Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

43
DUKUNGAN SOSIAL PADA PASIEN GAGAL GINJAL TERMINAL YANG MELAKUKAN TERAPI HEMODIALISA DISUSUN OLEH : ARLIZA JUAIRIANI LUBIS, M.Si, psikolog NIP. 132 303 828 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006 Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Transcript of Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Page 1: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

DUKUNGAN SOSIAL

PADA PASIEN GAGAL GINJAL TERMINAL

YANG MELAKUKAN TERAPI HEMODIALISA

DISUSUN OLEH :

ARLIZA JUAIRIANI LUBIS, M.Si, psikolog

NIP. 132 303 828

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2006

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Page 2: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

DAFTAR ISI

Daftar Isi ……………………………………………………………….............. i

Kata Pengantar ……………......……………………………………………....... ii

I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ............................................................... 4

III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 15

IV. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA ............................................. 20

V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN .............................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 36

Page 3: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas

limpahan rahmat dan rezeki yang Ia berikan sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan

makalah ini. Makalah ini dibuat berdasarkan hasil penelitan tentang dukungan sosial pada

pasien gagal ginjal terminal yang melakukan terapi hemodialisa, atau yang sehari-harinya

disebut pasien cuci darah.

Gagal ginjal terminal merupakan tahap akhir dari gangguan fungsi ginjal dimana

pasien harus menjalani terapi dialisa selama sisa hidupnya. Bentuk terapi dialisa yang paling

sering dilakukan di Indonesia adalah hemodialisa. Permasalahan yang muncul kemudian

menyebabkan pasien hemodialisa rentan terhadap stres. Keadaan stres seringkali menimbulkan

perasaan tidak nyaman sehingga individu termotivasi untuk menguranginya. Salah satu cara

untuk mengurangi stres adalah dengan memanfaatkan dukungan sosial. Akan tetapi, bentuk

dukungan yang berlebihan dan tidak tepat ternyata malah menambah stres pada individu

sehingga akan memperburuk keadaan.

Oleh karena itu, melalui makalah ini penulis berharap dapat memberi gambaran

tentang bagaimana dukungan sosial yang dialami oleh pasien hemodialisa. Gambaran tersebut

diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya

yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal. Selain itu penelitian ini juga diharapkan

dapat berguna sebagai informasi tambahan dari sudut pandang psikologis kepada praktisi

kesehatan yang menangani penderita gangguan ginjal agar mendapatkan gambaran yang lebih

luas tentang dukungan sosial yang dialami oleh penderita sehingga dapat membantu mengatur

dan memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan. Dengan begitu diharapkan penderita dapat

meningkatkan kemampuannya menghadapi stres dan mempercepat penyesuaian dirinya.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor USU, Dekan

F. Kedokteran USU serta Ketua Ps. Psikologi FK USU yang telah memberikan kesempatan

dan kemudahan kepada penulis dalam rangka mengabdikan ilmu yang penulis miliki di

lingkungan Ps. Psikologi F. Kedokteran USU. Tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih

kepada Pak Iskandar yang pantang menyerah dalam mengingatkan penulis untuk

menyelesaikan penulisan makalan ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan dalam makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena

itu penulis membuka diri untuk menerima masukan dan saran dari pembaca untuk

meningkatkan kualitas makalah ini. Semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi segala

pihak yang terkait.

Medan, 23 Mei 2006

Penulis

Page 4: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

I. PENDAHULUAN Mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh merupakan fungsi

esensial untuk kesejahteraan, yang berarti keselamatan, dari seluruh mahluk hidup. Pada manusia, fungsi ini sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner, 1979). Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam-basa darah, serta ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam (Pearce, 1995). Apabila ginjal gagal menjalankan fungsinya maka penderita memerlukan pengobatan dengan segera.

Keadaan dimana ginjal lambat laun mulai tidak dapat melakukan fungsinya dengan baik disebut juga dengan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis makin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari karena walaupun sudah mencapai tahap gagal ginjal terminal akan tetapi penderita masih dapat hidup panjang dengan kualitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992).

Rahardjo (1996) mengatakan bahwa jumlah penderita gagal ginjal kronis yang menjadi gagal ginjal terminal terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Laporan Sidabutar menunjukkan bahwa di Indonesia jumlah dialisa meningkat secara pasti setiap tahunnya, dari sebanyak 389 kali pada tahun 1980 menjadi 4.487 pada tahun 1986 (Sidabutar dalam Lubis, 1991). Di Bandung angka ini meningkat dari 115 kali pada tahun 1984 menjadi 7.223 pada tahun 1989 (Roesli dalam Lubis, 1991). Di Medan angka meningkat dari 100 kali pada tahun 1982 menjadi 1100 pada tahun 1990 (Nasution dalam Lubis, 1991).

Yang disebut dengan gagal ginjal terminal adalah keadaan dimana ginjal sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi. Ginjal tersebut tidak dapat diperbaiki sehingga pengobatan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan cuci darah (yang lebih sering disebut dengan dialisa) setiap jangka waktu tertentu atau tranplantasi (Pearce, 1995). Penderita yang didiagnosa mengalami gagal ginjal terminal akan tetapi tidak menjalani transplantasi maka seumur hidupnya ia akan tergantung pada alat dialisa untuk menggantikan fungsi ginjalnya.

Dialisa adalah suatu tindakan terapi pada perawatan penderita gagal ginjal terminal. Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena berfungsi menggantikan sebagian fungsi ginjal (Rahardjo, 1992; Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan merupakan metode perawatan yang umum untuk penderita gagal ginjal adalah hemodialisa (Peterson, 1995; Kartono, Darmarini & Roza, 1992).

Menurut Ketua Yayasan Peduli Ginjal (dalam http://www.indokini.com/kesehatan/ kes1128.shtml), Dr. Rully MA Roesli, sistem dialisa bagi penderita gagal ginjal terminal merupakan satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup. Pengobatan lain seperti pencangkokan transpalasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala banyak yang harus dihadapi, diantaranya ketersediaan donor ginjal, teknik operasi dan juga perawatan pada waktu pascaoperasi.

Sebagian pasien hemodialisa dirawat di rumah sakit atau unit dialisa dimana mereka menjadi pasien rawat jalan (Michael, 1986). Sebagian besar pasien membutuhkan 12 – 15 jam

Page 5: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

hemodialisa setiap minggunya yang terbagi dalam dua atau tiga sesi dimana setiap sesi berlangsung antara 3 – 6 jam (Tierney, McPhee, Papdakis & Schroeder, 1993). Kegiatan ini akan berlangsung terus menerus selama hidupnya.

Keadaan ketergantungan pada mesin dialisa seumur hidupnya mengakibatkan terjadinya perubahan dalam kehidupan penderita gagal ginjal terninal yang melakukan terapi hemodialisa (biasanya disingkat dengan pasien hemodialisa). Moos dan Schaefer serta Sarason dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Sarafino dan Taylor (dalam Smet, 1994) mengatakan bahwa keadaan stres dapat menghasilkan perubahan, baik secara fisiologis maupun psikologis, yang mengakibatkan berkembangnya suatu penyakit. Stres juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesakitan dengan cara merubah pola perilaku individu. Hal ini jelas menunjukkan adanya keadaan stres akan memperburuk kondisi kesehatan penderita dan menurunkan kualitas hidupnya.

Moos dalam Sarafino (1998) mengemukakan beberapa strategi dalam mengatasi stres yang dapat dilakukan oleh penderita ganguan kesehatan, yaitu : 1. Mengingkari atau meminimalisasi keseriusan situasi. 2. Mempertahankan kebiasaan rutin sebisa mungkin. 3. Memperkirakan kejadian dan keadaan stres yang mungkin muncul dimasa yang akan datang. 4. Mencoba memiliki pandangan baru tentang masalah kesehatan tersebut dan perawatannya

dengan menemukan tujuan jangka panjang atau makna dari pengalaman tersebut. 5. Mencari informasi tentang masalah kesehatan tersebut dan prosedur perawatannya. 6. Mencari dukungan instrumental dan emosional dari keluarga, teman dan praktisi kesehatan

yang terlibat dengan menunjukkan kebutuhan dan perasaan. Agar dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik, individu membutuhkan bantuan

dari orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki interaksi yang dekat dengan teman dan kerabat lebih dapat menghindari penyakit sedangkan untuk mereka yang sedang dalam masa penyembuhan akan sembuh lebih cepat apabila mereka memiliki keluarga yang menolong mereka (Baron & Byrne, 1994; Sheridan & Radmacher, 1992). Secara umum dikatakan pula bahwa individu yang merasa menerima penghiburan, perhatian dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis (DiMatteo & DiNicola dalam Sarafino, 1998).

Interaksi yang dekat, penghiburan, perhatian dan pertolongan yang diberikan kepada seseorang disebut juga dengan dukungan sosial. Lebih jelasnya, Thoits (dalam Rutter, Chesham & Quine, 1993) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu pada afeksi, persetujuan, rasa memiliki dan keamanan didapatkan lewat interaksi dengan orang lain.

Secara garis besar, dukungan sosial yang diberikan dapat dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan dari kelompok sosial (Sarafino, 1998). Bentuk dukungan yang dibutuhkan dan diterima seseorang tergantung pada keadaan yang menimbulkan stres. Martin (dalam Sarafino, 1998) menemukan bahwa penderita kanker merasa dukungan

Page 6: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

emosional dan dukungan pada harga diri lebih dapat menolong dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi. Kulik dan Mahler (dalam Sheridan & Radmacher, 1989) menemukan bahwa pasien operasi bypass koroner yang telah menikah dan pasangannya mengunjungi dengan teratur sembuh lebih cepat dari pada mereka yang jarang dikunjungi oleh pasangannya dan mereka yang belum menikah.

Gangguan pada fungsi ginjal dan perawatannya serta penyesuaian diri terhadap kondisi sakit menyebabkan pasien hemodialisa mengalami stres. Stres ini mengakibatkan kualitas kesehatan pasien tersebut menurun sehingga menambah beban stres yang telah ada sebelumnya. Dukungan sosial yang tepat dapat membantu pasien dalam menghadapi hal-hal yang menimbulkan stres ini, sementara dukungan sosial yang tidak tepat ternyata malah menimbulkan stres baru pada pasien dan terakumulasi ke dalam stres yang sedang dialami pasien tersebut sehingga akan memperburuk keadaan.

Sehubungan dengan uraian diatas, maka timbul pertanyaan tentang bagaimana dukungan sosial pada pasien hemodialisa. Dukungan sosial ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang pasien hemodialisa itu sendiri dan dari sudut pandang sumber dukungan sosialnya. Oleh karena itu, ada beberapa pertanyaan lanjutan yang timbul untuk memperjelas permasalahanan ini, yaitu: 1. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat

dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa?

2. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial?

3. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial?

4. Bagaimana perbedaan antara dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial?

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tentang bagaimana dukungan sosial yang dialami oleh pasien hemodialisa. Gambaran tersebut berguna untuk pengembangan ilmu psikologi dalam bidang kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit gangguan ginjal, serta dapat menambah bahan kepustakaan mengenai psikologi kesehatan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai informasi tambahan dari sudut pandang psikologis kepada praktisi kesehatan yang menangani penderita gangguan ginjal agar mendapatkan gambaran yang lebih luas tentang dukungan sosial yang dialami oleh penderita sehingga dapat membantu mengatur dan memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan. Dengan begitu diharapkan penderita dapat meningkatkan kemampuannya menghadapi stres dan mempercepat penyesuaian dirinya.

Page 7: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN II.A. Ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal terletatak pada dinding bagian luar rongga perut, yang merupakan rongga terbesar dalam tubuh manusia, tepatnya di sebelah kanan dan kiri tulang belakang. Bentuk ginjal seperti biji kacang dengan panjang 6 sampai 7,5 sentimeter dengan ketebalan 1,5 sampai 2,5 sentimeter (Pearce, 1995).

Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang dapat mengganggu kerja organ lain yang menyebabkan penderita memerlukan pengobatan segera.

II.A.1. Gangguan Fungsi Ginjal

Rahardjo (1996) mengklasifikasi gangguan pada fungsi ginjal ke dalam empat tahap, yaitu hilangnya fungsi ginjal, insufisiensi ginjal, gagal ginjal dan gagal ginjal terminal

Tahap awal dari gangguan fungsi ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Pada tahap ini biasanya penderita tidak menyadari adanya gangguan pada fungsi ginjalnya. Keadaan ini hanya akan diketahui apabila penderita melakukan pemeriksaan khusus fungsi ginjal. Namun seiring dengan waktu maka akan terjadi penumpukan sisa-sisa metabolisme di dalam tubuh yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan yang lebih berat.

Pada tahap berikutnya, yaitu insufisiensi ginjal, penurunan fungsi ginjal semakin dapat dilihat lewat pemeriksaan rutin. Akan tetapi penderita sering tidak mengeluhkan keadaan ini sampai mencapai tahap dimana penurunan fungsi ginjalnya semakin memburuk sehingga mengganggu kemampuan sehari-harinya.

