Eczematous Drug Eruption

download Eczematous Drug Eruption

of 15

description

erupsi obat

Transcript of Eczematous Drug Eruption

Eczematous Drug Eruption

Eczematous Drug EruptionPendahuluan

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Pengertian alergi erupsi obat adalah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat. (1,2,3,4)

Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rektum, vagina, dan dengan suntikan atau infus. Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakaiannya akan mengalami erupsi obat alergi atau erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik; misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamid, obat-obatan antikonvulsan, golongan analgesik-antipiretik. (1,2,5,6,7)

Reaksi obat pada kulit mungkin disebabkan oleh beberapa mekanisme yang berbeda-beda. Penyebab terjadinya reaksi obat antara lain karena intoleransi sederhana, hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV, kelainan kelainan farmakokinetik, interaksi obat, dan interaksi yang rumit antara pasien, obat, dan lingkungan (contohnya sinar matahari). Sedangkan bentuk bentuk reaksi obat padakulit yang biasa terjadi antara lain erupsi eksantematosa, urtikaria dan anafilaksis, dermatitis eksfoliatif, vaskulitis, Fixed drug eruption, erupsi serupa liken planus, eritema multiforme, erupsi akneiformis, kelainan rambut, perubahan pigmentasi, reaksi berbentuk bulla, fotosensitivitas, sindrom serupa lupus eritematous, dan eksaserbasi penyakit kulit yang sudah ada.(1,2,3,5,6,7)

Eczematous drug eruption atau dermatitis kontak sistemik atau dermatitis kontak alergi yang reaktifasi merupakan salah satu tipe reaksi hipersensitifitas dimana paparan sistemik akibat kontak alergen terjadi pada orang yang sebelumnya telah tersensitasi. Pemberian obat sistemik kepada individu yang sebelumnya telah tersensitasi dengan penggunaan obat topikal dapat memicu perluasan dermatitis eksematous (dermatitis kontak tipe sistemik) atau urtikaria.Walaupun pada awal paparan biasanya oleh penggunaan topikal, paparan kembali dengan penggunaan oral, melalui pembuluh darah atau pernapasan dapat menyebabkan dermatitis kontak sistemik. Sebagian dari agen yang sistemik yang menyebabkan erupsi obat eksematous dikenal sebagai penyebab reaksi eksematous yang dihubungkan dengan kontak eksternal (dermatitis kontak alergi); dalam beberapa kasus dimana ada riwayat kontak hipersensitivitas dengan dengan agent yang sama, maka erupsi akan timbul pada tempat yang sebelumnya terjadi reaksi kontak eksternal.(5,6,8,12)Etiologi Tabel 1 : Obat topikal dan obat sistemik yang dapat mengaktivasi eksema kontak alergi*Obat topikal Obat sistemik

Aminofilin supositoriaAmonia merkuri Balsam of Peru

Benzokain*KlorobutanolEtilendiamin hidrokloridaGliseril PABA Halogenasi hidroxiquinolin krim

Iodine

Neomisin sulfatNitrogliserin salepThiuramEtilendiamin antihistaminCampuran merkuri organik dan nonorganikPenghirupan benzoinProkainAsam amino salisilMakanan dan obat-obat yang larutAsetohexamidTolbutamidklorpropamidklorotiazidkloral hidratAminofilin and the etilendiaminAntihistamin ;piperazinBeberapa benzokainIodoklorhidroxiquinolinIodida, campuran iodida organik, media kontras radiografi Streptomisin, Kanamisin, Paromisin, Gentamisin

Nitrogliserin tabletDisulfiram (Antabuse)

Tabel 2 : penyebab erupsi obat eksematous*

KategoriObat

Antibiotik Penisilin, sefalosporin, sulfonamid

Diuretik Tiazid

Antihipertensi Metildopa, beta-bloker

Hipoglicemik Sulfonilurea

Antikonvulsan Fenitoin, karbamazepin, lamotrigin

PsikiatriKlorpromazin

Lain-lain Kuinin, Kuinidin, emas , bleomisin, isotretinoin, statin (iktiosis), infliximab, interferon-alfa

