DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …
Transcript of DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …
DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT
SUMBER DAYA AIR
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)
Oleh :
MARICHA NASUTION
NIM. 11150480000100
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
i
DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT
SUMBER DAYA AIR
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)
Oleh :
MARICHA NASUTION
NIM. 11150480000100
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
MARICHA NASUTION, NIM 11150480000100, “DISPARITAS
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT SUMBER DAYA AIR
(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013)”. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Program Studi
Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah terdapat pada disparitas
putusan Mahkamah Konstitusi terkait sumber daya air. Pemanfaatan sumber daya
air sejatinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Air yang merupakan
elemen penting dalam kehidupan sehari-hari, penunjang kebutuhan makhluk
hidup yang ada di muka bumi. Tidak ada air, maka tidak ada kehiduoan. Sakral,
ya begitulah sifat nyata air.Setiap tahun pertumbuhan masyarakat terus meningkat,
sehingga kebutuhan akan air pun turut meningkat. Maka dari itu, pengaturan akan
sumber daya air sangat dibutuhkan. Pengaturan sumber daya air yang baik salah
satunya dengan mementingkan atau mendahulukan hak-hak rakyat atas air.
Dengan begitu kaya Indonesa dengan sumber daya alam terutama sumber daya
air, masyarakat mengharapkan tidak kekurangan atau sulit dalam mengakses air
untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Namun hal ini tidak tercermin dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan terbukti
dengan dilakukannya pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air.
Disinilah peneliti ingin menganalisis lebih dalam terkait adanya
disparitas putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sebagaimana yang tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normative dilakukan dengan cara meneliti
kepustakaan aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya air baik dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, ataupun bahan hukum tersier yang ada.
Kata Kunci : Disparitas, sumber daya air, dan Mahkamah Konstitusi
Pembimbing Skripsi : Dr. J. M. Muslimin, M.A.
Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L.
Daftar Pustaka : Tahun 1993 – Tahun 2019
vi
KATA PENGANTAR
حِيمِ حْمنِ الرَّ بسِْمِ اللهِ الرَّ
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah S.W.T dan atas berkat rahmat,
hidayahnya dan juga anugerah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT
SUMBER DAYA AIR (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-
060-063/PUU/II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)”. Sholawat serta salam tidak lupa
tercurahkan oleh peneliti kepada junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, yang
telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah kepada zaman islamiyah.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat
diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama
penyusunan skripsi ini.
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para
pihak yang telah memberikan peranan baik secara langsung maupun tidak langsung
atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada:
1. Dr. Ahmad Tolabi Kharlie, S.H., M.A., M.H . Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamri, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. J. M. Muslimin, M.A. dan Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L selaku Dosen
pembimbing skripsi peneliti, terima kasih atas kesempatan waktu, arahan, dan
kritik serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan;
4. Ayah saya Musonnip Nasution dan Mama saya Dahlia yang telah memberikan
dukungan materi dan imateriil berupa motivasi, doa, bahkan kepercayaan untuk
vii
bisa duduk dibangku kuliah hingga mendapat gelar sarjana. Terima kasih.
Mungkin ini hanya bagian kecil kebahagian yang dapat peneliti berikan;
5. Ka Mutia Nasution dan Adik Rosalina Nasution, terima kasih sudah menerima
dan mendengarkan keluh kesah dan menjadi saudara terbaik peneliti selama ini;
6. Kepala Pusat dan Staff Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan yang menjadi referensi untuk melengkapi hasil penelitian peneiti;
7. Keluarga besar Moot Court Community terkhusus sidang semu konstitusi
Mahkamah Konstitusi tahun 2017 s.d. 2018, dan keluarga besar Ilmu Hukum
2015 terutama kelas Ilmu Hukum C terima kasih sudah mewarnai perjalananku;
8. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun peneliti
sangat berterima kasih sekali karena telah memberikan kontribusi kepada
peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan menjadi
referensi bagi peneliti selanjutnya, untuk mengembangakan penelitian khususnya
dalam bidang hukum Mahkamah Konstitusi. Akhir kata peneliti berharap Tuhan
Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah
membantu.
Jakarta, 2 Oktober 2019
Peneliti,
Maricha Nasution
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii
LEMBAR PENYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ..... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 7
D. Metode Penelitian ............................................................. 8
E. Sistematika Penelitian ..................................................... 11
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN DISPARITAS
A. Kerangka Konseptual ..................................................... 18
1. Tinjauan Umum Sumber Daya Air ........................ 18
2. Disparitas Putusan Hakim ....................................... 24
B. Kerangka Teori ................................................................ 25
1. Keadilan Hukum ...................................................... 25
2. Kekuasaan Kehakiman ............................................ 26
3. Utilitarianisme .......................................................... 28
4. Ne bis in Idem ............................................................ 29
ix
BAB III TINJAUAN UMUM PERBANDINGAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-
063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005 DENGAN
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-
XI/2013
A. Tabel Perbandingan ........................................................ 31
B. Berdasarkan Legal Standing atau Kedudukan
Hukum Pemohon ............................................................. 36
C. Perbandingan Berdasarkan Alasan Permohonan
Pemohon ........................................................................... 39
BAB IV DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
MENGENAI SUMBER DAYA AIR
A. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menolak .................. 49
B. Pertimbangan Hakim Konstitusi;
Menerima dan Menghidupkan Kembali Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan ................... 50
C. Analisis Peneliti ................................................................ 59
D. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi ............. 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 72
B. Rekomendasi .................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara kemaritiman yang memiliki
wilayah berupa darat dan laut. Berbicara tentang laut, tentunya berbicara
tentang sumber daya air. Sumber daya air, pertama kali diatur dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. Lalu dengan berjalannya
waktu undang-undang tersebut sudah tidak relevansi lagi dengan saat ini.
Dewan Perwakilan Rakyat RI merancang Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air lahir sebagai suatu wujud pengaturan
turunan untuk menjelaskan lebih jelas Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Agar menjadi lebih jelas, maka peneliti melihat sejarah pembuatan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Pada
Tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, yang menyebabkan jatuhnya
perekonomian Indonesia dan defisit neraca pembayaran (balance of
payment), yang mana akhirnya mendorong Pemerintah untuk mencari
pinjaman yang bersifat “quick disburse” atau pencairan cepat untuk
membantu neraca pembayaran Indonesia. Maka dari itu, Bank Dunia
menawarkan pinjaman seperti Structural Adjustment Loan (SAL) kepada
Indonesia, tentunya dengan persyaratan dilakukannya perubahan struktural
baik dari segi kelembagaan, peraturan, dan pengelolaan dari sektor tertentu).1
Dari Stuctural Adjustment Loan (SAL) lahirlah Natural Resources
Structural Adjustment Loan (NATSAL) yang mencangkup sektor kehutanan,
pertanian, dan sumber daya air. Kemudian dipecah kembali menjadi
Agricultural Structural Adjustment Loan (AGSAL) dan Forestry Structural
Adjustment Loan (FORSAL). Terdapat pengerucutan kembali untuk sumber
1 Hamid Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di
Belanda, India dan Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta: Program Pasca Sarjana Strata 3, 2009, h., 322.
2
daya air itu tersendiri yaitu dengan program Water Resources Sector
Adjustment Loan (WATSAL).2
Percepatan penyelesaian rancangan undang-undang sumber daya
air pun tidak terlepas dengan Program Water Resources Sector Adjustment
Loan (WATSAL) dari Bank Dunia. Program Watsal merupakan bagian dari
paket utang dari Bank Dunia yang bernilai US $300 juta. Perjanjian utang
ditandatangani tertanggal 28 Mei 1999.3 Namun pencairan utang yang sudah
memasuki tahap ketiga ini tertunda dari jadwal semula yaitu Maret 2000.
Pasalnya, Bank Dunia mensyaratkan agar Indonesia segera menuntaskan
reformasi di bidang pengelolaan sumber daya air. Desakan yang begitu kuat
dari Bank Dunia mengakibatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI dan
Presiden RI. Memang terjadi polemik sebelum disahkannya undang-undang
tersebut, baik antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI itu sendiri maupun
para pengamat hukum dan masyarakat. Selama sidang program legislasi
prioritas.
Walaupun dalam konsideran Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air mencantumkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan
hukum. Namun secara tersirat keberpihakan undang-undang tersebut lebih
condong ke arah para pengusaha air. Terdapat beberapa pasal yang secara
terang-terangan mengizinkan para perusahaan air berkontribusi penuh dalam
pengelolaan sumber daya air.
Air dapat dijadikan komersialisasikan karena selain merupakan
peluang besar dalam dunia usaha, pun untuk mendapatkan izinnya sangat
mudah dilakukan oleh pihak swasta, mengingat sumber daya air itu sendiri
2 BAPPENAS, CAS Progress Report, (BAPPENAS RI, 1997), dikutip oleh Chalid
Hamid, Hak-hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda, India, dan
Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum FHUI,.., h., 21.
3 Lihat pada Alasan Permohonan Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 poin ke 12 h.,
41, https://mkri.id
3
salah satu sumber daya alam yang tentunya memiliki peluang besar dalam
dunia bisnis. Cukup hanya dengan mengantongi izin dari Pemerintah atau
Pemerintah Daerah, pengusahaan dalam bidang air akan mendapatkan benefit
yang sangat besar dan akan tetap hidup subur. Karena sejatinya manusia
bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini akan selalu
bergantung pada sumber daya air.
Dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air disahkan dan diundangkan,4 banyak
pihak yang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bukanlah satu-
satunya undang-undang mengenai sumber daya alam yang diuji ke
Mahkamah Konstitusi. Diketahui terdapat beberapa undang-undang yang
mengatur sumber daya alam juga diujikan lebih dari satu kali, yaitu antara
lain: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas telah
diujikan sebanyak 3 kali,5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Ketenagalistrikan sebanyak 1 kali,6 dan saat disahkan undang-undang baru
yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
diujikan kembali sebanyak 5 kali7, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
4 Lihat pada lembar pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air tertulis tanggal diundangkan 18 Maret 2004, dan pengujian pertama kali
dilakukan pada undang-undang a quo Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 tertanggal 9 Juni
2004.
5 Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 amar putusan
menolak permohonan formil; mengabulkan sebagian, pada Putusan Mahkmaah Konstitusi
Nomor 20/PUU-V/2007 amar putusan tidak dapat diterima, dan pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 amar putusan dikabulkan.
6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022-/PUU-I/2003 amar putusan
dikabulkan.
7 Putusan Nomor 149/PUU-VIII/2009 amar putusan ditolak,putusan Mahkamah
Konsitusi Nomor 9/PUU-XI/2013 amar putusan ditolak seluruhnya, putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 106/PUU-XI/2013 amar putusan tidak dapat diterima, putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 17/PUU-XIV/2016, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-
XI/2015 amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
4
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi undang-undang
diujikan sebanyak 10 Tahun,8 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diujikan
sebanyak 1 kali,9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara diujikan sebanyak 7 kali.10
Dari keenam
undang-undang tersebut memiliki putusan yang berbeda-beda, dan pada
pengujian yang terakhir akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan para pemohon.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
tidak mengedepankan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Disparitas putusan majelis hakim
Mahkamah Konstitusi juga tercerminkan dalam Putusan Nomor 058-059-
060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Yang mana dalam putusan
pertama yakni nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-
III/2005 amar putusan Mahkamah Konstusi adalah menolak, sedangkan pada
8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 amar putusan ditolak,
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-III/2005 amar putusan tidak diterima,
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 amar putusan ditolak, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VII/2010 amar putusan penarikan kembali, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 amar putusan ditolak, putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 amar putusan dikabulkan, putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 105/PUU-X/2012 amar putusan ditarik kembali, putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 70/PUU-XII/2014 amar putusan tidak dapat diterima, dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 25/PUU-XV/2017 amar putusan mengabulkan penarikan kembali
permohonan pemohon.
9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 amar putusan
dikabulkan sebagian.
10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-VII/2009 amar putusan ditolak,
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 amar putusan ditolak, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan seluruhnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XII/2014 amar putusan ketetapan
pencabutan permohonan, dan putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 amar
putusan ditolak seluruhnya.
5
putusan kedua yakni nomor 85/PUU-XI/2013 amar putusan Mahkamah
Konstitusi menerima permohonan pemohon.
Dewasa ini Indonesia tidak memiliki pengaturan tentang sumber
daya air setelah dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada pengujian kedua.
Memang saat membatalkan undang-undang sumber daya air, Mahkamah
Konstitusi mengambil langkah untuk menghidupkan kembali Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan sebagai salah satu langkah
agar tidak terjadi kekosongan hukum selama Dewan Perwakilan Rakyat dan
Pemerintah membuat undang-undang sumber daya air terbaru yang
mengedepankan kesejahteraan rakyat.
Berbicara terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang
Pengairan yang dihidupkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi tentunya
mengundang pro dan kontra dari pengamat hukum maupun masyarakat. Salah
satunya adalah ketidaksesuaian undang-undang pengairan dihidupkan
kembali pada era sekarang, pun terdapat keterbatasan di dalamnya.
Berlandaskan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih
dalam mengenai perbedaaan amar putusan hakim terkait sumber daya air di
antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013.
Pembahasan mengenai topik tersebut akan diuraikan dalam
penelitian skripsi yang berjudul “DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI TERKAIT SUMBER DAYA AIR (STUDI KPUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004
DAN NOMOR 008/PUU-III/2005 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan penelitian. Penemu menemukan ragam masalah yang
6
muncul dalam latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, di
antaranya:
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
mengandung unsur komersialisasi air yang dilakukan oleh pihak
swasta.
b. Awal pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air sudah mengalami kejanggalan.
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
tidak mengedepankan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) Undang-
undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Tiga bulan setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air disahkan dan diundangkan, banyak pihak yang
melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
e. Pada putusan pertama yakni nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan nomor 008/PUU-III/2005 Mahkamah Konstusi berpendapat
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air tidak bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
f. Pada putusan kedua yakni nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah
Konstitusi dengan amar putusan bahwa Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Pasal
33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
g. Disparitas putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian skripsi
ini, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas, sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
peneliti. Disini peneliti hanya akan membahas tentang Disparitas
7
Putusan Mahkamah Kontsitusi terkait Sumber Daya Air (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013).
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka
peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Disparitas Putusan
Mahkamah Kontsitusi terkait Sumber Daya Air (Analisis Kasus Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013), untuk mempertegas arah dari masalah utama
yang telah diurakan di atas maka peneliti menjabarkan penulisan ini
melalui rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan :
a. Bagaimana pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi
dalam memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013?
b. Bagaimana Implimentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013 dalam mewujudkan kesejahteraan penggunaan
dan pemanfaatan sumber daya air di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meneliti
permasalahan tentang Disparitas putusan Mahkamah Konstitusi terkait
Sumber Daya Air Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013. Pun untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
8
a. Untuk mengetahui pertimbangan serta alasan dari majelis hakim
Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013.
b. Untuk mengetahui implementasi dari penerapan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 terkait pengelolaan
dan pemanfaatan sumber daya air.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan umum tersebut, ada beberapa hal yang
merupakan manfaat dari studi ini di antaranya :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan
menambah aspek-aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam
perbedaan putusan Mahkamah Konstitusi, wawasan ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum terutama terkait sumber daya air
sehingga dapat dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum
lingkungan, hukum tata negara terkhususnya.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sangat diharapkan berguna untuk
menjadi acuan dalam proses pembuatan peraturan perundang-
undangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI, pedoman para
pengkaji kepentingan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti kepustakaan
aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya air baik dari bahan
9
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang
ada,11
kemudian disusun secara sistematik dan ditarik kesimpulan
mengenai hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
undang-undang (statuethory approach). Pertama, pendekatan undang-
undang yakni peneliti melakukan penelitian berdasarkan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, dan yang kedua,
pendekatan analitis, adalah untuk mengetahui makna yang dikandung
oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan
secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik
dan putusan hukum.
3. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang mencakup
ketentuan peraturan peundang-undangan terkait, catatan-catatan
resmi atau bahkan risalah dalam pembuatan perundang-undangan,
dan putusan-putusan hakim.12
Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum
primer antara lain:
1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air
3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
11
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h., 31.
12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), h., 14.
10
4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok
Agraria
5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 Tentang Sumber Daya Air
6) Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 008/PUU-III/2005
Tentang Sumber Daya Air
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 ang
membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang
hukum namun Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi
tentang hukum, namun merupakan dokumen yang tidak resmi.
Publikasi tersebut seperti buku-buku, kamus-kamus, skripsi, tesis,
jurnal hukum13
yang berkaitan dengan sumber daya air. Yang mana
bahan hukum sekunder tersebut bertujuan untuk memberikan
penjelasan lebih lanjut atau mendalam terkait bahan hukum primer.
c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sebagai
teknik pengumpulan data. Studi kepustakaan dilakukan dengan
mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui
literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal,
skripsi, dan undang-undang terkait di berbagai perpustakaan umum
maupun universitas.
d. Teknik Penulisan
Dalam metode penelitian peneliti mengacu kepada
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” berdasarkan kaidah-
kaidah dan teknik penelitian yang sudah ditentukan oleh fakultas.
13
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 54.
11
E. Sistematika Penelitian
Masing-masing bab akan terdiri atas beberapa sub-bab sesuai
pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, masalah penelitian metode penelitian, sistematika
penelitian, dan tinjauan (review) kajian terdahulu. Membahas perihal
Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sumber Daya Air Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
BAB II : Tinjauan Teoritis mengenai Sumber Daya Air dan
Disparitas. Secara keseluruhan pada bab II menyajikan kajian pustaka yang
diawali dengan pemaparan kerangka konsep dan dilanjutkan dengan kajian
teori yang tentunya untuk menunjang analisis peneliti berkaitan dengan
konsistensi majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan.
BAB III : Tinjauan Umum Perbandingan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-
III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
Berisi data-data perbandingan dari kedua putusan tersebut, sehingga dapat
ditentukannya Disparitas putusan hakim Mahkamah Konstitusi.
BAB IV : Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
Sumber Daya Air. Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan masalah
yang dibahas dan merupakan jawaban yang terdapat di dalam pembatasan
dan perumusan masalah, maka di dalam bab ini pun menjelaskan faktor
penyebab yang mempengaruhi adanya Disparitas Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-
III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dan
membahas implemtasi dari Disparitas tersebut.
BAB V : Penutup. Bab terakhir dari sistematika penulisan skripsi
ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi. Peneliti akan menarik beberapa
12
kesimpulan dari penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah dan
memberikan tanggapan serta saran yang dianggap perlu.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebelum peneliti mengkaji lebih dalam mengenai Disparitas Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XI/2013, terdapat beberapa kajian terdahulu yang sudah membahas mengenai
Sumber Daya Air sebagai berikut:
1. Skripsi
a. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber Daya Air oleh Wiwi
Linda Hartati, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.14
Skripsi ini membahas dari segi hukum Islam dalam
kaitan putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Air.
Persamaan dari skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah membahas
putusan Mahkamah Konstitusi tentang sumber daya air.
Perbedaannya terletak pada, skripsi ini membahas hanya satu
putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 dengan tinjauan hukum
Islam, sedangkan skripsi peneliti membahas kedua putusan
Mahkamah Konstitusi tentang sumber daya air putusan pada tahun
2005 dan 2013, pun melihat dari segi Disparitas kedua putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut.
b. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Iin Fitriyah,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang, 2018.15
14
Lihat pada laman http://digilib.uin-suka.ac.id/17320/ diakses tertanggal 21
Januari 2019 pukul 22.12 WIB.
15 Lihat pada laman http://eprints.walisongo.ac.id/8159/1/132311071.pdf diakses
tertanggal 22 Januari 2019 pukul 13.45 WIB.
13
Skripsi ini membahas mengenai pengusaan Negara atas sumber
daya air menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XI/2013 terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air dan dari segi Hukum Islam memandang.
Persamaaan antara skripsi ini dengan peneliti yakni membahas
pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air. Untuk perbedaannya dapat dilihat dari, yaitu skripsi ini
membahas dari satu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XII/2013 dengan menganalisi secara hukum Islam,
sedangkan peneliti akan membahas dari segi Disparitas kedua
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
c. Andi Sutomo Iqwal Iskandar, “Implikasi Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Mengenai
Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air”, skripsi, Makassar: Universitas Hasanuddin,
2016.16
Skripsi ini membahas apa implikasi hukum suatu putusan
Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang sumber
daya air. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti yakni sama-
sama membahas tentang sumber daya air. Perbedaannya ialah
terletak difokus penelitiannya, skripsi ini membahas dari segi
Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XI/2013 Mengenai Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air, sedangkan skripsi peneliti
membahas Disparitas kedua putusan Mahkamah Konstitusi tentang
sumber daya air yakni Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
16
Lihat pada laman
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/19377/SKRISI%20LENGKAP-
HTN-ANDI%20SUTOMU%20IQWAL%20ISKANDAR.pdf?sequence=1 diakses tertanggal
23 Januari 2019 pukul 09.55 WIB.
14
Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013.
d. Slamet Senimin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 9 UU
SDA Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Hak Guna Usaha Air
Relevansinya dengan Konsep Al-Ammah Dalam Islam”, Skripsi,
Semarang: Perpustakaan IAIN Walisongo, 200517
membahas
terdapat penafsiran akan pasal 9 UU SDA yakni pertama sebagai
water right yang memposisikan air sebagai property dan kedua
ditafsirkan sebagai the right to water yang mengedepankan adanya
universalitas hak atas air dan membahas dari perspektif hukum
Islam. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti yaitu
membahas sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas
lebih kepada menganalisis dari segi hukum Islam terhadap Pasal 9
UU SDA Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Hak Guna Usaha Air
Relevansinya dengan Konsep Al-Ammah, sedangkan skripsi
peneliti membahas perihal Disparitas Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013.
e. Moh. Lukmanul Hakim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Komersialisasi Sumber Daya Air dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”, Skripsi. Semarang:
Perpustakaan: IAIN Walisongo, 2013 membahas mengenai praktek
dan perkembangan komersialisasi sumber daya air di Indonesia dan
tinjauan hukum Islam dan hukum positif (UU Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air) menyangkut hal komersialisasi
sumber daya air. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti
adalah membahas mengenai sumber daya air. Perbedaanya, pada
17
Lihat pada laman http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-
gdl-s1-2005-slametseni-590-COVER_dl-7.pdf diakses tertanggal 22 Januari 2019 pukul
14.00 WIB.
15
skripsi ini membahas dari pandangan hukum Islam terhadap
komersialisasi sumber daya air dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sedangkan peneliti akan
membahas perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-
III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XI/2013
f. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air Dalam
Perspektif Islam (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air oleh Afnanul Huda, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.18
Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep suatu penguasaan
Negara atas sumber daya air dari perspektif hukum Islam.
Persamaan antara skripsi ini dengan skripsi penelti ialah membahas
sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas lebih kepada
konsep suatu penguasaan Negara atas sumber daya air dari
perspektif hukum Islam, sedangkan peneliti akan membahas
perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-
060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
g. Komersialisasi Sumber Daya Air Menurut Hukum Islam (Studi
Kasus di Desa Padarincang, Serang, Banten) oleh Syaeful Anwar,
UIN Syarif Hidayatullah, 201619
membahas dari segi
komersialisasi sumber daya air yang dilakukan oleh pengusaha
pengelolaan sumber daya air seperti danone, coca-cola dan sosro
18
Lihat pada laman
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5629/1/AFNANUL%20HUDA
FSH.pdf diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 09.45 WIB.
19 Lihat pada laman http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32978
diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB.
16
yang mengakibatkan Desa Padarincang terancam kekeringan air
dikarenakan telah merampas 100 hektar sawah yang subur dan
melakukan pengeboran sedalam 800 meter diluar perjanjian awal.
Persamaan dari skripsi ini dan skripsi peneliti adalah membahas
sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas
komersialisasi sumber daya air menurut hukum Islam dan
menggunakan jenis penelitian empiris dengan lokasi di Desa
Padarincang, Serang, Banten, sedangkan peneliti akan membahas
perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sumber
Daya Air Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013.
2. Buku
a. Buku mengenai “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”, oleh
Robert J. Kodoatie, Ph.D dan Roestam Sjarief, Ph.D, yang
diterbitkan oleh C.V Andi Offset Tahun 2008.
Buku ini membahas berkaitan dengan air dalam bentuk
“Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”. Di mulai dari siklus
hidrologi baik permuikaan maupun air tanah, lalu dilanjutkan
dengan permasalahan pengelolaan sumber daya air, disandingkan
pula secara ringkas dengan beberapa substansi konstitusi tentang
sumber daya air pun dalam konteks otonomi daerah. Hal ini tentu
relevan dengan penelitian ini.
b. “Menjaga Kedaulatan Air” oleh Robert J. Kodoatie dan Widiarto,
yang diterbitkan oleh C.V Andi Offset Tahun 2016. Buku ini
membahas tentang menjaga kedaulatan air merupakan kewajiban
setiap elemen masyarakat. Mengingat pertumbuhan penduduk
memberikan konsekuensi peningkatan ruang terbangun dan
kebutuhan air namun sebaliknya mengurangi wadah air dan
17
ketersediaan air, maka dari itu pemenuhan akan air haruslah
tercukupi.
3. Jurnal
Jurnal dengan judul: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 terhadap Sistem Penyediaan Air Minum oleh
Santi Puspitasari dan Utari Nindyaningrum, Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Jurnal ini membahas mengenai implikasi Putusan MK Nomor
85/PUU-XI/2013 cenderung menyebabkan kemunduran khususnya
tanggung jawab Negara dalam penyediaan air minum rumah tangga
yang bersih dan sehat. Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUUXI/2013 adalah batalnya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sehingga Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan berlaku kembali. Dengan
adanya konsekuensi tersebut sebaiknya segera dibentuk undang-undang
tentang sumber daya air baru beserta peraturan pelaksananya yang lebih
komprehensif serta mampu mengakomodir kepentingan rakyat.20
20
Lihat pada laman https://jurnal.ugm.ac.id/jph/article/view/19114 diakses
tertanggal 20 Juli 2019 pukul 21.23 WIB.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN DISPARITAS
A. Kerangka Konseptual
1. Tinjauan Umum Sumber Daya Air
a. Pengertian Sumber Daya Air
Sebelum membahas pengertian dari air itu tersendiri,
peneliti akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian
sumber daya. Sumber daya merupakan suatu yang memiliki nilai
ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia, atau input-
input bersifat langka yang dapat menghasilkan utilitas (kegunaan
atau kemanfaatan) baik melalui suatu proses produksi atau tidak,
bentuk barang dan jasa. Secara etimologi sumber daya adalah
kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, sumber
persediaan, penunjang dan pembantu, sarana yang dihasilkan oleh
kemampuan atau pemikiran seseorang.1 Dari pengertian sumber
daya di atas dapat disimpulan:
1. Terkait dengan kegunaan (userfulness);
2. Diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan;
3. Menghasilkan utilitas dengan atau melalui aktivitas
produksi; dan
4. Utilitas dikonsumsi baik langsung maupun tidak
langsung seperti jasa lingkungan, pemandangan,
dsb.2
Sumber daya alam terdiri dari kesatuan tanah, air, dan
ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di
1 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail, dkk, Pengaturan Sumber Daya Alam
di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis Undang-undang Terkait
Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam (Yogyakarta: FH UGM, 2014), h., 8.
2 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail, dkk, Pengaturan Sumber Daya Alam
di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis Undang-undang Terkait
Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam (Yogyakarta: FH UGM, 2014), h., 9.
19
dalamnya. Berfokus pada sumber daya air itu sendiri memiliki
pengertian yaitu air atau H2O adalah salah satu sumber daya alam
yang amat penting karena tidak terlepas dari tujuan hidup yakni
untuk keberlangsungan mahluk hidup terutama manusia. Tanpa air
sangat sulit untuk bertahan hidup. Dalam tubuh manusia, air
merupakan penyusun utama tubuh yaitu sekitar yaitu 55-60% dari
berat badan orang dewasa atau 70% dari bagian tubuh tanpa
lemak.3
Air juga memiliki arti yaitu cairan jernih tidak berwarna,
tidak berasa, dan tidak berbau yang diperlukan dalam kehidupan
manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung
hydrogen dan oksigen.4
Jika melihat pengaturan tentang sumber daya air juga
dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau biasa disebut
undang-undang agraria. Undang-undang agraria tentunya berkaitan
erat dengan sumber daya air, selain sebagai landasan hukum tanah
nasional juga mengatur di dalamnya akan air.5 Memang tidak ada
definisi yang tegas akan pengertian air, namun dapat disimpulkan
dengan merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yaitu
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara. Pasal 1 Ayat (5) undang-undang agraria memberikan
pengertian akan air,yaitu :
3 Lihat pada laman https://foodtech.binus.ac.id/2015/03/19/air-bagi-kehidupan/
diakses tertanggal 1 Juli 2019 pukul 20.12 WIB.
4 Lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).
5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya (Djambatan: Jakarta, 2007), h., 6.
20
(1) Perairan pedalaman termasuk di dalamnya disini seluruh
sungai-sungai dan danau-danau yang terdapat di seluruh
wilayah tanah air;
(2) Perairan lautan;
(3) Bumi yang terdapat di bawah perairan, yakni seluruh
bagian dasar dari perairan kita maupun seluruh kekayaan
yang terdapat antara air dan bumi, juga merupakan
daerah territorial Indonesia sehingga tentunya kita
berhak untuk mengambil keuntungan kepadanya, dan
berhak melarang orang lain untuk mendapatkan
keuntungan daripadanya.6
Air merupakan salah satu bagian dari sumber daya alam
yang dilindungi oleh Negara, tepatnya dalam Pasal 33 Ayat (3)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Lebih lanjut pengertian air juga diatur dalam Pasal 1 butir
3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan,
bahwasanya air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau
berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun
di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air
yang terdapat di luar.
b. Hukum Sumber Daya Air
Hukum dalam bidang sumber daya air di Indonesia tidak
terlepas dari dua issue yakni hak atas air dan hak air.7 Hak air
6Lihat pada laman
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1572/05.2%20bab%202.pdf?sequence=9
&isAllowed=y diakses tertanggal 27 Juli 2019 pukul 21.32 WIB, h,. 23-24.
