Diversitas Pengelolaan Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung, Taman Hutan Raya Wan...
-
Upload
muki-trenggono-wicaksono -
Category
Documents
-
view
114 -
download
7
description
Transcript of Diversitas Pengelolaan Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung, Taman Hutan Raya Wan...
Diversitas Pengelolaan Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung,
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman, Kota Bandar Lampung
Oleh
Dwiditya Pamungkas dan Muki Trenggono Wicaksono
Abstraksi
Proses konservasi berbasis komunitas bukanlah ulasan yang baru dalam kajian
antropologi ekologi. Kekurangan analisis proses konservasi selama ini hanya berfokus
bagaimana komunitas menerapkan nilai homogenitas yang terdapat di kelompoknya
sebagai pedoman pengelolaan sumber daya dan kawasan konservasi. Mengacu pada
Shoreman (2006) yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun model konservasi yang
berlaku secara universal, dan Gibson dan Koontz (1998) yang berpendapat pentingnya
memahami institusi di dalam komunitas dalam mengkonstruksi nilai pedoman
konservasi, kami melihat kasus KPPH Sumber Agung menjadi contoh menarik untuk
memahami proses konservasi berbasis komunitas di wilayah Indonesia. Meskipun
terdapat keragaman cara pengelolaan konservasi dalam mengartikan aturan yang dibuat
oleh pemerintah, KPPH Sumber Agung mampu mempertahankan posisinya sebagai
pengelola kawasan Tahura Wan Abdul Rahman secara mandiri. Kami melihat dua
substansi penting yakni relasi kekerabatan di dalam KPPH Sumber Agung dan sistem
Ganti Rugi Tanam Tumbuh yang dijalankan menjadi mekanisme yang mempertahankan
kelompok untuk tetap berperan di dalam proses konservasi. Pada sisi lain keberadaan
kelompok juga terus mengalami ancaman dari pandangan konservatif yang mendikotomis
peran masyarakat lokal di dalam proses konservasi.
Kata Kunci: Kekerabatan, Konservasi berbasis komunitas, Trust
Pendahuluan
“Diversitas Konservasi Berbasis Komunitas pada KPPH Sumber Agung, Taman Hutan Raya
Wan Abdul Rahman, Kota Bandar Lampung” merupakan sebuah tulisan yang mengangkat
pentingnya arus informasi dalam kegiatan manajemen konservasi berbasis komunitas di
Kelompok Gabungan Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Sumber Agung. Fokus
kami terhadap bentuk arus informasi pada Gabungan KPPH Sumber Agung, Kelurahan Sumber
Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung karena meskipun secara legitimasi
peraturan KPPH Sumber Agung diterapkan aturan pengelolaan sumber daya hutan oleh
pemerintah, tetapi pada kenyataannya anggota KPPH Sumber Agung mengintepretasi kegiatan
konservasi dengan cara yang berbeda-beda. Keberadaan arus informasi tersebut bukan hanya
diperuntukkan mempertahankan nilai aturan-aturan KPPH Sumber Agung, tapi juga didukung
oleh bentuk kepercayaan (trust) yang berdasarkan ikatan kekerabatan dan identitas ke-Sumber
Agung-an. Keragaman dalam menafsirkan informasi aturan HKm dari pemerintah, setidaknya
memberikan pemahaman baru bahwa sebenarnya tidak ada satu formula model konservasi yang
berlaku secara universal (Shoreman, 2009: 105).
Relasi masyarakat dengan kawasan hutan bukan menjadi sebuah kajian baru dalam studi
antropologi. Eleanor E. Shoreman (2009) yang melihat bagaimana proses dan aturan konservasi
dari pemerintah lokal di Delta Mississippi menjadi bentuk permainan keberlanjutan politic of
unsustainability dan Virginia D. Nazarea (2006) yang mengangkat ulasan peran pengetahuan
lokal dan ingatan (memory) masyarakat setempat terhadap proses biodiversitas konservasi
memperlihatkan bahwa kajian antropologi ekologi menjadi ulasan menarik dalam memahami
proses perubahan pada relasi manusia dengan lingkungan. Kehadiran hutan pada masyarakat
Kelurahan Sumber Agung menjadi sisi tersendiri yang memperlihatkan manusia masih sangat
tergantung dengan lingkungannya dengan memanfaatkan sumber daya alam. Proses pengelolaan
sumber daya alam tersebut juga diiringi dengan ragamnya cara pengelolaan lahan hutan dilihat
dari berbagai variasi produksi hutan di Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman.
Keragaman cara pengelolaan tanaman di Tahura Wan Abdul Rachman pada KPPH Sumber
Agung mampu menjadi fokus penjelasan menarik khususnya dalam memahami bagaimana
manajemen konservasi berbasis masyarakat diterapkan pada KPPH Sumber Agung.
Perubahan status pada landscape hutan di Kelurahan Sumber Agung dari statusnya Hutan
Kemasyarakatan (HKm) menjadi Tahura Wan Abdul Rachman memberikan implikasi secara
legitimasi hukum bahwa keberadaan pengelolaan sumber daya oleh masyarakat di dalam
kawasan konservasi sebenarnya tidak diperbolehkan.1 Meskipun secara legitimasi perubahan
status menjadi Tahura memberikan pengaturan konservasi yang non-partisipatoris bagi
masyarakat, ternyata masyarakat Sumber Agung tetap mampu bertahan untuk mengelola kebun
garapannya dengan di bawah pengelolaan tujuh kelompok di KPPH Sumber Agung. Hal tersebut
dapat terjadi karena terdapat praktik negosiasi antara pemerintah dan masyarakat, pada sisi lain
masyarakat berusaha meyakinkan Dinas Kehutanan dengan mempertahankan nilai-nilai aturan2
yang diterapkan ketika HKm masih berlaku. Namun keragaman pada pengelolaan kawasan
dengan model konservasi berbasis komunitas terkadang juga masih dipandang secara otoritatif
oleh pemerintah dengan menghomogenisasikan kondisi KPPH melalui aturan-aturan seperti (1)
pemberian pola tanam tajuk tinggi, tajuk sedang, dan tajuk rendah;3 (2) penerapan aturan secara
infleksibel terhadap semua pelanggar penebangan kayu tanpa melihat motif tindakannya; dan (3)
pandangan kontra terhadap sistem Ganti Rugi yang sering diterapkan oleh masyarakat. Padahal
keberadaan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai landscape ekologis memiliki keragaman cara
pengelolaan yang dilakukan tujuh kelompok KPPH di Kelompok Gabungan KPPH Sumber
Agung. Pada sisi lain proses konservasi juga tidak tertutup dari keberadaan pemerintah, yang
menempatkan KPPH Sumber Agung sebagai ‘partner’ dalam menjalankan proses konservasi di
Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman.
Melihat kondisi tumpang tindih antara aturan pemerintah dan aturan informal dalam
masyarakat, kami tertarik untuk memetakan pemahaman masyarakat Sumber Agung dalam
mengelola dan menjaga kawasan konservasi. Kegiatan konservasi yang dilakukan di Kelurahan
Sumber Agung dengan menerapkan peran masyarakat sebagai penggelola sumber daya hutan
sekaligus pelestari kawasan konservasi menjadi satu contoh bagaimana manajemen konservasi
berbasis masyarakat diterapkan. Menariknya pengelolaan tersebut dilakukan dengan cara yang 1 Lihat http://www.dephut.go.id/files/pp28_11_0.pdf.
2 Setidaknya terdapat aturan tiga aturan yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Kota Bandar Lampung: (1) masyarakat diharuskan menanam tanaman keras dengan cara penanaman pola tajuk; (2) masyarakat tidak diperkenankan mengalihkan hak pengelolaannya kepada orang lain; (3) masyarakat dilarang menebang pohon apapun pada kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
3
berbeda-beda dalam mengintepretasi aturan yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan
Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kotamadya Bandar Lampung. Pada sisi lain perubahan status
dari HKm menjadi Tahura Wan Abdul Rachman memberikan pengaruh besar dengan masuknya
beberapa pihak untuk membuat pusat penangkaran vegetasi di areal KPPH Sumber Agung. Pada
kondisi demikian, pertanyaan terpenting adalah bagaimana keberadaan KPPH Sumber Agung
mampu bertahan hingga kondisi saat ini, meskipun status areal telah berubah menjadi Tahura
Wan Abdul Rachman?
