Keragaman Buah Jeruk Keprok SoE Mutan Generasi M1V2 Hasil ...
DINAMIKA INTERAKSI PRIMA-1 DENGAN MUTAN p53 (G245S) …/Dinamika... · Mutasi G245S pada p53...
-
Upload
truongnguyet -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of DINAMIKA INTERAKSI PRIMA-1 DENGAN MUTAN p53 (G245S) …/Dinamika... · Mutasi G245S pada p53...
i
DINAMIKA INTERAKSI PRIMA-1 DENGAN MUTAN p53
(G245S)
DI DUA SITUS INTERAKSI
DENGAN ENERGI DOCKING BERBEDA
Disusun oleh :
CAMELIA AGUSTINA
M0304004
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Sains Kimia
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
April, 2010
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sebelas Maret telah mengesahkan skripsi mahasiswa:
Camelia Agustina NIM M0304004 dengan judul ”Dinamika Interaksi PRIMA-
1 dengan Mutan p53 (G245S) Di Dua Situs Interaksi dengan Energi Docking
Berbeda”.
Skripsi ini dibimbing oleh :
Pembimbing I
Dr. rer. nat. Fajar R. Wibowo, M. Si.
NIP : 19730605 200003 1 001
Pembimbing II
Nestri Handayani, M. Si., Apt.
NIP : 19701211 200501 2 001
Dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi pada :
Hari : Senin
Tanggal : 12 April 2010
Anggota Tim Penguji :
1. Yuniawan Hidayat, M. Si. 1. ........................................
NIP 19790605 200501 1 001
2. Ahmad Ainurofiq, M. Si., Apt. 2. ........................................
NIP 19780319 200501 1 001
Ketua Jurusan Kimia
Fakulta Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D.
NIP : 19560507 198601 1 001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
“DINAMIKA INTERAKSI PRIMA-1 DENGAN MUTAN p53 (G245S) DI DUA
SITUS INTERAKSI DENGAN ENERGI DOCKING BERBEDA” belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga belum pernah ditulis atau dipublikasikan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Surakarta, 12 April 2010
CAMELIA AGUSTINA
iv
DINAMIKA INTERAKSI PRIMA-1 DENGAN MUTAN p53 (G245S)
DI DUA SITUS INTERAKSI DENGAN ENERGI DOCKING BERBEDA
CAMELIA AGUSTINA
Jurusan Kimia. Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret.
ABSTRAK
Mutasi G245S pada p53 berkaitan dengan kanker pada manusia mengingat mutasi tersebut menyebabkan sedikit perubahan konformasi pada p53 karena mutasi menghilangkan kemampuan p53 dalam menginduksi apoptosis. Hasil teoritis dan eksperimental baru-baru ini menunjukkan bahwa PRIMA-1 dapat mengembalikan perubahan konformasi pada mutan p53. Sepuluh situs potensial interaksi PRIMA-1 pada molekul 2JIY rigid telah ditemukan dengan studi docking sebelumnya. Untuk menyelidiki interaksi antara PRIMA-1 dan mutan p53 yang menginduksi pengembalian konformasi mutan p53 dan pengaruh situs interaksi yang berbeda pada mutan p53, simulasi MD dua kompleks 2JIY–PRIMA-1 pada dua situs dengan energi docking yang berbeda telah dilakukan. Dua situs tersebut berdasarkan hasil studi docking sebelumnya yang mana situs dengan energi docking paling rendah sebagai situs 1 dan situs dengan energi paling tinggi sebagai situs 2. Dua simulasi tambahan untuk 1GZH dan 2JIY juga telah dilakukan sebagai pembanding. Pada situs 1, posisi PRIMA-1 dipertahankan selama 2 ns waktu simulasi. Sedangkan di situs 2, posisi PRIMA-1 dipertahankan dalam waktu yang lebih lama yaitu 7 ns. Situs 2 adalah daerah kaya sistein sementara sistein di situs 1 jumlahnya tidak sebanyak di situs 2. Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa interaksi antara PRIMA-1 dengan daerah kaya sistein pada 2JIY diperlukan untuk mereaktivasi 2JIY. Hasil ini sesuai dengan hasil eksperimen Lambert et al. 2009. Cancer Cell, 15:376–388. Dengan demikian, 2JIY memiliki probabilitas yang tinggi untuk direaktivasi oleh PRIMA-1 melalui situs 2.
