Distraksi osteogenesis

download Distraksi osteogenesis

of 21

Transcript of Distraksi osteogenesis

PAPER

DISTRAKSI OSTEOGENESIS, BEDAH SARAF, TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISSORDER dan ANKYLOSIS

Disusun oleh: Nuzul Kusuma Iqrayani Isninniah Sartiadie W. Chusnul Chotimah Meganita Utami Tectona Eka N. (071610101019) (071610101021) (071610101035) (071610101075) (071610101109)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2011

DISTRAKSI OSTEOGENESIS, BEDAH SARAF, TEMPOROMANDIBULAR JOINT DISSORDER dan ANKYLOSIS

1. Distraksi osteogenesis A. Pengertian Distraksi osteogenesis yaitu teknik yang dikembangkan untuk augmentasi yang terbatas pada crest alveolar untuk keperluan implan dengan menggunakan alat yang akan mengekspansi rahang dari waktu ke waktu dan dilepas pada saat pemasangan implan (Chiapasco M., 2007). Distraksi osteogenesis merupakan suatu prosedur bedah untuk memasang batang distraksi ke tulang rahang agar rahang bawah melebar dan penyumbatan saluran udara berkurang. Distraction Osteogenesis merupakan induksi secara mekanis pembentukan jaringan tulang baru yang terjadi antara dua permukaan ujung tulang yang dilakukan tarikan secara berkala dengan arah saling menjauh. Osteogenesis yang terjadi pada gap (pemisah) di antara dua permukaan tulang yang dilakukan tarikan membentuk formasi menyerupai struktur epifisis (menjadi bagian tulang). Tulang baru yang terbentuk pada arah paralel meluas pada kedua arah dari arah pusat pertumbuhan yang disebut sebagai interzone. Di bawah pengaruh tekanan berupa tarikan, sel-sel fibroblast ditemukan pada pertengahan growth zone berbentuk memanjang dan mengarah sepanjang vektor arah tarikan selama dilakukan distraksi (Tuinzing, 2005).

Osteodistraksi merupakan suatu teknik untuk memperpanjang tulang secara perlahan setelah dilakukan osteotomi yang bertujuan untuk membentuk jaringan tulang baru, sehingga didapatkan pemanjangan tulang yang telah beradaptasi dengan jaringan sekitarnya seperti otot, syaraf, dan pembuluh darah. Teknik ini menggunakan alat fiksasi eksternal maupun internal yang stabil dan dapat menyebabkan suatu tension-stress. Osteodistraksi pada mandibula bertujuan untuk memperbaiki anomali yang disebabkan karena kongenital seperti hipoplasia mandibula, sindroma Pierre Robin, sindroma Treacher Collins, hemifasial mikrosomia dan non-kongenital seperti cacatnya mandibula. Ada beberapa jenis distraksi yang dipakai yaitu distraksi horizontal, vertikal, dan angular horizontal. (Tuinzing, 2005). Osteodistraksi pada daerah mandibula dilakukan pada orang dewasa maupun pada anak-anak dengan kasus kongenital dan non-kongenital (acquired). Kasus kongenital seperti hipoplasia mandibula, sindroma Treacher Collins, sindroma Pierre Robin dan hemifasial mikrosomia. Pada kasus non-kongenital (acquired) dilakukan untuk merekonstruksi cacat pada daerah mandibula akibat trauma, bedah onkologi serta maloklusi rahang bawah yang parah. (Baur, 2005).

B. Prosedur Distraksi Osteogenesis Prosedur bedah dilakukan di bawah anestesi umum. Permukaan medial dan lateral mandibula diekspos secara transoral dan melindungi bundel neurovaskular inferior. Potongan kortikotomi ditandai dan diletakkan pin superior untuk alat distraksi secara transkutan. Titik entri kulit untuk pin superior harus caudal terhadap titik entri tulang untuk meminimalkan jaringan parut. Setelah kortikotomi, border posterior dari mandibula perlu diberikan perhatian khusus. Pin bawah dimasukkan dan sekali lagi menarik kulit, dimana kali ini dalam arah kranial. Luka intraoral ditutup dengan jahitan resorbable. Dalam periode postoperatif, dimulai dengan pemberian makanan cair dan distraksi dimulai pada hari ke-5. Distraksi 1mm per hari merupakan jumlah yang dapat diterima. Pasien harus meneruskan makanan semisolid dan alat distraksi dilepas 3 sampai 4 minggu setelah selesai didistraksi. Pemeriksaan radiografi dilakukan setelah 3 hari