PatogenesisDiduga melalui reaksi alergi tipe IV (imunitas seluler). Reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap obat-obat topikal sering ditemukan. Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell) dan sel Langerhans yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak alergi (1,2,6,12)Gejala klinis

Gejala klinis berkembang dalam waktu 2 sampai 24 jam setelah mengkonsumsi obat. Erupsi yang timbul cenderung simetris, gatal efloresensi polimorf, kelainan paling parah pada tempat pertama kali terjadi reaksi. Berbentuk makula, papula eritematosa, batas tidak jelas disertai vesikel/bula dapat dengan eksudasi.(3,6,10)

Baboon syndrome menggambarkan suatu bentuk dermatitis kontak sistemik yang jelas dengan eritem yang simetris di daerah fleksor termasuk siku, aksila, kelopak mata dan leher samping yang disertai lesi anogenital.(10,11,12)

Penggunaan obat yang terus menerus dapat memperhebat reaksi yang ditimbulkan dan menjadi erupsi generalisata.(2,6,10)*

Gambar 1 : reaksi obat positif akibat balsam of Peru*

Gambar 2 : dermatitis kontak alergi aminoglikosida. Pasien ini menggunakan antibiotik topikal mengandung neomisin**Gambar 3 : kelainan kulit dengan efloresensi yang polimorf terdiri atas eritem, papul, vesikel dan bula**

Gambar 4 : eritem dan udem terlihat bersama dengan papul, vesikel dan beberapa bula besar, diikuti pembentukan eksudasi dan krusta*Diagnosa banding

1. Erupsi eksantematosaEksantem merupakan bentuk yang paling sering akibat dari erupsi obat. Karakteristiknya adalah eritem, sering dengan papul-papul kecil. Eksantem terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan tetapi dapat menghilang kemudian, atau bahkan dalam 10 hari setelah pengobatan dihentikan. Reaksi obat pada kulit yang paling sering terjadi adalah terasa gatal, tersebar luas, simetris, eritematosa, dan makulopapular. Lesi sering dimulai pada badan atau daerah yang sering kena tekanan atau trauma dapat menyebar ke muka, mukosa telapak tangan dan kaki, bila obat tidak dihentikan lesi menjadi generalisata kemudian berkembang menjadi eritrodermi. Keluhan gatal bervariasi dapat disertai demam.(1,3,4,6,10,15)Perbedaannya dari erupsi eksematosa adalah waktu timbulnya lesi dimana pada eksematosa lesi berkembang dalam 2-24 jam setelah pemberian obat. Pada eksantematosa juga tidak terdapat vesikel/bula. Penyebab exanthem morbiliform :1. Obat-obat yang dapat memicu : antibiotik, fenillbutazon, emas, merkuri, PAS, barbiturat, isoniazid, quinide, thiazid2. Infeksi : rubella, rebeola, scarlatina, infeksi mononukleosis, roseola, echovirus, coxsavirus, penyakit kawasaki , toxic shock syndrome(8,10,15,16)

Gambar 5 : erupsi obat makulopapular. Lesi ini berhubungan dengan penicillin,dimana antibiotik merupakan penyebab terbanyak eksantematosa*

Gambar 6 : erupsi morbiliform dengan distribusi yang simetris pada extremitas proximal, terdiri dari makula merah terang dan papul (makulopapular)*2. Fixed drug Eruption

Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama baru hilang bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir, ekstremitas dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering diduga penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang paling sering ialah sulfonamid, barbiturat, trimetropin, dan analgesik.(1,2,7,8,11)

Gambar 7 : Fixed Drug Eruption pada kedua tangan*

Gambar 8 : hiperpigmentasi eksema menunjukkan fixed drug eruption **Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk penyakit ini adalah : 1. Uji tempel, di mana hasil uji tempel dengan obat penyebab adalah positif.(3,6,9)2. Tes provokasi obat

