file · Web viewkebijakan publik. analisis atas kasus-kasus riil dalam kebijakan publik....
Click here to load reader
Transcript of file · Web viewkebijakan publik. analisis atas kasus-kasus riil dalam kebijakan publik....
KEBIJAKAN PUBLIK
ANALISIS ATAS KASUS-KASUS RIIL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh :
Dyah Prawitasari (114263230)
PROGRAM STUDI DIII ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN PMP-KN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2013
1. Kebijakan Publik di Sektor Ketenagakerjaan
Yang selalu ramai jadi pembicaraan adalah bisanya kebijakan publik di sektor
ketenagakerjaan. Dalam industrialisasi yang digenjot besar-besaran pada umumnya adalah
buruh yang menjadi korban. Kebijakan sektor ketenagakerjaan seringnya justru dibuat lebih
untuk kenyamana penguasa ketimbang buruhnya sendiri.
Graciela Chichinilsky Richard Falk (1998) memberikan ilustrasi tentang otoriterisme dan
pembangunan di Negara berkembang. Proposisi yang ditawarkan adalah bahwa penerimaan
negara-negara berkembang akan strategi developmentalisme menyebabkan tersedotnya
seluruh energy sebuah bangsa pada pengejaran pertumbuhan . semua pejabat Negara
terfokus pada segala upaya peningkatan presentase pertumbuhan ekonomi, GNP dan nilai
investasi . untuk menuju kesana , pilihan satu-satunya jatuh pada industrialisasi skala besar.
Untuk menggenjot industrialisasi skala besar sangat dibutuhkan modal yang besar.
Sedangkan kelemahan utama Negara berkembang termasuk Indonesia adalah minimnya
modal. Sehingga satu-satunya jalan adalah dengan mendatangkan big push dari MNC/TNC
yang jelas memiliki kecukupan modal untuk sirkuit.
Buruh diposisikan sebagai komoditas ekonomi yang siap diperjual belikan oleh
Negara berkembang bersanding gengan bahan mentah alami. Indonesia mengiming-imingi
upah buruh murah dan mental buruh penurut untuk menarik investor. Sebab, bagi investor
yang paling penting untuk memilih daerah mana yang ada dijadikan lahan investasi mereka
adalah buruh yang murah dan penurut serta sumber daya alam yang tersedia.
Visi kebijakan sektor perburuhan yang lebih menekankan pada kepentingan investor ini
bagi pemerintah adalah pilihan yang rasional. Lemahnya bargain Negara berhadapan dengan
MN/TNC yang akhirnya harus mengorbankan buruh, itu menunjukkan diplomasi
internasional yang dilakukan diplomat-diplomat kita yang sangat lemah dan fundamen
ekonomi kita juga rapuh, sehingga pertanyaannya mengapa pemerintah Indonesia lebih
memilih jalan pintas pengorbanan buruh ketimbang melakukan diplomasi internasional yang
canggih dan kerja-kerja penguat fundamen ekonomi nasional? Apakah pekerjaan ini terlalu
sulit bagi kapasitas otak petinggi Indonesia ?
Analisis atas UU Ketenagakerjaan 2003
Buruh masih tetap diobjektifikasi. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam kesejahteraan
buruh yang muaranya adalah produktifitas kerja. Padahal sudah jelas bahwa produktifitas
buruh adalah pangkal aliensi. Seharusnya kesejahteraan kerja dikembangkan pada spectrum
yang lebuh bermakna, yaitu peningkatan bargaining buruh baik dalam internal perusahaan
maupun hubungan social politi mereka di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada pasal 52
tentang hubungan kerja, pasal 102 tentang hubungan industrial dan pasal 104-107 tentang
relasi politik buruh-pengusaha-negara.
Beberapa hal yang cukup positif dari UU ini adalah pasal 5 yang memuat penegasan pada
anti diskriminatif pada kesempatan kerja. Pasal 39 yang memberikan apresiasi cukup tinggi
atas orientasi pada perluasan lapangan kerja, sehingga tidak terjadi dominasi perusahaan
asing skala besar. Pasal 42 yang mengatur ketatnya penggunaan tenaga kerja asing yang
memang banyak menimbulkan kecemburuan social dan meluaskan hagemoni asing. Pasal
ini juga menekankan pada terjadinya transfer of knowledge antara tenaga ahli asing pada
tenaga ahli dalam negeri. Pasal 77 yang mengatur tentang waktu kerja juga terlihat cukup
proporsional.
