EBOLA (2)

48

Transcript of EBOLA (2)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................6

A.. Definisi ..............................................................................................6

B...Reproduksi Virus................................................................................8

C...Epidemiologi .....................................................................................9

D.. Penularan ...........................................................................................11

E.. .Gejala klinis .......................................................................................18

F.. .Diagnosa ............................................................................................20

G.. Pemeriksaan penunjang .....................................................................21

H.. Pengobatan .........................................................................................22

I....Pencegahan ........................................................................................24

BAB III PENUTUP .......................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................30

2

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai penyakit menular pada manusia yang bersumber dari hewan

telah banyak mewabah di dunia. Istilah zoonosis telah dikenal untuk

menggambarkan suatu kejadian penyakit infeksi pada manusia yang ditularkan

dari hewan vertebrata. Hal inilah yang dewasa ini menjadi sorotan publik dan

menjadi objek berbagai studi untuk mengkaji segala aspek yang berkaitan

dengan wabah tersebut yang diharapkan nantinya akan diperoleh suatu sistem

terpadu untuk pemberantasan dan penanggulangannya. Kemunculan dari suatu

penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang

menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang

kesehatan masyarakat dan veteriner.

Pada negara yang berkembang seperti Indonesia, zoonosis belum

mendapatkan perhatian yang cukup baik pemerintahnya maupun rakyatnya.

Bukti konkritnya adalah kasus emerging zoonosis Avian Influenza di Indonesia

dimana sejak Agustus 2003, sebanyak 4,7 juta ayam mati akibat wabah ini.

Sejumlah 62 orang positif terinfeksi AI dan 47 orang diantaranya meninggal

dunia. Di samping itu, masih banyak kasus-kasus zoonosis lainnya yang

mewabah di Indonesia seperti antraks dan rabies. Kesuksesan penanggulangan

penyakit zoonosis di negara lain menjadi tantangan bagi Indonesia untuk keluar

dari kungkungan penyakit zoonosis.

Kemunculan kasus-kasus penyakit zoonosis membuka suatu pemahaman

baru dari lembaga kesehatan hewan sedunia atau OIE (Office Internationale

des Epizootes) mengenai musuh dunia. OIE berpendapat bahwa dewasa ini,

3

musuh dunia bukan lagi perang dunia, bom nuklir ataupun serangan teroris,

melainkan alam itu sendiri.

Kemunculan yang tak terduga dari suatu penyakit zoonosis juga

memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini dapat didefinisikan secara

luas sebagai suatu kejadian penyakit zoonosis dengan:

1. Agen penyakit yang telah dikenal dan muncul pada area geografik

yang berbeda

2. Agen penyakit yang telah dikenal atau kerabat dekatnya dan

menyerang hewan yang sebelumnya tidak rentan

3. Agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan terdeteksi untuk

pertama kalinya.

Sedangkan re-emerging zoonosis adalah suatu penyakit zoonosis yang

pernah mewabah dan sudah mengalami penurunan intensitas kejadian namun

mulai menunjukkan peningkatan kembali (Morse 2004).

Setiap era sejarah kehidupan manusia selalu disertai kemunculan dari

suatu penyakit yang baru. Perubahan sosial dan ekologi yang berkaitan dengan

penyebaran populasi manusia, perubahan lingkungan dan globalisasi dapat

berimplikasi pada kemunculan suatu penyakit zoonosis. Peningkatan populasi

manusia dan globalisasi menyebabkan perpindahan manusia dari satu benua ke

benua lainnya.

Seiring dengan peningkatan populasi manusia dan globalisasi tersebut

maka juga akan terjadi perpindahan hewan antar wilayah, bahkan benua,

melalui perusakan habitat, perdagangan, permintaan pribadi dan kepentingan

teknologi, dimana mikroorganisme, termasuk mikroorganisme patogen, juga

mengalami perpindahan ke daerah yang baru. Pada dasarnya, penyakit yang

4

ada di dunia juga mengalami perkembangan yang sejalan dengan

perkembangan dunia yang cukup pesat.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Ebola adalah sejenis virus dari genus Ebolavirus, familia Filoviridae,

dan juga nama dari penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut. Penyakit

Ebola sangat mematikan. Gejala-gejalanya antara lain muntah, diare, sakit

badan, pendarahan dalam dan luar, dan demam. Tingkat kematian berkisar

antara 50% sampai 90%. Asal katanya adalah dari sungai Ebola di Kongo.

Penyakit Ebola dapat ditularkan lewat kontak langsung dengan cairan tubuh

atau kulit. Masa inkubasinya dari 2 sampai 21 hari, umumnya antara 5 sampai

10 hari. Saat ini telah dikembangkan vaksin untuk Ebola yang 100% efektif

dalam monyet, namun vaksin untuk manusia belum ditemukan.

Virus Ebola termasuk kedalam genus Ebolavirus, familia Filoviridae

yang merupakan salah satu daripada dua kumpulan virus RNA benang-negatif.

Virus Filo mempunyai bentuk biologi seperti morfologi, kepadatan, dan profile

elektrophoresis gel polyacrylamide. Virus ini telah dikelaskan kepada virus

paramyxo dengan menggunakan kaedah urutan DNA. Familia Filoviridae

memiliki garis tengah 800 nm, dan pajang mecapai 1000 nm. 

Virus Ebola mengandung molekul lurus, bebenang RNA negatif, yang tidak

bersendi. Semua genome virus Filo mempunyai ciri-ciri serupa, dan

mempunyai banyak sisa adenosine dan uridine. Gen virus Ebola mengandung

transkrip urutan tetap pada 3′ dan transkrip urutan terakhir pada 5′. Perbedaan

di antara virus Ebola dan virus Marburg adalah, virus Ebola menunjukkan tiga

penumpukan yang berselang di antara turutan antara-gen (intergenetic)

sementara virus Marburg hanya mempunyai satu penumpukan yang

6

kedudukannya berbeda dengan virus Ebola. Virus Filo secara morfologi

menyerupai bentuk virus rhabdo, akan tetapi virus Filo mempunyai ukuran

yang lebih panjang. Apabila dilihat dengan menggunakan mikroskop elektron,

bentuk virus Filo seperti berfilament (berbenang halus), atau kelihatan

bercabang. Terdapat juga virus yang berbentuk "U", "b" dan berbentuk bundar.

