Draft Kolokium SENDI
-
Upload
ahmad-junaedi-sendiko-s-farm-apt -
Category
Documents
-
view
93 -
download
7
description
Transcript of Draft Kolokium SENDI
1
UJI EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOLKELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme) TERHADAP
KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS JANTAN GALUR WISTARYANG DIINDUKSI PARASETAMOL
ABSTRAK
OlehJunaedi Sendiko
25131081(Program Studi S1 Farmasi)
Latar Belakang : Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan salah satu
tanaman Indonesia yang dapat digunakan sebagai obat herbal. Keladi tikus
diketahui memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif. Tujuan : Menentukan dosis
efektif ekstrak keladi tikus terhadap kerusakan hati tikus yang diinduksi
parasetamol. Metode : Keladi tikus dimaserasi dengan pelarut etanol 96%,
ekstrak yang didapat digunakan untuk uji farmakologi pada tikus yang diinduksi
kerusakan hati. Parameter pengujian berupa kadar SGOT, SGPT dan histopatologi
hati. Penelitian dievaluasi secara statistik menggunakan analsis variansi
(ANOVA). Hasil Penelitian : Ekstrak etanol keladi tikus memberikan pengaruh
pada penurunan kadar SGOT dan SGPT. Rata-rata kadar SGOT pada dosis I, II,
III masing-masing (12,1±1,4 U/I), (9,7±1,1 U/I) dan (9,1±1,4 U/I) berbeda
bermakna terhadap kontrol positif (p<0,050). Kadar SGPT pada dosis I, II, III
masing-masing (3,1±0,2 U/I), (2,1±0,1 U/I) dan (1,6±0,1 U/I) berbeda bermakna
terhadap kontrol positif (p<0,050). Dosis efektif pemberian ekstrak etanol keladi
tikus tikus adalah dosis 400 mg/kg bb. Kesimpulan : Pemberian ekstrak etanol
keladi tikus dapat mencegah kerusakan hati yang diinduksi parasetamol dengan
dosis uji efektif 400 mg/kg bb.
Kata Kunci : Hepatoprotektor, Parasetamol, Keladi Tikus (Typhonium
flagelliforme)
2
PENDAHULUAN
Prevalensi kerusakan hati di dunia menunjukkan jumlah yang serius untuk
diwaspadai. Ditingkat daerah kecil pun, dalam hal ini Kabupaten Kutai Timur,
Provinsi Kalimantan Timur. Kerusakan hati dapat disebabkan oleh infeksi
maupun aktifitas senyawa kimia yang masuk kedalam tubuh dengan berbagai
mekanisme. Kerusakan hati yang diawali dengan meningkatnya steatosis dan
fibrosis pada hati yang dalam kondisi kronis dapat menyebabkan kematian.
Salah satu mekanisme patogenesis kerusakan hati adalah degradasi membran
hepatosit yang dikarenakan oleh peroksidasi lemak (Kandalintseva et al, 2002).
Berkembangnya penyakit hati karena gejalanya tidak diketahui sejak dini,
sehingga penyakit ini semakin parah dan baru diketahui setelah mencapai stadium
lanjut, akibatnya penderita mengalami sirosis hati. Sedangkan pada penderita yang
bisa dideteksi pada stadium awal, dapat disembuhkan melalui pembedahan.
Sebagian besar penyakit hati di sebabkan oleh adanya virus, radikal bebas dan
mengosumsi obat-obatan yang tidak tepat dan diluar pengawasan ahli medis.
Obat-obat tersebut diantaranya ialah parasetamol dengan dosis tingggi.
Parasetamol telah banyak digunakan sebagai obat antipiretik dan analgesik yang
dipandang sebagai obat yang relatif aman khususnya hati. Namun peneliti lain
menyatakan pada dosis yang tinggi, parasetamol dapat menimbulkan gangguan
pada hati. Adapun indikator adanya gangguan hati dapat diketahui melalui
pemeriksaan laboratorium yang diantaranya terihat dari nilai hasil kadar serum
glutamate-piruvat transaminase (SGPT) dan serum glutamate-oksaloasetat
transaminase (SGOT).
Perlindungan terhadap hepatotoksisitas oleh suatu zat atau bahan uji dinilai
berdasarkan kemampuannya untuk mempengaruhi berbagai parameter antara lain
menekan peningkatan aktivitas enzim-enzim aminotransferase. Sel-sel hati
mengandung enzim-enzim transferase dalam jumlah yang besar, yaitu glutamate
oksaloasetat dan glutamate-piruvat transaminase. Bila sel-sel hati rusak enzim-
enzime ini keluar dari sel-sel hati sehingga kadarnya meningkat dalam darah.
3
Pada semua jenis kerusakan hati, baik oleh racun maupun virus akan terjadi
peningkatan SGOT, SGPT dan bilirubin. (Syahruddin, 2007).
Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan tanaman obat yang
bermanfaat dalam mengobati penyakit kanker (Syahid, 2007). Di Indonesia
tanaman ini tergolong pendatang baru dalam khasanah pengobatan herbal
(Sudewo, 2004). Upaya pencarian zat hepatoprotektor banyak dilakukan terhadap
bahan alam, maka dari itu dilakukan penelitian keladi tikus (Typhonium
flagelliforme) yang merupakan salah satu tumbuhan tropis Indonesia. Ekstrak
etanol daun keladi tikus di duga berkhasiat sebagai antihepatotoksik.
