Drug eruption edit.docx

31
BAB I PENDAHULUAN Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan oleh dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan, yang dimaksud dengan obat adalah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat secara topical dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat oleh kulit. Erups obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang mengancam jiwa manusia. Semakin lama obat semakin banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang obat atau RSO. Salah satu bentuk reaksi simpang obat adalah reaksi obat alergik (ROA). Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam obat. Obat masuk dalam tubuh secara sistemik berarti melalui mulut hidung, telinga, vagina, suntikan, atau infus. Juga dapat disebabkan obat umur, obat mata, tapal gigi, dan obat topical. Menurut WHO sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong “serius” karena reaksi obat alergik yang timbul tersebut memerlukan perawatan dirumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven- 1

description

refreshing

Transcript of Drug eruption edit.docx

Page 1: Drug eruption edit.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang

diberikan oleh dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk

campuran jamu-jamuan, yang dimaksud dengan obat adalah zat yang dipakai

untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat

secara topical dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat penyerapan obat

oleh kulit.

Erups obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang

mengancam jiwa manusia. Semakin lama obat semakin banyak digunakan oleh

masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang

obat atau RSO.

Salah satu bentuk reaksi simpang obat adalah reaksi obat alergik (ROA).

Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat alergik (EOA). Satu macam

obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis erupsi, sedangkan satu jenis erupsi

dapat disebabkan oleh berbagai macam obat. Obat masuk dalam tubuh secara

sistemik berarti melalui mulut hidung, telinga, vagina, suntikan, atau infus. Juga

dapat disebabkan obat umur, obat mata, tapal gigi, dan obat topical.

Menurut WHO sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul

tergolong “serius” karena reaksi obat alergik yang timbul tersebut memerlukan

perawatan dirumah sakit bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-

Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal toksis (NET) adalah beberapa bentuk

reaksi serius tersebut.

Perlu ditegakkan diagnose yang tepat dari gangguan ini karena erupsi

obat alergik memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain

pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya

reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana yang

cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan

prognosis serta menurukan angka morbiditas.

1

Page 2: Drug eruption edit.docx

BAB II

ERUPSI OBAT ALERGIK

2.1 DEFINISI

erupsi obat alergik atau allergic drug eruption adalah reaksi alergik pada kulit

atau daerah mukomutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya

sistemik.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Di Amerika serikat, erupsi obat terjadi pada sekitar 2-5% dari pasien dan lebih

dari 1% dari pasien rawat jalan. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa

lebih dari 100.000 orang meninggal di Amerika Serikat akibat erupsi obat yang serius.

Tingkat mortalitas untuk eritema multiforme (EM) mayor secara signifikan ditemukan

tinggi. Sindrom Steven Johnson (SJS) memiliki angka kematian kurang dari 5%,

sedangkan tingkat mortalitas untuk Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) mencapai 20-

30 dan sebagian besar pasien meninggal karena sepsis. Beberapa jenis erupsi obat

yang sering timbul adalah

Erupsi makulopapular sebanyak 91,2%

Urtikaria 5,9%

Vaskulitis sebanyak 1,4%

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah

1. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi

jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada yang

mampu menjelaskan mekanisme ini.

2. System imunitas

Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami

penurunan system imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat

sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi

eksantematosa 10-50 kali dibandingkan dengan populasi normal.

3. Usia

Alergi obat dapat terjadi pada semua usia terutama pada anak-anak dan

orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan

2

Page 3: Drug eruption edit.docx

system imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya pada orang dewasa

disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan

antigenic. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset

erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena

reaksi yang berat.

4. Dosis

Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan

timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang

sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin

sering obat digunakan, semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi

alergi pada penderita yang peka.

5. Infeksi dan keganasan

Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat

yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan

human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang

mengalami sindrom hipersensitifitas obat.

2.3 PATOGENESIS

Reaksi kulit terhadap obat dapat timbul melalui mekanisme imunologik atau

non-imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi oabt alergik ialah alergi terhadap obat

yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Reaksi kulit terhadap obat juga dapat

terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat,

overdosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolism.

3

Page 4: Drug eruption edit.docx

A. Reaksi imunologis

Erupsi obat alergik terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah

mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat itu berperan pada

mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan oleh berat

molekulnya yang rendah.

Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih

dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif. Secara umum metabolism

obat dapat dianggap sebagai satu bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi

dari zat yang larut dalam lemak, non polar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang

mudah diekskresi. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan

oleh comb dang ell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini.