Pada tahap ketiga, yaitu gagal ginjal, gangguan fungsi ginjal serta gejala sudah nyata. Berkurangnya fungsi ginjal menyebabkan penumpukan hasil pemecahan protein, yaitu ureum dan nitrogen yang beracun bagi tubuh, sehingga tubuh akan mengalami kekurangan protein. Gangguan dalam metabolisme lemak akan menyebabkan low density lipoprotein (LDL) atau kolesterol "buruk" dan trigliserida meningkat, sedang HDL atau kolesterol "baik" menurun. Dalam jangka panjang hal ini menimbulkan gangguan kardiovaskuler Sementara itu gangguan pada metabolisme karbohidrat akan menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Kemampuan penderita menjadi terganggu dalam pekerjaan atau aktifitas sehari-hari.

Tahap akhir dari gangguan fungsi ginjal, yaitu gagal ginjal terminal, dapat dilihat dari sisa fungsi yang minimal sehingga gejala dan komplikasi pada penderita sudah sedemikian nyata dan tindakan perawatan harus segera dilakukan untuk menyelamatkan pasien. Pada gangguan fungsi ginjal tahap ketiga dan tahap terakhir apabila tidak ditangani dengan baik maka gangguan akan berkembang kearah yang lebih berat dan akhirnya memerlukan tindakan yang mahal dan berakibat fatal.

Page 8: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

II.A.1.(i). Gagal Ginjal Terminal

Gagal ginjal terminal ditandai dengan fungsi ginjal yang semakin mengecil sehingga

diperlukan pengaturan pemasukan cairan yang sangat ketat serta perawatan lain berupa dialisa

kronis atau transplantasi untuk mempertahankan hidup (Peterson, 1995; Michael, 1986;

Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Keadaan ini yang merupakan manifestasi puncak dari

gagal ginjal kronis.

Gagal ginjal kronis merupakan sebutan bagi kondisi gagal ginjal yang ditandai dengan

keadaan klinik yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal secara perlahan tapi pasti,

yang dapat mencapai 60% dari kondisi normal, menuju ketidakmampuan ginjal. Yang

membedakannya dengan gagal ginjal akut, atau gagal ginjal mendadak yang diakibatkan oleh

adanya infeksi pada ginjal, adalah perkembangan pada gagal ginjal kronis yang berbentuk

progresif (meningkat dalam kuantitas maupun kualitas secara bertahap) dan melibatkan

mekanisme adaptif dimana ginjal masih dapat mengatur keseimbangan cairan dalam derajat

yang cukup untuk bertahan dengan pemasukan makanan yang normal.

Adanya penurunan fungsi ginjal yang perlahan ini mengakibatkan kemampuan ginjal

untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga sisa-sisa metabolisme

tersebut menumpuk dan menimbulkan gejala klinik dan laboratorium yang disebut sindrom

uremik. Periode waktu perkembangan gangguan ini dapat terjadi beberapa bulan sampai

beberapa tahun (Pearce, 1995; Peterson, 1995; Sidabutar, 1992; Roesma, 1992; Lubis, 1991;

Walls, 1986; Valtin, 1979; Robinson, 1979).

Gejala utama dari gagal ginjal kronis berupa keluhan rasa sakit di daerah pinggang

yang dapat disertai dengan rasa mual, muntah, gatal-gatal di kulit, lemas, lesu, cepat lelah,

kurang cairan dalam tubuh, sembab di daerah muka, perut dan kaki, nafsu makan menurun,

frekuensi dalam buang air dan jumlah urine berubah, libido menurun serta menstruasi yang

tidak teratur (Peterson, 1995; Tierney, dkk., 1993; Roesma, 1992; Kresnawan & Sukardjini,

1992; Lubis, 1987).

II.A.2. Perawatan Bagi Pasien Gagal Ginjal Terminal

Perawatan yang biasa digunakan dalam penanganan gangguan ginjal terminal adalah

manajemen diet, dialisa dan transplantasi ginjal (Carpenter & Lazarus, 1984; Tierney, dkk,

1993). Manajemen diet diberikan kepada penderita gangguan ginjal sejak dari tahap awal

sampai tahap akhir. Manajemen diet bertujuan untuk membantu mempertahankan status gizi

yang optimal, mencegah faktor-faktor pemberat, mencoba untuk memperlambat penurunan

fungsi ginjal, mengurangi dan bila mungkin menghilangkan gejala yang menganggu dan

mengatur keseimbangan cairan elektrolit (Kresnawan & Sukardjini, 1992; Rahardjo, 1996).

Selain itu dengan adanya pengaturan diet yang baik, maka penderita gangguan ginjal yang

mencapai tahap gagal ginjal kronis akan dapat hidup normal dan produktif serta dapat menunda

menjalani dialisa untuk jangka waktu yang cukup lama (Kresnawan & Sukardjini, 1992).

Page 9: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Dialisa, yang lebih populer dengan sebutan cuci darah, merupakan tindakan terapi

perawatan yang harus dilakukan oleh penderita gagal ginjal baik akut maupun kronis.

Tindakan ini sering juga disebut sebagai terapi pengganti karena fungsinya yang

menggantikan sebagian fungsi ginjal, yaitu ekskresi pembuang zat-zat berbahaya dari tubuh

hasil dari metabolisme (Rahardjo, 1992; Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Dialisa saat ini

hanya mengeluarkan 48 sampai maksimum 52% saja dari toksin uremik (Rahardjo, 1996),

oleh karena itu penderita tetap memerlukan pembatasan pemasukan makanan dan minuman

yang ketat serta intervensi obat-obatan untuk mengatur aspek-aspek dari kegagalan fungsi

ginjal yang lain serta untuk mencegah terjadinya akumulasi sisa-sisa metabolisme diantara

waktu dialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992; Tszamaloukas, 1993).

Tranplantasi ginjal merupakan upaya terakhir dalam perawatan penderita gangguan

ginjal. Hal ini terutama dilakukan apabila fungsi ginjal yang tersisa sangat sedikit sekali

bahkan tidak ada. Prinsip utamanya adalah mengganti ginjal yang rusak dengan ginjal donor

yang sehat lewat prosedur operasi. Perawatan ini memerlukan biaya yang mahal dan waktu

yang panjang karena harus melalui serangkaian pengujian laboratorium untuk mengetahui

apakah ginjal donor cocok dengan penderita dan perawatan pasca operasi. Walaupun begitu,

tranplantasi ginjal tidak menjamin penderita sembuh total karena pada banyak kasus

ditemukan bahwa mereka yang sudah menjalani transplantasi ginjal kembali menjalani dialisa.

II.A.2.(i). Dialisa

Dalam Daugirdas, Blake dan Ing (2001) dialisa diartikan sebagai proses dimana materi

tertentu dari suatu cairan dikeluarkan dari cairan tersebut dengan menggunakan bantuan cairan

lain yang dibatasi oleh membran semipermeable. Prinsip yang dipakai adalah molekul materi

cairan yang bentuknya kecil dapat melewati membran semipermeable, sementara molekul

materi cairan yang bentuknya besar akan tertahan.

Ada beberapa cara dalam melakukan dialisa. Dua cara yang paling sering dilakukan

adalah hemodialisa dan peritonealdialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992). Perbedaan

antara keduanya terletak pada alat dan tehnik yang digunakan dalam proses dialisa. Tehnik

dalam hemodialisa adalah dengan mengalirkan darah keluar tubuh dan proses dialisa terjadi di

dalam tabung dialisa yang berfungsi sebagai pengganti ginjal. Sementara tehnik dalam

peritonealdialisa adalah dengan memanfaatkan rongga perut sebagai pengganti ginjal dengan

cara mengalirkan cairan dialisa ke dalam rongga perut. Cairan dialisa dalam rongga perut dan

darah yang berada dalam pembuluh kapiler yang sangat banyak di luar dinding rongga perut

mengalami proses dialisa karena dinding rongga perut berperan sebagai membran

semipermeable.

Diantara kedua jenis dialisa tersebut yang merupakan metode perawatan yang umum

untuk penderita gagal ginjal di Amerika Serikat dan di Indonesia adalah hemodialisa

(Peterson, 1995; Kartono, Darmarini & Roza, 1992).

Page 10: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

II.A.2.(i).(a). Hemodialisa

Hemodialisa didefenisikan sebagai bergeraknya air dan zat-zat beracun hasil

metabolisme dari dalam darah melewati membran semipermeable ke dalam cairan dialisa.

Bentuk seperti ini disebut juga dengan ginjal tiruan ekstrakorporeal (Peterson, 1995; Pearce,

1995; Michael, 1983; Carpenter & Lazarus, 1984). Hemodialisa dapat dilakukan di rumah atau

di unit dialisa. Pasien yang menderita penyakit akut atau mengalami komplikasi medis

biasanya melakukan dialisa di unit dialisa rumah sakit atau di unit perawatan intensif,

sementara pasien yang kondisi kesehatannya lebih stabil dapat melakukan dialisa sebagai

pasien rawat jalan di unit dialisa rumah sakit, di pusat dialisa non-rumah sakit atau di rumah

(Carpenter & Lazarus, 1984). Di banyak negara, sebagian besar pasien hemodialisa dirawat di

rumah sakit atau di unit dialisa dimana mereka menjadi pasien rawat jalan (Michael, 1986).

Biasanya pasien membutuhkan 12-15 jam hemodialisa setiap minggunya yang terbagi

kedalam dua atau tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam tergantung dari tipe

membran yang digunakan, ukuran tubuh pasien dan kriteria lain yang telah ditentukan

(Tierney, dkk, 1993; Michael, 1986; Valtin, 1979; Carpenter & Lazarus, 1984). Untuk

melakukan sekali hemodialisa, pasien di Jakarta harus membayar biaya sebesar Rp 600 ribu

hingga Rp 1,2 juta (http://www.indokini.com/kesehatan/kes1128.shtml). Biaya yang sangat

mahal ini merupakan salah satu kelemahan dari prosedur hemodialisa. Untuk mengatasinya,

maka dilakukan pemakaian ulang alat dialisa. Siregar (dalam http://www.gizi.net/ cgi-

bin/berita/fullnews.cgi?newsid1002523069,30972,) menguraikan sejumlah keuntungan dan

kerugian penggunaan ulang alat dialisa.

Keuntungan yang jelas adalah mengurangi biaya. Selain itu mengurangi komplikasi

saat dialisa, memacu biokompatibilitas alat dialisa serta mengurangi bahan kimia industri pada

pembuatan alat dialisa baru. Kerugiannya, pasien akan terkontaminasi bahan kimia yang

digunakan untuk membersihkan alat dialisa. Selain itu, ada kemungkinan kontaminasi kuman

pada alat dialisa serta penurunan kemampuan alat untuk membersihkan racun dari tubuh dan

penurunan kapasitas ultrafiltrasi alat dialisa. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan para

ahli menunjukkan, tidak ada perbedaan risiko dalam hal kematian dan kesakitan dari pasien

yang menjalani cuci darah dengan penggunaan ulang alat dialisa dengan yang tidak digunakan

ulang. Kelemahan lain berhubungan dengan terganggunya waktu bekerja (Tierney, dkk, 1993)

sehingga menimbulkan gangguan dalam hal ekonomi. Prosedur ini juga memerlukan perhatian

medis yang besar dan tetap, karena memiliki batasan pada beberapa kemungkinan komplikasi,

dan pada beberapa pasien kualitas hidupnya jauh dari normal (Valtin, 1979).

Diperkirakan hanya sekitar 10-20 % pasien gagal ginjal terminal yang melakukan

dialisa dapat kembali berfungsi seperti orang sehat. 30-40 % pasien yang non-diabetik dapat

diharapkan untuk kembali pada status fungsionalnya walaupun tidak memiliki pekerjaan. 20%

dari pasien dapat dikembalikan pada tingkat keberfungsian yang memungkinkan mereka

untuk menjaga diri mereka sendiri. Sisanya, sekitar 20%, bergantung secara penuh pada

bantuan orang lain (Carpenter & Lazarus, 1984).

Page 11: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Komplikasi yang dapat muncul ketika individu melakukan hemodialisa antara lain

tekanan darah rendah, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit di dada, sakit di punggung,

gatal-gatal, demam, kedinginan, perdarahan, masuknya gelembung udara ke dalam aliran

darah, penurunan jumlah darah merah, penurunan kadar gula dalam darah, gangguan ritme

jantung dan otak, anemia, gangguan pada jumlah kalsium dan fosfor dalam tulang, gangguan

berbicara, konstraksi otot mendadak, kejang, infeksi, gangguan gizi serta masalah psikososial

(Tszamaloukas, 1993; Michael, 1986; Peterson, 1995).

Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisa, menyebabkan pasien harus

melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa hidupnya. Bagi pasien

hemodialisa, penyesuaian ini mencakup keterbatasan dalam memanfaatkan kemampuan fisik

dan motorik, penyesuaian terhadap perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara

fisik dan ekonomi pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup.

