DIREKTORI MINI...

306

Transcript of DIREKTORI MINI...

Page 1: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten
Page 2: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

LINGKUNGAN DAN TRANSPORTASI

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Program BeasiswaPusbindiklatren Bappenas

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

Page 3: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi Lingkungan dan Transportasi

©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

Kontributor Aditya Mastriani Pria Sandika, Alfan Enzary, Anita Budiyanti, Berlian Putra, Catharina

Martina , Citrasmara Galuh Nuansa, Dikarama Kaula, Dini Novalanty Ohara Daulay,

Febriani Wijayanti, Jumrin Said, Novis Ezuar, Nur Anisa Eka Ariyani, Rizki, Sasongko,

Satya Wardhana, Tyas Palupi, Yuki Alandra, Zumrodi, Alfa Sandy Aprazah, Ayu Prima

Yesuari, Desiana Tri Wahyuni, Fauzan Nurmatias, Sri Kusrini, Wahyu Abidin Shaf

Cetakan I, Oktober 2018 ISBN: 978-602-53018-8-9

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan PerencanaBadan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Page 4: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ii iii

DAFTAR ISIDAFTAR ISI — iii

KATA PENGANTAR — vii

ILMU LINGKUNGAN

KAJIAN RANCANGAN BLOK PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA GUNUNG LALANG DI KABUPATEN BELITUNG Aditya Mastriani Pria Sandika — 1

IMPLEMENTING THE NATIONAL ENERGY POLICY (KEN) : A STUDY OF ENERGY SECURITY AND INTERRELATION AMONG THE ACTORS, CASE STUDY : THE PROVINCE OF JAMBI (INDONESIA) Alfan Enzary — 16

PENDEKATAN SOSIO-EKOLOGI DALAM PERENCANAAN KONSEPTUAL SABUK HIJAU (GREENBELT) WADUK JATIGEDE Anita Budiyanti — 29

POTENSI PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN Berlian Putra — 39

STATUS KEBERLANJUTAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO (THEOBROMACACAO L.) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Catharina Martina — 51

DEGRADASI LINGKUNGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA Citrasmara Galuh Nuansa — 65

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP USAHA DAN/ATAU KEGIATAN (STUDI KASUS PELAKSANAAN AMDAL DAN UKL-UPL DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN) Dikarama Kaula — 76

STRATEGI PENGELOLAAN INTEGRATIF KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Dini Novalanty Ohara Daulay — 91

Page 5: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

iv v

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN KAWASAN PANTAI ALAM INDAH (PAI) KOTA TEGAL Febriani Wijayanti — 105

PSIKOGRAFI PENGUNJUNG TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM EKOWISATA DI TAMAN NASIONAL MANUSELA PROVINSI MALUKU Jumrin Said — 117

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN AIR TANAH BERDASARKAN ANALISIS NERACA AIR TANAH (STUDI KASUS DAS NGARAWAN, KABUPATEN BELITUNG TIMUR) Novis Ezuar — 127

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA Nur Anisa Eka Ariyani — 141

EVALUASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. DINAR KALIMANTAN COAL TERHADAP SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITAR AREA PERTAMBANGAN Rizki — 153

PARTISIPASI MASYARAKAT DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DALAM PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU (STUDI KASUS PADA PROGRAM KOTA TANPA KUMUH/KOTAKU, DI RW 20 KELURAHAN DEPOK, KECAMATAN PANCORAN MAS, KOTA DEPOK-JAWA BARAT) Sasongko — 165

ADAPTASI DAN RESILIENSI NELAYAN PANTAI TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN PESISIR (STUDI KASUS: DESA SUNGAI SAMAK, KECAMATAN BADAU, KABUPATEN BELITUNG) Satya Wardhana — 177

PERBEDAAN PERILAKU PRO-LINGKUNGAN SISWA DI SEKOLAH ADIWIYATA DAN NON-ADIWIYATA Tyas Palupi — 191

KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN RIMBO LARANGAN DI NAGARI PARU, KABUPATEN SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT Yuki Alandra — 205

Page 6: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

iv v

ANALISIS JEJAK KARBON DAN STRATEGI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA Zumrodi — 291

SISTEM DAN TEKNIK TRANSPORTASI

ANALISIS KRITERIA KELAYAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JALAN YANG MELALUI KAWASAN HUTAN Alfa Sandy Aprazah — 231

TATA KELOLA JARINGAN DALAM KERANGKA PERENCANAAN STRATEGIS UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT (TOD) STUDI KASUS : MRT JAKARTA FASE I Ayu Prima Yesuari — 245

PERAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT DALAM MENDUKUNG TRANSPORTASI BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN YOGYAKARTA Desiana Tri Wahyuni — 259

ANALISIS TINGKAT PRIORITAS PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI PERJALANAN ANTAR KOTA DALAM PROVINSI DENGAN METODE FUZZY AHP (RUTE KOTA PADANG–KOTA PARIAMAN) Fauzan Nurmatias — 269

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN PADA INTEGRASI SISTEM JARINGAN JALAN EKSISTING DENGAN COASTAL ROAD DI KOTA BALIKPAPAN Sri Kusrini — 277

PENGARUH PEMANFAATAN JALUR HIJAU TERHADAP KESELAMATAN DAN KONDISI PERKERASAN JALAN (STUDI KASUS : JARINGAN JALAN DI KAWASAN KOTABARU, YOGYAKARTA)

Wahyu Abidin Shaf — 287

Page 7: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

vi vii

Page 8: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

vii

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia khususnya dari daerah. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan meningkatkan sumber/daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan tujuan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Lingkungan dan Transportasi ini merupakan buku kesembilan dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karyasiswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan ilmiah buku sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

Page 9: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

viii ix

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, Oktober 2018

Pusbindiklatren Bappenas

Page 10: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ix

Page 11: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

x

Direktori Mini Tesis-Disertasi

ILMU LINGKUNGAN

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 12: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

KAJIAN RANCANGAN BLOK PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA GUNUNG LALANG DI KABUPATEN BELITUNG

Nama : Aditya Mastriani Pria Sandika

Instansi : Pemkab Belitung

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 13: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Tahura (Taman Hutan Raya) Gunung Lalang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) RI Nomor: 579/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 tanggal 27 Juli 2016. Namun sampai saat ini, Tahura Gunung Lalang tidak memiliki dokumen yang memadai terkait kondisi biofisik serta belum melakukan penataan areal ke dalam blok pengelolaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rancangan blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang dengan menggunakan metode Analisis Sensitivitas Kawasan dan Aktivitas Masyarakat. Metode ini menggunakan teknik overlay peta-peta tematik dari data biofisik serta data sosial ekonomi budaya yang dikumpulkan. Selain itu, penelitian ini juga akan merumuskan strategi dan arah pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang dengan menggunakan Analisis SWOT. Metode penelitian yang digunakan merupakan penggabungan kuantitatif dan kualitatif, kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 macam rancangan blok pengelolaan di Tahura Gunung Lalang yaitu blok perlindungan (1.249 Ha), blok pemanfaatan (86,8 Ha), dan blok rehabilitasi (1.221,88 Ha). Strategi pengembangan kawasan Tahura Gunung Lalang yang menjadi prioritas utama bagi pengelola Tahura nantinya adalah strategi S-O, yaitu dengan menggunakan seluruh kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi-strategi tersebut yaitu mengembangkan sarana dan prasarana kepariwisataan, memberikan pelatihan dan pembinaan kewirausahaan kepada masyarakat, serta melakukan promosi wisata. Bentuk arahan pengembangan pada setiap blok pengelolaan antara lain: 1) Blok Perlindungan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi ekosistem untuk memperbaiki kualitas tutupan lahan; 2) Blok Pemanfaatan, yaitu dengan melakukan pemulihan areal yang rusak akibat penambangan batu dan aktivitas perkebunan lada, melengkapi sarana dan prasarana kepariwisataan, serta melakukan promosi wisata, dan; 3) Blok Rehabilitasi, yaitu dengan melakukan reklamasi dan restorasi ekosistem terhadap seluruh atau pada sebagian areal blok.

Kata kunci: Taman Hutan Raya, Analisis Sensitivitas Kawasan dan Aktivitas Masyarakat, Vegetasi, Satwa, Sistem Informasi Geografis

Page 14: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

ABSTRACT

The existence of Tahura Gunung Lalang (Mount Lalang Great Forest Park) is determined based on the Decree of the Minister of Environment and Forestry (LHK) of Republic of Indonesia Number: 579/Menlhk/Setjen/PLA.2/7/2016 dated on July 27, 2016. However, to date, Tahura Gunung Lalang still has no adequate documents related to biophysical conditions and the area has not been arranged into a proper management block. The purpose of this study is to draft the management block of Tahura Gunung Lalang using the Area Sensitivity and Community Activity Analysis method. The method uses the overlay technique of thematic maps from biophysical as well as socioeconomic data previously collected. In addition, this study will also formulate strategies and development directions for each management block of Tahura Gunung Lalang using SWOT Analysis. The research method used is a combination of quantitative and qualitative, then analyzed descriptively. The results showed that there were three types of management block designs in Gunung Lalang Tahura namely protection blocks (1,249 Ha), utilization blocks (86.8 Ha), and rehabilitation blocks (1,221.88 Ha). The development strategy of the Tahura Gunung Lalang area which is the top priority for Tahura managers will be the S-O strategy, which will use all available power to take advantage of the opportunities as much as possible. This strategy is to develop tourism facilities and infrastructure, provide training and entrepreneurship development to the community, as well as to conduct tourism promotion. The forms of development direction for each management block include: 1) Protection Block, by conducting ecosystem restoration efforts to improve the quality of land cover; 2) Utilization Block, by restoring areas damaged by rock mining and pepper plantation activities, completing tourism facilities and infrastructure, as well as conducting tourism promotion, and; 3) Rehabilitation Block, by carrying out reclamation and ecosystem restoration of all or part of the block area.

Keywords: Great Forest Park, Analysis of Area Sensitivity and Community Activities, Vegetation, Animals, Geographic Information Systems

Page 15: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

4 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN RANCANGAN BLOK PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA GUNUNG LALANG DI KABUPATEN BELITUNG

A. Latar Belakang

Berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 76 Tahun 2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, perencanaan dan penataan areal Tahura dilakukan dengan membagi kawasan tersebut ke dalam blok-blok pengelolaan sesuai hasil inventarisasi potensi kawasan serta dengan mempertimbangkan prioritas pengelolaan kawasan. Selain didasarkan pada potensi, prioritas pengelolaan kawasan juga harus dilakukan dengan melihat permasalahan, status dan kondisi terkini dari areal Tahura tersebut. Oleh karena itu, agar Tahura Gunung Lalang dapat berfungsi dengan baik, diperlukan pengelolaan yang disusun dengan perencanaan matang melalui penataan areal ke dalam zonasi/blok-blok pengelolaan, yang tidak hanya mengedepankan kapabilitas kawasan, melainkan juga aspek integritas kawasan sehingga fungsinya tetap terjaga. Terlebih lagi sejak ditetapkannya hingga saat ini, Tahura Gunung Lalang belum memiliki dokumen pengelolaan yang jelas terkait kondisi maupun dalam hal penataan arealnya. Menurut Eagles et al. (2002), terdapat beberapa manfaat penataan suatu kawasan ke dalam zonasi atau blok pengelolaan yaitu:

1. Proses zonasi wilayah membantu dalam memahami nilai-nilai setiap lokasi.

2. Zonasi wilayah membantu mengorientasikan dan menetapkan pengaruh dari manusia yang bisa diterima untuk kemudian mengendalikan dampak yang tidak diinginkan.

3. Zonasi wilayah menyediakan suatu pemahaman yang lebih baik tentang alam dan peluang pariwisata serta rekreasi di dalam dan di sekitar wilayah yang dilindungi.

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait penataan blok dan pengembangan areal Tahura di Indonesia. Rifki (2007) melakukan kajian mengenai konsep penataan kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman di Provinsi Lampung seluas 22.429 hektare. Penelitian tersebut bertujuan untuk merancang blok-blok pengelolaan pada Tahura Wan Abdul Rahman serta merumuskan strategi pengelolaan ekowisata pada tiap-tiap blok pengelolaannya. Dalam penyusunan blok pengelolaan, Rifki (2007) tidak melakukan pemetaan sebaran satwa yang seharusnya menjadi salah satu bahan pertimbangan penting dalam penyusunan blok-blok pengelolaan Tahura. Pada tahun 2008, Yosepi Kendekallo melakukan kajian kesesuaian Taman Hutan Raya di Kecamatan Tondon dan Kecamatan Nanggala, Kabupaten Tana Toraja seluas 15.928 hektare.

Page 16: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 5

Penelitian tersebut merancang blok-blok pengelolaan Tahura, namun tidak membuat rumusan strategi terkait penataan dan pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura.

Dalam penelitian ini, akan dibuat rancangan Blok Pengelolaan Tahura Gunung Lalang di Kabupaten Belitung, dengan pendekatan Sensitivitas Kawasan dan Aktivitas Masyarakat, di mana dimensi biofisik, termasuk di dalamnya pemetaan sebaran satwa, serta dimensi sosial ekonomi budaya akan menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan blok pengelolaan Tahura. Selain itu, akan disusun rumusan strategi dan arahan pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Penetapan kawasan Hutan Konservasi Gunung Lalang sebagai Tahura tidak dilengkapi dengan suatu kajian ilmiah mengenai informasi kondisi biofisik serta sosial ekonomi budaya yang terdapat di dalam dan di sekitarnya. Tidak tersedianya data tersebut, pada akhirnya akan menyulitkan pengelola Tahura Gunung Lalang dalam menentukan bentuk pengelolaan dan pengembangan Tahura Gunung Lalang. Selain itu, sebagai Tahura yang baru terbentuk, maka langkah awal yang perlu dilakukan sebagai bagian dari penyempurnaan perencanaan dan pengelolaan Tahura yang baik adalah membagi areal Tahura Gunung Lalang ke dalam blok-blok Pengelolaan. Sebagai data awal untuk mendeliniasi areal Tahura Gunung Lalang, digunakan data Shapefile tipe tutupan lahan dari Bidang Kehutanan, Dinas TPHP2KKP Kabupaten Belitung Tahun 2014, yang mengacu pada peta kelas tutupan lahan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Untuk itu pertanyaan penelitian yang diajukan adalah:

1. Bagaimana bentuk rancangan blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang.

2. Bagaimana strategi dan arahan pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun rancangan blok-blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang. Data biofisik dan sosial ekonomi budaya diperlukan sebagai bahan dan masukan dalam penyusunan blok pengelolaan tersebut. Selain itu, dilakukan juga analisis untuk merumuskan strategi serta arahan pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penggabungan kuantitatif dan kualitatif (mixed method) (Creswell, 2009), yaitu dominant-less dominant design di mana

Page 17: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

6 Direktori Mini Tesis-Disertasi

metode kuantitatif merupakan metode dominan, sedangkan metode kualitatif sebagai metode yang kurang dominan.

Metode kuantitatif pada penelitian ini terkait pengumpulan data sebagai berikut: (1) vegetasi, (2) satwa, (3) slope/kelerengan, (4) curah hujan, (5) topografi/ketinggian, (6) posisi/koordinat potensi obyek wisata alam dan budaya, (7) jumlah fasilitas umum di sekitar areal Tahura, serta (8) keterlibatan dan dukungan masyarakat dalam pengelolaan Tahura Gunung Lalang (kuesioner). Sedangkan metode kualitatif terkait pengumpulan data mengenai jenis potensi obyek dan atraksi sosial ekonomi budaya pada areal Tahura, jenis fasilitas umum di sekitar areal Tahura, bentuk dan sumber ancaman terhadap keberadaan vegetasi dan satwa di dalam areal Tahura, serta untuk merumuskan bagaimana dukungan pemangku kepentingan terhadap keberadaan dan pengelolaan Tahura Gunung Lalang, yang dilakukan melalui wawancara pada informan kunci (keys informant) dengan teknik purposive sampling

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara administratif, wilayah Tahura Gunung Lalang terletak di Desa Perawas dan Buluhtumbang yang merupakan bagian dari Kecamatan Tanjungpandan, serta Desa Air Seruk yang merupakan bagian dari Kecamatan Sijuk. Batas-batas wilayah Desa Perawas, Buluhtumbang dan Air Seruk. Kawasan Hutan Gunung Lalang merupakan kawasan hutan lama peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kawasan ini adalah register ke-16 dari 16 register kawasan hutan yang ada di Pulau Belitung.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, seluruh kawasan hutan register di Indonesia mulai diatur, ditata, dan ditetapkan kembali dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Proses ini dikenal dengan istilah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). TGHK di Pulau Belitung diawali dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor: 925/Kptum/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 tentang Penunjukkan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan seluas ± 4.624.950 hektare. Surat Keputusan ini kemudian direvisi melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 410/Kpts-II/1986 tanggal 29 Desember 1986. Revisi ini dilakukan karena terdapat perubahan fungsi dan luasan dari beberapa kawasan hutan di wilayah Sumatera Selatan. Berdasarkan SK 410/Kpts-II/1986, fungsi dari Kawasan Hutan Gunung Lalang adalah Hutan Produksi Tetap (HPT), dan tata batas arealnya ditetapkan melalui

Page 18: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 7

Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 258/Kpts-II/1995 tanggal 16 Mei 1995.

Pada awal tahun 2000, seluruh kawasan hutan di Pulau Belitung direvisi karena akan dilakukan penyesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten. Proses Ini dikenal dengan istilah Paduserasi. Pada saat itu, muncul usulan untuk menjadikan HPT Gunung Lalang sebagai areal Taman Hutan Raya. Hal ini dilatarbelakangi letak HPT Gunung Lalang yang cukup strategis, yakni dilintasi jalan akses dari Bandara H.A.S Hanandjoedin menuju kota Tanjungpandan. Gunung Lalang juga memiliki bukit dengan pemandangan yang bagus sehingga cocok untuk dijadikan sebagai tempat wisata. Selain itu, kondisi tutupan lahan HPT Gunung Lalang juga masih relatif bagus. Hal ini dibuktikan dari pemeriksaan citra satelit Google Earth areal Gunung Lalang pada tahun 1999 yang menunjukkan masih banyaknya tutupan hutan di HPT Gunung Lalang pada saat itu.

Berdasarkan wawancara, dapat disimpulkan bahwa seluruh stakeholder siap membantu dan mendukung keberadaan dan pengelolaan Tahura Gunung Lalang. Hal ini terlihat dari pernyataan dan sikap dari pemangku kepentingan dalam memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung dalam pengelolaan Tahura Gunung Lalang nantinya. Terdapat tiga bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh pemangku kepentingan terkait antara lain: (1) dukungan teknis; (2) dukungan administrasi; dan (3) dukungan pembiayaan.

2. Rancangan Blok Pengelolaan Tahura Gunung Lalang

Berdasarkan hasil observasi lapangan, terdapat dua macam bentuk aktivitas masyarakat di dalam Tahura Gunung Lalang yaitu aktivitas pemanfaatan lahan dan aktivitas pemanfaatan sumber daya hutan. Bentuk pemanfaatan lahan di dalam Tahura Gunung Lalang adalah berupa aktivitas pertanian lahan kering/ perkebunan dengan komoditas yang paling banyak diusahakan yakni lada dan karet, serta aktivitas pertambangan ilegal berupa pertambangan timah dan batu ilegal. Sedangkan bentuk pemanfaatan sumber daya hutan yaitu berupa aktivitas pengambilan hasil hutan kayu dan non-kayu, serta perburuan satwa kancil/ pelandok.

Berdasarkan hasil tumpang susun (overlay) antara peta sensitivitas kawasan dan peta aktivitas masyarakat, serta dengan tetap berpedoman pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan R1 Nomor P.76/Menlhk-Setjen/2015 dan kriteria penentuan blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang, Tahura Gunung Lalang dibagi menjadi beberapa blok.

Page 19: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

8 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Blok Perlindungan merupakan areal yang memiliki keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa; tutupan lahan yang didominasi oleh tegakan hutan; serta areal yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pengambilan hasil hutan kayu dan non-kayu. Areal ini juga memiliki jenis vegetasi dan satwa yang dilindungi oleh pemerintah berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999 seperti Ketakong dan Pelandok serta menjadi tempat dilakukannya perburuan satwa Pelandok. Blok Perlindungan terfragmentasi menjadi dua bagian sesuai dengan hasil identifikasi kondisi biofisik yaitu di bagian utara Tahura Gunung Lalang seluas ± 583 hektare dan di bagian selatan seluas ± 666 hektare. Luas keseluruhan blok perlindungan adalah ± 1.249 hektare.

Perkiraan Blok Pengelolaan untuk Spot areal pandang dari atas bukit yang terletak di Gunong Lalang, Gunong Cela Bulin dan Gunong Kik Tunggal adalah sebagai blok pemanfaatan. Namun karena lokasinya terletak di daerah bukit/gunong yang lebih diprioritaskan sebagai blok perlindungan, maka pemanfaatan potensi obyek wisata ini harus bersifat terbatas (areal wisata dengan minat khusus). Berdasarkan Winarno (2004), potensi obyek wisata yang terletak pada Blok Perlindungan tetap dapat dimanfaatkan secara terbatas dalam bentuk wisata dengan minat khusus, yaitu wisata dengan jumlah pengunjung yang relatif kecil dan berkelompok dengan tujuan tertentu, melalui prosedur dan persyaratan yang ketat.

Blok Pemanfaatan merupakan areal yang memiliki potensi obyek wisata alam dan budaya. Blok Pemanfaatan juga terfragmentasi menjadi dua bagian yaitu di bagian barat Tahura Gunung Lalang yang merupakan areal wisata sejarah Gunong Kik Tunggal, Jirat Sembilan, Kelekak Nek Kida, dan Pok Kuncit dengan luas 69 hektare, serta di bagian timur yang merupakan areal Aik Parong Tujo dengan luas ± 17,8 hektare. Berdasarkan Peta Administrasi Kabupaten Belitung yang mengacu pada Peta Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung tahun 2014, areal Blok Pemanfaatan merupakan bagian dari Desa Perawas. Luas keseluruhan blok pemanfaatan adalah ± 86,8 hektare.

Alokasi blok yang terakhir adalah Blok Rehabilitasi. Blok Rehabilitasi merupakan areal yang selama ini dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian lahan kering/perkebunan dengan komoditas berupa lada dan karet, serta pertambangan timah dan batu ilegal. Pada blok rehabilitasi juga ditemukan tanaman Ketakong sebanyak tiga buah di daerah Bicong Desa Air Seruk yang merupakan areal bekas penambangan timah ilegal. Luas Blok Rehabilitasi adalah ± 1.221,88 hektare.

Dengan melihat kondisi lahan serta dengan memprioritaskan upaya pemulihan lahan, maka daerah tempat ditemukannya Ketakong ini tidak dialokasikan sebagai Blok Perlindungan melainkan menjadi Blok Rehabilitasi. Kegiatan pemulihan pada

Page 20: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 9

blok rehabilitasi memerlukan campur tangan manusia melalui kegiatan reklamasi lahan dan restorasi ekosistem.

3. Strategi Pengembangan Tahura Gunung Lalang

a. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal

• Strengths (Kekuatan)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diidentifikasi beberapa faktor kekuatan yang dimiliki Tahura Gunung Lalang, antara lain:

◊ Memiliki potensi keanekaragaman vegetasi dan satwa;

◊ Memiliki potensi obyek wisata alam;

◊ Memiliki potensi obyek wisata budaya;

◊ Aksesibilitas lokasi yang mudah;

◊ Ketersediaan fasilitas umum di sekitar kawasan;

◊ Dukungan dari masyarakat;

◊ Memiliki areal bertopografi datar.

• Weaknesses (Kelemahan)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diidentifikasi beberapa faktor kelemahan yang dimiliki Tahura Gunung Lalang, antara lain:

◊ Belum adanya pelimpahan kewenangan secara resmi dari Bupati Belitung kepada satuan kerja terkait, dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung;

◊ Minimnya pengetahuan pemangku kepentingan serta masyarakat tentang definisi dan tujuan dari suatu Taman Hutan Raya;

◊ Laju kerusakan hutan yang terus meningkat setiap tahunnya;

◊ Belum adanya sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan;

◊ Belum adanya upaya penyelesaian terkait banyaknya aktivitas pemanfaatan lahan ilegal.

• Opportunities (Peluang)

Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa faktor peluang yang dimiliki Tahura Gunung Lalang, antara lain:

Page 21: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

10 Direktori Mini Tesis-Disertasi

◊ Kondisi alamnya memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obyek wisata atau kepentingan lain seperti hiking, flying fox, aktivitas sepeda gunung dan downhill, serta areal bumi perkemahan.

◊ Tersedianya lapangan kerja baru, yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar kawasan Tahura Gunung Lalang;

◊ Membuka peluang masyarakat sekitar kawasan Tahura Gunung Lalang untuk berusaha;

◊ Potensi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Kabupaten Belitung.

• Threats (Ancaman)

Adanya aktivitas pertanian lahan kering/perkebunan, penebangan liar, penambangan liar serta perburuan satwa pelandok yang statusnya dilindungi pemerintah akan membuat keberadaan vegetasi dan satwa di dalam Tahura Gunung Lalang juga menjadi terancam. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diidentifikasi beberapa faktor ancaman yang dimiliki Tahura Gunung Lalang, antara lain:

◊ Adanya aktivitas pertanian lahan kering/perkebunan lada dan karet masyarakat;

◊ Terjadinya penebangan liar untuk keperluan pembukaan lahan maupun untuk pemanfaatan kayunya;

◊ Terjadinya penambangan liar/penambangan timah dan batu ilegal;

◊ Aktivitas perburuan satwa pelandok;

◊ Terjadinya erosi pada areal perbukitan;

◊ Adanya aktivitas sepeda gunung dan motor trail.

b. Pemilihan Strategi

Pengelola Tahura Gunung Lalang harus mampu mengoptimalkan pemanfaatan potensi obyek wisata alam dan budaya sehingga Tahura Gunung Lalang dapat berfungsi sebagai areal destinasi wisata, dengan terlebih dahulu melengkapi sarana dan prasarana kepariwisataan. Selain itu, variasi wisata nantinya perlu dibuat untuk memberikan kepuasan dan pengalaman baru bagi para pengunjung.

Pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat sekitar juga harus dilakukan terutama masyarakat yang akan menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan potensi Tahura Gunung Lalang sehingga mampu berkompetensi dan dapat

Page 22: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 11

melihat peluang-peluang usaha baru yang mungkin dikembangkan di Tahura Gunung Lalang.

Walaupun demikian, strategi yang lain tetap penting dan juga harus diwujudkan oleh pemangku kepentingan dari Pemerintah Kabupaten Belitung terutama pada tahap awal pengembangan Tahura Gunung Lalang seperti percepatan pelimpahan kewenangan pengelolaan Tahura kepada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Belitung agar strategi-strategi selanjutnya dapat diwujudkan.

4. Arahan Pengembangan di Setiap Blok Pengelolaan

a. Blok Perlindungan

Luas rancangan Blok Perlindungan adalah ± 1.249 Ha atau 49 % dari luas total Tahura Gunung Lalang. Pada blok ini, masih terdapat tutupan lahan berupa hutan serta jenis vegetasi dan satwa yang dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 tahun 1999, antara lain tanaman ketakong, serta satwa Pelile’an dan Pelandok. Prioritas utama dari pengelola Tahura Gunung Lalang pada Blok Perlindungan adalah mengembalikan tutupan lahannya karena tidak semua tutupan lahan hutan pada blok ini dalam kondisi baik. Kerusakan pada Blok Perlindungan terjadi akibat aktivitas pengambilan hasil hutan kayu oleh masyarakat. Selain itu, pada Blok Perlindungaan juga masih terdapat beberapa bukaan lahan yang digunakan masyarakat untuk berkebun lada dan karet. Oleh karena itu, upaya restorasi ekosistem menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai bagian dari upaya pemulihan ekosistem alaminya. Berdasarkan penjelasan pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan dan Kawasan Pelestarian alam dijelaskan bahwa kegiatan restorasi ekosistem dilakukan dengan menggunakan komponen spesies asli setempat, baik vegetasi maupun satwa, yang diarahkan untuk mengembalikan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya guna memperkuat sistem pengelolaan kawasan.

Apabila upaya restorasi ekosistem telah berhasil dilakukan, maka nantinya pengelola dapat mengalihkan sebagian peruntukan Blok Perlindungan ini menjadi blok koleksi tumbuhan dan satwa. Pengelola Tahura Gunung Lalang dapat membangun hutan koleksi berbagai jenis tanaman untuk dijadikan sumber plasma nutfah, areal pengembangan jenis vegetasi asli Belitung, serta membangun areal penangkaran satwa untuk melengkapi dan menambah koleksi satwa di dalam Tahura Gunung Lalang. Pengelola Tahura Gunung

Page 23: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

12 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Lalang juga dapat membangun pos-pos jaga di beberapa titik di dalam blok perlindungan untuk meminimalkan terjadinya aktivitas perburuan satwa.

Dengan melihat masih adanya kemungkinan pemanfaatan potensi wisata dengan minat khusus pada Blok Perlindungan, maka pengelolan Tahura Gunung Lalang nantinya harus membuat regulasi/batasan-batasan agar aktivitas yang ada tidak menimbulkan kerusakan baru bagi vegetasi dan satwa yang ada.

b. Blok Pemanfaatan

Luas rancangan Blok Pemanfaatan adalah ± 86,8 Ha atau 3,4 % dari luas total Tahura Gunung Lalang. Pada areal ini terdapat potensi obyek wisata alam Aik Parong Tujo dan potensi obyek wisata budaya seperti wisata sejarah Gunong Kik Tunggal, Jirat Sembilan, Kelekak Nek Kida dan Bendungan/Pok Kuncit.

Prioritas utama yang harus dilakukan oleh pengelola adalah memulihkan kondisi areal di sekitar lokasi obyek wisata alam dan budaya yang telah mengalami kerusakan tutupan lahan akibat aktivitas penambangan batu, penebangan liar, serta perkebunan lada. Selain itu, pada blok pemanfaatan juga harus dipersiapkan sarana dan prasarana untuk menunjang kegiatan kepariwisataan. Sarana dan prasarana yang dimaksud antara lain pembangunan pusat informasi yang menyediakan informasi wisata di Tahura Gunung Lalang, pembangunan pondok wisata, perbaikan jalan akses menuju lokasi dengan seminimal mungkin mengubah bentang alam, fasilitas umum seperti toilet dan tempat parkir, areal kantin/warung makanan, toko cinderamata, dan lain-lain. Berdasarkan Yoety (1996), sarana dan prasarana kepariwisataan sesungguhnya merupakan kebutuhan wisatawan yang perlu disiapkan oleh pengelola obyek wisata. Binarwan (2007) menyatakan bahwa kepuasan wisatawan tidak hanya diperoleh dari atraksi yang mereka lihat, melainkan juga dari fasilitas wisata yang dimiliki obyek wisata tersebut.

Di samping sarana dan prasarana, kegiatan promosi wisata juga harus ditingkatkan untuk menarik minat wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Promosi wisata juga penting dilakukan kepada generasi muda terutama untuk membangkitkan antusiasme agar mereka lebih mengenal nilai-nilai budaya dan sejarah yang terdapat di Tahura Gunung Lalang.

Apabila kegiatan kepariwisataan di Blok Pemanfaatan ini telah berjalan, diharapkan aktivitas-aktivitas merusak seperti penambangan batu dan penebangan liar secara perlahan berkurang dengan sendirinya. Berdasarkan Megantara (2016), adanya kegiatan wisata di dalam kawasan lindung ataupun kawasan konservasi akan dapat mengurangi tekanan yang datang dari

Page 24: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 13

masyarakat terhadap kawasan tersebut, terutama dalam bentuk gangguan dan atau pengambilan berbagai material (tumbuhan dan satwa) secara ilegal dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

c. Blok Rehabilitasi

Luas rancangan Blok Rehabilitasi adalah ± 1.221,88 Ha atau 47,6 % dari luas total Tahura Gunung Lalang. Areal yang dijadikan sebagai Blok Rehabilitasi merupakan areal yang telah mengalami kerusakan akibat adanya aktivitas pertambangan timah dan batu ilegal serta areal yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian lahan kering/budidaya tanaman perkebunan dengan komoditas berupa lada dan karet.

Terdapat dua upaya yang dapat diprioritaskan oleh pengelola Tahura Gunung Lalang untuk dilakukan pada Blok Rehabilitasi. Pertama, dengan melakukan reklamasi serta restorasi ekosistem untuk mengubah seluruh areal yang sekarang merupakan lahan bekas tambang dan areal kebun lada dan karet masyarakat, menjadi areal berhutan kembali. Areal kebun lada dan karet masyarakat yang direstorasi adalah areal kebun yang berbatasan dengan bukit/gunong. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perluasan areal kebun ke arah perbukitan. Kedua, dengan membiarkan sebagian dari areal Blok Rehabilitasi tetap menjadi kebun lada dan karet masyarakat namun difungsikan sebagai sarana pendidikan dan destinasi agrowisata sehingga wisatawan dapat mengetahui tentang teknik budidaya tanaman lada, karet, maupun tanaman pertanian lainnya.

Berdasarkan Indra et al. (2006), setelah kegiatan restorasi dan reklamasi berhasil dilaksanakan pada daerah yang mengalami kerusakan di kawasan konservasi, maka daerah tersebut dapat diperuntukkan kembali ke dalam zona tertentu yang lebih sesuai. Oleh karena itu, beberapa bagian Blok Rehabilitasi nantinya dapat dialihkan ke dalam zona lain ataupun dikembangkan untuk berbagai keperluan, misalnya pembangunan kantor pengelola, maupun dijadikan sebagai areal bumi perkemahan karena letaknya pada areal dengan kelerengan datar hingga landai.

Page 25: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

14 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Rancangan blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang terdiri atas tiga macam blok yaitu Blok Perlindungan (1.249 Ha), Blok Pemanfaatan (86,8 Ha), dan Blok Rehabilitasi (1.221,88 Ha).

2. Berdasarkan hasil analisis SWOT, strategi pengembangan kawasan Tahura Gunung Lalang yang menjadi prioritas utama bagi pengelola Tahura nantinya adalah strategi S-O, yaitu menggunakan seluruh kekuatan yang ada untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi-strategi tersebut yaitu mengembangkan sarana dan prasarana kepariwisataan, memberikan pelatihan dan pembinaan kewirausahaan kepada masyarakat, serta melakukan promosi wisata.

3. Bentuk arahan pengembangan pada setiap blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang yaitu:

a. Blok Perlindungan, yaitu dengan melakukan upaya restorasi ekosistem untuk memperbaiki kualitas tutupan hutan yang rusak akibat aktivitas penambangan liar serta perkebunan lada dan karet. Apabila upaya restorasi ekosistem telah berhasil dilakukan, maka sebagian peruntukan Blok Perlindungan dapat dijadikan sebagai blok koleksi tumbuhan dan satwa. Blok Perlindungan juga berpotensi untuk dikembangkan menjadi obyek wisata lainnya yang bersifat terbatas/wisata dengan minat khusus.

b. Blok Pemanfaatan, yaitu dengan melakukan pemulihan areal yang telah mengalami kerusakan akibat penambangan batu dan aktivitas perkebunan lada, melengkapi sarana dan prasarana kepariwisataan, serta melakukan promosi wisata.

c. Blok Rehabilitasi, yaitu dengan melakukan reklamasi dan restorasi ekosistem terhadap seluruh atau pada sebagian areal blok. Blok Rehabilitasi juga berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal bumi perkemahan serta bangunan kantor pengelola karena kelerengannya yang datar hingga landai

E. Saran

1. Rancangan blok pengelolaan Tahura Gunung Lalang harus segera diikuti dengan penataan batas di lapangan sehingga ada batasan yang jelas bagi pengelola dalam melakukan kegiatan di lapangan.

Page 26: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 15

2. Perlu dilakukan kajian maupun upaya nyata mengenai penyelesaian potensi konflik di kawasan Tahura Gunung Lalang terutama terkait dengan kepemilikan kebun lada dan karet oleh masyarakat di dalam Kawasan Hutan Negara, dengan melibatkan pemangku kepentingan serta masyarakat setempat.

3. Perlu dilakukan penelitian terkait geologi terhadap keberadaan gunong/bukit serta adanya batu-batu besar di dalam Tahura Gunung Lalang yang dimanfaatkan masyarakat untuk aktivitas pertambangan.

Page 27: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

16 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 28: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

IMPLEMENTING THE NATIONAL ENERGY POLICY (KEN): A STUDY OF ENERGY SECURITY AND INTERRELATION AMONG THE ACTORS, CASE STUDY: THE PROVINCE OF JAMBI (INDONESIA)

Nama : Alfan Enzary

Instansi : Pemprov Jambi

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia-The Netherlands

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung -

University of Twente

Page 29: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

18 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Mengelola sumber daya alam menghadapi dilema di sebagian besar negara produsen sumber energi. Konflik antara kepentingan politik dan sosio-ekonomi telah menjadi masalah utama yang menyebabkan dilema, opsi untuk menjual (ekspor) daripada digunakan untuk pemenuhan domestik tampaknya menjadi pilihan paling banyak yang telah dilakukan oleh negara-negara produsen. Oleh karena itu, kebijakan energi dianggap sebagai instrumen terbaik dalam manajemen energi. Namun, implementasi kebijakan yang efektif menjadi titik kritis di luar kebijakan di atas kertas. Provinsi Jambi (Indonesia) diambil sebagai studi acase, dengan tujuan untuk menganalisis proses implementasi Kebijakan Energi Nasional (KEN) di provinsi. The Contextual Interaction Theory (CIT) digunakan sebagai kerangka teoritis untuk menjelaskan interaksi di antara para aktor berdasarkan karakteristik mereka dan faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi proses implementasi. Data primer dari penelitian ini berasal dari wawancara semi-terstruktur dan kelompok kerja dengan informan kunci dari otoritas energi: pembuat kebijakan dan perusahaan utilitas nasional. Data sekunder mendukung data primer yang berasal dari studi awal energi di Provinsi Jambi, dokumen kebijakan, data statistik energi, dan sumber dari media. Metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus diterapkan untuk menjelaskan kondisi di Provinsi Jambi dengan membandingkan dampak kebijakan di daerah perkotaan dan pedesaan. Studi ini telah menemukan bahwa rasio elektrifikasi meningkat secara signifikan (82%) pada tahun 2016, membuktikan bahwa KEN (kebijakan) mempengaruhi pasokan layanan listrik di provinsi ini. Namun, penundaan beberapa proyek pembangkit listrik telah diidentifikasi sebagai penghalang dalam implementasi KEN, yang telah mempengaruhi pasokan layanan listrik yang aman di provinsi. Faktor-faktor ini telah ditemukan dalam analisis konteks internal dan eksternal yang mempengaruhi implementasi kebijakan KEN. Lebih dari itu, rekomendasi dan evaluasi studi telah didiskusikan untuk mengkonfirmasi kontribusi penelitian kepada badan pengetahuan yang ada dengan saran untuk penelitian lanjutan.

Kata kunci: Keamanan Energi, Kebijakan Energi Nasional (KEN), Efisiensi Energi, Teori Interaksi Kontekstual, Proses Pelaksanaan.

Page 30: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 19

ABSTRACT

Managing natural resources is facing dilemmas in most of energy sources producer countries. The conflict between political interest and socio-economic has been the major problem that caused the dilemmas, option to sell (export) rather than to use for the domestic fulfillment seems to be the most choice that has been undertaken by the producer states. Therefore, energy policy is considered the best instrument in energy management. However, effective implementation of the policy becomes the critical point beyond the policy on paper. The Province of Jambi (Indonesia) is taken as a case study, with aims to analyze the implementation process of the National Energy Policy (KEN) in the province. The Contextual Interaction Theory (CIT) is used as the theoretical framework to explain the interaction among the actors based on their characteristics and the contextual factors that influence the implementation process. The primary data of this research were derived from semi-structured interviews and a working group with the key informants of energy authorities: the policy makers and the national utility company. The secondary data that supported the primary data were derived from preliminary study of energy in Jambi Province, policy documents, energy statistical data, and sources from media. The qualitative methods with the case study approach applied to explain condition in Jambi Province by comparing the impact of the policy in the urban and rural areas. This study has found that the electrification ratio was increased significantly (82%) in 2016, proving that the KEN (policy) influenced the electricity services supply in the province. However, the delay of several projects of power generation has been identified as the barrier in the KEN implementation, which has influenced the secure supply of electricity services in the province. These factors have been discovered in the analysis of the internal and external contexts that influence the implementation of the KEN policy. Moreover, recommendations and evaluations of the study have been discussed to confirm the contribution of the research to the existing body of knowledge with suggestions for advanced research.

Keywords: Energy Security, National Energy Policy (KEN), Energy Efficiency, Contextual Interaction Theory, Implementation Process.

Page 31: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

20 Direktori Mini Tesis-Disertasi

IMPLEMENTING THE NATIONAL ENERGY POLICY (KEN): A STUDY OF ENERGY SECURITY AND INTERRELATION AMONG THE ACTORS, CASE STUDY: THE PROVINCE OF

JAMBI (INDONESIA)

A. Background

The world energy consumption is dominated by non-renewable energy. Approximately 80% of fossil fuel is dominating the world consumption, which means only 20% of renewable energy is being used in total as reported by IEA in 2011 (World Energy Outlook, 2013). The dependency on fossil fuel leads to the global energy crisis since the reserves of fossil fuel are finite. This situation consequences to the five big problems of the world as stated by Thomas Friedman (2008), such as energy supply and demand, petro-dictatorship, climate change, energy poverty, and biodiversity loss. Moreover, energy is one of the key indicators of sustainable development measurement.

Energy supply is critical in supporting the economic growth of nations. Previous studies showed that the prosperity of a nation can be determined by the growth of its GDP, whereas the GDP would be linear with the needs of energy per capita (IMF, 2011). This indicates that energy access is one of the factors to bring prosperity. Nevertheless, the people who live in rural areas are the groups which have lack of access to energy.

Access to energy is one of the keys to reduce poverty (Pye and Dobbins, 2015). Creating energy access with affordable price to the communities will improve their lives, enable to generate income, increasing agricultural productivity, and supporting economic activity (UN-Energy, 2005). Hence, many programmes from the government and development agencies are based on this circumstances, to create the viability of energy supply by using productive energy, especially when subsidies are limited (Kooijman, 2008). Moreover, one of typical forms of basic energy is electricity. Creating affordable electricity services may contribute to increase socio-economic status, GDP and reducing poverty for the societies (DFID, 2002; Sanchez, 2006).

Indonesia as a developing country is facing the problem in providing electricity access. On one hand, the non-renewable energy uses were dominated by the power generation, with the shares: coal (52%), gas (24%), oil (13%), and small portion of renewable energy, such as hydro (8%) and geothermal (4%) (Outlook Energy Indonesia, 2014). On the other hand, the electricity transmission has not been interconnected to the entire regions. The national utility company (PT. PLN) that is responsible on providing electricity services for the citizens only can fulfill about 70% of the transmissions (DEN,

Page 32: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 21

2014). This situation mostly affected the distant areas due to their geography.1 For instance, the electrification ratio of Jambi Province is only 80% (DESDM Jambi, 2016). It is surprising that it is not balanced considering the province is one of the energy producer sources. The energy resources potential in Jambi Province reported: oil (395.445.680 Barrels, Lifting: 6.403.411 Barrels), gas (15.672,87 BSCF, Lifting: 16.001.213BOE), coal (2,2 Billions Ton, Production: 3,32 Million Tonnes/year), (KESDM, 2015). This is the reason why Jambi Province is taken as the case study for this thesis (see Section 4.1 for description of Jambi Province).

Energy policy has been considered as an instrument to solve the energy (electricity) issue. Previous studies recommended that energy policy should be established to create energy security (Martins, 1999; Winzer, 2011; Poggi; Firmino; Amado, 2015; Teles; Silva; Gaudêncio; Torres, 2015; Radovanovic; Filipovic; Pavlovic, 2016). Energy security has been part of the national issue in many countries in the world. An integrated energy management is needed to achieve security of supplies, therefore, a reliable energy policy is the answer. Furthermore, not only policy on paper, but the implementation of the policy is critical to obtain the policy goals (e.g. energy security). The government of Indonesia has been implementing the energy policy since 1981. However, the evidence indicated that the existing energy policies do not much lead to improvement (Hartono and Resosudarmo, 2007). Evaluations (by the government) have been conducted to the existing policies and create some policy changes. Recently, the national energy policies have been released (UU No. 30/2007; PP No. 79/2014) namely KEN in order to achieve energy security and sustainable energy in Indonesia. Thus, I would like to study the implementation process of The National Energy Policy (KEN) in Jambi Province (Indonesia).

B. Research Problems and Methodology

The Province of Jambi is one of energy sources (e.g. oil, natural gas, coal, and geothermal) producer in Indonesia which located in Sumatera Island (figure 1). In contrast, the blessing does not guarantee the province to fulfill its energy demand. The report said that the electrification ratio of Jambi Province was 80%, means 20% citizens of Jambi cannot access the electricity services (DESDM Jambi, 2016). The data refer to the households living in rural areas. Several projects such as micro-hydro, biogas and geothermal are being developed by the different levels of governments (national, provincial, and regency/municipality) as a reaction to the implementation of KEN to provide electricity services in the province. There are various actors/stakeholders that are involved in funding and organizing the programmes, vary from the government, non-government organizations, and private sector organizations. The main problem that leads to this study is that the provincial government shows a slow progress in

Page 33: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

22 Direktori Mini Tesis-Disertasi

implementing KEN policy to provide access to the electricity services to the households in rural areas. Therefore, the focus of the research is to analyze the dynamic interaction among actors based on their characteristics that involved in the implementation of KEN in the Province of Jambi.

Considering the energy sources potential in Jambi Province, the security supply and distribution of electricity services are critical in terms of energy sustainability. As well as internal factors, the effort to provide electricity services is also influenced by external factors. Due to the fact, the second purpose of this research is to explain the contextual factors that influence the implementation process of KEN.

The research used a case study approach as its strategy. Case study analysis focuses on small number of cases that are expected to explain a causal relationship in the larger population of cases (Gerring, 2007). Therefore, the research used comparison approach as well, in which compared situation between urban and rural areas. It aimed to get comprehensive explanation of the policy implementation process in Jambi Province.

This study used qualitative methods for the data collection. The primary data were collected through interviews and a working group. A working group was used to collect information from diverse actors taking part in policy implementation. This research used secondary data that were obtained through a desk study. The data resources were mainly statistical/quantitative data derived from previous studies.

C. Data Analysis and Results

1. KEN impacts to the energy security

The chapter has illustrated the availability of resources and current electrification in Jambi Province. This availability relied on the system which has been installed whereas the province was lack of power generation. Moreover, the distribution system in the delivery services was controlled by regulation, which stated that the implementation process of KEN influenced the energy (supply) security in Jambi Province. It also explained that all the actions which were being taken by the target actor (PT PLN) to provide electricity services was deliberately taken a top down approach in the implementation process. Hence, it clearly showed that the PT. PLN as the target actor was the most responsible actor in the electricity provision. However, the limited resources indicated that it needs another actor in the electricity services provision.

The existence of the third party (IPP) in the electricity provision is significant due to lack of resources of PT PLN. Moreover, most of projects are funded by the

Page 34: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 23

national government. Therefore, the independency of provincial government is crucial in attempts to provide electricity access. This is considered as one factor that can contribute to achieve KEN target. This chapter also showed the actor‘s characteristics (in CIT) influence the implementation process, whereas the motivation and resources were represented by the government programmes and funds, while the cognition was represented by the knowledge of the target actors regarding the policy contents to take action in energy (electricity) infrastructure provision in Jambi Province. The lack of information regarding (KEN) policy contents of the private sectors influenced their cognition. Thus, it seemed to be an obstacle in the implementation process of KEN which was indicated by less contribution of the IPP to the electricity services provision in the Jambi Province.

2. Output Arena

The analysis showed a top-down approach, in which the provincial government has the biggest responsibility in the implementation process of KEN policy. This chapter has also made it clear that each layer of government is important in the implementation process because the actions they take affect the KEN implementation process. This chapter has also revealed the other actors who influence on the implementation process based on their contribution. There are significant changes in the level of authority. Since the policy (UU No. 23/2014)

is being implemented, the provincial government is responsible in coordinating the projects for electricity provision. All the projects should get permits granted by the provincial government to enable them from being implemented in the regencies or municipalities. However, it does not mean the local governments have no responsibility in the implementation process regarding the electricity services provision. In fact, the regencies/municipalities government is critical to support the KEN implementation process by providing data collection of the households and villages, so that, the provincial government enables to integrate them in the local energy plan in order to develop a sufficient plan for electricity services delivery.

3. Restatement of research questions

The main empirical results were analyzed in Chapter 4 KEN impacts to the energy security and Chapter 5 Output arena. Hereafter a look back is given to the empirical findings with the aim of answering the research question of this study:

a. How does the implementation of the energy policy (KEN) impact on the energy security in Jambi Province?

b. How do actor characteristics as stated in CIT, influence the energy policy (KEN) implementation process?

Page 35: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

24 Direktori Mini Tesis-Disertasi

With these questions the study strived to explain the policy stances to the energy security in the energy sources producer area, to identify contextual factors that influence the policy implementation process, to explain actor‘s characteristics that influence the implementation process of KEN. In doing so, the CIT framework has been used as a starting position when identifying the impact and second, in organization of findings. Data were gathered from two energy policies and three related policies, interviews, working group and data from the documents of energy programmes. Four participants were chosen according to their availability, responsiveness and involvement in the energy sector. Thus, data used from the energy programmes were collected from the Energy and Mineral Resources Agency of Jambi Province and from the Ministry of Energy and Mineral Resources.

4. Discussion

Literature review gave information about the energy policies and its impact at global as well as national context, and the perspective of energy security. This was labeled as input arena that leads actors in their behaving, and impact of the policy implementation as output. The analysis of policy documents bring perspective in the process arena to give deduction regarding actor‘s contributions. The analysis is supported by data collection to explain actor‘s characteristics and contextual factors which influence the implementation process.

According to multi-governance analysis, the implementation process is a dynamic interaction. The actors behaving in the context are controlled by the policy. It is reflected whether there is policy changes, then followed by the roles of actors in implementing the policy. In order to conclude whether the actor‘s characteristics influence the implementation process, it was necessary to analyze through data collection. It could be said that actor‘s characteristics did influence the implementation process. The analysis focused on two actors, which were the implementer represented by the government and target group represented by private companies and households. The motivation and resources from the government have high control to the implementation process. It is clearly seen through the government programmes which were delayed due to financial problem have caused deficiency in the electricity services delivery. Moreover, the government‘s cognition also influence the implementation process showed by the paradigm changes to use resources for the development. It is important to note that as an energy sources producer state (Indonesia) has been realized that resources are limited, therefore, it is important to utilize the resources for the domestic consumption rather than for selling it for economic reason.

Page 36: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 25

Furthermore, the implementation process also influenced by the target group. The research revealed that low level of participatory from private companies affected the electricity services supply. It can be said that the acknowledgement of private companies regarding policy contents (KEN) affected their actions in implementation process. The lack of projects financing can be assisted through private sector‘s participation. With regards, finishing the projects on time is required in order to secure the electricity supplies to the citizens of Jambi Province. Since the interview was not conduct to the households, it is hard to state that they influence the implementation process and be the weakness point of this study. However, with the roles they play, it is considered that the communities also influence the KEN implementation process. Since the projects are operated by the communities, they have to find the best way to ensure the continuity of electricity supply from the system based on their initiatives (Pitoy, 2011).

Investigating the factors that are influencing the implementation process to the energy security, this study found that several factors influenced the phenomenon. Hence, these factors are categorized as wider context. As quoted from article (april 5, 2012), Indonesia now has the lowest domestic fuel price in all of Asia and is out of step with the rest of the world, which is trying to reduce its addiction to fossil fuels, protect the environment, and mitigate climate change. Moreover, Indonesia is now a net energy importer—and a low domestic fuel price makes it more dependent on imported energy and more vulnerable to energy price shocks from abroad‖ (Nehru, 2012). This condition affected directly to the citizens as multiplier effect whereas the price of food, transportation and services increased significantly (Rahmadi, 2013). On one hand, subsidy is impacted the social welfare. The budgetary savings should take into account to enable energy infrastructure‘s development. On the other hand, the political system is another wider context which was found in the literature assessment that influenced the energy security at macro level (Friedman, 2008). Since the fossil fuel is the primary energy sources, the volatile price of oil will affect the security supplies of electricity services.

Finally, it has been confirmed that the two actors are inducing each other‘s actions and engagements in their interaction in the process arena. By using the CIT, actors characteristics and contextual factors in process arena are perceived and conceptualized to understand the main elements triggering the treatment of KEN policy.

Page 37: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

26 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Conclusions

The study started with the literature assessment, to get picture of phenomenon how an energy sources producer area manage it resources through energy policy. Then, the data analysis were done to understand the factors that influenced the KEN implementation process. The analysis revealed that the actor‘s actions are driven by the policies in the implementation process. In that process, the three actor‘s characteristics such as motivation, cognitions and resources of private sector, household and government have been identified and explained. The results of analysis gave rise to the observations and policy implications for further research and by linking its findings to previous studies contributed to the general body of knowledge. This study showed the importance of private sectors, general communities, and policies created for them. By all means, the impact of the results showed the importance of informality in between implementer and target group regarding achievement in the policies to show their contribution in the implementation process. The lack of private sectors contribution in the implementation process seems being caused by the lack of information they have regarding KEN policy content which has facilitated them to be involved in the energy and electricity services provision. It is considered as a strong point of the research findings.

In addition, previous studies have been conducted regarding energy sector in Indonesia, such as; Hartono and Resosudarmo (2007) studied the impact of economy to the energy consumption in Indonesia; Pitoy (2011) studied the sustainability of micro-hydro power in Subang Regency, West Java; Kotarumalos (2012) conducted a comparative analysis of energy policies among Malaysia, Germany, and Indonesia; Rahmadi (2013) studied sustainable energy of Indonesia. According to the available knowledge, this is the first study to deal with the implementation process of energy policy and energy security in the level of provincial and as such it offers an overview of the situation and a screenshot of the phenomenon. Even though, the research time frame was insufficient to draw any conclusions about the exact level of energy security apart from identifying it. The results provide confirmatory evidence that it is possible to state that policy (energy) is influencing the energy security. Hence, more research into the area of energy policies and energy security is still necessary.

E. Recommendations

The study has explained the internal as well as external contexts influenced the KEN implementation process. Several recommendations are given to reduce problems perceived in the KEN implementation, such as:

Page 38: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 27

1. The study revealed that all the actions that being undertaken by the actors are driven by the policies. Therefore, it is critical for the governments to deliver information in the KEN policy to the targets (group) in the communicative way in order to achieve all KEN objectives.

2. The low level of IPP ratio showed a less contribution of private sectors in the electricity services provision. Meanwhile, the private sectors have resources (financial) to enhance the electrification. Therefore, it is crucial to encourage the private sectors (especially small-medium enterprises) participation by set up a policy and or/giving incentive for them. By giving advantages, such as PT PLN is obliged to buy electricity from SME with the certain amount of capacity.

3. The additional policies are needed regarding local communities participation and initiation in the electricity services provision. These policies can be design by the local governments (provincial/regency/municipality).

4. The current projects (micro-hydro) are enabled to increase the electrification ratio significantly. These small projects (mini-grid) can help to bridge the gap between supply and demand. Designing a clear and transparent framework would be helpful to prevent problem that might raise in the system management.

5. The financial problem in the current projects perhaps can be resolved since the UN has programme-Sustainable Energy for All (SE for All). It is important to notice by the (national) government that SE for All has strategic frameworks that aims to help countries to achieve their energy policy objectives.

6. An integrated planning on the supply and demand side is needed. Since it seems that the current plans are partially, only focused on supply. A multi-disciplinary approach should be established among stakeholders in the energy sector to get overview of such integrated plans.

Page 39: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

28 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 40: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PENDEKATAN SOSIO-EKOLOGI DALAM PERENCANAAN KONSEPTUAL SABUK HIJAU (GREENBELT) WADUK JATIGEDE

Nama : Anita Budiyanti

Instansi : Pemkab Sumedang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 41: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

30 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Daerah Sabuk Hijau Waduk Jatigede berada pada elevasi 260-262,5 mdpl meliputi lima Kecamatan Administratif yaitu Jatigede, Jatinunggal, Wado, Darmaraja dan Cisitu. Secara tata ruang daerah sabuk hijau tersebut merupakan kawasan perlindungan setempat (KPS) yang status kepemilikan lahannya berada di bawah kewenangan otorita pengelola waduk. Sebagai sebuah fenomena yang juga terjadi di waduk-waduk sebelumnya di Indonesia, sabuk hijau mengalami degradasi dengan terjadinya okupasi pemukiman dan konversi lahan pertanian oleh masyarakat dengan tidak mengindahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Daerah sabuk hijau adalah zona penyangga dan merupakan penghubung antara zona inti (perairan) dengan zona di luar kawasan waduk (pemukiman masyarakat). Interaksi sosioekologi antara manusia dengan sumber daya alam akan selalu terjadi di zona penyangga tersebut. Tujuan penelitian ini adalah membuat konsep perencanaan pemanfaatan sabuk hijau melalui pendekatan sosio-ekologi lanskap yaitu menjadikan lahan sabuk hijau sebagai suatu areal multifungsi baik untuk fungsi konservasi maupun untuk fungsi produksi, yang dalam pemanfaatannya melibatkan masyarakat yang terdampak pembangunan Waduk Jatigede.

Penelitian difokuskan di dua tempat yaitu Desa Karang Pakuan Kecamatan Darmaraja dan Desa Ciranggem Kecamatan Jatigede. Metode yang digunakan adalah kombinasi kuantitatif-kualitatif secara konkuren, untuk menggali karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta persepsi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sabuk hijau Waduk Jatigede.

Konsep dalam rencana pemanfaatan lahan sabuk hijau Waduk Jatigede adalah membuat zonasi berdasarkan faktor biofisik yaitu zona konservasi/lindung dan zona produksi/budidaya. Sedangkan sistem tataguna lahan yang dapat diterapkan adalah agroforestri tipe agrosilvopastura yang terdiri atas vegetasi komponen kehutanan (kayu dan tanaman serbaguna) – pertanian (hortikultura dan perkebunan) – peternakan (hijauan makanan ternak/HMT) yang akan ditanam di lahan sabuk hijau. Penerapan sistem agroforestri dalam pemanfaatan lahan sabuk hijau diintegrasikan dengan kegiatan pariwisata di dalam areal sabuk hijau dan juga kegiatan lain diluar areal sabuk hijau seperti pemanfaatan lahan pekarangan, budidaya lebah, jamur kayu serta biogas dari kotoran ternak. Dengan konsep yang telah dibuat diharapkan fungsi dari sabuk hijau dapat tercapai baik aspek ekologinya untuk perlindungan dan pelestarian waduk, maupun dari aspek sosial yaitu untuk kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : Sabuk Hijau Waduk Jatigede, Sosio-ekologi lanskap, Agroforestri

Page 42: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 31

ABSTRACT

The Green Belt Areas of The Jatigede Reservoir is located at an elevation of 260-262.5 meters above sea level including the five Administrative Districts namely Jatigede, Jatinunggal, Wado, Darmaraja and Cisitu. In spatial terms the green belt area is a local protection area (KPS) with land ownership status is under the authority of the reservoir management authority. As a phenomenon that also occurs in previous reservoirs in Indonesia, green belts have been degraded by settlement occupation and conversion of agricultural land by the community with no regard to the principles of soil and water conservation. The green belt area is a buffer zone and is a link between the core zone (waters) and outside zones (community settlements). Socioecological interactions between humans and natural resources will always occur in the buffer zone. The purpose of this study is to make a conceptual planning of use of the green belts through a socio-ecological landscape approach which is to make the green belt land a multifunctional area for both conservation and production functions, which in its use involves the communities affected by the development of the Jatigede Reservoir.

The study focused on two places, namely Karang Pakuan Village of Darmaraja District and Ciranggem Village of Jatigede District. The method used was a concurrent combination of quantitative-qualitative, to explore the biophysical, social, economic and cultural characteristics and perceptions of the parties concerned with the existence of the green belt of the Jatigede Reservoir.

The concept of the green belt land use of the Jatigede Reservoir plan was to make zoning based on biophysical factors, namely conservation/protection zones and production/cultivation zones. Whereas the land use system that could be applied was agroforestry of agrosilvopastura type consisting of forestry component vegetation (wood and multipurpose crops) - agriculture (horticulture and plantations) - livestock (forage/HMT) that would be planted in green belt land. The application of agroforestry systems in the use of green belt land was integrated with tourism activities in the area of green belts and also other activities outside the area of green belts such as yard use, bee cultivation, wood mushrooms and biogas from livestock manure. With the concept it was expected that the function of the green belt could be achieved both in ecological aspects for the protection and preservation of the reservoir, as well as from the social aspects, namely for the welfare of the community.

Keywords: Agroforestry, Jatigede Reservoir Green Belt, Socio-ecological landscape

Page 43: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

32 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENDEKATAN SOSIO-EKOLOGI DALAM PERENCANAAN KONSEPTUAL SABUK HIJAU (GREENBELT)

WADUK JATIGEDE

A. Latar Belakang

Pembangunan pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya pembangunan itu selalu melibatkan lingkungan. Tidak ada pembangunan yang tidak melibatkan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial. Artinya bahwa pendekatan terhadap hakikat pembangunan bersifat perpaduan antara segi ekonomi dan segi sosial (Soemarwoto, 1973 dalam Suwartapradja, 2005). Pembangunan waduk Jatigede menyebabkan tergenangnya 28 desa dari 5 Kecamatan yaitu Kecamatan Jatigede (5 desa), Jatinunggal (2 desa), Wado (4 desa), Darmaraja (13 desa) dan Cisitu (4 desa). Lahan yang terkena dampak genangan berdasarkan penggunaannya adalah lahan penduduk seluas 3.591 ha yang terdiri atas permukiman dan pertanian, sedangkan lahan berupa kawasan hutan seluas 1.389,3 ha (Bappeda Kabupaten Sumedang, 2015).

Pembangunan waduk Jatigede mengakibatkan letak/posisi desa-desa ada yang berbatasan langsung atau berada di tepian air waduk. Dalam Perpres nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, bahwa sempadan waduk merupakan kawasan perlindungan setempat. Sempadan waduk merupakan area sabuk hijau (greenbelt) yang dapat ditinjau dari empat aspek yaitu, aspek fisik untuk pengamanan bendungan (kelestarian waduk), aspek sosial yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat, aspek ekonomi yaitu memberikan manfaat secara finansial (sebagai sumber pencarian masyarakat) dan aspek estetika sebagai suatu lanskap yang tertata (untuk dijadikan pariwisata).

Tergenangnya lahan usaha tani menyebabkan hilangnya mata pencarian masyarakat di sekitar waduk sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mayoritas masyarakat terdampak yang bermata pencarian petani akan mempunyai ketergantungan terhadap lahan untuk usaha tani. Secara keruangan posisi lahan sabuk hijau sebagai penghubung (interface) antara zona inti waduk (badan air) dengan zona di luar kawasan waduk (pemukiman masyarakat). Interaksi sosio-ekologi masyarakat dengan lingkungan fisik akan tercipta karena adanya kepentingan dari masyarakat terhadap sumber daya alam (lahan sabuk hijau).

Page 44: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 33

Azdan dan Samekto dalam “Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia” (2008) mengungkapkan bahwa sesuai laporan Project Implementation Plan for Dam Operational Improvement and Safety Project (DOISP) menjelaskan bahwa telah terjadi konversi lahan sebanyak 60 persen per 100 Ha di kawasan sabuk hijau (greenbelt) waduk di Indonesia pada kurun 1990-an sampai tahun 2000-an. Hal ini telah meningkatkan sedimentasi di dasar waduk. Berdasarkan prediksi PPSDAL UNPAD (2008), peningkatan sedimentasi akan mengurangi kemampuan waduk untuk menampung air, karena sedimen akan terakumulasi, baik di dead storage dan life storage waduk. Peningkatan sedimen ini akan mengurangi fungsi waduk sebagai penampung air.

Terjadinya degradasi lingkungan fisik dipicu oleh faktor utama yang berasal dari aspek sosial ekonomi. Pada penelitian sebelumnya diketahui kawasan greenbelt waduk Kedung Ombo memiliki permasalahan yang sangat kompleks, sejarah pembangunannya mengharuskan penggusuran 37 desa yang menyebabkan konflik kepemilikan lahan sampai sekarang (Miardiani, 2011). Menurut Sandrawati, dkk (2016) kawasan penyangga (greenbelt) di sepanjang Waduk Cirata banyak mengalami gangguan di antaranya adalah perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat sekitar dengan menjadikannya pemukiman dan lahan pertanian.

Apabila kawasan lindung di sekitar waduk Jatigede tidak boleh dikelola/dimanfaatkan oleh masyarakat, dikhawatirkan kejadian seperti di waduk-waduk sebelumnya terjadi juga di waduk Jatigede, mengingat kondisi masyarakat terutama OTD (orang tak dikenal) yang “lapar lahan” dan kehilangan mata pencarian karena lahan usahataninya telah menjadi area genangan waduk. Perencanaan pemanfaatan greenbelt waduk Jatigede harus memperhatikan sensitivitas ekosistem, sosial budaya, dan sejarah kawasan.

Perencanaan daerah sabuk hijau (greenbelt) waduk Jatigede berdasarkan pada perbedaan elevasi muka air bendungan dari ketinggian air pada +260 m s.d. +262,5 m meliputi lima Kecamatan administratif, yaitu : Kecamatan Wado di hulu bendungan; Darmaraja dan Jatinunggal di tengah bendungan; Cisitu dan Jatigede di hilir bendungan (SNVT Pembangunan Proyek Bendungan Jatigede, 2016). Kecamatan Darmaraja sebagai daerah yang paling banyak terdampak, memiliki daerah sabuk hijau terluas dan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman masyarakat sehingga secara tidak langsung menciptakan opportunity bagi masyarakat setempat karena berdekatan dengan sumber daya (greenbelt) yang oleh karena itu diprediksi berpotensi rawan konflik. Kecamatan Jatigede memiliki daerah sabuk hijau terluas kedua, secara fisik topografi merupakan daerah “ekstrem” dan rawan bencana longsor (Bappeda Kabupaten Sumedang, 2016). Dengan batas-batas kondisi ekologis dapat diasumsikan pada minimnya dalam segi pemanfaatan. Desa Karang Pakuan (Kecamatan Darmaraja)

Page 45: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

34 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan Desa Ciranggem (Kecamatan Jatigede) menjadi fokus lokasi penelitian karena kedua desa tersebut diasumsikan mewakili area sabuk hijau yang diteliti dengan pendekatan sosio-ekologi.

B. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-ekologi, yaitu menggunakan batas-batas ekologi dan unit bentang lahan fisik untuk mengidentifikasi karakteristik sosial dan perilaku masyarakat di wilayah tapak penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kombinasi kuantitatif-kualitatif (mixed methods research) secara konkuren, data kuantitatif dan kualitatif dikumpulkan bersamaan dan simultan (serempak).

Sumber data yang mendukung pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari observasi langsung di lapangan, dokumentasi, wawancara langsung dengan informan kunci (key informan), kuesioner kepada petani, dan hasil grup diskusi. Data sekunder berupa peta dasar, makalah, hasil laporan penelitian, jurnal, publikasi, dan laporan yang diperoleh dari instansi terkait seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Perum Perhutani KPH Sumedang, Satker Proyek Pembangunan Bendungan Jatigede, dan akademisi.

Dalam pelaksanaannya penelitian ini difokuskan pada aspek ekologi dan sosial. Pengamatan aspek ekologi tentang karakteristik kawasan sabuk hijau, yaitu bio-fisik terdiri atas jenis flora, topografi, kelerengan, jenis dan kesuburan tanah, kerawanan bencana, penggunaan lahan dan iklim. Aspek sosial (ekonomi) meliputi tentang karakteristik sosial kawasan sabuk hijau, yaitu : pemetaan sosial-ekonomi (demografi), budaya, kelembagaan, persepsi masyarakat terhadap keberadaan sabuk hijau, dan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pemilihan dan budidaya jenis tanaman.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka, observasi lapangan, wawancara semi-terstruktur, kuesioner, diskusi kelompok terarah, pengambilan sampel tanah dan dokumentasi.

Data kuantitatif dari kuesioner mengenai keadaan sosial ekonomi masyarakat dianalisis dengan statistik sederhana dan disajikan dalam bentuk bagan, tabel dan/atau grafik. Data biofisik tapak penelitian diolah melalui analisis spasial menggunakan software Arcgis versi 10.1. Data kesuburan didapat dari pengujian di Laboratorium Kesuburan dan Nutrisi Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.

Page 46: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 35

Data kualitatif dianalisis deskriptif untuk mengetahui arahan rencana pemanfaatan, keinginan dan preferensi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan daerah sabuk hijau. Metode kombinasi kuantitatif-kualitatif, data yang dikumpulkan kemudian dianalisis melalui tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penyusunan kesimpulan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Karakteristik sosio-ekologi daerah sabuk hijau Waduk Jatigede di Desa Karang Pakuan Kecamatan Darmaraja dan di Desa Ciranggem Kecamatan Jatigede secara umum memiliki kesamaan dalam aspek biofisik yakni lahan sabuk hijaunya bervariasi dalam bentuk lahan (datar-bergelombang), kelerengan (datar-curam), jenis/kesuburan tanah (mediteran/sedang) dan kerawanan gerakan tanah (rendah-sedang). Sedangkan untuk curah hujan terdapat perbedaan di di antara kedua desa itu, Desa Karang Pakuan memiliki curah hujan 3.000-3.500 mm/th sementara Desa Ciranggem memiliki 2.500-3.000 mm/th. Luas lahan sabuk hijau desa Karang Pakuan adalah 26,31 Ha, sedangkan desa Ciranggem memiliki luas sabuk hijau 50,85 Ha. Kondisi tutupan/penggunaan lahan sabuk hijau di desa Karang Pakuan bervariasi yaitu Belukar/semak, Kebun, Sawah tadah hujan. Sedangkan di desa Ciranggem yaitu Belukar/semak, Kebun, Hutan, Sawah tadah hujan, tegalan/ladang. Mata pencarian masyarakat di dua desa tersebut mayoritas sebagai petani dalam arti luas mencakup aspek pertanian, kehutanan, peternakan dan perikanan.