Rumusan Masalah
a. Apakah ekstrak Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) dapat menurunkan
peningkatan aktivitas enzim SGOT dan SGPT ?
b. Berapakah dosis efektif Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) yang dapat
memberikan efek pada penurunan enzim SGOT dan SGPT ?
c. Golongan apakah yang terkandung didalam tanaman Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme) ?
Tujuan Penelitian
a. Menentukan efek penurunan aktivitas enzim SGOT dan SGPT setelah di
induksi parasetamol.
b. Menetapkan dosis efektif ekstrak etanol keladi tikus terhadap penurunan
aktivitas enzim SGOT dan SGPT.
c. Menetapkan karakteristik awal dari tanaman Keladi Tikus
(Typhonium flagelliforme).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber media informasi tentang
khasiat keladi tikus yang dapat dimanfaatkan dalam pengobatan penyakkit hati
sehingga dapat diaplikasikan sebagai alternatif terapi penyembuhan gangguan
pada hati dan sebagai referensi ilmiah bagi penelitian selanjutnya.
4
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan peneitian eksperimental laboratorik. Peneliti
mengadakan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu berupa hewan
coba dilaboratorium. Hewan uji berupa tikus jantan galur wistar berusia
1,5-2 bulan dengan berat badan ± 200 gram. Tikus dibagi dalam 6 kelompok
perlakuan dengan masing-masing kelompok sebanyak 5 ekor tikus. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Farmakologi Sekolah Tinggi Farmasi.
Pengambilan Bahan Dan Determinasi Sampel Keladi Tikus
Simplisia Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) diperoleh dari budidaya
tanaman Bina Argo Mandiri, Yogyakarta dan dideterminasi di Laboratorium
Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjajaran.
Pembutan Simplisia Keladi Tikus
Pembutan simplisia pertama-tama dilakukan pencucian simplisia, sortasi basah,
pengeringan, sortasi kering dan terakhir penghalusan simplisia.
Uji Karakteristik Simplisia Keladi Tikus
1. Spesifik :
a. Identifikasi senyawa alkaloid
b. Identifikasi senyawa flavonoid
c. Identifikasi senyawa saponin
d. Identifikasi kuinon
e. Identifikasi tanin
f. Identifikasi senyawa steroid/triterpenoid
2. Nonspesifik :
a. Penetapan kadar abu
b. Penetapan kadar air
c. Penetapan kadar sari
5
Rancangan Penelitian Hepatoprotektor
Tabel 1. Rancangan penelitian ini ditunjukan pada tabel dibawah ini :
Kelompok Perlakuan
Kontrol negatif Tikus diberi CMC 0.5%
Kontrol positifTikus diberi parasetamol 2,5 g/kg bb dalam suspensi CMC0,5%
Uji 1Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis200 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb
Uji 2Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis300 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb
Uji 3Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis400 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb
PembandingTikus diberi sediaan obat yang mengandung Cylimarin70 mg/kg bb dalam suspensi CMC 0,5%
Pemeriksaan Hepar Tikus
1. Makroskopis
a. Indeks organ hepar
b. Warna hepar
2. Mikroskopis (Histopatologi Hepar)
6
PERCOBAAN
Alat
Alat-gelas laboratorium, kandang, sarung tangan, timbangan tikus, timbangan
analitik, mikropipet, tabung eppendrof, tabung venoject, mikropipet, seperangkat
alat microlab 300, alat sentrifuge, spuit, sonde untuk pemberian oral dan alat-alat
bedah.
Bahan
Zat atau bahan uji, yaitu simplisia keladi tikus, aquadest, etanol 96%, parasetamol,
makanan hewan uji, Carboxy methyl cellullose 0,5% (CMC), Formalin, reagen
kit untuk penentuan SGOT dan SGPT.
Tahapan Penelitian I
1. Pembutan Ekstrak Etanol 96% Keladi Tikus
Sebanyak 2000 gram simplisia kering keladi tikus dibersihkan dari pengotor dan
kemudian dihaluskan dengan menggunkan blender. Serbuk yang terbentuk
dimaserasi menggunakan etanol 96% dalam bejana tertutup menggunakan orbital
shaker sampai tersari sempurna, selanjutnya disaring. Filtrat diuapkan
menggunakan rotary evaporator pada suhu 40ºC selanjutnya filtrat yang tersisa
diuapkan menggunakan cawan penguap diatas water bath suhu 50 ºC hingga
didapatkan ekstrak kental (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).
