disfonia LPR
-
Upload
siti-dwiaulia-risnomarta -
Category
Documents
-
view
200 -
download
13
description
Transcript of disfonia LPR
Clinical Science Session
DISFONIA dengan
LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX
Oleh :
Heldawati 0810313180
Khairati Ilda 0810311006
Siti Dwiaulia Risnomarta 0910312057
Andre Andika Hamidi 0910312039
Preseptor :
Dr. Novialdi, Sp.THT-KL
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang
2013
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya
sehingga referat berjudul “Disfonia dengan Laryngopharyngeal Reflux” ini dapat penulis
selesaikan. Referat ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher RSUP Dr. M.
Djamil Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah banyak membantu
menyusun referat ini, khususnya kepada dr. Novialdi, Sp. THT-KL selaku pembimbing dan
juga kepada rekan-rekan dokter muda.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam
menambah pengetahuan dan pemahaman serta dapat meningkatkan pelayanan khususnya di
bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher pada masa yang
akan datang.
Padang, 4 September 2013
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah .................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 1
1.4 Metode Penulisan ................................................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 2
2.1 Anatomi Laring ........................................................................................... 2
2.2 Definisi Disfonia .......................................................................................... 8
2.3 Faktor Resiko Disfonia ......................................................................................... 8
2.4 Etiopatogenesis Disfonia ...................................................................................... 8
2.5 Definisi Laryngopharyngeal Reflux (LPR) .......................................................................... 13
2.6 Epidemiologi LPR ................................................................................................ 13
2.7 Etiologi LPR ......................................................................................................... 13
2.8 Patofisiologi........................................................................................................... 14
2.9 Diagnosis .............................................................................................................. 15
2.10 Tatalaksana ......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 21
3
BAB
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan oleh
kelainan pada organ–organ fonasi, terutama laring baik yang bersifat organik maupun
fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau
kelainan pada laring.1
Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik. Gangguannya dapat
berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan nada lebih rendah dari biasanya, suara
lemah (hipofonia), hilang suara (afonia), suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri
dari beberapa nada (diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan
mencapai nada atau intensitas tertentu.1
Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam
ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dan kanan akan
menimbulkan disfoni.1
1.2 Batasan Masalah
Clinical science session ini membahas mengenai anatomi dan fisiologi laring,
mekanisme fonasi (pembentukan suara), definisi, klasifikasi dan etiologi, diagnosis serta
penatalaksanaan pada disfonia dengan laryngopharyngeal reflux.
1.3 Tujuan Penulisan
Mengetahui anatomi dan fisiologi laring, mekanisme fonasi (pembentukan suara),
definisi, klasifikasi dan etiologi, diagnosis serta penatalaksanaan pada disfonia dengan
laryngopharyngeal reflux.
1.4 Metode Penulisan
Clinical science session ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang merujuk dari berbagai literatur.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Laring
Larynx (laring) atau tenggorokan merupakan salah satu saluran pernafasan (tractus
respiratorius). Laring membentang dr laryngoesophageal junction dan menghubungkan faring
(faring) dengan trakea. Laring terletak setinggi Vertebrae Cervical IV – VI.2
Gambar 1. Anatomi laring
Cartilago Laring
Laring dibentuk oleh beberapa cartilage, antara lain :
+ Cartilago yg berjumlah tunggal
Gambar 2. Tulang pembentuk laring
5
- Cartilago epiglottica
Cartilago elastic berbentuk daun terletak di posterior dr radix linguae. Berhubungan dg
corpus ossis hyoidea di anterior nya dan cartilage thyroidea di posterior nya. Sisi
epiglottis berhubungan dg cartilage arytenoidea mll plica aryepiglottica. Sdgkn di
superiornya bebas dan membrane mucosa nya melipat ke depan dan berlanjut meliputi
permukaan posterior lidah sbg plica glossoepiglottica mediana et lateralis. Dimana
diantaranya terdapat cekungan yg disebut dg valecullae.2
Gambar 3. Kartilago tiroid
- Cartilago thyroidea
Terdiri atas 2 lamina cartylago hyaline yg bertemu di linea mediana anterior mjd sebuah
tonjolan sudut V yg disebut dg Adam’s apple/ commum adamum/ prominentia piriformis
(jakun). Pinggir posterior tiap lamina menjorok ke atas membentuk cornu superior dan ke
bawah membentuk cornu inferior. Pd permukaan luar lamina terdapat line oblique sbg
tempat melekatnya m. sternothyroideus, m. thyrohyoideeus, dan m. constrictor pharyngis
inferior.2
- Cartilago cricoidea
Merupakan cartilage yg berbentuk cincin utuh dan terletak di bawah dr cartilago
thyroidea. Cartilage ini mempunyai arcus anterior yg sempit dan lamina po Cartilago yg
berjumlah sepasang.
