Edisi 2 tahun 2016
-
Upload
jentera-semesta -
Category
Documents
-
view
227 -
download
1
description
Transcript of Edisi 2 tahun 2016
1BWNews/Edisi 2 Th 2016
2 BWNews/Edisi 2 Th 2016
REDAKSISusunan
BWNews
DITERBITKAN OLEH: Yayasan Badan Wakaf Nusantara PENANGGUNG JAWAB: Ketua Yayasan Badan Wakaf Nusantara PIMPINAN REDAKSI: Lukni Maulana REDAKTUR: Agus Munif, Alfin Hidayat, Murtaqi Ali Shoim, Muhammad Faizun DESAIN: Jentera Media PEMASARAN: BWNews Kreativa.ALAMAT REDAKSI: Banjardowo Rt 2 Rw 6 Genuk Semarang, Telp/Sms/WA: 085877080343.Email: [email protected] Web: www.badanwakafnusantara.com
SALAM REDAKSISyukur alhamdulillah majalah BWNews edisi kedua kembali mampu
hadir di tengah pembaca yang merindukan kehadiran majalah yang penuh
dengan nuansa keseharian. Oleh sebab keseharian adalah realitas yang
kita hadapi, baik emosi keseharian, perilaku dan sikap keseharian.
Pada edisi kedua ini majalan BWNews menghadirkan topik kajian
seputar bulan suci ramadhan, karena bertepatan pada perputaran tahun
di mana kita menyambutnya dengan kegembiraan dan suka cita. Dengan
harapan besar semoga pada bulan ramadhan ini kita mampu menjalankan
kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba Allah yang senantiasa tunduk dan
patuh kepada-Nya.
Dalam derap langkah kita mengarungi ruang dan waktu yang telah
disekenario oleh Allah untuk kita hadapi dengan menanamkan nilai-nilai
kebaikan. Tiada yang lebih indah selain kita menyambutnya Marhaban ya
Ramadhan.
Beragam kisah pada majalah BWNews ini akan membahas beragam
keseharian ramadhan dan tentunya perayaan setelah bulan suci ramadhan
yakni hari raya idul fitri. Dan tentunya rubrik lain seperti ruang pendidikan,
bahwa kita semakin menyadari akan pentingnya lingkungan hidup kita.
Pada titik yang belum berakhir ini, kami selaku redaksi mengucapkan
banyak terima kasih dan permohonan maaf atas kesalahan oleh karena
ketidaksempurnaan kami. Apa yang ada ditangan saudara-saudara berupa
majalah BWNews sebagai nikmat Allah untuk dapat saling berkomunikasi
dan berkontribusi.
Lukni Maulana
3BWNews/Edisi 2 Th 2016
3Ketika Hadirnya Bulan Ramadhan
7Takwa dalam Selimut Ramadhan
11Pentingnya Pendidikan Lingkungan Hidup
21Al-Qur’an Berkata Tentang Oksigen
27Penyesalan Anak Durhaka Kepada Ayahnya
38Ginseng Jawa: Tanaman Sayuran dan Stamina
Daftar Isi
4 BWNews/Edisi 2 Th 2016
5BWNews/Edisi 2 Th 2016
Ketika HadirnyaBULAN
Allah telah memberi tuntutnan kepada manusia berupa agama Islam, tentu sebagai
pedoman hidup (way of life) berupa al-Qur’an dan hadist mempunyai akar-akar yang disebut dengan rukun Islam.
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka
ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar
kamu bertakwa”. (Al An’aam Ayat 153)
Salah satu kewajiban dalam menjalankan rukun Islam yaitu mengerjakan puasa di bulan ramadhan. Kita harus menyadari
RAMADHAN
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian agar kamu bertakwa”(QS. Al Baqarah: 183)
Nusantara
6 BWNews/Edisi 2 Th 2016
bahwa tegak dan robohnya Islam tergantung kepada pemeliharaan
rukun-rukunnya.
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Al Baqarah Ayat 183)
Maka dari itu puasa adalah sebuah kewajiban atas kaum muslimin, karena didalamnya terkandung pendidikan yang sangat mulya. Disebutkan bahwa puasa ditujukan kepada orang yang beriman supaya menjadi orang yang bertakwa. Jadi sangat jelas bahwa tujuan tertinggi dalam melakukan ritual ibadah puasa yaitu takwa.
Terkadang puasa hanya menjadi ekspresi tahunan yang diperingati dengan kemewahan dan kemeriahan serta ada yang berangapan bahwa bulan puasa tingkat komsumsi masyarakat meningkat hingga menyebabkan harga kebutuhan pokok melambung tinggi.
Namun tidak menjadi masalah jika manusia sadar betul dalam memaknai puasa. Ada nilai lebih dari manfaat puasa selain bagaimana menahan rasa lapar dan haus. Di perintahkan pula untuk menahan nafsu.
Nilai pendidikan ruhaniyah, aqliyah dan amaliyah sangat tertanam dalam ajaran ibadah puasa. Di dalam ajaran puasa dituntut untuk mensucikan diri dari pikiran kotor dan nafsu al amarah. Begitu pula ajaran amaliyah lainya berupa shalat tarawih, tadarusan bersama untuk menjalin ukhuwah Islamiyah, tali sihlatuhrami dibangun dan dianjurakan untuk memberikan shedekah di bulan suci.
Karl Marx berpendapat bahwa pengendali moral manusia di ditentukan oleh kondisi ekonomi berupa materi yaitu moral manusia ditentukan oleh lingkungan yang mempengaruhinya Sifat manusia sama sekali tidak memiliki daya dan upaya terhadap kondisi lingkungan.
Kondisi sekarang menunjukan bahwa kapitalisme telah menjajah manusia yang cenderung bekerja pada wilayah material. Begitu pula Sigmund Freud seorang ahli “psiko analisa”, yang menyatakan bahwa manusia sama sekali tidak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya yaitu berupa kekuatan libido atau kekuatan seksualitas. Semua aktifitas dan pikiran serta perilaku sesorang bersumber pada dorongan kekuatan libido atau seksual, dalam artian bahwa manusia adalah budak sek.
Pertanyaan yang kemudia muncul adalah apa hubungan teori Marx dan Freud terhadap puasa dan ketakwaan?
7BWNews/Edisi 2 Th 2016
Di sebutkan dalam al Qur’an surat Adz Dzariat ayat 56 :
”Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Menyatakan bahwa manusia adalah seorang budak “abdun” atau seseorang yang menyembah. Namun realitas menunjukan lain, sekarang manusia telah menjadi budak ajaran Marx dan Freud, menginkari nikmat mereka saling berebut materi di pemerintahan. Manusia telah menjadi budak materi dan libido, kekuasaan diperebutkan banyak orang berpolitik menjadi bendera untuk meraih derajat tertinggi dimata manusia lainnya.
Begitu juga kekuatan libido menjadi dorongan kuat dalam menguasai nafsu seseorang. Nafsu untuk saling menindas, rakyat miskin berupaya keras mencari sedikit rizki namun di todong dengan mainan pistol Satpol PP. Sedangkan para
petinggi republik saling berebut kursi kekuasaan bahkan paling parahnya para wakil rakyat ini bermesraan dengan pasangan selingkuhannya. Sungguh malang negeri ini jika masih dipimpin oleh mental Marx dan Freud serta jiwa korup yang menjadi pikirannya.
Mengapa mentalitas sumber daya manusia (SDM) negeri ini tidak cenderung keluar dari sarang material dan seksualitas, sedangkan Negara tercinta ini masih saja menjadi budak oleh kekuatan asing.
Salah satu sebabnya yaitu pandangan teori marx dan freud yang cenderung menilai kebahagiaan berdasar materi dan kepuasan sex yang kesemuanyai itu terljalin sifat hedonistic.
Semua jawabannya yaitu pada kekuatan diri berupa “nafsu”. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita bahwa jihad paling besar yaitu “jihad an nafs”, jihad melawan hawa
8 BWNews/Edisi 2 Th 2016
nafsu atau melawan diri sendiri. Kekuatan nafsu menjadi pendorong mentalitas seseorang sebab jika al hawa atau nafsu al amarah menyerang diri seorang maka sifat jasmani dan ruhani manusia akan lemah dan memiliki mentalitas korup.
Kekuatan pengendali manusia berupa nafsu inilah yang menjadi senjata ampuh untuk mengikat keinginannya tehadap sifat meteri dan seksualitas. Sebab dalam pandangan Marx dan Freud pengendali manusia berkerja pada wilayah lingkungan yang cenderung kapital dan seksualitas atau libido terhadap kekuasaan ataupun selingkuhannya.
Maka saatnya seorang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah kembali menata nafsunya. Sesegera mungkin kembali kepada nafsu mutmainah (jiwa yang tenang). Sebab puasa hanya di syari’atkan kepada dirinya yang mengaku beriman sebab puasa merupakan pengendalian dirinya dengan Tuhannya. Karena puasa tidak dapat dilakukan atas dasar penampilan, kekuasaan materi dan kekuatan libido.
Sangat jelas sekali bahwa syari’at Islam mengajarkan untuk menahan diri dari segala hal yang dilarang dan bertujuan untuk meraih tingkatan takwa.