Konsep keruangan dalam pemanfaatan sabuk hijau Waduk Jatigede dengan pendekatan lanskap yaitu sabuk hijau sebagai areal multifungsi baik untuk konservasi/lindung juga fungsi produksi/budidaya. Pembuatan zonasi di lahan sabuk hijau dengan pendekatan skoring dalam kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung (SK. Menteri Pertanian nomor: 837/kpts/um/11/1980). Zona lindung/konservasi di Desa Karang Pakuan seluas 5,36 Ha atau sekitar 20,37% dari luas total sabuk hijau dan 79,63% adalah zona produksi seluas 20,95 Ha.

Sedangkan zonasi sabuk hijau di Desa Ciranggem yaitu zona lindung seluas 5,45 Ha atau sekitar 10,72% dari luas total sabuk hijau dan 82,28% adalah zona produksi seluas 45,40 Ha. Prinsip pemanfaatan lahan di setiap zona adalah ekstensif di zona konservasi dan semi-intensif di zona produksi.

Aktivitas yang ada saat ini sebagai bentuk pemanfaatan daerah sekitar kawasan sabuk hijau oleh masyarakat adalah tumbuhnya tempat berjualan (dengan mendirikan bangunan semi permanen) di sekitar spot-spot wisata secara spontan yang terbentuk karena adanya genangan air waduk, terutama di daerah sabuk hijau desa Karang

Page 47: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

36 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pakuan. Selain berjualan aktivitas masyarakat lainnya adalah mengambil ikan (memancing dan jaring tancap), serta mencari pakan ternak di lahan sabuk hijau. Konsep rencana pemanfaatan lahan sabuk hijau yang dapat diaplikasikan adalah dengan sistem agroforestri tipe agrosilvopastura, yaitu mengombinasikan komponen kayu, MPTS, dan pakan ternak.

Untuk kayu, ada yang merupakan jenis slow growing species seperti jati dan mahoni, ada juga yang merupakan MPTS (multi purpose tree species) yakni jenis buah-buahan unggulan lokal seperti sawo sukatali, mangga gedong gincu, dan sukun yang digunakan untuk menunjang program ketahanan pangan. Sementara cokelat/kakao, kelapa, dan aren menjadi sumber tambahan penghasilan masyarakat. Pakan ternak selain rumput terdapat kaliandra, gamal, dan introduksi jenis baru yaitu indigofera.

Kondisi masyarakat yang membutuhkan lapangan kerja untuk menghasilkan pendapatan selain ditunjang dari keberadaan lahan sabuk hijau dengan konsep pemanfaatan sistem agroforestri dan kegiatan pariwisata, yang juga terintegrasi dengan kegiatan diluar areal lahan sabuk hijau seperti pemanfataan lahan pekarangan, budidaya lebah madu, budidaya jamur kayu, dan pengolahan biogas dari kotoran ternak. Pemanfaatan lahan sabuk hijau yang terintegrasi dengan aktivitas di luar lahan sabuk hijau adalah sebagai upaya dalam mendukung ressetlement warga terdampak pembangunan Waduk Jatigede.

D. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian pendekatan sosio-ekologi dalam perencanaan sabuk hijau (greenbelt) Waduk Jatigede adalah:

1. Karakteristik sosioekologi daerah sabuk hijau kawasan Waduk Jatigede di lokasi penelitian adalah: Desa Karang Pakuan memiliki areal sabuk hijau 26,31 Ha dan Desa Ciranggem seluas 50,85 Ha. Bentuk lahan sabuk hijau bervariasi, mayoritas datar dan bergelombang dengan kelerengan datar hingga curam. Jenis tanah mayoritas merupakan mediteran dengan kesuburan sedang. Mayoritas penduduk memiliki mata pencarian sebagai petani, dengan pola usahatani sawah, tumpang sari, hutan rakyat, agroforestri. Jenis tanaman yang biasa dibudidayakan di antaranya : padi, palawija, buah-buahan, perkebunan, dan kayu-kayuan. Selain itu masyarakat juga terbiasa membudidayakan ternak, mayoritas jenis domba, sapi dan kambing. Masyarakat dengan mayoritas petani secara kelembagaan mempunyai wadah yang berbentuk kelompok tani, dengan bidang pertanian, kehutanan dan perikanan.

Page 48: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 37

2. Pendekatan sosioekologi dalam perencanaan konseptual sabuk hijau Waduk Jatigede adalah perencanaan pemanfaatan lahan sabuk hijau dalam konteks lanskap sebagai suatu ruang yang multifungsi. Interaksi antara konsep keruangan dengan membuat zonasi di lahan sabuk hijau yang menjadi lokasi penelitian, yaitu zona lindung/konservasi seluas 12,06 Ha dan zona budidaya/produksi seluas 139,26 Ha. Sistem yang akan diterapkan dalam pemanfaatannya adalah agroforestri (tipe agrosilvopastura) dengan prinsip pemanfaatan ekstensif di zona konservasi dan semi-intensif di zona produksi. Komoditas yang ditanam adalah perpaduan dari kayu, MPTS, dan hijauan makanan ternak. Optimalisasi lahan sabuk hijau selain dengan kegiatan budidaya pertanian, juga pemanfaatan aktivitas lain seperti rekreasi dan mengambil ikan. Pemanfaatan areal lahan sabuk hijau harus terintegrasi dengan pengembangan di luar lahan sabuk hijau seperti kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan di kawasan pemukiman masyarakat sekitar areal sabuk hijau, kegiatan aneka usaha kehutanan (budidaya lebah madu dan budidaya jamur kayu) serta pengembangan biogas dari kotoran ternak sebagai upaya dalam mendukung ressetlement dan kelestarian sabuk hijau Waduk Jatigede.

3. Kendala dalam perencanaan konsep sabuk hijau (greenbelt) waduk Jatigede adalah pembebasan lahan milik masyarakat dalam pembangunan waduk Jatigede yang belum tuntas (masih ada yang tertinggal) dan sosialisasi yang masih kurang kepada masyarakat mengenai batasan areal peruntukkan sabuk hijau.

E. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang dapat diberikan untuk berbagai pihak yang terkait guna mewujudkan perencanaan konseptual sabuk hijau waduk Jatigede.

1. Otorita pengelola waduk Jatigede diharapkan mengikutsertakan masyarakat dan melakukan pemberdayaan kelompok tani dalam pemanfaatan lahan sabuk hijau. Pelaksanaan pengelolaan dan pemanfatannya segera diwujudkan agar masyarakat dapat terarah dalam melakukan aktivitas di sekitar daerah sabuk hijau.

2. Penanganan dan peningkatan fungsi kawasan lindung dalam hal ini daerah sabuk hijau adalah untuk mendukung perekonomian wilayah sesuai daya dukung lingkungan. Pemerintah Kabupaten Sumedang harus mempunyai

Page 49: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

38 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. “bargaining position” dalam pengelolaan waduk Jatigede dan bersinergi dengan otorita pengelola untuk kepentingan masyarakat sekitar waduk, termasuk dalam masalah pembebasan lahan yang masih tertinggal.

4. Penelitian selanjutnya dapat difokuskan di daerah sabuk hijau Waduk Jatigede.

Page 50: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

POTENSI PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN

Nama : Berlian Putra

Instansi : Pemprov Jambi

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjadjaran Bandung

Page 51: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

40 Direktori Mini Tesis-Disertasi

POTENSI PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) SEBAGAI SUMBER ENERGI LISTRIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN

KUALITAS LINGKUNGAN

A. Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Selain sebagai salah satu penghasil devisa Negara, industri kelapa sawit banyak menyerap tenaga kerja dan didukung dengan iklim serta cuaca yang cocok untuk dibudidayakan di Indonesia. Pada tahun 2013 tercatat bahwa produksi kelapa sawit dalam wujud minyak sawit sebesar 27,74 juta ton (Kementerian Pertanian, 2014). Produksi ini setiap tahunnya semakin bertambah diiringi dengan perluasan perkebunan kelapa sawit. Hasil produksi dari pabrik kelapa sawit (PKS) berupa Crude Palm Oil (CPO) digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan produk-produk seperti margarin, es krim, sabun, detergen yang akan dimanfaatkan oleh manusia. Selain menghasilkan produk yang bermanfaat bagi manusia, kegiatan produksi ini juga dapat menghasilkan produk sampingan yaitu limbah Pabrik Kelapa Sawit.

Limbah PKS digolongkan dalam tiga jenis yaitu (1) limbah padat berupa tandan kosong kelapa sawit (TKKS), cangkang/tempurung, serabut/serat, lumpur/sludge dan bungkil; (2) limbah cair atau Palm Oil Mill Effluent (POME) berupa limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (kernel); dan (3) limbah gas berasal dari gas cerobong (Prayitno, Indradewa & Sunarminto, 2008). PKS menghasilkan POME sebanyak 0,7-1 m3 untuk setiap ton tandan buah segar (TBS) yang diolah (Rahayu, et al., 2015). Setiap ton TBS menghasilkan POME sekitar 600-700 kg (60%/ton) dengan nilai kalor 50,1 MJ/kg (Wibowo, 2015). Jika limbah ini tidak dikelola dengan baik, maka dapat mencemari tanah, air bahkan udara.

Limbah yang tidak dikelola dengan baik akan meningkatkan kerusakan lingkungan hidup. POME dari PKS yang berada di dalam kolam penampungan jika tidak dikelola akan berdampak negatif bagi lingkungan karena dapat meluap saat musim penghujan, meresap ke tanah, mencemari sungai, memiliki bau yang tidak sedap, serta mencemari udara akibat dari gas metana (CH4) yang dihasilkan terlepas langsung ke atmosfir dan menyumbang efek pemanasan global (Safrizal, 2015). Gas metana merupakan salah satu jenis gas rumah kaca yang dapat menyebabkan efek pemanasan global serta memiliki tingkat emisi yang tinggi. POME dari proses pengolahan kelapa sawit dapat mencemari perairan karena kandungan zat organiknya tinggi, tingkat keasaman yang

Page 52: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 41

rendah, dan mengandung unsur hara makro seperti Nitrogen (N), Posfor (P) dan Kalium (K) sehingga perlu penanganan sebelum dibuang ke badan sungai (Azwir, 2006).

Contoh kasus di Kalimantan Tengah, POME dibuang langsung ke sungai sehingga air sungai menjadi tercemar. Masyarakat di Kecamatan Tandun Rokan Hulu Riau menemukan ribuan ikan dengan berbagai jenis mati mengapung di Sungai Tapung, hal ini disebabkan oleh kolam limbah PKS PTPN V yang bocor sehingga POME merembes ke aliran sungai sekitar. Dampak negatif yang disebabkan oleh POME ini masih banyak lagi terjadi di daerah lainnya. Jika produksi CPO di Indonesia diperkirakan meningkat setiap tahunnya, maka POME yang dihasilkan akan semakin meningkat juga sehingga kerusakan lingkungan akan terus bertambah.

Industri kelapa sawit di Indonesia pada umumnya melakukan pengendalian terhadap POME menggunakan kolam-kolam penampungan dalam jumlah besar melalui proses biologi yang melibatkan bakteri anaerob atau aerob sebelum dibuang ke lingkungan. Namun, secara teknis pengendalian POME ini tidak dilakukan secara baik dan benar sehingga kolam-kolam tersebut hanya digunakan untuk penampungan sementara. Gas metana dan gas karbondioksida yang dihasilkan oleh POME terlepas begitu saja ke udara sehingga dapat menyumbang efek pemanasan global secara terus menerus. Padahal gas metana ini merupakan komponen terbesar bahan baku produksi biogas.

Penelitian tentang pemanfaatan POME sebagai bahan baku produksi biogas telah banyak dilakukan. Safrizal (2015) menyebutkan bahwa gas metana hasil penguapan POME dapat digunakan untuk biogas sebagai sumber energi listrik, dimana 30 ton TBS menghasilkan gas metana ± 600 m3/jam dapat membangkitkan listrik sebesar 1.303 kWh. Hal ini didukung oleh penelitian Partogi, et al. (2013) berjudul Analisis Biaya Produksi Listrik per kWh Menggunakan Bahan Bakar Biogas Limbah Cair Kelapa Sawit (Aplikasi Pada PLTBGS PKS Tandun) dan penelitian Wibowo (2015) berjudul Analisis Potensi Pembangkit Listrik Biogas Berbasis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Studi Kasus PKS PT Intan Sejati Andalan, Riau. Namun, dalam melakukan perombakan bahan organik menjadi metana, POME tidak memiliki cukup mikroorganisme sehingga untuk mengoptimalkan proses perombakan tersebut maka digunakanlah kotoran sapi (Agustine, 2011).

Limbah padat berupa kotoran sapi potong di Indonesia juga terdapat dalam jumlah yang banyak dikarenakan populasi sapi potong sangat tinggi. Populasi sapi pada tahun 2014 berjumlah 14,73 juta ekor, rata-rata pertumbuhannya 3,53% dan akan terus meningkat seiring peningkatan permintaan daging sapi (Kementerian Pertanian, 2015). Hal ini akan berakibat pada kerusakan lingkungan karena pada umumnya kotoran sapi potong ini hanya dimanfaatkan sebagai pupuk kandang dan ada juga yang dibuang

Page 53: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

42 Direktori Mini Tesis-Disertasi

begitu saja. Terlebih lagi banyak peternakan sapi yang berada dekat dengan pemukiman warga. Contohnya Peternakan sapi di Rancamulya Kecamatan Sumedang Utara dimana limbah kotoran sapi dibuang ke selokan dari pemukiman warga, sehingga selokan tersebut dihinggapi lalat dan sisa feses yang tidak teralirkan mencemari lingkungan. Warga yang harusnya menghirup udara segar terganggu akibat adanya bau yang menyengat dari kotoran sapi, terlebih lagi ketika cuaca panas terik menyebabkan bau kotoran sapi semakin menyengat. Selain itu warga juga mengeluhkan kualitas air menjadi kurang baik, karena adanya perubahan warna menjadi keruh, berbau dan berjentik (Indri, Marina, dan Ali, 2015). Banyak juga sapi diternakan di daerah aliran sungai, seperti di sungai Konto yang menyebabkan Bendungan Selorejo di Kabupaten malang tercemar. Hal ini terlihat dengan banyaknya gulma yang tumbuh subur, air sungai menjadi keruh, berbau serta ribuan ikan mati setiap tahun.

POME dan kotoran sapi potong memang menimbulkan dampak negatif, namun keduanya berpotensi sebagai sumber energi listrik melalui biogas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahajoeno, et al. (2008) mengenai potensi biogas dari POME dengan penambahan inokulum kotoran sapi potong. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua sumber limbah tersebut berpotensi memproduksi biogas. Kemudian Agustine (2011) meneliti tentang penambahan produksi biogas pada POME dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator. Selain itu, kotoran sapi mengandung Rasio C/N yang rendah sehingga mampu menurunkan Rasio C/N POME yang tinggi. Dengan adanya penambahan kotoran sapi potong pada POME maka biogas yang dihasilkan lebih optimal karena dapat membantu perombakan bahan organik menjadi gas metana.

Penelitian tentang POME sebagai sumber energi listrik telah banyak dilakukan di Indonesia. Namun, penelitian tersebut hanya terbatas pada analisis potensi dan biaya produksi energi listrik yang akan dihasilkan. Begitu juga pada penelitian tentang biogas dari kotoran sapi. Namun, perlu dilakukan penelitian yang menggabungkan kedua sumber limbah tersebut untuk menghasilkan energi listrik yang maksimal, disamping memberikan keuntungan terhadap lingkungan dan meminimalisir pada pencemaran lingkungan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Berapa Rasio C/N optimal pada penambahan kotoran sapi terhadap POME untuk menghasilkan energi listrik (kWh) yang maksimal?

Page 54: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 43

2. Apa saja manfaat lingkungan terhadap produksi energi listrik dari POME dengan penambahan kotoran sapi?

Pada penelitian ini menggunakan bahan yaitu limbah cair kelapa sawit atau disebut juga Palm Oil Mill Effluent (POME) yang berasal dari pabrik kelapa sawit PT Anekapura Multikerta di Desa Taman Raja, Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi dan dilanjutkan dengan pengambilan kotoran sapi dari peternakan sapi masyarakat di sekitar lokasi pabrik.

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi digester, pipa PVC, gas flowmeter, selang gas elastis, kran, genset, multimeter, dan beberapa alat lainnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen menggunakan analisis rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan (Pa = C/N 25; Pb = C/N 30; Pc = C/N 35) dan satu sebagai kontrol (C/N POME), diulang sebanyak tiga kali. Selanjutnya dilakukan serangkain pengujian awal untuk mengetahui kondisi awal POME dan kotoran sapi. Pengujian tersebut adalah analisis C organik, N total, kadar air, Phospor, Kalium dan pengukuran pH. Penelitian dilaksanakan secara tiga tahapan yaitu penelitian pendahuluan, produksi biogas dan evaluasi.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum

PT Anekapura Multikerta atau disingkat PT AM beralamat di Jl. Kapten Patimura No.52, Rawa Sari, Kota Baru, Kota Jambi, Provinsi Jambi, merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. Kegiatan usaha mencakup usaha budidaya dan pengolahan tanaman kelapa sawit. Perusahaan ini sudah lama dikenal di Jambi khususnya untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat yang merupakan salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Provinsi Jambi. Dengan kata lain perusahaan ini telah banyak membantu daerah Jambi dalam bidang perkebunan kelapa sawit maupun hasil pengolahannya. Produk utama adalah Minyak Sawit (CPO = Crude Palm Oil) dan Inti Sawit (PKO = Palm Kernel Oil). Produk ini dihasilkan oleh kelapa sawit yang bersumber dari perkebunan sendiri maupun perkebunan masyarakat sekitar.

Hasil dari analisis awal kadar sampel dari uji laboratorium menunjukkan bahwa POME memiliki kadar C-Organik sebesar 48,1% dan kadar N-Total sebesar 0,9% sehingga nilai Rasio C/N cukup tinggi yaitu sebesar 51,4. Rasio C/N yang tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada substrat, dimana hal

Page 55: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

44 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang diperlukan mikroba untuk tumbuh (Deublein & Steinhauser, 2008). Hal ini sejalan dengan Isroi (2008), apabila Rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat. Namun, jika Rasio C/N terlalu rendah kelebihan nitrogen yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai amoniak atau terdenitrifikasi (Djuarnani, 2005). Maka, diperlukan bahan organik lain yang mampu menurunkan Rasio C/N pada POME yaitu kotoran sapi.

2. Produksi Biogas

Produksi biogas tertinggi dihasilkan oleh digester Pk (kontrol) bahan baku POME saja dengan Rasio C/N 51,4 sebesar 12,1 liter, sedangkan volume biogas paling kecil adalah digester Pc (Rasio C/N 35) sebesar 7 liter. Pada hasil uji dengan menggunakan metode ANOVA menunjukkan bahwa kehomogenan ragam menghasilkan nilai sig sebesar 0,15 (Sig > 0,05) artinya mempunyai varian yang sama atau bisa dikatakan ragam homogen. Selanjutnya, pengaruh antara perlakuan (Rasio C/N) terhadap produksi biogas yang dihasilkan berpengaruh sangat nyata dengan nilai P-Sig < 0,01. Dimana masing-masing perlakuan dan kontrol menghasilkan biogas yang berbeda-beda. Proses pengukuran volume biogas dilakukan di UPTD Laboratorium Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan. Pengukuran volume biogas menggunakan alat gas flowmeter yang telah dimodifikasi dan stopwatch.

3. Analisis Energi Listrik

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada kontrol (Pk) menghasilkan energi listrik yang paling kecil dibandingkan dengan perlakuan (Pa, Pb dan Pc). Hal ini menyatakan bahwa penambahan kotoran sapi pada POME memiliki pengaruh penting dalam optimalisasi peningkatan produksi energi listrik yang dihasilkan. Perlakuan Pb menghasilkan energi listrik yang paling besar diikuti dengan perlakuan Pc dan Pa. Hal ini disebabkan perbedaan Rasio C/N yang memiliki peran dalam pembentukan gas metana sebagai bahan baku dalam produksi energi listrik. Dimana perlakuan Pb memiliki nilai Rasio C/N sebesar 30. Pada hasil uji dengan menggunakan metode ANOVA menunjukkan bahwa kehomogenan ragam menghasilkan nilai sig sebesar 0,61 (Sig > 0,05) artinya mempunyai varian yang sama atau bisa dikatakan ragam homogen. Selanjutnya, pengaruh antara perlakuan (Rasio C/N) terhadap energi listrik yang dihasilkan berpengaruh sangat nyata dengan nilai P-Sig < 0,01. Dimana masing-masing perlakuan dan kontrol menghasilkan energi listrik yang berbeda-beda.

Page 56: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 45

4. Analisis Gas Metana

Data hasil pengujian di Laboratorium dianalisis menggunakan metode ANOVA untuk menguji perbandingan antara kontrol dengan perlakuan Rasio C/N (25, 30 & 35). Volume gas metana paling kecil dihasilkan oleh kontrol (Pk) dibandingkan dengan perlakuan (Pa, Pb dan Pc). Sehingga berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan kotoran sapi terhadap POME memiliki peran penting dalam perombakan bahan organik pada proses fermentasi anaerob. Dengan adanya penambahan kotoran sapi maka Rasio C/N pada POME menurun dan menyebabkan ketersediaan nutrisi bagi mikroorganisme pengurai. Hal ini juga ditunjukan pada volume gas metana paling banyak dihasilkan oleh perlakuan Pb dengan Rasio C/N 30 diikuti dengan perlakuan Pc (Rasio C/N 35) kemudian perlakuan Pa (Rasio C/N 25).

Selain itu, dari hasil uji yang menggunakan metode ANOVA menunjukkan bahwa nilai Sig yaitu 0,61 (Sig > 0,05) sehingga mempunyai varian yang sama atau disebut juga ragam homogen. Pengaruh perlakuan terhadap kontrol berpengaruh sangat nyata dimana nilai P-Sig adalah 0 (P-Sig < 0,01). Dari gas metana yang dihasilkan berbeda-beda pada masing-masing Rasio C/N.

Perlakuan Pb menghasilkan gas metana sebesar 6,21 liter atau setara dengan 0,00621 m3 dan memproduksi energi listrik sebesar 0,0435 kWh, sehingga setiap 1 m3 gas metana dapat menghasilkan energi listrik sebesar 7,004 kWh. Energi listrik yang dihasilkan cukup besar dan mampu menghemat penggunaan bahan bakar lainnya. Karena, 1 m3 gas metana setara dengan 0,46 kg LPG, 0,62 liter minyak tanah, 0,52 liter minyak solar, 0,08 liter bensin, 3,50 kg kayu bakar (Wahyuni, 2011). Pada penelitian ini, pemanfaatan POME sebagai sumber energi listrik dapat membantu mengurangi pencemaran lingkungan yang diakibatkan dari pemakaian bahan bakar fosil dan kayu bakar.

5. Analisis Sludge Biogas

Pada biogas memiliki produk sisa yaitu sludge yang berupa lumpur yang telah mengalami proses fermentasi. Pada penelitian ini sludge diukur dengan cara ditimbang pada hari ke 30. Pada sludge biogas untuk perlakuan Pb (Rasio C/N 30) menghasilkan kandungan N, P dan K tertinggi. Hal ini menunjukan Rasio C/N bahan organik campuran POME dan kotoran sapi pada perlakuan Pb sesuai dengan kebutuhan mikroorganisme anaerob untuk melakukan proses fermentasi secara maksimal. Rasio C/N ideal pada pengomposan umumnya adalah 30:1 sehingga memberikan Nitrogen yang cukup untuk pertumbuhan optimal populasi mikroba (Trautmann & Krasny, 1997). Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 70/

Page 57: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

46 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Permentan/SR.140/10/2011 menyatakan bahwa persyaratan teknis minimal pupuk organik hara makro kumulatif adalah 4%, sedangkan pada penelitian ini untuk perlakuan Pb mencapai 13,8 %. Selain itu, persyaratan minimal berdasarkan SNI 19-7030-2004 untuk N 0,4 %, P 0,1 % dan K 0,2 %. Maka, pada penelitian ini bahan organik campuran POME dan kotoran sapi dengan perlakuan Pb (Rasio C/N 30) telah memenuhi persyaratan tersebut untuk dimanfaatkan pada peningkatan kualitas lingkungan khususnya pada tanah.

6. Perhitungan Potensi Pengurangan Emisi

Biogas dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik yang ramah lingkungan sebagai alternatif dalam menggantikan bahan bakar fosil. Sumber bahan bakar fosil setiap tahunnya semakin menipis dan menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer akibat dari proser pembakaran. Dengan adanya biogas sebagai pengganti bahan bakar fosil, maka emisi dari penggunaan bahan bakar fosil akan berkurang. Selain itu, emisi CH4 akibat dari proses fermentasi POME dan kotoran sapi dapat dikurangi dengan memanfaatkannya sebagai sumber energi listrik. Berdasarkan hal tersebut pemanfaatan POME dan kotoran sapi memiliki kontribusi dua kali dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, yaitu: a). Pengurangan emisi akibat dari subtitusi/menggantikan bahan bakar fosil; dan b). Pengurangan emisi akibat pembakaran gas CH4 (Waskito, 2011).

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, energi listrik maksimal dihasilkan oleh perlakuan Pb dengan Rasio C/N 30 sebesar 0,0435 kWh dengan volume gas metana yang dihasilkan sebesar 6,21 Liter. Dalam hal ini, perlakuan Pb menjadi acuan untuk perhitungan pengurangan emisi. Total dari pengurangan emisi akibat subtitusi/menggantikan bahan bakar fosil dan akibat dari pembakaran gas CH4 per tahun adalah sebesar 0,031261 tCO2eq. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2012), faktor emisi gas metana (CH4) dari kotoran ternak untuk setiap satu ekor sapi potong adalah 1 Kg/tahun. Sehingga emisi gas metana (CH4) dari kotoran ternak untuk satu ekor sapi potong adalah 0,001 tCH4/tahun atau setara dengan 0,021 tCO2eq/tahun. POME menghasilkan emisi untuk setiap hektar (ha) kolam penampungan adalah sebesar 7,58339 tCO2eq/tahun (Harsono, Grundmann, & Soebronto, 2014). Dari hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa pemanfaatan POME dan kotoran sapi dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 0,031261 tCO2eq per tahun.

7. Analisis Ekonomi Berbasis Finansial

Analisis ekonomi berbasis finansial merupakan kajian potensi ekonomi yang digunakan untuk menentukan layak/tidaknya suatu kegiatan/usaha diterapkan.

Page 58: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 47

Dalam hal ini kegiatan yang diterapkan adalah integrasi antara pabrik kelapa sawit (PKS) dengan peternakan sapi. Dimana pabrik kelapa sawit bertujuan untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan dari limbah cair kelapa sawit (POME) dengan cara konversi energi melalui biogas menjadi energi listrik. Untuk mengoptimalkan produksi biogas digunakan kotoran sapi dari peternakan sapi masyarakat sekitar pabrik. Selain mengurangi dampak terhadap lingkungan, kegiatan ini memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi pabrik kelapa sawit maupun masyarakat sekitar.

8. Kriteria Kelayakan

Pada penelitian ini digunakan beberapa kriteria kelayakan kegiatan/usaha yaitu Pay Back Period (PBP), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Analisis ekonomi berbasis finansial menggunakan tingkat suku bunga deposito rata-rata bank yang ada di Indonesia pada tahun 2017 yaitu sebesar 6,2%. Kriteria ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kelayakan kegiatan/usaha dari integrasi pabrik kelapa sawit dengan peternakan sapi. Aliran kas digunakan untuk membantu dalam menghitung PBP, NPV dan IRR dengan tingkat suku bunga deposito 6,2% dan proyeksi selama 10 tahun berjalan. Hasil analisis ekonomi berbasis finansial berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan dapat dilhat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Ekonomi Berbasis Finansial

No Indikator Kelayakan Nilai1 PBP (tahun) 4,62 NPV (Rp.) 44.002.833.6713 IRR (%) 11%

Pada tabel menunjukan bahwa priode waktu pengembalian dari investasi yang dikeluarkan pada kegiatan/usaha ini selama 4,6 tahun atau setara dengan 4 tahun 8 bulan berjalan. Nilai PBP ini menyatakan bahwa kegiatan/usaha ini layak digunakan karena periode waktu pengembalian tidak begitu lama dibandingkan dengan umur kegiatan/usaha tersebut yaitu 10 tahun. Berdasarkan aliran kas, hasil analisis perhitungan kelayakan pada kegiatan/usaha ini diperoleh total pendapatan bersih setelah potong pajak sebesar Rp16.307.243.555/tahun dan total pengeluaran sebesar Rp74.890.770.000/tahun dengan tingkat suku bunga deposito 6,2% selama 10 tahun diperoleh nilai NPV sebesar Rp44.002.833.671. NPV yang diperoleh bernilai positif artinya kegiatan/usaha ini layak untuk dilaksanakan dalam upaya mengurangi dampak terhadap lingkungan dari POME

Page 59: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

48 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dan kotoran sapi serta menghasilkan keuntungan berupa sumber energi listrik. Selain itu, hasil analisis juga menunjukan bahwa nilai IRR yang diperoleh adalah 11% dengan tingkat suku bunga deposito sebesar 6,2% selama 10 tahun berjalan. Kemampuan kegiatan/usaha untuk mengembalikan modal investasi lebih besar dari pada bunga deposito bank yang digunakan. Artinya bahwa kegiatan/usaha ini layak untuk dilaksanakan. Karena laju pengembalian investasi kegiatan ini lebih besar dari pada laju pengembalian apabila melakukan investasi ke deposito bank.

D. Kesimpulan

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Rasio C/N optimal pada penelitian ini adalah Rasio C/N 30 yang menghasilkan energi listrik maksimal sebesar 0,0435 kWh.

2. Manfaat lingkungan terhadap produksi energi listrik dari POME dengan penambahan kotoran sapi pada Rasio C/N 30 melalui integrasi pabrik kelapa sawit dan peternakan sapi masyarakat yang menghasilkan energi listrik sebesar 3.672 MWe/tahun dapat menurunkan emisi sebesar 7.319,81 tCO2eq/tahun, dan menghasilkan pupuk organik sebanyak 33.520.961 kg/tahun dengan substrat kandungan N, P dan K sebesar 2,5%, 6,8% dan 4,5%. Kriteria kelayakan menggunakan tingkat suku bunga 6,2% selama 10 tahun diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 44.002.833.671, nilai IRR sebesar 11%, PBP selama 4,6 tahun atau setara dengan 4 tahun 8 bulan berjalan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi berbasis finansial maka kegiatan integrasi pabrik kelapa sawit dengan peternakan sapi masyarakat layak untuk dilaksanakan.

E. Saran

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan dapat disampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Produksi energi listrik berbahan dasar campuran Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan kotoran sapi dapat juga memanfaatkan bahan dasar lainnya berupa limbah hasil dari perkebunan maupun limbah hasil peternakan sebagai perbandingan dalam optimalisasi proses degradasi pada fermentasi anaerob.

2. Integrasi antara pabrik kelapa sawit dengan peternakan sapi masyarakat pada penelitian ini layak dijadikan sebagai bahan pertimbangan kepada perusahaan-perusahaan pabrik minyak kelapa sawit untuk diimplementasikan dalam

Page 60: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 49

mengatasi permasalahan lingkungan. Karena dapat membantu mengurangi emisi dan meningkatkan kesejahteraan sosial

Page 61: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

50 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 62: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

STATUS KEBERLANJUTAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO (THEOBROMACACAO L.) DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

Nama : Catharina Martina

Instansi : Pemkab Lampung Selatan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 63: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

52 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Dengan dukungan kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, pengembangan perkebunan kakao diperhatikan. Kabupaten Lampung Selatan menetapkan komoditi kakao sebagai salah satu unggulan, khususnya di Kecamatan Katibung dan Kecamatan Merbau Mataram. Berbagai arahan dan kebijakan diterapkan untuk mendorong produksi yang makin tinggi, yaitu dengan pemberian pelatihan serta bantuan sarana dan prasarana penunjang perkebunan. Budidaya kakao dalam banyak hal cenderung kurang memperhatikan keberlanjutan karena hanya difokuskan pada peningkatan produksi. Hal ini dapat berakibat pada penurunan hasil karena kerusakan tanah, ketidakseimbangan unsur hara, dan peningkatan kejadian hama dan penyakit. Praktek perkebunan semacam ini tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengharuskan pengelolaan perkebunan sesuai dengan asas keberlanjutan. Dibutuhkan analisis mengenai penerapan praktek perkebunan di lapangan baik pada wilayah yang didampingi oleh program pemerintah daerah maupun wilayah yang dikelola berdasarkan pengetahuan masyarakat sendiri.

Penelitian ini dimaksudkan untuk (1) menentukan status keberlanjutan pada pengelolaan perkebunan kakao di wilayah Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial; (2) menentukan strategi pengembangan perkebunan kakao yang sesuai di Kabupaten Lampung Selatan. Status keberlanjutan dianalisis dengan memodifikasi metode Rapfish melalui pendekatan MDS (multidimensional scaling). Analisis keberlanjutan pengelolaan perkebunan dilihat dari tiga dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial) menggunakan pendekatan MDS (multidimensional scaling) yang dimodifikasi dalam metode Rapfish. Faktor internal dan eksternal ditentukan berdasarkan hasil analisis kondisi yang kemudian menjadi dasar penentuan rekomendasi pengembangan perkebunan kakao yang berkelanjutan menggunakan analisis SWOT. Sampling dilakukan di tiga lokasi, yaitu Kecamatan Katibung, Kecamatan Merbau Mataram, dan kecamatan Rajabasa. Kajian pengelolaan perkebunan dijelaskan secara deskriptif dengan membandingkan pengelolaan pada tiga lokasi pengamatan, yaitu Kecamatan Katibung, Kecamatan Merbau Mataram, dan kecamatan Rajabasa.

Hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi ekologi dan sosial pada Kecamatan Katibung dan Merbau Mataram berstatus ‘cukup berkelanjutan’ sedangkan dimensi ekonomi berstatus ‘kurang berkelanjutan’. Sebaliknya, dimensi ekologi dan sosial pada Kecamatan Rajabasa menunjukkan status ‘kurang berkelanjutan’ sedangkan dimensi ekonomi berstatus ‘cukup berkelanjutan’. Strategi pengelolaan perkebunan yang sesuai untuk dikembangkan adalah memperbanyak pelatihan dengan tema berbeda

Page 64: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 53

sesuai kebutuhan kelompok tani serta mengembangkan pengelolaan perkebunan yang terintegrasi dengan ternak.

Kata kunci: Komoditi Kakao, Budidaya Kakao, Kecamatan Katibung, Kecamatan Merbau, Kecamatan Rajabasa, Keberlanjutan Pengelolaan Perkebunan, Metode Rapfish

Page 65: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

54 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

With the support of central and local government policies, the development of cocoa plantations was taken in consideratin. The South Lampung Regency had determined cocoa as one of the leading commodities, especially in Katibung Subdistrict and Merbau Mataram District. Various directives and policies were implemented to encourage higher production, namely by providing training and assistance to plantation facilities and infrastructure. The cocoa cultivation in many ways tended to pay less attention to sustainability because it only focused on increasing production. This could result in a decrease in yield due to soil damage, nutrient imbalance, and increased incidence of pests and diseases. This such plantation practice was certainly not in accordance with the Law of the Republic of Indonesia Number 39 of 2014 concerning Plantations which required the management of plantations in accordance with the principle of sustainability. An analysis was needed on the implementation of plantation practices in the field both in the area accompanied by the regional government and regional programs that were managed based on the community’s own knowledge.

This study was intended to (1) determine the status of sustainability in the management of cocoa plantations in the area of South Lampung Regency based on ecological, economic and social dimensions; (2) determine the appropriate cocoa plantation development strategy in South Lampung Regency. The sustainability status was analyzed by modifying the Rapfish method through the MDS (multidimensional scaling) approach. The sustainability analysis of plantation management was viewed from three dimensions (ecological, economic, and social) using a modified MDS (multidimensional scaling) approach in the Rapfish method. Internal and external factors are determined based on the results of a condition analysis which then became the basis for determining the recommendations for sustainable cocoa plantation development using SWOT analysis. The sampling process was carried out in three locations, namely Katibung Subdistrict, Merbau Mataram District, and Rajabasa Subdistrict. The study of plantation management was explained descriptively by comparing the management of the three observation locations, namely Katibung District, Merbau Mataram District, and Rajabasa District.

The results of the analysis showed that the ecological and social dimensions of Katibung and Merbau Mataram districts were ‘quite sustainable’ while the economic dimension was ‘less sustainable’. On the contrary, the ecological and social dimensions of Rajabasa Subdistrict showed ‘less sustainable’ status while the economic dimension was ‘quite sustainable’. The appropriate plantation management strategy to be developed had to

Page 66: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 55

increase training with different themes according to the needs of farmer groups and to develop plantation management that had integration with livestock farming.

Keywords: Cocoa Commodity, Cocoa Cultivation, Katibung District, Merbau District, Rajabasa District, Sustainability of Plantation Management, Rapfish Method

Page 67: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

56 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STATUS KEBERLANJUTAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PERKEBUNAN KAKAO (THEOBROMACACAO L.) DI

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perkebunan kakao seringkali mengesampingkan pentingnya keseimbangan alam dan keanekaragaman hayati. Umumnya lahan perkebunan disiapkan dengan membersihkan semua vegetasi alami di wilayah tersebut (Karmawati dkk., 2010; Prawoto dkk., 2013; Siregar, Riyadi, & Nuraeni, 2014). Ini berarti bahwa biomassa dan keanekaragaman hayati berkurang atau menghilang. Pada akhirnya terjadi penurunan mutu tanah, mendorong terjadinya erosi, dan memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan, sebagaimana yang telah menjadi kekhawatiran di beberapa negara, seperti Nepal, dan Malaysia (Schwab et.al, 2015; Vanhove et.al, 2016). Dengan demikian perlu dipertimbangkan untuk menerapkan perkebunan yang mempertahankan kelestarian lingkungan dengan sistem tumpang sari seperti pada pertanian.

Di Indonesia, masih sedikit kajian mengenai keselarasan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dalam penerapan program pemerintah untuk keberlanjutan pengelolaan perkebunan kakao. Salah satu kajian mengenai pengelolaan perkebunan kakao dilakukan oleh Utomo et al. (2015) di lahan perkebunan milik negara di Banyuwangi. Kajian tersebut difokuskan pada pola tanam kakao. Hasil penelitian Utomo et al. (2015) menunjukkan bahwa sistem yang dianjurkan dalam perkebunan untuk menjaga kelestarian lingkungan adalah agroforestri. Dengan pola tanam agroforestri yang polikultur maka karbon organik, bahan organik tanah, kondisi pendukung pertumbuhan, dan aktivitas mikroba bermanfaat dalam tanah menjadi tinggi. Sistem agroforestri berperan dalam pencegahan kehilangan air yang terlalu cepat, serta pengurangan intensitas cahaya sehingga tidak melebihi batas toleransi (Adiputra, 2014). Ada beberapa kajian lain mengenai perkebunan kakao sistem agroforestri dilihat dari sudut pandang ekonomi yang menyimpulkan bahwa komoditi selain kakao yang ditanam pada lahan perkebunan kakao memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani (Hariyati, 2013; Sofyan dkk., 2015).

Menurut buku Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 (2015), Provinsi Lampung menyumbang 14,54% lahan kakao untuk wilayah Sumatera dan wilayah Sumatera menyumbang 24,94% lahan dari keseluruhan lahan kakao di Indonesia. Pendampingan untuk pengembangan produksi kakao di Kabupaten Lampung Selatan dilakukan oleh pemerintah daerah secara intensif yang dimulai pada tahun 2011. Pendampingan berupa pelatihan dan pemberian sarana produksi melalui Dinas Perkebunan.

Page 68: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 57

Program/kegiatan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah bertujuan untuk mendukung peningkatan produksi kakao. Hal yang sering dikesampingkan dalam penerapannya adalah memasukkan aspek lingkungan ke dalam program/kegiatan pengelolaan perkebunan kakao. Selain itu, ketidakterpaduan aspek lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial juga terjadi pada pengelolaan perkebunan. Studi ini berusaha menganalisis apakah program yang dijalankan pemerintah daerah untuk memajukan perkebunan sudah memperhatikan aspek-aspek pembangunan yang berkelanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Hal ini terkait dengan aturan dalam UU No 32 tahun 2009 yang menjelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan dapat tercipta dengan keterpaduan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi. Penelitian terkait dengan program pengelolaan perkebunan kakao perlu dilakukan karena setiap negara membutuhkan pengetahuan mengenai teknik pertanian berkelanjutan yang sesuai dengan wilayahnya (Niemmanee et al., 2015). Selain itu, dibutuhkan penelitian untuk mengukur dampak lingkungan penggunaan lahan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, kesuburan tanah, dan sebagainya (Ntiamoah & Afrane, 2008) dari suatu lahan perkebunan sebagai dasar pengembangan pembangunan berkelanjutan sektor perkebunan. Terlebih lagi, perlu pemahaman lebih lanjut mengenai keterkaitan antara produksi yang bisa dihasilkan dengan jasa lingkungan yang dapat dinikmati dalam suatu lahan perkebunan kakao (Utomo et al., 2015).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Penelitian ini dilakukan sebagai kajian terhadap praktek perkebunan yang sudah dijalankan di Kabupaten Lampung Selatan agar diketahui faktor-faktor yang paling mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan perkebunan kakao. Kajian ini diperlukan untuk mencari rekomendasi yang sesuai dalam mendukung pembangunan perkebunan yang berkelanjutan. Oleh karena itu maka perlu diketahui:

1. Apakah pengelolaan perkebunan kakao di Kabupaten Lampung Selatan telah mencakup dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial yang berkelanjutan?

2. Strategi pengelolaan seperti apa yang sesuai untuk mendukung pembangunan perkebunan kakao yang berkelanjutan di Kabupaten Lampung Selatan?

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Lampung Selatan dengan fokus pada Kecamatan Katibung, Kecamatan Merbau Mataram, dan Kecamatan Rajabasa. Kecamatan Katibung dan Kecamatan Merbau Mataram merupakan wilayah untuk pengembangan perkebunan kakao yang didampingi fasilitas dari pemerintah daerah, sedangkan Kecamatan Rajabasa merupakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan kakao dilihat dari luas areal perkebunannya namun kurang dalam fasilitas dari pemerintah.

Page 69: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

58 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari anggota kelompok tani (Poktan), penyuluh, dan kepala Unit Pelaksana Teknis di kecamatan. Cara memperoleh data dengan kuesioner maupun wawancara langsung. Data diperoleh dengan teknik purposive sampling (bertujuan). Observasi lapangan dilakukan untuk mengamati sendiri perkebunan yang telah dikelola oleh masyarakat. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, dokumen dinas terkait, dan sumber di internet.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Keberlanjutan

Status keberlanjutan di setiap lokasi pengamatan dianalisis melalui tiga dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Setiap dimensi memiliki indikator-indikator yang dipilih berdasarkan Pedoman Teknis Budidaya kakao yang Baik yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/OT.140/4/2014, penelitian terdahulu oleh Hidayanto (2010) dan Widiatmaka (2015), serta wawancara awal dengan pekebun.

Apabila ketiga kecamatan dibandingkan maka terlihat bahwa dimensi ekologi dan sosial pada Kecamatan Katibung dan Merbau Mataram berstatus cukup berkelanjutan sedangkan dimensi ekonomi kedua kecamatan tersebut termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Status yang berbeda ditunjukkan pada Kecamatan Rajabasa di mana status cukup berkelanjutan hanya untuk dimensi ekonomi, sedangkan dimensi ekologi dan sosial berstatus kurang berkelanjutan. Ini berarti bahwa pendampingan pemerintah untuk pengelolaan kakao baru dapat berkontribusi dengan baik pada dimensi ekologi dan sosial. Tingkat keberlanjutan juga baru pada tahap ‘cukup berkelanjutan’ dan belum mencapai tahap sudah ‘berkelanjutan’.

Selama ini, pendampingan oleh pemerintah daerah dilakukan di Kecamatan Katibung dan Merbau Mataram. Ternyata pendampingan tersebut baru dapat berkontribusi untuk dimensi ekologi dan sosial mencapai tahap ‘cukup berkelanjutan’, sedangkan dimensi ekonomi masih ‘kurang berkelanjutan’. Untuk mengubah status keberlanjutan dimensi ekonomi pada kedua kecamatan tersebut maka dapat dipelajari dari Kecamatan Rajabasa yang justru memiliki dimensi ekonomi dengan status cukup berkelanjutan. Hal yang sangat mencolok pada dimensi ekonomi Kecamatan Rajabasa adalah faktor hasil usaha tani tambahan selain kakao. Petani kakao responden di Rajabasa seluruhnya memiliki tanaman lain yang diusahakan untuk menambah pendapatan. Ini berarti bahwa mengusahakan beragam komoditi

Page 70: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 59

akan memberikan jaminan ekonomi bagi petani. Diakui oleh penyuluh setempat bahwa usaha pertanian sawah dan komoditi hortikultura masih menjadi andalan pendapatan rutin bagi petani, termasuk petani kakao. Apabila ingin menanam beragam komoditi dalam lahan yang sama maka pola tanam agroforestry merupakan salah satu yang dianggap baik untuk meningkatkan pendapatan petani (Triwanto, 2011; W. & Hayati, 2011).

Status keberlanjutan dimensi ekologi dan dimensi sosial Kecamatan Rajabasa masih ‘kurang berkelanjutan’. Dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya, beberapa faktor dalam dimensi ekologi dan sosial di Kecamatan Rajabasa masih perlu diperbaiki. Beberapa faktor yang berpengaruh dalam kurangnya status berkelanjutan dimensi ekologi Kecamatan Rajabasa adalah teknik budidaya serta penanganan hama dan penyakit tanaman. Teknik budidaya di Kecamatan Rajabasa belum berdasarkan teknik budidaya kakao yang baik (GAP), terlihat dari sedikitnya persentase petani kakao responden (8,1%) yang menggunakan teknik sesuai anjuran. Sebagian besar petani kakao responden di Kecamatan Rajabasa menerapkan budidaya berdasarkan pengalaman secara turun-temurun. Hal tersebut adalah hal yang baik namun harus dipadukan dengan pengetahuan mengenai teknik-teknik budidaya yang tidak merusak lingkungan, seperti cara-cara pemangkasan, pemupukan, serta penanganan hama dan penyakit tanaman. Tidak ada pendampingan terhadap petani kakao responden di Kecamatan Rajabasa sehingga tidak ada yang melakukan pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu. Tingkat penggunaan pestisida kimia untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman sangat tinggi di kecamatan tersebut, padahal bahan kimia merusak kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan akibat penggunaan pestisida dinyatakan dalam penelitian Ntiamoah dan Afrane (2008). Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa penggunaan kontrol biologi (misal predator alami) yang lebih ramah lingkungan lebih disarankan untuk penanganan hama dan penyakit tanaman. Kedua faktor ini dapat menjadi salah satu dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan intervensi dengan lebih banyak melakukan sosialisasi dan pelatihan terkait teknik budidaya kakao yang baik serta penanganan hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

Faktor yang terlihat sangat berbeda dalam dimensi sosial Kecamatan Rajabasa dibandingkan kedua kecamatan lainnya adalah mengenai keaktifan anggota kelompok tani dalam kelembagaan tani. Petani kakao responden di Kecamatan Rajabasa belum memanfaatkan kelompok tani untuk memperkuat usaha perkebunan. Hal ini kemungkinan karena kurangnya informasi mengenai teknologi, budidaya, atau terkait dengan usaha kakao lainnya yang disampaikan di dalam kelompok tani. Dengan demikian petani responden merasa keberadaan kelompok tani tidak penting dalam memajukan usaha perkebunan kakao mereka.

Page 71: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

60 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Hal ini sesuai dengan persentase peran lembaga penyuluh pertanian bagi petani kakao responden. Petani kakao responden di Kecamatan Rajabasa (86,5%) menilai lembaga penyuluhan kurang berperan dalam usaha perkebunan. Penyuluhan atau pendampingan biasanya melalui lembaga penyuluhan yang bekerja sama dengan lembaga tani (kelompok tani atau gabungan kelompok tani). Lembaga penyuluhan yang kurang aktif mendampingi kelompok tani kemungkinan mempengaruhi keaktifan anggota kelompok tani dalam kelompoknya di Kecamatan Rajabasa.

• Secara keseluruhan, pengelolaan perkebunan kakao di ketiga wilayah pengamatan belum menunjukkan terciptanya keterpaduan antara ketiga dimensi (ekologi, ekonomi, dan sosial). Di satu wilayah masih terdapat dimensi yang masuk dalam kategori ‘kurang berkelanjutan’. Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, pembangunan dikatakan berkelanjutan apabila ada keterpaduan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk kepentingan generasi masa kini dan masa depan. Hasil analisis yang menunjukkan masih ada satu atau lebih dimensi yang berada pada kategori ‘kurang berkelanjutan’ dapat diartikan bahwa pembangunan sektor perkebunan kakao di ketiga wilayah tersebut secara keseluruhan belum berkelanjutan. Terlebih lagi status yang paling tinggi baru pada kategori ‘cukup berkelanjutan’ dan belum sampai pada status ‘sangat berkelanjutan’. Analisis SWOT

Sesuai dengan matriks strategi SWOT, maka strategi yang sesuai untuk dikembangkan adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, yaitu:

a. Memperbanyak pelatihan dengan tema beragam sesuai kebutuhan kelompok tani

Kegiatan-kegiatan pemerintah bagi petani ditujukan bagi kesejahteraan petani. Untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut, peningkatan kemandirian petani selalu diutamakan. Dengan kemandirian maka keberlanjutan usaha tani jadi lebih terjamin.

Kemandirian petani terwujud apabila petani sudah mampu mengamati, menganalisis, dan mencari pemecahan atas masalah-masalah yang terjadi dalam usaha tani mereka. Untuk itu, petani harus dibekali pengetahuan yang cukup sehingga mampu mengidentifikasi permasalahan dan mencari pemecahannya. Salah satu cara membekali petani adalah dengan memberikan pelatihan-pelatihan. Akan lebih baik jika pelatihan tersebut disertai dengan praktek keterampilan yang terkait dengan tema pelatihan.

Page 72: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 61

b. Penguatan dan pemberdayaan kelembagan tani

Pelatihan yang diperlukan terkait dengan pengembangkan kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Kelembagaan dikembangkan menjadi unit produksi di tingkat kelompok tani, sedangkan di tingkat Gapoktan dikembangkan menjadi unit pemasaran, penyedia sarana produksi, dan lembaga keuangan mikro. Pelatihan-pelatihan tersebut dilakukan untuk menjamin kelancaran pemasaran, ketersediaan sarana produksi, dan permodalan bagi petani. Dalam pengembangan kelompok, anggota kelompok tani dilatih untuk lebih aktif berperan dalam menyumbangkan ide serta mengelola kelompoknya.

c. Budidaya tanaman kakao sesuai GAP

Untuk memaksimalkan produksi dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan maka diperlukan pelatihan mengenai teknik perawatan tanaman, pemupukan, pemangkasan, pengelolaan penaung, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), rehabilitasi tanaman, serta integrasi kakao-ternak.

d. Pembuatan pupuk organik

Pelatihan pembuatan pupuk organik dimaksudkan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan memanfaatkan limbah dari lingkunga perkebunan. Pelatihan sebaiknya dibuat berkelompok agar dapat memenuhi kebutuhan kelompok. Cara pembuatan pupuk dengan menawarkan berbagai proses sehingga petani dapat memilih sendiri metode yang paling tepat untuk diterapkan di kelompoknya.

e. Panen dan pasca panen kakao

Pelatihan ini diperlukan karena petani tidak memiliki pengetahuan yang memadai saat pemanenan dan pasca panen untuk meningkatkan mutu biji yang dijual. Oleh karena itu, dalam pelatihan harus meliputi pemanenan, sortasi buah, pemeraman atau penyimpanan buah, pemecahan buah, fermentasi biji, perendaman dan pencucian biji, pengeringan biji, sortasi dan peng-kelas-an biji kering, serta penyimpanan.

f. Kewirausahaan

Keikutsertaan petani dalam kelompok dapat dimanfaatkan untuk menanamkan pola pikir kreatif menuju kemandirian. Pelatihan kewirausahaan dimaksudkan untuk mengembangkan cara berpikir kreatif untuk menemukan peluang-peluang usaha dari sumber daya yang ada.

Page 73: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

62 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Jiwa kewirausahaan ditumbuhkan dengan menarik minat petani mengelola hasil panen sehingga tidak hanya dijual dalam bentuk bahan mentah, atau dengan melihat peluang limbah yang ada untuk diolah menjadi lebih bernilai ekonomi. Pengenalan akan produk-produk olahan atau produk turunan perlu dilakukan. Selain itu dilakukan kerja sama dengan para pelaku usaha sehingga petani dapat mengenal pasar dan bekerja sama langsung dengan pelaku usaha.

g. SLPHT kakao

Keluhan petani kakao mengenai serangan hama dan penyakit tanaman perlu ditindaklanjuti dengan pengadaan SLPHT Kakao. Serangan yang rutin terjadi setiap tahun perlu penanganan secara rutin pula. Pendampingan perlu dilakukan untuk membantu petani agar dapat mengamati, mengenali, dan menyesuaikan jenis penanganan yang sesuai untuk masing-masing kebun mereka. Pelatihan mengenai penanganan hama dan penyakit menggunakan bahan alami perlu dilakukan untuk menghindari pencemaran lingkungan. Bahan alami yang dimaksud misalnya dengan menggunakan kunyit, ekstrak daun mimba dan tembakau, pemanfaatan semut hitam, dan penggunaan jamur Beuveria bassiana dan Trichoderma spp.

2. Pengelolaan perkebunan kakao berintegrasi dengan ternak

Strategi kedua berkaitan dengan konsep pengelolaan perkebunan kakao secara berkelanjutan. Usaha perkebunan yang berkelanjutan tidak hanya memperhatikan produktivitas yang tinggi untuk memberikan keuntungan ekonomi. Keberlanjutan dapat tercipta apabila ada kelestarian lingkungan. Pengembangan seyogianya tidak menonjolkan pemenuhan kebutuhan ekonomi saja, melainkan juga mempertimbangkan pemeliharaan lingkungan. Hal ini perlu dipertimbangkan karena adanya keterbatasan sumber daya alam. Penggunaan sumber daya alam harus diatur agar tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang melainkan juga untuk menjamin ketersediaan bagi generasi yang akan datang (Hadi, 2005). Dengan demikian untuk mempertahankan keberlanjutan pengelolaan perkebunan kakao, harus diperhatikan unsur ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Dilihat dari tingkat kesuburan tanah yang rendah dari ketiga kecamatan yang diamati, maka peningkatan kualitas tanah menjadi faktor yang sangat penting untuk keberlanjutan usaha perkebunan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan terkait peningkatan kesuburan tanah, terutama meningkatkan nilai C-organik dan KTK adalah dengan pemupukan secara organik. Pupuk organik dapat diperoleh dari hasil pengomposan limbah kulit kakao, limbah pemangkasan, dan vegetasi penutup

Page 74: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 63

tanah. Hal tersebut sudah mulai dilakukan oleh petani dan perlu ditingkatkan. Selain itu, meningkatkan keragaman jenis vegetasi baik tanaman penaung maupun penutup tanah juga menjadi salah satu cara memperbaiki kesuburan tanah.

D. Kesimpulan

1. Secara keseluruhan, pengelolaan perkebunan di ketiga wilayah pengamatan (Katibung, Merbau Mataram, dan Rajabasa) belum berkelanjutan karena ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan (ekologi, ekonomi, dan sosial) belum berjalan secara terpadu.

a. Status keberlanjutan Kecamatan Katibung untuk dimensi ekologi (nilai indeks 52,68) dan dimensi sosial (nilai indeks 51,12) adalah cukup berkelanjutan, sedangkan status untuk dimensi ekonomi (nilai indeks 48,92) adalah kurang berkelanjutan.

b. Status keberlanjutan Kecamatan Merbau Mataram untuk dimensi ekologi (nilai indeks 51,12) dan dimensi sosial (nilai indeks 51,39) adalah cukup berkelanjutan, sedangkan status untuk dimensi ekonomi (nilai indeks 45,98) adalah kurang berkelanjutan.

c. Status keberlanjutan Kecamatan Rajabasa berkebalikan dengan dua kecamatan yang lain, dimana status untuk dimensi ekologi (nilai indeks 49,51) dan dimensi sosial (nilai indeks 47,36) adalah kurang berkelanjutan, sedangkan status untuk dimensi ekonomi (nilai indeks 58,58) adalah cukup berkelanjutan.

2. Strategi pengelolaan berkelanjutan yang sesuai diterapkan pada perkebunan kakao di Kabupaten Lampung Selatan yaitu:

a. Mengadakan pelatihan-pelatihan yang mampu mendukung keberlanjutan usaha tani, di antaranya penguatan dan pemberdayaan kelembagan tani, budidaya tanaman kakao sesuai GAP, pembuatan pupuk organik, panen dan pasca panen kakao, kewirausahaan, SLPHT kakao.

b. Pengelolaan perkebunan kakao terpadu, yaitu pengelolaan dengan memadukan penanaman kakao dengan berbagai tanaman penaung serta dengan sektor peternakan (kakao-sapi atau kakao-kambing).

E. Saran

1. Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menjadikan informasi mengenai status keberlanjutan di tiga kecamatan yang ada di Lampung Selatan ini sebagai dasar penelitian lebih lanjut. Perlu ada evaluasi mengenai komoditi atau ternak

Page 75: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

64 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang paling sesuai untuk dikelola bersama dengan kakao sehingga dapat meningkatkan keberlanjutan secara ekonomi, ekologi, dan sosial.

2. Disarankan pada pihak pemerintah daerah untuk:

a. Melakukan inventarisasi kebutuhan pelatihan untuk kelompok tani-kelompok tani;

b. Melakukan kajian kebutuhan sebelum memberikan bantuan sehingga bantuan yang diberikan sesuai (seperti kapasitas alat pencacah untuk UPPO, sebaran jalan produksi dan embung, dan sebagainya);

c. Melakukan kerja sama dengan lembaga permodalan, pelaku usaha pengolahan kakao, atau pihak lain yang dapat membantu usaha perkebunan petani.

3. Disarankan kepada masyarakat untuk menerapkan integrated farming system, yaitu dengan menanam beragam tanaman penaung bermanfaat dalam lahan kakao serta memadukan pengelolaan perkebunan dengan ternak ruminansia (sapi atau kambing).

Page 76: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

DEGRADASI LINGKUNGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Nama : Citrasmara Galuh Nuansa

Instansi : Kementerian Kehutanan & LH

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Studi Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro Semarang

Page 77: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

66 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep yang sangat penting untuk diterapkan mengingat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Indonesia. Akan tetapi, pada kenyataannya faktor ekonomi masih mendominasi dibandingkan dengan faktor lingkungan dan sosial. Akibatnya, aktivitas ekonomi yang dilakukan berimbas kepada degradasi lingkungan. Hubungan empiris antara aktivitas ekonomi dan kualitas lingkungan telah banyak diteliti oleh para ahli, di antaranya menghasilkan suatu hipotesis yang disebut dengan Environmental Kuznets Curve (EKC).

Penelitian ini berujuan untuk menganalisis hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan di Indonesia berdasarkan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) dengan menggunakan data time series selama periode 1980-2013. Indikator pertumbuhan ekonomi ditunjukkan dengan pendapatan per kapita, sedangkan indikator lingkungan digambarkan dengan jejak ekologis (ecological footprint) per kapita. Selain itu, digunakan juga variabel penggunaan energi, rasio keterbukaan perdagangan, dan kepadatan penduduk sebagai variabel penjelas. Model hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan merupakan model ekonometrika dengan spesifikasi kuadrat. Analisis data tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag-Error Correction Model (ARDL-ECM).

Hasil penelitian ini tidak membuktikan keberadaan hipotesis EKC di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan degradasi lingkungan membentuk hubungan yang berbanding lurus yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh negara akan meningkatkan jejak ekologis. Baik dalam hubungan jangka panjang maupun jangka pendek, variabel pendapatan per kapita, penggunaan energi, dan rasio keterbukaan perdagangan menjadi variabel yang signifikan pada model, serta berefek positif terhadap nilai jejak ekologis per kapita. Sementara itu, variabel kepadatan penduduk merupakan satu-satunya variabel yang tidak signifikan dalam model.

Memperhatikan hasil studi ini, maka pemerintah Indonesia sebaiknya selalu memasukkan aspek lingkungan, dan juga sosial, dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi agar pembangunan yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Tentu saja, semua kebijakan ini memerlukan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah, serta lembaga terkait lainnya.

Kata kunci: Environmental Kuznet Curve, Indonesia, Jejak Ekologis, Time Series, ARDL-ECM

Page 78: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 67

ABSTRACT

The sustainable development is a very important concept to implement due to the rapid economic growth in Indonesia. However, in reality economic factors are still dominant compared to environmental and social factors. As a result, the economic activities carried out impact on environmental degradation. The empirical relationship between economic activity and environmental quality had been extensively researched by experts, including producing a hypothesis called the Environmental Kuznets Curve (EKC).

This study aimed to analyze the relationship between economic growth and environmental degradation in Indonesia based on the Environmental Kuznets Curve (EKC) hypothesis by using time series data at the period of 1980-2013. The indicators of economic growth were indicated by per capita income, while environmental indicators were illustrated by per capita ecological footprint. In addition, energy use variables, trade openness ratios, and population density were used as explanatory variables. The model of the relationship between economic growth and environmental degradation was an econometric model with quadratic specifications The data analysis was carried out using the Autoregressive Distributed Lag-Error Correction Model (ARDL-ECM) method.

The results of this study did not prove the existence of the EKC hypothesis in Indonesia. The economic growth and environmental degradation form a relationship that was directly proportional which showed that economic growth carried out by the state would increase the ecological footprint. In both long-term and short-term relationships, the variable per capita income, energy use, and trade openness ratio were significant variables in the model, and had a positive effect on the value of ecological footprint per capita. Meanwhile, the variable population density was the only variable that was not significant in the model.

Considering the results of this study, the Indonesian government should always include environmental and social aspects in the implementation of economic development so that sustainable development could be achieved. Of course, all of these policies required synergy between the central and regional governments, and other relevant institutions.

Keywords: ARDL-ECM, Ecological Footprint, Environmental Kuznet Curve, Indonesia, Time Series

Page 79: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

68 Direktori Mini Tesis-Disertasi

DEGRADASI LINGKUNGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

A. Latar Belakang

Penurunan kualitas lingkungan tidak hanya digambarkan melalui seberapa besar emisi yang dihasilkan dan seberapa luas deforestasi yang terjadi di suatu negara. Jejak ekologis (ecological footprint) merupakan sebuah tolok ukur yang lebih merepresentasikan degradasi lingkungan (Al-Mulali, Weng-Wai, Sheau-Ting, & Mohammed, 2014). Degradasi lingkungan yang terjadi akan berdampak pada daya dukung lingkungan. Jejak ekologis adalah salah satu komponen dalam menentukan daya dukung lingkungan. Jejak ekologis menggambarkan dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan, yang dinyatakan sebagai jumlah lahan yang dibutuhkan untuk penggunaan sumber daya alam. Daya dukung lingkungan merupakan selisih antara permintaan dengan ketersediaan. Dalam hal ini permintaan digambarkan oleh jejak ekologis (ecological footprint), sedangkan persediaan digambarkan oleh biokapasitas (biocapacity) (Borucke et al., 2013).

Penggunaan emisi CO2 sebagai indikator kualitas lingkungan pada sebagian besar studi mengenai EKC, merupakan sebuah indikator kualitas lingkungan satu-dimensi, dan pengaruh pendapatan per kapita terhadap lingkungan diukur hanya pada suatu negara di mana proses produksi dan konsumsi dilakukan. Padahal dampak aktivitas ekonomi terhadap kualitas lingkungan adalah multi-dimensi. Pada era globalisasi ini, lokasi proses produksi dan konsumsi dapat berpindah dengan cepat. Oleh sebab itu, pengukuran degradasi lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya dilakukan pada lokasi di mana konsumsi berada, tetapi juga dilakukan di lokasi produksi. Hal ini merupakan fakta dari perdagangan internasional yang memungkinan untuk mengimpor barang daripada memproduksi barang sendiri yang dapat merusak lingkungan (Peters, Minx, Weber, & Edenhofer, 2011; Weinzettel, Hertwich, Peters, Steen-Olsen, & Galli, 2013).

Jejak ekologis (ecological footprint) memungkinkan untuk melacak pengaruh pendapatan terhadap kapasitas biologis di dalam dan luar negeri sehingga memberikan pemahaman yang lebih jelas. Sebagai indikator multi-dimensi, jejak ekologis dapat membantu menggambarkan kerusakan lingkungan secara lebih luas (Aşici & Acar, 2015). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian yang akan dilaksanakan menitikberatkan pada pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap jejak ekologis di Indonesia dengan menggunakan hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC).

Page 80: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 69

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Degradasi lingkungan yang terjadi di Indonesia dapat direpresentasikan melalui jejak ekologis (ecological footprint). Jejak ekologis semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya jejak ekologis akan mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan.

Penurunan kualitas lingkungan ini, diiringi dengan kecenderungan meningkatnya pendapatan per kapita Indonesia. Pada tahun 1980 pendapatan per kapita Indonesia berada pada angka US$ 528,94, dan meningkat pada tahun selanjutnya hingga pada tahun 2013 menjadi US$ 3.631,67 (World Bank, 2016b).

Selain itu, rendahnya kualitas lingkungan di Indonesia juga ditunjukkan dengan Environmental Performance Index (EPI) yang hanya berada di peringkat 107 dari total 180 negara yang dinilai pada tahun 2016. EPI merupakan suatu penilaian terhadap usaha yang dilakukan oleh negara dalam menangani isu-isu lingkungan dengan prioritas tinggi yang terbagi dalam dua kategori besar, yakni kesehatan manusia dan perlindungan terhadap ekosistem (Yale Center for Environmental Law and Policy, 2016). Berdasarkan pada fenomena-fenomena tersebut, pertanyaan penelitian dalam studi ini yaitu:

1. Bagaimana hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan degradasi lingkungan yang ditunjukkan oleh jejak ekologis (ecological footprint) di Indonesia?

2. Apakah hubungan tersebut akan membentuk kurva U-terbalik sesuai hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC)?

3. Bagaimana sebaiknya kebijakan pembangunan yang dilakukan di Indonesia berdasarkan hasil studi ini?

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif tahunan pada rentang waktu antara tahun 1980-2013 di Indonesia. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode kepustakaan. Metode pengumpulan data ini dilakukan dengan cara penelusuran literatur yang bersumber dari jurnal ilmiah, lembaga dunia, instansi pemerintah, dan sumber-sumber lain berkaitan dengan penelitian ini.

Metode analisis adalah pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pengaruh masing-masing variabel bebas (independent variable) terhadap variabel tidak bebas (dependent variable). Mengacu pada model runtun waktu (time series), dalam penelitian ini terdapat beberapa langkah analisis, yang meliputi uji stasioneritas, uji kointegrasi bound testing, dan metode ARDL-ECM (Autoregressive Distributed Lag-Error Correction Model), serta uji asumsi klasik.

Page 81: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

70 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

Hubungan yang berbanding lurus antara pendapatan per kapita dan jejak ekologis menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh negara akan meningkatkan jejak ekologis. Peningkatan jejak ekologis ini tidak terlepas dari sektor unggulan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Misalnya di Kalimantan, sektor pertambangan dan penggalian; serta pertanian, kehutanan, dan perikanan menjadi lapangan usaha yang paling berpengaruh terhadap roda perekonomian. Sektor ini tentunya membutuhkan lahan pertanian, perikanan, hutan, dan lahan untuk serapan emisi CO2 yang merupakan komponen dari jejak ekologis. Peningkatan kebutuhan lahan ini menyebabkan peningkatan jejak ekologis yang mengindikasikan adanya degradasi lingkungan. Adanya degradasi lingkungan sebenarnya juga dapat dilihat secara nyata. Berkurangnya tutupan hutan sebagai akibat dari aktivitas perkebunan dan pertambangan misalnya, akan mengganggu fungsi hidrologi hutan.

Sebagai poros ekonomi nasional, Ekoregion Jawa juga menjadi pulau yang sarat akan permasalahan lingkungan. Banyaknya aktivitas industri dan perdagangan tentunya akan mempengaruhi kualitas air, kualitas udara, dan tutupan hutan. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2016 di Ekoregion Jawa hanya sebesar 53,28 atau tergolong kurang. Buruknya kualitas lingkungan di Jawa, tercermin dari beberapa bencana yang terjadi, seperti tanah longsor dan banjir. Kedua bencana ini tidak lagi disebut sebagai bencana alam, akan tetapi juga merupakan bencana sebagai akibat dari ulah manusia, seperti karena adanya aktivitas perubahan fungsi lahan hutan menjadi bangunan. Apabila dibandingkan dengan ekoregion lain, BNBP mencatat bahwa Jawa merupakan ekoregion dengan kejadian bencana banjir dan tanah longsor yang paling banyak. Pada tahun 2017, tercatat 324 kejadian banjir dan 486 kejadian tanah longsor.

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan terkait isu perluasan lahan sawit di Sumatera dan Kalimantan, mengakibatkan sejumlah permasalahan, salah satunya adalah permasalahan lingkungan. Gas rumah kaca, termasuk CO2 yang ditimbulkan dari kebakaran ini berkontribusi terhadap perubahan iklim secara global.

Di Ekoregion Sulawesi dan Maluku, sektor pertanian merupakan salah satu prioritas utama pembangunan ekonomi karena sektor ini menjadi penyumbang terbesar pada penerimaan produk domestik bruto (PDB). Selain sebagai penyedia pangan, sektor pertanian juga menimbulkan dampak bagi lingkungan. Dampak ini berkaitan dengan pemakaian pupuk pada proses produksi pertaniannya. Pemakaian pupuk yang tidak dikelola dengan baik, akan berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca seperti CO2 dan metana (CH4).