- Cartilago arytenoidea
Merupakan cartilage kecil berbentuk pyramid yg terletak di belakang dr larynx pd pinggir
atas lamina cartilage cricoidea. Masing2 cartilago memiliki apex di bagian atas dan basis
di bagian bawahnya. Dimana bagian apex nya ini akna menyangga dr cartilage
corniculata, sdgkn pd bagian basis nya bersendi dg cartilage cricoidea. Pd basis nya
terdapat 2 tonjolan yaitu proc. Vocalis yg menonjol horizontal ke depan merupakn
perlekatan dr lig. Vocale, dan proc. Muscularis yg menonjol ke lateral dan merupakan
6
perlekatan dr m. crycoarytenoideus lateralis et posterior.
- Cartilago cuneiformis (Wrisbergi)
Merupakan cartilage kecil berbentuk batang yg terdapat di dalam 1 plica aryepiglottica yg
berfungsi utk menyokong plica tsb.
- Cartilago corniculata (Santorini)
2 buah nodulus kecil yg bersendi dg apex cartilaginis arytenoidea dan merupakan tmp
lekat plica aryepiglottica shg menyebabkan pinggir atas plica aryepiglottica dextra et
sinistra agak meninggi.2
Aditus Laryngis
Merupakan pntu masuk larynx yg menghadap ke dorsocranial dan menghadap ke
laryngofaring. Aditus laryngis memiliki syntopi :
- Ventral : pinggir atas epiglottis
- Lateral : plica aryepiglottica.
- Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea.
Gambar 4. Laring2
Cavitas Laryngis
Cavitas laryngis terbentang dr aditus laryngis hingga ke pinggir bawah cartilage cricoidea
dan di bagi mjd 3 bagian :
- Bagian atas (vestibulum laryngis)
7
Terbentang dr aditus laryngis hingga ke plica vestibularis. Rima vstibularis adl celah di
antara plica vestibularis. Sedangkan, lig. Vestibulare terletak dlm plica vestibularis.
Gambar 5. Plika vokalis2
- Bagian tengah (Recessus laryngeus)
Terbentang dari plica vestibularis hingga setinggi plica vocalis yg berisi lig. Vocalis.
Rima glottidis adalah celah di antara plico vocalis. Diantara plica vestibularis dan plica
vocalis ini terdapat recessus kecil yaitu sinus laryngis dan ventriculus laryngis.
- Bagian bawah. (Fossa infraglottidis)
Innervasi Laring
Di atas dari plica vocalis dinnervasi oleh n. laryngis internus cab dr n. laryngis superior
cab dari n. vagus (X). Sedangkan di bawahnya diinnervasi oleh n. leryngis recurrens, kec.
M. crycothyroideus yg diinnervasi oleh R. laryngeus externus n. laryngeus superior.
Syndesmosis Laryngeus
Adalah jaringan ikat yang menghubungkan antara skelet laryng yang berupa ligament
ataupun membrane. Syndesmosis laryngeus terbagi menjadi :
- Membrana atau ligament extrinsik : menghubungkan skeleton larynx dengan bangunan
sekitar
1. Membrana Thyrohyoidea
Membran fibroelastis yang menghubungkan pinggir atas cartylago thyroidea dan
pinggir
8
depan cornu superiornya dengan tepi atas facies posterior corpus hyoidei dan cornu majus
nya melewati belakang facies posterior corpus hyoidei dipisahkan oleh bursa mucosa.