Virus Ebola terdiri dari tujuh polypeptida diantaranya RNA genome ca. 19.0

kb, yang mencakup Glycoprotein (GP), Nucleoprotein (NP), RNA-

DEPENDENT RNA Polymerase (L), VP35, VP30, VP40, dan VP24.

Virus ini masih berada di dataran Afrika dan kabarnya juga telah

sampai ke Filipina. Suatu ketika Negeri Eropa melakukan pengimporan kera

dari Kongo, ketika mengetahui virus ini akhirnya seluruh kera ini dimusnahkan

agar tidak menyebar kemana-mana, dan sampai saat ini belum ditemukan

vaksin yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Transmisi antar manusia

terjadi akibat kontak langsung dengan cairan tubuh yang berasal dari diare,

muntah dan pendarahan, kulit atau membran mukosa. Periode inkubasi virus

berlangsung selama 2 sampai 21 hari. Kejadian epidemik Ebola banyak terjadi

pada rumah sakit yang tidak menerapkan higiene yang ketat. Infektivitas virus

Ebola cukup stabil pada suhu kamar (20°C) tetapi hancur dalam 30 menit pada

60°C. Infektivitas juga dihancurkan oleh dan iradiasi ultraviolet, pelarut lemak,

b-propiolactone, dan hipoklorit komersial dan desinfektan fenolik.

7

Gb. Virus Ebola dengan mikroskop elektron

Gejala-gejalanya antara lain muntah, diare, sakit badan, pendarahan

dalam dan luar anus, dan demam. Tingkat kematian sampai 90%. Asal katanya

adalah dari sungai Ebola di Kongo. Penyakit Ebola dapat ditularkan lewat

kontak langsung dengan cairan tubuh atau kulit. Virus ini mulai menular dari

salah satu spesies kera di Kongo kemudian mulai menyebar ke manusia, jangka

waktu manusia mulai terjangkit virus ini sampai menemui ajalnya sekitar 1

minggu karena saking ganasnya virus ini.

B. REPRODUKSI VIRUS

Reproduksi virus Ebola baru terjadi saat virus masuk ke dalam sel

inang. Berikut ini merupakan siklus reproduksi virus Ebola:       

1. Virus berikatan dengan reseptor inang dengan permukaan GP

(glikoprotein) peplomer dan berendisitosis ke dalam vesikel sel inang.

2. Penyatuan membran virus dengan membran vesikel terjadi. Nukleokapsid

terlepas ke dalam sitoplasma.  

8

3. Rantai gen sense negative ssRNA digunakan untuk sintesis (3’-5’)

poliadenilase,monocistronic mRNAs.

4. Translasi mRNA menjadi protein viral terjadi dengan menggunakan

perlengkapan sel inang.

5. Terjadi Post-translasi dari mRNA. Prekursor glikoprotein (GP0) berikatan

erat dengan GP1 dan GP2. Kedua glikoprotein ini, pertama, berpasangan

sebagai heterodimer  kemudian menjadi trimer. Prekursor SGP berikatan

erat pula dengan SGP dan delta peptida.

6. Bila protein viral jumlahnya makin meningkat maka terjadilah replikasi.

Dengan memakai rantai RNA sense negative, (+)ssRNA disintesis.

Sintesis (+)ssRNA berfungsi untuk mensintesis (-)ssRNA. 

7. Terbentuknya nukleokapsid baru dan selimut protein yang berasosiasi

dengan plasma membran sel inang; virion terlepas.

C. EPIDEMIOLOGI

Asal-usul di alam dan sejarah alami dari virus Ebola tetap menjadi

misteri. Secara umum, virus ini ada yang menyerang manusia (Ebola-Zaire,

Ebola-Ivory Coast dan Ebola-Sudan) dan ada yang hanya menyerang hewan

primata (Ebola-Reston). Tidak ada carrier state karena tidak ditemukan

lingkungan alami dari virus. Namun dari beberapa hipotesis mengatakan

bahwa terjadi penularan dari hewan terinfeksi ke manusia. Kemudian dari

manusia yang terinfeksi ini, virus bisa ditularkan dalam berbagai cara. Orang

bisa terinfeksi karena berkontak dengan darah dan atau hasil sekresi dari

orang yang terinfeksi. Orang juga bisa terinfeksi karena berkontak dengan

benda seperti jarum suntik yang terkontaminasi dengan orang yang terinfeksi.

Penularan secara nosokomial (penularan yang terjadi di klinik atau rumah

9

sakit) juga dapat terjadi bila pasien dan tenaga medis tidak memakai masker

ataupun sarung tangan. Pada primata, Ebola-Reston, menyerang fasilitas

penelitian hewan primata di Virginia, AS. Ebola-Reston menyebar melalui

partikel udara.

Ebola merupakan salah satu kasus emerging zoonosis yang paling

menyita perhatian publik karena kemunculannya yang sering dan memiliki

angka mortalitas yang tinggi pada manusia. Virus Ebola pertama kali

diidentifikasi di provinsi Sudan dan di wilayah yang berdekatan dengan Zaire

(saat ini dikenal sebagai Republik Congo) pada tahun 1976, setelah terjadinya

suatu epidemi di Yambuku, daerah Utara Republik Congo dan Nzara, daerah

Selatan Sudan. Sejak ditemukannya virus Ebola, telah dilaporkan sebanyak

1850 kasus dengan kematian lebih dari 1200 kasus diantaranya. Penyakit ini

disebabkan oleh virus dari genus Ebolavirus yang tergolong famili Filoviridae.

Inang atau reservoir dari Ebola belum dapat dipastikan, namun telah diketahui

bahwa kelelawar buah adalah salah satu hewan yang bertindak sebagai inang

alami dari Ebola. Virus Ebola juga telah dideteksi pada daging simpanse,

gorila, Macaca fascicularis dan kijang liar.

