Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

12

description

MENAKAR BATAS TRADISI. Keberadaan media tradional jelas tak bisa dilepaskan dari komunitas pendukung yang memiliki memiliki kebiasan menggunakan media itu. Melalui pertunjukan tradisional masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa rakyat yang gampang dicerna.

Transcript of Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

2w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Tabloid komunika. ISSN: 1979-3480. Diterbitkan oleh DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKAPengarah: Prof. Dr. Moh Nuh, DEA (Menteri Komunikasi dan Informatika). Penanggung jawab: Dr. Suprawoto, SH. M.Si. (Kepala Badan Informasi Publik) Pemimpin Redaksi: Drs. Bambang Wiswalujo, M.P.A.(Kepala Pusat Pengelolaan Pendapat Umum). Wakil Pemimpin Redaksi: Drs. Supomo, M.M. (Sekretaris Badan Informasi Publik); Drs. Ismail Cawidu, M.Si. (Kepala Pusat Informasi Politik Hukum dan Keamanan); Drs. Isa Anshary, M.Sc. (Kepala Pusat Informasi Perekonomian); Dr. Gati Gayatri, MA. (Kepala Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat). Sekretaris Redaksi: Mardianto Soemaryo. Redak-tur Pelaksana: M. Taufi q Hidayat. Redaksi: Drs. Lukman Hakim; Drs. Selamatta Sembiring, M.Si.; Drs. M. Abduh Sandiah; Dra. Asnah Sinaga. Reporter: Suminto Yuliarso; Lida Noor Meitania, SH, MH; Karina Liestya, S.Sos; Elpira Indasari N, S.Kom; Koresponden Daerah: Nursodik Gunarjo (Jawa Tengah), Supardi Ibrahim (Palu), Yaan Yoku (Jayapura). Fotografer: Fouri Gesang Sholeh, S.Sos. Desain/Ilustrasi: D. Ananta Hari Soedibyo (TA); Farida Dewi Maharani, Amd.Graf, S.E., Danang Firmansyah. Alamat Redaksi: Jalan Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Telp/Faks. (021) 3521538, 3840841 e-mail: [email protected] atau [email protected]. Redaksi menerima sumbangan tulisan, artikel dan foto yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi dari tulisan tersebut. Isi komunika dapat diperbanyak, dikutip dan disebarluaskan, sepanjang menyebutkan sumber aslinya.

Harus disadari, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20% yang tinggal di kota. Sayangnya, konsumsi media modern justru menunjukkan angka sebaliknya, 80% dikonsumsi oleh orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat desa. Ketidakseimbangan mass media exposure di wilayah perdesaan ini tentu harus diimbangi dengan ketersediaan media komunikasi lain yang dapat dengan tepat menyentuh hajat komunikasi orang desa. Dan tidak bisa tidak, dalam kondisi seperti ini, penggunaan media tradisional adalah sebuah keniscayaan.

Media massa modern memang sering dinilai lebih “unggul”, karena lebih cepat dan memiliki kemampuan menaklukkan ruang dan waktu. Akan tetapi media jenis ini tidak bisa diterapkan secara efektif di kalangan masyara-kat perdesaan karena adanya kendala aksesibilitas. Media cetak seperti koran dan majalah misalnya, terkendala kemam-puan masyarakat untuk ber-langganan. Media elektronik radio dan televisi, belum menjangkau seluruh wilayah perdesaan di Indonesia—selain memiliki sifat bawaan “selintas dengar atau lihat” sehingga isinya mudah dilupakan publik. Sementara media baru yakni media online-interaktif, menghadapi kendala konektivitas karena biaya aksesnya relatif mahal dan ketersediaan infrastruktur pendukung belum berpihak pada kebutuhan masyarakat perdesaan.

Oleh karena itu, dalam menyebarkan informasi di perdesaan, media modern harus dipergunakan secara terintegrasi dengan media tradisional. Dengan cara tersebut, kendala aksesibilitas yang muncul dalam penggunaan media modern dapat tertutup oleh penggunaan media tradisional. Sebaliknya, sifat media tradisional yang “lambat” dan “lokal” dapat ditutup oleh media modern yang lebih “cepat” dan “global”.

Berdasarkan konsep starting from people, penyebaran informasi di perdesaan akan berjalan lebih efektif jika menggunakan media yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Media yang memenuhi karakteristik tersebut, tak lain dan tak bukan,

Meningkatkan Peran Media Tradisionaladalah media tradisional. Berbagai macam kesenian tradisional yang berkembang dan didukung ke-beradaannya oleh masyarakat, dalam hal ini dapat dipergunakan sebagai sarana pembantu penyebaran informasi yang cukup efektif.

Pertunjukan rakyat misalnya, dapat dipergunakan untuk mengarahkan perhatian masyarakat desa terhadap informasi tertentu yang akan disampaikan. Nyanyian, musik, cerita yang ada di dalamnya merupakan sarana yang sangat efektif untuk mem-fasilitasi proses berbagi pandangan dan menggugah perhatian masyarakat terhadap isu tertentu. Namun untuk mencapai efektivitas komunikasi secara keseluruhan tetap membutuhkan ‘bantuan’ dari media komunikasi lain secara integratif.

Tantangan yang d i h adap i d a l am m e n g h a d i r k a n media tradisional adalah bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi ma-

syarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari masyarakat atau komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada artinya.

Ciri dari setiap media tradisional adalah parti-sipasi warga, melalui keterlibatan fi sik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya tradisional pada hakkatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas.

Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media yang mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk mengusung suatu media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya, secara praktis hanya dapat dilakukan jika secara substansial budaya dan media dimaksud sudah mengalami transformasi sebagai

spectacle. Dalam formatnya yang asli, media tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula pemanfaatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.

Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar diposisikan sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle? Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit menempatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi) secara berimbang.

Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan un-tuk berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi masyarakat. Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai media penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.

Pertanyaan yang penting adalah, sudahkah media tradisional mentransformasikan diri sebagai spectacle yang bisa dinikmati masyarakat di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah satu kendala dari media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan lingkupnya yang lokal, sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Karakteristik eksklusif semacam ini tentu kurang menguntungkan, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah besar. Namun demikian, kehadiran media tradisional masih banyak dibutuhkan di beberapa wilayah Indonesia.

Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadi general spectacle, tontonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat dalam jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas. Inovasi dalam hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi wujud dan karakter asli dari kesenian tradisional dimaksud. (g).

desa

in:

ahas

/dan

ang

fot

o: b

f-m

, im

ageb

ank

Tetap Bersatu

Tidak ada suatu bangsa yang menjadi bangsa yang jaya, tanpa ujian. Dalam Pemilihan Umum kembali bangsa ini mengalami uj ian sekal i lag i . Jangan sampai perbedaan pendapat menjadi pemicu pecah-belahnya persatuan bangsa.

Krisis demi krisis telah datang silih berganti dalam perjalanan sejarah kita, namun semua itu dapat kita selesaikan. Yang perlu dilakukan bersama adalah terus mewujudkan negara yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera, sesuai cita-cita dan tujuan kemerdekaan bangsa kita.

[email protected]

Penyebaran Informasi

Assalamu'alaikum wr. wb.Sebagaimana dimaklumi,

bahwa Dishubkominfo Kota Tasikmalaya terutama bidang Kominfo sesuai PP Nomor 38 tahun 2007 sebagai lembaga

baru belum memiliki kelengkapan yang dapat menunjang untuk kelancaran tugas yang sesuai dengan tupoksinya.

Untuk membantu kelancaran tugas tersebut, mohon informasi tentang pengajuan permohonan M-Cap untuk penyebaran informasi kepada masyarakat. Demikian, atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.

Yayat SuryatKabid Kominfo Dishubkominfo

Kota [email protected]

Sosialisasi UU ITE

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah disahkan dan lolos dari uji materi di Mahakamah Konstitusi. Namun demikian ada hal yang perlu diperhatikan, yaitu berkaitan dengan implementasi oleh aparat penegak hukum.

Beberapa kasus menunjukkan bahwa dalam penerapan dakwaan serta persepsi masyarakat sa-ngat beragam. Mungkinkah Dep-kominfo dapat lebih berperan aktif dalam sosialisasi UU ITE pada masyarakat luas?

Siswoko R. Wisastro [email protected]

UU KIP Di Daerah

Ketidaktahuan dari masyarakat mengenai UU KIP umumnya karena sosialisasi tidak berhasil, lebih ekstrim tidak sampai. Kenapa tidak sampai? Karena media untuk jembatan informasi ke masyarakat tidak memadai.

Kami dari Dinas Kominfo Kab. Tapanuli Utara sangat me-rasakannya, karenanya sangatlah indah apabi la Depkominfo berkenan untuk mengembangkan dan memfasilitasi penyediaan sarana operasional informasi publik. Dengan demikian lalu lintas informasi dari pemerintah pusat hingga ke masyarakat perdesaan pun dapat terselenggara dengan indah pula

Giotto Sormin [email protected]

Menuju Industri Kreatif

Budaya Indonesia sangat menarik diamati, terutama seni tari dan musiknya. Tapi saat ini kesenian asli seperti gamelan dari Jawa, Bali, Sunda, Bugis atau lainnya mulai ditinggalkan. Di kalangan anak muda, kesenian tersebut dibilang "katro". Padahal jika dicermati kesenian tersebut

bisa membawa berkah buat kita, terutama di era industri kre-atif. Lihat saja ada trend yang ber-kembang sekarang musik-musik di barat yang mulai berkiblat ke wilayah timur, termasuk Indo-nesia. Gamelan di negara barat tidak hanya dijadikan inspirasi untuk mengembangkan musik-musik barat, tetapi juga diajarkan ke berbagai organisasi dan lembaga bahkan di penjara-penjara seperti di Inggris.

Inilah realitas globalisasi yang

harusnya dipahami timbal balik. Bukan saja mencontek peradaban barat tapi juga harus mengangkat tradisi negeri sendiri.

Bangsa kita sendiri harus mampu menghargai karya anak bangsanya. Banyak hasil karya kita tidak dihak paten, akibatnya banyak diakui oleh negara-negara lain sehingga bangsa kita sendiri malah kehilangan kekayaan tradisi yang memiliki potensi ekonomis.

KariminSurakarta

Media tradisional sifatnya eksklusif cenderung hanya bisa

dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas, tapi bisa melengkapi media modern.

Kepala Badan Informasi Publik, Dr. Suprawoto, SH, MSi, Drs. Suko Widodo, MA (Akademisi), H. Rochmad Effendy, MSi (Akademisi) dalam diskusi tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel di Aula Universitas Merdeka Malang, Senin (01/06).

s a

t u

k a

t a

i

n d

o n

e s

i a

3komunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Seorang peserta seminar kebangsaan di Gedung STOVIA, pertengahan Mei

lalu mempertanyakan kembali kenapa bangsa ini melupakan nilai kebersamaan yang telah dianut dan disepakati. "Kita tak punya jati diri," katanya dengan nada putus asa.

Kontan penyataan itu disambut dengan antusias oleh seluruh peserta yang kebanyakan adalah veteran perjuangan. Ada yang mengusulkan perubahan secara mendasar dimulai dari konstitusi, ada pula yang berusaha realistis.

Tapi, di sudut lain kompleks eks-STOVIA, tampak sepasang remaja malah asyik bercengkerama. Dua insan berlainan jenis ini tidak hirau dengan debat dan nuansa kebangsaan yang tengah digagas di aula seminar. Bak syair lagu, dunia adalah milik mereka berdua.

Kontras pandangan dan praktik seperti itu tak hanya disaksikan dalam momen di eks-STOVIA. Bisa jadi jurang antar generasi sudah sedemikian besar sehingga perhatian terhadap bangsa ini juga sangat berbeda jauh.

"Bagaimanapun perubahan ini merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Pergaulan global memang mesti dihadapi dan digeluti agar bangsa kita tidak tertinggal jauh dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia," ungkap Fahry Ali, yang ikut jadi pemrasaran dalam acara seminar itu. Namun demikian, perlu ada kesamaan nilai dan pandangan yang menjadi acuan bersama sebagai arah tujuan bangsa.

Seolah mewakili opini yang berkembang, Edwin, aktivis ge-rakan pemuda meminta peme-rintah bertanggung jawab untuk melakukan pembangunan kembali karakter bangsa. Idealnya memang sikap dan jiwa bangsa Indonesia tetap teguh dan memiliki komitmen akan masa depan bangsa. ”Mung-kin diperlukan penanaman nilai secara radikal. Bisa jadi hal ini sangat tidak demokratis dan tidak sesuai dengan zaman reformasi seperti sekarang ini. Namun itulah risiko yang harus kita tempuh jika kita ingin memiliki karakter bangsa

yang teguh,” lanjut Edwin.

Memupus KeraguanMemang perubahan sistem

politik Indonesia dewasa sedang mencari titik imbang dengan me-lalui berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, dari dinamika yang terjadi banyak pengakuan positif dari negara-negara lain.

Keberhasilan demokratisasi di Indonesia diakui oleh

Prof. Dr. Francois Raillon, ahli

keindonesiaan dari Center Asie du Sud-Est, Paris, "Kemunculan Indones ia sebaga i negara demokrasi baru tersebut didukung oleh adanya landasan menuju sistem tersebut yakni Pancasila," tandas Raillon.

Menurut Raillon, falsafah ini berakar kuat dari kehidupan masyarakat di desa-desa di Indonesia yang tidak hirarkis, kemampuan untuk mengubah

eindonesiaan dari Center Asie S d E t P i "K lt

DIPUJI BANGSA LAIN,

DILUPAKAN ANAK SENDIRI

berbagai gagasan yang beda dan diintegrasikan dalam nilai-nilai kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, Ph. Dr. Jan Bures dari Charles University, Praha, menilai bahwa ada kesamaan antara Ceko dan Indonesia dalam proses peralihan menuju negara demokrasi. Kesamaan itu antara lain karena ada faktor menentang rejim yang berkuasa dalam kurun waktu lama, dan ada peran tokoh nasional, yang didukung para pemuda untuk melawan rejim lama.

Bures juga menerangkan proses peralihan menuju demokrasi di Ceko yang berjalan dengan damai di 1989. Bagi Bures, hal ini terjadi ketika ada nilai-nilai lokal yang dijadikan landasan bersama untuk m e l a n g k a h s e b a g a i b a n g s a dan ne-gara.

Pada mulanya Indonesia diragukan bisa muncul sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia seperti sekarang. "Karena dianggap tidak memiliki cukup persyaratan menuju negara demokratis," tutur Prof. Dr. Mohtar Masoed.

Tapi, lanjut Masoed, walaupun demokrat isasi di Indonesia dianggap oleh sebagian orang sebagai non performing dan

mengalami derajat kepercayaan sangat rendah, namun pada kenyataannya Indonesia mampu menegakkan sistem demokrasi.

Masoed menegaskan bahwa meskipun saat ini masih terdapat banyak kelemahan, masalah dan tantangan, namun pemerintah Indonesia tidak akan kembali ke rezim otoriter.

DilupakanIronisnya, di negeri sendiri

Pancasila telah banyak dilupakan. Sejak tahun 1978 ketika lahirnya Pedoman Peng-

hayatan dan Pengamalan Pancasila (P4),

Pancasila t e l a h

ditempatkan di sebuah sudut sejarah.

"Setelah reformasi, Pancasila seolah hilang, tidak ada lagi pe-a-bat-pejabat resmi yang mengutip Pancasila lagi dalam setiap pi-datonya. Di kampus-kampus dan media juga hilang. Padahal se-belum itu banyak sekali kutipan Pancasila," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Mahfud MD dalam Kongres Pancasila di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), di Bulaksumur Yogyakarta, Sabtu (30/5).

Menurut Mahfud, pada ma-sa pemerintahan Orde Baru nasib Pancasila juga tidaklah menguntungkan. Pancasila hanya ditempatkan di sebuah sudut sejarah, kemudian digantikan dengan P4. Pancasila dari ideologi terbuka menjadi ideologi tertutup sehingga tak bisa ditafsirkan lagi. Demikian pula setelah reformasi, Pancasila juga hilang dari publik. "Sedang di kampus hanyalah menjadi sarana formalitas saja," katanya.

Mahfud mengatakan penyakit mengenai Pancasila yang sampai sekarang ini belum hilang adalah saling mengklaim bahwa Pancasila itu merupakan hasil karya orang tertentu atau kelompok tertentu.

"Ada pula pengelompokan dan gerakan politik jangka pendek yang menyebut diri sebagai kelompok dan gerakan nasionalis sekaligus mencap kelompok lain sebagai bukan nasionalis dan tidak Pancasilais," ungkap Mahfud.