distraksi untuk memastikan distraksi yang tepat dan tidak ada yang menggantung di kortikotomi. Jika ada yang menggantung, kortikotomi kembali dilakukan di bawah anestesi umum untuk membantu distraksi yang telah direncanakan .(Avriyanti, 2010). Pada rate of distraction (rata-rata penarikan) per hari adalah antara 1-1,5 milimeter, sebab apabila kurang dari 1 milimeter akan menyebabkan sel tulang tumbuh terlalu cepat. Sementara jika lebih dari 1,5 milimeter akan menyebabkan ekspansi vaskuler tidak bisa mengikuti irama pemanjangan. Kedua, rhythm (irama), yakni seperempat milimeter tiap 6 jam yang menghasilkan osteogenesis yang adekuat (memenuhi syarat). Dua kali 0,5 milimeter per hari menunjukkan terjadinya penurunan osteogenesis, sementara pemutaran 1 milimeter per hari dalam satu kali pemutaran akan menghambat osteogenesis secara signifikan. Ketiga, gap, yaitu saat corticotomy dengan jarak tidak melebihi 2 milimeter. Dan keempat, latency period, merupakan saat antara operasi dan awal dilakukannya proses distraksi. Jika dimulai lebih dari 3 minggu akan menyebabkan timbulnya jaringan yang rigid pada lokasi corticotomy. Jika kerusakan medulla sangat minimal, pemutaran dapat dimulai pada hari pertama. Jika medulla mengalami kerusakan yang tidak terlalu berat, maka pemutaran dapat dimulai hingga hari ke10, masih dapat dicapai osteogenesis yang baik. dalam 2 minggu pertama, celah akan terisi oleh jaringan fibrovaskuler, dan dalam 2 minggu kemudian mineralisasi pertama kali dimulai. Dari waktu tersebut hingga 3 bulan kemudian, tergantung pada corticotomy dan cara distraksi, tulang baru mulai terbentuk. Dan kira-kira pada 120 hari korteks, tulang lamellar dan sistem haversian terbentuk secara lengkap. Suplai darah meningkat secara tajam mengikuti perubahan dan pertumbuhan baru tersebut. (anonym, 2010). Mengingat distraksi osteogenesis menambah massa jaringan keras, jaringan lunak di sekeliling termasuk otot terutama diregangkan, tetapi otot dapat beradaptasi pada waktunya. Karena kualitas jaringan lunak di sekitarnya memainkan peranan penting dalam perkembangan tulang wajah, pengaruh terhadap struktur jaringan lunak oleh distraksi osteogenesis harus mengarah pad a hasil estetis dan fungsional jangka panjang. Selain bedah, ortodonti dan

fisioterapeutik mengupayakan berbagai malformasi sindroma mandibula dengan problem yang berbeda, sehingga cukup sulit untuk memprediksikan hasil yang diperoleh pasien setelah perawatan jangka panjang. Terjadinya relaps tampaknya tidak terelakkan, karena overkoreksi tidak mampu mengkompensasi gangguan pertumbuhan sentral ataupun malfungsi muskular. Namun demikian, distraksi osteogenesis mandibula tidak hanya merupakan metode yang sangat berguna untuk mengatasi masalah pernafasan dan penelanan pada defisiensi mandibula yang parah pada usia awal, tetapi juga meningkatkan penampilan estetis (Avriyanti, 2010).