Moos dan Schaefer serta Sarason dan Sarason (dalam Sarafino, 1998) mengatakan bahwa

perubahan dalam kehidupan merupakan salah satu pemicu terjadinya stres. Untuk lebih

jelasnya, pada bagian selanjutnya akan dibahas tentang stres.

II.B. Stres

II.B.1. Defenisi Stres

Banyak ahli mengeluarkan pendapat tentang defenisi stres. Beberapa pendapat akan

dipakai untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan stres.

Sarafino berpendapat bahwa stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara

tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya

biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut.

“Stres is the condition that result when person-environment transactions lead the individual to perceive the discrepancy – whether real or not – between the demands of a situation and the resources of the person’s biological, psychological, or soial systems.”

(Sarafino, 1998, hlm. 70)

Sementara itu, Atwater lebih berfokus pada tuntutan untuk melakukan respon adaptif

dalam melakukan penyesuaian diri.

“Stres might be defined as any adjustive demand that requires an adaptive response from us”

(Atwater, 1983, hlm. 49) Pendapat lain tentang stres didapat dari Lahey dan Ciminero yang menjelaskan stres

dengan penekanan pada peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi negatif yang dialami individu

yang dapat menimbulkan efek yang tidak teratur pada perilakunya.

“Stres is a board term refers to the disorganizing effect of primarily negative events and situations on behavior”

Page 12: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

(Lahey & Ciminero, 1980, hlm. 76) Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa stres merupakan

gangguan emosional dan perilaku yang terjadi dalam melakukan respon penyesuaian diri

terhadap peristiwa atau situasi karena adanya perbedaan antara tuntutan yang diakibatkan oleh

peristiwa atau situasi tersebut dengan sumber daya yang dimiliki oleh individu.

II.B.2. Penyebab Stres

Seperti telah diuraikan diatas, stres muncul ketika seseorang melakukan penyesuaian

diri terhadap suatu peristiwa atau situasi. Akan tetapi tidak semua peristiwa atau situasi dapat

menimbulkan stres. Ada dua faktor yang mengakibatkan suatu situasi atau peristiwa

menimbulkan stres yaitu yang berhubungan dengan individu itu sendiri dan yang berhubungan

dengan situasi yang dialami oleh individu (Cohen & Lazarus; Lazarus & Folkman dalam

Sarafino, 1998).

Situasi atau peristiwa yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tertentu

dalam lingkungan yang merusak jaringan dalam tubuh, seperti hawa panas/dingin yang

berlebihan, luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada sistem

biologis dan psikologis individu, dimana derajat stres yang akan timbul karena tuntutan ini

tergantung pada keseriusan penyakit dan umur individu tersebut.

Sementara yang berhubungan dengan situasi yang dialami individu dapat berupa

pertambahan anggota keluarga, perceraian, kematian dalam keluarga, pekerjaan serta keadaan

lingkungan (Sarafino, 1998).

II.B.3. Dampak Stres

Stres mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Dalam aspek kognisi,

stres dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kogitif dengan menurunkan atau

meningkatkan perhatian pada sesuatu. Dalam aspek emosi, stres dapat menimbulkan rasa

ketakutan yang merupakan reaksi yang umum ketika individu merasa terancam, memunculkan

perasaan sedih atau depresi, serta memicu rasa marah terutama ketika individu mengalami

situasi yang membahayakan atau membuat frustrasi.

Dalam aspek perilaku sosial, stres dapat mengubah perilaku individu dalam

menghadapi orang lain. Dalam aspek jender dan perbedaan sosial budaya, ditemukan bahwa

wanita dan anggota kelompok minoritas pada umumnya melaporkan mengalami lebih banyak

peristiwa yang menimbulkan stres dibandingkan dengan pria (Sarafino, 1998).

II.B.3.(i). Dampak Stres Pada Kesehatan

Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang

diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fungsi fisik sistem tubuh yang dapat

mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku

Page 13: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

individu sehingga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah

ada (Baum dalam Sarafino, 1998).

Andersen (1988) juga menjelaskan hubungan stres dengan penyakit sebagai berikut.

1. Stres sebagai penyebab penyakit.

Andersen berpendapat bahwa hal ini merupakan efek langsung dari sistem psikologis

dimana kondisi stres akan mempengaruhi fungsi fisik tubuh dan perilaku yang

mengakibatkan terjadinya aktivitas yang berlebihan dari sistem hormon. Seiring dengan

waktu hal ini akan mengakibatkan tubuh menjadi bertambah lemah sampai akhirnya

beberapa sistem organ tubuh mulai berfungsi tidak normal.

2. Penyakit sebagai penyebab stres.

Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan menyesuaikan diri. Dibandingkan dengan

jenis penyakit lainnya, penyakit kronis melibatkan penyesuaian diri selama kurun waktu

tertentu, bahkan untuk selamanya. Beberapa bentuk penyesuaian diri ini antara lain :

a. Penyesuaian diri dalam hal perilaku yang berhubungan dengan aspek keterbatasan dan

anjuran dari penyakit dan perawatannya. Aspek keterbatasan meliputi kapasitas fisik yang

dapat mengganggu pekerjaan, keluarga dan fungsi seksual. Keterbatasan ini juga akan

berdampak pada kemampuan ekonomi pasien, kemampuan dalam berprestasi dan

hubungannya dengan orang lain. Penyesuaian diri dalam perawatan melibatkan pengenalan

perilaku baru, menghilangkan beberapa perilaku lama serta memodifikasi perilaku.

b. Penyesuaian diri secara kognitif meliputi mempelajari informasi baru yang relevan

dengan penyakit dan perawatannya, merubah sistem kepercayaan dan mempelajari

kemampuan coping.

II.B.4. Strategi Mengatasi Stres

Mengurangi tingkatan stres mengakibatkan berkurangnya resiko memburuknya atau

kambuhnya suatu penyakit. Selain itu keadaan yang diakibatkan oleh kondisi stres seringkali

menimbulkan perasaan tidak nyaman. Oleh karena itu, manusia termotivasi untuk melakukan

sesuatu untuk mengurangi stres yang disebut juga dengan coping.

Beberapa defenisi tentang coping telah dikemukakan oleh para ahli. Lazarus

menekankan bahwa coping merupakan suatu proses dalam mengatur tuntutan internal dan

eksternal yang berat bahkan sangat sulit.

“Coping is the process of managing internal and external demands that are taxing or even overwhelming”

(Lazarus dalam Wortman, Loftus dan Weaver, 1999, hlm. 418)

Pendapat senada dikemukakan oleh Sarafino yang menyatakan :

Page 14: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

“Coping is the process by which people try to manage the perceived discrepancy between the demands and resources they appraise in a stresful situation”

(Sarafino, 1998, hlm. 13)

Dalam hal ini, coping juga merupakan suatu proses dimana individu mencoba untuk memperbaiki atau menguasai permasalahan yang diakibatkan oleh terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang muncul dan sumber daya yang ada dalam suatu situasi yang memicu terjadinya stres.

Blair berpendapat bahwa coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya.

“Coping as a term applied to effort to manage stres or troublesome demands, difficulties and challenges.“

(Blair, 1988, hlm. 16)

Dari ketiga pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa coping adalah suatu proses dimana seseorang berusaha mengatur kesenjangan antara tuntutan yang dialaminya dengan sumber daya yang dimilikinya sehingga ia dapat mengurangi stres yang dialaminya. II.B.4.(i). Jenis Coping

Coping terbagi kedalam dua jenis yaitu emotion-focused dan problem-focused. 1. Emotion-Focused Coping.

Bentuk coping ini bertujuan untuk mengontrol respon emosional yang muncul dalam menghadapi stressor. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1998). Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk coping ini antara lain kontrol diri, mengambil jarak dengan stressor, berusaha untuk melihat dari sudut pandang lain, menerima keadaan dan melarikan diri dari keadaan (Wortman, Loftus & Weaver, 1990).

2. Problem-Focused Coping. Bentuk coping ini bertujuan untuk mengurangi tuntutan stressor atau mengembangkan sumber daya dalam menghadapi tuntutan tersebut. Individu cenderung menggunakan bentuk ini jika mereka yakin bahwa tuntutan stressor atau sumber daya mereka masih dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1998). Beberapa strategi yang berhubungan dengan bentuk coping ini antara lain melakukan konfrontasi dengan menolak perubahan atau berusaha mengubah keyakinan orang lain, bergantung pada dukungan sosial dan melakukan strategi pemecahan masalah yang terencana.

Diantara strategi coping yang telah disebutkan diatas, dukungan sosial merupakan hal yang paling diperhatikan (Blair, 1988). Hal ini sesuai dengan pendapatnya Aristoteles yang menyatakan bahwa manusia adalah hewan sosial. Manusia ditakdirkan untuk hidup dalam suatu lingkungan dan bergaul dengan orang lain. Keadaan ini sudah terlihat sejak manusia dilahirkan dimana sebagai bayi manusia sangat mengandalkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan biologisnya. Setelah ia meningkat dewasa dan berkembang menjadi mahluk sosial, ia juga membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk dapat memenuhi

Page 15: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

kebutuhan-kebutuhannya. Penelitian ini akan berfokus pada dukungan sosial. Agar lebih mendalam, tinjauan kepustakaan yang berhubungan dengan dukungan sosial akan dipaparkan dalam bagian tersendiri.

II.C. Dukungan Sosial

II.C.1. Defenisi Dukungan Sosial

Terdapat banyak defenisi tentang dukungan sosial yang dikemukakan oleh para ahli.

Sheridan dan Radmacher menekankan pengertian dukungan sosial sebagai sumber daya yang

disediakan lewat interaksi dengan orang lain.

“Social support is the resources provided to us through our interactions with other people”

(Sheridan & Radmacher, 1992, hlm.156)

Pendapat lain dikemukakan oleh Siegel yang menyatakan bahwa dukungan sosial

adalah informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri dan

dihargai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban bersama.

“Social support is information from others that one is loved and cared for, esteemed and valued, and part of a network of communication and mutual obligation.”

(Siegel dalam Taylor, 1999, hlm.222)

Pendapat hampir sama dikemukakan oleh Thoits yang menyatakan bahwa dukungan

sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, persetujuan, kepemilikan

dan keamanan didapat lewat interaksi dengan orang lain

“Social support is the degree to which an individual’s basic needs for affection, approval, belonging and security are gratified through interaction with others.”

(Thoits dalam Rutter, dkk , 1993, hlm. 17)

Dari beberapa defenisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial

merupakan ketersediaan sumber daya yang memberikan kenyamanan fisik dan psikologis

yang didapat lewat pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh

orang lain dan ia juga merupakan anggota dalam suatu kelompok yang berdasarkan

kepentingan bersama.

II.C.2. Sumber Dukungan Sosial

Dari definisi diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber dari dukungan sosial ini

adalah orang lain yang akan berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat

Page 16: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

merasakan kenyamanan secara fisik dan psikologis. Orang lain ini terdiri dari pasangan hidup,

orangtua, saudara, anak, kerabat, teman, rekan kerja, staf medis serta anggota dalam kelompok

kemasyarakatan.

II.C.3. Bentuk Dukungan

Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999) membagi

dukungan sosial ke dalam lima bentuk, yaitu :

1. Dukungan instrumental (tangible assisstance)

Bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan

langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan serta pelayanan. Bentuk

dukungan ini dapat mengurangi stres karena individu dapat langsung memecahkan

masalahnya yang berhubungan dengan materi. Dukungan instrumental sangat diperlukan

terutama dalam mengatasi masalah yang dianggap dapat dikontrol.

2. Dukungan informasional

Bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, saran atau umpan balik tentang

situasi dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk

mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah.

3. Dukungan emosional

Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperdulikan

dan dicintai oleh sumber dukungan sosial sehingga individu dapat menghadapi masalah

dengan lebih baik. Dukungan ini sangat penting dalam menghadapi keadaan yang

dianggap tidak dapat dikontrol.

4. Dukungan pada harga diri

Bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat,

persetujuan pada pendapat individu, perbandingan yang positif dengan individu lain.

Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi.

5. Dukungan dari kelompok sosial

Bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok

yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengannya. Dengan begitu individu

akan merasa memiliki teman senasib.

II.C.4. Dampak Dukungan Sosial

Bagaimana dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis

kepada individu dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial mempengaruhi kejadian dan

efek dari keadaan stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan

sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.

Page 17: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Apabila kejadian tersebut muncul, interaksi dengan orang lain dapat memodifikasi atau

mengubah persepsi individu pada kejadian tersebut dan oleh karena itu akan mengurangi

potensi munculnya stres.

Dukungan sosial juga dapat mengubah hubungan antara respon individu pada kejadian

yang dapat menimbukan stres dan stres itu sendiri, mempengaruhi strategi untuk mengatasi

stres dan dengan begitu memodifikasi hubungan antara kejadian yang menimbulkan stres dan

efeknya. Pada derajat dimana kejadian yang menimbulkan stres mengganggu kepercayaan diri,

dukungan sosial dapat memodifikasi efek itu.