Kami mengangkat pengelolaan kelompok gabungan KPPH Sumber Agung dengan
berfokus pada variasi model pengelolaan di setiap KPPH, yang kemudian akan memberikan cara
tersendiri untuk memahami bagaimana masyarakat Sumber Agung memaknai kegiatan
konservasi. Keberadaan kelompok gabungan KPPH Sumber Agung yang bergerak secara
struktural dari dukungan tujuh kelompok di bawahnya juga menjadi bagian dari ulasan kami
khususnya untuk memahami bagaimana kelompok menguatkan perannya dalam kegiatan
konservasi di Tahura Wan Abdul Rachman. Maka pada tulisan ini kami memfokuskan pada dua
pertanyaan besar yakni: (1) Bagaimana variasi pengambilan keputusan pada masing-masing
kelompok dalam KPPH Sumber Agung mampu diterapkan dalam menjalankan aturan
pengelolaan konservasi?; (2) bagaimana dengan perbedaan mengintepretasi aturan tersebut
kelompok gabungan KPPH Sumber Agung masih tetap bertahan meskipun dalam status Tahura
Wan Abdul Rachman?
Secara garis besar tulisan ini dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama adalah ‘Memahami
Konservasi Berbasis Komunitas’ memberikan pemahaman bahwa dalam memahami proses
konservasi tersebut hal terpenting bukanlah pada nilai homogenitas yang dimiliki oleh
komunitas, melainkan bagaimana komunitas menjaga dan membentuk aturan-aturan untuk tetap
bertahan di dalam areal konservasi sebagai pengelola konservasi secara mandiri. Kedua adalah
“Proses Pembentukan KPPH Sumber Agung”. Pada bagian ini kami akan menjelaskan analisis
secara diakronis diperlukan dalam memahami perubahan pada KPPH Sumber Agung, bagaimana
keberadaan kondisi kelompok saat ini tidak terlepas juga dari proses pembentukan di masa
lampau. Ketiga adalah “Keragaman dalam memaknai aturan: refleksi model konservasi KPPH
Sumber Agung”. Pada bagian terakhir ini, kami akan menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak
ada model konservasi yang berlaku secara universal dan dapat diterapkan di dalam semua
konteks komunitas. Keragaman dalam mengintepretasi aturan di KPPH Sumber Agung akan
memperlihatkan bagaimana kelompok membentuk dan menjaga nilai yang dikonstruksikan di
antara anggota dan tujuh kelompok di KPPH Sumber Agung.
Memahami Konservasi Berbasis Komunitas
Kegiatan konservasi berbasis komunitas (community based conservation) bukanlah menjadi
ulasan baru dalam kajian lingkungan. Secara prinsipnya Schmink (1999 dalam Mugisha, 2002:
7) mengindikatorkan konservasi berbasis komunitas seharusnya melihat pada pencapaian
keadilan sosial sebagai strategi, melalui partisipasi komunitas. Ia membedakan konservasi
berbasis komunitas dari bentuk proyek pembangunan yang ditekankan pada penggunaan sumber
daya dan menganggap baik komunitas maupun pada lingkungannya. Sedangkan tokoh lain,
Murphree (1996) menekankan pada definisi konservasi berbasis komunitas dari perspektif
penduduknya. Ia mendefinisikan penduduk/ para pemegang kepentingan di Afrika, baik itu
petani skala kecil dengan hak pemanfaatan sumber daya pada pengelolaan alam. Sependapat
dengan Murphree, Tsing et al (1999 dalam Twyman, 2000: 323) berpendapat program
pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas didasari pada premis populasi lokal
mempunyai keinginan besar dalam penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan disekitar
mereka daripada lebih disentralisasi dari pemerintah atau institusi pengelolaan swasta.
Manajemen konservasi berbasis komunitas tidak dipungkiri masih mengalami beberapa
persoalan khususnya ketika dihadapkan pada model konservasi yang konservatif menempatkan
areal proteksi konservasi secara terpisah dengan penduduk lokal yang bermukim. Pada dasarnya
model konservasi tersebut lebih memfokuskan terhadap pelestarian biodiversitas yang ada di
areal konservasi. Namun, Virginia D. Nazarea (2006: 319) pada tulisannya Local Knowledge and
Memory in Biodiversity Conservation memperlihatkan pada Konvensi Keanekaragaman Biologis
(Convention on Biological Diversity/ CBD) di Rio Earth Summit, 1992 masih memiliki beberapa
kekurangan di mana CBD sendiri cenderung sulit untuk menolak tantangan konservasi
biodiversitas dan peran penting pengetahuan lokal dan pengawas lokal dalam menjaga
keanekaragaman hayati. Bentuk pengelolaan secara partisipatoris dalam manajemen konservasi
berbasis lingkungan setidaknya mampu menjadi cara dalam menyediakan akses masyarakat lokal
terhadap kawasan konservasi.
Menempatkan komunitas sebagai pengelola kegiatan konservasi tidak serta merta
menyelesaikan masalah secara langsung. Clark C. Gibson and Tomas Koontz (1998: 625-626)
dalam tulisannya When "Community" Is Not Enough: Institutions and Values in Community-
Based ForestManagement in Southern Indiana memperlihatkan setidaknya ada tiga kekurangan
di dalam pendekatan analisis konservasi yang menempatkan nilai homogenitas pada komunitas
sebagai pusat perhatiannya. Pertama adalah ketika peneliti rela untuk menempatkan beban
penjelasan pada nilai homogenitas, beberapa berupaya untuk mengeluti dalam kesulitan
mengkonseptualisasikan. Implikasi yang paling terlihat adalah bagaimana anggota komunitas
membagi nilai tersebut. Namun, banyak studi jarang mengidentifikasi apa nilai yang disebarkan
tersebut. Masalah kedua pada pandangan ini adalah jika nilai dan homogenitas menjadi pusat
penjelasan, relasi komunitas pada hasil kolektif harus dieksplorasi lebih detail. Terakhir adalah
sentral pada studi, adalah pada memproses nilai dan nilai homogenitas sebagai faktor luar yang
mengesampingkan bagaimana komunitas dapat 'mengelola' nilainya. Nilai merupakan pemberian
yang tidak statis, tapi dapat berfluktuasi antar individu, waktu, dan ruang - meskipun kecilnya
ruang pada satu daerah komunitas. Menurut Clark C. Gibson and Tomas Koontz (1998: 627)
pada kondisi ini antropolog dapat memainkan peran dalam memahami bagaimana praktik lokal
menolong untuk mempertahankan nilai-nilai di dalam komunitas. Mengamini pendapat Gibson
dan Koontz (1998: 629) dengan melihat bagaimana dan dengan cara apa komunitas pada satu
areal konservasi mengkonstruksikan kelembagaan (baca: institusi) untuk mempertahankan nilai
dan bagaimana aktivitasnya berdampak pada sumber daya alam, kami berusaha memahami
bagaimana KPPH Sumber Agung sebagai sebuah komunitas dengan tujuh kelompok di
bawahnya mampu mempertahankan perannya dalam pengelolaan sumber daya alam di areal
kawasan konservasi Tahura Wan Abdul Rahman.
Dalam memahami pengelolaan KPPH Sumber Agung analisis diakronis dengan
menempatkan pemikiran Franz Boas menjadi pilihan kami dalam memahami sejarah
pembentukan KPPH Sumber Agung. Pada pendekatan Boas yang disebut partikularisme historis
memperlihatkan bahwa “historis” karena kondisi saat ini dapat dijelaskan dalam kondisi di masa
lampau dan ‘partikular’ karena ia melihat bahwa sejarah setiap kebudayaan menjadi keunikan
tersendiri “His approach to anthropology has been called historical particularism – ‘historical’
because he described the present in terms of the past and ‘particular’ because he considered the
history of each culture to be unique.” (Eriksen dan Murphy, 2000: 75). Keunikan ketika
berfokus pada analisis diakronis adalah kami dapat memahami perubahan yang terjadi di dalam
KPPH Sumber Agung. Melalui wawancara dengan informan kunci yang memahami historis
kehadiran penggarap di kawasan Tahura Wan Abdul Rahman dan proses pembentukan KPPH
Sumber Agung, mengacu pada Maurice Halbwachs (1950, dalam Nazarea , 2006: 326) dalam La
Memiore Collective memori merupakan sosial, kolektif, dan ‘menghuni’. Orang yang
memperoleh atau mengkonstruksikan memori bukan sebagai individu yang terisolasi melainkan
sebagai anggota masyarakat (Nazarea, 2006: 326).