Bagian ventromedialnya menebal membentuk lig. thyrohyoideum medianum. Pinggir
dorsalnya juga menebal membentuk lig. thyrohyoideum laterale yang membentang dr
cornu superior cartilago thyroidea ke cornu majus. Di dalam nya sering terdapat cartylago
triticea.2
2. Lig. Hyoepiglotticum
Menghubungkan facies anterior epiglottis dengan pinggir atas corpus os. hyoideus dan
cornu majusnya
3. Lig. cricotracheal
Menghubungkan cartilago cricoidea dengan anulus trachealis I
- Membrana atau ligamenta intrinsik : menghubungkan antar cartilago laryng
1. Membrana Quadrangularis
Menghubungakan sisi epiglottis dengan cartilago arytenoidea dan corniculata. Tepi
atasnya bebas dan menebal disebut lig.Aryepiglotticum, mucosa yang menutupinya
membentuk plica aryepiglottica. Ke arah caudal membran ini mendekati linea mediana
dan berakhir bebas setinggi fovea triangularis dan menebal disebut lig. vestibulare
(lig.ventriculare).
2. Conus elasticMembungkus sendi cricoarytenoideus dan diperkuat oleh
lig.cricoarytenoideum posterius.2
Musculi Laryngei
- Otot-Otot Intrinsik Laryng
Otot yang perlekatan di bagian laryng. Otot ini memiliki peranan untuk mengubah
panjang dan ketegangan plica vocalis dalam produksi suara dan mengubah ukuran rima
glottidis untuk masuknya udara ke paru. Otot-otot yang termasuk dan innervasinya yakni
adalah :
1. M. Cricothyroideus (R.externus n. laryngeus superior)
2. M. Cricoarytenoidea posterior (Safety Muscle) (R.Posterior n. laryngeus inferior)
3. M. Cricoarytenoidea lateral (R. anterior n. laryngeus inferior)
4. M. Arytenoidea transversus (R. Posterior n. Laryngeus inferior)
5. M. M. arytenoidea obliquus (R. anterior n. laryngeus inferior)
6. M. Thyroarytenoidea (R. anterior n. laryngeus inferior)
9
Adapun fungsinya :
1. Mengatur Rima Glottidis
a. Membuka : m.cricoarytenoidea posterior
b. Menutup : m. cricoarytenoidea lateral, m. arytenoidea transversa, m. cricothyroidea,
dan m. thyroarytenoidea
2. Mengatur ketegangan lig.vocale
a. Menegangkan : m.cricothyroidea
b. Mengendorkan : m. thyroarytenoidea
3. Mengatur aditus laryngeus
a. Membuka : m. thyroepiglotticus
b. Menutup : m. aryepiglotticus dan m. arytenoideus obliquus
- Otot-Otot Ekstrinsik Laryng
Merupakan otot-otot di sekitar laryng yang mempunyai salah satu perlekatan pada laryng
atau os.hyoideus. Berfungsi untuk menggerakkan laryng secara keseluruhan. Otot
ekstrinsik laryng terbagi atas :
a. Otot-otot Depressor :
+ m. omohyoideus
+ m. sternohyoideus
+ m. sternothyroideus
b. Otot-otot Elevator :
+ m. mylohyoideus
+ m. stylohyoideus
+ m. thyrohyoideus
+ m. stylopharyngeus
+ m. palatopharyngeus
+ m. constrictor pharyngeus medius
+ m. constrictor pharyngeus inferior2
Vaskularisasi Larynx
Suplai arteri berasal dari R. laryngeus superior a. thyroidea superior. Dan bagian bawah
divaskularisasi oleh R. laryngeys inferior a. thyroidea inferior. Sedangkan aliran limfe
nya bermuara ke nodi lymphoidei cervicales profundi.2
10
2.2 Definisi Disfonia
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan
kelainan pada organ–organ fonasi, terutama laring, baik yang bersifat organik maupun
fungsional.1
2.3 Faktor Resiko Disfonia
Bernafas pada lingkungan yang tidak bersih
Pubertas berkaitan dengan pelebaran laring
Merokok(juga merupakan faktor resiko utama terjadinya karsinomaLaring).