Orang yang mencapai derajat pada tingkatan takwa yaitu seseorang
yang terpelihara dari segala yang menjerumuskan atau segala hal yang dilarang oleh agama.
Ibarat seseorang yang dalam perjalanan ia harus membawa bekal dan tahu tujuan yang diharapkan, jadi agama menjadi bekal untuk mengarungi kehidupan didunia sebagai hamba guna meraih tujuan hidup yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Takwa berasal dari kalimat fi’il atau kata kerja “tattaquwn, yattaquwn”, yang berarti melaksanakan seluruh hal yang diperintahkan dan menjahui segala hal yang dilarang.
Saatnyalah manusia kembali mengkoreksi dirnya, siapa yang mengendalikan dirinya kekuatan material kah atau kekuatan libido kah. Semua bentuk penindasan datang karena kekuatan material dan seksualitas.
Maka mulai saat ini kembalilah kepada jiwa yang tenang kembali pada tali Allah berupa agama Islam yang akan mengantarkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena Allah menyukai dan mencintai orang yang taubat dan mensucikan diri, bukan materi dan libido.
”Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama›ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr Ayat 27-30).
9BWNews/Edisi 2 Th 2016
Alhamdulillah kita masih diberikan nikmat dengan kesempatan bertemunya bulan
yang mulia ini. Bulan dimana kalam agung diturunkan, bulan diwajibkannya berpuasa bagi seorang muslim yang mampu. Dan salah satu point dalam menjalankan puasa ramadhan adalah derajat takwa. Namun hingga saat ini definisi tentang takwa itu sendiri masih banyak yang memperdebatkan,
apakah ia lahir sebagai wujud kesalehan individu ataukah sosial? Satu wujud variable yang mewarnai berbagai nilai yang ada di dunia ini. Dalam ayat lain tepatnya pada surat Ath Thalaq ayat 2-3, takwa disebutkan berkait dengan tawakkal.
Secara bagus Muhammad Zuhri mengatakan bahwa titik temu adalah kesamaan anggapan tentang nilai-nilai yang terbentang di dalam cakrawala
TAKWAdalam selimutRAMADHAN
Liputan Utama
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah: 183)
10 BWNews/Edisi 2 Th 2016
kehidupan yang menjadi sasaran operasional setiap individu manusia. Penguasaan terhadapnya berwujud orientasi skeluar lewat pengabdian sosial, menawarkan hasil kreatifitas atau bereksplorasi keruangan dengan menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi serta pandangan hidup yang bersifat obyektif.
Berkiprah di dalam dimensi tersebut membutuhkan aset yag berupa intelektual, bakat, keahlian dan pengetahuan tentang kausalitas alam dan sosial, serta ambisi yang kuat sebagai d i n a m i s - m o t i f n y a . Tujuannya untuk mendapat pengakuan dan kepercayaan dari masyarakat manusia agar dapat berperan
serta didalam menangani kepentingan bersama di dalam berbagai bidang kehidupan. Golongan yang berekspansi ke luar lewat dimensi nilai ini disebut golongan muttaqin oleh Al-Qur’an. “Dan siapa taqwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan akan memberinya rizki dan arah yang tak dapat diduga” (QS. Ath-Thalaq:3).
Bedanya dengan anak sang waktu (mutawakkilin) yang
mendapatkan ‘peran’ yang tak tergantikan dari Tuhan, putera ruang (mutaqin) ini akan memperoleh ‘fungsi’ dari masyarakat yang dapat digantikan oleh pihak lain. Bila anak sang waktu dianugerahi ilmu Allah yang tak bisa dicerna akal, putera ruang akan dikaruniai ilmu pengetahuan obyektif dari masyakat dan alamnya. Ketika anak sang waktu menemukan titik-beda dirinya dengan yang lain sebagai hasil dari
‘‘“Sesungguhnya Allah
tidak merubah keadaan yang ada dalam
suatu kaum sehingga mereka
merubah apa yang ada di dalam
dirinya.” (Ar-Ra’du: 30)
menggarap diri, putera ruang menemukan titik temu dirinya dengan semua individu lewat menggarap alam dan lingkungannya. Dan ketika seorang mutawakkilin berada dalam martabat wahdah (unity), seorang mutaqin berada dalam
martabat jam’iyah (universality). Begitulah tawakkal dan taqwa
merupakan dua konsep orang beriman di dalam menemukan dunia-diri dan dunia-milik sebagai medan mencari ridha Allah. Kegagalan seseorang di dalam menangani dunia-milik disebabkan kurang akuratnya di dalam menggarap dunia-diri. Maka untuk mengatasi semua masalah yang berupa bencana, stagnasi, ataupun dilematika kehidupan bukan dengan
11BWNews/Edisi 2 Th 2016
aktivitas keluar, melainkan dengan kembali membenahi dunia diri atau sisi dalam dari realita kehidupan kita. “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan yang ada dalam suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada di dalam dirinya.” (Ar-Ra’du: 30).
Dan lahirlah Sufi-sufi Muhammadis yang berorientasi di dalam dua semesta sekaligus dengan konsep Taqwa dan Tawakkal demi mencari ridlaNya di dunia dan di akhirat, dan tutuplah layar kerahiban yang lari dari tanggung jawab sosial untuk mencari kepuasan spiritual semata.
Kerahiban ialah penyimpangan dari perolehan ketawakalan demi mencapai kesucian pribadi semata, sehingga tertutup baginya untuk menyentuh semesta ketakwaan (pengabdian sosial). “Dan mereka mengada-adakan kerahiban yang tidak Kami perintahkan kepada mereka.” (Al-Hadid: 27)
Insan KamilDi dalam dimensi tawakkal
dimana setiap indivu muslim telah menemukan titik beda dengan semua individu lain, agama Islam bahkan menemukan titik temu dengan semua agama yang ada. Sebaliknya di dalam dimensi taqwa ketika individu seorang muslim telah menemukan titik temu dengan semua individu manusia, Islam berada di dalam titik beda dengan agama lain, karena keluasan syariatnya yang mencakup urusan duniawi. Hal itu membuat Islam sering diberi predikat sebagai agama materialis oleh pihak lain.
Namun betapa pun akhirnya harus diakui bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang berhasil memadukan dua dimensi yang biasa dipertentangkan dengan konsep wujud berpasangan (zaujaini). Yaitu dunia-diri yang dapat diatasi oleh Sayidina Isa AS dengan sifat Quddusnya dan dunia-milik yang berhasil diatasi oleh
12 BWNews/Edisi 2 Th 2016
Sayidina Musa AS dengan teknologi-nya (tongkat).
Dunia diri dan dunia milik merupakan masalah paling dasar di dalam kehidupan manusia, karena keduanya sulit untuk dipadukan di dalam proses aktual tanpa yang satu membantai yang lain. Dampaknya di dalam sejarah beragama pernah memecah ummat Islam menjadi paham Jabariyah dan Qadariyah, golongan Hakekat dan Syariat serta Kaum Sufi dan Fuqaha’.
Hal itu tidak akan bisa terjadi bila kita sadar bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kepemilikan. Semua fasilitas yang disebut dunia milik telah kita terima sebagai amanah atau titipan Tuhan yang harus kita sampaikan kepada yang berhak, yaitu kehidupan. (Al-Ahzab: 72); “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak.” (An-Nisa’: 58)
Selanjutnya untuk memotivasi diri dengan taqwa dan tawakkal di dalam setiap proses aktual, Al-Qur’an mengajarkan teknis dasar yang tersirat di dalam kalimat doa: “Tuhan, masukkanlah aku (ke dalam dunia diri) dengan benar (tawakkal) dan keluarkanlah aku (ke medan amanat) dengan benar (taqwa) dan jadikan bagiku kekuatan penolong dari hadiratMu.” (Al Isra: 80).
Bila target tersebut terwujud,
kita akan menemukan kenyataan seorang insan kamil (mukmin yang sempurna) yaitu seorang yang bermartabat wahdah (unity) sekaligus bermartabat jam’iah (universality). Kini kita berada di dalam kurun zaman dimana ketaqwaan di-slogan-kan dan ketawakkalan dicurigai akan menghambat perkembangan ummat manusia.
Setiap orang berusaha merebut fungsi yang tinggi tanpa peduli apakah dirinya sanggup berperan dengan benar atau tidak. Padahal kita semua tahu bahwa fungsi yang tinggi tanpa kesanggupan memerankan diri yang kualifaid akan menimbulkan huru-hara dan bencana besar bagi ummat manusia. Sedang pemeran yang baik tanpa fungsi yang dipercayakan kepadanya oleh lingkungan tetap akan dapat memproduk nilai buat sesamanya.
Mungkin karena kesadaran akan hal ini tasawuf mulai dilirik oleh manusia modern yang telah cemas menyaksikan ‘peran aneh’ yang dilakukan oleh ummat manusia di panggung sandiwara dunia. Kalau hal itu benar, janji tentang turunnya missi Sayidina Isa AS (tasawwuf) untuk membenahi dan menyempurnakan kualitas pribadi kaum Muslimin di akhir zaman telah tiba. Inilah zaman spiritual. (Bw02)
13BWNews/Edisi 2 Th 2016
Penanaman nilai-nilai kepada anak
didik sangat di perlukan sebagai upaya
membangun kesadaran untuk mengetahui
siapa dirinya dan lingkungan hidupnya.
