Diy Rdpu Dprd Jan 2013 Kristiadi
Transcript of Diy Rdpu Dprd Jan 2013 Kristiadi
POLITIK BERMARTABAT, MELURUSKAN REFORMASI SESAT1
J. Kristiadi
Peneliti Senior
Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
Pengantar
Setelah melalui proses yang panjang, sekitar satu dekade, akhirnya
keinginan masyarakat Ngayogyakarta memiliki UU Keistimewaan, UU
13/2012, yang dapat dijadikan landasan melakukan pembangunan yang di
dasarkan oleh nilai-nilai adiluhung. Tema sentral dari dan mantra dari
Keistimewaan Yogyakarta, sebagai diungkapkan dalam visi, misi & program
calon Gubernur DIY 2012 – 2017, Renaissans Yogyakarta ditujukan
guna terciptanya peradaban baru unggul yang menghasilkan ‘manusia yang
utama’ (jalmâ kang utâmâ), yang berasaskan ‘rasa ke-Tuhan-an, rasa
kemanusiaan dan rasa keadilan’, dengan mengandalkan modal dasar
‘kebudayaan dan pendidikan’. Visi dan Misi Pemerintah daerah juga sarat
dengan ungkapan nilai-nilai luhur dan kegairahan untuk mewujudkan
peradaban baru.
Berkenaan dengan itu, beberapa pemikiran dibawah ini, meskipun
dalam ruang limhgkup reformasi yang di paparkan adalah makro-nasional ,
tetapi mungkin dapat dijadikan bahan permenungan untuk melakukan
renaisans di Yogyakarta.
Reformasi telah membawa berkah sekaligus musibah. Masyarakat
mendapat berkah kebebasan, tetapi sebagian masyarakat mempergunakan
kebebasan tidak mengindahkan kepentingan orang lain. Ranah paling rawan
dalam melakukan transformasi politik adalah menata tertib politik yang
demokratis. Pengalaman selama hampir 15 tahun ber-reformasi,
1 Makalah ini disusun dan di edit dari beberapa makalah dan artikel dari penulis dan dilakukan beberapa “up dating” sebagai bahan bacaan anggota DPRD DIY dalam Rapat Dengan Pendapat Umum Konsultasi dan Sosialisasi UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY.
1
menunjukkan demokratisasi telah dimanipulasi oleh para elit politik.
Perobahan tatanan kekuasaan yang sangat kompleks, rumit dan sarat dengan
berbagai kepentingan memerlukan tuntutan dan roh yang memberikan sinar
terang, agar proses transformasi tidak terjebak dalam gelapnya nikmat
kekuasaan.
Benang merah dari keseluruhan makalah ini mencoba menjawab
permasalahan yang sering dikemukakan oleh publik sebagai berikut. Pertama
adakah jalan keluar mengatasi persoalan multi dimensi yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia pasca reformasi politik dewasa ini? Kedua, dari titik mana
persoalan yang kompleks dan tali-temali tersebut diurai? Bagaimana
mewujudkan kehidupan politik yang bermartabat?
Dalam konteks kekinian jawaban terhadap pertanyaan tersebut
menjadi semakin mendesak mengingat kehidupan politik dewasa ini
mengalami pendangkalan, manipulatif, transaksional serta semakin jauh dari
budaya politik yang bermartabat dalam memaknai demokrasi serta hakekat
kekuasaan. Ranah politik hanya sekedar arena pertarungan kepentingan
kekuasaan tanpa roh dan ideologi serta kepemihakan kepada yang lemah.
Kecenderungan ini kalau dibiarkan tidak mustahil akan menyeret transformasi
politik menuju ke arah anarki sosial atau kembalinya kekuasaan yang represif.
Pancasila Landasan Politik Bermartabat
Setiap bangsa, terlebih yang sedang mengalami perobahan tatanan
kekuasaan yang mendasar, memerlukan sebuah cita-cita besar baik untuk
mempertahankan eksistensi dan survivalitasnya maupun untuk
mengembangkan diri mencapai cita-citayang diimpikan bangsa yang
bersangkutan. Gagasan luhur tersebut menjadi absolut karena bangsa yang
bersangkutan harus menemukan nilai-nilai yang dapat memotivasi, memberi
inspirasi serta mempersatukan mereka mewujudkan cita-cita bersama. Upaya
tersebut menjadi lebih sulit kalau bangsa tersebut mempunyai tingkat
keragaman primordialistik yang tinggi. Heterogonitas yang didasarkan atas
2
sentimen primitif sangat rawan terhadap konflik karena pertarungan menjadi
sangat tidak rasional. Glorifikasi dan keunggulan kelompok satu dengan
lainnya tidak mempunyai ukuran yang masuk akal, dan oleh sebab itu sulit
dikompromikan. Dalam sejarah umat manusia perbedaan primordial yang
dijadikan sarana berburu kekuasaan menjadi awal dan penyebab perang
saudara yang berdarah-darah dan saling mematikan.
Nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai ‘bangsa’ sangat beruntung
karena mempunyai modal sosial dan modal kesejarahan yang panjang.
Berdasarkan modal tersebut, melalui negosiasi yang keras dan melelahkan,
namun disertai dengan semangat dan jiwa yang luhur, para pendiri bangsa
berhasil merumuskan pemikiran-pemikiran besar yang sarat dengan nilai-nilai
mulia bangsa sebagai dasar, ideologi dan falsafah bangsa. Titik kulminasi dari
semangat para pendiri negara untuk membangun bangsa dan negara,
akhirnya mereka menemukan jawaban terhadap permasalahan ideologi
tersebut: Pancasila. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila adalah kekayaan
bangsa yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur
yang digali dari akar budaya bangsa. Keutamaan yang mencakup seluruh
kebutuhan hak-hak dasar dan azasi manusia secara universal sehingga dapat
dijadikan landasan dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang heterogen.
Pancasila secara moral dan imperatif menjadi tuntunan tabiat dan
perilaku seluruh warga negara dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Kesepakatan seluruh bangsa tersebut menjadi sangat monumental karena
kelompok-kelompok yang mempunyai perbedaan ideologi yang bersandarkan
sentimen primordial sepakat lebih mengutamakan kepentingan umum, dan
mengesampingkan kepentingan sempit mereka. Oleh karena itu bangsa
Indonesia sudah seharusnya mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai
tersebut sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara untuk
mewujudkan cita-cita bersama.
Dalam tataran ide atau gagasan, Pancasila sebagai ideologi yang
mempersatukan seluruh elemen bangsa dalam mewujudkan cita-cita sudah
final. Namun sayangnya dalam sejarah perjalanan bangsa, sejak
3
kemerdekaan hingga kini, pelaksanaan Pancasila mengalami berbagai
hambatan. Terutama disebabkan oleh dinamika politik yang
menyalahgunakan Pancasila untuk menyusun kekuasaan. Idelogi bangsa dan
negara yang sarat dengan nilai-nilai luhur sekedar dijadikan sarana memburu
kekuasaan dengan mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Sumber dari
segala sumber persoalan terjadinya perilaku politik yang berseberangan
dengan Pancasila adalah rentannya para pemegang kekuasaan terhadap
godaan kekuasaan. Melalui sejarah perjalanan bangsa dapat dengan mudah
ditelusuri mulai dari rejim Orde Lama, Orde Baru serta Orde Reformasi, pada
awalnya rejim-rejim selalu beretorika bertekad melaksanakan Pancasila.
Namun dalam perjalanannya rejim-rejim tersebut tumbang atau gontai karena
memanipulasi Pancasila untuk kepentingan kekuasaan.
Mengelola Kekuasaan Secara Beradab
Upaya mewujudkan cita-cita bangsa muncul kembali dengan terjadinya
transformasi politik dari otoritarian menuju kehidupan politik yang demokratis
akhir tahun 1990-an. Makna yang paling mendasar adalah mengatur sistem
manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila serta politik
perundang-undangan yang visioner dalam memproyeksikan transformasi
politik ke depan, sehingga akan menghasilkan struktur, sistem dan budaya
politik yang semakin bermartabat.
