayasan KEHATI. Hingga Desember 2017, anggota BW tercatat sebanyak 1.812 orang. Mereka adalah anak-anak muda pada rentang usia 17-30 tahun dari berbagai provinsi di Indonesia. Selain capture nature, kegiatan BW, di antaranya berupa BW Goes To School, menyusun dan memublikasikan jurnal dan buku, membangun dan memperluas jaringan anank-anak muda peduli keanekaragaman hayati, seminar, serta penelitian. (Ahmad Baihaqi)

dan Lycodon sp. Keberadaan aliran sungai dalam hutan menunjang keanekaragaman jenis katak dan kodok di kawasan ini. Sebagian besar katak dan kodok yang ditemukan berada di serasah yang lembab dan tepi aliran sungai. Katak bertanduk (Megophrys nasuta) yang sulit ditemukan masih terdapat di hutan ini. Selain itu, kadal surai Kalimantan (Gonocephalus borneensis) juga dapat ditemukan. Dari temuan-temuan ini, BW akan menyusun buku untuk menjadi pengetahuan bagi masyarakat tentang kekayaan ragam hayati Nusantara. (Nurma Rosalia)

57 | Warta KEHATI | Januari 2018

Geledah Ciliwung

Mengintip Keanekaragaman Hayati Gunung Menaliq dan Linggang Melapeh

KEHATI Muda

Anggota Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI, Indeka Dharma Putra, mengamati flora dan satwa liar pada kegiatan capture nature di Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur, Minggu, 21 Mei 2017. (Foto: M. Burhanudin/KEHATI)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 58

Biawak air tawar (Varanus salvator), salah satu satwa liar di Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur, 21 Mei 2017. (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI)

Berfoto bersama seusai kegiatan capture nature Sungai Ciliwung Condet, Cililitan, Jakarta Timur, Minggu, 21 Mei 2017. (Foto: M. Burhanudin/KEHATI)

Tim Biodiversity Warriors sedang mengamati seekor burung Enggang (Buceros sp.) yang bertengger di pepohonan di Gunung Eno, Linggang Melapeh. (Foto: Lasmito)

Kapul (Baccaurea macrocarpa) (Foto: Lasmito)

Kadal Surai (Gonocephalus grandis) (Foto: Indeka D. Putra)

Sampel herbarium (Foto: Nurma Rosalia)

Page 31: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Satu dasarwarsa lalu, Mashadi dianggap tak lebih sebagai lelaki kurang waras di desanya. Dia menempuh jalan yang dianggap tak alang kepalang aneh dan mustahil bagi warganya: menanam mangrove di lahan yang remuk redam oleh puluhan tahun abrasi alam. Kehancuran yang membuat warga di desanya putus asa dan tercerabut sumber penghidupannya. Kini, cap gila itu tinggal sejarah. Mashadi menjadi pahlawan bagi warganya. Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, yang dulu nyaris tinggal hikayat, kini dikenal sebagai desa ekowisata termahsyur di Kabupaten Brebes, bahkan Indonesia. Lebih dari 3,5 juta batang pohon mangrove yang ditanam Mashadi bersama warga lainnya selama sembilan tahun terakhir, telah mengubah bentang kelam lahan desa menjadi rerimbunan rimba mangrove kaya manfaat. Nasib ribuan warga desa pun berubah. Tak banyak lagi pemuda yang merantau sebagai buruh bangunan ataupun anak buah kapal (ABK) ke luar daerah. Mereka menerima berkah ekonomi dari ekowisata mangrove yang beberapa tahun terakhir bersemi asri. Jualan cinderamata, makanan, minuman, dan beraneka jasa wisata, menjadi sumber ekonomi baru yang menghidupi. Nelayan dan petambak yang dahulu terpuruk dalam keputusasaan, kembali menemukan asanya. Tak perlu lagi harus berlayar hingga jauh ke tengah lautan. Dua tahun lalu, Mashadi dianugerahi Kalpataru oleh Presiden

Joko Widodo berkat upayanya di bidang lingkungan tersebut. Dia juga terpilih sebagai salah satu Pejuang Tangguh, sebuah ajang penghargaan terhadap sosok-sosok inspiratif yang diselenggarakan oleh salah satu perusahaan farmasi. Suatu hari, di bulan Oktober 2017 lalu, pada senja yang cerah, Staf Komunikasi dan Penggalangan Sumber Daya Yayasan KEHATI, Muhammad Taufik berkesempatan wawancara dengan Mashadi di dekat sebuah tambak udang di Dusun Pandansari. Berikut hasil wawancara selengkapnya:

Pak Mashadi, bisa Anda ceritakan bagaimana kondisi Desa Kaliwlingi, khususnya Dusun Pandansari ini, dulu sebelum menjadi pusat ekowisata mangrove di Brebes?

