Dirasat Islamiyah Hasan Hanafi
-
Upload
abaz-zahrotien -
Category
Documents
-
view
2.328 -
download
14
Transcript of Dirasat Islamiyah Hasan Hanafi
DIRASAT ISLAMIYAH HASAN HANAFI
Study Kritis atas Kiri Islam (al Yasar al Islam)
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran Modern Islam yang diampu oleh Drs. Samsul Munir Amin, MA
Disusun Oleh :
Abaz Zahrotien
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO2007
1
DIRASAT ISLAMIYAH HASAN HANAFIStudy Kritis atas Kiri Islam (al Yasar al Islam)
A. Latar Belakang
Dr. Hasan Hanafi seorang filosof besar hukum Islam, seorang pemikir Islam
dan sekaligus menjabat sebagai Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Kairo,
Mesir. Ia berhasil menyandang gelar doctor dari Sorbonne University, Paris pada
tahun 1966 dengan disertasi setebal 900 halaman dengan judul Essai sur la methode
d’Exegese (Essei Tentang Metode Penafsiran). Dari essai yang demikian tebal itu, ia
juga mendapatkan anugerah sebagai penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir.
Mempelajari ilmuwan besar seperti Hassan Hanafi, dan tentunya dalam
mempelajari ilmuwan besar lainnya secara objektif, yang harus menjadi titik
utamanya adalah konteks (realitas objektif) yang melingkupi cendekiawan itu sendiri.
Sebab, dari realitas objektif itulah seorang cendekiawan mengartikulasikan gagasan,
ide, pandangan dan sikapnya, bahkan hingga pada penentuan metode yang ia gunakan
untuk mengekspresikan pemikiran yang ia tawarkan. Pengetahuan atas perkembangan
atau dinamika intelektual seorang cendekiawan akan mengeliminasi diri dari jebakan
subjektif dan simplistic.
Banyak orang yang mengatakan bahwa, cendekiawan yang sukses adalah
cendekiawan yang mampu menjadikan dirinya sebagai cermin bagi realitas zamannya
melalui pikiran-pikiran cerdas yang menawarkan solusi kreatif-efektif bagi
problematika yang menantang realitas. Adapun sukses yang paling utama adalah
2
kapabilitas seorang cendekiawan yang sanggup mengubah aspek negatif tantangan
realitas menjadi positif dan memanfaatkan perubahan yang ada demi kemaslahatan
social. Dengan demikian, pikiran-pikiran yang ia gulirkan senantiasa merupakan
kesadaran yang direalisikan dengan realitas. Pikiran-pikiran yang bergulir senantiasa
berangkat dari realitas yang diangkat ke pmikiran untuk dicarikan alternatif solusi
melalui pengayaan makna dan identifikasi agar dapat diaplikasikan dalam kehidpan
praksis.
Dalam hal ini, tidak salah apabila Hasan Hanafi termasuk dalam kategori
sebagai seorang cendekiawan yang sukses. Ia mampu menjadi cerminan bagi realitas
zamannya dengan pemikiran-pemikiran cerdasnya yang menawarkan solusi kreatif-
efektif bagi problem yang menantang realitas masa sekarang dan masa yang akan
datang. Selain itu, di ajuga mampu mengubah aspek negatif tantangan realitas
menjadi realitas positif untuk kemaslahatan umat. Satu hal yang paling penting
diantaranya, yakni hasil pemikiran Hasan Hanafi hari ini di negara kita menjadi kiblat
para aktivis muda untuk melakukan kajian revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman
Islam.
Menarik apa yang dituturkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam
pengantar buku tentang kajian pemikiran Hasan Hanafi yang ditulis oleh Kazuo
Shimogaki. Pemikir Indonesia ini mengatakan, bahwa eksperimentasi yang dilakukan
oleh Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang semakin meningkat tatarannya.
Dari kajian ilmiah atas satu bidang studi keislaman, ia menaikkan taraf pemikirannya
kepada pembuatan paradigma ideology baru, termasuk pengajuan Islam sebagai
3
alternatif pembebasan bagi rakyat jelata di hadapan kekuasaan kaum feudal.
Pendekatan tersebut diproklamasikan sebagai Kiri Islam.