7 Ibnu Sina Chandranegara, Purifikasi Konstitusional Sumber Daya Air Indonesia,
dalam Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 5, Nomor 3,
Desember 2016, h., 361.
21
(water rights) dan hak atas air (rights to water) merupakan dua
dalil yang penting dalam pembentukan hukum dalam bidang
sumber daya air dibelahan dunia manapun. Hak air atau water right
merupakan suatu alat yang dikeluarkan oleh negara sebagai
institusi yang menguasai air kepada perorangan atau badan usaha
yang secara hukum disebut sebagai ‘lincenses’, ‘permissions’8,
‘authorizations’9, ‘consents’
10, and ‘concenssions’
11. Sedangkan
hak atas air atau right to water adalah bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari kehidupan manusia yang bermartabat, oleh karena
itu hak atas air merupakan suatu hak yang mutlak dan telah
memunculkan kewajiban bagi negara untuk mengakuinya.12
Bahwasanya hak air dan hak atas air secara tersirat telah dijamin
dalam Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1),
Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2) dan lebih dipertegas kembali dalam
Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hak-hak tersebut yang telah dijamin oleh
konstitusi sangatlah penting dan merupakan salah satu ciri pokok
dianutnya prinsip negara hukum.13
Berfokus pada Indonesia untuk
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan yang
tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Negara
8 Permissions yang artinya izin. Izin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya); persetujuan membolehkan.
9 Authorizations yang artinya otorisasi. Otorisasi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pemberian kekuasaan; pemberian kuasa.
10 Consents yang artinya persetujuan. Persetujuan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah pernyataan setuju; pembenaran.
11 Concenssions yang artinya izin. Izin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya); persetujuan membolehkan.
12 Lihat pada Percik Edisi III, 2010, Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak
Azasi Atas Air, h., 6.
13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), h., 112.
22
Indonesia Tahun 1945 atau disebut UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1
Ayat (3), yakni “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana
negara memiliki suatu kewajiban dalam pembangunan hukum
nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan
berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin
perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia,
termasuk di dalamnya adalah perlindungan dan pemenuhan
terhadap hak asasi rakyat atas air. Maka setiap tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah harus sesuai dengan isi yang termuat
dalam aturan yang berlaku dan tersedia yakni berdasarkan UUD
NRI Tahun 1945.
Upaya perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi
rakyat atas air tentunya dilakukan oleh negara, dalam hal ini negara
yang mengatur secara langsung dengan lebih mengoptimalkan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD). Secara etimologis makna dari penguasaan yakni
proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. Namun
kata penguasaan lebih luas cangkupannya, jika dihubungkan
dengan konteks hak menguasai negara mengandung makna yaitu
negara menguasai serta mengusahakan sumber daya alam dengan
segala potensi yang terkandung di dalamnya.14
Penguasaan negara
tersebut berarti negara diberi mandat untuk membuat kebijakan
(beleid), pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan
(regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya
demi kemakmuran rakyat15
dan juga tersimpul adanya kewibawaan
14
Athari Farhani, Ibnu Sina Chandranegara, Penguasaan Negara terhadap
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Jurnal Konstitusi Volume 16 Nomor 2, Juni 2019, h.,
242. 15
Lilis Mulyani, Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi:
Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam, dalam Jurnal
Masyarakat & Budaya, Vol. 10 No. 2 Tahun 2008, h., 71.
23
yaitu negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang mengatur
dan bertanggung jawab atas kehidupan serta kesejahteraan
rakyatnya.16
Pun untuk melaksanakan amanah konstitusi yang
terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan (Preambule) Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berbunyi:
“…… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia …”
Air dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat maka hak atas air ada di tangan rakyat. Untuk lebih jelasnya
pengertian Hak Atas Air dijelaskan dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 yang mana hak atas air
merupakan salah satu hak asasi manusia, dan oleh karenanya wajib
dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.17
Karena
merupakan hak asasi manusia maka air menjadi benda publik atau
menjadi milik bersama dan semestinya dapat diakses dengan
mudah dan diperoleh oleh siapapun. Bukan malah sebaliknya yang
mana penguasaan sumber air dikelola secara privat oleh pihak
swasta yang bergerak di bidang pengelolaan air sehingga
menghalangi hak orang lain untuk mendapatkan air dari sumber
tersebut. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan dengan alasan
apapun dan tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
akan hak asasi manusia atas air yang akan mengancam hak untuk
hidup seseorang.18
16
N,H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua
(Jakarta: Erlangga, 2004), h., 232.
17 Lihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-
XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air.
18 Hamid Chalid, Arief Ainul Yaqin, Studi tentang Hukum Air dan Problematika
Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas Air di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Tahun ke-48 No. 2 April-Juni 2018, h., 415-416.
24
2. Disparitas Putusan Hakim
Mahkamah Konstitusi atau biasa disebut sebagai the guardian
of the constitution19
hadir ialah karena suatu kebutuhan bangsa dan
negara Indonesia untuk melindungi hak-hak konstitusional masyarakat
dan sebagai pertanda semangat akan penegakan konstitusi sebagai
grundnorm atau highest norm, yang mana memiliki makna yakni segala
peraturan perundang-undangan yang berada tepat dibawahnya, tidak
boleh bertentangan dengan yang sudah diatur dalam konstitusi atau
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau
UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu suatu undang- undang hanya
berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak
berlaku jika bertentangan dengan konstitusi, pun melihat pandangan
Hans Kelsen, suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku
oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga negara
lainnya.20
Disparitas adalah perbedaan.21
Menurut Andrew Ashworth,
disparitas putusan tidak dapat dilepaskan dari diskresi hakim dalam
menjatuhkan putusan di suatu perkara. Disparitas putusan
dikarenakanadanya perbedaan metode penafsiran yang digunakan,
ataupun dimungkinkan karena aturan hukum yang disusun oleh
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI membuka adanya ruang
untuk itu.22
19
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsulidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h., 154.
20 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme (Jakarta: Konstitusi Press,
2016), h., 100.
21 Lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).
22Lihat pada laman
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-
dan-pemidanaan-yang-tidak-proporsional/ diakses tertanggal 15 Oktober 2019 pukul 13.42
WIB.
25
B. Kerangka Teori
1. Keadilan Hukum
Keadilan memiliki arti yakni menempatkan sesuatu pada
tempatnya atau sesuai dengan porsinya. Hal ini dapat ditelisik dari
pandangan Thomas Hobbes, suatu perbuatan dikatakan adil apabila
didasarkan perjanjian yang telah disepakati. Teori ini ditambahkan oleh
Notonegoro, keadilan hukum adalah suatu keadaan dikatakan adil jika
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Rasa keadilan
masyarakat dapat pula ditemukan dalam penegakan hukum melalui
putusan hakim.23
John Rawls pun menggaribawahi bahwasanya keadilan dapat
tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan
terintegralisasinya dan kewajiban constitutional yang berlandaskan
nilai-nilai moral.24
Keadilan bukanlah tentang suatu status melainkan
suatu proses, oleh karena itu kita akan lebih memahaminya dengan
lebih baik, apabila kita melihat perwujudan keadilan itu dalam
berjalannya suatu proses tersebut justru kita akan menangkap apa yang
sebetulnya disebut adil.25
Keadilan juga merupakan sendi terakhir pada
tujuan suatu hukum. Agar keadilan dapat tercapai maka hukum yang
diciptakan harus bersendikan juga pada norma-norma moral.
Keadilan juga dapat dilihat dalam Ideologi Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yakni sila pertama dan sila kelima Pancasila,
yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dan “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Konsepsi adil dalam sila kedua
23
Abdul Wahid, Tafsir Misoginisme dan Inkonsistensi Birokrat (Implikasi
Putusan MK Nomor 4/PUU-VIII/2010), Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 2 April 2010, h.,
9 – 10.
24 John Ralws, A Theory of Justice, dikutip oleh Pan Mohamad Faiz, Teori
Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, April 2009, h., 146.
25 Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008), h., 234.
26
diarahkan kepada makna keadilan dalam arti individu (keadilan
individu) dan adil dalam arti kemasyarakatan atau keadilan ke dalam
tatanan hidup kemasyarakatan.26
Jika mengaitkan sila kelima Pancasila dengan teori keadilan,
John Rawls, maka keadilan harus berisikan dua proposisi, diantaranya:
pertama, proposisi bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama
untuk memenuhi kemerdekaan atau kebebasan dasar antara manusia
dengan manusia lainnya, dan kedua, proposisi bahwa suatu
ketimpangan ekonomi dan sosial harus dihilangkan melalui jaminan
terhadap terlaksananya pengharapan yang logis, dan dijamin
kelangsungan hidupnya.27
Keadilan sosial itu tersendiri tidak terlepas dari tujuan hukum,
menurut Satjipto Rahardjo, hukum mesti “secara progresif
membebaskan” masyarakat dari ketidakadilan sosial itu. Struktur yang
menindas, diskriminasi, dan tidak adil, harus dapat dibongkar oleh
hukum. Untuk melakukan pembongkaran, hukum sendiri harus bebas
dari struktur kaku yang tidak berpihak pada keadilan sosial, harus bebas
juga dari unsur kuasa penguasa atau kelompok yang dipaksakan kepada
masyarakat yang berdampak pada ketidakadilan sosial.28
2. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang merdeka
guna menyelenggarakan peradilan tidak lain untuk menegakan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum
26
Ahmad Sudiro, Deni Bram, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan
Internasional), (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h., 164.
27 Ahmad Sudiro, Deni Bram, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan
Internasional), …, h., 165.
28 Hyronimus Rhti, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2011), h., 258.
27
Republik Indonesia.29
Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,
serta badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.30
Menjalankan kekuasaan kehakiman salah satunya adalah
Hakim. Oemar Seno Adji mengatakan bahwa hakim bebas dalam
memutuskan segala putusannya tanpa adanya interpensi atau campur
tangan pihak lain31
dengan berpegang pada asas “kepatuhan”, “rasa
keadilan”, dan “itikad baik”. Dalam melaksanakan asas kebebasan
guna dapat menjatuhkan putusan yang tetap, hakim pun dapat
melakukan interpretasi, penghalusan hukum, dan konstruksi hukum,
artinya hakim dapat turun langsung ke masyarakat untuk mengenal,
merasakan, dan melihat kondisi hukum dan keadilan yang hidup di
masyarakat.32
Oleh karena itu, hakim mempunyai kewajiban untuk
menegakkan independensi pada dirinya sendiri. Hal ini tentunya juga
berlaku untuk masyarakat ataupun kekuasaan lain di luar kekuasaan
kehakiman wajib menegakkan independensi dengan tidak mencampuri
proses suatu peradilan, termasuk saat hakim mengambil putusan.
Kebebasan kekuasaan kehakiman bukan untuk kepentingan
dan kepuasan hakim semata dalam memutus suatu perkara, akan tetapi
bertujuan untuk melindungi warga Negara dari kesewenang-wenangan
29
Vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
30 Vide pada Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 memberikan pengertian akan Kekuasaan Kehakiman.
31 Dachran Busthami, Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di
Indonesia, dalam Karya Ilmiah, Jilid 46 No. 4, Oktober 2017, h., 341.
32 I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi (Malang: Setara Press,
2011), h., 80.
28
kekuasaan legislative maupun kekuasaan eksekutif atau bahkan mereka
yang berkuasa.33
3. Utilitarianisme
Utilitarianisme atau utilisme merupakan aliran yang
meletakkan kepada kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Dapat
diartikan bahwa kemanfaatan memiliki makna yakni sebagai
kebahagiaan (happiness)34
untuk semua orang. Jadi kebahagiaan yang
bersifat universal disini diartikan pula orang banyak, atau kepentingan
kemanusiaan pada umumnya dan bangsa.
Salah satu kekuatan utilitarianisme yakni kenyataan bahwa
menggunakan prinsip yang jelas dan rasional. Dengan kata lain,
pemegang kekuasaan mempunyai pegangan yang jelas untuk
membentuk suatu kebijaksanaan dalam mengatur masyarakat.
Kekuataan lainnya adalah terlihat pada hasil perbuatan.35
Misal pada
masa perang, dengan menggunakan dalih demi kepentingan dan
keselamatan banyak orang, kita akan terus mengatakan kebohongan
pada media selama konferensi pers.
Maka terlihat bahwa prinsip ini dapat menjadi sebuah cara
yang berguna pun akan memberikan manfaat bagi mayoritas orang, dan
hanya jika para pembuat keputusan mampu membuat penilaian yang
akurat tentang hasil yang akan diperoleh dan jika hasil tersebut
melampaui kepentingan dari mereka yang membuat pilihan moral.36
33
Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, …, h., 139.
34 Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, Hukum dalam
Pendekatan Filsafat (Jakarta: Kencana, 2015), h., 160.
35 Lihat pada http://digilib.uinsby.ac.id/672/5/Bab%202.pdf diunduh pada Kamis,
7 Juli 2019, h., 69.
36 Patricia J. Parsons, Terjemahaan: Etika Public Relations Panduan Praktik
Terbaik (London: Erlangga, 2007), h., 43.
29
4. Ne bis in idem
Dalam kamus Hukum, Ne bis in idem (non is in idem) adalah
suatu perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.37
Menurut Alfitra, asas Ne bis in idem (non is in idem) berasal dari bahasa
latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama.38
Asas ne bis in idem adalah salah satu prinsip hukum pidana
untuk mewujudkan kepastian hukum bagi sesorang yang mendapatkan
putusan hakim berkekuatan tetap atas tindak pidana yang telah
dilakukan. Asas ini diatur dalam perundang-undangan Indonesia
tepatnya dalam Pasal 76 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana), berbunyi:
(1) Kecuali diatur dalam putusan hakim masih
mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim
Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap. Dalam artian
hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat
yang mempunyai pengadilan-pengadilan
tersebut.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari
hakim lain, terhadap orang itu dank arena delik
itu pula, tidak boleh diadakan penundaan dalam
hal:
1. Putusan berupada pembebasan dari tuduhan
atau lepas dari tuntuan hukum;
2. Putusan berupa pemidanaan dan telah
dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah
hapus lewat waktu.
Dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), seseorang dapat dikatakan bebas dari penuntutan untuk kedua
kalinya berdasarkan asas ne bis in idem apabila memenuhi persyaratan,
antara lain: adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai
37
Kamus Hukum Online Indonesia, https://kamushukum.web.id
38 Alfitra, Hapusnya Hak dan Menuntut Mennjalankan Pidana, (Depok: Raih Asia
Sukses, 2012), h., 132.
30
kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana yang sama, putusan itu
dijatuhkan terhadap orang yang sama, perbuatan yang dilakukan
tersangka atau terdakwa sama. Asas ne bis in idem pada ranah hukum
perdata diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata, yang berbunyi:
“Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuataan mutlak tidaklah lebih luas
daripada sekadar mengenai soal putusannya. Untuk
dapat memajukan kekuataan itu, perlulah bahwa soal
yang dituntut adalah sama; lagi pula dimajukan oleh
dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam
hubungan yang sama pula”
Asas ne bis in idem juga digunakan dalam Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi. Mengingat begitu banyak
permohonan yang sama yang diujikan di Mahkamah Konstitusi.
Maka diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan.atau
bagian dalam undang-undang yang telah diuji,
tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikecualikan jika materi muatan dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian
berbeda.