Keadaan Pandansari sebelum adanya hutan mangrove ini dulunya sangat memprihatinkan. Sejak tahun 1985, budi daya udang tak berkelanjutan. Hasilnya sangat kurang. Warga lalu membabat habis hutan mangrove yang ada di pematang tambak. Mereka kurang tahu. Itu yang membuat tambak-tambak itu kemudian mulai rusak tergerus oleh gelombang pasang dan akhirnya kehancuran ekonomi masyarakat dari budi daya tidak bisa dipertahankan lagi. Hampir 1.100 hektar lahan kami hilang sejak tahun 1985 sampai 2017 ini.

Lalu, apa yang mendorong Anda bergerak menanam mangrove ?

Yang mendorong saya untuk melakukan rehabilitasi mangrove itu adalah bahwa kami merasa prihatin, ekosistem pesisir kami rusak secara masif, dan kami tidak bisa melakukan apa-apa. Tambak tak bisa lagi kami budi dayakan. Lalu, kami mencoba mengajak masyarakat kampung untuk melakukan kegiatan penanaman karena satu-satunya penahan gelombang atau penahan air pasang yang paling efektif adalah pohon mangrove yang sudah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bagaimana Anda mengerakkan warga untuk kemudian mau terlibat dalam penanaman?

Awalnya kami mengajak teman-teman masyarakat kampung dan sempat dianggap sebagai orang gila. Namun, kami ketemu dengan partner yang sungguh luar biasa. Namanya Pak Rusjan, yang berpengaruh dalam bekerja sama dan mempengaruhi masyarakat. Prinsip saya, lebih baik menyalakan lilin daripada mengumpat kegelapan, dan saya sampaikan kepada masyarakat kampung

Dialog

Kami akan terus belajar

Mashadi:

59 | Warta KEHATI | Januari 2018

Mashadi, warga Dukuh Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes, telah mengubah bentang kelam lahan desa menjadi rerimbunan rimba mangrove kaya manfaat. (Foto: M.Taufik J./KEHATI).

Buah mangrove yang tumbuh di Dusun Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes. (Foto: M.Burhanudin/KEHATI).

kami bahwa tanaman yang kita tanam akan menghidupi 1.000 makhluk. Dan, tanaman yang kita tanam akan bertasbih mendoakan kita. Akhirnya, warga lambat laun mulai merasakan dampak dari apa yang sudah kita lakukan bersama. Masyarakat juga mulai menyadari, mangrove adalah satu-satunya jalan keluar untuk melindungi pantai dari abrasi.

Bagaimana akhirnya Anda bisa terhubung dan berkolaborasi dengan KEHATI dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove di Pandansari ini?

Awalnya, kami sangat prihatin dengan kondisi kampung ini sehingga kami membuat sebuah film. Film itu yang kami ajukan kepada Yayasan KEHATI termasuk juga lembaga-lembaga lain. Pada tahun 2007 dan menjelang 2008, kami dipertemukan dengan pengelola KEHATI. Lalu, mereka akhirnya memberikan kesempatan kepada kami untuk dan ketemu langsung sama Direktur Eksekutif KEHATI saat itu, Bu Damayanti. Kepercayaan baru kami dapatkan dari KEHATI pada tahun 2008. Sejak itu, yang berhubungan dengan kami adalah Mbak Puji (Puji Sumedi, Manajer Program Ekosistem Pertanian KEHATI) dan Pak Basuki (Basuki Rahmad, Manajer Program Ekosistem Pesisir dan Pulau Kecil KEHATI), yang kemudian programnya sampai sekarang masih berlanjut.

Manfaat apa yang Anda dapatkan dari kerja sama itu?

Kami sangat beruntung sekali, sejak awal kami bekerja sama dengan Yayasan KEHATI, bahkan, sampai sekarang. Saya bersyukur teman-teman KEHATI tidak terlalu eksklusif, artinya memberikan kesempatan kepada kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendapatkan dukungan atau bantuan dari lembaga donor lain. Sejak mendapat dukungan dari KEHATI, kami mulai mendapatkan dukungan luas. Pemerintah lalu memberikan dukungan secara penuh dan setelah kami melakukan kegiatan-kegiatan yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. Dari situ, pemerintah melalui sektor yang ada itu mulai ramai-ramai bekerja sama mengeroyok untuk menata lingkungan. Ada yang dari sektor ekonomi, dari sektor lingkungannya ada yang dari sektor budaya.