Kla im la in yang kurang sehat kata Mahfud diantaranya upaya menonjolkan seseorang dan mengecilkan peran orang lain, tentang siapa penggali dan penemu Pancasila. Bahkan pada

masa pemerintahan Orde Baru dikesankan penggali dan penemu Pancasila itu secara materiil dalam adalah Muh. Yamin, bukan Soekarno."Klaim-klaim seperti itu tidaklah kondusif dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Faktanya itu tidak benar dan berbahaya," ungkap guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.

Menurut dia, bila ditelaah secara historis Pancasila itu bukan hasil karya Yamin maupun Soekarno. Pancasila hasil karya bersama sehingga tampil dalam bentuk, isi dan fi losofi nya yang utuh seperti sekarang.

Langkah Maju PerluG l o b a l i s a s i y a n g

identik dengan pasar terbuka (open market) dan semangat persaingan (competition) membuat bangsa Indonesia yang mas ih da lam t rans i s i

demokrasi seolah kehilangan jati dirinya.

P e r u b a h a n y a n g berlangsung dengan cepat dalam

batas-batas tertentu meredupkan ide nation building yang dicita-citakan melalui Pancasila. Seiring dengan perubahan geopolitis dan perkembangan teknologi informasi, bangsa ini menghadapi beragam tantangan seperti ancaman dekadensi nilai-nilai luhur bangsa seperti wawasan nusantara.

"Sehingga banyak pihak yang mengambil kesimpulan bahwa di era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai luhur bangsa seperti tersebut tidak dapat membawa Indonesia keluar dari keterpurukan,' ungkap Kiki Syahnakri dalam diskusi di STOVIA Mei lalu.

Padahal upaya untuk menjadi bangsa yang besar dalam artian yang sebenarnya merupakan tugas bersama. "Namun menuju hal tersebut hanya bisa dilakuan ketika ada komitmen yang sama untuk bersatu. Bukan hanya dalam konteks teritorial negara, rasa kebangsaan, tapi harus diwujudkan pula dalam praktek politik dan ketatanegaraan kita," ungkapnya.

Di era globalisasi masalah dis-orientasi bangsa Indonesia menjadi isu krusial yang harus dicari jalan keluarnya. Masyarakat Indonesia baru yang modern perlu digagas dalam kerangka bahwa Indonesia adalah bangsa yang plural yang terdiri dari bebagai macam suku bangsa, bahasa dan agama serta kepercayaan dan keyakinan yang beragam.

Oleh karena itu diperlukan komitmen yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap warga negara, ditetapkan melalui proses politik yang konstitusional dan dilaksanakan dengan konsekuensi hukum yang tinggi.

Konsepsi untuk memantapkan wawasan kebangsaan, secara ga r i s besa r me l i pu t i t i ga dimensi pembinaan, yakni rasa kebangsaan, paham kebangsaan dan semangat kebangsaan. Agar lambat laun, bangsa Indonesia tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang beradab. (heri)

SEJARAH berulang. L'histoire c'est repete. Oleh karena itu setiap waktu memungkinkan terjadinya upaya meluruskan penceritaan sejarah. Upaya ini adalah salah satu sisi positif ger-akan reformasi.

Sejarah tentang pemersatu bangsa juga senantiasa selalu di-cari dan diungkap untuk mengu-kuhkan jati diri sebagai bangsa.

Berbagai aspek kebudayaan Indonesia yang sangat dipengar-uhi oleh ratusan etnik dan berba-gai kepercayaan atau keyakinan, termasuk kepercayaan suku-suku yang diwarisi.

Masuknya agama-agama be-sar ke Indonesia seperti Hindu, Buddha, Islam dan Kristen telah memperkaya bangsa Indonesia secara budaya dan membawa kemajuan besar.

"Corak budaya multiaspek te-lah sangat mempengaruhi jalan sejarah bangsa Indonesia, ter-masuk dalam pembentukan neg-ara Pancasila," demikian Duta Besar Indonesia untuk Hungaria, Mangasi Sihombing.

Pujian untuk PancasilaPujian dari bangsa lain juga

disampaikan Dr Armati Bela dari Budapest, Hungaria. "Pancasila sebagai falsafah berbangsa dan bernegara baik untuk dicontoh karena telah dapat mempersatu-kan bangsa Indonesia yang besar dan multibudaya," ungkapnya dalam sebuah pertemuan den-gan Dubes Sihombing di Hun-garia beberapa waktu lalu.

Pemaknaan atas Pancasila memang sangat beragam. Se-jarah menunjukkan bahwa elan pemersatu itu merupakan bagian dari proses jatuh bangun bangsa ini.

Paling tidak ada empat masalah dasar yang dijembatani Pancasila. Pertama, ketegangan yang bisa terjadi akibat keraga-man agama, budaya, etnik, nor-ma sosial, dan bahasa. Kedua, soal relasi mayoritas dan minori-tas. Ketiga, soal posisi agama dan Tuhan dalam negara-bang-sa. Keempat, soal relasi agama dan adat istiadat yang menjadi identitas bangsa. Bisa ditambah-kan juga soal relasi individu dan masyarakat.

Sejarah memang harus dis-ampaikan apa adanya. Baru dengan demikian bisa berman-faat sebagai langkah maju dan sarana belajar. Masa lampau termasuk yang buruk sekalipun tidak perlu ditutupi, tetapi diter-ima sebagai kenyataan yang har-us dijauhi agar tidak terjadi lagi. Peristiwa sejarah adalah titik ber-pijak membangun segala bidang kehidupan. Hal yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk mengungkap kisah yang benar. (h)

Elan Pemersatu

4w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Warsinah (47), geleng-geleng kepala menyaksikan berita ten-tang sinyalemen dana Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Miskin (BLT) berasal dari utang. "Saya heran, kenapa utang untuk masyarakat mis-kin dipersoalkan. Dulu BLT juga dipermasalahkan karena dinilai membuat rakyat miskin malas. Kami tidak malas, meski dapat 100 ribu per bulan, kami masih harus bekerja keras untuk hidup," ungkapnya.

Bagi pengamat ekonomi, A. Tony Prasentyantono, BLT sangat wajar diberikan sebagai kompen-sasi kepada rakyat miskin atas kenaikan BBM. "Di negara lain juga demikian," ungkapnya.

Namun masalah menjadi lain ketika ada sebagian pihak mem-pertanyakan soal sumber dana bantuan langsung tunai yang ditengarai dari utang luar negeri. "Audit Badan Pemeriksa yang me-nyatakan itu," ujar Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan Interna-tional NGO Forum on Indonesian Development Wahyu Susilo.

Temuan Badan Pemeriksa tersebut, Wahyu melanjutkan, ketika ditelusuri sumbernya. Pihaknya menemukan bahwa bantuan langsung tunai dida-nai dari Bank Dunia, Bank Pem-bangunan Asia dan pinjaman Jepang. Skemanya berasal dari Development Policy Loan World dan Co Financing Development Policy Support.

Sebelumnya, usai menyerah-kan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPP Tahun 2008 kepada pimpinan DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (9/6) Ketua Badan Pemeriksa Keuan-gan (BPK) Anwar Nasution me-nyatakan bahwa selama peneri-maan pajak belum ditingkatkan, Indonesia masih akan terus ber-gantung pada utang luar negeri. "BLT (Bantuan Langsung Tunai)

menurut dia, tetap aman selama produk domestik bruto mening-kat. Sejak 1997, ia menambah-kan, pemerintah melakukan di-versifi kasi instrumen utang untuk mengurangi risiko melalui pinja-man bilateral, multilateral, dan Surat Utang Negara. Pinjaman-pinjaman itu memiliki persyara-tan lunak dan tidak ada agenda politik yang dipersyaratkan pihak kreditor.

Adapun lembaga yang paling

banyak memberikan pinjaman ke Indonesia adalah Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Pembangunan Islam, serta Japan Bank for International Co-operation. Menurut Sri Mulyani, pinjaman itu masuk ke satu re-

saja kita masih dari utang, ba-gaimana kita mau beli senjata atau kapal perang," tandasnya

Anwar mengatakan jika pen-erimaan pajak tidak dimaksi-malkan, bagaimana pemerintah mempunyai dana untuk pem-bangunan kalau tidak dari utang. Akan tetapi, Anwar menegaskan meskipun saat ini akses BPK un-tuk memeriksa penerimaan pajak sudah terdapat kemajuan pem-bukaan akses dari Ditjen Pajak, namun BPK belum bisa mengau-dit kinerja pajak. "Jadi kita belum tahu berapa potensi penerimaan pajak di negara ini," ujarnya.

Utang Bukan TabuMemang utang bukan hal

yang tabu. Bagi Tony, utang suatu negara adalah sebuah kelaziman. "Yang jadi masalah jika utang tidak dikelola dengan baik," ka-tanya dalam sebuah diskusi di Aula Perpustakaan Nasional, Ja-karta, belum lama ini.

Utang, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, merupakan instrumen utama pembiayaan anggaran penda-patan dan belanja negara untuk menutup defi sit dan untuk mem-biayai kembali utang sebelumnya yang jatuh tempo. Pembiayaan melalui utang merupakan bagian dari pengelolaan keuangan yang lazim dilakukan oleh setiap nega-ra. "Pembiayaan defi sit anggaran dengan utang juga merupakan keputusan politik antara pemer-intah dan Dewan Perwakilan Rakyat," ujar Sri Mulyani.

Rasio utang Indonesia terh-adap produk domestik bruto se-jak 1999 hingga sekarang terus menurun. Pada 2000, rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 89 persen, tapi tahun lalu turun menjadi 33 persen. Untuk tahun ini, rasio itu diproyeksikan turun lagi menjadi 32 persen.

Utang yang bertambah,

Masa depan perekonomian Indonesia bukan hanya pertanian, perindustrian, maupun jasa-jasa yang reguler, tetapi masa depan perekonomian Indonesia juga akan disumbang oleh ekonomi kreatif dan kepariwisataan. Pres iden Sus i lo Bambang Yudhoyono saat membuka Pesta Kesenian Bali XXXI Tahun 2009 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Denpasar hari Sabtu (13/6) malam berharap seni budaya Indonesia bisa menjadi jalan peningkatan ekonomi Indonesia.

"Karena itu saya menaruh harapan yang sangat tinggi agar Bali terus menjadi motor dan pusat pengembangan dari pariwisata dan ekonomi kreatif termasuk ekonomi produk budaya," ungkapnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan pentingnya ekonomi kreatif untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Terbukti, tahun lalu, industri kecil menyumbang Rp 105 triliun terhadap PDB, Rp 6 triliun diantaranya dari industri kerajinan.

"Lapangan kerja yang dibentuk besar, sekitar 4,5 persen atau 5 juta tenaga kerja baru. Industri kerajinan tumbuh 19,5 persen dengan total 620 juta dolar AS atau setara Rp 6 triliun,” Presiden menjelaskan.

Untuk perhiasan, menyumbang 36,6 persen dengan nilai 953 juta dolar AS atau lebih dari Rp 9 triliun. “Ini sesuatu yang riil. Mari terus kembangkan industri kerajinan, perhiasan, ekonomi kreatif, dan budaya," ujar Presiden.

P re s i den men je l a s kan , ekonomi kreatif penting untuk meningkatkan pertumbuhan i ndus t r i . Kem i sk i nan dan pengangguran berkurang bila ekonomi tumbuh. “Karena itu, semua harus mengubahnya. Itulah mengapa industri kerajinan harus meningkat."

P r e s i d e n Y u d h o y o n o mengajak komponen bangsa untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berbasis warisan budaya bangsa. Dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang kuat, Presiden yakin bangsa Indonesia bisa mengembangkan ekonomi yang kuat.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta seluruh pihak untuk terus memacu perkembangan tiga sektor utama, yaitu pariwisata, ekonomi kreatif, dan tenaga kerja. Sekalipun dalam beberapa tahun terakhir telah ada

peningkatan di tiga sektor itu, namun potensi untuk terus berkembang masih terbuka luas. Oleh karena itu, lanjut dia, maka kebijakan dan regulasi harus didorong terus untuk mendukung perkembangan t iga sektor tersebut.

"Mari kita hilangkan ekonomi biaya tinggi, meciptakan kebijakan dan regulasi yang bagus, good

Tak ada dana BLT yang diambilkan dari pinjaman

proyek atau utang luar negeri. Karena proses penggunaan dana utang umumnya membutuhkan

waktu lebih dari satu tahun

kening pemerintah di Bank Indo-nesia, bercampur dengan peneri-maan negara lainnya, misalnya pajak. "Direktur Jenderal Per-bendaharaan Negara nanti yang akan mengeluarkan penerimaan itu untuk kegiatan negara setiap bulan yang rata-rata mencapai Rp 16 triliun," katanya.

Bukan Dari Pinjaman AsingMenteri Keuangan yang juga

Menteri Koordinator Perekono-mian Sri Mulyani Indrawati mem-bantah pernyataan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Na-sution yang menyebutkan Ban-tuan Langsung Tunai berasal dari pinjaman luar negeri.

"Bantuan Langsung Tunai tidak dibayar dengan utang," ujarnya dalam konferensi pers

sore ini di Kan-tor Direktorat Jenderal Pa-jak. Ia men-gatakan sejak 2005 bantuan itu mengguna-kan kompensasi

dari kenaikan harga bahan bakar minyak. "Kalau Program Nasion-al Pemberdayaan Masyarakat, pemerintah memang memakai komponen utang," katanya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan

Anggito Abimanyu menegas-kan bahwa pemerintah tak bisa membedakan asal uang yang be-rada di anggaran negara, sebab dana dari utang dan penerimaan negara berkumpul menjadi satu.

"Kami tidak tahu mana yang dari utang atau pajak. Uang dari mana susah membedakannya" kata Anggito beberapa waktu si-lam.

Namun, Anggito menekankan bahwa dana untuk BLT tidak-lah diambil dari dana pinjaman proyek yang berasal dari lemba-ga atau bank donor internasion-al. Dalam hal ini Pemerintah bisa memberikan konfi rmasi bahwa tidak ada pinjaman proyek yang diberikan untuk BLT karena pe-nyiapan proyek yang akan dibi-ayai melalui hibah atau pinjaman luar negeri pada umumnya mem-butuhkan waktu lebih dari satu tahun.

Lagi pula, penyiapan proyek hanya dapat dilakukan jika sudah memperoleh kepastian calon pe-nyandang dana yang tercantum melalui mekanisme Buku Biru.

Sebelum sebuah proyek bisa masuk ke buku biru, harus mela-lui mekanisme penelitian dan evaluasi kelayakan yang menda-lam. BLT tidak pernah didaftar-kan—bahkan dibicarakan untuk dimasukkan—dalam Buku Biru.

Hal senada juga disampai-kan Sekretaris Jenderal Departe-men Sosial Chazali Situmorang. Ia menegaskan bahwa sumber pembiayaan bantuan tunai be-rasal dari rupiah murni Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Minim InformasiWarsinah mengakui, ketika

mengambil uang BLT di kantor pos, antusiasme warga terlihat jelas. Banyak senyum terkem-bang di setiap wajah penerima. Seorang kakek bahkan menghi-tung ulang uang setelah keluar dari loket. "Persoalan BLT me-mang tak bisa dipandang dengan mudah oleh mereka yang tak pernah mengalami kemiskinan," ungkapnya.

Banyak warga miskin merasa terbantu dengan adanya dana bantuan langsung tunai (BLT). Mbah Giat, misalnya. Warga Desa Samar, Pager Wojo, Tulung Agung, Jawa Timur usai meneri-ma BLT pulang dengan perasaan senang. Rezeki yang baru diper-olehnya disimpan rapi dibalik bantal. Uang bantuan ini dipakai untuk konsumsi sehari-hari.

Warsinah pun tak ambil pus-ing dari mana asal uangnya. Yang penting bermanfaat bagi rakyat kecil seperti dirinya.

(dewi sad)

governance, agar perekonomian kita terus bagus," katanya.

K e p a l a N e g a r a j u g a mengga r i s b awah i s i n e r g i pemerintah pusat, pemerintah daerah dan dunia usaha. "Khusus untuk ekonomi kreatif yang tahun-tahun terakhir kita galakkan, saya kira sudah benar arahnya," ujarnya seraya menambahkan bahwa sektor ekonomi hendaknya disinergikan dengan sektor pariwisata.

Bagi Presiden Yudhoyono, ekonomi kreatif dan pariwisata terbukti bisa menjadi penyangga perekonomian nasional di tengah terpaan krisis dunia saat ini."Oleh karena itu, saya menaruh harapan sangat tinggi bahwa Bali bisa menjadi pusat ekonomi kreatif karena memiliki keunggulan yang luar biasa," ujar Presiden.