Menghisap ganja
Penyalahgunaan obat-obatan
laringofaringeal refluks
Pekerjaan yang menggunakan suara sebagai modal utama misal : guru,aktor, penyanyi
Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama
Minum alkohol, kopi berlebihan
Berteriak pada acara olahraga atau tempat ramai seperti bandara dan bar
Berbicara saat makan
Kebiasaan sering batuk untuk membersihkan tenggorokan
Kebiasaan berbisik1
2.4 Etiopatogenesis Disfonia
Perubahan dari suara biasanya berkaitan dengan gangguan pada pita suara yang
merupakan bagian pembentuk suara yang terdapat di laring. Setiap keadaan yang
menimbulkan gangguan getaran, ketegangan dan pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan
akan menimbulkan suara parau. Walaupun hanya merupakan gejala, tetapi prosesnya
berlangsung lama (kronik) dan dapat merupakan tanda awal penyakit serius di daerah
tenggorok, khususnya laring.1
Penyebabnya dapat berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring, kelainan laring
seperti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi kriko aritenoid, dll. Ada satu keadaan
disebut disfonia ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang mengambil alih fungsi
11
fonasi dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara yang terus menerus pada
pasien dengan laringitis akut. Inilah pentingnya istirahat berbicara (vokal rest) pada pasien,
laringitis akut, disamping pemberian obat-obatan. Berikut ini beberapa penyebab suara serak:
Laringitis akut
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelajutan dari infeksi saluran nafas
seperti influenza atau common cold. Penyebab radang ini ialah bakteri, yang menyebabkan
radang lokal atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik. Pada larinigtis akut terdapat
gejala radang umum, seperti demam,dedar (malaise), serta gejala lokal, seperti suara parau
sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menalan atau berbicara serta gejala
sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan lama kelamaan disertai dengan dahak
kental.1
Ketidaksempurnaan produksi suara pada pasien dengan laringitis akut dapat
diakibatkan oleh penggunaan kekuatan aduksi yang besar atau tekanan untuk mengimbangi
penutupan yang tidak sempurna dari glottis selama episode laringitis akut. Tekanan ini
selanjutnya menegangkan lipatan-lipatan (plika) vocal dan mengurangi produsi suara. Pada
akhirnya menunda kembalinya fonasi normal.1
laringitis kronis
Beberapa hal bisa mendasari kondisi ini yang biasanya akibat paparan dari iritan (zat
yang bisa mengiritasi) seperti tekanan yang terus menerus pada pita suara, sinusitis kronis,
infeksi jamur (akibat sistem kekebalan tubuh yang lemah) serta terpapar asap atau gas yang
mengandung zat kimia. Dalam keadaan laryngitis, pita suara mengalami peradangan sehingga
tekanan yang diperlukan untuk memproduksi suara meningkat. Hal ini menyebabkan
kesulitan dalam memproduksi tekanan yang adekuat. Udara yang melewati pita suara yang
mengalami peradangan ini justru menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi parau. Bahkan
pada beberapa kasus suara dapat menjadi lemah atau bahkan tak terdengar.Semakin tebal dan
semakin kecil ukuran pita suara, getaran yang dihasilkan semakin cepat. Semakin cepat
getaran suara yang dihasilkan semakin tinggi. Pembengkakan pada pita suara dapat
mengakibatkan tidak menyatunya kedua pita suara sehingga dapat terjadi perubahan pada
suara.1
Nodul dan polip pita suara.
Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan suara dalam waktu yang lama,
12
seperti pada seorang guru, penyanyi dan sebagainya. Gejalanya terdapat suara parau yang
kadang-kadang disertai batuk. Pada mereka yang memang menggunakan suara secara
berlebihan, seperti penyanyi profesional, guru, dosen, atau mereka yang sering berbicara dan
menggunakan suara berlebihan dapat terjadi pembengkakan pita suara yang disebut sebagai
nodul pita suara atau polip pita suara.1
Kista pita Suara
Kista pita suara umumnya terrmasuk kista resistensi kelenjar liur minor laring,
terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar tersebut, faktor iritasi kronik, refluks gastroesofageal
dan infeksi diduga berperan sebagai faktor predisposisi. Kista terletak di dalam lamina
propria superfisialis, menempel pada membran basal epitel atau ligamentum vokalis.
Ukurannya biasanya tidak besar sehingga jarang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas.