Namun hal itu tidak mudah dilakukan mengingat fenomena kekuasaan
sangat rentan untuk disalahgunakan. Oleh karena itu dalam dunia politik
sangat dikenal ungkapan klasik tetapi populer sebagai berikut: ‘Power tends
to corrupt, absolute power corrupts absolutely’2 Rangkaian kata yang
mengungkapkan makna sangat mendalam. Kekuasaan mempunyai dua tabiat
yang kontradiksi secara diametral satu sama lain: daya pesona yang luar
2 2. Konon, ungkapan berasal dari surat Lord Acton kepada Bishop Mandell Creighton, 1887: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men”. Acton was preceded by William Pitt, the elder, who voiced a similar thought in a House of Lords speech in 1770: “Unlimited power is apt to corrupt the minds of those who possess it; and this I know, my lords, that where laws end, tyranny begins”..Ungkapan itu juga dapat dicermati dalam Gertrude Himmelfarb; Lord Acton : A study in Concsience and Politics; The University Of Chicago Press, 1952.
4
biasa, tetapi sekaligus juga mempunyai kecenderungan merusak. Apalagi
kalau kekuasaan itu absolut, pemegang kekuasaan pasti akan merusak
tatanan kehidupan masyarakat. Daya pikat kekuasaan semacam itu
mengakibatkan pertarungan memperebutkan kekuasaan menjadi sangat
rawan terhadap tindakan yang menghalalkan cara.
Dalam terminologi Rudolf Otto, sebagaimana dikutip oleh Eddy
Kristiyanto, OFM, fenomena tersebut disebut ‘tremendum et fascinosum’,
menggentarkan sekaligus memikat dan mempesona. Politik praktis tidak
mengenal kawan atau lawan, sehingga begitu banyak orang melakukan
simplifikasi dengan menganggap bahwa dalam dunia politik praktis satu-
satunya yang abadi adalah kepentingan, yang diidentikkan dengan
kekuasaan. Kompetensi etik dan moral dibalik perjuangan kekuasaan adalah
agar politikus mampu melayani masyarakat warga sehingga kemungkinan
untuk mencapai ‘bonum commune’ itu diperbesar dan diperluas3.
Dalam perspektif yang berbeda, tetapi masih berkaitan dengan pengelolaan
kekuasaan, Albert Hirschman dengan panjang lebar mencoba meyakinkan
bahwa nafsu manusia, termasuk nafsu kekuasaan (yang merusak) hanya
dapat ditundukkan oleh nafsu lain yang lebih rendah daya rusaknya, yaitu
kepentingan pribadi (self interest) terutama interes ekonomi (kemakmuran)4.
Untuk lebih menegaskan pendapatnya ia juga mengutip James Stuart
mengatakan bahwa ekonomi modern adalah kendali ampuh yang pernah
ditemukan untuk melawan kekuasaan yang despotik, ‘A modern economy,
therefore, is the most effectual bridle against the folly of despotism5’.
Pendapat yang lebih spektakuler dikemukakan oleh Michael Jones. Menurut
dia, bahkan liberalisasi sex (Sexual Liberation) dapat menjadi alat kontrol
politik yang efektif6.
3 Kristiyanto, Eddy, OFM; Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, Penerbit Lamalera, Desa Wilirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, 2008, hal. 6
4 Hirschman, Albert O., The Passion and the Interest: Political Argument for Capitalist Before Its Trial, Princeton University Press, New Jersey, 1997, hal. 3-66
4
5 Ibid, hal. 836 Jones, Michael E, Libido Dominandi: Sexual Liberation and Political Control, St. Agustine’s Press, South Bend, Indiana, 2000.
5
Keseluruhan penjelasan Albert Hirschman mungkin dapat mudah
difahami dalam pengantar bukunya yang memberikan ilustrasi bahwa
sekelompok orang yang mempunyai nafsu membunuh dengan alasan yang
sama sekali tidak rasional, perbedaan warna kulit, misalnya, dapat batal
melakukan perbuatan itu karena orang yang akan dibunuh menyebarkan
uang. Para pembunuh membiarkan korban terus lari dan mereka lebih tertarik
mengumpulkan uang yang berceceran dari pada membunuh. Ia
menyimpulkan, dalam perspektif individual mungkin peristiwa itu hanya
dianggap korban beruntung, batal dibunuh, karena para jagal mempunyai
kepentingan/interes yang relatif lebih bijak. Tetapi dalam perspektif universal
ia mencoba meyakinkan bahwa nafsu kekerasan (violent passion) dapat
ditundukkan oleh kepentingan yang kurang ganas (innocuous interest)7.
Watak kekuasaan semacam itu mengakibatkan pertarungan
memperebutkan kekuasaan menjadi sangat rawan terhadap tindakan yang
menghalalkan cara, mulai dari bujuk rayu, intimidasi sampai dengan tekanan
fisik. Sedemikian kejamnya pertarungan kekuasaan sehingga ikatan-ikatan
pertemanan, keakraban, persaudaraan, bahkan ikatan yang didasarkan atas
sentimen primordial: suku, agama, ras dan keturunan tidak dapat dijadikan
sarana meredakan pertarungan politik. Bahkan sebaliknya, penyalahgunaan
ikatan primordial sebagai sarana perburuan kekuasaan dapat mengakibatkan
perang saudara yang sangat kejam dan berlarut-larut8.
Dalam perspektif politik, upaya umat manusia mengelola nafsu
kekuasaan agar para pemegang kekuasaan tidak sewenang-wenang adalah
tatanan politik yang dapat memaksa penguasa tunduk dan dikontrol oleh
warga masyarakat. Prinsip manajemen kekuasaan tersebut dinamakan
demokrasi. Kehadiran demokrasi sebagai tatanan kekuasaan yang
bermartabat memang tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang praktek
pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dan sewenang-wenang; baik yang
7 Ibid, hal. X 8 Buku yang membahas itu antara lain: Snyder, Jack , Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah, terjemahan dari buku From Voting to Violence, penterjemah Martin Aleida & Parakitri Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.
6
bersumber dari keturunan, dominasi kekuatan militer maupun oligarki politik
lainnya. Sistem kekuasaan yang tidak manusiawi itulah yang mendorong
umat manusia mencari sistem pengelolaan kekuasaan yang beradab.
Kekuasaan yang otoritarian adalah musuh umat manusia karena penguasa
tidak hanya memonopoli kekuasaan tetapi juga memonopoli kebenaran.
Kebenaran menjadi milik penguasa, akibatnya perbedaan pendapat bukan
saja dianggap sebagai tindakan kriminal atau subversi yang harus ditindak
oleh negara.
Menegaskan mengenai apa yang telah disampaikan sebelumnya,
secara sederhana demokrasi dapat dirumuskan sebagai tatanan kekuasaan
yang berprinsip bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat. Jelasnya, siapa
pun yang ingin berkuasa harus mendapat mandat dan dikontrol oleh pemberi
kekuasaan. Inilah temuan rasional manusia dalam mengelola kekuasaan
modern yang dianggap paling bermartabat. Ia adalah sistem manajemen
kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang
menghargai martabat manusia. Upaya pencarian tata kelola kekuasaan yang
dapat membendung kelaliman pemegang kekuasaan, sejalan dengan mulai
tumbuhnya nilai-nilai kehidupan yang lebih menghargai hak-hak individu,
kesetaraan serta pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia. Pada dasarnya
perkembangan peradaban manusialah yang telah memungkinkan umat
manusia dapat memperadabkan kekuasaan yang mempunyai daya pesona
yang luar biasa, tetapi sekaligus juga watak yang cenderung merusak tatanan
kehidupan manusia. Pesona kekuasaan yang menakjubkan itulah yang
membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuannya. Memang dalam tatanan demokrasi daya rusak
kekuasaan tidak dapat ditaklukkan secara absolut, karena hal itu juga
berkaitan erat dengan salah satu sifat manusia yang serakah dan lemah
menghadapi godaan kenikmatan. Namun karena sifat luhur manusia jugalah
kekuasaan dapat digunakan untuk kemaslahatan umat manusia, terutama
untuk mengelola kehidupan bersama menuju kesejahteraan lahir dan batin.