Tentang mempekerjakan anak dan perlindungan buruh perempuan, UU ini memang
masih jauh dari kesempurnaan.
Sebuah kebijakan seringkali meninggalkan tujuan dasar dari kelompok sasaran yang
hendak dikelola oleh kebijakan publik tersebut. Kebijakan ketenagakerjaan misalnya,
kendati disebut demikian ternyata isinya bukan kebijakan yang diperuntukkan bagi tenaga
kerja, melainkan kebijakan yang diperuntukkan bagi pengusaha dan penguasa. Sehingga
dalam formulasi kebijakan ketenagakerjaan seharusnya kepentingan dari pekerja itu
sendirilah yang harus diletakkan di depan. Proses negosiasi politik terjadi dengan
menempatkan posisi kepentingan si pekerja sebagai subyek bargaining. Akan tetapi yang
terjadi selama ini justru sebaliknya, pekerja menjadi obyek bargaining atau justru malah
penonton. Inilah yang menyebabkan kerapuhan social kelas pekerja.
2. Kebijakan Publik di Sektor BUMN
Kenaikan harga BBM sekarang menjadi iu publik yang sangat marak dibicarakan.
Kenaikan harga BBM sesungguhnya bukan karena materi barangnya naik secara ekonomis,
akan tetapi dikarenakan dicabutnya subsidi yang diberikan di sektor itu selama ini. Subsidi
BBM diberikan agar harganya murah dan terjangkau olah orang miskin.
Saat ini pemerintah telah manaikkan harga BBM dengan kenaikan rata-rata sebesar 15%.
Hal ini adalah fenomena kebijakan yang menarik untuk diamati. Sebab fenomena kenaikan
harga BBM berdampak pada berbagai persoalan yang ada di masyarakat.
Pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan untuk mengurangi subsidi BBM, reaksi keras
dari berbagai elemen masyarakat muncul ke permukaan. Sebab beban yang akan diderita
masyarakat tidak hanya beban ekomini, tapi juga beban social yang terjadi dimana-mana,
masih akan ditambah lagi dengan ancaman kenaikan biaya hidup dengan naiknya harga
BBM. Secara psikologi social ini jelas akan menjadi masalah baru yang mengancam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Kekerasan sebagai bagian problem psikologi bangsa
ini nampaknya terus membayangi.
Di situasi ini muncul pertanyaan mendasar, mengapa pemerintah tetap hendak
mengeluarkan kebijaksanaan pencabuta subsidi BBM? Dan ada banyak jawaban dari
pertanyaan itu, pertama alas an sentral dan intinya yaitu persoalan efisiensi anggaran, kedua
seiring dengan pelaksanaan AFTA, banyak ekonom pemerintah yang mengatakan bahwa
Indonesia perlu meningkatka daya saing, ketiga bila subsidi BBM terus diberlakukan maka
Indonesia akan terancam krisis energy dan keempat adalah besarnya angka penyelundupan
BBM yang terjadi selama ini.
Kendati demikian kelompok masyarakat bersukeras bahwa kebijaksanaan menaikkan
harga BBM adalah kebijaksanaan publik yang salah juga memiliki alas an yang kuat.
Pertama kalu memang perlunya pengurangan subsidi BBM karena efisiensi anggaran
Negara, mengapa harus BB yang menjadi korkan? Padahal dana-dana dari APBN dinilai
tidak seimbang. Kedua sebenarnya yang harus dilakukan untuk efisiensi anggaran itu bukan
dengan mengurangi subsidi BBM, tapi membenahi kinerja pemerintah. Ketiga persoalan
yang dihadapi bangsa ini sebenarnya adlah masalah hutang dan keempat adalah
pengurangan subsidi dari Rp. 41,3T menjadi Rp. 32,289T atau sebesar Rp. 9,001T,
dbandingkan dengan dana kompensasi yang hanya Rp.2,8T yang meimbulkan pertanyaan
besar.