Gejala utamanya adalah parau.1
Merokok dan mengkonsumsi alkohol
Merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat mengiritasi laring, dapat menyebabkan
peradangan dan penebalan pita suara.1
Laringopharingeal reflux (LPR)
Keadaan dimana asam lambung bergerak retrograd kearah esofagus bagian atas,
faring dan laring sehingga dapat menyebabkan iritasi pada laring.3
Menggunakan suara secara berlebihan
Kondisi ini paling sering terjadi pada orang yang pekerjaannya selalu berbicara dan
penyanyi. Menyalahgunakan suara secara berlebihan bisa menimbulkan gangguan pada pita
suara seperti menyebabkan kista atau perdarahan. Biasanya terjadi jika sering berbicara
dengan keras, teriak atau terlalu banyak berbicara.1
Kelumpuhan atau paralisis pita suara
Kelumpuhan pita suara adalah terganggunya pergerakan pita suara karena disfungsi
saraf otot-otot laring hal ini merupakan gejala suatu penyakit dan bukan merupakan suatu
diagnosis. Paralisis pita suara terjadi ketika salah satu atau kedua pita suara tidak dapat
membuka ataupun menutup dengan semestinya. Penyebabnya bisa karena Trauma bedah
iatrogenik pada vagus atau n. laringeus rekuren, Invasi malignan pada vagus atau n.laringeus
13
rekuren dapat terjadi akibat tumor, Kerusakan pada saraf yang mempersarafi daerah laring,
idiopatik dan karena kondisi neurologik tertentu seperti stroke, tumor otak, maupun multiple
sclerosis. 1
Gejala kelumpuhan pita suara yang didapat adalah suara parau, stridor atau bahkan
kesulitan menelan tergantung pada penyebabnya. Proses terjadinya yaitu Pada daerah laring,
secara anatomis terdapat nervus vagus dan cabangnya yaitu nervus laringeus rekurens yang
mempersarafi pita suara. Jika terjadi penekanan maupun kerusakan terhadap nervus ini maka
akan terjadi paralisis pita suara, di mana pita suara tidak dapat beradduksi. Secara normal,
ketika berfonasi, kedua pita suara beradduksi, tetapi karena terjadi paralisis salah satu atau
kedua pita suara, maka vibrasi yang dihasilkan oleh pita suara tidak maksimal.1
Alergi
Secara klinis, meskipun tidak ada perubahan yang jelas dalam laring karena alergi,
ada beberapa perubahan di tenggorokan dan hidung, yang mempengaruhi suara. Alergi
menyebabkan pembengkakan jaringan.1
Laringomalasia
Merupakan penyebab tersering suara parau saat bernafas pada bayi baru lahir.
Laringeal webs
Merupakan suatu selaput jaringan pada laring yang sebagian menutup jalanudara. 75
% selaput ini terletak diantara pita suara, tetapi selaput ini jugadapat terletak diatas atau
dibawah pita suara.1
Cri du chat syndrome dan Down sindrome
Merupakan suatu kelainan genetik pada bayi saat lahir yang bermanifestasi klinis
berupa suara parau atau stridor saat bernafas.1
Papilloma laring
Gejala awal penyakit ini adalah suara serak dan karena sering terjadi pada anak,
biasanya disertai dengan tangis yang lemah. Papiloma dapat membesar kadang-kadang dapat
menyebabkan sumbatan jalan nafas yang memngakibatkan sesak dan stridor sehingga
memerlukan trakeostomi.1
14
Trauma
Endotracheal intubasi pada pembedahan atau resusitasi bisa menyebabkan suara
parau. Fraktur pada laring dimana Trauma langsung pada laring dapat menyebakan fraktur
kartilago Laring yang menyebabkan lokal hematoma atau mengenai saraf.1
Benda asing
yaitu yang termakan oleh anak-anak bisa masuk ke laring dan menyebabkan suara
parau dan kesulitan bernafas.1
Hemangioma
Merupakan tumor jinak pembuluh darah, mungkin timbul pada daerah jalan nafas dan
menyebabkan suara parau atau lebih sering stridor.Limphagioma ( higroma kistik)
merupakan tumor pembuluh limfa. Sering timbul didaerah kepala dan leher dan dapat
mengenai pada jalan nafas yang menyebabkan stridor atau suara serak.1
Keratosis laring
Gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah suara serak yang persisten.