Martabat dalam tertib politik yang demokrasi juga dibahas secara panjang
7
lebar oleh Montesquieu9. Dia membedakan tiga jenis pengelola kekuasaan
negara: Republik, Monarki dan Depostik atau disebut juga Demokrasi, Oligarki
dan Monarki. Dari ketiga jenis tersebut, demokrasi adalah tatanan kekuasaan
yang mempunyai ‘virtue’ yang menghargai martabat warganya.
Secara kelembagaan agar perilaku kekuasaan tidak menjadi liar, ia
harus ‘dikerangkeng’ dalam suatu struktur bangunan kekuasaan sedemikian
rupa sehingga terjadi keseimbangan kekuatan di dalam komponen-komponen
struktur tersebut, agar mereka satu dengan lainnya dapat saling mengontrol.
Dalam bahasa yang lebih teknis disebut ‘checks and balances mechanism’.
Praktek penyelenggaraan tertib politik yang demokratis dengan membangun
saling kontrol antara lembaga-lembaga politik tidak terlepas dari pemikiran
Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan
judikatif. Ungkapannya yang sangat terkenal bahwa kekuasaan hanya dapat
dilawan dengan kekuasaan10.
Oleh karena itu, mewujudkan demokrasi bukan hanya sekedar
membangun sistem, mekanisme, prosedur politik, tetapi juga harus
membangun lembaga-lembaga yang dapat menjamin mekanisme saling
kontrol tersebut dapat berfungsi, seperti partai politik, lembaga peradilan dan
penegak hukum, lembaga perwakilan, birokrasi dan lain sebagainya. Namun
upaya lain yang tidak kalah pentingnya adalah menanamkan tata nilai yang
dapat menghadirkan roh yang menghidupkan dan sekaligus menguatkan
demokrasi. Tiadanya sukma dalam tatanan demokrasi hanya akan
menjadikan sistem tersebut rapuh sehingga mudah ambruk atau menjadi
anarkis. Oleh karena itu tidak mustahil bahwa negara-negara seperti Yunani
dan Roma11 yang pernah berabad-abad menerapkan sistem ini, mengalami
9 Montesquieu, The Spirit of Laws, terutama buku ke-2: On Laws Deriving Directly from the Nature of the Government, hal. 10: dan buku ke-3: On the Principles of the Three Governments, diterjemahkan dan diedit oleh: Anne M. Cohler, Basia; Miller, Harold Stone, Cambridge University Press, New York, 1989, hal. 113.10 Opcit, Hirschman, Albert O, hal. 78: Ungkapan tersebut lengkapnya berbunyi: ‘So that may be no abuse of power, it is necessary that, through the disposition of things (par la disposition de chose), power be stopped by power’.11 Banyak sumber yang dapat dijadikan referensi mengenai jatuh bangunnya dua negara tersebut, antara lain Susan Wise Bauer, The History of the Ancient World – From the Earliest Accounts to the Fall of Rome, published by W.W. Norton & Company Inc. USA, 2007, yang diterjemahkan oleh Aloysius Prasetyo A., Sejarah Dunia Kuno: Dari Cerita-cerita Tertua Sampai Jatuhnya Roma, Penerbit PT Elex Media
8
arus balik menjadi kekaisaran. Pengalaman tersebut harus lebih menyadarkan
siapa pun yang ingin mewujudkan kehidupan demokrasi adalah perjuangan
membangun peradaban untuk menyelamatkan manusia dari kesewenang-
wenangan rejim yang lalim, serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian demokrasi bukan hanya bangunan struktur
kekuasaan yang masing-masing lembaga-lembaga politik saling kontrol satu
dengan lainnya. Demokrasi adalah pandangan hidup (tata nilai) yang menjadi
pedoman sikap dan perilaku warganya, karena itu ia harus menjadi referensi
bagi perilaku politik warga masyarakat. Oleh sebab itu dalam masyarakat
demokratis, pendidikan politik merupakan faktor yang sangat penting
mendukung terwujudnya masyarakat yang demokratis, yaitu proses
internalisasi nilai-nilai demokrasi universal yang mengutamakan kesetaraan
(termasuk gender), pluralisme, toleransi, hak azasi manusia, perlindungan
minoritas, penegakan hukum, kepemihakan terhadap mereka yang lemah,
serta membangun sikap siap untuk menang tetapi juga bersedia kalah
dengan ikhlas.
Transformasi Politik Tanpa Roh
Runtuhnya tatanan politik yang memonopoli kekuasaan dan kebenaran
pada akhir tahun 1990, merupakan peristiwa yang menandai bangkitnya
bangsa dari represi penguasa. Perobahan tersebut terjadi sangat cepat,
dalam sekejap terjadi penjungkirbalikan tatanan kekuasaan. Rakyat yang
selama 30 tahun diperlakukan sebagai ‘kawula alit’ yang ditindas oleh represi
penguasa, dalam hitungan hari menjadi pemegang kedaulatan. Rakyat telah
bebas dari belenggu rantai kekuasaan yang menelikung dan mengendalikan
perilaku publik, sehingga warga masyarakat lebih merupakan robot politik
dari pada insan manusia.
Kedatangan ‘zaman’ baru memberikan harapan besar untuk
mewujudkan masa depan Indonesia yang gemilang. Era demokrasi telah
Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta 20109
dimulai, dan agenda politik segera disusun untuk menopang struktur
kekuasaan yang baru. Harapan munculnya tatanan politik yang bermartabat
disambut dengan antusias oleh seluruh masyarakat. Demokrasi menjadi tanda
dan sarana keselamatan menuju masyarakat yang bebas, adil, makmur dan
berkeadilan.
Namun sayangnya, transformasi politik yang terlalu cepat
mengakibatkan amandemen dilakukan tanpa disertai perdebatan yang cukup
luas dan mendalam. Amandemen konstitusi juga tidak berdasarkan atas
prinsip-prinsip konstitusionalisme. Menurut Hayek, penyusunan konstitusi
harus merupakan prinsip-prinsip yang disepakati oleh rakyat sehingga rakyat
akan taat kepada konstitusi tersebut12. Sementara itu, sebagian besar elit
politik lebih mengedepankan daftar keinginan subyektif yang dikemas secara
retorik sekedar mendapatkan dukungan atau popularitas masyarakat.
Ketergesaan memahami konsep menghasilkan beberapa pasal dalam
konstitusi yang tidak sinkron satu sama lain sehingga mempunyai potensi
mengacaukan peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatannya.
Merebaknya Politik Transaksional
Faktor yang lebih menyedihkan, memperburuk serta mengancam
tujuan restrukturisasi kekuasaan adalah perilaku para elit yang memanipulasi
demokrasi prosedural. Mereka menganggap sudah mendapatkan legitimasi
kalau sudah mengikuti prosedur dan regulasi yang mereka buat sendiri.
Dengan mengatasnamakan rakyat mereka bahkan dapat menguras kekayaan
negara untuk dinikmati sendiri atau bersama kelompoknya. Perilaku para elit
yang sangat merusak tatanan tersebut kalau tidak segera dihentikan akan
menggerogoti modal sosial (social capital) bangsa ini yang selama satu
dekade ini dapat dijadikan asset dalam melakukan transisi politik. Sebab,
demokrasi yang hanya menjadi sekedar pertarungan perebutan kekuasaan
demi kepentingan transaksional, mencerabut posibilitas politik sebagai upaya
membangun kehidupan bersama yang beradab.
12 Opcit, Hayek, F.A., hal. 18110
Modal sosial yang disumbangkan masyarakat dalam masa transisi
adalah kesanggupan rakyat melakukan proses transisi politik yang sangat
kritikal. Kompetisi pertarungan kekuasaan untuk mendapatkan jabatan publik,
secara prosedural semakin melembaga. Indikasi yang sangat meyakinkan
adalah kontestasi politik yang dilakukan dalam skala yang masif dapat
dilakukan dengan aman. Hal itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia
mempunyai peradaban yang cukup tinggi sebagai landasan untuk menjadi
bangsa yang besar. Pertarungan politik yang rawan konflik komunal karena
keragaman bangsa Indonesia disebabkan ikatan-ikatan primordial kesukuan,
ras, bahasa, agama serta pengelompokan ekslusif lainnya, meskipun sangat
disesalkan, tetapi tidak membawa ekses yang destruktif dalam masyarakat.