Page 82: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 71

Sebagai daerah pariwisata, Bali mengandalkan sektor akomodasi makan dan minum sebagai sektor yang paling berkontribusi terhadap pendapatan daerah. Perkembangan pariwisata memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat setempat. Namun, di sisi lain pariwisata juga dapat berpotensi terhadap kerusakan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh timbulan limbah seperti polutan air, udara, dan tanah dari kegiatan wisata tersebut. Menurut Pemerintah Provinsi Bali, sampah yang ditimbulkan dari objek wisata diperkirakan mencapai 147,75 m3/hari pada tahun 2015 (Pemerintah Provinsi Bali, 2015).

Papua, sebagai ekoregion paling timur di Indonesia, sangat tergantung pada sektor pertambangan dalam pertumbuhan ekonominya. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap pertambangan ini dapat mengancam tingkat eksploitasi kawasan hutan. Oleh sebab itu, dalam jangka panjang diperlukan sektor alternatif untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Papua, seperti perkebunan, pertanian maupun kehutanan.

Maraknya isu lingkungan di Indonesia yang diakibatkan oleh adanya degradasi lingkungan ini, juga mengindikasikan terlampauinya daya dukung lingkungan. Dalam perhitungan daya dukung lingkungan, jejak ekologis digunakan sebagai salah satu pendekatan perhitungannya. Jejak ekologis yang meningkat mengindikasikan adanya peningkatan permintaan atau konsumsi sumber daya, sedangkan persediaan (biokapasitas) yang ada adalah tetap atau bahkan berkurang. Daya dukung lingkungan dihitung berdasarkan selisih antara permintaan dan persediaan tersebut. Apabila peningkatan jejak ekologis melebihi kemampuan produktif alaminya (biokapasitas), maka daya dukung lingkungan akan terlampaui.

Konsep daya dukung lingkungan dalam prinsip pembangunan berkelanjutan ini juga diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional yang diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2017), energi primer di Indonesia pada tahun 2016 didominasi oleh minyak bumi sebesar 35,19%. Urutan kedua diduduki oleh batu bara, kemudian diikuti oleh biomassa. Berdasarkan kondisi ini, maka dapat diketahui bahwa Indonesia masih mengalami ketergantungan terhadap energi fosil, di mana energi ini merupakan energi tak terbarukan.

Page 83: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

72 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sementara itu, sektor transportasi dan industri menjadi sektor utama pengguna energi primer dengan proporsi masing-masing sebesar 43,89% dan 30,88%. Dalam sektor transportasi, sebesar 99,89% bahan bakar yang digunakan adalah minyak bumi, sedangkan sisanya berupa gas bumi dan listrik. Dari sektor industri, lebih dari 50% sumber energi dikuasai oleh gas bumi dan batu bara.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2015), sumber emisi CO2 dari sektor energi di Indonesia sebagian besar berasal dari energi industri dan transportasi. Gas CO2 ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat menyebabkan perubahan iklim, dan berdampak negatif terhadap lingkungan di Indonesia, seperti menurunnya produksi panen, naiknya permukaan air laut, banjir, dan pemutihan terumbu karang. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim diprediksikan mencapai 2,5-7,0% dari PDB pada tahun 2100. Sementara itu, dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia akan menghabiskan lebih dari $400 juta tiap tahunnya (Leitmann, 2009).

Semakin besar emisi CO2 yang dikeluarkan, maka lahan yang dibutuhkan akan semakin luas untuk mengasimilasi emisi tersebut. Dalam perhitungan jejak ekologis, kebutuhan lahan ini turut diperhitungkan.

Dari hasil penelitian ini, penggunaan energi menjadi variabel yang penting terhadap degradasi lingkungan di Indonesia. Namun, di sisi lain, penggunaan energi juga berhubungan dengan perkembangan ekonomi negara. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan permintaan energi yang semakin meningkat. Terhitung dari tahun 1980 sampai 2010, total produksi energi primer di Indonesia naik sebesar 2,8 kali, sedangkan konsumsi energi tumbuh hampir 5 kali lipat. Pada tahun 2025, kebutuhan energi diprediksikan akan meningkat 3 kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun 2010 (Mujiyanto & Tiess, 2013).

Variabel rasio keterbukaan perdagangan (TRD) dalam estimasi model jangka panjang signifikan pada tingkat 10% dengan koefisien bernilai positif, yang berarti bahwa setiap kenaikan rasio keterbukaan perdagangan sebesar 1% akan meningkatkan nilai jejak ekologis per kapita sebesar 0,092%. Hal ini membuktikan hipotesis awal yang menduga bahwa rasio keterbukaan perdagangan berpengaruh terhadap degradasi lingkungan di Indonesia.

Hubungan antara kualitas lingkungan dengan perdagangan sering kali menimbulkan perdebatan. Banyak pemerhati lingkungan yang berpendapat bahwa dalam sistem ekonomi yang lebih terbuka, negara dipaksa untuk menurunkan kualitas lingkungan agar dapat mengurangi biaya produksi. Sementara itu, para ekonom sering berpendapat bahwa keuntungan dari perdagangan lebih besar daripada manfaat

Page 84: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 73

lingkungan dan bahwa biaya perlindungan lingkungan bukan merupakan faktor penentu dalam pertumbuhan ekonomi (Shafik & Bandyopadhyay, 1992).

Dikaitkan dengan daya dukung lingkungan, tidak ada wilayah sebagai unit yang dapat ‘berdiri sendiri’ (independent). Pada kenyataannya, populasi dari seluruh wilayah atau negara telah melebihi kapasitas daya dukung lingkungan teritorialnya (defisit ekologis), sehingga mereka bergantung pada perdagangan untuk bertahan (W. E. Rees, 1992). Melalui perdagangan internasional ini, akan terjadi proses impor daya dukung lingkungan dan ekspor degradasi lingkungan. Impor daya dukung lingkungan dimaksudkan sebagai impor barang atau jasa dari sumber daya yang disediakan oleh alam, sedangkan ekspor degradasi lingkungan merupakan dampak lingkungan dari kegiatan impor yang dilakukan oleh negara-negara kaya terhadap negara dunia ketiga.

Defisit ekologis sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan apabila impor yang dilakukan didasarkan atas surplus ekologi pada wilayah pengekspor. Perdagangan antar wilayah akan tetap sesuai dengan daya dukung lingkungannya selama total konsumsi tidak melebihi jumlah produksi. Masalahnya adalah dalam logika ekonomi dan kesepakatan perdagangan yang berlaku, daya dukung lingkungan dan prinsip berkelanjutan menjadi diabaikan. Pada konsisi seperti ini, perdagangan internasional dapat mempercepat penipisan sumber daya alam sehingga dapat menurunkan daya dukung lingkungan secara global.

Kepadatan penduduk menjadi satu-satunya variabel yang tidak signifikan pada estimasi model jangka panjang. Hasil penelitian ini menolak hipotesis awal yang menyatakan bahwa kepadatan penduduk berpengaruh terhadap jejak ekologis. Variabel kepadatan penduduk bukan menjadi faktor pendorong utama dalam degradasi lingkungan, yang dalam hal ini digambarkan dengan jejak ekologis per kapita, melainkan pola dan jumlah konsumsi (Toth & Szigeti, 2016). Negara-negara maju memiliki jumlah penduduk yang stabil atau bahkan menurun, tetapi di satu sisi tingkat konsumsi per kapita mengalami peningkatan secara dramatis. Sebaliknya, di negara-negara berkembang menghadapi kenaikan jumlah penduduk yang cepat, tetapi jumlah konsumsi per kapita hanya meningkat secara terbatas.

Dikaitkan dengan pola konsumsi, arus urbanisasi dianggap sebagai faktor yang berpengaruh positif terhadap nilai jejak ekologis per kapita (Jorgenson, 2003). Wilayah yang memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi, akan menciptakan perekonomian yang lebih besar dan produktif yang mendukung usaha ekonomi yang besar dan terpadu. Di wilayah ini, sumber daya dikonsumsi pada tingkat yang lebih tinggi melalui proses produksi dan pasar konsumen yang lebih besar dan memiliki akses komoditas yang lebih mudah.

Page 85: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

74 Direktori Mini Tesis-Disertasi

negara berkembang, Indonesia tak luput dari fenomena urbanisasi. World Bank (2017) mencatat pada tahun 2016, lebih dari 50% penduduk Indonesia hidup di wilayah perkotaan. Padahal pada tahun 1980, penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan kurang lebih hanya 20%. Arus urbanisasi yang tinggi di Indonesia, diiringi oleh peningkatan pola konsumsi penduduknya.

Hasil estimasi jangka pendek menguatkan adanya hubungan jangka panjang antar variabel. Selain itu, dari nilai ECT yang diperoleh menunjukkan bahwa penyimpangan variabel jejak ekologis per kapita dari ekulibrium jangka panjang terkoreksi sebesar 79% dalam jangka waktu satu periode (satu tahun). Variabel yang signifikan pada model estimasi jangka pendek serupa dengan variabel yang signifikan pada model estimasi jangka panjang, yaitu penggunaan energi (lnEU), pendapatan per kapita (lnGDP), dan rasio keterbukaan perdagangan (lnTRD) dengan α masing-masing sebesar 10%. Sementara itu, variabel pendapatan per kapita kuadrat (lnGDP2) dan kepadatan penduduk (lnPOP) menjadi variabel yang tidak signifikan pada model ini.

Dalam jangka pendek, variabel pendapatan per kapita signifikan dan memiliki koefisien bertanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dilakukan akan meningkatkan jejak ekologis per kapita dalam hubungan jangka pendek. Berdasarkan nilai koefisien lnGDP maka dapat diartikan bahwa dengan adanya kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1% akan meningkatkan jejak ekologis per kapita sebesar 0,095%. Selanjutnya, meskipun variabel lnGDP2 memiliki nilai koefisien negatif, yang menggambarkan bentuk kurva U-terbalik antara pendapatan per kapita dengan jejak ekologis per kapita, akan tetapi variabel ini tidak signifikan dalam model. Oleh sebab itu, hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) juga tidak terbukti di Indonesia dalam jangka pendek.

Variabel penggunaan energi signifikan mempengaruhi jejak ekologis per kapita dengan koefisien bernilai positif. Hal ini berarti setiap kenaikan penggunaan energi sebesar 1% akan meningkatkan jejak ekologis per kapita sebesar 0,082%. Variabel rasio keterbukaan perdaganga juga memiliki nilai koefisien yang positif dan signifikan dalam model. Keadaan ini menunjukkan bahwa kenaikan rasio keterbukaan perdagangan sebesar 1% akan meningkatkan jejak ekologis per kapita sebesar 0,065%.

D. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Page 86: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 75

1. Analisis hubungan antara degradasi lingkungan dan pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan menggunakan variabel jejak ekologis per kapita, pendapatan per kapita, penggunaan energi, rasio keterbukaan perdagangan, dan kepadatan penduduk. Dari model yang dibangun dalam penelitian ini, hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) tidak terbukti di Indonesia. Jejak ekologis per kapita cenderung mengalami peningkatan seiiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Indonesia terkait daya dukung lingkungan untuk mencegah terjadinya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi di masa mendatang.

2. Variabel pendapatan per kapita, penggunaan energi dan rasio keterbukaan perdagangan menjadi variabel yang signifikan terhadap model baik dalam hubungan jangka panjang maupun jangka pendek. Ketiga variabel ini berpengaruh positif terhadap jejak ekologis per kapita. Sementara itu, variabel pendapatan per kapita kuadrat dan kepadatan penduduk merupakan variabel yang tidak signifikan di dalam model.

3. Pembangunan berkelanjutan harus menjadi mindset pembangunan yang tidak bisa ditawar lagi, dan harus diimplementasikan secara konsisten. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, integrasi pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan dilakukan memalui instrumen KLHS. Selain itu, program perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus direncanakan terarah melalui RPPLH. Dalam hal penggunaan energi fosil yang masih tinggi, harus dialihkan pada energi baru terbarukan. Oleh sebab itu, pemerintah harus serius membuat kebijakan yang mendorong upaya pengurangan energi fosil, alih teknologi, dan diversifikasi energi. Dalam hal keterbukaan perdagangan, Indonesia mesti mendorong terciptanya keadilan ekonomi dan lingkungan dalam percaturan internasional, antara negara maju dan negara berkembang, melalui berbagai inisiatif/isu pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya, terkait dengan kependudukan, pemerintah harus mampu memanfaatkan bonus demografi sebagai peluang pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan fokus terhadap pemerataan pembangunan antar wilayah dari semua aspek ekonomi, infrastruktur, dan pendidikan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia, produktivitas, dan daya saing daerah.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil studi ini, maka terdapat beberapa saran kebijakan pembangunan Indonesia yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi jejak ekologis

Page 87: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

76 Direktori Mini Tesis-Disertasi

per kapita dalam rangka upaya menurunkan degradasi lingkungan di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi harus memasukkan aspek lingkungan dan sosial agar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat terwujud. Hal ini memerlukan adanya kerjasama yang kuat dan terintegrasi antar kementerian, badan, dan seluruh lembaga, serta peran aktif badan eksekutif dan legislatif negara dalam implementasi kebijakan tersebut.

2. Penggunaan energi primer di Indonesia yang masih tergantung pada energi fosil harus diubah, yaitu dengan cara diversifikasi energi, salah satunya dengan mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya dimiliki oleh Indonesia dengan potensi yang cukup besar. Selain itu, Indonesia juga perlu mengembangkan teknologi ramah lingkungan dan efisien serta menerapkan produksi bersih dalam aktivitas industri sehingga dapat mengurangi emisi CO2 serta limbah yang dikeluarkan.

3. Faktor lingkungan perlu dimasukkan ke dalam perjanjian perdagangan internasional untuk menjaga kualitas lingkungan secara global. Selain itu, Indonesia sendiri juga diharapkan dapat melakukan inovasi teknologi, terutama teknologi ramah lingkungan sehingga produk yang dihasilkan mampu bersaing di dunia internasional, sekaligus menjaga kualitas lingkungan di negara sendiri.

4. Permasalahan penduduk di Indonesia terhadap lingkungan memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemerintah dirasa masih perlu menekan pertumbuhan penduduk untuk mencegah eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, yang selanjutnya dapat menyebabkan degradasi lingkungan (dalam artian yang lebih luas).

Page 88: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP USAHA DAN/ATAU KEGIATAN (STUDI KASUS PELAKSANAAN AMDAL DAN UKL-UPL DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN)

Nama : Dikarama Kaula

Instansi : Pemprov Sumatera Barat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 89: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

78 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian tentang implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor utama yang berpengaruh pada implementasi Amdal dan UKL-UPL usaha dan/atau kegiatan, dan menentukan strategi yang dapat diterapkan agar implementasi menjadi efektif. Penelitian ini menggunakan metode campuran (penggabungan kuantitatif dan kualitatif), serta mengadopsi teori Mazmanian dan Sabatier (1983) untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada implementasi, meliputi karakteristik masalah, karakteristik kebijakan, dan variabel lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan yang dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut dan dua faktor lain terkait komunikasi dan ketidakjelasan substansi RKL-RPL belum diimplementasikan dengan baik. Faktor utama yang paling berpengaruh terhadap implementasi adalah kurangnya sinergi antara instansi lingkungan hidup dengan instansi sektor/teknis terkait dalam proses implementasi. Strategi yang dipilih untuk meningkatkan efektivitas implementasi adalah strategi turn around (kelemahan-peluang/strategi W-O), yaitu melibatkan perwakilan masyarakat terkena dampak dalam setiap kegiatan pengawasan langsung terhadap implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan, membangun kerjasama antara instansi lingkungan hidup dengan organisasi masyarakat dalam kegiatan pengawasan dan penanganan pengaduan, serta sosialisasi tentang teknik pelaksanaan dan pelaporan RKL-RPL (termasuk pembinaan dan pengawasannya), dengan melibatkan seluruh pihak terkait.

Kata kunci: Amdal, Faktor-Faktor, Implementasi, Pemantauan, Pengelolaan, Strategi, UKL-UPL

Page 90: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 79

ABSTRACT

The research on the implementation of environmental management and monitoring of businesses and/or activities in Padang Pariaman Regency was carried out to assess the main factors that influenced the implementation of EIA (Environmental Impact Assessment) and UKL-UPL businesses and / or activities, and determine strategies that could be implemented so that implementation became effective. This study used a mixed method (combining quantitative and qualitative), and adopted Mazmanian and Sabatier (1983) theory to identify factors that influenced implementation, including problem characteristics, policy characteristics, and environmental variables. The results showed that environmental management and monitoring of businesses and/or activities - which are influenced by these three factors and two other factors related to communication and unclear substance of the RKL-RPL - had not been implemented properly. The main factor that most influence implementation was the lack of synergy between environmental agencies and related sector/technical agencies in the implementation process. The strategy chosen to improve implementation effectiveness was a turn around strategy (weakness-opportunity/WO strategy), which involved the affected community representatives in each activity of direct supervision of the implementation of environmental management and monitoring of businesses and/or activities, building collaboration between environmental agencies with community organizations in monitoring and handling complaints, as well as dissemination of RKL-RPL implementation and reporting techniques (including guidance and supervision), involving all relevant parties.

Keywords: Amdal, EIA, Environmental Impact Assessment, Factors, Implementation, Monitoring, Management, Strategy, UKL-UPL

Page 91: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

80 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP USAHA DAN/ATAU KEGIATAN (STUDI

KASUS PELAKSANAAN AMDAL DAN UKL-UPL DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN)

A. Latar Belakang

Implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman (melalui pelaksanaan Amdal dan UKL-UPL) belum terlaksana dengan baik. Mengingat Amdal dan UKL-UPL merupakan bagian (instrumen) dari kebijakan perlindungan dan pengelolaan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, maka proses dan hasil implementasinya akan dipengaruhi berbagai faktor yang tidak serta merta dapat diidentifikasi secara langsung. Jika faktor-faktor tersebut dapat diidentifikasi, maka tentu langkah-langkah/upaya dan strategi untuk perbaikannya juga dapat dianalisis dan dirumuskan.

Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Shoba (2006) dan Tias (2009), diketahui telah mengkaji implementasi dan/atau evaluasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan pasca Amdal dan UKL-UPL disahkan. Penelitian-penelitian ini pada umumnya menyimpulkan hal yang sama, yakni implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di wilayah studi yang bersangkutan belum optimal. Meskipun fokus kajiannya terbatas pada bagaimana proses dan hasil implementasi, kesimpulan beberapa penelitian menyiratkan adanya faktor-faktor yang berpengaruh pada proses implementasi tersebut. Shoba (2006) misalnya, menyimpulkan bahwa faktor utama yang berpengaruh pada implementasi pasca Amdal di Kabupaten Tangerang adalah bersumber dari internal organisasi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Sementara untuk implementasi pasca Amdal di Kabupaten Kudus, teridentifikasi pula faktor eksternal yang memberikan pengaruh (meski tidak begitu signifikan), yakni keterlibatan masyarakat dan peran pengawasan dari pemerintah (Tias, 2009).

Sedikit berbeda dengan Shoba (2006) dan Tias (2009), hasil penelitian Irawati (2008), yang lebih fokus terhadap implementasi kebijakan kewajiban Amdal di Kabupaten Kendal (pra dan pasca Amdal disusun/disahkan), menyimpulkan adanya kompleksitas dari faktor-faktor yang berpengaruh pada proses dan hasil implementasi, yaitu tidak hanya terkait peranan pemerintah setempat selaku pihak yang menerapkan kebijakan tetapi juga faktor lainnya, seperti penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan selaku target kebijakan, peran masyarakat, serta karakteristik kebijakan. Mengingat batasan penelitian yang bersangkutan lebih luas, maka faktor-faktor yang teridentifikasi

Page 92: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 81

tersebut tidak hanya berpengaruh pada implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup pasca Amdal tetapi juga implementasi kewajiban memiliki Amdal bagi rencana usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu kiranya dilakukan studi/penelitian tentang implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman. Selain untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh pada proses dan hasil implementasi, melalui penelitian ini dapat dirumuskan upaya atau strategi untuk meningkatkan efektivitas implementasi.

Penelitian dengan konteks kajian implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup ini belum pernah dilakukan di wilayah/lokasi rencana studi (Kabupaten Padang Pariaman), dan memiliki perbedaan cukup spesifik dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang sejenis. Perbedaan dimaksud di antaranya adalah objek penelitian meliputi usaha dan/atau kegiatan berskala besar hingga menengah (wajib Amdal atau UKL-UPL), serta lingkup penelitian yang hanya difokuskan pada proses dan hasil implementasi pasca kedua dokumen tersebut disahkan.

Adanya perumusan upaya atau strategi menjadi satu hal lain yang membedakan penelitian ini dengan beberapa penelitian terkait implementasi pasca Amdal dan UKL-UPL yang pernah dilakukan sebelumnya, terutama penelitian Shoba (2006) dan Tias (2009). Meskipun kedua penelitian dimaksud mengkaji proses dan hasil pelaksanaan implementasi Amdal dan UKL-UPL usaha dan/atau kegiatan serta faktor-faktor yang dapat berpengaruh padanya (hanya fokus pada dua faktor utama, yakni pengawasan aparat pemerintah dan keterlibatan masyarakat), keduanya tidak merumuskan upaya atau strategi tertentu yang dapat diaplikasikan dalam rangka meningkatkan efektivitas implementasi tersebut di masa mendatang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan pernyataan bahwa implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman belum terlaksana dengan baik, maka dapat dirumuskan permasalahan yang terlingkup dalam dua pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor utama apa saja yang berpengaruh pada implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman?

2. Bagaimana strategi untuk meningkatkan efektivitas implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman?

Page 93: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

82 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Objek penelitian adalah implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman yang telah memiliki Amdal atau UKL-UPL dan telah beroperasi paling sedikit selama lebih kurang satu tahun. Lokasi penelitian termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Padang Pariaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh pada implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan yang beroperasi (melakukan aktivitasnya) di Kabupaten Padang Pariaman pasca dokumen Amdal atau UKL-UPL masing-masing usaha dan/atau kegiatan tersebut disahkan. Faktor-faktor yang diperoleh ini selanjutnya menjadi bahan pedoman dan pertimbangan dalam merumuskan strategi untuk meningkatkan efektivitas (mengoptimalkan) implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di wilayah studi.

Berdasarkan tujuan di atas, dan kerangka pemikiran dalam proses penelitian, maka metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode campuran (mixed method), yaitu penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif. Rancangan penggabungannya adalah paralel konvergen di mana metode kuantitatif dan kualitatif digunakan secara bersamaan, dan hasil keduanya dihubungkan/dibandingkan untuk selanjutnya

diinterpretasikan (Creswell, 2016).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kondisi Implementasi Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Usaha dan/atau Kegiatan Yang Sudah Ada

Dari 48 usaha dan/atau kegiatan yang disurvei pelaksanaan RKL-RPL-nya, sebanyak 23 di antaranya (47,9%) menyatakan telah melaksanakan semua item RKL-RPL yang tercantum dalam dokumen lingkungan (Amdal atau UKL-UPL yang dimiliki), sedangkan 25 usaha dan/atau kegiatan lainnya (52,1%) menyatakan belum melaksanakan semua item RKL-RPL sebagaimana dimaksud. Ditinjau dari jenis dokumen lingkungan yang dimiliki, dari lima usaha dan/atau yang memiliki Amdal diketahui 60% diantaranya telah melaksanakan RKL-RPL, sedangkan untuk yang memiliki UKL-UPL hanya 46,5% dari total 43 usaha dan/atau kegiatan yang telah melaksanakan RKL-RPL. Selain itu, dari hasil penelitian juga diketahui bahwa persentase pelaksanaan RKL-RPL 25 usaha dan/atau kegiatan yang belum melaksanakan semua ketentuan RKL-RPL berkisar antara 0–75%. Jumlah terbanyak adalah persentase pelaksanaan RKL-RPL sebesar 50%, yaitu pada sebelas usaha dan/atau kegiatan.

Page 94: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 83

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman dalam hal penyampaian laporan pelaksanaan Izin Lingkungan masih sangat rendah. Dari 48 penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang disurvei, hanya tujuh usaha dan/atau kegiatan (sekitar 14,6%) yang telah membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan Izin Lingkungan secara rutin sesuai ketentuan, yakni tiga diantaranya memiliki Amdal dan empat lainnya memiliki UKL-UPL. Ketujuh usaha dan/atau kegiatan ini diketahui juga telah melaksanakan semua item RKL-RPL dalam dokumen lingkungannya. Kendala/permasalahan yang umumnya dihadapi oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam adalah terkait keterbatasan SDM (39%) baik dalam hal jumlah maupun kapasitas (kapabilitas). Terkait hal ini, beberapa upaya yang telah dilakukan pihak usaha dan/atau kegiatan antara lain mengajukan penambahan personel kepada pihak manajemen dan mengoptimalkan potensi SDM yang ada.

2. Faktor-Faktor Utama yang Berpengaruh pada Implementasi Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup Usaha dan/atau Kegiatan

a. Peran Karakteristik Masalah

Faktor yang dikaji terkait karakteristik masalah adalah kesulitan teknis dalam proses implementasi kebijakan. Pokok masalah dalam implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan terkait dengan pemenuhan kewajiban pemegang Izin Lingkungan yang diantaranya meliputi pelaksanaan RKL-RPL dan pelaporan hasil pelaksanaannya. Kesulitan teknis tidak lain merujuk kepada mudah atau tidaknya kendala-kendala yang dihadapi dalam proses implementasi tersebut untuk dikendalikan/diatasi. Implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup tidak hanya melibatkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagai aktor utama, tetapi juga aparat pemerintah sebagai pihak pengawas. Oleh sebab itu, kendala/masalah dalam proses implementasi perlu ditinjau dari masing-masing pihak/stakeholder yang terlibat sebagaimana dimaksud. Kendala/masalah dalam pemenuhan kewajiban pemegang Izin Lingkungan kendala/masalah dalam pembinaan dan pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan

b. Peran Karakteristik Kebijakan

• Kejelasan Isi Kebijakan

Kebijakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan meliputi ketentuan mengenai kewajiban pemegang Izin

Page 95: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

84 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Lingkungan dan penerapan sanksi administratif terkait pelanggaran terhadap Izin Lingkungan. Kejelasan masing-masingnya dapat ditinjau dari masing-masing pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan.

• Ketepatan Alokasi Sumber Daya Finansial

Hasil penelitian menunjukkan 22 usaha dan/atau kegiatan (sekitar 45,8%) telah mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan RKL-RPL-nya. Dari 22 usaha dan/atau kegiatan tersebut, sekitar 59,1% diantaranya menyatakan cukup atas anggaran yang disediakan, atau dengan kata lain anggaran yang tersedia dapat mengakomodasi pelaksanaan semua item RKL-RPL usaha dan/atau kegiatan.

Sebaliknya, 40,9% (sembilan usaha dan/atau kegiatan; dua memiliki Amdal dan tujuh memiliki UKL-UPL) menyatakan anggaran yang telah disediakan jumlahnya tidak memadai. Dari sembilan usaha dan/atau kegiatan ini, hanya 33,3% saja yang telah melakukan follow up terkait tidak memadainya proporsi anggaran untuk pelaksanaan RKL-RPL. Adapun upaya yang telah dilakukan seperti melakukan pengusulan tambahan (peningkatan) nominal anggaran, serta berkoordinasi dengan pihak manajemen di tingkat Pusat.

• Keterpaduan Antar Lembaga Pelaksana

Hasil pembinaan dan pengawasan yang dilakukan masing-masing instansi terkait seringkali hanya ditindaklanjuti dengan penyampaian surat kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Tidak ada koordinasi lanjutan terkait hal-hal yang perlu dilakukan ataupun dikoordinasikan lebih lanjut dengan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Koordinasi hanya dilakukan ketika ada permasalahan yang muncul dan dihadapi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, atau ada pengaduan dari masyarakat terkait aktivitas usaha dan/atau kegiatan. Walaupun demikian, tindak lanjut dan upaya penyelesaian yang dilakukan tetap berjalan sendiri-sendiri.

• Komitmen Para Pejabat Terhadap Tujuan Kebijakan

Terkait ketidaktaatan terhadap pelaporan pelaksanaan Izin Lingkungan, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman tidak langsung (serta merta) menerapkan sanksi administratif, tetapi memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan untuk merubah perilaku dalam batas waktu yang ditentukan melalui penyampaian surat pembinaan. Jika dalam batas waktu tersebut

Page 96: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 85

tidak terjadi perubahan, maka akan diterapkan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Dinas LHPKPP saat ini telah menyampaikan surat tersebut kepada semua usaha dan/atau kegiatan yang tidak melakukan kewajiban pelaporan, dan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihak dinas pada awal Desember 2017, diketahui telah ada peningkatan jumlah usaha dan/atau kegiatan yang menyampaikan laporan pelaksanaan RKL-RPL dibandingkan tahun sebelumnya (terdapat sekitar lima usaha dan/atau kegiatan baru yang telah menyampaikan laporan pelaksanaan RKL-RPL periode Juni–Desember 2017). Fakta ini mengindikasikan bahwa upaya yang dilakukan Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman tersebut telah memberikan pengaruh positif terhadap implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan.

• Akses Formal Pihak Luar

Adanya keterlibatan masyarakat dalam proses implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman juga dapat dilihat dari respons mereka terhadap suatu indikasi permasalahan yang terjadi terkait dengan aktivitas usaha dan/atau kegiatan. Masyarakat secara spontan menyampaikan pengaduan kepada Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman ataupun keberatan (komplain) kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan. Masyarakat juga mengakui adanya kemudahan dalam menyampaikan pengaduan/komplain tersebut. Meski sebagian masyarakat tidak mengetahui persis alur/tata cara penyampaiannya, pihak mana pun yang dituju oleh masyarakat dalam menyampaikan pengaduan (baik aparat pemerintah maupun penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan) tetap memberikan fasilitasi dan menindaklanjuti pengaduan/saran tersebut.

Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman sebagai salah satu pihak yang menerima pengaduan memiliki prosedur khusus dalam hal penanganannya. Prosedur ini tidak hanya meliputi tata cara penyelesaian atau verifikasi lapangan tetapi juga terkait dengan tata cara penyampaian dan penerimaan pengaduan.

Meskipun tidak ada sosialisasi khusus mengenai hal tersebut, pada setiap kegiatan sosialiasi mengenai kewajiban perizinan lingkungan yang diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dan

Page 97: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

86 Direktori Mini Tesis-Disertasi

melibatkan perwakilan masyarakat sebagai salah satu peserta, Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman selalu menyampaikan hal-hal tentang peran masyarakat dalam penanganan suatu kasus lingkungan hidup (yang diakibatkan oleh aktivitas usaha dan/atau kegiatan) dan bagaimana prosedur penyampaian pengaduannya. Mengingat jumlah masyarakat yang diundang dalam sosialisasi tersebut sangat terbatas, maka wajar saja tidak semua perwakilan masyarakat di sekitar lokasi usaha dan/atau kegiatan mengetahui prosedur/tata cara penyampaian pengaduan terkait pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa keterlibatan masyarakat sebagai pihak luar merupakan faktor yang memegang peranan penting dalam implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman. Sejauh mana peluang terbuka bagi pihak luar dalam proses implementasi suatu kebijakan dapat mendukung tujuan-tujuan yang diharapkan dari kebijakan tersebut dan dapat berpengaruh pada efektivitas implementasinya (Mazmanian dan Sabatier, 1983; Agustino, 2006).

c. Peran Faktor Lain

• Komunikasi

Pihak Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman tidak memungkiri pula bahwa penyampaian informasi melalui kegiatan sosialisasi (terutama mengenai kebijakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup) kepada instansi terkait maupun penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan memang belum berjalan optimal, dan kondisi tersebut salah satunya disebabkan faktor keterbatasan anggaran. Sosialisasi bukan tidak pernah dilakukan, hanya saja pelaksanaannya yang tidak berkesinambungan (tidak dapat dilakukan setiap tahun). Pada tahun 2013–2015, Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman telah melaksanakan sosialisasi yang mengikutsertakan 47 usaha dan/atau kegiatan. Sementara pada saat itu (akhir tahun 2015), terdapat 83 usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki Izin Lingkungan. Jika digabung dengan jumlah usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan izinnya pada tahun 2016, maka total usaha dan/atau kegiatan yang belum mendapatkan sosialisasi adalah 63. Dampak positif dari sosialisasi dapat dilihat dari fakta yang menunjukkan bahwa 87% dari 23 usaha dan/atau kegiatan yang melaksanakan semua ketentuan

Page 98: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 87

dalam RKL-RPL mengaku pernah mengikuti sosialiasi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Selain itu, ketujuh usaha dan/atau kegiatan yang telah melaporkan pelaksanaan Izin Lingkungan secara rutin juga menyatakan pernah mendapatkan sosialisasi dimaksud.

Terkait masalah sosialiasi ini, pihak dinas tetap mengingatkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam setiap pembinaan dan pengawasan mengenai kewajibannya selaku pemegang Izin Lingkungan. Namun karena pembinaan dan pengawasan yang dilakukan belum dapat mengakomodasi semua usaha dan/atau kegiatan yang ada, pada akhirnya masih ada sejumlah usaha dan/atau kegiatan yang tidak mendapatkan informasi yang seharusnya.

Selain komunikasi antara Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman dengan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, teridentifikasi pula faktor lain terkait masalah komunikasi, yakni di lingkungan internal organisasi penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Sekitar 8,3% usaha dan/atau kegiatan mengakui hal tersebut sebagai salah satu faktor yang berpengaruh pada implementasi RKL-RPL. Menurut mereka, masalah komunikasi seringkali terjadi ketika bergantinya pimpinan organisasi (penanggung jawab) usaha dan/atau kegiatan, baik antara pimpinan yang baru dengan staf/bawahan maupun antara pimpinan yang baru dengan pimpinan sebelumnya. Pimpinan yang baru cenderung lebih tidak memahami urgensi pelaksanaan Izin Lingkungan.

• Ketidakjelasan Substansi RKL-RPL

28% penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengemukakan ketidakjelasan operasionalisasi RKL-RPL sebagai kendala/permasalahan utama yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya semua ketentuan dalam RKL-RPL. Sementara terkait pertanyaan mengenai kejelasan secara umum dari substansi/muatan RKL-RPL, 35,4% penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan (17 responden, satu memiliki Amdal dan 16 lainnya memiliki UKL-UPL) menyatakan tidak jelas sehingga sulit untuk dioperasionalisasikan. Menurut Soemarwoto (2014), rekomendasi yang diberikan dalam Amdal (maupun UKL-UPL) haruslah spesifik dan jelas sehingga para perencana (pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan) dapat menggunakannya. Rekomendasi yang bersifat umum tidak banyak gunanya (tidak dapat membantu).

Page 99: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

88 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Salah satu contoh ketidakjelasan ini adalah terkait RKL untuk pengelolaan limbah cair. Di dalam dokumen hanya disebutkan kewajiban memiliki IPAL untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan, tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai jenis/spesifikasi IPAL yang harus dibuat. Selain itu pada beberapa kegiatan bangunan gedung tidak jelaskan bentuk RKL yang detail untuk mengatasi dampak pencemaran udara akibat konstruksi atau mobilisasi material. Di dalam dokumen hanya disebutkan penanggung jawab wajib mengendalikan dan memantau kualitas udara di sekitar lokasi kegiatan. Tingkat kejelasan isi dokumen Amdal dan UKL-UPL dari ketujuh belas usaha dan/atau kegiatan dapat dilihat dari persentase item RKL-RPL yang dapat dioperasionalisasikan menurut penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, yakni bervariasi mulai dari 25% hingga 75%.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman belum diimplementasikan dengan baik. Adapun faktor-faktor utama yang berpengaruh adalah kesulitan teknis dari masalah/kendala yang dihadapi dalam implementasi, isi kebijakan yang jelas (tentang kewajiban pemegang Izin Lingkungan dan penerapan sanksi administratif terkait pelanggarannya), tidak memadainya alokasi sumber daya finansial/anggaran, kurangnya sinergi antara Dinas LHPKPP dengan instansi sektor/teknis terkait dalam proses implementasi, adanya akses masyarakat untuk terlibat dalam implementasi kebijakan, adanya dukungan dan respons positif dari masyarakat terhadap implementasi kebijakan, pandangan/tanggapan negatif usaha dan/atau kegiatan terhadap urgensi Amdal dan UKL-UPL, rendahnya kapabilitas usaha dan/atau kegiatan dalam implementasi RKL-RPL, komunikasi yang kurang intensif antara Dinas LHPKPP dengan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, serta ketidakjelasan substansi RKL-RPL pada beberapa usaha dan/atau kegiatan. Dari kesebelas faktor utama tersebut, yang paling berpengaruh adalah faktor kurangnya sinergi antara Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman dengan instansi sektor/teknis terkait.

2. Strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efektivitas implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman adalah strategi turn around, yang berupa:

Page 100: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 89

a. Melibatkan perwakilan masyarakat terkena dampak dalam setiap kegiatan pengawasan langsung terhadap implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan.

b. Kerjasama antara Dinas LHPKPP Kabupaten Padang Pariaman dengan organisasi masyarakat/LSM bidang lingkungan hidup dalam kegiatan pengawasan terhadap usaha/kegiatan dan penanganan pengaduan.

c. Sosialisasi tentang teknik pelaksanaan/pelaporan RKL-RPL serta pembinaan dan pengawasannya, dengan melibatkan seluruh pihak terkait, termasuk masyarakat.

E. Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan, baik untuk implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman maupun untuk rencana penelitian sejenis, antara lain:

1. Diperlukan pemahaman dan komitmen yang baik dari semua pihak/ stakeholder yang terlibat dalam implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman terhadap tujuan dan urgensi Amdal dan UKL-UPL (Izin Lingkungan), sehingga implementasinya tidak sebatas pada pemenuhan kewajiban untuk memiliki keduanya.

2. Perlu dilakukan analisis dan kajian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan antara faktor-faktor (pengaruh antar faktor), sehingga dapat dilihat hubungan masing-masingnya dalam berpengaruh pada efektivitas implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan di Kabupaten Padang Pariaman. Hal ini akan sangat berguna dalam merumuskan strategi implementasi yang lebih efisien dan tepat sasaran.

3. Perlu dilakukan pemilahan secara spesifik faktor-faktor yang berpengaruh pada antara usaha dan/atau kegiatan yang telah mengimplementasikan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (melaksanakan RKL-RPL dan melaporkan hasil pelaksanaannya) dengan usaha dan/atau kegiatan belum mengimplementasikannya, sehingga faktor-faktor (hal-hal positif) pada usaha dan/atau kegiatan yang telah mengimplementasikan dapat dipedomani/ diaplikasikan pada usaha dan/atau kegiatan yang belum mengimplementasikan (terutama pada saat merumuskan strategi).

4. Perlu adanya indikator yang jelas tentang kualitas/mutu dokumen Amdal dan UKL-UPL yang telah disahkan, sehingga dapat dilakukan evaluasi terhadap hal tersebut dan diidentifikasi sejauh mana pengaruhnya terhadap implementasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup usaha dan/atau kegiatan.

Page 101: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

90 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 102: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

STRATEGI PENGELOLAAN INTEGRATIF KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama : Dini Novalanty Ohara Daulay

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 103: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

92 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam karena fungsinya sebagai pengendali siklus hidrologi dan pengatur tata air. Permasalahan terkait pengelolaan sumber daya hutan terhadap kawasan konservasi seringkali mengganggu keseimbangan sumber daya alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kondisi sumber daya alam hayati khususnya tegakan vegetasi dan fauna di Kawasan TNBG, menganalisis persepsi masyarakat sekitar kawasan terhadap pengelolaan Kawasan TNBG, menganalisis partisipasi masyarakat sekitar terhadap pengelolaan Kawasan TNBG, dan merumuskan strategi pengelolaan Kawasan TNBG. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kuadran, observasi, wawancara semi terstruktur terhadap para informan dengan metode purposive sampling. Selanjutnya, dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT.

Penyusun vegetasi yang paling dominan pada kawasan hutan Taman Nasional Batang Gadis (Desa Pagar Gunung, Desa Sopo Tinjak, dan Desa Sirambas) adalah Syzygium sp., diikuti Litsea resinosa, dan Quercus gemelliflora. Jenis satwa (fauna) yang teridentifikasi di lokasi penelitian, antara lain: burung poksay (Garrulax leucolophus), burung murai (Copsychus malabaricus), siamang (Hylobates syndactylus), rusa (Cervus unicolor), dan burung rangkong (Buceros rhinoceros). Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan TNBG cukup bervariasi mulai yang positif hingga yang cenderung negatif terkait pelestarian taman nasional. Partisipasi masyarakat Desa Sirambas dan Pagar Gunung dalam pengelolaan kawasan TNBG masih berada pada tahap pelaksanaan kegiatan. Masyarakat masih dianggap sebagai objek, bukan subjek, di mana dalam keterlibatannya masyarakat sebatas memperoleh insentif. Alternatif strategi SWOT pengelolaan kawasan Taman Nasional Batang Gadis yang menjadi prioritas pada penelitian ini adalah strategi SO (Strength-Opportunity).

Rekomendasi dari penelitian ini adalah penelitian lanjutan khususnya penelitian sosial masyarakat yang mengkaji lebih dalam mengenai psikologi lingkungan maupun manajemen konflik, perbaikan komunikasi dan upaya pendekatan yang lebih intens kepada masyarakat melalui pendekatan sosial berbasis karakteristik masyarakat, mengembangkan potensi kekayaan SDA dan keindahan alam TNBG untuk wisata alam guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan melalui dukungan LSM lokal dan internasional, serta meningkatkan persepsi masyarakat sehingga hutan mampu menjalankan fungsinya dalam mencegah banjir di sekitar kawasan.

Kata kunci: Analisis SWOT, Partisipasi, Persepsi, Strategi Pengelolaan, Taman Nasional

Batang Gadis

Page 104: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 93

ABSTRACT

Forests are very important in supporting national development. The Batang Gadis National Park (TNBG) area was designated as a natural conservation area because of its function as a controller of the hydrological cycle and water regulator. The problems related to managing forest resources for conservation areas often disrupt the balance of natural resources. The purpose of this study was to examine the condition of living natural resources, especially vegetation stands and fauna in the TNBG area, analyze the perception of the community around the area towards the management of the TNBG area, analyze the participation of the surrounding community in the TNBG area management, and formulate the TNBG area management strategy. The research method used was quadrant method, observation, semi-structured interviews with informants with purposive sampling method. Furthermore, it was analyzed using SWOT analysis.

The most dominant vegetator in the Batang Gadis National Park (Pagar Gunung Village, Sopo Tinjak Village, and Sirambas Village) was Syzygium sp., followed by Litsea resinosa, and Quercus gemelliflora. The types of animals (fauna) identified at the study site include poksay bird (Garrulax leucolophus), magpie bird (Copsychus malabaricus), gibbons (Hylobates syndactylus), hornbills (Buceros rhinoceros), and deer (Cervus unicolor). The perception of community on the management of Batang Gadis National Park regarding the preservation of the national park varied from a positive to a negative one. The participation of the people of Sirambas Village and Pagar Gunung in the management of the TNBG area was still at the stage of carrying out activities. The society was still regarded as an object, not a subject, in which community involvement was limited to obtaining incentives. Alternative SWOT strategy for the management of Batang Gadis National Park area which was a priority in this research was the SO strategy (Strength-Opportunity).

The recommendation of this study is further research, especially social research that studies more deeply in environmental psychology and conflict management, communication improvement, and efforts to approach more intensely to the community through a social approach based on community characteristics, developing potential natural resources and natural beauty of the park for natural tourism, in order to improve the welfare of the people around the region through the support of local and international NGOs, and to improve the perception of the community so that the forest will be able to carry out its functions in preventing flooding around the area.

Keywords: Batang Gadis National Park, Management Strategy, Participation, Perception, SWOT Analysis

Page 105: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

94 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STRATEGI PENGELOLAAN INTEGRATIF KAWASAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN MANDAILING NATAL

PROVINSI SUMATERA UTARA

A. Latar Belakang

Kawasan Taman Nasional Batang Gadis ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam karena memiliki salah satu fungsi sebagai pengendali siklus hidrologi dan pengatur tata air yang merupakan bagian dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. TNBG yang terdiri dari beberapa bentang alam yang berupa pegunungan menyimpan fungsi sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air bagi beberapa daerah aliran sungai (DAS) yang antara lain: DAS Batang Gadis, DAS Batang Natal, DAS Batang Batahan, dan DAS Batang Parlampungan (Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara II, 2005). Kawasan ini memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi sehingga menjadi habitat flora dan fauna langka khas yang dilindungi, sekaligus juga mempunyai keindahan alam yang menarik, dengan udara yang sejuk serta terdapat berbagai obyek wisata potensial yang dapat dikembangkan untuk pariwisata alam.

Jenis-jenis pohon di kawasan Taman Nasional Batang Gadis lebih kaya daripada jenis-jenis pohon yang terdapat di hutan dataran rendah lain di Sumatera Utara. Berdasarkan catatan data, di hutan dataran rendah TNBG dengan ketinggian ± 660 m dpl terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Jenis vegetasi yang paling banyak ditemui di kawasan TNBG adalah dari famili Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Burseraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Myristicaceae, Moraceae, dan Clusiaceae. Demikian juga halnya dengan jenis satwa yang terdapat di kawasan taman nasional ini. Tingginya nilai ekonomis dan ekologis dari berbagai jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan TNBG akan mendorong upaya eksploitasi yang dilakukan oleh pihak tertentu. Oleh karena itu, perlu adanya upaya perlindungan dan pengamanan terhadap keanekaragaman hayati khususnya jenis-jenis tumbuhan yang secara ilmiah masih banyak belum dikenal dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia untuk dikaji lebih lanjut.

Selain pemerintah, masyarakat juga mempunyai andil dalam keberhasilan pengelolaan kawasan hutan taman nasional. Permasalahan yang muncul pada kawasan taman nasional umumnya disebabkan oleh kurang terciptanya hubungan yang baik antara masyarakat dan pihak pengelola kawasan. Hal ini dapat terlihat sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Gerihano dkk. (2016) pada Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) Provinsi Jambi yang menunjukkan

Page 106: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 95

bahwa pihak pengelola kawasan TNKS belum melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan dengan baik. Pengetahuan masyarakat yang masih rendah terhadap nilai ekonomi kawasan hutan, kebijakan pengelolaan hutan yang kurang melibatkan masyarakat, dan pengawasan yang kurang dari pihak pengelola kawasan menyebabkan kondisi kerusakan hutan di kawasan TNKS sulit diselesaikan. Pada kenyataannya terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah berupaya untuk melestarikan hutan karena manfaat hutan yang begitu besar bagi ekosistem termasuk manusia, sedangkan masyarakat berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya dan bergantung dari hutan sebagai sumber mata pencaharian.

Dukungan masyarakat sekitar Taman Nasional Batang Gadis melalui partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan sangat diperlukan demi menjaga kelestarian kawasan hutan taman nasional. Berbagai persepsi dan keterlibatan seluruh stakeholders perlu diketahui untuk mengakomodir kepentingan semua pihak sehingga tumpang tindih kepentingan yang dapat merugikan salah satu pihak dapat dihindari. Oleh sebab itu, maka diperlukan suatu kajian atau penelitian strategi untuk sinergisitas pemahaman tentang pengelolaan kawasan hutan antara pihak taman nasional dengan masyarakat sekitar kawasan taman nasional, sehingga aktivitas masyarakat tidak mengganggu ataupun merubah kualitas dan kuantitas luasan yang ada.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian yaitu:

1. Bagaimana kondisi sumber daya alam hayati khususnya tegakan vegetasi dan fauna di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis?

2. Bagaimana persepsi masyarakat sekitar kawasan terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis?

3. Bagaimana partisipasi masyarakat sekitar kawasan terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis?

4. Bagaimana strategi pengelolaan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis?

Materi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah kondisi fisik (faktor biotik dan abiotik) TNBG, kelembagaan TNBG, persepsi masyarakat sekitar kawasan terhadap pengelolaan TNBG, dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TNBG.

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagaimana yang terdapat pada tujuan penelitian. Tujuan penelitian yang dimaksud antara lain kondisi fisik Taman Nasional Batang Gadis, kelembagaan Taman Nasional Batang Gadis, persepsi masyarakat sekitar

Page 107: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

96 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kawasan terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis, dan partisipasi masyarakat sekitar terhadap pengelolaan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang fakta dan gejala yang ada, serta keterangan faktual yang terjadi di lokasi penelitian. Asumsi dasar pemikiran dilakukannya penelitian ini adalah fungsi kawasan taman nasional sebagai pengendali siklus hidrologi, pengaturan tata air yang merupakan bagian dari perlindungan sistem penyangga kehidupan belum berjalan optimal sementara ketergantungan masyarakat di sekitar kawasan cukup besar terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kondisi Umum Kawasan Taman Nasional Batang Gadis

Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) terletak di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di Pegunungan Bukit Barisan Sumatera Bagian Utara. Secara geografis, TNBG berada pada 99° 12’ 45” sampai dengan 99° 47’ 10” Bujur Timur dan 0° 27’ 15” sampai dengan 1° 01’ 57” Lintang Utara. Secara administratif, wilayah ini berada di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara yang meliputi sepuluh wilayah kecamatan dan 68 desa, di mana satu desa di antaranya, yaitu Desa Batahan yang sepenuhnya berada di dalam (enclave) TNBG. Nama taman nasional ini berasal dari nama Sungai Batang Gadis, sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Mandailing Natal. TNBG meliputi 26% dari total luas Kabupaten Mandailing Natal yang terletak pada ketinggian 300 s.d. 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertinggi puncak Gunung Sorik Marapi. Lokasi TNBG berada ± 519,1 Km dari ibukota provinsi Sumatera Utara yaitu Medan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengolahan data primer terhadap tiga lokasi penelitian di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yaitu Desa Pagar Gunung, Desa Sopo Tinjak, dan Desa Sirambas; diketahui bahwa telah ditemukan 360 individu pohon di Desa Pagar Gunung, 360 individu pohon di Desa Sopo Tinjak, dan 120 individu pohon di Desa Sirambas.

Dari hasil penelitian identifikasi struktur vegetasi di lokasi penelitian diketahui jumlah spesies di Desa Pagar Gunung sebanyak 40 spesies (360 pohon), 51 spesies (360 pohon) di Desa Sopo Tinjak, dan 21 spesies (120 pohon) di Desa Sirambas. Komposisi jenis di ketiga lokasi penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan

Page 108: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 97

komposisi jenis di kawasan hutan Batang Toru (Hutan Aek Game-game dan Hutan Aek Silemes) sebagaimana penelitian Onrizal, dkk. (2008). Komposisi jenis vegetasi di kawasan Batang Toru (Hutan Aek Game-game dan Hutan Aek Silemes) pada habitus pohon yang berdiamaeter ≥ 50 cm terdiri dari 16 jenis pohon dan 13 jenis pohon. Akan tetapi kondisi vegetasi pohon yang memiliki diameter ≤ 50 cm untuk kawasan hutan Batang Toru (Hutan Aek Game-game dan Hutan Aek Silemes) dan kawasan hutan TNBG (Desa Pagar Gunung, Desa Sopo Tinjak, dan Desa Sirambas) tidak jauh berbeda. Pada kawasan hutan Batang Toru (Hutan Aek Game-game dan Hutan Aek Silemes), populasi pohon terdiri dari campuran seluruh kelas diameter yang didominasi oleh pohon yang memiliki diameter kecil, serta kerapatan pohonnya akan terus menurun seiring semakin meningkatnya diameter pohon sehingga seperti kurva “L” yang mengikuti fungsi eksponensial negatif. Kondisi ini juga terjadi pada kawasan hutan TNBG (Desa Pagar Gunung, Desa Sopo Tinjak, dan Desa Sirambas). Hal ini selaras dengan model yang dikembangkan Meyer (1952) yang menggambarkan distribusi diameter (dbh) biasanya miring ke kanan. Model klasik ini menunjukkan kondisi hutan berada dalam kondisi seimbang (balanced forest), sehingga keberlangsungan tegakan mampu terjamin secara alami di masa mendatang. Akan tetapi, pada model eksponensial ini pertumbuhan individu dan kematian pohon tidak terikat dengan ukuran pohon, seperti faktor gangguan (Lima et al., 2015).

Berdasarkan pengamatan langsung dan survei lapangan di lokasi penelitian, yang pelaksanaannya dilakukan bersamaan dengan analisis vegetasi, ada beberapa jenis satwa yang dapat diidentifikasi baik dalam bentuk fisik (visual), suara, jejak kaki, maupun sisa-sisa aktivitasnya. Satwa yang paling banyak teridentifikasi pada penelitian ini adalah satwa yang berada pada lokasi penelitian Desa Sopo Tinjak. Beberapa satwa yang dapat dikenali dari suaranya antara lain burung poksay (Garrulax leucolophus), burung murai (Copsychus malabaricus), dan siamang (Hylobates syndactylus). Satwa yang ditemui jejak kakinya pada saat penelitian berlangsung adalah rusa (Cervus unicolor).

2. Persepsi Masyarakat Sekitar Kawasan terhadap Pengelolaan TNBG

Desa Sirambas dan Desa Pagar Gunung merupakan 2 (dua) desa dari beberapa desa yang letaknya berada di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Desa Sirambas berada di Kecamatan Panyabungan Barat. Sedangkan Desa Pagar Gunung berada pada Kecamatan Kotanopan.

Topografinya yang cukup lereng menempatkan Desa Pagar Gunung sebagai desa tertinggi di Kecamatan Kotanopan. Lokasi desa yang berada di punggung bukit menyebabkan Desa Pagar Gunung memiliki suhu lebih dingin. Keadaan

Page 109: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

98 Direktori Mini Tesis-Disertasi

permukaan tanah di desa ini tidak datar dan populasi penduduknya lebih sedikit. Luas sawah masyarakat Desa Pagar Gunung ± 20 Ha. Selain bertani, penduduk Desa Pagar Gunung juga berkebun kopi yang luasannya mencapai ± 20 Ha.

3. Karakteristik Informan

Karakteristik masyarakat Desa Sirambas dan Desa Pagar Gunung yang dijadikan sebagai informan meliputi kriteria umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lama tinggal, pendapatan, dan jumlah tanggungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur informan yang paling banyak di Desa Sirambas berada pada kelompok umur 40-49 tahun yakni sebanyak 40 %. Sedangkan kelompok umur informan yang paling banyak di Desa Pagar Gunung berada pada kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 43,75 %.

4. Persepsi masyarakat

Persepsi masyarakat di kawasan Taman Nasional Batang Gadis cukup bervariasi mulai dari yang positif hingga yang cenderung negatif terkait pengelolaan kawasan taman nasional. Masyarakat Desa Pagar Gunung yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah, memiliki persepsi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan persepsi masyarakat Desa Sirambas. Kendati, pekerjaan mayoritas masyarakat kedua desa tersebut sama-sama petani, dari segi perekonomiannya masyarakat Desa Sirambas lebih baik daripada masyarakat Desa Pagar Gunung. Masyarakat Desa Sirambas memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang lebih tinggi sehingga mereka lebih berhati-hati dalam mengelola usaha pertaniannya jika dibandingkan dengan masyarakat Desa Pagar Gunung yang memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang terbatas. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah, terbatas dalam keahlian dan keterampilan sehingga cenderung mengambil sumber daya dari hutan karena keterbatasan dalam mencari pekerjaan dan mengelola sumber daya alam hayati. Apabila individu masyarakat memiliki persepsi yang positif mengenai keberadaan hutan, maka tindakannya akan positif pula. Sebaliknya, apabila anggota masyarakat memiliki persepsi negatif, maka tindakan yang akan dihasilkannya lebih cenderung merusak atau merugikan kelestarian hutan. Oleh karena itu, memahami persepsi warga tentang konservasi adalah kunci untuk memperbaiki hubungan antara kawasan konservasi dengan manusia jika kawasan konservasi merupakan tujuan yang hendak dicapai. Pendekatan sosial melalui pendekatan karakteristik masyarakat harus dilakukan pihak pengelola sehingga komunikasi dengan masyarakat dapat terjalin lebih baik lagi.

Page 110: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 99

5. Partisipasi masyarakat sekitar kawasan terhadap pengelolaan TNBG

Berdasarkan hasil penelitian terkait keikutsertaan masyarakat dalam sosialisasi peraturan/kebijakan bersama-sama dengan Balai TNBG, sebanyak 66,67 % (Desa Sirambas) dan 62,50 % (Desa Pagar Gunung) menyatakan tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sosialisasi tersebut.

Dari hasil penelitian tersebut, informan yang pernah terlibat dalam kegiatan sosialisasi peraturan/kebijakan menyatakan bahwa mereka umumnya terlibat ≤ 1 kali/tahun. Minimnya keterlibatan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi peraturan atau kebijakan ini disebabkan dana yang dialokasikan untuk kegiatan ini kecil dan harus digilir secara bergantian ke seluruh desa yang berada di sekitar kawasan hutan sehingga sifatnya tidak rutin untuk satu desa. Berdasarkan Rencana Kerja (Renja) Balai Taman Nasional Batang Gadis 2017, Penyuluh Kehutanan Balai TNBG dalam melakukan penyuluhan dan kampanye kader konservasi dibantu oleh Kader Konservasi (KK), Kelompok Pecinta Alam (KPA), Kelompok Swadaya Masyarakat/Kelompok Profesi (KSM/KP) yang direkrut dan dibiayai dari sumber dana anggaran DIPA Balai TNBG. Mereka membantu Penyuluh Kehutanan Balai TNBG yang jumlahnya hanya tiga orang untuk menyuluh dan mengkampanyekan tentang pentingnya konservasi ke sekolah-sekolah dan rumah-rumah warga. Kegiatan sosialisasi atau penyuluhan ini biasanya berkoordinasi dengan kepala desa. Jika ditinjau dari karakteristik partisipasinya, maka partisipasi masyarakat ini dapat dikategorikan sebagai partisipasi insentif, yaitu masyarakat memberikan pengorbanan dan jasa untuk memperoleh insentif berupa upah, namun tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran.

Masyarakat Desa Sirambas dan Desa Pagar Gunung sangat sedikit yang berkontribusi dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional. Ini dapat dilihat dari kecilnya partisipasi masyarakat dalam memberikan saran untuk kegiatan tersebut. Adapun beberapa saran yang diberikan masyarakat kepada pihak pengelola untuk kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan taman nasional yaitu agar masyarakat dilibatkan dalam kegiatan perencanaan pengelolaan hutan, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan, pengamanan hutan, serta pemberdayaan masyarakat yang hendaknya memperhatikan bantuan apa yang paling dibutuhkan masyarakat setempat. Umumnya masyarakat menyampaikan saran tersebut kepada petugas Balai TNBG. Akan tetapi, ada juga yang menyampaikan saran tersebut ke kepala desa maupun instansi/dinas lainnya. Ketidaktahuan informan mengenai adanya lembaga pengelola taman nasional menyebabkan beberapa informan menyampaikan sarannya kepada instansi/dinas lainnya. Penyampaian saran yang

Page 111: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

100 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dilakukan oleh masyarakat pada umumnya tidak formal karena ketiadaan media komunikasi formal sehingga kurang mendapat respon dari pihak pengelola TNBG. Organisasi atau kelompok masyarakat definitif yang dibina dan difasilitasi menjadi wadah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat agar dilibatkan sebagai mitra dalam pengelolaan tersebut belum ada. Umumnya organisasi atau kelompok di Desa Sirambas dan Desa Pagar Gunung dibentuk apabila desa tersebut mendapat bantuan dari instansi tertentu yang mengharuskan penyaluran bantuan tersebut melalui suatu organisasi atau kelompok masyarakat. Organisasi atau kelompok masyarakat tersebut bersifat pasif dan sementara. Apabila bantuan yang diberikan instansi tersebut berakhir, maka organisasi atau kelompok masyarakat tersebut akan bubar dengan sendirinya. Ketiadaan organisasi atau kelompok masyarakat yang memiliki power dalam penyampaian saran atau aspirasi menyebabkan posisi tawar masyarakat dalam perencanaan pengelolaan kawasan rendah.

6. Analisis SWOT

Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan (strength) Taman Nasional Batang Gadis, yaitu:

a. Kemampuan SDM Balai TNBG dari segi kualitas (segi pendidikan) dalam rangka mengelola kawasan TNBG

b. Moralitas, etika, sikap, perilaku SDM Balai TNBG dalam rangka mengelola kawasan TNBG

c. Kekayaan sumber daya alam dan keindahan alam TNBG yang sangat potensial untuk pengembangan wisata alam

d. Jumlah dana yang tersedia memadai untuk pengelolaan kawasan TNBG

e. Koordinasi dan komunikasi Balai TNBG sebagai pengelola kawasan dengan instansi lainnya yang terkait dengan pengelolaan kawasan TNBG

f. Efektivitas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dalam pengelolaan kawasan TNBG

g. Sarana-prasarana yang mendukung pengelolaan TNBG (kendaraan operasional, pos jaga, peralatan pengamanan, dan lain-lain)

h. Monitoring dan evaluasi untuk setiap pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan, serta tindak lanjut hasil evaluasi

Sementara, faktor-faktor internal yang menjadi kelemahan (weakness) dari pihak pengelola berdasarkan hasil penelitian, yaitu:

Page 112: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 101

a. Kuantitas SDM Balai TNBG (dari segi jumlah) dalam mengelola kawasan

TNBG

b. Pengetahuan SDM Balai TNBG tentang organisasi dan lingkungan

c. Kemampuan perencanaan dalam melakukan peramalan secara efektif dan komitmen dalam pembuatan rencanaSinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan terhadap Renstra, Rencana Pengelolaan, Renja

d. Komunikasi dan upaya pendekatan dari pihak Balai TNBG dengan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional

e. Efektivitas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam pengelolaan kawasan TNBG

f. Upaya penegakan hukum bagi setiap kasus perusakan atau gangguan terhadap TNBG

g. Tata batas yang ada di lapangan dalam mendukung penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal dalam kawasan

h. Penilaian sebagian besar partisipasi masyarakat bahwa upaya yang dilakukan instansi terkait kurang efektif untuk mengatasi perusakan atau gangguan ekosistem terhadap taman nasional

Optimalisasi anggaran PNBP Balai TNBG melalui kegiatan ekowisata Berdasarkan hasil penelitian, faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang/kesempatan (opportunity) dari pihak pengelola, yaitu:

a. Dukungan LSM lokal (termasuk perguruan tinggi) dalam rangka pengelolaan kawasan TNBG

b. Dukungan LSM Internasional dalam upaya pengelolaan kawasan TNBG

c. Sebagian besar persepsi masyarakat yang mengetahui tentang TNBG, kondisi taman nasional, jenis flora dan fauna, fungsi taman nasional, dan UU Kehutanan

d. Dukungan Pemda setempat dalam upaya pengelolaan kawasan TNBG

e. Dukungan aparat Kepolisian, TNI, Kejaksaan, Pengadilan, dan aparat hukum lainnya dalam proses hukum terhadap pelaku pengrusakan atau gangguan kawasan TNBG dalam rangka upaya pengelolaan kawasan TNBG

f. Pengaruh terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

g. Sebagian besar persepsi masyarakat yang mengetahui UU Kehutanan dari sosialisasi/leaflet/booklet oleh instansi terkait

Page 113: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

102 Direktori Mini Tesis-Disertasi

h. Terjadinya bencana alam, seperti banjir di beberapa tempat di sekitar TNBG terhadap kesadaran masyarakat pentingnya menjaga keutuhan kawasan

TNBG.

Sementara, faktor-faktor eksternal yang menjadi ancaman (threat) dari pihak pengelola berdasarkan hasil penelitian, yaitu:

a. Masyarakat di sekitar kawasan TNBG yang pada umumnya miskin

b. Tingkat kesadaran masyarakat sekitar kawasan akan pentingnya taman nasional, serta peran aktif dalam upaya pengelolaan kawasan TNBG

c. Konflik penggunaan lahan antara kehutanan (konservasi) dan masyarakat (perladangan/perkebunan) di kawasan TNBG

d. Sebagian kecil persepsi masyarakat yang tidak menginginkan taman nasional lestari

e. Sebagian besar persepsi masyarakat yang kurang mengetahui faktor-faktor yang dapat mengganggu ekosistem hutan di taman nasional

f. Sebagian kecil partisipasi masyarakat yang menilai program pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan tidak meningkatkan pendapatan

masyarakat dan tidak penting untuk dilanjutkan ke depannya

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan, sebagai berikut:

1. Penyusun vegetasi yang paling dominan pada kawasan hutan Taman Nasional Batang Gadis (Desa Pagar Gunung, Desa Sopo Tinjak, dan Desa Sirambas) adalah Syzygium sp., diikuti Litsea resinosa, dan Quercus gemelliflora. Jenis satwa (fauna) yang teridentifikasi di lokasi penelitian, antara lain: burung poksay (Garrulax leucolophus), burung murai (Copsychus malabaricus), siamang (Hylobates syndactylus), rusa (Cervus unicolor), dan burung rangkong (Buceros rhinoceros).

2. Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan TNBG cukup bervariasi mulai dari yang positif hingga yang cenderung negatif terkait pelestarian taman nasional. Sebagian besar masyarakatnya menyadari sumberdaya hayati hutan penting untuk menopang kehidupan dan bersedia terlibat dalam pelestarian hutan yang ada di sekitarnya. Sementara, sebagian kecil lagi masyarakatnya tidak mengetahui peran sumber daya hutan serta tidak bersedia terlibat dalam pelestarian hutan yang ada di sekitarnya.

Page 114: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 103

3. Partisipasi masyarakat Desa Sirambas dan Desa Pagar Gunung dalam pengelolaan kawasan TNBG masih berada pada tahap pelaksanaan kegiatan. Masyarakat masih dianggap sebagai objek, bukan subjek, di mana dalam keterlibatannya masyarakat sebatas memperoleh insentif.

4. Strategi SWOT pengelolaan kawasan Taman Nasional Batang Gadis yang menjadi prioritas pada penelitian ini adalah strategi agresi, yang memiliki beberapa aksi, yaitu:

a. Mengembangkan potensi kekayaan SDA dan keindahan alam TNBG untuk wisata alam guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan melalui dukungan LSM lokal dan internasional, serta meningkatkan persepsi masyarakat melalui pendekatan sosial yaitu karakteristik masyarakat sehingga hutan mampu menjalankan fungsinya dalam mencegah banjir di sekitar kawasan.

b. Meningkatkan koordinasi dan komunikasi, kemampuan SDM dan tanggung jawab dari segi kualitas, moralitas, etika, sikap, serta perilaku untuk memperoleh dukungan Pemda setempat sebagai implementasi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

c. Mempergunakan dukungan dana dan sarana-prasarana yang memadai untuk mengefektifkan pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAH & E, serta dukungan aparat dalam penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan atau gangguan di kawasan TNBG.

E. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan khususnya penelitian sosial masyarakat yang mengkaji lebih dalam mengenai psikologi lingkungan maupun manajemen konflik.

2. Pihak pengelola harus memperbaiki komunikasi dan melakukan upaya pendekatan yang lebih intens kepada masyarakat melalui pendekatan sosial berbasis karakteristik masyarakat.

3. Mengembangkan potensi kekayaan SDA dan keindahan alam TNBG untuk wisata alam guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan melalui dukungan LSM lokal dan internasional, serta meningkatkan persepsi masyarakat melalui pendekatan sosial yaitu karakteristik masyarakat sehingga hutan mampu menjalankan fungsinya dalam mencegah banjir di sekitar kawasan.

Page 115: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

104 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 116: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN KAWASAN PANTAI ALAM INDAH (PAI) KOTA TEGAL

Nama : Febriani Wijayanti

Instansi : Pemkot Tegal

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 117: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

106 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal merupakan salah satu kawasan wisata yang terletak di wilayah pesisir Kota Tegal yang menjadi objek wisata unggulan. Kegiatan wisata alam di objek wisata tersebut telah menjadi wisata massal sehingga menimbulkan dampak negatif, seperti banyaknya sampah dari kegiatan wisata dan masalah sosial yang terjadi di kawasan wisata. Masalah-masalah tersebut menyebabkan kawasan PAI mengalami penurunan baik dari kualitas ekologi maupun estetika kawasan. Dengan demikian, dalam jangka panjang kegiatan wisata di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) dikhawatirkan menjadi tidak berkelanjutan. Untuk itu, maka perlu diusulkan suatu model pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Pengembangan kawasan PAI dengan model pariwisata berkelanjutan diharapkan akan meningkatkan kualitas lingkungannya serta melindungi sumber daya alam yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji aspek-aspek yang menjadi daya tarik wisata dari kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal berdasarkan pendapat para wisatawan, dan mengkaji berbagai gangguan dan kerusakan terhadap lingkungan, serta menyusun model untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah mixed method, yang menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif, kemudian hasilnya dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek yang menjadi daya tarik wisata di kawasan PAI menurut wisatawan adalah keindahan hutan mangrove, keindahan pantai, monumen bahari, wahana becak air, dan wisata kuliner. Dari penelitian dapat diketahui bahwa terdapat beberapa gangguan atau kerusakan yang terjadi di kawasan wisata Pantai Alam Indah. Gangguan tersebut antara lain sampah, perparkiran, warung dan PKL, serta perilaku pergaulan bebas wisatawan. Model pengelolaan yang digunakan untuk permasalahan sampah yaitu dengan melakukan perubahan metode dalam pengelolaan sampah. Model pengelolaan parkir yaitu dengan menggunakan konsep area parkir ruang terbuka dan memperhitungkan kebutuhan lahan ruang parkir. Model penataan warung dan PKL adalah dengan membuat peraturan larangan bagi pedagang berjualan di pinggir pantai dan memfasilitasi para pedagang agar dapat menunjang keindahan dan ketertiban kawasan wisata. Model pengelolaan perilaku wisatawan yaitu dengan penertiban bangku payung, penambahan lampu penerangan, pembuatan aturan tertulis dan pengawasan dari petugas.