(m/**)

,maan pajak.bendaakan itu untbulan

Ada Apa Dengan BLT?

Masa Depan Ekonomi Kreatif

s a

t u

k a

t a

i

n d

o n

e s

i a

5komunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Perempuan tua yang sudah bungkuk ini pantang menyerah. Matanya masih sangat awas mes-kipun terkadang ia juga me-makai kacamata bila diperlukan. Telinganya memang masih bisa mendengar namun terkadang la-wan bicaranya harus mengulang lagi ucapan, jika ibu lima orang

anak ini tidak jelas mendengar. Asap pembakaran lilin pun sudah biasa dihadapi mbah, matanya tidak merasakan sakit lagi.

“Saya sudah mulai membatik sejak usia 9 tahun. Kalau tidak membatik ya pergi ke sawah bantu orang tua cari uang,” kata Mbah Dulbari yang tidak pernah mengenyam pendidikan. Semua hal yang dijalani pada masa mudanya semata-mata mencari uang untuk memenuhi kebutu-han sehari-hari.

“Mbah sudah biasa nge-batik. Kalau mulai membatik itu bisa be-

tah berjam-jam seharian. Mbah istirahat cuma untuk makan dan sholat saja,” kata Ana (26), cucu-nya yang sudah memiliki seorang anak.

Di rumah bertembok bata merah ini terlihat kepiawaian Mbah Dulbari berkutat dengan canting dan lilin yang dipanaskan

di atas anglo. Untuk mendapat-kan satu kilo lilin, Mbah harus mengeluarkan uang sebesar Rp13 ribu. Lilin itu akan habis di-gunakan untuk membatik sekitar lima lembar kain.

Selembar kain mampu disele-saikannya dalam waktu lima hari dengan upah Rp25 ribu per lem-bar. Jika telah selesai, ia akan berjalan ke rumah anaknya untuk mengantarkan hasil kerjanya.

Keistimewaan Mbah Dulbari tidak perlu membuat pola di atas kain putih polos seperti yang banyak dilakukan oleh pembatik yang lebih muda. Namun sebe-

lum ia mulai membatik motif sekar jagung, kain putih telah terlebih dahulu diberi garis ko-tak-kotak dengan menggunakan pensil dan penggaris.

Dahulu, sewaktu matanya masih sangat awas, ia mampu menggarisi sendiri kain tersebut. Namun kini, ia hanya mencontoh gambar motif batik sesuai pesan-an dan mengisi kotak yang telah

dibuat dengan pensil tersebut. Dengan mencontoh gam-

bar satu kali saja, Mbah Dulbari sudah bisa melanjutkan motif batik pesanan tersebut dengan cantingnya. Mbah Dulbari yang betah duduk berjam-jam di atas dingklik (tempat duduk, red) kecil ini terkadang diingatkan cucunya jika harus beristirahat.

Mbah akan beristirahat seben-

tar jika ia merasa capek dan pe-gal saat membatik. Begitu seter-usnya hingga lembaran-lembaran kain putih polos berubah menjadi lima lembar batik bermotif sekar jagung.

Sebagai buruh batik, Mbah Dulbari tidak selalu mendapat-kan pesanan. Jika ia tidak se-dang membatik maka ia akan ke sawah. Dengan menggarap sawah milik orang lain ia akan mendapatkan bagian pada saat panen atau setidaknya menda-patkan sisa hasil panen.

Anak-anaknya telah mengin-gatkannya untuk tidak lagi pergi ke sawah. Namun Mbah yang masih memiliki semangat kerja yang sangat besar ini lebih memi-lih untuk bekerja dengan alasan keuangan. “Selama saya masih bisa kerja ya dikerjakan. Kerja itu untuk cari uang,” kata Mbah Dulbari yang rumahnya sempat roboh akibat gempa bumi Yogya-karta, 27 Mei 2006.

Anak Mbah Dulbari, yang di-panggil Si Mbok oleh Ana, juga bisa membatik. Media membatik Si Mbok bukan hanya kain putih polos namun juga nampan yang terbuat dari bambu. Ana, anak Si Mbok pun juga bisa membatik meskipun diakuinya baru selama tiga bulan.

Ana yang sebelumnya beker-ja di pabrik garmen dan pabrik rokok, akhirnya memilih untuk membatik di rumah supaya bisa sekalian mengasuh anak.

Pada saat gempa bumi, se-mua peralatan membatik yang ia miliki rusak terkena reruntuhan rumahnya. Mbah yang pada saat gempa terjadi sedang merebus air, bersyukur sedang berada di sisi rumah yang temboknya tidak runtuh. Mbah pun bergegas ke-luar rumah dan dibantu anaknya menjauh dengan naik sepeda

motor karena khawatir akan da-tangnya tsunami.

Pasca gempa bumi, Mbah Dulbari dan teman-teman lainnya sesama buruh batik mendapat-kan bantuan perlengkapan mem-batik seperti kompor, wajan kecil, canting, lilin, anglo, pinsil dan penggaris. Sedangkan gawangan atau alat bantu yang terbuat dari bambu untuk menaruh kain batik yang menyerupai gawang den-gan dua kaki di kanan dan kiri sebagai penyangga sebuah bilah dan dingklik atau tempat duduk berbahan kayu setinggi 15 senti-meter dibuatkan oleh anaknya.

Pemerintah pun juga tak ting-gal diam melihat semangat para lansia. Ada yang berbeda pada peringatan Hari Lanjut Usia Na-sional (HLUN) tahun ini, Dinsos DIY bekerjasama dengan Fakul-tas Kedokteran Universitas Gajah Mada menyediakan pengobatan gratis di Panti Sosial Tresna Wer-da (PSTW). “Setiap hari Sabtu, ada pengobatan gratis di PSTW. Mbah-mbah yang mau diperiksa

kesehatannya, tensi darah, tim-bang berat badan silahkan ke-sana, tapi jumlah nya terbatas 30 orang,” kata Sulistiyo, Kepala Dinas Sosial Provinsi Daerah Is-timewa Yogyakarta.

Berdasarkan data Dinsos Provinsi DI Yogyakarta, lansia terbanyak memang bisa dengan mudah dijumpai di provinsi ini. Ada 389.347 orang lansia dan sebanyak 24.036 orang termasuk kategori lansia terlantar.

Dinas Sosial Provinsi Yogya-karta telah menggelar peringatan Hari Lanjut Usia yang dicanan-gkan setiap 29 Mei sejak tahun 1996. Peringatan HLUN tahun ini, Dinsos DIY menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti sara-sehan, lomba paduan suara dan lomba cerdas cermat kader lan-sia dengan tema “Sehat Produktif dan Sejahtera Syarat Pembangu-nan Sosial Berkelanjutan”.

Peserta berasal dari Kabu-paten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kota Yo-gyakarta. Setiap kabupaten/kota mengirimkan satu tim yang terdi-ri dari lima orang. Kegiatan yang diselenggarakan di Badan Koordi-nasi Kegiatan Kesejahteraan So-sial (BK3S) dilaksanakan dengan meriah. Para kader lansia yang berasal dari paguyuban yang be-rasal dari daerahnya ini memiliki semangat untuk berkumpul dan berlomba. Sebelumnya, mereka pernah dilatih apa dan bagaima-na mengurusi lansia.

Tentu bagi Mbah Dulbari, momen seperti HLUN adalah ke-sempatan untuk menikmati re-hat sejenak dari kesehariannya mendulang rupiah. Di samping menggunakan hak layanan yang diberikan pemerintah kepada para lansia.

(lida noor)

Wilayah ini sering disebut sebagai daerah pensiun. Pasalnya angka harapan hidup cukup tinggi di Provinsi DI Yog-

yakarta, sehingga siapaun akan maklum jika banyak terdapat lansia (lanjut usia).

Tapi jangan disangka, meski usia merangkak senja, kreatifi tasn dan produktifi tas masih tetap terjaga.

Dusun Kembangsongo, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada sebuah rumah yang dihuni oleh

seorang lanjut usia yang masih tekun membatik. Di usia lebih dari 90 tahun ini, Mbah Dulbari masih aktif

berkutat dengan kain putih polos yang disulapnya menjadi kain batik nan cantik.

TUA-TUA KELADIMAKIN TUA TETAP BERKREASI

Peningkatan kesejah-teraan guru dan dosen

senantiasa menjadi perha-tian pemerintah.

Ketua Umum PGRI, Sulistyo menyatakan bahwa kesejahter-aan guru masih ada yang be-lum sesuai harapan. "Masih ada guru di Indonesia yang perghasi-lannya Rp 100 ribu. Berkaitan dengan hal itu, apabila mereka tidak memungkinkan diangkat sebagai PNS, maka perlu ada peraturan yang dapat melindungi mereka agar pihak-pihak yang mempekerjakan guru diwajibkan memberikan perhatian yang wa-jar, misalnya perlunya penetapan upah minimal guru, termasuk un-tuk guru swasta," jelasnya dalam pertemuan dengan Presiden Yud-hoyono awal tahun ini.

Sulistyo mengakui bahwa melalui implementasi 20 persen anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, ditetapkannya PP ten-tang Guru, serta diterbitkannya beberapa peraturan pemerintah seperti PP Pendanaan dan Wajib Belajar sembilan tahun menjadi salah satu instrumen penting da-lam meningkatkan kesejahteraan guru dan kemajuan dunia pen-didikan.

Tunjangan BaruPresiden Susilo Bambang Yud-

hoyono mengatakan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Tun-jangan Profesi untuk guru sudah ditandatangani. Gaji yang akan diterima para guru dan dosen mencapai tiga juta lebih, karena gaji pokok yang diterima menca-pai dua kali lipatnya. "Peraturan

Agar Guru Makin Sejahteratersebut tinggal dilaksanakan dan dijalankan," ujar Presiden Yudhoyono dalam sambutannya saat meresmikam peresmian ge-dung IKIP PGRI Semarang, awal Juni lalu.

Sementara itu, Menteri Pen-didikan Nasional RI Bambang Sudibyo mengatakan, bahwa PP No.41 Tahun 2009 Tentang Tun-jangan Profesi Guru memang sudah ditandatangani. "Penan-datanganan baru saja dilakukan kemarin," ujar Mendiknas.

Menanggapi ditandatan-ganinya PP tentang tunjangan profesi guru, Rektor IKIP PGRI Sulistiyo pun menyambut gem-bira. Kegembiraan rektor tidak lain, karena kesejahteraan guru dan dosen akan meningkat. Su-litiyo memastikan, gaji yang akan diterima para guru dan dosen mencapai tiga juta lebih, karena gaji pokok yang diterima menca-pai dua kali lipatnya.

Tak DitundaPemerintah juga menegas-

kan tidak akan menunda pembe-rian tunjangan profesi guru dan dosen. “Seluruh tunjangan untuk dosen, guru PNS dan non PNS baik di bawah Diknas maupun Depag tetap akan berjalan dan tidak ada penundaan,” kata Men-sesneg Hatta Rajasa.

Departemen Pendidikan Na-sional (Depdiknas) selaku ini-siator program tunjangan profesi guru memastikan tunjangan akan segera diberikan paling lambat Juli 2009 berdasarkan SK Men-keu yang terbit 12 Maret 2009 yang lalu.

Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan bagi guru-guru di

bawah nauungan Depdiknas, tunjangan profesi diberikan han-ya berdasar peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendik-nas). Hal itu diijinkan sebagai bukti bahwa pemerintah serius menangani mutu dan kesejahter-aan para guru dan dosen di Indo-nesia yang jumlahnya mencapai 3 juta orang.

Sementara untuk para guru dan dosen di lingkungan Depag, baik yang berstatus PNS atau non PNS sebaiknya segera meny-iapkan segala persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan tunjangan profesi.

Sekjen Depdiknas Dodi Na-dika menambahkan, para guru yang akan menerima tunjangan profesi akan dinilai melalui be-berapa hal. salah satu yang ter-penting adalah masa kerja dan kinerjanya.

"Para guru yang pantas men-erima tunjangan adalah guru yang tetap, dibuktikan dengan SK PNS atau SK dari yayasan-nya. Selain itu, harus mengajar sedikitnya 24 jam dalam sem-inggu," kata Dodi dan menam-bahkan bahwa Depdiknas sudah menjalankan program peman-tauan kinerja.

Dalam hal ini, aspek yang dinilai adalah aspek pedagogis dan sikap. Artinya, kedua hal itu harus saling menunjang. "Guru yang pintar mengajar harus juga baik sikapnya. Kalau ada pelang-garan kinerja berkaitan dengan kedua aspek itu, akan diberi sanksi oleh organisasi guru yang sah. Bisa saja dicopot atau tidak mendapatkan tunjangan profes-inya," kata Dodi.***

6w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Siang itu, di salah satu sisi Stadion Olahraga Sanaman Mantikei, Kota Palangkaraya,

Kal imantan Tengah tampak kerumunan orang dewasa dan anak-anak. Suara kendang dipadu dengan musik campur sari tampak menyeruak di sela kerumunan itu. "Ada pentas grup campursari," teriak Abidin (12) yang masih memakai seragam sekolah.

Hiburan rakyat seolah dikemas ala kadarnya, sebab tak ada panggung, hanya ada beberapa orang penari kuda lumping dengan pemain gamelan sederhana yang duduk di pinggir lapangan. Namun tetap saja tontonan ini mengundang ratusan penonton.

Tak jauh dari Simpang Li-ma, Semarang, Jawa Tengah, ra-tusan orang memadati halaman Ge-dung Radio Republik Indonesia. Pada malam yang lain digelar wayang kulit dengan dalang Ki Warseno Slank. Jelang pukul 22.00, acara dibuka. Setelah beberapa sambutan. Dalang cilik, Sindhunata mulai beraksi. Antusiasme penonton berbaur dengan kekaguman melihat sabetan sang dalang cilik yang tak kalah dengan gaya dalang dewasa lainnya.

Setengah jam kemudian, pertunjukan sebenarnya baru dimulai. Ki Warseno Slank mulai mengawali adegan pembukaan. Tak berapa lama ia mengundang beberapa tokoh dan pejabat lokal untuk naik panggung. Dipandunya penonton untuk mengikuti diskusi tentang masalah bangsa yang disiarkan langsung secara nasional melalui radio.

Tontonan dan TuntunanMedia tradisional identik

dengan tontonan yang menghibur. Sudah lazim di berbagai daerah, media tradisional ini dikategorikan dengan panggung hiburan atau pertunjukan keramaian. Tetapi, justru karena aspek hiburannya inilah yang membuat media tradisional memiliki kekuatan tersendiri di tengah masyarakat. "Mampu memikat emosional pe-nonton sehingga merasa terhibur dan senang untuk menyaksikan pertunjukannya hingga akhir," kata peneliti senior Puslitbang APTEL dan SKDI Depkominfo, Dr Kanti Walujo.

Bahkan menurut Kanti, be-berapa jenis media tradisional yang bisa memberikan kepuasan bagi penontonnya, biasanya dapat lebih bertahan dan berkembang yang dibuktikan dari banyaknya permintaan pada sejumlah peringatan kelahiran, resepsi pernikahan dan lain-lain.

Melihat potensi seperti itu, tak heran jika banyak pihak yang menggunakan media tradisional untuk menyampaikan gagasan dan informasi kepada khalayak ramai.

Gatot Marsono, aktivis Forum Komunikasi Media Tradisional DI Yogyakarta melihat bahwa keberadaan seni prakyat, erat kaitannya dengan persoalan ritual keagamaan atau bentuk penghormatan leluhur, juga peninggalan para wali tatkala menyebarkan agama Islam. "Tatkala RRI dan TVRI masih mendominasi siarannya, Pertunra pernah dimanfaatkan sebagai mediator informasi kebijakan pemerintah pusat," ungkapnya.

Potensi dan Efektifi tasPe n g g u n a a n s e j u m l a h

pertunjukan rakyat sebagai

sarana sosialisasi atau diseminasi informasi telah dilakukan jauh sebelum Indonesia medeka. Pada jaman kerajaan-kerajaan kuno hingga Jaman Majapahit, Sriwijaya hingga Mataram dan Demak, pertunjukan rakyat sudah banyak digunakan sebagai sarana penyebaran nilai serta norma budaya yang dianut masyarakat pada jamannya. "Berbagai bentuk kesenian rakyat; mulai dari cerita, hikayat, dongeng, babad, mitos, pantun, tari-tarian, nyanyian juga pertunjukan dipakai untuk pe-nyebarluasan informasi," tambah Kanti Walujo.