Kematangan masyarakat berdemokrasi juga menunjukkan tanda-tanda
menggembirakan. Kekuatan politik yang hanya bertopang kepada sentimen
primordial semakin surut pendukungnya. Secara a kontrario hal ini berarti
bahwa hanya kekuatan politik yang inklusif yang akan memperoleh dukungan
luas masyarakat. Inilah salah satu modal sosial bangsa. Rajutan sosial yang
silang-menyilang membuahkan struktur masyarakat yang kompleks yang
tidak monolit. Di segala pelosok tanah air bertebaran berbagai gerakan-
gerakan kemasyarakatan lintas agama, suku, ras, golongan yang merupakan
perwujudan konkrit dari masyarakat yang plural.
Namun ironinya justru di tataran elit perpolitikan di Indonesia sarat
dengan pertarungan politik tanpa cita-cita. Kiblat politik yang sangat didorong
oleh godaan nafsu berkuasa telah menyingkirkan jauh-jauh arti politik sebagai
perjuangan bersama mewujudkan cita-cita luhur bangsa. Manuver politik
didominasi oleh nafsu berkuasa sehingga jagad politik Indonesia sarat dengan
intrik dan kompromi politik yang pragmatik-transaksional, oportunistik, politik
uang, tebar pesona dan janji kosong sebagai alat merayu dukungan politik.
Demikian pula perselingkuhan politik, dengan segala bentuk dan manifestasi
semarak; semuanya dilakukan untuk mengejar kenikmatan kekuasaan.
Tiadanya roh kehidupan politik, kekurangmengertian tentang hakekat
kekuasaan serta akselerasi perobahan yang sedemikian cepat,
11
mengakibatkan wajah perpolitikan di Indonesia selama lebih kurang sepuluh
tahun sarat dengan pertarungan politik dari para elit yang ingin berkuasa,
mempertahankan kekuasaan atau mereka yang ingin lebih berkuasa.
Perilaku elit yang berorientasi kepada kekuasaan subyektif cenderung
merusak tatanan dan menginjak-injak serta menggagahi martabat rakyat.
Padahal bangsa Indonesia memiliki semua persyaratan untuk berhasil13.
Sesat Niat
Transformasi politik juga memberikan kesempatan rakyat membangun
tertib politik yang bersumber pada kedaulatan rakyat. Namun sayangnya
kebebasan yang telah direbut kembali tidak disertai dengan tanggung jawab
yang sepadan. Kebebasan telah menimbulkan anarki di tataran masyarakat
maupun negara. Akibatnya peran negara menjadi nihil, kekuatan komunal
menjadi ancaman demokrasi. Kebebasan telah mengancam kebebasan itu
sendiri. Bahkan atas nama kebebasan orang dapat berperilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang telah disepakati menjadi
falsafah bangsa dan negara seakan-akan hanya menjadi monumen mati
akibat dari praktek-praktek politik dan perilaku para pemimpin yang munafik.
Kebebasan juga dipraktekkan secara eksesif oleh sementara media yang tidak
melayani kepentingan publik, melainkan mengabdi kepada kepentingan
modal serta politik jangka pendek.
Penyebab utama kesesatan karena kiblat serta panji-panji telah
membawa rakyat kehilangan orientasi. Cakrawala hidup telah sedemikian
kabur sehingga politik yang seharusnya mulia menjadi tindakan yang
terkutuk. Kebusukan perilaku korup secara habis-habisan ditutupi dengan
politik citra yang sarat dengan kepalsuan. Masyarakat hampir setiap hari
dijejasali dengan ha-hal yang palsu, mlai dari janji-janj palsu, pidato-pidato
yang membawa angin surga, perbuatan palsu selalu diyakinkan sebagai
tindakan original. Kepura-puraan menjadi senjata sangat sangat ampuh untuk
13 “The country has all the ingredients for success: a stable democracy, a wealth of natural resources and a large consumer market. But Indonesia is not keeping pace with Asia’s booming economies”. Majalah Time, edisi 12 September 2008.
12
mengelabuhi public. Kebohongan public telah menggunung , sebaliknya amal
public semakin terkuras oleh dosa public. Kebebasan telah menjerat
demokrasi. Kebebasan yang direguk dan telah dijadikan landasan menyusun
pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat, ternyata melenceng
dari cita-cita semula.
Akibatnya, kebebasan dan demokrasi yang merupakan tanda dan
sarana menuju bangsa yang sejahtera serta memberikan sinar terang yang
menuntun bangsa Indonesia ke peradaban yang lebih tinggi, dalam waktu
yang hampir bersamaan muncul ‘tanda-tanda zaman’ menuju ‘abad’
kegelapan. Terjadi gerhana peradaban. Sinar yang memancar dari nilai-nilai
luhur bangsa terhalang oleh politik transaksional, terutama ‘money politics’,
yang melekat dalam proses politik, baik rekrutmen maupun dalam menyusun
regulasi di tingkat pusat dan daerah. ‘Jabang bayi’ demokrasi yang tumbuh
dalam wujud demokrasi prosedural telah semakin menjauhkan kehidupan
politik yang beradab dan bermartabat. Kerusakan tatanan politik sudah
dimulai sejak mereka yang berniat menjadi pejabat publik hanya
menginginkan kedudukan politik. Mereka mengawali dengan niat yang sesat,
semata-mata mereka hanya berangan-angan untuk berkuasa, memburu
kekayaan serta membangun dinasti politik; bukan iktikad luhur mengabdikan
diri kepada masyarakat. Terjun ke dunia politik bukan karena panggilan hidup
sehingga berani me-wakaf-kan diri untuk bangsa, melainkan menjadi
pemburu kekuasaan dan kenikmatan. Pendangkalan politik semakin lama
semakin menggerus modal sosial bangsa. Saling percaya ada kecenderungan
semakin menipis. Tingkat kepercayaan politik terhadap seluruh lembaga
politik dan lembaga negara mencapai tingkat sangat rendah. Demikian pula
intoleransi di antara warga masyarakat juga meningkat. Gejala pembusukan
tidak hanya terjadi pada tataran negara tetapi juga merangsek ke ranah
publik.
Sesat niat juga sangat menyuburkan korupsi politik dalam bentuk
penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela. Produk legislasi ditengarai
menjadi arena perdagangan kepentingan politik yang pragmatik dan
oportunistik. Akibatnya negara tidak mempunyai kebijakan perundang-
undangan sebagai infrastruktur kebijakan politik guna mewujudkan
13
masyarakat yang dicita-citakan. Proses penyusunan regulasi dari pembuatan
undang-undang sampai dengan peraturan daerah, ditengarai sarat dengan
transaksi politik kepentingan golongan. Oleh karena perundang-undangan
tidak memberikan arah kebijakan melainkan jalan yang menyesatkan bagi
siapa pun yang melaluinya. Negara praktis macet dan terkunci dengan
berbagai kepentingan yang saling menyandera karena struktur kekuasaan
yang dirajut dengan nafsu keserakahan. Manajemen pemerintahan semakin
parah karena politik citra menjadi pola pengelolaan kekuasaan yang
mengutamakan ‘wajah’ dari pada efektifitas pemerintahan. Akibatnya banyak
kebijakan-kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya.
Padahal, terlebih dalam masa transisi politik, rakyat memerlukan bukti konkrit
bahwa demokrasi adalah sistem yang lebih baik dalam memperhatikan nasib
rakyat dibandingkan dengan sistem-sistem yang lain. Oleh sebab itu
beberapa kajian politik-ekonomi mensyaratkan agar demokrasi dapat berjalan
dengan baik diperlukan reformasi ekonomi sehingga penghasilan penduduk
rata-rata sekitar 4.000 US dollar per tahun14.
Sementara itu praktek politik pasca reformasi menunjukkan eskalasi
penetrasi parlemen semakin meningkat. Nyaris tidak ada lembaga negara dan
publik yang bebas dari campur tangan DPR. Bahkan Komisi Pemilihan Umum
yang seharus independen karena menjadi wasit dalam pertarungan politik,
semakin potensial disusupi kader partai. Prinsip dasarnya, wasit harus
dilarang menjadi pemain sekaligus.