Kata kunci: Wisata Massal, Daya Tarik Wisata, Gangguan, Pantai Alam Indah (PAI), Pariwisata Berkelanjutan

Page 118: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 107

ABSTRACT

Pantai Alam Indah (PAI) in Tegal City is one of the tourism areas. Located in the coastal area of Tegal City, PAI becomes a leading tourism attraction. However, the activities in that natural tourism object has become mass tourism causing negative impacts, such as the amount of garbage from tourism activities and social problems that occur in tourism areas. These problems caused the PAI region to experience a decline both from the ecological and aesthetic quality of the region. Thus, in the long term tourism activities in the Pantai Alam Indah area (PAI) are feared to be unsustainable. For this reason, it is necessary to propose a sustainable tourism management model. The development of PAI areas with sustainable tourism models is expected to improve the quality of the environment and protect existing natural resources. The purpose of this study was to examine aspects of tourist attraction from the Pantai Alam Indah (PAI) area of Tegal City based on the tourist aspect, and examine various disturbances and damage to the environment, as well as develop models for sustainable tourism development in the Pantai Alam area Indah (PAI) Tegal City. The method used in the study was a mixed method, which combined qualitative and quantitative methods, the results were analyzed descriptively. The results showed that the aspects that became tourist attractions in the PAI area according to tourists were the beauty of mangrove forests, the beauty of beaches, nautical monuments, rickshaw rides, and culinary tours. From the research some disturbances or damage that could occur in the tourist area of Pantai Alam Indah were identified. The disturbances included garbage, parking, stalls and street vendors, as well as free social behavior of tourists. The management model for waste problems should change the waste management method. The parking management model should use the concept of an open space parking area and take into account the need for parking space. The stalls and PKL structuring model should use regulations approach to prohibit the traders selling their goods on the beach and facilitate the traders so that they could support the maintaining beauty and order of the tourist area. The tourist behavior management model should use the approach of maintaining the umbrella bench, adding lighting, writing rules and supervising officers.

Keywords: Disturbance, Mass Tourism, Pantai Alam Indah (PAI), Sustainable Tourism, Tourist Attraction

Page 119: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

108 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN KAWASAN PANTAI ALAM INDAH (PAI) KOTA TEGAL

A. Latar Belakang

Wisata budaya dan religi yang disuguhkan di Kota Tegal antara lain pawai rolasan, khaul hadad, sedekah laut, dan kirab toapekong. Pawai rolasan memperingati Maulud Nabi Muhamad SAW setiap tanggal 12 Rabiul Awal, khaul Hadad diperingati setiap tanggal 18 Rajab, dan Kirab Toapekong dalam rangka memeriahkan Cap Go Meh di Kota Tegal. Sedekah laut dilakukan setahun sekali oleh masyarakat pesisir khususnya nelayan sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME atas kelimpahan rezeki, keselamatan dan kesehatan selama setahun penuh.

Selain wisata kuliner, wisata budaya, dan wisata religi, wisata lain yang tidak kalah menarik untuk dikunjungi di Kota Tegal adalah wisata alamnya. Salah satu objek wisata alam yang menjadi andalan di Kota Tegal yaitu Pantai Alam Indah (PAI) yang terletak di daerah pesisir Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur. Lokasi kawasan wisata Pantai Alam Indah (PAI) tidak jauh dari pusat kota, hanya berjarak lima ratus meter dari jalur pantura. Kawasan wisata yang memiliki luas sekitar 21 ha ini dikelola oleh Dinas Kepemudaan dan Olahraga, dan Pariwisata Kota Tegal. Kawasan wisata PAI menjadi tempat yang cukup favorit untuk berlibur bagi masyarakat Kota Tegal dan sekitarnya. Kondisi topografi objek wisata ini relatif datar dengan kemiringan pantai yang landai. Pantainya terdiri atas pasir laut yang padat berwarna cokelat dengan kadar garam yang cukup tinggi. Arus dan gelombang lautnya relatif kecil. Bentuk pantai yang datar memanjang sampai sepanjang 2.100 meter berpotensi untuk sarana olahraga, antara lain jalan santai di pantai dan olahraga renang (Dinporabudpar, 2016).

Jumlah pengunjung relatif meningkat dari tahun 2012 ke tahun 2015, dan hanya mengalami sedikit penurunan pada tahun 2016. Jumlah kunjungan yang tinggi pada suatu objek wisata dapat menimbulkan dampak negatif terhadap area wisata tersebut dengan sangat cepat. Peningkatan kunjungan wisatawan akan semakin memberikan dampak terhadap lingkungan karena semakin banyaknya tekanan fisik terhadap kawasan tersebut. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata harus dengan memperhatikan terjaganya mutu lingkungan, sebab dalam industri pariwisata lingkungan itulah yang sebenarnya dijual (Soemarwoto, 2004).

Jumlah arus wisatawan yang semakin banyak datang di kawasan PAI, menimbulkan beberapa permasalahan. Di antaranya seperti penataan parkir kendaraan yang tidak tertib menimbulkan gangguan terhadap wisatawan. Wisatawan yang akan menikmati pemandangan pantai terhalang oleh kendaraan yang di parkir di tepi pantai. Masalah

Page 120: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 109

lingkungan, seperti pencemaran dari tumpukan sampah dan polusi kendaraan bermotor yang berasal dari aktivitas pariwisata serta kerusakan fasilitas juga melanda kawasan objek wisata ini. Masalah-masalah tersebut menyebabkan kawasan PAI mengalami penurunan baik dari kualitas ekologi maupun estetika kawasan. Kondisi tepi pantai yang kotor karena banyaknya tumpukan sampah pernah diungkapkan oleh anggota DPRD Kota Tegal dan pihaknya meminta kepada Pemerintah Kota Tegal supaya melakukan penanganan yang serius untuk mengatasi sampah di kawasan tersebut sehingga kenyamanan pengunjung dan kebersihan tetap terjaga (DPRD Kota Tegal, 2016). Selain sampah yang berasal dari aktivitas pariwisata, dampak lingkungan dari darat juga dapat merusak pantai, seperti sampah rumah tangga di muara sungai. Hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya ekosistem alami pantai dan dapat merusak daya tarik pantai sebagai aset wisata. Permasalahan tersebut apabila tidak ditindaklanjuti akan berpengaruh pada keberlanjutan dan keberadaan wisatanya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka diperlukan pengelolaan dan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang memperhatikan kebutuhan generasi saat ini dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan (hidup) generasi penerus di waktu yang akan datang. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) merupakan salah satu bentuk pendekatan yang dikembangkan untuk mewujudkan kawasan PAI yang berkelanjutan. Pengembangan kawasan wisata harus selalu melindungi sumber daya yang ada karena itu penting sekali bagi keberhasilan wisata untuk memperlihatkan kualitas asli atau lokal dari suatu tempat. Menurut Gunn (2002), pengembangan daerah wisata harus memperhatikan semua sumber daya alam dan budaya serta lingkungan agar tidak terjadi degradasi. Untuk itu sumber daya alam yang menjadi aset wisata harus tetap dijaga demi keberlanjutan pariwisata di kawasan PAI Kota Tegal.

Penelitian tentang pariwisata berkelanjutan telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya Karimah (2014) dalam tesisnya menganalisis kelayakan pengembangan Dusun Tutup Ngisor dalam perspektif pariwisata yang berkelanjutan. Sementara itu Yusni (2008) dalam penelitiannya merencanakan penataan kawasan wisata yang berkelanjutan di Danau Toba, Sumatera Utara. Lebih lanjut Rostini (2015) dalam penelitiannya mengkaji potensi pariwisata dan merumuskan strategi pengembangan pariwisata di Kabupaten Banggai Kepulauan dengan pendekatan berkelanjutan.

Adapun hal yang membedakan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu membuat model untuk pengembangan pariwisata dengan konsep pariwisata berkelanjutan di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal. Model pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan PAI disusun dengan memodelkan keterkaitannya dengan komponen pariwisata berkelanjutan yaitu komponen ekonomi, sosial dan ekologi.

Page 121: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

110 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

1. Apa yang menjadi daya tarik wisata dari kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal berdasarkan para wisatawan?

2. Apa saja gangguan atau kerusakan terhadap lingkungan dari kegiatan wisata di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal?

3. Bagaimana model untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal?

Lokasi penelitian dilaksanakan di kawasan Pantai Alam Indah (PAI), Kota Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif kawasan Pantai Alam Indah terletak di Jl. Sangir, Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode campuran antara metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang lebih didominasi oleh pendekatan kualitatif. Strategi yang digunakan dalam metode ini adalah strategi metode konkuren di mana data kualitatif dan data kuantitatif dikumpulkan dalam satu waktu dan kemudian dianalisis secara komprehensif (Creswell, 2010). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan kondisi pengelolaan wisata, daya tarik wisata dan jenis gangguan atau kerusakan terhadap lingkungan di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini pendekatan kualitatif juga digunakan untuk penyusunan model pengembangan pariwisata berkelanjutan di kawasan PAI. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui daya tarik wisata di kawasan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal menurut para wisatawan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Kawasan Pantai Alam Indah (PAI)

Kawasan PAI yang memiliki luas sekitar 21 Ha terletak di Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal dan berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk yang terdapat di sepanjang pantai. PAI yang menjadi lokasi penelitian ini terletak pada posisi koordinat 109o08’-109o10’ BT dan 06o50’–06o53o LS. Secara umum, sepanjang PAI bermorfologi landai, ketinggian terendah 0,20 meter dan tertinggi 1,80 meter. Perbedaan dan perubahan ketinggian daratan tersebut hanya bersifat setempat saja. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena dataran terhempas oleh kekuatan gelombang yang tinggi, sehingga abrasi setempat pada dataran tersebut (Bappeda, 2013).

Kira-kira pada tahun 1971 Bapak Herman P. mempunyai ide ingin memanfaatkan pantai Tegal yang pada saat itu tidak terawat dan kotor, yang apabila dipelihara, ditata dan dirawat dengan baik akan menjadi pantai yang indah dan berpotensi

Page 122: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 111

sebagai tempat rekreasi bagi warga Kodya Tegal dan sekitarnya. Dengan bermodal ide yang ada dalam dirinya, Bapak Herman yang pada saat itu menjabat sebagai BPH (Badan Pemerintah Harian) pada Pemda Kodya Tegal menghubungi beberapa orang yang dipandang bisa diajak bekerjasama untuk merealisasikan ide yang baik ini. Orang yang dihubungi di antaranya adalah Bapak AY. Sudibyo yang mempunyai Rumah Makan Samudra dan berdomisili di pantai; Bapak Sugito, Kepala Pelabuhan Cabang Tegal; dan Ibu Sardjoe, tokoh wanita di Kodya Tegal. Setelah melakukan pembicaraan dan perencanaan dengan bapak-bapak dan ibu tersebut, kemudian Bapak Herman menghadap Bapak Wali Kota Madya Daerah Tingkat II Tegal untuk mendapat persetujuan atas ide yang dimaksud.

Luas PAI pertama adalah 4 Ha, kemudian seiring dengan adanya penambahan sarana,luas PAI bertambah 3 Ha menjadi 7 Ha. Keberadaan PAI yang beroperasi sejak tahun 1974 makin lama makin berkembang, dan pada tanggal 4 September 1978 Objek Wisata PAI diresmikan oleh Wali Kota Madya Daerah Tingkat II Tegal, Bapak Sardjoe. Selanjutnya dengan adanya rencana pengembangan Objek Wisata Pantai Alam Indah Kota Tegal, luas wilayah ditambah 9 Ha. menjadi 21 Ha., dengan perincian : 5 Ha merupakan tanah milik Pemerintah Daerah Kota Tegal, dan 16 Ha adalah tanah PELINDO III. Kondisi PAI saat ini sudah mulai berkembang dengan adanya warung-warung yang menjual makanan dan minuman, baik yang khas Kota Tegal maupun khas daerah pesisir.

2. Daya Tarik Wisata

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut wisatawan ada beberapa aspek yang menjadi daya tarik wisata di kawasan Pantai Alam Indah seperti yang disajikan pada Tabel 10. Sebanyak 55% wisatawan memilih hutan mangrove sebagai daya tarik wisata. Kemudian disusul keindahan pantai sebanyak 39%, monumen bahari sebanyak 4%, dan 1% wahana becak air. Selebihnya 1% memilih wisata kuliner yang menjadi daya tarik berkunjung ke kawasan PAI.

3. Pemodelan Pengelolaan Pariwisata Berkelanjutan

Model merupakan penyederhanaan sistem, disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pendekatan sistem merupakan pendekatan yang bersifat menyeluruh yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen. Pendekatan tersebut dapat mengubah cara pandang dan pola pikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model.

Page 123: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

112 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Sistem

Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Dengan demikian setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi atau terkait dan terorganisir dengan suatu tujuan tertentu. Dalam sistem pariwisata di kawasan PAI, komponen utama yang sangat mempengaruhi adalah wisatawan. Variabel lain yang mempengaruhi di antaranya adalah penduduk lokal, objek wisata, kerusakan objek, penurunan daya tarik wisata, pendapatan wisata, pengelolaan wisata dan gangguan yang terjadi di kawasan wisata.

Kegiatan wisata yang dilakukan oleh wisatawan dapat menyebabkan terjadinya gangguan di kawasan wisata. Gangguan tersebut terdiri atas masalah sampah, parkir, warung dan PKL, serta perilaku pergaulan bebas wisatawan. Aktivitas penduduk lokal juga berkontribusi menyebabkan terjadinya gangguan. Gangguan yang terjadi akan berpengaruh pada objek-objek wisata yang ada seperti hutan mangrove, pantai, monumen bahari, wahana becak air, warung kuliner. Adanya gangguan yang muncul akan mengakibatkan kerusakan objek wisata. Adanya kerusakan objek wisata akan berakibat pada penurunan daya tarik wisata yang pada akhirnya berpengaruh juga pada jumlah wisatawan yang berkunjung. Selain itu, penurunan daya tarik wisata berpengaruh pada jumlah pendapatan wisata. Pendapatan wisata berkaitan dengan pengelolaan wisata yang digunakan untuk mengelola objek-objek wisata.

Untuk mengurangi atau menghilangkan berbagai gangguan yang terjadi dari kegiatan wisata maka gangguan tersebut harus mendapatkan pengelolaan agar kegiatan wisata menjadi berkelanjutan. Apabila kegiatan wisata berkelanjutan maka pendapatan wisata tidak akan mengalami penurunan.

Keberhasilan pengelolaan objek wisata sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Hal ini dikarenakan keberadaan kawasan yang multifungsi dan dalam aktifitas pengelolaannya diperlukan teori dan konsep dari berbagai disiplin ilmu. Damanik dan Weber (2006) menyatakan unsur pengelolaan, keberhasilan optimalisasi pengusahaan suatu tempat wisata harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut :

Page 124: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 113

• Kondisi lingkungan biofisik kawasan yang mampu menarik minat pengunjung, seperti keindahan alam, keunikan dan kekhasan flora dan fauna, keheningan, kesejukan dan lain-lain.

• Sikap masyarakat sekitar yang mampu mendukung terjalinnya hubungan yang baik antara pengelola kawasan dan masyarakat sekitar.

• Tersedianya dana yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam jumlah maupun kontinyuitas.

• Jumlah dan keahlian tenaga kerja yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik.

• Kemudahan, kenyamanan dan keamanan pengunjung untuk mendatangi kawasan tersebut.

b. Model Pengelolaan

Selanjutnya setelah memahami perilaku sistem di kawasan wisata PAI, maka perlu dilakukan simulasi model. Simulasi model yang dimaksud adalah model dengan konsep pariwisata berkelanjutan yang memperhatikan tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep pariwisata berkelanjutan oleh Chucky (1999) dalam Indrawati (2010) yang dimuat dalam International Tourism bertumpu pada tiga hal, yaitu :

• Kualitas yang menyangkut kualitas pelayanan kepada wisatawan, peningkatan kualitas atau taraf hidup masyarakat lokal, dan peningkatan kualitas alam yang dijadikan sebagai objek atau daya tarik wisata.

• Kelestarian sumber daya alam dan kelestarian budaya masyarakat lokal;

• Keseimbangan kebutuhan industri pariwisata, lingkungan, dan masyarakat lokal agar tercipta tujuan dan kerjasama yang saling menguntungkan di antara para pemangku kepentingan dan destinasi pariwisata.

Hasil kajian identifikasi persoalan di kawasan wisata PAI menunjukkan bahwa terdapat beberapa gangguan, antara lain sampah, parkir, warung dan PKL, serta perilaku pergaulan bebas wisatawan. Gangguan yang saat ini terjadi apabila dibiarkan terus dan tidak dilakukan pengelolaan akan mempengaruhi keberlanjutan dan keberadaan wisatanya.

Model yang dibuat untuk tindakan koreksi pengelolaan wisata di kawasan PAI adalah tindakan perubahan metode pengelolaan sampah.

Page 125: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

114 Direktori Mini Tesis-Disertasi

• Kondisi pengelolaan sampah yang sudah ada

Menurut pengelola jumlah tenaga kebersihan yang ada telah mencukupi untuk membersihkan lokasi wisata. Jumlah petugas kebersihan saat ini adalah 25 tenaga kontrak Pemerintah Daerah (Dinas Kepemudaan dan Olahraga dan Pariwisata Kota Tegal). Kegiatan pembersihan dilakukan 2 (dua) kali sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Namun pada puncak kunjungan wisata, tempat sampah yang tersedia menjadi kurang (Gambar 31). Ditambah lagi dengan kesadaran pengunjung akan kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya masih rendah.

• Model pengelolaan sampah

Penerapan model pengelolaan sampah dengan metode reduce, reuse, recycle akan berhasil dengan baik bila dilakukan dengan melibatkan seluruh aktor (pemangku kepentingan) terkait seperti pengelola, penduduk lokal dan wisatawan. Keberhasilan pengelolaan sampah ini bergantung dari partisipasi masyarakat sebagai penghasil utama sampah. Partisipasi masyarakat ini dapat berupa kesadaran untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat dan pemilahan antara sampah organik dan anorganik dalam proses pewadahan. Teknis operasional pewadahan sampah memegang peranan sangat penting, oleh sebab itu perlu diberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hal tersebut.

• Model pengelolaan parkir

Penyediaan fasilitas parkir dapat berfungsi sebagai salah satu alat pengendali lalu lintas. Satuan Ruang Parkir (SRP) adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan kendaraan (mobil penumpang, bus/truk, atau sepeda motor), termasuk ruang bebas dan lebar buka pintu. Penentuan satuan ruang parkir dibagi atas tiga jenis kendaraan dan berdasarkan SRP untuk mobil penumpang diklasifikasikan menjadi tiga golongan.

Model pengelolaan parkir ini akan berjalan dengan baik apabila dilakukan pembatasan jumlah kendaraan yang masuk ke dalam kawasan PAI sesuai dengan jumlah perhitungan SRP. Sehingga apabila ruang parkir yang tersedia sudah melebihi kapasitas maka pihak pengelola tidak memperbolehkan kendaraan memasuki kawasan PAI.

• Model Penataan Warung dan PKL

Model penataan warung dan PKL akan berjalan dengan baik apabila penentuan area yang diperbolehkan untuk berdagang sudah diterapkan dan dilakukan pengarahan atau sosialisasi kepada pedagang tentang

Page 126: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 115

kebijakan yang telah diambil oleh pengelola dalam rangka penataan

warung dan PKL.

• Model Pengelolaan Perilaku Wisatawan

Wisatawan yang datang berkunjung ke PAI ada yang bertujuan memanfaatkan tempat wisata sebagai tempat untuk berpacaran atau tindakan sosial bersifat negatif daripada memanfaatkan tempat wisata sebagai tempat rekreasi atau tindakan sosial bersifat positif. Kondisi perilaku negatif wisatawan yang menjadikan kawasan PAI sebagai tempat berbuat asusila jika dibiarkan terus menerus maka akan mencemarkan citra PAI sebagai kawasan wisata. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap daya tarik wisata dan menjadikan wisata tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan di kawasan PAI perlu dilakukan pengelolaan terhadap perilaku wisatawan tersebut. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

◊ Penertiban bangku payung

◊ Penambahan lampu penerangan

◊ Pembuatan aturan tertulis dan pengawasan dari petugas

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil-hasil analisis dan pembahasan dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa yang menjadi daya tarik wisata di kawasan Pantai Alam Indah Kota Tegal menurut wisatawan, di antaranya (1) Hutan mangrove, (2) Keindahan pantai, (3) Monumen bahari, (4) Wahana becak air, (5) Wisata kuliner.

2. Gangguan yang terjadi di kawasan PAI antara lain masalah sampah, parkir, warung dan PKL, serta perilaku pergaulan bebas wisatawan.

3. Model pengembangan pariwisata yang dilakukan di kawasan PAI Kota Tegal adalah model yang mengambil konsep pariwisata berkelanjutan untuk mengatasi gangguan-gangguan wisata berupa masalah sampah, parkir, warung dan PKL, serta perilaku pergaulan bebas wisatawan. Model pengelolaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. a. Untuk permasalahan sampah, model yang digunakan adalah dengan melakukan perubahan metode dalam pengelolaan sampah.

Page 127: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

116 Direktori Mini Tesis-Disertasi

b. b. Model pengelolaan parkir yaitu dengan menggunakan konsep ruang terbuka area parkir dan memperhitungkan kebutuhan ruang parkir.

c. c. Model penataan warung dan PKL adalah dengan membuat peraturan larangan bagi pedagang berjualan di pinggir pantai dan memfasilitasi para pedagang untuk menunjang keindahan dan ketertiban kawasan wisata.

d. d. Model pengelolaan perilaku wisatawan yaitu dengan penertiban bangku payung, penambahan lampu penerangan, pembuatan aturan tertulis dan pengawasan dari petugas.

E. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, disampaikan saran-saran sebagai berikut :

1. Penelitian masih terbatas pada penyusunan model pengelolaan pariwisata berkelanjutan sehingga untuk kajian implementasi kebijakan masih diperlukan penelitian lebih lanjut.

2. Model pengelolaan pariwisata berkelanjutan di kawasan PAI Kota Tegal dibangun secara kualitatif, penelitian lanjutan disarankan pula pada penyusunan model secara kuantitatif untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam.

Page 128: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PSIKOGRAFI PENGUNJUNG TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM EKOWISATA DI TAMAN NASIONAL MANUSELA PROVINSI MALUKU

Nama : Jumrin Said

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 129: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

118 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Salah satu arah kebijakan dan strategi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Rencana Strategis tahun 2015-2019 adalah peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan konservasi baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara, tentu yang sesuai dengan kaidah pengelolaan kawasan konservasi itu sendiri. Psikografi merupakan salah satu dasar yang umum digunakan untuk memprediksi preferensi kunjungan, intensi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi dan motivasi pengunjung terhadap implementasi ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali dalam upaya mempertahankan jumlah kunjungan wisatawan di Taman Nasional Manusela (TNM). Penelilitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Analisis data dilakukan melalui regresi linear sederhana untuk memprediksi hubungan antara dua variabel dan regresi linear berganda untuk memprediksi hubungan di antara lebih dari dua variabel. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positif antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam melakukan kegiatan ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM dengan persamaan regresi Y = 12,002 + 0,05 X1. Statistik deskriptif menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM berada dalam kategori sedang atau cukup sesuai. Terdapat pengaruh positif antara motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM dengan persamaan regresi Y = 3,452 + 0,15 X2. Motivasi pengunjung yang sesuai untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM yaitu motivasi lingkungan dan petualangan. Masing-masing variabel independen yaitu persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM (X1) dan motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM (X2) memberikan pengaruh positif secara parsial dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y). Sedangkan secara bersama-sama atau simultan, variabel X1 tidak memberikan pengaruh terhadap intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y).

Kata kunci : Psikografi, Persepsi, Motivasi, Intensi, Taman Nasional Manusela.

Page 130: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 119

ABSTRACT

One of the policies and strategies of the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) in the 2015-2019 Strategic Plan is an increase in the number of tourist visits to conservation areas, both foreign tourists and domestic tourists, of course in accordance with the rules of respective management of the conservation area itself. Psychography was one of the basic commonly used to predict visit preferences, intentions and behavior. This study aimed to determine the effect of visitor perceptions and motivations on the implementation of ecotourism with the intention to visit again in an effort to maintain the number of tourist visits in Manusela National Park (TNM). This research was conducted using a quantitative approach. Data analysis was carried out through simple linear regression to predict the relationship between two variables and multiple linear regression to predict the relationship among more than two variables. The results showed that there was a positive influence between perceptions of the components of visitor satisfaction in doing ecotourism activities with the intention to return to TNM with the regression equation Y = 12,002 + 0,05 X1. Descriptive statistics showed that at the time of the study the perception of the component of visitor satisfaction in ecotourism activities in TNM was in the medium or quite appropriate category. There was a positive influence between the motivation of visitors to do ecotourism activities with the intention to revisit to TNM with the regression equation Y = 3.452 + 0.15 X2. Visitor motivation that was appropriate for doing ecotourism activities in TNM was environmental and adventure motivated. Each independent variable, namely the perception of the component of visitor satisfaction in ecotourism activities in TNM (X1) and the motivation of visitors to do ecotourism activities in TNM (X2) have a partial positive effect with the intention to return to TNM (Y). While together or simultaneously, variable X1 did not have an effect on the intention to visit TNM (Y).

Keywords: Intention, Manusela National Park, Motivation, Perception, Psychography.

Page 131: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

120 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PSIKOGRAFI PENGUNJUNG TERHADAP IMPLEMENTASI PROGRAM EKOWISATA DI TAMAN NASIONAL MANUSELA

PROVINSI MALUKU

A. Latar Belakang

Taman Nasional Manusela (TNM) merupakan satu-satunya taman nasional di Provinsi maluku dari total 51 taman nasional di Indonesia. Dalam pengelolaannya TNM ini mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang menjelaskan bahwa “taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi”.

Balai TNM selaku unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), dalam Rencana Strategis 2015-2019 mengacu pada kebijakan dan strategi KLHK menargetkan peningkatan jumlah pengunjung setiap tahunnya sebesar 20% dari target tahun 2015. Jumlah kunjungan pada tahun 2016 tercatat sebanyak 361 orang atau meningkat lebih dari dua kali lipat dari target tahun 2015. Pengunjung yang berwisata ke TNM sebagian besar mempunyai minat tertentu terhadap suatu objek wisata yang terdapat di kawasan ini, karena dibutuhkan biaya yang cukup besar khususnya yang berasal dari luar Provinsi Maluku untuk mengunjungi objek tersebut (Surya & Tinangon, 2015).

Beberapa penelitian tentang ekowisata telah dilakukan di Taman Nasional Manusela. Penelitian tersebut telah mengungkap potensi flora dan fauna yang memiliki nilai dalam pengembangan ekowisata (Latupapua, 2013; Stas, 2014), stakeholder yang terlibat, peran dan kontribusinya dalam menunjang pengembangan ekowisata serta strategi dan prioritas dalam pengelolaan ekowisata di Taman Nasional Manusela (Latupapua, 2013; Latupapua, 2015). Namun, penelitian tersebut belum melihat aspek psikografi pengunjung sebagai salah satu aspek dalam kegiatan ekowisata.

Penelitian tentang psikografi yang telah dilakukan diantaranya bertujuan untuk menjelaskan tentang psikografi pengunjung dan dimensi petualangan, mengetahui faktor-faktor psikografi yang berpengaruh terhadap keputusan berwisata, mengetahui karakteristik wisatawan dan menelaah pengembangan obyek wisata berdasarkan persepsi pengunjung serta mengetahui faktor pendorong psikologis berupa kepribadian dalam mencari sensasi berkaitan sikap dan perilaku pengunjung (Galloway, 2002; Flamin, 2005; Hermansyah, 2008; Weaver, 2012). Namun penelitian tersebut di atas

Page 132: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 121

belum menjelaskan tentang pengaruh persepsi terhadap kepuasan pengunjung dan motivasi untuk melakukan kegiatan ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali ke destinasi wisata tujuan. Sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan agar kegiatan ekowisata di Taman Nasional Manusela dapat dikelola dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh persepsi dan motivasi pengunjung terhadap implementasi ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali dalam upaya mempertahankan jumlah kunjungan wisatawan di TNM.

B. Metode Analisis

Penelilitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Analisis data dilakukan melalui regresi linear sederhana untuk memprediksi hubungan antara dua variabel dan regresi linear berganda untuk memprediksi hubungan di antara lebih dari dua variabel. Populasi sampling berasal dari pengunjung yang telah melakukan kegiatan ekowisata di TNM dalam kurun waktu antara tahun 2016 hingga tahun 2017, unit sampel yang dipakai adalah individu pengunjung dengan batasan umur 18 tahun ke atas (dewasa dan terdidik) berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Kependudukan, yang berwisata di kawasan TNM khususnya yang terdata memiliki alamat email guna pengiriman kuesioner penelitian. Penentuan jumlah sampel diadaptasi dari rumus slovin. Tingkat kesalahan yang digunakan adalah sebesar 10% atau 0,1. Sampel pada penelitian ini adalah sejumlah 100 orang. Pada penelitian ini melibatkan 3 variabel: (1) persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM; (2) Motivasi untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM dan (3) Intensi untuk berkunjung kembali ke TNM.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Pengujian hipotesis mengenai hubungan yang dikembangkan dalam penelitian dilakukan untuk menentukan penerimaan atau penolakan terhadap hipotesis penelitian. Adapun hipotesis dalam penelitian ini meliputi:

H1: ada pengaruh yang positif antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM.

H2: ada pengaruh yang positif antara motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM.

Page 133: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

122 Direktori Mini Tesis-Disertasi

H3: ada pengaruh yang positif antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata dan motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM secara bersama-sama dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM.

Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis korelasi pearson dilanjutkan regresi linear sederhana (untuk hipotesis H1 dan H2) dan regresi linear berganda (untuk hipotesis H3). Hasil pengujian ketiga hipotesis di atas dapat digambarkan dalam paradigma penelitian.

Berdasarkan data distribusi variabel persepsi tersebut mengindikasikan responden merasa cukup puas sebesar 36%, puas/tinggi sebesar 32% dan sangat puas/sangat tinggi sebesar 3% dalam melakukan kegiatan ekowisata di TNM. Namun masih terdapat 29% responden yang tidak puas (rendah dan sangat rendah). Dari persamaan regresi (1) yaitu Y = 12,002 + 0,05 X1, dapat diartikan bahwa apabila nilai persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata ditingkatkan sampai optimal atau skor maksimum hipotetik yakni 84 (lihat Tabel 4.8) maka intensi untuk berkunjung kembali ke TNM menjadi 16,202.

Peningkatan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM melalui upaya peningkatan nilai persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata perlu menjadi perhatian pengelola kawasan dalam hal ini Balai TNM dalam usaha untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke kawasan konservasi. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam hasil penelitian sebelumnya bahwa semakin baik persepsi terhadap satu destinasi wisata, maka semakin besar kemungkinan menjadi pilihan utama dari alternatif yang serupa. Oleh karena itu, persepsi citra yang positif terkait dengan intensi kunjungan yang baik, sementara persepsi citra negatif mengurangi keinginan pengunjung untuk berkunjung kembali (Prayag & Hosany, 2014; Selby & Morgan, 1996).

Hasil analisis regresi menunjukkan pengaruh variabel motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM dengan intensi untuk berkunjung kembali menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan. Tingkat kekuatan hubungan antar variabel tersebut tergolong kuat dengan nilai koefisien korelasi 0,694.

Angka koefisien determinasi atau R2 (R Square) motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM sebesar 0,481 atau 48,1%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase sumbangan pengaruh variabel independen (motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM) terhadap variabel dependen (intensi untuk berkunjung kembali ke TNM) sebesar 48,1%. Angka ini menjelaskan bahwa hanya 48,1% sebaran variabel dependen dapat

Page 134: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 123

dijelaskan oleh variabel independen. Sisanya 41,9% tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen atau dapat dijelaskan oleh variabel diluar variabel independen. Pengaruh yang cukup besar dari variabel motivasi pengunjung disebabkan adanya keinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan sebagai kekuatan yang mendasari bangkitnya dan langsung mempengaruhi perilaku pengujung (Gundersen et al., 2015; Beh & Bruyere, 2007).

Motivasi umumnya berkaitan dengan faktor pendorong dan penarik (push and pull factors) yang mempengaruhi perilaku pengunjung. Faktor pendorong terdiri dari konstruksi sosio-psikologis pengunjung yang memengaruhi mereka dengan motivasi mereka sendiri untuk mengunjungi sebuah atraksi atau tujuan wisata (Gundersen et al., 2015). Statistik deskriptif menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan, motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM berada dalam kategori sedang atau cukup sesuai. Distribusi variabel motivasi pengunjung mengindikasikan 76% responden merasa cukup sesuai hingga sangat sesuai dengan kebutuhan mereka untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM.

Hasil analisis regresi untuk hipotesis 2 dengan persamaan Y = 3,452 + 0,15 X2 memiliki nilai korelasi dengan kategori kuat. Persamaan tersebut dapat diartikan bahwa apabila nilai motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata ditingkatkan sampai optimal atau skor maksimum hipotetik yakni 96 (lihat Tabel 4.8) maka intensi untuk berkunjung kembali ke TNM menjadi 17,852. Peningkatan nilai motivasi pengunjung dalam kegiatan ekowisata dapat dilakukan dengan membantu pengunjung untuk mencapai manfaat yang diinginkan (Hasan, 2015; Beh & Bruyere, 2007).

Pengujian hipotesis 3 yaitu ada pengaruh yang positif antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata dan motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM secara bersama-sama dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM, dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil regresi menyimpulkan bahwa hipotesis tersebut ditolak disebabkan nilai p-value variabel persepsi (X1) > 0,05 yang berarti variabel independen tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan dengan intensi untuk berkunjung kembali (Y), dan nilai koefisien regresi yang bernilai negatif menunjukkan hubungan variabel tersebut ke arah negatif, yakni semakin naik persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung (X1) maka semakin turun intensi untuk berkunjung kembali (Y). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa masing-masing variabel independen memberikan pengaruh positif secara individual baik antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM (X1) dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y), maupun motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM (X2) dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y).

Page 135: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

124 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Implikasi pengelolaan ekowisata TNMHasil temuan penelitian menunjukkan bahwa peningkatan persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM mengakibatkan meningkatnya intensi untuk berkunjung kembali ke TNM. Begitu pula halnya dengan peningkatan motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM akan meningkatkan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM. Hal tersebut dapat menjadi perhatian penting dalam upaya pengelolaan ekowisata yang ada di kawasan Taman Nasional Manusela. Terdapat lima indikator yang terdapat dalam instrumen persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung yaitu personil TNM, masyarakat lokal, karakteristik alam, infrastruktur wisata serta informasi dan komunikasi. Sedangkan motivasi pengunjung yang sesuai dalam melakukan kegiatan ekowisata di TNM adalah motivasi lingkungan dan petualangan.

Indikator personil TNM berkaitan dengan aspek pelayanan yang diberikan oleh staf atau pengelola ekowisata yang berhadapan lansung dengan pengunjung. Pelayanan yang diberikan terkait dengan kecepatan, keramahan dan pemberian informasi tentang konservasi yang dibutuhkan oleh pengunjung. Secara umum penilaian responden terhadap indikator ini termasuk dalam kategosri sedang atau cukup puas. Kondisi tersebut dapat lebih ditingkatkan agar pelayanan yang diberikan dapat lebih maksimal, seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk berekowisata. Staf yang melayani pengunjung harus berempati dan terlatih, sehingga mereka dapat merespon secara memuaskan harapan yang meningkat terkait pelayanan dan penanganan pengaduan (Lai et al., 2010). Hal ini diperlukan karena dalam ekowisata di kawasan konservasi, kualitas pelayanan memiliki pengaruh terhadap tingkat kunjungan secara berkelanjutan (Razak, 2017).

Keterlibatan masyarakal lokal dalam kegiataan ekowisata merupakan salah satu kunci keberlanjutan kegiatan ekowisata di kawasan konservasi (Razak, 2017; Hijriati & Mardiana, 2014; Fandeli & Nurdin, 2005). Keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata di Taman Nasional Manusela diantaranya terlibat dalam kegiatan perencanaan pengembangan objek daya tarik wisata alam (ODTWA) di TNM, turut terlibat dalam pengembangan dan penyiapan produk ODTWA dan budaya lokal, terlibat dalam kegiatan pengelolaan ekowisata sebagai pelaku usaha ekowisata, memonitoring kelestarian flora fauna dalam kawasan dan turut menikmati manfaat ekowisata dalam bentuk tambahan ekonomi (Latupapua, 2015). Aspek keramahan dan pelayanan masyarakat, pelaksanaan adat istiadat dan tradisi masyarakat lokal disekitar kawasan taman nasional secara umum penilaian responden merasa cukup puas dengan kondisi tersebut. Hal ini perlu untuk terus dijaga dan ditingkatkan karena pengalaman pengunjung berinteraksi dengan masyarakat lokal dan budayanya

Page 136: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 125

menjadi peluang untuk mendorong masyarakat lokal agar terus mempertahankan dan mengkonservasi atau memulihkan warisan budaya daerah (Fandeli & Nurdin, 2005). Hal tersebut juga menjadi salah satu aspek yang terdapat dalam motivasi petualangan yaitu pengunjung ingin melihat budaya masyarakat asli Pulau Seram. Sehingga melalui kegiatan ekowisata diharapkan dapat mempengaruhi perilaku dan memunculkan pemikiran konservasi pada wisatawan yang berkunjung (Razak, 2017). Disamping itu, kegiatan ekowisata memberikan kompensasi pendapatan yang lebih tinggi pada mata pencaharian masyarakat lokal disebabkan oleh meningkatnya kunjungan wisata. Dampak positif tersebut menjadikan masyarakat memiliki kesadaran dan keterlibatan yang tingi dalam upaya konservasi lingkungan (Jalani, 2012).

Karakteristik alam yang ada di kawasan Taman Nasional Manusela merupakan daya tarik utama bagi pengunjung dalam melakukan kegiatan ekowisata. Keanekaragaman flora fauna khas wallacea di kawasan ini menjadi salah satu motivasi petualangan pengunjung dalam melakukan kegiatan ekowisata yaitu untuk mengamati satwa dan tumbuhan endemik Pulau Seram. Untuk melestarikan dan meminimalkan dampak dari kegiatan wisata, kegiatan pengamatan dapat diarahkan pada jalur-jalur pengamatan yang telah ditentukan dan didampingi oleh petugas atau masyarakat selaku guide atau pemandu di lapangan. Selain itu, pemberian informasi sebagai upaya pendidikan konservasi bagi pengunjung oleh petugas TNM perlu didukung oleh semua stakeholder dalam upaya pengembangan ekowisata yang berorientasi pada peningkatan konservasi kawasan (Latupapua, 2015).

D. Kesimpulan dan Saran

Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh positif antara persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam melakukan kegiatan ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM dengan persamaan regresi Y = 12,002 + 0,05 X1. Statistik deskriptif menunjukkan bahwa pada saat penelitian dilakukan persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM berada dalam kategori sedang atau cukup sesuai. Terdapat pengaruh positif antara motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM dengan persamaan regresi Y = 3,452 + 0,15 X2. Motivasi pengunjung yang sesuai untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM yaitu motivasi lingkungan dan petualangan. Masing-masing variabel independen yaitu persepsi terhadap komponen kepuasan pengunjung dalam kegiatan ekowisata di TNM (X1) dan motivasi pengunjung untuk melakukan kegiatan ekowisata di TNM (X2) memberikan pengaruh positif secara parsial dengan intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y). Sedangkan secara bersama-sama atau simultan, variabel X1 tidak memberikan pengaruh terhadap intensi untuk berkunjung kembali ke TNM (Y).

Page 137: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

126 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 138: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN AIR TANAH BERDASARKAN ANALISIS NERACA AIR TANAH (STUDI KASUS DAS NGARAWAN, KABUPATEN BELITUNG TIMUR)

Nama : Novis Ezuar

Instansi : Pemkab Belitung Timur

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 139: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

128 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air tanah pada suatu wilayah sebaiknya selalu terjaga, terutama bila air tanah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kawasan permukiman dan peningkatan kebutuhan air di DAS Ngarawan, yang berada di pusat pemerintahan Kabupaten Belitung Timur, dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan air tanah.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui neraca air tanah saat ini dan yang akan datang untuk merumuskan strategi pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan. Metode penelitian menggunakan metode campuran sekuensial eksplanatori, analisis kuantitatif digunakan dalam perhitungan neraca air tanah dan pendekatan kualitatif dipakai dalam merumuskan kebijakan strategi dengan menggunakan analisis SWOT.

Dari analisis tersebut diketahui kondisi neraca air tanah di DAS Ngarawan masih surplus, dengan selisih antara pengisian dan pengambilan air tanah sebesar 11.534.948,80 m3 pada tahun 2016 dan pada tahun 2034 terus berkurang menjadi sebesar 7.151.974,55 m3. Neraca air tanah akan mengalami defisit apabila tidak dilakukan pengelolaan air tanah. Pengelolaan air tanah dilaksanakan dengan prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah. Prioritas strategi pengelolaan air tanah adalah pemanfaatan air hujan, menjaga kuantitas dan kualitas hutan, dan pembinaan kepada kegiatan pertambangan yang merusak sumber daya air.

Kata kunci: Das Ngarawan, Neraca Air Tanah, Pengelolaan Air Tanah, Penggunaan Lahan.

Page 140: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 129

ABSTRACT

The balance between availability and needs of groundwater in an area should always be maintained, especially if groundwater is widely used by the community to meet their clean water needs. The changes in land use from forests to residential areas and the increasing water demand in the Ngarawan Watershed, which is in the center of the East Belitung regency administration, is feared to disrupt the balance of groundwater.

The purpose of this study was to find out the current and future groundwater balance to formulate a groundwater management strategy in the Ngarawan Watershed. The research method used explanatory sequential mixed methods, quantitative analysis was used in the calculation of the groundwater balance and a qualitative approach was used in formulating strategic policies using SWOT analysis.

From this analysis, it was known that the condition of the ground water balance in the Ngarawan Watershed was still at surplus, with the difference between the filling and extraction of groundwater of 11,534,948.80 m3 in 2016 and in 2034 it continued to decrease to 7,151,974.55 m3. The ground water balance would experience a deficit if groundwater management was not carried out. Groundwater management was carried out with the principle of balance between conservation and utilization of groundwater. The priority of groundwater management strategies was the utilization of rainwater, maintaining the quantity and quality of forests, and fostering mining activities that damage water resources.

Keywords: Ground Water Balance, Groundwater Management, Land Use, Ngarawan Watershed

Page 141: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

130 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN STRATEGI PENGELOLAAN AIR TANAH BERDASARKAN ANALISIS NERACA AIR TANAH (STUDI

KASUS DAS NGARAWAN, KABUPATEN BELITUNG TIMUR)

A. Latar Belakang

Intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah dangkal adalah salah satu bentuk pencemaran air asin ke dalam lapisan air tanah dangkal. Air tanah yang terintrusi air asin ini mempunyai rasa yang payau atau bahkan asin, sehingga tidak dapat diminum kecuali melewati proses pengolahan. Lapisan air tanah yang sudah terlanjur terintrusi air asin sangat sulit dibersihkan sampai menjadi tawar, karena dibutuhkan teknologi tinggi yang sangat mahal untuk melakukannya. Salah satu wilayah yang air tanahnya sudah tercemar oleh intrusi air laut adalah bagian utara Jakarta (Tempo Online, 2014).

Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang terintegrasi atau terpadu untuk menghindari resiko kelangkaan air bagi kehidupan sekarang maupun generasi berikut. Pengelolaan sumberdaya air yang benar merupakan tantangan manusia agar setiap generasi dapat mewariskan sumberdaya air yang mencukupi baik kualitas maupun kuantitas kepada generasi berikutnya. Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumberdaya alam adalah menciptakan untuk selanjutnya mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan keterlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak, 2014).

Penelitian sebelumnya untuk kebijakan pengelolaan air tanah telah banyak dilakukan beberapa tempat di Indonesia, namun karakteristik lahan, litologi batuan, dan morfologinya berbeda dengan DAS Ngarawan yang berada di Pulau Belitung dengan luas wilayah pulau yang hanya ± 4.681,76 km2. Kajian terhadap potensi sumber daya air tanah, sudah pernah dilakukan pada beberapa daerah di Pulau Belitung (Sukrisna, 2004; Haryanto, A. & Iskandar, K.H., 2011; Safitri. dkk, 2016; Narulita, 2017). Penelitian analisis neraca air tanah berdasarkan data iklim dan karakterisitik lahan pada suatu wilayah juga sudah dilakukan oleh Batelaan dkk (2003); Hendarmawan dkk (2004); Cristianingsih dan Ariastita (2012); dan, Bonita dan Mardyanto (2015), namun belum ada penelitian terhadap kebijakan pengelolaan dan analisis neraca air tanah di DAS Ngarawan.

Pengelolaan air tanah diperlukan untuk menjamin ketersediaan air tanah secara berkelanjutan (sustainable) baik jumlah maupun mutunya, untuk pemanfaatannya bagi semua pengguna sesuai peruntukannya, dalam kerangka waktu yang telah ditetapkan. Sehingga tanpa adanya penelitian ini, dikhawatirkan pada masa yang akan datang

Page 142: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 131

daerah ini akan kekurangan sumber daya air tanah, yang juga akan berdampak terhadap lingkungan.

Menindaklanjuti permasalahan air tanah tersebut maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti strategi pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan berdasarkan analisis neraca air tanah, dalam rangka pengendalian pembangunan secara dini dengan memperhatikan aspek lingkungan air tanah yang berdasarkan atas asas pemanfaatan, keseimbangan, dan kelestarian sumberdaya air tanah, sehingga peranan air tanah terjamin keberlanjutan, kemanfaatan dan keterdapatannya untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan yang akan diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Berapa besar selisih antara pengisian dan pengambilan air tanah di DAS Ngarawan, Kabupaten Belitung Timur.

2. Bagaimana strategi pengelolaan air tanah DAS Ngarawan, Kabupaten Belitung Timur.

Penelitian ini dilaksanakan di daerah aliran sungai (DAS) Ngarawan, Kabupaten Belitung Timur, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi penelitian ini dipilih, karena DAS Ngarawan walaupun secara luas lebih kecil dibandingkan dengan DAS lainnya di Pulau Belitung, tapi DAS ini berada di pusat pemerintahan Kabupaten Belitung Timur. Oleh karena itu keberadaan DAS Ngarawan ini di Pulau Belitung cukup penting.

Dikarenakan posisinya tersebut, maka saat ini pertumbuhan pembangunan fasilitas pemerintahan dan sosial ekonomi, serta pertumbuhan penduduk di DAS ini berkembang dengan pesat (BPS, 2017). Sementara itu air tanah digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersih, sehingga dengan pertumbuhan tersebut akan membutuhkan sumber daya air tanah yang semakin lama semakin besar. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada kondisi ketersediaan air tanah yang ada di DAS ini.

Selain itu daerah ini merupakan tempat domisili peneliti, sehingga akan memudahkan peneliti dalam mengambil data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Penelitian ini difokuskan untuk melakukan kajian keseimbangan antara pengisian dan pengambilan air tanah (neraca air tanah) di daerah aliran sungai (DAS) Ngarawan.

Page 143: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

132 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pengisian (imbuhan) air tanah pada penelitian ini dihitung berdasarkan jumlah air hujan yang masuk dan terserap ke dalam tanah (imbuhan), sedangkan pengambilan air tanah akan menghitung kebutuhan air tanah saat ini berdasarkan konsumsi rata-rata air per orang per hari dan konsumsi air untuk fasilitas sosial ekonomi, serta proyeksi kebutuhan untuk beberapa tahun yang akan datang. Selanjutnya hasil kajian tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis SWOT untuk merumuskan strategi kebijakan pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Strategi Pengelolaan Air Tanah

Pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan harus segera dilakukan, walaupun pada pembahasan sebelumnya neraca air tanah tahunan saat ini dan beberapa tahun yang akan datang masih surplus, namun selisih antara pengisian dan penggunaan air tanah akan terus menurun apabila tidak ada tindakan atau pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan. Pengisian air tanah dalam di DAS Ngarawan juga diduga relatif sedikit, karena sebagian besar DAS Ngarawan dan juga Pulau Belitung pada umumnya, tersusun oleh batuan malihan Formasi Kelapa Kampit yang kelulusannya sangat kecil (Baharuddin dan Sidarto, 1995; Narulita, 2017).

Oleh karena itu, air tanah pada DAS Ngarawan lebih banyak tersimpan dalam bentuk air tanah dangkal, yang rentan terhadap pencemaran dan keberadaannya sangat dipengaruhi oleh iklim (Putranto dan Kusuma, 2009). Hal ini berakibat pada musim kemarau sering terjadi masalah kekurangan air bersih di Pulau Belitung (Haryanto dan Iskandar, 2011), karena turunnya muka air tanah pada sumur-sumur masyarakat.

Berdasarkan hasil wawancara, pada bulan-bulan tertentu (musim kemarau) memang terjadi defisit air tanah, berupa penurunan muka air tanah. Bila dilihat dari data curah hujan, rata-rata pada bulan Juli, Agustus, September, curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi. Sementara kuantitas penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air bersih tetap, bahkan cenderung meningkat, sehingga diduga neraca air tanah pada bulan-bulan tersebut akan defisit.

Pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota, juga akan membuat perubahan penggunaan/tutupan lahan, sehingga akan mengganggu keseimbangan siklus air, seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II. Oleh karena itu strategi pengelolaan air tanah harus diselenggarakan dengan berlandaskan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan air tanah, sehingga

Page 144: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 133

tercipta keberlanjutan pemanfaatan air tanah. Perumusan strategi pengelolaan yang sesuai dengan keadaan kondisi air tanah di DAS Ngarawan dirumuskan melalui analisis SWOT.

2. Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal

Berdasarkan hasil wawancara dengan para pihak yang terlibat dalam pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, pengamatan langsung ke lapangan, serta analisis pada pembahasan sebelumnya, telah diidentifikasi beberapa faktor yang dapat mendorong dan menghambat terwujudnya kegiatan konservasi air tanah.

Faktor-faktor pendorong tersebut dikategorikan sebagai unsur kekuatan dan peluang, sedangkan faktor penghambat dikategorikan sebagai unsur kelemahan dan ancaman. Selanjutnya agar faktor-faktor tersebut dapat dianalisis secara sistematis dalam rangka merumuskan upaya-upaya yang harus dilakukan, maka digunakan analisis SWOT.

Dengan menggunakan analisis SWOT, faktor-faktor pendorong dan faktor penghambat tersebut dikelompokkan sebagai faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) dalam kegiatan pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan.

a. Kekuatan (Strengths)

Berdasarkan uraian, dapat diidentifikasi beberapa faktor kekuatan dalam pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, antara lain:

• Neraca air tanah tahunan di DAS Ngarawan saat ini masih surplus.

• Curah hujan tahunan di DAS Ngarawan cukup tinggi.

• Tutupan lahan berupa hutan saat ini ± 46 % dari luas DAS.

• Adanya cekungan air tanah (CAT) Manggar di DAS Ngarawan.

b. Kelemahan (Weaknesses)

Berdasarkan uraian, dapat diidentifikasi beberapa faktor kelemahan dalam pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, antara lain:

• Pemerintah kabupaten tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan air tanah.

• Minimnya pengetahuan pemangku kepentingan dan masyarakat tentang pengelolaan air tanah.

• Lemahnya pengawasan pada sektor air tanah.

Page 145: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

134 Direktori Mini Tesis-Disertasi

• Sebagian besar wilayah DAS Ngarawan merupakan akuifer dengan produktivitas kecil.

c. Peluang (Opportunities)

Berdasarkan uraian, dapat diidentifikasi beberapa faktor peluang dalam pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, antara lain:

• Adanya kebijakan pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan hutan kota dan kebun raya di DAS Ngarawan.

• Adanya danau bekas pertambangan timah (kolong).

• Potensi peningkatan pendapatan asli daerah.

• Adanya usaha peningkatan Sarana Penyediaan Air Minum (SPAM) yang bersumber dari air permukaan untuk masyarakat oleh pemerintah daerah.

d. Ancaman (Threats)

Berdasarkan uraian, dapat diidentifikasi beberapa faktor ancaman dalam pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, antara lain:

• Meningkatnya kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan pariwisata dimasa yang akan datang.

• Terjadinya alih fungsi lahan sebagai tempat resapan air tanah.

• Kegiatan pertambangan di area Cekungan Air Tanah (CAT) Manggar.

• Menurunnya kualitas air permukaan akibat kegiatan pertambangan.

3. Matriks SWOT Pengelolaan Air Tanah di DAS Ngarawan

Dari faktor-faktor SWOT yang telah diidentifikasi di atas, maka akan ditentukan alternatif strategi pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan melalui matriks SWOT. Matriks SWOT menggambarkan secara jelas mengenai peluang dan ancaman disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan. Strategi yang dapat dirumuskan dari hasil analisis melalui matriks SWOT adalah strategi S-O, strategi S-T, strategi W-O, dan strategi W-T.

Deskripsi dari formulasi strategi analisis SWOT terhadap prospek pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan adalah sebagai berikut:

a. Strategi S-O (Strengths–Opportunities)

• Penetapan hutan kota di Kota Manggar, serta rencana pembangunan Kebun Raya Manggar, yang masuk dalam wilayah DAS Manggar, sangat baik

Page 146: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 135

dalam menjaga daerah resapan air tanah. Namun keterbatasan anggaran di pemerintah daerah, membuat pengelolaan dan pengembangan hutan kota dan kebun raya ini menjadi terhambat. Oleh karena itu peran serta masyarakat sangat penting dalam penyelenggaraan hutan kota, sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.71/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kota. Keterlibatan ini bisa mengedukasi masyarakat bahwa kelestarian hutan akan menjaga keberadaan air tanah disekitarnya. Program ini bisa dengan melibatkan karang taruna setempat atau lembaga swadaya masyarakat. Sehingga tumbuh kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga hutan kota dan kebun raya tersebut. Saat ini di beberapa tempat di Indonesia mulai tumbuh kesadaran masyarakat untuk mengelola hutan di sekitar tempat tinggalnya menjadi hutan wisata. Sistem seperti ini bisa diadopsi oleh pemerintah daerah.

• Sebagai daerah yang memiliki kekayaan sumber daya mineral berupa timah, penambangan di Pulau Belitung sudah dimulai sejak abad ke 17. Sisa dari penambangan tersebut pada saat ini banyak terdapat danau/kolong bekas penambangan timah. Di DAS Ngarawan juga ada beberapa danau/kolong yang harus dijaga keberadaannya, karena bisa dimanfaatkan sebagai kolam retensi penampungan air hujan, sehingga bisa menahan laju aliran permukaan, untuk memberikan waktu kepada air hujan untuk meresap ke dalam tanah.

• c. Penggunaan air tanah untuk sektor usaha di DAS Ngarawan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan kota Manggar. Keadaan tersebut bila tidak diimbangi dengan adanya upaya pengelolaan air tanah, kemungkinan besar akan membuat pemanfaatan dan pengambilan air tanah tidak terkendali, dan akan berkembang terus seiring dengan perkembangan penduduk dan kota. Salah satu penyebab pengguna air tanah terus mengeksploitasi air tanah, karena pengguna air tanah terutama untuk tujuan komersial tidak membayar pajak air tanah. Hal bisa disebabkan karena lemahnya pengawasan terhadap potensi objek pajak. Bila terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan pemanfaatan dan pengambilan air tanah dapat melebihi pengisian air tanah yang ada. Pengelolaan air tanah tentunya tidak lepas dari perlunya anggaran pembiayaan. Oleh karena peran pajak sangat penting bagi upaya pengelolaan air tanah ini. Oleh karena itu pendapatan dari pajak air tanah harus dimaksimalkan, dengan cara sosialisasi dan pengawasan kepada para pengguna air tanah.

Page 147: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

136 Direktori Mini Tesis-Disertasi

b. Strategi S-T (Strengths–Threats)

• Pengembangan program pemanfaatan air hujan (rain water harvesting) bisa dilaksanakan di DAS Ngarawan, karena curah hujan tahunan yang tinggi. Air hasil penampungan air hujan bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari dan menjadi cadangan air pada musim kemarau. Pemanfaatan air hujan juga bisa diwajibkan terhadap bangunan-bangunan pemerintah dan hotel.

• Keberadaan hutan yang masih ada harus dijaga kuantitas dan kualitasnya. Alih fungsi lahan hutan seminimal mungkin harus dihindari. Pertambangan ilegal dan pembalakan liar pada kawasan hutan harus ditindak sesuai aturan, oleh karena itu diperlukan secepatnya penguatan pengawasan di sektor kehutanan. Pengelolaan hutan juga harus melibatkan masyarakat dari mulai tahap perencanaan, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki dan merasakan manfaat hutan secara lingkungan.

• Kegiatan penambangan harus sesuai dengan aturan teknis dan lingkungan, yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor pertambangan, maupun lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk kegiatan pertambangan, dari mulai perencanaan dan pembahasan awal harus memperhatikan kondisi air tanah setempat. Penindakan secara administrasi dan hukum terhadap kegiatan penambangan yang tidak sesuai dengan peraturan harus dilakukan untuk menghindari kerusakan lingkungan yang lebih besar.

c. Strategi W-O (Weaknesses–Opportunities)

• Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan air tanah harus didorong sejak pada tahapan perencanaan, sehingga masyarakat memiliki kesadaran bahwa air tanah adalah sumber daya milik bersama (common property), dan bukannya milik pribadi, walaupun keberadaan sumur atau mata air berada di dalam areal milik sendiri. Oleh karena itu masyarakat juga harus mengelola air tanah sehingga tetap terjaga kuantitas dan kualitasnya.

• Keberadaan danau/kolong bekas penambangan timah yang ada di DAS Ngarawan, juga bisa dijadikan sumber air baku untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat. Peningkatan Sarana Penyediaan Air Minum (SPAM) yang bersumber dari air permukaan oleh pemerintah daerah juga harus terus dilakukan, sehingga bisa mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan air tanah. Inventarisasi danau/kolong yang

Page 148: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 137

bisa digunakan sebagai sumber air baku harus segera dilakukan, untuk kemudian ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat sebagai sumber air baku, sehingga bisa dilakukan pengamanan dan pemeliharaan terhadap sumber air baku tersebut.

• Kajian hidrogeologi secara detail harus dilakukan untuk mengetahui kondisi dan potensi air tanah di DAS Ngarawan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena kota Manggar sebagai ibukota Kabupaten Belitung Timur, berada di DAS ini. Kajian hidrogeologi bisa menjadi acuan dalam pengelolaan air tanah yang meliputi konservasi air tanah, pemakaian air tanah, pengusahaan air tanah, dan pengendalian daya rusak air tanah, serta menjadi dasar penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota Manggar.

d. Strategi W-T (Weaknesses–Threats)

• Dengan terbitnya UU No. 23/2014, kewenangan pemerintah kabupaten memang banyak yang beralih provinsi, namun hal tersebut tidak serta merta membuat pemkab/pemkot tidak boleh melaksanakan kegiatan pengelolaan air tanah. Sesuai dengan tingkat kewenangannya, pemerintah kabupaten tetap dapat melaksanakan kegiatan pemantauan, pembinaan, penyediaan basis data dan sistem informasi, dalam lingkup mendukung provinsi. Oleh karena itu perlu ditingkatkan koordinasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten dalam pengelolaan air tanah.

• Penentuan dan penetapan zona konservasi air tanah di DAS Ngarawan harus segera dilakukan, karena kebutuhan lahan akan terus meningkat, sehingga apabila tidak segera dilakukan penetapan, akan merusak zona konservasi air tanah yang ada. Penetapan zona konservasi air tanah juga bisa menjadi dasar untuk pelaksanaan pengawasan air tanah. Koordinasi lintas sektor perlu dilakukan sehingga zona konservasi air tanah harus masuk dalam RDTR. Penetapan zona konservasi air tanah adalah kewenangan gubernur sesuai dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2017.

• Penyebaran informasi mengenai kondisi dan peraturan terkait dengan pengelolaan air tanah, melalui sosialisasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan juga harus dilakukan. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan air tanah. Selama ini pengelolaan air tanah terutama program atau kegiatan yang terkait dengan konservasi air tanah di Pulau Belitung pada umumnya dan di DAS Ngarawan belum menjadi prioritas, hal

Page 149: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

138 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ini dikarenakan minimnya informasi mengenai kondisi dan potensi air tanah.

4. Strategi Pengelolaan Air Tanah di DAS Ngarawan

Berdasarkan posisi strategi tersebut, upaya pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan adalah strategi diversifikasi, yaitu strategi memanfaatkan kekuatan yang ada untuk mengatasi atau mengurangi ancaman dan menciptakan peluang dimasa yang akan datang (Strengths-Threats/ST), yaitu:

a. Pengembangan program pemanfaatan/pemanenan air hujan (rain water harvesting).

b. b) Menjaga keberadaan kuantitas dan kualitas hutan.

c. Melakukan pembinaan terhadap kegiatan penambangan yang tidak sesuai dengan peraturan.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Besaran selisih antara pengisian dan pengambilan air tanah di DAS Ngarawan adalah sebagai berikut:

a. Tahun 2016 dalam keadaan surplus, dengan potensi pengisian air tanah (groundwater recharge) atau jumlah potensi ketersediaan air tanah (supply) dari air hujan yang jatuh di DAS Ngarawan sebesar 13.473.010,80 m3 /tahun dan pengambilan air tanah untuk kebutuhan domestik dan non domestik pada tahun 2016 sebesar 1.938.062 m3/tahun, sehingga selisih antara pengisian dan pengambilan air tanah di DAS Ngarawan sebesar 11.534.948,80 m3.

b. Proyeksi pada tahun 2034 masih dalam keadaan surplus, dengan potensi pengisian air tanah (groundwater recharge) sebesar 10.571.131,55 m3 /tahun dan pengambilan air tanah untuk kebutuhan domestik dan non domestik pada tahun 2034 sebesar 3.419.157 m3/tahun, sehingga selisih antara pengisian dan pengambilan air tanah di DAS Ngarawan sebesar 7.151.974,55 m3.

c. Penurunan neraca air tanah sebesar 4.382.974,25 m3 dalam kurun waktu 18 tahun (2016-2034) atau sebesar Rp273.935.890.625,00, sehingga setiap tahun secara ekonomi nilai penurunan neraca air tanah tersebut sebesar Rp15.218.660.590,28/tahun.

Page 150: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 139

d. Penurunan nilai neraca air tanah disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan air untuk proyeksi tahun 2034 dan perencanaan tata ruang yang tidak memperhitungkan kondisi resapan air tanah.

2. Strategi pengelolaan air tanah di Pulau Belitung adalah strategi diversifikasi, yaitu strategi untuk mengatasi atau mengurangi ancaman dengan memanfaatkan kekuatan yang ada (Strengths-Threats/ST), yaitu dengan melaksanakan:

a. Pengembangan program pemanfaatan/pemanenan air hujan (rain water harvesting).

b. Perencanaan tata ruang yang harus mempertahankan keberadaan kuantitas dan kualitas hutan.

c. Pembinaan terhadap kegiatan penambangan yang tidak sesuai dengan peraturan dan merusak sumber daya air.

E. Saran

Agar pengelolaan air tanah di DAS Ngarawan, Kabupaten Belitung Timur lebih efektif ke depannya, disarankan untuk:

1. Menetapkan kawasan resapan air di DAS Ngarawan, sebagai kawasan lindung pada daerah imbuhan air tanah, sehingga bisa dimasukkan dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Manggar.

2. Membuat peraturan daerah yang mewajibkan pengguna air tanah dalam skala besar dan hotel, serta himbauan kepada masyarakat, agar melakukan pemanfaatan/pemanenan air hujan untuk menjamin keberlanjutan penggunaan air tanah.

3. Menindaklanjuti Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2012 tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah, yang harus diimplementasikan pada gedung-gedung pemerintahan, BUMN, BUMD dan bangunan komersial.

4. Membuat sumur pantau pada wilayah dengan penggunaan air tanah yang tinggi, agar bisa dilihat fluktuasi naik turunnya muka air tanah, sehingga bisa segera dilakukan pembatasan apabila telah turun mencapai titik tertentu.

5. Meningkatkan kinerja dan produktifitas Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dengan memanfaatkan air permukaan yang ada di dalam DAS dan luar DAS Ngarawan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih domestik dan non domestik.

6. Melakukan kajian lebih lanjut terkait dengan analisis kualitas air tanah, sehingga selain keberlanjutan kuantitas air tanah, keberlanjutan kualitas air tanah di DAS Ngarawan

Page 151: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

140 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 152: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

Nama : Nur Anisa Eka Ariyani

Instansi : Pemkab Rembang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 153: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

142 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) sebagai satu-satunya kawasan konservasi laut yang ada di Provinsi Jawa Tengah menghadapi berbagai penurunan sumber daya alam hayati. Pengelolaan telah dilakukan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam rangka melindungi kawasan dari degradasi. Tujuan penelitian adalah menganalisis faktor–faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif, mengolah data kuesioner dengan bantuan software SPSS untuk menganalisis pengaruh faktor karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan terhadap Implementasi Kebijakan Pengelolaan TNKJ. Pengelolaan TNKJ dilaksanakan dengan kebijakan 3P (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan). Kebijakan perlindungan dilaksanakan melalui kegiatan preemtif, preventif dan represif. Kebijakan pengawetan dilaksanakan melalui pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya serta pemulihan ekosistem. Kebijakan pemanfaatan dilaksanakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam serta pemanfaatan jasa lingkungan dengan wisata alam. Terdapat pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ sebesar 9%. Terdapat pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ sebesar 21,26% dan terdapat pengaruh faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ sebesar 5,95% serta terdapat pengaruh secara bersama-sama ketiga faktor terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ sebesar 66,74%. Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan hendaknya memperhatikan faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan.

Kata kunci: Implementasi Kebijakan; Konservasi; Taman Nasional Karimunjawa

Page 154: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 143

ABSTRACT

The Karimunjawa National Park (TNKJ) as the only marine conservation area in The Central Java Province faces various declination in living natural resources. In order to protect the area from degradation, the Karimunjawa National Park Office has done management on it. This research objective was to analyze the factors that influence the implementation of the TNKJ management policy. The research was carried out with quantitative methods, processing questionnaire data with the help of SPSS software to analyze the influence of program characteristics, resources and policy environment on the Implementation of the TNKJ Management Policy. TNKJ management was carried out with policies of protection, preservation and utilization (known as 3P program). The protection policy was carried out through pre-emptive, preventive and repressive activities. The preservation policy was carried out through the management of plant and animal species and their habitat and the restoration of ecosystems. The utilization policy was carried out through research and development activities in science, education and increasing awareness of nature conservation and the use of environmental services with natural tourism. There is an influence of program characteristics factors on the implementation of the TNKJ management policy by 9%. There was an influence of resource factors on the implementation of the TNKJ management policy of 21.26% and there was an influence of environmental policy factors on the implementation of the TNKJ management policy of 5.95% and there was a joint influence of all three factors on the implementation of the TNKJ management policy of 66.74%. Karimunjawa National Park Office in implementing management policies should pay attention to program characteristics, resource factors and policy environmental factors.

Keywords: Conservation, Karimunjawa National Park, Policy Implementation

Page 155: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

144 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL

KARIMUNJAWA

A. Latar Belakang

Implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa perlu ditingkatkan demi terjaganya sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan kawasan perlu dianalisis, supaya kegiatan konservasi dapat terlaksana dengan baik sehingga bermanfaat untuk lingkungan dan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan akan diteliti berdasarkan penelitian yang telah ada dan disesuaikan menurut kondisi Taman Nasional Karimunjawa. Faktor pertama yang perlu diteliti adalah sifat dan kemampuan program seperti yang telah dikemukakan oleh Chan, E. H. W dan Hou.J, (2015) sebagai karakteristik program. Program pengelolaan ini penting, karena program inilah yang akan menjelma sebagai kegiatan konservasi setiap tahun. Selanjutnya faktor yang kedua adalah sumber daya dan faktor yang ketiga adalah lingkungan kebijakan. Analisis terhadap ketiga faktor tersebut penting demi implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Kondisi lingkungan di Taman Nasional Karimunjawa mengalami beberapa penurunan/kerusakan. Hal ini memberikan indikasi bahwa implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dalam kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari (3P) kurang optimal. Implementasi kebijakan sebagai salah satu tahapan yang penting dari proses kebijakan publik perlu ditingkatkan dalam pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Subarsono (2005) menerangkan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor, bukan hanya banyaknya aktor (unit organisasi) yang terlibat tetapi juga proses implementasi memuat berbagai variabel yang kompleks. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Karakteristik program sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

2. Sumber daya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

Page 156: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 145

3. Lingkungan kebijakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

4. Karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan secara bersama-sama perlu dianalisis dalam implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka terdapat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa?

2. Apakah terdapat pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa?

3. Apakah terdapat pengaruh faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa?

4. Apakah terdapat pengaruh secara bersama-sama faktor karakteristik program, sumber daya, dan lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa?

Lokasi Penelitian adalah Kawasan Taman Nasional Karimunjawa sebagai satu-satunya taman nasional laut di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan dari bulan yakni dari Oktober sampai dengan November tahun 2017. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis pengaruh faktor karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan serta pengaruh bersama ketiga faktor tersebut terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Dalam penelitian ini dilakukan pula pendekatan kualitatif tetapi hanya berfungsi untuk memperkaya hasil penelitian. Fokus dalam penelitian ini terbatas pada proses implementasi program 3P (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan) di Taman Nasional Karimunjawa sesuai Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 jo PP No 108 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Page 157: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

146 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (15,6%) dan apabila karakteristik program cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (13,33%) sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik karakteristik program pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa, maka kecenderungan implementasi kebijakan pengelolaan akan lebih baik pula. Meski demikian, didapatkan pula hasil bahwa walaupun karakteristik program cukup baik, implementasi masuk dalam kategori baik (20,00%) dan walaupun karakteristik program baik, implementasi masuk dalam kategori sangat baik (11,10%).