2. Skrining Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mendeteksi kandungan bioaktif atau
kandungan yang berguna untuk pengobatan terhadap tanaman keladi tikus,
meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon, dan
steroid/triterpenoid.
a. Identifikasi Golongan Alkaloid
Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 500 mg lalu dibasakan dengan 1 mL
amonia pekat dan digerus dengan 5 mL kloroform setelah itu disaring. Filtrat
kemudian dikocok dengan 1 mL asam klorida 2 N, diambil lapisan organik dan
7
ditambahkan satu tetes pereaksi meyer. Apabila terbentuk endapan putih sampai
kuning menandakan adanya alkaloid.
b. Identifikasi Golongan Flavanoid
Sejumlah 2 gram serbuk simplisia dan 0,2 gram ekstrak masing-masing
ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas
saring hingga diperoleh filtrat yang kemudian digunakan sebagai larutan
percobaan. Kedalam 5 mL larutan percobaan (dalam tabung reaksi) ditambahkan
serbuk atau lempeng magnesium secukupnya, 1 mL asam klorida pekat dan 5 mL
amil alkohol, di kocok kuat dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna pada
lapisan amil alkohol menunjukan adanya senyawa golongan flavanoid.
c. Identifikasi Golongan Saponin
Sebanyak 10 mL larutan percobaan yang diperoleh dari identifikasi golongan
flavanoid dimasukan kedalam tabung reaksi dan dikocok selama 10 menit. Secara
vertikal, kemudian dibiarkan selama 10 menit. Terbentuknya busa yang stabil
dalam tabung reaksi, menunjukan adanya golongan saponin, bila ditambahkan
satu tetes asam klorida encer busa tetap stabil.
d. Identifikasi Senyawa Kuinon
Sejumlah larutan percobaan dari dilarutkan dalam air panas dan ditambahkan
beberapa tetes larutan natrium hidroksida 1 N jika terbentuk warna merah
menunjukan adanya kuinon.
e. Identifikasi Golongan Tanin
Sejumlah simplisia dilarutkan dalam air panas dan dibagi dalam tiga tabung
reaksi, kedalam bagian pertama ditambahkan besi (III) klorida. Timbulnya warna
hijau violet atau hitam menunjukan adanya tannin. Kedalam tabung kedua
ditambahkan larutan glatin terbentuknya endapan putih menunjukan adanya
tannin. Kedalam tabung ketiga ditambahkan pereaksi steasny kemudian
dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan disaring, filtrate
dijenuhkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes larutan besi
(III) klorida, terbentuknya warna biru tinta menunjukan adanya tannin galat.
8
f. Identifikasi Golongan Steroid dan Triterpenoid
Sejumlah 1 gram simplisia dan 0,1 gram ekstrak masing-masing dimaserasi
dengan 20 mL eter selama dua jam (dalam wadah tertutup rapat), kemudian
disaring dan diambil filtratnya. Sebanyak 5 mL dari filtrat tersebut diuapkan
dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Kedalam residu ditambahkan dua
tetes asam asetat anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat (pereaksi Libermen-
Burchard). Terbentuknya warna hijau atau merah menunjukan adanya senyawa
golongan steroid atau triterpenoid.
3. Standarisasi Simplisia
a. Penetapan Kadar Abu Total
Timbang seksama 2 sampai 3 g bahan uji yang telah dihaluskan dan masukkan ke
dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga
arang habis Farmakope Herbal, dinginkan dan timbang (Depkes RI, 2008).
Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, aduk,
saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan kertas saring beserta sisa
penyaringan dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan dan
pijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,
dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2008).
b. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam
Didihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dengan 25 mL asam
klorida encer LP selama 5 menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam,
saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus
hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap
berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2008).
c. Penetapan Kadar Air
Dilakukan dengan cara destilasi, dimasukkan sejumlah zat yang ditimbang
seksama yang diperkirakan mengandung 2 mL–4 mL air ke dalam labu kering.
Zat yang menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan pasir kering yang telah
9
dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler
panjang lebih kurang 100 nm yang salah satu ujungnya ditutup.
Masukkan 200 mL toluen ke dalam labu, hubungkan alat. Tuangkan toluen ke
dalam tabung penerima melalui alat pendingin, panaskan labu secara hati-hati
selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang
2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling. Naikkan kecepatan penyulingan
hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam dengan
pendingin dan toluen, labu dibersihkan dengan sikat. Lanjutkan penyulingan
selama 5 menit. Biarkan tabung penerima sampai dingin. Jika ada tetes air yang
melekat pada pendingin tabung penerima, gosok dengan karet yang diikatkan pada
sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah
itu dalam toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam %
(Depkes RI, 2008).
d. Penetapan Kadar Sari Larut Air
Timbang seksama lebih kurang 5 g sampel yang telah dikeringkan di udara.
Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL air jenuh kloroform,
kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring, uapkan
20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah
dipanaskan 105˚ hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut air (Depkes
RI, 2008).
e. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
Timbang seksama lebih kurang 5 g sampel yang telah dikeringkan di udara.
Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL etanol P, kocok berkali-
kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk
menghindarkan penguapan etanol, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam
cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105˚ dan ditara, panaskan sisa
pada suhu 105˚ hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut etanol
(Depkes RI, 2008).
10
4. Adaptasi Hewan Uji
Tikus putih jantan diadaptasikan selama satu minggu terlebih dahulu agar terbiasa
dengan lingkungan percobaan. Makanan dan minuman diberikan setiap hari.
Sebanyak 30 ekor tikus dengan berat 150-200 gram dikelompokkan menjadi
6 kelompok secara acak dan dijaga agar tidak terjadi penurunan berat badan.