2. Bedah syaraf A. Bedah Mikro Pembedahan mikro diartikan sebagai pembedahan yang dilakukan melalui suatu pembesaran jaringan lewat suatu mikroskop operasi (kaca pembesar, loupe, dan sebagainya). Dengan demikian, jaringan -jaringan halus yang tidak mungkin kita rekonstruksi, dengan mata/penglihatan biasa, dapat diusahakan untuk direkonstruksi (Atmadji, 1987). Bedah mikro biasanya dilakukan dengan pembesaran antara 3-40 kali. Untuk itu dipakai alat pembesar berupa mikroskop atau loupe. Dalam pelaksanaannya, selain alat pembesar juga diperlukan alat-alat mikro yang halus. Keuntungan operasi dengan mikroskop, yaitu didapatnya pembesaran

stereoskopik, penyinaran yang baik, sehingga kita bisa melihat struktur-struktur halus yang dahulunya tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan berkembangnya mikroskop operasi dan alat-alat mikro; bedah mikro mengalami kemajuan yang pesat, terutama di bidang bedah saraf (Atmadji, 1987). Keuntungan operasi dengan mikroskop, yaitu didapatnya pembesaran stereoskopik, penyinaran yang baik, sehingga kita bisa melihat struktur-struktur halus yang dahulunya tidak terlihat dengan mata biasa. Dengan berkembangnya mikroskop operasi dan alat-alat mikro, bedah mikro mengalami kemajuan yang pesat, terutama di bidang bedah saraf (Atmadji,1987).

Dibandingkan operasi tanpa pembesaran, hasil operasi mikro lebih baik, karena struktur-struktur saraf dan pembuluh darah bisa terlihat dengan lebih jelas, sehingga bisa dilakukan diseksi yang lebih akurat. Juga tempat-tempat yang dalam bisa dicapai dengan insisi yang kecil dan retraksi jaringan otak yang minimal. Pembuluh darah bisa dikoagulir dengan lebih cermat tanpa menimbulkan kerusakan pada jaringan saraf di sekitatnya. Juga bisa dilakukan anastomosis dari pembuluh darah kecil di dalam otak dan penyambungan saraf-saraf tepi dengan lebih akurat (Atmadji, 1987). Kerugian bedah mikro, diperlukan latihan khusus untuk penggunaan mikroskop dan alat-alat mikro tersebut. Alat-alat tersebut harganya mahal dan memerlukan perawatan khusus. Operasi berlangsung lama, sehingga

menimbulkan kelelahan operator. Selain itu, risiko anestesia dan infeksi jadi lebih besar (Atmadji, 1987).

B. Peralatan untuk bedah saraf mikro 1. Mikroskop Pada bedah saraf mikro, penggunaan mikroskop agak rumit. Ini disebabkan: lokasi tempat operasi yang berbeda-beda dan sangat bervariasi,mulai dari kepala sampai tulang punggung dan ekstremitas. kedalaman lapangan operasi bervariasi antara beberapa mm sampai beberapa inci. posisi penderita pada waktu operasi tidak sama; bisa telentang,telungkup, miring, bahkan kadang-kadang duduk. Untuk

pembedahan mikro bedah saraf, mikroskop operasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: mempunyai lapangan pandang 3 dimensi yang baik. penyinaran yang cukup merata tanpa merusak jaringan. lensa obyektif yang bisa diubah-ubah agar jarak kerja (working distance) bisa disesuaikan dengan lapangan operasi. Untuk operasi bedah saraf, jarak kerja yang optimal bervariasi antara 20 sampai 30 cm. arah sinar harus koaksial dengan lapangan pandang, agar bisa menyinari lapangan lapangan yang sempit dalam harus bisa digerakkan ke semua arah dengan ringan dan seimbang pada setiap posisi. Lengan harus cukup panjang agar