Nilai koefisien korelasi sebesar 0,300 dan nilai signifikansi 0,013 < 0,05. Hasil ini memberikan gambaran adanya pengaruh karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa (Ho ditolak H1 diterima). Uji signifikansi korelasi dilakukan dengan membandingkan Zhitung dengan Ztabel. Dari tabel 64 didapat Zhitung = 2,489, harga Ztabel untuk tingkat kebenaran 95% adalah 1,96 sehingga diketahui bahwa Zhitung > Z tabel (2,489 > 1,96). Artinya terdapat pengaruh yang signifikan faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Hal ini mendukung hasil penelitian Chan, E. H. W., & Hou, J. (2015) yang menyatakan bahwa program characteristic memiliki peranan yang penting dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Berdasarkan nilai koefisien korelasi 0,300 maka tingkat hubungan karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan masuk dalam kategori rendah. Artinya terdapat pengaruh yang rendah antara karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan. Untuk melihat besarnya pengaruh variabel karakteristik program digunakan rumus koefisien determinasi, dalam hal ini nilainya adalah (0,300)2 x 100% = 9%, ini berarti pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sebesar 9% dan sisanya 91 % ditentukan oleh faktor lain.

Hasil penelitian yang menyatakan rendahnya pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dikarenakan BTNKJ merupakan Unit Pelaksana Teknis yang melaksanakan kebijakan sesuai dengan peraturan yang diatasnya.

Page 158: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 147

Rencana kerja setiap tahun disusun sesuai kebutuhan Taman Nasional Karimunjawa dan disesuaikan dengan RPTN dan Renstra. Setiap rencana kegiatan memiliki metode, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis.

2. Pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Sumber daya manusia, dana dan waktu pelaksanaan kegiatan mempengaruhi implementasi kegiatan konservasi. Pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dianalisis crosstab dalam SPSS.

Apabila sumber daya cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (20,00%) dan apabila sumber daya baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (15,56%) sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik sumber daya untuk melakukan kegiatan pengelolaan, maka kecenderungan implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa akan baik pula. Meski demikian, didapatkan pula hasil bahwa walaupun sumber daya hanya dalam kategori cukup memadai, implementasi bisa dalam kategori baik (17,78%) dan walaupun sumber daya dalam kategori baik, implementasi kebijakan bisa dalam kategori sangat baik (11,11%).

Nilai koefisien korelasi sebesar 0,465 dan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Hasil ini memberikan gambaran adanya pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa (Ho ditolak H1 diterima). Uji signifikansi korelasi dilakukan dengan membandingkan Zhitung dengan Ztabel. Dari tabel 69 didapat Zhitung = 4,000, harga Z tabel untuk tingkat kebenaran 95% adalah 1,96 sehingga diketahui bahwa Zhitung > Z tabel (4,000 > 1,96). Artinya terdapat pengaruh yang signifikan faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Hal ini mendukung hasil penelitian dari Van Meter dan Van Horn Juga Edwards III, yang menyatakan bahwa sumber daya memegang peranan yang penting atas suksesnya suatu implementasi.

Berdasarkan nilai koefisien korelasi 0,465 maka tingkat hubungan sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan masuk dalam kategori sedang. Artinya terdapat pengaruh yang sedang antara sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan. Untuk melihat besarnya pengaruh faktor sumber daya digunakan rumus koefisien determinasi, dalam hal ini nilainya adalah (0,465)2 x 100% = 21,62%, ini berarti pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sebesar 21,62% dan

Page 159: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

148 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sisanya 78,38% ditentukan oleh faktor lain. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan pegawai yang memiliki kemampuan dan mencukupi dalam jumlah dan fungsi, ketersediaan dana dan waktu pelaksanaan maka implementasi dapat berhasil baik. Pegawai BTNKJ sebagai sumber daya manusia memegang peranan penting sesuai dengan apa yang dikemukakan Donal S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dalam AG Subarsono (2005).

3. Pengaruh faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Lingkungan kebijakan yang menurut beberapa penelitian sebelumnya mempengaruhi implementasi, dalam penelitian ini akan diukur pengaruh masyarakat, instansi terkait dan pihak luar terhadap implementasi kebijakan dalam kawasan konservasi. Apabila lingkungan kebijakan cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (13,33%) dan apabila lingkungan kebijakan baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (11,11%). Sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik dukungan lingkungan kebijakan maka kecenderungan implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa akan baik pula. Meski demikian, didapatkan pula hasil bahwa walaupun dukungan lingkungan kebijakan hanya dalam kategori kurang baik, implementasi kebijakan bisa masuk kategori baik (13,33%). Kemudian yang kedua adalah apabila dukungan lingkungan kebijakan cukup baik, maka implementasi kebijakan masuk kategori baik (13,33%).

4. Pengaruh faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan secara bersama - sama terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Koefisien korkondansi Kendall’s sebesar 0,817, maka tingkat hubungan ketiga faktor secara bersama-sama terhadap implementasi kebijakan pengelolaan masuk dalam kategori sangat kuat. Artinya terdapat pengaruh yang sangat kuat ketiga faktor secara bersama-sama terhadap implementasi kebijakan pengelolaan. Nilai ini diuji kebenarannya dengan nilai Chi-Square dengan signifikansi 95%, dan didapat nilai Chi-Square tabel sebesar 5,99. Nilai Chi-Square menurut hasil perhitungan adalah 110,250 > nilai Chi-Square tabel 5,99, artinya terdapat pengaruh secara bersama-sama ketiga variabel faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa. Untuk melihat besarnya pengaruh secara bersama-sama ketiga variabel digunakan rumus koefisien determinasi, dalam hal ini nilainya adalah (0,817)2 x 100% = 66,74% Artinya pengaruh secara bersama-sama ketiga

Page 160: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 149

variabel (faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan) terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah 66,74% sedangkan 33,25% lainnya disebabkan oleh variabel lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini. dapat dikatakan bahwa walaupun pengaruh masing-masing faktor rendah – sedang tetapi pengaruh bersama-sama faktor karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sangat kuat. Jadi apabila BTNKJ mendapat dukungan yang baik dari ketiga faktor tersebut secara bersama-sama maka implementasi kebijakan pengelolaan akan berhasil lebih baik.

D. Kesimpulan

Pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa melalui kebijakan 3P (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari) dilaksanakan oleh Balai Taman Nasional Karimunjawa sesuai dengan peraturan perundangan dan dokumen pelaksanaan (RPTN, Renstra, Renja dan RPK). Program perlindungan sistem penyangga kehidupan dilaksanakan dengan kegiatan preemtif, preventif dan represif. Program pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya serta pemulihan ekosistem. Dan program pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya dilaksanakan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam serta pemanfaatan jasa lingkungan dengan wisata alam. Berdasarkan jawaban responden, implementasi kebijakan pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa baik. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pengelolaan di TNKJ adalah sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dalam kategori rendah (koefisien korelasi 0,30). Artinya terdapat pengaruh yang rendah antara karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Nilai koefisien determinasi adalah sebesar (0,3)2 x 100% = 9%, yang artinya pengaruh faktor karakteristik program terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah 9% dan sisanya 91 % ditentukan oleh faktor lain. Analisis dengan bantuan software SPSS didapatkan hasil apabila karakteristik program baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (15,6%) dan apabila karakteristik program cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (13,33%) sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik karakteristik program pengelolaan kawasan Taman Nasional Karimunjawa, maka kecenderungan implementasi kebijakan

Page 161: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

150 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pengelolaan akan semakin baik pula. Dengan peningkatan implementasi kebijakan pengelolaan diharapkan kualitas lingkungan Taman Nasional Karimunjawa lebih terjaga.

2. Terdapat pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dalam kategori sedang (koefisien korelasi 0,465). Artinya terdapat pengaruh yang sedang antara sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Nilai koefisien determinasi adalah sebesar (0,465)2 x 100% = 21,62%, yang artinya pengaruh faktor sumber daya terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sebesar 21,62% dan sisanya 78,38% ditentukan oleh faktor lain. Analisis dengan bantuan software SPSS didapatkan hasil apabila sumber daya cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (20,00%) dan apabila sumber daya baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (15,56%) sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik sumber daya untuk melakukan kegiatan pengelolaan, maka kecenderungan implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa akan baik pula. Dengan peningkatan implementasi kebijakan pengelolaan diharapkan mampu menjamin keutuhan lingkungan hidup di Taman Nasional Karimunjawa.

3. Terdapat pengaruh faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dalam kategori rendah (koefisien korelasi 0,244). Artinya terdapat pengaruh yang rendah antara lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Nilai koefisien determinasi adalah sebesar (0,244)2 x 100% = 5,95%, ini berarti pengaruh faktor lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sebesar 5,95% dan sisanya 94,04% ditentukan oleh faktor lain. Analisis dengan bantuan software SPSS didapatkan hasil apabila lingkungan kebijakan cukup baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga cukup baik (13,33%) dan apabila lingkungan kebijakan baik, maka implementasi kebijakan pengelolaan juga baik (11,11%). Sehingga ada kecenderungan yang positif bahwa semakin baik dukungan lingkungan kebijakan maka kecenderungan implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa akan baik pula. Dengan peningkatan implementasi kebijakan pengelolaan di Taman Nasional Karimunjawa diharapkan akan tercapai keselamatan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

4. Terdapat Pengaruh secara bersama-sama ketiga variabel (faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan) terhadap keberhasilan implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa

Page 162: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 151

masuk dalam kategori sangat kuat dengan koefisien korkondansi Kendall’s sebesar 0,817. Artinya terdapat pengaruh yang sangat kuat ketiga faktor secara bersama-sama terhadap implementasi kebijakan pengelolaan TNKJ. Nilai koefisien determinasi adalah sebesar (0,817)2 x 100% = 66,74%, yang artinya pengaruh secara bersama-sama ketiga variabel (faktor karakteristik program, faktor sumber daya dan faktor lingkungan kebijakan) terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah 66,74% sedangkan 33,25% lainnya disebabkan oleh variabel lainnya yang tidak dibahas dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa walaupun pengaruh masing-masing faktor rendah – sedang tetapi pengaruh bersama-sama faktor karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan terhadap implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa adalah sangat kuat. Jadi apabila BTNKJ mendapat dukungan yang baik dari ketiga faktor tersebut secara bersama-sama maka implementasi kebijakan pengelolaan akan lebih baik dan fungsi Taman Nasional Karimunjawa sebagai kawasan konservasi dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup akan tercapai.

E. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka saran yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut:

1. Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan kawasan hendaknya memperhatikan faktor karakteristik program. Program yang sesuai dengan tujuan pengelolaan, bermanfaat untuk masyarakat sekitar, sederhana metode pelaksanaannya dan sesuai dengan kondisi kawasan akan memberikan hasil (output) yang lebih baik dalam melindungi Taman Nasional Karimunjawa dari degradasi sehingga kualitas lingkungan lebih terjaga.

2. Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan kawasan hendaknya memperhatikan faktor sumber daya. Peningkatan kemampuan implementor melalui bintek tentang konservasi sebaiknya lebih sering dilakukan. Ketersediaan dana untuk kegiatan konservasi sebaiknya tidak hanya mengandalkan dari APBN tetapi dapat diusahakan dari pihak lain. Dengan sumber daya yang memadai, kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa diharapkan dapat diimplementasikan dengan lebih baik yang pada akhirnya mampu menjamin keutuhan lingkungan hidup baik sumber daya alam hayati maupun ekosistemnya.

Page 163: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

152 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan kawasan hendaknya memperhatikan faktor lingkungan kebijakan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya konservasi, koordinasi dengan Pemda Jepara dan Pemprov Jawa Tengah, sosialisasi tentang pentingnya ecotourism kepada pelaku wisata perlu terus ditingkatkan supaya implementasi kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa mendapat dukungan para pihak dan lebih baik pelaksanaannya demi menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

4. Balai Taman Nasional Karimunjawa dalam melaksanakan kebijakan pengelolaan kawasan hendaknya memperhatikan faktor karakteristik program, sumber daya dan lingkungan kebijakan secara bersama-sama. Dengan karakteristik program yang baik, sumber daya yang memadai dan dukungan dari lingkungan kebijakan diharapkan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa dapat diimplementasikan dengan lebih baik dan fungsi kawasan ini sebagai daerah perlindungan untuk lingkungan hidup dapat tercapai.

Page 164: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

EVALUASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. DINAR KALIMANTAN COAL TERHADAP SOSIAL, EKONOMI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITAR AREA PERTAMBANGAN

Nama : Rizki

Instansi : Pemkab Sarolangun

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 165: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

154 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Dalam rangka mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif kegiatan usaha pertambangan batu bara, tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekadar kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit demi kelangsungan usaha, melainkan juga tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan, yang dilakukan dalam Program CSR. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan pertambangan batu bara PT. Dinar Kalimantan Coal terhadap sosial ekonomi dan lingkungan masyarakat dengan melakukan analisis keberhasilan program CSR dan analisis kepuasan masyarakat terhadap program CSR di Desa Pemusiran, Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitiannya adalah kuantitatif yaitu melakukan perbandingan antara rencana dengan realisasi program CSR dan menghitung tingkat kepuasan masyarakat terhadap kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Evaluasi dari penelitian ini adalah Sustainable Livelihood Impact Assessment (SLIA) yang merupakan pendekatan komprehensif untuk mengatasi kendala paling mendesak yang dihadapi masyarakat melalui lima aset yang dipertanggungkan untuk kelangsungan hidup, yaitu modal alam, modal sosial, modal fisik, modal manusia, modal finansial dan modal sosial. Responden dari penelitian ini adalah 93 responden yang berasal dari masyarakat yang terdampak kegiatan pertambangan. Hasil penelitian ini adalah persentase pencapaian realisasi anggaran 87 %, sudah di atas ambang batas yang ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kegiatan CSR memberikan pengaruh yang besar karena telah meningkatkan pendapatan masyarakat sebesar 45,59% dari pendapatan sebelum CSR, dan kepuasan masyarakat terhadap kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan cukup baik 70,22% sehingga terwujud keberlanjutan hasil program CSR perusahaan.

Kata kunci : CSR, Pertambangan Batu Bara, Keberlanjutan, SLIA

Page 166: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 155

ABSTRACT

In order to reduce the negative impact, and increase the positive one, of coal mining activities, the corporate is no longer merely responsible in generating profit, but also in maintaining social and environmental responsibility, which is carried out in the CSR Program. This study aimed to evaluate the Corporate Social Responsibility (CSR) program of coal mining company PT. Dinar Kalimantan Coal on socio-economic and environmental conditions of the community by analyzing the success of CSR programs and community satisfaction analysis of CSR programs in Pemusiran Village, Sarolangun District Jambi Province. The approach used in this research was quantitative by doing comparison between the plan and the realization of the CSR program, and then calculate the level of community satisfaction on activities carried out by the company both in terms of economic, social and environmental. The evaluation of this research was Sustainable Livelihood Impact Assessment (SLIA) which was a comprehensive approach to overcome the most pressing obstacles faced by the community through five assets insured for survival, namely natural capital, social capital, physical capital, human capital, financial capital, and social capital. The respondents of this study were 93 respondents who came from communities affected by mining activities. The results of this study were the percentage of achievement of 87% budget realization, which was above the threshold set by the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM). This study also showed that CSR activities had a great influence to community since it increased community income by 45.59% compared to before CSR, and community satisfaction with CSR activities carried out by the company was quite good at 70.22% so that the sustainability of the CSR program was considered realized.

Keywords: Coal Mining, CSR, SLIA, Sustainability

Page 167: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

156 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUASI PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. DINAR KALIMANTAN COAL TERHADAP SOSIAL,

EKONOMI DAN LINGKUNGAN MASYARAKAT SEKITAR AREA PERTAMBANGAN

A. Latar Belakang

Kegiatan operasi produksi pertambangan batu bara akan memberikan dampak negatif dan positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat di sekitar areal pertambangan. Dampak negatif pertambangan bagi masyarakat maupun lingkungan sekitar adalah terjadinya kerusakan lingkungan karena kegiatan pembukaan lahan yang luas, penggalian lubang yang dalam dan pemindahan tanah dalam jumlah besar (Hesperian,2013). Untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif, maka perlu ada komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas (The World Bussiness Council for Sustainable Development (WBCSD), diacu dalam Wibisono, 2007) atau yang disebut dengan Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) tahun 2007.

Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dapat dijelaskan melalui berbagai bentuk aktivitas perusahaan seperti program pembangunan atau pengembangan komunitas, pelayanan masyarakat, dan pemberdayaan komunitas. Beberapa perusahaan besar telah mampu mengembangkan bentuk-bentuk kegiatan CSR-nya dengan baik melalui berbagai macam program. Dalam konsep pengembangan masyarakat, keberhasilan suatu program dapat diukur dari sejauh mana program tersebut telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menggunakan keahlian dari luar yang diperlukan (pendampingan), dan bersifat partisipatif.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan program CSR, dampak CSR terhadap sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat, dan mengetahui keberhasilan program CSR yang dijalankan. Beberapa ahli menjelaskan tentang pengertian CSR, menurut Hopkins (2004), CSR berhubungan dengan upaya perusahaan memperlakukan pemangku kepentingan dari perusahaan secara etis atau bertanggung jawab. Etis atau bertanggung jawab berarti memperlakukan pemangku kepentingan dengan hormat sebagai masyarakat beradab dan berdasarkan ISO 26000 mengartikan CSR sebagai

Page 168: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 157

tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, serta menurut Wahyudi (2008) CSR adalah komitmen perusahaan untuk melaksanakan kewajibannya didasarkan atas keputusan untuk mengambil kebijakan dan tindakan dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingans dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitasnya berlandaskan pada ketentuan hukum yang berlaku.

Pada dasarnya, konsep CSR berasal dari istilah 3P yang dikemukakan oleh John Elkington dalam Wibisono (2007) yakni mengenai Pengintegrasian Konsep 3p (profit, planet, people) dalam Kegiatan Perusahaan yang Berkelanjutan. Kotler & Lee (2005) dalam Mulyadi (2007) menyebutkan definisi CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penerapan praktek bisnis yang baik serta melalui pemberian sumbangan sumberdaya yang dimiliki perusahaan. Pandangan Perusahaan Terhadap CSR menurut Wibisono (2007) menjelaskan bahwa terdapat tiga model cara pandang perusahaan terhadap CSR, yaitu sekadar basa-basi dan keterpaksaan, yaitu pelaksanaan CSR karena faktor eksternal (external driven), sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance), didasarkan atas adanya regulasi, hukum, dan aturan yang memaksanya. Kewajiban perusahaan melaksanakan CSR adalah karena adanya market driven (dorongan pasar/masyarakat dan lingkungan setempat), beyond compliance atau compliance plus, yakni CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven).

Motivasi perusahaan dalam pelaksanaan CSR menurut Susanta (2007) terkait dengan di antaranya menciptakan brand image dan brand reputation, mengatasi krisis manajemen, meningkatkan motivasi karyawan, dan menarik karyawan berkualitas, menciptakan inovasi (perusahaan tidak dapat bertahan tanpa adanya inovasi).

Strategi Pelaksanaan CSR menurut Mulyadi (2007) menjelaskan bahwa terdapat empat model strategi pelaksanaan kedermawanan sebagai upaya tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan, yaitu perusahaan terlibat langsung dan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosialnya tanpa perantara atau bantuan pihak lain, perusahaan menyelenggarakan bantuan melalui yayasan atau organisasi sosial yang umumnya sering diterapkan di negara maju, perusahaan bermitra dengan pihak lain yang dinilai kompeten untuk menyelenggarakan program kedermawanan, perusahaan membentuk atau bergabung dalam satu konsorsium.

Konsep CSR PT. Dinar Kalimantan Coal adalah dengan Pogram-program yang dikembangkan dalam kegiatan corporate social responsibility (CSR) PT DKC Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi berdasarkan laporan CSR tahunan PT DKC adalah bidang ekonomi dan lingkungan, meliputi: budidaya tanaman sengon, budidaya lele, dan

Page 169: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

158 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bantuan sembako; bidang lingkungan meliputi pengadaan sumur bor dan pengobatan gizi buruk dan; bidang sosial dan infrastruktur, meliputi perawatan jalan akses ke kebun warga dan pembangunan madrasah dan bantuan guru madrasah.

Indikator keberhasilan yang dipergunakan untuk mengukur keberhasilan program CSR adalah partisipasi dari seluruh komunitas yang ada dan keberlanjutan pola kehidupan masyarakat yang bersangkutan, meningkatnya jumlah pendapatan masyarakat, dan program yang dimplementasikan sesuai dengan anggaran yang direncanakan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana tingkat keberhasilan pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh PT DKC.

2. Bagaimana dampak ekonomi, sosial dan lingkungan masyarakat sekitar tambang PT DKC setelah dilaksanakan program CSR.

3. Bagaimana tingkat kepuasan masyarakat terhadap program CSR yang dilaksanakan oleh PT DKC

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode survey yang merupakan metode pengumpulan data dengan menggunakan instrumen kuesioner maupun wawancara terstruktur untuk mendapatkan tanggapan dari responden yang menjadi sampel (Sugiyono, 2008), yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan dan mengetahui tingkat kepuasan masyarakat dapat dihitung dari persentase kepuasan masyarakat dari seluruh responden.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dengan pertimbangan lokasi penelitian di Desa Pemusiran Kecamatan Mandiangin merupakan daerah yang dijadikan tempat program CSR perusahaan tahun 2015 dengan jumlah sampling sebanyak 93 orang dari 1240 kepala keluarga sesuai dengan rumus dari Slovin (Umar, 2003).

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari sumbernya, dalam penelitian ini data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada warga sekitar perusahaan dan data sekunder diperoleh dari dokumen Rencana Kerja dan Anggaran biaya (RKAB) CSR PT. Dinar Kalimantan Coal dan Dokumen Laporan Tahunan Realisasi CSR PT. Dinar Kalimantan Coal.

Page 170: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 159

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Keberhasilan program CSR

Keberhasilan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan sudah sangat baik karena pencapaiannya sebesar 87% diatas target yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM sebesar 75% program yang dimplementasikan sesuai dengan anggaran yang direncanakan, dari sektor ekonomi sebesar 81%, sektor sosial dari infrastruktur dan pendidikan yaitu sebesar 93% dan 100% dan dilihat dari faktor lingkungan dan kesehatan sebesar 98%.

Sesuai dengan data di atas maka dapat diketahui bahwa program CSR yang dilakukan oleh PT DKC dikategorikan ke dalam isu pokok pengembangan masyarakat dan lingkungan (ISO 26000). Pandangan perusahaan terhadap kegiatan CSR bidang sosial ini telah termasuk kedalam beyond compliance atau compliance plus, artinya perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan (Wibisono, 2007).

Motivasi program CSR yang dilakukan oleh PT DKC adalah termasuk kedalam menciptakan inovasi artinya pemberdayaan masyarakat juga merupakan inovasi yang dapat diciptakan untuk memperoleh sumber daya yang lebih murah dan efisien (Susanta, 2007). Strategi pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh PT DKC adalah perusahaan terlibat langsung dan perusahaan bermitra dengan pihak lain yang dinilai kompeten untuk menyelenggarakan program (Mulyadi, 2007). Strategi pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan adalah rational-empirical yang didasarkan atas pandangan yang optimistik karena strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional.

2. Analisa Dampak Ekonomi, Sosial dan Lingkungan dengan Metode SLIA

Dampak ekonomi ini terdiri atas dua modal yaitu modal keuangan dan modal manusia. Hasil analisis terhadap modal tersebut adalah:

a. Modal keuangan

Variabel modal keuangan akan terungkap melalui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan pada kuesioner, diperoleh bahwa hasil rata-rata total skor akumulasi jawaban responden mengenai modal keuangan sebesar 3,41 atau 68.26%. Angka tersebut

Page 171: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

160 Direktori Mini Tesis-Disertasi

berada pada interval 68,01 - 84% dan termasuk kedalam kategori baik. Kategori baik ini artinya adalah bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat dan bertambahnya usaha masyarakat setelah ada setelah program CSR dilaksanakan. Hal ini dapat mengetahui bagaimana peran program CSR dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Berdasarkan pendapatan,menunjukkan peningkatan pendapatan sebelum adanya CSR dan setelah adanya CSR. Pada sebelum adanya CSR, sebagian besar penduduk memiliki pendapatan di bawah Rp2.000.000,00 yaitu sebanyak 70,97 % dan terjadi penurunan setelah adanya CSR yaitu penduduk yang berpendapatan di bawah nilai tersebut menjadi 45,16%. Adanya peningkatan penduduk yang berpendapatan Rp2.000.000,00 s.d. Rp4.000.000,00 yang pada mulanya berjumlah 19,35% menjadi 31,18%. Penduduk yang berpendapatan lebih dari Rp5.000.000,00 yang pada mulanya berjumlah 3% menjadi 6%.

b. Modal manusia

Variabel modal manusia akan terungkap melalui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan pada kuesioner hasil rata-rata total skor akumulasi jawaban responden mengenai modal manusia sebesar 3,05 atau 60,90%. Angka tersebut berada pada interval 52,01 - 68% dan termasuk kedalam kategori cukup baik. Kategori cukup baik ini berarti bahwa program CSR berdampak terhadap kesehatan masyarakat, pada umumnya, masyarakat Desa Pemusiran yang berumur diantara 50-60 tahun masih aktif melakukan aktifitas berkebun sawit dan karet, selain karena aktivitas fisik yang sering dilakukan oleh masyarakat yang setiap hari berjalan untuk berkebun juga saat ini didukung dengan lancarnya transportasi menuju tempat pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan dokter umum sesuai dengan teori bahwa Tenaga kerja sebagai aset rumah tangga harus terbebas dari berbagai macam penyakit atau masalah kesehatan yang dapat mengurangi produktivitasnya (Ellis, 2000). Pendidikan masyarakat pun terbantu dengan ada CSR yang membangun madrasah dan menggaji guru madrasahnya sehingga sangat membantu anak-anak untuk sekolah, selain itu masyarakat juga dibekali ketrampilan untuk melakukan budidaya sengon dan budidaya lele sehingga warga masyakat dapat lebih mandiri dalam berusaha di masa depannya. Berdasarkan hasil wawancara bahwa dampak kegiatan CSR dari PT DKC terhadap perekonomian masyarakat sangat besar karena masyarakat yang awalnya belum bekerja atau bekerja serabutan sekarang mempunyai pekerjaan tetap baik pada perkebunan sengon atau pada perikanan lele, dan PT DKC setiap bulan selalu membantu masyarakat tidak mampu

Page 172: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 161

dengan memberikan bantuan sembako yang sangat membantu masyarakat meningkatkan perekonomian keluarganya dan juga saat ini masyarakat sangat terbantu dengan ada program bantuan kesehatan untuk anak yang kurang gizi sampai menjadi sehat dengan program CSR PT DKC.

c. Modal fisik

Variabel modal fisik akan terungkap melalui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan pada kuesioner, diperoleh bahwa hasil rata-rata total skor akumulasi jawaban responden mengenai modal fisik sebesar 3,23 atau 64,62%. Angka tersebut berada pada interval 52,01–68% dan termasuk kedalam kategori cukup baik. Berdasarkan persentase tersebut berarti bahwa program CSR dapat memberi pengaruh yang cukup baik terhadap modal fisik masyarakat. Hal ini dapat meningkatkan prasarana dasar dan fasilitas lain yang dibangun untuk mendukung proses penghidupan masyarakat. Prasarana yang dimaksud meliputi pengembangan lingkungan fisik yang membantu masyarakat dalam melaksanakan tugas kehidupan lebih produktif (DFID, 2001). Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat bahwa program di bidang sosial seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan dan madrasah berdampak positif karena perusahaan memang telah mulai membangun madrasah dari tahun 2014 dan sampai saat ini di lakukan perbaikan dan pembangunan jalan, juga membantu transportasi warga dan transportasi hasil perkebunan, dan pembangunan sumur bor yang sangat bermanfaat untuk warga yang kesulitan air bersih karena air sungai sudah kotor akibat kegiatan pertambangan emas ilegal.

d. Modal sosial

Variabel modal sosial akan terungkap melalui jawaban responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada kuesioner. Diperoleh hasil rata-rata total skor akumulasi jawaban responden mengenai modal sosial sebesar 3,13 atau 62,58%. Angka tersebut berada pada interval 52,01–68% dan termasuk kedalam kategori cukup baik. Kategori cukup baik ini berarti bahwa program CSR berdampak positif karena adanya pelibatan masyarakat dalam kegiatan CSR dan kegiatan CSR ini memang mengurangi konflik di masyarakat karena daerah Mandiangin ini terkenal dengan wilayah yang rawan terjadi perampokan terhadap mobil namun semenjak ada program CSR ini, hal ini jauh berkurang, walau masih ada konflik yang terjadi karena ada derah yang tidak mendapatkan CSR dari perusahaan.

Page 173: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

162 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Dampak lingkungan ini terdiri atas modal alam. Hasil analisis terhadap modal tersebut terungkap melalui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan pada kuesioner. Diperoleh hasil rata-rata total skor akumulasi jawaban responden mengenai modal alam sebesar 2,81 atau 56,18%. Angka tersebut berada pada interval 52.01–68% dan termasuk kedalam kategori cukup baik.

Berdasarkan hasil analisis dari perhitungan kuesioner terhadap kelima variabel tersebut maka di peroleh data bahwa modal manusia 60,90%, modal finansial 68,26%, modal alam 56,18%, modal sosial 62,58% dan modal fisik 64,62%.

Dari data tersebut dan berdasarkan wawancara Program CSR berdampak secara ekonomi meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membantu fakir miskin yang ada di Desa Pemusiran, secara sosial berdampak masyarakat mendapatkan kemudahan dalam pendistribusian hasil perkebunan dan masyarakat mudah memperoleh air bersih, murid Sekolah dapat belajar di madrasah dengan guru yang berkompeten, dan secara lingkungan program CSR dapat membantu proses reklamasi dan revegatasi perusahaan dengan budidaya sengon dan peningkatan kesehatan masyarakat dengan pengobatan gizi buruk serta adanya penyuluhan dan pengobatan gratis.

D. Tingkat kepuasan masyarakat

Analisis tingkat kepuasan masyarakat akan terungkap melalui jawaban responden terhadap pernyataan-pernyataan yang diajukan pada kuesioner. Berdasarkan seluruh data kuesioner tersebut dapat dijelaskan bahwa persentase tingkat kepuasan masyarakat dengan persentase sebesar 70,22% termasuk dalam kategori baik artinya masyarakat merasakan puas atas seluruh program CSR yang dilaksanakan oleh PT DKC mulai dari program di bidang ekonomi dan lingkungan dengan budidaya sengon, budidaya lele dan bantuan sembako, bidang sosial dengan pembangunan infrastruktur jalan dan madrasah, serta program bantuan untuk kesehatan masyarakat dan masyarakat berharap program CSR perusahaan ini dapat berlanjut terus.

E. Kesimpulan dan Saran

Tingkat keberhasilan program CSR yang dilakukan oleh PT DKC adalah 87%, termasuk dalam kategori berhasil sesuai dengan indikator yang di tetapkan oleh Kementerian ESDM Tahun 2010 bahwa 75% program yang diimplementasikan sesuai dengan

Page 174: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 163

anggaran yang direncanakan. Program CSR berdampak secara ekonomi meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membantu fakir miskin yang ada di Desa Pemusiran, secara sosial berdampak masyarakat yang mendapatkan kemudahan dalam pendistribusian hasil perkebunan dan masyarakat mudah memperoleh air bersih, murid Sekolah dapat belajar di madrasah dengan guru yang berkompeten, dan secara lingkungan program CSR dapat membantu proses reklamasi dan revegatasi perusahaan dengan budidaya sengon dan peningkatan kesehatan masyarakat dengan pengobatan gizi buruk serta adanya penyuluhan dan pengobatan gratis. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap keseluruhan program CSR berdasarkan hasil kuesioner dari bidang sosial, ekonomi dan lingkungan adalah baik dengan persentase 70,22%. Agar program CSR dapat berhasil lebih baik lagi dan memberikan dampak positif yang lebih besar kepada masyarakat, maka dapat disarankan agar program CSR harus lebih tertata dengan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah Kabupaten Sarolangun dan pihak Kecamatan Mandiangin agar program CSR yang dijalankan oleh perusahaan tidak tumpang tindih dengan program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau perusahaan lain. Selanjutnya perencanaan program CSR harus melibatkan semua masyarakat yang terdampak kegiatan pertambangan PT DKC agar tidak ada lagi masyarakat yang merasa tidak diperhatikan oleh perusahaan yang menyebabkan terjadinya konflik dan hasil dari Program CSR yang dibuat oleh Perusahaan harus dapat berkelanjutan dan diteruskan oleh masyarakat seperti program budidaya sengon dan budidaya lele agar apabila nanti perusahaan sudah tidak beroperasi lagi masyarakat dapat terus memperoleh pendapatan dari kegiatan tersebut.

Page 175: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

164 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 176: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PARTISIPASI MASYARAKAT DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DALAM PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU(STUDI KASUS PADA PROGRAM KOTA TANPA KUMUH/KOTAKU, DI RW 20 KELURAHAN DEPOK, KECAMATAN PANCORAN MAS, KOTA DEPOK-JAWA BARAT)

Nama : Sasongko

Instansi : Kementerian Pertanian

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 177: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

166 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa penyediaan Ruang Terbuka Hijau minimal sebesar 30% dari luas wilayah kota. Namun data dari Pemerintah Kota Depok Tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah Ruang Terbuka Hijau di Kota Depok hanya sebesar 15,53%. Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) merupakan program Pemerintah, yang salah satu kegiatannya adalah penyediaan dan penataan Ruang Terbuka Hijau di kawasan kumuh perkotaan. Untuk mencapai tujuan dari kegiatan penyediaan dan penataan Ruang Terbuka Hijau tersebut, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri, akan tetapi harus didukung oleh partisipasi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat, serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini menggunakan metode campuran, dengan mengombinasikan data kualitatif dan kuantitatif, yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Data primer diperoleh dari responden dan informan dengan teknik purposive sampling, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur. Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis). Hasil kajian menunjukkan bahwa secara dominan bentuk kontribusi yang diberikan oleh masyarakat dalam tahap perencanaan kegiatan Program KOTAKU adalah dalam bentuk ide dan informasi. Sedangkan untuk tingkat partisipasi masyarakat pada Program KOTAKU berada dalam tahap disimulasi, dalam artian bahwa walaupun masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan masukan dan informasi di dalam setiap tahapan, namun pengambilan keputusan merupakan kewenangan dari penyelenggara kegiatan, yang dalam hal ini pemerintah daerah. Terkait faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat, seluruh variabel bebas (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan), secara signifikan berpengaruh pada variabel terikat (partisipasi masyarakat). Dari kelima variabel bebas tersebut, terdapat dua variabel bebas yang secara dominan memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel terikat, yaitu tingkat pendidikan sebesar 17,69% dan tingkat pendapatan sebesar 11,64%. Hal tersebut terjadi karena umumnya masyarakat kumuh memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta hanya memiliki pendapatan di bawah Upah Minimum Kota Depok. Sedangkan variabel residu yang merupakan variabel lain yang tidak dikaji di dalam penelitian, memberikan pengaruh sebesar 45,4% terhadap partisipasi masyarakat dalam perencanaan penyediaan dan penataan Ruang Terbuka Hijau di Kelurahan Depok.

Kata kunci: Partisipasi Masyarakat, Permukiman Kumuh, Program KOTAKU, Ruang Terbuka Hijau

Page 178: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 167

ABSTRACT

The Law Number 26 year 2007 concerning Spatial Planning mandates that the provision of Green Open Space is at least at 30% of the total area of the city. However, the data from the Depok City Government in 2012 showed that the amount of Green Open Space in Depok City was only 15.53%. The KOTAKU (city without slums) program was a Government program, one of which was the provision and arrangement of Green Open Spaces in urban slums. To achieve the objectives of the Green Open Space provision and structuring activities, the government could not act alone, but should be supported by the participation of community. The purpose of this study was to examine the form and level of community participation, as well as the factors that influenced community participation in the planning of Green Open Space. This study used a mixed method, combining qualitative and quantitative data, the results were presented in descriptive form. Primary data was obtained from respondents and informants with purposive sampling technique, while secondary data was obtained from literature. The quantitative data were analyzed using Path Analysis. The results of the study indicated that the dominant form of contribution provided by the community in the planning stage of the KOTAKU Program activities was ideas and information. Whereas the level of community participation in the KOTAKU Program was in dissimulation stage, in the sense that even though the community had the authority to provide input and information in each stage, decision making authority was still in the hand of the organizer of the activity, in this case was the local government. Regarding the factors that influence community participation, all independent variables (age, gender, education level, income level, and type of work) significantly influenced the dependent variable (community participation). From five independent variables, there were two independent variables which predominantly had the greatest influence on the dependent variable, namely the education level of 17.69% and the income level of 11.64%. This happened because generally slum people had a low level of education and only had income below the city minimum wage. The residual variables which were not examined in the study, gave an effect of 45.4% on community participation in planning the provision and arrangement of Green Open Spaces in Kelurahan Depok (Village of Depok).

Keywords: Community Participation, City without Slums, KOTAKU Program, Green Open Space, Slum Area

Page 179: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

168 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PARTISIPASI MASYARAKAT DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DALAM PERENCANAAN RUANG TERBUKA

HIJAU (STUDI KASUS PADA PROGRAM KOTA TANPA KUMUH/KOTAKU, DI RW 20 KELURAHAN DEPOK,

KECAMATAN PANCORAN MAS, KOTA DEPOK-JAWA BARAT)

A. Latar Belakang

Belum idealnya luas RTH didasari oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mengamanatkan bahwa di dalam perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota, dengan komposisi 20% RTH publik dan 10% RTH privat. Proporsi 30% luasan RTH kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan oleh masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota (Hakim, 2004).

Terkait dengan upaya mengatasi permasalahan penataan ruang di Kota Depok, salah satu kegiatan yang saat ini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok adalah melalui Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh), yang merupakan program nasional di 271 Kabupaten/Kota di 34 provinsi yang menjadi “platform” atau basis penanganan permukiman kumuh yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, donor, swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Program KOTAKU dilaksanakan berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Cipta Karya Kemen PU & PR Nomor 40/SE/DC/2016 tanggal 31 Mei 2016 tentang Pedoman Umum Program Kota Tanpa Kumuh. Dalam program KOTAKU terdapat delapan aspek yang menjadi fokus kegiatan penanganan, yakni bangunan fisik, jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah, pengamanan kebakaran dan ruang terbuka publik. Sebagai bagian dari ruang terbuka publik, saat ini persentase luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Depok belum sebanding dengan luas wilayah, sehingga menjadikan Kota Depok sebagai salah satu kota yang menjadi target lokasi Program KOTAKU (Kemen PU dan PERA, 2016).

Mengacu kepada SK Dirjen Cipta Karya Kemen PU & PERA Nomor 110 Tahun 2016 tentang Penetapan Lokasi Program Kota Tanpa Kumuh, disebutkan bahwa di wilayah Kota Depok terdapat empat kelurahan di empat kecamatan yang masuk dalam Program KOTAKU. Pelaksanaan kegiatan Program KOTAKU terbagi menjadi empat

Page 180: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 169

tahap, yaitu: persiapan, perencanaan, implementasi perencanaan dan keberlanjutan. Saat ini Program KOTAKU telah berada di tahap akhir perencanaan menuju persiapan memasuki tahap pelaksanaan. Proses perencanaan di dalam Program KOTAKU, meliputi Persiapan Perencanaan, Penyusunan Rencana Penataan Lingkungan Permukiman; dan Penyusunan Rencana Detail/Teknis. Salah satu prinsip yang digunakan dalam setiap tahapan kegiatan pada Program KOTAKU adalah mengusung adanya partisipasi masyarakat, mulai dari perencanaan hingga proses evaluasi hasil pelaksanaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2013), dinyatakan bahwa dalam rangka menghijaukan kembali suatu wilayah melalui pembangunan dan penataan RTH, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri, melainkan harus didukung oleh partisipasi masyarakat. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menjadi penghambat tidak tercapainya target pembangunan RTH adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan melestarikan keberadaan RTH. Selain itu, Wikarta (2004) menyatakan pula bahwa RTH merupakan komponen pembangunan kota yang berkelanjutan, yang keberadaannya berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan, tentunya untuk mengatasi terjadinya penyusutan RTH dimaksud sangat diperlukan peran pemangku kepentingan dalam setiap pengambilan keputusan.

Pentingnya partisipasi masyarakat dalam program penataan kota, termasuk dalam konteks perencanaan RTH. Terkait dengan hal tersebut, Sadyohutomo (2008) menjelaskan bahwa agar produk rencana tata ruang dapat berhasil dalam pelaksanaannya, maka dukungan masyarakat sangat diperlukan. Untuk memperoleh dukungan masyarakat maka partisipasi masyarakat harus dilibatkan sejak awal perencanaan. Penyusunan rencana dilakukan dengan model bottom-up planning sebagai syarat timbulnya partisipasi masyarakat dalam mengelola ruang, serta kegiatan sosialisasi perlu dilakukan secara berkelanjutan dan transparan. Hal tersebut dipertegas oleh Rahmi dan Setiawan (1999) yang menjelaskan bahwa pengelola kota harus memberikan perhatian yang lebih serius terhadap kaitan antara penataan ruang kota dengan persoalan lingkungan kota. Dalam konteks ini, berbagai program penanganan tata ruang dan lingkungan kota di Indonesia akan menjadi suatu tuntutan yang harus dipenuhi, program-program tersebut dapat meliputi memperkuat mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses proses perencanaan kota, khususnya melalui model-model musyawarah dengan masyarakat, serta dengan mengembangkan model-model lingkungan perkotaan yang berkelanjutan.

Page 181: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

170 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, meliputi:

1. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat di kawasan permukiman kumuh perkotaan dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau melalui Program KOTAKU?

2. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat di kawasan permukiman kumuh perkotaan dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau melalui Program KOTAKU?

3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada partisipasi masyarakat di kawasan permukiman kumuh perkotaan dalam perencanaan Ruang Terbuka Hijau melalui Program KOTAKU?

Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method), yang dilakukan dengan menggabungkan hasil pengumpulan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara, studi literatur maupun dokumentasi, yang disandingkan dengan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil analisis jawaban kuesioner secara statistik. Penelitian dengan menggunakan metode campuran akan mempunyai banyak keuntungan hasil penelitian, yakni validitasnya lebih tajam, hasilnya lebih mantap, dan menambah keluasan wawasan (Danim, 1997).

Pemilihan lokasi penelitian dilakukan di RW 20 Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Hal ini didasari adanya SK Walikota Depok Nomor 591 Tahun 2015 tanggal 9 Juli 2015 tentang Penetapan Perumahan dan Permukiman Kumuh Perkotaan, yang menyatakan bahwa RW 20 tersebut memiliki luasan permukiman kumuh yang paling tinggi di Kota Depok, yaitu seluas 13,21 hektare (Lampiran 6).

Objek penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK)/Ibu Rumah Tangga yang bertempat tinggal di RW 20, Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas yang masuk ke dalam kategori masyarakat kumuh. Sedangkan untuk periode penelitian, direncanakan dilakukan pada Bulan Agustus-September 2017.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Wilayah Kota Depok, Jawa Barat

Secara administratif Kota Depok merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat dengan luas wilayah sekitar 200,29 km2 atau 20.504,54 hektare, yang terdiri atas sebelas kecamatan dengan 63 kelurahan (Lampiran 4). Jumlah penduduk di Kota Depok pada semester II tahun 2016 yang telah dikonsolidasikan oleh Kementerian Dalam Negeri mencapai 1.803.708 jiwa, terdiri atas laki-laki 913.359 jiwa (50,63%)

Page 182: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 171

dan perempuan 890.349 jiwa (49,36%). Menurut data BPS Provinsi Jawa Barat (2016), disampaikan bahwa pada tahun 2015 kepadatan penduduk Kota Depok mencapai 10.255 jiwa/km2, dengan laju rata-rata pertumbuhan penduduk pada tahun 2010-2014 sebesar 3,71 persen.

Ditinjau dari aspek astronomis, Kota Depok berada pada 60 19’00”–60 28’00” Lintang Selatan dan 1060043’00”–1060055’30” Bujur Timur. Sedangkan secara geografis Kota Depok berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta di sebelah utara; Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor di sebelah timur; serta Kabupaten Bogor di sebelah selatan dan barat. Letak Kota Depok yang diapit oleh Kota Jakarta dan Kota Bogor sangat strategis, sehingga Kota Depok semakin tumbuh pesat seiring dengan meningkatnya perkembangan jaringan transportasi yang tersinkronisasi secara regional dengan kota-kota lainnya. Secara lebih terperinci, penjelasan tersebut dapat dilihat pada Peta Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Depok Tahun 2012-2013.

2. Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) adalah program yang dilaksanakan secara nasional di 271 kabupaten/kota di 34 Provinsi yang menjadi platform kolaborasi atau basis penanganan permukiman kumuh, yang mengintegrasikan berbagai sumber daya dan sumber pendanaan, termasuk dari Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, donor, swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Program KOTAKU mulai dilaksanakan sejak diterbitkannya SE Dirjen Cipta Karya Kemen PU & PR Nomor 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Kota Tanpa Kumuh, tanggal 31 Mei 2016.

Program KOTAKU bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk penanganan permukiman kumuh, di mana pemerintah daerah memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat. Mengingat sifat pekerjaan dan skala pencapaiannya yang sangat kompleks, diperlukan kolaborasi berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat sampai dengan tingkat kelurahan/desa, pihak swasta, masyarakat, dan pihak terkait lainnya.

Pelibatan berbagai pihak secara kolaboratif diharapkan memberikan berbagai dampak positif, antara lain meningkatkan komitmen pemerintah daerah dalam pencapaian kota layak huni, meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat dalam memanfaatkan dan memelihara hasil pembangunan, menjamin keberlanjutan, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan swasta terhadap Pemerintah. Peran swasta juga diharapkan mampu memberikan kontribusi melalui

Page 183: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

172 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dana tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membantu masyarakat. Bantuan swasta dalam membantu masyarakat melalui Kelompok Penerima dan Pemanfaat (KPP) yang terkait dengan pemeliharaan sarana maupun peningkatan kapasitas. Donor utama dalam pembiayaan Program KOTAKU adalah World Bank (52%), Islamic Development Bank (39%), dan Asian Development Bank (9%). Sumber pembiayaan tersebut bukanlah satu-satunya, namun diperlukan dukungan melalui komitmen pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), serta sumber-sumber swasta dan swadaya masyarakat.

Dalam upaya menunjang efektifitas pelaksanaan kegiatan, masing-masing kabupaten/kota memiliki Kantor Sekterariat Program KOTAKU. Untuk wilayah Kota Depok, lokasi sekretariat berada di dalam area komplek perkantoran Pemerintah Kota Depok.

3. Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Ruang Terbuka Hijau di RW 20, Kel. Depok, Kec. Pancoran Mas, Kota Depok

Keterkaitan bentuk partisipasi masyarakat dengan setiap tahapan kegiatan perencanaan pada Program KOTAKU pada penelitian ini, dapat diartikan dalam hal atau bentuk apa saja kontribusi yang diberikan oleh masyarakat kumuh dalam kegiatan perencanaan RTH. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat kumuh dalam kegiatan-kegiatan tersebut dapat dijabarkan, sebagai berikut:

a. Sumbangan ide/pikiran: menyampaikan saran/aspirasi/masukan dalam berbagai hal yang terkait dengan perencanaan kegiatan.

b. Sumbangan informasi/data: menyampaikan situasi dan kondisi berdasarkan pengalaman sendiri ataupun oranglain, baik yang terjadi saat ini maupun yang ada sebelumnya guna mendapatkan input yang lebih valid terhadap perencanaan kegiatan.

c. Sumbangan tenaga: turut serta membantu secara fisik terkait dengan perencanaan kegiatan.

d. Sumbangan finansial: memberikan kontribusi keuangan guna mendukung kelancaran perencanaan kegiatan.

e. Sumbangan barang: memberikan kontribusi dalam bentuk materi/barang selama tahap perencanaan kegiatan.

f. Sumbangan keahlian: memberikan kontribusi berdasarkan spesifikasi/kemampuan teknis yang dimiliki dalam perencanaan kegiatan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disampaikan bahwa karakteristik

Page 184: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 173

masyarakat pada kegiatan perencanaan, secara umum terbagi dua kategori, yaitu masyarakat yang aktif berpartisipasi dan tidak berpartisipasi. Aktif berpartisipasi dapat ditunjukkan dari adanya sumbangan ide, informasi, keahlian, tenaga, maupun kombinasi dari beberapa hal tersebut yang diberikan oleh masyarakat, baik yang diberikan secara langsung maupun melalui perwakilan masyarakat, yang dalam hal ini melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) di tingkat kelurahan. Kontribusi yang disampaikan oleh masyarakat melalui Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), kemudian diteruskan kepada Pemerintah Daerah sebelum rancangan kegiatan diimplementasikan di lapangan.

4. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Ruang Terbuka Hijau di RW 20, Kel. Depok, Kec. Pancoran Mas, Kota Depok

Sebagaimana arah kebijakan pembangunan pada Kemen PU & PERA yang difokuskan untuk membangun sistem, fasilitasi pemerintah daerah dan fasilitasi komunitas (berbasis masyarakat), maka Program KOTAKU akan menangani permasalahan kumuh dengan platform kolaborasi melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan masyarakat.

Berdasarkan penelitian dapat disampaikan bahwa tingkatan partisipasi masyarakat pada tahapan perencanaan kegiatan belum mencapai tingkatan pemberdayaan (empowerment) sebagaimana yang diharapkan oleh penyelenggara, namun partisipasi masyarakat masih berada pada tingkatan disimulasi (dissimulation). Hal ini didasari oleh fakta di lapangan bahwa dominansi pengambilan keputusan berada di tangan pemerintah daerah selaku penyelenggara kegiatan Program KOTAKU, sedangkan masyarakat hanya sebagai penyumbang ide, gagasan dan informasi terhadap rencana yang sedang atau akan disusun. Sesuai dengan Teori Delapan Tangga Tingkatan Partisipasi dari Choguill (1969), tingkatan dissimulation diartikan bahwa walaupun peran dan kewenangan masyarakat dalam menyampaikan ide, gagasan dan informasi sangat besar, namun secara keseluruhan pengambilan keputusan menjadi kewenangan penyelenggara.

5. Rancangan Penyediaan dan Penataan Ruang Terbuka Hijau pada Kawasan Permukiman Kumuh

Secara konseptual, Program KOTAKU dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat guna mencari solusi untuk meningkatkan kelayakan huni, termasuk dalam penyediaan dan penataan RTH. Hal ini dilakukan dengan mengoptimalkan dan membenahi ruang-ruang yang masih tersisa tanpa harus melakukan upaya

Page 185: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

174 Direktori Mini Tesis-Disertasi

relokasi, sehingga akses masyarakat terhadap aspek pendidikan dan mata pencaharian tidak akan terganggu.

Berdasarkan hasil telaahan langsung di lapangan dan wawancara yang dilakukan dengan informan, dapat disampaikan pula bahwa di dalam rencana pengembangan RTH di kawasan permukiman kumuh, dapat dilakukan dengan melakukan koordinasi bersama dengan perangkat warga maupun anggota masyarakat lainnya untuk berkomitmen agar ruang-ruang yang masih tersisa tersebut tidak dialihfungsikan. Selain itu, pengurangan terhadap luasan ruang terbuka dapat pula diatasi dengan membangun rumah susun maupun rumah flat dengan biaya murah bagi masyarakat di kawasan permukiman kumuh dengan bekerjasama dengan instansi terkait yang memiliki lahan di wilayah tersebut. Apabila pembangunan rumah susun atau flat yang berbiaya murah akan diterapkan, pemerintah harus pula mencermati kesesuaian fasilitas yang akan diberikan, seperti tersedianya lift, mushola, penempatan lokasi lantai hunian berdasarkan usia, dan tersedianya Ruang Terbuka Hijau. Lokasi, pola dan bentuk Ruang Terbuka Hijau yang akan diimplementasikan juga harus disesuaikan dengan akses masyarakat untuk mencapai RTH tersebut sehingga dapat secara optimal digunakan sebagai sarana aktivitas warga sekaligus mempermudah dalam pengawasan pemeliharaan.

D. Kesimpulan

Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) hingga saat ini masih berjalan, dengan tahapan yang sedang berlangsung adalah tahap perencanaan akhir menuju tahap pelaksanaan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal, sebagai berikut:

1. Bentuk partisipasi masyarakat yang paling dominan dalam perencanaan RTH pada Program KOTAKU adalah dalam bentuk sumbangan ide dan informasi. Persentase tersebut menggambarkan bahwa sebagian besar masyarakat menginginkan adanya perubahan terhadap kondisi lingkungan mereka melalui berbagai saran dan informasi yang disampaikan berdasarkan pengalaman yang dirasakan maupun dari informasi yang diperoleh dari orang lain. Namun demikian, saran terhadap perbaikan lingkungan tersebut masih terbatas hanya pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan kepentingan dari individu, bukan untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan.

2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan RTH di kawasan kumuh perkotaan di analisis dengan menggunakan Teori Delapan Tangga Tingkat Partisipasi dari Choguill. Secara umum tingkat partisipasi masyarakat berada dalam tahap disimulasi (dissimulacy). Pada tingkatan tersebut, telah terjadi

Page 186: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 175

komunikasi atau dialog dua arah antara masyarakat dengan pemerintah daerah selaku penyelenggara kegiatan, sekaligus masyarakat diberikan kewenangan untuk menyampaikan berbagai ide dan gagasan. Namun kewenangan dalam pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan kegiatan di lapangan menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan masyarakat hanya sebagai penunjang dan acuan informasi.

3. Dari perhitungan analisis jalur, diketahui bahwa seluruh variabel X (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan), secara signifikan mempengaruhi variabel Y (partisipasi masyarakat). Dari kelima variabel bebas tersebut, terdapat dua variabel X yang secara dominan memiliki pengaruh paling besar terhadap variabel Y, yaitu tingkat pendidikan (X3) sebesar 17,69% dan tingkat pendapatan (X4) sebesar 11,68%. Sedangkan variabel residu yang merupakan variabel lain yang tidak dimasukkan dalam perhitungan namun memberikan pengaruh terhadap variabel Y, memberikan pengaruh sebesar 45,4% terhadap partisipasi masyarakat dalam Program KOTAKU.

E. Saran

Dari hasil penelitian dapat disampaikan saran praktis yang berupa rekomendasi sebagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan RTH pada Program KOTAKU, yaitu:

1. Frekuensi kegiatan pertemuan antara perwakilan masyarakat ataupun anggota masyarakat dengan pemerintah daerah agar lebih ditingkatkan, dengan jadwal waktu pelaksanaan yang lebih disesuaikan dengan aktivitas masyarakat. Hal ini mengingat bahwa ketidakhadiran masyarakat dalam FGD umumnya disebabkan karena bersamaan waktunya dengan aktivitas masyarakat dalam mencari nafkah.

2. Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya peningkatan pendapatan masyarakat kumuh secara merata dan konsisten. Hal ini dirasa penting karena bentuk partisipasi masyarakat yang terkait dengan kontribusi finansial maupun materi dalam perencanaan RTH, tidak ada yang berkontribusi, yang disebabkan ketidakmampuan secara ekonomi.

3. Penyadaran masyarakat terhadap pentingnya upaya penataan lingkungan harus dilakukan di segala aspek dan pada seluruh tingkat masyarakat, seperti pembentukan komunitas hijau dan pembentukan kelompok masyarakat peduli lingkungan. Hal ini dipandang perlu karena rasa kepedulian masyarakat kumuh terhadap lingkungan masih sangat minim.

Page 187: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

176 Direktori Mini Tesis-Disertasi

4. Mengingat sebagian permukiman kumuh menempati lahan pemerintah, maka diperlukan upaya penegakan hukum yang tegas dengan melibatkan aparat yang terkait. Jika hal ini tidak dilakukan maka permukiman kumuh semakin menyebar dan lahan peruntukkan untuk RTH semakin berkurang.

5. Sesuai konsep yang diusung pada program KOTAKU, maka penyediaan dan penataan RTH diupayakan dengan tidak merelokasi penduduk, mengingat sebagian besar masyarkat memiliki mata pencaharian dan lokasi pendidikan di wilayah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun rumah susun maupun rumah flat murah bagi masyarakat di kawasan kumuh perkotaan dengan fasilitas yang memadai.

6. Perlunya dilakukan konsolidasi secara berkala untuk mensinkronkan masterplan di tingkat pusat dengan di tingkat provinsi/kabupaten/kota sehingga terjadi keselarasan program secara menyeluruh.

Page 188: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ADAPTASI DAN RESILIENSI NELAYAN PANTAI TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN PESISIR (STUDI KASUS: DESA SUNGAI SAMAK, KECAMATAN BADAU, KABUPATEN BELITUNG)

Nama : Satya Wardhana

Instansi : Pemkab Belitung

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 189: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

178 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Terjadinya perubahan lingkungan di pesisir akan memberikan pengaruh terhadap kehidupan nelayan pantai sebagai satu kesatuan Sistem Ekologi Sosial (SES). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi nelayan pantai di Desa Sungai Samak terhadap perubahan lingkungan pesisir; dampak perubahan lingkungan pesisir terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan pantai; adaptasi yang dilakukan nelayan pantai dalam menghadapi perubahan lingkungan pesisir dan bagaimana resiliensi nelayan pantai melalui adaptasi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode campuran sekuensial eksploratoris untuk mengkaji beberapa indikator yaitu kondisi sistem ekologi sosial, adaptasi nelayan pantai, access mechanism, flexibility, capacity to organize dan capacity to learn. Pada tahap kualitatif, data diperoleh dengan melakukan pengamatan, wawancara dan penelusuran dokumen/internet untuk kemudian dianalisis menggunakan teknik analisis model interaktif. Hasil analisis tahap kualitatif kemudian digunakan sebagai acuan untuk melakukan survei menggunakan kuesioner yang kemudian dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi para nelayan pantai di Desa Sungai Samak, perubahan sumber daya perikanan (penurunan hasil tangkapan) merupakan perubahan lingkungan pesisir yang paling disadari mereka sebagai akibat terjadinya over eksploitasi sumber daya perikanan. Terjadinya perubahan lingkungan pesisir memberikan dampak terhadap sosial (pola pemanfaatan sumber daya perikanan dari subsisten menjadi tujuan ekonomis) dan ekonomi (penghasilan) nelayan pantai di Desa Sungai Samak. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai di Desa Sungai Samak terbagi kedalam tiga aspek yaitu aspek teknik penangkapan ikan (penggunaan teknologi (motorisasi perahu) dan berpindah/memperjauh lokasi penangkapan ikan), aspek sosial (pembentukan jaringan sosial, mobilisasi peran anggota keluarga dan perubahan status nelayan), dan aspek ekonomi (patron-klien, diversifikasi pekerjaan, diversifikasi alat tangkap, ekstensifikasi alat tangkap dan pengelolaan modal melaut). Melalui adaptasi yang dilakukan, nelayan pantai di Desa Sungai Samak pada dasarnya masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari (subsistens) akan tetapi cenderung lemah dan tidak bisa berkembang/meningkat diakibatkan oleh penurunan kondisi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatan/penggunaan terhadap akses modal yang cenderung tidak maksimal.

Kata kunci: Adaptasi, Nelayan Pantai, Perubahan Lingkungan Pesisir, Resiliensi

Page 190: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 179

ABSTRACT

The changes in the coastal environment will influence the livelihood of fishermen as they are part of the Social Ecology System (SES). This study aimed to determine the perception of coastal fishermen in Sungai Samak Village toward changes in the coastal environment; the impact of changes in the coastal environment on the socio-economic life of coastal fishermen; adaptations made by coastal fishermen in dealing with changes in the coastal environment and how to resilience coastal fishermen through this adaptation. This study used exploratory sequential mixed methods to examine several indicators, namely the condition of the social ecology system, coastal fisherman adaptation, access mechanism, flexibility, capacity to organize and capacity to learn. In the qualitative stage, data are obtained by observing, interviewing and searching documents/internet to be analyzed using interactive model analysis techniques. The results of the qualitative stage analysis were then used as a reference for conducting surveys using questionnaires which were then analyzed using descriptive statistical techniques. The results showed that for coastal fishermen in Sungai Samak Village, changes in fishery resources (decreased catch) were the most realized changes in the coastal environment as a result of over-exploitation of fisheries resources. The occurrence of changes in the coastal environment had an impact on the social (the pattern of utilization of fisheries resources from subsistence to economic) and economic (income) of coastal fishermen in Sungai Samak Village. Adaptation conducted by coastal fishermen in Samak River Village was divided into three aspects, namely fishing techniques (using technology (motorization of boats) and moving/farting fishing locations), social aspects (formation of social networks, mobilization of family members’ roles and changes in fishing status), and economic aspects (patron-client, job diversification, fishing gear diversification, fishing gear extensification and sea capital management). Through adaptation, coastal fishermen in Sungai Samak Village could basically meet their daily needs (subsistens) but tend to be weak and unable to develop/increase their capability due to the declining of fisheries resources and the level of utilization/use of access to capital that tended to be imperfect.

Keywords: Adaptation, Changing in Coastal Environment, Coastal Fishermen, Resilience

Page 191: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

180 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ADAPTASI DAN RESILIENSI NELAYAN PANTAI TERHADAP PERUBAHAN LINGKUNGAN PESISIR

(STUDI KASUS: DESA SUNGAI SAMAK, KECAMATAN BADAU, KABUPATEN BELITUNG)

A. Latar Belakang

Perubahan lingkungan pesisir pada dasarnya muncul sebagai akibat pesatnya laju pembangunan yang semata-mata bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai bentuk pemanfaatan sumber daya alam. Dengan demikian, semakin tinggi laju pembangunan, maka semakin tinggi tingkat pemanfaatan sumber daya alam dan akhirnya makin besar pula perubahan yang terjadi pada lingkungan (Bengen, 2001). Adapun praktik dan teknologi yang digunakan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya alam didasarkan kepada informasi mengenai karakteristik ekosistem bersamaan dengan dinamika perubahannya. Informasi dari lingkungan didapatkan melalui observasi panjang dan proses trial and error yang adaptif terangkum dalam knowledge system (Shaleh, 2014) berupa tindak adaptasi.

Namun di sisi lain, pemanfaatan sumber daya yang semakin tinggi ini ternyata telah memberikan tekanan kepada lingkungan pesisir sehingga berpotensi mengancam resiliensi sistem ekologi-sosial yang terdapat di dalamnya (Gowing et al., 2006 dalam Shaleh, 2013). Resiliensi adalah kemampuan dari sistem ekologi (Holling, 1973) atau sistem ekologi sosial (Folke, 2006) tertentu untuk dapat bertahan dari gangguan dengan cara menyerap dan mengarahkannya sehingga keadaan variabel dalam sistem tidak berubah. Nelayan dan sumber daya pesisir membentuk suatu sistem ekologi sosial (SES), di mana nelayan sebagai salah satu komponen pembentuk sistem ekologi sosial memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tejadinya perubahan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir. Nelayan pantai adalah kelompok nelayan yang hanya bisa memanfaatkan potensi sumber daya alam pesisir yang ada di ekosistem mangrove dan terumbu karang. Hal inilah yang membuat tingkat ketergantungannya semakin tinggi dibandingkan dengan kelompok nelayan lainnya.

Berangkat dari hal tersebut maka penelitian ini dimaksudkan untuk mempelajari adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai ketika dihadapkan dengan perubahan ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang) sehingga mereka masih bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka (resilient) dengan anggapan bahwa kategori nelayan inilah yang akan menerima dampak paling besar karena keterbatasan alat tangkap, teknologi, daya jelajah kapal dan permodalan.

Page 192: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 181

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Informasi terbaru tentang kondisi wilayah pesisir Kabupaten Belitung, berdasarkan hasil pengolahan Citra Landsat 2015 yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung berkerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bangka Belitung pada tahun 2015 dalam Inventarisasi Potensi Sumber Daya Kelautan Kabupaten Belitung diketahui Kabupaten Belitung memiliki luasan hutan mangrove sekitar 9.906 ha dan luasan terumbu karang sekitar 25.607 ha. Sedangkan menurut data dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, Peternakan, Perkebunan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan (TPHP2KKP) Kabupaten Belitung, luas tutupan hutan mangrove Kabupaten Belitung pada tahun 2009 dari hasil pengolahan data Citra Landsat 7 yaitu sebesar 11.060 ha. Dengan demikian dari tahun 2009 hingga 2015 terjadi penurunan luas tutupan hutan mangrove sebesar 1.154 ha (10,4% dalam kurun waktu 16 tahun).

Selain itu, dalam kajian Potensi Sumber Daya Kelautan tersebut, di identifikasi bahwa satu dari lima kecamatan di Kabupaten Belitung yakni Kecamatan Badau mengalami perubahan lingkungan wilayah pesisir yang lebih memprihatinkan dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Dari luas terumbu karang Kecamatan Badau yang mencapai 1.545 ha (6,04% dari total luas terumbu karang Kabupaten Belitung) secara umum tergolong kedalam kondisi terumbu karang dengan kriteria buruk (persentase tutupan karang hidup sebesar 5,36%) dan dinyatakan sangat berbahaya (indeks mortalitas karang 0,8). Selain itu juga disebutkan bahwa dalam observasi lapangan yang dilakukan, diketahui bahwa vegetasi mangrove penyusun wilayah pesisir di Kecamatan Badau hanya sedikit dibandingkan dengan Kecamatan lain. Hal ini disebabkan oleh adanya tekanan ekologi terhadap komunitas vegetasi mangrove akibat lalu lintas/pendaratan perahu nelayan yang dapat berefek secara langsung pada kualitas perairan di lingkungan sekitar, pembakaran hutan, dan pemanfaatan sumber daya mangrove secara langsung (illegal logging), seperti dilansir oleh harian Pos Belitung (2 Juli 2015 dan 19 Februari 2016) dan harian Bangka Pos (19 Februari 2016) yang menyebutkan bahwa terjadi pembabatan hutan mangrove di wilayah tersebut untuk perkebunan kelapa sawit dan juga usaha komersial lainnya.

Berdasarkan informasi wilayah pesisir Kabupaten Belitung tersebut di atas maka disimpulkan telah terjadi perubahan lingkungan di wilayah pesisir di Kecamatan Badau. Perubahan lingkungan tersebut akan melemahkan resiliensi nelayan perikanan tangkap khususnya nelayan pantai. Kendati kemudian nelayan pantai harus tetap bertahan dan sebisa mungkin beradaptasi dengan keadaan tersebut agar resiliensi sosial mereka tetap bertahan. Akhirnya berdasarkan identifikasi masalah tersebut maka pertanyaan penelitian yang muncul yaitu:

Page 193: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

182 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. Perspektif nelayan pantai tentang perubahan lingkungan pesisir?

2. Dampak perubahan lingkungan pesisir terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan pantai?

3. Adaptasi apa yang dilakukan oleh nelayan pantai dan bagaimana resiliensinya dalam menghadapi perubahan lingkungan pesisir tersebut?

Objek penelitian ini adalah kelompok nelayan yang terkategori sebagai nelayan pantai di Desa Sungai Samak, Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari tentang adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai dan bagaimana resiliensi nelayan pantai melalui adaptasi tersebut dalam menghadapi perubahan lingkungan pesisir. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode campuran (mixed) sekuensial eksploratoris. Metode penelitian campuran sekuensial eksploratoris yaitu metode penelitian yang terlebih dahulu dimulai dengan fase kualitatif untuk mengeksploitasi pandangan para partisipan. Data yang didapat kemudian dianalisis, dan informasi yang digunakan untuk mengidentifikasi instrumen-instrumen yang tepat dalam fase kuantitatif follow-up, atau untuk menentukan variabel-variabel yang perlu dilanjutkan ke penelitian kuantitatif follow-up (Creswell, 2016)

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara 107°08’-107°58’BT dan 02°30’-03°15’LS. Kabupaten Belitung memiliki luas wilayah daratan seluruhnya 229.369 Ha atau 2.293,69 Km² dan luas wilayah laut mencapai 3.607,01 Km2 (berdasarkan Batas Pengelolan dan Bagi Hasil Kelautan Nasional, BIG 17 Oktober 2015), dengan garis pantai sepanjang 605,29 Km (Bakosurtanal, 2006). Pada peta dunia Pulau Belitung dikenal dengan nama “Billitonit” yang bergaris tengah Timur-Barat +79 Km dan garis tengah Utara-Selatan +77 Km.

2. Akses Nelayan Pantai Desa Pesisir Kecamatan Badau

a. Sumber Daya Perikanan dan Wilayah Pengelolaannya

Berdasarkan hasil Inventarisasi Potensi Sumber Daya Kelautan Kabupaten Belitung yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Belitung berkerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Bangka Belitung pada tahun 2015 diketahui Kabupaten Belitung memiliki potensi perikanan laut yang beragam seperti berbagai jenis ikan (fin fish), udang, rajungan, teripang dan cumi-cumi yang umumnya berasal

Page 194: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 183

dari hasil tangkapan alam. Jenis ikan yang ditangkap sangat beragam, akan tetapi lebih dari 60% merupakan jenis-jenis ikan pelagis, yaitu lemuru, selar, tongkol, tenggiri, dan teri. Sedangkan sisanya terdiri dari ikan karang seperti kerapu, kakap merah; ikan dasar seperti manyung, cucut, bawal; dan jenis non ikan seperti cumi-cumi, kepiting, udang dan teripang. Adapun komoditas utama untuk Kecamatan Badau yaitu terdiri dari ikan laut, kepiting/rajungan dan cumi-cumi.

Terdapat berbagai macam kelompok masyarakat pesisir di Desa Sungai Samak yang bergelut di bidang perikanan seperti kelompok nelayan tangkap, pembudidaya ikan kerapu, pengolah hasil ikan, pedagang ikan (penampung) dan supplier sarana produksi perikanan (umumnya merangkap sebagai penyedia modal). Di antara semua kelompok tersebut, kelompok nelayan tangkap adalah yang paling dominan.