Tahap Penelitian II
1. Pembutan Suspensi Ekstrak Etanol Keladi Tikus
Sediaan uji dibuat dalam bentuk suspensi menggunakan CMC 0,5% dalam 3
varian dosis yaitu 200, 300 dan 400 mg/kg bb.
2. Pengujian Aktivitas Ekstrak Etanol Keladi Tikus
Tikus dikelompokkan menjadi enam kelompok secara random, dan masing-
masing kelompok terdiri dari lima tikus dengan diberikan perlakuan yang
berbeda-beda. kelompok kontrol negatif hanya diberi CMC 0,5%, kelompok
kontrol positif diberi CMC 0,5% selama 7 hari berturut-turut pada hari ke 8 diberi
parasetamol 2,5 g/kg bb, kelompok pembanding di beri Cursil® 70 mg/kg bb
selama 7 hari berturut-turut pada hari ke 8 diberi parasetamol 2,5 g/kg bb,
kelompok larutan uji diberi ekstrak keladi tikus masing-masing dosis
200 mg/kg bb, 300 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb selama 7 hari berturut-turut dan
pada hari ke 8 diberi parasetamol 2,5 g/kg bb keseluruh perlakuan diberikan
secara peroral.
3. Pengambilan Serum Tikus
Pengambilan darah dengan cara pemotongan ekor tikus menggunakan gunting.
Darah yang tertampung pada tabung venoject disentrifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 15 menit. Serum yang terpisah dimbil dan dimasukkan dalam
tabung lainnya yang bersih, kering dan ditutup. Jika serum tidak langsung
diperiksa, maka harus disimpan pada lemari es suhu 2ºC-8ºC selama maksimal 4
hari, karena jika lebih dari 4 hari akan mengalami degradasi aktivitas sebesar 10%
(Rafika, et al., 2005).
11
4. Pengukuran Kadar SGOT dan SGPT
Pengukuran kadar SGOT dan SGPT dilakukan dengan menggunaka alat microlab
300. Dengan cara mempipet 1000 µL reagen 1 ke tabung ependrof kecil,
selanjutnya ditambahkan serum darah sebanyak 200 µL di inkubasi selama
5 menit dan yang terakhir ditambahkan 250 µL reagen 2 didiamkan selama
1 menit. Setelah itu campuran plasma dan reagen dimasukan pada alat hisap
microlab yang sebelumnya telah deprogram untuk pemeriksaan SGOT dan SGPT.
Pengukuran dilakukan pada setiap jeda 1 menit secara triplo, dibaca hasil yang
tertera pada layar (U/L) (Dialab, 2006).
5. Histopatologi Hepar
Histopatologi hepar tikus dilakukan pada hari ke sembilan sehari setalah
pengambilan serum tikus. Adapun alur proses histologi ialah sebagai berikut :
a) Pertama-tama setelah pembedahan organ hepar disimpan dalam larutan
buffer formalin 10% selama ± 24 jam, selanjutnya dicuci dengan alkohol
selama 2 jam, dan dilanjutkan dengan pencucian secara bertingkat dengan
alkohol yaitu dengan alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% (masing-masing
selama 2 jam), etanol absolute (2 kali), xylol (2 kali), masing-masing selama
30 menit. Selanjutnya, adalah proses infiltrasi yaitu dengan menambahkan
paraffin sebanyak 3 kali selama 30 menit.
b) Tahap pemotongan dengan mikrotom, Cutter dipanaskan dan ditempelkan
pada dasar blok sehingga paraffin sedikit meleleh. Holder dijepitkan pada
mikrotom putar dan ditata sejajar denga mata pisau mikrotom. Pengirisan
atau penyayatan diawali dengan mengatur ketebalan irisan. Untuk hepar
dipotong dengan ukuran 3 µm, kemudian pita hasil irisan diambil dengan
menggunakan kuas dan dimasukan air dingin untuk membuka lipatan lalu
dimasukan air hangat dan dilakukan pemilihan irisan yang terbaik. Irisan
yang terpilih diambil dengan gelas obyek yang sudah di coating kemudian
dikeringkan diatas hot plate.
c) Tahap diparafisasi, yaitu preparat dimasukan dalam xylol sebanyak 3 kali 5
menit.
12
d) Tahap rehidrasi, preparat dimasukan dalam larutan etanol bertingkat mulai
etanol absolute (2 kali), etanol 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing 5
menit, kemuadian preparat direndam dalam aquadest selama 10 menit.
e) Tahap pewarnaan, preparat ditetesi dengan Hematoxylin selama 3 menit atau
sampai didapatkan hasil warna yang terbaik. Selanjutnya dicuci dengan air
mengalir selama 30 menit dan dibilas dengan aquadest selama 5 menit.
Setelah itu preparat dimasukan dalam pewarna eosin alkohol selama 30
menit dan dibilas dengan aquadest selama 5 menit.
f) Tahap dehidrasi, preparat direndam dalam etanol bertingkat 80%, 90%, 95%
dan etanol absolute (2 kali) masing-masing selama 5 menit.
g) Tahap clearing, dalam larutan xylol 2 kali selama 5 menit, kemudian
dikeringkan, dan selanjutnya preparat diamati dibawah mikroskop.
6. Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Penyiapan Bahan
Penelitian ini diawali dengan pengumpulan sampel keladi tikus dari budidaya
tanaman Bina Argo Mandiri, Yogyakarta. Kemudian dilakukan determinasi guna
memastikan tanaman yang akan diteliti merupakan tanaman yang dimaksud.
Determinasi dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi
FMIPA Universitas Padjajaran dan diperoleh informasi bahwa benar tanaman uji
yang digunakan merupakan tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
B. Pengolahan Bahan
Simplisia keladi tikus yang diperoleh dilakukan sortasi kering agar terhindar dari
pengotor-pengotor organik seperti tanah, kemudian dihaluskan menggunakan
blender agar lebih mudah dalam proses selanjutnya.
C. Ekstraksi
Simplisia keladi tikus ditimbang sebanyak 2 kg diekstraksi dengan cara dingin
yaitu maserasi. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96%
dalam bejana tertutup selama 3 kali masing-masing 24 jam. Maserasi digunakan
karena merupakan cara sederhana untuk menarik senyawa yang tidak tahan panas
13
maupun senyawa yang tahan panas dan untuk menarik senyawa yang belum
diketahui. Menurut farmakope, pelarut etanol merupakan pelarut pilihan untuk
memperoleh ekstrak yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan
farmasi.
Hasil maserasi kemudian dipekatkan dengan menggunakan alat rotary evaporator
400C. Selanjutnya filtrat yang tersisa diuapkan menggunakan cawan penguap
didalam water bath suhu 500C hingga diperoleh ekstrak kental kemudian ekstrak
kental yang diperoleh ditimbang. Ekstrak kental keladi tikus diperoleh sebesar
49,70 gram. Hasil perhitungan rendemen dari ekstrak keladi tikus adalah :
Hasil rendemen ekstrak ialah :
Nama Simplisia Berat Ekstrak Berat Simplisia Rendemen
Keladi tikus 49.70 gram 2000 gram 2.48 %
D. Skrining Fitokimia Dan Standarisasi Ekstrak
Skrining fitokimia ini digunakan untuk mengetahui golongan-golongan senyawa
metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman keladi tikus. Metabolit
sekunder yang diuji yaitu golongan senyawa alkaloid, flavanoid, tanin, saponin,
kuinon dan steroid/triterpenoid.
Hasil skrining menunjukan bahwa tanaman keladi tikus mengandung senyawa
sebagai berikut :
Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Keladi Tikus
No. Golongan senyawa Tanaman keladi tikus
1 Alkaloid +
2 Flavanoid +
3 Saponin +
4 Kuinon +
5 Tanin +
6 Steroid/Triterpenoid +
Keterangan : (+) = Terdeteksi golongan senyawa yang diuji( -) = Tidak terdeteksi senyawa yang diuji
14
Hasil Standarisasi simplisia menunjukan bahwa tanaman keladi tikus memiliki
karekteristik sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Standarisasi Simplisia Keladi Tikus
E. Hasil Pengujian Hepatoprotektor
Sebelum memulai pengujian hepatoprotektif hewan uji terlebih dahulu
diadaptasikan selama tujuh hari agar nantinya terbiasa dengan lingkungan sekitar.
Selama pengadaptasian, berat badan dan aktivitas fisik setiap tikus terus
diperhatikan. Berat badan tikus rata-rata meningkat tiap hari dan adapula beberapa
tikus yang tidak mengalami penaikan berat badan, hal ini mungkin karena
persaingan hidup tikus dalam kelompoknya.
Pada hari kedelapan tikus mulai dilakukan pengujian dengan memberikan
suspensi ekstrak keladi tikus melalui rute peroral. Pengujian ini dilakukan selama
tujuh hari secara berturut-turut dalam setiap harinya. Pada hari kedelapan tikus
diberi parasetamol dengan dosis tinggi yakni 2,5 gram/kg bb melalui rute yang
sama.
Untuk keseluruhan kelompok dilakukan pengambilan darah setelah lebih kurang
24 jam pemberian parasetamol. Pengambilan darah dilakukan melalui ekor tikus,
peneliti menemukan darah yang mengalami hemolisa yang ditandai dengan
plasma yang berwarna merah. Hemolisa darah diperkirakan karena teknik
pengambilan darah yang salah seperti dilakukan penekanan ekor tikus yang
berulang-ulang agar darah dapat terperas dari ekor. Hal ini membuat sampel darah
tidak layak untuk diukur dan dilakukan pengambilan darah tersebut harus diulang.