Pendidikan nilai bagian pendidikan
yang menekankan keseluruhan aspek
sebagai pengajaran dan bimbingan
kepada peserta didik agar menyadari nilai
kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Sebab pendidikan nilai sangat
di perlukan untuk kemajuan di dunia
pendidikan, karena sekarang pendidikan
hanya di fokuskan sebatas moral kognitif
bukan moral learning.
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas)
fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”. (Ar Ruum Ayat 30)
Maka jiwa pendidikan perlu di
kembalikan yaitu sebagai pembelajaran
yang menanamkan nilai-nilai, termasuk
penanaman nilai lingkungan kepada anak
didik.
Pendidikan lingkungan sebagai
jalan untuk memberikan pengenalan dan
kesadaran terhadap lingkungan. Aspek
etika, moral tidak semata-mata diberikan
pentingnya pendidikan
LINGKUNGAN HIDUP
“Dann janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-
Nya dengan rasa takut (Tidak akan
diterima) dan harapan (akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik”.
(Al A’raaf Ayat 65)
Sistem pendidikan Indonesia lebih
banyak dibangun atas dekrit-
kebijakan ideologi penguasa, bukan
lahir dari kesadaran masyarakat dan ahli
pendidikan. Pendidikan sekarang telah
mengalami penyakit yang begitu serius dan
perlu penanganan yang sistematis, karena
pendidikan sebagai proses pembelajaran
dan bukan kenikmatan yang hanya di nikmati
oleh penguasa dan lapisan sosial tertentu.
Talim
14 BWNews/Edisi 2 Th 2016
hanya untuk berinteraksi antar sesama,
akan tetapi juga penanaman nilai terhadap
lingkungan hidupnya.
Pendidikan LingkunganProblem pencemaran lingkungan
banyak mendapat sorotan, karena
telah menimpa penghuni dunia masa
kini dan generasi yang akan datang.
Kalau ditelusuri, faktor utama terjadinya
perusakan lingkungan akibat penggunaan
secara besar-besaran produk-produk
teknologi modern.
Aktivitas manusia di bidang
industri yang membakar produk hutan ini
telah menghasilkan semburan miliaran
ton partikel, gas karbondioksida serta
klorofluorokarbon. Emisi karbon ini
ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar
fosil yang tak dapat diperbaruhi, seperti
batu bara, gas, dan minyak bumi.
Kerusakan hutan khususnya di
Indonesia sebagai paru-paru dunia memiliki andil cukup
besar sebagai pemicu
perubahan iklim dan
pemanasan global akibat
dari menipisnya lapisan
ozon.
Kondisi lingkungan
dengan dirusaknya hutan,
pembakaran, illegal
logging, lahan petanian
di sulap menjadi area
industri dan perumahan.
Telah membawa
dampak negatif seperti
kekeringan.
Indonesia merupakan salah satu
Negara yang sangat merasakan dampak
kerusakan sistem cuaca. Kerusakan
sistem cuaca tersebut telah menimbulkan
anomaly iklim berupa kenaikan suhu
1-1,5 derajat celcius di Afrika, sehingga
masa udara kering yang berhembus
dari Australia bergerak ke hutan Afrika.
Fenomena ini mengakibatkan kekeringan
di kawasan ekuator, termasuk di dalamnya
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan sebagian
Sumatra.
Perubahan iklim akan makin
mempersulit Negara berkembang sepeti
Indonesia untuk dapat mencapai sasaran
pembangunan berkelanjutan dan tujuan
pembangunan milenium atau millennium
development goals / MDG’s. Perubahan
iklim akan mengancam ketersediaan
sumber daya alam, menambah parah
persoalan yang dihadapi, menciptakan
persoalan baru, dan membawa upaya
pencarian solusi makin sulit dan mahal.
”Dan janganlah
kamu membuat kerusakan
di muka bumi, sesudah
(Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-
Nya dengan rasa
takut (Tidak akan
diterima) dan harapan
(akan dikabulkan).
Sesungguhnya rahmat
Allah amat dekat kepada
‘‘Hadits dari Anas Ra. dia
berkata: Rasulullah Saw
bersabda : Seseorang
muslim tidaklah menanam
sebatang pohon atau menabur
benih ke tanah, lalu datang
burung atau manusia atau
binatang memakan sebagian
daripadanya, melainkan apa
yang dimakan itu merupakan
sedekahnya
(HR. Imam Bukhori)
15BWNews/Edisi 2 Th 2016
orang-orang yang berbuat baik”. (Al A’raaf
Ayat 65)
Sudah jelas diketahui bahwa
kerusakan alam dan lingkungan hidup yang
dasyat bukan di sebabkan oleh penuaan
alam itu sendiri tetapi justru diakibatkan
oleh tangan-tangan yang selalu berdalih
memanfaatkannya, yang sesungguhnya
sering kali mengeksploitasi tanpa peduli
kerusakan lingkungan.
Krisis lingkungan hidup dan
kemanusiaan harus menjadi pusat
perhatian bagi pemerintah, masyarakat,
ahli pendidikan dan setiap komunitas
keagamaan baik LSM maupun organisasi
keagamaan.
Fenomena tersebut membuktikan
bahwa perlu adanya rekonstruksi baru
di bidang pendidikan untuk menghadapi
tantangan zaman global. Di era
postmodern segala sistem dari berbagai
ideologi perlu adanya konstruksi baru
pada arah epistemologi pada kususnya di
bidang pendidikan.
Format penting pendidikan yang
sesuai kondisi di atas, perlu menyajkan
salah satu strategi dengan mewujudkan
pendidikan nilai ekologi yang berbasis
agama sebagai sumber penanaman
jiwa anak didik untuk bisa mengenali arti
kehidupan sebenarnya.
Karena pendidikan merupakan
jenjang awal sesorang mengenal dirinya,
dengan mengetahui siapa dirinya ia
akan memahami tujuan hidupnya,
sebab pendidikan merupakan upaya
mengintegrasikan fungsi di dunia.
Pendidikan nilai lingkungan
merupakan proses belajar mengajar
yang dapat menghasilkan perubahan
tingkah laku dan sikap untuk menghargai
lingkungan hidup dari mikrokosmos hingga
makrokosmos.
Maka hal ini bukan hanya
penyampaian pesan berupa mata
pelajaran, melainkan menanamkan sikap
dan nilai siswa yang sedang belajar untuk
mengenali siapa dirinya serta di mana ia
tinggal.
Di harapakan dengan penanaman
pendidikan nilai lingkungan hidup siswa
mampu memperaktekan, melestarikan
dan memanfaatkan lingkungan sesuai
kebutuhan. Siswa mampu mengetahui
peran dan tanggung jawabnya yaitu
hubungan tiga dimensi antara Tuhan,
alam dan manusia. Ketiga hubungan
itu yaitu pertama, hubungan teosentris
atau hubungan dengan Tuhannya yang
berarti bahwa setiap manusia adalah
mahluk yang tercipta untuk beribadah dan
menghambakan dirinya.
Kedua, hubungan antroposentris
yaitu hubungan dengan manusia yang
memiliki arti setiap kehidupan manusia
tidak terlepas dengan peran dan kedudukan
manusia lainya melalui interaksi sosial,
komunikasi dan sosialisasi.
Ketiga, hubungan ekosentris yaitu
hubungan dengan lingkungan yang berarti
bahwa manusia memiliki peran dan
fungsi untuk menjaga dan merawat alam
lingkungan hidupnya.
”Untuk menjadi petunjuk dan peringatan
bagi orang-orang yang berfikir”. (Al Mu’min
Ayat 54).
* * *
16 BWNews/Edisi 2 Th 2016
17BWNews/Edisi 2 Th 2016
Bulan Ramadhan bisa diibaratkan sebagai lahan subur yang siap ditaburi benih-benih kebijakan.
Siapa yang menabur, maka ia akan manuai hasil sesuai yg ditanam. Siapa yang melatih diri dalam bentuk menahan diri dengan berpuasa, niscaya ia akan sukses menghadapi segala tantangan ke depan.
Bulan Ramadhan adalah bulan suci. Ia diibaratkan sebagai lahan yang subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan. Semua orang dipersilahkan menabur, kemudian pada waktunya
RAMADHANBULAN
LATIHANDIRI
menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya. Bagi yang lalai, tanah garapannnya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna. Dari sini sangat penting memanfaatkan lahan itu dan penting pula memilih benih yang ditabur.
Salah satu yang terpenting dalam bulan ini adalah menahan diri dengan berpuasa. Ia merupakan cara yang paling efektif untuk melatih diri menghadapi segala tantangan yang merupakan syarat mutak untuk meraih kesenangan dan kesejahteraan. Ia
Kolom
“Seandainya manusia mengetahui keistimewaan bulan Ramadhan,
niscaya mereka ingin agar sepanjang tahun adalah
Ramadhan”
18 BWNews/Edisi 2 Th 2016
dibutuhkan oleh setiap orang, baik kaya atau miskin, muda atau tua, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, manusia modern yang hidup masa kini maupun manusia primitif yang hidup masa lalu.