Di tengah dua argumentasi semacam itu pemerintah ini dituntut untuk mengeluarkan
kebijaksanaan yang tepat. Dan hal ini menjadi tidak mudah bagi pemerintah, sebab desakan
dari kondisi yang ada menuntut keputusan tersebut harus diambil seceoat mungkin dengan
pertimbangan yang sematang mungkin. Segala bentuk pengluaran harusnya dapat
bermanfaat dan berdampak secara ekonomis, utamanya dalam rangka peningkatan surplus.
Kebijakan pencabutan subsidi BBM menjadi sebuah dilemma yang sangat berat. Di satu
sisi ketika pemerintah mengakomodasi keinginan rakyat banyak agar subsidi tetap
dijalankan, maka dikhawatirkan tidak mendapat dukungan dana dari lembaga-lembaga
keuangan internasional. Sebaliknya ketika oemerintah lebih mengakomodasi tuntutan
lembaga-lembaga keuangan internasional, maka gejolak social di masyarakat akan makin
tak terhindar. Dampak lainnya adalah ketergantungan negara atas kekuatan-kekuatan asing
juga makin luat. Untuk itu kita harus melihat masalah subsidi BBM ini bukan hanya dari sis
naik turunnya harga BBM saja, malainkan dampak ekonomi politiknya.
Untuk itu seharusnya diperlukan reformulasi kebijakn publik di sektor BBM dengan
menggunakan multidiscipline approach. Artnya, pertimbangan pemerintah untuk mencabut
subsidi dengan alasan untuk meningkatkan produktifitas, dana pembangunan yang dimiliki
ini hanyalah pertimbangan ekonomis. Pertimbangan social dan politik masalah tersebut
seharusnya juga masuk dalam analisis kebijakan pencabutan subsidi BBM.
Dari kasus kebijakan pencabutan subsidi BBM ini kita dapat menyaksikan bagaimana
kompleksitas kepentingan yang ada dalam sebuah kebijakan publik yang sedang berproses.
Di muka yang telah dujelaskan bahwa dengan banyaknya kator yang terlibat dalam satu
kebijakan publik, berarti makin banyak pula kepentingan yang berlalu-lalang dala kebijakan
publik tersebut. Ini menuntut adanya sikap dan semangat kebijakan publik dari para penentu
kebijakan, yakni sejauh mana mereka lebih mengedepankan kepentingan publik di atas
kepentingan sekelompok kecil orang. Kita tidak mempersoalkan apakah pilihannya jatuh
pada pengurangan subsidi BBM atau tetap memberikan subsidi. Yang dipersoalkan di sini
adalah pertimbangan dibalik pilihan tersebut.bila memang dengan mencabut subsidi BBM
diyakini kepentingan publik akan secara luas dapat akan terjaga dalam jangka panjang, maka
pilihan tersebut dapat diterima. Sebaliknya bila dengan tetap mempertahankan diberikannya
subsidi BBM masyarakat malah makin dirugikan dalam jangka panjang maka jelas itu
pilihan kebijakan yang salah.
3. Kebijakan Publik dalam Penjualan Aset Negara
Sering datangnya krisis ekonomi yang dialami Indonesia di penghujung tahun 1990an,
makapersoalan berkaitan dengan turunnya produktifitas bangsa pun menyeruak. Persoalan
pokok berkaitan dengan hal in adalah rendahnya kinerja dari asset seperti BUMN dan
miskinnya kekuatan anggaran negara yang dimiliki bangsa ini. Problem seperti ini
sesungguhnya dialami oleh banyak negara di kawasan krisis pada masa itu. Hanya yang
menjadi perbedaan adalah pemerintah Indonesia lebih senang mencari solusi yang instant
dan berwawasan pendek.
Akar masalah penjualan asset yang marak terjadi di penghujung tahun 2003,
sesungguhnya sudah dimulai sejak awal krisis moneter tahun 1997. Tena Abeng Menteri
BUMN saat itu mengumumkan rencana pemerintah menjual 12 perusahaan negara demi
untuk mendapatkan Rp. 15T. termasuk diantaranya perusahaan-perusahaan yang dikuasai
oleh keluarga Soeharto dan menjadi sarang hutang. Dengan langkah iti, ada dua hal yang
dicapai, yaitu menutupi kekurangan dana untuk membayar hutang dan sekaligus
memutihkan hutang-hutang yang dibuat oleh pejabat BUMN itu sendiri.