Nelayan pantai di Desa Sungai Samak terbagi atas dua kategori yaitu nelayan tanpa perahu dan nelayan dengan perahu. Istilah bagi nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan ikan tanpa menggunakan perahu disebut ngarong. Akan tetapi secara umum, nelayan pantai di Desa Sungai Samak melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan perahu, baik perahu sampan dayung maupun perahu motor (perahu boat) dengan kapasitas perahu < 0,5 GT.

Selain terkait peralatan fisik, akses modal secara umum juga dapat berupa kemampuan finansial atau keuangan (Ribot dan Pelusco, 2003). Bagi nelayan pantai di Desa Sungai Samak, masalah modal merupakan salah satu permasalahan utama dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Umumnya para nelayan mendapatkan sumber modal pertama untuk melaut dari hasil penjualan ikan tangkapan sebelumnya yang disisihkan sebagian untuk modal melaut berikutnya.

Kebutuhan tenaga kerja kenelayanan di Desa Sungai Samak pada dasarnya dipengaruhi oleh karakteristik teknologi penangkapan (ukuran kapal dan alat tangkap) yang digunakan. Semakin besar ukuran kapal dan semakin rumit pengoperasian alat tangkapnya, maka biasanya kebutuhan tenaga kerja menjadi semakin banyak. Namun untuk nelayan pantai, dengan karakteristik teknologi penangkapan yang termasuk skala kecil dengan waktu operasi penangkapan secara harian (one day fishing), maka kebutuhan tenaga kerja bukan menjadi kendala utama. Aktivitas penangkapan tetap bisa dilakukan seorang diri tanpa memerlukan tenaga tambahan. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menunjukkan bahwa tidak ditemukan responden nelayan pantai

Page 195: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

184 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang melakukan aktivitas penangkapan ikan bersama dengan orang lain sebagai nelayan pekerja melainkan mereka merangkap langsung sebagai nelayan pemilik sekaligus nelayan pekerja.

Akses dengan tujuan ekonomi dilakukan karena nelayan merasa tidak memiliki pilihan lain untuk mencari nafkah selain menjadi nelayan. Selain karena faktor usia, pendidikan dan keterampilan, profesi nelayan sebagai “way of life” nampaknya sulit untuk diubah sehingga memaksa mereka untuk tetap melaut apapun kondisinya. Nelayan pantai di Desa Sungai Samak percaya bahwa laut masih akan memberikan rezeki dan sumber daya perikanan di dalamnya dan tidak akan habis selama manusia (khususnya mereka) masih tetap mau berusaha untuk mendapatkannya.

Praktik ritual budaya kelautan yang ada di Desa Sungai Samak hanya berupa upacara “Selamat Laut”. Ritual ini merupakan bentuk permohonan manusia kepada penguasa laut agar diberikan perlindungan dan keselamatan kepada masyarakat yang ada dipesisir pantai pada umumnya dan khususnya kepada para nelayan dalam melaut serta diberikan hasil laut yang berlimpah. Tidak ada praktik adat kelautan di Desa Sungai Samak yang memberlakukan pembatasan-pembatasan penangkapan ikan dan perlindungan spesies ikan tertentu seperti “Sasi” di Maluku.

Secara akses, semua kategori nelayan (termasuk juga kategori nelayan pantai) telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 07 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. Pada Pasal 6 disebutkan bahwa nelayan dalam undang-undang ini yaitu mencakup juga nelayan kecil13 dan nelayan tradisional14. Dengan demikian hak akses nelayan pantai dilindungi oleh undang-undang tersebut, selain itu

b. Perubahan Lingkungan

Kedalaman Laut Perairan laut di sekitar Pulau Belitung umumnya tidak terlalu dalam. Pada jarak 1–3 mil dari pantai, kedalaman hanya berkisar antara 10–15 m, sedangkan jarak 3 mil ke tengah, kedalaman berkisar antara 15–40 m. Dasar perairan pada umumnya berpasir, berlumpur dan berbatu karang (Bappeda Kabupaten Belitung–PPO LIPI, 2005). Sedangkan untuk perairan Desa Sungai Samak termasuk perairan yang landai, berdasarkan informasi yang didapat dari para nelayan menyebutkan bahwa di saat air laut dalam posisi surut terjauh bisa mencapai ± 2 Km dari bibir pantai, dengan dasar perairan umumnya berpasir.

Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir di Desa Sungai Samak umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri, baik yang berasal dari daratan

Page 196: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 185

ataupun aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Dengan adanya aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit, secara tidak langsung memberikan pengaruh kepada kelangsungan hidup terumbu karang. Berdasarkan hasil kajian Inventarisasi Potensi Sumber Daya Ikan Kabupaten Belitung bahwa kematian terumbu karang di Kecamatan Badau juga disebabkan oleh banyaknya lumpur yang menutupi terumbu karang. Lumpur-lumpur tersebut mungkin dihasilkan dari kegiatan pertambangan yang terdapat di daratan (tambang pasir dan tambang timah ilegal) dan juga aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh perkebunan kelapa sawit yang terbawa oleh aliran sungai.

Perubahan pada ekosistem hutan mangrove di Desa Sungai Samak tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat sekitar. Menurut para warga di Desa Sungai Samak, hutan mangrove di pesisir Desa Sungai Samak dari dahulu memang sudah seperti itu (tutupannya tipis dan tumbuhnya jarang-jarang). Hampir di sepanjang pesisir pantai Desa Sungai Samak tidak terlihat adanya tutupan mangrove, dan hanya di bagian tertentu saja (misalnya dekat muara sungai) yang terdapat tutupan mangrove. Melihat kondisi tersebut dan untuk mencegah abrasi dan erosi pantai, pemerintah juga membangun “talud” di hampir sepanjang pantai Desa Sungai Samak. Selain itu Pemerintah Daerah dan TNI serta Lembaga Swasta (Gappabel) juga melakukan penanaman bibit mangrove di pesisir Desa Sungai Samak (Dusun Sungai Samak) (tahun 2012).

Pada umumnya nelayan pantai di Kecamatan Badau baik Desa Sungai Samak tidak menyadari secara langsung tentang perubahan lingkungan di wilayah pesisir, akan tetapi yang lebih disadari oleh mereka yaitu terjadinya perubahan dalam hasil tangkapan ikan mereka dalam 15-20 tahun belakangan. Hak akses setiap manusia terhadap hasil alam dari lautan disadari oleh para nelayan lokal sebagai hak bersama (open access). Dengan demikian sudah sepatutnya setiap nelayan (baik nelayan lokal ataupun nelayan pendatang) bersama-sama menjaga dengan tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan (penggunaan potasium dan bom ikan) dan juga perusakan terhadap alat tangkap nelayan lain.

Perubahan hasil tangkapan ini umumnya mulai dirasakan pada tahun 2000, akan tetapi perubahan pada saat itu lebih dirasakan kepada perubahan usaha perikanan yakni mulai banyaknya para nelayan yang melakukan penangkapan ikan. Adanya permintaan pasar akan daging kepiting dengan harga yang cukup mengiurkan (Rp50.000,00/Kg) membuat banyaknya orang yang mengusahakan hal tersebut

Page 197: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

186 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Adaptasi Nelayan Pantai

Permasalahan dan kendala yang umum dihadapi oleh sebagian besar nelayan pantai di Desa Sungai Samak dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan di pesisir yaitu:

a. Hasil tangkapan ikan yang mulai menurun dan meningkatnya ketidakpastian hasil tangkapan,

b. Keterbatasan jenis dan jumlah alat tangkap yang dimiliki,

c. Daerah penangkapan ikan (DPI) yang terbatas,

d. Perubahan musim angin yang berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan,

e. Persaingan yang tinggi dalam menangkap ikan di wilayah pesisir, dan

f. Keterbatasan modal dalam pengembangan usaha

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, nelayan pantai di Desa Sungai Samak melakukan beberapa adaptasi. Pada dasarnya adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai adalah merupakan bentuk respon penyesuaian dalam menghadapi perubahan lingkungan (baik ekosistem fisik laut dan lingkungan sosial sekitarnya) untuk tetap mendapatkan hasil ikan tangkapan menjadi lebih baik atau setidaknya tetap terjaga, dengan demikian para nelayan pantai masih tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai di Desa Sungai Samak umumnya sama dengan nelayan-nelayan lain di daerah lain di Indonesia.

4. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pesisir

Dari sisi adat istiadat (hukum adat) di Desa Sungai Samak tidak ditemukan adanya aturan tertulis yang berkaitan dengan pengelolaan dan perlindungan ekosistem pesisir (hutan mangrove dan terumbu karang). Sedangkan dari sisi Pemerintah Daerah, saat ini sudah terdapat usaha perlindungan kawasan pesisir yakni berupa penetapan kawasan sempadan pantai yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 03 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung tahun 2014–2034. Di mana pada pasal 23 ayat (1), sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Selain itu pada pasal 53 tentang ketentuan umum pada kawasan sempadan pantai hanya diperuntukan sebagai ruang publik dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata dan perikanan

Page 198: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 187

tradisional dan kegiatan budidaya lainnya yang sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan serta penetapan sempadan pantai yang termasuk dalam zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatan lainnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menunjang perlindungan wilayah pantai dari gangguan yang disebabkan oleh perubahan alam juga dilakukan usaha penanaman bibit mangrove dan pembanguPelaksanaan pembinaan dan pengawasan aktivitas penangkapan ikan terdapat beberapa instansi yang turut berperan yaitu Dinas Perikanan Kabupaten Belitung, Satuan Kerja Dirjen Pengawasan dan Sumber Daya Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polisi Air dan Udara (POLAIRUD), dan TNI-AL. Untuk menunjang peningkatan pengawasan, maka dilakukan pembentukan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS) sebagai kekuatan tambahan bagi Pemerintah dalam melakukan pengawasan dilapangan dengan cara melibatkan peran masyarakat. Terdapat 23 (dua puluh tiga) POKMASWAS di Kabupaten Belitung, di mana 17 kelompok dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bupati Nomor: 188.45/09/KEP/II/2007 pada tanggal 6 Februari 2007 dan 6 (enam) kelompok dikukuhkan dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nomor: 523/279/DKP/2014 pada tanggal 11 April 2014. Dari 23 (dua puluh tiga) kelompok tersebut terdapat 1 (satu) kelompok POKMASWAS di Kecamatan Badau yaitu di Desa Pegantungan dengan nama POKMASWAS Barracuda.

Untuk mendukung program pemerintah pusat dalam pembentukan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil maka Kabupaten Belitung, melalui Peraturan Bupati Nomor 188.45/156.A/KEP/DKP/2014 menyisihkan sebagian kawasan perairan dan lautnya sebagai zona pencadangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) yang terdiri dari sebagian kawasan perairan Pulau Lengkuas, Pulau Peling, Pulau Pelma dan laut sekitarnya dengan luas 662.984 (enam ratus enarn puluh dua ribu sembilan ratus delapan puluh empat) Ha sebagai Taman Wisata Perairan.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil studi dan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini, maka didapat kesimpulan:

1. Menurut nelayan pantai di Desa Sungai Samak, perubahan lingkungan pesisir yang paling disadari dan dirasakan oleh mereka yaitu terjadinya penurunan hasil tangkapan ikan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir sebagai akibat terjadinya over eksploitasi sumber daya perikanan (overfishing). Sedangkan berdasarkan informasi dan data yang dikumpulkan selama penelitian, selain terjadinya over

Page 199: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

188 Direktori Mini Tesis-Disertasi

eksploitasi sumber daya perikanan juga perubahan lingkungan yang terjadi di pesisir Desa Sungai Samak yaitu berupa degradasi fisik habitat ekosistem terumbu karang akibat aktivitas penangkapan ikan yang bersifat destruktif (penggunaan racun ikan), aktivitas penambangan batu karang sebagai bahan bangunan dan sedimentasi dari aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit; dan terjadinya pencemaran laut akibat tailing dari aktivitas pertambangan.

2. Perubahan lingkungan pesisir yang terjadi di Desa Sungai Samak memberikan dampak terhadap sosial ekonomi nelayan pantai. Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh terjadinya pencemaran laut akibat tailing dari aktivitas pertambangan pasir, sangat berpengaruh secara langsung terhadap aktivitas penangkapan ikan (nyulo) yang dilakukan nelayan pantai, yang kemudian secara tidak langsung berpengaruh kepada penghasilan (ekonomi). Pola usaha perikanan yang sudah berubah dari subsisten menjadi lebih kepada tujuan ekonomis (akibat permintaan pasar dengan harga tinggi) dan perairan Desa Sungai Samak yang bersifat open access berdampak kepada terjadinya penurunan sumber daya perikanan (akibat over eksploitasi) dan ketidaktahuan nelayan terhadap peraturan pemerintah tentang pelarangan penangkapan ukuran ikan jenis tertentu menyebabkan rendahnya keyakinan nelayan pantai di Desa Sungai Samak terhadap keberhasilan upaya pengelolaan dan perlindungan sumber daya perikanan.

3. Adaptasi yang dilakukan oleh nelayan pantai di Desa Sungai Samak meliputi 3 (tiga) aspek yaitu aspek teknik penangkapan ikan (penggunaan teknologi (motorisasi perahu) dan berpindah/memperjauh lokasi penangkapan ikan), aspek sosial (membentuk jaringan sosial, mobilisasi peran anggota keluarga dan perubahan status nelayan) dan aspek ekonomi (Patron-Klien, diversifikasi pekerjaan, diversifikasi alat tangkap, ekstensifikasi alat tangkap dan pengelolaan modal). Melalui adaptasi yang dilakukan, nelayan pantai di Desa Sungai Samak pada dasarnya masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari (subsisten) akan tetapi cenderung lemah dan tidak bisa berkembang/meningkat diakibatkan oleh penurunan kondisi sumber daya perikanan dan tingkat pemanfaatan/penggunaan terhadap akses modal yang cenderung tidak maksimal. Peran serta pemerintah melalui program bantuan sarana prasarana bagi nelayan pantai perikanan tangkap ataupun bentuk bantuan lainnya sangat dibutuhkan untuk meningkatkan resiliensi nelayan pantai.

Page 200: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 189

E. Saran

Berdasarkan hasil studi dan analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka saran yang dapat diberikan adalah:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan resiliensi ekologi terkait ekosistem dan sumber daya perikanan.

2. Dalam upaya membangun resiliensi nelayan pantai di Desa Sungai Samak, perlu dilakukan langkah alternatif sebagai berikut:

a. Melakukan perubahan armada kapal penangkap ikan untuk memperluas Daerah Penangkapan Ikan (DPI) nelayan yakni dari nelayan tanpa/menggunakan perahu kecil (< 0,5 GT) menjadi nelayan menggunakan perahu (> 3 GT).

b. Meningkatkan keterlibatan nelayan pantai Desa Sungai Samak dalam kelompok/organisasi kenelayanan misalnya (KUB) agar dapat memelihara ketersediaan modal dengan mengikuti KUB atau melakukan penggabungan usaha sesama nelayan.

c. Penggunaan mekanisme akses melalui kewenangan untuk tidak hanya kepentingan permodalan dan hukum, tapi juga untuk meningkatkan posisi tawar dan keterlibatan nelayan pantai Desa Sungai Samak dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan.

d. Mencari strategi pekerjan lain selain di bidang perikanan tangkap, misalnya dalam bidang wisata bahari, budidaya laut, transportasi laut, atau jenis pekerjaan lain di darat.

e. Melakukan sosialisasi dan pembinaan secara berkala kepada nelayan pantai di Desa Sungai Samak tentang peraturan-peraturan penangkapan ikan.

Page 201: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

190 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 202: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PERBEDAAN PERILAKU PRO-LINGKUNGAN SISWA DI SEKOLAH ADIWIYATA DAN NON-ADIWIYATA

Nama : Tyas Palupi

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Diponegoro

Page 203: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

192 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku pro-lingkungan siswa di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata serta untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan siswa. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang mengambil sampel dari sekolah adiwiyata (SMA N 1 Semarang) dan sekolah non-adiwiyata (SMK N 8 Semarang). Adapun informasi yang dikumpulkan melalui penelitian ini meliputi enam aspek perilaku pro-lingkungan seperti konservasi energi, transportasi & mobilitas, menghindari limbah, daur ulang, konsumerisme dan perilaku-perilaku lain yang terkait konservasi, sikap siswa terhadap lingkungan, dan norma subjektif siswa. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku pro-lingkungan siswa di sekolah adiwiyata. Penggabungan ke-enam indikator perilaku pro-lingkungan pada saat pengujian, akan didapatkan hasil yang signifikan daripada pengujian dilakukan per masing-masing indikator Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara perilaku pro-lingkungan dengan sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif, sehingga semakin positif sikap dan norma subjektif seseorang akan semakin tinggi frekuensi seseorang tersebut dalam berperilaku pro lingkungan. Nilai hubungan yang sangat rendah sampai dengan sedang pada sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan dimungkinkan terjadi karena faktor pembentuk perilaku yang digunakan dalam penelitian hanya faktor internal saja.

Kata kunci: Perilaku Pro-Lingkungan, Sikap, Norma Subjektif, Siswa Sekolah

Page 204: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 193

ABSTRACT

This study aimed to examine the differences of pro-environmental behavior of students in adiwiyata and non-adiwiyata school and to examine the relationship between attitudes toward the environment and subjective norms with pro- environmental behavior of students. This research is a quantitative research which take sample from adiwiyata school (SMA N 1 Semarang) and non-adiwiyata school (SMK N 8 Semarang). The information collected through this research includes six aspects of pro-environmental behavior such as energy conservation, transportation & mobility, waste avoidance, recycling, consumerism and other behaviors related to conservation, students’ attitudes toward the environment, and subjective norms of students. Based on the results of the research note that there are differences in pro-environment behavior of students in school adiwiyata. Merging the six pro-environment behavior indicators at the time of the test, there will be significant results than the tests performed per each indicator There is a positive relationship between pro-environment behavior with attitudes toward the environment and subjective norms, so the more positive attitude and subjective norm someone will be the higher the person’s frequency in behaving pro-environment. Very low-to-moderate relationships on attitudes toward the environment and subjective norms with pro-environmental behavior are possible because the behavioral factors used in the research are only internal factors alone.

Keywords: Pro-Environmental Behavior, Attitude Towards Environment, Subjective Norms, Students

Page 205: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

194 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERBEDAAN PERILAKU PRO-LINGKUNGAN SISWA DI SEKOLAH ADIWIYATA DAN NON-ADIWIYATA

A. Latar Belakang

Pendidikan lingkungan melalui program adiwiyata merupakan hasil kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mulai dikembangkan pada Tahun 2006. Adiwiyata merupakan suatu tempat yang baik dan ideal dimana dapat diperoleh segala ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup kita dan menuju kepada citra-cita pembangunan berkelanjutan. Istilah adiwiyata lebih luas dan menyeluruh dibandingkan dengan pendidikan lingkungan hidup, sekolah hijau, dan sekolah sehat karena adiwiyata mencakup seluruh elemen, baik yang terkait langsung ataupun tidak. Adiwiyata juga menghimbau agar seluruh warga sekolah bersikap hemat terhadap sumber daya alam. Program adiwiyata memiliki tingkatan penghargaan dari daerah, Provinsi, nasional sampai menjadi adiwiyata mandiri yang dituntut untuk menularkan ilmu adiwiyata kepada sekolah binaan lain. Program adiwiyata dalam pelaksanaannya, memiliki prinsip dasar yang dijadikan pedoman, yaitu: partisipatif dan berkelanjutan. Perjalanan suatu sekolah untuk menuju sekolah adiwiyata, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut, antara lain; membentuk tim sekolah, membentuk kajian lingkungan, menyusun rencana aksi, dan monitoring dan evaluasi (KNLH, 2010).

Dalam penelitian terdahulu mengenai sekolah adiwiyata, Hidayati (2013), menunjukan bahwa program adiwiyata, apabila diterapkan dengan baik akan menjadikan sikap dan perilaku warga sekolah yang lebih peduli dan berbudaya lingkungan. Faktanya, program adiwiyata tidak akan terlaksana dengan baik tanpa komunikasi secara terus menerus dan intensif dari pihak sekolah kepada seluruh warga sekolah. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti bermaksud mengetahui perilaku warga sekolah di SMK 2 Semarang dalam menerapkan program adiwiyata sehingga menjadi sekolah yang mendapatkan predikat Adiwiyata Mandiri. Penelitian lain yang dilakukan oleh Landriany, (2014) mengungkapkan bahwa program adiwiyata di SMA kota Malang, belum berhasil dilaksanakan karena beberapa faktor, yaitu terdapat beberapa siswa yang masih belum mengerti konsep sekolah berwawasan lingkungan, peran masyarakat yang dirasa masih kurang serta antusias yang kurang dari guru dan karyawan sekolah tentang penerapan PLH. Jumadil et al. (2015), menunjukkan bahwa kemampuan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan lingkungan hidup siswa kelas VI sekolah adiwiyata lebih tinggi dibandingkan sekolah non-adiwiyata dan ada pengaruh positif program adiwiyata terhadap kognitif, afektif, dan psikomotorik lingkungan hidup siswa. Rahmawati dan Suwanda, (2015) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa program adiwiyata belum

Page 206: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 195

dapat terlaksana secara efektif, dikarenakan adanya pergantian siswa setiap tahun ajaran, keadaan ekonomi sosial siswa. Hal tersebut menyebabkan pembentukan perilaku peduli lingkungan di kalangan siswa menjadi sulit. Iswari dan Utomo, (2017), melakukan evaluasi penerapan program adiwiyata untuk membentuk perilaku peduli lingkungan di kalangan siswa dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku peduli lingkungan dari tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan pada siswa sekolah adiwiyata (SMAN 9 Tangerang) lebih tinggi dibandingkan dengan siswa sekolah non-adiwiyata (MAN 1 Serpong) dan terdapat hubungan antara penerapan adiwiyata dengan pembentukan pengetahuan, sikap dan tindakan di kalangan siswa. Program adiwiyata diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku siswa serta masyarakat untuk lebih menghargai lingkungan. Adanya sekolah yang berwawasan lingkungan dimaksudkan dapat menjadi acuan bagi siswa sebagai dasar dalam pembentukan etika lingkungan. Menanamkan Pendidikan Lingkungan Hidup sejak dini di lingkungan sekolah akan menjadi bekal yang kuat bagi siswa dalam mewujudkan kesadaran dan kedisiplinan siswa, membuahkan budaya bersih dan sehat, serta munculnya perilaku-perilaku dan upaya-upaya pelestarian lingkungan, penghijauan serta perilaku hemat (Gunawan, 2016).

Berdasarkan paparan di atas, masih terdapat perbedaan hasil dari penerapan program adiwiyata, ada yang dinilai sudah berhasil meningkatkan perilaku peduli lingkungan dan ada yang belum berhasil menerapkannya karena beberapa faktor. Perbedaan hasil tersebut membuat perilaku pro-lingkungan dalam konteks sekolah dan khususnya pada generasi muda (siswa) menjadi penting untuk diketahui, sehingga diperlukan penelitian mengenai perbedaan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata. Perilaku pro-lingkungan dimodelkan sebagai sebuah fungsi dari sikap manusia terhadap lingkungan. Sikap yang positif dapat secara langsung mempengaruhi perilaku pro-lingkungan. Seperti uraian di atas, berdasarakan teori perencana perilaku (TPB), sikap dan norma subjektif menjadi variabel yang membentuk perilaku. Kaitannya dengan sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata dipandang perlu untuk mengetahui hubungan antara perilaku pro-lingkungan dengan sikap dan norma subjektif di kedua sekolah.

Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, Pada tahun 2016 terdapat 16 sekolah yang telah berpredikat sekolah adiwiyata, salah satunya adalah SMA Negeri 1 Semarang yang sudah mendapatkan predikat sekolah adiwiyata tingkat provinsi sejak tahun 2012. SMA Negeri 1 Semarang juga merupakan sekolah favorit di Semarang, dimana perilaku siswanya menjadi prototype bagi sekolah lain. Berdasarkan data pokok SMK tahun 2017, terdapat 12 SMK di kota Semarang, satu diantaranya adalah SMK Negeri 8 Semarang yang merupakan salah satu SMK di Indonesia yang sejak tahun 1994/1995 ditunjuk sebagai SMK yang melaksanakan pendidikan sistem ganda

Page 207: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

196 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(PSG) dan mengedepankan teknologi sebagai visinya dan SMK Negeri 8 Semarang belum mendapatkan predikat sekolah adiwiyata. Hal tersebut di atas yang menjadikan dipilihnya SMA N 1 Semarang dan SMK N 8 Semarang sekolah sebagai objek penelitian untuk mewakili sekolah yang berpredikat adiwiyata dan sekolah yang belum berpredikat adiwiyata. Penelitian dengan maksud membandingkan kedua sekolah serta mengetahui hubungan antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan. siswa menjadi penting untuk dilakukan agar dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran bagi semua pihak dalam hal perilaku pro-lingkungan, khususnya di lingkungan sekolah.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana perbedaan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata.

2. a. Bagaimana hubungan antara sikap terhadap lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah adiwiyata.

3. Bagaimana hubungan antara sikap terhadap lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah non-adiwiyata.

4. a. Bagaimana hubungan antara norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah adiwiyata

5. Bagaiman hubungan antara norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah non-adiwiyata

Dalam penelitian ini, digunakan desain penelitian komparatif dan asosiatif dengan pendekatan kuantitatif, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan perilaku pro-lingkungan siswa di sekolah adiwiyata dan sekolah non adiwiyata serta hubungan antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan.

Pemilihan lokasi didasarkan pada tujuan penelitian yang membedakan adalah sekolah adiwiyata dan sekolah non adiwiyata di Kota Semarang. Sekolah yang menjadi objek penelitian adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal tersebut didasarkan pada kemampuan analisis siswa SMA sudah lebih baik dibandingkan siswa SMP dan SD. Waktu Penelitian bulan Agustus s/d Oktober 2017. Populasi pada penelitian ini adalah siswa sekolah SMA N 1 Semarang (sekolah adiwiyata) dan SMKN 8 Semarang (sekolah non-adiwiyata). Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, pada tahun 2016 terdapat 16 sekolah menengah atas yang telah memiliki predikat sekolah

Page 208: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 197

adiwiyata. SMA N 1 Semarang dipilih secara acak menjadi populasi yang mewakili sekolah adiwiyata, selain itu SMA N 1 Semarang merupakan SMA favorit di Semarang, sehingga segala perilaku dan budidaya dari SMA N 1 Semarang menjadi contoh bagi siswa sekolah lain. SMK N 8 Semarang sebagai perwakilan populasi dari sekolah non-adiwiyata, juga dipilih secara acak, berdasarkan data pokok SMK tahun 2017 terdapat 12 SMK di kota Semarang.

Pada penelitian ini, dilakukan tiga tahap dalam pengambilan sampel, yakni: (1) populasi dibagi menjadi sub populasi, (2) sampel diambil secara terpisah dengan ukuran masing-masing sampel, (3) dilakukan penaksiran terhadap parameter yang diperlukan dan dibuat kesimpulan untuk populasi berdasarkan hasil penarikan sampel.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Perilaku siswa di sekolah adiwiyata, dalam hal ini SMA Negeri 1 Semarang yang terkait dengan 6 (enam) indikator perilaku pro-lingkungan, yaitu perilaku siswa untuk menghemat penggunaan listrik dan air, menjaga kebersihan di dalam dan di luar kelas, membuaang sampah sesuai dengan tempat yang tersedia dengan melakukan pemisahan tempat sampah, adanya kegiatan piket kelas, jumat bersih, inovasi pembuatan produk daur ulang, memilih makanan sehat dan ramah lingkungan dengan tersedianya kantin sehat, mengikuti kegiatan aksi lingkungan hidup, seperti penanaman pohon dan mangrove. Perilaku siswa di sekolah adiwiyata hampir memenuhi ke-enam indikator perilaku pro-lingkungan yang digunakan dalam penelitian. Perilaku siswa di sekolah non-adiwiyata (SMK Negeri 8 Semarang), yaitu perilaku membuang sampah pada tempatnya, walaupun ketersediaan tempat sampah di lingkungan sekolah belum cukup memadai, menjaga kebersihan di dalam dan di luar kelas dengan adanya piket kelas. Perbedaan perilaku di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata terlihat dari lebih banyaknya upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan di sekolah adiwiyata, seperti upaya penghematan penggunaan listrik dan air, tersedianya kantin sehat serta adanya kegiatan lingkungan berbasis partisipatif yang tidak saja melibatkan siswa tetapi seluruh warga sekolah. Pada sekolah non- adiwiyata, upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungannya masih terbatas pada hal yang lebih sederhana seperti membuang sampah pada tempatnya dan belum di dukung dengan fasilitas yang memadai, seperti belum tersedianya pengelolaan sampah dengan pemisahan tempat sampah organik dan an-organik, belum tersedianya kantin sehat.

Hal tersebut sesuai dengan (Kaiser et al., 2007) yang menyatakan bahwa nilai dari suatu perilaku dapat digunakan untuk memprediksi nilai perilaku dari indikator yang lain karena masing-masing indikator memiliki keterkaitan satu sama lain. Penggabungan ke-enam indikator perilaku pro-lingkungan pada saat pengujian, akan didapatkan hasil

Page 209: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

198 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang signifikan daripada pengujian dilakukan per masing-masing indikator. Perilaku pro-lingkungan dapat berasal langsung dari masing-masing individu, yaitu apa yang sudah dilakukan dan apa yang akan dilakukan kemudian. Dari hasil uji penelitian ini menunjukkan apa yang seharusnya individu itu sadari atas perilakunya terhadap lingkungan.

Hasil analisis ini mendukung penelitian Gunawan, (2016) yang menyatakan bahwa dengan adanya program sekolah adiwiyata diharapkan dapat mengubah perilaku warga sekolah untuk melakukan budaya pelestarian lingkungan (pro-lingkungan) dan Syoffnelli et al. (2016) yang menyatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan tentang lingkungan yang intensif akan dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk pro lingkungan. Zsóka et al., 2013 dan Vicente-Molina et al., 2013 menyatakan terdapat keterkaitan antara pengetahuan dengan perilaku pro-lingkungan, dimana pada sekolah adiwiyata pengetahuan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan menjadi tanggung jawab warga sekolah. Sesuai dengan yang diungkapkan de Leeuw et al., 2015, bahwa mengembangkan pengetahuan yang pro-lingkungan sangat penting untuk menciptakan intervensi pendidikan yang baik guna meningkatkan perilaku pro-lingkungan. Hal tersebut yang menjadi pembeda antara sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata. Berdasarkan pengamatan langsung pada kedua lokasi penilitian dapat dilihat perbedaan sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di sekolah. Dilihat dari visi dan misi masing-masing sekolah, dimana pada sekolah adiwiyata lebih banyak mengupayakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dibandingkan dengan sekolah non-adiwiyata. Pada sekolah adiwiyata, lebih banyak menyediakan sarana dan prasarana untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup di sekolah serta sarana dan prasarana yang mendukung pembelajaran lingkungan hidup di sekolah dibandingkan dengan sekolah non-adiwiyata. Hal tersebut dapat dilihat pada penggambaran kondisi di masing-masing sekolah. Pada sekolah adiwiyata, tersedia sarana dan prasarana yang mendukung pemebelajaran lingkungan hidup, yaitu air bersih, pengelolaan sampah (penyediaan tempat sampah terpisah, komposter), tinja, pengelolaan air limbah/drainase, ruang terbuka hijau, kebisingan/getaran/radiasi, hutan sekolah, toga, kolam ikan, biopri, sumur resapan, biogas, ruang kelas yang memiliki pengaturan cahaya dan ventilasi udara secara alami, pemeliharaan dan pengaturan peneduh dan penghijauan, menggunakan paving block, rumput, tersedianya kantin sehat.

Hubungan yang terjadi antara sikap seseorang dengan perilakunya sesuai dengan teori perilaku terencana (theory of planned behavior) dimana perilaku seseorang didasari oleh berbagai keyakinan yang terhimpun dalam diri orang tersebut. Keyakinan tersebut membentuk sikap sesorang terhadap perilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku yang menjadi variabel terbentuknya perilaku seseorang. Sikap terhadap

Page 210: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 199

perilaku didasarkan pada keyakinan perilaku, yang merupakan keyakinan seseorang terhadap konsekuensi dari perilakunya (Ajzen, 1991, 2005). Ketika siswa sekolah yakin untuk melakukan perilaku pro-lingkungan, maka sikap mereka terhadap perilaku tersebut akan mendukung, sebaliknya jika mereka menghubungkan suatu perilaku dengan konsekuensi yang negative, maka sikap mereka tidak akan mendukung perilaku tersebut. Demikian halnya dengan norma-norma yang didasarkan pada presepsi orang-orang yang dianggap penting (orang tua, guru, dan teman dekat), hal tersebut yang akan membuat seseorang akan melakukan suatu perilaku tersebut atau tidak. (Rivis & Sheeran, 2003)

Berdasarkan analisis korelasi yang digunakan pada penelitian ini, hipotesis yang diajukan untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif (normative belief dan motivation comply) dengan perilaku pro-lingkungan baik disekolah adiwiyata dan non adiwiyata dapat diterima, yakni terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan. Hubungan antara sikap terhadap lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata didapatkan nilai r = 0,188; p < 0.01 dan di sekolah non-adiwiyata didapatkan nilai r = 0,156; p < 0.05. Hubungan antara norma subjektif (normative belief) dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata diperoleh nilai r = 0,286; p < 0.01 dan di sekolah non-adiwiyata dieperoleh nilai r = 0,297; p < 0.01. Hubungan antara norma subjektif (motivation comply) dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata diperoleh r = 0,525; p < 0.01 dan di sekolah non-adiwiyata diperoleh r = 0,386; p < 0.01. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Kollmuss & Agyeman, 2002 dan Tonglet, Phillips, & Read, 2004 yang menyatakan terdapat hubungan yang positif antara sikap terhadap lingkungan dan perilaku pro lingkungan. Penelitian lain dari Sparks & Shepherd, (1992) juga mendukung hasil penelitian ini, dengan yamenyatakan bahwa sikap, norma subjektif, dan kendali kontrol terhadap “Green consumerism” memiliki hubungan yang signifikan dalam intensi individu dalam mengkonsumsi sayuran hijau.

Hasil dari pengujian perilaku pro-lingkungan, sikap, dan norma subjektif pada siswa di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata, saat penelitian berada dalam kategori sedang. Pada sekolah adiwiyata, untuk perilaku pro-lingkungan didapatkan nilai mean empiris sebesar 88,36 dan standar deviasi 9,504; untuk pengujian sikap didapatkan nilai mean empiris sebesar 57,65 dan standar deviasi 4,682; untuk pengujian norma subjektif (normative belief) didapatkan nilai mean empiris sebesar 95,29 dan standar deviasi 8.105; untuk pengujian norma subjektif (motivation comply) didapatkan nilai mean empiris sebesar 91.42 dan standar deviasi 9.437. Sedangkan di sekolah non-adiwiyata, untuk perilaku pro-lingkungan didapatkan nilai mean empiris sebesar 87,60 dan standar deviasi 6,823; untuk pengujian sikap didapatkan nilai mean empiris

Page 211: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

200 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sebesar 57,36 dan standar deviasi 4,2841; untuk pengujian norma subjektif (normative belief) didapatkan nilai mean empiris sebesar 93,84 dan standar deviasi 8,292; untuk pengujian norma subjektif (motivation comply) didapatkan nilai mean empiris sebesar 93,84 dan standar deviasi 8,292.

Gambaran contoh perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata, antara lain penghematan penggunaan listrik yang diperuntukkan bagi semua warga sekolah, adanya, pengelolaan sampah dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik, kegiatan daur ulang, pengomposan, pemeliharaan taman, toga, rumah kaca, memilih bahan makanan yang sehat dan ramah lingkungan (tersedianya kantin sehat), piket kebersihan kelas, jumat bersih, mengikuti kegiatan aksi lingkungan hidup seperti penanaman mangrove pada hari lingkungan hidup. Gambaran contoh perilaku pro-lingkungan di sekolah non-adiwiyata, antara lain kegiatan piket kelas, perilaku membuang sampah pada tempatnya. Contoh perilaku pro-lingkungan di sekolah non-adiwiyata, antara lain menjaga kebersihan lingkungan sekolah dengan membuang sampah pada tempatnya, adanya piket kelas.

Perilaku pro-lingkungan yang digunakan pada penelitian ini mengadopsi indikator perilaku pro-lingkungan yang digunakan oleh Kaiser et al., 2007, dimana perilaku pro-lingkungan tersebut berkaitan dengan kehidupan dan kegiatan sehari-hari dari siswa sekolah. Kategori sedang dari perilaku pro-lingkungan siswa di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata terjadi karena beberapa kendala yang mungkin disebabkan oleh minimnya fasilitas sarana transportasi umum yang memadai dari segi jumlah dan tingkat kenyamanannya; kurangnya motivasi baik dalam diri sendiri ataupun dari oranglain untuk perilaku mendaur ulang; masih tingginya harga untuk barang-barang yang ramah lingkungan misalnya bahan makanan organik, bahan makanan atau barang yang memiliki label ramah lingkungan; makin banyaknya penggunaan elektronik yang berdampak pada pemakaian listrik yang berlebihan untuk menunjang gaya hidup siswa sehingga diperlukan penyadartahuan untuk lebih peduli terhadap upaya konservasi energi. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, sarana dan prasarana di sekolah adiwiyita lebih mendukung siswa untuk berperilaku dalam upaya menghindari limbah dibandingkan sekolah non-adiwiyata, tetapi hal tersebut tidak mengurangi antusiasme siswa di sekolah non-adiwiyata untuk berperilaku dalam upaya menghindari limbah, terlihat dari kondisi kedua sekolah yang sama-sama menjaga kebersihan lingkungan. Asumsi dari penelitian ini sesuai dengan Easton et al., 2009, yang menyatakan terdapat beberapa hambatan dalam menjalankan perilaku pro-lingkungan, yaitu terbatasnya biaya pribadi untuk menunjang perilaku pro-lingkungan; tidak adanya pengetahuan untuk berperilaku pro-lingkungan; kurangnya waktu menjadi halangan untuk melakukan perilaku konservasi baik energi dan lingkungan. Perilaku pro-lingkungan pada siswa sekolah merupakan hal yang penting karena kebiasaan berperilaku pro-

Page 212: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 201

lingkungan dapat terbentuk sedini mungkin dan karena siswa sekolah mendapatkan pendidikan lingkungan sebagai bagain dari kurikulum di sekolah, khususnya sekolah adiwiyata (de Leeuw et al., 2015).

Hasil penelitian ini juga konsisten dengan hasil yang dijelaskan oleh Chan & Lau, 2000 yang menyatakan sikap memiliki hubungan yang positif dengan intensi untuk membeli produk-produk yang ramah lingkungan. Hasil yang sama juga dinyatakan oleh Kumar, 2014 bahwa perilaku membeli produk ramah lingkungan menyatakan bahwa sikap memiliki hubungan yang signifikan dengan niat untuk membeli produk yang ramah lingkungan. Sedangkan norma subjektif menekankan pada apa yang dirasakan untuk melakukan atau tidak suatu perilaku berdasarkan persepsi subjektif bahwa orang lain mungkin setuju atau menolak perilaku tersebut serta dipengaruhi oleh keyakinan mengenai perilaku yang bersifat normatif. Hal tersebut didukung dengan penelitian Cheung, Chan, & Wong, 1999; Chaisamrej, 2006; Cordano et al., 2011; Kumar, 2014; Gusti Aria et al. 2015, yang menyatakan bahwa norma subjektif merupakan variabel yang konsisten dan memiliki hubungan yang positif terhadap perilaku seseorang, dalam hal ini perilaku pro lingkungan. Peran kepala sekolah, guru, orang tua, teman yang disiplin serta penjaga sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk menilai norma subjektif siswa. Indikator penilai tersebut merupakan orang-orang yang dianggap mampu dan berpotensi untuk memberikan pengaruh yang baik dalam menerapkan atau tidak menerapkan untuk berperilaku pro-lingkungan. Hal tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak sekolah dan pengambil kebijakan untuk meningkatkan sikap dan norma subjektif siswa sehingga terwujudnya perilaku pro-lingkungan yang berkelanjutan.

Nilai koefisien korelasi antara sikap terhadap lingkungan dan norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan yang diperoleh pada penelitian ini berada pada kategori sedang s/d sangat rendah. Berdasarkan nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa antar variabel memiliki hubungan yang positif, sehingga semakin positif sikap dan norma subjektif seseorang maka akan semakin tinggi frekuensi perilaku pro lingkungan pada siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori TPB (Theory of Planned Behavior), yakni perilaku manusia didasari oleh keyakinan dalam diri seseorang yang telah terakumulasi. Keyakinan tersebut membentuk variabel anteseden, yaitu sikap, norma subjektif dan kontrol perilaku.

Nilai koefisien korelasi yang terbilang sedang s/d rendah tersebut mungkin disebabkan karena faktor yang digunakan dalam uji korelasi ini hanya menggunakan faktor internal saja (sikap dan norma subjektif). Berdasarkan Notoatmodjo, (2010) perilaku seseorang dapat terbentuk karena faktor internal (perhatian, persepsi, motivasi, fantasi, sugesti, pengamatan, dan sebagainya) dan faktor eksternalnya (lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya. Politik, dan sebagainya). Perilaku seseorang dalam penelitian

Page 213: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

202 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ini tentu saja perilaku yang pro-lingkungan. Konsep dasar dalam membentuk perilaku peduli lingkungan menurut Akpan et al. (2003), ada tiga unsur, yaitu faktor institusional, strategi pendidikan, serta pengetahuan dan nilai. Dimana nilai disini termasuk didalamnya sikap dan norma subjektif seseorang). Ketiga faktor tersebut berkaitan satu dan yang lainnya. Faktor institusi berhubungan dengan kebijakan politik, ketersediaan dana dan fasilitas yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Strategi pendidikan adalah salah satu hasil dari kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan nilai yang nantinya akan mempengaruhi perilaku peduli lingkungan.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hipotesis yang diajukan dapat diterima, yaitu terdapat perbedaan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata dan non-adiwiyata (nilai signifikansi yang < 0.05 yaitu sebesar 0.046). Penggabungan ke-enam indikator perilaku pro-lingkungan pada saat pengujian, akan didapatkan hasil yang signifikan daripada pengujian dilakukan per masing-masing indikator.

2. Terdapat hubungan yang positif antara sikap terhadap lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata (r = 0,188; p < 0.01)

3. Terdapat hubungan yang positif antara sikap terhadap lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah non-adiwiyata (r = 0,156; p <0.05) semakin positif sikap terhadap lingkungan seseorang akan semakin tinggi frekuensi seseorang tersebut dalam berperilaku pro-lingkungan.

4. Terdapat hubungan yang positif antara norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah adiwiyata.

5. Terdapat hubungan yang positif antara norma subjektif dengan perilaku pro-lingkungan di sekolah non-adiwiyata. semakin positif norma subjektif seseorang akan semakin tinggi frekuensi seseorang tersebut dalam berperilaku pro-

lingkungan.

E. Saran

1. Dalam upaya memelihara serta meningkatkan perilaku pro-lingkungan pada siswa di sekolah adiwiyata, diperlukan pembinaan yang berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesadaran lingkungan dengan selalu melibatkan siswa dalam kegiatan yang pro-lingkungan. Sedangkan di sekolah non-adiwiyata, perlu adanya penyuluhan dan sosialisasi kepada siswa tentang pentingnya

Page 214: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 203

berperilaku pro-lingkungan, membuat peraturan yang berkaitan dengan kegaitan pro-lingkungan di lingkungan sekolah.

2. Komitmen dan dukungan dalam mewujudkan perilaku pro-lingkungan tidak hanya datang dari pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan tetapi peran serta orang tua dan lingkungan terdekat siswa, instansi terkait dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta dinas-dinas yang terlibat, diharapakan dapat memberikan kontribusi dan pengaruh yang lebih baik sehingga dapat menanamkan perilaku yang pro-lingkungan.

3. Penelitian selanjutnya dapat mengkaji aspek lain dari perilaku pro-lingkungan tidak hanya faktor internal saja tetapi mengikutsertakan faktor eksternal seperti kebijakan yang berkaitan dalam mewujudkan lingkungan sekolah yanag berwawasan lingkungan.

Page 215: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

204 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 216: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN RIMBO LARANGAN DI NAGARI PARU, KABUPATEN SIJUNJUNG, SUMATERA BARAT

Nama : Yuki Alandra

Instansi : Pemkab Sijunjung

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 217: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

206 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Masyarakat yang tinggal di Nagari Paru, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat merupakan komunitas lokal Minangkabau yang mengelola hutan sesuai dengan kearifan lokal yang diwarisi oleh leluhurnya. Dalam melindungi hutan, mereka menerapkan sistem pengelolaan hutan yang disebut dengan Rimbo Larangan. Namun dalam perkembangannya, praktik pengelolaan Rimbo Larangan tersebut telah mendapatkan beberapa gangguan. Oleh karena itu, kajian mengenai keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sejarah Rimbo Larangan dan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran, dengan kualitatif yang lebih dominan dan kuantitatif yang kurang dominan. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui sejarah Rimbo Larangan dan menentukan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Sementara metode kuantitatif digunakan untuk mengukur keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberlanjutan dari aspek ekologi masih terjamin karena sumberdaya air, keberadaan tumbuhan penting dan hewan yang dilindungi masih terperlihara dengan baik. Keberlanjutan dari aspek ekonomi masih terjamin karena masyarakat memperoleh manfaat ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan ketersediaan sumberdaya hutan yang masih berlimpah. Keberlanjutan dari aspek sosial masih terjamin karena masyarakat telah berpartispasi mengelola Rimbo Larangan dalam hal pengawasan, kelembagaan lokal masyarakat mampu menegakkan hukum adat dan peraturan lain serta askes masyarakat terhadap sumberdaya hutan terjamin dengan penuh keadilan. Sehingga secara keseluruhan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru diprediksikan bisa keberlanjutan untuk masa mendatang karena begitu kuat dan selarasnya peran kelembagaan lokal dengan pemerintahan nagari dalam mengatur hubungan antar masyarakat terhadap praktik pengelolaan Rimbo Larangan. Selain itu masyarakat juga semakin menyadari bahwa dengan menjaga kelestarian Rimbo Larangan merupakan sebuah jaminan bagi kelangsungan usaha pertanian sawahnya.

Kata kunci: Rimbo Larangan, Kelestarian, Kearifan Lokal

Page 218: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 207

ABSTRACT

The people in Nagari Paru, Sijunjung District, Province of West Sumatra were local Minangkabau communities who managed forests according to local wisdom inherited from their ancestors. In protecting the forest, they implemented a forest management system called Rimbo Larangan (Forbidden Forest). However, in its development, the Rimbo Larangan management practice had faced several disturbances. Therefore, the study of the sustainability of the Rimbo Larangan management system was very important to carry out. The purpose of this study was to describe the history of Rimbo Larangan and sustainability of its management system in Nagari Paru.

The method used in this study was a mixed method, with more dominant qualitative and less dominant quantitative methods. The qualitative method was used to find out the history of Rimbo Larangan and determine the sustainability of the Rimbo Larangan management system in Nagari Paru from ecological, economic and social aspects. While quantitative method was used to measure the sustainability of the Rimbo Larangan management system in Nagari Paru from ecological, economic and social aspects.

The results of the study show that sustainability from the ecological aspect was still secured since the water resources, the presence of important plants and protected animals were still well maintained. Sustainability from an economic aspect was still secured since the community gained economic benefits both directly and indirectly with the availability of abundant forest resources. Sustainability from the social aspect was still secured since the community had participated in managing Rimbo Larangan in terms of supervision, existence of local community institutions were able to enforce customary law and other regulations and community health insurance was fairly guaranteed. So that the overall management system of Rimbo Larangan in Nagari Paru was predicted to be sustainable for the future because the local institutions and the nagari government were strongly and harmoniously bonded in regulating inter-community relations towards Rimbo Larangan management practices. In addition, the community was also increasingly aware that by maintaining the sustainability of Rimbo Larangan it would guarantee the sustainability of the rice farming activity.

Keywords: Forbidden Forest, Rimbo Larang, Local Wisdom, Sustainability

Page 219: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

208 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KEBERLANJUTAN SISTEM PENGELOLAAN RIMBO LARANGAN DI NAGARI PARU, KABUPATEN SIJUNJUNG,

SUMATERA BARAT

A. Latar Belakang

Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat lokal yang tinggal di pedesaan. Sampai saat ini, sekitar 50 juta orang di Indonesia masih menggantungkan hidupnya terhadap hutan (Brown, 2004; dikutip oleh Gunarso dkk., 2009). Sekurang-kurangnya hutan memiliki dua fungsi penting bagi mereka, yaitu sebagai sumberdaya (baik kayu maupun bukan kayu) dan sebagai kawasan yang cocok untuk dijadikan lahan pertanian (Sardi, 2010). Selain itu, hutan juga berkontribusi terhadap pemeliharaan budaya asli (Pei et al., 2009).

Pada umumnya masyarakat lokal mengetahui dengan baik kondisi hutan di sekitarnya, sebab mereka telah lama hidup berdampingan dengan harmonis dan menjalin interaksi secara terus-menerus dengan ekosistem hutan (Iskandar, 1992; Suhartini, 2009). Selama berinteraksi, masyarakat lokal pun berhasil membangun sejumlah pengetahuan (kearifan lokal) menyangkut pengelolaan hutan (Iskandar, 1992; Pei et al., 2009; Damanik, 2010). Oleh karena itu, dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, masyarakat lokal akan cenderung lebih memperhatikan kelestariannya. Hal ini relevan, mengingat bahwa mereka merupakan elemen yang paling merasakan dampak apabila terjadi kerusakan pada hutan.

Saat ini masih banyak ditemukan di Indonesia kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan secara lestari, diantaranya: sistem Sasi Hutan oleh masyarakat Haruku, Maluku Tengah yang melarang penebangan pohon di tepi sungai dan pohon yang sedang berbuah (Tuhumuri, 2010). Sistem Toipetagi (larangan) dan Toipopalia (pantangan) oleh masyarakat Toro, Sulawesi Selatan yang melarang membuka atau mengolah hutan di mana ada mata air dan pantang menebang kayu yang diketahui sebagai makanan pokok burung-burung dalam hutan (Kleden dkk., 2013). Sistem Borong Karamaka artinya hutan keramat atau terlarang dan sistem Kasimpali yang artinya larangan mengganggu flora dan fauna di hutan oleh masyarakat Kajang, Sulawesi Tengah (Chandra, 2016).

Kajian kelestarian pengelolaan hutan dan eksistensi masyarakat lokal menjadi isu yang menarik di tingkat lokal, nasional dan global (Lynch dan Talbott, 2001; Suharjito et al., 2000; Parottta et al., 2009). Hingga belakangan ini semakin disadari bahwa untuk mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan, pemerintah perlu memperhatikan keterlibatan masyarakat lokal (Lynch dan Talbott, 2001; Gunawan et al., 2004). Sebab

Page 220: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 209

aksi kolektif mereka semakin diakui penting untuk pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, terutama pengelolaan hutan di daerah pedesaan (Shrestha dan McManus, 2006). Di samping itu, juga didorong oleh kenyataan bahwa mekanisme negara (top-down) dan pasar telah gagal dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Agrawal dan Gibson, 1999).

Ada beberapa alasan kuat yang melandasi betapa pentingnya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, antara lain: (1) mempunyai motivasi yang kuat untuk mengelola hutan dengan baik, karena hutan merupakan sumberdaya yang penting bagi mereka; (2) mempunyai pengetahuan (kearifan lokal) dalam memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan; (3) mempunyai hukum adat yang menuntun mereka dalam berperilaku; (4) mempunyai institusi lokal dengan eksistensi yang tinggi; serta (5) memiliki kemampuan membangun solidaritas dalam komunitas masyarakat (Renggi dkk., 2015; Mulyadi, 2013).

Pandangan terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dapat menyiratkan optimisme dan memberikan justifikasi akan kelestarian hutan. Oleh karena itu, keberlanjutan sistem pengelolaan hutan yang mereka terapkan selama ini perlu mendapat perhatian yang serius. Terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan beberapa tantangan perubahan yang tak akan lepas dari kehidupan masyarakat lokal, misalnya pertambahan jumlah penduduk, intervensi ekonomi pasar, intervensi kebijakan pemerintah dan perkembangan teknologi (Iskandar, 2001; Tuhumuri, 2010; Ritchie dkk., 2001; Golar, 2007; Parrotta et al., 2009).

Ritchie dkk., (2001) berpendapat bahwa jika suatu saat sistem pengelolaan hutan masyarakat lokal terancam atau tidak diindahkan, maka dapat berakibat kepada penggunaan hutan yang tidak lestari, yang menyebabkan timbulnya degradasi hutan atau deforestasi. Sementara Zakaria (2000) menyebutkan bahwa jika sistem pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat lokal terabaikan, maka akan muncul bentuk kerugian yang berimplikasi pada sistem sosial budaya, ekonomi maupun religi

dan kepercayaan mereka terhadap alam.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Di Sumatera Barat, kearifan lokal masyarakat dalam mengelola hutan juga masih dapat ditemukan. Salah satunya ada di Nagari1 Paru, Kabupaten Sijunjung.

Masyarakat yang tinggal di Nagari Paru merupakan komunitas lokal dari etnis Minangkabau. Dalam melindungi hutan, mereka menerapkan sistem pengelolaan hutan yang disebut dengan Rimbo2 Larangan. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku,

Page 221: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

210 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pohon yang ada dalam kawasan Rimbo Larangan tidak boleh ditebang dan hewan tidak boleh diburu (Onrizal dan Mansor, 2015; Tito et al., 2017). Dalam kasus ini, masyarakat hanya diperbolehkan untuk mengambil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), misalnya rotan, getah-getahan dan buah-buahan (Zella, 2015).

Kawasan hutan di Nagari Paru yang ditetapkan sebagai Rimbo Larangan seluas 4.500 ha. Pada umumnya berada di daerah perbukitan. Kawasan hutan tersebut merupakan tanah ulayat masyarakat Nagari Paru. Tanah ulayat di Minangkabau adalah harta pusaka tinggi yang dimiliki bersama atas nama kaum/ suku dibawah pimpinan seorang Datuak (Navis, 2015). Untuk memperkuat keberadaan Rimbo Larangan, Wali Nagari (Kepala Desa) Paru telah mengeluarkan Peraturan Nagari (Pernag) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pelestarian Hutan Lindung Nagari (Rimbo Larangan) dan Habitat Yang Ada di Dalamnya.

Namun seiring dengan perkembangannya, hasil penelitian Zella (2015) dan Martial (2013) mengungkapkan bahwa praktik pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru telah mendapatkan beberapa gangguan, diantaranya: (1) terjadinya penebangan pohon secara diam-diam; (2) terjadinya perburuan hewan; serta (3) pro dan kontra dalam masyarakat atas keberadaan Rimbo Larangan. Melihat kondisi di atas, kajian mengenai keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru menjadi sangat penting untuk dilakukan. Menurut Pokharel et al., (2014), dalam sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat diperlukan sebuah alat pemantauan (monitoring tool) yang memungkinkan masyarakat dapat melacak kemajuan proses pengelolaan hutan yang telah mereka lakukan untuk mencapai tujuan keberlanjutan.

Penelitian yang akan dilakukan bersifat deskriptif, yaitu dengan menggali dan menganalisis secara mendalam berbagai informasi yang dikumpulkan mengenai perkembangan kondisi sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru saat ini. Selanjutnya dideskripsikan agar dapat memperoleh suatu gambaran untuk memprediksikan keberlanjutannya di masa mendatang. Berdasarkan uraian ini, masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian adalah bagaimana keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru?

Disain penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed methods), antara metode kualitatif yang lebih dominan dan metode kuantitatif yang kurang dominan (Creswell, 2003). Dengan kata lain, data kuantitatif yang dikumpulkan akan dipergunakan untuk memperjelas data kualitatif agar dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dalam pembahasan penelitian. Metode kualitatif digunakan untuk menggali berbagai informasi secara mendalam melalui key informan yang dianggap berkompeten mengetahui sejarah Rimbo Larangan dan perkembangan kondisi sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru saat ini. Sedangkan metode kuantitatif digunakan untuk

Page 222: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 211

mengukur keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru saat ini melalui survei terhadap responden dengan menggunakan instrumen kuesioner.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Nagari Paru

Secara administratif Nagari Paru terletak di Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Wilayah Nagari Paru di sebelah timur berbatasan dengan Nagari Sungai Betung, sebelah barat berbatasan dengan Nagari Silokek, sebelah selatan berbatasan dengan Nagari Aie Angek dan Solok Ambah serta sebelah utara berbatasan dengan Nagari Durian Gadang. Nagari Paru terdiri dari tiga jorong, yaitu Jorong Batu Ranjau, Jorong Bukik Buar dan Jorong Kampung Tarandam. Nagari Paru berjarak sekitar 30 km dari ibukota kecamatan, sekitar 36 km dari ibukota kabupaten dan sekitar 170 km dari ibukota provinsi.

Luas wilayah Nagari Paru sekitar 24.026 ha dengan rincian penggunaan lahan, berupa kawasan pemukiman seluas 127,25 ha, bangunan seluas 24,01 ha, sawah seluas 480,20 ha, tanah tegalan dan ladang seluas 300,25 ha, perkebunan seluas 1.080,20 ha, padang rumput seluas 20 ha, perikanan darat seluas 2,40 ha, hutan lindung adat (Rimbo Larangan) seluas 4.500 ha, rawa seluas 1 ha, kawasan hutan lindung seluas 17,490,69 ha (Monografi Nagari Paru, 2016).

Nagari Paru terbentuk oleh rangkaian bukit barisan yang memanjang dari arah barat laut ke arah tenggara (Gambar 3). Wilayah ini memiliki ketinggian yang bervariasi antara 100 mdpl - 850 mdpl. Dengan topografi bentang lahan berupa dataran seluas 10.026 ha dan perbukitan seluas 14.000 ha (Monografi Nagari Paru, 2016). Bentang lahan Nagari Paru dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu perbukitan karst, dataran aluvial dan tanggul alam. Dataran aluvial terdapat pada daerah yang yang memiliki topografi yang landai, tanggul alam terdapat pada daerah yang memiliki topografi yang landai. Sedangkan untuk perbukitan karst terdapat pada daerah yang bertopografi curam (Zella, 2015).

2. Perkembangan Sistem Pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru

Pada dasarnya upaya pelestarian Rimbo Larangan bertujuan untuk memelihara fungsi hidrologis hutan yaitu pemeliharaan kuantitas dan kualitas air. Baik air tanah maupun air permukaan guna mendukung kelangsungan usaha pertanian padi sawah masyarakat. Berdasarkan wawancara dan observasi, saat ini kondisi sumberdaya air yang ada di kawasan Rimbo Larangan masih terpelihara dengan baik (Gambar 13). Hal ini ditunjukkan dengan 81,9% responden menyatakan bahwa

Page 223: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

212 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kondisi sumberdaya air di kawasan Rimbo Larangan dalam keadaan yang stabil, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Terdapat sebanyak 8 sumber air di kawasan Rimbo Larangan (Bukik Mandi Angin), yaitu Sei. Dokek Botuang, Sei. Tompek Bodi, Sei. Sopan, Sei. Kopi, Sei. Tirih, Sei. Bomban, Sei. Gajah Mati dan Sei. Antak Potuih. Sumber air tersebut merupakan anak sungai Batang Mangan. Sedangkan di kawasan Rimbo Larangan (Sungai Sirah) terdapat sebanyak 7 sumber air, yaitu Sei. Durian, Sei. Sirah Ketek, Sei. Sirah Godang, Sei. Kaki, Sei. Salak, Sei. Lingkitang dan Sei. Mabuang.

Aktivitas perburuan hewan liar merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya hutan, karena hewan liar termasuk dalam sumberdaya hutan yang digolongkan ke dalam Hasil Hutan Bukan Kayu. Namun dalam sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru aktivitas perburuan hewan liar juga menjadi ketentuan larangan menurut aturan adat yang berlaku. Berdasarkan wawancara, perburuan liar yang dimaksud lebih mengarah kepada perburuan hewan besar. Karena dalam sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru penangkapan ikan masih diperbolehkan bagi masyarakat. Kegiatan berburu sendiri menurut PP No. 13 tahun 1994 adalah menangkap dan atau membunuh hewan buruan termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan atau sarang hewan buruan.

Dari hasil inventarisasi tersebut, yang dapat peneliti temui ataupun mendengar bunyi suaranya selama observasi di sekitar kawasan Rimbo Larangan adalah burung rangkong badak (Buceros rhinoceros), kokah/ sikoka (Presbytis siamensis) dan siamang (Hylobates syndactilus). Keberadaan burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) dan kokah/ sikoka (Presbytis siamensis) itu sendiri cukup mudah dan sering dijumpai, yaitu terlihat dari sekitar jalan utama Nagari Paru yang berdekatan dengan kawasan Rimbo Larangan Bukik Mandi Angin. Namun karena keterbatasan kapasitas zoom alat kamera selama penelitian, kedua jenis hewan tersebut tidak bisa didokumentasikan. Menurut pandangan Meijaard dkk., (2006), burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) dianggap sebagai spesies yang merupakan indikator keberhasilan regenerasi hutan dan indikator keberadaan cadangan keanekaragaman hayati pohon. Sementara untuk keberadaan siamang (Hylobates syndactilus) hanya terdengar bunyi suaranya hampir setiap hari dari rumah warga (tempat peneliti menginap).

3. Analisis Keberlanjutan Sistem Pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru

Keberlanjutan sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial merupakan sebuah siklus yang saling berhubungan. Menurut

Page 224: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 213

Reardon dan Vosti (1995), kondisi ekonomi dan ekologi ditentukan oleh kondisi sosial masyarakat di pedesaan dan rumah tangga, karena mereka adalah pengguna langsung dan manajer dari ekosistem pedesaan, walaupun pada tingkat subsisten. Sementara menurut Berkes (2003) upaya konservasi berbasis masyarakat tersebut muncul disaat ilmu ekologi mengalami pergeseran dengan memasukkan manusia ke dalam bagian dari ekosistem, dan pergeseran dari pendekatan berbasis ahli ke konservasi dan pengelolaan partisipatif (sosial). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan perkembangan kondisi saat ini, sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dapat dianalisis dan ditentukan keberlanjutannya meliputi aspek ekologi, ekonomi dan sosial.

Dilihat dari aspek ekologi, dengan menerapkan sistem pengelolaan Rimbo Larangan, masyarakat Nagari Paru telah berhasil memelihara kestabilan sumberdaya, menghindari eksploitasi, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem lainnya. Khususnya memelihara sumberdaya air dan menjaga keberadaan pepohonan ataupun hewan yang dilindungi. Pentingnya memelihara sumberdaya air merupakan alasan yang paling kuat bagi masyarakat Nagari Paru dalam mengelola Rimbo Larangan. Mengingat mata pencaharian utama mereka adalah sebagai petani, terutama petani padi sawah.

Dilihat dari aspek ekonomi, dengan menerapkan sistem pengelolaan Rimbo Larangan tidak seluruh masyarakat Nagari Paru dapat memperoleh tambahan pendapatan tunai yang memadai melalui penjualan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Hanya sebagian kecil masyarakat yang menjual HHBK tersebut dan juga tidak memperoleh tambahan pendapatan tunai yang bernilai besar. Kebanyakan hanya Rp100.000,- per-bulannya. Kecilnya nilai tambahan pendapatan tunai ini bukanlah disebabkan karena terbatasnya ketersediaan HHBK dalam kawasan Rimbo Larangan. Melainkan karena faktor kebiasaan masyarakat yang hanya memanfaatkan HHBK untuk keperluan subsisten saja. Kellert et al., (2000; dikutip oleh Berkes, 2003) telah mempelajari kasus pengelolaan sumberdaya oleh masyarakat melalui indikator ekologi maupun sosial dan menemukan bahwa kegiatan ini jarang menghasilkan distribusi kekuatan dan manfaat ekonomi yang lebih baik. Meski demikian, melalui sistem pengelolaan Rimbo Larangan, masyarakat Nagari Paru dapat memperoleh manfaat ekonomi dari pengambilan HHBK baik secara langsung untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan kebutuhan pangan ataupun secara tidak langsung melalui layanan ekosistem hutan berupa air untuk mendukung usaha pertanian sawah mereka.

Dilihat dari aspek sosial, dengan menerapkan sistem pengelolaan Rimbo Larangan masyarakat Nagari Paru telah ikut berpartisipasi mengelola Rimbo

Page 225: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

214 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Larangan dalam bentuk pengawasan dan pengamanan sumberdaya hutan, terutama menyangkut keberadaan pepohonan yang ada. Mereka yang ikut berpartisipasi merupakan masyarakat yang sering mengakses masuk dalam kawasan Rimbo Larangan dan dapat dikelompokkan ke dalam 4 bentuk pembagian kerja, yaitu pengawas (Kelompok Petani Peduli Hutan, KPPH), pengawas (niniak mamak), pengawas (pemerintah nagari) dan pengawas (masyarakat).

4. Prediksi Keberlanjutan Sistem Pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru Untuk Masa Mendatang

Berdasarkan hasil penelusuran sejarahnya, sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru sebenarnya telah mengalami perubahan. Dimana pada awalnya, penerapan sistem pengelolaan Rimbo Larangan secara ideal benar-benar bertujuan untuk pengawetan kawasan dan sumberdaya hutan. Hal ini dapat dilihat dari aturan adat yang tertulis dalam Pernag Nomor 1 Tahun 2002 bahwa masyarakat Nagari Paru juga tidak diperbolehkan untuk memperladangkan ataupun mengambil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan Rimbo Larangan. Faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut adalah intervensi kebijakan pemerintah dengan menetapkan kawasan Rimbo Larangan menjadi Hutan Nagari.

Terjadinya perubahan pada sistem pengelolaan Rimbo Larangan, saat ini dapat diterima oleh seluruh masyarakat Nagari Paru. Karena seperti halnya macam atau jenis adat di Minangkabau, kebanyakan dari mereka begitu paham dengan adat nan ampek11 (adat yang empat). Berdasarkan ketentuan adat nan ampek, sistem pengelolaan Rimbo Larangan dikategorikan oleh masyarakat Nagari Paru ke dalam adat nan taradat (adat yang teradat) yaitu adat yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang memakainya. Juga merupakan aturan-aturan yang dapat menyesuaikan diri sesuai dengan kehendak zaman sehingga bersifat dinamis. Di sisi lain, dukungan yang diberikan oleh pemerintah dengan menetapkan kawasan Rimbo Larangan menjadi Hutan Nagari juga dipandang masyarakat bernilai positif yaitu dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan ataupun insentif bagi seluruh masyarakat Nagari Paru agar senantiasa menjaga kelestarian Rimbo Larangan.

Melnurut hasil pemantauan perkembangan kondisi saat ini, dapat diprediksikan bahwa sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru secara keseluruhan masih bisa keberlanjutan untuk masa mendatang. Dengan pertimbangan utama bahwa begitu kuat dan selarasnya peran kelembagaan lokal dengan pemerintahan nagari dalam mengatur hubungan antar masyarakat terhadap praktik pengelolaan dan kelestarian Rimbo Larangan. Selain itu, bentuk ancaman lain terhadap Rimbo

Page 226: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 215

Larangan seperti tekanan penduduk akan lahan pertanian di Nagari Paru bisa dikatakan masih sangat aman untuk saat ini. Hal itu dapat dilihat dari perbandingan jumlah luas lahan pertanian dengan jumlah rumah tangga di Nagari Paru. Dengan jumlah luas lahan pertanian sekitar 1.560,4 ha (sawah 480,2 ha ditambah perkebunan 1.080,2 ha) dan jumlah rumah tangga sebanyak 493 rumah tangga. Jika dirata-ratakan dengan perhitungan cepat dan sederhana serta diasumsikan seluruh rumah tangga di Nagari Paru adalah petani, maka dapat diperkirakan setiap rumah tangga di Nagari Paru memiliki lahan pertanian sekitar 3,2 ha/ rumah tangga. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa setiap rumah tangga di Nagari paru masih dalam taraf hidup layak menurut ukuran lahan pertanian minimal petani, sebagaimana pendapat Soemarwoto (1985), yaitu besar dari 0,5 ha/ rumah tangga ataupun Nazam dkk., (2011) yaitu 0,73 ha/ rumah tangga.

Namun demikian, penting rasanya diperhatikan faktor lain yang berpotensi menjadi masalah atau tantangan dalam mempertahankan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru untuk masa mendatang. Misalnya pengaruh faktor pertambahan jumlah penduduk yang berubah-ubah setiap waktu. Hal ini tentu akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan lahan pertanian, terutama menyangkut pemenuhan kebutuhan ekonomi. Mengingat sebagian besar masyarakat Nagari Paru sangat menggantungkan kehidupan keluarganya dari usaha di bidang pertanian. Bila terjadi peningkatan kebutuhan akan lahan pertanian, maka sangat memungkinkan adanya tindakan-tindakan perambahan atau eksploitasi hutan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Paru. Dan jika hal tersebut tidak diperhitungkan sejak awal, maka timbulnya gangguan yang lebih besar dalam pengelolaan Rimbo Larangan di masa mendatang tentu tidak dapat dihindari lagi.

Menurut Iskandar (1993), pertambahan jumlah penduduk akan menyebabkan kebutuhan pangan menjadi meningkat, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan perluasan lahan pertanian. Bila kebutuhan lahan pertanian meningkat, maka luas daerah hutan yang ditebang akan meningkat pula. Pendapat serupa oleh Soemarwoto (1985) menyebutkan bahwa tekanan penduduk terjadi karena lahan pertanian di suatu daerah tidak cukup untuk mendukung kehidupan penduduk pada tingkat yang dianggap layak. Sehingga penduduk kemudian berusaha memperoleh tambahan pendapatan dengan membuka lahan baru atau bermigrasi ke kota.