Kalau praktek Politik semacam itu diteruskan, dikuatirkan parlemen
tidak hanya memelintir mekanisme cheks and balances yang sedang
dibangun. Lembaga tersebut dapat mendorong Indonesia menuju ke negara
partitokrasi (biasa juga dinamakan partocracy, partitocracy, atau
partitocrazia).Ia adalah fenomena tatanan politik yang mengatas namakan
demokrasi tetapi prakteknya parpol menjadi pemain utama dengan
melakukan invasi, intrusi serta penetrasi di berbagai lembaga negara dan
publik. Kebijakan negara diwakili oleh partai politik dengan melakukan deal-
14 Buku yang mengkaji isu tersebut antara lain: Przewosrski, Adam (et.al): Democracy and Development: Political Institutional and Well-being in the World, Cambridge University Press, 2000; dan Przewosrski, Adam: Democracy and the Market: Political and Economics Reforms in Eastern Europe and Latin America, Cambridge University Press, 1991.
14
deal illegal,tidak bermoral (shady and sleaze deal) serta melakukan
favoritisme demi kejayaan partai.15
Sangat disesalkan setelah hampir satu setengah dekade usia reformasi
keterlibatan kader parpol dalam kasus korupsi semakin intensif. Hal ini
memperkuat persepsi publik bahwa eksistensi parpol lebih banyak
mudaratnya dari pada manfaatnya. Telah terjadi darurat partai politik. Defisit
kredibilitas parpol semakin besar berbanding lurus dengan semakin
merebaknya kasus korupsi dikalangan partai.
Darurat partai politik dapat dipastikan akan mengakibatkan negara dan
bangsa berada dalam tepi jurang kehancuran mengingat parpol adalah
sumber dan produsen penguasa. Kader-kader partai adalah calon pamegang
kekuasaan. Mereka mempunyai otoritas politik yang didukung segenap
instrumen negara agar keputusan politik ditaati oleh warganya. Mereka
adalah penentu nasib seluruh rakyat Indonesia.
Perilaku korup semakin destruktif karena perbuatan jahat tersebut
seakan-akan “mulia” dikalangan sementara kader parpol. Perbuatan laknat
menjadi rancu karena atas nama survivalitas dan kejayaan partai, korup
dianggap sebagai bagian dari usaha membangun partai. Perbuatan korup
adalah heroik, asal atas nama partai. Persepsi sesat tersebut menjadi
kesadaran kolektif dan referensi kelompok yang mencekoki dirinya dengan
kata-kata mulia tetapi perbuatannya sangat hina. Mereka sangat percaya diri
meskipun melakukan perbuatan terkutuk.
Korupsi tekah membuat rute yang menakutkan karena fenomena
hiperealitas telah menyurak kepada tubuh negara dan bangsa. Sesuai
dengan karakternya, hiperealitas menciptakan kepalsuan berbaur dengan
orisinalitas, masa lalu berbaur masa kini; fakta bersilang sengkarut dengan
rekayasa; symbol, gambar, kata-kata melebur dengan kenyataan; dusta
bersenyawa dengan kebenaran. Prinsip-prinsip kebenaran, kepalsuan,
keaslian, isu, realitas mambaur menjadi satu sehingga sebagian masyarakat
menjadi binggung mana yang benar mana yang laknat.
15 Jean Blondel; Party Government, Patronage, and Party Decline in Westrern Europe: dlm Political Parties: Old Concepts and New Challenges; Ricahrd Gunther, et. al; 2002.
15
Mantra politik tersebut akan semakin riuh seiring dengan semakin
dekatnya pertarungan kekuasaan pada Pemilu 2014. Yang sangat
menyedihkan mengguritanya penyalahgunaan kekuasaan telah menyusup
keseluruh tubuh negara, sehingga kader PD melalui bukunya menjuluki
Indonesia sebagai Negara Mafia Dan Republik Koruptor ( Benny Harman,
2012). Akibatnya, penyelenggaraan pemerintahan menjadi lumpuh, eskalasi
anarki diperkirakan semakin meningkat sejalan dengan lenyapnya peran
negara.
Akibat berikutnya adalah kematian politik akal sehat. Nalar politik sehat
yang memihak rakyat yang lahir akhir tahun 1990-an adalah buah dari
rajutan cinta dan kerinduan terhadap tatanan kekuasaan yang menghargai
serta memuliakan martabat manusia; seperti keadilan, kesetaraan, toleransi,
pengakuan dan penghargaan terhadap heterogenitas serta nilai-nilai luhur
lainya. Romantisme cinta publik terhadap manejemen kekuasaan negara di
awal reformasi, mungkin mirip sensasi dan fantasi romantisme rakyat Athena
ratusan abad sebelum Masehi terhadap demokrasi, dalam buku Victoria Wohl,
Love Among The Ruins (2002), mengenai erotisme demokrasi di Athena
klasik.
Kehadiran politik akal sehat juga menghasilkan energi dahsyat yang
mampu meluluh lantakkan tatanan kekuasaan yang represif dan otoritarian.
Namun daya tahan tubuhnya merosot secara drastis sejalan dengan
semakin menumpuknya racun opium kekuasan yang bersarang di tubuhnya.
Toksin yang memproduksi penyakit kanker ganas yang disebut korupsi politik
sudah menjalar ke seluruh sendi –sendi dan tulang sumsum hampir di
sekujur tubuh politik negara. Daya bunuh racun ganas juga mematikan
nurani dan integritas, menghancurkan kredibilitas, melumpuhkan kompetensi
serta meluluhlantakkan nilai-nilai yang menjadi pilar politik akal sehat.
Sementara itu praktek politik akal-akalan dan perilaku munafik yang
menghamba uang semakin subur. Akibatnya, demokrasi disulap penjadi
mobokrasi, seremoni mengalahkan substasi, citra menghapus fakta, sikap
santun bersenyawa dengan perilaku durhaka, kejujuran identik dengan
kebodohan. Medan politik menjadi ladang pembantaian oleh para petualang
politik yang bermodal besar terhadap politisi bersih dan idealis tetapi
bermodal cupet.
16
Ranah politik sangat di dominasi oleh politik uang. Jumlah uang yang
diperlukan untuk mereguk nikmatnya kekuasaan sangat fantastis dan
membikin merinding bulu kuduk rakyat yang terengah-engah berjuang
memenuhi kehidupan minimal sehari-hari. Hal tersebut membuktikan hasrat
politisi yang di domimasi dan tunduk kepada kepentingan ekonomi bersedia
mengeluarkan biaya yang sangat tinggi demi kekuasaan; meskipun mereka
tahu total pendapatan selama lima tahun jauh lebih kecil dari ongkos yang
dikeluarkan. Perilaku yang sama dan sebangun sudah akan terjadi pada
tahun 2013, karena pada tahun ini diperkirakan akan diselenggarakan Pilkada
sebanyak 160 kali, termasuk Pilkada yang seharusnya dilakukan pada tahun
2014. Oleh sebab itu Pilkada tahun ini diperkirakan tidak akan banyak
manfaatnya bagi masyarakat. Terlebih, selain masih di dominasi politik uang,
regulasi Pilkada, termasuk RUU yang sedang dibahas, belum dapat menjamin
lahirnya kepala daerah yang mempunyai komitmen mempergunnakan
kekuasaan untuk kepentingn rakyat. Kualitas yang berkaitan dengan
integritas dan kompetensi tidak cukup hanya diobati dengan rekayasa
elektoral melalui perobahan dari pemilihan kepala daerah secara langsung
dirobah melalui DPRD. Persoalanya jauh lebih mendasar, partai politik harus
melakukan pendidikan karakter bagi kader-kadernya yang dipersiapkan untuk
menduduki jabatan tersebut.