Kata kunci : dinamika interaksi, mutan p53, PRIMA-1, situs interaksi.
v
THE DYNAMIC OF INTERACTION
BETWEEN PRIMA-1 AND p53 MUTANT (G245S)
ON TWO INTERACTION SITES REQUIRING DIFFERENT DOCKING
ENERGY
CAMELIA AGUSTINA
Department of Chemistry. Faculty of Mathematics and Natural Sciences. Sebelas
Maret University.
ABSTRACT
G245S mutation on p53 associated with human cancer as it causes minor conformational changes on p53 due to the mutation reveals the loss of its capability to induce apoptosis. Recent experimental and theoretical results show that PRIMA-1 was able to restore conformational changes on p53 mutant. Ten potential sites of PRIMA-1 interaction on rigid 2JIY molecule have been found by previous docking study. To investigate the interactions between PRIMA-1 and p53 mutant induce restoration of p53 mutant conformation and the effect of different interaction site on p53 mutant, MD simulations of two 2JIY–PRIMA-1 complex on two interaction sites requiring different docking energy have been performed. The two sites based on previous docking study results where the lowest docking energy site as site 1 and the highest docking energy site as site 2. Two additional simulations of 1GZH and 2JIY have been also performed as references. On site 1, PRIMA-1 position maintained during 2 ns simulation time. On the other hand, on site 2, PRIMA-1 position maintained in longer time (7 ns). Site 2 is cysteine rich region and site 1 is not as much of site 2. Our result demonstrates that the interaction between PRIMA-1 and cysteine rich region of 2JIY is needed to reactivate 2JIY. This result is in agreement with recent experimental result (Lambert et al. 2009. Cancer Cell, 15:376–388). Thus, 2JIY may restored by PRIMA-1 via site 2.
Key words : dynamic of interaction, mutant p53, PRIMA-1, interaction site.
vi
MOTTO
Anak kemarin sore belum tentu tidak tahu apa-apa dan orang kemarin dulu belum
tentu tahu segalanya. Bukankah generasi yang baik adalah generasi yang mampu
membuat generasi berikutnya lebih baik ? (Misbakhul Munir)
Orang pintar bukanlah orang yang bisa menguasai sesuatu sementara orang lain
tidak, tetapi orang pintar adalah orang yang mampu membuat orang lain tahu
mengenai apa yang kita pahami (Fajar R. Wibowo)
Jika segala sesuatu bisa berjalan dengan lancar-lancar saja, mungkin kita tidak
akan pernah mengerti apa itu perjuangan dan bagaimana rasa lelah yang
kadangkala terasa indah (Camelia Agustina)
Kebenaran bukan untuk dipaksakan tetapi diakui keberadaannya (Achdiat
Kartamihardja)
You do not really understand something unless you can explain it to your
grandmother (Albert Einstein)
vii
PERSEMBAHAN
Untuk Allah Yang Maha Cerdas, Maha Bijaksana, dan Maha Segalanya
Untuk Bapak dan Ibu terhebat
Untuk Upi, adik tercinta
Dan untuk Misbakh yang bukan hanya sekedar indah
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan segenap syukur bagi Allah SWT yang telah menunjukkan
jalan yang indah bagi penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan
baik sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana sains Jurusan
Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Atas segala karuniaNya pulalah penulis menyadari bahwa segala
sesuatu memiliki proses dan waktunya masing-masing.
Dalam menyusun skripsi ini penulis menemui berbagai hambatan dan
permasalahan yang beragam. Namun, atas bimbingan, kritikan, saran, dan
dorongan semangat yang bermanfaat dari berbagai pihak, semua hambatan dan
permasalahan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulis, yaitu sebagai berikut.
1. Prof. Drs. Sutarno, M.Sc. Ph.D. selaku dekan Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D., selaku ketua Jurusan Kimia Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Nestri Handayani, M.Si., Apt., selaku pembimbing akademik sekaligus
pembimbing II tugas akhir yang dengan sabar telah membimbing penulis
dalam penyelesaian studi di Jurusan Kimia.