Melalui pertunjukan tradisional masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa rakyat yang gampang dicerna. "Apalagi lewat lawakan, sindirian atau di Jawa dikenal "guyon pari kena", artinya sambil bergurau, pesan banyolan yang dilandasi asas keadilan, aturan hu-kum, norma sosial, agama, justru sampai sasaran. Dan penonton tidak merasa disakiti hatinya," kata Gatot.

Meski demikian, menurut Kan-ti, tidak semua seni pertunjukan rakyat yang ada dapat menya-lurkan pesan informasi secara efektif. "Hanya jenis media tra-disional yang sifatnya verbal dan komunikatif-dialogis saja cocok untuk memenuhi kebutuhan penyebarluasan informasi. Seni-seni pertunjukan yang hanya mengandalkan gerak atau nyanyian sangat sulit untuk menjadi alat diseminasi informasi," jelas Kanti dalam sebuah diskusi di Jakarta belum lama ini.

Potensi media tradisional juga diakui oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, M. Nuh. Menurutnya sebagai hasil karya budaya, tak ubahnya media tradisonal sebagai teknologi informasi dan komunikasi modern yang berkembang pesat saat ini. "Selain sebagai wahana penyebaran nilai dan saluran ko-munikasi, media tradisional dan pertunjungan rakyat merupakan s a l ah s a t u e k sp r e s i

ekonomi kreatif yang sedang menjadi perhatian dunia saat ini," ungkap Menkominfo dalam pembukaan Apresiasi Pertunjukan Rakyat Tradisional dan Pekan Informasi 2009 di Malang, awal bulan Juni ini.

Mulai Ditinggalkan?Keberadaan media tradisional

di tanah air dewasa ini memang tidak lagi selengkap yang ada pada masa lalu. Perubahan telah terjadi di beberapa tempat, dimana bentuk-bentuk kesenian tradisional tertentu telah tiada lagi berhubung para pelakunya sudah berusia amat lanjut atau bahkan wafat atau pun meninggalkan profesi ini, sedangkan pelanjutnya tidak ada. Di beberapa tempat “hilangnya” media tradisional disebabkan ketiadaan konsumen atau pun penanggapnya.

”Dulu RRI selalu menampilkan kesenian rakyat untuk pende-ngarnya. Di Sumbar seperti saluang, rabab, salawat dulang, randai, dan lainnya. Namun sekarang acara tersebut tidak begitu diminati lagi,” tutur Kepala

Biro Humas Sumatera Barat, Devi Kurnia.

Beberapa jenis seni tradisi memang semakin langka dan hanya ditemukan pada acara-acara tertentu saja. Selain se-makin langkanya dipertunjukan, kemerosotan berarti pula kemun-duran mutu dan jumlah penonton atau pendukung. Kalau sudah tidak dipertunjukan lagi, suatu jenis media tradisional berarti musnah dan hanya menjadi bagian dari sejarah kesenian. "Bila kenyataan ini dibiarkan, maka kesenian ini akan tinggal kenangan," kata Devi Kurnia.

Meredupnya media tradisional dapat dimaklumi jika memang media itu tidak memiliki nilai apa pun yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat atau generasi yang akan datang. "Sayangnya banyak di antara jenis-jenis media t rad i s i ona l i t u

s a nga t

Keberadaan media tradional jelas tak bisa dilepaskan dari komunitas pendukung yang memiliki memiliki kebiasan menggunakan

media itu. Melalui pertunjukan tradisional masyarakat

dapat memperoleh informasi dengan mudah, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa

rakyat yang gampang dicerna.

tinggi mutunya dan mengandung nilai-nilai berharga juga mulai ditinggalkan," ungkap Kanti Walujo.

Tak urung banyak harapan ditumpukan untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian rakyat itu.”Kita berharap, semua kalangan memberikan perhatian serius terhadap persoalan ini,” tegas Devi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Kanti dan Gatot.

Kurang ProfesionalKeberadaan media tradional

jelas tak bisa dilepaskan dari ko-munitas pendukung yang memiliki memiliki kebiasan menggunakan media itu. "Seringkali keber-adaan media tradisional ha-nya bergantung pada tokoh tertentu. Termasuk pengelola grup media tradisional yang ikut menghidupkannya," ungkap Suryadi, Dalang Wayang Sadat yang kini juga mulai meredup pamornya.

Persoalan ini bisa dimaklumi karena di masa lalu, ketika media tradisional masih tampil sebagai sajian yang relatif tanpa saingan, memang gaya pengelolaan seperti itu belum menjadi suatu masalah yang krusial. Namun ketika media tradisional telah berhadapan dengan sejumlah pilihan lain bagi para khalayak yang secara relatif telah dikelola menurut cara-cara yang modern, maka hal ini menjadi faktor yang menentukan bagi keberlangsungan media tradisional yang bersangkutan.

"Umumnya kelompok atau pun organisasi media tradisional sejak awal keberadaannya memang dikelola secara personal oleh pemimpinnya," ungkap Kanti.

Belum lagi saat ini banyak tantangan yang dihadapi media tradisional. Benturan akulturasi budaya asing yang kian besar salah satunya bisa disebut sebagai alasan bagi generasi muda mulai meninggalkan seni tradisi.

"Berkaitan dengan hal ini ha-rusnya ada fungsi manajer yang handal yang berkemampuan untuk membawa grup yang bersangkutan menempuh pasang surut situasi masyarakat, kekurangan dana, promosi dan aktivitas sosialisasi," ungkap Suko Widodo Ketua FK Metra Jawa Timur yang baru saja dilantik awal bulan ini.

Selama ini manajemen dan pola rekrutmen sebagian besar pegiat media tradisional berlangsung secara alamiah. "Tidak ada suatu pola yang didasarkan

pada rencana,

sehingga pemimpin dari suatu grup atau pun kelompok media tradisional bisa mendapatkan kader-kader baru yang akan meneruskan keberadaan media ini," imbuh Suko Widodo.

Pada masa yang lalu ada beberapa festival pertunjukan tradisional merupakan kesempatan bagi pemimpin media tradisional untuk melakukan talent scouting, menemukan bakat-bakat baru yang kelak bisa diajak untuk ikut memperkuat suatu grup media tradisional. "Kini peluang seperti itu sudah agak jarang terjadi, sehingga kesempatan untuk menemukan calon-calon pelaku yang baru untuk melanjutkan keberadaan media tradisional menjadi lebih sedikit," terang Kanti Walujo.

Belum lagi pada persoalan penonton dari kalangan generasi muda yang kian menyusut. Lihat saja dalam setiap kegiatan pertunjukan tradisional, penikmat media tradisional kebanyakan adalah mereka yang berusia diatas 35 tahun. Apalagi kini masyarakat memiliki banyak pilih-an atas hiburan yang hendak di-tontonnya, seperti televisi, VCD, radio dan lain-lain.

Dahulu para pengguna atau pun khalayak dari media tradisional dapat dikatakan relatif homogen, karena karakteristik khalayak yang relatif tidak berubah misalnya berlatar belakang etnis tertentu dimana media tradisional tersebut berada, usia yang relatif telah dewasa, dan sebagainya. Sekarang telah berubah menjadi lapisan yang beragam-ragam jika dilihat dari berbagai faktor. Khalayak media tradisional di suatu tempat tidak lagi terbatas di lingkungan tertentu saja, melainkan telah meluas ke berbagai lapisan.

"Persoalan-persoalan demikian tampaknya dihadapi oleh hampir semua kelompok seni tradisional. Dan terbukti, problem-problem demikian dapat menjadi pemicu bagi menghilangnya beberapa jenis media tradisional tertentu," ungkap Suko Widodo.

Memang batas seni tradisi akan kembali kepada komunitas dimana seni itu muncul. Jika tidak dibutuhkan dan digunakan. Tinggal menghitung hari saja seni tradisi itu akan hilang di telan jaman.

(m)

s a

t u

k a

t a

i

n d

o n

e s

i a

7komunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Di beberapa negara ASEAN, media tra-d i s i o n a l m a s i h

di lestarikan. Bahkan ke-beradaannya dianggap penting oleh pemerintah.

Ma l ay s i a c on t ohnya memiliki beberapa bentuk media rakyat tradisional dan sebagian besar berakar pada tradisi lisan antara lain cerita-cerita dongeng, mitologi, kepahlawanan, legenda, balada, nyanyian, drama, pepatah. Ada pula dalam bentuk tradisi perilaku berupa adat istiadat, upacara, tarian, dan permainan tradisional. Selain seni pertunjukan rakyat berupa pentas wayang kulit, makyong dan menora, boria, dzikir barat dan sebagainya.

Sementa ra d i F i l i p i -n a p e m e r i n t a h j u g a m e m a n f a a t k a n m e d i a rakyat (folk media) untuk mengkomunikasikan kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Beberapa media rakyat yang hingga kini masih berkembang dan digemari masyarakat diantaranya adalah Kuwentuhan (Sa Barangay) yaitu mendongeng tentang cerita-cerita rakyat (legenda, mitologi, dan lain-lain), Mga Kuwento ni lola Basyang, yakni cara mendongeng dengan diselingi hiburan.

Media rakyat la innya yang dianggap efektif adalah Pulong-pulong, berupa forum dialog dan tukar menukar informasi bagi anggota ma-syarakat pedesaan.

Apalagi Thailand terdapat media tradisional yang ma-sih

bertahan dan terus dikem-bangkan, terutama musik rakyat Lamtat, semacam puisi rakyat (Folk Poetry) yang keunikannya terletak pada penyampaian sajak-sajak. Selain Lamtat juga terdapat Plang choi, Plang pua (nyanyian nelayan), Plang bank, Maw lam (puisi), serta masih banyak lagi yang lainnya.

Dikenal dan MenyejarahDari sejarah Indonesia

dikenal antara lain adanya Babad Tanah Jawa dan Babad Paregreg, kisah tentang para kesatria di Tanah Jawa dan Bali yang mempertahankan tanah kelahiran dari serangan musuh.

Dalam kisah babad terse-but terkandung nilai-nilai serta pelajaran mengenai heroisme dan keberanian untuk ber-korban. Di samping intrik, kisah cinta dan balas dendam yang disebarluaskan kepada masyarakat untuk menjadi pelajaran.

Hal yang menarik adalah terdapat hubungan antara cerita, dongeng atau babad dengan bentuk kesenian lain-nya seperti tembang, tari dan gamelan tatkala sebuah cerita

babad diangkat kedalam bentuk pertunjukan seperti wayang.

Pada pertunjukan wayang di dalamnya terkandung perpaduan antara cerita (babad) dan bentuk kesenian lain seperti nyanyian, tarian, gamelan serta seni ukir.

Dari perpaduan tersebut lahirlah sebuah media (kesenian) yang artistik yang mana masyarakat gandrung dengannya sebagai sa-rana untuk hiburan. Namun yang paling penting bahwa dari bentuk kesenian yang ada, di samping menjadi sarana hiburan rakyat, terdapat fungsi fundamental yaitu sebagai sarana sosialisasi atau pe-nyebarluasan nilai-nilai, pelajaran serta informasi yang berguna bagi masyarakat.

Pada jaman para wali pertun-jukan rakyat digunakan sebagai sarana untuk penyebaran aja-ran-ajaran agama Islam kepada masyarakat. Sunan Kali Jaga dan Sunan Muria, menurut beberapa sumber, disebut sebagai wali yang gemar melakukan dakwah melalui media-media kesenian rakyat seperti wayang kulit dan puji-pujian.

Mereka hanya mengemas bagian-bagian materi yang diang-gap sejalan dengan nafas Islam

dan mereduksi muatan-muatan yang menyimpang. Melalui cara ini, ternyata pesan dakwah di-anggap cukup efektif diterima masyarakat tanpa melalui banyak penolakan.

Begitu pula pemakaian seni pertunjukan rakyat terus berlang-sung pada saat Jaman penjaja-han. Meski ada pembatasan-pem-batasan dalam pertunjukannya, para seniman tetap berupaya un-tuk mementaskan jenis kesenian-nya di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak hanya melakukan pementasan hiburan dari kesenian yang dipertontonkannya, namun juga berupaya untuk melakukan kritik sosial terhadap penjajah kolonial waktu itu.

Setelah Indonesia merdeka beberapa pertunjukan rakyat tetap dipakai sebagai alat un-tuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Banyak kesenian rakyat yang didorong pemerintah untuk tampil di media-media komunikasi modern seperti teve dan radio untuk menyampaikan pesan-pesan dari pemerintah.

Kesenian rakyat memang tidak hanya dianggap sebagai hiburan belaka, namun juga dapat ber-fungsi sebagai media komunikasi untuk menyebarluaskan informasi rencana dan program pemban-gunan. Bahkan tidak sedikit pula

pemerintah menciptakan jenis kesenian tradisional baru untuk tujuan penyebarluasan informasi ini. Seperti Wayang Pancasila yang dibuat untuk mensosialisasikan program-program pemerintah melalui penokohan wayang.

Pemanfaatan media tradision-al sebagai sarana penyebarluasan pembangunan banyak dilakukan pada zaman Pemerintahan Orde Baru, namun kini pemanfaatan untuk kepentingan tersebut sudah berkurang.

Bisa DisandingkanSekalipun media massa mo-

deren di Indonesia sekarang telah berkembang pesat, namun keberadaan media tradisional tampaknya tidak akan dapat diabaikan begitu saja. Hal ini dise-babkan karena media tradisional merupakan bagian yang melekat dalam budaya masyarakat kita sehingga sekalipun perkemban-gan teknologi telah mendorong berkembangnya media moderen sebagai saluran komunikasi yang penuh daya, namun dalam hal-hal tertentu media moderen tidak bisa menggantikan peran media tradis-ional sebagai media komunikasi yang telah memasyarakat.

Media tradisional merupa-kan bagian yang melekat dalam budaya masyarakat. Meskipun perkembangan teknologi te-lah menyokong berkembangnya media moderen sebagai saluran komunikasi yang penuh daya, na-mun dalam batas tertentu media modern tidak bisa menggantikan peran media tradisional sebagai media komunikasi yang telah memasyarakat itu.

Apalagi kondisi demografis dan geografi s Indonesia sangat beragam, sehingga posisi media tradisional bisa jadi belum bisa digantikan oleh media moderen sepenuhnya, khususnya di pede-saan dan pedalaman.

Dalam kondisi seperti itu, sifat media moderen yang masif dan cenderung homogen dalam bentuk pesan yang dibawakan-nya menjadi tidak efektif jika hendak digunakan sebagai satu-satunya sarana komunikasi atau penyebarluasan informasi dalam masyarakat yang beragam.

Meski demikian, semua harus menyadari bahwa tidak seluruh jenis media tradisional masih bisa bertahan di tengah belantara media moderen ini. Mungkin ada cukup banyak media tradisional yang kini terkubur dalam sejarah masyarakat. Dan itu adalah kenyataan. (m/berbagai sunber)

Media Tradisonal dan Media ModerenMedia Tradisonal dan Media Moderen

Tak Perlu DiaduTak Perlu Diadu

Fakta membuktikan bahwa tingkat literasi media masyarakat menjadi batu sandungan

tersendiri bagi penerimaan masyarakat terhadap pesan dari media modern. Tak

heran dalam pesatnya arus modernisasi yang melanda negeri ini, media tradisional tetap dibutuhkan dan bisa eksis. Kolaborasi antar

media inilah yang bisa digunakan di Indonesia.

Jauh-jauh dari Wisconsin, Amerika Serikat (AS), kemudi-an menetap dan bersuamikan seniman Malang, Karen Eliza-beth Schrieber (40) me-ngaku mendalami berbagai jenis kes-enian tradisional di Malang. "Saya paling suka tarian Ha-noman yang sigrak (berseman-gat)," kata bungsu dari dua bersaudara yang fasih berba-hasa Jawa.

Karen sangat menyukai to-koh Hanoman, karena tokoh ini menyiratkan nilai kepahla-wanan sewaktu menyelamat-kan Shinta. Gerakan tariannya pun penuh semangat. Menurut Karen, karakter penuh seman-gat dan keras hati itu memang sesuai dengan dirinya. Dari se-mangat dan kekerasan hatinya itulah, ia mau menanggalkan hidup kebanyakan perempuan di AS dan menjalani kehidupan di Malang sebagai seniwati tra-disional.

Bersama keluarganya, Ka-ren pernah setahun tinggal di Yogyakarta. Kemudian ayahnya pindah tugas mengajar di Uni-versitas Indonesia di Jakarta. Selama dua tahun di Jakarta, 1970-1971, Karen meneruskan studi formalnya sambil belajar menari tradisional Jawa. "Di Jakarta saya diperbolehkan be-lajar tarian Hanoman. Tetapi, saya lupa nama guru yang mengajari," ujar Karen men-genang.