31
BAB III
TINJAUAN UMUM PERBANDINGAN PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR
008/PUU-III/2005 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 85/PUU-XI/2013
A. Tabel Perbandingan
Sebelum peneliti memasuki pembahasan lebih rinci dalam hal
perbandingan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, peneliti akan
membandingkan profil dari kedua putusan tersebut dalam sebuah tabel, yaitu:
Tabel 3.1
Putusan
Mahkamah Konstitusi
Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan
Nomor 008/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
85/PUU-XI/2013
Nomor dan
Tanggal
Pengajuan
Perkara
058/PUU-II/2004
tertanggal 9 Juni 2004
059/PUU-II/2004
tertanggal 1 Juli 2004
060/PUU-II/2004
tertanggal 28 Juli 2004
063/PUU-II/2004
tertanggal 20 Jui 2004
008/PUU-III/2005
tertanggal 24 Februari 2005
85/PUU-XI/2013
tertanggal 23
September 2013
32
Tabel 3.2
Daftar
Pemohon
Pada permohonan:
1. nomor 058/PUU-II/2004:
Munarman
(Ketua Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia
atau YLBHI)
2. nomor 059/PUU-II/2004:
a. Longgena Ginting
(Ketua Yayasan
Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia
(WALHI), dkk,
sebanyak 16 orang.
b. Henry Saragih
(Sekretaris Jenderal
Federasi Serikat Petani
Indonesia)
3. nomor 060/PUU-II/2004:
a. Zumrotun (Petani),
dkk, sebanyak 868
orang.
b. Pdt. Serdy R. Pratastik
4. nomor 063/PUU-II/2004:
Suta Widhya
5. nomor 008/PUU-III/2005:
Suyanto dan P. Siburian, dkk,
sebanyak 2063 orang.
Badan Hukum Privat:
1. Pimpinan Pusat
Muhammadiyah yang
diwakili oleh Ketua
PP Muhammadiyah,
Prof. Dr. H.M. Din
Syamsuddin, M.A.,
2. Al-Jami’yatul
Washiliyah, diwakili
oleh Drs. HA. Aris
Banadji
3. Solidaritas Juru
Parkir, Pedagang
Kaki Lima,
Pengusaha, dan
Karyawan/SOJUPEK
4. Perkumpulan
Vanaprastha, diwakili
oleh Ketua
Umumnya, Gembong
Tawangalun.
Perorangan:
1. Drs. H. Amidhan
2. Marwan Batubara
3. Adhyaksa Dault
4. Laode Ida
5. M. Hatta Taliwang
6. Rachmawati
Soekarnoputri
7. Drs. Fahmi Idris,
M.H
33
Tabel 3.3
Pasal
undang-
undang yang
diujikan
Pada permohonan:
nomor 058/PUU-II/2004:
1. Formil:
Prosedur Persetujuan
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air;
2. Materiil:
Pasal 6 Ayat (3), Pasal 7
Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal
8 Ayat (2) huruf c, Pasal 9
Ayat (1), Pasal 29 Ayat (3),
Ayat (4) dan Ayat (5), Pasal
38 Ayat (2), Pasal 40 Ayat
(1), Ayat (4), dan Ayat (7),
Pasal 45 Ayat (3) dan Ayat
(4), Pasal 46 (2), Pasal 91
dan Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya
Air;
nomor 059/PUU-II/2004:
1. Formil:
Prosedur Pengesahan
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air;
2. Materiil :
Pasal 6 Ayat (2), Ayat (3), dan
Ayat (4), Pasal 7, Pasal 8,
*Pasal 6 Ayat (2) dan
Ayat (3);*
*Pasal 7;*
*Pasal 8;*
*Pasal 9 Ayat (1);*
Pasal 10;
Pasal 11 Ayat (3)
Pasal 26;
*Pasal 29 Ayat (2)
dan Ayat (5);*
Pasal 40 Ayat (4)
*Pasal 45;*
*Pasal 46;*
Pasal 48 Ayat (1);
Pasal 49 Ayat (1);
Pasal 80;
*Pasal 91;*
*Pasal 92*
Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air.
34
Tabel 3.3.2
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 26
Ayat (7), Pasal 40 Ayat (4),
Pasal 41 Ayat (2), Ayat (3),
dan Ayat (5), Pasal 45 Ayat
(2) dan Ayat (3), Pasal 46
Ayat (1), Pasal 80 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya
Air;
nomor 060-PUU/II/2004:
1. Formil:
Prosedur Pengesahan
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
2. Materiil:
Pasal 5, Pasal 6 Ayat (4),
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 26 Ayat (7),
Pasal 40 Ayat (4), Pasal 41
Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat
(5), Pasal 45 Ayat (2) dan
Ayat (3), Pasal 46 Ayat (1),
Pasal 80,
nomor 063/PUU-II/2004:
1. Formil:
Prosedur Persetujuan DPR
RI terhadap Rancangan
Undang-Undang Sumber
Daya Air menjadi Undang-
35
Tabel 3.3.3
Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya
Air
2.Materiil:
Pasal 9, Pasal 26 Ayat (7),
Pasal 45, dan Pasal 46 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
nomor 008/PUU-III/2005:
Materiil:
Pasal 6 Ayat (2) dan Ayat (3),
Pasal 7, Pasal 8 Ayat (1) dan
Ayat (2), Pasal 9 Ayat (1),
Pasal 11 Ayat (3), Pasal 29
Ayat (3), Pasal 38, Pasal 39,
Pasal 40 Ayat (4), dan Pasal
49.
Batu uji
dalam
Undang-
undang
Dasar (UUD)
Negara
Republik
Indonesia
Tahun 1945
Pasal 18B Ayat (2)
Pasal 27;
Pasal 28A;
Pasal 28C Ayat (2);
Pasal 28D Ayat (1);
Pasal 28H Ayat (1) dan
Ayat (2)
Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3),
dan Ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945.
Pasal 18B Ayat (2);
Pasal 28C Ayat (2);
Pasal 28D Ayat (1);
Pasal 28H Ayat (1);
Pasal 28I Ayat (4);
Pasal 33 Ayat (2) dan
Ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
36
Tabel 3.4
Amar
Putusan
Menolak Permohonan
Pemohon
Menerima Permohonan
Pemohon dan
Menghidupkan Kembali
Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1974 Tentang
Pengairan
B. Perbandingan Berdasarkan Legal Standing atau Kedudukan Hukum
Pemohon
Perbandingan Legal Standing atau Kedudukan Hukum Pemohon
pada Permohonan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 dengan Nomor 85/PUU-XI/2013, antara lain:
A. Pada permohonan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005, para pemohon berasal dari Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Yayasan Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI), Federasi Serikat Petani Indonesia, Petani,
masyarakat hukum adat dan seorang Pendeta. Para pemohon pada
pengujian tahun 2004-2005 ini berasal dari beberapa organisasi yang
berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang
penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup, memperjuangkan hak-
hak asasi masyarakat kecil, perjuangan petani, sedangkan pada
permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 permohon terdiri dari badan
hukum privat dan perorangan Warga Negara Indonesia yang mewakili
lapisan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat hukum adat yang
dilanggar hak asasinya. Permohonan ini telah sesuai dengan Pasal 51
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
dan tidak ne bis in idem karena pemohon pada kedua permohonan ini
berbeda. Berikut pemohon dari badan hukum privat, sebagai berikut:
37
a. Pimpinan Pusat Muhammadiyah; disebut Pemohon I
Sebagaimana kita ketahui Muhammadiyah merupakan
gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’rut Nahi Munkar, beraqidah
Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan
bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang
diridhai oleh Allah S.W.T., untuk melaksanakan fungsi misi
manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Muhammadiyah pada kesempatan ini mengambil langkah untuk
turut memperjuangkan hak-hak rakyat di bidang air, karena air
merupakan rahmat dari Allah S.W.T yang tidak dapat dibatasi
dalam ruang gerak rakyat memperoleh hak atas air, bahkan yang
disebabkan oleh perusahaan swasta.
b. Al Jami’yatul Washiliyah; disebut Pemohon II
c. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan
Karyawan (SOJUPEK); disebut Pemohon III
d. Perkumpulan Vanaprastha atau perkumpulan pecinta alam; disebut
Pemohon IV,
Dari keempat badan hukum privat di atas, Mahkamah hanya
menerima legal standing dari ketiga bahan hukum privat tersebut yaitu
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al Jami’yatul Washiliyah, dan
Perkumpulan Vanaprastha. Sedangkan Solidaritas Juru Parkir,
Pedagang Kaki Lima, Pengusaham dan Karyawan (SOJUPEK). tidak
memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Solidaritas Juru Parkir,
Pedagang Kaki Lima, Pengusaham dan Karyawan (SOJUPEK) tidak
membuktikan keberadaannya sebagai badan hukum privat karena tidak
menyerahkan alat bukti. Sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon
III tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk
mengajukan permohonan a quo.
B. Nomor 008/PUU-III/2005 memohon pengujian konstitusionalitas secara
formil dan materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air. Pengujian formil terletak dan mendalilkan prosedur
38
pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air yang bertentangan dengan Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 Ayat (2) huruf
a dan Ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR,dan DPRD, dan Keputusan DPR RI Nomor
03A/DPR RI/2001-2002 Tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI,
sehingga para pemohon menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air adalah cacat hukum. Lalu pada pengujian
materiil terdapat 19 Pasal yaitu Pasal 6 Ayat (3); Pasal 7 Ayat (1), dan
Ayat (2); Pasal 8 Ayat (2) huruf c; Pasal 9 Ayat (1); Pasal 11 Ayat (3);
Pasal 29 Ayat (3), Ayat (4); dan Ayat (5); Pasal 38 Ayat (2); Pasal 40
Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (7); Pasal 45 Ayat (3),dan Ayat (4); Pasal
46 Ayat (2); Pasal 91; Pasal 92 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang
bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2),
dan Ayat (3); Pasal 28A; Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal
28H Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada permohonan nomor 85/PUU-XI/2013, secara keseluruhan atau
setidak-tidaknya para permohon menguji Pasal 6 Ayat (1), Ayat (2),
Ayat (3), dan Ayat (4); Pasal 9 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3); Pasal
10; Pasal 26 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6),
dan Ayat (7); Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (5); Pasal 45 Ayat (1), Ayat
(2), Ayat (3), dan Ayat (4); Pasal 46 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat
(4); Pasal 48 Ayat (1), Pasal 49 Ayat (1); Pasal 80 Ayat (1), Ayat (2),
Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7); Pasal 91; serta
Pasal 92 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
39
C. Perbandingan Berdasarkan Alasan Permohonan Pemohon
Perbandingan Alasan Permohonan Pemohon pada Perkara Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Nomor
85/PUU-XI/2013. Di satu sisi alasan terkuat pengujian kembali Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air adalah penafsiran
mengenai undang-undang a quo telah diselewenangkan secara normatif dan
berdampak dalam teknis dan pelaksanaan undang-undang a quo. Di sisi lain,
pertama, terdapat beberapa pasal yang sama yang diujikan kembali pada
pengujian yang kedua, untuk mengetahui lebih lanjut alasan permohonan
pemohon. Maka kesempatan kali ini peneliti akan memaparkan perbedaan
alasan-alasan permohonan para pemohon pada kedua pengujian undang-
undang a quo terhadap pasal-pasal yang sama. Kedua, peneliti juga akan
memaparkan pasal-pasal yang memiliki alasan permohonan sama. Ketiga,
pada pengujian kedua nomor 85/PUU-XI/2013 pasal jantung yang
membuktikan bahwa undang-undang a quo bertentangan dengan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:
1. Perbedaan alasan-alasan permohonan para pemohon pada kedua
pengujian undang-undang a quo terhadap pasal-pasal yang sama, yaitu:
a. Pada permohonan perkara nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan nomor 008/PUU-III/2005 para pemohon menguji salah satunya
Pasal 6 Ayat (3) undang-undang a quo yang menyatakan hak
ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air diakui
sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan
peraturan daerah setempat. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal
18B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,
“….. sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-
undang”, dan sampai saat ini undang-undang yang mengatur akan
masyarakat hukum adat, sehingga jelas menyalahi hirarki dan
bertentangan dengan asas aturan peraturan perundang-undangan,
bahwa hukum yang di bawah tidak boleh lebih bertentangan
40
dengan peraturan yang lebih tinggi. Ketika Pasal 6 Ayat (3) ini
tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka pada
permohonan berikutnya yakni nomor 85/PUU-XI/2013
mengajukan kembali uji materiil Pasal 6 bukan hanya pada ayat (3)
tapi seluruh ayat dalam Pasal 6 yakni Ayat (1), Ayat (2), (3), dan
Ayat (4) dan menunjukkan bahwa keberadaan pasal ini benar-benar
merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.
b. Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) merupakan salah satu pasal yang
bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang anti
penjajahan, yang mengutamakan persatuan dan kedaulatan,
kemakmuran rakyat dan mengutamakan demokrasi ekonomi.
Percepatan penyelesaian Rancangan Undang-undang Sumber Daya
Air terkait dengan Program Water Resources Sector Adjustment
Loan (WATSAL) dari Bank Dunia. Program Watsal merupakan
bagian dari paket utang dari Bank Dunia yang bernilai US $300
juta. Perjanjian utang ditandatangani 28 Mei 1999. Namun
pencairan utang yang sudah memasuki tahap ketiga ini tertunda
dari jadwal semula yaitu Maret 2000. Pasalnya, Bank Dunia
mensyaratkan agar Indonesia segera menuntaskan reformasi di
bidang pengelolaan sumber daya air. Bahwa secara keseluruhan
UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air merupakan
ancaman bagi negara, ancaman bagi kemerdekaan karena terbukti
disetujui oleh DPR RI dan disahkan Presiden Republik Indonesia
karena tekanan pihak asing, sedangkan pada permohonan perkara
nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-
III/2005 para pemohon selain menguji Pasal 6, juga menguji Pasal
7 undang-undang a quo. Para pemohon memberikan alasan kenapa
menguji Pasal 7, pengujian pada Pasal 7 undang karena instrument
hak guna pakai menetapkan batasan penggunaan air bagi
kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat. Batasan
ini mengakibatkan bentuk dan jumlah aktivitas penggunaan air oleh
41
masyarakat lebih sempit disbanding sebelum adanya undang-
undang a quo, dan aktivitas oleh masyarakat di luar batasan
tersebut dan pengusahaan swasta, dikategorikan sebagai aktivitas
komersil dan dituntut untuk mendapatkan izin hak guna usaha, dan
penggunaan air dalam hak guna usaha dikenakan biaya. Semakin
sempitnya bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat
dalam kategori non usaha, maka semakin besar ketersediaan air
untuk pengunaan usaha komersial.
c. Permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor
008/PUU-III/2005 para pemohon menguji Pasal 8 namun hanya
Ayat (2) huruf c saja. Para pemohon mendalilkan yang pada pokok
permasalahannya sama seperti Pasal 7, sempitnya bentuk dan
volume air batasan dalam undang-udang a quo, maka alokasi air
bagi kepentingan komersial akan semakin besar. Dengan demikian
sumber air akan terkonsentrasi kepada sekelompok pemilik modal
dengan tujuan komersial. Sehingga upaya masyarakat untuk
meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidupnya terhambat
dengan adanya batasan tersebut, sedangkan pada permohonan
nomor 85/PUU-XI/2013 selain melihat pasal 8 juga melihat
penjelasan pasal 8 tersebut undang-undang a quo secara
fundamental merekonstruksi nilai air yang merupakan barang
publik (common good) menjadi komoditas ekonomi (commercial
good) yang dapat dikuasai individu dan badan usaha. Hak guna
pakai yang menjadi instrument dasar undang-undang a quo ini
mengadopsi instrument “water rights” dalam kebijakan sektor air
Bank Dunia dan menjadi landasan diberlakukannya komersialisasi
air.
d. Alasan permohonan para pemohon pada permohonan nomor 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 Pasal 9
Ayat (1) menyebutkan hak guna usaha air dapat diberikan kepada
perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau
42
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, jelas terlihat
privatisasi dan komersialisasi terhadap air. Pengaturan izin untuk
hak guna usaha yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka
kedepannya swasta memiliki peluang untuk menguasai sumber-
sumber air milik bersama masyarakat. Proses perizinan merupakan
hanya sebagai wujud formalitas semata yang mana akan menjadi
hambatan bagi masyarakat untuk menggunakan dan mengusahakan
sumber air yang sebelumnya menjadi milik bersama1, sedangkan
pada permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 pasal 9 undang-undang
a quo selain keterlibatan pihak swasta dalam proses pengelolaan
sumber daya air, juga tidak terlepas dari pergeseran makna air yang
sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas
yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya
berorientasi mencari keuntungan. Dalam hal ini Pemohon
menunjukkan pergeseran makna ini terdapat pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan, “…
fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat” dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air, “…. fungsi sosial, lingkungan hidup,
dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara
selaras”. Pergeseran makna ini dapat dilihat juga dalam
pengaturan tentang hak guna usaha air yang secara terang-
terangan memberikan peluang hak pengelolaan atas air kepada
swasta.
e. Pada permohonan 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor
008/PUU-III/2005 para pemohon memiliki alasan Pasal 29
menderogasi dan melimitasi hak warga negara untuk bermata
pencaharian dibidang pertanian dibidang pertanian termasuk
mengusahakan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
1 Vide Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004,
dan nomor 008/PUU-III/2005, hal., 59.