Karakterisasi Kadar (%)
Kadar Abu Total 7,64
Kadar Abu Tidak larut asam 1,97
Kadar Air 5
Kadar Sari Larut Air 64,88
Kadar Sari Larut Etanol 88,09
15
Data yang diperoleh dari hasil pengujian kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus
yang diinduksi dengan parasetamol dan pemberian ekstrak etanol keladi tikus
(Thyponium flagelliforme) dengan 3 dosis dihitung menggunakan analisis variansi
(ANOVA) dengan taraf signifikan (p<0,05). Untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan pada tiap perlakuan serta dosis yang efektif maka dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 4. Hasil perhitungan dan rata-rata pengukuran kadar SGOT dan SGPT pada
hewan uji
No. KelompokRata-rata Aktivitas
SGOT (U/l)Rata-rata Aktivitas
SGPT (U/l)
1 Kontrol negatif 8,14 ± 0,4 1,3 ± 0,2
2 Kontrol positif(Parasetamol 2,5 g/kg bb)
13,1 ± 1,2# 6,6 ± 0,3#
3 Pembanding(Cursil® 70 mg/kg bb)
8,3 ± 0,1* 1,2 ± 0,2*
4 Dosis I 200 mg/kg bb 12,1 ± 1,4 3,1 ± 0,2*
5 Dosis II 300 mg/kg bb 9,7 ± 1,1* 2,1 ± 0,1*
6 Dosis III 400 mg/kg bb 9,1 ± 1,4* 1,6 ± 0,1*
Keterangan :(#) : Kontrol positif berbeda bermakna dengan kontrol negatif(*) : Menandakan kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol positifterdapat perbedaan yang signifikan (P< 0.05)
Dari data diatas (tabel 4) menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna
antara kelompok kontrol positif jika dibandingkan dengan kontrol negatif hal ini
menunjukan bahwa proses penginduksian telah berhasil. menunjukan perbedaan
yang bermakna antara kelompok pembanding dengan keompok kontrol positif
maka validasi metode dan prosedur telah diakukan dengan baik dan terjadi
perbedaan yang nyata terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT pada tikus
yang diinduksi parasetamol. Kontrol positif berbeda nyata dengan dosis 1, dosis 2
dan dosis 3. Kontrol negatif (tikus normal) berbeda nyata dengan dosis 1 dan
dosis 2, tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 3. Jadi, dosis ekstrak etanol keladi
16
tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan
SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.
Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan
(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)
dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi
parasetamol.
Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk
mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.
Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni
parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang
normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam
hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
0
2
4
6
8
10
12
14
KN
8,14±0,4
13,1±1,2
1,3±0,2Kena
ikan
Kad
ar U
/I
Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan
16
tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan
SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.
Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan
(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)
dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi
parasetamol.
Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk
mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.
Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni
parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang
normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam
hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
KP P DI DII DIII
13,1±1,2
8,3±0,1
12,1±1,4
9,7±1,1 9,1±1,4
1,3±0,2
6,6±0,3
1,2±0,23,1±0,2
2,1±0,1
Perlakuan
Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan
16
tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan
SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.
Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan
(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)
dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi
parasetamol.
Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.
Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk
mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.
Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni
parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang
normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam
hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).
DIII
9,1±1,4
1,6±0,1
Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan
SGOT
SGPT
17
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Ekstrak keladi tikus memiliki senyawa
flavonoid yang bersifat antioksidan (Syahid, 2007). Mekanisme kerja flavonoid
adalah menangkap radikal bebas (Sunarni dkk, 2007) meyatakan bahwa aktivitas
antioksidan dari senyawa alamiah yang berasal dari tanaman disebabkan adanya
gugus hidroksi pada struktur molekulnya. Flavonoid dengan gugus hidroksi bebas
mempunyai aktivitas penangkap radikal bebas dan adanya gugus hidroksi lebih
dari satu terutama pada cincin B akan meningkatkan aktivitas antioksidannya.
Selain itu pula kandungan senyawa saponin dalam tanaman ini mempunyai
manfaat mempengaruhi collagen (perbaikan jaringan) (Prabowo, 2002) dan pula
senyawa triterpenoid (Jie liu dkk, 2006) dapat sebagai hepatoprotektor.
Pada penelitian kadar didapat nilai yang lebih rendah dari literatur yakni
18-45 U/I, perbedaan ini terjadi kemungkinan berhubungan dengan metode yang
digunakan. Untuk memperoleh kadar enzim pada literatur, sampel diambil dari
tikus yang teranestesi oleh anestesi inhalasi. Sedangkan pada penelitian yang
dilakukan, sampel diambil dari ekor tikus dalam keadaan hidup. Hal ini yang
dapat menyebabkan kada SGOT dan SGPT dibawah nilai normal. Hal ini
didukung dengan penelitian (Collin et al. 1997) yang menyatakan bahwa eter
dapat menaikan level enzim SGOT dan SGPT tikus walaupun tidak terlihat
abnormalitas pada histologi jaringan hati atau organ lainnya. Dibawah ini akan
diperlihatkan gambaran kerusakan hati secara makroskopis dan mikroskopis yang
disebabkan oleh pemberian parasetamol dosis hepatoksik yaitu sebesar
2,5 gram/kg bb.