Mungkin kisah inilah yang mendorong k e i n g i n a n besar Karen untuk mem-pelajari seni tradisi rakyat Indones ia . Setelah lulus dari Universitas Wisconsin, dengan beasiswa Karen melanjutkan studi ke Universitas Virginia di jurusan antropologi. Inilah yang men-gantar dia kembali ke Indone-sia, khususnya ke Malang.

Pada tahun 1990 dia mengikuti program beasiswa untuk penelitian antropologi di Indonesia. Karen belajar ba-hasa Indonesia di IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang). Dua bulan belajar bahasa, dia pernah diajak ke lokasi kegiatan seni tradisi di Malang, antara lain Padepokan Seni Mangun Dharma, Tum-pang.

Di padepokan itu, ia di-pertontonkan seni wayang to-peng khas Malang. Seketika itu, Karen minta diajari tarian wayang topeng, yang menu-rut dia bersemangat. Ia lalu berguru kepada pemilik Pade-pokan Mangun Dharma, Mo-hammad Soleh Adi Pramono. Keduanya menikah tahun 1992, dan perkawinan ini dianugerahi dua putri yaitu Sonya (9) dan Kyan Daru (5).

Untuk memenuhi kewajiban penyusunan tesis antropologi program magister Universi-tas Virginia, Karen akhirnya meneliti wayang topeng dan membandingkannya dengan seni jaran kepang. "Proses in-gin meneliti dan belajar terh-adap bentuk dua kesenian ini sama. Saya melihat, wayang

topeng yang kurang diminati sementara jaran kepang ban-yak diminati masyarakat," kata Karen. Sampai sekarang ia masih mencari jawaban men-gapa masyarakat Malang tidak menyukai tarian topeng ma-lang yang justru ia kagumi.

Revitalisasi Seni TradisiMemang masyarakat In-

donesia sekarang ini sedang mengalami perubahan luar bi-asa. Meski pertunjukan rakyat memiliki esensi kuat sebagai media hiburan, pendidikan, dan penyebaran informasi, tetapi saat ini mulai ditinggal-kan bangsa sendiri.

“Masyarakat luar negeri sa-ngat mengagungkan budaya lokal kita, baik dari seni tari, musik, hingga seni pertunju-kan tradisi. Sangat sayang, jika misalnya nanti gamelan tidak ada lagi di Indonesia, karena tidak ada yang merawat dan untuk melihatnya harus ke luar negeri,” ungkap Kepala Badan Informasi Publik Departemen Komunikasi dan Informatika, Drs Suprawoto, SH, MSi. saat membuka Rakornas II Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) di Balai Kota Malang akhir Mei lalu.

Hal senada disampaikan peneliti Balai Bahasa Medan (BBM) Agus Bambang Herman-to. "Dewasa ini di televisi yang banyak diputar hanya cerita-cerita yang berasal dari luar,

padahal belum tentu cerita dari luar itu sesuai dengan buda-ya Indonesia. Salah satu usa-ha yang dapat

dilakukan untuk menangkal ke-hilangan identitas diri dan bu-daya bangsa adalah menggali dan memopulerkan kembali cerita rakyat Indonesia," ka-tanya.

Upaya untuk memanfaat-kan media tradisional sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) merupakan kewajiban kita bersama, termasuk peme-rintah.

Seperti juga media mo-deren, maka tidak ada hal yang mustahil untuk mengembang-kan seni tradisional agar bisa dikuasai oleh generasi muda sekarang. Namun, sebagai sebuah proses, pendidikan me-mang memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat memperlihatkan hasilnya.

Memang kendala utama pengembangan seni pertun-jukan rakyat adalah kesung-guhan dan kepedulian. "Yang pasti, persoalan pertunra jan-gan setengah hati atau men-jadi semacam "projek" tanpa evaluasi," kata Gatot Marsono, wakil Ketua FK Metra DI Yog-yakarta.

Jangan kaget, pada suatu saat nanti, bangsa Indone-sia mau menggelar wayang, ludruk, lenong, dalang, pemain dan penabuhnya orang asing.

Dan kini pun kita bisa me-lihat betapa banyaknya pelajar dan orang dari Eropa untuk datang dan berlatih seni tradisi anak negeri. (m/berbagai sumber)

Ironi Anak Negeri

upaya mengembangkan seni tradisional agar bisa

dikuasai oleh generasi muda dibutuhkan waktu

dan kesungguhan

8w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

yang Palembang. Banyak fi sik wayang Palembang yang hilang, yang masih adapun sudah tidak lengkap lagi, seperti tangannya ada yang putus. Ada wayang yang bekas terendam air, bekas terbakar, dimakan rayap, sehingga tidak punya daya tarik untuk dipentaskan.

Begitu Parah?Banyak di antara dalang wayang

langka yang terpaksa menjual wayang dan gamelan miliknya untuk menyambung hidup. Bila tidak ada yang menanggap, para dalang wayang langka tersebut mencari nafkah dengan bekerja sebagai buruh tani, berjualan di pasar, atau berdagang keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda ontel.

Ambil contoh, Ki Mariman, dalang wayang tengul yang sempat populer di Bojonegoro, kini sehari-harinya berjualan roti di pasar Bojonegoro. Ki Watiran, dalang wayang krucil yang populer, kini berjualan tali plastik dan sandal jepit yang dijajakan dengan sepeda ontel ke

kampung-kampung. Ki Rosyid tadi yang saya ceritakan, dalang wayang palembang, kini kondisi wayang dan gamelannya sudah tidak terawat, karena sudah 15 tahun tidak mendapat pesanan untuk pertunjukan.

Apa makna dari itu semua?Kesenian wayang merupakan simbol

kehidupan sehari-hari masyarakat, khu-susnya Jawa. Bagaimana mereka beri-nteraksi, bagaimana pola berpikir mereka, bagaimana menyikapi adanya plu-ralitas, kesadaran adanya realitas tentang warna warni kehidupan dan bagaimana menyikapinya, semua jelas tercermin dan termainkan dalam setiap pakeliran wayang.

Wayang adalah kesenian yang berakar dari realitas nilai-nilai masyarakat jawa. Bahkan oleh sebagian masyarakat jawa, ia merupakan wewayangane ngaurip (ba-yangan hidup manusia dari lahir hingga mati, red) seluruh manusia di dunia.

Jika wayang mulai agak hilang, berarti ada nilai-nilai dan acuan moral yang sudah berubah atau bahkan hilang sama sekali.

Sepertinya wayang mulai ditinggal-kan?

Kehidupan individu mengalami perubah-an sosial seperti gaya hidup,kecepatan serta kebiasaannya. Yang tadinya bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, sekarang berhari-hari duduk didepan komputer.

Tapi apa artinya high tech kalau tidak ada low tech? Apa artinya malam kalau tidak ada siang? Apa artinya teknologi canggih kalau tidak diimbangi dengan pendidikan moral? Salah satu pendidikan moral yang gratis diperoleh melalui media tradisional seperti wayang, dimana sang dalang selalu menyampaikan pesan-pesan moral kepada penontonnya.

Secara nyata di samping teknologi yang modern, wayang kulit sampai sekarang masih diminati oleh masyarakat, terutama di daerah pedesaan. Bahkan ada beberapa dalang yang kreatif menggelar wayang kulit sehingga bisa dapat diakses melalui radio, televisi bahkan melalui internet.

Bisa dijelaskan?Dalang wayang kulit memiliki

peranan penting sebagai komunikator dalam penyebaran informasi mengenai kebijakan pemerintah. Ada sebuah situs bernama Lakonet. Situs ini dibuat oleh Ki Harsono Siswocarito. Ini merupakan contoh bagaimana kolaborasi antar media tradisional dan media baru dimainkan dengan baik.

Ada beberapa lakon yang telah dapat disaksikan online. Misalnya “Nurkala Kalimantra Gawe Geger Suralaya”, “Gitadarma Dr Mintaraga”, “Prof Dr Bima Tanayatatwa”, “The Death of Kalakarna”, “Sang HYang Mayadewa”, “Sang Hyang Segara Rekayasa”, “Balada Utopia Dr Sucitra”, “Sang Seta Panglima Amarta”, “Panglima Wanita di Kurusetra”, “Kembang Kampus Sokalima”. Selain itu ada banyak artikel-artikel Sastra Pedhalangan dan Serat Mahapurwa yang sedang digarap.

Apa mungkin kendala yang akan muncul?

Wayang merupakan salah satu kesenian yang menyatu dalam kehidupan masyarakat jawa. Sehingga wajar bila sebagian orang menganggap bahwa wayang merupakan ensiklopedi kehidupan. Dan dalam penyampaiannya, kesenian wayang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan kesenian-kesenian lainnya.

Seringkali, ajaran-ajaran yang hendak disampaikan dalam kesenian wayang kulit dikemas dalam bentuk pasemon, simbol atau perlambang, sehingga tentunya untuk mendapatkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diperlukan penghayatan secara mendalam.

Nah simbolisasi ini yang mungkin juga akan membuat wayang agak sulit diterima. Apalagi jika disampaikan dalam bahasa jawa atau bahasa daerah. Sebab banyak bahasa daerah yang sudah mulai ditinggalkan dan kurang dipahami generasi sekarang.Selain itu para dalang belum semuanya memahami internet, sehingga masih sulit bagi para dalang untuk mampu mengakses informasi dari internet.

(mth)

Kesenian wayang bukan lagi meru-pakan kesenian yang asing di kalangan masyarakat jawa dan

umumnya masyarakat Indoensia. Ketika membicarakan wayang, berarti akan membahas tentang aspek-aspek terdalam meliputi seni bahasa, seni rupa, seni drama, seni musik, seni tari, sampai dengan aspek fi losofi s. Oleh karena itu bayak orang mengatakan bahwa wayang merupakan kesenian adiluhung.

Diantara sekian banyak aktor di balik perkembangan wayang, ada salah satu peran yang tak bisa diabaikan, yakni peneliti tentang wayang. ”Banyak peneliti yang tidak tertarik mendalami bidang ini. Padahal di Eropa dan Amerika banyak penelitian dilakukan. Saya khawatir jika tak ada yang mendalami wayang, orang Indonesia malah harus belajar ke luar negeri ketimbang di negeri sendiri,” ungkap Dr. Kanti Walujo, dalam sebuah perbincangan santai di ruang redaksi komunika akhir tahun lalu.

Nama Kanti Walujo memang tak bisa dilepaskan dari dunia wayang. Lulusan Departemen Jurnalistik OHIO University-USA dan Program Pascasarjana Universitas Padjajaran ini mengakui bidang kepeminatannnya dalam komunikasi tradisional, khususnya wayang.

Apresiasi atas konsistensi dalam penelitian tentang tentang wayang di Indonesia disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung. “Beliau menulis tesis tentang wayang sampai membuat disertasi tentang wayang. Saya kira di negeri ini kita memerlukan orang yang terus menerus secara tekun mempelajari spesialisasi tertentu. Saya berharap dengan penelitian-penelitian tentang wayang Bu Kanti menjadi rujukan kita yang paling utama kalau kita mau meneliti tentang hubungan antara komunikasi dengan pewayangan,” ungkapnya dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Tugas utama Kanti Walujo saat ini adalah Peneliti Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Telematika dan Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Komunikasi dan Informatika. Pengabdian terhadap dunia pendidikan juga tak ditinggalkan. Dalam keseharian ada kegiatan mengajar sebagai dosen tidak tetap pada Fakultas Komunikasi Universitas Indonusa Esa Unggul dan Intitut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Berikut pandangan dan pemikirannya tentang perkembangan dan pemanfaatan wayang di Indonesia.

Mengapa anda tertarik mendalami masalah wayang di Indonesia?

Wayang adalah bagian dari hidup saya. Saya lahir dan hidup di tengah budaya dimana wayang berkembang dan menjadi media pertunjukan rakyat. Tapi sekarang, setelah UNESCO memberikan pengukuhan wayang Indonesia sebagai Karya Agung Budaya Dunia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritange of Humanity) maka wayang menjadi milik dunia. Harusnya kita makin bangga.

Penghargaan tersebut diberikan pada tanggal 21 April 2004 oleh Direktur Jendral UNESCO, Koichiro Matsuura kepada Ketua Senawangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), H. Solichin di Paris, Perancis. Dalam sambutannya, Koichiro menekankan agar seniman wayang di Indonesia dapat terus melestarikan dan mengembangkan wayang di Indonesia.

Bagaimana sebenarnya kondisi wayang di Indonesia saat ini?

Jika boleh dikatakan kondisi wayang Indonesia sangat menyedihkan jika di dalam negeri. Lihat saja kondisi Wa-

Dengan demikian media tradisional seperti wayang, ludruk dan lain-lain dapat dipakai sebagai fi lter untuk menghadapi

budaya-budaya asing yang marak masuk misalnya teknologi internet. Media tra-disional selalu memberikan pelajaran budi pekerti sesuai dengan adat budaya daerah yang berlaku.

Adakah upaya yang harusnya dila-kukan pemerintah?

Pemerintah pernah memanfaatkan potensi besar dari wayang sebagai pertunjukan rakyat. Bisa dilihat ketika jaman orde baru banyak pertunjukan wayang yang disisipi dengan pesan-pesan pembangunan. Tapi jangan dilihat soal dari sisi pemanfaatan itu. Dampak positif yang terjadi bagi dunia wayang adalah adanya penghargaan terhadap wayang sehingga mereka tetap bisa eksis dan mengembangkan materi serta pagelaran wayang. Secara khusus bahkan UNESCO memberikan bantuan berupa peralatan gamelan dan fi sik wayang kepada sanggar Sri Palembang.

Kebijakan pemerintah saat ini?Saat ini banyak pemerintah yang

peduli terhadap perkembagan wayang. Dari pusat maupun di daerah banyak yang menghidupi wayang dengan mengajak mereka dalam kegiatan sosialisasi misal-nya. Ata ada juga pemerintah daerah yang memberikan bantuan dan fasilitas misalnya kelengkapan ruang latihan. Ini perlu agar wayang tetap lestari di negeri sendiri.

Mungkinkah ada upaya perdamaian antara teknologi terkini dengan wa-yang sebagai media tradisional?

Dewasa ini dengan kemajuan teknologi informasi komunikasi (TIK) memudahkan penyebaran informasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat melalui berbagai media massa, seperti TV, radio, dan lain-lain. Masyarakat bisa mengakses informasi tersebut melalui media baru atau internet.

Dr Kanti WalujoPeneliti Senior Puslitbang Aplikasi Telematika Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi (Aptel SKDI) Departemen Komunikasi dan Informatika

Wayang Masih Hidup di Jaman Internet

Ada sebuah situs ber-nama Lakonet. Situs ini dibuat oleh Ki Harsono Siswocarito. Ini meru-pakan contoh bagaimana kolaborasi antar media tradisional dan media baru dimainkan dengan baik.

s a

t u

k a

t a

i

n d

o n

e s

i a

9komunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Perjalanan menuju penge-sahan UU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) seolah sepanjang polemik yang menyertai perencangan keten-tuan yang lahir dari amanat UU No.20/2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional (Sisdiknas) ini. Bahkan inovasi bernama BHP, ketika diumumkan resmi menjadi Undang-undang (meski belum bernomor tapi tetap sah setelah disahkan sebulan sejak rapat paripurna) ini juga menuai aksi demonstrasi para mahasiswa.

Dalam pandangan pemerintah dan DPR, Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah upaya pemerintah dalam melindungi ma-syarakat atau peserta didik dari perilaku penyelenggara lembaga pendidikan yang mengutamakan bisnis semata. Akan tetapi, para penolaknya mengkritisi beberapa muatan dalam UU BHP yang dinilai mengurangi peran pemerintah dalam pendidikan dan membuka peluang terjadinya swastanisasi pendidikan dengan kedok manaje-men berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi.

Debat Lama Dunia Pendidikan

Sejak lama persoalan manaje-men pendidikan nasional menjadi perdebatan. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke per-mukaan merupakan gambaran praktek pendidikan di Indonesia. Jika di masa lalu muncul pomeo ganti menteri ganti kurikulum, kini perubahan status menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang menjadi soal kembali.

Pengesahan UU BHP ini banyak menuai protes dari

kalangan mahasiswa yang kha-watir terjadinya komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pen-didikan. UU BHP dinilai beberapa kalangan merupakan “baju baru” untuk mengundang investasi asing mengelola perguruan tinggi.