Sheridan dan Radmacher (1992), Rutter, dkk. (1993), Sarafino (1998) serta Taylor

(1999) mengemukakan dua model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial dapat

mempengaruhi kejadian dan efek dari keadaan stres, yaitu :

1. Model Efek Langsung

Model ini melibatkan jaringan sosial yang besar dan memiliki efek positif pada

kesejahteraan. Model ini berfokus pada hubungan dan jaringan sosial dasar. Model ini

juga dideskripsikan sebagai struktur dari dukungan sosial yang meliputi faktor status

perkawinan, keanggotaan dalam suatu kelompok, peran sosial dan keikutsertaan dalam

kegiatan agama.

2. Model Buffering.

Model ini berfokus pada aspek dari dukungan sosial yang berperilaku sebagai buffer dalam

mempertahankan diri dari efek negatif stres. Model ini mengacu pada sumber daya

interpersonal yang akan melindungi individu dari efek negatif stres dengan memberikan

kebutuhan khusus yang disebabkan oleh kejadian yang mengakibatkan stres. Model ini

bekerja dengan mengarahkan kembali hal-hal yang menimbulkan stres atau mengatur

keadaan emosional yang disebabkan oleh hal-hal tersebut. Model ini berfokus pada fungsi

dukungan sosial yang melibatkan kualitas hubungan sosial yang ada.

Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif dalam mempengaruhi

kejadian dan efek stres. Dalam Sarafino (1998) disebutkan beberapa contoh efek negatif yang

timbul dari dukungan sosial, antara lain :

1. Dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi

karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu

khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan.

2. Dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu.

3. Sumber dukungan memberikan contoh buruk pada individu, seperti melakukan atau

menyarankan perilaku tidak sehat.

4. Terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu yang

diinginkannya. Keadaan ini dapat mengganggu program rehabilitasi yang seharusnya

dilakukan oleh individu dan menyebabkan individu menjadi tergantung pada orang lain.

Page 18: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

III. METODE PENELITIAN

III.A. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu pasien hemodialisa

dan sumber dukungan sosialnya. Dari populasi yang ada, diambil sampel sejumlah 50 orang

pasien dan 50 orang sumber dukungan sosial. Diharapkan besar sampel yang diambil dapat

memberi gambaran yang semakin mendekati populasi. Tehnik pengambilan sampel yang akan

dilakukan adalah tehnik incidental sampling, yaitu pengambilan sampel yang dilakukan

semata-mata atas dasar kesediaan dan ketersediaan untuk kemudahan penelitian (Guilford &

Frutcher, 1991).

III.B. Instrumen dan Alat Penelitian

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 buah alat, yaitu

skala sikap dan data kontrol. Skala sikap yang dipilih dalam penelitian ini adalah skala sikap

tipe Likert dengan lima pilihan. Skala sikap digunakan untuk mengukur kekuatan dari sikap

subyek terhadap obyek sikap yang akan diukur. Subyek penelitian diharapkan memberikan

respon terhadap pernyataan sikap tersebut dalam lima point scale yang dilabel Sangat Setuju

(SS), Setuju (S), Ragu-ragu (R), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Bobot nilai untuk item-item yaitu sebagai berikut:

Favorable Pem UnfavorableSangat Setuju (SS) = 5 Setuju (S) = 4 Ragu-ragu (R) = 3 Tidak Setuju (TS) = 2

Sangat Tidak Setuju (STS) = 1

Sangat Setuju (SS) = 1 Setuju (S) = 2 Ragu-ragu (R) = 3 Tidak Setuju (TS) = 4 Sangat Tidak Setuju (STS) = 5

Tipe jawaban seperti ini disebut juga dengan fixed alternative, dimana alternatif

jawaban telah ditetapkan oleh peneliti, dan responden diharapkan untuk memberikan respon

jawaban dari pilihan yang tersedia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah peneliti dalam

mengolah data penelitian. Selain itu tipe jawaban seperti ini juga memiliki beberapa

keuntungan, yaitu kemudahan bagi peneliti untuk mengkoding data, dimana hal ini

memudahkan dilakukannya perbandingan dan kuantifikasi atas jawaban responden, serta

untuk menghindari jawaban yang tidak relevan.

Item-item pertanyaan pada alat ukur ini disusun berdasarkan hasil elisitasi dari 10 orang

pasien dan 10 orang sumber dukungan sosial yang mempunyai karakteristik sama dengan

subyek penelitian. Selain itu, hasil elisitasi tersebut juga diperkuat dengan wawancara yang

dilakukan pada 6 orang pasien serta 4 orang sumber dukungan sosial. Dari hasil elisitasi

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Page 19: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

didapatkan sejumlah kebutuhan dukungan sosial yang diperlukan pasien hemodialisa.

Kebutuhan-kebutuhan ini kemudian dijadikan acuan untuk menyusun item-item alat ukur sikap.

Skala sikap ini terdiri dari 3 sub bagian. Bagian A berisi pernyataan mengenai perlu

atau tidaknya beberapa bentuk dukungan sosial diberikan kepada pasien hemodialisa. Bagian

ini diberikan kepada pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial. Bagian B berisi

pernyataan mengenai frekuensi dukungan sosial yang diterima oleh pasien penderita

hemodialisa. Frekuensi tersebut dibagi kedalam dua jenis, yaitu sering dan jarang. Bagian ini

diberikan kepada pasien hemodialisa. Bagian D berisi pernyataan mengenai frekuensi

dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial pada pasien hemodialisa.

Frekuensi tersebut dibagi kedalam dua jenis, yaitu sering dan jarang. Bagian ini diberikan

kepada sumber dukungan sosial.

Item-item yang telah disusun kemudian dikategorikan berdasarkan teori dari Cohen &

McKay (dalam Sarafino, 1990) yang mengemukakan tentang jenis-jenis dukungan sosial,

yaitu dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga

diri dan dukungan dari kelompok sosial. Tujuan dari pengkategorian ini adalah untuk

mendapatkan analisa yang lebih mendalam yang dapat membantu menjawab permasalahan.

Data kontrol digunakan sebagai alat pengumpul data yang berfungsi untuk

mengumpulkan data-data yang bersifat demografik dari subyek, seperti usia, jenis kelamin,

berapa lama menjalani terapi hemodialisa (untuk pasien), tingkat pendidikan, pekerjaan,

pembiayaan (untuk pasien) serta hubungan dengan pasien (untuk sumber dukungan sosial).

Data kontrol dapat menambah informasi dari hasil penelitian secara keseluruhan.

III.B.1 Uji Coba Alat Ukur

Uji coba dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan yang terdapat

pada alat ukur penelitian memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang dapat

dipertanggungjawabkan. Selain itu, uji coba ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah

pertanyaan-pertanyaan yang ada sudah dapat dipahami responden.

Uji validitas perlu dilakukan untuk melihat apakah item-item yang terdapat dalam alat

ukur tersebut benar-benar mengukur apa yang ingin diukur dan seberapa baik tes tersebut

dapat mengukur hal yang ingin diukur tersebut, sesuai dengan arti dari validitas itu sendiri.

“The validity of a test concerns what the test measure and how well it does so.”

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm. 113) Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan cara validitas konstruk (construct

validity). Validitas konstruk suatu tes mencakup apakah suatu tes dapat dikatakan mengukur

sebuah konstruk teoritis atau trait (Anastasi & Urbina, 1997). Jenis validitas ini merupakan

konsep validitas yang paling mendasar seperti yang dikatakan Anastasi dan Urbina berikut ini.

Page 20: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

“The construct validity of a test is the extent to which the test may be said to measured a theretical construct or trait”

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm.126) Salah satu cara untuk melakukan validitas konstruk adalah dengan menggunakan tehnik

yang disebut dengan konsistensi internal yang mengukur homogenitas alat tes. Hal ini juga

akan berpengaruh pada reliabilitas alat tes, karena semakin tinggi tingkat homogenitas tes

tersebut maka akan semakin baik pula nilai reliabilitasnya. Cara melakukan pengukuran

validitas konstruk adalah dengan mengkorelasikan skor dari setiap item tes dengan skor totalnya.

Apabila ada item yang memiliki korelasi lebih rendah dari level of significancy yang dibutuhkan

maka item tersebut akan dihilangkan. Untuk mengkorelasikan skor dari setiap item tes dengan

skor totalnya , maka akan dipakai rumus Pearson Product-Moment Correlation, yaitu :

Σxy rxy =

(N) (SDx) (SDy)

Keterangan: rxy = korelasi x dan y Σxy = jumlah keseluruhan dari x dikalikan y N = jumlah subyek penelititan SDx = standar deviasi x SDy = standar deviasi y

(Anastasi & Urbina, 1997, hlm. 89)

Hasil uji validitas pada alat ukur penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 3.2 Hasil Uji Validitas Alat Ukur Penelitian

No. Pernyataan mengenai A B D 1. Keringanan biaya. 0,54 0,67 0,76 2. Bantuan obat-obatan . 0,48 0,67 0,68 3. Mengantar/diantar ketika akan melakukan cuci darah. 0,64 0,64 0,75 4. Menjemput/dijemput setelah selesai cuci darah. 0,49 0,68 0,74 5. Pemberian informasi tentang penyakit ginjal. 0,52 0,66 0,67 6. Pemberian informasi tentang cara perawatan . 0,48 0,71 0,67 7. Pemberian hiburan. 0,53 0,80 0,79 8. Mengunjungi/dikunjungi, baik di rumah maupun di tempat cuci darah. 0,56 0,72 0,77 9. Menemani/ditemani pasien ketika sedang cuci darah. 0,75 0,70 0,67 10. Menjadi tempat pasien ginjal berkeluh kesah. 0,68 0,69 0,70 11. Membantu/dibantu ketika sedang cuci darah. 0,62 0,69 0,79 12. Memberi/diberi nasehat . 0,77 0,77 0,68 13. Memberi/diberi semangat . 0,74 0,66 0,66 14. Teman mengobrol ketika sedang cuci darah. 0,61 0,65 0,74 15. Mengajak/diajak mengikuti kegiatan suatu kelompok sosial. 0,49 0,76 0,71 pada level of significancy 0,05 0,44 0,63 0,63

Karena seluruh item dalam uji validitas memiliki nilai yang lebih tinggi daripada level

of significancy yang ditetapkan, maka tidak ada item yang perlu dihilangkan.

Selain uji validitas, uji reliabilitas juga perlu dilakukan untuk melihat konsistensi skor

yang didapatkan oleh individu yang sama ketika mereka diuji ulang oleh tes yang sama pada

waktu yang berbeda.

Page 21: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

“Reliability refers to the consistency of scores obtained by the same persons when they are reexamined with the same test on different occasions...”

(Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 84) Untuk melakukan uji relabilitas, harus dilihat korelasi antar item dari alat ukur. Hal ini

bertujuan untuk menghindari item-item yang bersifat heterogen. Semakin heterogen item-item

yang hendak dipakai, maka nilai reliabilitasnya akan semakin rendah.

Menurut Anastasi dan Urbina formula yang paling cocok untuk menguji reliabilitas

dari alat ukur yang menghasilkan skor berganda adalah coefficient alpha.

“On a personality inventory, for example, the respondent may receive a different numerical score on an item, depending on whether he or she checks ‘ussually’, ‘sometimes’, ‘rarely’ or ‘never’.”

(Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 99) Disamping itu, coefficient alpha menghasilkan rata-rata koefisien reliabilitas yang

dapat dihasilkan dari semua kemungkinan pembelahduaan tes (Murphy, Kevin &

O’Davidshofer, 1994).

“In particular, coefficient alpha, which represents the most widely used and most general form of internal consistencye estimate, represents the mean reliability coefficient one would obtain from all possible split halves.”

(Murphy, Kevin & O’Davidshofer, 1994, Hal. 83)

Rumus dari coefficient alpha yaitu :

n

SDt2 - ΣSDi

2 rtt =

n - 1 SDt

2

Keterangan: rtt = nilai koefisien alpha n = jumlah item SDt

2 = varians dari skor total ΣSDi

2 = jumlah varians (Anastasi & Urbina, 1997, Hal. 99)

Dari hasil uji reliabilitas skala sikap, koefisien alpha yang didapat lewat perhitungan

program SPSS versi 10.1 adalah sebagai berikut :

Koefisien alpha untuk skala sikap bagian A = 0,8657

Koefisien alpha untuk skala sikap bagian B = 0,9179

Koefisien alpha untuk skala sikap bagian C = 0,9256

Nilai alpha yang tinggi ini sangat dipengaruhi oleh nilai validitas yang cukup baik. Nilai alpha

yang dianggap reliabel untuk tujuan penelitian adalah 0,7 (Nunnaly & Bernstein, 1994). Dari

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Page 22: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

pengujian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa alat yang akan digunakan cukup baik untuk

mengukur variabel-variabel yang hendak diteliti.

III.C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di beberapa pusat hemodialisa di Medan, yaitu Pusat

Hemodialisa RSUP. H. Adam Malik, Pusat Hemodialisa RSU. Dr. Pirngadi, Pusat

Hemodialisa RSU. Herna, Pusat Hemodialisa RS. Internasional Gleneagles dan Pusat

Hemodialisa RS.Khusus Ginjal & Hipertensi Rasyida.