Tabel 5. Hasil rata-rata perhitungan indeks organ hepar tikus pada semua
perlakuan
KelompokBerat (gram) Indeks Organ Hepar
(%)Tikus HatiKontrol negatif (Normal) 177 6,5 3,67Kontrol positif(Parasetamol 2,5 g/kg bb)
214,5 12 5,59
Pembanding (Cursil 70 mg/kg bb) 186 7 3,76Dosis I Ekstrak 200 mg/kg bb 208 11 5,29Dosis II Ekstrak 300 mg/kg bb 195,5 9 4,60Dosis III Ekstrak 400 mg/kg bb 198,5 8 4,03
18
Tabel 6. Kerusakan hepar tikus secara makroskopik pada semua perlakuan
Kelompok Warna
Kontrol negatif (Normal) Merah terang
Kontrol positif (Parasetamol 2,5 g/kg bb) Merah gelap
Pembanding (Cursil® 70 mg/kg bb) Merah terang
Dosis I Ekstrak 200 mg/kg bb Merah gelap
Dosis II Ekstrak 300 mg/kg bb Merah gelap
Dosis III Ekstrak 400 mg/kg bb Merah tua
Pada kedua tabel diatas (Tabel 5 dan 7) terlihat jelas bahwa hepar tikus yang
mengalami kerusakan akan memiliki indeks berat organ yang besar, tekstur hati
yang kasar dan adanyanya perlemakan hati yang dalam waktu lama dapat
mengakibatkan gangguan sampai berupa kematian sel yang disebut nekrosis.
Secara teoritis proses kerusakan sel hati dimulai dari proses degenerasi. Sel yang
mengalami degenerasi akan mengalami pembengkakan. Hal ini dikarenakan
parasetamol menyebabkan masuknya cairan ekstraseluler ke intraseluler dalam
jumlah yang banyak. Keadaan ini dapat terjadi apabila membran sel yang
merupakan komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya sehingga
memudahkan masuknya molekul air dari ekstraseluler ke intraseluler secara
berlebihan. Diduga bila terjadi akumulasi air yang cukup banyak didalam sel hati,
maka sel akan membengkak (Damjonov, 2000, Devlin,2002).
Pengamatan hepar tikus secara mikroskopis dan makroskopis sebagai berikut :
(a1) (a2)
19
(b1) (b2)
(c1) (c2)
Gambar 2. Hasil pengamatan preparat histologi hepar tikus dengan mikroskop.(a1&a2). Hati normal, (b1&b2). Hati yang mengalami kerusakan akibat paparanparasetamol dosis hepatoksik dan, (c1&c2). Hati yang mengalami perbaikansetelah diberi ekstrak keladi tikus dosis 400 mg/kg bb.
Dari ketiga kategori gambar hepar tikus diatas dapat diketahui bahwa pemberian
parasetamol dalam dosis toksis tidak dapat menyebabkan kerusakan hati berupa
terjadinya nekrosis pada vena sentralis dan peradangan yang berupa steatosis
(degenerasi melemak) disertai fibrosis hati, namun hanya dapat meningkatkan
kadar pada enzim SGOT dan SGPT. Hal ini dapat terjadi dikarenakan karena
waktu yang sedikit pada proses induksinya. Proses kerusakan hati yang serius
dapat terjadi jika paparan parasetamol pada dosis toksik berlangsung secara terus
menerus dalam jangka waktu yang lama. Jadi pada penelitian ini belum
mengalami kerusakan hepar tikus yang bermakna, yang dapat terlihat pada organ
hati baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
20
7. Kesimpulan Dan Saran
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
Tanaman keldi tikus (Typhonium flagelliforme) terdeteksi positif memiliki
senyawa alkaloid, flavanoid, saponin, kuinon, tannin dan
steroid/triterpenoid.
Pemberian dosis dan lama pemberian ekstrak etanol keladi tikus
(Typhonium flagelliforme) memberikan pengaruh terhadap kadar
transaminase (SGOT dan SGPT) pada hepar tikus.
Dosis yang efektif menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus
adalah dosis 400 mg/kg bb.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan saran sebagai berikut :
Parameter pemeriksaan dalam serum perlu ditambahkan dengan mengukur
kadar enzim lainnya selain SGOT dan SGPT.
Ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme) dapat
diformulasikan menjadi sediaan obat sebagai alternatif upaya pencegahan
pada penyakit hepar
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim,2009. Keladi Tikus. CCRC Farmasi UGM. Tanggal akses 26Desember 2014. www.ugm.ac.id/ccrc
2. Akbar, Nurul. 2004. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Gaya Baru.
3. Basoeki, S., 1988, Anatomi dan Fisiologi Manusia. Departemen Pendidikandan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 20-25.
4. Backer, C.A., et al Flora Of Java, 3 rd ed., Wolter-Noordhoff N.V, Groningen,Netherlands, 1968, 71-71
5. Chandrasoma, parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : BukuKedokteran EGC
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope HerbalIndonesia Edisi I. Jakarta. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan
7. Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis.Jakarta : Swadaya. Hlm. 58, 86.
8. Dialab. Liquid Reagents of GOT (AST), DIALAB Production Vertireb vonchemisch-technishen, Austria, 2006.
9. Dialab. Liquid Reagents of GPT (ALT), DIALAB Production Vertireb vonchemisch-technishen, Austria, 2006.
10. Jawi, dkk. 2007. Gambaran Histologis Hepar Serta Kadar SGOT dan SGPTDarah Mencit Yang Diberikan Alkohol Secara Akut dan Kronis. Dexamedica,No. 1, Vol. 20, 24 Januari -Maret 2007
11. Jie, Liu dkk. 2006. The Effect of 10 Triterpenoid Compound on ExperimentalLiver Injury in Mice: Universitas KansasMedical Cent.dep.pharmacologyToxicologi Therapiutic.Kansan City.