Proses Pengumpulan Data
Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian lapangan selama tujuh hari di Kelurahan Sumber
Agung, Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Proses penelitian lapangan yang
dilakukan pada tanggal 1 hingga 7 September 2012 memberikan kesempatan kami untuk
menghimpun data-data primer seperti wawancara dan hasil pengamatan dari teknik observasi
partisipatoris dengan mengikuti kegiatan para petani penggarap di KPPH Sumber Agung dan
data sekunder seperti peta. Data dari hasil wawancara kami dapatkan dengan melakukan
wawancara mendalam (in depth interview) bersama informan kunci yang terdiri dari Ketua
KPPH Umbul Kadu, KPPH Pemancar, KPPH Sukawera, KPPH Mata Air, KPPH Tanjung
Manis, KPPH Cirate, dan KPPH Pangpangan, Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung, mantan
Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung, serta tokoh masyarakat yang cukup dipandang dan
memiliki pemahaman sejarah penggarap di Kelurahan Sumber Agung. Teknik observasi
partisipatoris kami lakukan dengan terus terlibat pada kegiatan berkebun para petani penggarap
yang biasanya dilakukan setiap pagi hari, selain itu juga dengan bergabung di tengah
perbincangan antar petani penggarap tidak menutup kemungkinan mampu menjadi cara
memperoleh data yang cukup efektif. Pengumpulan data dokumentasi seperti peta dan kondisi
fisik di lapangan seperti penanaman pola tajuk dan pemberian batas teritori antara wilayah
garapan dan hutan lindung menjadi teknik yang sangat berguna khususnya dalam memahami
landskap areal eks-HKm yang masih dikelola oleh KPPH Sumber Agung.
Pembentukan Kelompok KPPH Sumber Agung
Sumber Agung merupakan salah satu Kelurahan yang berletak di Kecamatan Kemiling,
Kotamadya Bandar Lampung. Akibat pertambahan penduduk di Kelurahan Sumber Rejo, pada
tahun 2000 akhirnya dibentuk Kelurahan Sumber Agung yang memiliki 3 lingkungan4.
Keberadaan penduduk Kelurahan Sumber Agung yang sebagian besar penduduknya bertani baik
itu sebagai penggarap maupun mengelola di areal sendiri, memberikan refleksi bahwa
masyarakat Sumber Agung masih sangat bergantung terhadap keberadaan hutan di wilayahnya.
Gambar 1. Peta Kelurahan Sumber Agung,
Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung.
Secara administratif Kelurahan Sumber Agung di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan
Beringin Raya, di sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kedaung dan B. Putu, di sebelah
timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung Betung, dan di sebelah barat berbatasan dengan
Kelurahan Kedaung. Semua kelurahan yang berbatasan dengan Kelurahan Sumber Agung
tersebut, masih berada dalam satu Kecamatan Kemiling.5
KPPH Sumber Agung yang menjadi studi kasus kami berletak di Kelurahan Sumber
Agung, Kecamatan Kemiling, Kotamadya Bandar Lampung. Keberadaan Kelompok Gabungan
KPPH Sumber Agung sebenarnya berdiri di dalam areal Taman Huran Raya Wan Abdul
4 Lingkungan merupakan penggolongan administrative yang diterapkan di Kotamadya Bandar Lampung. Sebenarnya daerah administrative ‘lingkungan’ sama layaknya Rukun Warga yang lebih banyak di kenal.
5 Dirumuskan dari Data Profil Desa dan Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Bulan Januari s.d Juli 2011.
Rahman. KPPH Sumber Agung memiliki luas 492,75 ha dari total keseluruhan luas Tahura Wan
Abdul Rahman 22.249,31 ha. Areal Tahura Wan Abdul Rahman meliputi 3 kecamatan di
Kotamadya Bandar Lampung (Kecamatan Teluk Betung Barat, Teluk Betung Utara, dan
Kemiling) dan Kabupaten Pesawaran yang meliputi 4 kecamatan (Kecamatan Padang Cermin,
Gedong Tataan, Way Lima, dan Kedondong).
Gambar 2. Peta Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman
Dari Jawa ke Sumatera: Sejarah Penggarap Lahan di Sumber Agung pada era
Kolonialisme hingga Paska Kemerdekaan.
Awal mula kami sedikit bingung dengan tipikal warga Sumber Agung. Seakan berada di Pulau
Jawa, kami sering kali terlibat dan mendengar perbincangan antar warga Sumber Agung dengan
menggunakan bahasa Jawa. Menariknya ketika kami tanyakan asal usul warga Sumber Agung,
mereka menjawab mereka orang Lampung. Namun setelah ditelusuri secara detail, keberadaan
orang berlogat Jawa tersebut merupakan keturunan dari orang tuanya yang kebanyakan
bermigrasi dari daerah Pandeglang, Karawang, Ponorogo, Purworejo, Trenggalek, Yogyakarta
ke daerah Lampung.
Kehadiran Orang Jawa di Lampung sebenarnya telah terjadi sejak periode kolonialisme
Belanda. Kehadiran Belanda di Lampung memberikan dampak munculnya perkebunan karet
Langkapura yang berletak di kawasan Way Nangka dan Tanjung Alor, Lampung Selatan (?)
Orang Jawa saat itu dibawa sebagai buruh perkebunan yang bekerja secara kontrak untuk
Belanda. Setelah Belanda lengser, memasuki periode penjajahan Jepang wilayah Sumber Agung
dan sekitarnya diubah vegetasi perkebunannya dari karet menjadi areal perkebunan kopi,
persawahan, dan ladang jagung yang sebagian dikelola oleh masyarakat. Hal tersebut yang
kemudian menjadi awal mula penggarapan hutan oleh masyarakat. Keberadaan kawasan Tahura
Wan Abdul Rachman yang sempat menjadi HKm KPPH Sumber Agung tadinya merupakan
milik dan dikelola oleh masyarakat.
Kalau itu tanaman masyarakat sendiri udah keluar dari perkebunan. Nah itu tanaman pribadi, seperti pak Ismono pak sugiat. Sekarang kan itu diambil sama kehutanan, jadi kita tumpang sari sama kehutanan itu. (Suparmono)
Penanaman tersebut dilakukan ketika di periode jajahan Jepang (1942-1945) dengan menanam padi dan kopi untuk keperluan pangan masyarakat setempat. Hal ini karena ketika periode Jepang masih berkuasa, pengelola perkebunan yang dipimpin oleh warga negara Jepang – Yamamato dan Yawada. Para buruh tidak mendapatkan upah kerja berupa uang, melainkan diberikan berupa kebutuhan bahan-bahan pangan bagi para buruhnya.
Paska kemerdekaan Republik Indonesia, Belanda meninggalkan perkebunan dan akhirnya masyarakat yang dulunya menjadi buruh perkebunan dan membuka lahan di areal hutan Gunung Betung, mulai menguasai sebagian lahan yang saat ini menjadi tanah marga.6
jaman Belanda, mereka udah pergi kita merdeka terbengkalai, nah dari situ karyawan mengkavling-kavling, akhirnya karet ditebang..... menurut sejarah sebelum mbah saya, masuk jaman belanda, itu memang sudah ada pemukiman, kalau di daerah sini, tapi ada peraturan peraturan maka kita keluar tahun 1982, itu semacam bedol desa, ini reboisasi kembali masyarakat 1982 dimohon turun. (Sukmadi)
Penggarapan secara besar-besaran terjadi ketika masa paska kemerdekaan. Izin-izin pembukaan
kawasan hutan untuk usahatani penduduk diberikan mulai tahun 1960-an. Izin tersebut
dikeluarkan karena semangat pejabat-pejabat pemerintah saat itu untuk memperluas lahan
usahatani penduduk dan memperoleh pendapatan dari eksploitasi hutan.7 Hal tersebut juga
disebabkan bertambahnya penduduk Lampung akibat program Transmigrasi yang diterapkan
oleh pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Banyaknya izin pembukaan lahan yang
dikeluarkan, pertambahan penduduk, ditambah kekakacauan dalam pengelolaan hutan semakin
memperparah kondisi vegetasi di kawasan konservasi hutan. Hal tersebut dapat dilihat dari
6 Tanah Marga merupakan tanah milik perseorangan yang biasanya telah disertifikasi dari BPN (Badan Pertanahan Nasional. Biasanya tanah marga diperbolehkan untuk menanam sayur, dan pemilik tanah memiliki otoritas hak atas pengelolaan tanah tersebut tanpa terikat peraturan HKm namun tetap memperhatikan etika aturan-aturan di KPPH.