III.D. Metode Analisis

Data dalam penelitian ini akan diolah secara kuantitatif dengan menggunakan rumus

statistik. Pada tiap-tiap alat ukur juga akan dilakukan penilaian dan pengujian hipotesis.

Perhitungan statistik yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penghitungan frekuensi dan prosentase.

% = f . N x 100%

Keterangan : % = persentase f = frekuensi N = jumlah subyek penelitian

(Guilford & Fruchter, 1991, hlm. 34)

2. Penghitungan mean untuk melihat rata-rata nilai.

Keterangan :

x =

Σx N

x = nilai rata-rata (mean) Σx = jumlah skor individu N = jumlah subyek penelitian

(Guilford & Fruchter, 1991, hlm. 45)

3. Penghitungan t-test untuk menguji signifikansi perbedaan antar variabel.

X1 – X2 Σx1

2 + Σx22 N1 + N2

t =

N1 + N2 – 2 N1 N2 Keterangan : X1 = mean kelompok 1 X2 = mean kelompok 2

Σx12 = jumlah kuadrat dalam kelompok 1

Σx22 = jumlah kuadrat dalam kelompok 2

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Page 23: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

N1 = jumlah subyek penelitian dalam kelompok 1 N2 = jumlah subyek penelitian dalam kelompok 2

(Guilford & Fruchter, 1991, hlm. 158)

Page 24: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

IV. ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA

IV.A. Gambaran Umum Subyek Penelitian

IV.A.1. Subyek Pasien Hemodialisa

IV.A.1.(i). Penyebaran Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Krostabulasi usia dan jenis kelamin pasien hemodialisa Usia (dalam tahun) 20-

24 25- 29

30- 34

35- 39

40- 44

45- 49

50- 54

55- 59

Total

Pria 3 4 2 2 2 3 6 3 25 Wanita 2 2 2 1 3 8 7 0 25 Total 5 6 4 3 5 11 13 3 50 % 10 12 8 6 10 22 26 6 100

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa perbandingan subyek pasien hemodialisa

berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini berimbang. Subyek pria berjumlah 25 orang

(50 %) dan subyek wanita juga berjumlah 25 orang (50%). Kentungan yang didapat dari

seimbangnya subyek pria dan wanita adalah dimungkinkannya penggalian informasi tambahan

dengan membandingkan hasil yang didapat kelompok subyek berdasarkan jenis kelamin untuk

melihat perbedaan berdasarkan jenis kelamin.

Rentang usia subyek berkisar antara 20 sampai 59 tahun dengan jumlah subyek

terbanyak berada dalam kelompok rentang usia 50-54 tahun (26%) diikuti oleh kelompok

rentang usia 45-49 tahun (22%), 25-29 tahun (12%), 20-24 tahun dan 40-44 tahun (masing-

masing 10%), 30-34 tahun (8%) serta 35-39 tahun dan 55-59 tahun (masing-masing 6%).

Mean usia subyek pasien hemodialisa adalah 43 tahun sedangkan mediannya adalah 47 tahun.

IV.A.1.(ii). Penyebaran Berdasarkan Cara Pembayaran Perawatan dan Jenis Kelamin

Tabel 4.2 Krostabulasi cara pembayaran perawatan dan jenis kelamin pasien hemodialisa Jenis Pembayaran Pria Wanita Frekuensi % Dibiayai (perusahan, asuransi dan gakin) Biaya sendiri

18 7

17 8

35 15

70 30

Total 25 25 50 100

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penyebaran antara pasien hemodialisa yang

dibiayai (70%) dan pasien hemodialisa yang membiayai sendiri perawatannya (30%) tidak

berimbang. Ketidakseimbangan ini selain disebabkan karena penelitian menggunakan tehnik

incidental sampling, juga dipengaruhi oleh jumlah subyek pasien yang membiayai sendiri

perawatannya yang sangat sedikit.

Page 25: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

IV.A.1.(iii). Penyebaran Berdasarkan Lamanya Menjalani Hemodialisa dan Jenis Kelamin

Tabel 4.3 Krostabulasi lamanya menjalani hemodialisa dan jenis kelamin pasien hemodialisa

Hemodialisa sejak Pria Wanita Frekuensi % 1991 1992 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

0 0 0 0 1 3 4 11 6

1 1 1 3 2 3 4 10 0

1 1 1 3 3 6 8 21 6

2 2 2 6 6 12 16 42 12

Total 25 25 50 100

Kebanyakan pasien hemodialisa yang berpartisipasi dalam penelitian ini telah

menjalani hemodialisa sejak tahun 2001 (42%), kemudian diikuti oleh mereka yang memulai

hemodialisa pada tahun 2000 (16%), tahun 1999 dan 2002 (masing-masing 12%), tahun 1997

dan 1998 (masing-masing 6%) serta tahun 1991, 1992 dan 1996 (masing-masing 2%).

Besarnya rentang lama menjalani hemodialisa (sepanjang 12 tahun) memperkaya data yang

didapat karena informasi yang diterima bukan hanya dari pasien yang relatif baru menjalani

hemodialisa saja, akan tetapi didapat juga dari pasien yang sudah menjalani hemodialisa

selama bertahun-tahun.

Kecilnya frekuensi pasien yang menjalani hemodialisa diatas 3 tahun menunjukkan

bahwa pasien hemodialisa banyak yang tidak dapat bertahan dalam menghadapi penyakit dan

perawatannya. Sebagian besar dari mereka meninggal dunia, sementara sisanya melakukan

transplantasi ginjal atau menghentikan perawatan dan melakukan pengobatan alternatif.

IV.A.1.(iv). Penyebaran Berdasarkan Pendidikan

Tabel 4.4 Penyebaran berdasarkan pendidikan pasien hemodialisa

Pendidikan Frekuensi % SD

SLTP SLTA

D3 S1 S2 S3

7 9 23 5 4 1 1

14 18 46 10 8 2 2

Total 50 100

Page 26: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Subyek pasien hemodialisa yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari tingkat

pendidikan SD sampai S3. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA (46%) diikuti oleh

SLTP (18%), SD (14%), D3 (10%), S1 (8%) serta S2 dan S3 (masing-masing 2%).

IV.A.1.(v). Penyebaran Berdasarkan Pekerjaan dan Cara Pembayaran Perawatan

Tabel 4.5 Krostabulasi pekerjaan dan cara pembayaran perawatan pasien hemodialisa

Pembiayaan Total % Dibiayai Biaya Sendiri

Pekerjaan

Karyawan Guru

Wiraswasta Pensiunan

Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga

Tenaga Medis

13 3 1 6 6 8 1

0 1 7 0 0 6 1

13 4 8 6 3 14 2

26 8 16 12 6 28 4

Total 35 15 50 100

Pasien hemodialisa yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini adalah

adalah mereka yang berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga (28%), kemudian diikuti oleh

Karyawan (26%), Wiraswasta (16%), Pensiunan (12%), Guru (8%), Pegawai Negeri (6%)

serta Tenaga Medis (4%).

Pengambilan subyek pria dan wanita dalam jumlah yang berimbang merupakan salah

satu faktor tingginya frekuensi profesi Ibu Rumah Tangga (sebanyak 28%). Hal ini dapat

dilihat dari lebih setengah pasien hemodialisa wanita yang menjadi subyek dalam penelitian

menuliskan Ibu Rumah Tangga sebagai profesi mereka (14 subyek atau sebanyak 56%).

Seluruh subyek yang berprofesi sebagai Karyawan, Pegawai Negeri dan Pensiunan

menyatakan bahwa perawatan mereka dibiayai oleh pihak lain, dalam hal ini asuransi baik dari

perusahaan maupun dari instansi dimana subyek tersebut bekerja. Sementara itu 87,5% subyek

yang berwiraswasta menyatakan bahwa mereka membiayai sendiri perawatannya.

IV.A.2. Subyek Sumber Dukungan Sosial

IV.A.2.(i). Penyebaran Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Tabel 4.6 Krostabulasi usia dan jenis kelamin sumber dukungan sosial

Usia (dalam tahun) 15 -

19 20 - 24

25 - 29

30 - 34

35 - 39

40 - 44

45 - 49

50 - 54

55 - 59

60 - 64

Total

Pria 0 3 0 2 4 0 1 4 2 1 17 Wanita 2 5 9 1 2 3 5 1 5 0 33 Total 2 8 9 3 6 3 6 5 7 1 50

% 4 16 18 6 12 6 12 10 14 2 100

Rentang usia subyek sumber dukungan sosial berkisar antara 15 sampai 64 tahun

dengan penyebaran yang cukup berimbang. Jumlah subyek terbanyak berada dalam kelompok

Page 27: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

rentang usia 25-29 tahun (18%) diikuti oleh kelompok rentang usia 20-24 tahun (16%), 55-59

tahun (14%), 35-39 tahun dan 45-49 tahun (masing-masing 12%), 50-54 tahun (10%), 30-34

tahun dan 40-44 tahun (masing-masing 6%), 15-9 tahun (4%) serta 60-64 tahun (2%). Mean

usia subyek sumber dukungan sosial adalah 38 tahun sedangkan mediannya adalah 36 tahun.

IV.A.2.(ii). Penyebaran Berdasarkan Pendidikan Tabel 4.7 Penyebaran berdasarkan pendidikan sumber dukungan sosial

Pendidikan Frekuensi PersentaseSLTP SLTA

D3 S1 S2

6 20 15 7 2

12 40 30 14 4

Total 50 100

Subyek sumber dukungan sosial yang berpartisipasi dalam penelitian ini berasal dari tingkat pendidikan SLTP sampai S2. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SLTA (40%) diikuti oleh D3 (30%), S1 (14%), SLTP (12%) serta S2 (4%). IV.A.2.(iii). Penyebaran Berdasarkan Pekerjaan Tabel 4.8 Penyebaran berdasarkan pekerjaan sumber dukungan sosial

Pekerjaan Frekuensi PersentaseKaryawan

Wiraswasta Pensiunan

Pegawai Negeri Ibu Rumah Tangga

Tenaga Medis Pelajar/Mahasiswa

20 6 2 10 7 2 3

40 12 4 20 14 4 6

Total 50 100

Sumber dukungan sosial yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini adalah adalah yang berprofesi sebagai Karyawan (40%), kemudian diikuti oleh Pegawai Negeri (20%), Ibu Rumah Tangga (14%), Wiraswasta (12%), Pelajar/Mahasiswa (6%), serta Pensiunan dan Tenaga Medis (4%). IV.A.2.(iv). Penyebaran Berdasarkan Hubungan dengan Pasien Hemodialisa Tabel 4.9 Penyebaran berdasarkan hubungan sumber dukungan sosial dengan pasien hemodialisa

Hubungan dengan pasien hemodialisa Frekuensi Persentase Tenaga Medis

Suami Istri

Orang Tua Anak

Saudara Teman

18 6 12 3 6 1 4

36 12 24 6 12 2 8

Total 50 100

Tenaga medis merupakan sumber dukungan sosial yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini (36%), diikuti oleh Istri (24%), Suami dan Anak (masing-masing 12%),

Page 28: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Teman (8%), Orang Tua (6%) serta Saudara (2%). Besarnya jumlah tenaga medis merupakan hal yang dikontrol oleh peneliti. Tenaga medis merupakan sumber dukungan sosial yang penting bagi pasien karena merekalah yang mengawasi dan membantu pasien ketika melakukan hemodialisa. Keluarga dan teman membantu tenaga medis mengawasi dan membantu pasien ketika mereka sedang tidak melakukan hemodialisa.

IV.B. Dukungan Sosial Pada Penderita Gagal Ginjal Terminal Yang Melakukan Terapi

Hemodialisa

IV.B.1. Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari

sudut pandang pasien dan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa.

Tabel 4.10 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut

pandang pasien dan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa secara total

dan pada setiap jenis dukungan sosial Mean Butuh Terima t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,06 3,57 7,786 49 0,000 Ho ditolak Instrumental Informasional Emosional Harga Diri dari Kelompok Sosial

4,18 4,18 4,02 4,03 3,54

3,49 3,48 3,58 3,89 3,02

7,308 4,112 4,669 1,4673,425

49 49 49 4949

0,000 0,000 0,000 0,149 0,001

Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak

Ho diterima Ho ditolak

Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang dibutuhkan

pasien hemodialisa adalah 4,06 sementara mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien

hemodialisa adalah 3,57. Dari hasil pengujian nilai t secara statistik didapat nilai sebesar 7,786

(sig. 2 tailed = 0,000). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho

yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang

dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang diterima

oleh pasien hemodialisa.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih

lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.10 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi

pada jenis dukungan instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional dan

dukungan dari kelompok sosial dimana mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi

dari mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan harga diri didapat nilai t = 1,467 dengan nilai

signifikansi 2 tailed sebesar 0,149. Ini berarti taraf signifikansi tersebut lebih besar dari l.o.s

Page 29: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima, atau dengan kata lain tidak ada perbedaan antara

dukungan harga diri yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan harga diri yang

diterima oleh pasien hemodialisa.