Penyebaran virus Ebola dalam skala global masih terbatas. Hal ini

berkaitan dengan transmisinya yang tidak melalui udara dan juga jarak waktu

yang diperlukan virus Ebola untuk menginfeksi satu individu ke individu

lainnya. Selain itu, onset virus yang relatif cepat dapat mempercepat diagnosa

terhadap penderita sehingga dapat mengurangi penyebaran penyakit melalui

penderita yang bepergian dari satu wilayah ke wilayah lainnya.Penyakit ini

dapat dikaitkan dengan kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika, untuk

mengkonsumsi daging hewan liar. Daging hewan liar yang terkontaminasi

akan menjadi media yang efektif dari penularan Ebola pada manusia.

10

D. PENULARAN

Penularan Ebola yaitu melalui kontak fisik dengan cairan tubuh,

sekresi, dan semen dari orang yang terinfeksi. Penularan yang terjadi di rumah

sakit atau klinik merupakan bentuk penularan yang sering terjadi. Penyakit

Ebola dapat ditularkan lewat kontak langsung dengan cairan tubuh atau kulit.

Masa inkubasinya dari 2 sampai 21 hari, umumnya antara 5 sampai 10 hari.

Saat ini telah dikembangkan vaksin untuk Ebola yang 100% efektif dalam

monyet, namun vaksin untuk manusia belum ditemukan. Penyakit Ebola

menyebar dan masuk ke dalam tubuh host melalui berbagai macam cara antara

lain melalui jarum suntik, donor darah , dan melalui kontak langsung tangan.

Tahapan penularan virus Ebola dari penderita satu ke penderita lainnya antara

lain:

1. Virus Ebola menginfeksi subjek melalui kontak dengan cairan tubuh

atau sekret dari pasien yang terinfeksi dan didistribusikan melalui

11

sirkulasi. melalui lecet di kulit selama perawatan pasien, ritual

penguburan dan mungkin kontak dengan daging secara terinfeksi, atau

di permukaan mukosa.Terkadang jarum suntik merupakan rute utama

dari eksposur kerja.

2. Target awal dari replikasi adalah sel-sel retikuloendotelial, dengan

replikasi tinggi dalam beberapa tipe sel di dalam hati, paru-paru dan

limpa.

3. Sel Dendritic, makrofag dan endotelium tampaknya rentan terhadap

efek cytopathic produk gen virus Ebola in vitro dan mungkin in vivo

melalui gangguan jalur sinyal seluler dipengaruhi oleh mengikat,

fagositosis serapan virus atau keduanya. Kerusakan tidak langsung juga

dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor yang beredar seperti faktor tumor

nekrosis dan oksida nitrat.

Aktivasi Sistem Imun

Dari lima strain virus Ebola, strain Zaire merupakan yang paling

virulen, dengan mortalitas mencapai 90%. Dari penelitian luas, basic molecular

dari virulensi belum terdeterminasi. Takada et al dapat mendemonstrasikan

bahwa infeksi strain Zaire virus ditandai dengan keberadaan mouse monoclonal

antibody, menyebabkan peningkatan infeksi dependent antibodi. Selanjutnya,

sampel serum dikumpulkan dari pasien-pasien yang terinfeksi Ebola selama

tahun 1995 outbreak di Kikwit, Republik Kongo, meningkatkan infeksi virus

pada sel ginjal manusia yang berembrio.

Peningkatan dependent antibodi membutuhkan factor serum panas labil

yang dapat berinteraksi dengan Fc dari antibodi. Protein A, permukaan protein

dari dinding sel bakteri Staphylococcus aureus yang berikatan dengan region

12

Fc immunoglobulin, mempunyai efek yang sama. Sebuah penelitian

mempelajari tentang komponen komplemen 1 (C1), inisial jalur komplemen,

berikatan dengan Fc dan berinteraksi dengan molekul permukaan sel.

Kompleks ini terdiri dari C1q dan dua serine proenzim protease, C1r dan C1s.

Penelitian membuktikan bahwa infektivitas virus Ebola ditingkatkan dengan

keberadaan mouse monoclonal antibody dan C1q murni, menunjukkan bahwa

peningkatan dependent antibodi dimediasi oleh molekul C1q.

Penemuan ini mengusulkan sebuah mekanisme: multipel antibody IgG

berikatan dengan epitope GT secara dekat, yang memungkinkan pengikatan C1

ke region Fc dari antibodi. Kompleks ini mengikat ligan C1q pada permukaan

13

sel dan menstabilkan interaksi antara virus dan reseptor, meningkatkan

perlekatan viral. Ligan C1q telah diidentifikasi pada banyak tipe sel, termasuk

monosit.makrofag dan sel endotel yang secara khusus merupakan target dari

virus demam berdarah ini. Sehingga, ketika antibodi secara normal

memproteksi tubuh, virus ini mampu untuk menggunakannya untuk melekat ke

target sel secara cepat dan mudah.

Sebagai tambahan kofaktor penting untuk RNA virus kompleks

polymerase, VP35 telah diidentifikasi sebagai inhibitor dari komponen jalur

multipel interferon (IFN). VP 35 merupakan kelompok sitokin yang diproduksi

sebagai respon terhadap infeksi viral yang mengerahkan antiviral, ihibisi

14

pertumbuhan sel dan aktivitas immunoregulator. Pada infeksi viral, respon IFN

dapat dipicu dengan sensor seperti protein retinoic acid-inducible gene I (RIG

I) dan protein melanoma differentiation-associated gene 5 (MDA-5) yang

mengenali dsRNA atau kompleks ribonukleoprotein. Namun, VP35 dapat

mengganggu jalur ini saat mulai berkompetisi dengan RIG 1 untuk pengikatan

dsRNA.

Di bawah lingkungan yang normal, sinyal propagasi terjadi melalui

asosiai mitokondria adapter IFN-β promoter stimolator 1 (IPS-1) yang

selanjutnya mengaktivasi inhibisi dari κB kinase epsilon (IKKε) dan TANK-

binding kinase (TBK-1). Hal ini mengubah phosphorylate yang sebaliknya

menginaktivasi regulasi interferon factor 3 (IFN-3) untuk memicu sekresi IFN-

α/β. IRF-3 mengekspresikan factor transkripsi yang predominan sitplasma

ketika dalam bentuk inaktif. Aktivasi dari serine/.theorine phosphorylation

dekat dengan carboxy terminus, protein dimerisasi dan berpindah ke slaam

struktur nukelus untuk berikatan dengan DNA dan berinteraksi dengan histone

15

acetyltransferases. Faktor ini berkontribusi untuk mengativasi ekspresi gen

IFN-β dan gen IFN-α terpilih serta beberapa gen lain dengan potensi aktivitas

antiviral.