Demikian juga setelah menyadari kegagalan pendekatan ke-kiri-an itu,
Hassan Hanafi membawa kita ke tataran pemikiran baru yang lebih sublim tetapi
lebih memberikan harapan Islam menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam
penciptaan peradaban dunia yang baru dan universal.1
B. Tinjauan Epistimologi dan Aksiologi atas Islam Kiri (Sebuah Definisi)
Dalam karya monumentalnya setebal 900 halaman yang berjudul Essai sur
la methode d’Exegese (Esei tentang Metode Penafsiran) Hassan Hanafi mencoba
menghadapkan ilmu Usul Fiqh (Islamic Legal Theory) kepada sebuah madzhab
filsafat modern, yaitu Filsafat Fenomenologi yang dirintis oleh Edmund Husserl.
Akulturasi ilmu pengetahuan ini merupakan hasil pemikiran yang sangat menarik.
Sisi menarik yang dimaksud adalah bahwa dalam disertasi ini Hassan Hanafi
membawa kita pada pemahaman baru yang berisi penyadaran bahwa relatifitas sangat
tinggi dari kebenaran, yang ditarik dari rangkaian fenomena dengan variasi tak
berhingga, diproyeksikan kepada ‘kepastian’ normative yang berdimensi waktu abadi
dari hukum agama, yang bertumpu pada ‘rasionalitas tuhan (logos)’. Infinitas dari
rangkaian fenomena kehidupan, yang sama sekali tidak memiliki pretensi
kelanggengan, diterapkan pada ketangguhan kerangka berpikir yang mendukung
keabadian kitab suci Al Qur’an.
1 Kazuo Shimogaki, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta, Hal. xviii
4
Sebelum sampai jauh membahas tentang sejauh mana Hassan Hanafi
menjabarkan konsep ‘kiri Islam’ dan pemikiran-pemikiran lainnya seputar revolusi
pemikiran yang baru terlebih dahulu kita kaji tentang sisi terminologis kata kiri dan
Islam yang digunakan Hassan Hanafi, baik tinjauan epistemology maupun
aksiologinya.
Kata ‘kiri’ yang digunakan oleh Hassan Hanafi, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Christoper Hibbert, dan tentunya oleh ilmuwan lainnya, bahwa sejak
revolusi Prancis kelompok radikal, kelompok Jakobin, mengambil sisi kiri dari kursi
ketua kongres nasional. Sejak saat itu, kanan dan kiri sering digunakan dalam
terminology politik2.
Secara umum ‘kiri’ cenderung diartikan sebagai partai yang cenderung
radikal, sosialis, ‘anarkis’, reformis, progresif atau liberal. Dengan kata lain,
‘kiri’selalu menginginkan sesuatu yang bernama kemajuan (progress), yang
memberikan inspirasi bagi keunggulan manusia atas sesuatu yang bernama ‘Takdir
Sosial’.3
Sedangkan Islam, secara bahasa berasal dari bahasa salama, yusalimu, yang
berarti selamat. Selamat disini membawa satu pemahaman bahwa datangnya Islam
sebagai agama yang hendak merubah tatanan masyarakat membawa misi utama untuk
menyelamatkan kehidupan manusia secara universal. Berangkat dari sini, Islam
dengan berbagai kajian ilmunya mulai dari persoalan tauhid (teologi) hingga pada
2 Christoper Hibbert, 1980, The French Revolution, Allen Lane, London, Hal. 1093 Carl Oglesby, ed. 1969, The New Left Reader, Grove Press, New York. Hal.1, sebagaimana dikutip oleh Kazuo Shimogaki.
5
persoalan humanisme (muammalah) hendak mengaturnya dan akhirnya membawa
manusia pada jalur keselamatan.
Istilah Kiri Islam (Al Yasar al Islami) yang digunakan oleh Hassan Hanafi
sebenarnya tidak diciptakan oleh Hassan Hanafi sendiri, tetapi Hassan Hanafi
‘mencontek’ pemikiran A.G. Salih dalam sebuah tulisannya pada tahun 1972.