bisa mencapai lapangan operasi tanpa mengganggu operator dan pembantu-pembantunya. ada tempat untuk memasang alat-alat tambahan berupa observer tube untuk asisten, tempat kamera pemotret/film dan lainlain(Atmadji,1987). 2. Instrumen micro Untuk operasi bedah saraf, alat-alat tersebut harus cukup panjang agar bisa mencapai tempat -tempat yang dalam. Sebaiknya panjang minimal 18 cm. Untuk operasi di tempat tempat yang dalam bisa digunakan bentuk bayonet. Alat-alat yang diperlukan yaitu: gunting mikro; bentuk lurus & lengkung, ujung tajam dan tumpul. needle holder mikro; dengan ujung lurus & lengkung. Pinset dengan ujung bervariasi antara 0,32 mm. Mikro dissektor bermacam-macam bentuk dengan tebal ujung antara 1-2 mm. Cup forceps bermacam-macam bentuk dengan penampang ujung 1-3 mm. Kuret mikro bermacam-macam bentuk dengan penampang ujung 1-3 mm. Bermacam-macam benang mikro dengan ukuran antara 6,0-11.0. Ukuran jarum antara 50-150 mikron (Atmadji,1987). 3. Alat-alat lain yang diperlukan yaitu: a. Koagulator bipoler Mutlak diperlukan karena bisa mengurangi kerusakan jaringan akibat penyebaran arus. Pada koagulator bipoler arus listrik hanya mengalir di antara kedua ujung pinset tanpa ada aliran dari ujung pinset ke tanah atau pasien. b. Bor mikro Sebaiknya yang bisa berputar kedua arah sehingga bisa diarahkan menjauhi struktur-struktur yang penting. Kecepatan sebaiknya kurang dari 25000 putaran per menit. c. Alat pengisap Diperlukan alat pengisap yang bisa diatur kekuatannya dengan kanula yang penampangnya berukuran antara 1 - 3 mm. Sebaiknya digunakan alat pengisap yang bisa sekaligus melakukan irigasi. (Atmadji,1987)

B. Penggunaan bedah mikro dalam bidang bedah saraf 1. Pengangkatan tumor otak. a. Tumor hipofise Dengan bedah mikro struktur-struktur saraf dan pembuluh darah kecil-kecil di daerah sela tursika bisa terlihat dengan jelas, sehingga pada diseksi bisa diselamatkan. Pada diseksi dari adenomanya bisa dibedakan jaringan tumor dengan jaringan adenoma yang normal, dan bisa dilakukan pemisahan dari kapsula tumor terhadap nervus optikus dan khiasma dengan mempertahankan pembuluh-pembuluh intrinsiknya. Dengan demikian trauma operasi diperkecil dan komplikasi kebutaan pasca operasi bisa dikurangi. Selain itu, pada adenoma-adenoma yang kecil, dengan bedah mikro bisa dilakukan pendekatan lewat operasi transnasal dengan trauma operasi yang lebih ringan (Atmadji, 1987). b. Timor serebelopontin Pada tumor akustik neurinoma, terdapat hubungan anatomis yang erat antara nervus VII & VIII pada sudut serebellopontin, dan terutama di dalam meatus akustikus internus; di mana tumor itu biasanya timbul dari salah satu nervus vestibularis. Pada tumor yang besar, jaringan tumor sering melekat erat dengan nervus VII yang terdesak sampai pipih. Dengan pembedahan makroskopik tumor sulit dipisahkan, sehingga nervus VII harus dikurbankan. Dengan bedah mikro, diseksi bisa dilakukan dengan lebih teliti sehingga tumor bisa diambil seluruhnya tanpa merusak jaringan sekitarnya (Atmadji, 1987). c. Tumor-tumor lain Tumor-tumor lain yang letaknya dalam, seperti tumor-tumor ventrikel III dan ventrikel IV, dengan bedah mikro bisa diambil lewat insisi korteks serebri yang kecil, sehingga trauma operasi berkurang. Juga meningioma dari sphenoid ridge bagian medial yang dengan operasi mikro sulit diambil semua berhubung perlekatannya yang erat dengan struktur

fissura orbitalis superior; dengan bedah mikro bisa dilakukan ekstirpasi total (Atmadji, 1987).

2. Operasi saraf kranial dan saraf tepi. Dengan pertolongan mikroskop operasi, penyambungan saraf bisa dilakukan secara interfasikuler dengan penjahitan epineural, dengan hasil yang jauh lebih sempurna bila dibandingkan jahitan epineural biasa. Bila gap terlalu besar, bisa dilakukan grafting dengan memakai saraf dari tempat lain. Dengan mikroskop bisa dilakukan internal neurolysis dengan membebaskan fasikelfasikel saraf satu persatu; tidak hanya external neurolysis (Atmadji, 1987).