7 Ahmad Kusworo. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Halm 10.
kemunculan umbulan-umbulan8 di dalam kawasan hutan lindung yang kemudian memicu
pemerintah untuk melakukan operasi secara represif dengan men-translokalkan penduduk dari
umbulan ke beberapa desa di Lampung.
Umbulan: Cikal Bakal Areal KPPH Sumber Agung.
Setiap nama pasti memiliki cerita dan sejarah dibaliknya, hal tersebut dapat menjadi awalan
untuk menjelaskan penamaan Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan di Sumber Agung.
Setidaknya, sebelum pembentukan tujuh KPPH Tanjung Manis, Pangpangan, Cirate, Umbul
Kadu, Pemancar, Mata Air, dan Sukawera di Sumber Agung, areal kelompok masih berupa
wilayah umbulan di mana terdapat beberapa titik pemukiman kecil yang hanya terdiri tiga hingga
beberapa rumah di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Saat itu warga yang bermukim
di umbulan memang merupakan warga pendatang yang sebagian berasal dari Jawa Barat dan
Jawa Tengah, yang membuka lahan garapan berupa areal sayur-sayuran.
kalau kata mbah saya itu, tahun 40-an katanya gunung ini udah jadi bukaan-bukaan orang pribumi, orang lampung. Kita ini istilahnya bukaan ganti rugi, leles namanya kalau orang jawa bilang. Kita ini ganti rugi garapan mereka. Sekarang mah istilahnya pada pindah, ke Sukadanaham itu. (Suparmono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)
Paska transmigrasi lokal yang dilakukan pemerintah dengan memindahkan penduduk dari
umbulan ke areal lain di Lampung, beberapa penduduk lokal ada yang tetap bertahan dan masih
menggarap mengelola lahan garapan. Lambat laun penduduk yang masih bertahan tersebutlah
yang kemudian bergabung ke dalam KPPH Sumber Agung. Menariknya pada proses
pembentukan KPPH Sumber Agung penamaan masing-masing Kelompok diasosiasikan dengan
karakteristik kondisi areal di masa lampau. Seperti pada nama KPPH Umbul Kadu, kata ‘Umbul’
dipakai untuk merujuk kata umbulan sedangkan kata kadu diartikan sebagai buah durian, hal ini
karena wilayah KPPH Umbul Kadu dulunya terkenal sebagai wilayah penghasil durian di
Kelurahan Sumber Agung. Menurut Pak Sukmadi, pemberian nama pada KPPH dilakukan
8 Umbulan merupakan areal pemukiman di dalam hutan yang hanya terdiri dari beberapa rumah dan tidak tercatat secara administrative.
bersama-sama dengan warga dan juga pendamping-pendamping P3AE UI pada tahun 1998-an.
Dari musywarah dan berdasarkan nama kampung terdahulu akhirnya nama kelompok tercipta
........dulu itu kan hanya membentuk kelompok-kelompok gitu. Itu pun lama, selama 6 bulan
atau apa. Udah gitu kan nanya-nanya, sampai jam 1 jam 2, sama pendamping. Pas udah itu
kami berencana, nama kelompoknya apa nih. Ya udah dulu kan nama kampung kita tanjung
manis, udah nama-nama kampung dulu aja. Itu adanya di sebelah yang ada rumahnya pak
abas itu, sekarang mah udah jadi kebun-kebun masyarakat......... (Sukmadi, dalam catatan
fieldnotes Muki T. Wicaksono, 6 September 2012).
Pemukiman umbulan itu sendiri sekarang sudah tidak ada lagi, karena pada tahun 1982
pemerintah Orde Baru melaksanakan program reboisasi di areal umbulan tersebut, sedangkan
penduduk yang tadinya menempati areal umbulan terpaksa harus mengikuti program
transmigrasi lokal yang dibuat oleh pemerintah.9
Variasi Asal Usul Kepemilikan Lahan Garapan
Kelompok kelompok yang ada di Sumber Agung tentu saja memiliki jumlah anggota yang cukup
banyak, dan setiap anggota ini biasanya ketika sudah tua atau sudah tidak dapat lagi mengurus
lahannya maka dia akan mewariskan lahnnya kepada anaknya atau justru menjualnya kepada
sesama warga sumber agung utnuk menghindari kerusakan.
Pada tahap pewarisan lahan, pihak yang diwarisi atau ahli waris lahan garapan otomatis
akan masuk kedalam kelompok di mana lahan tersebut terdapat, dan mau tidak mau sang ahli
waris lahan tadi harus mengikuti aturan-aturan dan kesepakatan terkait penggarapan lahan hutan
lindung. Pola ini dipercaya lebih menguntungkan dan cukup dapat mempertahankan kekuatan
kelompok karena pada dasarnya ahli waris lahan sudah cukup lama mengetahui keberadaan
kesepakatan dibandingkan pihak luar Sumber Agung. Kasus yang kami temukan di lapangan
adalah kebanyakan para anggota penggarap lahan hutan mendapatkan lahan dengan cara turun
menurun atau warisan. Seperti Pak Sugiat salah satu informan dan ketua KPPH Cirate yang
mendapatkan lahan karena warisan dari orang tuanya.
9 Lihat Ahmad Kusworo. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Halm 27.
Cara perwarisan tanah garapan sebenarnya beragam sifatnya, pertama ada yang
diwariskan pada satu petak areal garapan yang dikelola secara bergantian dari setiap keturunan
(lihat kasus A), atau kedua ada juga pada satu areal garapan dibagi untuk bapak dan anak-
anaknya, atau ke saudaranya (lihat Kasus B). Biasanya untuk tipikal perwarisan yang kami
sebutkan kedua terjadi pada keluarga yang mempunyai lahan garapan yang cukup luas lebih dari
1 hektar.
Variasi Perwarisan Tanah
Kasus A
(Lampau) Sawon (Kini) Sugiat
Kasus B
(Lampau) Sofyan (Kini) Sofyan, Bambang, dan Rusdi Daud Daud dan Pardi
Variasi Ganti Rugi Tanam Tumbuh
Kasus C
(Lampau) Sipon dan Sujerman (Kini) Samidi
Ada juga beberapa informan kami seperti Pak Samidi yang memperoleh lahan dengan
sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh10. Seperti Pak Samidi mengakui kalau dia mengganti rugi
lahan garapan dari Pak Sipon dan Pak Sujerman dengan harga Rp 500.000,- pada tahun 1997
(lihat Kasus C). Uniknya dalam pemilikan lahan ini, lahan di jual antara anggota atau warga
Sumber Agung karena menurut Pak Maijo (ex- Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung), kalau
lahan dijual ke orang luar Sumber Agung biasanya akan disalah gunakan
....ya masyarakat tidak boleh merusak, tidak boleh di jual beli, kalau di jual nanti
habis sama orang luar itu, banyak yang mau orang luar, kalau antara kelompok
boleh, luar gak boleh, kalau dari kita aja kan, kalau orang itu gak bisa merawat
udah tua, diganti rugikan, tapi kan anggota yang beli sudah tahu aturannya....
(Maijo, dalam transkrip Dwidtya, Senin 3 September 2012)
Meskipun proses pengalihan garapan tetap diharuskan untuk sesama warga Sumber Agung.
Pada beberapa KPPH terdapat variasi asal usul pemilik yang berasal dari luar Kelurahan
Sumber Agung, biasanya penggarap tersebut telah mengelola lahan jauh sebelum Dinas
Kehutanan mengambil alih pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rahman.
Maka secara garis besar terdapat dua variasi cara kepemilikan terhadap lahan garapan di
hutan Gunung Betung terutama wilayah HKm. Pertama, masyarakat memperoleh lahan
berdasarkan warisan turun menurun dari orang tua atau pemberian hak garapan antar kerabat.