A.G Salih menuliskan dalam tahun 1972 dalam bukunya Al Yamn wa Al
Yasar fi Al Islam, Dalam Islam, Kiri memperjuangkan pemusnahan penindasan bagi
orang-orang miskin dan tertindas, ia juga memperjuangkan persamaan hak dan
kewajiban di antara seluruh masyarakat. Singkat kata, kiri adalah kecenderungan
sosialistik dalam Islam.4
Secara sederhana, gabungan dari kata kiri dan Islam (al Yasar Al Islam)
dapat diterjemahkan dengan penggunaan Islam, baik dari sisi tekstual wahyu yang
diterjemahkan dengan metode kontekstual histories, ataupun sisi ajaran muammalah
(humanisme) untuk melakukan perlawanan terhadap system lainnya yang
bertentangan dengan esensi ajaran Islam. System yang dilawan berupa system
kapitalisme (atau dalam bahasa Hassan Hanafi di sebut sebagai budaya Barat).
Study Al Yasar Al Islam Hassan Hanafi merupakan komparasi pengetahuan
dari esensi fiqh Islam (usul Fiqh) yang dipadukan dengan ajaran filsafat aliran
Fenomenologi. Disini sangat menarik, bahwa satu aliran pemikiran dikomparasikan
dengan cabang pemikiran lainnya yang akhirnya membentuk sebuah teori baru yang
menjadi kiblat pemikiran pemikir-pemikir pemula.
4 Ahmad Gabbas Salih, 1972, Al Yamin wa Al Yasar fi Al Islam, Al Muassasa Al Arabiya li Dirasat wa Al Nasr, Beriut. Hal. 6
6
Jadi agaknya tidak salah ketika Kazuo Shimogaki, seorang pemerhati Timur
Tengah dari Institute of Middle East Studies International University Jepang
melakukan kajian kritis terhadap pemikiran-pemikiran revolusioner Hassan Hanafi.
Radikalitas, progresifitas-kontekstual dan resistensi yang menggelora terhadap arus
hegemoni bangsa Barat dibangun oleh Hassan Hanafi menyedot perhatian Kazuo
Shimogaki dalam perhatiannya.
Pada sisi lain, Hassan Hanafi dengan pemikiran-pemikirannya juga telah
merambah kaum pemikir muda di negara kita, banyak yang terpancing dengan arus
baru pemikiran Hassan Hanafi, mulai dari tokoh ‘sepuh’ seperti Abdurrahman Wahid
hingga aktivis pergerakan Islam yang sering berteriak intelektualnya dengan dasar
pemikiran Hassan Hanafi.
Dalam pergulatan Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya, membawa kita
menelusuri lebih jauh akar epistemology dari esensi kiri dan kanan. Kiri dan Kanan,
menurut sebagian ulama salaf, hanyala permainan kata-kata untuk memecah belah
umat, menyebar intrik dan fitnah. Kiri adalah penghianat, pembangkang, penghasut
dan tidak senang pada kebaikan manusia.5
Tuduhan yang dilontarkan oleh beberapa ulama fundamentalis terhadap Kiri
Islam sesunguhnya tidak beralasan dan tidak berdasar. Seandainya dapat disamakan,
maka tuduhan yang ditembakkan oleh ulama fundamentalis ini sama halnya dengan
proses hegemoni kaum penjajah kepada tanah jajahan agar tidak melakukan
perlawanan dengan penjajah itu sendiri. Sisa-sisa penjajahan cultural zaman kolonial.
5 ibid, hal 88
7
Gerakan Kiri Islam hampir sama dengan “Al Manar Baru” namun
keberadaannya tidak begitu dikenal secara luas oleh masyarakat, kata ini biasanya
digunakan untuk menyebut Kiri Islam oleh kalangan pemerhati gerakan-gerakan
pembaharuan, khususnya kalangan kaum salaf, meskipun ia mempunyai arti “cahaya
petunjuk untuk manusia”.
Kiri Islam juga dapat diberi nama lain, misalnya Shahwa al Islam atau
Yaqdha al Islam. Keduanya merujuk pada kebangkitan Islam yang saat ini menjadi
wacana utama di seluruh dunia Islam kecuali dunia Islam Sunni.
C. Posisi Pemikiran Hassan Hanafi, Antara Modernis dan Postmodernis
Mungkin ini adalah sisi yang paling menarik dari Kiri Islam Hassan Hanafi,
dimana ia dengan tegas menjadikan Barat, dalam artian peradabannya, sebagai lawan
dan menolaknya. Namun disisi lain, karena pengaruh studynya di Prancis, ia
mengkonstentrasikan studynya pada liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme,
pencerahan dan sisi-sisi barat lainnya.