Provokasi obat oral masih merupakan metode yang dapat dipercaya untuk identifikasi obat penyebab, karena terkadang erupsi obat muncul pada pasien yang mengkonsumsi beberapa obat pada saat bersamaan, sehingga diperlukan tes untuk mengetahui obat mana yang menyebabkan masalah. Dimana pasien ditantang dengan obat yang masih meragukan. Cara ini cenderung berbahaya. Bagaimanapun masih banyak ahli dermatologi yang meragukan untuk melakukan tes provokasi karena takut terhadap akibat fatal yang ditimbulkan, seperti terjadinya reaksi yang lebih berat.(5,11,18,19) Untuk tes provokasi, menggunakan metode DBPC (Double Blind Placebo Control) atau uji samar ganda. Caranya pasien minum obat dengan dosis dinaikkan secara bertahap, lalu ditunggu reaksinya dengan interval 15-30 menit. Dalam satu hari hanya satu macam yang dites, untuk tes terhadap bahan/zat lainnya harus menunggu 48 jam kemudian. Tujuannya untuk mengetahui reaksi alergi tipe lambat. Prosedur ini hanya menimbulkan sedikit resiko apabila dilakukan secara tepat dan dengan hati-hati. Berdasarkan pengamatan bahwa 70% kasus menunjukkan hasil positif. Kemungkinan hasil negatif pada sisa kasus disebabkan oleh diagnosis yang salah, dosis tes provokasi yang lebih kecil, pasien yang sukar disembuhkan akibat kekurangan respon terhadap dosis tes. Penelitian menunjukkan bahwa golongan obat yang paling banyak menyebabkan erupsi adalah antimikroba (55%) diikuti dengan obat antipiretik-analgesik (40%). Obat antimikroba yang paling banyak menyebabkan erupsi obat adalah sulfonamid, kemudian diikuti dengan ampisilin, penisilin, dan tetrasiklin. Bagaimanapun, penelitian lebih lanjut masih tetap dilakukan untuk menemukan metode lain yang lebih aman dalam identifikasi agen penyebab.(5,19,20) Terapi

Bila erupsi kulit berat dan luas penderita perlu dirawat inap. Tempat perawatan disesuaikan dengan besarnya masalah. Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obat sendiri atau metabolitnya. Pengobatan simptomatik yang utama adalah untuk menghentikan agen penyebab.(3,6)Pengobatan Kausal

Segera setelah erupsi obat ditegakkan, maka pemberhentian obat yang dicurigai menjadi penyebab erupsi obat harus segera dihentikan. Itu merupakan tindakan utama dalam setiap kasus erupsi obat. Bila perlu menghentikan semua obat sistemik atau topikal yang dipakai penderita. Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia mirip dengan obat tersangka yaitu obat dalam satu golongan.(6,8,21)

Biasanya pasien erupsi obat eksema merupakan pasien yang menderita penyakit lain. Pasien masih bisa meneruskan pengobatan penyakit lain sepanjang gejala erupsi obat eksema timbul. Pada keadaan tertentu di mana obat tersebut tidak bisa dihentikan, sedapat mungkin diganti dengan obat lain yang lebih aman. Untuk erupsi obat ringan, penghentian obat yang dicurigai dan pemberian obat simtomatik biasanya sudah memberikan respon yang baik.(6,8,21)Pengobatan Simptomatik

Manajemen farmakologi reaksi alergi obat bertujuan untuk meredakan manifestasi sampai reaksinya berkurang. Untuk reaksi ringan terapi biasanya tidak diperlukan. Tindakan untuk reaksi yang berat tergantung pada sifat erupsi kulit dan tingkat keterlibatan sistemik. Obat antihistamin golongan pertama merupakan obat yang memberikan hasil paling memuaskan untuk terapi simptomatik pada penyakit-penyakit alergi. Dapat diberikan secara intramuskular dan dilanjutkan pemberian per oral. Antihistamin yang bersifat sedatif juga dapat diberikan, jika terdapat rasa gatal karena sifatnya yang antagonis dengan reseptor HI serta menghalang pelepasan histamin. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalo dibandingkan dengan kortikosteroid. Manakala antihistamin golongan kedua dapat digunakan untuk mengurangkan efek lemas dan sedatif pada penderita.(1,3,6,21)