4. Dr. rer. nat. Fajar R. Wibowo, M.Si., selaku dosen pembimbing I, yang
dengan penuh kesabaran dan ketulusan membimbing penulis dari titik nol,
membuka mata penulis bahwa segala sesuatu itu memiliki berbagai
kemungkinan dengan alasannya masing-masing.
5. Maulidan Firdaus, M.Sc., yang pernah menjadi dosen pembimbing II, yang
dengan ketulusan membimbing penulis mengenai cara penulisan yang baik
dan sesuai aturan. Atas bimbingan beliau pulalah penulis mendapatkan
dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini dengan efektif.
ix
6. I.F. Nurcahyo, M. Si. selaku ketua laboratorium Kimia Dasar yang telah
memberikan akses bagi penulis melakukan penelitian di laboratorium Kimia
Dasar bagian Komputasi Kimia.
7. Yuniawan Hidayat, M. Si. selaku dosen penguji I yang telah memberikan
saran dan kritik yang membimbing sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih
baik dari sebelumnya.
8. Ahmad Ainurofiq, M. Si., Apt. selaku dosen penguji II yang telah memberikan
masukan yang membimbing dan koreksi mendetail mengenai cara penulisan
yang benar dalam skripsi ini.
9. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf jurusan Kimia yang telah memberikan
fasilitas dan pelayanan yang baik bagi penulis.
10. Teman-teman Kimia berbagai generasi yang menjadi kawan di medan juang.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu yang telah
memberikan bantuannya.
Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi yang penulis
lakukan masih jauh dari sempurna sehingga membutuhkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca. Namun, lepas dari semua itu, semoga para
pembaca mendapatkan manfaat setelah membaca skripsi ini.
Surakarta, 12 April 2010
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................. iii
HALAMAN ABSTRAK...................................................................................... iv
HALAMAN ABSTRACT ................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
DAFTAR ISI........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................................. 3
1. Identifikasi Masalah........................................................................ 3
2. Batasan Masalah ............................................................................ 4
3. Rumusan Masalah........................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian................................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian............................................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI.............................................................................. 6
A. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 6
1. Kanker............................................................................................. 6
2. Gen Penekan Tumor dan p53 Penekan Tumor ............................... 7
3. Mutasi pada Protein p53 ................................................................. 9
4. PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive
Apoptosis…..................................................................................... 13
5. Simulasi Kimia ............................................................................... 13
xi
6. Mekanika Statistik .......................................................................... 14
7. Metode Simulasi Molecular Dynamic ............................................ 15
8. AMBER7 (Assisted Model Building with Energy Refinement) ....... 17
a. Antechamber .............................................................................. 17
b. Parmchk. .................................................................................... 18
c. LEaP........................................................................................... 18
d. Sander (Simulated Annealing with NMR-derived Energy
Restraints) .................................................................................. 18
e. Ptraj dan Carnal ........................................................................ 18
9. Root Mean Square Deviation (RMSD) ........................................... 19
10. B-factor .......................................................................................... 19
11. Struktur Protein dan Sudut Dihedral Backbone Protein................. 20
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 22
C. Hipotesis .............................................................................................. 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 24
A. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 24
B. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan........................................................ 24
1. Alat ................................................................................................. 24
2. Bahan .............................................................................................. 24
C. Prosedur Penelitian…………………………………………..…….... 24
1. Parameterisasi PRIMA-1................................................................. 24
2. Penentuan Koordinat Awal Sistem................................................. 25
3. Minimisasi Sistem .......................................................................... 25
4. Equilibrasi Sistem........................................................................... 26
5. Simulasi Sistem .............................................................................. 26
D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ............................................. 26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 27
A. Parameterisasi PRIMA-1 ..................................................................... 27
B. Hasil Simulasi ..................................................................................... 28