Satu sisi ia menyerang, namun disisi lain, ia memanfaatkan strategi
lawannya untuk referensi pemikirannya.
Dari Barat, ia mengambil ide-ide dari zaman pra modern, modern hingga
zaman pra postmodern. Variasi kajian dari berbagai rentang waktu ini semakin
memperkaya kajian pemikirannya. Sehingga, dengan jelas dapat kita saksikan, hasil
pemikiran Hassan Hanafi selalu menggunakan nama filosof besar Barat mulai dari
Rene Descartes yang beraliran Rasionalisme, John Locke yang condong ke arah
8
empirisisme, Karl Marx yang kental suasana materialismenya, hingga pada
fenomenologinya Edmund Husserl.
Kajian yang nuansa filsafatnya mendominasi ini, membuat Hassan Hanafi
semakin terposisikan sebagai filosof, disamping juga seorang Guru Besar Filsafat di
Universitas Kairo. Dan tidak dapat disalahkan ketika dalam salah satu studynya dia
hendak membawa pembacanya berpindah dari Rasionalisme ke wilayah empirisisme.
Selain itu, Hassan Hanafi dengan filsafatnya juga berusaha membuka
cakrawala baru dalam pemikiran mengenai wilayah ‘tabu’ dalam agama. Otoritas
Tuhan sebagai central peradaban dunia, olehnya hendak di ‘kudeta’ dengan
menciptakan satu tatanan kehidupan yang lebih humanis dengan manusia sebagai
central peradaban. Study ini sangat menarik dimana dunia teosentrisme yang selama
ini kita yakini dan ‘haram’ menyentuhnya, kemudian dibalik menjadi
anthroposentrisme, yakni manusia yang menjadi founding fathers kaitannya dalam
peradaban di dunia. Kajian ini berangkat dari penafsiran Al Qur’an yang
menyebutkan bahwa manusia adalah khalifatul fil al ardl yang diberi kewajiban
untuk merawat dan menjaga stabilitas kosmologi.
Dalam setiap kajiannya, Hassan Hanafi berada di wilayah arus pemikiran
non postmodernisme, dasar kajiannya berangkat dari zaman pra modern, modern dan
pra postmodernisme. Sehingga banyak ilmuwan lainnya yang mengkritik pedas
Hassan Hanafi karena kurang begitu menggunakan unsure yang actual dan lebih baru,
yakni pemikiran dengan rujukan yang postmodernis.
Mengenai posisi Hassan Hanafi dalam setiap pemikirannya, Kazuo
Shimogaki mengkritik, Hassan Hanafi dapat didefinisikan kurang modernis, tetapi
9
seabgai layaknya sebuah definisi ia tidak seluruhnya benar, terutama karena Hassan
Hanafi menggunakan pisau analisis fenomenologi yang muncul di Barat untuk
melawan modernisme. Kendatipun ia menyerap modernitas dan pra postmodernitas,
tapi ia belum merambah pada gerakan pemikiran paling baru di Barat, yaitu
postmodernisme.sebagai seorang reformis pemikiran Islam, Hanafi mengunggulkan
satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis pada rasionalisme, dan ini tidak
kompatibel dengan postmodernisme.6
Posisi pemikirannya ini, selanjutnya menimbulkan persoalan baru bagi para
pengkritik Hassan Hanafi, yakni upayanya untuk melakukan perlawanan dan
penolakan tegas terhadap Barat tidak menggunakan hal yang paling mutakhir di
Barat, budaya pemikiran itu, postmodernisme, tidak menjadi rujukan dalam setiap
pemikirannya, akibatnya, apa yang dia proklamirkan sebagai pemikiran arah baru
sudah tidak lagi ‘laku’ di dunia Barat. Ini juga membawa kita pada satu alur
pengetahuan, sejarah pemikiran yang bertahap sesuai dengan zaman yang
melingkupinya.