VP35 menginhibisi aktivasi IRF-3 secara primer dengan menghambat

fosforilasinya. Hasilnya mengindikasikan bahwa ketiadaan dari aktivitas

antagonis, jumlah banyak dari IFN-α/β akan diproduksi dan menghambat

penyebaran virus. Selanjutnya, interferon ini mempengaruhi produksi dari

sitokin immunoregulator lain. Mekanisme ini kemudian menyediakan

penjelasan yang mungkin untuk blocking dari maturasi sel dendritik selama

infeksi Ebola yang mana merusak aktivasi sel T dan proliferasi.

Mekanisme lain dari inhibisi membutuhkan interaksi fisik antara VP35

dan kinase selular IKKε dan TBK-1. Data immunopresipitasi menunjukkan

bahwa VP35 dapat menyukseskan dalam target protein melalui interaksi

dengan domain kinase yang hamper sama. Selain itu, protein virus dapat

mengganggu interaksi IKKε dan IPS-1, sebagian mencegah aktivasi dari kinasi

ini pasa konsentrasi virus yang tinggi.

Ketika berikatan dengan reseptor, interferon mengaktivasi Janus

tyrosine kinase / signal transducer and activator (JAK/STAT) menunjukkan

jalur yang menstimulasi transkripsi dari gen pengkode protein antiviral seperti

protein kinase R (PKR). Pada ikatan terhadap dsRNA, PKR diaktivasi dan

inisiasi translasi phosphorylasi factor eIF-2, yang kemudian menahan sistesi

protein dan menginhibisi replikasi viral.

16

Hubungan Mekanisme Seluler dengan Demam Berdarah

Virus Ebola biasanya ditularkan melalui kontak langsung dengan cairan

tubuh yang terinfeksi atau kontak kulit / lendir membran. Setelah di dalam

tubuh, virus menyerang makrofag dan monosit, mengandalkan antibodi host

dan melengkapi komponen 1 untuk infeksi yang efisien. Sel-sel darah putih

merespon dengan melepaskan sejumlah besar sitokin proinflamasi yang

meningkatkan permeabilitas endotel vaskular, yang memfasilitasi masuknya

virus lebih mudah ke target sekunder, sel-sel endotel. Sitokin ini juga merekrut

lebih banyak makrofag ke daerah, memaksimalkan jumlah sel-sel yang dapat

digunakan Ebola untuk menyebar ke seluruh tubuh. Sementara itu, hepatosit

17

sedang dihancurkan oleh virus, memastikan bahwa sinyal sel ini tidak dapat

dibersihkan dari aliran darah.

Setelah pengikatan reseptor yang dimadiasi GP, virion Ebola diambil

ke dalam sel endotel melalui macropinocytosis. Setelah pembentukan tersebut,

macropinosomes bergerak lebih jauh ke dalam sitoplasma untuk memperoleh

penanda baru atau menyatu dengan vesikel lainnya pada jalur standar

endolisomal. Akhirnya memindahkan virion Ebola ke kompartemen lebih asam

seperti endosomes awal dan akhir yang membantu dalam fusi dari virus dan

seluler membran. Selama proses ini, sel melepaskan dari tetangganya dan

kehilangan kontak dengan membran basal karena mekanisme glycan yang

dimediasi sterik oklusi oleh GP. Partikel baru kemudian dibuat meninggalkan

melalui rakit lipid, meninggalkan sistem vaskular destabilisasi yang

bertanggung jawab atas karakteristik kehilangan darah besar pada pasien

Ebola.

Sementara itu, sistem kekebalan tubuh akan rusak. Interferon tidak

dibuat karena VP35 mengganggu hampir setiap langkah dalam proses. Sel

darah putih terjebak di dalam sistem peredaran darah karena sGP membatasi

gerakan. Makrofag dan monosit melepaskan koktail sitokin proinflamasi yang

merusak endotelium pembuluh darah, tetapi juga mengaktifkan kaskade

koagulasi. Hal ini menempatkan tubuh pasien dalam keadaan paradoks di mana

pasien bisa mati akibat syok hipovolemik dari perdarahan masif, atau dari

trombosis, pembentukan bekuan darah di tubuh.

E. GEJALA KLINIS

Gejala awal yang ditimbulkan oleh Ebola sama dengan gejala

Influenza, yaitu:  demam, menggigil dan sakit kepala, nyeri otot dan nafsu

18

makan hilang. Demam berdarah misterius ini pertama kali dideskripsikan pada

2 outbreak tahun 1976, pertama di Sudan selatan dan selanjutnya di Zaire utara,

sekarang berada di Republik Kongo. Agen kausatif telah diisolasi dari pasien

pada kedua daerah endemik dan dinamakan Ebola virus.

Gejala ini muncul setelah 3 hari terinfeksi. 

1. Setelah itu virus Ebola mulai bereplikasi. Virus Ebola menyerang darah.

Sel darah yang mati akan menyumbat kapiler darah dan menyebabkan

kulit memar, melepuh bahkan larut seperti kertas basah.

2. Pada hari ke-6 darah keluar dai mata, hidung, dan telinga. Selain itu

penderita memuntahkan cairan hitam yang merupakan jaringan dalam

tubuh yang hancur.

3. Pada hari ke-9 biasanya penderita meninggal dunia.

Virus Ebola masuk ke host primer melalui permukaan mukosa atau

kulit yang abrasi, dengan kebanyakan infeksi pada manusia terjadi setelah

kontak langsung dengan pasien atau cadaver. Terdapat pula beberapa kasus di

mana pemburu juga terinfeksi setelah makan daging yang terkontaminasi di

hutan. Kebanyakan outbreak Ebola terpusat di rumah sakit di Afrika yang

mana kebersihan dan sanitasi merupakan hal yang mewah. Namun, di rumah

sakit modern dengan jarum disposable dan pengetahuan tentang hygiene dan

teknik keperawatan, virus ini jarang menyebar dalam skala luas. Transmisi

melalui udara di antara monyet didemonstrasikan selama outbreak dari virus

Reston Ebola di Virginia, tetapi terdapat bukti yang terbatas tentang transmisi

melalui udara pada epidemic manusia.