43
peternakan dan perikanan. Kata sistem irigasi yang sudah ada
memang menjadi prioritas. Namun dimuatnya kata “sistem irigasi
yang sudah ada” dapat menyebabkan usaha pertanian masyarakat
yang sedang dilakukan setelah keberlakukan undang-undang a quo
ini tidak menjadi prioritas. Akibatnya bidang pertanian dapat mati,
karena tidak mendapatkan sumber daya air yang diperlukan. Maka
dari itu, Pasal 29 Ayat (3) undang-undang a quo bertentangan
dengan Pasal 27 Ayat (3) UUD Tahun 1945. Pada permohonan
nomor 85/PUU-XI/2013 para pemohon menyatakan Pasal 29
secara keseluruhan bertentangan dengan jiwa dan semangat
pembukaan UUD Tahun 1945 karena memicu dan berpotensi
menyebabkan konflik antara Pemerintah inter-alia konflik
masyarakat. Pasal 29 Ayat (4) dan Ayat (5) mempunyai implikasi
jika suatu saat urutan prioritas diubah dan hal ini berpengaruh juga
pada perseorangan dan/atau badan hukum yang telah diberikan hak
guna usaha atas air. Pemerintah wajib memberikan kompensasi,
sedangkan kompensasi dari Pemerintah berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang sumber
pendapatannya diantaranya berasal dari uang masyarakat. Maka
dari itu, Pasal 29 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air merugikan masyarakat apabila terdapat
kasus Pemerintah memberikan kompensasi kepada perorangan
dan/atau badan hukum privat/swasta.
f. Permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor
008/PUU-III/2005, Pasal 38 Ayat (2) berbunyi: “badan usaha dan
perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan
teknologi modifikasi cuaca” para pemohon mengatakan pasal 38
Ayat (2) undang-undang a quo bertentangan dengan jiwa dan
semangat pembukaan UUD Tahun 1945 karena memicu dan
berpotensi menyebabkan konflik antara Pemerintah inter-alia
konflik masyarakat. Artinya, wilayah yang kaya akan air akan
44
menganggap, air adalah potensi yang bisa dimanfaatkan sehingga
untuk kepentingan bisnis tidak mau memberikan air ke daerah yang
telah membutuhkan, juga terkait jaminan bahwa hujan yang
diturunkan melalui teknologi cuaca dengan pasti akan jatuh tepat
sasaran yang direncanakan, sedangkan dalam permohonan nomor
85/PUU-XI/2013 pemohon tidak mencantumkan pasal 38 Ayat (2),
namun ahli dari pemohon memberikan pertanyaan penegasan akan
tanggung jawab Negara terkait pasal tersebut. Ahli dari pemohon
yaitu Suteki mengatakan: “apakah jika pemerintah telah
memberikan izin lalu hujan buatan dapat dilakukan oleh swasta.
Jika terjadi kesalahan hujan, siapa pihak ya.ng bertanggung
jawab?”. Seharusnya pengelolaan air bersifat integrated. Persoalan
sumber daya air jangan hanya menjadi urusan PU semata2
g. Pasal 45 berbunyi: “…. Pengusahaan sumber daya air … dapat
dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar
badan usaha….”, dan Ayat (4) menyatakan “Pengusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk: (a)
pengunaan air pada suatu lokasi tertentu … (b) pemanfaatan
wadah air pada suatu lokasi tertentu …. (c) pemanfaatan daya air
pada suatu lokasi tertentu …” pada permohonan nomor 058-059-
060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 para
permohon memiliki alasan permohonan dengan melihat penjelasan
pasal 45 Ayat (3) yaitu pasal tersebut mendorong meningkatnya
peran swasta dalam pengelolaan air dan pada saat yang bersamaan
mengurangi peran Negara. Pengelolaan air oleh swasta menurut
undang-undang a quo ini dapat dilakukan dalam berbagai aspek,
antara lain penyelenggaraan sistem air minum, pengelolaan sumber
air, dan penyediaan air baku bagi irigasi pertanian. Walaupun
dalam pasal per pasal undang-undang a quo tidak menggunakan
2 Vide Putusan Mahkanah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 , hal., 40.
45
kata “privatisasi”, namun pelibatan swasta dalam berbagai bentuk
dan tahap pengelolaan air menunjukkan adanya agenda privatisasi
dalam undang-undang a quo, sedangkan permohonan nomor
85/PUU-XI/2013 para pemohon mengkhawatirkan pasal 45 Ayat
(3) undang-undang a quo akan menimbulkan pelepasan tanggung
jawab Negara atas pemenuhan hak atas air dari rakyatnya. Dengan
kata lain tanggung jawab Negara akan diemban atau dikontrol
pada orang-orang ataupun badan usaha, baik badan usaha swasta
nasional maupun asing, artinya profit oriented akan menjadi tujuan
utama pihak-pihak tersebut, bukan untuk pemenuhan hak-hak
dasar. Pengusahaan sumber daya air sejatinya menjadi tugas
Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan dapat melihat
pernyataan-pernyataan founding fathers yang terlibat dalam
penyusunan teks UUD Tahun 1945, yaitu Prof. Dr. Mr. Soepomo,
“…… termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan
terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi …
“, selanjutnya “… Pemerintah membangun dari atas,
melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik,
persediaan air minum, … , menyelenggarakan berbagai macam
produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Apa yang
disebut dalam bahasa Inggris “public utilities” diusahakan oleh
Pemerintah. Milik perusahaan besar tersebut sebaik-baiknya
ditangan Pemerintah…..”.
Keputusan Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang
disetujui oleh Dr. Mohammad Hatta, menyatakan: “kekayaan bumi,
air, udara dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan demikian pula cabang-cabang produksi yang menguasai hajat
hidup rakyat banyak harus dikuasai mutlak oleh Negara”. Dengan
ini Pasal 45 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 bertentangan
dengan jiwa dan semangat Pasal 33 Ayat (3) UUD Tahun 1945.
46
h. Pada permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
nomor 008/PUU-III/2005 terhadap 46 Ayat (2), para pemohon
mengatakan sumber air milik bersama masyarakat dan diperoleh
secara bebas dapat diambil alih oleh swasta (individu dan badan
usaha) dengan adanya izin hak guna usaha ini merupakan
diskriminasi formalitas perizinan dan menciptakan monopoli
penguasaan sumber air oleh swasta dan kelompok yang mampu
memperoleh izin hak guna air terhadap kelompok masyarakat yang
selama ini menggunakan air secara bersama-sama yang tergolong
tidak mampu, sedangkan pada permohonan nomor 85/PUU-
XI/2013 pemohon memiliki alasan yaitu Pasal 46 undang-undang a
quo ini berbunyi “Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air
pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan
usaha atau perseorangan”, memberikan ruang seluas-luasnya bagi
badan usaha dan individu untuk menguasai sumber daya air melalui
izin hak guna usaha.
2. Persamaan alasan permohonan antara permohonan nomor 058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan
Nomor 85/PUU-XI/2013 juga ditemukan, yaitu:
a. Pasal 91
Alasan Permohonan pada permohonan nomor 058-059-060-
063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 dengan
permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 para pemohon mengatakan
Pasal 91 undang-undang a quo telah menderogasi dan melimitasi
hak setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya,
bertentangan dengan ketentuan UUD Tahun 1945 yang menjamin
setiap orang dan secara kolektif mempertahankan hak-hak asasinya,
bertentangan dengan jaminan kemerdekaan pikiran dan hati nurani
setiap warga negara, serta bertentangan dengan jaminan hak setiap
orang untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi dengan
47
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, termasuk saluran
peradilan, dengan mengajukan gugatan,
b. Pasal 92
Alasan permohonan pemohon pada permohonan nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005
dengan permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 terkait pasal 92, para
pemohon mengatakan pencantuman kata “organisasi yang bergerak
pada bidang sumber daya air” telah melanggar prinsip paling pokok
dalam penegakan hukum yakni pengakuan dan jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang
sama didepan hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945
inter-alia ketentuan Pasal 92 ayat (1) undang-undang a quo
merupakan pasal yang diskriminatif. Karenanya Pasal 92 ayat (1)
UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bertentangan
dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
3. Selain pasal-pasal di atas, terdapat juga beberapa pasal baru yang
diujikan oleh Pemohon pada permohonan perkara nomor 85/PUU-
XI/2013, alasan permohonan sebagai berikut:
a. Pasal 11 Ayat (3), pola pengelolaan sumber daya air dilakukan
dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.
b. Pasal 40 Ayat (4), koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat
dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem
penyediaan air minum
Pasal ini telah menjustifikasi bahwa swasta dapat berperan
dalam pengelolaan sumber daya air yang semakin menegaskan
rangkaian pasal-pasal yang memandang air adalah komoditas ekonomi.
Air sebagai sumber daya milik bersama, dewasa ini seringkali tidak
dikelola secara bersama adalah sebuah kenyataan. Demikian pula
tanggung jawab atasnya tidak dipikul bersama-sama. Hal ini dijadikan
pintu masuk yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pengelolaan
dan penyediaan air seringkali merasa tidak memiliki sumber daya yang
48
cukup untuk mengelola, menyediakan air, maka jalan privatisasilah
yang biasanya dipilih.
Privatisasi dan/atau komersialisasi sumber daya air akan
mendorong kenaikan tarif, terjadinya korupsi, melemahkan kontrol
sosial, dan hak-hak publik, serta menyebabkan pemborosan apabila
dibandingkan dengan pembiayaan oleh negara.
Undang-undang a quo membatasi peran negara semata
sebagai pembuat dan pengawas regulasi atau regulator yang akan
kehilangan kontrol setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan
terjaminnya keselamatan dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna
air terkhususnya bagi kelompok-kelompok tidak mampu dan rentan
dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau.
49
BAB IV
DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI
SUMBER DAYA AIR
A. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menolak
Pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor
008/PUU-III/2005 perihal pengujian formil dan materiil Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, majelis hakim konstitusi
memiliki pertimbangan hukum sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan hukum akan Pasal 6 Ayat (3) undang-
undang a quo adalah keberadaan hukum adat telah dijamin haknya dalam
Pasal 18B Ayat (2) UUD Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat
bahwasanya Pasal 6 Ayat (2) dinilai justru untuk menjamin hak masyarakat
hukum adat atas sumber daya air. Terkait pengukuhan dengan peraturan
daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif
belaka. Adanya kekhawatiran bahwa penguasaan sumber air oleh masyarakat
hukum adat akan diambilalih oleh perusahaan swasta tidak akan terjadi.
Kedua, Pasal 8 Ayat (2) huruf c dan Pasal 29 Ayat (3) pertimbangan
hukum Mahkamah terhadap kedua pasal tersebut, Mahkamah mengatakan
dalam memenuhi kebutuhan air kepada masyarakat luas, harus diatur jumlah
volume standar atau universal yang boleh digunakan oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini dilakukan karena seseorang
tidak dapat mendasarkan pada hak asasi atas air tanpa batas, yang mana justru
akan merugikan hak asasi orang lain. Hak guna pakai air yang dirumuskan
dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih bersifat penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi atas air.1 Mahkamah juga berpendapat
dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, tidaklah cukup
dengan menggunakan sumber air yang diperoleh langsung dari sumber air,
1 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 h., 491.
50
tetapi juga menggantungkan pada saluran distribusi. Maka kewajiban
Pemerintah untuk memenuhi hak atas air di luar hak pakai air telah tercermin
salah satunya dalam Pasal 29.2
Ketiga, pertimbangan hukum Mahkamah menolak Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 45, dan Pasal 46 undang-undang a quo diantaranya, (1) menurut
Mahkamah hak guna air mempunyai dua sifat yaitu bersifat in persona dan
hak guna usaha air. Hak in persona sebagai pencerminan dari hak asas, oleh
karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang tidak
terpisahkan. (2) hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari
izin maka terikat kaidah-kaidah perizinan, ketentuan persyaratan perizinan di
dalamnya, dan tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke
tangan swasta. Hak guna usaha air merupakan instrument dalam sistem
perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume
air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak, pun sumber daya
air tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari secara
langsung, akan tetapi dalam fungsi sekundernya dibutuhkan untuk memenuhi
kegiatan industri baik industri kecil, menengah maupun besar yang dilakukan
oleh non Pemerintah. Sebagai unit kegiatan ekonomi penting bagi usaha
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
B. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menerima dan Menghidupkan
Kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
Sebelum memasuki pertimbangan-pertimbangan hakim konstitusi
yang menerima permohonan pemohon, peneliti akan membahas mengapa
para pemohon dinyatakan oleh Mahkamah memiliki legal standing atau
kedudukan hukum pada pengujian kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air diterima atau dinyatakan tidak ne bis
in idem oleh Mahkamah Konstitusi.
2 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-
II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005, h., 491-492.
51
Asas ne bis in idem selain digunakan dalam peradilan biasa juga
digunakan dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Mengingat begitu
banyak permohonan yang sama yang diujikan di Mahkamah Konstitusi.
Maka diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, berbunyi:
(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan.atau bagian
dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
dijadikan dasar pengujian berbeda.