Sesak nafas dan stridor tidak selalu ditemukan. Selain itu ada rasa yang mengganjal di
tenggorokan, tanpa rasa sakit dan disfagia. Pada keratosis laring, terjadi penebalan epitel,
penambahan lapisan sel dengan gambaran pertandukan pada mukosa laring. Tempat yang
sering mengalami pertandukan adalah pita suara dan fossa interaritenoid. Keganasan atau
kanker laring (pita suara).1
karsinoma laring
Gejala utama karsinoma laring adalah suara serak yang merupakan gejala paling dini
tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena ganguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada
sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita
suara, kecepatan getaran, dan ketegangan pita suara. Pada tumor ganas laring, pita suara
gagal berfungsi secara baik disebabkan ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan
celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-
kadang menyerang saraf. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi kasar, menganggu,
sumbang, dan nadanya lebih rendah dari biasanya. Kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan
jalan nafas, atau paralisis komplit.1
Hubungan antara suara serak dengan tumor laring tergantung dari letak tumornya.
15
Apabila tumbuh di pita suara asli, maka serak merupakan gejala dini dan menetap. Pada
tumor subglotik dan supraglotik, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak muncul sama
sekali.1
Beberapa penyakit sistemik juga dapat menyebabkan suara serak antara lain
Hipotirodisme, Multiple sklerosis, Rematoid artritis, Penyakit Parkinson, Lupus sistemik,
Wagener's granulomatosis, Miasenia Gravis, Sarkoidosis, Amiloidosis.1
2.5 Definisi Laryngopharyngeal Reflux (LPR)
Laryngopharyngeal Reflux/ LPR atau Refluks Laringofaring adalah keadaan
dimana asam lambung bergerak retrograd kearah esofagus bagian atas, faring dan
laring.3
2.6 Epidemiologi LPR
Kejadian refluks sering ditemukan di Negara-negara barat dengan angka kejadian 10-
15% dan umumnya mengenai usia diatas 40 tahun (35%). Hal ini berhubungan dengan pola
konsumsi masyarakat barat, olahraga genetik dan kebiasaan berobat. Qadeer dkk8 pada tahun
2005 menyebutkan bahwa prevalensi gejala yang berhubungan dengan LPR adalah 15-20%.
Diperkirakan lebih dari 15% pasien yang datang ke spesialis THT disebabkan oleh
manifestasi dari LPR. Vaezi dkk pada tahun 2006 menyebutkan bahwa insiden GERD yang
berhubungan dengan gejala THT sekitar 10% di praktek. Pada penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa prevalensi GERD pada populasi China lebih rendah dibandingkan
dengan populasi negara-negara barat. Hal ini kemungkinan disebabkan perbedaan kebiasaan
diet, perbedaan bentuk tubuh, genetik, dan perilaku kesehatan. Di Amerika Serikat GERD
adalah kelainan yang umum dijumpai. Sebesar 50% orang dewasa menderita GERD dan
diperkirakan 4-10% kelainan laring kronis non spesifik di klinik THT berhubungan dengan
penyakit refluks. Tidak ditemukan predileksi ras pada penyakit refluks. Namun prevalensi
pria dibandingkan wanita yaitu 55%: 45% dan meningkat pada usia lebih dari 44 tahun.3
2.7 Etiologi LPR
Penyebab LPR adalah adanya refluks secara retrograd dari asam lambung atau isinya
seperti pepsin kesaluran esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma
16
langsung. Sehingga terjadi kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus, aktivitas
mendehem dan batuk kronis akibatnya akan sebabkan iritasi dan inflamasi.3
2.8 Patofisiologi
Patofisiologi LPR sampai saat ini masih sulit dipastikan. Seperti yang diketahui
mukosa faring dan laring tidak dirancang untuk mencegah cedera langsung akibat asam
lambung dan pepsin yang terkandung pada refluxate. Laring lebih rentan terhadap cairan
refluks dibanding esofagus karena tidak mempunyai mekanisme pertahanan ekstrinsik dan
instrinsik seperti esofagus. Terdapat beberapa teori yang mencetuskan respon patologis
karena cairan refluks ini, yaitu:
1. Cedera laring dan jaringan sekitar akibat trauma langsung oleh cairan refluks yang
mengandung asam dan pepsin. Cairan asam dan pepsin merupakan zat berbahaya bagi laring
dan jaringan sekitarnya. Pepsin merupakan enzim proteolitik utama lambung. Aktivitas
optimal pepsin terjadi pada pH 2,0 dan tidak aktif dan bersifat stabil pada pH 6 tetapi akan
aktif kembali jika pH dapat kembali ke pH 2,0 dengan tingkat aktivitas 70% dari
sebelumnya.3
2. Asam lambung pada bagian distal esofagus akan merangsang refleks vagal sehingga akan
mengakibatkan bronkokontriksi, gerakan mendehem (throat clearing) dan batuk kronis. Lama
kelamaan akan menyebabkan lesi pada mukosa. Mekanisme keduanya akan menyebabkan
perubahan patologis pada kondisi laring.3