Kedua adalah memperoleh lahan dengan ganti rugi tanam tumbuh dengan warga Sumber Agung
yang memiliki lahan di kawasan hutan HKm.
KPPH Sumber Agung: 1998 – kini
Tahun 1998 adalah masa-masa di mana masyarakat Sumber Agung mulai bersatu dan
membentuk kelompok-kelompok untuk dapat pengakuan dari pemerintah dalam mengelola hutan
lindung Register 19 Gunung Betung. Sebelum tahun 1998, masyarakat Sumber Agung secara
10 Sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh adalah salah satu model pengalihan garap yang diterapkan oleh petani penggarap di KPPH Sumber Agung. Pengalihan garap tersebut bukan menjual tanah, melainkan menjual pohon dan tumbuhan yang masih produktif ke penggarap lainnya. Hal tersebut dilakukan karena untuk menanam pohon tersebut penggarap sebelumnya mengeluarkan sejumlah uang, untuk menutupi modalnya tersebut ia biasanya menjual pohon yang telah ditanaminya ke penggarap lain, apabila ia ingin pindah tinggal ke lokasi lain.
individual mengelola lahan hutan, dan hal tersebut sangat sulit dijalani karena masyarakat harus
“kucing-kucingan” dengan Jagawana atau Polisi Hutan (PolHut). Akhirnya tahun 1998,
masuklah program dari P3AE UI yang memberikan pendampingan pada masyarakat Sumber
Agung dan beberapa masyarakat di desa lainnya yang mengalami persoalan sama yakni konflik
pengelolaan kawasan konservasi. Pada tahun 1998 dengan dibantu pendamping dari tim P3AE
UI para penggarap di areal Kawasan Hutan Lindung Region 19 Gunung Betung secara perlahan
membentuk kelompok pelestari dan pelindung hutan untuk memperkuat posisi mereka di dalam
pengelolaan kawasan hutan secara mandiri dan bertanggungjawab.
Terbentuknya gabungan itu ceritanya setelah kita membentuk 7 kelompok ini. Itu
tidak menutup kemungkinan kita menghadapi persoalan pengrusakan. Seperti ada
kelompok kita ini misalnya udah agak bagus ini, udah nggak ada yang nebang-
nebang pohon. Nah kan ada kelompok lain juga, nah permasalahan lintas kelompok
ini dibikin persoalan waktu itu kita kan mendapat SK izin awal selama 5 tahun. Kan
di situ nggak mungkin nggak, kelompok saya kan dikasih, kelompok lain juga
dikasih. Jadinya kenapa terbentuknya gabungan itu, ya untuk lintas kelompok itu,
ada garis koordinasinya antar kelompok. (Ismono, dalam Catatan Lapangan Muki T.
Wicaksono, 4 September 2012, halm 11)
Kelompok KPPH yang terbentuk pada awalnya berjumlah 7 kelompok, kelompok-
kelompok tersebut adalah, kelompok Tanjung Manis, Mata Air, Cirate, Umbul Kaduk,
Sukawera, Pemancar dan Pangpangan. Setiap kelompok-kelompok ini dalam pembentukannya
membutuhkan waktu yang cukup lama kurang lebih 6 bulan dan tidak hampir semua kelompok
terbentuk bersamaan. Pendapat tersebut didasari oleh pengakuan informan kami Pak Maijo dan
Pak Sukmadi
....itu kan hanya membentuk kelompok-kelompok gitu. Itu pun lama, selama 6
bulan....hampir barengan, tanjung manis, sukawera terus umbul kadu. terus cirate...
(Maijo, catatan transkrip Dwiditya, 3 September 2012)
Setiap kelompok-kelompok KPPH dalam pembentukannya memiliki proses-proses yang sangat
panjang dan sampai saat ini pun kelompok-kelompok KPPH masih mengalami proses dinamika
dalam kelompoknya, misalnya proses penggabungan antara dua kelompok yaitu Pangpangan
dan Tanjung manis.
Pembentukan kelompok gabungan ini bertujuan agar ketujuh kelompok memiliki satu
wadah jika ada permasalahan yang akan diselesaikan. Setiap Kelompok Pengelola dan Pelestari
Hutan (KPPH) terbentuk dengan proses yang cukup panjang dan juga dengan perjuangan cukup
besar. Perjuangan dan waktu yang harus dikorbankan akhirnya dibalas dengan terbitnya surat
HKm yang isinya memperbolehkan masyarakat mengelola hutan lindung Region 19 Gunung
Betung.
Gambar 4. Peta Kelompok Gabungan
KPPH Sumber Agung.
Namun pertanyaan kemudian muncul ketika melihat kondisi Kelompok Gabungan KPPH
Sumber Agung saat ini. Ketika penelitian di lapangan, kami menemukan dualisme pendapat
dalam melihat keberadaan KPPH Pangpangan. Pertemuan kami dengan Pak Juliono (Ketua
KPPH Pangpangan) pada Rabu, 5 September memperlihatkan bahwa ia telah mengakui
keberadaan kelompok KPPH Pangpangan
Muki: itu mulai gabung ke tanjung manisnya kapan pak?
Juliono: Belum lama ini belum ada 2 tahun. Secara lisan saya nyatakan bahwa menitipkan jika ada sesuatu. Karena juga dengan kondisi dan situasi yang bisa dibilang pengakuan yang masih stagnan. Saya juga tidak punya pengakuan yang failing untuk melihat bahwa kelompok ini masih intense atau tidak. Tapi saya juga berharap dengan
pengakuan, itu masih kuat keberadaan kelompok, sehingga ada satu komitmen ini harus dipertahankan. Sehingga ada saya punya satu sikap, mohon kelompok ini digabung ke tanjung manis, jadi secara administrative tidak menyulitkan (dikutip dari Catatan Lapangan, Muki T. Wicaksono, 5 September 2012).
Menariknya ketika kami mencoba mengkomparasi dengan pendapat Ketua KPPH
Tanjung Manis, Pak Sukmadi, terdapat perbedaan pendapat di mana ia mengakui terdapat proses
pergantian tanam tumbuh yang berjalan tanpa melalui mekanisme kelompok.
Muki: oh, nah ini kan juga ada kelompok pangpangan ya pak? Itu katanya dijadiin satu ke kelompok tanjung manis ya pak? Apa itu yang buat penambahan jumlah anggota juga?
Sukmadi: ada kelompok pangpangan. Sebetulnya saya itu memang kelompok pangpangan pada waktu itu diketuai oleh Pak Juli, 2010 ke sinilah. Saya nggak tau kenapa diserahin ke saya, kata saya jangan ke saya. Saya juga masih merangkap jadi sekretaris gabungan, Udah gitu kita ke atas ketemu pak saban, “silakan pak saban tapi saya nggak sanggup.” Karena saya melihatnya begini, di pangpangan itu juga sudah anggotanya juga yang sudah kebanyakan orang sini, sementara ini penggantian tanam tumbuh itu tidak melalui kelompok, tapi langsung saja.
Saya juga kemarin itu, itu kan mau jadi penangkaran rusa. Saya juga disuruh ngundang anggota dari orang dinas. Itu juga luasnya kan 12 hektar. Nah pas itu baru ketahuan, Cuma satu orang yang orang sininya. Jadi saya bingung ya, ada yang di tanjung karang, ada yang di perumnas sini. Udah orang-orang kaya semua. Jadi saya ngomong ke pak saban, jadi saya nggak sanggup. (dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 6 September 2012)
Ambiguitas status KPPH Pangpangan karena kekosongan pemimpin kelompok ditambah
kehadiran rencana pembangunan penangkaran rusa di areal kelompok Pangpangan mampu
memberikan pertanyaan menarik dalam ulasan kami. Bagaimana sebenarnya KPPH Sumber
Agung dengan 7 kelompok di dalamnya membentuk dan mengkonstruksikan nilai yang telah
disepakati oleh para penggarap? Serta, bagaimana seharusnya peran kelompok berjalan dalam
mempertahankan nilai-nilai aturan di KPPH Sumber Agung? Hal ini melihat pada dua kasus
antara KPPH Pangpangan dan KPPH Tanjung Manis saja memperlihatkan keragaman di dalam
KPPH Sumber Agung. Terakhir adalah apa yang sebenarnya perlu dipahami untuk menjadi
konsensus bersama di dalam KPPH Sumber Agung?