12. John S Lubel, Peter W Angus, Paul J Gow. 2003. Accidental paracetamolpoisoning. Consultant Department of Gastroenterology, Austin Health,Melbourne, VIC.
13. Kee, Joyce Lefever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium DanDiagnostik. Jakarta: EGC.
14. Lai, Choon-Sheen, Rosemal Dan N.K. Nair. 2008. Typhonium FlagelliformeInhibits Cancer Cell Growth In Vitro And Induces Apoptosis: An EvaluationBy The Bioactivity Guided Approach. Journal Of Enthopharmacology 118(2008): 14-20.
22
15. Mundari, Erma Wanda. 2013. Uji Aktivitas dan Uji Toksisitas pada EkstrakKental dan Kering Etanol Berbagai Konsentrasi Dari Daun Keladi Tikus(Typhonium flagelliforme Lood). Skripsi Universitas Pancasila fakultasFarmasi. Jakarta
16. Kusumawati, Diah. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Uji. Gadjah MadaPress. Yogyakarta.
17. Mudahar, H., Widowati, L., Sundari, D. (2006). Uji Aktivitas Ekstrak Etanol50% Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lood) B1) terhadap SelKanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In-Vitro. Jakarta : PuslitbangBiomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan.
18. Mohan, Syam, Ahmad Busataman And Adel Sharaf. 2008. Antibacterial AndAntioxidant Activities Of Typhonium Flagelliforme (Lodd.) Blume Tuber.American Journal Of Biochemistry And Biotechnology 4 (4): 402- 407.
19. Nurlaili, Elvi. 2010. Pengaruh Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum linn.) Terhadap Kadar Transaminase (GPT dan GOT) danGambaran Histologi Pada Hepar Mencit (Mus musculus) Yang TerpaparStreptozotocin. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan TeknologiUniversitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang
20. Heyne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia, Hardjodarsono, dkk., ed. I,Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta, 1987, 602.
21. Ochae, JJ, et al Vegetables Of The Dutch East Indies. English Edition OfIndische Groenten, Archipeldrukkerij Buitenzorg, Java, 1931, 745-746
22. Phito, M., 1993, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia, danPengujian Klinik, Penerbit Phyto Medica, Jakarta.
23. Prabowo. 2002. Centella Anti Radang. PT Intisari Mediatama : Jakarta.
24. Price, S.A., dan Wilson L. M., 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, alih bahasa oleh Peter Anugerah, Edisi 4, Penerbit EGC,Jakarta, 68-81.
25. Romzah, V.2005. Pengaruh Fasa Air Daun (Genarussa vulgaris, Ness)terhadap perubahan histopatologi hati, ginjal dan usus halus mencit jantanSkripsi Fakultas Farmasi. Surabaya : Universitas Airlangga.
26. Sadikin, M., dkk. 1994, Aspek Enzimatik Perlindungan Bawang PutihTerhadap Hepar Tikus yang Diberi Karbon Tetraklorida, Medika, Jakarta.
27. Setiabudy. 1999. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi FakultasKedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
23
28. Siegers, C. P., 1978, Antidotal effects of dimethylsulfoxide againstparacetamol, bromobenzene, and thioacetamide induced hepatotoxicity.Journal Pharmac. Pharmacol, 30, 375-377.
29. Sastrapradja, S, et al. Ubi-Ubian, I.BN 7, SDE 40, Proyek Sumber DayaEkonomi/LBN-LIPI Bogor, 1977, 82-83
30. Soewoto, dkk. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta : WidyaMedika.
31. Sunarni Titik, Suwidjiyo Pramono dan Ratna Asmah. 2007. FlavonoidAntioksidan Penangkap Radikal Dari Daun Kepel (Stelechocarpus burahol(Bl.) Hook f. & Th.). Majalah Farmasi Indonesia, 18(3), 111 – 116, 2007
32. Suyono, S., dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3, Balai PenerbitFKUI, Jakarta, 38-40.
33. Sudewo, Bambang. 2004. Tanaman Obat Populer Penggempur AnekaPenyakit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
34. Sulaiman, dkk. 1997.Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta. CV. Sagung Seto
35. Syukur, C. 2003. Tanaman Obat Antikanker. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.3-15.
36. Syahid, Siti F. 2007. Keragaman Morfologi, Pertumbuhan, Produksi, MutuDan Fitokimia Keladi Tikus (Typonium Flagelliforme Lodd.) Blume AsalVariasi Somaklonal. Jurnal Littri 14(3): 113 – 118.
37. Yayat. 2008. Khasiat Tanaman Keladi Tikus. Http://kabarinews.com. DiaksesPada Tanggal 26 Desember 2014.
38. Tri, G. H., 1995, Uji Aktivitas Antihepatotoksik Ekstrak Herba Meniran(Phylantus niruri L) pada Tikus Putih yang Diinduksi dengan Parasetamol,Tugas Akhir Sarjana, Fakultas Farmasi UNAIR, Surabaya.