Dari perkembangan opini yang berlangsung dapat dilihat bahwa persoalan ini menjadi perhatian di kalangan kelompok mahasis-wa dan pekerja LSM serta pemilik organisasi yayasan, selain juga pemerintah dan DPR yang meru-pakan pembuat undang-undang. Dari situasi ini, isu nuansa swastanisasi Pendidikan dapat dilihat dari dua perspektif yang saling berkaitan, pertama grup/kelompok (mahasiswa/LSM) dan kedua organisasi (Depdiknas dengan yayasan pengelola pen-didikan).

Menarik diamati bahwa da-lam aksi penolakan terdapat sekurangnya tiga hal yang me-nyebabkan UU BHP diributkan oleh banyak pihak yaitu (1) kurang mengakui eksistensi swasta sebagai pengelola lembaga pendidikan, (2) UU BHP dinilai sebagai upaya melakukan liberalisasi kebijakan pendidikan dan (3) komersialisasi pendidikan. Jika dicermati lebih lanjut penolakan lebih banyak dari kalangan pendidikan tinggi, yakni mahasiswa dan juga pemilik yayasan swasta yang mengelola perguruan tinggi.

Sejauh ini kritik atas Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan atau RUU BHP terfokus pada konsekuensi pemberlakuan BHP dan belum menyoroti detail substansinya. Sementara jika diamati ekskalasi isu BHP, terdapat interaksi yang intens di antara grup/kelompok (mahasiswa/LSM) dengan organisasi (Depdiknas dengan

yayasan pengelola pendidikan). Keduanya saling mempengaruhi untuk membentuk keseimbangan pemaknaan terhadap BHP itu sendiri.

Bias InformasiBelajar dari kasus BHP,

dapat dilihat bahwa kurangnya informasi yang akurat membuat isu BHP menjadi blunder. Meskipun sejak tahun 1953 BHP telah digagas, akan tetapi keberadaan informasi yang akurat mengenai apa konsep dan bagaimana pelaksanaan BHP menjadi akar persoalan yang mengakibatkan penolakan atas perubahan. Apalagi ada kecenderungan pula bahwa penolakan BHP didasari atas praktek BHMN yang cenderung dimaknai dengan komersialisasi pendidikan. Biaya pendidikan jauh lebih mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Sinyalemen nuansa

swastanisasi dalam pendidikan yang berkaitan dengan UU BHP dapat dijelaskan dengan melihat bagaimana pembagian proses lahir, sosialisasi, hasil sosialisasi sebuah isu yang bisa menggerakkan kelompok mahasiswa menolak UU BHP. Proses yang berlangsung

di kelompok mahasiswa dan LSM merupakan proses yang saling berkaitan. Informasi yang diterima oleh mahasiswa tentang RUU BHP membuat adanya persepsi individu, kemudian didialogkan dalam kelompok. Sayangnya dalam proses dialog dalam kelompok ini ada kecenderungan pembaruan informasi tidak

berlangsung dengan kontinyu, khususnya dalam proses pembahasan RUU BHP. Sehingga penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok LSM pendidikan terutama sering didasarkan bukan dengan draft RUU BHP yang terkini.

Pengolahan informasi yang tidak akurat

karena ketiadaan pasokan tentu mempengaruhi proses keluaran hasil diskusi dalam kelompok. Hal itu senantiasa terjadi dalam proses sosialisasi UU BHP oleh Depdiknas yang masih mengundang penolakan dan kontroversi di beberapa

daerah. Ekspresi penolakan paling keras adalah dalam bentuk aksi demonstrasi yang sebenarnya bisa dicegah dengan model dialog oleh Depdiknas. Uniknya aksi penolakan juga tidak berlangsung secara simultan. Kelompok mahasiswa juga menyikapi pengesahan UU BHP yang berlangsung pertengahan Desember lalu dengan beragam. Aksi demo seolah hanya riak gelombang kecil, namun diperbesar oleh liputan media massa.

Akar masalah sesungguhnya

adalah masalah akurasi informasi. Ketika maksud dan pelaksaaan konsep BHP dipertanyakan, dapat dipastikan karena tidak semua infomasi yang berkaitan dengan BHP tidak disampaikan dengan jelas. Menurut Barry Collins dan Harold Guetzkow (1964) untuk mengurai agar masalah ini terselsaikan adalah bagaimana meningkatkan knowledge, external accountability dari organisasi, dan mendayagunakan sumber daya yang dapat mendukung proses penyebarluasan informasi secara akurat. Tentu saja dengan mempertimbangkan piihan organisasi dan struktur pendekatan yang digunakan dalam sosialisasi. ***

A. GunawanPengajar di Universitas Islam Negeri Malang, Jawa Timur

Toffl er (1980) memilah tahapan perkembangan masyarakat menjadi ma-

syarakat agrikultural, masyarakat industrial, dan masyarakat infor-masi. Masing-masing tahapan ditandai dari media komunikasi yang dominan digunakan.

Masyarakat agrikultural cen-derung menggunakan media sosial-tradisional. Masyarakat industrial akrab dengan media massa cetak dan elektronik. Se-mentara masyarakat informasi lebih suka menggunakan media massa online-interaktif. Media komunikasi yang terdapat dalam setiap masyarakat dapat dilihat sebagai parameter kondisional dari masyarakat bersangkutan.

Di sebagian besar negara Barat dan sedikit di Asia, per-kembangan masyarakat sudah mencapai tahap masyarakat in-formasi. Masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan aneka me-dia komunikasi canggih berbasis teknologi informasi, sehingga penyebarluasan informasi dapat dilakukan hanya dengan satu jenis media—misalnya media online saja—dan itu sudah hampir menjangkau seluruh penduduk. Namun di banyak negara berkembang di dunia, ketiga tahap perkembangan masyarakat eksis dalam wak-tu bersamaan, sehingga penye-

ragaman penggunaan media seperti di Barat dapat menim-bulkan masalah serius.

Hal terakhir ini juga terjadi di Indonesia, tiga jenis masyarakat—baik itu masyarakat agrikultural, masyarakat industrial maupun masyarakat informasi—secara simultan juga ada di Indonesia. Di satu sisi, Indonesia memiliki masyarakat yang sudah IT-minded sebagai parameter dari masyarakat informasi. Indonesia juga memiliki masyarakat dengan ciri masyarakat industrial yang sehari-hari mengkonsumsi media cetak dan elektronik. Namun di sisi lain, sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat agrikultural yang hanya akrab

dengan media komunikasi sosial-tradisional (Siregar, 2005).

Di tengah keanekaragaman masyarakat seperti ini, satu hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana memilih media ko-munikasi yang cocok bagi semua jenis masyarakat yang ada agar tidak terjadi kesenjangan informasi. Penyebarluasan in-formasi di negara-negara ber-kembang—bagaimanapun—tidak bisa mengandalkan satu jenis media, namun harus menggunakan seluruh media yang ada secara komprehensif dan terintegrasi (Leeuwis, 2004).

Potensi Media TradisionalPertunjukan rakyat menu-

rut Bessete (1994) dapat diper-gunakan untuk mengarahkan perhatian masyarakat desa ter-hadap informasi tertentu yang akan disampaikan.

Nyanyian, musik, cerita yang ada di dalamnya merupakan sa-rana yang sangat efektif untuk memfasilitasi proses berbagi pandangan dan menggugah per-hatian masyarakat terhadap isu tertentu. Namun untuk mencapai efektivitas komunikasi secara keseluruhan tetap membutuhkan ‘bantuan’ dari media komunikasi lain secara integratif.

Jelas bahwa media tradisi-onal bukan saja efektif sebagai sarana penyebarluasan informa-si, namun lebih dari itu juga ber-

fungsi sebagai sarana pendidikan masyarakat terutama dalam hal pewarisan nilai-nilai kepada generasi penerus.

Bessete (1994) bahkan me-nyebut media tradisional dapat berperan sebagai the second teacher atau guru kedua bagi masyarakat, khususnya dalam hal yang bertalian dengan penerusan tradisi dan budaya kepada generasi penerus.

Tidak mengherankan jika media tradisional selalu sarat dengan simbol-simbol kultural masyarakat setempat, baik yang bertalian dengan norma, nilai, adat-istiadat, kebiasaan, ke-percayaan, maupun berbagai ekspresi seni.

Yang pasti, kita tidak perlu khawatir kesenian tradisional akan mati. Sekali lagi, tengara revitalisasi kembalinya tradisi-onalisme dan spiritualisme seperti yang dikemukakan John Naisbitt telah memunculkan harapan baru, bahwa keberadaan seni tradisional yang menjadi tulang punggung media tradisional akan tetap dibutuhkan di abad informasi ini.

Setidaknya Jepang telah membuktikan, di tengah meraja-lelanya telepon seluler, laptop, i-pod di negara ini, kesenian tradisional seperti kabuki (drama tradisional), chanoyu (upacara minum teh) dan berbagai festival tradisional justru semakin sering diselenggarakan.***

Sejauh ini kritik atas Ran-cangan Undang-Undang Ba-dan Hukum Pendidikan atau RUU BHP terfokus pada kon-sekuensi pemberlakuan BHP dan belum menyoroti detail substansinya. Akar masalah sesungguhnya adalah akurasi informasi. Belum ada kesa-maan pemaknaan....

SuprawotoPengajar Mata Kuliah Perkem-bangan Teknologi Komunikasi Membincang Potensi Media Tradisional

Mengapa Badan Hukum Pendidikan Digugat (Lagi)?

10w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

Menanggapi masih adanya keluhan masyarakat akan lambat dan sulitnya berurusan dengan pihak imigrasi, menteri menjelaskan bahwa kelambatan terjadi karena adanya beban kerja yang tidak merata di setiap bagian. "Untuk itu lah diadakan pelayanan pengurusan dokumen secara online," katanya.

"Depkumham mengharuskan agar di setiap pintu pelayanan dipasang pengumuman pelayanan yang diberikan, syarat-syaratnya, berapa waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian dokumen dan besarnya biaya pelayanan," katanya.(Rn)

Kementerian Negara Riset dan Teknologi

Gelar Ritech Expo Di Sembilan KotaPameran Research, Innovation, and Technology

(Ritech Expo) pada tahun 2009 tidak hanya akan digelar di Jakarta, namun juga dilaksanakan di delapan kota lain di Indonesia, yaitu di Manado, Banjarmasin, Palembang, Makassar, Padang, Malang, Kupang, dan Jepara. Tema Ritech Expo 2009 adalah Kreatifi tas dan Teknologi: Indonesia Bisa.

Staf Ahli Bidang Teknologi Hankam, Kemenneg Ristek, Richard Mengko dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (4/6), menjelaskan, dalam penyelenggaraan Ritech Expo 2009, pihaknya bersinergi dengan Radio Republik Indonesia (RRI) dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Dijelaskan, pergelaran Ritech Expo dimulai sejak 12 Mei 2009 lalu di Manado, dilanjutkan di Banjarmasin pada 12-14 Juni, di Palembang (19-21 Juni), Makassar (26-28 Juni), Padang (3-5 Juli), Malang (10-12 Juli), Kupang (17-19 Juli), Jepara (23-25 Juli) dan di Plaza Barat, Gelora Bung Karno, Jakarta, pada 7-10 Agustus.

Ia mengatakan bahwa Ritech Expo merupakan kegiatan penting yang menjadi bagian dari peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) dan telah diselenggarakan Kemenneg Ristek sejak tahun 2001.

Pada penyelenggaraan tahun ini, katanya, puncak Ritech Expo akan dilaksanakan di Jakarta pada 7-10 Agustus 2009 di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan akan diikuti oleh peserta dari Lembaga Penelitian Non-Departemen, BUMN, instansi pemerintah daerah dari seluruh Indonesia dan kalangan perguruan tinggi. (Gs)

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral

Pemerintah Tak Naikkan TDLMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan, pemerintah tidak akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) demi kepentingan masyarakat, negara, dan memberi peluang kepada sektor industri untuk dapat tumbuh lebih baik lagi. "Saat ini pemerintah memberikan subsidi di bidang energi (subsidi BBM dan listrik, Red) sebesar Rp175 triliun, masih lebih rendah dari penerimaan kita di sektor ini pada tahun lalu mencapai Rp350 triliun," ujarnya pada kunjungan kerja ke Kantor Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) PT PLN Semarang Barat, Senin (8/6).

Dengan demikian, katanya, masih ada sisa cukup besar yang dapat digunakan untuk keperluan subsidi. "Hanya saja, besarnya subsidi tergantung dari harga minyak dunia, mengingat saat sekarang masih bulan Juni sehingga belum diketahui berapa pendapatan dan berapa subsidinya," ujarnya.

Menurut Purnomo, dari tahun ke tahun, pendapatan dan subsidi selalu lebih besar dari pendapatan, sehingga di sektor energi dipastikan masih terdapat keuntungan yang dapat dijadikan sumber kontribusi untuk bangsa. (an)

Departemen Perindustrian

Tahun 2011 Siap Ekspor Amonium NitratPemerintah Indonesia mulai tahun 2011 siap

melakukan ekspor amonium nitrat untuk bahan peledak (ammonium nitrate explosive grade), kata Direktur Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, Benny Wahyudi di Gedung Depperin, Jakarta, Jumat (5/6).

Menurutnya, saat ini pembangunan pabrik amonium nitrat oleh PT Kaltim Nitrate Indonesia dan JO Dahana-Suma Energi masih dalam tahap penyelesaian. Diperkirakan pembangunan kedua pabrik yang berlokasi di Bontang, Kalimantan Timur tersebut selesai pada tahun 2011.

Benny menyebutkan, kebutuhan amonium nitrat untuk bahan peledak di dalam negeri mencapai 380 ribu ton per tahun. Dengan selesainya pembangunan kedua pabrik itu pada 2011, maka kapasitas nasional amonium nitrat untuk bahan peledak akan menjadi 640 ribu ton per tahun. “Diperkirakan pasokan untuk dalam negeri akan mencukupi, sehingga sisanya untuk diekspor,” katanya.

Dalam pembangunan pabrik itu, pemerintah memberikan fasilitas pajak penghasilan sesuai Peraturan Pemerintah No.62/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.1/2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu.

Fasilitas pajak antara lain berupa pengurangan penghasilan netto sebesar 30 persen dari penanaman modal, dibebankan selama enam tahun masing-masing sebesar lima persen per tahun. Kemudian penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, pengenaan pajak penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10 persen atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, dan Kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun. (Dw)

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia

Perbaikan Imigrasi Dan PemasyarakatanMenteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Menkumham) Andi Mattalatta memaparkan berbagai capaian positif Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham) dalam beberapa tahun terakhir, terutama perbaikan di Ditjen Imigrasi, pemasyarakatan dan kenotarisan.

Menter i menjelaskan, permasalahan kenotarisan dikatakan buruk karena ada yang melamar sebagai notaris, namun dikatakan telah tutup. Namun beberapa waktu kemudian ada notaris yang dilantik. Kejadian itu, katanya, menimbulkan kecurigan. "Karena itu kami kemudian merumuskan kebijakan, setiap kawasan atau wilayah yang berpenduduk 13.000 jiwa harus memiliki satu notaris," katanya.

Sedangkan di Ditjen Imigrasi, katanya, pihaknya melakukan perbaikan struktural dengan menjalankan sistem e-offi ce yang merupakan turunan dari e-government. Nanti sistem elektroniknya diharapakan menjadi penghubung bagi semua unit kerja.

Dijelaskan bahwa Ditjen Imigrasi dalam lima bulan terakhir telah menangkap 1.031 imigran gelap dari berbagai negara, di antaranya dari Afganistan dan Pakistan.

Untuk mengurangi jumlah imigran gelap, katanya, Depkumham telah melakukan komunikasi dengan negara asal imigran agar warganya tidak menjadi imigran gelap, apalagi negara itu merupakan wilayah yang dilanda konfl ik.

LINTAS DAERAH LINTAS LEMBAGA

Pernah membayangkan sua-sana Kota Malang, Jawa Timur pada masa lalu? Ketika masih berada dibawah pendudukan tentara Jepang. Tentu saja rakyat hidup sengsara. Baru setelah Jepang dibom tentara sekutu pada tahun 1945 dan Indonesia merdeka, Kota Malang terbebas dari penjajahan Jepang.

Beberapa waktu lalu suasa-na itu hadir kembali di kawasan Jalan Ijen, Kota Malang, Jawa Timur. Tentu, di tempat ini tidak

Malang Tempo Dulu

ada para penjajah Jepang bisa ditemukan. Sebab ini hanyalah kegiatan yang bertajuk Festival Malang Kembali.