Slike Brammer mengungkapkan adanya rasionalitas ekonomi di
balik asas nebis in idem yakni agar membantu terjaminnya efisiensi
penegakan hukum itu sendiri. Ne bis in idem dalam pengujian undang-undang
di Mahkmah Konstitusin Dapat dikatakan Ne bis in idem jika dalam
pengujian undang-undang terdapat hal seperti:
1. Dasar pengujian sama atau materi muatan ayat, pasal yang diujikan
sama walaupun dengan pemohon yang berbeda seperti pengujian
sebelumnya3;
2. Alasan-alasan para Pemohon sama dengan permohonan sebelumnya;4
Namun dalam perkembangan hukum di Mahkamah Konstitusi
dalam kurun waktu 2003 – 2018 tercatat sebanyak 1187 putusan pengujian
undang-undang yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari 258
putusan menyatakan mengabulkan, 420 putusan menyatakan menolak 389
putusan menyatakan tidak dapat diterima, dan 120 putusan menyatakan
permohonan ditarik kembali.5 Banyaknya pengujian undang-undang yang
3 Pan Mohamad Faiz, lihat pada Ruang Konstitusi di Majalah Konstitusi Nomor
144, Februari 2019, h., 74.
4 Lihat pada Perkara Nomor 24/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dinyatakan ne bis in idem oleh Mahkamah
Konstitusi karena alasan para Pemohon sama dengan permohonan sebelumnya yakni pada
Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, h., 40.
5 https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU diakses 24 September 2019
pukul 15.33 WIB.
52
dikabulkan oleh Mahkamah, menunjukkan bahwa produk hukum yang
dilahirkan masih cacat ideologis. Pengujan undang-undang merupakan salah
satu wujud dari adanya check and balances antar lembaga negara dan
menjadi sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang sehingga tidak
merugikan masyarakat.
Hal ini terbukti juga pada pengujian Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, meskipun harus melakukan
pengujian ulang karena pemerintah tidak menjalankan kewajibannya dalam
peran penguasaan sumber daya air sebagaimana telah diamanatkan Pasal 33
Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk lebih jelas, peneliti melihat alasan hukum Mahkamah
Konstitusi mengabulkan pengujian kembali undang-undang a quo dan
menyatakan tidak ne bis in idem, sebagai berikut:
“Menimbang bahwa dengan adanya ketentuan tersebut di atas
Mahkamah berpendapat, UU SDA telah cukup memberikan
kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi
dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya
Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang
telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan
dasar atau alasan putusan. Sehingga, apabila undang-undang a
quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana
termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap
undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan
kembali (conditionally constitutional)” (Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005 hal., 495.)
Alasan hukum Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian kembali pada
Undang-Udang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terletak
pada konstitusional bersyarat yang diberikan sendiri oleh Mahkamah
Konstitusi pada undang-undang tersebut. Pada putusan pertama Mahkamah
Konstitusi mendalilkan bahwasanya apabila undang-undang a quo dalam
pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam
pertimbangan Mahkamah di atas, maka undang-undang a quo tidak tertutup
kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally
constitutional).
53
Adanya re-judicial review tersebut mengindifikasikan bahwasanya
aturan pelaksana dari undang-undang sumber daya air dianggap telah
ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana yang ditentukan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Berikut salah satu alasan permohonan pemohon pada pengujian
kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
yang merupakan bukti bahwa Pemerintah menafsirkan lain dari tafsir
Mahkamah:
“Bahwa pengembangan SPAM seperti pada PP Nomor
16 Tahun 2005 yang merupakan implementasi Pasal 40
Undang-Undang a quo adalah merupakan swastanisasi
terselubung dan pengingkaran penafsiran konstitusional
Mahkamah terhadap Undang-Undang a quo. Dengan
kondisi yang demikian ini maka melahirkan secara
sempurna telah melahirkan mindset pengelola air yang
selalu profit-oriented dan akan mengusahakan
keuntungan maksimum bagi para pemegang saham
sehingga public service di luar pengabdiannya karena
bukan orientasi prinsipal dan watak dasarnya. Keadaan
ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang
telah mengamanahkan penguasaan sebesar- besarnya
bagi kemakmuran rakyat.”
Setelah dinyatakan tidak ne bis in idem dan para pemohon memiliki
legal standing atau kedudukan hukum. Maka selanjutkan peneliti akan
memaparkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutus pengujian
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sebagai
berikut:
Pertama, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air, berbunyi: “hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber
daya air tetap diakui sepanjang kenyataan masih ada dan telah dikukuhkan
dengan peraturan daerah setempat”, Mahkamah berpendapat selain
bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga sampai
saat ini undang-undang yang mengatur akan masyarakat hukum adat belum
54
ada, sehingga jelas menyalahi hirarki dan bertentangan dengan asas peraturan
perundang-undangan6 dan merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.
Kedua, “hak guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi
prioritas pertanian rakyat bagi yang berada di dalam sistem irigasi.”7 Jika
melihat lebih lanjut pada penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air, hak guna pakai hanya dinikmati oleh
mereka yang mengambil dari sumber air dan bukannya dari saluran distribusi
atas dasar konstruksi yang dikehendaki oleh undang-undang a quo tersebut.
Maka pada Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah berpendapat
pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan
untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air,
sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian
rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air. Namun jika dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-sehari menggantungkan pada saluran distribusi,
maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam
pengembangan sistem penyediaan air minum dan harus menjadi prioritas
program Pemerintah dan Pemerintah Daerah.8
Ketiga, dalam Pasal 7, Pasal 9, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang secara garis
besar berbunyi: ”hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan usaha
dengan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan
kewenanangnya”. Mahkamah berpendapat konsep hak guna usaha air
haruslah dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum, ditafsirkan
sebagai turunan (derrative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD Tahun
1945, dan berjalan dengan konsep res communen yang tidak boleh menjadi
6 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010), h., 117.
7 Vide Pasal 8 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air.
8 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, h., 141.
55
harga ekonomi. Oleh karena itu, pemanfaatan air di luar hak guna pakai air
yakni hak guna usaha air, harus melalui permohonan izin kepada Pemerintah9
serta memberikan pembatasan yang sangat ketat dalam pengusahaan sumber
daya air, antara lain setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,
mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena sejatinya
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus
dikuasai oleh negara, juga diperuntukkan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.10
Faktor yang mempengaruhi adanya disparitas dari putusan
Mahkamah Konstitusi pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan putusan nomor 85/PUU-XI/2013,
diantaranya:
1. Faktor Sosiologis
Mengutip keterangan Ahli Pemohon yaitu Salamuddin Daeng
dalam agenda mendengarkaan keterangan DPR, Ahli/Saksi Pemohon
dan Pemerintah, Rabu, 29 Januari 2014 yang menjadi faktor sosiologis
pertimbangan majelis hakim konstitusi: Indonesia merupakan salah satu
negara dengan potensi hutan terluas di dunia setelah Brazil yang
menyimpan cadangan air yang sangat besar. Indonesia memiliki
kekayaan air berlimpah, namun air baru dimanfaatkan sekitar 23% dari
penyediaan air baku, air irigasi, dan kebutuhan rumah tangga,
perkotaan, dan industri. Selain itu kebutuhan air untuk lahan irigasi
seluas 7,2 juta hektare baru sekitar 11% yang terlayani.
Tingginya ongkos produksi pertanian disebabkan oleh
kerusakan infrastruktur pengairan yang buruk, biaya sarana produksi
yang tinggi, serta risiko pertanian yang besar akibat bencana alam,
kekeringan, dan perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan sebagian besar
9 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hal., 142.
10 Vide Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan hal., 138 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.
56
rakyat yaitu petani berpendapatan rendah semakin dimiskinkan. Dewasa
ini, petani diharuskan membayar mahal untuk dapat memenuhi
kebutuhan irigasi mereka, mengingat irigasi memegang sebanyak 80%
daripada penggunaan sumber daya air di Indonesia.
Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat
mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan nilai dan
fungsi sosialnya. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan konflik
kepentingan antarsektor, antarwilayah, dan tentunya berbagai pihak
yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber
daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung
memihak kepada pemilik modal dan dapat mengabaikan fungsi sosial
sumber daya air. Berdasarkan kondisi air seperti itu seharusnya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air lebih
melindungi kepentingan masyarakat luas terutama masyarakat
berekonomi lemah.11
2. Faktor Sosial Politis
World Bank sesuai dengan penugasan IMF karena IMF
menyatakan secara khusus bahwa menyangkut air akan ditugaskan
kepada World Bank bergerak lebih jauh melalui project manajemen
sumber daya air sebagaimana yang dikatakan oleh Ahli sebelumnya dan
yang telah ditandatangani pada bulan April tahun 1998 untuk
mendorong komersialisasi dan privatisasi air di Indonesia. Selanjutnya,
komersialisasi dan privatisasi air tersebut dituangkan secara jelas di
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air yang merupakan bagian dari pelaksanaan pinjaman US$150 juta
dari Bank Dunia sebagai persyaratan dari total pinjaman secara
keseluruhan US$300 juta untuk program restrukturisasi air. Jadi jelas
11
Vide pada Risalah 18 Februari 2015 Tentang Pembacaan Putusan dan Penetapan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, h., 14.
https://mkri.id/index.php?page=web.RisalahSidang&id=396&kat=1&cari=2 diakses
tertanggal 18 September 2019 pukul 14.37 WIB.
57
bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air itu adalah merupakan bagian dari project Bank Dunia untuk
restrukturisasi air di Indonesia.
Pada putusan pertama, Mahkamah menyatakan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bersifat
conditionally constitutional. Artinya, Mahkamah berpendapat bahwa
undang-undang a quo dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945
apabila pelaksanaannya sejalan dengan penafsiran Mahkamah atas
ketentuan yang ada di dalamnya. Penafsiran Mahkamah sebetulnya
telah menyelamatkan undang-undang quo dari maksud aslinya yang
mana hendak mengakomodasi beberapa kepentingan Bank Dunia dalam
reformasi sektor sumber daya air. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
program WATSAL ataupun Keputusan Menteri Koordinator
Perekonomian Nomor KEP-14/M.EKON/12/2012 Tahun 2001.
3. Faktor Yuridis
Strategi pengelolaan air dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air tampak jelas ditujukan untuk
memfasilitasi sektor bisnis. Terdapat tiga kata kunci di dalam undang-
undang a quo yang menunjukkan upaya komersialisasi dan privatisasi.
Pertama adalah kata pengelolaan air. Kedua, kata keterlibatan swasta
dan masyarakat. Ketiga, kata hak guna air.
Dalam bagian menimbang Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 Tentang Sumber Daya Air poin b dikatakan:
“bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara
penyediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan
air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib
dikelola dengan memerhatikan fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi secara selaras.”
Selanjutnya dalam poin d berbunyi:
“bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi,
desentralisasi, keterbukaan, dan tatanan kehidupan
58
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat
perlu peran dalam pengelolaan sumber daya air.”
Jadi yang lebih harus diutamakan adalah peran masyarakat dalam ikut
andil pengelolaan air, bukan malah persoalan bagaimana rakyat
menerima haknya atas air. sehingga kedua poin tersebut membuka
peluang masyarakat yang seringkali disalahartikan sebagai “sektor
swasta” untuk melakukan pengelolaan air untuk kepentingan ekonomi
semata.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal ditetapkan berbagai macam hak penguasaan
tanah dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai
yang sifatnya sama dengan hak guna air, juga memberikan dasar
penetapan sektor yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal
asing. Hal ini semakin menunjukkan komersialisasi kekayaan alam
Indonesia melalui penanaman modal.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup
dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal. Di dalam daftar ini pemerintah telah menetapkan
bahwa penguasaan air minum dapat dikuasai hingga 95% oleh
penanaman modal asing dan usaha di bidang pertanian yang tentunya
hal ini berkaitan erat dengan air.
Faktor yang lainnya juga dapat ditemukan dalam
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum khususnya dengan
adanya aturan-aturan mengenai penetapan biaya jasa pengelolaan
sumber daya air (full cost recovery), dan Pasal 37 Ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 berbunyi “dalam hal BUMN atau
59
BUMD sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) tidak dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan SPAM di wilayah
pelayanannya, BUMN atau BUMD atas persetujuan dewan pengawas
atau komisaris dapat mengikutsertakan koperasi, badan usaha swasta
dan atau masyarakat dalam penyelenggaraan di wilayah pelayanannya.
Di lain sisi juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 2008 Tentang Irigasi, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 2013 Tentang Rawa memperlihatkan bahwa pemerintah ingin
melepaskan diri dari tanggung jawab secara mutlak terhadap
penyediaan air minum untuk rakyatnya dengan memberikan ruang luas
kepada swasta dalam pengelolaan air minum dengan membangun
kemitraan dengan swasta dan dalam pengembangan penyediaan air
minum. Hal ini sekali lagi tentu akan mengubah makna air yang
sebelumnya barang publik yang pemenuhannya merupakan kewajiban
Pemerintah menjadi air sebagai komoditas ekonomi dimana hanya
orang-orang tertentulah yang dapat mengaksesnya. Dengan demikian,
telah secara terang dan nyata Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan tafsir Mahkamah
Konstitusi yang meletakkan undang-undang a quo sebagai
conditionally constitutional.
C. Analisis Peneliti
Pertama, Pasal 6 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air, menyatakan: “Hak ulayat masyarakat hukum adat
atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan
telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.”.Pasal ini dalam
putusan pertama yaitu nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor
008/PUU-III/2005, menurut pertimbangan hukum Mahkamah harus dimaknai
tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif belaka, sehingga
60
dinyatakan tidak bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun
1945. Sedangkan pada putusan kedua yaitu nomor 85/PUU-XI/2013
Mahkamah berpendapat Pasal 6 bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945.
Agar tidak tersesat saat membaca dan memahami konstitusi, upaya
yang paling mendasar untuk dapat memahaminya dengan melalui metode
tafsir konstitusi, yang tentunya berbeda dengan penafsiran peraturan
perundang-undangan biasa. Menurut Albert H. Y. Chen, penafsiran konstitusi
merupakan upaya penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam konstitusi atau undang-undang dasar dan sudah menjadi bagian
kesatuan dari aktifitas judicial review.12
Dalam peradilan di Indonesia, pelaksanaan penafsiran konstitusi
diterapkan secara bebas karena Indonesia menganut kekuasaan kehakiman.
Yang mana hakim bebas menentukan metode tafsir apa saja yang akan
digunakannya dalam memutus suatu perkara. Metode tafsir yang biasa
digunakan untuk interpretasi regulasi diantaranya terdapat penafsiran
gramatikal, sistematis, teleologis, historis, komparatif, dan futuristik.13
Pada bagian ini, peneliti akan mencoba untuk mengkritisi
pertimbangan hakim konstitusi terhadap putusan pertama tentang sumber
daya air melalui penafsiran historis terutama untuk Pasal 6 Ayat (3) undang-
undang a quo yang berbunyi tentang hukum masyarakat adat. Penafsiran ini
menekankan pada konteks sejarah hukum baik sejarah terbentuknya suatu
peraturan perundangan-undangan maupun sejarah hukum itu sendiri seperti
yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya.14
12
Ali Syafa’at, Penafsiran Konstitusi, http://safaat.lecture.ub.ac.id, h., 66 diakses
pada 9 September 2019, pukul 12.40 WIB.