Salah satu alasan mengapa Ebola sangat berbahaya adalah simptomnya

bervariasi dan muncul cepat, menyerupai infeksi virus lain sehingga demam

berdarah ebola tidak dapat didiagnosis dengan cepat. Secara umum, onset dari

19

symptom mengikuti periode inkubasi sleama 2 -21 hari dan dikarakteristikkan

dengan demam tinggi, menggigil, dan nyeri sendi. Tanda selanjutnya dari

infeksi mengidikasikan keterlibatan berbagai sistem termasuk manifestasi

gastrointestinal (mual, muntah, diare), respirasi (nyeri dada, batuk), dan

neurologi (nyeri kepala). Hal yang disayangkan dari simptom-simptom ini

adalah mudah untuk salah diagnosis dengan malaria, demam tifoid, disentri,

influenza, atau berbagai infeksi bakteri, yang mana semuanya tejadi di daerah

di mana terdapat Ebola.

Setelah muncul symptom awal, demam biasanya meningkat dan

menyebabkan keadaan serius seperti diare, buang air besar berwarna gelap atau

hitam, muntah darah, mata merah yang berhubungan dengan distensi dan

perdarahan arteri sklerotik, peteki, rash makulopapular, dan purpura.

Kebanyakan terdapat perdarahan gastrointestinal dari mulut dan rectum.

Internal dan eksternal perdarahan dari lubang seperti hidung dan mulut dpaat

terjadi. Seiring dengan progesivitas virus, perdarahan di otak dapat

menyebabkan depresi berat, kejang, dan delirium.

Rentang waktu dari onset symptom hingga kematian berkisar antara 6 –

16 hari. Pada minggu kedua infeksi, pasien dapat mengalami penyembuhan

total atau terdapat kegagalan system multiorgan. Laju mortalitas secara umum

tinggi, berkisar antara 50 – 90 % tergantung dari strain spesifik. Penyebab dari

kematian adalah syok hipovolemik atau kegagalan organ.

Virulensi virus Ebola pada manusia adalah bervariasi dan tergantung

pada spesies atau strain; variabilitas yang sama tampaknya terrekapitulasi baik

pada primata non-manusia. Dalam genus Ebola virus, infeksi dengan spesies

virus Ebola Zaire memiliki tingkat fatalitas kasus tertinggi (60-90%) diikuti

oleh orang-orang dengan infeksi spesies virus Ebola Sudan (40-60%). Atas

dasar satu wabah, tingkat fatalitas kasus untuk infeksi regangan Bundibugyo

20

diperkirakan hanya 25%. Satu-satunya laporan pasien yang terinfeksi virus

Pantai Gading Ebola menjadi sakit tapi selamat. Sebagai perbandingan, tingkat

fatalitas kasus untuk infeksi virus Marburg di Afrika adalah 70-85% tetapi jauh

lebih rendah dalam wabah di Eropa pada tahun 1967, dengan tingkat fatalitas

kasus hanya 22%. Tingkat rendah ini menimbulkan spekulasi bahwa perawatan

intensif yang tepat dengan terapi suportif akan meningkatkan tingkat

kelangsungan hidup pasien yang terinfeksi. Hipotesis ini sulit untuk diguji

karena kondisi lapangan yang keras dan dilema etika tentang tidak memberikan

perawatan kepada beberapa pasien. Virus Ebola Reston dianggap patogenik

untuk manusia, tetapi tes laboratorium telah mendokumentasikan

terjadinya infeksi.

F. DIAGNOSA

Ketika membuat diagnosis Ebola, dokter akan bertanya tentang riwayat

kesehatan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. Diagnosa awal Ebola bisa

sulit, karena fakta bahwa gejala awal Ebola dapat serupa dengan yang terlihat

dengan kondisi medis lainnya. Dokter mungkin meminta tes laboratorium yang

dapat mengidentifikasi virus itu sendiri atau antibodi yang membuat tubuh

untuk melawan virus Ebola. Mendiagnosis demam Ebola awal pada seseorang

bisa sulit. Seseorang yang telah terinfeksi hanya beberapa hari akan mengalami

gejala awal Ebola, seperti mata merah dan ruam kulit, yang tidak spesifik untuk

virus Ebola dan terlihat pada pasien lain dengan kondisi yang terjadi jauh lebih

sering. Namun, bila gejala yang dijelaskan tadi sudah terlihat jelas, sebaiknya

segera isolasi pasien dan hubungi Departemen Kesehatan setempat.

Variabel laboratorium kurang berkarakteristik tetapi temuan berikut ini

sering dikaitkan dengan Ebola haemorrhagic fever: leukopenia awal (< 1.000

sel per uL) dengan limfopenia dan selanjutnya neutrofilia, bergeser ke kiri

dengan limfosit atipikal, trombositopenia (50000-100000 sel per uL),

21

konsentrasi serum aminotransferase yang sangat tinggi (aspartat

aminotransferase biasanya melebihi SGPT), hiperproteinemia, dan proteinuria.

Protrombin dan tromboplastin parsial memanjang dan produk pemecahan

fibrin yang terdeteksi, menunjukkan difus koagulopati intravaskular. Dalam

tahap selanjutnya, infeksi bakteri sekunder dapat mengakibatkan jumlah

peningkatan sel darah putih.

G.PEMERIKSAAN PENUNJANG

Infeksi virus Ebola hanya dapat didiagnosis secara defenitif dalam

laboraturium dengan sejumlah tes yang berbeda, menurut World Health

Organization:

a. Essay enzim-linked immunosorbent (ELIZA)

b. Tes deteksi antigen

c. Tes netralisasi serum

d. Reverce transcriptase polimerase chain (RT-PCR) essay

e. Isolasi virus dengan kultur sel

Pengujian pada sampel pada pasien merupakan biohazard (resiko

terhadap kesehatan manusia atau lingkungan yang timbul dari kerja biologis)

ekstrim dan hanya boleh di lakukan dalam kondisi penahanan biologis

maksimum.

Kasus yang parah memerlukan perawatan suportif intesif. Pasien sering

mengalami dehidrasi dan membutuhkan cairan intravena atau rehidrasi oral

dengan larutan yang mengandung elektrolit.