Keragaman dalam Memaknai Aturan:
Refleksi Model Konservasi KPPH Sumber Agung
Model Penguatan Kelompok
Awal mula kelompok ini terbentuk tidak serta merta mendapat perhatian secara besar oleh
seluruh masyarakat Sumber Agung, cukup lama waktu yang dibutuhkan untuk dapat mengajak
masyarakat tergabung dalam Kelompok Pengelola dan Pelestarian Hutan (KPPH). Bahkan
penolakan terhadap program yang dikerjakan secara kolaboratif oleh P3AE UI dan warga
Sumber Agung juga mendapat penolakan seperti yang dilakukan Sumewo (Ketua KPPH Mata
Air) ketika masa pembentukan KPPH Sumber Agung.
....ya sebelum HKM yang berbulan bulan itu kok, ya memang waktu itu saya juga
gak bicara, masih banyak marahnya sama rombongan pak Iwan, dengan anak buah
pak Iwan pertama kali saya adu argumentasi... (Sumewo, dikutip dari transkrip
wawancara Dwiditya P, 3 September 2012)
Walaupun mendapat penolakan di saat awal, akhirnya kelompok-kelompok mulai terbentuk dan
pada awal pembentukan tidak serta merta seluruh penggarap masuk ke dalam kelompok.
Menariknya pola penguatan yang terjadi secara bertahap tersebut menempatkan isu relasi
kekerabatan dan bentuk sistem Ganti Rugi Tanam Tumbuh sebagai penguat posisi KPPH Sumber
Agung dalam proses konservasi.
Membentuk kelompok konservasi melalui ikatan kekerabatan
Persoalan terbesar ketika proses awal pembentukan kelompok adalah bagaimana membangun
kepercayaan kepada warga Sumber Agung untuk terlibat aktif dalam pembentukan dan
pengembangan KPPH Sumber Agung. Hal tersebut juga dirasakan ketika kami mencoba
mempertanyakan proses awal pembentukan kelompok KPPH Sumber Agung pada masing-
masing ketua. Pak Sukmadi sebagai Ketua KPPH Tanjung Manis mengakui kalau pada awal
pembentukan kelompok proses pendekatan dimulai dari keluarga terdekat lebih dulu yang diajak
untuk masuk ke dalam kelompok. Dapat dikatakan awal mula kelompok terbentuk dimulai dari
kerabat-kerabat para perintis, bahkan sampai saat ini ketua KPPH Tanjung Manis dan Pak Saban
masih memiliki ikatan kekerabatan yang menjadi dasar kuatnya KPPH Sumber Agung.
......karena kami orang boleh dikatakan memang keluarga pak saban itu sama
keluarga istri termasuk keluarga besar paling banyak. Jadi kuat. Pas proses
terbentuknya kelompok itu juga kami masih diem-diem, pada nggak mau ngomong.
Udah gitu berjalan kita udah bisa sepakatin aturan-aturan. (Sukmadi, dikutip dari
catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 6 September 2012)
Tidak jauh berbeda dengan Pak Sukmadi, seorang bekas ketua KPPH Pemancar –
Pak Krismono mengakui pada proses pembentukan kelompok ia sangat mengandalkan
relasi kekerabatan untuk meyakinkan pentingnya pembentukan kelompok dalam
pengelolaan sumber daya dan pelestarian kawasan hutan. Menariknya pada kasus Pak
Krismono ia memiliki jaringan keluarga yang cukup berpengaruh dalam kelompok karena
memiliki posisi yang signifikan dalam pengelolaan KPPH Sumber Agung.
: ego : anggota KPPH Sumber Agung : perwarisan tanah secara
garis keturunan.
Gambar 5. Pohon kekerabatan keluarga Pak Krismono.
Alm. Sadali Sawon
Suparmono
Sarmin
Suharti Sarmono Sutini Alm. Sutjiptoo
KrismonoSugiat
Pada pohon kekerabatan di atas ego yang digambarkan berada pada posisi Pak Krismono
yaitu seorang bekas KPPH Pemancar. Ia juga adik kandung dari Pak Sugiat (Ketua KPPH
Cirate) dan adik sepupu dari Pak Suparmono yang merupakan anggota KPPH Sumber
Agung. Relasi Pak Krismono dengan beberapa ‘pejabat’ di KPPH Sumber Agung seperti
Pak Ismono sebenarnya masih memiliki ikatan kekerabatan, hal ini karena Ismono menikah
dengan saudara perempuan dari Pak Krismono. Hal ini memperlihatkan bahwa institusi
pernikahan memainkan peran penting dalam membentuk relasi kekerabatan antar anggota
KPPH Sumber Agung. Pada proses wawancara yang kami lakukan dengan Krismono,
ketika masa awal pembentukan menumpu pada relasi kekerabatan yang telah terjalin
biasanya akan lebih mudah dalam menjalin kepercayaan pada proses perekrutan anggota
kelompok.
Muki: nah pak kris itu dulunya kan ketua. Untuk proses pembentukan kelompok dulu awalnya gimana ya pak? Susah nggak?
Krismono: itu lewat keluarga dulu awal mulanya. Karena pas awal itu kan masih didampingin pak iwan, nah pak iwan itu juga nggak lepas gitu aja selama 6 bulan itu masih dibimbing, Cuma setelah itu ada wakilnya di sini pak ipi, mbak dewi, jadi nggak dilepas gitu aja mulai dari terbentuknya kelompok itu. (Dikutip dari catatan lapangan, Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)
Hal ini sekaligus memberikan penjelasan secara konseptual bahwa dengan memahami
kekerabatan sebagai sebuah jaringan hubungan yang dibuat dari relasi genealogis, dan
ikatan sosial (contoh: di dasari oleh adopsi) bermodel pada relasi ’natural’ dari keturunan
orang tua (Keesing, 1975: 13) dan pada konteks kasus ini, kekerabatan membantu
memahami bagaimana posisi masing-masing individu dalam satu relasi secara kelompok di
dalam KPPH Sumber Agung.
Ganti Rugi Tanam Tumbuh: Ancaman atau Berkah?
“Masyarakat tidak diperkenankan mengalihkan hak pengelolaannya kepada pihak lain” itulah
yang menjadi isi pasal kedua di dalam perjanjian Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm)
yang disepakati oleh KPPH Sumber Agung dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
Propinsi Lampung pada 13 November 1999. Sesuai dengan kesepakatan KPPH, lahan garapan
tidak boleh dijual belikan, terutama kepada pihak luar Sumber Agung. Jadi ketika lahan sudah
tidak lagi dapat diurus, masyarkat pengelola lahan biasanya mewariskan kepada keturunannya
atau menjual lahan kepada warga Sumber Agung dengan cara ganti rugi tanam tumbuh.
Meskipun demikian Ganti Rugi Tanam Tumbuh tetap dilakukan antara warga Sumber
Agung. Mereka beralasan dalam mengelola baik itu menanam dan merawat tanaman keras
seperti karet, kopi, coklat, durian, dan pete, seorang petani penggarap diharuskan mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit. Maka ketika petani penggarap tersebut terpaksa pindah tempat tinggal
atau pindah lapangan pekerjaan, ia akan menjual pohon hasil pengelolaannya. Nantinya petani
penggarap yang akan mengelola di lokasi tersebut hanya menggantirugikan tanaman yang telah
dirawat, bukan lahannya.
Berdasarkan hasil wawancara yang kami lakukan dengan Ismono (Ketua KPPH
Pemancara) proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh pada umumnya terjadi dalam transaksi antar
sesama warga Sumber Agung. Hal ini karena, ketika sesama warga Sumber Agung yang
mengganti rugi lahan garapan, pemantauan dapat dilakukan dengan mudah mengingat apabila
terjadi kasus pelanggaran seperti penebangan hutan atau kebakaran yang bersangkutan mudah
ditegur karena masih berasal dari satu Kelurahan Sumber Agung. Pada sisi lain dengan
mensyaratkan penggarap berasal dari Kelurahan Sumber Agung maka koordinasi pengelolaan
kawasan Tahura Wan Abdul Rahman dapat dilakukan dengan mudah oleh ketua-ketua di KPPH
Sumber Agung.