13 Loura Hardjaloka, Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang
(Studi Perbandingan), dalam Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1, Maret 2015, h., 99.
14 Loura Hardjaloka, Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang
(Studi Perbandingan),… h.,98.
61
Jika melihat dari pengertian, deklaratif merupakan pernyataan
ringkas dan jelas.15
Pun memiliki arti dalam praktik,
“the declaration or declaratory part of a judgement,
decree, or order is that part which gives the of law in the
case. Thus, in an action raising a question as to the
construction of a will, the judgement or order declares that,
according to the true construction of the will, the plaintiff
has become entitled to the will, the plaintiff has become
entitled to the residue of the testator’s estate, or the like”16
(deklarasi atau deklaratori bagian dari keputusan, surat keputusan, atau
perintah adalah bagian yang memberikan hukum dalam kasus tersebut.
Dengan demikian, dalam tindakan yang menimbulkan pertanyaan tentang
pembangunan wasiat, putusan atau perintah menyatakan bahwa, sesuai
dengan konstruksi wasiat yang sebenarnya, penggugat berhak atas wasiat,
penggugat menjadi berhak atas residu real pewaris, atau sejenisnya).
Maka deklaratif terhadap pengukuhan hak ulayat masyarakat hukum
adat atas sumber daya air oleh peraturan daerah menurut peneliti, tidak
sesuai. Karena sejatinya deklaratif adalah pernyataan, pengakuan atau
penegasan kembali akan keadaan yang sebenarnya. Sedangkan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak ulayatnya tidak perlu melakukan upaya
penegasan kembali akan keberadaannya karena telah dijamin oleh UUD
Tahun 1945.17
Memberikan persyaratan seperti dengan dilakukannya pengukuhan
terlebih dahulu kepada masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah
setempat telah melanggar dan mencederai sejarah pembentukan Pasal 18B
Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mencederai tiang berdirinya Negara Indonesia yang sesuai dengan
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).
16 Henry Campbrell Black, Black’s Law Dictionary (West Publishing, 1968), h.,
495.
17 Vide Pasal 18B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
62
keistimewaan sifat dann corak masyarakat Indonesia. Indonesia yang
integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, dan yang
mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam hal apapun.18
Pemerintah
seharusnya dapat mengatasi segala golongan dan segala seseorang,
mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya, termasuk
masyarakat hukum adat, dengan melindungi hak-hak dan tidak
mendiskriminasi elemen masyarakat merupakan salah wujud pemerintahan
yang baik.19
Dengan melindungi seluruh masyarakat Indonesia termasuk
masyarakat hukum adat, negara telah menjalankan asas-asas penyelenggaraan
pemerintahan yang baik yakni asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas
dan tentunya akuntabilitas.20
Namun nyatanya tidak. dapat dibuktikan dengan
keenam peraturan turunan dari undang-undang a quo yakni peraturan
pemerintah tidaklah sesuai dengan penyelengaraan pemerintahan yang baik.
Suatu negara dapat dikatakan telah menjalankan suatu sistem
pemerintahan yang baik jika memenuhi asas-asas yaitu asas kepastian hukum,
asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme dan asas
akuntabilitas.21
Asas-asas tersebut selain guna menjalankan pemerintahan
yang baik, juga merupakan tujuan utama hukum yakni kemanfaatan.
Kemanfaatan yang membawa kebahagiaan untuk semua orang termasuk di
dalamnya masyarakat hukum adat. Untuk membawa dan mencapai
18
Risalah Sidang BPUPKI h., 29 lihat pada laman
lhttp://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20381404-Himpunan%20Risalah%20sidang-
sidang%20dari%20BPUPKI%20dan%20PPKI%20yang%20berhubungan%20dengan%20pen
yusunan%20undang-undang%20dasar%201945.pdf diakses tertanggal 9 September 2019
pukul 13.03 WIB.
19 I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, ..., h., 29.
20Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Ropii, Hukum
Administrasi Pemerintahan Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2017), h., 65.
21 Lihat pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
63
kebahagiaan, pemegang kekuasaan dalam hal ini Pemerintah haruslah
membuat kebijakan yang tidak mendiskriminasi suatu golongan tertentu.
Kedua, Pasal 8 Ayat (2) huruf c dan Pasal 29 Ayat (3) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, berbunyi: “hak
guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi prioritas pertanian bagi
yang berada di dalam sistem irigasi.” Mahkamah dalam putusan nomor 058-
059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 berpendapat hak
guna pakai air yang dirumuskan dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih
bersifat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi atas air, juga
kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas air di luar hak pakai air telah
tercermin salah satunya dalam Pasal 29. Sehingga dinyatakan tidak
bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut A. Mukhtie Fadjar, ketentuan mengenai keharusan adanya
izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah hak guna pakai air di luar sistem
irigasi, jelas sudah mendiskrimasi hak asasi atas pemakai air untuk pertanian
rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada dengan yang tidak,
mengakibatkan tidak meratanya penggunaan air untuk pertanian rakyat.
Peneliti pun menilai makna kata “di dalam sistem irigasi”
merupakan suatu diskriminasi bagi masyarakat yang berada di luar sistem
irigasi atau yang belum bergabung pada sistem irigasi yang pemerintah buat
saat undang-undang a quo ini lahir. Di dalam atau di luar sistem irigasi,
pemenuhan akan air untuk pertanian rakyat haruslah terpenuhi tanpa adanya
perbedaan di dalamnya. Jika hanya yang di dalam irigasi yang diberikan hak
guna pakai air untuk pertanian rakyat, lantas bagaimana dengan petani-petani
lain di luar sistem irigasi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya.
Diskriminasi hak asasi atas pemakaian air seharusnya tidak ada
karena sejatinya setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskrimatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif tersebut.22
Diskriminasi bukanlah wujud dari cita-
22
Vide Pasal 28I Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
64
cita Negara Indonesia yang termaktub dalam Alinea keempat Pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 “…. Memajukan
kesejahteraan umum” dan sila kelima Pancasila yakni “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Menurut John Rawls, keadilan dapat tercapai jika terjadi kepatuhan
terhadap konstitusi dan terintegralisasinya dan kewajiban constitutional yang
berlandaskan nilai-nilai moral.23
Keadilan memang mengandung banyak
aspek dan juga dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan
politik, dan keadilan sosial. Walaupun keadilan sosial tidak sama dengan
nilai-nilai keadilan yang diimpikan dalam falsafah kehidupan yang biasa
dikembangkan oleh para filosof. Namun akhir dari pemikiran dan impian
tentang keadilan merupakan aktual dalam kehidupan nyata yang tercermin
dalam struktur kehidupan kolektif dalam masyakarat.24
Istilah keadialan sosial sangat erat dengan pembentukan struktur
kehidupan masyarakat yang didasarkan pada prinsip persamaan dan
solidaritas, dan konsep keadilan sosial mengandung makna pengakuan akan
martabat manusia yang memiliki hak yang sama yang bersifat asasi.25
Kesejahteraan umum salah satunya berasal dari sumber daya air
yang juga berkaitan erat dengan istilah “ibu pertiwi”26
dan keadilan sosial
dalam hal penyelenggaraan negara di bidang ekonomi dalam bentuk
demokrasi ekonomi dengan tujuan mewujudkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
23
John Rawls, A Theory of Justice, dikutip oleh Pan Mohamad Faiz, Teori
Keadilan John Rawls, …., h., 146.
24 Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, lihat pada laman
http://www.jimly.com/makalah/namafile/151/PESAN_KEADILAN_SOSIAL.pdf, diakses 13
September 2019 pukul 11.27 WIB.
25 Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, …, diakses 13
September 2019 pukul 11.27 WIB
26 Ibu pertiwi merupakan julukan personifikasi bagi Negara Indonesia sebagai ibu
yang menyusui dan menyayangi rakyat sebagai anak-anaknya, lihat pada Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 h., 134.
65
Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama dari
setiap pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional. Tujuan ini
disebut sebagai kepentingan yang tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja
atau bersifat mutlak dan tidak dapat diubah27
, karena selain merupakan
amanat dari konstitusi, pun di cita-citakan oleh setiap warga negara dan
menjadi tanggung jawab negara sebagai konsekuensi hak menguasai negara
itu tersendiri.
Ketiga, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air pada poinnya berbunyi:
“hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan usaha dengan izin dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan kewenangannya”
Pada Pasal 7 selain berbunyi hak guna air meliputi hak guna pakai
air dan hak guna usaha air, pun dalam Pasal 7 Ayat (2) juga ditegaskan
bahwasanya hak guna air tersebut tidak dapat disewakan atau
dipindahtangankan baik secara sebagian maupun seluruhnya. Pasal ini terlihat
jelas bahwa sebagai sebuah hak untuk menguasai sumber daya air yang
dimiliki oleh negara. Maka seharusnya Pemerintah dalam hal ini tidak boleh
menyewakan ataupun memindahtangankan baik sebagian ataupun seluruhnya
hak guna air yang dimilikinya. Menurut peneliti juga negara memiliki
peranan dalam menguasai sumber daya dengan tujuan kemakmuran rakyat,
tentunya. Pentingnya penguasaan negara atas sumber daya air dilakukan agar
warga negara tidak saling berkelahi dalam memperjuangkan kepentingan
mereka masing-masing dan akan mengganggu keseimbangan
bermasyarakat.28
Hak guna usaha air dapat diberikan kepada pihak swasta. Jika kita
amati jelas dalam pemberian hak guna usaha air yang melibatkan partisipasi
27
Ronald Z. Titahelu, Penetapan Azas-azas Hukum Umum dalam Pengunaan
Tanah untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Program Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 1993, h., 14.
28 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta:
Kencana, 2012), h., 60.
66
sektor swasta dapat disebut dengan privatisasi. Bagaimana tidak, pemberian
peluang dunia usaha seluas-luasnya ke pihak swasta sangat menunjukkan
bahwa negara melepaskan tanggung jawab akan pemenuhan hak-hak rakyat
atas air. Negara yang sejatinya merupakan sebagai pihak yang seharusnya
bertanggung jawab baik terhadap pengelolaan maupun penyediaan air untuk
masyarakat.
Pengelolaan sumber daya air harus memperhatikan fungsi sosial,
mengakomodasi semangat demokratisasi, desentralisasi, keterbukaan dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta mengakui
hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini justru tidak terwujud dan
dilaksanakan oleh Pemerintah dengan tidak mengeluarkan kebijakan dan
menjalankan pengelolaan sumber daya air sesuai dengan penafsiran dari
Putusan Mahkamah Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor
008/PUU-III/2005. Yang mana mengakibatkan semakin terlihatnya
keberpihakan Pemerintah kepada pihak swasta yang dengan jelasnya
memprivatisasi air. Masyarakatlah yang merasakan dampak langsung dari
undang-undang sumber daya air, yang mana semakin sulit untuk mengakses
air. Dalam penjelasan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air Masyarakat dibebankan akan turut ikut membayar
biaya jasa pengelolaan sumber daya air secara langsung maupun tidak
langsung. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pengguna sumber daya air yang
mengambil air bukan dari saluran distribusi.
Jika kita melihat ke masyarakat DKI Jakarta sebagai contoh
penggunaan air bahwasanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jakarta
dalam angka 2017 pengelolaan sumber daya air. Jumlah pelanggan air bersih
pada Tahun 2016 terjadi peningkatan yang signifikan sekitar 839.391
pelanggan29
dan yang memegang kendali dalam menyediakan air bersih bagi
penduduk DKI Jakarta ada di tangan PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT.
29
Badan Pusat Statistik, Jakarta dalam angka 2017, diakses pada tanggal 21
Januari 2018 dari http://ptsp.jakarta.go.id/penanaman_modal/files/sektor-investasi/Potensi-
Investasi-Sektor-Air-Bersih.pdf pukul 15.49 WIB.
67
Aetra Air Jakarta (Aetra). Palyja dan Aetra merupakan perusahaan swasta
yang telah melakukan perjanjian kontrak pemerintah DKI Jakarta per 2023
dan memegang kekuasaan perihal pengelolaan air minum atau menyediakan
air bersih di DKI Jakarta. Pada sistem pelayanan air bersih perpipaan baru
mampu melayani sekitar 54% total populasi di DKI Jakarta, sisanya
memanfaatkan dari sumber air tanah, sehingga terjadi eksploitasi terhadap air
tanah.
Melihat karakteristik pengusaha swasta yang selalu mendepankan
profit-oriented dengan optimum untuk para pemegang saham. Semakin besar
diberikan hak guna usaha air untuk pihak swasta oleh Pemerintah, maka
semakin besar juga penguasaan air melalui saluran distribusi dan tentu
mengakibatkan berkurangnya sumber air non-distribusi. Maka dari itu,
masyarakat mau tidak mau, terpaksa harus membayar air untuk keperluan
sehari-harinya dan pertanian rakyat. Keterpaksaan tersebutlah yang membuat
kehidupan masyarakat tidak nyaman dan tidak terjamin kemakmurannya.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air tidak
memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk masyarakat luas melainkan
memberikan peluang bisnis yang seluas-luasnya kepada perusahaan swasta di
bidang pengelolaan air.
D. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, peneliti mengingat dalam
agenda mendengarkan keterangan DPR, ahli atau saksi Pemohon dan
Pemerintah pada Rabu, 29 Januari 2014, terdapat keterangan seorang ahli
pemohon yaitu Irman Putra Sidin, menyatakan:
“Hal ini semakin menunjukkan bahwa Undang-Undang
Sumber Daya Air ini jauh dari karakter atau paradigma
konstitusi yang sudah terbangun sejak tahun 2012 kemarin
pascaputusan MK. Oleh karena, Undang-Undang Sumber
Daya Air sudah tidak sesuai lagi dengan konstitusi
mengingat yang dibatalkan juga termasuk pasal yang
mencabut Undang-Undang Pengairan Tahun 1974, maka
68
Undang-Undang Pengairan kemungkinan akan hidup
kembali sambil memerintahkan pembentukan Undang-
Undang Pengairan yang baru, yang lebih sesuai dengan
paradigma konstitusi, mungkin paling lambat 3 tahun
setelah putusan dibacakan.”
Lanjut,
“Inkonstitusionalitas Undang-Undang Sumber Daya Air
ini penting diketahui publik sebelum pemilu presiden
karena inkonstitusionalitas Undang-Undang Sumber Daya
Air ini akan membuka mata kekuatan kapital pasar yang
ingin mencoba-coba berselingkuh dengan kekuatan
politik, guna menguasai sektor produksi konstitusi kita
bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air yang bisa jadi
adalah desain konspiratif kekuataan pasar harus dibatalkan
atas nama supremasi konstitusi, sehingga kekuatan politik
pun tidak lagi mencoba-coba mengadaikan otoritasnya
guna mendapatkan suntikan ekonomi politik guna
pemenangan pemilu 2014 nanti.”