Karena itu, cara yang paling efektif untuk menciptakan kemampuan itu adalah berpuasa. Itu pula sebabnya kenapa sejak dahulu hingga kini putera-puteri Adam berpuasa dengan berbagai tujuan. Bahkan, tidak jarang mereka sendiri yang mewajibkan atas dirinya, Agaknya, itu sebabnya a l - Q u r ’ a n m e n g g u n a k a n kata “diwajibkan” pada firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, d i w a j i b k a n atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (al-Baqarah: 183). Ayat ini tidak menyebut siapa yang mewajibkan untuk memberi isyarat tentang hal tersebut.
Ini berarti seandainya bukan Allah yang mewajibkan puasa, niscaya manusia sendiri yang mewajibkannya. Memang Rasulullah Saw. juga menegaskan bahwa “Seandainya
manusia mengetahui keistimewaan bulan Ramadhan, niscaya mereka ingin agar sepanjang tahun adalah Ramadhan”.
Karena puasa dibutuhkan oleh setiap manusia kapan dan di manapun, maka tidak heran jika semua agama mengenalnya. Bukan hanya agama-agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam, tetapi selainnya pun demikian.
Pakar-pakar perbandingan a g a m a m e n y e b u t k a n bahwa orang-orang Mesir Kuno pun sebelum mereka mengenal agama samawi telah mengenal puasa. Dari mereka praktek puasa beralih kepada o r a n g - o r a n g Yunani dan
Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang.
Ibnu an-Nadim dalam bukunya al-Fahrasat menyebutkan, agama para penyembah bintang berpuasa tiga puluh hari dalam setahun, ada pula puasa sunnah sebanyak 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang dipercaya sebagai bintang nasib, dan
19BWNews/Edisi 2 Th 2016
juga kepada matahari.Walaupun inti dari setiap puasa
adalah menahan diri, namun cara dan tujuan akhirnya berbeda-beda antara satu agama dengan agama lain, bahkan boleh jadi antara seorang dengan orang lain. Dari sini diperlukan pengetahuan tentang tata cara puasa menurut tuntunan agama serta tujuan pokoknya, bahkan diperlukan pengetahuan tentang bagaimana memanfaatkan kehadirannya dan benih-benih apa saja yang harus ditabur pada lahannya.
Satu hal yang ingin penulis garis bawahi menyangkut ciri ajaran Islam, dalam konteks pelaksanaan ritualitas puasa Ramadhan, yaitu kesatuannya dalam prinsip-prinsip pokok dan keragamannya dalam rincian ajaran. Ini karena rincian permasalahan yang lahir dari aktivitas manusia, sejak kehadiran Islam hingga kini, jauh melebihi teks-teks al-Quran dan Hadis yang menjadi sumber rujukan. Dari sini pakar-pakar hukum berupaya sekuat tenaga dan pikiran untuk menganalisis dan menalar berbagai teks tersebut guna menemukan ketetapan hukum menyangkut rincian permasalahan yang lahir itu.
Tidak jarang hasil penalaran mereka berbeda, bukan saja diakibatkan oleh perbedaan kondisi masyarakat dan perkembangan ilmu, tetapi juga karena perbedaan cara
penalaran dan syarat-syaratnya, dan bahkan boleh jadi karena perbedaan rujukannya, di mana yang satu merujuk pada teks A sedangkan yang lain merujuk pada teks B.
Di sisi lain perlu diingat bahwa Rasullulah Saw. yang hidup di tengah umatnya sebagai nabi dan rasul selama lebih kurang 23 tahun, tidak jarang pula mengucapkan, memperagakan cara yang berbeda, atau membenarkan keragaman cara yang diperagakan para sahabat beliau. Sehingga, lahir apa yanng dikenal dengan istilah “tanawwu’ al-’ibadah” (keragaman cara beribadah).
Berdasarkan faktor-faktor itu dan masih banyak lainnya maka seringkali ditemukan perbedaan dan keragaman dalam rincian, seperti penentuan awal Ramadhan dan jumlah raka’at taraweh misalnya. Namun, kiranya semua dapat diterima, walau berbeda, selama bersumber dari pemahaman yang bertanggung jawab terhadap teks-teks al-Quran dan Sunnah. Apa yang dikemukakan di atas sedikit atau banyak - tercermin dalam tulisan ini.
Sumber :Disunting dari Sekapur Sirih M. Quraish Shihab dalam buku “Panduan Puasa bersama Quraish Shihab” yang diterbitkan oleh Penerbit Republika, cet. V, 2001.
20 BWNews/Edisi 2 Th 2016
Sungguh agama Islam merupakan ajaran yang hakiki, sehingga setiap pemeluknya
diberikan suplemen berupa kapsul untuk dirinya supaya menjadi manusia agung dengan perilaku yang mencerminkan teladan nabi Muhammad SAW.
Salah satu ajarna tersebut adalah berupa kata, “Niat”. Kata yang simple namun memiliki kandungan nilai yang begitu dasyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
“Segalam amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memeperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. ”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau yang sekarang ini menjadi kota Madinah. Sabda beliau ini terkait sebuah informasi ada sekelompok orang yang ingin berhijrah karena ingin mengejar wanita atau mendapatkan wanita yang dinikahi yakni wanita tersebut adalah Ummul Qais. Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah
muhajjir Ummul Qais atau yang berhijrah karena Ummul Qais.
Niat dapat diartikan sebuah tindakan awal yang mampu mengetarkan hatinya untuk mencapai tujuan sesuai apa yang diharapkan. Misalnya, ketika ingin pergi ke pasar; tentu ada beberapa kemungkinan seperti belanja, jalan-jalan, refresing, mencari kenalan atau sekedar ingin menemui teman di pasar. Setidaknya ada beberapa kemungkinan. Hal inilah yang membedakan yakni berupa kata niat tersebut.
Dibalik kata niat sangat penting sekali karena setiap ilmu pengetahuan membahasnya. Baik itu dalam ilmu sains, fikih, syariat, ushul fiqh maupun akhlak. Bahkan didalam ilmu fiqih, niat menjadi landasan rukun pertama dalam rangkaian ibadah; seperti shlat, zakat, puasa maupun ibadah haji.
Di dalam ilmu ushul fiqh misalnya, kata niat menjadi faktor penentu status yang bisa menjadikan dirinya terikat dan menjalani konskwensi logis dalam menjalankannya. Misalnya persoalan nikah; ia bisa menjadi wajib, haram maupun sunnat. Semua itu tergantung kata niat tersebut.
Kata niat dalam ilmu pengetahuan,
Baiti Janati
MAKNA KATA NIAT
21BWNews/Edisi 2 Th 2016
misalnya tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), bisa menjadi wajib ketika itu menjadi kebutuhan. Bahkan bisa berstatus haram jika hal tersebut sangat membahayakan.
Sedangkan niat dalam sudut padang akhlak menjadi cermin dalam melakukan hubungan amal manusia. Pengertiannya niat dalam sudut pandang ini bahwa niat menjadi penentu kualitas amal seseorang. Misalnya dalam melakukan ibadah shalat, dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sana, bacaan yang sama maupun ditempat yang sama. Dalam hal penilaian bisa menjadi berbeda, tentunya tergantung kata niat tersebut.
Ketika kita sudah memiliki niat, tentu tujuan tersebut jangan sampai tergoyahkan. Kualitas tertinggi dalam kata niat adalah ikhlas; semua bentuk kerja dilakukan karena mengharap ridha Allah. Sedangkan kualitas terendah dalam kata niat adalah sifat riya’ atau sombong yakni dalam melakukan sesuatu baik ibadah atau hal lainnya mengharapkan sesuatu selain ridha Allah.
Allah berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 31: “dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh
burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”.
Bahkan rasulullah bersabda:“Sesungguhnya ada sesuatu
yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil.”
Para sahabat bertanya : “Apakah syirik kecil itu?”
Beliau menjawab : “riya.”Niat merupakan senjata
pamungkas dalam setiap langkah kehidupan kita, maka sebelum melakukan sesuatu kita harus mengoreksi atau muhasabah diri. Hal tersebut dilakukan supaya ketika kita berniat tidak timbul perbuatan “riya”. Niat itu layaknya pohon kelapa yang tinggi, ketika ia berniat untuk tegak, walau diterjang angin yang dasyat ia tetap berdiri kokoh.
Marilah menjadikan kata niat sebagai senjata pamungkas dalam meraih harapan dan cita-cita. Maka kata niat tersebut harus tersanubari dalam kekuatan ikhlas, karena bentuk penghambaan atas keimanan kita. Bahkan kita selalu berikrar dalam setiap shalat, ikrar tersebut termaktub dalam surat dibawah ini. “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-An’aam: 162)
22 BWNews/Edisi 2 Th 2016
Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.(HR. Tirmidzi)
Setiap amal manusia akan diganjar kebaikan semisalnya sampai 700 kali lipat. Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Kecuali
puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”(HR. Muslim)
23BWNews/Edisi 2 Th 2016
Hampir semua mahluk hidup membutuhkan oksigen, kecuali beberapa jenis bakteri
tertentu yakni anaerob, yang justru akan mati terbakar jika bersinggungan dengan oksigen. Manusia dan binatang membutuhkan oksigen untuk membakar sari-sari makanan dan menghasilkan energi agar dapat bergerak. Tanpa oksigen semua mahluk hidup yang bernafas akan mati hanya dalam hitungan detik atau menit.