Mei lalu, Festival Malang Kem-bali atau Malang Tempo Doeloe dihelat untuk keempat kalinya. Pengunjung juga disyaratkan memakai dresscode yang meng-gambarkan situasi Malang masa lalu.

Setiap tahunnya, selalu ada yang berbeda dalam penyeleng-garaan Malang Kembali. Di ta-

hun keempat ini, setting Malang tempo dulu akan berada jauh ke belakang pada tahun 1938-1958. Tahun itu, masa perali-han Kota Malang dengan segala sejarah yang tercatat di dalam-nya. Masyarakat akan disodori kehidupan Kota Malang di tahun 1938-1958.

Mulai dari aktivitas kesehar-ian seperti bercocok tanam, ak-tivitas industri rakyat, pendidikan rakyat, seni dan budaya yang berkembang hingga perjuangan.

"Tahun 1938 adalah tahun transisi peralihan bagi kota Ma-lang. Pengaruh pemerintahan Kolonial yang telah berkuasa 350 tahun harus terhenti. Saat itu di Malang, pembangunan jangka

panjang telah dicanangkan da-lam Bouwplan (rencana pengem-bangan kota),” kata Ketua pani-tia penyelenggara, Dwi Cahyono dari Yayasan Inggil.

Nuansa Malang masa pera-lihan sekitar tahun 1938 sudah sangat terasa. Sepanjang Jalan Ijen yang digunakan acara telah dipasangi mainan kitiran yang terbuat dengan bambu lengkap dengan orang-orangan yang di-buat dari jerami. Foto-foto super besar Malang Tempo Dulu juga sudah dipasang di beberapa ruas jalan.

Dalam festival ini pengunjung memang dibawa ke nuansa ma-lang tempo dulu. Ada juga pam-eran sepeda motor dan sepeda

angin tahun 40 an. Jajanan pasar, pertunjukan rakyat pada masa lalu. Tak ketinggalan mobil yang dipakai Presiden Republik Indo-nesia pertama Soekarno juga dihadirkan disini. Jangan salah, selain masih tampak bagus, mo-bil ini masih bisa digunakan.

Festival Malang Tempo Dulu bisa jadi momen untuk memikat para wisatawan dan penggemar sejarah untuk merasakan nuan-sa yang menggambarkan kisah rakyat Malang di masa lalu.

Meski suasana hujan di sela festival yang baru berlangsung, namun tak menyurutkan seman-gat dan antusiasme warga kota Malang dan sekitarnya untuk me-nikmati suguhan unik ini. (m)

Sumatera UtaraEkspor Kakao Dan Kopi Sumut Bisa Langsung Ke Eropa

Ekspor kakao dan kopi milik petani di Sumatera Utara ke depan bisa langsung menembus pasar Eropa, yang fi nalisasinya akan dimatangkan pada akhir tahun ini melalui kerja sama perdagangan Government to Government (G to G) antara Hongaria dan Indonesia. “Selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan nota kesepahaman dalam wadah provinsi kembar (Sister Province) antara Pemprov Sumut dengan Provinsi Bekes,” kata Wagub Sumut H Gatot Pujo Nugroho didampingi Kepala Bappeda Riadil Akhir Lubis, Kepala Inspektorat Nurdin Lubis, dan Kepala Dinas Kominfo Eddy Syofi an di Medan, Selasa (2/6).

Kerja sama provinsi kembar ini akan difokuskan pada G to G, bukan Business to Business (B to B), karena untuk mewujudkan kerja sama tersebut, pihaknya akan melakukan sosialisasi ke DPRD Sumut guna mendapatkan rekomendasi. “Sampai sejauh ini, sosialisasinya sudah tahap konsultasi. Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama, prosesnya sudah fi nal,” ucapnya. Untuk kerja sama bidang olahraga, Pemprov Sumut dan Provinsi Bekes akan melakukan program pertukaran atlit atau pelatih. (rZ)

Kepulauan RiauPeringkat I Investasi PMA dan PMDN

Realisasi Investasi di Propinsi Riau sampai bulan Mei 2009 untuk PMA sebesar U$460, 9 juta sedangkan untuk PMDN Rp1.966,8 miliar dan merupakan peringkat terbaik I Investasi PMA dan PMDN di Luar Pulau Jawa. Tahun 2008 menurut Kasubid Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Propinsi Riau, H. Joko Wardhono, realisasi investasi di propinsi ini tercatat Rp1.966,8 miliar (PMDN) dan US U$ 460,9 juta (PMA).

Riau pada 2008 berada pada peringkat 5 besar investasi PMDN di Indonesia, setelah Jawa Barat (posisi 1) senilai Rp4.289,5 miliar dengan 64 proyek disusul Jawa Timur Rp2.773 miliar dengan 40 proyek, Banten Rp1989,1 miliar dengan 31 proyek dan Riau Rp1.837,3 miliar dengan 34 proyek. Pada tahun yang sama Riau juga menempati peringkat ke 4 investasi PMA di Indonesia senilai Rp460,9 juta dolar AS dengan 8 proyek, setelah DKI Jakarta 9.927,8 juta dolar dengan 434 proyek, Jawa Barat 2.552,1 juta (293 proyek) dan Banten 477 juta dolar (99 proyek). (dafri)

Sumatera SelatanJalur Ganda KA Sumsel-Lampung

Departemen Perhubungan menyetujui rencana proyek jangka panjang pembangunan rel KA dua jalur menghubungkan Tanjung Enim – Tarahan untuk angkutan batubara rangkaian panjang yang mampu mengangkut hingga 25 juta ton per tahun. Kadishub Provinsi Lampung Haryo Satmiko, Rabu (3/6) mengatakan, proyek jalur ganda rel KA Sumsel – Lampung sepanjang 600 km ini sedang dalam studi kelayakan, terkait biaya yang dibutuhkan. Proyek ini merupakan proyek nasional untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan batubara dari Tanjung Enim ke pelabuhan Tarahan dari semula cuma 9 juta ton menjadi 25 juta ton per tahun, katanya. (gita)

Nusa Tenggara TimurBantuan Hibah 1,07 Miliar Yen

Pemerintah Jepang memberi bantuan dana hibah (grant) sebesar 1,07 miliar yen untuk pembangunan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Amagarapati, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, NTT dan technical assistance berupa program penyadaran masyarakat, pengelolaan sumberdaya perikanan dan peningkatan penghidupan masyarakat nelayan Kabupaten Bima, NTB.

Sekretaris Ditjen Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Dedy Heryadi Sutisna di Jakarta, Senin (1/6) mengatakan, bantuan tersebut berupa kerjasama antara Pemerintah Indonesia yang diwakili DKP dan Pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).

Kerjasama itu, tambahnya, dalam upaya mendukung penyediaan prasarana perikanan berupa pelabuhan perikanan yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan usaha perikanan tangkap, sekaligus upaya percepatan pengembangan wilayah Indonesia bagian Timur. Bentuk kerjasama tersebut, katanya, berupa bantuan hibah (grant) berdasarkan ”Exchange of Notes” tanggal 6 Juli 2007 dalam bentuk Project for Promotion of Sustainable Coastel Fisheries. (Bhr)

s a

t u

k a

t a

i

n d

o n

e s

i a

11komunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

tang globalisasi, mencermati per-kembangan sarana transportasi, serta teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat, saya baru memahami tentang apa yang dimaksud “bumi saya mengkeret” da lam Jongko Joyoboyo itu.

Dengan ditemukannya alat transportasi yang semakin cang-gih, yakni kereta api (yang digam-barkan dalam kalimat, “Tanah Jowo kalungan wesi” yang artinya, “rel”), mobil (“kreto tanpo jaran), dan pesawat terbang (prahu mla-ku ing awang-awang), jarak yang jauh antar belahan dunia yang satu dengan belahan dunia lain, kini tak lagi menjadi kendala. Dengan naik perahu yang berjalan di angkasa, orang bisa mandi pagi di Jakarta, sarapan di Kualalumpur, makan siang di Hongkong dan malam harinya menginap di Tokyo.

Di sisi lain, teknologi informasi dan komunikasi telah membuat orang-orang di seluruh dunia bisa saling melihat, mendengar, ber-cakap-cakap, bahkan bertransaksi bisnis dengan tenggat waktu yang nyaris seketika. Dari Indo-nesia, saat ini juga kita bisa bertelewicara via webcam dan VoIP dengan kawan kita di Afri-ka sana untuk menanyakan per-kembangan konfl ik di Dharfur.

Kita juga bisa membeli saham di Wallstreet melalui fasilitas

e-commerce. Mengecek tabungan di bank Singapura melalui sms-banking. Membayar pinjaman dengan e-payment. Teknologi infor-masi-komunikasi telah membuat batas-batas geografi s menjadi “tak berarti”, karena untuk menjangkau dan melihat “isi perut” negara lain kita cukup pencet tombol mouse komputer, dan kita bisa ke Rusia, Amerika, atau bahkan ke kutub sekalipun.

Saat kita bisa ke belahan dunia lain dalam waktu singkat, dan ber-interaksi dengan orang-orang di negara lain nun jauh di sana dalam waktu sekedip mata, bukankah itu berarti bumi sudah semakin sempit? Teori “desa jagat” yang dikemukakan McLuhan semakin mengukuhkan kenyataan tentang bumi yang makin mengkeret ini, dimana dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi, kita bisa “bepergian” ke manapun dan bahkan menjelajah dunia seperti layaknya menjelajah sebuah desa saja.

Tapi jangan lupa, pada abad 12, Joyoboyo sudah lebih du-lu mengemukakan hipotesis tentang the earth will shrink ini, sementara McLuhan baru memper-bincangkannya delapan abad kemudian! Jadi, dugaan tentang akan munculnya dunia yang makin menyempit sebenarnya sudah dii-dentifi kasi oleh bangsa Indonesia, jauh sebelum para pakar komunikasi Barat memperbincangkannya!

Sayangnya, kini apapun yang berbau ‘tradisional’ sering diang-gap ketinggalan zaman. Padahal bisa jadi, apa yang terkandung dalam sesuatu yang tradisional itu justru melampaui zamannya,

atau lebih canggih daripada yang dianggap canggih pada masa kini. Jongko Joyoboyo yang saya jadikan contoh di atas telah membuktikan hal itu.

Contoh lain, kesenian tradisi-onal misalnya, oleh banyak orang sering dianggap sebagai “kenang-an masa lalu”. Padahal dunia internasional mengakui kesenian tradisional kita—yakni Wayang—sebagai salah satu adikarya (masterpice) di antara 27 cultural heritage—atau warisan budaya—dunia. Tidak hanya wayangnya, gamelan pengiringnya pun dinilai sebagai karya seni yang sangat tinggi oleh bangsa lain. Mereka sangat antusias mempelajari gamelan kita. Bahkan menurut seorang dosen di Wesleyan Uni-versity, Amerika Serikat, jumlah perangkat gamelan negara-negara di luar Indonesia, saat ini lebih banyak daripada di Indonesia sendiri! Ini tentu fakta yang sangat membanggakan, sekaligus memprihatinkan.

Padahal soal kualitas, tak seorangpun meragukan “kecang-gihan” musik gamelan ini. Saya masih ingat cerita tentang Claude Debussy, seorang ahli musik (kom-ponis) terkemuka asal Perancis pada awal abad 19. Ia pakar di bidang musik orkestra dan te-lah menciptakan ratusan karya simfoni. Suatu ketika, Debussy diajak salah seorang kawannya untuk menonton pagelaran kara-witan Jawa. Apa reaksinya? Ia sangat takjub dan kagum bukan kepalang mendengar aneka alat musik (gamelan) bisa dimainkan bersama-sama dalam satu harmonisasi irama

yang memukau. Debussy lalu berkomentar, “Setelah mende-ngarkan suara karawitan Jawa, saya merasa malu, karena musik Barat yang selama ini saya tekuni kualitasnya tak lebih dari musik pengiring sirkus jalanan!”

Saya percaya, di seantero penjuru Nusantara ini begitu banyak warisan nenek moyang yang sejatinya sangat canggih namun tidak kelihatan canggih, lantaran generasi penerus tidak mau menggali apa yang ada di dalamnya secara komprehensif. Mengapa perahu kayu phinisi bisa bertahan dari gempuran ombak yang sangat besar? Mengapa La Galigo dijadikan ru-jukan susastra dunia? Mengapa mayat di Trunyan tidak berbau? Mengapa salah satu suku di Papua bisa menyimpan ubi jalar selama setahun penuh tanpa busuk? Mengapa Candi Prambanan yang tinggi menjulang tidak rubuh dilanda gempa, padahal puluhan ribu rumah di sekitarnya luluh lantak? Semua itu tak akan terjadi jika tidak ada kecanggihan di dalamnya.

Kita sering tidak tahu—dan tidak peduli—bahwa berbagai kearifan lokal yang dibangun nenek moyang sejatinya telah dilengkapi dengan “kecanggihan” untuk menghadapi tantangan di masa depan. Kita terperangkap dalam stigma, bahwa yang tradisional pasti out of date dan yang modern selalu up to date. Padahal berbagai kerusakan di dunia ini justru muncul saat peradaban yang dianggap “modern” ini mulai muncul dan merajalela... (g).

Jika anda melihat, mendengar dan memiliki kisah unik dari seluruh nusan-tara untuk dituliskan dan ingin berbagi dalam rubrik keliling nusantara, si-lahkan kirimkan naskah kepada redaksi komunika melalui surat ke alamat redaksi atau melalui e-mail:

[email protected] atau [email protected]

Sikap Proaktif, Kunci Keberhasilan

Upaya penyebarluasan in-formasi Program Nasional Pem-berdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM-MKP) di Kabupaten Poso terus di-lakukan. "Kita juga ingin menjaring semua informasi dan data yang berhubungan dengan PNPM-MKP sekaligus menjaring masukan dari masyarakat bagi pengembangan program ini ke depan," ungkap Ketua Panitia Pelaksana Ridwan, S.Pi.

Melalui kegiatan ini peserta diharapkan dapat memahami konsep dan memberikan saran pengembangan program serta membantu penyebarluasan infor-masi Program PNPM-MKP kepada masyarakat luas.

Kadis Kelautan dan Perikanan Kabupaten Poso, Mohammad Arif Latjuba, SE., M.Si. menya-takan PNPM-MKP yang diinisiasi Departemen Kelautan dan Per-ikanan tahun 2009 merupakan perwujudan dan komitmen na-sional dalam rangka percepatan penanggulangan kemiskinan ma-syarakat kelautan dan perikanan.

"Kegiatannya meliputi budi-daya perikanan, penangkapan ikan, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, pengawasan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut serta peningkatan ka-pasitas sumberdaya manusia masyarakat kelautan dan perikan-an," jelasnya.

Wakil Bupati Poso Abdul Muthalib Rimi, S.H., M.H., menyambut baik pelaksanaan program ini. Me-nurutnya realitas menunjukan bahwa Poso memiliki sumber da-ya kelautan dan perikanan yang menjanjikan, namun di sisi lain jumlah penduduk miskin relatif masih tinggi dan dan dominan bermukim di daerah pesisir. "Hal ini tentunya menjadi tanggung

jawab dan tugas kita bersama bagaimana dapat menurunkan angka kemiskinan tersebut secara lebih signifi kan," tegasnya.

Abdul Muthalib Rimi meng-ingatkan bahwa implementasi program ini tak mudah, "Karena

kita dihadapkan pada dua hal secara bersamaan. Pertama, memberikan dana langsung ke masyarakat untuk dikelola se-cara mandiri. Dalam artian ma-syarakat yang merencanakan, melaksanakan sekaligus menga-wasinya. Kedua, harus mengubah perilaku masyarakat dari sikap pasif menjadi sikap proaktif agar menjadi masyarakat yang dina-mis."

Di Kabupaten Poso terdapat komoditas utama yang didorong dalam rangka mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yakni program pengembangan rumput laut yang mengintegrasikan program pusat dan daerah, pe-ngembangan budidaya udang, bandeng dan ikan air tawar.

Dengan areal seluas 350 Ha yang terbagi dalam tiga kecamatan sasaran yakni Kecamatan Poso Kota Utara, Kecamatan Poso Pe-sisir Utara dan Kecamatan Lage. "Saya berharap masyarakat untuk dapat memanfaatkan bantuan ini dengan sebaik-baiknya guna meningkatkan kualitas serta ke-

sejahteraan hidupnya yang juga secara langsung mendorong pro-ses pembangunan yang lebih baik di Kabupaten Poso," ungkap Abudl Muthalib Rimi.