IV.B.2. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa dan

Dukungan Sosial yang Diberikan oleh Sumber Dukungan Sosial Dilihat Dari

Sudut Pandang Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.11 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan

sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang

sumber dukungan sosial secara total dan pada setiap jenis dukungan sosial. Mean Butuh Beri t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,27 3,82 5,500 49 0,000 Ho ditolak Instrumental Informasional Emosional Harga Diri dari Kelompok Sosial

4,25 4,41 4,26 4,29 4,08

3,30 4,26 3,86 4,24 3,50

6,545 1,878 4,557 0,598 3,427

49 49 49 49 49

0,000 0,066 0,000 0,552 0,001

Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak

Ho diterima Ho ditolak

Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang menurut

sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien hemodialisa adalah 4,27 sementara mean

dukungan sosial yang berikan sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa adalah 3,82.

Nilai t yang didapat adalah sebesar 5,500 (sig. 2 tailed = 0,000). Taraf signifikansi tersebut

lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada

perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dan dukungan sosial

yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa. Mean kebutuhan

akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang diberi oleh sumber

dukungan sosial.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih

lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi

pada jenis dukungan instrumental, dukungan emosional dan dukungan dari kelompok sosial

dimana mean kebutuhan akan dukungan sosial lebih tinggi dari mean dukungan sosial yang

diterima oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan informasional dan harga diri didapat taraf

signifikansi yang lebih besar dari l.o.s 0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima. Dengan kata

lain tidak ada perbedaan antara dukungan informasional yang dibutuhkan pasien hemodialisa

Page 30: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

dan dukungan informasional yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien

hemodialisa serta tidak ada perbedaan antara dukungan harga diri yang dibutuhkan pasien

hemodialisa dan dukungan harga diri yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada

pasien hemodialisa.

IV.B.3. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa Dilihat

Dari Sudut Pandang Pasien Hemodialisa dan Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.12 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut

pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial secara total dan pada

setiap jenis dukungan sosial. Mean Pasien SDS t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 4,06 4,27 -3,299 98 0,001 Ho ditolak Instrumental Informasional Emosional Harga Diri dari Kelompok Sosial

4,18 4,18 4,02 4,03 3,54

4,25 4,41 4,26 4,29 4,08

-0,876 -1,866 -2,661 -2,426 -3,3239

98 98 98 98 95

0,383 0,065 0,009 0,017 0,002

Ho diterima Ho diterima Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak

Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang menurut

pasien hemodialisa dibutuhkan oleh pasien hemodialisa adalah 4,06 sementara mean

dukungan sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan oleh pasien hemodialisa

adalah 4,27. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar -3,299 (sig. 2 tailed = 0,001). Taraf

signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat

dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa

dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial. Mean dukungan

sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien hemodialisa lebih besar dari

mean dukungan sosial yang menurut pasien hemodialisa dibutuhkan oleh pasien hemodialisa.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih

lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi

pada jenis dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan dari kelompok sosial

dimana mean dukungan sosial yang menurut sumber dukungan sosial dibutuhkan pasien

hemodialisa lebih besar dari mean dukungan sosial yang menurut pasien hemodialisa

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa.

Akan tetapi pada jenis dukungan instrumental dan dukungan informasional didapat

taraf signifikansi yang lebih besar dari l.o.s 0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima. Dengan

Page 31: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

kata lain tidak ada perbedaan antara dukungan instrumental yang dibutuhkan oleh pasien

hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial.serta

tidak ada perbedaan antara dukungan informasional yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa

dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial.

IV.B.4 Perbedaan Dukungan Sosial yang Diterima Pasien Hemodialisa Dilihat dari

Sudut Pandang Pasien Hemodialisa dan Dukungan Sosial yang Diberikan

Sumber Dukungan Sosial Dilihat dari Sudut Pandang Sumber Dukungan Sosial

Tabel 4.13 Perbedaan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa dilihat dari sudut

pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan sumber

dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial secara total

dan pada setiap jenis dukungan sosial

Mean Pasien SDS t df Sig. (2 tailed) Keterangan

Dukungan Sosial Total 3,57 3,82 -2,473 98 0,015 Ho ditolak Instrumental Informasional Emosional Harga Diri dari Kelompok Sosial

3,49 3,48 3,58 3,89 3,02

3,30 4,26 3,86 4,24 3,50

1,058 -6,135 -2,267 -3,221 -2,230

80 73 98 98 98

0,293 0,000 0,026 0,002 0,028

Ho diterimaHo ditolak Ho ditolak Ho ditolak Ho ditolak

Dari tabel 4.13 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang diterima

oleh pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa adalah 3,57 sementara

mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang

sumber dukungan sosial adalah 3,82. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar -2,473 (sig.

2 tailed = 0,015). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang

diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara dukungan sosial yang diterima oleh

pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang

diberikan oleh sumber dukungan sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial.

Mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial lebih besar dari mean

dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Untuk mengetahui dalam jenis apa saja terjadi perbedaan, maka dilakukan analisa lebih

lanjut pada setiap jenis dukungan sosial. Dari tabel 4.13 dapat dilihat bahwa perbedaan terjadi

pada jenis dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri dan dukungan

dari kelompok sosial dimana mean dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan

sosial lebih besar dari mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa.

Page 32: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Akan tetapi pada jenis dukungan instrumental didapat taraf signifikansi yang lebih

besar dari l.o.s 0,05 sehingga Ho yang diajukan diterima. Dengan kata lain tidak ada

perbedaan antara dukungan instrumental yang diterima oleh pasien hemodialisa dilihat dari

sudut pandang pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan

sosial dilihat dari sudut pandang sumber dukungan sosial.

IV.C. Analisa Tambahan IV.C.1. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa Pria dan

Wanita Tabel 4.14 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa pria dan wanita.

Mean Pria Wanita t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

4,13 3,98 1,633 48 0,109 Ho diterima

Dari tabel 4.14 dapat dilihat bahwa mean dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien

hemodialisa pria adalah 4,13 sementara mean dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien

hemodialisa wanita adalah 3,98. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar 1,633 (sig. 2

tailed = 0,109). Taraf signifikansi tersebut lebih besar dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang

diajukan diterima. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara antara dukungan sosial yang

dibutuhkan pasien hemodialisa pria dan pasien hemodialisa wanita.

IV.C.2. Perbedaan Dukungan Sosial yang Diterima Pasien Hemodialisa Pria dan Wanita. Tabel 4.15 Perbedaan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa pria dan wanita.

Mean Pria Wanita t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

3,59 3,55 0,318 36 0,753 Ho diterima

Dari tabel 4.15 dapat dilihat bahwa mean dukungan sosial yang diterima oleh pasien

hemodialisa pria adalah 3,59 sementara mean dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien

hemodialisa wanita adalah 3,55. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar 0,318 (sig. 2

tailed = 0,753). Taraf signifikansi tersebut lebih besar dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang

diajukan diterima. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara antara dukungan sosial yang

diterima pasien hemodialisa pria dan pasien hemodialisa wanita.

IV.C.3. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa yang

Dibiayai dan yang Membiayai Sendiri Perawatannya. Tabel 4.16 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa yang dibiayai dan

yang membiayai sendiri perawatannya. Mean

Dibiayai Biaya Sendiri t df Sig. (2 tailed) Keterangan

4,07 4,02 0,456 48 0,650 Ho diterima

Dari tabel 4.16 dapat dilihat bahwa mean dukungan sosial yang dibutuhkan pasien

hemodialisa yang dibiayai adalah 4,07 sementara mean dukungan sosial yang dibutuhkan

Page 33: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

pasien hemodialisa yang membiayai sendiri perawatannya adalah 4,02. Nilai t yang didapat

dari pengukuran sebesar 0,456 (sig. 2 tailed = 0,650). Taraf signifikansi tersebut lebih besar

dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan diterima. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan

antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa yang dibiayai dan yang

membiayai sendiri perawatannya.

IV.C.4. Perbedaan Dukungan Sosial yang Diterima Pasien Hemodialisa yang Dibiayai

dan yang Membiayai Sendiri Perawatannya. Tabel 4.17 Perbedaan dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa yang dibiayai dan

yang membiayai sendiri perawatannya. Mean

Dibiayai Biaya Sendiri t df Sig. (2 tailed) Keterangan

3,58 3,54 0,300 48 0,765 Ho diterima

Dari tabel 4.17 dapat dilihat bahwa mean dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa

yang dibiayai adalah 3,58 sementara mean dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa yang

membiayai sendiri perawatannya adalah 3,54. Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar 0,300

(sig. 2 tailed = 0,765). Taraf signifikansi tersebut lebih besar dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang

diajukan diterima. Dapat dikatakan tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang diterima pasien

hemodialisa yang dibiayai dan yang membiayai sendiri perawatannya. IV.C.5. Perbedaan Dukungan Sosial yang Dibutuhkan Pasien Hemodialisa Dilihat

dari Sudut Pandang Tenaga Medis dan Keluarga. Tabel 4.18 Perbedaan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut

pandang tenaga medis dan keluarga.

Mean Tenaga Medis Keluarga t df Sig.

(2 tailed) Keterangan

4,32 4,25 0,784 48 0,437 Ho diterima

Dari tabel 4.18 dapat dilihat bahwa mean dukungan sosial yang dibutuhkan pasien

hemodialisa dilihat dari sudut pandang tenaga medis adalah 4,32 sementara mean dukungan

sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang keluarga adalah 4,25.

Nilai t yang didapat dari pengukuran sebesar 0,784 (sig. 2 tailed = 0,437). Taraf signifikansi

tersebut lebih besar dari l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan diterima. Dapat dikatakan

tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari

sudut pandang tenaga medis dan keluarga. IV.C.6. Perbedaan Dukungan Sosial yang Diberikan pada Pasien Hemodialisa oleh

Tenaga Medis dan Keluarga. Tabel 4.19 Perbedaan dukungan sosial yang diberikan pada pasien hemodialisa oleh tenaga

medis dan keluarga. Mean

Tenaga Medis Keluarga t df Sig. (2 tailed) Keterangan

3,21 4,16 -9,694 48 0,000 Ho ditolak

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Page 34: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Dari tabel 4.19 dapat dilihat bahwa secara total mean dukungan sosial yang diberikan

kepada pasien hemodialisa oleh tenaga medis adalah 3,21 sementara mean dukungan sosial

yang diberikan kepada pasien hemodialisa oleh keluarga adalah 4,16. Nilai t yang didapat dari

pengukuran sebesar -9,694 (sig. 2 tailed = 0,000). Taraf signifikansi tersebut lebih kecil dari

l.o.s 0,05 yang berarti Ho yang diajukan ditolak. Dapat dikatakan ada perbedaan antara

dukungan sosial yang diberikan pada pasien hemodialisa oleh tenaga medis dan keluarga.

Mean dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga lebih tinggi dari mean dukungan sosial

yang diberikan oleh tenaga medis.

V. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

V.A. Kesimpulan

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa penelitian ini bertujuan melihat bagaimana

dukungan sosial pada penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisa. Seperti

yang dikemukakan oleh Sarafino (1998), bentuk dukungan yang berlebihan dan tidak tepat

akan menimbulkan stres pada individu dan terakumulasi kedalam stres yang sedang dialami

individu sehingga akan memperburuk keadaan kesehatannya.

Dalam bagian ini, permasalahan akan dijawab lewat penjabaran hasil penelitian tentang

dukungan sosial, baik secara total maupun dalam setiap jenisnya, serta ditambah dengan

penjelasan yang didapat dari analisa setiap item untuk memperkaya informasi yang didapat.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa secara umum dukungan sosial yang

dibutuhkan pasien hemodialisa berbeda dengan dukungan sosial yang diterima oleh pasien

hemodialisa, dimana dukungan yang diterima oleh pasien hemodialisa lebih kecil daripada

yang dukungan yang mereka butuhkan. Perbedaan ini terjadi dalam dukungan instrumental,

dukungan informasional, dukungan emosional dan dukungan dari kelompok sosial, lebih

khusus lagi dalam hal keringanan biaya, bantuan obat-obatan, informasi umum tentang

penyakin gagal ginjal terminal, informasi tentang perawatan hemodialisa, hiburan, dikunjungi

oleh orang lain, bercerita tentang rasa sakit dan sedih dan partisipasi dalam kegiatan sosial.