Begitu pentingnya oksigen, sampai-sampai disebutkan beberapa ayat dalam Al Qur’an. Salah satu ayat yang menarik adalah surah Al-Waaqi’ah (56) ayat 71-72, yang terjemahannya adalah sebagai berikut : “Tidakkah kamu perhatikan api
AL-QUR’AN BERKATA
tentang
OKSIGENyang kamu nyalakan. Kamukah yang menjadikan pohon itu (syajarataha) atau Kami-kah yang menjadikannya?”
Disini sekali lagi pemilihan kata di dalam Al-Qur’an membuktikan bahwa Qur’an adalah memang benar diturunkan dan berasal dari Allah. Surah 56 ayat 72 menggunakan kata “syajarataha” yang artinya “pohon itu” (di banyak terjemahan bahasa Indonesia mengartikannya sebagai “kayu itu”). Kayu sendiri dalam bahasa arab adalah “khusyub”, seperti yang digunakan di surah Al-Munafiqun (63) ayat 4 : “Mereka adalah seakan-akan kayu (khusyubun) yang tersandar ...”.
Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah menggunakan kata “pohon itu” (syajarataha), bukannya “kayu itu” (khusyubuha) dalam kaitannya
Kalam Illahi
24 BWNews/Edisi 2 Th 2016
dengan penyalaan api. 15 abad yang lalu ketika ayat ini diturunkan, bahkan masih ada sampai sekarang, dalam menyalakan api, manusia menggunakan potongan-potongan kayu dan menggosok-gosokkan potongan kayu tersebut. Sepertinya tidak ada yang menggunakan “pohon” untuk menghasilkan api untuk keperluan sehari-harinya. Akan tetapi Qur’an memakai kata “pohon” dan bukannya “kayu” untuk menjelaskan mengenai api.
Pembakaran butuh oksigenSatu sifat api adalah agar dapat
bertahan, ia membutuhkan oksigen. Tanpa oksigen, api akan segera padam, karena tidak akan dapat melakukan reaksi kimia yang mana membutuhkan oksigen. Seperti yang kita ketahui, pohon melakukan fotosintesis yang dapat mengubah karbondioksida dan air menjadi glukosa dan oksigen.
Oksigen ini akan dilepaskan oleh pohon sebagai hasil tambahan dari fotosintesis. Dengan oksigen inilah sehingga manusia dapat menyalakan api. Oleh karena itu setelah Allah SWT melalui Al-Qur’an menyatakan “Tidakkah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan?” Allah langsung bertanya “Apakah kamu yang menjadikan pohon itu ataukah Kami yang menjadikannya?” Karena tanpa pohon, tidak akan ada oksigen dan
tanpa oksigen tidak akan ada api.Jadi, fakta yang baru ditemukan
pertengahan abad ke 18 (mengenai fotosintesis) telah di jelaskan oleh Al-Qur’an 15 abad yang lalu. Tentu saja, 15 abad yang lalu tidak ada yang menyadari maksud sebenarnya dari ayat ini, karena istilah oksigen dan fotosintesis sama sekali belum dikenal pada masa itu, terpikirkan pun mungkin tidak, sehingga “syajarataha” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para ahli tafsir terdahulu sama dengan “khusubuha” dimana dalam membuat api, orang menggosok-gosokkan kayu
25BWNews/Edisi 2 Th 2016
atau menggunakan kayu sebagai bahan bakar.
Oksigen dari tumbuhanLebih dalam lagi, Al-Qur’an
menjelaskan hal yang sama dengan narasi yang berbeda di ayat-ayat yang lain:
“yaitu Tuhan yang menjadikan
untukmu api dari pohon yang hijau (as-syajari al-akhdhari), maka tiba-tiba kamu nyalakan daripadanya” (Q.S. Yasiin: 80)
“dan Dialah yang menurunkan
air dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami hasilkan dari itu “sesuatu yang hijau” (khadiran), Kami keluarkan dari itu butir yang banyak ...” (Q.S. Al An’am: 99)
Di dua ayat diatas, dimunculkan kata “akhdar” yang berarti hijau dalam kaitannya dengan pohon (syajara) dan tumbuh-tumbuhan (nabaata). Pada surah Yaasiin, lebih spesifik lagi dikatakan api dijadikan dari “pohon yang (memiliki) hijau” (as-syajari al-akhdari), karena hanya pohon yang memiliki zat hijau daun atau yang dikenal sebagai klorofil yang dapat melakukan fotosintesis dan menghasilkan oksigen. Klorofil dalah zat yang berperan untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi yang dibutuhakan tumbuhan untuk mengubah karbondioksida dan air menjadi glukosa serta menghasilkan oksigen. Tanpa klorofil, tumbuhan-tumbuhan tidak akan dapat melakukan fotosintesis yang tentu saja tidak akan dapat menghasilkan oksigen sehingga api pun tidak akan dapat dinyalakan.
Di surah Al-An’aam ayat ke 99 Allah melalui Quran menyatakan “ fa-akhrajna (lalu Kami keluarkan/
26 BWNews/Edisi 2 Th 2016
hasilkan/ adakan) min’hu (darinya) khadiran (sesuatu yang hijau)”. Selanjutnya dikatakan bahwa sang “khadiran” atau “sesuatu yang hijau” atau istilah populernya “klorofil” tersebut mampu menghasilkan bagi tumbuh-tumbuhan butir yang banyak, karena dengan adanya klorofil maka proses fotosintesis dapat berjalan sehingga menghasilkan makanan yang dibutuhkan bagi tumbuh-tumbuhan untuk menghasilkan buah.
Jika di surah 36 dan 56 di atas Allah menggunakan kata “syajara” atau “pohon” dalam kaitannya dengan api, maka dalam menjelaskan “sesuatu yang hijau” atau khadiran di surah 6, dimana tidak disebut-sebutkan kaitannya dengan api, Allah memasangkannya dengan kata “nabata” atau “tumbuh-tumbuhan”. Hal ini karena jika terkait dengan api, “syajara” atau “pohon” selain menghasilkan oksigen, juga memiliki kayu yang juga dibutuhkan dalam membuat api sebagai bahan bakarnya.
Masih di surah Al-An’aam ayat ke 99, di akhir ayatnya Allah berfirman:
“...Perhatikanlah buahnya
di waktu pohonnya berbuah, dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
Disini Allah secara spesifik menekankan kita untuk memperhatikan keadaan buah dan sekitarnya, mulai ketika buah tersebut masih muda sampai menjadi matang, bagaimana keadaan daun-daun di sekitar buah tersebut, sampai akhirnya pohon tersebut akhirnya tidak menghasilkan buah lagi. Dari daun yang awal mulanya berwarna hijau menjadi mulai memudar dan menjadi berwarna kuning (disebagian jenis pohon), akibat sel-sel hijau daunnya telah mati.
Demikianlah Allah menunjukkan tanda-tandanya kepada manusia, sebagaimana yang difirmankan-Nya dalam surah Fushshilat ayat 53 :
“Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?”. (bwn2)
27BWNews/Edisi 2 Th 2016
Saya ingin mengeluarkan zakat maal dari uang simpanan saya yang insyaAllah sudah sampai nisab dan haulnya. Apakah boleh saya berikan dalam bentuk sembako kepada yang berhak menerimanya ataukah harus berwujud uang?
Seandainya boleh, manakah yang lebih afdhal diantara keduanya dan adakah dalilnya? Mohon pencerahannya pak Ustad supaya kami mantap hati dalam pengamalannya. Semoga pencerahannya bisa menjadi ilmu yang bermanfaat bagi saya dan menjadi simpanan pahala yang berlimpah bagi Pak Ustad. Terimakasih. Wassalamu’alakum Wr. Wb. (Muhidin)
Jawaban:Penanya yang budiman, semoga
selalu dirahmati Allah Swt. Kami memberikan apresiasi yang luar biasa atas kesadaran Bapak dalam membayar zakat, yang tentunya itu lahir dari keimanan yang kuat.
Para ulama berbeda pendapat
mengenai soal boleh atau tidaknya membayar zakat uang atau emas dengan harta atau benda lain yang senilainya (qimah), atau bukan dari jenisnya. Misalnya zakat disalurkan dalam bentuk sembako. Ada yang mengatakan tidak boleh, ada yang mengatakan boleh.
Perselisihan pendapat ini lahir pada dasarnya karena perbedaan dalam melihat hakikat dari makna zakat itu sendiri. Kalangan yang tidak memperbolehkannya lebih cendrung memaknai zakat sebagai bentuk ibadah semata dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karenanya, harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan dalam nash.