1. Root Mean Square Deviation (RMSD) .......................................... 28
xii
2. B-factor .......................................................................................... 29
3. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral ............................................ 30
a. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang
Residu yang Melibatkan Residu Lisin 120............................... 31
b. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang
Residu yang Melibatkan Residu Arginin 248 .......................... 34
c. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang
Residu yang Melibatkan Residu Arginin 280 .......................... 38
4. Posisi PRIMA-1 terhadap 2JIY ...................................................... 40
5. Interaksi PRIMA-1 dengan 2JIY di Situs 1 dan 2 .......................... 42
6. Perbedaan Probabilitas Terjadinya Reaktivasi 2JIY di Situs 1 dan
2 ..................................................................................................... 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA. ......................................................................................... 49
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................. 55
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ringkasan Hasil Docking PRIMA-1 pada 2J1Y. ................................... 12
Tabel 2. Kode Atom, Tipe Atom, dan Muatan PRIMA-1 yang Diperoleh
dengan RESP ......................................................................................... 27
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Sel ....................................................................................... 7
Gambar 2. p53 Manusia Beserta Pembagian Domainnya ................................ 9
Gambar 3. Frekuensi dan Distribusi Mutasi p53.............................................. 11
Gambar 4. Letak 10 Situs Aktif pada 2JIY ..................................................... 12
Gambar 5. Struktur PRIMA-1 ........................................................................... 13
Gambar 6. Struktur Dasar Asam Amino .......................................................... 20
Gambar 7. Sudut Dihedral Psi dan Phi pada Backbone Protein.......................... 21
Gambar 8. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 22
Gambar 9. Struktur PRIMA-1 Terparameterisasi ............................................. 27
Gambar 10. Grafik Perbedaan RMSD Sebagai Fungsi Waktu ........................... 28
Gambar 11. Grafik Perbedaan Harga B-factor Sebagai Fungsi Nomor Residu 29
Gambar 12. Grafik Fluktuasi Sudut Dihedral Rentang Residu 118-122
(Melibatkan Residu Lisin 120) dan Perbedaan Posisi Sudut
Dihedral Selama Simulasi............................................................... 32
Gambar 13. Grafik Fluktuasi Sudut Dihedral Rentang Residu 246-250
(Melibatkan Residu Arginin 248) Dan Perbedaan Posisi Sudut
Dihedral Selama Simulasi............................................................... 36
Gambar 14. Grafik Fluktuasi Sudut Dihedral Rentang Residu 278-282
(Melibatkan Residu Arginin 280) Dan Perbedaan Posisi Sudut
Dihedral Selama Simulasi............................................................... 39
Gambar 15. Perbandingan Posisi PRIMA-1 pada 2JIY di Situs 1 dan 2 Selama
Simulasi ......................................................................................... 41
Gambar 16. Posisi PRIMA-1 di Situs 1 dan Jarak Atom yang Terlibat Ikatan
Hidrogen Selama Simulasi ............................................................. 43
Gambar 17. Posisi PRIMA-1 di Situs 2 dan Jarak Atom yang Terlibat Ikatan
Hidrogen Selama Simulasi ............................................................ 45
Gambar 18. Gambar Keadaan Sistem Secara Umum pada Saat Penentuan
Koordinat Awal, Minimisasi, Equilibrasi, dan Simulasi ................ 55
xv
Gambar 19. Densitas, Volume, Energi Total, dan Temperatur Sistem Selama
Proses 500 ps Equilibrasi dan 7000 ps Simulasi ............................ 56
Gambar 20. Ikatan Hidrogen yang Terbentuk antara PRIMA-1 dengan 2JIY
pada Situs 1..................................................................................... 57
Gambar 21. Ikatan Hidrogen yang Terbentuk antara PRIMA-1 dengan 2JIY
pada Situs 2..................................................................................... 58
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambaran Sistem Secara Umum pada Saat Penentuan Koordinat
Awal, Minimisasi, Equilibrasi, dan Simulasi ................................. 55
Lampiran 2. Densitas, Volume, Energi Total, dan Temperatur Sistem Selama
Proses 500 ps Equilibrasi dan 7000 ps Simulasi ............................ 56
Lampiran 3. Ikatan Hidrogen yang Terjadi antara PRIMA-1 dan 2JIY di Situs
1 Selama Simulasi........................................................................... 57
Lampiran 4. Ikatan Hidrogen yang Terjadi antara PRIMA-1 dan 2JIY di Situs
2 Selama Simulasi .......................................................................... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker diperkirakan akan menggeser kedudukan penyakit jantung
sebagai penyebab kematian paling banyak pada tahun 2010 mendatang. Risiko
kematian akibat kanker tersebut akan terus meningkat hingga 2030. Perkiraan
tersebut didasarkan pada data organisasi kesehatan dunia (WHO) yang
menyebutkan kanker mengintai sekitar 12 juta warga dunia pada tahun 2008. Dari
jumlah tersebut, WHO meramalkan kanker dapat mengakibatkan kematian pada
tujuh juta orang di dunia. Pada 2030 jumlah penderita kanker akan meningkat
menjadi 27 juta orang dengan tingkat kematian mencapai 17 juta orang (Hindarto,
2008).