Bukti lain juga menyebutkan bahwa rangsangan mukosa esofagus oleh cairan asam
lambung juga akan menyebabkan peradangan pada mukosa hidung, disfungsi tuba dan
gangguan pernafasan. Cairan lambung tadi menyebabkan refleks vagal eferen sehingga
terjadi respons neuroinflamasi mukosa dan dapat saja tidak ditemukan inflamasi di daerah
laring.3
Pada akhir-akhir ini terdapat penelitian yang menyebutkan teori dari patofisiologi
LPR. Yang menyebutkan adanya fungsi proteksi dari enzim carbonic anhydrase. Enzim ini
akan menetralisir asam pada cairan refluks. Pada keadaan epitel laring normal kadar enzim
ini tinggi. Terdapat hubungan yang jelas antara kadar pepsin di epitel laring dengan
penurunan kadar protein yang memproteksi laring yaitu enzim carbonic anhydrase dan
squamous epithelial stress protein Sep70. Pasien LPR menunjukkan kadar penurunan enzim
ini 64% ketika dilakukan biopsi jaringan laring.3
17
2.9 Diagnosis
Anamnesis
Refluks larigofaringeal ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada tahun 2002
Belafsky dkk membuat acuan dalam menentukan gejala LPR dan derajat sebelum dan
sesudah terapi. Indeks gejala refluks digambarkan tabel di bawah ini:
Tabel 1. Gejala Refluks larigofaringeal4
Gejala khas LPR, seperti tercantum di atas, dapat disebabkan oleh iritasi kronis dari
pita suara karena terlalu banyak digunakan, merokok, iritasi, alkohol, infeksi dan alergi jadi
penyebab-penyebab tersebut perlu ditayakan untuk menyingkirkan diagnosis.4
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laringoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis LPR. tabel
penilaian gejala LPR melalui pemeriksaan laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/
RFS). Skor dimulai dari nol (tidak ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS
≥7 dengan tingkat keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga dapat
dengan baik memprakirakan efektifitas pengobatan pasien3
18
Tabel 2. Refluk finding score
Gambar 6. laringoskopi
19
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura posterior,
globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik dan karsinoma laring.
Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu pemeriksaan Laringoskopi. Gejala
paling bermakna seperti adanya eritema, edema dan hipertrofi komissura posterior.3
Gambar 6. Hipertrofi komissura Posterior
Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta eritema laring
dijumpai pada 60% kasus LPR. Dapat juga terjadi hipertrofi mukosa interaritenoid dan pada
kasus lanjutan dapat berkembang menjadi hyperkeratosis epitel pada komissura posterior.
Granuloma dan nodul pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.3
Gambar 7. Granuloma
Udem subglotik (Pseudosulkus vokalis) ditemui pada 90% kasus, adalah udem
subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai laring posterior.3
20
Gambar 8. Pseudosulkus vokalis
Obliterasi ventrikel ditemukan pada 80% kasus. Dinilai menjadi parsial atau komplit.
Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran pemendekan jarak ruang ventrikel dan batas pita
suara palsu memendek. Sedangkan paada keadaan komplit ditemukan pita suara asli dan
palsu seperti bertemu dan tidak terlihat adanya ruang ventrikel.3
Gambar 9. Obliterasi Ventrikel
Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gammbaran LPR yang tidak spesifik.
Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas sumber cahaya, monitor video dan
kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi kadang-kadang sulit terlihat.3
Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya ada
pembengkakan ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat jika ditemukan
pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4 (gradasi sangat berat) jika
ditemukan degenerasi polipoid pita suara. Udem laring yang difus dinilai dari perbandingan
antara ukuran laring dengan ukuran jalan nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4
(obstruksi). Hipertrofi komissura posterior gradasi ringan (nilai 1) jika komissura posterior
terlihat seperti “kumis”, nilai 2 (gradasi sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga
seperti membentuk garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat
21
penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila terlihat ada
obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang mungkin ditemukan adalah sinusitis
berulang dan erosi dari gigi.3
Pemeriksaan Penunjang
1. Laringoskopi fleksibel Merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR. Biasanya
yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif dan mudah dikerjakan di
poliklinik dibandingkan laringoskop rigid.