Sedang kalangan yang memperbolehkan cenderung melihat zakat sebagai hak yang ditetapkan dalam harta orang-orang kaya untuk kalangan fakir-miskin. Dengan kata lain, zakat adalah hak material (haqqun maliyyun) yang diperuntukkan untuk menutupi kekurangan kalangan
Zakat Harta Simpanan dan
Penyalurannya
Konsultasi
28 BWNews/Edisi 2 Th 2016
fakir-miskin. Karenanya, menurut mereka diperbolehkan membayar zakat dengan yang senilainya. Salah satu dalil mereka adalah apa yang dilakukan Mu’adz bin Jabal Ra kepada penduduk Yaman:
“Thawus berkata, bahwa Mu’ad bin Jabal berkata kepada penduduk Yaman: Berikanlah kepadaku barang berupa pakaian- khamish (pakaian yang panjangnya sekitar lima dira’) atau baju lainnya sebagai ganti gandum dan jagung dalam zakat. Dan hal tersebut lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi para shahabat Nabi saw di Madinah” (H.R. Bukhari)
Dalam pandangan mereka, dalil di atas menunjukkan bahwa Mu’adz menarik zakat sesuatu yang senilai dengannya, bukan dengan gandum dan jagung sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
Hemat kami, kedua pandangan yang saling bertentangan yang lahir dari cara pandangan yang berbeda dalam melihat zakat tidak perlu dipertentangkan dengan tajam. Sebab, zakat pada dasarnya mengandung dua pengertian sekaligus. Yaitu disamping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, zakat juga mengandung pengertian sebagai hak yang ditetapkan dalam harta orang-orang kaya untuk kalangan
fakir-miskin.
Karena itu, maka kedua pendapat di atas bisa digunakan sepanjang membawa kemaslahatan. Artinya, kita bisa memilih pendapat yang pertama jika memang hal itu dianggap yang paling membawa kemaslahatan bagi si penerima zakat. Sama halnya pilihan terhadap pendapat yang kedua. Jadi dalam perbedaan pendapat ini acuannya adalah kemaslahatan.
Penjelasan tersebut, jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas, maka zakatnya uang tetap diberikan berupa uang dengan mengacu kepada pendapat pertama dan didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Namun boleh juga dengan mengacu kepada pendapat kedua zakatnya uang diganti, misalnya dengan sembako yang senilai, dengan catatan hal itu dipandang lebih membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi orang-orang yang berhak menerima zakat.
Demikian penjelasan yang dapat kami sampaikan, semoga bisa menjadi bahan pertimbangan yang berarti. Dan semoga dengan berzakat, harta Bapak bisa menjadi bersih dan berkah. (Bw-NuOnline)
29BWNews/Edisi 2 Th 2016
“Anak ada empat, laki-laki semua, dan sudah dewasa, kenapa (masih) harus nyangkul sendiri?” Sebuah pertanyaan diajukan kepada seorang guru SD Negeri sekaligus petani yang sedang merapikan cangkul untuk persiapan ke sawah. Sebut saja namanya Suja.
Pertanyaan Sabtu (21/5) malam itu dijawab oleh Suja dengan sebuah kisah masa lalu yang tidak bisa dilupakannya. “Ini karena kesalahan saya,” jawab warga Kabupaten Subang, Jawa Barat ini.
Suja mengungkapkan, bapaknya yang bernama Saeful Bahri adalah seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di luar jam mengajar, sang ayah memiliki aktivitas lain, yaitu mengurus sawah miliknya.
Suja mengisahkan, waktu kecil ia sering disuruh sang ayah untuk membantu mengurus sawah. Bagi Bahri yang kian sibuk, pekerjaan itu merepotkan, apalagi jika musim panen tiba, karena harus memanggul karung padi,
Kisah PenyesalanAnak yang Durhaka
pada Ayahnya
Inspirasi
30 BWNews/Edisi 2 Th 2016
menjemur, sampai memasukannya kembali ke dalam karung.
Namun sayangnya Suja sering menolak perintah Bahri tersebut. Suja hanya bersedia melakukan semua itu dengan satu syarat yang diajukan.
“Kalau dikasih uang sama almarhum bapak, baru saya mau ngurus padi. Kalau enggak dikasih ya enggak,” sesal Suja di Subang.
Suja sama sekali tidak akan bergerak untuk membantu bapaknya jika tidak ada uang. Jika uang sudah diberi, Suja akan langsung bekerja.
“Almarhum pernah bilang sama saya, ‘kamu jangan begitu, siapa tahu nanti kalau sudah berkeluarga kamu juga punya sawah’,” kisah Suja menirukan ucapan ayahnya, sambil merapikan cangkul buat persiapan
besok ke sawah.
Beberapa tahun kemudian Suja berkeluarga dan saat ini dikaruniai empat orang anak. Ternyata, apa yang diucapkan oleh bapaknya puluhan tahun yang lalu terbukti, Suja punya sawah.
“Eehh... sekarang, anak saya susah kalau disuruh bantu-bantu ngurus sawah, mereka mau bantu kalau dikasih duit. Kalau enggak ya enggak bakalan mau. Ini karena kesalahan saya dulu,” ucap Suja penuh sesal.
Ia pun mengingatkan agar selalu berusaha berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika kita bisa berbakti dan berbuat baik kepada orang tua, kelak anak-anak kita akan berbakti dan berbuat baik kepada kita, begitu pun jika sebaliknya. (NuOnline - Aiz Luthfi)
31BWNews/Edisi 2 Th 2016
Berkait birrul walidain, tentu kita akan teringat pada sosok Uwais al Qarni, seorang zuhud yang
hidup di zaman sahabat namun masuk golongan tabiin. Kisah Uwais bin ‘Amir Al Qarni ini patut diambil faedah dan pelajaran. Terutama ia punya amalan mulia bakti pada orang tua sehingga banyak orang yang meminta doa kebaikan melalui perantaranya. Apalagi yang menyuruh orang-orang meminta doa ampunan darinya adalah Nabi SAW yang sudah disampaikan oleh beliau jauh-jauh hari.
Kisahnya adalah berawal dari
pertemuaannya dengan Sayyidina ‘Umar bin Al Khattab. Dari Usair bin Jabir, ia berkata, Sayyidina ‘Umar bin Al Khattab ketika didatangi oleh serombongan pasukan dari Yaman, ia bertanya, “Apakah di tengah-tengah kalian ada yang bernama Uwais bin ‘Amir?” Sampai ‘Umar mendatangi ‘Uwais dan bertanya, “Benar engkau adalah Uwais bin ‘Amir?” Uwais menjawab, “Iya, benar.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau dari Murod, dari Qarn?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar bertanya lagi, “Benar engkau dahulu memiliki penyakit kulit
dan Do’a MustajabnyaUwais al Qarni
Siroh’
32 BWNews/Edisi 2 Th 2016
lantas sembuh kecuali sebesar satu dirham.” Uwais menjawab, “Iya.” Umar bertanya lagi, “Benar engkau punya seorang ibu?” Uwais menjawab, “Iya.”
Umar berkata, “Aku sendiri pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Umar pun berkata, “Mintalah pada Allah untuk mengampuniku.” Kemudian Uwais mendoakan Umar dengan meminta ampunan pada Allah. Umar pun bertanya pada Uwais, “Engkau hendak ke mana?” Uwais menjawab, “Ke Kufah”. Umar pun mengatakan pada Uwais, “Bagaimana jika aku menulis surat kepada penanggung jawab di negeri Kufah supaya membantumu?” Uwais menjawab, “Aku lebih suka menjadi orang yang lemah (miskin).”
Tahun berikutnya, ada seseorang dari kalangan terhormat dari mereka pergi berhaji dan ia bertemu ‘Umar.
Umar pun bertanya tentang Uwais. Orang yang terhormat tersebut menjawab, “Aku tinggalkan Uwais dalam keadaan rumahnya miskin dan barang-barangnya sedikit.” Umar pun mengatakan sabda Rasulullah SAW, “Nanti akan datang seseorang bernama Uwais bin ‘Amir bersama serombongan pasukan dari Yaman. Ia berasal dari Murad kemudian dari Qarn. Ia memiliki penyakit kulit kemudian sembuh darinya kecuali bagian satu dirham. Ia punya seorang ibu dan sangat berbakti padanya. Seandainya ia mau bersumpah pada Allah, maka akan diperkenankan yang ia pinta. Jika engkau mampu agar ia meminta pada Allah supaya engkau diampuni, mintalah padanya.”
Orang yang terhormat itu pun mendatangi Uwais, ia pun meminta pada Uwais, “Mintalah ampunan pada Allah untukku.” Uwais menjawab, “Bukankah engkau baru saja pulang dari safar yang baik (yaitu haji), mintalah ampunan pada Allah untukku.” Orang itu mengatakan pada Uwais, “Bukankah engkau telah bertemu ‘Umar.” Uwais menjawab, “Iya benar.” Uwais pun memintakan ampunan pada Allah untuknya.
“Orang lain pun tahu akan keistimewaan Uwais. Lantaran itu, ia mengasingkan diri menjauh dari manusia.” (HR. Muslim no. 2542)
33BWNews/Edisi 2 Th 2016
Allah swt maha mengetahui apa yang paling pantas dan bermanfaat bagi manusia lebih
dari manusia itu sendiri mengetahui tentang dirinya. Meskipun kadangkala karena kebodohannya manusia merasa bahwa apa yang diperintahkan Allah itu memberatkan, merugikan bagi dirinya
Karena itu Allah mengutus rasul-rasul di dunia ini sebagai pemberi petunjuk kepada manusia agar senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah swt. Dalam menetapkan syariat atau tata cara ibadah mahdah misalnya, ia didisain sedemikian rupa sehingga benar-benar sesuai dengan fitrah/kondisi manusia, tidak membahayakan, serta jelas maksud dan tujuan yang ingin dicapai.