Hal yang sudah hampir dapat dipastikan akan terjadi pula pada pemilu
legislatif dan Pilpres yang secara maraton akan diselenggarakan pada rahun
2014. Medan politik akan benar- menjadi pasar modal. Para pemilik modal
akan menjadi Tuan Besar dan pemenang yang sesunguhnya karena
merekalah yang akan banyak menentukan kalah menang dalam pertarungan
politik tahun depan. Bahkan dikuatirkan para petualang politik juga akan
berusaha menggerogoti Anggaran Belanja Negara serta memanfaatkan akses
poltik mereka untuk menguras kekayaan negara.
Akibat kematian politik akal sehat sangat menghancurkan sendi-sendi
kehidupan bangsa dan negara. Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu,
oleh sebab itu yang meratapi dan berduka juga tidak banyak. Namun yang
masih memberikan harapan adalah pengalaman empirik yang menjadi dalil
politik, orang sekali mati akan mati selamanya. Tetapi perjuangan politik
dapat mati berkali-kali dan akan hidup kembali. Oleh sebab itu orang-orang
17
yang berniat baik tidak boleh berdiam diri. Dalam kehidupan yang sarat
dengan segala macam penyakit masyarakat, bersenyap-senyap sendiri dan
tidak peduli adalah kejahatan sosial. Siprit dan roh yang menebarkan
kemuliaan masih banyak dan tesebar bebagai kalangan, cendikiawan,
kelompok profesional, bahkan di kalangan politisi dan birokrat serta berbagai
organisasi masyarakat yang gigih dan tidak pernah lelah melakukan
perlawanan terhadap kebatilan tersebut di bumi nusantara ini. Kekuatan
magis inilah yang akan menghidupkan kembali politik yang bernalar dan
mulia. Agenda yang sangat penting adalah mengawasi rekruitmen politik
serta mempersiapan gagasan besar untuk menata kekuasaan yang lebih
beradab pasca Pemilu 2014.
Tanpa partsipasi rakyat, demokrasi hanya akan di bajak oleh para
petuaalng –petualang politik. Kesaktimandragunaan rakyat yang
diuangkapkan dalam dua aksioma negara yang berkedaulatan rakyat: suara
rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) dan kesejahteraan rakyat
adalah hukum yang tertinggi (salus populi suprema lex), secara dramatis
tergerus oleh keserakahan pemegang kekuasaan.
Ungkapan bijak tersebut dikemukakan karena rakyat Indonesia pada
2014 akan memilih pengelola kekuasaan negara yang dapat membebaskan
rakyat dari segala impitan kesulitan hidup sehari-hari. Rakyat sebagai
pemegang kedaulatan akan menentukan orang-orang yang dipercaya menjadi
nakhoda kapal induk bernama Indonesia menuju †�Tanjung Harapan†�, tempat rakyat mencecap dan menikmati kesejahteraan lahir batin.
Hanya saja, tampaknya harapan itu masih jauh dari kenyataan.
Kedigdayaan rakyat seakan lumpuh karena dimanipulasi dan disalahgunakan
pemegang kekuasaan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Distorsi inilah yang selama hampir 15 tahun reformasi yang menegaskan
rakyat berdaulat, tetapi nasib rakyat tidak mengalami perbaikan signifikan.
Politik citra yang mengakibatkan kebijakan negara semakin
memperlebar jurang antara kelompok kaya dan masyarakat miskin terus
dilakukan. Mereka tak mau menyadari bahwa kebijakan yang tidak memihak
rakyat merupakan kejahatan politik yang dapat berakibat sangat buruk bagi
18
bangsa dan negara. Elite politik bahkan tega menukar kedaulatan sebagai
milik rakyat yang sangat bernilai dengan bahan pokok.
Oleh karena itu, tahun 2013 sangat bermakna karena dalam kurun
waktu yang hanya lebih kurang setahun rakyat harus benar-benar aktif dalam
proses rekrutmen para pengelola kekuasaan. Kesadaran publik perlu digugah
karena kemapanan demokrasi prosedural ternyata berjalan seiring dengan
merajalelanya korupsi politik serta menguatnya politik kekerabatan. Penetrasi
politik dan politisasi hampir di segala bidang kehidupan kenegaraan telah
memorakporandakan tatanan kekuasaan. Politik kepentingan merambah di
sekujur tubuh negara sehingga roda pemerintahan seakan lumpuh, paralisis,
serta mandul karena digerogoti interes politik yang tidak berkiblat pada
kepentingan publik. Situasi semakin buruk karena kepemimpinan nasional
yang lembek dan bersandarkan pada pemujaan politik imaji.
Suara publik yang cerdas, meski kadang-kadang pedas mengkritik perilaku
korup mereka, ditanggapi dengan silogisme sesat yang intinya justru rakyat
yang harus bertanggung jawab atas kelakuan mereka yang tidak terpuji.
Alasannya, rakyatlah yang memilih semua pemegang kekuasaan.
Argumentasi sungsang tersebut menjungkirbalikkan logika dan nalar sehat.
Wajib hukumnya bagi mereka yang memperoleh mandat publik memberikan
akuntabilitas kepada rakyat pemilik kedaulatan.
Tahun 2013 harus dijadikan momentum untuk memperkokoh
kedigdayaan rakyat agar tak terperangkap dalam skenario politik, yang
dirancang dengan sistematis dan canggih, untuk melumpuhkan kekuatan
rakyat. Ancaman yang paling merusak adalah semakin dekat dengan pemilu,
aktor-aktor politik akan semakin membabi buta menguras kekayaan negara
untuk memperoleh, mempertahankan, atau membangun imperium
kekuasaan. Peringatan keras Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Busyro Muqoddas bahwa sepanjang 2012 aktor-aktor dalam pidana korupsi
sebagian besar adalah dari elite parpol dan anggota DPR. November 2012,
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyebutkan, 474 pejabat daerah
bermasalah dengan hukum. Sebagian besar terlibat tindak pidana korupsi.
19
Selain menguras kekayaan negara, elite politik dapat dipastikan akan
melakukan segala manuver untuk mencapai tujuan, seperti mengobral janji,
blusukan menjajakan citra, mengobral air mata buaya, dan politik uang. Cara
terakhir ini sangat merusak karena dikhawatirkan mereka tak hanya membeli
suara, tetapi juga akan membeli penyelenggara pemilu. Maka, hampir dapat
dipastikan tahun 2013 akan menjadi ajang pemanasan pertarungan hidup dan
mati bagi para elite politik yang sudah kesurupan roh kekuasaan tanpa
amanah.
Rakyat harus melawan kecenderungan tersebut. Kalau didiamkan
tahun ini akan menjadi annus horribilis, tahun horor yang menakutkan. Rakyat
harus dapat mengubah ancaman itu sehingga tahun 2013 menjadi annus
mirabilis, tahun yang elok dan menggembirakan. Karena itu, kontrol publik
terhadap proses Pemilu 2014 di segala tingkatan adalah keniscayaan. Tanpa
kontrol yang ketat, sensasi kenikmatan kekuasaan sangat mudah membuat
elite politik mengalami ekstase kolektif yang mengakibatkan mereka
kehilangan kontrol dan pengendalian diri terhadap nalar dan persepsi indrawi.
Pengawasan publik akan membuat mereka selalu terjaga dan sadar bahwa
kekuasaan yang mereka genggam adalah untuk dikelola guna mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
Rakyat tak perlu ragu dengan kekuatannya. Kedigdayaannya telah
dibuktikan dengan kemampuan rakyat menjinakkan buasnya perebutan
kekuasaan dengan membakukan proses dan prosedur pemilihan secara
demokratis. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan, apalagi sebagai bangsa
yang heterogen. Kedigdayaan tersebut tidak datang tiba-tiba, tetapi diperoleh
melalui sikap askestis serta semangat juang yang pantang menyerah para
pendiri dan pemimpin bangsa. Oleh sebab itu, tahun 2013 harus dijadikan
tahun pemberdayaan kedigdayaan rakyat.
Salah satu upaya yang perlu mendapat apresiasi adalah Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi. Penerima Bung Hatta Award 2004 yang bercita-cita
menjadi guru mengaji setelah pensiun dari menteri, dalam batas-batas
20
otoritasnya mencoba menembus lingkaran besi korupsi di lingkungan
pemerintahan daerah. Ia menerbitkan Surat Edaran Nomor 800/4329/SJ
tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan
Struktural. Surat edaran tersebut pada dasarnya melarang kepala daerah
mengangkat bekas terpidana korupsi menjadi pejabat struktural di daerah.