Dalam kasus ini, bisa saja masyarakat Nagari Paru di masa mendatang masih mampu untuk mengatasi masalah daya dukung lahan pertanian yang tersedia terhadap tekanan penduduk. Karena seperti halnya orang Minangkabau pada

Page 227: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

216 Direktori Mini Tesis-Disertasi

umumnya, kebudayaan merantau sirkuler ataupun menetap yang masih kuat dirasa cukup berpengaruh pada penurunan laju pertumbuhan penduduk, paling tidak untuk masyarakat di daerahnya, karena umur perkawinan tertunda (Soemarwoto, 2004). Pada penelitian ini memang tidak dikaji terlalu mendalam mengenai mobilitas penduduk, namun dampak kebudayaan merantau tersebut tentu cukup memberi andil yang besar dalam mengurangi peningkatan kebutuhan masyarakat akan lahan pertanian di masa mendatang. Meski demikian, kemungkinan timbulnya gangguan yang lebih besar terhadap Rimbo Larangan sebenarnya masih bisa dihindari sejak awal jika saja pemerintah mampu ‘segera’ menciptakan ataupun menyediakan lapangan pekerjaan untuk masyarakat Nagari Paru di luar sektor pertanian. Sehingga di masa mendatang masyarakat Nagari Paru tidak perlu mengeksploitasi Rimbo Larangan untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian baru.

D. Kesimpulan

Kajian keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru yang telah dilakukan merupakan upaya untuk mencapai pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Dengan memantau perkembangan kondisi sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Paru saat ini. Sehingga dapat ditentukan dan diharapkan mencapai tujuan keberlanjutan guna mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan. Dari hasil analisis secara keseluruhan, sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru diprediksikan masih bisa keberlanjutan untuk masa mendatang. Dengan pertimbangan utama bahwa begitu kuat dan selarasnya peran kelembagaan lokal dengan pemerintahan nagari dalam mengatur hubungan antar masyarakat terhadap praktik pengelolaan Rimbo Larangan. Meskipun sistem pengelolaan ini telah mengalami perubahan karena faktor intervensi kebijakan pemerintah sejak ditetapkan menjadi Hutan Nagari. Namun hal itu bukanlah ancaman yang serius. Karena dalam praktiknya, masyarakat Nagari Paru telah berhasil membangun sejumlah tata cara sebagai bentuk tindakan preventif guna menjaga kelestarian Rimbo Larangan. Adapun hasil analisis keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan di Nagari Paru dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Dilihat dari aspek ekologi, sumberdaya air, keberadaan tumbuhan penting serta keberadaan hewan yang dilindungi masih terpelihara dan terjaga dengan baik dalam kawasan Rimbo Larangan di Nagari Paru. Sehingga keberlanjutan ekologi masih terjamin untuk masa mendatang.

2. Dilihat dari aspek ekonomi, potensi sumber perekonomian masyarakat yang berasal dari Rimbo Larangan masih sangat tinggi. Namun tidak seluruh

Page 228: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 217

masyarakat Nagari Paru memperoleh tambahan pendapatan tunai karena faktor kebiasaan mereka yang subsisten. Meski demikian masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengelolaan Rimbo Larangan. Sehingga keberlanjutan ekonomi masih terjamin untuk masa yang mendatang.

3. Dilihat dari aspek sosial, masyarakat Nagari Paru telah berpartispasi mengelola Rimbo Larangan dalam hal pengawasan dan pengamanan, kelembagaan lokal mampu menegakkan hukum adat dan peraturan lain serta akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan berupa hasil hutan bukan kayu juga terjamin dengan penuh keadilan. Sehingga keberlanjutan sosial masih terjamin untuk masa mendatang.

E. Saran

Perlu beberapa upaya pembenahan, baik oleh masyarakat Nagari Paru itu sendiri ataupun melalui stakeholder terkait guna mempertahankan keberlanjutan sistem pengelolaan Rimbo Larangan untuk masa mendatang. Dari aspek ekologi, penerapan sanksi adat terhadap kasus perburuan hewan sebaiknya segera diberlakukan oleh masyarakat Nagari Paru. Dari aspek ekonomi, pemerintah sebaiknya mempercepat perbaikan-perbaikan yang bersifat teknis, seperti pembangunan ataupun perbaikan jaringan irigasi dan pembinaan intensif terhadap kelembagaan kredit di Nagari Paru serta lebih meningkatkan kegiatan-kegiatan berupa pelatihan keterampilan produk hutan. Dari aspek sosial, bantuan proyek pemerintah akan lebih baik jika mampu meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia masyarakat Nagari Paru untuk merencanakan, memanfaatkan dan sekaligus mengevaluasi pengelolaan Rimbo Larangan yang telah mereka lakukan.

Page 229: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

218 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 230: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ANALISIS JEJAK KARBON DAN STRATEGI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PETERNAKAN AYAM RAS PETELUR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

Nama : Zumrodi

Instansi : Pemkab Lima Puluh Kota

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Padjajaran Bandung

Page 231: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

220 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Lima Puluh Kota telah berpengaruh terhadap meningkatnya tekanan terhadap lingkungan ditandai dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca dan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jejak karbon dan alternatif strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota. Metode analisis jejak karbon dilakukan melalui perhitungan data aktivitas emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur dengan memperhatikan faktor emisi dari masing masing aktivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jejak karbon peternakan ayam ras petelur adalah sebesar 3,16 kg CO2-e/kg telur, setara dengan emisi per ekor ayam ras sebesar 24,34 kg CO2-e/tahun. Emisi terbesar peternakan ayam ras petelur adalah dalam bentuk gas nitrogen oksida yang berasal dari proses penguraian kotoran ternak. Strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur dilakukan melalui langkah peningkatan efisiensi sistem produksi dan penerapan teknologi yang lebih baik pada pengelolaan kotoran ternak sebagai aktivitas dengan emisi terbesar.

Kata kunci: Jejak Karbon, Gas Rumah Kaca, Peternakan Ayam Ras Petelur, Penurunan Emisi

Page 232: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 221

ABSTRACT

The development of laying hens farms in Lima Puluh Kota Regency had affected the the environment marked by the increasing of greenhouse gas emissions and the declining environmental quality. This study aimed to determine the carbon footprint and alternative strategies for reducing the greenhouse gas emissions of laying hens in the Limapuluh Kota Regency. The carbon footprint analysis method was carried out through calculation of data on laying hens greenhouse gas emission activity by observing the emission factors of each activity. The results showed that the carbon footprint of laying hens farms was 3.16 kg CO2-e/kg eggs, equivalent to the emission per hen of 24.34 kg CO2-e/year. The biggest emission of laying hens was in the form of nitrogen oxide gas that came from the decomposition process of livestock manure. The strategy to reduce the greenhouse gas emission of laying hens was carried out through improving the efficiency of the production system and applying better technology to the management of livestock manure as the activity had the largest emissions.

Keywords: Carbon Footprint, Greenhouse Gas, Laying Hens, Reduction of Emissions

Page 233: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

222 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS JEJAK KARBON DAN STRATEGI PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA PETERNAKAN AYAM RAS

PETELUR DI KABUPATEN LIMAPULUH KOTA

A. Latar Belakang

Peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota telah berkembang dan membawa pengaruh positif terhadap kemajuan aspek ekonomi dan sosial masyarakat. Kemajuan kegiatan peternakan ayam ras petelur tersebut, pada sisi lain, telah mengakibatkan meningkatnya tekanan pemanfaatan sumber daya alam seperti air, lahan, dan energi disertai timbulnya berbagai dampak lingkungan. Sebagai akibat dari kegiatan dalam skala yang sangat besar, peternakan ayam ras petelur berperan besar terhadap terjadinya degradasi lahan, pencemaran air, dan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Perkembangan peternakan ayam ras petelur di kabupaten Limapuluh Kota tidak diikuti dengan kesiapan sektor pendukungnya, baik pada bagian hulu maupun hilir. Ketergantungan input yang sangat besar dari luar daerah memunculkan permasalahan bagi perkembangan peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota. Terkait dengan penyediaan pakan, dengan produksi jagung dalam daerah sebesar 12.000 ton (BPS Limapuluh Kota, 2015), jumlah tersebut hanya merupakan seperempat dari kebutuhan jagung untuk pakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota. Karena ketergantungan input yang sangat besar dari luar, peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh kota diperkirakan mengemisikan gas rumah kaca yang relatif lebih besar dari rata-rata global.

Demi mengurangi segala resiko dan sebagai respon terhadap terjadinya perubahan iklim, peternakan ayam petelur harus turut serta berperan dalam langkah pengurangan emisi gas rumah kaca. Melalui perhitungan jejak karbon, dapat diketahui seberapa besar emisi gas rumah kaca (baseline emisi) yang ikut berperan terhadap terjadinya perubahan iklim dari kegiatan peternakan ayam ras petelur. Baseline emisi tersebut akan menjadi dasar dan referensi bagi pemangku kepentingan dan penanggungjawab kegiatan dalam menerapkan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca atau langkah mitigasi.

Jejak karbon peternakan ayam ras petelur dapat didefinisikan sebagai keseluruhan emisi gas rumah kaca yang disebabkan, secara langsung atau tidak langsung, oleh sebuah proses produksi peternakan ayam ras petelur. Kegiatan peternakan ayam ras petelur mengemisikan tiga komponen utama gas rumah kaca yakni karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O). Karbon dioksida dihasilkan dari kegiatan

Page 234: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 223

penggunaan bahan bakar fosil dan sarana transportasi yang merupakan bagian dari sistem produksi peternakan. Metana dihasilkan dari kegiatan pengelolaan limbah dan sampah peternakan sedangkan Nitrogen oksida diemisikan dalam pengelolaan kotoran ternak (IPCC, 2006a).

Untuk menentukan alternatif terbaik mitigasi jejak karbon peternakan ayam ras petelur, diperlukan suatu metode analisis tertentu dengan melibatkan para pemangku kepentingan. Pilihan penurunan emisi tersebut harus terfokus kepada ragam kegiatan pada rantai produksi di mana diperoleh penurunan terbesar dengan pembiayaan yang efektif, dengan tanpa mengurangi produktivitas. Salah satu metode yang banyak digunakan dalam penentuan strategi ini adalah analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunities, Threat). Analisis SWOT merupakan teknik analisis yang memungkinkan institusi mengidentifikasi produk, jasa, atau pasar manakala akan menentukan langkah terbaik dalam rangka menghadapi pertumbuhan atau perubahan di masa mendatang. Proses dalam analisis ini melibatkan identifikasi kekuatan dan kelemahan dari organisasi dan; peluang dan tantangan dalam lingkungan di mana kegiatan ini berlangsung (Rangkuti, 2014).

B. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan metode campuran yang merupakan pendekatan penelitian dengan cara mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan kuantitatif. Pada tahap pertama dilakukan penelitian secara kualitatif untuk mengetahui jejak karbon pada peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota. Hasil penelitian tahap pertama selanjutnya menjadi landasan bagi penelitian secara kuantitatif pada tahap kedua berupa pemilihan alternatif strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limauluh Kota. Titik berat penelitian ini ada pada tahapan pertama yaitu perhitungan jejak karbon peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota. Variabel perhitungan jejak karbon dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: i) emisi langsung; ii) emisi tidak langsung; dan iii) emisi tidak langsung lainnya. Untuk menentukan besaran emisi masing-masing bagian, diperlukan faktor konversi yang lebih dikenal sebagai faktor emisi (FE). Faktor emisi ini bersifat spesifik tergantung jenis data aktivitas emisi gas rumah kaca yang diukur.

Pandey et al. (2011) menyatakan bahwa jejak karbon merupakan jumlah gas rumah kaca yang dinyatakan dalam setara CO2, diemisikan ke atmosfer oleh individu, organisasi, proses, produk atau sebuah kegiatan dalam suatu batasan yang spesifik. Jejak karbon secara umum didefinisikan sebagai pengukuran emisi gas rumah kaca yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh kegiatan atau terakumulasi sepanjang

Page 235: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

224 Direktori Mini Tesis-Disertasi

periode waktu tertentu dari suatu proses, produk atau jasa, dinyatakan dalam satuan karbon dioksida ekivalen (Wiedemann & Minx, 2007).

Sampai saat ini belum ada metode standar perhitungan jejak karbon yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Untuk itu dalam penelitian ini digunakan metode yang merujuk kepada Protokol Gas Rumah Kaca (IPCC, 2006) dan Pedoman Inventasirasi Gas Rumah Kaca (Bappenas, 2011) di mana keduanya merujuk kepada metode yang dikembangkan IPCC dan Protokol Kyoto. Metode dalam penelitian ini menggunakan faktor emisi yang berlaku default secara global (Tier 1) dan faktor emisi yang berlaku khusus sesuai kondisi di Indonesia (Tier 2). Sesuai dengan Protokol Gas Rumah Kaca (UNEP, 2000), semua perhitungan jejak karbon organisasi atau institusi harus meliputi emisi langsung dan emisi tidak langsung. Jejak karbon peternakan ayam ras petelur merupakan jumlahan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara langsung (Emisi1) dan tidak langsung (Emisi2 dan Emisi3) oleh proses produksi peternakan ayam ras petelur.

Untuk menentukan alternatif terbaik penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur, diperlukan suatu metode analisis tertentu dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stake holders). Metode yang digunakan dalam penentuan strategi ini adalah analisis SWOT. SWOT merupakan kependekan dari kekuatan (strenght), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threat). Proses dalam analisis ini melibatkan identifikasi kekuatan dan kelemahan dari organisasi dan; peluang dan tantangan dalam lingkungan di mana kegiatan ini berlangsung (FME, 2013). Dalam analisis SWOT terlebih dahulu dilakukan perhitungan IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary). Hasil perhitungan IFAS dan EFAS selanjutnya dimasukan ke dalam matriks internal dan eksternal (matriks SWOT) untuk memperoleh pilihan terbaik pengurangan jejak karbon peternakan ayam ras petelur.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Peternakan ayam ras petelur sebagaimana disebutkan oleh FAO (2010) menghasilkan emisi gas rumah kaca secara dominan berupa karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O). Di dalam penelitian ini didapati bahwa jenis gas rumah kaca yang paling banyak diemisikan pada peternakan ayam ras petelur adalah nitrogen oksida sebesar 87,49%. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan pendapat Wiedemann et al. (2011) menyatakan bahwa emisi gas rumah kaca pada peternakan ayam ras petelur sistem tertutup di Australia, sebanyak 55% adalah dalam bentuk karbon dioksida, 37% nitrogen oksida, dan 9% dalam bentuk metana.

Page 236: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 225

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh jejak karbon terbesar peternakan ayam ras petelur berasal dari emisi tidak langsung lainnya sebesar 26.003.557,39 kg CO2-e/tahun. Selanjutnya emisi tidak langsung sebesar 2.941.733,89 kg CO2-e/tahun dan emisi langsung sebesar 331.804,42 kg CO2-e/tahun. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa sebagian besar jejak karbon berasal dari aktivitas pengelolaan kotoran ternak. Hasil ini berbeda dengan pendapat Dunkey et al. (2015) yang menyatakan bahwa emisi tebesar peternakan unggas berasal dari penggunaan bahan bakar fosil pada industri peternakan yang telah termekanisasi secara masif.

Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai jejak karbon peternakan ayam ras petelur sebesar 29.277.095,69 kg CO2-e/tahun. Dengan produksi telur pada peternakan yang menjadi respoden sebesar 9.275.130 kg, maka intensitas jejak karbon peternakan ayam ras di Kabupaten Limapuluh Kota adalah 3,16 kg CO2-e/kg telur, yang setara dengan intensitas emisi per populasi ayam ras petelur sebesar 24,34 kg CO2-e/ekor/tahun. Dekker et al. (2008) dalam Wiedeman et al. (2011) menyatakan bahwa jejak karbon peternakan ayam petelur adalah sebesar 4,0 kg CO2-e/kg telur.

Menurut jenis aktivitasnya, jejak karbon terbesar peternakan ayam petelur berasal dari emisi pengelolaan kotoran ternak sebesar 88,45% dan emisi dari penggunaan sarana transportasi sebesar 8,76%. Hasil penelitian ini sejalan dengan apa yang dikemukanan Keeratiurai et al. (2013) bahwa emisi aktivitas transportasi kegiatan peternakan ayam ras petelur adalah lebih besar daripada aktivitas penggunaan energi listrik maupun penggunaan bahan bakar fosil berupa LPG.

Dibandingkan dengan produk peternakan lainnya, hasil produksi berupa telur memiliki jejak karbon yang lebih rendah (Wiedemann, 2011). Penelitian ini menghasilkan jejak karbon sebesar 3,2 kg CO2-e/kg telur. Penelitian MacLeod (2013) menyatakan bahwa jejak karbon telur rata-rata global adalah 3,7 kg CO2-e/kg telur. Perbedaan ini akan menjadi referensi bagi konsumen produk dalam memilih produk peternakan yang lebih ramah lingkungan.

Dalam penentuan strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur, dilakukan evaluasi terhadap faktor internal dan eksternal. Evaluasi faktor internal adalah langkah pemberian nilai dan bobot oleh masing-masing responden terhadap setiap indikator strategi yang terpilih. Faktor internal tersebut meliputi kekuatan dan kelemahan (FME, 2013).

Evaluasi faktor eksternal adalah langkah pemberian nilai peringkat dan bobot yang dilakukan responden terhadap masing masing faktor eksternal peternakan ayam ras petelur. Faktor eksternal tersebut berupa peluang dan ancaman (FME, 2013).

Page 237: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

226 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis matriks IFAS dan EFAS, diperoleh total skor untuk faktor internal sebesar 3,31 dan faktor eksternal sebesar 3,34. Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor tersebut kemudian dilakukan penentuan posisi peternakan ayam ras petelur dalam upaya perumusan strategi penurunan emisi gas rumah kaca sebagai langkah mitigasi perubahan iklim. Total nilai faktor internal dan eksternal akan menentukan strategi yang paling relevan dalam menjalankan upaya penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur.

Berdasarkan perhitungan matriks SWOT diperoleh nilai: Kekuatan 1,64; Kelemahan 1,67; Peluang 1,72; dan Ancaman 1,61. Perhitungan ini menempatkan strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur berada di Kuadran III. Letak pada kuadran ini menggambarkan situasi strategi yang relatif baik bagi peternakan ras petelur dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Peternakan ayam ras petelur memiliki peluang yang sangat besar, tetapi pada saat bersamaan memiliki beberapa kendala internal. Strategi yang sebaiknya diterapkan dalam kondisi ini adalah melakukan berbagai efisiensi (turn-around) pada setiap tahapan produksi peternakan ayam ras petelur. Menurut Wiedemann et al. (2011), efisiensi dalam pemanfaatan energi dan penggunaan energi terbarukan merupakan strategi yang paling realistis dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca karena adanya peluang keuntungan langsung secara finansial yang berpengaruh terhadap sistem produksi.

Perumusan alternatif strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur dilakukan melalui analisis SWOT yang merupakan penggabungan antara Rangkuman Analisis Faktor Internal (IFAS) dan Rangkuman Analisis Faktor Eksternal (EFAS). Berdasarkan identifikasi faktor-faktor strategis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur, dapat dirumuskan empat altenatif strategi sesuai letak kuadran pada matrik SWOT (Rangkuti, 2014). Strategi tersebut adalah yang terdiri atas: i) Kuadran I, strategi gabungan faktor kekuatan dan peluang (S-O); ii) Kuadran II, strategi gabungan faktor kekuatan dan ancaman (S-T); iii) Kuadran III, strategi gabungan kelemahan dan peluang (W-O); dan iv) Kuadran IV, Strategi gabungan kelemahan dan ancaman (W-T).

Keempat strategi tersebut disampaikan dalam tabel berikut ini:

Page 238: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 227

Tabel 4. Matrik Hasil Perumusan Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Kekuatan-Peluang (S-O) Kelemahan–Peluang (W-O)

1. Pengembangan sektor hilir peternakan ayam ras petelur

Pengembangan pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi alternatif.

2. Pengembangan industri pengolahan produk peternakan ayam ras petelur.

Peningkatan nilai jual kotoran ternak melalui pengolahan, pengomposan atau proses lainnya

3. Penerapan teknologi pada rantai pro-duksi peternakan ayam ras petelur.

Efisiensi penggunaan bahan baku dan sistem produksi

Kekuatan-Ancaman (S-T) Kelemahan-Ancaman (W-T)

1. Penguatan kelembagaan organisasi peternak melalui pembentukan/

1. Penyusunan standar baku operasion-al peternakan ayam ras petelur oleh dinas peternakan.

2. Peningkatan kegiatan penyuluhan peternakan ayam ras petelur.

2. Peningkatan kompetensi pekerja kandang melalui pelatihan atau ma-gang

3. Pengembangan penyediaan pakan ternak dalam daerah.

3. Penyusunan standar kompetensi pekerja peternakan ayam ras petelur.

Posisi Kuadran I (S-O) merupakan situasi yang sangat menguntungkan, peternakan ayam ras petelur memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (ekspansi). Pada posisi kuadran II (S-T) meskipun menghadapi ancaman, peternakan ayam ras peterlur masih memiliki kekuatan secara internal. Pilihan strategi dalam situasi ini adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang (diversifikasi).

Pada kuadran III (W-O) peternakan ayam ras petelur menghadapi peluang yang sangat besar, tetapi pada saat yang bersaamaan mempunyai beberapa kendala internal. Fokus strategi ini adalah meminimalkan permasalahan internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih baik (efisiensi). Pada posisi pada kuadran IV (W-T) merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan, peternakan ayam ras petelur menghadapi berbagai ancaman dan kelemahan secara bersamaan. Langkah yang dapat dilakukan dalam posisi ini adalah mengurangi ancaman dan kelemahan secara bersamaan (defensif) (Rangkuti, 2014).

Page 239: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

228 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perhitungan matrik SWOT menempatkan strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur berada di Kuadran III. Situasi strategi ini relatif baik bagi peternakan ras petelur dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di mana meskipun peternakan ayam ras petelur memiliki beberapa kelemahan, akan tetapi pada saat yang bersamaan juga memiliki berbagai peluang. Langkah efisiensi dengan fokus mengurangi kelemahan untuk menangkap peluang yang ada menjadi titik berat strategi ini. Langkah efisiensi ini sejalan dengan hasil penelitian yang menempatkan aktivitas pengelolaan limbah peternakan sebagai aktivitas dengan emisi gas rumah kaca terbesar. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan yang dikemukakan Keeratiurai et al (2013) di mana kontributor terbesar emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur di Thailand adalah aktivitas penggunaan energi.

Efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan input dan output maupun dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi yang lebih baik. Langkah ini sejalan dengan hasil penelitian Pelletier et al. (2013) di mana bahwa efisiensi penggunaan pakan dan pemilihan bahan pakan dengan biaya lingkungan yang lebih rendah merupakan langkah kunci dalam pengurangan intensitas emisi gas rumah kaca produksi telur secara regional. Lebih jauh Lin et al. (2016) menyatakan bahwa penurunan jejak karbon dapat dilakukan melalui usaha pencadangan karbon (carbon uptake) melalui konservasi lahan hutan.

Matriks strategi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga langkah efisiensi yang dapat dilakukan, yaitu: i) pengembangan pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi alternatif; ii) peningkatan nilai jual kotoran ternak melalui pengolahan, pengomposan atau proses lainnya; dan iii) efisiensi penggunaan bahan baku dan sistem produksi. Pemanfaatan kotoran ternak di antaranya adalah sebagai pupuk; sebagai altenatif sumber pakan; dan alternatif produksi energi. Pemanfaatan kotoran ternak melalui pembangunan biodigester menunjukkan potensi penurunan jejak karbon peternakan ayam ras petelur sebesar 28%.

D. Kesimpulan

Jejak karbon peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota adalah sebesar 3,16 kg CO2-e/kg telur, setara emisi per ekor ayam ras petelur sebesar 24,34 kg CO2-e/tahun, dengan sumber emisi terbesar dalam bentuk gas nitrogen oksida yang berasal dari proses penguraian kotoran ternak. Strategi penurunan emisi gas rumah kaca peternakan ayam ras petelur di Kabupaten Limapuluh Kota dilakukan melalui langkah peningkatan efisiensi penggunaan energi dan bahan baku dalam sistem produksi dan penerapan teknologi yang lebih baik pada aktivitas pengolahan kotoran ternak melalui proses pengomposan dan biodigester untuk menghasilkan energi.

Page 240: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 229

Page 241: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

230 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Direktori Mini Tesis-Disertasi

SISTEM DAN TEKNIK TRANSPORTASI

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 242: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ANALISIS KRITERIA KELAYAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JALAN YANG MELALUI KAWASAN HUTAN

Nama : Alfa Sandy Aprazah

Instansi : Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 243: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

232 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Percepatan pembangunan transportasi di Indonesia berupa prasarana jalan yang diselenggarakan oleh Pemerintah bertujuan untuk membuka akses antar daerah dalam mendukung upaya pengembangan perekonomian. Mengingat kawasan hutan di Indonesia yang sangat luas dan tersebar di semua pulau, maka pengembangan pembangunan jaringan jalan berpotensi akan melewati kawasan hutan. Pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan harus memiliki acuan khusus agar tetap memperhatikan aspek keberlanjutan atau kelestarian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kriteria yang diperlukan, menentukan prioritas kriteria berdasarkan pemangku kepentingan, menyusun sistematika acuan perencanaan dalam pembangunan jalan di kawasan hutan, dan menganalisis dampak pembangunan jalan di kawasan hutan.

Permasalahan pada penelitian ini yang bersifat kompleks dengan melibatkan berbagai sektor menjadi alasan mendasar dalam pemilihan metode penelitian multikriteria berupa metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Penelitian ini diawali dengan studi literatur dari berbagai sumber terkait, diskusi, dan membagikan kuesioner kepada responden ahli yang memiliki kompetensi di bidang transportasi, perencanaan, lingkungan hidup dan kehutanan. Hasil data primer dianalisis dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk mendapatkan hasil berupa nilai bobot pada setiap variabel dan urutan prioritas kriteria kelayakan pada masing-masing aspek.

Hasil penelitian telah diperoleh variabel kriteria kelayakan yang meliputi aspek kebijakan, teknis, sosial ekonomi budaya, tata ruang, dan lingkungan, dengan nilai pembobotan sebagai berikut : 1. Aspek: kebijakan (14,9 %), teknis (4,3 %), sosekbud (11,3 %), Tata ruang (20,5 %), lingkungan (49,0 %); 2. Sub aspek: kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan (83,3 %), kebijakan pembangunan jalan dan pengembangan daerah (16,7 %), daya dukung medan/kawasan (83,3 %), pelaksanaan proyek jalan (16,7 %), pendidikan (12,7 %), pengurangan keterisoliran (52,2%), penanggulangan kemiskinan (26,1 %), pemberdayaan sosial-ekonomi (9,0 %), perencanaan kewilayahan (80,0 %), potensi dampak pemanfaatan ruang (20,0 %), ekosistem (74,5 %), Geofisik-Kimia (15,6 %), Estetika Lingkungan (9,9 %); 3. Kriteria setiap aspek: Perizinan pemakaian kawasan hutan (75 %), Pemenuhan syarat Pengelolaan Lingkungan Hidup (25 %), RTRW (80 %), SISTRANAS (20 %), desain trase (34,5 %), kemudahan pelaksanaan (10,9%), dampak lalu lintas (54,7), Potensi pengembangan pemukiman di sekitar ruas jalan baru (75 %), potensi pengembangan matapencaharian berbasis lahan di sekitar jalan baru (25 %), pengaruh kelestarian ekosistem (66,1 %), pengaruh habitat (20,8), kelestarian flora/fauna (13,1 %), potensi intensitas bencana alam (75 %), terjaganya mutu dan kualitas (air

dan udara) (25 %).

Page 244: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 233

ABSTRACT

The acceleration of transportation development in Indonesia in form of road infrastructure organized by the Government, took aim to open access among regions in supporting economic development efforts. Since the vast and scattered forest area in Indonesia on all islands, the road network development most likely had to pass through forest areas. The construction process of roads that passed through forest areas had to conform special reference so in the process it continously paid attention to aspects of sustainability. The purpose of this study is to identify the required criteria, determine criteria priorities based on stakeholders, develop a systematic reference for planning in the construction of roads in forest areas, and analyze the impacts.

The compexity of the problem in this research involving various sectors had become the fundamental reason in selecting multicriteria research methods in the form of Analytical Hierarchy Process (AHP) method. This study began with literature studies from various related sources, discussions, distributing questionnaires to expert respondents who had competence in the fields of transportation, planning, environment and forestry. The results of the primary data were analyzed using the Analytical Hierarchy Process (AHP) method so that the results were obtained in the form of weight values for each variable and priority order of eligibility criteria in each aspect.

From the study, it had been obtained the results in the form of feasibility criteria variables which included policy, technical, socio-economic aspects of culture, spatial, and environmental, with the following weighting values: 1. Aspect: policy (14.9%), technical (4.3%), Socio-culture (11.3%), Spatial planning (20.5%), environment (49.0%); 2. Sub aspects: environmental and forestry policies (83.3%), road development and regional development policies (16.7%), field/area carrying capacity (83.3%), implementation of road projects (16.7% ), education (12.7%), reduction in isolation (52.2%), poverty reduction (26.1%), socio-economic empowerment (9.0%), regional planning (80.0%), potential impact space utilization (20.0%), ecosystem (74.5%), Geophysical-Chemistry (15.6%), Environmental aesthetics (9.9%); 3. Criteria for each aspect: Licensing of forest area use (75%), fulfillment of environmental management requirements (25%), spatial plans (80%), national transportation system (20%), trase design (34.5%), ease of implementation (10 , 9%), traffic impacts (54.7), Potential for development of settlements around new roads (75%), potential for developing land-based livelihoods around new roads (25%), influence of ecosystem sustainability (66.1%) , habitat influence (20.8), flora/fauna sustainability (13.1%), potential

natural disaster intensity (75%), maintained quality and quality (water and air) (25%).

Page 245: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

234 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS KRITERIA KELAYAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN JALAN YANG MELALUI KAWASAN HUTAN

A. Latar Belakang

Salah satu program pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang termaktub di dalam program Nawacita yang ke-3 adalah pembangunan Indonesia yang dimulai dari daerah pinggiran untuk memperkuat daerah-daerah dan pedesaan. Program ini bertujuan untuk menciptakan kemandirian perekonomian daerah yang maju sehingga kesejahteraan ekonomi masyarakat dapat terdistribusi secara merata. Dalam rangka mendukung tujuan tersebut tentu perlu upaya percepatan konektivitas antar daerah melalui pembangunan aksesibilitas transportasi. Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagai salah satu upaya pembangunan prasarana transportasi untuk meningkatkan perekonomian secara makro. Kebijakan tersebut akan berdampak terhadap berkembangnya prasarana di wilayah sekitarnya atau di tempat lain.

Pembangunan jalan sebagai salah satu bagian dari pembangunan transportasi yang berkelanjutan di Indonesia harus memperhatikan berbagai aspek, di antara adalah aspek keberadaan kawasan hutan. Indonesia tercatat memiliki luas tutupan hutan seluas 88,17 juta Ha atau sekitar 46,33% dari luas daratan Indonesia (Forest Watch Indonesia, 2009). Sumber lain telah mencatat bahwa luas kawasan hutan Indonesia sebesar 120.981.305,98 Ha (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2014).

Besarnya potensi pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan harus disambut dengan persiapan acuan khusus sebagai alat untuk memandu penyelenggaran pembangunan jalan di dalam kawasan hutan agar tetap memperhatikan berbagai aspek terkait lainnya. Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kriteria yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan;

2. Menentukan prioritas kriteria berdasarkan pemangku kepentingan dalam perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan;

3. Menyusun sistematika acuan perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan;

4. Menganalisis dampak dari terlaksananya pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan.

Page 246: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 235

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pasal 5 Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 menyebutkan bahwa peran jalan adalah sebagai bagian sarana dan prasarana transportasi yang mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara; serta jalan yang merupakan satu kesatuan sistem jaringan jalan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia.

Perkembangan pembangunan jalan dan pembangunan kehutanan yang terus meningkat tentu memiliki harapan yang besar yaitu agar bermanfaat untuk kualitas hidup masyarakat dan kehidupan. Adanya permasalahan atau kendala yang dihadapi dalam rangka pembangunan jaringan jalan yang melintasi kawasan hutan di beberapa tempat menjadi tantangan yang harus dikaji oleh pemangku kepentingan terkait untuk mencari solusi yang terbaik.

Permasalahan dalam pembangunan jalan yang telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia, membutuhkan kajian dari berbagai aspek untuk mempersiapkan langkah-langkah yang strategis. Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menjawab pertanyaan mengenai:

1. Apa kriteria yang diperlukan dalam perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan?

2. Bagaimana menentukan tingkat kepentingan kriteria dalam perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan?

3. Bagaimana penentuan acuan perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan?

4. Sejauh mana dampak pembangunan jalan yang melalui kawasan hutan terhadap pengelolaan kawasan hutan?

Lingkup penelitian ini bersifat nasional, namun lokasi responden yang dipilih peneliti adalah partisipan ahli yang berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari:

1. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemerintah Daerah Yogyakarta

a. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral

b. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)

c. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)

Page 247: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

236 Direktori Mini Tesis-Disertasi

d. Badan Lingkungan Hidup (BLH)

e. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

f. Dinas Perhubungan

2. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) UGM

3. Perusahaan BUMN Perhutani

4. Akademisi dari MSTT dan Fakultas Kehutanan UGM

5. Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Provinsi DIY, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

6. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kriteria Perencanaan Pembangunan Jalan Melalui Kawasan Hutan

a. Aspek kebijakan

Aspek kebijakan yang dimaksud merupakan peraturan perundangan yang berkaitan dalam kegiatan pembangunan jalan yang melalui kawasan hutan. Aspek kebijakan terdapat subaspek sebagai berikut:

• Perizinan pemanfaatan kawasan hutan

• Pemenuhan persyaratan pengelolaan lingkungan hidup

b. Aspek teknis

Aspek teknis ini berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan jalan di lapangan dan melihat kemampuan daya dukung lokasi. Aspek teknis terdapat subaspek sebagai berikut:

• Pelaksanaan proyek/pembangunan jalan

• Daya dukung medan/kawasan

c. Aspek sosial ekonomi budaya

Aspek sosial ekonomi budaya ini dibagi menjadi beberapa kriteria yang mencakup dari kondisi masyarakat,yaitu:

• Pendidikan/ pembangunan sumber daya manusia (SDM)

• Pengurangan keterisoliran

• Penanggulangan kemiskinan

Page 248: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 237

• Pemberdayaan sosial ekonomi

d. Aspek tata ruang

Aspek tata ruang dimaksud merupakan bentuk pemetaan yang telah tertuang salah satunya di dalam dokumen RTRW serta dampak ikutan akibat pembangunan jalan. Aspek tata ruang dibagi menjadi kelompok subaspek, yaitu:

• Perencanaan kewilayahan

• Potensi dampak pemanfaatan ruang

e. Aspek lingkungan

Aspek lingkungan dibagi menjadi beberapa kelompok sub aspek, yaitu:

• Sumber Daya Alam dan Ekosistem (SDAE)

• Geofisik-Kimia

• Estetika Lingkungan

2. Analisis Penentuan Prioritas Kriteria Berbasis Hierarki dalam AHP

Gambar 1. Hierarki dan bobot kriteria

Keterangan:

a. Kriteria Kelayakan Pembangunan Jalan Melewati Kawasan Hutan yang Ramah Lingkungan

b. Kebijakan

Page 249: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

238 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Teknis

d. Sosekbud

e. Tata ruang

f. Lingkungan

g. Kebijakan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

h. Kebijakan Bidang Pembangunan Jalan dan Pengembangan/Tata Ruang Daerah

i. Daya Dukung Medan/Kawasan

j. Pelaksanaan Proyek Jalan

k. Pendidikan (Pembangunan SDM)

l. Pengurangan Keterisoliran

m. Penanggulangan Kemiskinan

n. Pemberdayaan Sosial-ekonomi

o. Perencanaan Kewilayahan

p. Potensi Dampak Pemanfaatan Ruang

q. Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)

r. Geofisik-Kimia

s. Estetika Lingkungan

1. Perizinan pemanfaatan kawasan hutan, parameter:

• tidak mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan

• hanya untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan

• pada provinsi dengan luas kawasan hutan ≤30% luas DAS/pulau/provinsi maka kompensasinya yaitu: lahan untuk penggunaan kawasan hutan dengan ratio 1:2 pada kegiatan komersial; melakukan penanaman dengan ratio 1:1 pada kegiatan non komersial

• pada provinsi dengan luas kawasan hutan ≥30% luas DAS/pulau/provinsi maka kompensasinya yaitu: membayar PNBP dan penanaman seluas lahan yang digunakan dengan ratio 1:1 pada kegiatan komersial; melakukan penanaman dengan ratio 1:1 pada kegiatan non komersial

2. Pemenuhan persyaratan pengelolaan lingkungan hidup, parameter:

pemenuhan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL)

Page 250: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 239

3. Rencana penataan ruang suatu wilayah, parameter:

kesesuaian dengan Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Wilayah, diantaranya mengenai jaringan jalan dan prasarana lingkungan.

4. Sistem perencanaan transportasi, parameter:

kesesuaian dengan azas dan tujuan pengembangan SISTRANAS, arahan pengembangan SISTRANAS, hak dan kewajiban peran serta masyarakat

5. Kondisi geologi dan topografi, parameter:

• Bukan di daerah patahan

• Mutu daya dukung tanah baik

6. Desain trase, parameter:

• Alinyemen datar: naik+turun <10 m/km, lengkung horisontal <10 rad/km

• Alinyemen berbukit: naik+turun 10-30 m/km, lengkung horisontal 1,0 - 2,5 rad/km

• Alinyemen gunung: naik+turun >30 m/km, lengkung horisontal >2,5 rad/km

7. Kemudahan pelaksanaan, parameter:

penggunaan jalan sesuai dengan fungsinya, ketidakterputusan jalan, bangunan pelengkap jalan, sumber material konstruksi untuk perkerasan.

8. Dampak lalu lintas, parameter:

meminimalkan dampak berupa kemacetan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kerusakan jalan

9. Penerimaan masyarakat (acceptability), parameter: sikap masyarakat dalam mendukung proyek pembangunan jalan yang akan dibangun.

10. Kesesuaian kebutuhan masyarakat (appropriteness), parameter: permasalahan kegagalan pembangunan ekonomi dan sosial ketika tidak ada jalan baru; dan prospek positif ketika terbangunnya jalan baru

11. Respon permasalahan sosial (responsiveness), parameter: tingkat urgensi pembangunan jalan baru dan tingkat sinergitas pembangunan jalan dengan kebutuhan masyarakat

12. Keadilan sosial/ kemerataan (equity), parameter: tingginya distribusi pengaruh proyek jalan terhadap beberapa kelompok masyarakat

Page 251: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

240 Direktori Mini Tesis-Disertasi

13. Kesesuaian tata ruang (RTRW), parameter: mengembangkan tata ruang wilayah yang strategis dan diprioritaskan dalam rangka penataan ruang.

14. Pengembangan permukiman, parameter: menghindari potensi munculnya permukiman di dalam hutan akibat pembangunan jalan dan pengamanan kawasan hutan

15. Pengembangan mata pencaharian berbasis lahan, parameter:

• menghindari potensi munculnya matapencaharian (pertanian/perladangan) di dalam hutan pada sekitar pembangunan jalan

• meningkatkan fungsi kawasan budidaya dan pengamanan hutan

16. Pengaruh kelestarian SDAE (morfologi, hutan, tanah, air)

17. Pengaruh habitat

18. Kelestarian flora fauna

19. Intensitas bencana alam (banjir,erosi,longsor,kekeringan), parameter: tidak mempengaruhi secara signifikan peningkatan intensitas bencana alam pada kawasan hutan dan sekitarnya

20. Terjaganya mutu dan kualitas air permukaan, air tanah, udara, parameter yang digunakan untuk mengkaji kriteria ini adalah:

• Baku mutu air, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat energi atau komponen yang ada dan atau unsur pencemar yang diperbolehkan

• Mutu tanah yang baik, diantaranya terhindarnya logam berat merkuri (Hg), timbal (Pb), dan Cadmium (Cd)

• Baku mutu udara embien dan baku mutu emisi u. Panorama/lingkungan dengan parameter yaitu:

• Mempertimbangkan aspek estetis, ekologis, dan keselamatan

• Melakukan kegiatan pertamanan/penghijauan

2. Sistematika Usulan Pedoman Perencanaan Jalan di Kawasan Hutan

Bagan alir sistematika usulan pedoman perencanaan pembangunan jalan yang melalui kawasan hutan dapat dilihat pada gambar 2.

Page 252: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 241

Gambar 2. Bagan Alir Sistematika Usulan Pedoman Perencanaan Pembangunan Jalan yang Melalui Kawasan Hutan

3. Identifikasi Dampak Pembangunan Jalan di Kawasan Hutan

a. Aspek tata ruang

Pembangunan jalan yang melalui kawasan hutan sangat berpotensi memicu timbulnya permukiman dan kegiatan pengolahan tanah oleh masyarakat di sekitar jalan, karena kemudahan akses untuk bermobilisasi.

b. Aspek sosekbud

Kearifan lokal masyarakat sekitar hutan menjadi terancam, sehingga menimbulkan gejolak penolakan dari masyarakat sekitar

Konflik distribusi pelibatan masyarakat khususnya dalam pelaksanaan proyek jalan yang dapat menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar

Ketakutan masyarakat asli suatu saat akan terpinggirkan oleh adanya pendatang, sehingga merugikan dari segi ekonomi dan budaya masyarakat

Page 253: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

242 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penyelenggara jalan akan membutuhkan biaya (ekonomi finansial) yang lebih besar karena sebagian besar medan kawasan hutan yang beragam, sehingga harus melalui analisis biaya ekonomi secara detail.

c. Aspek aksesibilitas

Dampak positif pembukaan jalan adalah terbukanya isolasi daerah tertinggal, sedangkan dampak negatifnya adalah potensi timbulnya kemacetan dan polusi pada jalur jalan yang melewati kawasan hutan sehingga dapat mengganggu habitat flora dan fauna.

D. Kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah:

1. Hasil prioritas kriteria yang diperoleh dari analisis dengan metode AHP adalah sebagai berikut:

a. Penilaian terhadap aspek: kebijakan (14,9%), teknis (4,3%), sosekbud (11,3%), (Tata ruang 20,5%), lingkungan (49,0%)

b. Penilaian terhadap subaspek: kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan (83,3%), kebijakan pembangunan jalan dan pengembangan daerah (16,7%), daya dukung medan/kawasan (83,3%), pelaksanaan proyek jalan (16,7%), pendidikan (12,7%), pengurangan keterisoliran (52,2%), penanggulangan kemiskinan (26,1%), pemberdayaan sosial-ekonomi (9,0%), perencanaan kewilayahan (80,0%), potensi dampak pemanfaatan ruang (20,0%), SDAE (74,5%), Geofisik-Kimia (15,6%), Estetika Lingkungan (9,9%)

c. Penilaian terhadap kriteria pada masing-masing aspek: perizinan pemakaian kawasan hutan (75%), pemenuhan syarat Pengelolaan Lingkungan Hidup (25%), RTRW (80%), SISTRANAS (20%), desain trase (34,5%), kemudahan pelaksanaan (10,9%), dampak lalu lintas (54,7), Potensi pengembangan pemukiman di sekitar ruas jalan baru (75%), potensi pengembangan mata pencaharian berbasis lahan di sekitar jalan baru (25 %), pengaruh kelestarian SDA (66,1%), pengaruh habitat (20,8), kelestarian flora/fauna (13,1%), potensi intensitas bencana alam (75%), terjaganya mutu dan kualitas (air dan udara) (25%)

2. Kriteria kelayakan hasil penelitian dapat dijadikan dasar untuk penyusunan sistematika usulan pedoman perencanaan pembangunan jalan di kawasan hutan.

Page 254: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 243

3. Pembangunan jalan yang melewati kawasan hutan tentunya memberikan dampak penting baik negatif maupun positif, sehingga perlu ada penanganan khusus dalam mengantisipasi terjadinya dampak negatif yang akan timbul.

E. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah:

1. Perlu ada penelitian lanjutan secara khusus dalam penanganan kasus pembukaan jalan yang melalui kawasan hutan yang masih menimbulkan masalah dengan menggunakan sistematika analisis kriteria kelayakan hasil penelitian ini guna mempermudah proses identifikasi akar permasalahan guna mendapatkan pemecahan masalah pada fenomena di lapangan.

2. Perlu ada penelitian lanjutan dengan melakukan pemilihan responden dalam jumlah yang lebih banyak dan lebih proporsional berdasarkan bidang terkait.

Page 255: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

244 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 256: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

TATA KELOLA JARINGAN DALAM KERANGKA PERENCANAAN STRATEGIS UNTUK MENGIMPLEMENTASIKAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT (TOD) STUDI KASUS : MRT JAKARTA FASE I

Nama : Ayu Prima Yesuari

Instansi : Kementerian Agraria dan Tata

Ruang/BPN

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 257: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

246 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pengembangan kawasan berorientasi transit (TOD) dianggap merupakan salah satu alat dalam mengatasi masalah transportasi di perkotaan, di mana TOD merupakan sebuah konsep penataan kawasan yang bersifat mixed use dan terintegrasi dengan jaringan angkutan umum. Konsep TOD mulai muncul di Indonesia sejalan dengan semakin banyaknya rencana pembangunan sistem angkutan umum massal perkotaan, seperti MRT dan LRT, atau angkutan massal regional seperti Kereta Api Cepat.

Banyak kota di dunia yang sudah menerapkan konsep TOD, namun pada penerapannya tidak semua implementasi TOD ini berhasil sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam proses perencanaan dan implementasi TOD, muncul permasalahan tata kelola yang timbul akibat ketidakjelasan pembagian kewenangan serta ketegangan lintas sektor dan berbagai aktor yang terlibat dengan berbagai macam persepsi, tujuan, sumber daya, dan strategi yang berbeda. Secara teoretis, tata kelola jaringan dapat terjadi secara hierarkis maupun informal untuk mengeefektifkan pembangunan dan mengimplementasikan kebijakan.

Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tata kelola jaringan yang terbentuk antar aktor dalam kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan TOD di Indonesia. Studi kasus yang diambil adalah pengembangan TOD di sepanjang koridor MRT Jakarta Fase 1, khususnya TOD Dukuh Atas. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif berdasarkan wawancara mendalam dengan berbagai aktor yang terlibat langsung dalam implementasi TOD. Penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis isi dan analisis tata kelola jaringan. Pada awalnya dilakukan identifikasi kebijakan dalam empat kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan TOD, dan kemudian dilakukan analisis tata kelola jaringan antar aktor dalam tiap kerangka perencanaan strategis tersebut.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tata kelola jaringan antar aktor dalam mengimplementasikan TOD ini sudah mulai terbentuk, namun masih rendah. Pada umumnya para aktor sudah mempunyai kesadaran akan adanya multi aktor yang terlibat dengan perbedaan persepsi, tujuan, dan kewenangan, namun koordinasi antar aktor masih kurang dan belum ada kesepakatan dalam mencapai tujuan bersama karena belum adanya mekanisme dan panduan kerjasama, selain itu juga terdapat kekurangan dalam kelembagaan serta rule yang mendorong kerjasama antar aktor.

Kata kunci : TOD, Kerangka Perencanaan Strategis, Tata Kelola Jaringan

Page 258: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 247

ABSTRACT

The concept of Transit-Oriented-Development (TOD) is considered one of the ways to overcome the problem of transportation in urban areas, where TOD is a regional structuring concept that is mixed use and integrated with public transportation networks. The TOD concept began to emerge in Indonesia in line with the increasing number of plans for the development of urban mass public transportation systems, such as the MRT and LRT, or regional mass transportation such as the Fast Train.

Many cities in the world have applied the TOD concept, but in its application not all TOD implementations are successful in accordance with the stated goals. In the process of TOD planning and implementation, governance problems arise due to unclear division of authority and cross-sectoral tensions and various actors involved with different kinds of perceptions, goals, resources and strategies. Theoretically, to make effective the development and implement policies, network governance can occur both hierarchically and informally.

With those backgrounds, this study took aim in analyzing the network governance that was formed among actors in the strategic planning framework to implement TOD in Indonesia. The case study taken was the development of TOD along Jakarta Phase 1 MRT corridor, especially the Dukuh Atas TOD. The approach used was a qualitative approach based on in-depth interviews with various actors directly involved in the implementation of TOD. The study was conducted using content analysis and network governance analysis. Initially, policy identification was carried out in four strategic planning frameworks to implement TOD, and then an analysis of network management among actors within each strategic planning framework was carried out.

From the results of the study it was concluded that the governance of networks among actors in implementing this TOD had begun to form, but was still in low level. In general, the actors already had an awareness of the multiple actors involved with differences in perceptions, objectives, and authority, but coordination among actors was still lack and there was no agreement in achieving common goals because there were no mechanisms and guidelines for cooperation, also there were no institutions and rules that encourage collaboration among actors.

Keywords: Network Governance, Strategic Planning Framework, TOD

Page 259: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

248 Direktori Mini Tesis-Disertasi

TATA KELOLA JARINGAN DALAM KERANGKA PERENCANAAN STRATEGIS UNTUK

MENGIMPLEMENTASIKAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT (TOD)

STUDI KASUS : MRT JAKARTA FASE I

A. Latar Belakang

Perubahan demografi, kemacetan lalu lintas, mahalnya bahan bakar, perubahan iklim dan faktor lainnya meningkatkan jumlah permintaan terhadap perumahan, retail dan perkantoran yang dapat diakses dengan berjalan kaki menuju stasiun transit (Center for TOD, 2011). Pengembangan kawasan beorientasi transit (TOD) dianggap merupakan salah satu alat dalam mengatasi masalah transportasi di perkotaan, di mana kawasan ini dikembangkan sebagai kawasan campuran dengan kapadatan dan intensitas pemanfaatan ruang yang sedang hingga tinggi pada area 0,5 mil atau jarak yang bisa diakses dengan berjalan kaki dari simpul angkutan umum.

Kawasan berorientasi transit (TOD) merupakan model integrasi transportasi dan penggunaan lahan yang dikembangkan di banyak kota dan berkembang pesat di beberapa Negara. TOD adalah konsep yang difokuskan pada campuran guna lahan dengan kepadatan perumahan sedang hingga tinggi yang mendorong masyarakat untuk tinggal dan beraktivitas di dalamnya serta didukung dengan fasilitas transportasi umum yang baik dan dirancang sebagai kawasan yang ramah untuk pejalan kaki. Konsep TOD mengupayakan agar orang dapat mencapai tempat tinggal, bekerja, berbelanja dan rekreasi dengan menggunakan sistem transportasi umum.

Kawasan TOD tidak hanya merupakan pengembangan di dekat stasiun transit, namun juga berorientasi pada keterhubungan antar stasiun transit agar dapat meningkatkan penggunaan fungsi transit dan optimalisasi keberagaman moda transit. Kawasan TOD juga memiliki fokus terhadap pejalan kaki atau pengguna moda transportasi tidak bermotor lainnya untuk mengurangi ketergantungan pemakaian kendaraan bermotor dengan strategi memperpendek jarak perjalanan pejalan kaki dengan mengkombinasi dan memasukkan banyak tujuan pergerakan pada area ramah pejalan kaki sekitar stasiun, penataan parkir, dan mendorong penggunaan kendaraan tidak bermotor.

Konsep TOD ini mulai muncul di Indonesia sejalan dengan semakin banyaknya rencana pembangunan sistem angkutan umum massal perkotaan, seperti Mass Rapid Transit (contohnya: MRT Jakarta) dan Light Rail Transit (contohnya: LRT Palembang,

Page 260: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 249

LRT Jakarta, LRT Jabodetabek, LRT Metropolitan Bandung Raya), atau sistem angkutan umum massal regional, seperti High Speed Rail (contohnya: kereta cepat Jakarta-Bandung). Pengembangan TOD di Indonesia saat ini diarahkan berbasis rel atau kereta api. Hal ini dikarenakan tingkat penurunan mobilitas kendaraan bermotor pribadi dan peningkatan mobilitas tidak bermotor yang dihasilkan TOD berbasis kereta api lebih signifikan bila dibandingkan dengan TOD berbasis bus (Waluyo, 2015).

Pengembangan TOD membutuhkan sebuah komitmen dalam pengembangan kawasan pusat TOD dan sistem transit secara bersamaan (Newman 2009 dalam Curtis, et al 2009). Menurut Newman (2009), membangun sebuah pusat kegiatan yang terhubung dengan sistem transit membutuhkan sebuah kerangka perencanaan strategis sebagai sebuah alat kebijakan untuk membantu pengimplementasian TOD. Kerangka tersebut antara lain: (1) adanya kebijakan yang mengatur tentang lokasi pusat TOD dengan kepadatan dan guna lahan; (2) adanya kebijakan yang mengatur keterhubungan antara pusat TOD dengan transit (feeder); (3) adanya kelembagaan yang mendukung implementasi TOD dengan memperhatikan kepadatan dan desain di pusat TOD; dan (4) adanya mekanisme pembiayaan baik transit maupun TOD.

Selama dua dekade terakhir, banyak kota di dunia yang menerapkan konsep TOD dalam mendukung integrasi transportasi dan guna lahan serta mendorong transportasi berkelanjutan. Namun, pada penerapannya tidak semua implementasi TOD ini berhasil sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam proses perencanaan dan implementasinya, muncul permasalahan tata kelola (governance) akibat ketidakjelasan pembagian kewenangan serta ketegangan lintas sektor dan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dengan berbagai macam persepsi, tujuan, sumber daya, dan strategi yang berbeda sehingga integrasi kebijakan dari semua pemangku kepentingan (aktor) yang terlibat merupakan suatu yang esensial dalam mempengaruhi keberhasilan implementasi TOD (Mu & De Jong, 2016).

Pada konteks Indonesia, payung hukum perencanaan dalam implementasi TOD belum lengkap. Integrasi kebijakan secara teoretis dapat terealisasi apabila tercipta suatu sistem tata kelola jaringan atau yang dikenal dengan konsep network governance (Mu dan De Jong, 2016), di mana tata kelola jaringan ini dapat terjadi secara hierarkis maupun informal untuk mengefektifkan pembangunan/implementasi kebijakan. Mu dan De Jong (2016) menyatakan bahwa perencanaan dan implementasi TOD merupakan suatu proses pengambilan kebijakan yang penuh dengan negosiasi dan secara kontekstual melibatkan hubungan antar aktor pada level pemerintahan yang berbeda dan juga lintas sektor. Terdapat dua elemen kebijakan utama yang perlu diintegrasikan dalam konteks TOD, yaitu transportasi dan guna lahan.

Page 261: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

250 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Makna dari network governance itu sendiri terdiri atas dua aspek, yaitu: (i) instrumen dan mekanisme yang diterapkan dalam rangka penyelerasan tujuan, kewenangan dan upaya para aktor di dalam jaringan; serta (ii) strategi dan rencana tindak yang dilaksanakan oleh para aktor dalam rangka mempengaruhi, memfasilitasi, dan mengarahkan interaksi antar aktor dan mengubah bentuk jaringan itu sendiri. TOD yang efektif memerlukan strategi tata kelola untuk memfasilitasi interaksi antar aktor.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Konsep pengembangan TOD di DKI Jakarta saat ini masih dalam tahap pembuatan rencana, namun dalam rencana tersebut belum terdapat pemetaan peran serta jaringan masing-masing pemangku kepentingan dalam implementasi dan pengelolaan TOD di Wilayah DKI Jakarta (Waluyo, 2015). Dirgahayani, Syabri dan Waluyo (2015) telah berupaya untuk memetakan interaksi antar pemangku kepentingan dalam konteks penguasaan lahan untuk mengimplementasikan TOD di Jakarta, khususnya di kawasan TOD Manggarai. Dengan menggunakan metode Dynamic Actor Network Analysis (DANA), pemetaan ini menunjukkan bahwa persepsi para pemangku kepentingan terhadap TOD dan penguasaan lahan untuk TOD masih sangat beragam dan sangat dipengaruhi oleh kepentingan baik normatif (normative interest) maupun tersembunyi (vested interest) yang mereka miliki. Secara umum persepsinya positif, mayoritas pemangku kepentingan sepakat akan pentingnya TOD. Namun pertanyaan yang belum terjawab adalah apakah sudah terbentuk tata kelola jaringan antar pemangku kepentingan (aktor) untuk mengimplementasikan TOD ini?”. Dari rumusan persoalan dan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian dijabarkan dengan sub pertanyaan penelitian berikut:

1. Kebijakan apa saja yang sudah ada di Indonesia dalam empat kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan TOD?

2. Sejauh mana terbentuknya tata kelola jaringan antar aktor dalam empat kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan TOD?

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tata kelola jaringan yang terbentuk antar aktor dalam mengimplementasikan TOD, dengan studi kasus TOD di sepanjang MRT Jakarta Fase I. Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dimana sebelumnya peneliti telah meninjau teori-teori terkait pengembangan TOD yang nantinya dicocokkan dengan hasil pengumpulan data. Berdasarkan teknik penelitian, penelitian ini akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif berdasarkan wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan (aktor) yang terlibat langsung dalam implementasi TOD MRT Jakarta Fase I.

Page 262: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 251

Data awal berupa dokumen kebijakan/regulasi, buku, dan berita terkait TOD di Jakarta yang diidentifikasi dan dianalisis untuk menstrukturkan empat kerangka perencanaan strategis serta aktor yang terlibat dalam implementasi TOD. Hasil identifikasi awal digunakan sebagai kerangka dalam menyusun pertanyaan wawancara, dari hasil wawancara akan dilakukan analisis tata kelola jaringan aktor dalam empat kerangka perencanaan strategis tersebut untuk mengimplementasikan TOD di sepanjang koridor MRT Jakarta Fase I berdasarkan kerangka konseptual tangga tata kelola jaringan (the ladder network governance).

Untuk penelitian ini, studi kasus yang diambil adalah pengembangan TOD di sepanjang koridor MRT Jakarta Fase 1. Studi kasus ini dinilai tepat karena prosesnya sudah berjalan dan kebijakan terkait TOD juga sudah lebih matang daripada kota-kota lain. Studi kasus ini dapat menjadi pembelajaran berarti bagi kota-kota lain yang mengembangkan sistem angkutan umum massal dengan konsep TOD. Di dalam RTRW Provinsi DKI Jakarta, kawasan yang sudah ditetapkan menjadi TOD di sepanjang koridor MRT Fase I adalah Kawasan Dukuh Atas dan Kawasan Blok M.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Berdasarkan hasil kajian dan analisis yang telah dilakukan, untuk menjawab pertanyaan penelitian dari studi ini maka didapat beberapa temuan studi, yang antara lain adalah:

1. Hasil Identifikasi dan Analisis Kebijakan yang Mengatur tentang Penetapan Lokasi TOD dengan Kepadatan dan Guna Lahan (Kerangka 1)

a. Terdapat beberapa kebijakan yang mengatur tentang penetapan lokasi TOD, dimana lokasi TOD harus ditetapkan di dalam RTRW. Saat ini TOD yang ditetapkan adalah TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M, namun ada enam usulan TOD baru yang harus dikaji dalam mekanisme peninjauan kembali RTRW, penetapan TOD baru ini harus sesuai dengan kriteria yang sudah diatur dalam Permen ATR dan Pergub 44 Tahun 2017.

b. Terdapat perbedaan muatan Pergub 44 Tahun 2017 tentang Pengembangan Kawasan TOD dengan Permen ATR Nomor 16 Tahun 2017 yaitu tentang kriteria dan tipologi kawasan TOD.

c. Jenis kepadatan di TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M belum ditentukan.

d. Jenis keragaman di TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M belum ditentukan.

e. Belum ada aturan tentang penyediaan RTH dan affordable housing di TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M.

Page 263: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

252 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Hasil Identifikasi dan Analisis Kebijakan yang Mengatur tentang Keterhubungan antara Pusat TOD dan Transit (Kerangka 2)

a. Pembangunan jaringan MRT telah diamanatkan dalam Permenhub 43/2011, Permenhub 53 Tahun 2015, dan RTRW Provinsi DKI Jakarta, serta juga dimuat dalam Raperpres tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Pembangunan angkutan umum massal ini merupakan syarat utama dalam penentuan lokasi TOD

b. Dalam beberapa kebijakan telah memuat aturan tentang perlunya integrasi antarmoda dalam perwujudan TOD. Untuk TOD Dukuh Atas, saat ini telah ada rencana berupa jembatan (skybridge) dalam upaya mengintegrasikan beberapa moda di Dukuh Atas secara fisik, namun belum ada kebijakan untuk simpul perpindahan moda maupun mekanisme proses transfer

c. Beberapa peraturan juga mengamanatkan tentang perlunya penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda, serta penataan parkir di kawasan TOD, namun belum ada kebijakan tentang siapa yang akan menyediakan fasilitas tersebut di Kawasan TOD Dukuh Atas dan Blok M

3. Hasil Identifikasi dan Analisis Kebijakan yang Mengatur tentang Kelembagaan yang Mendukung Implementasi TOD dengan Kepadatan dan Desain di Pusat TOD (Kerangka 3)

a. Saat ini PT MRT Jakarta telah ditetapkan sebagai Operator Utama dalam mengelola kawasan TOD MRT Jakarta Fase I berdasarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 140 Tahun 2017, Pengelolaan kawasan TOD oleh operator utama dimaksudkan untuk dapat memberikan keberlanjutan finansial bagi operator utama melalui pendapatan lain yang memberi nilai tambah dan keuntungan komersial sebagai sumber penerimaan di luar tiket (non fare box/NFB revenue) serta memberikan nilai tambah bagi kawasan.

b. Saat ini PT MRT Jakarta sedang menyusun master plan (Panduan Rancang Kota) yang nantinya akan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sebagai acuan pengembangan TOD.

c. Dalam hal pengadaan tanah masih terdapat permasalahan, karena belum ada peraturan khusus tentang pengadaan tanah untuk kawasan TOD. UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaaan Tanah untuk Kepentingan Umum hanya mengatur tentang pengadaan tanah untuk jalur kereta api serta stasiunnya saja.

d. Saat ini sedang disiapkan regulasi (Perda) tentang pemanfaatan ruang bawah tanah oleh Pemprov DKI berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN.

Page 264: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 253

4. Hasil Identifikasi dan Analisis Kebijakan yang Mengatur tentang Mekanisme Pembiayaan TOD dan Transit (Kerangka 4)

a. Kebijakan yang ada saat ini hanya mengatur tentang mekanisme pembiayaan untuk transit (jaringan MRT dan stasiunnya). Untuk kebijakan tentang mekanisme pembiayaan kawasan TOD nya belum ada. Peraturan yang ada adalah tentang pemberian insentif kepada pemilik lahan/bangunan dalam pengembangan kawasan TOD, di mana dalam pengembangan kawasan TOD dapat diberikan insentif pelampauan KLB dengan kompenasi ditetapkan dalam bentuk penyediaan fasilitas publik di Kawasan TOD

b. Saat ini BPTJ sedang menyusun kajian mekanisme pembiayaan TOD, namun belum difinalkan dan belum bisa menjadi acuan.

5. Tata Kelola Jaringan yang terbentuk antar Aktor dalam Kerangka Perencanaan Strategis

a. Tata kelola jaringan untuk kerangka 1

• Di level 1 (dealing with substantive complexity), masing-masing aktor sudah mulai menyadari adanya multi aktor yang terlibat dalam mengimplementasikan TOD dengan perbedaan persepsi, kepentingan dan tujuan. Saat ini koordinasi antar aktor dalam penetapan lokasi TOD sudah mulai terbentuk namun belum teratur karena belum ada payung organisasi serta panduan dalam bekerjasama. Sedangkan kesepakatan untuk penetapan jenis kepadatan dan keragaman guna lahan di TOD (khususnya TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M) belum ada.

• Di level 2 (dealing with strategic uncertainty), sudah mulai ada negosiasi antar aktor namun belum mencapai kesepakatan. Dalam pengusulan 6 (enam) lokasi TOD baru, Kementerian ATR/BPN dan Dishub masih cenderung kurang setuju jika semua stasiun dijadikan TOD. Tetap harus melalui kajian dan harus sesuai dengan kriteria umum dan teknis yang telah ditetapkan.

• Di level 3 (dealing with institutional deficiency), belum ada payung organisasi yang mendorong dan mengontrol kerjasama para aktor.

b. Tata Kelola Jaringan untuk kerangka 2

• Di level 1 (dealing with substantive complexity), masing-masing aktor sudah mulai menyadari adanya multi aktor yang terlibat dalam mengimplementasikan TOD dengan perbedaan persepsi, kepentingan dan tujuan. Saat ini koordinasi antar aktor dalam integrasi antar moda sudah mulai terbentuk, BPTJ dan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan telah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan

Page 265: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

254 Direktori Mini Tesis-Disertasi

operator moda untuk penyamaan persepsi, namun belum ada koordinasi tentang penyediaan fasilitas pejalan kaki dan sepeda, serta penyediaan fasilitas parkir di Kawasan TOD.

• Di level 2 (dealing with strategic uncertainty), sudah ada negosiasi antar aktor namun belum mencapai kesepakatan tentang bentuk integrasi moda, termasuk simpul dan mekanisme proses transfer, belum terlihat adanya integrasi dan kerjasama antar operator moda, masing-masing operator masih memiliki rencana masing-masing dan belum rembuk bersama serta menyepakati untuk menentukan simpul perpindahan moda dan mekanisme proses transfer antar moda. Dan belum ada kesepakatan tentang penyedia fasilitas pejalan kaki dan pesepeda, serta parkir di kawasan TOD.

• Di level 3 (dealing with institutional deficiency), BPTJ telah ditugaskan untuk mengembangkan, mengelolaya dan meningkatkan pelayanan transportasi secara terintegrasi di wilayah Jabodetabek. BPTJ telah beberapa kali berusaha mengkoordinasikan namun belum ada kesepakatan karena belum adanya rules dalam bekerja sama sehingga koordinasi dan kerjasama belum berjalan efektif.

c. Tata Kelola Jaringan untuk Kerangka 3

• Di level 1 (dealing with substantive complexity), masing-masing aktor sudah mulai menyadari adanya multi aktor yang terlibat dengan perbedaan persepsi, kepentingan, dan tujuan dalam mengimplementasikan TOD. PT MRT telah ditetapkan sebagai operator utama pengelola TOD dan sedang menyusun masterplan TOD dengan melibatkan aktor terkait (namun PT MRT baru melibatkan Pemprov, belum melibatkan operator moda lainnya).

• Di level 2 (dealing with strategic uncertainty), sudah ada negosiasi antar aktor namun belum mencapai kesepakatan, terutama untuk draft masterplan yang sedang disusun. Karena belum ada pertemuan yang bersifat formal dan teratur dengan operator moda lainnya. Sedangkan untuk pengadaan tanah di kawasan TOD juga belum ada kesepakatan dalam hal ini.

• Di level 3 (dealing with institutional deficiency), PT MRT baru ditetapkan sebagai operator utama pengelola TOD, sehingga belum ada aturan dan panduan dalam bekerja sama. Dan dalam perjalannya, PT MRT tetap membutuhkan dukungan BPTJ untuk berkoordinasi dengan operator moda lainnya.

Page 266: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 255

d. Tata Kelola Jaringan untuk Kerangka 4

• Di level 1 (dealing with substantive complexity), tingkat awareness antar aktor terkait pembiayaan masih rendah, belum ada mekanisme pembiayaan untuk kawasan TOD, peraturan yang ada saat ini hanyalah untuk jaringan MRT dan stasiunnya.

• Di level 2 (dealing with strategic uncertainty), BPTJ sedang menyusun kajian mekanisme pembiayaan, namun hal ini masih bersifat kajian dan belum dinegosiasikan dengan aktor lainnya sehingga belum ada kesepakatan.

• Di level 3 (dealing with institutional deficiency), untuk kerangka 4 belum sampai ke tahap ini.

D. Kesimpulan

Dari hasil analisis dapat disimpulkan masih ada beberapa kebijakan (peraturan perundangan) yang belum lengkap dalam mengimplementasikan TOD di Indonesia, di antaranya adalah dalam hal pengadaan lahan serta mekanisme pembiayaan TOD. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tata kelola jaringan antar aktor dalam kerangka perencanaan strategis untuk mengimplementasikan sudah mulai terbentuk, namun masih rendah dan perlu ditingkatkan. Berikut tata kelola jaringan antar aktor yang terbentuk untuk masing-masing kerangka:

1. Dalam kerangka 1, tingkat kesadaran akan adanya multiaktor yang terlibat di dalam TOD sudah ada, dan sudah terjadi komunikasi antar aktor, negosiasi sudah dilakukan namun ada beberapa hal yang belum disepakati, seperti lokasi baru TOD, tipologi TOD Dukuh Atas dan Blok M (yang akan menentukan jenis kepadatan dan keragaman guna lahannya), serta belum ada kesepakatan tentang penyediaan RTH dan affordable housing di dalam TOD tsb. Belum ada payung organisasi maupun aturan yang mendorong kerjasama, namun sudah ada inisiasi dari Pemda dan KPPIP untuk mengumpulkan para aktor sebagai upaya dalam penyamaan persepsi tentang pengembangan TOD.

2. Dalam kerangka 2, tingkat kesadaran akan adanya multiaktor yang terlibat di dalam TOD sudah ada, dan sudah mulai terjadi komunikasi antar aktor, negosiasi sudah dilakukan oleh BPTJ sebagai lembaga yang melakukan koordinasi antar aktor, namun saat ini belum ada kesepakatan formal tentang bentuk integrasi antar moda maupun mekanisme proses transfer khususnya di TOD Dukuh Atas yang akan dilalui oleh enam moda. Dan juga belum ada kesepakatan tentang penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pesepeda, serta penyediaan fasilitas parkir di Kawasan TOD.

Page 267: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

256 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Dalam kerangka 3, PT MRT Jakarta sebagai badan usaha yang ditunjuk sebagai pengelola TOD sudah menyadari akan adanya multi aktor yang akan terlibat dalam pengembangan TOD, khususnya untuk TOD Dukuh Atas. Saat ini PT MRT Jakarta bersama dengan Pemprov DKI telah menyusun masterplan TOD yang nantinya akan ditetapkan menjadi Peraturan Gubernur tentang Panduan Rancang Kota TOD. Namun, masterplan ini belum mendapat kesepakatan dan belum dinegosiasikan dengan operator moda lainnya yang akan melalui kawasan TOD Dukuh Atas, seperti PT Railink (operator KA Bandara), PT KCJ (operator KRL Jabodetabek), PT LRT Jakpro (operator LRT).