Tindakan kriminal ini berlangsung terus menerus sampai sekarang. Di tengah kepanikan
mencari dana untuk membayar hutang yang semakin menumpuk, pemerintah menjual
perusahaan publik kepada investor asing.
Akibat utama dari penjualan asset-aset milik negara ini adalah serahkannya hajat hidup
orang banyak kepadaperusahaan asing. Perusahaan swasta itu tidak segan mengurangi atau
bahkan menghapus pelayanan dan produk yang dianggap tidak menguntungkan. Akibatnya
pelayanan akan semaki n mahal dan tidak terjangkau oleh rakyat biasa. Di samping, masalah
menajemen dan buruh, perusahaan negara biasanya dikenal boros kerena member pekerjaan
kepada puluhan ribu orang.dimata perusahan asing yang semata-mata memikirkan jumlah
keuntungan, jumlah pegawai itu dinilai tidak efisien, sehingga pengambil-alihan senantiasa
diikuti pemecatan masal terhadap puluhan ribu pegawai. Tapi sebaliknya perusahaan ini
menarik keuntungan dai disiplin dan upah rendah yang ditetapkan dalam BUMN.
Penjualan perusahaan ini adalah langkah putus asa pemerintah untuk mendapatka dana
segar secepatnya sekaligus sebanyak mungkin. Tidak disadari bahwa perusahaan negara,
betapa pun korup dan tidak efisiennya, adalah milik rakyat serta dibuat untuk kepentingan
publik. Dengan hal ini hamper seluruh penyelenggara kehidupan social berada di tangan
asing.
Pemerintah sesungguhnya tidak bias menjual perusahaan milik rakyat begitu saja.
Seharusnya diilakukan reorganisasi perusahaan besar-besaran dengan memecat pimpinan
yang korup, memberantas manipulasi yang meraja lela. Carnya tidak lain dengan
memperbesar kekuatan buruh dan pegawai dalam mengelola serta memiliki perusahaan
tersebut. Masyarakat sehatusnya juga terlibat dalam menentukan perkembangan perusahaan
negara, dan dilibatkan melalui mekanisme tertentu. Kontrol secara langsung oleh rakyat
harus diperkuat dan dilembagakan, sehingga kemungkinan penyelewemgan diperkecil dan
akhirnya diberantas sama sekali.
Menghadapi persoalan rendahnya kekuatan anggarab itu, negara lantas melirik BUMN-
BUMN yang tidak mampu memberikan konstribusi banyak pada negara dan memiliki beban
operasional tinggi sebagai sebuah asset yang bias dijual untuk menutupi kelemahan yang
ada. Padahal seharusnya BUMN-BUMN tersebut bisa didayagunakan dan ditingkatkan
produktifitasnya untuk menopang keuangan negara dalam jangka panjang. Bukan dengan
solusi instan dengan menjual asset, memang secara cepat akan mendatangkan dana segar,
akan tetapi dalam jangka panjang negara sudah tidak memiliki lagi alat produksi yang kuat
sebagai penopang kekuatan anggaran domestiknya.
4. Kebijakan Tata Ruang Kota dan Hancurnya Lingkungan Hidup
Tata ruang kota yang berkelanjutan adalah sasaran penataan ruang (yang berkelanjutan),
yang harus ditujukan lebih lanjut kepada kesejahteraan masyarakat (people prosperity) dan
kesejahteraan wilayah (place prosperity) antar generasi. Oleh karena dengan lingkup yang
sedemikian luas, keseluruhan dimensi keberlanjutan kota tidak mungkin tercapai jika hanya
diusahakan oleh pemerintah. Keberlanjutan hanya akan dapa dicapai jika dilaksanakan
dalam bingkai good governance, dimana peran pembangunan bukan hanya oleh pemerintah
dan atau swasta atau salah satu stakeholder saja tetapi harus terdapat keseimbangan
konstribusi antar pemerintah, swasta/sektor bisnis dan masyarakat madani (civil society)
sesuai fungsi masing-masing.