Dengan tidak adanya pengobatan yang efektif dan vaksin manusia,

meningkatkan kesadaran terhadap faktor infeksi Ebola dan upaya perlindungan

individu adalah satu-satunya cara untuk mengurangi infeksi dan kematian.

22

Untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi virus Ebola, dapat dilakukan

pengujian antigen-capture enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), IgG

ELISA, polymerase chain reaction (PCR), dan mengisolasi virus Ebola yang

bisa dilakukan untuk mengetahui adanya virus Ebola dalam tubuh manusia.

Untuk deteksi tes antibodi yang paling umum digunakan adalah IgG

direct dan IgM ELISA dan IgM capture ELISA. Antibodi IgM dapat muncul

pada 2 hari pertama setelah timbulnya gejala dan menghilang antara 30 dan

168 hari setelah infeksi. Antibodi IgG spesifik berkembang antara hari 6 dan

18 setelah onset dan bertahan selama bertahun-tahun. A IgM atau titer IgG

meningkat merupakan dugaan kuat diagnosis. Penurunan IgM, atau

meningkatkan titer IgG (empat kali lipat), atau keduanya, dalam sampel serum

berturut-turut sangat menyokong dari infeksi baru. Semua tes ini dapat

dilakukan pada materi yang telah menyebabkan non-infeksi. Cara yang efisien

untuk menginaktivasi untuk virus deteksi antigen dan antibodi adalah dengan

penggunaan radiasi gamma dari sumber kobalt-60 atau inaktivasi panas.

Demikian pula, asam nukleat dapat diperkuat dengan pemurnian RNA virus

dari bahan yang diobati dengan guanidinium isothiocyanate- sebuah chaotropic

kimia yang mendenaturasi protein virus dan membuat sampel non-infeksi.

H.PENGOBATAN

Sampai dengan saat ini, belum ditemukan vaksin yang bisa mencegah

infeksi oleh virus Ebola. Akan tetapi sekarang sedang di kembangkan

pembuatan vaksin yang akan diujikan kepada manusia untuk pertama kalinya

adalah vaksin yang sudah memasuki fase uji-klinis. Menurut Sanchez, infeksi

virus Ebola di dalam tubuh manusia memang bisa sangat mematikan, tapi

monyet berhasil selamat dari infeksi virus tersebut dan ini bisa menjadi contoh

yang sangat bermanfaat bagi uji-coba terhadap binatang. Pengujian vaksin

Ebola dengan menggunakan primata memberikan perkembangan yang

23

menjanjikan bagi hadirnya vaksin pelindung. Ada beberapa hal yang

menyebabkan penyebaran penyakit Ebola (Demam Berdarah Ebola) sangat

dikhawatirkan, antara lain:

1. Serangannya muncul secara sangat mendadak

2. Gejala-gejala klinik sangat berat.

3. Menimbulkan kematian dalam waktu yang sangat singkat.

4. Angka kematiannya sangat tinggi yaitu 90-92% dari jumlah penderita.

5. Karena Virus Ebola mampu berpindah dari penderita ke orang lain,

sehingga transportasi sangat mendukung kemungkinan penyebarannya

ke berbagai bagian dunia dalam waktu yang sangat singkat.

6. Belum ada obat yang efektif untuk menyembuhkan Demam Berdarah

Ebola.

7. Vaksin Demam Berdarah Ebola (DBE) hingga kini belum dapat dibuat

Rehabilitasi bagi mantan penderita akibat terinfeksi virus Ebola bisa

dilakukan dengan tidak mengasingkan para penderita. Karena menurut para

ahli, sebagian besar kematian yang disebabkan oleh virus Ebola di sebabkan

oleh adanya tekana secara psikologis. Apabila kita mengasingkan dan menjauhi

para penderita atau mantan penderita virus Ebola,  justru hal ini akan semakin

memperburuk kondisi kesehatan penderita tersebut. Untuk itulah diperlukan

upaya rehabilitasi yang intensif terhadap para penderita virus Ebola agar

kondisi fisik dan psikologisnya tetap stabil, sehingga akan memberikan

motivasi kepada pasien tersebut untuk secepatnya bisa sembuh dari penyakit

yang disebabkan oleh virus Ebola.

Akan tetapi, proses rehabilitasi ini tentunya harus dilakukan secara hati-

hati dan lebih waspada, mengingat virus Ebola bisa menular dengan sangat

cepat dari penderita kepada orang lain melalui kontak. Rehabilitasi juga

24

sebaiknya dilakukan di tempat yang benar-benar steril, atau pada ruang isolasi

khusus sehingga bisa mengurangi kontaminasi yang bisa disebabkan oleh virus

Ebola.

Para peneliti masih dibingungkan oleh adanya beberapa orang pasien

yang dapat pulih dari EHF dan sebagian lagi tidak. Mungkin ini disebabkan

oleh respon imun yang berbeda dari tiap orang terhadap virus. Sebenarnya,

tidak ada perawatan khusus terhadap pasien EHF. Para pasien hanya diberi

terapi suportif, yang berupa penyeimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh

pasien, peningkatan jumlah oksigen, peningkatan tekanan darah dan perawatan

dari penyakit komplikasi lain yang mungkin timbul.

Sekarang telah dikembangkan suatu vaksin yang berbasis rekombinan

virus stomatitis Vesikular atau rekombinan Adenovirus yang membawa

Glikoprotein Ebola pada permukaanya. Pada tahun 2003 sebenarnya telah

dikembangkan vaksin NIAID, namun tidak membawa hasil sukses.

Masalahnya karena pemberian vaksin yang terlambat (1-4 hari setelah gejala

muncul) sehingga tubuh pasien sudah terlalu parah untuk diobati.