Akan tetapi, dalam dukungan harga diri, kebutuhan pasien akan penghargaan positif,

pemberian semangat, persetujuan pada pendapat serta perbandingan yang positif dengan

individu lain yang dapat membantu individu tersebut membangun harga diri dan kompetensi

ternyata dapat dipenuhi oleh sumber dukungan sosialnya lewat nasihat dan kegiatan

mengobrol ketika sedang melakukan hemodialisa. Jadi, dengan kata lain pasien tidak

mendapatkan dukungan sosial yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Dari sudut pandang sumber dukungan sosial, dukungan sosial yang mereka pikir

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa ternyata berbeda dengan dukungan sosial yang mereka

berikan kepada pasien hemodialisa. Perbedaan terjadi dalam jenis dukungan instrumental,

dukungan emosional, dan dukungan dari kelompok sosial. Dalam setiap jenisnya, dukungan

yang mereka berikan kepada pasien hemodialisa lebih kecil daripada yang mereka pikir

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa, baik itu berupa keringanan biaya, bantuan obat-obatan,

transportasi ketika akan dan selesai hemodialisa, dikunjungi oleh orang lain, bantuan ketika

Page 35: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

sedang melakukan hemodialisa dan partisipasi dalam kegiatan sosial. Akan tetapi dalam

dukungan informasional dan harga diri, sumber dukungan sosial memberikan dukungan sesuai

dengan yang mereka pikir dibutuhkan oleh pasien hemodialisa. Dukungan ini meliputi

informasi umum tentang penyakit gagal ginjal terminal, nasihat, pemberian semangat serta

kegiatan mengobrol ketika sedang melakukan hemodialisa. Dari penjabaran diatas, dapat

dilihat bahwa sumber dukungan sosial memiliki keterbatasan dalam memberikan dukungan

sosial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien hemodialisa. Apabila dibandingkan antara kebutuhan yang dirasakan oleh pasien hemodialisa dan

yang sumber dukungan sosial kira dibutuhkan oleh pasien hemodialisa, maka akan didapat perbedaan yang signifikan dimana dukungan yang oleh sumber dukungan sosial kira dibutuhkan oleh pasien hemodialisa lebih besar daripada kebutuhan yang dirasakan oleh pasien hemodialisa itu sendiri. Perbedaan terjadi dalam jenis dukungan emosional, dukungan harga diri, dan dukungan dari kelompok sosial. Secara khusus perbedaan ini terjadi dalam kebutuhan akan ditemani ketika sedang melakukan hemodialisa, nasihat, mengobrol selama melakukan hemodialisa serta partisipasi dalam kegiatan sosial. Akan tetapi dalam dukungan instrumental dan informasional, sumber dukungan sosial dan pasien hemodialisa memiliki pandangan yang sama terutama yang berkaitan dengan keringanan biaya, bantuan obat-obatan, transportasi ketika akan dan selesai hemodialisa, informasi umum tentang penyakit gagal ginjal terminal serta informasi tentang perawatan hemodialisa. Hal ini menunjukkan adanya persepsi yang berlebihan pada sumber dukungan sosial tentang kebutuhan pasien hemodialisa.

Perbandingan antara dukungan sosial yang diterima oleh pasien hemodialisa dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kira menunjukkan perbedaan yang signifikan, dimana dukungan yang diterima oleh pasien hemodialisa lebih kecil daripada dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial Perbedaan terjadi dalam jenis dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan harga diri, dan dukungan dari kelompok sosial. Secara khusus perbedaan ini terjadi dalam hal informasi umum tentang penyakit gagal ginjal terminal, informasi tentang perawatan hemodialisa, hiburan, bercerita tentang rasa sakit dan sedih, nasihat, pemberian semangat, mengobrol ketika sedang melakukan hemodialisa serta partisipasi dalam kegiatan sosial.. Akan tetapi dalam dukungan instrumental, dukungan yang diterima oleh pasien hemodialisa sama dengan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial terutama yang berkaitan dengan keringanan biaya dan transportasi ketika akan dan selesai hemodialisa. Jadi, dengan kata lain dukungan yang diberikan sumber dukungan sosial kepada pasien tidak sesuai sehingga pasien tidak merasa mendapatkan dukungan yang dibutuhkannya.

Dari analisa tambahan didapat beberapa hasil, antara lain: • Tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa pria dan

pasien hemodialisa wanita. • Tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa pria dan

pasien hemodialisa wanita. • Tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa yang

dibiayai dan pasien hemodialisa yang membiayai sendiri perawatannya.

Page 36: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

• Tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang diterima pasien hemodialisa yang dibiayai dan pasien hemodialisa yang membiayai sendiri perawatannya.

• Tidak ada perbedaan antara dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang tenaga medis dan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien hemodialisa dilihat dari sudut pandang keluarga dan kerabat.

• Ada perbedaan antara dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial yang berasal dari tenaga medis dan dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial yang berasal dari keluarga dan kerabat

Kesimpulan umum yang dapat ditarik dari hasil diatas, yang akan menjawab

permasalahan utama, adalah terjadinya perbedaan persepsi antara pasien hemodialisa dan

sumber dukungan sosialnya dalam menghadapi keadaan sakit si pasien. Perbedaan persepsi ini

mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat tentang dukungan apa saja yang dibutuhkan

oleh pasien hemodialisa yang berakibat terjadinya ketidaksesuaian dalam pemberian dukungan

sosial. Dukungan sosial yang tidak sesuai secara langsung dan tidak langsung dapat

mengakibatkan pasien mengalami stres tambahan yang terakumulasi kedalam stres yang telah

dialaminya. Semakin meningkat beban stres, maka akan semakin sulit meningkatkan kondisi

sehat pasien yang berakibat semakin sulit memperbaiki kualitas hidup pasien.

V.B. Diskusi

Dari kesimpulan diatas, dapat dilihat bahwa secara umum persepsi pasien hemodialisa

dan sumber dukungan sosial berbeda dalam menyikapi tentang dukungan sosial yang

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa. Sumber dukungan sosial memberikan penilaian yang

lebih besar tentang dukungan sosial yang dibutuhkan oleh pasien hemodialisa dibandingkan

penilaian yang diberikan oleh pasien hemodialisa itu sendiri. Akan tetapi hal ini tidak berarti

sumber dukungan sosial akan memberikan dukungan sosial yang lebih besar pula. Dukungan

sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial ternyata lebih sedikit dibandingkan dengan

apa yang mereka rasa dibutuhkan oleh pasien hemodialisa.

Keadaan ini menimbulkan masalah lebih lanjut dimana pasien hemodialisa merasa

dukungan sosial yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka akan

dukungan sosial. Hal yang menarik adalah sumber dukungan sosial ternyata merasa

memberikan dukungan sosial lebih besar daripada yang menurut pasien hemodialisa mereka

terima. Hal ini dapat saja terjadi apabila dukungan yang diberikan tersebut ternyata tidak

dianggap sebagai sesuatu yang membantu, atau dukungan tersebut tidak sesuai dengan apa

yang dibutuhkan pasien hemodialisa.

Besarnya penilaian sumber dukungan sosial akan dukungan sosial yang dibutuhkan

oleh pasien hemodialisa juga dapat mengakibatkan sumber dukungan sosial terlalu menjaga

atau tidak mendukung pasien hemodialisa dalam melakukan hal-hal yang diinginkannya.

Dalam Sarafino (1998) kedua hal tersebut dianggap merupakan efek negatif dari dukungan

sosial yang akan menimbulkan stres baru yang akan terakumulasi dalam stres yang telah

dialami pasien hemodialisa sebelumnya akibat penyakit yang dideritanya.

Page 37: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Dari analisis pada setiap jenis dukungan sosial didapat beberapa hal yang menarik.

Pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosialnya memiliki pendapat yang sama tentang

dukungan instrumental dan dukungan informasional yang dibutuhkan pasien hemodialisa.

Dalam hal dukungan instrumental, pasien hemodialisa merasa mendapat dukungan sebesar

yang diberikan oleh sumber dukungan sosial, walaupun tidak mencukupi kebutuhan mereka.

Akan tetapi, dalam hal dukungan informasional, pasien tidak merasa menerima dukungan

sebesar yang diberikan oleh sumber dukungan sosial, walaupun sumber dukungan sosial

merasa mereka telah memberikan dukungan informasional sesuai dengan yang dibutuhkan

pasien. Hal ini menandakan adanya kemungkinan pasien hemodialisa tidak merasa terbantu

dengan dukungan yang diberikan karena tidak sesuai dengan yang mereka butuhkan.

Hal menarik lain yang dapat ditemui adalah walaupun dukungan harga diri yang

dibutuhkan oleh pasien hemodialisa menurut pasien hemodialisa dan menurut sumber

dukungan sosial berbeda, akan tetapi pasien hemodialisa merasa dukungan harga diri yang

mereka butuhkan terpenuhi, demikian pula dengan sumber dukungan sosial yang merasa

memberikan dukungan harga diri sesuai dengan yang dibutuhkan pasien. Ini menandakan

dukungan sosial yang diberikan oleh sumber dukungan sosial kepada pasien hemodialisa

sudah tepat dan dapat membantu pasien dalam memberikan kenyamanan fisik dan psikologis

yang berkaitan dengan membangun harga diri dan kompetensi pasien hemodialisa.

Dari hasil analisa tambahan didapatkan beberapa hal yang menarik. Awalnya peneliti

hanya bermaksud untuk melihat perbedaan dukungan sosial secara total antara pasien hemodialisa

pria dan pasien hemodialisa wanita. Dari analisa tersebut didapatkan bahwa dukungan sosial yang

dibutuhkan dan diterima oleh pasien hemodialisa pria dan pasien hemodialisa wanita tidak

berbeda. Akan tetapi, peneliti tidak puas dengan hasil umum tersebut dan memutuskan untuk

melakukan analisa lanjutan pada setiap jenis dukungan. Hal menarik yang didapatkan adalah

bahwa ternyata perbedaan hanya terjadi dalam hal pasien hemodialisa pria lebih membutuhkan

dukungan informasional dibandingkan dengan pasien hemodialisa wanita. Ini tidak sesuai dengan

pendapat Heller, Price & Hogg dalam Sarafino (1998) yang menyatakan bahwa pria dan wanita

berbeda dalam hal membutuhkan dan memberikan dukungan emosional dan dukungan harga diri

dan tidak menyebutkan tentang dukungan informasional.

Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini adalah dalam Sarafino (1998) dijelaskan bahwa

pria cenderung melakukan strategi yang berfokus pada masalah (problem-focused strategies)

dan wanita cenderung melakukan strategi yang berfokus pada emosi (emotion-focused

strategies) dalam melakukan coping. Untuk mengatasi masalah yang dirasakannya, maka pria

cenderung mencari informasi yang banyak agar ia lebih dapat mengenali dan kemudian

mencari jalan keluar dari masalah. Sementara wanita, berdasarkan pendapat Dweck & Elliot

dalam Sarafino (1998) yang menyatakan bahwa anak perempuan secara tidak langsung

diarahkan untuk mempercayai kontrol eksternal dan memiliki penilaian atas diri (self-efficacy)

yang rendah, lebih tergantung pada tenaga medis sehingga rata-rata penggunaan layanan

kesehatan pada wanita lebih besar daripada pria (USDHHS dalam Sarafino, 1998).

Page 38: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Sehubungan dengan perbedaan kebutuhan akan informasi antara pria dan wanita,

ternyata diantara sumber dukungan sosial yang berasal dari tenaga medis dan sumber

dukungan sosial yang berasal dari keluarga juga terjadi perbedaan. Hal ini terjadi karena

karakteristik pasien pria yang membutuhkan informasi yang banyak dan karakteristik pasien

wanita yang lebih sering berkonsultasi ke tenaga medis sehingga tenaga medis merasa pasien

membutuhkan informasi lebih banyak dibandingkan dengan yang dirasa oleh keluarga.

Temuan lain dari analisa tambahan menunjukkan bahwa kebutuhan instrumental

mereka yang dibiayai dan membiayai sendiri pengobatannya tidak berbeda secara signifikan.

Padahal seharusnya mereka yang dibiayai tidak memiliki beban dalam hal pembiayaan. Hal

lain yang cukup menarik adalah ternyata mereka yang membiayai sendiri pengobatannya

membutuhkan dukungan dari kelompok sosial yang lebih besar dibandingkan mereka yang

dibiayai. Hal ini bisa jadi merupakan manifestasi ketergantungan mereka pada kelompok

sosial dalam hal penyediaan materi yang akan memberikan pertolongan langsung ketika

mereka sewaktu-waktu membutuhkan bantuan. Selain itu mereka yang membayar sendiri

perawatannya memiliki harga diri yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang dibiayai.

Kemampuan membayar sendiri pengobatannya merupakan wujud dari perasaan bahwa dirinya

masih berharga dan berkompetensi dalam melakukan sesuatu.

Secara umum dukungan sosial yang diberikan oleh tenaga medis berbeda dengan

dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, dimana keluarga memberikan dukungan yang

lebih besar. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keluarga memiliki tuntutan untuk mendukung

yang lebih kuat dibandingkan tenaga medis karena hubungan kekerabatannya. Walaupun tenaga

medis merasa bahwa pasien membutuhkan dukungan sosial yang banyak, akan tetapi mereka

memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Keterbatasan ini dapat berupa etika

profesi yang tidak memungkinkan tenaga medis terlibat terlalu jauh dalam urusan pribadi

pasiennya kecuali yang berhubungan dengan penyakitnya. Keterbatasan lain adalah banyaknya

pasien yang harus ditangani sehingga tenaga medis tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan

pasien-pasiennya. Untuk itu, tenaga medis mengandalkan partisipasi aktif dari keluarga.