Kebijakan tersebut merupakan terobosan agar dalam penyelenggaraan
pemerintahan disertakan pula konsiderasi etis serta kepatutan.
Kegelisahan Gamawan terhadap porak porandanya pemerintahan
daerah dapat dimengerti. Sehari-hari ia harus menghadapi perilaku politik
lebih dari 500 kepala daerah dengan seribu satu persoalan. Sebut saja
beberapa yang kronis, misalnya merebaknya konflik antara kepala daerah dan
wakilnya, perseteruan di antara kandidat kepala daerah pasca- pilkada,
politisasi dan komersialisasi birokrasi, mutasi dan promosi tanpa prinsip
meritokrasi, transparansi, profesionalisme, dan aparat pemerintah daerah
yang rendah.
Berbagai persoalan akut tersebut mengakibatkan tingkat ambang batas
kelumpuhan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahkan, di
beberapa daerah, itu dapat membuat roda pemerintahan stagnan. Kebijakan
itu tampaknya membuat siuman beberapa kepala daerah yang terlelap
karena menghirup terlalu banyak udara politik yang kotor akibat limbah
korupsi yang meracuni sensitivitas mereka untuk menentukan antara
perbuatan patut dan tidak pantas. Oleh sebab itu, dalam revisi Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Gamawan
mendesak agar moralitas kandidat menjadi salah satu kriteria mereka yang
ingin menjadi kepala daerah. Selain itu, ia juga mendorong kandidat kepala
daerah supaya jangan dikotori oleh politik kekerabatan, terutama saudara
yang mempunyai garis keturunan lurus terhadap petahana.
Terobosan Menteri Dalam Negeri mendapat respons dan dukungan
publik. Alasannya, selain karena rekam jejak Gamawan sebagai tokoh anti-
KKN, didorong pula oleh ekspektasi publik agar pejabat di daerah benar-benar
lebih bersih. Oleh karena itu, diharapkan mereka lebih memikirkan nasib
rakyat daripada kepentingan sempitnya. Dukungan dilakukan pula oleh
21
beberapa kepala daerah yang segera memberhentikan para bekas narapidana
korupsi di lingkungan kewenangannya. Hal ini tentu memberikan secercah
harapan.
Dalam suasana yang jenuh terhadap perilaku korup di kalangan para
elite politik, masyarakat sering kali gundah dan miris karena dalil serta
imbauan moral sudah tidak mempan menghadapi nafsu para koruptor.
Ancaman neraka dianggap angin lalu. Simfoni keluhan publik hanya dianggap
sebagai pesorak yang menyemangati sebuah pertandingan sepak bola.
Sumpah jabatan sudah lama tidak mempan mengatasi sensasi nikmatnya
hasil korupsi.
Hasrat berkobar dan gelegak melakukan penyalahgunaan kekuasaan
juga makin menjadi-jadi karena kejahatan korupsi sudah dimulai dari niat para
elite politik dan dirancang sangat cermat. Oleh sebab itu, kecanggihan
mereka menggerogoti kekayaan negara semakin mengagumkan. Perilaku
korup telah menembus ambang batas nalar manusia yang dianugerahi hati
nurani.
Momentum ini tampaknya harus dimanfaatkan oleh seluruh jajaran dan
sektor pemerintahan. Memang masih terdapat hambatan, antara lain
ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian, yang menyatakan bahwa pengangkatan (bekas narapidana)
dimungkinkan sebab masa hukuman yang dijalani di bawah empat tahun.
Namun, hal tersebut dapat diatasi karena Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi bersedia merevisi Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Kepegawaian agar kinerja birokrat
lebih maksimal.
Membiarkan bekas narapidana menjadi pejabat akan menimbulkan
efek ganda yang memperburuk kredibilitas birokrasi karena menyuburkan
perilaku asal bapak senang (ABS) yang ujung-ujungnya KKN. Selain itu, juga
dapat dipastikan akan membuat cemburu dan melukai hati mereka yang
benar-benar mencoba jujur dan mengabdi kepada masyarakat. Namun, yang
22
lebih menghancurkan, pengangkatan bekas narapidana, terutama koruptor,
menjadi pejabat dapat merusak nilai-nilai keteladanan. Karena itu, ke depan,
rekam jejak karier harus menjadi konsiderasi untuk mempromosikan pejabat.
Sumber kejahatan korupsi adalah insting dan nafsu serakah untuk
mencapai kenikmatan pribadi. Kehendak itu melekat dalam setiap manusia.
Karena itu, jika doktrin, kaidah, dan akal sehat tidak mempan menaklukkan
perilaku korup, kejahatan tersebut harus dihadapkan dengan hasrat amanah
yang juga intrinsik dalam setiap manusia. Oleh karena itu, perjuangan
memberantas korupsi adalah perjuangan secara terus-menerus bagaimana
hasrat amanah dapat dikelola sehingga dapat menjinakkan hawa nafsu
koruptif.
Agenda Mendesak
1. Mewujudkan pemerintahan yang efektif.
Beberapa prinsip mendasar dan paradigma yang harus dijadikan acuan
dalam menyusun penyempurnaan regulasi politik adalah sebagai
berikut. Pertama, proses demokratisasi yang sedang berlangsung
dewasa ini perlu ditingkatkan dan dilembagakan. Kedua, sementara itu
pada saat yang sama diperlukan pemerintahan yang efektif agar rakyat
dapat menikmati secara konkrit hasil dari proses demokrasi dalam
wujud kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Hal itu harus
menjadi pilihan mengingat demokrasi dalam dirinya selalu
mengandung kontradiksi antara governability (pemerintahan yang
efektif) di satu pihak, representativeness (keterwakilan) di pihak lain.
Secara lebih rinci prinsip-prinsip tersebut harus dituangkan dalam
kebijakan politik perundangan komprehensif, kohesif serta koheren.
2. Reformasi partai politik
Peningkatan kualitas pertama-tama adalah dengan melakukan
pengkaderan partai politik. Pendidikan kader partai dimaksudkan untuk
23
menghasilkan kader partai yang kapabel, akuntable, mempunyai
komitmen, kepekaan serta ketrampilan menterjemahkan ideologi
kebijakan partai, disiplin terhadap keputusan partai sampai dengan
ketrampilan-ketrampilan melakukan lobi, diskusi, meyakinkan lawan
politiknya, berdebat, memimpin rapat, dan lain sebagainya. Dengan
melakukan kaderisasi dan pendidikan politik secara reguler maka
kapasitas partai dalam menjalankan fungsi-fungsi pokoknya yakni
sosialisasi dan pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan,
partisipasi politik dan lain-lain juga akan ditingkatkan. Melalui proses
pendidikan politik yang semacam itulah partai akan didorong
melakukan institusionalisasi agar menjadi pilar demokrasi yang
kredibel.
3. Kontrol dana parpol
Agenda mendesak yang harus dilakukan jangka dekat adalah
mengontrol dana partai politik. Kalau dibiarkan partai menjadi lembaga
pemburu rente yang tidak hanya menggerogoti kredibilitasnya tetapi
bahkan dapat melumpuhkan kehidupan demokrasi16. Oleh sebab itu
pengaturan dana partai sangat penting dilakukan, karena tiadanya
peraturan yang jelas dan tegas mengenai keuangan partai bukan
hanya mengakibatkan ‘vote buying’17, tetapi yang lebih berbahaya
adalah akses pemilik kapital terhadap penguasa atau calon penguasa-
penguasa di dalam partai politik. Banyak dugaan dana partai selain dari
para pemilik modal yang ingin selalu mempertahankan dan
meningkatkan keuntungannya, disedot pula dari sumber-sumber
kekayaan negara melalui akses parpol birokrasi pemerintahan. Oleh
karena itu lembaga perwakilan rakyat sebagai tempat bertemunya
berbagai kepentingan politik selalu tidak tegas dalam menyusun
rumusan tentang dana parpol.