D. Agama dan Revolusi (Pembebasan)
Tugas Kiri Islam adalah menguak unsure-unsur revolusioner dalam agama,
dan menjelaskan pokok-pokok pertautan antara agama dan revolusi. Atau dengan kata
lain, memaknai agama sebagai revolusi. Tugas ini merupakan sebuah ‘tuntutan
zaman’ yang telah menerapkan sebuah system yang sistematis tetapi menindas dan
melakukan kesewenang-wenangan halus.
6 Kazuo Shimogaki, 2001, op.cit, hal. 5
10
Memaknai agama sebagai revolusi sama halnya dengan gaya zaman
kemajuan Islam abad pertengahan dimana disana ada komparasi antara study filsafat
(yang merupakan tuntutan zaman saat itu) dengan syari’ah sebagai landasan.
Sebenarnya konsepnya sama, hanya perbedaan dapat kita jumpai pada konteksnya,
yakni dahulu Islam diakulturasikan dengan filsafat (Al Hikmah) dan saat ini zaman
menuntut kita mengakulturasikan Islam dan revolusi. Oleh karena itu, kerja
mempertautkan antara agama dan revolusi, kata Hassan Hanafi, tidaklah sesuatu yang
latah dan asing.
Agama adalah revolusi itu sendiri, dan para nabi merupakan revolusioner-
revolusioner yang tangguh di zamannya. Ibrahim adalah revolusioner yang
melakukan revolusi akal menundukkan tradisi buta penyembahan-penyembahan
terhadap berhala. Musa sama halnya, ia merefleksikan revolusi pembebasan melawan
otoritarianisme penguasa Fir’aun. Isa adalah revolusioner ruh atas dominasi
materialisme. Sedangkan Muhammad sendiri merupakan tauladan bagi kaum
proletariat, hamba sahaya dan komunitas tertindas berhadapan dengan konglomerat
Quraisy dan antek-anteknya dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas,
penuh kasih persaudaraan dan egaliter. Al Qur’an menggambarkan kenabian sebagai
revolusi memberantas dekandensi moral dan social.7
Dalam sejarah Islam, banyak dijumpai aneka revolusi sosio religio-politik,
seperti revolusi Qaramitah dan Mahdiisme di Sudan, Sanusiyah di Libya, Al Islam di
Aljazair, gerakan Abdul Hamid bin Badis, Abdul Qadir al Maghribi, dan Omar
Mukhtar di Afrika Utara, gerakan ‘Komunitas Islam’ di Amerika, perjuangan 7 Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme,
Penerjemah. Fuad Mustafid, LKiS, Jogjakarta, Hal. 148
11
Ikhwanul Muslimin di Palestina dan sebagainya. Tugas Kiri Islam adalah
mengapresiasikan secara positif revolusi-revolusi ini dan menguakkan gerakan-
gerakan revolusioner di masa-masa mendatang.8
Masa depan umat islam, apalagi dalam menghadapi abad ke-21 penuh
dengan tantangan. Perkembangan di Barat yang tidak dapat diabaikan, penetrasi
berbagai nilai dan budaya Barat dan asing lain ke dalam lingkungan umat, warisan
nilai dan budaya kalangan sendiri, semuanya harus dihadapi dan dijawab, kalau
memang kita hendak menegakkan agama kita dan menjadi “rahmat bagi sekalian
alam”.9
Prolog artikel yang ditulis oleh Deliar Noer diatas memberikan satu refleksi
bersama terkait dengan tantangan Islam kedepan. Adanya budaya Barat yang terus
menyerang berbagai sisi kehidupan membuat Islam harus menyiapkan amunisi baru
untuk melakukan serangan balik. Disinilah peran Kiri Islam untuk menciptakan Islam
sebagai agama revolusioner harus dapat dibuktikan.
Ini bukan persoalan sepele, mengingat serangan Barat melalui globalisasi,
popular culture, free trade, dan produk kapitalis lainnya tidak dapat dipandang
sebelah mata, bahkan kalau boleh menyamakan, hari ini serangan Barat tiap harinya
sama dengan jumlah nasi yang kita makan selama sehari. Artinya, hampir 70 persen
dari apa-apa yang kita konsumsi tiap harinya merupakan produk kapitalis, yang
tentunya berefek pada status Islam itu sendiri di mata dunia. Islam seandainya diam
8 Ahmad Baso, 2007, NU Studies, Pergoalakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo Liberal, Erlangga, Yogyakarta, Hal. 326
9 M. Dawam Raharjo, ed, 1997, Reformasi Politik, Dinamika Politik Nasional dalam Arus Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 215
12
saja menghadapi persoalan yang paling krusial ini maka Islam adalah merupakan
produk kapitalisme juga, atau lebih tepatnya bukan produk tetapi antek-antek
kapitalisme.
