Edema Paru Akut

39
BAB I PENDAHULUAN Gagal jantung merupakan diagnosa utama pada pasien rawat inap di rumah sakit sebesar 1 juta orang per tahun di Amerika Serikat dan Eropa, dan angka kematiannya di rumah sakit meningkat dari 4% menjadi 36% pada kasus berat yang membutuhkan ventilasi mekanik (Gheorghiade et al. 2012; Ursella et al, 2007). Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa edema paru akut kardiogenik yang merupakan bentuk hipoksemia dari kegagalan pernafasan akut (Gray et al, 2009). Edema paru akut kardiogenik merupakan keadaan darurat medis yang menyumbang hingga 15.000-20.000 orang masuk rumah sakit per tahun di Inggris. Angka kematiannyapun cukup tinggi sebesar 10-20% terutama pada pasien berkaitan dengan infark miokard akut (Alasdair et al, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Jantung Akut

description

edema paru

Transcript of Edema Paru Akut

BAB IPENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan diagnosa utama pada pasien rawat inap di rumah sakit sebesar 1 juta orang per tahun di Amerika Serikat dan Eropa, dan angka kematiannya di rumah sakit meningkat dari 4% menjadi 36% pada kasus berat yang membutuhkan ventilasi mekanik (Gheorghiade et al. 2012; Ursella et al, 2007). Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa edema paru akut kardiogenik yang merupakan bentuk hipoksemia dari kegagalan pernafasan akut (Gray et al, 2009). Edema paru akut kardiogenik merupakan keadaan darurat medis yang menyumbang hingga 15.000-20.000 orang masuk rumah sakit per tahun di Inggris. Angka kematiannyapun cukup tinggi sebesar 10-20% terutama pada pasien berkaitan dengan infark miokard akut (Alasdair et al, 2008).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Akut 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi'

Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan struktur atau fungsi jantung yang menyebabkan kegagalan jantung untuk menghantarkan oksigen yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan meskipun tekanan pengisian normal (atau hanya terjadi peningkatan tekanan pengisian). Gagal jantung secara klinis didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala (misalnya sesak napas, pembengkakan kaki, dan kelelahan) dan tanda-tanda yang khas (misalnya tekanan vena jugularis meningkat, ronkhi pada paru, dan pelebaran iktus jantung) akibat kelainan struktur atau fungsi jantung (Dickstein et al, 2008; ESC, 2012). Gagal jantung akut adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda tanda dari gagal jantung yang memerlukan penanganan medis segera dan biasanya menyebabkan pasien harus masuk rumah sakit secepatnya. Kondisi ini mengancam jiwa pasien dan gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung

sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (Gheorghiade et al, 2012). Pada pasien yang telah menderita gagal jantung, sebelumnya apabila terjadi gagal jantung akut biasanya terdapat faktor pencetus (misalnya aritmia atau penghentian terapi diuretik pada pasien gagal jantung dengan ejection fraction yang rendah, overload cairan atau hipertensi berat (ESC, 2012)

2.1.2 Patofisiologi dan PatogenesisGagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi. Disfungsi sistolik lebih sering terjadi yaitu pada 2/3 pasien gagal jantung. Namun ada juga yang menunjukkan keduanya, baik disfungsi sistolik maupun diastolik (Gheorghiade et al, 2005).Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut antara lain (Gheorghiade et al, 2005; McCance, 2006): a. Mekanisme Frank StarlingMenurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat.b. Perubahan neurohormonalSalah satu respon neurohumoral yang terjadi paling awal untuk mempertahankan curah jantung adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA.c. Remodeling dan hipertrofi ventrikelDengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.

Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin

mengganggu fungsi ventrikel kiri.

2.1.3 Manifestasi KlinisManifestasi klinis gagal jantung akut sangat banyak, dan kadang tumpang tindih dengan manifestasi klinis yang lain, dan penanganannya pun bisa sangat berbeda sehingga klasifikasi apapun akan memiliki keterbatasan (ESC, 2008).1. Gagal jantung dekompensasi akut (de novo atau sebagai dekompensasi gagal jantung kronik) dengan tanda-tanda dan gejala ringan dari gagal jantung akut dan tidak memenuhi kriteria untuk syok kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi. Tekanan darah yang rendah pada awal masuk rumah sakit berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu gagal jantung yang disertai tekanan darah tinggi dan gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut. Terdapat bukti terjadinya peningkatan simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi. Pasien mungkin euvolumik atau sedikit hipervolumik. Apabila pada pasien ini mendapat terapi yang tepat secepatnya maka angka kejadian mortalitas di rumah sakit rendah.3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks. Dimana pasien datang dengan gangguan pernafasan berat, takipneu, ortopnea dan terdapat ronki yang luas. Saturasi oksigen biasanya kurang dari 90% pada udara ruangan sebelum mendapatkan terapi oksigen.4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti organ.5. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian tekanan vena jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak pasien dengan gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratorium yang mengarah ke sindrom koroner akut. Sekitar 15% dari pasien sindroma koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung. Episode gagal jantung akut sering berhubungan atau dipicu oleh aritmia (bradikardia, fibrilasi atrium dan ventrikel takikardia)

Gambar 2.1 Klasifikasi Klinis Gagal Jantung Akut (dikutip dari ESC, 2008)

Ada beberapa klasifikasi lain gagal jantung akut yang bisanya dipakai diperawatan intensif untuk menilai beratnya gagal jantung akut yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks, klasifikasi Forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik. Klasifikasi ini cocok pada infark jantung akut. Klasifikasi yang ketiga yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Forrester (gambar 2.2) yang berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion) (Daulat, 2009; ESC, 2008).