(Arul Amir Kiat/Poso)

Kembangkan Peran Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan

Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Kebumen menggelar Sarasehan Lingkungan hidup, di pendopo Rumah Dinas Bupati Kebumen.

Sarasehan yang berkaitan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini dibuka Bupati Kebumen KH Nashiruddin Al Mansyur.

Sarasehan ini juga dihadiri Kapolres Kebumen AKBP Ahmad Haydar. sKPD terkait, anggota Tim Penggerak PKK, organisasi wanita serta kader Lingkungan Hidup di Kabupaten Kebumen antara lain kelompok kader lingkungan hidup KRL Kel Panjer, KRL Desa Kembaran, Desa Semanding, Gombong serta KRL Lestari Jaya Desa Tanggeran, Kecamatan Sruweng.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Nugroho Tr i Waluyo mengatakan sasarehan lingkungan hidup kali ini lebih menekankan

pada peran perempuan dalam melestarikan lingkungan hidup. Mengingat perempuan dengan perannya sebagai pengelola rumah tangga, lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan dan sumber daya alam.

Lebih lanjut Nugroho Tri Waluyo menambahkan k m e l a l u i s a r a s e h a n in i d iha rapkan akan member ikan wawasan kepada masyarakat. Melalui organisas i wanita dan kelompok kader lingkungan di Kebumen diharapkan permpuan lebih memahami perannya dalam dalam mengelola Lingkungannya dan lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya.

Beberapa kegiatan yang dilakukan terkait peringatan Har i L ingkungan antar

lain : Sosialisasi Peran serta Masyarakat dalam pengelolaan persampahan di kewedusan (24 Mei), Pengenalan lingk hidup bgi anak melalui pemutaran fi lm lingkungan hidup di Kecamatan Ayah (3 Juni), Gerakan kebersihan lingku di Tiap SKPD (5 Juni), Car Free Day/sehari Tanpa Kendaraan Bermotor di sekitar alun-alun 06.00 -08.00 wib pada taggal 7 Juni 2009, sarasehan lingkungan (11/6) serta lomba mewarnai dan melukis bagi anak TK dan SD pada 21 Juni 2009 serta Lomba mewarnai bagi TK/RA , melukis bagi SD tgl 21 Juni serta Sosilliasi Peningkatan Edukasi dan Komunikasi Masyarakat di bidang Lingkungan untuk guru SD, SMP dan SLTA di gedung PKK pada 23 Juli 2009.

(nn/Dinas Inforkomtel Kebumen)

Penghargaan Untuk Blora

Bupati Blora Drs. RM. Yudhi Sancoyo, MM, Senin (8/6) di Asrama Haji Donohudan Surakarta menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudho-yono. Pemberian penghargaan ini diberikan kepada pihak-pihak yang ikut memajukan program pertanian sehingga Indonesia dapa t swasembada be ras kembali.

Penghargaan diberikan karena keberhasilan Blora meningkatkan produksi padi tahun 2008, demikian ungkap Bupati Blora. Di tahun 2008 Blora berada di urutan ke 3 di Jawa Tengah, “Hal ini tentunya berkat kejasama pemerintah dengan semua pihak, baik para petani, tokoh agama dan tokoh masyarakat, pers dan LSM,” jelas Bupati. Untuk itu Yudhi Sancoyo berharap kerja sama yang baik ini agar selalu dapat terjaga.

Kepa la D inas Pertan ian Kabupaten Blora Sutikno Sla-met mengungkapkan bahwa penghargaan Presiden yang diberikan kepada bupati Blora, karena Kabupaten Blora mampu menaikan produksi beras sebesar 21,05 persen. “Produksi tahun 2008 sebesar 388.395 ton GKG sedang tahun 2007 sebanyak 320.851 ton GKG, sehingga ada selisih 67.544 ton GKG atau terjadi keenaikan sebesar 21,05%,” kata Sutikno.

(infoblora)

Suatu ketika, saya membuka-buka buku di perpustakaan. Tanpa sengaja saya menemukan sebuah buku lawas yang memuat Jongko Joyoboyo. Prabu Joyoboyo adalah raja Kadiri yang memegang tam-puk kekuasaan pada abad 12 atau sekitar tahun 1200-an. Beliau banyak menulis “jongko” atau ramalan tentang sesuatu yang akan terjadi di masa datang.

Satu hal yang membuat saya tertarik, di salah satu “pupuh” atau bait Jongko Joyoboyo itu, ada tulisan yang bunyinya be-gini: “Bumi soyo suwe soyo mengkeret—Bumi makin lama makin menyempit—atau dalam bahasa Inggrisnya, “the earth will shrink.” Bumi yang mengkeret itu akan terjadi jika: “Ono kreto tanpo jaran” (ada kereta tanpa kuda), “Tanah Jowo kalungan wesi” (tanah Jawa berkalung besi) dan “prau mlaku ing ndhuwur awang-awang” (perahu berlayar di angkasa).

Saat itu, saya hanya bisa mengira-ira, apa yang dimaksud dengan “bumi soyo mengkeret” itu? Saya pikir, suatu ketika, bumi yang kita pijak ini akan semakin mengecil massa-nya, karena pengaruh goemorfologis, kli-matologis, maupun astronomis. “Mengkeret” betulan, atau mengecil secara fi sik. Belakangan, setelah saya membaca teori ten-

Tradisional nan Canggih

12w

ww

.bip

ne

ws

ro

om

.in

fokomunika Edisi 10/Tahun V/Juni 2009

dari kain putih, blencong atau lampu pertunjukan dan satu kotak wayang. Semuanya tampak berdebu, bahkan sudut bawah kotak wayang yang terbuat dari kayu tampak keropos dimakan rayap. “Sudah setahun lebih kotak wayang ini tidak dibuka. Moga-mo-ga saja wayangnya masih utuh,” tutur bapak empat anak ini sambil menghapus debu yang melekat di kotak wayang dengan kemoceng.

Syukurlah, saat kotak dibu-ka wayangnya masih utuh, hanya catnya tampak suram karena terbalut debu lumayan tebal. Penggiat seni ini lantas menjajarkan tokoh-tokoh Wayang Sadat di atas meja. Dengan ha-ti-hati, wayang yang sepintas modelnya mirip dengan Wayang Kulit itu, ia dibersihkan dengan lap basah satu per satu. “Terakhir saya membersihkan wayang ini bulan Februari 2008, sebelum la-tihan pentas terakhir di halaman rumah saya ini,” tuturnya.

Sarana Dakwah dan Penyejuk Kalbu

Berbeda dengan Wayang Kulit yang tokoh-tokohnya diambil dari cerita Ramayana dan Mahabha-rata, peraga Wayang Sadat di-ambil dari tokoh-tokoh sejarah Kerajaan Demak dan Babad Ta-nah Jawa. Jangan heran kalau nama tokohnya bukan Gatotkaca, Kresna atau Bima, melainkan Para sunan/wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya yang jumlahnya sembilan orang (Wali Songo), ditambah tokoh-tokoh

jarit, keris, dan blangkon, dalang Wayang Sadat justru mengenakan jubah biasa (seperti surjan) dan surban di kepalanya. Niyaga (pena-buh gamelan) mengenakan baju muslim (baju koko), sedangkan waranggana (sinden atau pelantun tembang) mengenakan busana muslimah atau jilbab. Selama pergelaran Wayang Sadat, bacaan lafal Al-Qur’an kerapkali terdengar. Bacaan shalawat juga sering meng-alun ketika tokoh Sunan Bonang atau para wali lainnya tampil.

Wayang Sadat tidak memiliki pakem cerita baku seperti Wayang Kulit atau Wayang Golek. “Ini memang termasuk wayang realis, menggabarkan kehidupan nyata di masyarakat waktu itu, yakni penyebaran agama Islam khususnya pada zaman Demak Bintoro. Babon (sumber utama--red) cerita biasanya dari buku Babad Tanah Jawi, namun cerita carangan (kreasi--red)-nya bisa dibikin sendiri sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Kapan Wayang Sadat lahir, Suryadi tidak bisa

mengatakan dengan pasti. Ia hanya ingat, ayahnya menerima warisan way-ang itu dari kakeknya. Sang kakek-lah yang menciptakan wayang itu. Kakek dan ayahnya adalah dalang Wayang Sadat tenar pada zamannya. Bakat mendalang akhir-nya menurun kepadanya.

Meskipun ia tak pernah secara khusus belajar mendalang Wayang Sadat, namun karena sering diajak pentas, akhirnya ia bisa mendalang secara otodidak. “Saya pentas di depan umum sejak tahun 1980-an. Berbeda dengan kakek dan ayah saya yang mengalami zaman ke-emasan, saya menjadi dalang pada saat pamor Wayang Sadat sudah mulai mbleret (suram—red),” kata Suryadi.

Pensiunan guru SD ini menga-ku, pada saat awal-awal menjadi dalang tahun 80-an, dalam sebulan ia bisa mendalang dua sampai empat kali. Undangan bukan saja datang dari Klaten, namun juga dari luar provinsi, bahkan ia pernah mendalang di lokasi transmigrasi di daerah Lampung dan Kalimantan Selatan. Ia juga rutin pentas di TVRI, televisi satu-satunya milik pemerintah saat itu. Tapi memasuki tahun 90-an, order pentas turun drastis. Bahkan m ulai tahun 1995, Wayang Sadat tak pernah lagi ditanggap orang. “Kalah sama sinetron dan kesenian modern lainnya,” ujar Suryadi pen-dek.

Pasrah Menunggu MautKevakuman selama beberapa

tahun tidak pentas membuat Suryadi kelimpungan. Maklum, mendalang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sekitar tahun 1990-

an, ia mengajukan proposal ke (saat itu) Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Klaten agar mau mementaskan Wayang Sadat secara periodik, untuk mucuki pentas Wayang Kulit yang rutin digelar di alun-alun. Upayanya tak sia-sia, Kantor Deppen Kab Klaten bersedia mementaskan Wayang Sadat sebulan sekali. Tapi itu tak berlangsung lama, baru pentas tiga kali sudah dihentikan dengan alasan tidak ada dana.

Lelaki berkumis ini pun putar otak agar kesenian yang digelutinya tak tenggelam ditelan zaman. Salah satu cara yang ia tempuh adalah menyelenggarakan gladhen (latihan) rutin sebulan sekali di halaman rumahnya. Tujuannya agar gairah kesenian bisa tersa-lurkan, selain itu juga untuk mencari bibit dalang baru dari kalangan pemuda. “Alhamdulillah, usaha saya... gagal total. Satu-dua kali gladhen, setelah itu macet karena para niyaga sibuk dengan urusannya masing-masing,” urai-nya dengan wajah muram.

Niat untuk mencari bibit dalang baru juga pupus, lantaran tak seorang pemudapun berminat menjadi dalang Wayang Sadat. “Bahkan anak saya sendiri nggak mau meneruskan profesi bapak-nya jadi dalang Wayang Sadat. Penghasilannya nggak jelas ka-tanya,” ujar Suryadi terus-terang.

Bagi Suryadi, seni memang bu-kan untuk mencari uang. Karena itu, ia tak pernah memikirkan rugi-laba saat mementaskan Wayang Sadat. Bahkan menurut penuturannya, saat pentas lebih banyak rugi ke-timbang untungnya. “Rugi secara material, namun secara moral tetap untung karena saya mendapatkan kepuasan batin yang tidak terkira. Hal semacam inilah yang cengkah (bertentangan—red) dengan pola pikir anak-anak muda zaman sekarang,” imbuhnya.

Ia pernah bercita-cita mere-vitalisasi Wayang Sadat menjadi Wayang Nusantara, dengan to-koh-tokoh yang disesuaikan dengan konteks kehidupan kene-garaan saat ini. Namun cita-ci-ta itu tampaknya sulit menjadi kenyataan. Kendalanya apa lagi kalau bukan masalah dana. Iro-nisnya, berbagai pihak yang ia sodori proposal bantuan dana hanya menggelengkan kepala alias menolak dengan halus.

Kini ia mengaku pasrah, me-nunggu saat kematian Wayang Sadat datang menjemput. Ia per-caya, masa keemasan Wayang Sadat telah lewat. “Wayang Sadat kini sudah berada pada masa senjakala. Kematian sepertinya sudah menjadi takdir yang tak terhindarkan,” pungkasnya lirih. (Wahyu H)

Begitulah nasib Wayang Sadat, kesenian tradisional yang namanya pernah berkibar pada zaman Orde Baru. Kini jangankan bentuk ke-seniannya, namanya saja banyak yang tidak tahu. “Saya malah baru tahu dari njenengan (anda—red) kalau ada wayang yang namanya Wayang Sadat. Kalau Wayang Ku-lit, Wayang Wong (Orang—red), Wayang Golek, saya tahu. Tapi Wayang Sadat saya tidak pernah dengar,” imbuh Bambang.

Lelaki dua anak ini baru per-caya Wayang Sadat benar-benar ada, ketika bertemu dengan Suryadi Wanasukarja BA, sang dalang yang dicari-cari. Anehnya, Bambang mengaku sudah kenal dengan Suryadi, namun yang ia tahu profesi Suryadi adalah guru, bukan dalang. “Kalau Pak Suryadi yang ini sih saya sudah kenal sejak lama, tapi beliau seorang guru, bukan dalang Wayang Sadat,” ki-lah Bambang.

Suryadi hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Bambang. Zaman memang telah menyilapkan kata Wayang Sadat dari pemahaman anak-anak muda seperti Bambang. Padahal pada era 80-an, Suryadi adalah dalang Wayang Sadat terkemuka di Kabupaten Klaten. “Waktu saya masih sering di-tanggap (pentas—red) dulu, Mas Bambang belum lahir. Wajar jika sekarang ia tidak tahu apa itu Wayang Sadat,” kata Suryadi.

Ia lantas mengajak ke salah satu ruang di rumahnya. Di sana masih ada seperangkat gamelan slendro-pelog lengkap, tabuh gamelan berbagai jenis, kelir

lain dari zaman Kerajaan Demak Bintoro.

Pakaiannya berciri khas Islam yakni berjubah dan bersorban—kecuali Sunan Kalijaga yang di-gambarkan mengenakan pakaian adat Jawa—sementara masyarakat umum digambarkan memakai ikat kepala, blangkon atau berpeci. Uniknya, semua tokoh yang ada dalam wayang ini mengenakan alas kaki, baik terompah, sepatu maupun sandal. “Filosofi nya adalah para wali dan tokoh muslim lainnya

dalam wayang ini selalu suci atau terjaga dari najis dan hadats,” urai lelaki berusia 63 tahun ini.

Nama “Sadat” sendiri diambil-kan dari akronim, “Sarana Dak-wah dan Tabligh”. Nama ini ju-ga berasosiasi dengan kalimat “Syahadat” yang merupakan ikrar kesaksian keesaan Allah dan pe-ngakuan Rasulullah Muhammad se-bagai utusan Allah. “Sifat wayang ini memang sangat religius Islami, oleh karena itu pagelaran Wayang Sadat selain sebagai dakwah juga sebagai penyejuk kalbu penonton,” kata Suryadi.

Ia mengakui, secara umum Wayang Sadat sangat dipengaruhi oleh Wayang Kulit. Mulai gamelan, perangkat pentas, hingga karakter sungging (tatahan) wayang, se-muanya mirip dengan Wayang Kulit. Jalannya pementasan juga tak beda jauh dengan Wayang Kulit. “Gending-gending yang di-gunakan, suluk (candra—red), an-tawacana (dialog—red), dan sabet (gerakan wayang—red), semua mirip dengan Wayang Kulit. Hanya di dalam Wayang Sadat ditambah dengan shalawat nabi dan kutipan ayat-ayat Al-Qur’an,” ujarnya.

Selain itu, imbuh Suryadi, pen-tas wayang ini juga tidak semalam suntuk seperti Wayang Kulit, namun cukup memakan waktu empat jam. Karena pakelirannya padat, maka Wayang Sadar sering dipentaskan untuk mucuki (pentas pendahuluan) dari pagelaran Wa-yang Kulit.

Dalang BerjubahBerbeda dengan kebanyakan

dalang yang mengenakan beskap,

Butuh waktu satu jam lebih untuk menemukan rumah Suryadi di Desa Mireng, Kec Trucuk, Kab Klaten, Jateng. Kendati sudah memberi

keterangan tambahan bahwa nama yang dicari adalah ‘Suryadi dalang Wayang Sadat’, namun

tak banyak warga Trucuk yang kenal. “Yang namanya Suryadi di sini banyak, mas, tapi Sur-

yadi dalang Wayang Sadat saya tidak tahu,” kata Bambang (19 th), tukang ojek yang biasa

mangkal di gerbang Desa Mireng.