3. Pembedahan neurovaskuler. Pada kelainan-kelainan pembuluh darah otak seperti aneurisma dan anteriovenous malformation, dengan bedah mikro diseksi bisa dilakukan dengan lebih teliti dan aman. Kelainan-kelainan ditempat-tempat yang berbahaya dan dalam, dengan bedah mikro bisa dioperasi dengan cukup aman. Pada gangguan peredaran darah ke otak yang disebabkan karena penyempitan atau penyumbatan, bisa dilakukan operasi anastomosis dari pembuluh darah yang tersumbat untuk memperbaiki aliran darah. Yang sering dilakukan yaitu anastomosis antara arteria temporalis superfisialis dengan cabang dari arteria serebri media. Di sini dilakukan anastomosis end to side. Karena kecilnya pembuluh darah (penampang = 1 mm.) operasi ini harus dilakukan dengan mikroskop (Atmadji, 1987).

4. Penyakit-penyakit dan kelainan-kelainan medula spinalis. Dengan bedah mikro, pengangkatan tumor intramedular bisa dilakukan tanpa menimbulkan tambahan defisit neurologis. Juga bisa dilakukan biopsi tanpa merusak jaringan medula. Dengan mikroskop, pembuluh-pembuluh darah kecil bisa terlihat dan dihindarkan; lalu myelotomi dilakukan di daerah yang avaskular. Operasi pengambilan hernia nukleus pulposus baik lumbal maupun servikal bisa dilakukan secara mikro. Disini digunakan spekulum

khusus. Karena kecilnya luka dan trauma, penderita bisa langsung mobilisasi (Atmadji, 1987).

3. Temporomandibular Joint Disorder TMJ disorder adalah suatu gangguan yang sering ditemukan dalam praktek dokter gigi sehari-hari. Penderita dengan gangguan ini akan merasa tidak nyaman walaupun gangguan ini jarang disertai dengan rasa sakit yang hebat. Pada zaman modern ini dimana kita sudah memasuki era globalisasi, semakin banyak penyakit yang dihadapi para dokter gigi salah satu diantaranya yaitu TMJ disorder (George, 2009). Penyakit ini sering dijumpai pada sebagian besar orang dewasa, sepertiga orang dewasa melaporkan adanya satu atau lebih tanda-tanda dari gangguan pada daerah TMJ yang meliputi rasa sakit pada rahang, leher, sakit kepala dan bunyi kliking pada sendi mandibula. Beberapa dari orang yang memiliki tanda -tanda tersebut tidak menghiraukannya, tetapi beberapa pengobatan non invasive dapat mengurangi rasa sakit yang mereka derita. Terapi psikologi, dan relaksasi dapat berguna sebagai pengobatan pada penyakit ini. Tidak ada pengobatan secara khusus yang dilakukan kecuali jika penyakit yang diderita sudah menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan, maka harus dilakukan tindakan pembedahan (Chiapasco M., 2007). Kelainan TMJ ada beberapa jenis yaitu diantaranya ankilosis, dislokasi mandibula, hiperplasia kondilus, hipoplasia kondilus dan fraktur kondilus. Jika kita membandingkan antara gejala yang ditimbulkan dengan perawatan sampai harus diambil tindakan pembedahan maka seolah-olah penyakit ini terkesan sangatlah berbahaya. Untuk itu penulis akan mencoba untuk menguraikan apa etiologi, perawatan dan seberapa bahayakah penyakit ini sampai harus dilakukan tindakan pembedahan (George, 2009).

4. Ankilosis A. Definisi Ankilosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti kekakuan pada sendi akibat proses dari suatu penyakit. Ankilosis dapat didefenisikan sebagai penyatuan jaringan fibrous atau tulang antara kepala kondilar dengan fosa glenoidalis yang dapat menyebabkan keterbatasan dalam membuka mulut sehingga menimbulkan masalah dalam pengunyahan, berbicara, estetis,

kebersihan mulut pasien dan masalah psikologis. Ankilosis juga merupakan immobilisasi atau fiksasi sendi akibat keadaan yang patologis yang dapat bersifat intrakapsular atau ekstrakapsular (Dollar JV. 2004).