4

Page 5: Drug eruption edit.docx

I. Tipe I (reaksi cepat, anafilaktik)

Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat

tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pada pajanan selanjutnya

dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah antibody IgE yang

mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian

obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel

mast dan basofil dengan dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain

histamine, serotonin, bradikinin, heparin, dan SRSA. Mediator- mediator ini

mengakibatkan bermacam-macam efek, antara lain urtikaria, dan yang lebih

berat adalah angioedema. Yang paling berbahaya adalah terjadinya syok

anafilaktik. Penicillin merupakan contoh penyebab utama erupsi obat

hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependent.

II. Tipe II (reaksi sitotoksik)

Reaksi ini disebabkan oleh obat (antigen) yang memerlukan penggabungan

antara IgM dan IgG dipermukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau

sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai oleh komplemen. Gabungan obat

antibody-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah

berbagai macam sel biasanya eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan

lisis sel, sehingga reaksi tipe II tersebut jga reaksi sitolisis dan sitotoksik.

Contohnya adalah penisilin, sefalosporin, streptomisin, sulonamida, dan

isoniazid. Erupsi obat alergik yang berhubungan dengan tipe ini adalah purpura,

bila sel sasarannya trombosit. Obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini

adalah penisilin, sefalosporin, klorpromazin, sulfonamide, analgesic, dan

antipiretik.

III. Tipe III (reaksi kompleks imun)

Reaksi ini ditandai dengan pembentukan kompleks antigen, antibody (IgG dan

IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator

diantaranya enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun akan

beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran. Contohnya

adalah penisilin, eritromisin, sulfonamide, salisilat, dan isoniazid

5

Page 6: Drug eruption edit.docx

IV. Tipe IV (reaksi alergik seluler tipe lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (antigen psenting cell) dan sel Langerhans

yang mempresentasi antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitisasi

mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat, yaitu

terjadi 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan

seangkaian limfokin. Contoh reaksi tipe ini adalah dermatitis kontak alergik.

B. Reaksi non imunologis

Reaksi “pseudo-allergic” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-

dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras

media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang

terlibat, pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari

system komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolism enzim asam

arachidonat sel. Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh

yang dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan

kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara progresif ditimbun

dibawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain

seperti hiperpigmentasi generalisata diffuse.

6

Page 7: Drug eruption edit.docx

2.4 MANIFESTASI KLINIS

Erupsi obat alergik memiliki gambaran klinis yang mirip dengan kelainan kulit

lainnya, yaitu:

Erupsi makulopapular atau morbiliformis

Erupsi makulopapular atau morbiliformis merupakan erupsi obat yang paling

sering dijumpai. Erupsi makulopapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

eksantematosa dapat diinduksi oleh hamper semua obat. Seringkali terdapat

erupsi terdiri atas eritema, macula berkonfluens, dan atau papul yang tersebar

diwajah, telapak tangan, dan kaki. Tetapi tidak terdapat pada membrane

mukosa. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer

tubuh secara simetris. Lesi diikuti pruritus, demam, edema facial/kelopak

mata, malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah

dimulainya terapi dan hilang dalam beberapa minggu setelah obatnya

dihentikan. Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi oleh

obat belum diketahui dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu

mekanisme, yaitu mekanisme reaksi tipe III dan tipe IV. Timbulnya lesi

setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak timbul setelah pemberian obat

dosis pertama menunjukkan bahwa perlunya periode sensitisasi sebelum reaksi

terjadi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, sefalosporin,

NSAID, sulfonamide, dan tetrasiklin.

Gambar: erupsi makulopapular

7

Page 8: Drug eruption edit.docx

Urtikaria dan angioedema

Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua. Urtikaria

menunjukkan reaksi vascular dikulit, yang biasanya ditandai dengan edema

setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan. Urtikaria selain

diperantarai oleh reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian dari mekanisme

reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai oleh IgE dan juga

kompleks imun. Kadang-kadang urtikaria dapat disertai angioedema. Pada

angioedema yang berbahaya adalah terjadi asfiksia, bila menyerang glottis.

Keluhan umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat disertai

demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malaise, nyeri kepala, dan vertigo.

Angioedema biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka

waktu 1-2 jam. kadang dapat bertahan selama 2-5 hari, terjadi didaerah bibir,

kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus angioedema

pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan segera. Penyebab tersering

adalah penisilin, asam asetilsalisilat dan NSAID.