Tata ruang kota terbentuk antara homogenitas yang kaku seragam dengan heterogenitas
yang kenyal memberagam sehingga hal yang mudah deskripsinya tetapi sangat sulit dalam
implementasinya. Untuk mengatasi masalah semacam ini disarankan suatu bentuk
perencanaan kota yang open-ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari system
kota yang memberikan peluang bagi bagian-bagian lain (termasuk tidak dapat diperkirakan
sebelumnya) untuk bergerak secara spontan.
Kota yang berkelanjutan adalah kota yang mewadahi aneka ragam kegiatan baik
tradisional maupunmodern baik yang bergerak di sektor formal maupun informal.
Ruang Terbuka
Ruang terbuka dapat dikatakan sebagai unsure ruang alam yang dibawa ke dalam kota
atau lapangan terbuka yang dibiarkan tetap seperti keadaan aslinya, ruang terbuka sebagai
salah satu komponen. Kota berkelanjutanmerupakan ruang yang direncanakan karena
kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka.
Ruang terbuka mempunyai fungsi yaitu:
1. Fungsi umum: tempat bermain dan berolahraga, tempat bersantai tempat komunikasi
social, tempat mendapatkan udara segar, dan lainnya
2. Fungsi ekologis: penyegaran udara, penyerap air hujan, pengendalian banjir, memelihara
ekosistim tertentu, pelembut arsitektur bangunan.
Tata Ruang Kota
Perencanaan tata ruang kota hendaknya memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan
dengan komunitas (social budaya) serta sumber daya selain penekana pada aspek penataan
kota dalam bentuk fisik dan visual (land use, system jaringan jalan, infra struktur) dan harus
mengakomodasi keterlibatan masyarakatnya. Penataan ruang yang berkelanjutan adalah
usaha menerus dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui tindakan penataan
ruang. Penataan ruang itu sendiri harus diartikan sebagai rangkaian kegiatan perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Penataan ruang yang berkelanjutan lebih merupaka suatu proses daripada tujuan atau
produk. Bidiharjo dan Sujarto (1999) memberika usulan atau rkmendasi untuk
meningkatkan kualitas penataan ruang agar dapat berkelanjutan, yaitu: agar pengelola dan
penataan ruang kota tidak lagi sekedar management of growth atau management of change
melainkan lebih sebagai management of conflict. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal
disenyawakan dengan masalah jangka pendek yang bersifat incremental.
Peran serta masyarakat dan kemitraan dengan pihak swasta agar lebih digalakkan untuk
bisa memecahkan masalah tata ruang kota dan pengolahan lingkungan hidup dengan prinsip
win-win solution, tanpa ada yang merasa dirugikan. Prinsip pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan kepentingan masyarakat agar dijabarkan dalam rencana dan tindakan yang
tidak sekedar berhenti sebagai slogan semata-mata.
Para investor melihat peluang bisnis perumahan di sekitar kota dan berburu tanah
berhektar-hektar disana sebuah wilayah membutuhkan ruang terbuka hijau yang bisa
digunakan untuk area serapan air penghindar hujan, sebagai paru-paru kota. Area ini yang
menjadi sasaran para investor bisnis pemukiman untuk mendapatkan tanah ersebut
mereka melakukan berbagai cara dan membelinya melalui kebijakan publik untuk
memuluskan aksinya akibat hasil konspirasi hitam yang berujung pemberangusan lahan,
dan masyarakat asli yang kalah, mereka kehilangan daerah resapan dan lebih parah
pemerintah merevisi kebijakan untuk mementingkan bisnis pemukiman para investor
hilangnya ruang terbuka hijau membuat daerah perkotaan panas namun mewah dan
dilengkapi drainase dengan membuang di pemukiman kumuh, ketika hujan drainase ini akan
menjalankan fungsinya yaitu melindungi orang-orang kaya dari banjir dan menenggelamkan
orang-orang miskin ketika musim kemarau datang orang-orang kembali dikorbankan
karena udara yang sangat kering menyebabkan terjadinya kebakaran sebab tak ada sirkulasi
kelembaban udara yang cukup sedangkan lingkungan yang tidak sehat di perkotaan
membuat daampak sosiologis dan psikologis yang meningkatkan angka kriminalitas akibat
kebijakan publik yang serakah dan tak sensitive dengan lingkungan hidup.