Gambar 1. Sendi temporomandibular yang normal

Gambar 2. Ankilosis pada sendi temporomandibular

B. Etiologi Menurut George (2009), beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 1. Trauma Trauma merupakan penyebab utama dari ankilosis sendi temporomandibula. Menurut Ellis, fraktur kondilar khususnya fraktur pada leher kondilar merupakan penyebab utama terjadinya ankilosis pada sendi

temporomandibula. Tetapi pada awal tahun 1978, Laskin menguraikan beberapa faktor yang mendukung terjadinya trauma pada mandibula sehingga mengakibatkan ankilosis yaitu : a. Usia pasien Pada pasien yang masih muda, kapsula belum berkembang dengan baik sehingga memudahkan dalam terjadinya pergeseran kondilar dari fosa glenoidalis. b. Tingkat keparahan trauma Kerusakan dari kondilus, diskus dan fosa dipengaruhi oleh derajat keparahan trauma. c. Lokasi fraktur Cedera pada intrakapsular mempunyai dampak yang lebih besar dalam terjadinya ankilosis. d. Diskus artikularis Kontak langsung antara kondilus yang patah dengan fosa glenoidalis dapat menyebabkan berkembangnya ankilosis. e. Durasi immobilisasi Laskin menyatakan bahwa meskipun percobaan untuk membuat ankilosis buatan dengan memperpanjang waktu dari fiksasi tidak berhasil, tetapi hal ini tidak menghilangkan peran dari durasi immobilisasi sebagai faktor etiologi. 2. Stills disease (Artritis kronik juvenil) dan artritis rhematoid Kerusakan sendi secara kronik, deformitas dan terbatasnya pertumbuhan mandibula dapat disebabkan oleh penyakit oligoarticular rheumatoid juvenil.

3.

Inflamasi pada sendi Artritis septik dan artritis tuberkulosa dapat menyebabkan ankilosis.

4.

Riwayat bedah pada sendi temporomandibula Pada pasien yang telah mengalami pembedahan pada sendi

temporomandibulanya apabila permukaan dari sendi tidak sembuh secara tepat maka permukaan tersebut akan lebih meradang dan jaringan yang fibrotik akan melekat pada diskus sehingga dapat berpotensi menjadi ankilosis. 5. Bedah ortognatik Efek dari operasi bimaksiler pada kondilar telah diketahui secara jelas dimana perubahan-perubahan pada posisi kondilar dapat mempengaruhi artikulasi dan fungsi secara signifikan. 6. Penyebab lainnya Ankilosis kongenital biasanya dihubungkan dengan forcep yang digunakan pada waktu melahirkan dimana forcep tersebut menyebabkan kerusakan pada sendi temporomandibula pada neonatus.

D. Klasifikasi Menurut Martins Wd. (2006) terdapat beberapa klasifikasi yang

dipergunakan untuk menjelaskan ankilosis sendi temporomandibula. Topazian (1966) mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 1. Tipe I Perlekatan fibrous pada atau di sekitar sendi yang membatasi pergerakan kondilar. 2. Tipe II Pembentukan tulang antara kondilus dan fosa glenoidalis 3. Tipe III Penyatuan leher kondilus pada fosa secara menyeluruh. Kazanjian sebagai berikut : 1. Ankilosis murni atau ankilosis intra artikular mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula

Suatu kondisi dimana terjadi perlekatan tulang atau fibrous terhadap sendi. 2. Pseudoankilosis atau ankilosis ekstra artikular Ankilosis yang terjadi akibat penyakit yang tidak berhubungan secara langsung dengan sendi.

Selain

itu,

terdapat

juga

klasifikasi

menurut

Sawhney

yang

mengklasifikasikan ankilosis sendi temporomandibula antara lain : 1. Tipe I Pembentukan tulang yang minimal, tetapi perlekatan fibrous meluas sampai di sekitar sendi. 2. Tipe II Terjadi pembentukan tulang khususnya pada pinggiran permukaan sendi. 3. Tipe III Pembentukan tulang antara mandibula dengan tulang temporal. 4. Tipe IV Digantikannya sendi dengan massa tulang.