Gini ya mas, kalau setahu saya ya. Kita itu kan kasarnya ngomong ajakan itu kan hanya beberapa orang disekitar sini. Cuma kalau orang-orang luar seperti itu, itu mereka mau nggak mau harus ikut aturan kita. Kalau misalnya nggak mau ikut, ya gimana caranya kan? Kan mereka nggak merasakan efeknya langsung? Jadi bukan tujuan untuk mengancam, mereka itu kita paksa untuk mengikuti aturan kita, kan memang ada apapun, ada kebakaran hutan, ada banjir, kita duluan yang kena bukan mereka, , mereka masih bisa lari, orang jauh. Ada marahnya jagawarna kita juga yang kena, orang dari sini ke batasnya aja 100 meter. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)
Maka pada proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh setidaknya setiap KPPH di arealnya
masing-masing harus memainkan peran untuk memantau proses tersebut. Kedua pihak yang
ingin melakukan proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh setidaknya harus melaporkan siapa
penggarap baru di lahannya ke Ketua KPPH di mana areal garapan tersebut berada. Bahkan
Ketua Gabungan KPPH Sumber Agung juga harus memastikan proses Ganti Rugi Tanam
Tumbuh berjalan dengan tepat.
Muki: hmmm, Cuma itu (proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh) harus diketahui sama ketua kelompok dan ketua gabungan juga kan ya pak?
Ismono: iya, Ketua gabungan paling tidak harus mengetahui. Artinya di situ bunyinya, itupun bisa digantirugikan Cuma dengan tetangga sini-sini aja. Ada kesepakatan tertulisnya, namanya Ganti Rugi Tanam Tumbuh, bukan Ganti Rugi Lahan ya, punya kawasan masa kita ganti rugi kan. (dikutip dari Catatan Wawancara Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)
Bahkan ketika proses awal pembentukan kelompok, KPPH Sumber Agung dengan Dinas
Kehutanan Provinsi Bandar Lampung melakukan pencatatan secara formal untuk mengetahui
siapa saja penggarap di setiap KPPH di Sumber Agung. Pencatatan tersebut mencakup foto
penggarap, identitas penggarap, luas areal garapan, dan apa saja tanaman yang dikelola oleh
penggarap tersebut.
Gambar 6. Pendataan Anggota KPPH Umbul Kaduk
Akan tetapi tidak semua proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh terjadi dengan diperantarai
oleh Kelompok. Ketika mewawancarai Pak Sukmadi untuk mengkomparasi pendapatnya dengan
pendapat Pak Juliono, kami menemukan hal menarik di mana terdapat kekosongan peran
kelompok dalam proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh. Kekosongan peran KPPH Pangpangan
dalam proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh di arealnya menimbulkan lemahnya posisi pengawasan
KPPH Sumber Agung di areal tersebut. Bahkan dari 20 orang di awal pembentukan KPPH
Pangpangan, kini hanya bersisa 14 orang penggarap.
Muki: dulu anggota kelompoknya pangpangan itu berapa ya pak?
Juliono: dulu 20 orang, sangat sedikit. Kemudian proses perleburan perpindahan kemudian, terakhir itu Cuma 14 orang.
Muki: yang 6 orangnya kemana itu pak?
Juliono: bukan kemana, jadi ada satu wilayah di situ namanya taman wisata kupu-kupu. Jadi dia menjadi satu areal penangkaran, di mana sesuai informasi dan penjelasan yang ada mereka punya izin sendiri untuk menangkar satwa endemik. Jadi wilayah tersebut menjadi satu areal konservasi taman kupu-kupu.
Muki: hmm, terus keenam orang tersebut jadi petugasnya,pak?
Juliono: nggak, secara tidak langsung mereka tidak punya hak lagi. Sebenarnya saya sendiri kurang begitu paham, karena dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Itu dari pihak penangkar kupu-kupunya. (Dikutip dari catatan wawancara Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)
Malangnya dari 14 orang penggarap tersebut hanya tersisa 5 orang penggarap yang merupakan
warga Sumber Agung. Melihat kasus tersebut, proses Ganti Rugi Tanam Tumbuh nampaknya
menjadi cara yang memiliki ‘dua mata pisau’, pada satu sisi proses tersebut menjadi mekanisme
untuk mempertahankan penggarap berasal dari Kelurahan Sumber Agung, sehingga
mempermudah pemantauan dan pengelolaan kawasan hutan. Sedangkan pada sisi lain, ketika
KPPH tidak mampu menjalankan perannya sebagai pemantau proses Ganti Rugi Tanam
Tumbuh, hal itu akan menjadi serangan balik pada proses pengelolaan kawasan Tahura Wan
Abdul Rahman oleh KPPH Sumber Agung.
Variasi pengambilan keputusan: keragaman dalam memaknai aturan
Peraturan yang diterapkan pada KPPH Sumber Agung sebenarnya bersifat homogen karena
diterapkan secara sama pada tujuh KPPH di dalamnya. Peraturan tersebut di antaranya: (1)
mengharuskan para petani menanam tanaman dengan pola tanam tajuk; (2) melarang petani
penggarap untuk menebang pohon di kawasan hutan kemasyarakatan; (3) petani hanya
diperbolehkan menanam dan menggarap pada areal hutan pendidikan saja, sedangkan hutan
lindung di bawah pengawasan negara (lihat gambar 7); (4) melarang praktik penanaman
sayuran di areal kawasan hutan kemasyarakatan; dan (5) mewajibkan setiap ketua dan anggota
pada masing-masing KPPH untuk melaporkan segala bentuk pelanggaran aturan di KPPH
Sumber Agung.
Gambar 7. Sebelah kiri dengan vegetasi bambu merupakan tanda batas hutan lindung
Sebelah kanan dengan vegetasi pohon pinang merupakan batas areal lahan garapan di KPPH
Sumber Agung.
Menariknya, masing-masing ketua, anggota, dan KPPH di Sumber Agung memiliki cara yang
beragam dalam mengintepretasikan aturan-aturan tersebut. Setidaknya ada dua perilaku dominan
yang masih dianggap ‘benar’ oleh para penggarap di Sumber Agung. Pertama adalah model
penanaman secara tumpang sari dan kedua adalah cara petani penggarap dalam memaknai
pelanggaran dalam proses konservasi di Tahura Wan Abdul Rahman. Proses penanaman secara
tumpang sari sebenarnya menjadi siasat para petani ketika harus beralih dari tanaman sayuran ke
tanaman-tanaman berbatang keras. Hal tersebut karena untuk proses pertumbuhan tanaman keras
tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai contoh untuk jenis tanaman karet alami
yang diperbolehkan untuk dikembangkan di kawasan Hutan Kemasyarakatan, membutuhkan
waktu selama tujuh hingga sembilan tahun sebelum dapat menghasilkan produksi karet.
Tentunya selama proses pertumbuhan karet tersebut, petani tidak memiliki pemasukan yang
berarti dari pohon karet. Maka, mengatasi masalah tersebut, petani kerap kali mensiasati dengan
cara penanaman tumpang sari. Cara penanaman tersebut dilakukan dengan tetap menanam sayur
mayur di antara tanaman karet. Sambil menunggu karet dan jenis tanaman keras lainnya
menghasilkan produksi di masa awal penanaman, petani penggarap masih dapat memenuhi
keperluan hidupnya dengan bercocok tanam sayuran secara tumpang sari. Malangnya persoalan
perut (baca: mata pencaharian) tersebut dilihat sebagai bentuk pelanggaran, kerap kali para
petani menjadi korban para polisi hutan dan jagawana di masa lampau.
“3 kali nanam buncis, batang coklat udah segini. Tumpang sari sistemnya. Tapi kalau dengan sistem seperti ini kita sering seling pendapat dengan kelompok lainnya.” (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)
Cara pengelolaan tumpang sari tersebut biasanya masih dilakukan pada kondisi saat ini. Para
petani melakukan tersebut karena tanaman keras yang mereka kelola sudah tidak produktif,
untuk bisa menghasilkan produksi kembali para petani penggarap mempermuda tanaman lama
mereka dengan jenis tanaman lainnya. Seiring pertumbuhan tanaman keras yang baru di tanam
tersebut, tidak jarang petani menanam sayuran dalam beberapa meter persegi areal garapan.