Kebijakan publik saat ini lebih sensitive terhadap factor- factor kelestarian lingkungan
hidup. Utamanya hal yang paling signifikan untuk hal ini adalah pada kebijakan publik
sektor tata ruang. Sebab kebijakan publik di sektor tata ruang ini adalah landasan dasar dari
pembangunan dan penggunaan lahan di wilayah perkotaan.
Sebagai dampak dari pandangan terhadap kebijakan publik yang terlampau teknokratik
dan ekonomis, seringkali kebijakan publik yang ada tidak memiliki sensitifitas terhadap
lingkungan hidup. Sehingga andaikata kebijakan publik dilakasanakan dengan jujur dan
tanpa KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan tetap akan rusak karenanya, sebab
semua melulu dihitung secara ekonomis. Terlebih kenyataan hari ini kita banyak melihat
kebijakan tata ruang yang memang dibuat untuk keuntungan pengusaha property tertentu. Si
pengusaha seperti member sogokan dan pemerintah memeberinya fasilitas kebijakan.
5. Kebijakan Publik dan Ambisi Peningkatan PAD
Setelah berjalan selama hamper lima tahun, otoda di Indonesia mendapatkan banyak
sorotan dari masyarakat luas. Ada yang memberikan apresiasi positif, namun ada pula yang
berpandangan negative terhadap program otoda.
Evaluasi atas pelaksanaan program otoda selama lima tahun menemukan banyak
penyimpangan dan penyempitan makna. Cita-cita ideal otoda harus segera ditegaskan lagi,
agar penyimpangan dan penyempitan makna dalam pelaksanaa otonomi daerah itu tidak
terjadi.
Pertama, dikatakan bahwa otonomi daerah masih mengalami penyempitan makna,
yaitu ketika otonomi daerah hanya dipandang dari sisi keuangan saja, otonomi daerah
dianggap sebagai ajang penggenjotan Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata. Sehingga
seringkali justru dengan adanya otonomi daerah masyarakat malah makin terjepit dalam
kondisis biaya ekonomi tinggi ( high cost economy). Kondisi ini ditengah keadaan
masyarakat kita saat ini yang masih kacau perekonomiannya tentu dikhawatirkan akan
menimbulkan gejolak social tertentu.
Kedua, otoda dikatakan mengalami penyimpangan makna adalah, ketika otoda justru
ditanggapi daera-daerah sebagai penyekatan secara tegas wilayah-wilayah antar daerah
secara horizontal dan penyekatan hierarki organisasi secara vertikal. Kabupaten atau kota
satu menganggap dirinya sangat otonom dan lepas dari keberadaan kabupaten atau kota
disekitarnya.
Dalam takaran ekonomi politik otonomi daerah berimbas pada ekonomisme. Hal ini
dipicu keharusan dari tiap daerah untuk dapat membiayai anggaran belanja daerahnya
masing-masing. Seperti da[at kita lihat dalam pasal 79 UU No. 2 tahun 1999 yang
menyebutkan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas : (1) PAD (terdiri dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan); (2) Dana Perimbangan (jabarannya dapat dilihat pada PP
np. 104 tahun 2000); (3) Pinjaman Daerah (jabarannya dapat dilihat pada PP no. 107 tahun
2000); (4) lain-lain pendapatan daerah yang dianggap sah. Selanjutnya tentang dana
perimbangan itu kita dapat melihat pada pasal 80 UU no. 25 tahun 1999 yang menyebutkan:
(1) Dana Perimbangan (sejalan dengan pasal 6 UU 26/99 DAN JABARANNYA PADA pp
104/2000), terdiri a. dana bagi hasil (DBH) dari hasil PBB, bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari sumber daya alam (PSDA); b. Dana Alokasi
Umum (DAU), dana yang dialokasikan dari APBN dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi; c. Dana Alokasi Khusus (DAK) dana yang dialokasikan dari
APBN kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu, sesuai dengan tujuan
pokok dana perimbangan; (2) Bagian daerah dari dana penerimaan PBB sektor pedesaan,
perkotaan dan perkebunan serta perolehan hak atas tanah dan bangunan diterima langsung
dari daerah penghasilan; (3) Bagian daerah dari dana penerimaan PBB sektor pertambangan
serta kehutanan dan penerimaan sumber daya alam, diterima daerah penghasil dan daerah
lainnya untuk pemerataan sesuai UU.