Dari hasil elisitasi yang dilakukan dalam rangka penyusunan alat terdapat beberapa hal

yang menarik untuk dibahas. Komposisi jenis kebutuhan yang terbanyak adalah dukungan

emosional (5 kebutuhan, 33% dari total item pertanyaan), sementara yang tersedikit adalah

dukungan dari kelompok sosial (1 kebutuhan, 7% dari total item pertanyaan). Hal ini

menunjukkan indikasi bahwa pasien hemodialisa membutuhkan dukungan yang bersifat

emosional lebih besar dari bentuk dukungan lainnya, sementara dukungan dari kelompok

sosial merupakan satu bentuk dukungan yang paling kurang dibutuhkan.

Kurang dibutuhkannya dukungan dari kelompok sosial mungkin terpengaruh dari pola

interaksi masyarakat kota Medan. Medan merupakan kota terbesar ketiga di Indonesia dimana

penduduknya sangat heterogen karena berasal dari berbagai suku bangsa sehingga tidak

terdapat budaya yang dominan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Medan memiliki

gaya hidup tertentu yang merupakan pembauran dari adat istiadat dan kebiasaan semua suku

Page 39: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

bangsa yang ada di Medan (Pelawi, Kartikasari & Maria, 1997). Menurut Bruner (1984) pola

yang terjadi di kota Medan adalah pengkotak-kotakan antara kerabat dan bukan kerabat yang

dilakukan oleh seluruh kelompok yang ada. Pembedaan antara kerabat dan bukan kerabat

mengacu kepada tingkat kepercayaan yang diberikan kepada seseorang, dimana yang bukan

kerabat cenderung tidak dipercaya dan sebaiknya dihindari.

Dari pendapat Bruner tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam masalah yang

bersifat pribadi, orang Medan bergantung kepada kerabatnya dan sangat tidak suka apabila

seseorang yang bukan termasuk ke dalam kelompok kerabat ikut campur. Hal ini yang

menyebabkan orang Medan tidak terlalu membutuhkan dukungan dari kelompok sosial.

Dalam hal ini kelompok sosial dianggap sebagai sekumpulan individu yang belum tentu secara

keseluruhan merupakan kerabat.

Selama proses pengambilan data peneliti mengamati interaksi yang terjadi antara pasien

dan tenaga medis yang bertanggung jawab secara langsung di pusat hemodialisa tersebut,

biasanya perawat. Pasien hemodialisa dan perawatnya umumnya memiliki hubungan yang

sangat dekat, dimana setiap perawat mengetahui tentang kondisi kesehatan, psikologis dan latar

belakang keluarga masing-masing pasien yang ditanganinya. Bahkan beberapa pasien merasa

tidak membutuhkan teman selama menjalani proses hemodialisa karena percaya dan

berhubungan dekat dengan perawatnya sehingga menggantungkan diri pada bantuan perawat

saja. Hal yang menarik adalah pada beberapa pusat hemodialisa para perawat dapat membuat

keputusan sendiri yang berhubungan dengan situasi dan kondisi pasien. Salah satu kasus yang

ditemui selama pengambilan data adalah diperbolehkannya beberapa pasien hemodialisa

mencicil atau menunda pembiayaan karena faktor kemampuan ekonomi pasien yang rendah.

V.C. Saran

1. Untuk mendapatkan daftar kebutuhan yang lebih banyak dan lebih menggambarkan, maka responden perlu diperbanyak serta dilakukan wawancara mendalam.

2. Uji coba alat ukur sebaiknya melibatkan subyek dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih bervariasi agar validitas dan reliabilitas item-item lebih dapat dipertanggung-jawabkan sehingga hasil akhir dapat memberikan gambaran yang terjadi dalam populasi.

3. Perlunya komunikasi yang lebih mendalam antara pasien hemodialisa dan sumber dukungan sosial agar tidak terjadi perbedaan pada persepsi kedua belah pihak akan kebutuhan pasien hemodialisa yang menyangkut dukungan sosial yang mereka butuhkan sehingga dukungan yang diberikan juga akan tepat dan sesuai.

4. Perlunya komunikasi yang lebih mendalam antara tenaga medis dan keluarga dalam hal pembagian tugas yang akan membantu dalam memenuhi kebutuhan pasien hemodialisa.

5. Ada baiknya penelitian dilakukan tidak hanya di satu kota, akan tetapi di beberapa kota besar lain sehingga hasil yang didapatkan lebih menggambarkan kondisi pasien hemodialisa dalam konteks yang lebih luas. Hal tersebut memungkinkan untuk melakukan perbandingan antar kota sehingga didapat hasil yang lebih kaya yang berhubungan dengan keberagaman masyarakat Indonesia.

Page 40: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

6. Untuk penelitian lebih lanjut dapat dilihat perbedaan dukungan sosial pada pasien hemodialisa berdasarkan jenis kelamin, pembiayaan serta suku bangsanya. Hal ini menunjang pengembangan indogeneus psychology untuk pengembangan ilmu psikologi yang lebih mengacu pada kondisi Indonesia.

7. Interaksi pasien-tenaga medis merupakan topik penelitian yang sangat menarik yang dapat membantu, tidak hanya pasien akan tetapi juga tenaga medis, untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.

Page 41: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

DAFTAR PUSTAKA Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological Testing (7th ed.). New Jersey : Prentice-Hall

International, Inc. Andersen, M.P. (1988). Stress Management for Chronic Disease : An Overview. Dalam

Russel, M.L. (Ed.), Stress Management for Chronic Disease (hlm 3-13). New York : Pergamon Press.

Atwater, E. (1983). Psychology of Adjustment (2nd ed.). New Jersey : Prentice-Hall,

International, Inc. Baron, R.A. & Byrne, D. (1994). Social Psychology : Understanding Human Interaction (7th

ed.). Boston : Allyn and Bacon. Blair, J. Stress (1988). Coping and Health Outcomes. Dalam Russel, M.L. (Ed.), Stress

Management for Chronic Disease (hlm 14-29). New York : Pergamon Press. Brenner, B.M. (1979). Structure and Function of the Kidney. Dalam P.B. Beeson, W.

McDermott & J.B. Wyngaarden (Eds.), Cecil’s Textbook of Medicine : Asian Edition (15th ed.) (hlm 1316-1324) Tokyo : W.B. Saunders Company & Igaku Shooin Ltd.

Brunner, E. (1984). Kerabat dan Bukan Kerabat. Dalam T.O. Ihromi (Ed.), Pokok-Pokok

Antropologi Budaya (hlm 159-178) Jakarta : PT Gramedia Carpenter, C.B. & Lazarus, J.M. (1984). Dyalisis and Transplantation in the Treatment of

Renal Failure. Dalam R.G. Petersdorf, R.D. Adams, E. Braunwald, K.J. Isselbacher, J.B. Martin & J.D. Wilson (Eds.), Harrison’s Principles of Internal Medicine : Asian Edition (10th ed.). Singapore : McGraw-Hill International Book Company.

Daugirdas, J.T., Blake, P.G. & Ing, T.S. (2001). Handbook of Dialysis (3rd ed.). Philadelphia :

Lippincott Williams & Wilkins Guilford, J.P & Fruchter, B. (1991). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th

ed.). Singapore : McGraw-Hill International Book Co. Hurlock, E.B. (1980) Developmental Psychology : A Life-Span Approach (5th ed.) Boston :

McGraw Hill Inc. Kartono, S.D., Darmarini, F. & Roza R.(1992). Penyusunan Diet pada Penderita Gagal Ginjal

Kronik dengan Dialisis. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 60-66). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Kresnawan, R. & Sukardjini, K. (1992). Penyusunan Diet pada Penderita Gagal Ginjal Kronik

dengan Terapi Konservatif. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 50-59). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Lahey, B.B. & Ciminero, A.R. (1980). Maladaptive Behaviour : An Introduction to Abnormal

Psychology, Illinois : Scott, Foresman and Company. Lieberman, M.A. (1992). The Effects of Social Support on Responses to Stress. Dalam

Bretnitz, S. & Goldberger, L. (Eds), Handbook of Stress : Theoretical and Clinical Aspects. London : Collier Macmillan Publisher.

Page 42: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Lubis, H.R. (1987). Pemeriksaan Penyakit Ginjal dan Saluran Kemih serta Pemeriksaan

Penderita Hipertensi. Dalam H.H. Nasution, S. Kasiman & H.R. Lubis (Eds.), Diagnosa Fisik (3rd ed.). Medan : Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam FK USU.

Lubis, H.R. (1991). Pengenalan dan Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik. Dalam H.R. Lubis

& M.Y. Nasution (Eds.), Simposium Pengenalan dan Penanggulangan Gagal Ginjal Kronik (hal 75-85). Medan : Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam FK USU/RSPM dan PERNEFRI.

Michael, J. (1986, August). Chronic Renal Failure : End-Stage Management, Medicine

International, vol 2, hal 1317-1320. Mönks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R. (2001) Psikologi Perkembangan : Pengantar

Dalam Berbagai Bagiannya (13rd ed.) Jogja : Gadjah Mada University Press. Murphy, K.R., Kevin, R. & O’Davidshofer, C. (1994). Psychological Testing : Principles &

Application (3rd ed.) New Jersey: Prentice Hall International Pub Nunnaly, J. C. & Bernstein, I.H. (1994) Psychometric Theory (3rd ed.). New York: McGraw-

Hill, Inc. Pearce, E.C. (1995). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama. Peterson, J.C. (1995). Chronic Renal Failure. Dalam C.C. Tisher & C.S. Wilcox (Eds.),

Nephrology : House Officer Series (3rd ed.) Maryland : Williams and Wilkins. Rahardjo, J.P. (1992). Nutrisi pada Gagal Ginjal Kronik yang Didialisis. Dalam R.P.Sidabutar

& Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 44-49). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Rahardjo, J.P. (1996). Strategi Terapi Gagal Ginjal Kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S.

Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga Rampai Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Robinson, R.R. (1979). Primary Renal Syndrome. Dalam P.B. Beeson, W. McDermott & J.B.

Wyngaarden (Eds.), Cecil’s Textbook of Medicine : Asian Edition (15th ed.) (hal 1331-1349). Tokyo : W.B. Saunders Company & Igaku Shooin Ltd.

Roesma, J. (1992). Peranan Gizi pada Penanggulangan Konservatif Gagal Ginjal Kronik.

Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 1-20). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Rutter, D.R., Chesham, D.J. & Quine, L. (1993). Social Psychological Approaches to Health.

New York : Harvester Wheatsheaf. Sarafino, E.P. (1998). Health Psychology : Biopsychosocial Interactions (3rd ed.). New York :

John Wiley & Sons, Inc. Sidabutar, R.P. (1992). Gagal Ginjal Kronik. Dalam R.P.Sidabutar & Suhardjono (Eds.), Gizi

pada Gagal Ginjal Kronik : Beberapa Aspek Penatalaksanaan (hal 1-20). Jakarta : Perhimpunan Nefrologi Indonesia.

Mantra, I.B. & Kasto. (1989). Penentuan Sampel. Dalam Singarimbun, M. & Effendi, S.

(Eds.). Metode Penelitian Survey (hal 149 – 74). Jakarta : LP3ES.

Page 43: Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan

Arliza Juairiani Lubis : Dukungan Sosial Pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Melakukan Terapi Hemodialisa, 2006 USU Repository © 2006

Pelawi, K.S., Kartikasari, T. & Maria, S. (1997). Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan

Perilaku Budaya Tradisional Pada Generasi Muda Kota Medan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sheridan, C.L. & Radmacher, S.A. (1992). Health Psychology : Challenging the Biomedical

Model. New York : John Wiley & Sons Inc. Smet, B. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Taylor, S.E. (1999). Health Psychology (4th ed.). Boston : McGraw Hill Tierney, L.M., Jr, McPhee, S.J., Papdakis, M.A. & Schroeder, S.A. (Eds). (1993). Current

Medical Diagnosis & Treatment : A Lange Medical Book. New Jersey : Prentice-Hall International.

Tszamaloukas, A.H. (1993). Technique, Practise and Complications of Hemodialysis. Dalam

Mandal, A.K. (Eds), Text Book of Nephrology : For the Asian Pacific Physicians (1st ed.). New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publisher PVT. LTD.

Valtin, H. (1979). Renal Dysfunction : Mechanism Involved in Fluid and Solute Imbalance (1st

ed.), USA : Little Brown and Company Inc. Walls, J. (1986, August). Chronic Renal Failure : Conservative Management, Medicine

International, vol 2, hal 1317-1320. Wortman, C., Loftus, E. & Weaver, C. (1999) Psychology : International Edition (5th ed.).

Boston : McGraw Hill College http://www.indokini.com/kesehatan/kes1128.shtml http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1002523069,30972,