Investigasi Pengobatan

Ribavirin, obat yang diyakini mengganggu capping dari mRNA virus

dan telah digunakan untuk mengobati demam berdarah virus yang disebabkan

oleh virus bunya arenaviruses dan tidak memiliki invitro atau efek in-vivo pada

filovirus. Oleh karena potensi efek samping yang parah yang berhubungan

dengan obat, ribavirin tidak dianjurkan untuk virus infeksi Ebola. Berkenaan

dengan perawatan berbasis RNA, strategi untuk mengganggu transkripsi dan

replikasi termasuk penggunaan oligonukleotida antisense atau interferensi

RNA. Pendekatan ini atas dasar keberhasilan dalam tikus dan primata non-

manusia yang terinfeksi virus Ebola Zaire. Pendekatan interferensi RNA dan

25

antisense oligonucleotidebased mungkin dibatasi oleh urutan untuk spesies

virus Ebola tertentu, yang mungkin tidak diketahui pada tahap awal wabah.

Selain itu, terapi ini saat ini disampaikan secara intravena bisa menimbulkan

tantangan logistik di daerah terpencil wabah.

Pengobatan kelainan koagulasi dalam infeksi virus Ebola harus

dipertimbangkan. Derivat Nematoda protein antikoagulan rNAPc2 telah

menunjukkan 33% khasiat dalam pengobatan primata non-manusia yang

terinfeksi Zaire Ebola virus. Formasi D-dimer telah diidentifikasi sebagai

peristiwa awal selama infeksi virus Ebola di manusia non-

primata dan dapat digunakan sebagai penanda untuk pengobatan. Karena target

sinyal rNAPc2 terutama melalui pembekuan darah jalur ekstrinsik, manfaat

tambahan yang dapat diperoleh dengan inhibitor faktor X, sehingga

menargetkan jalur yang paling umum melalui jalur pembekuan darah ekstrinsik

dan intrinsik. Substitusi lain dari protein C mungkin menguntungkan aktivasi

salah satu mekanisme antikoagulan penting dalam darah. Hasil

dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa pengobatan monyet rhesus yang

terinfeksi dengan virus Ebola Zaire dengan manusia diaktifkan rekombinan

protein C mengakibatkan beberapa perlindungan pada hewan, yang konsisten

dengan kelangsungan hidup yang direkam dengan rNAPc2. Semua obat ini

telah disetujui untuk aplikasi yang berbeda pada manusia dan dapat dengan

mudah dan aman digunakan dalam keadaan darurat.

Vaksin rekombinan terhadap virus Ebola berdasarkan virus stomatitis

vesikular telah menunjukkan kegunaan yang luar biasa ketika diberikan

sebagai pengobatan pasca pajanan terhadap demam berdarah Ebola pada

primata non-manusia terinfeksi virus Ebola Zaire dan Sudan Ebola virus.

Dalam penelitian laboratorium, rekombinan virus stomatitis vesikular

mengekspresikan glikoprotein virus Zaire Ebola yang diberikan kepada wanita

segera setelah terpapar dengan virus Zaire Ebola. Pasien yang mengalami

demam, sakit kepala, dan mialgia beberapa jam setelah injeksi, berhasil

dikendalikan dengan analgesik dan antipiretik. Efek samping lainnya tidak

26

dilaporkan, namun apakah pengobatan itu efektif atau pasien tidak pernah

mendapat infeksi dengan virus masih belum jelas.

I.PENCEGAHAN

Pencegahan penularan penyakit Ebola yang antara lain:

a. Menghindari bepergian ke daerah yang tengah dilanda wabah Ebola atau

daerah yang memiliki riwayat wabah Ebola.

b. Menghindari kontak dengan cairan tubuh pasien/orang yang terinfeksi

Ebola seperti darah, feses, air liur, cairan muntahan, air kencing, bahkan

keringat.

c. Tidak berhubungan langsung (bersentuhan) dengan pasien Ebola. Bila

terpaksa harus kontak langsung (dalam kasus membantu korban penyakit

Ebola) harus menggunakan pelindung diri (proteksi diri) seperti kaca mata,

masker, pakaian khusus, sepatu boot dan sarung tangan.

Para peneliti masih dibingungkan oleh adanya beberapa orang pasien

yang dapat pulih dari EHF (Ebola Hemorrhagic Fever) dan sebagian lagi tidak.

Mungkin ini disebabkan oleh oleh respon imun yang berbeda dari tiap orang

terhadap virus.

Sebenarnya, tidak ada perawatan khusus terhadap pasien EHF. Para

pasien hanya diberi terapi suportif, yang berupa penyeimbangan cairan dan

elektrolit dalam tubuh pasien, peningkatan jumlah oksigen, peningkatan

tekanan darah dan perawatan dari penyakit komplikasi lain yang mungkin

timbul.

Sekarang telah dikembangkan suatu vaksin yang berbasis rekombinan

virus stomatitis Vesikular atau rekombinan Adenovirus yang membawa

Glikoprotein Ebola pada permukaanya. Pada tahun 2003 sebenarnya telah

27

dikembangkan vaksin NIAID, namun tidak membawa hasil sukses.

Masalahnya karena pemberian vaksin yang terlambat (1-4 hari setelah gejala

muncul) sehingga tubuh pasien sudah terlalu parah untuk diobati.

Karena sifatnya yang sangat mematikan, upaya memproduksi dan

menguji vaksin Ebola sangatlah sulit dilakukan oleh para ahli. Salah satu faktor

yang menghambat penelitian vaksin Ebola ini adalah minimnya fasilitas

perlindungan laboratorium yang bisa melindungi staf peneliti.

Hingga kini, belum ditemukan penyembuh virus yang memiliki

kemungkinan kematian 50-90% itu.virus Ebola mampu menular dari satu

manusia ke manusia lain hanya dengan kontak langsung saja. Untuk itu

pencegahan terhadap penyakit infeksi Ebola ini pun cukup sulit.Yang paling

terutama adalah menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi

virus Ebola sebisa mungkin. Apabila ada anggota keluarga terinfeksi virus ini

sangat dianjurkan agar orang tersebut dirawat di rumah sakit. Begitu juga

apabila ada teman anda yang meninggal akibat penyakit ini, usahakan jangan

ada kontak langsung dengannya.

Adapun 5 tahapan pencegahan penyakit Ebola dalam lingkungan

masyarakat antara lain :

a. Health Promotion

Pendidikan kesehatan pada masyarakat untuk melakukan perubahan

prilaku untuk hidup bersih dan sehat serta meningkatkan higien pribadi

dan sanitasi lingkungan dalam lingkungan masyarakat dan sekitarnya

b. Early Diagnosis

Program penemuan penderita melalui survey pada kelompok –

kelompok yang berisiko atau pada populasi umum dan peda pelaporan

kasus.