Otoda merupakan sebuah aktualisasi konkret dari strategi politik dsesentralisasi yang
dipakai oleh sebuah rezim.
Padas saat reformasi suatu hal yang menggembirakan adalah adanya kebijakan
desentralisasi dengan harapan dapat mengekspresikan apa yang menjadi kehendak dan
kebutuhannya akan tetapi kegembiraan tidak berlangsung lama karena setelah perangkat
otoda dibentuk, masyarakat elit lokal justru kebingungan karena aspek pembiayaan daerah
menjadi sangat berat, secra mendadak diminta untuk mebiayai daerah dengan kekuatannya
bagi daerah kaya melihat peluang untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi SDA
(Sumber Daya Alam) yang dimilikinya bagi daerah miskin mereka kebingungan mencari
cara untuk menjadikan uang dalam bentuk PAD (Pendapatan Asli Daerah). Waktu trasisi
yang diberikan berupa DAU (Dana Alokasi Umum) sebagai mediasi sebelum membiayai
sendiri masalah yang dihadapi tidak diimbangin dengan kecerdasan yang cukup dari elite
birokrasi, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah seharusnya lebih mampu melakukan super
visi masalah ketidakcerdasan elite lokal ini menjadikan kebijakan pemerintah yang tidak
visioner dalam hal peningkatan kemampuan daerah, dan kebijakan retribusi yang jadi
sasaran peningkatan kemampuan daerah akibat pemerintak mengeluarkan kebijakan
retribusi yang tidak masuk akal, berbagai sektor yang ada dalam masyarakat dikenai biaya
semua bentuk dan sektor pelayanan ada bayaran nominal yang relative mahal sehingga
rakyat bingung sebab kenapa otoda malah membuat hidup lebih susah kondisi ini juga
tidak diimbangi dengan penguatan sektor desentralisasi, yaitu transparasi, uang rakyat
banyak diperas melalui kebijakan retribusi tapi tidak jelas aliran penggunaannya dampak
tak sehat lainnya dari kebijakan publik yang menggenjot PAD ini adalah implikasi pada
patologi nasionalisme versus lokalisme. Elite-elite lokal tidak lagi peduli dengan daerah lain,
kare daerahnya sudah kaya. Otonomi daerah dengan kebijakan seperti ini justru menjadi
egoisme daerah.
6. Kebijakan Publik dan Para Makelar Proyek
Ada suatu gejolak paradox reformasi adalah mewabahnya lapangan pekerjaan baru, yaitu
makelar proyek. Ironisnya seringkali para pelaku makelar proyek ini adalah mantan aktifis
gerakan yang dulunya menggemborkan reformasi dan penghancur KKN. Praktik KKN di
Indonesia begitu sulit untuk diberantas ibaratnya kita menguras air laut, dalam hal
pelelangan proyek (tender) hingga saat ini tidak terlepas dari rekaya, sehingga system
penunjukan langsung masih teta terjadi. Ini akibatkan adannya permainan antara panitia
lelang dan pelaksana proyek dengan mengadakan rekayasa tenderisasi proyek.
Memang mengerjakan proyek di lingkungan pemerintahan memberikan keuntungan yang
sangat luar biasa dan tidak wajar. Kebijakan publik yang mengatur tentang masalah ini
adalah Keppres 18/2000 pasal 3 tentangPedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa
Instansi Pemerintah, tak mampu membendung permainan para makelar proyek.
Para makelar proyek biasanya mengaku telah melakukan serap aspirasi proyek yang
dibutuhkan masyarakat. Namun mereka tidak sadar bahwa namanya dimanfaatkan oknum
tertentu dalam upaya mengegolkan proyek. Modusnya biasa dilakukan dngan pencatutan
nama dari penguasa lokal tertentu dan disertai dengan pungutan. Para makelar proyek
kemudian meminta imbalan sejumlah uang bila proyek cair. Para calo bahkan menawarkan
jasa pembuatan proposal dan mengantarkan ke panitia proyek tender tertentu. Seharusnya
untuk menghindari calo, harus ada kebijakan ketat untuk mengancam tidak akan
mengegolkan proyek yang diajukan lewat calo.