16 Mietzner, Marcus, Party Financing in Post-Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs, Volume 29, Number 2, August 2007, pp. 238-263.17 Pendalaman mengenai fenomena ‘vote buying’, antara lain dapat dibaca dalam: Schaffer, Frederic Charles (eds), Election for Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying, Ateneo De Manila University Press, 2000, dan Heinz Nassamacher, Karl, Foundation for Democracy: Approach to Comparative Political Finance, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden, 2001
24
Mengingat politik uang sudah menjadi bagian dari proses politik,
ia harus dapat dicegah, diredam dan bahkan harus diberantas agar
tidak mengakibatkan pembusukan politik yang semakin parah. Caranya
adalah membatasi dan mengontrol keuangan partai dan dana kandidat.
Penutup
Praktek politik selama lebih kurang 13 tahun telah berhasil
melembagakan sebagian dari penyelenggaraan politik demokratis, khususnya
kompetisi dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik telah menjadi bagian
dari kehidupan politik yang wajar. Prestasi yang patut dibanggakan karena
pelembagaan dalam kompetisi politik dapat menjadi modal yang sangat
berharga untuk melakukan konsolidasi kehidupan demokrasi yang lebih
substansial. Namun sayangnya, dalam waktu yang hampir bersamaan muncul
tanda-tanda menakutkan karena elit politik telah memanipulasi demokrasi
prosedural sebagai legitimasi perilaku politik yang korup. Elit politik mendapat
mandat rakyat tetapi justru menginjak-injak harkat dan martabat rakyat.
Rakyat digagahi oleh mereka yang seharusnya melindungi, mengayomi serta
membuat rakyat sejahtera. Reformasi politik masih belum berhasil
membentuk sikap dan perilaku elit politik yang mempunyai komitmen
mengutamakan kepentingan umum. Pesona dan nikmat kekuasaan telah
membuat perilaku politik elit semakin jauh dari standar peradaban bangsa.
Praktek penyelenggaraan pemerintahan semacam itu jelas lebih banyak
mudaratnya dari pada manfaatnya bagi masyarakat. Kemudaratan telah
dimulai dari niat para politisi yakni upaya habis-habisan untuk menjadi bagian
dari penguasa yang bergelimang kemewahan. Sesat pikir dan niat sudah
dimulai sejak mereka membayangkan nikmatnya kekuasaan yang akan
direguk. Keserakahan para penguasa telah menghilangkan roh peradaban
yang memuliakan politik: Pancasila.
Oleh sebab itu pendidikan ideologi Pancasila harus dilakukan kepada
para kader-kader partai politik yang nanti akan menjadi pemegang otoritas
politik. Mereka inilah harus menjadi sasaran prioritas, sebab merekalah yang
25
akan memiliki kewenangan yang setiap keputusannya mengikat warga
masyarakat. Transformasi politik tanpa disertai dengan pembangunan
karakter yang didasarkan nilai-nilai luhur bangsa dapat dipastikan hanya akan
merusak tatanan dan menghancurkan masa depan bangsa dan negara. Oleh
karena itu pembangunan karakter harus pula menjadi salah agenda urgensi.
Dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila, diharapkan kehidupan politik
menjadi lebih mulia. Kehidupan politik lebih bermartabat. Ke depan
diharapkan, mereka yang akan terjun ke medan politik harus berbekal niat
untuk berjuang bagi kepentingan bangsanya; bukan mencari gelimang
kemewahan dan kekuasaan. Cara paling praktis, murah tetapi efektif adalah
kesediaan para tokoh dan pimpinan di berbagai bidang dan lapisan
masyarakat memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku kehidupan
sehari-hari. Mengatakan sesuatu, terutama janji-janji politik tanpa disertai
dengan bukti yang konkrit, hanya akan menyuburkan perilaku munafik dan
membuat rakyat semakin tidak percaya kepada tatanan baru yang disebut
demokrasi.
Sementara itu untuk memutus mata rantai kesemrawutan yang
dihadapi bangsa Indonesia agenda yang harus menjadi prioritas adalah
menyusun regulasi yang berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan. Perangkat regulasi harus mempunyai tujuan dan arah yang
jelas serta dilakukan secara komprehensif, kohesif, dan koheren antara
regulasi yang satu dengan lainnya. Beberapa regulasi yang terkait dengan
penataan kekuasaan pemerintahan, misalnya regulasi tentang pemilihan
presiden, kepala daerah, dewan perwakilan rakyat, sistem kepartaian,
pemilihan umum, desentralisasi, perimbangan keuangan pusat dan daerah,
bahkan regulasi yang berkenaan dengan keamanan nasional. Dengan
kebijakan politik perundang-undangan yang mempunyai proyeksi yang
visioner serta pakem dan paradigma yang jelas, diharapkan dapat diwujudkan
pemerintahan yang efektif tetapi tetap dapat dikontrol oleh masyarakat.
Gagasan dan pemikiran semacam itu sudah banyak dimiliki oleh
masyarakat, bahkan sudah terlalu sering disampaikan kepada para wakil
rakyat serta pemerintah dalam berbagai forum dan kesempatan. Namun
26
nampaknya mereka sudah kedap terhadap himbauan serta wacana publik
yang menyuarakan dan mendesak agar agenda reformasi dilakukan dengan
kaidah-kaidah yang benar. Oleh sebab itu sudah saatnya masyarakat
membangun kekuatan yang demokratis untuk melakukan tekanan dan
desakan terus-menerus kepada otoritas politik agar tunduk kepada kehendak
rakyat.
BIBLIOGRAFI
1. Kristiyanto, Eddy, OFM, Sakramen P olitik: Mempertanggungjawabkan
M emoria , Penerbit Lamalera, Desa Wilirejo, Kecamatan Pandak, Bantul,
2008;
2. Hirschman, Albert O., The Passion and T he Interest: Political Argument
for Capitalist Before Its Trial, Princeton University Press, New Jersey,
1997.
3. Snyder, Jack, Dari Pemungutan Suara Ke Pertumpahan Darah,
terjemahan dari buku From Voting to Violence, penterjemah: Martin
Aleida & Parakitri T. Simbolon, Penerbit Gramedia, November 2003.
4. Montesquieu, The Spirit of Laws, diterjemahkan dan diedit oleh: Anne
M. Cohler; Basia. Miller; Harold Stone; Cambridge University Press, New
York, 1989.
5. The International Bank for Reconstruction and Development/The World
Bank Report: Sub-Saharan Africa: From Crisis to Sustainable Growth,
First Printing November 1989, manufactured in the United States of
America.
6. Huntington, Samuel P; The Third Wave: Democratization in the Late
Twentieth Century, University of Oklahoma Press, 1991.27
7. Hayek, FA; The Constitution of Liberty, Routledge & Kegan Paul Ltd,
London EC4E 4EE.
8. Hollifield, James F. & Jillison Calvin (eds), Pathways to Democracy: The
Political Economy of Democratic Transitions, Routledge, London, 2000.
9. Kristiadi, J.; Sistem Pemilihan Umum dan Representasi Politik dalam
Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia; Bantarto Bandoro
(eds), CSIS, Jakarta, 1995.
10.Grabow, Karsten dan Riek. E, Christian (eds.), Parties and Democracy,
pp 110-111; Konrad-Adenauer-Stiftung e.V; Klingenhoferstrasse 23, D-
10907 Berlin, Germany.
11.Przewosrski, Adam (et.al): Democracy and Development: Political
Institutional and Well-being in the World, Cambridge University Press,
2000.
12.Przewosrski, Adam, Democracy and the Market: Political and Economics
Reforms in Eastern Europe and Latin America, Cambridge University
Press, 1991.
13.Jones, Michael E, Libido Dominandi: Sexual Liberation and Political
Control; St Agustine’s Press, South Bend, Indiana, 2000.
14.Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The
Difficult Combination, Comparative Political Studies, Volume 26, No. 2,
July 1993, pp 198-228.
15.Liphard, Arend (ed), Parliamentary Versus Presidential Government,
Oxford University Press, 1992.
16.Mainwaring, Scott & Soberg Shugart (eds): Presidentialism and
Democracy in Latin America, Cambridge University Press, 1997.
Jakarta, akhir Januari 2013
28