Misalkan juga gini, pohon kopi ini sudah tua, kalau toh kita garap terus kita bersihkan bawahnya, kita pupuk. Kalau yang namanya kopi tua itu kan udah nggak begitu produktif lagi, bagaimana masyarakat mau sejahtera? Itu dibongkar digantilah tanaman kakao. Sambil nunggu tanaman kakao ini besar, kita tanamlah sayur. Nah itu kalau di kelompok bisa dikatakan di kelompok Jawa. (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)
ketatnya itu jagawarnanya itu terlalu kejem. pernah waktu itu lagi nyangkol lagi enak-enaknya, datang dia rombong. Saya nggak tau pak, ditanya ini tanah siapa? Saya jawab, ini tanah negara, tapi saya numpang garapan sama tetangga saya. Pokoknya nanyanya udah mendetail sekali. Sekarang saya tanya, bapak tugas demi apa pak? Mungkin statusnya sama bapak dinas kerja untuk sesuap nasi, saya juga
kaya gini pak, nyangkul untuk ngasih nafkah anak istri, maaf ini pak. Jadi jangan mentang-mentang bapak dikasih tugas sama negara, jangan mentang-mentang sama orang kecil. (Suparmono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 5 September 2012)
Pada sisi lain terdapat perspektif menarik yang muncul ketika kami menanyakan
pandangan para petani penggarap terhadap proses konservasi dengan menanyakan bagaimana
pendapat petani dengan model konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagian petani
melihat ruang hutan merupakan arena mata pencaharian mereka. Sebagian lainnya ada yang
mematuhi dengan tegas peraturan yang telah disepakati di dalam KPPH Sumber Agung,
sedangkan salah seorang ketua ada yang menoleransi pelanggaran di kelompoknya, selama
masih masuk akal alasan anggota yang melanggar aturan kelompok KPPH Sumber Agung.
“Ya kalau yang namanya pelestarian kan juga bukan gitu kalau menurut saya yang bener itu ditanam pohon Randu (baca: pohon karet).” (Rusdi, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 7 September 2012).
“kalau kita berbicara mengenai kebutuhan ya gak ada ujungnya. ........ masyarakat tuh seenaknya.. makanya pendampingan belum sampai sana...................... itu tadi, udah kita rem, udah kita .............................. hutan rusak tetap rusak, kita gak berani apa belom terlaksana. Kalau kami sendiri.... apa berdasarkan bambu, kenapa bambu, kan besar dan tebang pilih. Kalau nebang jadi masalah kalau nebang bambu boleh tapi buat sendiri.............................................itu aja, alam kita selamatkan, yang itu juga kita selamatkan.” (Saban, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 2 September 2012).
“sebenarnya ada sih. Kalau menurut aturan polhut memang nggak boleh. Saya terus terang aja misalnya, “hoy boleh gini nggak? Udahlah pinter-pinter kamulah”. Itu kan kalau diangkat jadi kasus. Cuma saya kan kasihan sama anggota. Kalau sistem saya itu paling hanya kasih informasi, misalkan ada pembukaan lahan. Itu memang pelanggaran, tapi juga sebenarnya itu adalah proses. Jadi gini, kita ini kan berfikirnya HKm (Hutan Kemasyarakatan), percuma saja kita gembar-gemborkan HKm, sedangkan motto HKm itu kan “hutan lestari, masyarakat sejahtera”. Kenapa ide saya ini agak konyol, kalau dengan Pak Saban saya selalu kena marah. Misalkan ada tetangga ini, buka lahan dia, saya Cuma ngomong gini “yang pinggir jalan jangan dibuka, yang di dalam baru boleh dibuka.” Itu kalau Pak Saban memang dinyatakan kasus, bahkan saya pernah ada datang polhut dengan KLBH nya dengan komandan polhutnya. Tiba-tiba dia bilang “ayo saya pengen lihat lokasi kelompok kamu yang di atas pemancar,bisa
ditunjukkan?” “ Bisa pak, memang ada masalah apa pak?” kata saya, “nggak saya pengen liat aja”.
Mereka bilang “ini... ini... ini... kurang, ini tanamannya kurang!”
Kata saya, “Pak membangun kawasan hutan itu tidak sama dengan membangun rumah pak, kalau membangun rumah ada uang 100 jut, satu minggu jadi. Membangun kawasan hutan itu perlu waktu bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.” (Ismono, dikutip dari catatan lapangan Muki T. Wicaksono, 4 September 2012)
Kesimpulan
....no single formula for conservation is universally applicable to the world's amalgam of
communities (Shoreman, 2009: 105)
Pendapat Shoreman mengenai model konservasi sebenarnya menjadi landasan berpikir kami
ketika memahami kasus konservasi berbasis komunitas yang diterapkan melalui KPPH Sumber
Agung di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Meskipun pemerintah sudah memberikan
aturan-aturan mengenai pengelolaan kawasan hutan, masyarakat tetap saja memiliki intepretasi
yang ragam dalam melihat proses konservasi di Tahura Wan Abdul Rahman. Penjelasan kami
sekaligus memperlihatkan bahwa proses penguatan kelompok melalui ikatan kekerabatan dan
jaringan komunikasi kelompok yang dimediasi oleh ketua di masing-masing KPPH Sumber
Agung merupakan substansi penting dalam memperkuat peran komunitas pada pengelolaan
kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Bentuk kepercayaan yang sudah terjalin pada relasi
berdasarkan ikatan kekerabatan memainkan peran yang cukup signifikan dalam penyebaran
informasi yang terdapat di KPPH Sumber Agung.
Namun, kami juga tidak memungkiri keberadaan KPPH Sumber Agung masih
mengalami beberapa hambatan. Bentuk kepemimpinan yang dipegang oleh masing-masing ketua
yang tidak dijalankan dengan sempurna menjadi ancaman tersendiri bagi keutuhan KPPH
Sumber Agung. Pada sisi lain perspektif konservatif dalam melihat relasi penduduk lokal dengan
areal konservasi harus terpisah menjadi kendala dalam pengembangan peran masyarakat bagi
kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Meskipun telah mendapatkan legitimasi secara informal
melalui pemberian akses terhadap pengelolaan sumber daya hutan, kami melihat pemerintah
perlu melakukan pengembangan peran komunitas secara kolaboratif. Pendataan dan intensitas
pertemuan menjadi salah satu pengelolaan yang memainkan peran penting dalam melihat
eskalasi jumlah penggarap di kawasan Tahura Wan Abdul Rahman. Pada akhirnya ulasan kami
ini ingin memberikan sebuah pemahaman bahwa masyarakat lokal pada dasarnya memiliki
caranya sendiri dalam memaknai proses konservasi, pada sisi lain mereka terus berdialog
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya dalam pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul
Rahman terbukti dari upaya menjalankan peran kelompok sebagai pemantau kegiatan
pengelolaan hutan di Tahura Wan Abdul Rahman.
Daftar Pustaka
Ernst, Thomas M. 1999. Land, Stories and Resources: Discourse and Entification in Onabasulu Modernity. American Anthropologist, New Series, Vol. 101, No. 1 (Mar., 1999), pp. 88-97. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/683343.
Gibson, C. Clark dan Koontz, Tomas. 1998. When "Community" Is Not Enough: Institutions and Values in Community-Based Forest Management in Southern Indiana. Human Ecology, Vol. 26, No. 4 (Dec., 1998), pp. 621-647. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/4603301.
Keesing, Roger M. 1975. Kin Groups and Social Structure. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publishers.
Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam? Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin.
Mugisha, Arthur R. 2002. EVALUATION OF COMMUNITY-BASED CONSERVATION APPROACHES: MANAGEMENT OF PROTECTED AREAS IN UGANDA. Disertasi Doctor of Philosophy. University of Florida.
Nazarea, Virginia D. 2006. Local Knowledge and Memory in Biodiversity Conservation. Annu. Rev. Anthropology. 2006. 35:317–35. Diakses dari arjournals.annualreviews.org.
Shoreman, Eleanor E., Haenn, Nora. 2009. Regulation, Conservation, and Collaboration: Ecological Anthropology in Mississippi Delta. Human Ecology, Vol 37, (31 Januari 2009). pp 95 -107. Springer Science.
Twyman, Chasca. 2000. Participatory Conservation? Community-Based Natural Resource Management in Botswana.The Geographical Journal, Vol. 166, No. 4 (Dec., 2000), pp. 323-335. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/823034.