Banyak pengamat yang sudah biasa melihat orang-orangyang tidak jelas sering
berkeliaran di lingkunagn kantor Pemerintah Kota/Kabupaten. Mereka ternyata adalah para
calo proyek yang sejak dulu selalu berusaha kasak-kusuk mendekati oknum pejabat agar
bisa mendapatkan proyek.
Reformasi atau sebuah perubahan social hanya menguntungkan masyarakat khusus atau
elite-elite lokal, dan masyarakat menengah kebawah hanya menjadi penonton. Keterlibatan
masyarakat secara menyeluruh jarang terjadi, sehingga reformasi sering dipersepsi sebagai
kebutuhan elite-elite saja elite-elit masyarakat saja yang menikmati berbagai akses
informasi di pmerintahan dan keputusan-keputusan politik di level strategis dan lapisan
masyarakat bawah hanya menonton saja setelah para elite ini mengethui adanya
informasi proyek tersebut maka mereka berkeinginan untuk dapat mengaksesnya. Mereka
menggunakan pressure berbgai legitimasi yang dimilikinya agar dapat disetujui oleh
pemegang legalitas di pemerintah diringi dengan uang sekian banyak proyek
pembangunan itu adalah hasil dari proses kebijakan publik dari pemerintah untuk
masyarakat, tetapi para makelar proyek dianggap sebagai ladang uang pengerjaan proyek
yang ditangani oleh bukan ahlinya, karena mereka hanya sorang makelar proyek dan
biasanya ada sub kontrak jika pemenang tidak dapat menangani dengan baik dengan
kondisi seperti ini masyarakat tidak bisa menikmati pembangunan pelayanan publik, sebab
pembangunan tidak berprespektif pada kenyamanan rakyat tetapi berprspektif pada
keuntungan makelar proyek. sebagai sebuah output dari kebijakan publik, telah
termodifikasi sedemikian rupa sehingga makin jauh dari tujuan instrumen penyejahtera
rakyat.
Menkadi sebuah policy maker dan policy actor bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah.
Kondisi dimana kita akan dihadapkan pada berbagai dilemma adalah merupakan makanan
sehari-hari.oleh karena sebuah kebijakan (policy) memang sangatlah membutuhkan
kebijaksanaan (wisdom). Sebab, bila seseorang pemangkun kebijakan publik yang
berprespektif pendek dalam merespon fenomena social, biasa dipastikan bahwa usia
politiknya juga akan pendek. Terlebih saat ini kita dihadapkan pada kondisi masyarakat
yang miskin kritis, partisipasif dan transparan. Kesalahan kecil dari seorang elite pemangk
kebijakan akan cepat di blow up dan akan menjadi gelombang pembentukan opini negative
atas jati diri sang tokoh.
Kebijakan publik itu selalu memiliki dua sisi yaitu pro dan kontra. Pada masa lalu ketika
para pemangku kebijakan dihadapkan pada kondisi semacam ini mereka bisa menggunakan
pendekatan. Berbagai kalangan yang mencoba untuk berposisi sebagai antitesa sebuah
produk kebijakan dapat diberangus, demonstran dipenjara dan media krits didrebel. Tapi
saat ini demokratisasi makin membesar, dan dilemma-dilema kebijakan disikapi seraca arif,
sehingga kemampuan manajemen dan teknologi pokitik bagi para politisi saat ini jauh lebih
tinggi dari pada masa otoritarianisme.
Dalam studi kebijakan publik berkembang pula wacana tentang perubahan kebijakan
(policy change). Wacana ini muncul sebagai gerakat kritis rakyat banyak yang seringkali
dirugikan oleh kebijakan publik. Sayangnya perubahan kebijakan publik itu umumnya hanya
mengganti posisi saja antara yang pro dengan kontra. Inilah yang tak heran para rules atau
elite kebijakn publik pusing menghadapi dilema kebijakan publik karena masalh yang sudah
sedemikian kompleks di masyarakat.