4. Dalam kerangka 4, belum ada aturan tentang mekanisme pembiayaan untuk kawasan TOD. Para aktor pun belum berkomunikasi tentang hal ini, BPTJ baru melakukan inisiasi dalam membuat kajian pembiayaan, namun belum dipublikasikan dan belum bisa dijadikan acuan.

Secara umum, koordinasi antar aktor sudah terjalin, namun kendalanya adalah kurang efektifnya kelembagaan (payung organisasi) dalam mengkoordinasikan para aktor serta belum adanya aturan mekanisme dan panduan yang mendorong kerjasama.

E. Rekomendasi

Berikut beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini:

1. Untuk Kerangka 1

a. Dalam penetapan lokasi TOD, sebaiknya tetap melalui kajian dan harus sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan di peraturan perundangan.

b. TOD Dukuh Atas dan TOD Blok M perlu ditetapkan tipologinya sehingga jenis kepadatan dan keragaman guna lahan di TOD tersebut dapat mengacu pada Permen ATR Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit.

c. Koordinasi antar aktor sebaiknya menerus dan ada yang mengkoordinasikan, dalam hal ini bisa di bawah koordinasi Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan yang sudah ditetapkan sebagai supervisor dalam pengembangan TOD di DKI Jakarta.

2. Untuk Kerangka 2

a. Rencana integrasi antarmoda sebaiknya dikomunikasikan dengan semua operator moda dan disepekati bersama (kesepakatan tertulis) yang dikoordinasi oleh BPTJ, disamping itu harus disepakati tentang simpul perpindahan moda dan bagaimana mekanisme proses transfer, sehingga

Page 268: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 257

semua operator moda dapat menjalankan rencana yang sudah disepakati bersama dan tujuan TOD dapat dicapai.

b. Penyediaan fasilitas pejalan kaki dan sepeda sebaiknya disepakati siapa yang akan bertanggungjawab. Karena tanpa adanya fasilitas yang mendukung dikhawatirkan masyarakat tetap memilih menggunakan kendaraan pribadi.

c. Perlu ada kesepakatan dengan PT Railink sebagai operator KA Bandara terkait kebijakan parkir di stasiun tersebut, karena prinsip TOD adalah pembatasan kawasan parkir, salah satu solusinya bisa dengan meninggikan tarif parkir.

3. Untuk Kerangka 3

a. Masterplan yang telah disusun MRT Jakarta sebaiknya segera dikoordinasikan dengan semua operator moda, masterplan harus disepakati bersama, yang didukung juga oleh BPTJ dan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan.

b. Pengaturan tentang pengadaaan tanah di kawasan TOD sebaiknya segera diterbitkan, terutama tentang konsolidasi tanah dan pemanfaatan ruang bawah tanah, karena pengadaan tanah merupakan hal yang krusial dalam pengembangan kawasan.

c. Perlu koordinasi tentang proses transisi kepadatan dan keragaman serta desain dalam kawasan TOD.

d. Perlu dibentuk sebuah payung organisasi yang mempunyai lengan koordinasi untuk guna lahan dan transportasi, sehingga koordinasi antar aktor dapat berjalan dengan baik.

4. Untuk Kerangka 4

Pengaturan khusus tentang mekanisme pembiayaan kawasan TOD sebaiknya segera diterbitkan.

Page 269: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

258 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 270: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PERAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT DALAM MENDUKUNG TRANSPORTASI BERKELANJUTAN DI PERKOTAAN YOGYAKARTA

Nama : Desiana Tri Wahyuni

Instansi : Pemkab Bantul

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 271: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

260 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan Kota Yogyakarta dihadapkan pada keterbatasan lahan sehingga terjadi pemekaran kota ke wilayah sekitarnya mengindikasikan adanya urban sprawl. Transit Oriented Development (TOD) menjadi solusi yang mengintegrasikan guna lahan dan transportasi untuk mengurangi jumlah perjalanan dan mendorong penggunaan transportasi umum. Kawasan di sekitar transit seperti Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan dan Terminal Giwangan dapat dikembangkan dengan prinsip TOD untuk menangani masalah transportasi dan urban sprawl.

Penelitian bertujuan mengevaluasi kondisi kawasan yang sudah ada berbasis TOD melalui perhitungan indeks TOD dan evaluasi persepsi pengguna. Indeks TOD mengkuantifikasikan level TOD kawasan melalui pengukuran kriteria yang mendefinisikan TOD meliputi densitas, diversitas, walkability/cyclability, pengguna transit, kemudahan pengguna, aksesibilitas dan parkir. Evaluasi persepsi pengguna terhadap aplikasi TOD kawasan dilakukan dengan kuesioner skala Likert.

Hasil penelitian menunjukan kawasan Terminal Giwangan memiliki indeks TOD tertinggi (0,718) kemudian kawasan Stasiun Yogyakarta (0,712) dan Stasiun Lempuyangan (0,684). Persepsi pengguna secara keseluruhan terhadap aplikasi TOD kawasan menunjukkan rata-rata nilai indeks 78,6 atau dalam kategori baik. Rekomendasi pengembangan kawasan diprioritaskan pada kriteria TOD dengan nilai rendah, yaitu pengguna, aksesibilitas dan parkir pada kawasan Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan. Kawasan Terminal Giwangan berada pada kriteria densitas, walkability/cyclability, dan kemudahan pengguna. Dari segi persepsi pengguna kriteria yang memerlukan perhatian adalah densitas dan keragaman guna lahan, cyclability serta parkir. Evaluasi secara keseluruhan kawasan Stasiun Yogyakarta memiliki potensi terbesar untuk pengembangan kawasan berbasis TOD di Perkotaan Yogyakarta.

Kata kunci: Indeks TOD, Transit, Transit Oriented Development, Urban Sprawl

Page 272: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 261

ABSTRACT

The development of the City of Yogyakarta faces limited land so the city expands into the surrounding area that indicates the urban sprawl is happening. Transit Oriented Development (TOD) is a solution that integrates land use and transportation to reduce the number of trips and encourage the use of public transportation. The area around the transit such as Yogyakarta Station, Lempuyangan Station and Giwangan Terminal can be developed with the TOD concept to deal with transportation problems and urban sprawl.

The purpose if this study is to evaluate the condition of existing areas based on TOD through the calculation of the TOD index and evaluation of user perceptions. The TOD index quantifies the TOD level of the region by measuring the criteria that define TOD including density, diversity, walkability/cyclability, transit users, user friendliness, accessibility, and parking area. Evaluation of user perceptions of the TOD application area was carried out using a Likert scale questionnaire.

The results showed that the Giwangan Terminal area had the highest TOD index (0.718) followed by Yogyakarta Station area (0.712) and Lempuyangan Station (0.684). The overall user perception of the TOD application area showed an average index value of 78.6 or in good category. The recommendations for the development of the area are prioritized on TOD criteria with low values, namely users, accessibility and parking space in the area of Yogyakarta Station and Lempuyangan Station. Terminal area of Giwangan is on the criteria of density, walkability/cyclability, and user friendliness. In terms of user perception, criteria that need attention are the density and diversity of land use, cyclability and parking area. The overall evaluation shows that the Yogyakarta Station area has the greatest potential for TOD-based area development in Yogyakarta City.

Keywords: TOD Index, Transit, Transit Oriented Development, Urban Sprawl

Page 273: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

262 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERAN TRANSIT ORIENTED DEVELOPMENT DALAM MENDUKUNG TRANSPORTASI BERKELANJUTAN

DI PERKOTAAN YOGYAKARTA

A. Latar Belakang

Kota Yogyakarta dengan kepadatan penduduk tertinggi di DIY yakni 12.699 jiwa per km2 memiliki luas wilayah hanya sekitar satu persen dari luas DIY atau 32,50 km2 (BPS, 2016). Perkembangan Kota Yogyakarta yang semakin tinggi intensitasnya dihadapkan pada keterbatasan lahan mengakibatkan pemekaran kawasan ke pinggiran kota termasuk dalam wilayah Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman (Faizah & Hendarto, 2013). Urban sprawl didefinisikan sebagai pemekaran kota ke daerah sekitarnya secara tidak terstruktur, acak, tanpa adanya rencana. Penyebabnya adalah peningkatan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pola pikir masyarakat bahwa harga tanah daerah pinggiran lebih murah dan terjangkau serta kondisi udara yang masih sehat. Dampak negatif urban sprawl antara lain alih fungsi lahan pertanian, peningkatan polusi udara, air dan tanah (UCL, 2004). Urban Sprawl menyebabkan peningkatan jumlah perjalanan akibat perbedaan lokasi pekerjaan di pusat kota dan lokasi pemukiman di pinggir kota. Masyarakat yang bekerja di pusat kota tetapi memilih tinggal di pinggiran kota dan menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju ke lokasi kegiatan mengalami ketergantungan terhadap kendaraan pribadi karena transportasi umum perkotaan yang ada dianggap kurang memadai jumlah maupun jenis layanannya. Akibatnya kenaikan penggunaan dan kepemilikan kendaraan pribadi terjadi kemacetan yang kemudian menjadi persoalan utama penataan transportasi Perkotaan Yogyakarta. Salah satu alternatif penyelesaian fenomena urban sprawl beserta dampak permasalahan transportasi yang menyertainya di Perkotaan Yogyakarta adalah konsep Transit Oriented Development atau TOD. TOD mengintegrasikan guna lahan dan sistem transportasi dengan tujuan mengurangi jumlah perjalanan melalui permukiman yang padat, mix dan kompak yang mendorong penggunaan moda non-motor seperti sepeda, berjalan kaki dan transportasi umum. Kawasan yang berlokasi di sekitar transit di Kota Yogyakarta seperti Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan dan Terminal Giwangan merupakan kawasan yang dapat dikembangkan dengan prinsip TOD.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Kawasan yang berlokasi di sekitar transit dengan guna lahan campuran pada titik transit di Kota Yogyakarta seperti Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan dan Terminal Giwangan merupakan contoh kawasan yang dapat dikembangkan dengan penerapan prinsip Transit Oriented Development (TOD) untuk menangani permasalahan

Page 274: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 263

transportasi dan urban sprawl. Namun kondisi di lapangan apakah lokasi tersebut sudah sesuai dengan kriteria kawasan berbasis TOD masih perlu diteliti lebih jauh. Harapannya penerapan TOD ini akan mampu mencapai tujuan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan meningkatkan penggunaan kendaraan umum, prioritas pada pejalan kaki dan pengguna sepeda dengan tujuan akhir transportasi yang berkelanjutan. Dari latar belakang dan identifikasi permasalahan tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana kriteria TOD yang cocok diterapkan pada kawasan berbasis TOD di Perkotaan Yogyakarta dari dasar literatur dan penelitian yang ada?

2. Bagaimana kondisi kawasan yang sudah ada berbasis TOD di Perkotaan Yogyakarta baik dari segi lokasi, sarana dan prasarana?

3. Bagaimana persepsi pengguna terhadap penerapan prinsip TOD di kawasan berbasis TOD di Perkotaan Yogyakarta?

4. Apa yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kawasan TOD yang mendukung transportasi yang berkelanjutan di Perkotaan Yogyakarta?

Lokasi penelitian difokuskan di Kota Yogyakarta sebagai pusat aglomerasi Perkotaan Yogyakarta dengan lokus penelitian kawasan di sekitar transit meliputi Stasiun Yogyakarta, Stasiun Lempuyangan dan Terminal Giwangan. Identifikasi kriteria TOD diperoleh dari hasil kajian pustaka. Evaluasi kawasan melalui perhitungan indeks TOD menggunakan metode yang dikembangkan oleh Singh et al. (2017) dengan prinsip analisis multi kriteria. Terdapat dua tahap dalam analisis multi kriteria, tahap pertama standardisasi kriteria TOD melalui metode standardisasi maksimum yang bertujuan mendapatkan nilai kriteria dalam unit yang dapat dibandingkan. Tahap kedua adalah pembobotan kriteria TOD yang bertujuan mengetahui peran tiap kriteria mempengaruhi nilai indeks TOD. Pembobotan ini melibatkan stakeholders dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang, Dinas Perhubungan, BAPPEDA dari Pemerintah DIY dan Pemerintah Kota Yogyakarta serta pihak akademisi melalui kuesioner rangking yang diolah dengan metode Borda. Bobot kriteria TOD dan nilai indikator hasil pengukuran di lapangan yang kemudian digunakan dalam perhitungan indeks TOD.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Identifikasi Kriteria TOD Kawasan

Dari hasil studi literatur, penelitian ini menggunakan kriteria TOD yang sesuai diaplikasikan pada kawasan penelitian berdasarkan pertimbangan keterwakilan

Page 275: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

264 Direktori Mini Tesis-Disertasi

definisi TOD dalam kriteria tersebut serta kemudahan memperoleh data di lapangan disajikan dalam Tabel 1

Tabel 1. Rekapitulasi Identifikasi Kriteria TOD Kawasan

No Kriteria TOD Kawasan Sumber referensi

1 Densitas / kepadatan penduduk 3, 4, 5, 6

2 Diversitas / keragaman guna lahan 1, 2, 3, 4, 5, 6

3 Walkability / cyclability 2, 3, 4, 5, 6

4 Pengguna transit (transit ridership) 2, 3, 6

5 Kemudahan pengguna / user-friendliness 1, 6

6 Aksesibilitas 1, 2, 3, 4, 5, 6

7 Parkir 1, 3, 4, 5, 6

8 Persepsi publik 1, 3(dasar survei persepsi pengguna)

(Sumber: 1. Nelson et al. (2001); 2. Belzer & Autler (2002); 3. Renne & Wells (2005); 4. Evans & Pratt (2007); 5. ITDP (2014); 6. Singh et al. (2017))

2. Evaluasi Indeks TOD Kondisi Kawasan yang Sudah Ada

Melalui perhitungan indeks TOD dapat dibandingkan level TOD beberapa kawasan dan mengidentifikasi pada kriteria mana kelemahan dan kelebihan kawasan tersebut. Hasil indeks TOD menunjukkan bahwa kawasan Terminal Giwangan memiliki indeks TOD tertinggi (0,718) kemudian Stasiun Yogyakarta (0,712) dan Stasiun Lempuyangan (0,684). Indeks TOD yang tinggi pada kawasan Terminal Giwangan dicapai dengan kontribusi dua kriteria dengan bobot terbesar yaitu pengguna transit dan aksesibilitas yang tidak mampu dicapai oleh Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan.

Densitas tertinggi dimiliki oleh kawasan Stasiun Yogyakarta yang terletak di pusat kota. Keragaman guna lahan kawasan Stasiun Lempuyangan paling beragam diantara kawasan lainnya dengan walkability dan cyclability tertinggi di mana desain tata kota dengan trotoar dan jalur sepeda kawasan dinilai paling ramah pejalan kaki dan pesepeda. Pengguna transit tertinggi adalah pengguna layanan bus di Terminal Giwangan, karena bus memiliki pilihan rute dan jam keberangkatan yang lebih banyak dan variatif dibanding kereta api. Hal ini juga yang menjadi alasan aksesibilitas Terminal Giwangan tertinggi dibanding Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan. Kemudahan pengguna terendah pada Terminal Giwangan karena tidak tersedianya informasi jadwal keberangkatan bus, fasilitas disabel tidak

Page 276: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 265

memadai, serta visibilitas yang kurang baik di beberapa bagian dalam terminal. Kriteria parkir Stasiun Lempuyangan memiliki nilai terendah dibanding ketiga lokasi karena kapasitas parkir terutama mobil di dalam lingkungan stasiun yang masih sangat kurang. Nilai kriteria parkir yang tertinggi pada Terminal Giwangan karena keunggulan memiliki fasilitas parkir sepeda.

3. Evaluasi Persepsi Pengguna Aplikasi TOD Kawasan

Hasil analisis cross tabulation dengan uji Chi Square untuk mengetahui hubungan karakteristik responden dengan persepsi pengguna terhadap aplikasi TOD ditemukan bahwa ada hubungan antara maksud perjalanan responden dengan persepsi pengguna terhadap aplikasi TOD, karena pada dasarnya aplikasi TOD berhubungan langsung dengan pilihan penggunaan transit yang menjadi alasan maksud perjalanan seseorang.

Hasil persepsi responden terhadap aplikasi TOD kawasan memiliki rata-rata nilai indeks 78,6 atau dalam kategori baik. Berdasarkan persepsi pengguna, dimensi densitas dan keragaman guna lahan, cyclability serta parkir memiliki nilai terendah yang artinya dimensi-dimensi ini menjadi aspek yang memerlukan perhatian lebih dalam pengembangan kawasan berbasis TOD ditinjau dari sisi persepsi pengguna.

4. Rekomendasi Hasil

Melalui indeks TOD selain dapat diketahui level TOD kawasan dibanding kawasan lain dapat pula diketahui kelemahan dan keunggulan kawasan TOD tersebut. Indeks TOD membantu mengidentifikasi masalah unik spesifik di setiap lokasi secara terpisah sehingga perencanaan dan tindakan yang dilakukan akan lebih efektif.

Kawasan Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan memiliki karakteristik kriteria TOD yang hampir sama. Kedua kawasan ini memiliki kelemahan pada kriteria pengguna layanan (transit ridership), aksesibilitas, dan parkir. Rekomendasi penanganan yang dapat diusulkan antara lain pengadaan fasilitas parkir sepeda gratis dalam stasiun, pembangunan rute kereta untuk melayani transportasi lokal DIY, promosi tiket dan inovasi pelayanan untuk meningkatkan jumlah pengguna, penambahan jadwal keberangkatan dengan memaksimalkan rute yang ada dengan tetap mempertahankan kualitas pelayanan kepada pengguna, memaksimalkan jalur angkutan umum (Trans Jogja) dari dan menuju lokasi stasiun.

Kawasan Terminal Giwangan memiliki kelemahan pada kriteria densitas kawasan, walkability/cyclability, dan kemudahan pengguna (user-friendliness). Rekomendasi penanganan yang dapat diusulkan seperti kebijakan penambahan pasokan perumahan di sekitar lokasi transit dengan harga terjangkau untuk

Page 277: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

266 Direktori Mini Tesis-Disertasi

menambah kepadatan kawasan, pengadaan fasilitas trotoar dan lajur sepeda yang representatif, peningkatan kemudahan pengguna dalam lingkungan Terminal Giwangan dengan pengadaan tampilan informasi dinamis seperti display informasi keberangkatan/kedatangan bus, penempatan petugas dan pos keamanan tambahan di titik-titik strategis dalam terminal, serta pemenuhan standar fasilitas disabel seperti toilet khusus disabel dan akses disabel ke ruang tunggu di lantai dua.

Secara umum dari ketiga lokasi kawasan Stasiun Yogyakarta dengan populasi 204,3 jiwa/ha paling mendekati persyaratan kepadatan populasi kawasan TOD dibanding kawasan lain yaitu adalah > 750 jiwa/ha untuk TOD kota, 450–1500 jiwa/ha untuk TOD sub kota dan 350–1000 jiwa/ha untuk TOD lingkungan (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2017) sehingga kawasan ini dianggap paling potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan berbasis transit. Selain itu pengembangan kawasan Terminal Giwangan memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi khususnya terkait dengan peningkatan kepadatan dan peningkatan walkability/cyclability kawasan mengingat lokasi yang berdekatan dengan jalan arteri nasional dengan ciri kecepatan rata-rata kendaraan tinggi menjadikannya tidak aman untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda dalam kawasan. Kawasan Stasiun Yogyakarta juga memiliki keunggulan pada kemudahan pengguna layanan, walkability/cyclability yang lebih baik dibanding kawasan Terminal Giwangan sebagai salah satu unsur utama dalam prinsip TOD.

Hal perlu dilakukan dalam pengembangan kawasan Stasiun Yogyakarta di antaranya integrasi antar moda dengan menyediakan halte Trans Jogja dalam lingkungan stasiun yang terkoneksi dengan trotoar pejalan kaki dan jalur sepeda yang nyaman digunakan, perbaikan walkabilty/cyclability kawasan dengan melengkapi fasilitas seperti peneduh jalan dan fasilitas parkir dalam lingkungan stasiun, perbaikan densitas dengan ragam guna bangunan (satu bangunan untuk fungsi komersial, perumahan dan perkantoran) dan perumahan vertikal yang terjangkau dengan masih mempertimbangkan aspek budaya dan kearifan lokal. Pembangunan kawasan ini akan jauh lebih cepat dirasakan perkembangannya dibandingkan pada kawasan pinggiran.

D. Kesimpulan

1. Kriteria yang digunakan dalam penentuan kawasan TOD adalah kepadatan penduduk (density), keragaman guna lahan (diversity), walkability/cyclability, pengguna layanan (transit ridership), kemudahan pengguna (user-friendliness), aksesibilitas dan parkir.

Page 278: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 267

2. Hasil evaluasi kondisi kawasan yang sudah ada dengan indeks TOD diketahui kawasan Terminal Giwangan memiliki indeks TOD tertinggi (0,718) kemudian kawasan Stasiun Yogyakarta (0,712) dan kawasan Stasiun Lempuyangan (0,684).

3. Hasil evaluasi persepsi pengguna terhadap penerapan prinsip TOD kawasan adalah 78,6 (baik) dengan dimensi densitas dan keragaman guna lahan, cyclability serta parkir memiliki nilai terendah dan memerlukan perhatian dalam pengembangan TOD kawasan.

4. Rekomendasi pengembangan dan penanganan diprioritaskan pada kriteria TOD yang memiliki nilai rendah. Kawasan Stasiun Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan meliputi kriteria pengguna layanan (transit ridership), aksesibilitas, dan parkir. Kawasan Terminal Giwangan meliputi kriteria densitas kawasan, walkability/cyclability, dan kemudahan pengguna (user-friendliness). Evaluasi secara keseluruhan kawasan Stasiun Yogyakarta memiliki potensi

terbesar pengembangan kawasan berbasis TOD Perkotaan Yogyakarta.

E. Saran

1. Bagi penelitian selanjutnya:

a. memperhitungkan aspek ekonomi seperti perkembangan sektor komersial, jumlah pekerjaan yang dapat diakses dalam kawasan dan lainnya dalam kriteria maupun indikator evaluasi TOD

b. pengembangan kriteria dan indikator evaluasi TOD dengan menyesuaikan kondisi atau spesifikasi kawasan berbasis TOD.

2. Bagi instansi terkait: pertimbangan perhitungan indeks TOD sebagai alat bantu penentu kebijakan dengan skala prioritas kepentingan.

Page 279: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

268 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 280: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ANALISIS TINGKAT PRIORITAS PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI PERJALANAN ANTAR KOTA DALAM PROVINSI DENGAN METODE FUZZY AHP (RUTE KOTA PADANG–KOTA PARIAMAN)

Nama : Fauzan Nurmatias

Instansi : Pemkot Pariaman

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 281: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

270 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS TINGKAT PRIORITAS PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI PERJALANAN ANTAR KOTA DALAM PROVINSI DENGAN METODE FUZZY AHP (RUTE KOTA

PADANG–KOTA PARIAMAN)

A. Latar Belakang

Kota Pariaman dan Kota Padang adalah dua kota yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, antara dua kota tersebut berjarak sekitar 56 km. Banyak terjadi pergerakan masyarakat dari Kota Padang ke Kota Pariaman dan sebaliknya. Arus pergerakan Antar Kota Dalam Provinsi ini tidak terlepas dari tingkat prioritas pemilihan moda transportasi yang akan digunakan masyarakat. Tingkat prioritas pemilihan moda transportasi ini harus mempertimbangkan berbagai aspek atau kriteria yang menjadi urutan prioritas pemilihan moda transportasi bagi masyarakat. Aspek atau kriteria tersebut diantaranya biaya/tarif, waktu perjalanan, frekuensi, aksesibilitas, keselamatan, kenyamanan, keamanan. Dengan diketahuinya bobot dari aspek atau kriteria yang menjadi urutan prioritas masyarakat, maka masing-masing moda transportasi dapat melakukan perbaikan pada bobot dari aspek/kriteria yang rendah urutan prioritasnya. Perubahan bobot aspek/kriteria ini, maka akan mempengaruhi tingkat prioritas pemilihan moda transportasi yang digunakan masyarakat, baik itu moda kereta api, moda bus umum atau moda sepeda motor.

Penelitian ini menggunakan metode Fuzzy AHP. Metode ini merupakan perkembangan dari metode AHP (Analytical Hierarchy Process). Dalam AHP, untuk pengambilan keputusan dengan banyak kriteria yang bersifat subjektif, seringkali seorang pengambil keputusan dihadapkan pada suatu permasalahan yang sulit dalam penentuan bobot setiap kriteria. Sehingga Metode Fuzzy AHP digunakan untuk menangani kelemahan pada metode AHP. Metode pendukung Fuzzy AHP menitikberatkan pada fuzzifikasi nilai pada matriks perbandingan berpasangan yang sebelumnya berupa bilangan klasik pada AHP. Fuzzy AHP memungkinkan deskripsi proses pembuatan keputusan lebih akurat dan menggambarkan secara matematis spesifik ketidakpastian. Fuzzy AHP dianggap lebih baik dalam mendeskripsikan keputusan yang samar-samar serta meminimalisasi ketidakpastian dalam skala AHP yang berbentuk nilai ‘crisp’ dimana suatu elemen pada suatu himpunan hanya memiliki 2 kemungkinan keanggotaan. Hasil evaluasi dengan metode Fuzzy AHP ini dapat memberikan gambaran bagaimana prioritas dari setiap Alternatif moda yang ditawarkan dari Kota Padang ke Kota Pariaman ditinjau dari sejumlah aspek/kriteria tertentu. Dimana tujuan penelitian ini sebagai berikut:

Page 282: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 271

1. Menganalisis bobot kriteria dalam pemilihan moda transportasi antar kota dalam provinsi, rute kota Padang ke kota Pariaman

2. Menganalisis prioritas pemilihan alternatif moda transportasi berdasarkan kriteria yang ada.

3. Menganilisis pengaruh perubahan bobot kriteria terhadap prioritas pemilihan alternatif moda transportasi.

B. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Output Level 1 (Kriteria)

Analisis pada bagian ini adalah untuk mengetahui kriteria mana yang paling mempengaruhi responden dalam pemilihan moda transportasi Antar Kota Dalam Provinsi, dalam hal ini perjalanan dari Kota Padang ke Kota Pariaman. Responden dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Regulator (Pemerintah Daerah kota Pariaman), kelompok Operator (PT KAI, Bus Umum PO. Kawan dan Bus Umum PO. Alisma) dan kelompok ketiga adalah kelompok user (pengguna moda transportasi).

Metode yang digunakan adalah Fuzzy Analisis Hierarki Proses (F-AHP) dan representasi fungsi yang digunakan adalah representasi fungsi segi tiga atau Triangular Fuzzy Number (TFN). Pendekatan TFN dalam metode AHP adalah pendekatan yang digunakan untuk meminimalisasi ketidakpastian dalam skala AHP yang berbentuk nilai crisp. Cara pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan fuzzifikasi pada skala AHP sehingga diperoleh skala baru yang disebut skala fuzyy AHP. Setelah itu dilakukan Sintesis Fuzzy (Fuzzy Synthetic Extent), hasilnya dikembalikan ke dalam bilangan non-fuzyy dengan melakukan defuzzifikasi. Hasil defuzzifikasi inilah yang menjadi bobot kriteria dari masalah yang akan diselesaikan.

2. Analisis Output level 2 (Alternatif moda)

Analisis pada bagian ini adalah untuk mengetahui prioritas alternatif moda yang digunakan responden dalam melakukan perjalanan dari kota Padang ke kota Pariaman ditinjau dari masing-masing kriteria yang ditentukan pada level 1. Reponden juga dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok Regulator (Pemerintah Daerah kota Pariaman), kelompok Operator (PT KAI, Bus Umum PO. Kawan dan Bus Umum PO. Alisma) dan kelompok User (Pengguna moda transportasi).

Page 283: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

272 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Tingkat Prioritas Pemilihan Alternatif Moda Transportasi

Tingkat prioritas pemilihan alternatif moda transportasi mengambarkan bobot penilaian responden terpilih dalam memilh alternatif moda yang ditawarkan, dalam hal ini pemilihan moda transportasi perjalananan antar kota dalam provinsi rute kota Padang ke kota Pariaman. Bobot pemilihan ini dihitung berdasarkan hasil analisis level 1 (kriteria) dan analisis level 2 (alternatif)

4. Analisis Sensitivitas

a. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Bobot Kriteria

Dengan perubahan bobot masing-masing kriteria maka akan terjadi perubahan bobot pemilihan alternatif moda, peningkatan ini mempunyai nilai yang berbeda-beda tergantung alternatif moda yang digunakan. Persamaan urutan global yang digunakan untuk pemilihan alternatif moda adalah:

YBus = 0,137Biaya + 0,114Waktu + 0,355Keselamatan + 0,256Kenyamanan+ 0,354Frekuensi + 0,354 Akses

Ykereta Api = 0,466Biaya + 0,381Waktu + 0,512 Keselamatan +0,580 Kenyamanan+ 0,175 Frekuensi + 0,176 Akses YSepeda motor = 0,397 Biaya + 0,505 Waktu + 0,133 Keselamatan +0,164 Kenyamanan+ 0,471Frekuensi + 0,470Akses

Analisis sensitivitas dilakukan berdasarkan persamaan di atas, dengan mengubah bobot nilai masing-masing moda. Peningkatan dan penurunan bobot pada kriteria juga dapat berarti bahwa kriteria tersebut mempunyai kondisi awal yang sudah baik atau kurang baik.

b. Analisis Sensitivitas Berdasarkan Bobot Alternatif Moda

Analisis sensitivitas ini dilakukan dengan skenario perubahan nilai bobot alternatif salah satu moda yang ada. Diharapkan dengan adanya perubahan ini akan meningkatkan bobot pemilihan alternatif moda tersebut. Dalam hal ini, diberikan peningkatan bobot alternatif moda bus umum berdasarkan kriteria biaya,waktu dan kenyaman. Peningkatan bobot ini dengan cara menambahan 10% pada alternatif moda bus umum dan pengurang sebesar 5% pada alternatif moda kereta api dan 5% pada alternatif moda sepeda motor.

Alternatif moda bus melakukan perbaikan pada bobot alternatif kriteria biaya menjadi 33,74%, bobot alternatif kriteria waktu menjadi 31,41%, dan bobot alternatif kriteria kenyaman menjadi 45,62%, maka alternatif moda bus umum

Page 284: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 273

mempunyai bobot pemilihan alternatif yang sanagat mendekati bobot alternatif moda kereta api. Hal ini artinya pengguna moda transportasi akan banyak menggunakan bus umum untuk perjalanan dari Kota Padang ke kota Pariaman.

5. Rencana Tindak Lanjut

Dari pembahasan sebelumnya didapatkan bahwa moda kereta api memiliki tingkat prioritas tertinggi, moda sepeda motor berada pada tingkat prioritas kedua dan terakhir moda bus umum. Dengan mengubah bobot kriteria dan bobot alternatif moda didapatkan perbaikan pada tingkat prioritas pemilihan masing-masing moda transportasi yang ditawarkan. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dapat dilakukan perbaikan-perbaikan dari masing-masing moda.

a. Moda Bus Umum

Ditinjau dari kriteria, moda bus umum mempunyai bobot yang rendah dalam kriteria biaya, waktu, kenyamanan dan keselamatan. Namun cukup bagus dalam kriteria frekuensi, kemudahan akses. Perbaikan pertama pada kriteria biaya dengan menurunkan komponen biaya operasi kendaraan yang terdiri dari biaya konsumsi bahan bakar, biaya konsumsi miyak pelumas, biaya ban, biaya pemeliharaan, dan asuransi. Kedua, perbaikan pada kriteria waktu dengan memberikan jadwal dan kepastian waktu tempuh. Ketiga, meningkatkan bobot kriteria kenyamanan bus umum dengan cara perbaikan fasilitas kendaraan, seperti tersedianya AC, tempat duduk yang nyaman dan bersih, tidak ada penumpang yang berdiri. Keempat, meningkatkan bobot kriteria keselamatan dan keamanan, dengan cara memberikan edukasi dan pengawasan pada pengemudi bus akan tingginya resiko keselamatan mengemudi secara ugal-ugalan. Serta, pengawasan yang ketat dari regulator tentang kelengkapan keselamatan dan keamanan kendaraan.

b. Moda Kereta Api

Ditinjau berdasarkan masing-masing kriteria, kereta api juga mempunyai bobot yang baik pada kriteria biaya, waktu, keselamatan dan keamanan, kenyamanan. Namun mempunyai bobot yang rendah pada kriteria frekuensi dan kemudahan akses. Untuk menyempurnakan kualitas pelayanan PT. KAI Div II perlu memperhatikan kriteria frekuensi dan kemudahan akses. Perbaikan ini dengan cara memperbanyak frekuensi keberangkatan kereta api menjadi setiap 2 jam atau 7 keberangkatan perhari dan dengan menambah stasiun pemberangkatan/pemberhentian sepajang rute kota Padang–Pariaman.

Page 285: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

274 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Moda Sepeda Motor

Dalam penelitian ini moda sepeda motor mempunyai bobot yang bagus pada kriteria biaya, waktu, frekuensi dan akses. Namun sangat rendah pada krtiteria keselamatan dan kriteria kenyamanan. Di Indonesia pertumbuhan sepeda motor mencapai 13,2% (BPS 2013), namun sepeda motor juga menyumbang angka kecelakaan kendaraan bermotor terbesar yaitu 64 % (Korlantas 2013). Sepeda motor juga memiliki tingkat fatality yang tinggi. Perbaikan yang bisa dilakukan, yaitu: memperbaiki kualitas pelayanan transportasi umum, agar masyarakat beralih menjadi pengguna transportasi umum, batas kecepatan sepeda motor, jalur khusus sepeda motor, memperbaiki fasilitas pedestrian, memberikan edukasi kepada masyarakat resiko fatality dan berkendara yang baik, pengawasan yang ketat kondisi laik kendaraan, pemberian surat izin mengemudi kepada pengemudi yang kompeten.

C. Kesimpulan

1. Metode fuzzy AHP dapat digunakan untuk memproses analisis tingkat prioritas pemilihan moda transportasi perjalanan antar kota dalam provinsi rute kota Padang–kota Pariaman

2. Dalam perjalanan Antar Kota Dalam Provinsi rute Kota Padang–Kota Pariaman, pihak regulator dan operator penyelenggara transportasi agar memperhatikan kriteria-kriteria yang menjadi tingkat prioritas dalam pemilihan moda transportasi. Dengan memperhatikan kriteria tersebut, dapat disusun perbaikan-perbaikan oleh pihak regulator dan pihak operator dengan tujuan agar masyarakat lebih memilih menggunakan moda angkutan umum (bus umum dan kereta api) dan mengurangi penggunaan moda sepeda motor.

3. Analisis sensitivitas dilakukan dengan perubahan bobot kriteria dan bobot alternatif moda. Analisis ini dapat memberikan gambaran efek perubahan bobot tersebut pada perubahan tingkat prioritas pemilihan moda transportasi. Dengan analisis sensitivitas diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi-kondisi yang terbaik dan dapat memberi solusi kedepannya.

D. Saran

1. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan pengembangan dalam lingkup sampel yang lebih besar dan menambah profil responden terpilih, seperti informasi pendidikan terakhir, asal tujuan, maksud perjalanan, pendapatan, status perkawinan, dan lain-lain.

Page 286: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 275

2. Untuk mempertajam analisis, perlu dilakukan analisis probabilitas terhadap pemilihan moda rute Kota Padang – Kota Pariaman. Analisis probabilitas ini dilakukan untuk memberikan gambaran kepada pembuat keputusan sehingga akan menghasilkan keputusan yang lebih akurat.

Page 287: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

276 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 288: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN PADA INTEGRASI SISTEM JARINGAN JALAN EKSISTING DENGAN COASTAL ROAD DI KOTA BALIKPAPAN

Nama : Sri Kusrini

Instansi : Pemkot Balikpapan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 289: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

278 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan tata guna lahan akan menimbulkan bangkitan dan tarikan perjalanan pada jaringan jalan perkotaan. Pengembangan wilayah seringkali tidak memperhatikan daya dukung prasarana dan pelayanan transportasi yang melayaninya sehingga menimbulkan kemacetan. Oleh karena itu, pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kapasitas jaringan transportasi.

Analisis kinerja ruas jalan pada integrasi sistem jaringan jalan eksisting dengan coastal road di Kota Balikpapan dilakukan pada ruas Jalan Jenderal Sudirman sepanjang + 5 km. Metode yang digunakan adalah melakukan penilaian terhadap indikator kinerja ruas jalan perkotaan yaitu kapasitas, derajat kejenuhan (V/C ratio) dan kecepatan tempuh pada kondisi lalu lintas tahun 2017 (Skenario 1), kondisi lalu lintas tahun 2024 sebelum beroperasinya coastal road (Skenario 2), dan kondisi lalu lintas tahun 2024 saat beroperasinya coastal road (Skenario 3). Analisis dilakukan dengan menggunakan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997) untuk jalan perkotaan.

Hasil analisis pada tiga skenario menujukkan bahwa pengembangan wilayah memberikan pengaruh signifikan terhadap beban lalu lintas. Hal ini dapat dilihat dari nilai derajat kejenuhan (DS) dan kecepatan tempuh (VLV) yang berbeda-beda berdasarkan waktu, lokasi segmen jalan, dan skenario yang dilakukan. Beberapa segmen jalan Jenderal Sudirman masih mampu mengalirkan arus lalu lintas dengan lancar karena nilai DS < 0,8. Namun terdapat pula beberapa segmen jalan yang mengalami kepadatan karena DS > 0,8 dan cenderung mengalami kemacetan saat DS > 1,0. Kemacetan yang terjadi bersifat sementara yaitu terjadi pada saat jam-jam sibuk (peak hour) dan segmen tertentu. Segmen jalan dengan DS > 0,6 memerlukan penanganan, yaitu Segmen Gedung Parkir, Segmen Taman Bekapai, dan Segmen Terminal Damai. Upaya penanganan masalah dapat dilakukan dalam tiga periode, yaitu jangka pendek 1-4 tahun, jangka menegah 4-7 tahun dan jangka panjang lebih dari 10 tahun.

Kata kunci: Coastal Road Balikpapan, Kinerja Jalan, Integrasi Jalan, Kemacetan Sudirman

Page 290: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 279

ABSTRACT

The development of land use will generate and attract travel in urban road networks. Regional development often does not pay attention to the carrying capacity of infrastructure and transportation services that serve it, causing congestion. Therefore, regional development must be adjusted to the capacity of the transportation network.

Analysis of road performance on the integration of the existing road network system with coastal road in Balikpapan City is carried out on Jalan Jenderal Sudirman along around 5 km. The method used is to assess the performance indicators of urban roads, namely capacity, degree of saturation (V/C ratio) and travel speed in traffic conditions in 2017 (Scenario 1), traffic conditions in 2024 prior to coastal road operation (Scenario 2), and traffic conditions in 2024 during coastal road operation (Scenario 3). The analysis was carried out using the Indonesian Road Capacity Manual (MKJI 1997) for urban roads.

The results of the analysis in these three scenarios show that regional development has a significant effect on traffic load. This can be seen from the value of the degree of saturation (DS) and travel speed (VLV) which vary based on the time, location of the road segment, and the scenario that is carried out. Some segments of the Jenderal Sudirman road are still able to flow traffic smoothly because the value of DS is <0.8. However, there are also several road segments that experience density due to DS> 0.8 and tend to experience congestion when DS> 1.0. Congestion that occurs is temporary, which occurs during peak hours and certain segments. The road segment with DS> 0.6 requires handling, namely the Parking Building Segment, Bekapai Park Segment, and the Terminal Damai Segment. Troubleshooting efforts can be carried out in three periods, namely short term 1-4 years, mid-term 4-7 years and long term more than 10 years.

Keywords: Balikpapan Coastal Road, Road Performance, Road Integration, Sudirman Traffic Jam

Page 291: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

280 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS KINERJA RUAS JALAN PADA INTEGRASI SISTEM JARINGAN JALAN EKSISTING DENGAN COASTAL ROAD DI

KOTA BALIKPAPAN

A. Latar Belakang

Kota Balikpapan berada di Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah keseluruhan + 81.495 Ha, terdiri atas 50.330 Ha wilayah darat dan 31.164 Ha wilayah laut. Secara geografis 85% merupakan wilayah berbukit-bukit serta 15% berupa daerah datar yang sempit terutama berada di Daerah Aliran Sungai dan Sungai Kecil serta pesisir pantai (Pemerintah Kota Balikpapan, 2017).

Pesatnya pembangunan di Koridor Sudirman dan ketersediaan lahan yang terbatas menimbulkan permasalahan serius, salah satunya adalah kemacetan di Jalan Jendral Sudirman sehingga timbul paradigma mengenai perlunya jalur alternatif untuk mengalihkan beban lalu lintas di Jalan Sudirman. Pemerintah Kota Balikpapan berupaya mengembangkan pusat kota dan jantung perekonomian yang secara dominan berada di kawasan pesisir dengan cara reklamasi pantai melalui Proyek Coastal Road dengan sasaran untuk menciptakan pusat kota baru/pusat perdagangan yang bernuansa pantai di pusat Kota Balikpapan, mengembangkan akses publik ke pantai dan penataan estetika kota (Pemerintah Kota Balikpapan, 2013). Selain itu keberadaan coastal road diharapkan dapat menjadi jalur alternatif untuk mengatasi kemacetan di ruas jalan Jenderal Sudirman.

Lokasi yang ditetapkan berada di kawasan premium yakni di tepi pantai sepanjang Jalan Jendral Sudirman, membentang dari Pelabuhan Semayang hingga mendekati Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan atau sepanjang 7,5 km, ke arah pantai sejauh 500 m dari surut air laut terendah dengan luas sekitar 468 Ha (BPMP2T, 2016). Coastal area dibagi menjadi delapan segmen tematik, direncanakan mulai dibangun serentak tahun 2016 dan dijadwalkan selesai tahun 2024 (Abdi, 2015).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Peranan transportasi adalah untuk pengembangan wilayah, untuk keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, serta membentuk struktur tata ruang. Pembangunan dan pengembangan infrastruktur transportasi harus terencana, terintegrasi, tepat guna, efisien dan efektif sehingga dibutuhkan kerangka dasar

Page 292: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 281

rencana pembangunan/pengembangan yang diwujudkan dalam suatu Rencana Induk atau Master Plan. Integrasi jaringan transportasi yaitu terintegrasinya sistem jaringan prasarana dan jaringan pelayanan transportasi baik intramoda maupun antarmoda.

Master plan pembangunan coastal road Balikpapan ini direncanakan dengan mengintegrasikan sistem eksisting kota dengan sistem yang baru melalui pembuatan jalan kolektor dan pembuatan jalan pesisir pantai (coastal road) agar dapat meningkatkan aksesibilitas kawasan dan meningkatkan kinerja kota dan kawasan. Untuk itu diperlukan suatu analisis kinerja ruas jalan dan persimpangan pada integrasi sistem jaringan jalan eksisting dengan coastal road agar perencanaan yang akan diterapkan bisa optimal.

Diharapkan analisis yang dilakukan pada penelitian ini mampu menjawab beberapa pertanyaan mengenai:

1. Bagaimana pengaruh bangkitan dan tarikan perjalanan akibat pembangunan coastal road dan pengembangan tata guna lahan terhadap sistem pergerakan arus lalu lintas di jaringan jalan eksisting.

2. Bagaimana hubungan antara volume lalu lintas dengan kapasitas jalan pada sistem jaringan jalan eksisting dan tata ruang yang baru yaitu coastal road.

3. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada sistem lalu lintas eksisting dan prasarana yang ada guna mengatasi tambahan beban dari pembangunan coastal road.

Pada penelitian ini dilakukan pengumpulan data sekuder dan data primer sebagai berikut:

1. Data Sekunder, diperoleh dari berbagai sumber yaitu:

a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Balikpapan: Dokumen Review RTBL dan Design Skematik Infrastruktur Coastal Road Tahun 2012;

b. Dinas Perhubungan Kota Balikpapan: Dokumen Lalu lintas Harian Rata-Rata Kota Balikpapan Tahun 2016 dan data jumlah kendaraan tahun 2011-2014;

c. Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Balikpapan berupa data jumlah penduduk tahun 2014-2017;

d. Internet.

2. Data Primer, diperoleh dari survei lapangan pada ruas jalan yang dianalisis yakni Jalan Jendral Sudirman sepanjang + 5 km dibagi menjadi beberapa segmen jalan.

Data primer yang dikumpulkan melalui survei lapangan adalah sebagai berikut:

Page 293: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

282 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Data inventarisasi geometrik jalan, antara lain: lebar badan jalan, lebar bahu jalan, lebar median, lebar lajur sepeda, lebar trotoar, jumlah jalur dan lajur.

b. Data perhitungan jumlah kendaraan dengan lokasi survei.

• Survei volume lalu lintas dengan traffic counting di 6 lokasi pada hari Senin, 16 Januari 2017 pukul 06.30 – 07.30 WITA dan Sabtu, 21 Januari 2017 pukul 20.00 – 21.00 WITA

• Survei kecepatan kendaraan dengan metode journey speed pada lokasi yang tidak terpengaruh oleh simpang, dengan jarak 200 m untuk tipe kendaraan

• LV, HV dan MC dilakukan pada hari Senin tanggal 16 Januari 2017, pukul 12.00 – 13.00 WITA.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Inventarisasi Ruas Jalan Jendral Sudirman

Berdasarkan pengamatan, kondisi Jalan Sudirman sangat padat dan macet pada jam-jam puncak antara lain disebabkan oleh:

a. Pengembangan kawasan yang pesat terpusat di koridor Sudirman menimbulkan bangkitan dan tarikan perjalanan akibat aktivitas kawasan seperti pada pusat perdagangan, jasa, perkantoran, pelabuhan dan bandara;

b. Moda transportasi didominasi oleh mobil pribadi dan sepeda motor;

c. Jumlah angkutan umum cukup banyak (1800 kendaraan) dengan load factor yang rendah (Agustani, Juli 2016);

d. Adanya on street parking, drop off penumpang dan kegiatan bongkar muat barang di area bisnis sepanjang Jalan Sudirman.

2. Survei Lalu lintas 2017

Hasil analisisnya adalah sebagai berikut:

a. Dari seluruh kendaraan yang di survei pada pagi dan malam hari, persentase sepeda motor lebih dari 55%. Dari total jumlah kendaraan R4 atau lebih yang disurvei sebanyak 86,01% didominasi oleh kendaraan pribadi.

b. Besarnya angka pengguna sepeda motor karena sepeda motor dinilai lebih murah biaya operasionalnya, praktis, cepat dan mudah menembus kemacetan. Sedangkan bagi masyarakat menengah, penggunaan kendaraan

Page 294: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 283

pribadi dianggap lebih nyaman dan aman dibanding menggunakan sepeda motor atau angkutan umum.

c. Ruas Jenderal Sudirman dilayani dengan angkutan umum berupa mikrolet dengan lima rute trayek. Dengan alasan jangkauan rute, perpindahan moda, tarif, keamanan dan kenyamanan, pengguna jalan enggan mengunakan angkutan umum dan lebih memilih kendaraan pribadi atau sepeda motor.

3. Survei Kecepatan Tempuh Aktual

Hasil analisisnya adalah sebagai berikut:

a. Kecepatan rata-rata sepeda motor pada ruas Jenderal Sudirman 49,62 km/jam. Namun dari persentil 85% menunjukkan masih banyak pengendara sepeda motor berkendara dengan kecepatan 65,45 km/jam.

b. Kecepatan rata-rata kendaraan ringan pada ruas Jenderal Sudirman 44,16 km/jam. Namun dari persentil 85% menunjukkan masih banyak pengendara kendaraan ringan berkendara dengan kecepatan 60,00 km/jam.

c. Kecepatan rata-rata kendaraan berat 41,38 km/jam. Namun kecepatan dari survei kendaraan berat ini tidak mewakili kondisi sebenarnya di lapangan karena jumlah sampel hanya 1-2 kendaraan. Hal ini karena ada pembatasan waktu melintas bagi kendaraan-kendaraan berat di jalan protokol dan perkotaan pada pukul 06.00-21.00 WITA dalam Perwali Nomor 60 Tahun 2016. Selain itu, tidak ada trayek angkutan umum bagi kendaraan bus sedang yang melintas di ruas jalan Sudirman.

d. Menurut PP No. 79 tahun 2013, kecepatan maksimum kendaraan bermotor di perkotaan adalah 50 km/jam. Untuk sepeda motor angka ini sebaiknya diturunkan lagi karena dari aspek keselamatan, kecepatan kendaraan sepeda motor lebih dari 50 km/jam di kawasan perkotaan dan lalu lintas padat dapat di golongan dalam kategori kecepatan tinggi. Menurut Global Road Safety Partnership, et al (2008), pengguna sepeda motor termasuk dalam kelompok pengguna jalan yang rentan. Semakin tinggi kecepatan kendaraan maka tingkat risiko dan fatalitas semakin tinggi. Semakin padat volume kendaraan pada suatu ruas maka kecepatan kendaraan harus semakin diturunkan.

4. Analisis Kinerja Jalan

Analisis kinerja dihitung menggunakan MKJI (1997) untuk jalan perkotaan pada 3 skenario sebagai berikut:

Page 295: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

284 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Skenario 1: Kondisi Lalu lintas Tahun 2017 (Kondisi Eksisting)

b. Skenario 2: Kondisi Lalu lintas Tahun 2024 (Belum Beroperasinya Coastal Road)

c. Skenario 3: Kondisi Lalu lintas Tahun 2024 (Beroperasinya Coastal Road)

Analisis kinerja jalan pada tiap skenario dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Kondisi Jalan Jenderal Sudirman pada tiap seknario adalah sama seperti kondisi eksisting tahun 2017 atau tidak ada perubahan geometrik dan manajemen lalu lintas.

b. Perkiraan arus lalu lintas yang melintasi ruas Jalan Jendral Sudirman pada saat coastal road beroperasi tahun 2024 dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

• Adanya bangkitan dan tarikan perjalanan di ruas Jalan Sudirman akibat aktivitas kawasan di sepanjang koridor Sudirman;

• Adanya bangkitan dan tarikan perjalanan yang disebabkan oleh aktivitas di kawasan coastal road dimana volume lalu lintas pada tiap segmen coastal road akan mempengaruhi segmen Jalan Sudirman yang berdekatan.

Perhitungan kinerja Jalan Jenderal Sudirman pada tiap skenario dengan analisis sebagai berikut:

a. Adanya perkembangan kawasan dan tata guna lahan berupa pembangunan coastal road menimbulkan dampak berupa penambahan volume lalu lintas yang cukup signifikan pada ruas Jalan Sudirman. Pada Skenario 3, penambahan beban volume lalu lintas rata-rata sebesar 17% dari Skenario 2. Besar tambahan beban volume lalu lintas pada tiap segmen berbeda-beda, tergantung pada fungsi tata guna lahan dan aktivitas kawasan.

b. Pada ketiga skenario terjadi peningkatan nilai derajat kejenuhan (DS) karena ada kenaikan volume lalu lintas (Q) tiap tahun sementara kapasitas (C) jalan tetap (tidak ada perubahan geometrik jalan). Beberapa segmen Jalan Sudirman lalu lintas masih lancar yang ditunjukkan dengan DS < 0,75. Namun beberapa segmen yang lain mengalami kepadatan yakni saat DS > 0.75 dan mengalami kemacetan saat DS > 1.

c. Kenaikan nilai DS akan diikuti dengan penurunan kecepatan tempuh (VLV). Pada saat nilai VLV = 0 km/jam, maka lalu lintas dalam kondisi macet total.

Page 296: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 285

d. Dalam satu skenario, terjadi perbedaan nilai DS pada segmen jalan yang sama di waktu pagi dan malam. Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan lalu lintas dapat berubah sewaktu-waktu, tergantung dari aktivitas kawasan. Dari ketiga skenario, segmen jalan dengan DS > 0,75 yang memerlukan penanganan yaitu Segmen Gedung Parkir, Segmen Taman Bekapai, dan Segmen Terminal Damai.

5. Rekomendasi Penanganan Masalah

Rekomendasi untuk penanganan masalah pada ketiga skenario adalah sebagai berikut:

a. Penanganan masalah pada Skenario 1 menggunakan solusi jangka pendek metode do minimum tipe R1 yaitu menggunakan langkah-langkah secara minimum melalui pemanfaatan fasilitas ruas jalan yang ada secara optimal dari segi kapasitas dan keamanan lalu lintas melaui pembagian jumlah lajur secara jelas, penambahan bike lane dengan cara shared lane, larangan on street parking dengan mengoptimalkan kantong dan gedung parkir, pemasangan rambu dan marka, pengaturan loading dan off loading barang dan penumpang, melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas.

b. Penanganan masalah pada Skenario 2 dilakukan dalam 2 periode. Untuk solusi jangka menengah menggunakan metode do minimum tipe R1 yaitu dengan manajemen lalu lintas melalui penggunaan angkutan umum masal, moratorium perizinan angkutan umum angkot, pembatasan penggunaan kendaraan pribadi. Sedangkan untuk jangka panjang menggunakan metode do something tipe R3 melalui pembangunan coastal road.

c. Penanganan masalah pada Skenario 3 menggunakan solusi jangka panjang metode do something tipe R2 yaitu peningkatan kapasitas jalan pada 14 jalan tembus eksisting sebagai jalan alternatif untuk mengurangi kemacetan dan memindahkan lokasi Terminal Damai ke pinggir kota untuk mengurangi hambatan samping.

D. Kesimpulan

1. Adanya perkembangan tata guna lahan di Koridor Sudirman dan pembangunan coastal road memberikan pengaruh signifikan terhadap volume lalu lintas di sepanjang ruas Jalan Sudirman. Hal ini dapat dilihat dari nilai derajat kejenuhan (DS) yang dihasilkan pada tiap segmen jalan berdasarkan waktu, lokasi segmen jalan dan skenario yang dilakukan.

Page 297: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

286 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Pada Skenario 1, Skenario 2, dan Skenario 3, beberapa segmen Jalan Sudirman masih mampu mengalirkan arus lalu lintas dengan lancar karena DS < 0,75. Namun terdapat pula beberapa segmen jalan yang mengalami kepadatan karena DS > 0,75 dan terjadi kemacetan saat DS > 1,0. Kenaikan Nilai DS dari Skenario 1 ke Skenario 2 dan Skenario 3 diiringi dengan penurunan nilai kecepatan tempuh (VLV).

3. Dari hasil analisis kinerja ruas jalan pada tiga skenario, segmen jalan yang memiliki DS > 0,75 dan memerlukan penanganan adalah Segmen Gedung Parkir, Segmen Taman Bekapai, dan Segmen Terminal Damai. Penanganan masalah dilakukan pada tiap skenario dalam jangka waktu pendek, menengah, dan jangka panjang. Hal ini dilakukan agar penanganan dapat dilakukan dengan tepat, efektif dan efisien terkait dengan ketersediaan dana yang dimiliki.

E. Saran

1. Perkembangan tata guna lahan dan hambatan samping di sepanjang Jalan Sudirman harus diatur dan dikendalikan melalui mekanisme Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan Analisis Dampak Lalu lintas (Andalalin).

2. Perlunya komitmen dari pemerintah kota untuk meningkatkan sarana dan prasarana transportasi serta menyelenggarakan moda transportasi masal yang tepat. Beroperasinya moda transportasi masal berupa tram dan busway di kawasan coastal road dapat mengurangi volume lalu lintas.

3. Untuk memaksimalkan kapasitas jalan dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi, diperlukan pengaturan sistem perparkiran. Untuk jangka pendek dilakukan dengan pengaturan sistem on street parking di sepanjang Jalan Sudirman. Untuk jangka menengah dilakukan dengan menyediakan dan memaksimalkan penggunaan kantong parkir dan gedung parkir. Untuk jangka panjang dilakukan dengan sistem park and ride maupun kiss and ride seiring dengan penyelenggaraan sistem transportasi masal.

4. Perlunya kesadaran masyarakat untuk tertib berlalu lintas. Sehingga diperlukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terkait dengan penyelenggaraan sistem lalu lintas.

Page 298: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PENGARUH PEMANFAATAN JALUR HIJAU TERHADAP KESELAMATAN DAN KONDISI PERKERASAN JALAN (STUDI KASUS: JARINGAN JALAN DI KAWASAN KOTABARU, YOGYAKARTA)

Nama : Wahyu Abidin Shaf

Instansi : Pemprov Diy

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Sistem dan Teknik

Transportasi

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 299: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

288 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH PEMANFAATAN JALUR HIJAU TERHADAP KESELAMATAN DAN KONDISI PERKERASAN JALAN

(STUDI KASUS: JARINGAN JALAN DI KAWASAN KOTABARU, YOGYAKARTA)

A. Latar Belakang

Transportasi darat sangat dibutuhkan dan diminati masyarakat untuk melakukan perjalanan. Menurut Munawar (2007) saat ini kendaraan pribadi menjadi sarana transportasi yang paling banyak diminati. Kendaraaan pribadi (mobil dan sepeda motor) populasinya semakin besar.

Aktivitas transportasi dapat mengakibatkan sejumlah dampak terhadap lingkungan. Dampak terhadap lingkungan tersebut diantaranya polusi udara, kebisingan dan getaran (Gorham, 2002 dan Hunaidi, 2000). Dampak pencemaran udara dan kebisaingan dapat dikurangi dengan memanfaatkan jalur hijau. Jalur hijau dapat ditempatkan di ruang milik jalan (rumija). Namun seringkali kali dijumpai jalur hijau tidak memberikan fungsi sesuai dengan potensinya. Bahkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap keselamatan dan kondisi perkerasan jalan.

B. Metode Analisis

Penelitian dilakukan di Kawasan Kotabaru pada ruas Jl. Jend. Sudirman, Jl. Suroto, Jl. Yos Sudarso, Jl. Atmosukarto, dan Jl. Abubakar Ali. Langkah penelitian yaitu perumusan masalah, kajian literatur, pengambilan data sekunder, pengambilan data primer, analisis serta pengambilan kesimpulan dan saran.

Pada penelitian ini menggunakan 5 fungsi lanskap yang sesuai dengan lokasi penelitian. Fungsi tersebut adalah mengurangi pencemaran udara, penyerap kebisingan, penghalang silau cahaya, pengarah dan pemecah angin.

1. Berdasarkan penilaian yang dikembangkan Wungkar (2005) dilakukan evaluasi fungsi pohon setiap kriteria dengan pembobotan. Adapun penilaian sebagai berikut:

Nilai 1: Buruk bila ≤ 40% kriteria terpenuhi.

Nilai 2: Sedang bila 41-60% kriteria terpenuhi.

Nilai 3: Baik bila 61-80 % kriteria terpenuhi.

Page 300: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 289

Nilai 4: Sangat Baik bila ≥ 80% kriteria terpenuhi.

2. Pengaruh Pohon pada Jalur Hijau Terhadap Keselamatan Jalan. Menganalisis pengaruh terhadap keselamatan jalan dilakukan dengan memberi skor. Pemberian skor dilakukan tehadap setiap pengaruh. Dasarnya adalah literatur dan standar yang berlaku.

a. Pengaruh terhadap kondisi perkerasan jalan berdasarkan pada DPU (2005), NPMA (1999), BSN (2004), Mulyono dkk (2009) dan Penyusun.

b. Pengaruh terhadap jarak pandang pada tikungan dan simpang berdasarkan DPU (2005) dan PU (2012).

c. Pengaruh terhadap ruang bebas berdasarkan PU (2012) dan BSN (2004)

d. Kriteria pengaruh terhadap visibilitas rambu, sinyal dan penerangan berdasarkan DPU (2005) dan Penyusun.

e. Kriteria pengaruh terhadap utilitas berdasarkan PLN Persero (2010).

Rekapitulasi hasil:

a. Nilai kriteria tiap segmen digabungkan dengan rumus: x 100%

b. Nilai tiap pengaruh didapatkan dengan cara menghitung rata-rata nilai yang didapat dari tiap kriteria.

c. Nilai total pengaruh tiap ruas jalan didapatkan dengan menghitung rata-rata nilai pengaruh. Nilai hasil perhitungan ditentukan tingkat pengaruh dengan kriteria sebagai berikut:

• Sangat berpengaruh jika nilai rata-rata 0-20%.

• Berpengaruh jika nilai rata-rata 21- 40 %.

• Cukup berpengaruh jika nilai rata-rata 41-60 %.

• Kurang berpengaruh jika nilai rata-rata 61-80%.

• Tidak berpengaruh jika nilai rata-rata 81-100%.

3. Pengaruh Jalur Hijau Terhadap Kondisi Perkerasan Jalan. Langkah-langkah analisis data Pavement Condition Index adalah sebagai berikut (Shahin dan Walter, 1990 dan ASTM, 2008).

a. Menghitung tingkat kerapatan kerusakan

b. Menghitung deduct value dan total deduc value.

c. Menghitung nilai corrected deduct value.

d. Menghitung nilai Pavement Condition Index, yaitu 100-CDV.

Page 301: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

290 Direktori Mini Tesis-Disertasi

e. Menghitung rata-rata nilai PCI setiap jalan dan menentukan rating perkerasan dari nilai PCI.

f. Bandingkan nilai PCI pada segmen berpohon 0, 1, 2 dan 3 menggunakan uji statistik.

g. Hubungan karakter pohon dengan kondisi perkerasan jalan diuji dengan uji regresi.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Jenis dan Fungsi Tanaman Pada Jalur Hijau

Secara keseluruhan Jl. Jend. Sudirman memiliki sejumlah nilai fungsi yang lebih baik dibandingkan dengan jalan lainnya. Diantaranya fungsi mengurangi pencemaran udara dan pengarah. Lanskap jalan Jl. Suroto secara sekilas memiliki kondisi jalur hijau yang baik karena terdapat pohon besar dan rimbun. Namun ternyata memiliki nilai yang tidak maksimal. Pohon tanjung memiliki potensi menyerap CO2 yang cukup baik. Akan tetapi kerapatan pohon hanya sedang karena banyak terdapat bukaan median.

2. Pengaruh Jalur Hijau Terhadap Keselamatan Jalan

Jalur hijau dapat berpengaruh terhadap keselamatan. Pengaruh tersebut antara lain pengaruh terhadap kondisi perkerasan jalan, jarak pandang, ruang bebas, visibilitas rambu dan utilitas. Pemanfaatan jalur hijau memberi pengaruh terhadap keselamatan jalan. Keriteria nilai pengaruh di setiap jalan yaitu Jl Jend. Sudirman kurang berpengaruh, Jl. Yos Sudarso kurang berpengaruh, Jl. Abubakar Ali cukup berpengaruh, Jl. Suroto cukup berpengaruh dan Jl. Atmosukarto cukup berpengaruh.

3. Pengaruh Jalur Hijau Terhadap Kondisi Perkerasan Jalan

Pengaruh jalur hijau terhadap kondisi perkerasan jalan dibuktikan dengan perhitungan nilai PCI tiap segmen. Selain itu dilakukan analisis terhadap luas kerusakan perkerasan yang disebabkan oleh konflik dengan akar pohon.

a. Perhitungan Nilai Pavement Condition Index

Nilai PCI dihitung masing-masing segmen untuk dibandingkan antar segmen dengan karakter jalur hijau berbeda.

• Hasil perhitungan nilai PCI semua segmen jalan adalah sebagai berikut:

◊ Nilai PCI Jl. Suroto adalah 79 dengan rating very good.

Page 302: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 291

◊ Nulai PCI Jl. Atmosukarto adalah 77 dengan rating very good.

• Perbandingan Nilai PCI Antar Segmen.

Analisis pengaruh pohon terhadap perkerasan jalan dilakukan dengan membandingkan nilai PCI antar segmen. Segmen dibedakan dengan jumlah pohon. Pada segmen terdapat jumlah pohon yang berbeda yaitu 0, 1, 2 dan 3.

Uji post hoc dilakukan untuk Jl. Atmosukarto. Terdapat beda nyata antara jumlah tanaman 3 dan 0. Untuk perbandingan jumlah tanaman 3 dengan 2, dan 2 dengan 0 tidak berbeda nyata. Kondisi perkerasan pada segmen tanpa pohon lebih baik dibandingkan dengan segmen berjumlah pohon 3.

Pada uji Kruskal Wallis Jalan Suroto tidak berbeda nyata dimungkinkan karena ada patching yang cukup lebar dan memanjang pada sejumlah segmen akibat adanya galian saluran air limbah. Oleh karena itu dilakukan reduksi data. Segmen 5-14 tidak diikutkan pada pengujian.

Nilai PCI di jalan Atmosukarto berbeda nyata dengan probabilitas 0,03 sehingga dilakukan uji post-hoc menggunakan Mann Whitney Test.

Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan ada perbedaan antara nilai PCI jumlah tanaman 3 dan 0. Kerusakan di segmen pohon 3 paling banyak ditemui berupa transverse crack, diagonal crack dan jembul. Kerusakan ini tidak ditemui di segmen pohon 0. Kerusakan di segmen pohon 0 paling besar berupa patching.

b. Hubungan Antara Penanaman Pohon dengan Luas Kerusakan

Berdasarkan hasil analisis regresi di Jl. Atmosukarto pada variabel konstanta dan diameter pohon secara statistik signifikan. Tingkat kepercayaan 95% (α=5%) dan probabilitas 0,000. Persamaan regresi hanya menggunakan variabel diameter pohon dan konstanta. Persamaan regresinya adalah Sqrt

Y = 0.487126 (sqrt X)-2.381004.

Berdasarkan hasil analisis regresi di Jl. Suroto variabel konstanta dan diameter pohon secara statistik signifikan. Tingkat kepercayaan 95% (α=5%). Probabilitas konstanta 0,002 sedangkan probabilitas diameter pohon 0,000. Persamaan regresi hanya menggunakan variabel diameter pohon dan konstanta. Persamaan regresinya adalah Y = 0.025324x-0.624547.

Page 303: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

292 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Perakaran Tanjung di Bawah Perkerasan (Kasus di Jl. Andong)

Ditemukan akar pohon di dalam lapisan beton aspal. Terdapat akar berdiameter 0,1 cm di kedalaman 4,5 cm dari permukaan perkerasan. Lokasi ini berjarak sekitar 150 cm dari tepi perkerasan. Akar lateral tumbuh cukup banyak di bawah perkerasan bagian tepi. Meskipun tidak ditemukan kerusakan yang diakibatkan oleh akar pohon namun terdapat potensi kerusakan yang diakibatkan oleh konflik dengan akar pohon.

d. Upaya Pencegahan Konflik antara Akar Pohon dengan Perkerasan

Cara mengurangi konflik antara perkerasan dengan pohon adalah memberi ruang tumbuh yang cukup bagi akar. Selain itu pemberian pembatas dapat memisahkan area perakaran dan perkerasan. Pembatas antara akar dengan perkerasan setidaknya terdapat 3 jenis yaitu deflektor, inhibitor dan perangkap. Kerusakan perkerasan oleh akar berhubungan dengan tebal lapis perkerasan jalan. Pohon dapat menembus lapis perkerasan seperti lapis pondasi. Meningkatkan ketebalan lapis pondasi atas di bawah lapis beton aspal dapat menjadi solusi (Day, 1991., Randrup dkk., 2001., Ishihara, dkk., 2012).

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasi, identifikasi, analisis dan kajian pustaka pada penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Jalur hijau di Jl. Jenderal Sudirman memiliki fungsi yang paling baik diantara lokasi lain. Hal ini karena kerapatan pohon cukup tinggi yaitu sebesar 264 pohon/km dan adanya perpaduan pohon, perdu/semak dan penutup tanah.

2. Pemanfaatan jalur hijau berpengaruh terhadap keselamatan jalan. Pengaruh di setiap jalan yaitu Jl. Jend. Sudirman kurang berpengaruh (66%), Jl. Yos Sudarso kurang berpengaruh (62%), Jl. Abubakar Ali cukup berpengaruh (55%), Jl. Suroto cukup berpengaruh (52%) dan Jl. Atmosukarto cukup berpengaruh (48%).

3. Jalur hijau memberi pengaruh terhadap kondisi perkerasan jalan. Pengaruh ini terjadi di Jl. Suroto dan Jl. Atmosukarto. Terdapat perbedaan nilai PCI antara kelompok segmen berpohon 0 dan segmen berpohon 3. Terdapat hubungan antara karakter pohon dengan luas kerusakan perkerasan yaitu semakin besar diameter pohon, semakin luas kerusakan yang ditimbulkan.

Page 304: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 293

E. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat yang diperoleh dapat disarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Perencanaan, perancangan dan pemeliharaan jalur hijau harus memperhatikan pengaruh terhadap kondisi perkerasan jalan, jarak pandang pada tikungan dan simpang, ruang bebas, visibilitas rambu, sinyal dan penerangan, dan kedekatan dengan utilitas. Tujuanya untuk mencegah pengaruh negatif terhadap keselamatan jalan. Hal yang harus dilakukan adalah berpedoman pada peraturan yang berlaku.

2. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengurangi pengaruh terhadap keselamatan jalan diantaranya:

a. Jarak pohon dari perkerasan di jalan lurus minimal 4 m.

b. Jarak pohon dari perkerasan di tikungan disesuaikan dengan radius lengkunya.

c. Ruang bebas badan jalan dijaga minimal 5 m di atas permukaan perkerasan dengan dilakukan pemangkasan.

d. Pemanfaatan median untuk jalur hijau menggunakan tanaman perdu/semak yang rendah dan peutup tanah.

e. Rambu, sinyal, lampu jalan dijaga supaya tetap terlihat jelas tidak terhalang oleh tanaman.

f. Jarak kabel listrik dan telepon dengan pohon diupayakan 2,5 m dan tidak melebihi tinggi kabel.

3. Penggunaan pembatas akar dengan perkerasan merupakan salah satu solusi mengurangi konflik perkerasan dengan akar, namun perlu penelitian lebih lanjut mengenai luas ruang tumbuh efektif yang memperhatikan kekuatan cengkeraman akar dan pertumbuhan pohon.

Page 305: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten

294 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 306: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_9_Direktori_Mini... · usaha dan/atau kegiatan (studi kasus pelaksanaan amdal dan ukl-upl di kabupaten