Sebagai contoh berpuasa di bulan Ramadhan. Dengan tegas dinyatakan bahwa siapa saja orang beriman pasti sanggup melaksanakannya. Dan apabila dilakukan menurut petunjuk
Rasulullah saw yaitu berpuasa dengan imaanan (niat ikhlas karena Allah) wahtisaban (prosedural) dipastikan atau diharapkan tujuan menjadi orang bertaqwa akan tercapai.
Makna Puasa secara istilah atau terminologi fiqh, puasa artinya adalah menahan dari makan, minum, berhubungan seksual, dan dari segala perbuatan yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib).
Karena itu seorang muslim sudah dianggap sah puasanya menurut pandangan ahli fiqh, asalkan ia mampu untuk tidak makan, minum, berhubungan biologis dan mengerjakan perbuatan yang membatalkan puasa dari waktu imsak sampai berbuka.
Namun hakikat atau esensi puasa itu tidak hanya sekedar menahan diri dari nafsu perut dan nafsu syahwat tersebut, tetapi ada yang lebih substansial yaitu menahan/mengendalikan diri dari segala keinginan hawa nafsu yang
Puasa sebagai
Pendidikan Komprehensif
Sepanjang Hayat
Oleh: Agus Saputera
Nusantara Berkarya
34 BWNews/Edisi 2 Th 2016
dapat menjerumuskan manusia kepada kerusakan dan kebinasaan. Kemampuan untuk menahan dan mengendalikan diri ini tidaklah semata-mata diraih begitu saja, tetapi memerlukan waktu atau proses latihan atau pendidikan secara terus menerus, teratur, mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Karena itu jangka waktu pelaksanaan puasa Ramadhan didesain selama satu bulan agar menimbulkan efek atau mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu taqwa.
Sehingga Allah swt memastikan seseorang akan dapat mencapai derajat taqwa dengan syarat ia benar-benar menjalankan puasanya sesuai ketentuan (prosedural). Proses atau prosedur ini dalam hadits Rasulullah saw disebut dengan imaanan (dilakukan dengan penuh kesadaran, taat, dan ikhlas karena Allah) wa-ihtisaban (dan memelihara puasa dari hal yang membatalkan dan merusak pahalanya).
Itulah sebabnya orang yang dipanggil Allah atau syarat seseorang untuk menjalankan puasa Ramadhan adalah telah wujudnya iman dalam hati seseorang meskipun hanya sebesar zarah. Imanlah yang membuat seseorang yang berpuasa mampu tetap bertahan untuk tidak makan atau minum, padahal ia benar-benar lapar dan dahaga.
Hal ini ia lakukan karena
menyadari sepenuhnya akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi dalam segenap aktifitasnya dimana dan kapan saja. Kondisi seperti inilah yang menjadi target pelaksanaan ibadah puasa, yaitu tercapainya derajat taqwa. Taqwa adalah sebuah kondisi jiwa seseorang yang penuh dengan kesadaran akan kehadiran Allah swt yang Maha Mengawasi, dimana saja dan kapan saja, sehingga mendorong dirinya untuk selalu patuh dan taat dalam mengerjakan segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Taqwa berasal dari dalam diri, karena itu ia sangat bersifat pribadi. Jadi hanya yang bersangkutanlah yang dapat mengukur kadar taqwa dirinya. Itulah sebabnya puasa disebut juga
35BWNews/Edisi 2 Th 2016
sebagai ibadah yang sangat pribadi. Sebab hanya yang bersangkutan dan Allah sajalah yang mengetahui seseorang sedang menjalankan puasa dan Dialah yang langsung memberi pahala (menilai) puasa seseorang. Inilah yang dimaksud oleh hadits qudsi yang berbunyi: Puasa adalah milikKu (Tuhan), dan Akulah yang akan menanggung pahalanya (menilai kwalitas puasa seorang hamba).
Oleh karena itu tidak ada ibadah di dalam Islam yang sarat dengan pendidikan atau latihan, yang lebih efektif, lebih komprehensif dan menyeluruh selain dari pada puasa (Ramadhan). Sebab puasa atau nilai-nilai puasa sesungguhnya terdapat hampir di seluruh bentuk ibadah mahdhah dalam Islam.
Di dalam sholat kita menahan dari makan, minum, dan berbicara yang tidak baik apabila takbir sudah diucapkan. Dalam zakat atau sedekah kita diwajibkan untuk mengeluarkan atau memberikan dari yang baik-baik.
Dalam haji kita dilarang berbantah, berkata kotor, dan menyakiti orang lain. Jadi unsur-unsur menahan atau mengendalikan diri seperti yang terdapat dalam ibadah-ibadah mahdah di atas sudah tercakup dalam pelaksanaan ibadah puasa. Pantaslah kalau dikatakan puasa adalah jalan pintas menuju taqwa.
Hikmah Puasa Ulama fikih menyimpulkan beberapa hikmah yang melatarbelakangi puasa, di antaranya adalah: (1) Menjadikan orang patuh dan taat kepada aturan yang benar dan baik, yaitu melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagai bukti orang yang bertaqwa. (2) Sebagai rasa syukur kepada Allah swt atas berbagai nikmat yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya. (3) Melatih diri dalam mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual.
Di dalam keadaan lapar berbagai nafsu bisa ditekan. Dalam kaitan inilah Rasulullah saw menyuruh para pemuda untuk memperbanyak puasa jika belum mampu melaksanakan perkawinan. (4) Menahan diri dari
36 BWNews/Edisi 2 Th 2016
berbuat maksiat, karena maksiat muncul akibat nafsu yang tidak terkontrol. Dengan berpuasa, nafsu dapat dikontrol. (5) Dapat merasakan penderitaan orang-orang miskin yang pada akhirnya membawa seseorang untuk memikirkan nasib orang-orang miskin tersebut.
Di dalam berpuasa seseorang merasakan lapar dan dahaga sebagaimana yang dirasakan setiap hari oleh fakir dan miskin. (6) Untuk melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan bagi orang-orang yang berpuasa, serta memperkuat tekad untuk melakukan suatu pekerjaan. (7) Menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu berat, sebagaimana pada hari-hari biasa. Di dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud mengatakan: Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat. (Iman, 2007).
Betapa besar dan banyaknya manfaat atau hikmah yang dapat diperoleh dari berpuasa khususnya di bulan Ramadhan. Semua itu tidak akan dapat tercapai kecuali melalui proses pendidikan dan latihan
yang dilakukan secara teratur, terus-menerus melalui cara-cara yang benar (imaanan wa-ihtisaban).
Dengan menjalankan puasa serta mengerjakaan amalan-amalan di bulan Ramadhan berarti kita sedang berupaya menggali nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa akan menjadikan orang yang berpuasa itu mampu menyucikan jiwa, raga, dan hartanya (tazkiyatun nafsi walbadani wal-amwali) sehingga ia menjadi orang yang bertaqwa.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa puasa merupakan simbol kewajiban pribadi dan zakat sebagai simbol kewajiban sosial. Kedua kewajiban ini adalah sarana pensucian jiwa dan harta manusia. Dimana puasa kita di bulan Ramadan dan zakat yang dikeluarkan merupakan suatu training dan pendidikan saja, untuk diaplikasikan dalam 11 bulan ke depan.
Orang yang berpuasa melalui pendidikan dan latihan yang dilakukannya insya Allah akan tumbuh dan muncul dalam dirinya
37BWNews/Edisi 2 Th 2016
nilai-nilai dan sifat-sifat utama dalam kehidupan seperti amanah dan jujur, sabar, tabah, berkepedulian sosial, disiplin, adil, serta bersungguh-sungguh dan konsisten dalam melakukan setiap pekerjaan.
Semua sifat terpuji tersebut merefleksikan sebuah ketinggian moral, rasa solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan yang amat dalam, dan kematangan spiritual yang amat tinggi. Kalau kita bercermin pada kehidupan Rasulullah, maka selama hidup beliau di luar bulan Ramadan juga berpuasa seperti puasa Senin Kamis, puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari buka), puasa tiga hari pertengahan bulan, puasa enam hari bulan Syawal, puasa hari Arafah, puasa hari Asyura (10 Muharam), dan memperbanyak puasa di bulan Syaban. Dan beliau senantiasa bersifat dermawan dan gemar bersedekah di bulan-bulan yang lain di luar Ramadhan. (Al-Habsyi,1999).
Karena itu nilai-nilai pendidikan ibadah puasa bukan untuk diwujudkan dalam Ramadan saja, melainkan untuk diterapkan dalam bulan-bulan lainnya sepanjang tahun, bahkan untuk sepanjang hayat. Dengan demikian, ibadah puasa Ramadan merupakan metode yang paling tepat untuk pendidikan akhlak manusia. Semangat
dan kebiasaan dalam bulan suci Ramadhan, membentuk karakter dan mental untuk tetap konsisten dan istiqomah dalam sebelas bulan berikutnya.
Sesungguhnya pesan yang ingin disampaikan bahwa bulan Ramadan adalah bulan pendidikan, bulan latihan untuk diaplikasikan terus setelah bulan Ramadan usai. Puasa di bulan Ramadan dan amal-amal yang terdapat di dalamnya seperti bersedekah, membayarkan zakat, berinfaq, berderma, menyantuni kaum miskin dan dhuafa, berbuat baik kepada orang lain adalah sebuah simbol, motto, slogan atau komitmen yang harus dipegang erat dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen (istiqomah) di luar bulan Ramadhan.