Gambar: urtikaria

Fixed drug eruption (FDE)

8

Page 9: Drug eruption edit.docx

Fixed drug eruption merupakan erupsi obat yang disebabkan oleh obat atau

bahan kimia dan bila berulang lesi tersebut akan timbul pada tempat yang

sama. FDE dapat timbul dalam 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat

secara oral. Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui mekanisme reaksi tipe

III dan IV karena 60-80% sel infiltrate pada FDE adalah sel limfosit T (T4-

T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar 5-10% serta ditemukan pula

HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis. Keadaan ini

sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T yang menetap

di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi

pada tempat yang sama. Lesi berupa macula oval atau bulat, berwarna merah

atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bias menjadi bula,

mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari

lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tetapi jika penderita

meminum obat yang sama maka lesi yang lama akan timbul disertai lesi yang

baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit. Tempat predileksinya disekitar

mulut, didaerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka

penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai

eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering adalah

sulfonamide, barbiturate, trimethoprim, OAINS, tetrasiklin, antipiretik

pyrazolone.

9

Page 10: Drug eruption edit.docx

Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai

skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyakit lain

disamping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik termasuk

keganasan pada system limforetrikuler (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada

eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama, skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Mekanisme terjadinya eritroderma akibat

alergi obat secara pasti belum diketahui, diperkirakan melalui mekanisme

reaksi tipe IV. Eritroderma dapat berasal dari erupsi makulopapular jika obat

penyebab masih dilanjutkan. Obat-obat yang biasa menyebabkan eritroderma

adalah sulfonamide, penisilin, karbamazepin, fenitoin, allopurinol, dan

fenilbutazon.

Purpura

Purpura adalah perdarahan didalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang

bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.

Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau

tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan

dan disertai rasa gatal. Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan

oleh trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubungan dengan

pembentukan kompleks antigen-antibodi dengan afinitas pada trombosit.

Ternyata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai

trombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopeni atau purpura

vascular. Purpura non trombositopenia secara umum berkaitan dengan deposit

10

Page 11: Drug eruption edit.docx

kompleks imun di dinding venula. Ebebrapa obat penyebab purpura

trombositopenia adalah asam asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin,

isoniazid, nitrofurantoin, fenitoin, derivate pirazolon, quinidine, sulfonamide,

dan tiourasil. Sedangkan obat penyebab purpura non trombositopenia adalah

ampicillin, penisilin, sulfametroprim.

Vaskulitis

Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Bentuk tersering vaskulitis adalah

vaskulitis yang mengenai kapile dan venula. Gambaran klinis tersering

vaskulitis adalah palpable purpura. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit,

atau dapat melibatkan organ lain, antara hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan

jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah

dan daerah sacrum. Demam, malaise, myalgia, dan anoreksia dapat menyertai

lesi kulit. Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme

reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat

penyebab adalah penisilin, sulfonamide, NSAID, antidepresan, dan

antiaritmia. Jika vaskulitis trjadi pada pembuluh darah sdang berbentuk

eritema nodusum (EN). Kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri

dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise.

Tempat predileksinya didaerah ekstensor tungkai bawah. EN dapat disebabkan

oleh beberapa penyakit lain, misalnya tuberculosis, infeksi streptokok dan

lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamide dan

kontrasepsi oral.

11

Page 12: Drug eruption edit.docx

Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan dermatitis kontak alergik,

lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan

dapat meluas kedaerah yang tidak terpajan sinar matahari. Obat yang dapat

menyebabkan fotoalergik adalah fenotiazin, sulfonamide, NSAID, dan

griseofulvin. Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan

reaksi hipersentivitas tipe lambat. Reaksi fotoalergik membutuhkan fase

induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat terjadi beberapa hari sampai

beberapa bulan.

Pustulosis eksantema generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA), jarang terdapat,

diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,

hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak. Kelainan kulitnya

berupa pstul-pustul miliar non folikular yang timbul pada kulit yang

eritematosa dapat disertai purpura dan lesi merupakan lesi target. Kelainan

kulit timbul pada waktu demam tinggi (>38 derajat) dan pustule-pustul

tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari, kemudian diikuti deskuamasi

selama beberapa hari. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan

penggunaan antibiotika terutama golongan penisilin.

Eritema multiforme, sindrom steven-johnson, nekrolisis epidermal toksik

Eritema multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan

atau selaput lender dengan tanda khas berupa lesi iris (target lesion). Letak lesi

simetris dan dapat melibatkan membrane mukosa. Eritem multiforme terdiri

dari dua tipe yaitu tipe macula eritema dengan gejala khas berbentuk iris

(target lesion) yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema yang keunguan

dikelilingi lingkaran konsentris yang pucat dan kemudian lingkaran merah.

12

Page 13: Drug eruption edit.docx

Tipe yang kedua adalah tipe vesikobulosa berupa macula, papul, urtikaria

yang kemudia timbul lesi vesicobulosa ditengahnya.