Gambar 2.2 Klasifikasi Klinis Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Forrester (dikutip dari ESC, 2008)

2.2 Edema Paru Akut 2.2.1 DefinisiEdema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).

2.2.2 MekanismePada paru normal (gambar 2.3), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).

Gambar 2.3 Paru Normal (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:1. Membran kapiler alveoliEdema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally, 2009).Q(iv-int) = Kf [(Piv - Pint) df (IIiv IIint)]Keterangan:Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitialPiv = Tekanan hidrostatik intravaskularPint = Tekanan hidrostatik interstitialIIiv = Tekanan osmotik koloid intravaskular IIint = Tekanan osmotik koloid interstitialdf = Kefisien refleksi proteinKf = Kondukstan hidraulik2. Sistem limfatikSistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan perivaskular. Dengan peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009).

2.2.3 KlasifikasiKlasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):1. Ketidakseimbangan Starling Force a. Peningkatan tekanan vena pulmonalisEdema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).b. Penurunan tekanan onkotik plasmaHipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru. Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitialEdema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang sering menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan negatif yang besar. Keadaan ini disebut edema paru re-ekspansi. Edema biasanya terjadi unilateral dan seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali kasus yang menjadikan edema paru re-ekspansi ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome).Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan Straling Force Pneumonia (bakteri, virus, parasit) Terisap toksin (NO, asap) Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi Aspirasi asam lambung Pneumonitis akut akibat radiasi Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin) Dissemiated Intravascular Coagulation Immunologi: pneumonitis hipersensitif Shock-lung pada trauma non thoraks Pankreatitis hemoragik akut 3. Insuffisiensi sistem limfe Pasca transplantasi paru Karsinomatosis, limfangitis Limfangitis fibrotik (siilikosis)4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya High altitude pulmonary edema Edema paru neurogenik Overdosis obat narkotik Emboli paru Eklamsia Pasca anastesi Post cardiopulmonary bypass

2.3 Edema Paru Kardiogenik 2.3.1 Etiologi dan PatofisiologiEdema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) : Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri. Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung. Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channels epitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).

Gambar 2.4 Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010).Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009).Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009).Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

2.3.2 DiagnosisTampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan. AnamnesisAnamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). Pemeriksaan fisikTerdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). LaboratoriumPemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusionpressure, left ventricular end-diastolicpressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009). RadiologisPada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009). Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009). Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

NO.Gambaran RadiologiEdema KardiogenikEdema Non Kardiogenik

1Ukuran JantungNormal atau membesarBiasanya Normal

2Lebar pedikel VaskulerNormal atau melebarBiasanya normal

3Distribusi VaskulerSeimbangNormal/seimbang

4Distribusi Edemarata / SentralPatchy atau perifer

5Efusi pleuraAdaBiasanya tidak ada

6Penebalan PeribronkialAdaBiasanya tidak ada

7Garis septalAdaBiasanya tidak ada

8Air bronchogramTidak selalu adaSelalu ada

Gambar 2.5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Cremers et al, 2010)

Gambar 2.6 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)

EkokardiografiPemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010). EKGPemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009). Kateterisasi pulmonalPengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Gambar 2.7 Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

2.3.3 Penatalaksanaan

Gambar 2.8 Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)Keterangan:1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat dulang jika diperlukan.2. O2 saturasi dengan pulse oximeter atau PaO2 2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung3. Biasanya dimulai dengan O2 4060%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2.4. Contoh, pemberian morfin 48 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit, bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial.6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 g/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 g/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 g/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 g/min jarang sekali dipelukan.9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi.10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan pengobatan diuretik oral.11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya simptomatik hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan.12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 12 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine). 13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi untuk penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks, dan depressed consciousness. 16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat kesadaran , dll17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg ( dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 g / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan.

Tabel 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)

DAFTAR PUSTAKA

1. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:

2. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51.

3. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia: Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-failure.html. (24 November 2012)

4. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519

5. Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail 2008;10:933989.

6. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 23882442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309

7. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 17871847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104

8. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework for Future Research. AHA 2005; 112; 3958-3968.

9. Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial.Leeds. Health Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33

10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653

11. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9, 2009

12. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.

13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52

14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075.

15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation 2004 : 110 : 1091-1096

16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19

17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205