Itulah sebenarnya makna puasa sebagai bentuk pendidikan komprehensif sepanjang hayat. Sebab derajat taqwa yang dengan susah payah diraih selama bulan Ramadhan merupakan hasil pendidikan dan pelatihan (training) yang harus senantiasa dipertahankan agar mewarnai bulan-bulan lain dalam setahun, bahkan sepanjang hayat kita.
Agus Saputera; Subbag Hukmas dan KUB, Kanwil Depag
Provinsi Riau
38 BWNews/Edisi 2 Th 2016
MEWARNAIApresiasi
39BWNews/Edisi 2 Th 2016
Niat Zakat Fitrah Untuk Diri Sendiriنويت ان اخرج زكاة الفطر عن نفس فرضا هلل تعالى
“Aku Berniat menunaikan zakat fitrah utk diriku sendiri sesuatu kewajibankarena Allah Ta’ala”
Niat Zakat Fitrah Untuk Diri Sendiri & Keluargaنويت ان اخرج زكاة الفطر عنى وعن جميع من يلءزمني نفقاتهم شرعا فرضا هلل تعالى
“Aku berniat menunaikan zakat fitrah utk diriku & utk semua orang yg nafkahnya menjadi tanggunganku menurut syariat agama sesuatu kewajibankarena Allah Ta’ala”
Do’a Menerima Zakatءاجرك هللا فيما اعطيت وبارك فيما ابقيت وجعل هللا لك طهورا
“Semoga Allah melimpahkan ganjaran pahala terhadap harta yg telah Engkau berikan & semoga Allah memberkahi harta yg masih tersisapadamu, serta semoga Allah menjadikan dirimu suci bersih”
DOA NIAT ZAKAT FITRAH DAN DO’A MENERIMA ZAKAT
Doa’
40 BWNews/Edisi 2 Th 2016
GINSENG JAWA:TANAMAN SAYURAN DAN STAMINA
Ginseng jawa dapat digunakan sebagai
ramuan obat dengan cara mengeringkannya
dan daunnya dapat dijadikan sayuran.
Daun ginseng jawa mengandung vitamin A, banyak mineral penting,
dan kaya akan serat.
MENDENGAR nama “Ginseng” ingatan kita akan
tertuju pada film Khung Fu Cina yakni tumbuhan
identik dengan akar yang digunakan untuk
pengobatan. Memang dahulu ginseng digunakan
dalam pengobatan tradisional. Ginseng dalam bahasa
latin panax yang berasal dari kata “ax” dari “axos”
yang berarti obat yang diartikan obat dari segala
penyakit. Merupakan jenis tanaman yang berkhasiat
obat, tumbuhan ini masuk ke dalam suku Araliaceae.
Nama Ginseng diambil dari bahasa Inggris
yang dibaca mengikuti lafal bahasa kantonis “jen
shen” dalam bahasa Mandarin dibaca “ren shen”
Herbal
41BWNews/Edisi 2 Th 2016
yang berarti duplikat manusia oleh karena
bentuk akarnya menyerupai manusia.
Tumbuh di belahan bumi utara terutama
Siberia, Manchuria, Korea, dan Amerika.
Begitupun ada juga ginseng tropis yang
dapat ditemukan di Vietnam, dan Malaysia.
Apakah ada ginseng Indonesia?
Ternyata di Indonesia juga terdapat
tumbuhan ginseng yakni ginseng jawa atau
Som Jawa. Namun ginseng jawa berbeda
dengan ginseng yang sudah dikenal pada
umumnya. Ginseng Jawa memiliki nama
latin Talinum Crassifolium yang biasa
disebut dengan istilah kolesom jawa.
Ginseng jawa merupakan tanaman herbal
yang merupakan tanaman perdu yang
tumbuh semi menjalar dengan ketinggian
antara 40 cm hingga 60 cm. Tanaman
ini memiliki banyak cabang yang dapat
ditanam melalui biji maupun stek batang
atau tinggal menancapkan batangnya ke
tanah.
Daunnya berwarna hijau mengkilap
berbentuk oval, memiliki bunga berwarna
majemuk dengan warna keunguan
dan merah muda. Tanaman ginseng
jawa juga sangat bagus untuk dapat
dikembangbiakan dan dapat digunakan
sebagai tanaman hias oleh karena warna
hijau daunnya dan warna bunganya yang
cantik dan menarik.
Ternyata ginseng jawa juga memiliki
manfaat dan khasiat mulai dari akar, batang
hingga daunnya. Mulai dari pemanfaatan
untuk sayuran maupun pengobatan.
Ginseng jawa dapat digunakan
sebagai ramuan obat dengan cara
mengeringkannya dan daunnya dapat
dijadikan sayuran. Daun ginseng jawa
mengandung vitamin A, banyak mineral
penting, dan kaya akan serat. Akarnya
mengandung zat aktif, diantaranya adalah
saponin, tannin, dan flavonoid, kandungan
kimia ginseng yang telah diketahui adalah
saponin dan glikosida. Glikosida pada
akar ginseng dikenal sebagai ginsenosida.
Akarnya mengandung 16 jenis ginsenosida
seperti minyak asiri, panasena, resih,
musilago, asam panax, fitosterol, hormon,
vitamin B, kabohidrat, dan selulosa.
Manfaat ginseng jawa antara lain,
daunnya berkhasiat menguatkan paru-
paru, dan zat afrodisak yang terkandung
dalam daun ginseng yang berfungsi juga
untuk merangsang daya seksual atau
stamina tubuh. Daunnya juga memiliki
manfaat untuk meningkatkan nafsu makan,
mengobati sakit maag, dan menyegarkan
kembali wajah, meningkatkan produksi
ASI, dan juga untuk pengobatan bisul.
Daun ginseng jawa memanfaatkannya
dengan cara dibuat sayur, ditumis, maupun
dijadikan campuran mie rebus. Begitupun
akarnya maupun batangnya, akarnya
dan batangnya dapat digunakan untuk
pengobatan dengan mencampurkannya
pada minuman air putih lalu dimasak.
Namun jangan mengkonsumsi
ginseng jawa dengan berlebihan karena
efek sampingnya dapat menyebabkan
pusing kepala dan keracunan.
***
42 BWNews/Edisi 2 Th 2016
Lambang merupakan sebuah simbol ataupun sebagai sebuah tanda. Setiap perlambangan tersebut
memiliki arti dan makna.Perlambang idul fitri atau lebaran
yakni simbol “ketupat”. Ketupat memiliki arti yang beragam. Pertama, ketupat berasal dari kata “telu (3) lan papat (4)”. Tiga (telu) mensimbolkan bulan ramadhan adalah rukun Islam yang ketiga diwajibkan untuk berpuasa. Sedangkan 4 (papat) berarti rukun Islam ke empat yakni zakat. Karena setelah diwaijbakannya berpuasa, orang yang beriman di wajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat idul fitri.
Kedua, ketupat berasal dari bahasa arab “tauifat” yang memiliki arti jamaah, kelompok atau grup. Seluruh umat Islam di wajibkan untuk melakukan ibadah puasa, hal ini menunjukkan sebuah keseragaman dan kebersamaan. Tali persatuan dan kesatuan diutamakan, ketika saudara kita sakit maka kitapun merasakan sakit.
Ketiga, ketupat dalam bahasa jawa berarti “ngaku lepat” atau mengakui segala kesalahan baik yang disengaja ataupun tidak. Maka tidak heran di masyarakat ada ekspresi ujung-ujung yang berarti berkunjung dari ujung sampai ujung. Mengapa ujung, karena ujung berarti puncak dan awalan. Ketika kita dilahirkan dalam keadaan suci, kembali ke pangkuan Tuhan harus dalam keadaan suci. Maka maaf
KETUPAT
menjadi senjata untuk memperbaiki kesucian. Ujung-ujung ditandai dengan meminta maaf, kalau dalam bahasa perkampungan masyarakat nusantara, “njaluk ngapuro” atau meminta maaf, kata ngapuro berasal dari bahasa arab asmaul husna al-ghofur yang berarti maha pengampun.
Keempat, ketupat bermakna “mangku perkoro papat” atau kita memiliki empat beban perkara. Yakni menjaga hawa nafsu, shalat malam, tadarus atau membaca kitab suci dan zakat atau beramal. Mangku ataupun beban, bukan berarti sebuah perkara yang memberatkan akan tetapi menjadi sebuah ujian untuk menjadi yang terbaik. Karena selama satu bulan didik untuk menjadi manusia yang akan kembali fitrah, sahur di pertiga malam menandakan kita supaya gemar shalat malam. Intinya dalam perkara ini diajarkan nilai-nilai keistiqamahan.
Ketupat merupakan makanan yang enak tentunya, hadir pada saat lebaran. Secara geometri pembuatan ketupatan sangatlah rumit, hal ini menandakan bahwa lika-liku kehidupan manusia amatlah rumit dan terkadang dilumuri banyak dosa. Namun jika membelah ketupat tersebut, sungguh kita akan takjub karena di dalamnya ada sebuah warna putih, bersih dan suci. Menandakan bahwa pada ramadhan ini kita dididik hatinya untuk kembali menjadi suci.
Idul Fitri
Oase
43BWNews/Edisi 2 Th 2016