Nekrolisis epidermal toksik merupakan penyakit berat dengan gejala khas

berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lender

di orificium dan mata. Kelainan pada kulit dimulai dengan eritema

generalisata kemudian timbul banyak vesikel dan disertai purpura di wajah,

ekstremitas, dan badan. Kelainan pada kulit dapat berupa erosi, ekskoriasi,

perdarahan sehingga terbentuk krusta berwarna merah hitam pada bibir. Lesi

kulit dimulai dengan macula dan papul eritematosa kecil disertai bula lunak

yang dengan cepat dapat meluas dan bergabung. Pada NET yang penting

adalah adanya epidermolisis, yaitu epidermis yang terlepas dari dasarnya

dengan gambaran klinisnya menyerupai luka bakar. Adanya epidermolisis

menyebabkan tanda nikolsky (+) pada kulit yang eritematosa, yaitu jika kulit

ditekan dan digeser maka kulit akan terkupas. Epidermolisis akan mudah

terlihat pada kulit yang terkena tekanan yaitu punggung, aksila, bokong.

Penatalaksanaan NET adalah dengan penghentian obat yang tersangka

menyebabkan alergi, Pemberian kortikosteroid (dexametasone 40mg/hari),

Topikal: sulfadiazin perak

Sindrom steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput

lender di orifisium, dan mata dengan keadaan umum beravriasi dari ringan

sampai berat. Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikel/bula, dapat

disertai purpura. Penyakit ini berhubungan dengan mekanisme reaksi tipe II.

Gambaran klinis bergantung pada sel sasaran. Obat penyebab ialah

analgetik/antipiretik, karbamazepin, jamu, amoksisilin, kotrimoksazol,

Dilantin, klorokuin, ceftriakson, dan adiktif. Pada SSJ terdapat trias klinis

berupa:

13

Page 14: Drug eruption edit.docx

o Kelainan kulit

Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, bula. Vesikel dan bula

kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu

dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya

generalisata

o Kelainan selaput lender di orifisium

Kelainan selaput lender yang tersering adalah mukosa mulut,

kemudian diikuti oleh kelainan dilubang alat genital. Kelainannya

berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi

dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Dimukosa mulut juga dapat

terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering tampak adalah

krusta berwarna hitam yang tebal.

o Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering

adalah konjunctivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa

konjungtivitis purulent, perdarahan, simbleferon, ulkus kornea, iritis,

dan iridosiklitis.

14

Page 15: Drug eruption edit.docx

penatalaksanaan sindrom steven-johnson adalah denagn menggunakan

kortikosteroid iv 4-6 kali 5mg kemudian ditappering off, antibiotic

spectrum luas seperti siprofloksasin 2x400 mg dan ceftriaxone 1 x 2gr

IV, diet rendah garam dan tinggi protein.

2.5 DIAGNOSIS

dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah:

Anamnesis yang teliti mengenai obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang

timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah masuknya obat, dan rasa

gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.

Kelainan kulit yang ditemukan, berdasarkan distribusi menyeluruh dan

simetris atau setempat. Serta bentuk kelainan yang timbul berupa eritema,

urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum.

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi

dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai

semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai

cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset

timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk

dievaluasi, terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu

paruh yang lama atau mengalami erupsi reaksi obat yang bersifat persisten.

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat ddilaksanakan untuk memastikan

penyebab erupsi obat alergik adalah:

Pemeriksaan in vivo

o Uji temple (patch test)

o Uji tusuk (prick/scratch test)

o Uji provokasi (exposure test)

Pemeriksaan in vitro

o Yang diperantarai antibodi

Hemaglutinasi pasif

Radio immunoassay

15

Page 16: Drug eruption edit.docx

Degranulasi basofil

Tes fiksasi komplemen

o Yang diperantarai sel

Tes transformasi limfosit

Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan penunjang didasarkan atas mekanisme imunologis yang

mendasari erupsi obat. Uji temple (patch test) memberikan hasil yang masih belum

dapat dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali

obat yang dicurigai adalah yang paling membantu untuk saat ini. Tetapi risiko dari

timbulnya reaksi yang lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-

hati dan harus sesuai dengan etika maupun alas an medico legalnya. Sejumlah tes

yang dilakukan dengan teknik invitro didesain untuk membantu membedakaan

apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu tersebut disebabkan karena obat atau

bukan. Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium in-vitro yang cukup reliable

untuk digunakan secara rutin. Derajat sensitifitas maupun spesifitasnya cara ini masih

dalam tahap penelitian. Oleh sebab itu, pemeriksaan ini hanya sedikit sekali

membantu dalam menegakkan diagnosis klinis.