2. Monitor pH 24 jam di faringoesofageal Pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours
double probe pH monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR. Pertama
kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan pasien
dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak ada kelainan. Pemeriksaan ini
sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks karena pemeriksaan ini secara akurat dapat
membedakan adanya refluks asam pada sfingter esofagus atas dengan dibawah sehingga
dapat menentukan adanya LPR atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal,
invasif dan tidak nyaman dan dapat ditemukan hasil negative palsu sekitar 20%. Hal ini
dikarenakan pola refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya
hidup sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini hanya
dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi. Pemeriksaan ini
disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan supresi asam.
3. Pemeriksaan Endoskopi Dengan menggunakan esofagoskop dapat membantu dalam
penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan sekitar 30% pada kasus LPR.
Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita temukan gambaran garis melingkar
“barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi esofagus.
4. Pemeriksaan videostroboskopi
Pemeriksaan video laring dengan menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang
diaktifasi oleh pergerakan pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan lambat.1
5. Pemeriksaan Histopatologi
Pada biopsi laring ditemukan gambaran hyperplasia epitel skuamosa dengan inflamasi kronik
pada submukosa. Gambaran ini dapat berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta
penumpukan fibrin, jaringan granulasi dan fibrotik didaerah submukosa.
22
6. Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium Pemeriksaan ini dapat melihat gerakan
Peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di esofagus, hiatus hernia, refluks spontan dan
kelainan sfingter esofagus bawah. Kelemahannya pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks
yang intermiten. pemeriksaan ini dianjurkan pada keadaan jika pengobatan gagal, terdapat
indikasi klinis kearah GERD, disfungsi esofagus atau diagnosis yang belum pasti.
7. Pemeriksaan laringoskopi langsung
Pemeriksaan ini memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan operasi. Dapat melihat
secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya serta dapat dilakukan tindakan biopsi.3
2.10 Tatalaksana
Pengobatan disfonia sesuai dengan kelainan atau penyakit yang menjadi etiologinya.
Terapi dapat berupa:
1. Medikamentosa
2. Terapi suara dan bicara
3. Tindakan operatif (Voice surgery)
Medikamentosa
1. PPI. Saat ini PPI dipertimbangkan sebagai pengobatan utama LPR, PPI optimal
diminum 30-60 menit sebelum makan. PPI mengurangi produksi asam lambung
dengan menghambat pompa proton. Belafsky et al melakukan studi dan
mengemukakan bahwa setelah pengobatan PPI 2x per hari selama 4 bulan, pasien
LPR mengalami perbaikan yang pesat.
2. Antasid dan antagonis reseptor H2
3. Sukralfat. Untuk melindungi mukosa yang injuri
Modifikasi diet dan gaya hidup
Pasien dengan gejala LPR dianjurkan melakukan pola diet yang tepat agar terapi
berjalan maksimal. Misalnya pola diet yang dianjurkan pada pasien seperti makan
terakhir 2-4 jam sebelum berbaring, pengurangan porsi makan, hindari makanan yang
menurunkan tonus otot sfingter esofagus seperti makanan berlemak, gorengan, kopi,
soda, dan alkohol. Anjuran lain seperti menurunkan berat badan jika berat badan pasien
berlebihan, hindari pakaian yang ketat, stop rokok, tinggikan kepala sewaktu berbaring
10-20 cm dan mengurangi stress.5
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA dkk. Edisi ke-6, Balai penerbit FKUI. Jakarta, 2007: h 231-36
2. R Putz, R Pabst. 2006. Atlas anatomi manusia sobotta. EGC. Jakarta3. Irfandy D. Laryngopharyngeal Reflux. Di unduh dari http://tht.fk.unand.ac.id tanggal
1 september 20134. Tripana AH. Laryngopharyngeal Reflux. Pekanbaru : Medical Faculty of Abdurrab
University.20125. Underbrink M, Quinn FB. Laryngopharyngeal reflux with an emphasis on
diagnostic and theurapeutic considerations. Updated august 25th 2009. Diunduh dari http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryng-reflux-090825/laryng-reflux-090825.pdf pada tanggal 3 September 2013
24