Adrenalin atau beta adrenergik lain digunakan pada reaksi anafilaksis, urtikaria berat, angioedema atau obstruksi saluran nafas karena efek vasokonstrikturnya menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan. Bisa diberikan dengan dosis 0,3 0,5 ml secara subkutan atau intravena. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15-20 menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya untuk komplikasi.(3,6,22)

Kortikosteroid turut dipakai untuk erupsi obat ringan. Penggunaannya terutama pada kasus yang berat atau generalisata untuk menghentikan progresivitas penyakit, anti inflamasi dan anti alergi. Obat kortikosteroid yang sering digunakan ialah tablet prednison. Pemberian harus dalam jangka waktu yang pendek, dosis permulaan cukup besar, setara dengan prednison 30-50 mg per os dan segera diturunkan sesuai dengan respon klinik. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum dan eksantema fikstum karena alergi obat, dosis standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison sehari. Pada eritrodermia dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari. Dosis prednison ini bekerja mengurangkan inflamasi dengan cara memperbaiki peningkatan permeabilitas kapiler serta menekan aktivitas polimorfonuklear (PMN).(1,3,6,21)

Pada erupsi obat alergi penggunaan anti septik atau anti pruritus topikal dapat berguna tetapi dapat terjadi reaksi silang dengan obat penyebabnya. Perlu diperhatikan pada beberapa kasus, penggunaan kortikosteroid topikal juga bisa menyebabkan dermatitis kontak alergi. Agen topikal memperbaiki kondisi gejala pruritus. Bagaimanapun steroid sistemik dapat dipakai sebagai pengganti pada pasien dengan sindrom hipersensitivitas.(1,6,21)Pencegahan

Cara terbaik untuk mengurangi insidens alergi obat adalah dengan memberikan hanya obat-obat yang penting secara klinis. Sebisa mungkin setiap obat yang tidak esensial dibataskan dari resep. Penderita atau orang yang bertanggung jawab, harus ditanya secara seksama tentang reaksi sebelumnya terhadap beberapa obat dan informasi tentang obat-obat lainnya yang pernah dipakai untuk pencegahan.(6,21,24,25)

Selain itu untuk mencegah reaksi alergi obat bisa juga berdasarkan tes screening yang dipakai. Untuk reaksi akut, maka wheal and flare skin test merupakan indikator sensitif untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik terhadap protein. Tes kulit merupakan keharusan sebelum diberikan antisera asing untuk mengurangi kemungkinan anafilaksis.(6,23,25)Kesimpulan

Eczematous drug eruption merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik yang timbul serentak dalam waktu yang singkat, dan tidak berlangsung lama, umumnya didahului oleh demam. Penyebab umum terjadinya adalah obat-obat anti inflamasi non-steroid dan antibiotik, terutama ampisilin, penisilin, sulfonamid, dan gentamisin.

Untuk menegakkan diagnosa eczematous drug eruption ini adalah dengan tes tempel dan tes provokasi obat. Pengobatan dapat dilakukan dengan menghentikan obat yang menyebabkan alergi, dapat juga diberikan pengobatan secara sistemik (kortikosteroid dan antihistamin) dan topikal. Daftar Pustaka

1. Mochtar H. Erupsi Obat Alergik. In : Djuanda A,ed. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universita Indonesia; 2007. p. 154-72. Brown RG, Tony B, eds. Lecture Notes Dermatologi. 8th ed. Jakarta : Erlangga ; 2005. p. 201-73. Kooken, Ann R, Drug Eruptions. [online] 2009 [cited 2009 Januari 24]. Available From : URL : http://www.clevelandclinicmeded.com/4. Shear , Neil H, Sandra RK, Lori MD, Cutaneus Reaction to Drugs. In : Wolff K, Lowell AG, Stephen K, Barbara AG,eds. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6th ed . New York : McGraw Hill Companies; 2003. p. 2955-65 5. Das J, Mandal AC. A study of drug eruptions by provocative tests. Indian J Dermatol Venereol Leprol. [online] 2001 [cited 2009 Januari 24]. Volume 67 / 238-9. Available from : URL : http: //www. ijdvl.com/6. Amiruddin MD,ed. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar :Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar;2003.p.313-22 7. Hunter J, Savin J, Dahl M,eds. Clinical Dermatology. 3rd ed. London : Blackwell Publishing Company; 2002. p. 307-13 8. White, Gary M, Neil HC. Drug Eruptions. [online] 2006 [cited 2009 Januari 24]. Available from : URL : http://www.merckmedicus.com/

9. Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. Vol 4. 5th ed. London : Blackwell Scientific Publications; 1992. p. 2975-76

10. Habif TP. Drug eruption. In : Hodgson S,ed. A Color Guide To Diagnosis and Therapy. 4th ed. Hanover : Mosby Company; 2004. p. 482-94.

11. Sterry W, ed. Thieme Clinical Companions Dermatology. New York : Thieme New York; 2006. p. 179-88

12. Bajaj AK, Saraswat A. Systemic contact dermatitis. Indian J Dermatol Venereol Leprol. [online] 2006 [cited 2009 Januari 24]. Volume 72 / 99-102. Available from: URL : http : //www. ijdvl.com/13. Dailil E,ed. Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia. Jakarta : PT Medical Multimedia Indonesia; 2006. p. 11-214. Gawkrodger DJ,ed. Dermatology an Illustrated Colour Text. 3rd ed. Sheffield : Churchill Livingstone; 2002. p. 39 15. James W, Timothy GB, Dirk ML,eds. Andrews Disease of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia : W.B Saunders Company; 2006. p. 11716. Moschella SL, Harry JH,eds. Dermatology. 3rd ed. Philadelphia : W.B Saunders Company; 2004. p. 54317. Sperling, Leonard C. Skin Manifestations of Systemic Disease. [online] 2009 [cited 2009 Januari 24]. Available From : URL : http://radusuhs.mil

/www. 18. Gupta R, Gupta S. Exanthematous allergic drug reactions due to four chemically unrelated drugs. Dermatology online journal. [online] 2008 [cited 2009 Januari 24]: Volume : 14 / 25. Available from : URL : http://dermatology.cdlib.org/19. Al-Ghanem, Faisal, Al-Mutairi N. Spectrum of Cutaneus Adverse Drug Reactions seen in the Emergency Department (ED). Jurnal of Emergency Medicine Trauma and Acute Care. [online] 2006 September [cited 2009 Januari 24]: Volume 6 / 2. Available From : URL : http://www.hmc.org.qa/20. Santoso I. Tes Alergi. [online] 2009 [cited 2009 Januari 27]. Available From : URL : http://www.medicastore.com/21. Jonathan EB. Overview of Drug Eruption. [online] 2009 [cited 2009 Januari 24]. Available From : URL : http://emedicine.medscape.com/22. Rosmiati H, Gan V. Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik dan Hemostatik. In: Ganiswarna SG,ed. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995. p. 75923. Delves PJ. Drug Hypersensitivity: Allergic and Other Hypersensitivity Disorder. [online]. 2008. [cited 2008 September]. Available from: URL http://www.merck.com/mmpe/sec13/ch165/ch165e.html24. Keim SM. Drug Allergy. [online]. 2007. [cited 2007 Mei 29]. Available from: URL http://www.emedicinehealth.com/drug_allergy/page10_em.htm25. Accetta D. Medical Encyclopedia: Drug Allergies. [online]. 2007. [cited 2007 Juli 19]. Available from: URL http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000819.htm* Tabel 1 dikutip dari kepustakaan 9

* Tabel 2 dikutip dari kepustakaan 8

* Gambar 1 dikutip dari kepustakaan 4

* Gambar 2 dikutip dari kepustakaan 4

** Gambar 3 dikutip dari kepustakaan 13

* Gambar 4 dikutip dari kepustakaan 14

* Gambar 5 dikutip dari kepustakaan 8

* Gambar 6 dikutip dari kepustakaan 17

* Gambar 7 dikutip dari kepustakaan 7

** Gambar 8 dikutip dari kepustakaan 3

PAGE 16