Dengan pertimbangan hukum yang ada, Mahkamah dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, memiliki amar putusan,
sebagai berikut :
1. Permohonan Pemohon III tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan pemohonan Pemohon I, Pemohon II,
Pemohon
IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon
VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk
seluruhnya;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377) bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air (Lembaran NegaraRepublik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4377) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat;
69
5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang
Pengairan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun
1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3046) berlaku kembali;
6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dengan
menempatkannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Penghidupan kembali akan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1974 Tentang Pengairan dilakukan dengan nyata oleh Mahkamah, setelah
menyatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hal ini tentunya menjadi problematika dalam pengaturan
sumber daya air. Walau tujuan awal Mahkamah adalah tidak lain untuk
melindungi dari kekosongan hukum. Peneliti mengingat dalam hal
penghidupan kembali suatu aturan yang telah lama mati atau dibatalkan,
bukan pertama kali dilakukan oleh Mahkamah, contohnya: Mahkamah
membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang
Perkoperasian. Namun memberlakukan atau menghidupkan kembali Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.30
Perlu kita ketahui, dewasa ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1974 Tentang Pengairan sudah tidak sesuai, juga sangat terbatas dalam
mengatur pengelolaan sumber daya air. Hal ini tentu menjadi polemik,
seperti: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 dibentuk sebelum era
hadirnya otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia hadir pada
tahun 1999, tepatnya sejak lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintah Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, lalu diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
Sehingga tidak ada pelibatan pihak daerah dalam pengelolaan sumber daya
30
Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, akses pada laman
https://www.bphn.go.id/data/documents/28_puu_2013-uukoperasi-telahucap-28mei2014-
tdk_dtrima-_wmact.pdf pukul 16.22 WIB
70
air. Di satu sisi, kepastian hukum akan perusahaan-perusahaan swasta yang
bergerak dalam bidang pengelolaan sumber daya air menjadi tidak memiliki
landasan hukum. Dapat saja perusahaan-perusahaan swasta tersebut dicabut
izinnya. Namun jika tetap diizinkan berdasarkan Di sisi lain, keadilan untuk
masyarakat dalam pemenuhan hak atas airnya terlindungi dengan
dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air. Keadilan yang sudah ditunggu selama kurang lebih 10 tahun sejak
diundangkannya undang-undang a quo tersebut, diantaranya masyarakat
hukum adat tidak perlu melakukan pengukuhan terlebih dahulu kepada
Pemerintah Daerah untuk mendapatkan hak atas air. Masyarakat tidak perlu
membayar biaya pengelolaan sumber daya air, yang mana sejatinya menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Tidak ada batasan
penggunaan air baik untuk pertanian di luar atau di dalam irigasi.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah memberikan enam prinsip
dasar pembatasan yang menjadi acuan atau dasar Pemerintah dalam
menyusun aturan transisi dan rancangan undang-undang sumber daya air
yang baru, yaitu;
“pembatasan pertama adalah setiap pengusahaan atas air
tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi
meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus
dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua bahwa negara
harus memenuhi hak rakyat atas air. sebagaimana
dipertimbangkan di atas, ……, ‘perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah’. Ketiga, harus
mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai
salah satu hak asasi manusia,…... Keempat, sebagai cabang
produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak yang harus dikuasai oleh negara, …….,
pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak. Kelima,
sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara … prioritas
utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Keenam, apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas
sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air,
pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin
71
kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air
dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.”
Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-
XI/2013, dengan memperhatikan keenam prinsip dari Mahkamah, sebagai
implementasinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan
Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum
sebagai pelaksana aturan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974
Tentang Pengairan. Dalam Peraturan Pemerintah ini, swasta tetap dilibatkan
namun dengan porsi tertentu. Memiliki porsi dimana pemerintah dalam
kondisi tidak memungkinkan atau tidak mempunyai kapasitas untuk
mengelola sumber daya air tersebut secara mandiri, tentunya dengan skema
kerjasama dengan perijinan yang cukup ketat sebagai upaya kontrol.31
31 Laporan Penelitian, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dan Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2017, h., 57. http://www.mkri.id diakses tertanggal 8
September 2019 pukul 20.01 WIB.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari seluruh rangkaian penelitian serta pengkajian
yang telah dilakukan, maka peneliti menarik kesimpulan dari permasalahan
yang telah ditemukan dalam skripsi ini, sebagai berikut:
1. Pertimbangan disparitas atau perbedaan Mahkamah Konstitusi dalam
putusan kedua terkait sumber daya air didasarkan pada tiga alasan,
sebagai berikut:
Pertama, perihal hak ulayat masyarakat hukum adat atas
sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan
telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Mahkamah pada
putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-
III/2005, menilai ketentuan sebagaimana tertera dalam undang-undang
a quo tersebut menilai untuk menjamin hak masyarakat hukum adat atas
sumber daya air. Terkait pengukuhan dengan peraturan daerah harus
dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan deklaratif semata.
Sedangkan pada putusan nomor 85/PUU-XI/2013, Mahkamah
berpendapat ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)
UUD Tahun 1945 juga sampai saat ini undang-undang yang mengatur
akan masyarakat hukum adat belum ada, sehingga jelas menyalahi
hirarki dan bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan
dan merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.
Kedua, hak guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi
prioritas pertanian rakyat bagi yang berada di dalam sistem irigasi. Pada
point ini pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan
nomor 008/PUU-III/2005, Mahkamah berpendapat hak guna pakai air
yang dirumuskan dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih bersifat
penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi atas air. Mahkamah
juga berpendapat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari
73
masyarakat, tidaklah cukup dengan menggunakan sumber air yang
diperoleh langsung dari sumber air, tetapi juga menggantungkan pada
saluran distribusi. Maka kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak
atas air di luar hak pakai air telah tercermin salah satunya dalam Pasal
29. Sedangkan pada Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah
berpendapat pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa
pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari
sumber air. Namun jika dalam pemenuhan kebutuhan sehari-sehari
menggantungkan pada saluran distribusi, maka Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pengembangan sistem
penyediaan air minum dan harus menjadi prioritas program Pemerintah
dan Pemerintah Daerah.
Ketiga, Hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan
usaha dengan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan
kewenangannya. Pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan nomor 008/PUU-III/2005, Mahkamah berpendapat sumber daya air
tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari secara
langsung, akan tetapi dalam fungsi sekundernya dibutuhkan untuk
memenuhi kegiatan industri baik industri kecil, menengah maupun
besar yang dilakukan oleh non Pemerintah. Sebagai unit kegiatan
ekonomi penting bagi usaha untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Sedangkan dalam putusan nomor 85/PUU-XI/2013,
Mahkamah berpendapat pemanfaatan air di luar hak guna pakai air
yakni hak guna usaha air, harus melalui permohonan izin kepada
Pemerintah, serta memberikan pembatasan yang sangat ketat dalam
pengusahaan sumber daya air, antara lain setiap pengusahaan atas air
tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak
rakyat atas air karena sejatinya bumi dan air dan kekayaan alam yang
74
terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga
diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Implimentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013
dalam mewujudkan kesejahteraan dalam penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya air di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber
Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang
Sistem Penyediaan Air Minum
B. Rekomendasi
Walaupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang
Pengairan dihidupkan kembali dengan tujuan untuk tidak terjadi kekosongan
hukum dan Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan pelaksananya yaitu
Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 Tentang
Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun
2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Namun menurut peneliti
tidaklah cukup, karena payung hukum utama sumber daya air merupakan
produk hukum tahun 1974-an yang mana di dalamnya masih sangat terbatas
dengan keadaan hukum sekarang.
Penegasan kembali akan wewenang pemegang alih kuasa dalam
sumber daya air yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagaimana tertuang dalam
pertimbangan Mahkamah benar-benar harus diperhatikan. Jika pihak swasta
ingin turut bergabung dalam pengelolaan sumber daya air harus bekerja sama
dengan pemerintah, bukan dengan pemberian izin semata, yang mana
menurut peneliti itu hanya sekedar formalitas semata untuk menguasai
perekonomian di bidang sumber daya air Indonesia.
75
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ahmadi, Muhammad. Fahri. Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2010.
Alfitra. Hapusnya Hak dan Menuntut Mennjalankan Pidana. Depok: Raih Asia
Sukses, 2012.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:
Konstitusi Press, 2006.
, Perkembangan & Konsulidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Djambatan: Jakarta,
2007.
I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi. Malang: Setara Press,
2011.
J. Parsons, Patricia. Terjemahaan: Etika Public Relations Panduan Praktik
Terbaik. London: Erlangga, 2007.
Kusnadi, Moh. Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2008.
Manan, Bagir. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI, 2006.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Kencana,
2012.
76
Rhti, Hyronimus. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2011.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Kencana,
2012.
Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi: Jakarta. 2010.
Setiawan, Yudhi. Boedi Djatmiko Hadiatmodjo. Imam Ropiin. Hukum
Administrasi Pemerintahan Teori dan Praktik Depok: Rajawali Press,
2017.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua.
Jakarta: Erlangga, 2004.
Sudiro, Ahmad. Deni Bram. Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan
Internasional). Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Syukri Albani Nasution, Muhammad. Zul Pahmi Lubis. Hukum dalam
Pendekatan Filsafat. Jakarta: Kencana, 2015.
S.W. Sumardjono, Maria. Nurhasan Ismail, dkk. Pengaturan Sumber Daya
Alam di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis
Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam.
Yogyakarta: FH UGM, 2014.
Wahid, Abdul, Dilema dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai Kewenangan Memutus Sengketa Pilkada, dalam Jurnal
Konstitusi Volume 11 Nomor 4, Desember 2014.
Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik
Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010.
77
Zoelva, Hamdan. Mengawal Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press, 2016.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomr 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, dan nomor
008/PUU-III/2005
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013
Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Sumber Daya Air
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-X/2012 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
78
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022-/PUU-I/2003 Tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VIII/2009 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 9/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-XIV/2016 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XI/2015 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-III/2005 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
79
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-X/2012 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
80
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
81
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara
Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Jurnal
Chalid, Hamid. Arief Ainul Yaqin, Studi tentang Hukum Air dan Problematika
Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas Air di Indonesia, Jurnal Hukum
dan Pembangunan Tahun ke-48 No. 2 April-Juni 2018
Farhani, Athari. Ibnu Sina Chandranegara, Penguasaan Negara terhadap
Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Jurnal
Konstitusi Volume 16 Nomor 2, Juni 2019
82
Hardjaloka, Loura. Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang
(Studi Perbandingan), dalam Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1,
Maret 2015
Mohamad Faiz, Pan. Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 6,
No. 1, April 2009
Mulyani, Lilis. Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi:
Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber
Daya Alam, dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Vol. 10 No. 2 Tahun
2008
Puspitasi, Santi. Utari Nindyaningrum. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 85/PUU-XI/2013 Terhadap Sistem Penyediaan Air Minum.
Jurnal Penelitian Hukum Vol. 2 No. 1. Maret 2015
Rahman, Faiz. Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan
Bersyarat Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 13, No.
2, Juni 2016
Saviour Wilade, Revolver. Penerapan Dissenting Opinion dalam Proses
Pengambilan Putusan Perkara Korupsi, dalam Jurnal Lex Privatum
Vol. VI/No. 4/Jun/2018,
, Penerapan Dissenting Opinion dalam Proses
Pengambilan Putusan Perkara Korupsi, dalam Jurnal Lex Privatum
Vol. VI/No. 4/Jun/2018, h., 161.
Sina Chandranegara, Ibnu. Purifikasi Konstitusional Sumber Daya Air Indonesia,
dalam Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional,
Volume 5, Nomor 3, Desember 2016
Wahid, Abdul. Tafsir Misoginisme dan Inkonsistensi Birokrat (Implikasi Putusan
MK Nomor 4/PUU-VIII/2010), Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 2
April 2010
83
Karya Ilmiah
Dachran Busthami, Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di
Indonesia, dalam Karya Ilmiah, Jilid 46 No. 4, Oktober 2017.
Hamid. Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di
Belanda, India dan Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Program Pasca Sarjana Strata 3,
2009.
Titahelu, Ronald Z. Penetapan Azas-azas Hukum Umum dalam Pengunaan Tanah
untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1993.
Majalah
Percik Edisi III, 2010, Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Azasi Atas Air,
Pan Mohamad Faiz, lihat pada Ruang Konstitusi di Majalah Konstitusi Nomor
144, Februari 2019
Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016
Henry Campbrell Black, Black’s Law Dictionary (West Publishing, 1968
Kamus Hukum Online Indonesia, https://kamushukum.web.id
Media Internet
Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, lihat pada laman
http://www.jimly.com/makalah/namafile/151/PESAN_KEADILAN_SOS
IAL.pdf, diakses 13 September 2019 pukul 11.27 WIB.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20381404-Himpunan%20Risalah%20sidang-
sidang%20dari%20BPUPKI%20dan%20PPKI%20yang%20berhubung
84
an%20dengan%20penyusunan%20undang-
undang%20dasar%201945.pdf diakses tertanggal 9 September 2019
pukul 13.03 WIB.
https://foodtech.binus.ac.id/2015/03/19/air-bagi-kehidupan/ diakses tertanggal 1
Juli 2019 pukul 20.12 WIB.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1572/05.2%20bab%202.pdf?s
equence=9&isAllowed=y diakses tertanggal 27 Juli 2019 pukul 21.32
WIB.
http://digilib.uinsby.ac.id/672/5/Bab%202.pdf diunduh pada Kamis, 7 Juli 2019.
http://digilib.uin-suka.ac.id/17320/ diakses tertanggal 21 Januari 2019 pukul 22.12
WIB.
http://eprints.walisongo.ac.id/8159/1/132311071.pdf diakses tertanggal 22 Januari
2019 pukul 13.45 WIB
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/19377/SKRISI%20LEN
GKAP-HTN-
ANDI%20SUTOMU%20IQWAL%20ISKANDAR.pdf?sequence=1
diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 09.55 WIB.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1-2005-
slametseni-590-COVER_dl-7.pdf diakses tertanggal 22 Januari 2019
pukul 14.00 WIB.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5629/1/AFNANUL%20
HUDA-FSH.pdf diakses tertanggal 23 Januari 09.45 WIB.
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32978 diakses tertanggal
23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB.
https://jurnal.ugm.ac.id/jph/article/view/19114 diakses tertanggal 20 Juli 2019
pukul 21.23 WIB.
85
https://mkri.id/index.php?page=web.RisalahSidang&id=396&kat=1&cari=2
diakses tertanggal 18 September 2019 pukul 14.37 WIB.
http://ptsp.jakarta.go.id/penanaman_modal/files/sektor-investasi/Potensi-
Investasi-Sektor-Air-Bersih.pdf diakses tertanggal 21 Januari 2019
pukul 15.49 WIB.
https://www.bphn.go.id/data/documents/28_puu_2013-uukoperasi-telahucap-
28mei2014-tdk_dtrima-_wmact.pdf diakses tertanggal 3 September
2019.
https://mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_edit_60_A
nalisis%20Implementasi%20Putusan%20Mahkamah%20Konstitusi%2
0atas%20Pengelolaan%20Sumber%20Daya%20Alam%20%20-
%20Laporan%20Hasi%20Penelitian%20P4TIK%20MK%20&%20Uni
versitas%20Brawijaya%20Malang.pdf diakses tertanggal 8 September
2019.
Laporan Penelitian, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerjasama antara Mahkamah
Konstitusi dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,
(Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2017, http://www.mkri.id diakses tertanggal 8 September
2019 pukul 20.01 WIB.