Keyakinan Hassan Hanfi dengan Kiri Islamnya, penulis kira, berangkat dari
satu pandangan, sebagaimana yang dianalisis oleh Jurgen Habermas, seorang
pembaharu madzhab Frankfurt, cacat-cacat modernisasi dalam bentuk
totalitarianisme, hilangnya makna, anomie, penyakit jiwa, alienasi dan sebagainya,
katanya adalah akibat pemiskinan rasionalisme Barat pada paradigma filsafat
kesadaran tersebut.10
Cacat-cacat ini hanya bisa diatasi dengan pencerahan lebih lanjut, yakni
melanjutkan proyek postmodernitas dalam wawasan rasio komunikatif. Dalam hal ini,
Kiri Islam berperan dalam upaya memperbaiki cacat-cacat modernisme menuju
postmodern. Artinya gerakan Kiri Islam dapat mampu menjawab serta memberikan
tawaran solusi baru dalam memecahkan masalah ini.
E. Penutup
Secara garis besar dapat kita ketahui sejauh mana Hassan Hanafi
mempengaruhi masyarakat dunia, khususnya dunia Islam dengan satu ajaran baru
yang mengkomparasikan antara nilai-nilai dasar hukum Islam dengan teori-teori
disapora gerakan. Dalam hal ini, penulis kira, telah sukses, bahkan melampaui sukses,
mengingat hasil pemikiran Hassan Hanafi, meskipun kerangka analisisnya dengan
10 F. Budi Hardiman, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik dan Postmodernisme, Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, Jogjakarta, Hal. 169
13
pemikiran era modernis dan pra postmodernis, dapat mampu menembus dinding
peradaban dunia.
Secara tegas, Hassan Hanafi menolak peradaban Barat yang eksploitatif,
imperialis, hedonis dengan kemasan budaya yang menarik. Persoalannya, apa yang
ditawarkan Barat sebagai sebuah kemajuan baru, dalam pandangan Islam adalah
sesuatu yang dilarang untuk dilakukan. Sehingga apa yang menjadi target berupa
munculnya masyarakat social yang religius tidak tercapai dengan kemasan
kapitalistik Barat.
Dalam hal ini, posisi Hassan Hanafi dapat kita samakan dengan Karl Marx,
Friedrich Engels, Karl Kautsky, Vladimir Illich Lenin dan serangkaian nama-nama
revolusioner yang hendak meruntuhkan dominasi kapitalisme dalam konstelasi sosio
politik global. Termasuk diantaranya, hari ini posisi Hassan Hanafi sama dengan
Mahmoud Ahmadinejad, Hugo Chaves dan lainnya yang menggunakan jalur politis
untuk mendeklarasikan ‘perang’ melawan Amerika Serikat sebagai representasi dari
kapitalisme modern.
14
REFERENSI
Shimogaki, Kazuo, 2001, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A
Critical Reading, Penerjemah, M. Jadul Maula, LKiS, Jogjakarta
Hardiman, F. Budi, 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu Masyarakat, Politik
dan Postmodernisme, Menurut Jurgen Habermas, Kanisius, Jogjakarta
Baso, Ahmad, 2007, NU Studies, Pergoalakan Pemikiran antara Fundamentalisme
Islam dan Fundamentalisme Neo Liberal, Erlangga, Yogyakarta
M. Dawam Raharjo, ed, 1997, Reformasi Politik, Dinamika Politik Nasional dalam
Arus Politik Global, PT. Intermasa, Jakarta
Ahmad Gabbas Salih, 1972, Al Yamin wa Al Yasar fi Al Islam, Al Muassasa Al
Arabiya li Dirasat wa Al Nasr, Beriut.
Christoper Hibbert, 1980, The French Revolution, Allen Lane, London
Carl Oglesby, ed. 1969, The New Left Reader, Grove Press, New York.
Hassan Hanafi, Islamologi 3, Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, Penerjemah.
Fuad Mustafid, LKiS, Jogjakarta
15