2.7 PENATALAKSANAAN

Seperti pada penyakit imunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan

menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh, epinefrin adalah drug

of choicepada rekasi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan

pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat

yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin. Tetapi pada

beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi

obat dengan manfaat dari obat tersebut.

Penatalaksanaan umum

Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi

kulit harus dihentikan segera

Menajga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk

mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps

setelah berada pada fase pemulihan

16

Page 17: Drug eruption edit.docx

Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya.

Berikan cairan lewat infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan

cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat

menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat

menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%

dan larutan darrow

Penatalaksanaan khusus

Sistemik

o Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.

Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednisone.

Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa,

purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena

erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x

10mg sampai 4 x 10mg sehari. Pengobatan erythema multiforme

mayor, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang

diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif

seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan

glukokortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih

kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous

immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas

penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG

diberikan sebanyak 0,2-0,75 g/kg selama 4 hari pertama.

o Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika

terdapat rasa gatal. Kecuali paa urtikaria, efeknya kurang jika

dibandingkan dengan kortikosteroid.

Topical

o Pengobatan topical tergantung pada kelainan kulit, apakah kering

atau basah, jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak

salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-

1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu

digunakan kompres misalnya larutan asam salisilat 1%.

17

Page 18: Drug eruption edit.docx

o Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan

pengobatan topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan

membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya

hidrokortison 1%- 2 ½ %.

o Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang

menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanol

10% yang dioleskan sebagian-sebagian.

o Terapi topical untuk lesi dimulut dapat berupa kenalog in

orabase. Untuk lesi dikulit yang erosive dapat diberikan

sofratule atau krim sulfadaizin perak.

2.8 PROGNOSIS

pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuhkan bila obat penyebabnya

dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya

eritroderma dan kelainan berupa sindrom lyell dan sindrom steven-johnson, prognosis

sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi

50-70% permukaan kulit.

18

Page 19: Drug eruption edit.docx

BAB III

KESIMPULAN

Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption adalah reaksi alergik pada kulit atau

daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik.

Terdapat dua macam mekanisme yang menyebabkan terjadinya erupsi obat alergik

yaitu mekanisme imunologis dan mekanisme non imunologis. Meknisme imunologis

sesuai dngan konsep imunologis yang dikemukakan oleh commbs dang ell yaitu Tipe

I (reaksi anafilaksis), tipe II (reaksi autotoksis), tipe III (reaksi kompleks imun), tipe

IV (reaksi alergi seluler tipe lambat). Mekanisme non imunologis dapat disebabkan

pelepasan mediator sel mast secara langsung, aktivasi langsung dari system

komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.

Penggunaan obat-obatan tertentu yang secara progresif ditimbun dibawah kulit, dalam

jangka waktu yang lama akan mengakibatkan hiperpigmentasi generalisata difus.

Morfologi erupsi obat mempunyai kemiripan dengan gangguan kulit lain pada

umumnya, gangguan itu diantaranya; urtikaria, eritema, purpura, eritema nodusum,

papul. Pemeriksaan penunjang erupsi obat ini dapat dilakukan dengan teknik in-vivo.

Belum ditemukan uji fisik maupun laboratorium maupun teknik in-vitro yang cukup

reliable untuk digunakan secara rutin. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian

terapi yang bersifat suportif sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi

sesuai gejala yang timbul terutama pemberian obat golongan kortikosteroid dan

antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat tergantung pada luas kulit yang

terkena.

19

Page 20: Drug eruption edit.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi ke-4. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. 2006. Hal :154-158.

2. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume

One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of America.

2003. p: 333-352

3. Docrat ME. Fixed Drug Eruption. In: current Allergy & Clinical Immunology

No.1. volume 18. Wale street chambers. Cape town. 2005. Access on: October

23, 2012. Available at:

www.allergysa.org/journals/2005/march/skin_focus.pdf 

4. Lee A. Thomson J. Drug-Induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed

Pharmaceutical Press 2006. Access on: October 23, 2012. Available

at:http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf 

5. Andrew J.M, Sun. cutaneous Drugs Eruption. In: Hong Kong Practicioner.

Volume 15. Department of Dermatology University of Wales Collage of

Medicine. Cardiff CF4 4XN. U.K, 1993. Access on October 22, 2012.

Available at: http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/23/2301319.pdf 

6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In:

kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. P: 133-139

7. Adithan C. Steven-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Vol.2. Issue 1.

Department of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on October 22,

2012. Available at: www.jipmer.edu

20