E. Gejala Klinis Gejala-gejala yang diakibatkan oleh ankilosis pada sendi temporomandibula dapat dilihat dari aspek fungsional,estetis, dan psikologi. Ankilosis pada mandibula dapat menyebabkan yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Keterbatasan pada pergerakan rahang Berkurangnya fungsi pengunyahan Keterbatasan pada pembukaan mulut Terhambatnya pertumbuhan wajah Pengucapan yang tidak jelas Pertumbuhan mandibula berkurang sehingga menyebabkan bird face Asimetri pada wajah apabila ankilosis terjadi hanya pada satu sisi Susah bernafas dan menelan Mendengkur dan susah bernafas saat tidur

10. Gi i

ti l

t ll

t

i t . 2004).

t

i

i i

3a

3b

Gambar (3a) Gejala yang diakibatkan ankil i tampak depan dan (3b) tampak samping.

3c

Gambar (3c) Terbatasnya pembukaan mulut pada ankil sis sendi temporomandibula.

F. Diagnosa nkilosis Diagnosa dari penyakit atau gangguan fungsi sendi temporomandibula dilakukan dengan pemeriksaan ri ayat pasien, pemeriksaan klinis yang hatihati dan terkadang membutuhkan pemeriksaan tambahan yaitu artroskopi. Diag nosa dari penyakit atau gangguan fungsi sendi temporomandibula juga tergantung pada ketepatan interpretasi hasil foto rontgen (Malik N ., 2008).

G. Riwayat Penyakit Keluhan yang dirasakan oleh penderita ankilosis sendi temporomandibula yaitu : 1. Perubahan luas pergerakan pembukaan mulut (trismus) Pada penderita sendi temporomandibula dapat dilihat berkurangnya luas pergerakan yang nyata, khususnya pada jarak antar insisal. 2. Perubahan oklusi Beberapa penderita mengeluhkan perubahan pada gigitan, dimana gigi penderita tidak terkatup secara tepat. 3. Perawatan sebelumnya Informasi mengenai perawatan sebelumnya juga dapat membantu dalam menegakkan diagnosa. Dilakukan pencatatan kronologi perawatan

sebelumnya khususnya perawatan bedah pada sendi temporomandibula (Dollar JV. 2004).

H. Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis pada penderita ankilosis sendi temporomandibula dapat didasarkan atas pemeriksaan terhadap : 1. Oklusi Dilakukan pemeriksaan pada gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan faktor oklusi. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung diperiksa. 2. Pembukaan antar insisal Evaluasi luas pergerakan mandibula yang diukur dengan penggaris dengan skala milimeter atau jangka. 3. Pergerakan lain Pengukuran pergeseran secara lateral biasanya pada titik atau garis tengah kemudian dibandingkan kesimetrisannya. 4. Deviasi Deviasi pada mandibula sewaktu membuka mulut atau protrusi dapat terlihat dengan jelas (Malik NA., 2008).

I. Pemeriksaan Radiografi Radiografi yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa dari ankilosis sendi temporomandibula yaitu : 1. Orthopantomograph dapat digunakan untuk melihat kedua sendi

temporomandibula sehingga dapat dibandingkan jika ankilosis hanya mengenai satu sisi. 2. Foto TMJ transkranial dapat digunakan untuk menentukan diagnosis perubahan yang menyangkut jaringan tulang dan adanya keterbatasan pergerakan dengan cara membandingkan posisi prosesus kondilaris dua sisi dalam keadaan terbuka dan tertutup. 3. Computed Tomography Scan (CT-scan) dapat digunakan untuk mengukur lebar anteroposterior dan relasi sendi terhadap fosa kranio media. Selain itu, 3D CT-scan juga dapat memberikan gambaran deformitas yang nyata (Malik NA., 2008).