Berapa tanaman mangrove yang sudah ditanam di hutan mangrove Pandansari?

Tanaman yang sudah kami tanam dari 2005 sampai 2017 ini kurang lebih sekitar 3.500.000 batang, menghampar 1,8 kilometer dengan luasan 210 hektar. Setelah tertanamnya mangrove di kawasan pesisir, warga sangat senang, sangat bersyukur karena mereka tidak terlalu jauh untuk mencari hasil tangkapan ikan, tidak telalu lama untuk menangkap biota-biota pesisir. Mereka berterima kasih sekali dengan adanya hutan mangrove.

Apa harapan dan langkah Anda ke depan untuk menjaga kelestarian mangrove di Pandansari beserta ekowisata yang berhasil dirintis ini?

Banyak yang harus kami pelajari, banyak yang harus kami selesaikan. Pertama adalah sumber daya manusia

kami. Kualitas sumber daya manusia kami rata-rata masih di bawah sehingga untuk bersaing dengan daerah lain masih kurang. Sebagai contoh untuk kuliner, karena kualitas yang dibawah standar itu, agak susah untuk mengajak para operator ekowisata belajar dengan cepat. Kedua, masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami betul apa yang dimaksud desa wisata sehingga mereka enggan untuk terlibat ataupun berkarya bersama dengan melaksanakan kegiatan di desa wisata ini. Harapan ke depan, kami berkesempatan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Terus belajar. Dapat meningkatkan kreativitas dalam meningkatkan layanan ekowisata, serta yang lebih penting lagi tetap menjaga dan meningkatkan kelestarian hutan mangrove. (Mohamad Burhanudin)

Januari 2018 | Warta KEHATI | 60

Bentang hutan mangrove di Dusun Pandansari, Desa Kaliwlingi, Kabupaten Brebes (Foto: M.Burhanudin/KEHATI).

Page 32: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

61 | Warta KEHATI | Januari 2018

Warna-warni KEHATI

Foto bersama para delegasi peserta APNET pada kegiatan “First Assembly ofAsia Pacific Conservation Trust Fund Network” bersama Tim KEHATI di Hotel Grand Kemang, Jakarta, 6 Desember 2017 (Foto: Ahmad Baihaqi/KEHATI).

Penghormatan dan melepas kepergian sahabat kami terkasih dari keluarga besar KEHATI, Ruby Tehupeiory Leuwol, Minggu 15 Oktober 2017, yang telah menghadap ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dalam damai. (Foto: KEHATI)

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, M.S. Sembiring

(tengah) memoderatori diskusi panel bertajuk “Sustainable

Finance and Investment; Green Index Reference, and

Sustainability Reporting” yang diselenggarakan oleh Yayasan KEHATI di Gedung Bursa Efek

Indonesia, Jakarta, 8 Desember 2017 (Foto: Ahmad Baihaqi/

KEHATI).

Januari 2018 | Warta KEHATI | 62

• Foto kanan: Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf mengunjungi stan KEHATI pada kegiatan Festival Panen Raya Nusantara, 13-15 Oktober 2017 di Taman Menteng, Jakarta Pusat. (Foto: Rosalia Nurma/KEHATI)

TIm Bulutangkis KEHATI berfoto bersama usai pertandingan untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-72. (Foto: Rosyid N Hakiim)

Foto kanan: Komunitas Urban Farming Lenggang Jakarta, mitra dampingan

Yayasan KEHATI memperkenalkan produk-produk berkebun kepada

masyarakat pada kegiatan Festival Desa, 8-10

Desember 2017 di Bumi Perkemahan Ragunan,

Jakarta Selatan. (Foto: Siti Wasinta)

Foto kiri: Pengunjung menuliskan flora dan fauna khas Indonesia

pada backdrop Biodiversity Warriors yang berisi peta Indonesia

pada kegiatan Hello Nature, 24-26 November 2017 di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta Selatan. (Foto: Nadia Putri R.)

Page 33: Edisi Januari 2018 - kehati.or.idkehati.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Warta-KEHATI-Edisi-Januari... · mengenai pariwisata berkelanjutan, talkshow, seminar, temu bisnis, peluncuran

Yayasan Keanekaragaman Hayati IndonesiaJl. Bangka VIII No. 3B Pela Mampang Jakarta Selatan 12720Telp. 021-718 3185 Fax. 021-719 6131Email. [email protected]. www.kehati.or.id

Yayasan KEHATI @KEHATI @yayasanKEHATI