28

c. Spesific protection

Menghindari diri dari gigitan serangga ,berusaha untuk tidak pergi ke

daerah yang kurang penyinaran matahari dan terdapat binatang ataupun

serangga yang menjadi sumber penularan penyakit tersebut untuk

menghindari terjadinya komplikasi penyakit dan penyebar luasnya

penyakit tersebut dalam masyarakat.

d. Disability limitation

Terapi kompleks pada penderita Ebola agar tidak terjadi kematian

dengan menambah konsentrasi minum penderita agar tidak terjadi

dehidrasi serta upaya peningkatan kekebalan tubuh kelompok.

e. Rehabilitation

Pendidikan kesehatan kepada para penderita beserta keluarga serta

dilakukannya rehabilitasi fisik dan psikologis pada kasus dan penderita

penyakit Ebola.

29

BAB III

PENUTUP

Demam Berdarah Ebola (Ebola Hemorraghic Fever) adalah penyakit

disebabkan oleh suatu virus yang termasuk kedalam genus Ebolavirus,

keluarga Filoviridae. Ada empat jenis virus Ebola, yaitu virus Ebola-Zaire,

virus Ebola-Sudan, virus Ebola-Ivory dan virus Ebola Reston. Untuk

mendeteksi virus Ebola, dapat dilakukan pengujian antigen-capture enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA), IgG ELISA, polymerase chain reaction

(PCR).

Gejala demam Ebola meliputi: radang sendi, sakit punggung, diare,

kelelahan, sakit kepala, rasa tidak enak badan, kerongkongan terasa sangat

sakit, dan muntah-muntah. Pada gejala akhir, demam ebola dapat menujukkan

gejala seperti: gatal-gatal, pendarahan dari mata, telinga, dan hidung,

pendarahan dari mulut dan dubur (pendarahan gastrointestinal), radang pada

mata (conjunctivitis), bengkak pada organ genital (labia dan kantung buah pelir

(scrotum)), keluarnya darah melalui permukaan kulit (hemorrhagic).

    Virus Ebola dapat menyebar melalui penggunaan jarum suntik yang

tidak disterilkan atau melakukan kontak dengan seseorang yang terkena infeksi

atau mayat orang yang sudah meningggal karena terserang virus Ebola. Upaya

pencegahan dapat dilakukan dengan: menghindari area yang terkena serangan

virus Ebola, tidak melakukan kontak dengan pasien atau mayat yang terjangkit

virus Ebola. Sampai dengan saat ini, belum ditemukan vaksin yang bisa

mencegah infeksi oleh virus Ebola.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Olejnik J, Alonso J, Schmidt KM. 2013. Ebola Virus Does Not Block

Apoptotic Signaling Pathways. Journal of virologi p. 5384-5396

2. Shedlock DJ, Aviles J, Talbott KT. 2013. Induction of Broad Cytotoxic T

Cells by Protective DNA Vaccination Against Marburg and Ebola.

Molecular Therapy : 1432-1444

3. Bonney JH, Kwasi MO, Adiku TK. 2013. Hospital-Based Surveillance for

Viral Hemorrhagic Fevers and Hepatitides in Ghana. PLOS Neglected

Tropical Disease vol 7 issue 9.

4. Nakayama E, Saijo M. 2013. Animal Model for Ebola and Marburg Virus

Infections. Microbiology vol. 6 article 267

5. Sobarzo A, Ochayon DE. 2014. Persistent Immune Responses after Ebola

Virus Infection. The New England Journal of Medicine. 369:5

6. Martins KA, Steffens JT, Tongeren SA. 2014. Toll-Like Receptor Agonist

Augments Virus-Like Particle- Mediated Protection from Ebola Virus with

Transient Immune Activation. PLOS ONE 9:2

7. Baize S, Pannetier D. 2014. Emergence of Zaire Ebola Virus Disease in

Guinea — Preliminary Report. The New England Journal of Medicine

140:505

8. Feldmann H. 2014. Ebola-A Growing Treat. The New England Journal of

Medicine 354:7 Ratanshi RP, Elbireer A. 2014. Ebola Outbreak Response;

Experience and Development of Screening Tools for Viral Haemorrhagic

Fever (VHF) in a HIV Center of Excellence Near to VHF Epicentres.

PLOS ONE 9:7

9. Meredith G. Dixon. 2014. Ebola Viral Disease Outbreak — West Africa,

2014. Morbidity and Mortality Weekly Report 63:25

10. Feldmann H, Geisbert TW. 2011. Ebola harmorrhagic fever. Lancet

377(9768): 849–862.

31

11. Jin H, Yan Z, Prabhakar BS, Feng Z, et al. 2010. The VP35 protein of

Ebola virus impairs dendritic cell maturation induced by virus and

lipopolysaccharide. Journal of General Virology 91;352-361.

12. Roddy P, Howard N, Van Kerkhove MD, Lutwama J, et al. 2012. Clinical

Manifestations and Case Management of Caused by a Newly Identified

Virus Strain, Bundibugyo. PLOS ONE

13. Schu¨mann M, Gantke T, and Mu¨hlberger E. 2009. Ebola Virus VP35

Antagonizes PKR Activity through Its C-Terminal Interferon Inhibitory

Domain. Journal of Virology 83(17): 8993-8997.

14. Yen YJ, Garamszegi S, Geisbert JB, Rubins KH, et al. 2011. Therapeutics

of Ebola Hemorrhagic Fever: Whole-Genome Transcriptional Analysis

ofSuccessful Disease Mitigation. Journal of Infectious Disease 204:S1043–

S1052.

15. McElroy AK, Erickson BR, Flietstra TD, Rollin PE, Nichol ST, et al.

2014. Ebola Hemorrhagic Fever: Novel Biomarker Correlates of Clinical

Outcome. Journal of Infectious Disease 210:558–66.

16. Haasnoot J, Vries W, Geutjes EJ, Prins M, Haan3 P, Berkhout B. 2007.

The Ebola Virus VP35 Protein Is a Suppressor of RNA Silencing. PLos

Phatogens 3(6): e86 p 793-803.

32