Gambar 4. Gambaran radiografis ankilosis pada sendi temporomandibula sebelah kanan. Pada pemeriksaan radiografi, sendi temporomandibula yang terkena ankilosis akan menunjukkan gambaran adanya kehilangan bentuk sendi yang normal dengan penyatuan prosesus kondiloideus dan fosa glenoidalis. Dimana luasnya bervariasi dan tergantung pada keparahan ankilosis tersebut (Martins Wd., 2006) Pada tahun 1980, computed tomography scan (CT-scan) mulai diaplikasikan pada ankilosis sendi temporomandibula. Pemeriksaan ankilosis sendi

temporomandibula dengan menggunakan CT-scan dalam arah sagital, koronal, aksial menunjukkan terjadinya perluasan dan kepadatan massa tulang dan penebalan pada tulang temporal di daerah glenoid. Massa ankilosis mempunyai gambaran yang khas bila dilihat dari pandangan koronal, dimana gambarannya terlihat seperti bentuk jamur. CT-scan juga dapat memberikan gambaran yang jelas ankilosis yang disebabkan secara ekstra artikular (Malik N ., 2008). 5a 5b

Gambar (5a) Gambaran CT-scan ankilosis secara aksial dan (5b)secara koronal

Gambar 6. Gambaran ankilosis dengan 3D CT-scan J. Pemeriksaan dengan artroskopi Pemeriksaan ankilosis sendi temporomandibula secara diagnostik khusus dilakukan dengan menggunakan artroskopi pada sendi temporomandibula. rtroskopi adalah suatu prosedur yang melibatkan serat optik kecil yang

disisipkan kepada celah diatas sendi sehingga memungkinkan dilakukannya pengamatan pada struktur sendi temporomandibula serta untuk mengatasi terbatasnya akses pada sendi temporomandibula sewaktu pembedahan. Artroskopi dapat digunakan sebagai diagnostik dan sebagai terapi. Artroskopi secara diagnostik diindikasikan saat pemeriksaan langsung pada sendi diperlukan untuk memastikan dugaan kelainan klinis yang tidak mudah dipastikan dengan prosedur diagnostik yang lain (Martins Wd., 2006). Pemeriksaan ini dilakukan dengan artroskop berdiameter luar 2,4 mm dan 2,7 mm dan diameter optikal 1,7 mm dan 2,4 mm. Lensa pembesar bervariasi dari pembesaran 1 x hingga 15 x tergantung pada jarak antara obyek dan ujung artroskop. Prosedur ini dilakukan dengan bantuan anastesi lokal (Malik NA., 2008).

DAFTAR BACAAN

anonym.

2010.

Pemanjangan

Tulang

Harus

Melalui Proses

Bertahap.

http://harianjoglosemar.com/berita/pemanjangan-tulang-harus-melaluiproses-bertahap-22021.html [ 4 Agustus 2011] Atmadji, Budiono, Lukas. 1987. Bedah Mikro Pada Bedah Saraf. Cermin Dunia Kedokteran No. 43 Avriyanti H. 2010. Penatalaksanaan hioplasia mandibula dan zigoma pada pasien sindrom treacher Collins. Jurnal. http://repository.usu.ac.id/

bitstream/123456789/17359/3/Cha pter%20III-IV.pdf [4 Agustus 2011] Baur, DA. 2005. Distraction osteogenesis of mandible.

http://www.emedicine.com. [ 4 Agustus 2011]. Chiapasco M, Zaniboni M, Rimondini L. 2007. Autogenous onlay bone grafts vs.alveolar distraction osteogenesis for the correction of vertically deficient edentulous ridges: a 24-year prospective study on humans. Clin Oral Impl Res. Dollar JV. 2004. Educated patient enhanced outcome. TM J George A. 2009. Temporo-mandibulajoint (TMJ). http://members.rediff.com/ dental/tmj.html. [5 Agustus 2011] Malik NA. 2008. Textbook of oral and maxillofacial surgery Martins Wd. 2006. Report of ankylosis of the temporomandibular joint : treatment with a temporalis muscle flap andaugmentation genioplasty. J Contemp Dent Pract

Tuinzing DB, dkk. 2005. Surgical orthodontics (classification, diagnosis and treatment). Netherlands: Elseiver.