Kanker atau disebut juga dengan karsinoma, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya
mekanisme pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur oleh gen, sehingga
faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama terjadinya kanker (Maliya,
2004). Proses pengendalian untuk menekan pertumbuhan kanker secara umum
dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya pencegahan terhadap agen
penyebab kanker, peningkatkan pertahanan terhadap kanker, modifikasi gaya
hidup, dan pencegahan dengan bahan kimia (Murray, et al., 1998).
Pengendalian pertumbuhan sel tidak lepas dari adanya gen penekan
tumor (tumor suppressor gen). Salah satunya adalah protein p53. Pengendalian
pertumbuhan sel oleh protein p53 dilakukan melalui proses apoptosis (bunuh diri
sel terprogram). Ketika terjadi kerusakan DNA dan kerusakan sel yang lain
sebelum terjadinya replikasi maka dilakukan perbaikan, apabila proses perbaikan
gagal (kerusakan tidak dapat diperbaiki) maka protein p53 akan menginduksi
terjadinya apoptosis. (Alberts et al., 2002).
Mutan p53 ditemukan lebih dari 50% dari kanker manusia. Hilangnya
fungsi p53 karena mutasi, eksklusi inti, inaktivasi kompleks, atau degradasi yang
dipercepat melalui jalur ARF-MDM2 ditemukan pada kebanyakan tumor manusia
2
(Wiesmuller, 2001). Hilangnya fungsi p53 dapat menyebabkan kerusakan DNA
atau cacat yang lain yang tidak diikuti dengan penghentian penggandaan.
Apoptosis tidak dapat berjalan meskipun terjadi kenaikan konsentrasi p53 (Bykov
et al., 2002a). Dengan tidak berjalannya apoptosis ataupun penghentian siklus sel,
maka sel yang rusak pun akan terus tumbuh dan berkembang sebagai sel-sel
kanker yang berbahaya.
Salah satu mutasi yang terjadi pada p53 adalah mutasi G245S (residu
245 yang seharusnya glisin tergantikan oleh serin). Mutasi ini menyebabkan
perubahan konformasional kecil pada loop L3 protein p53 (Joerger, Ang, &
Fersht, 2006).
Menurut Bykov et. al (2002b), pengembalian fungsi p53 yang
mengalami mutasi berpotensi memicu apoptosis masal yang dapat menghentikan
sel tumor secara efektif. Penempelan molekul kecil ataupun peptida pendek dapat
mengembalikan aktivitas p53. Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa fungsi
p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konformasi dari mutan p53 sehingga
menyerupai wild-type p53. Senyawa yang digunakan dalam penelitian tersebut
salah satunya adalah PRIMA-1 (Bykov et al., 2002a).
PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive Apoptosis) adalah
senyawa kimia yang teridentifikasi sebagai penekan pertumbuhan mutan p53 yang
selektif berdasarkan kajian pustaka senyawa-senyawa yang bermassa molekul
rendah. Akan tetapi, mekanisme kerja PRIMA-1 tersebut belum diketahui (Li, et
al., 2005).
Warsino (2008) telah menemukan 10 situs yang potensial sebagai
sasaran interaksi PRIMA-1 pada mutan p53 (G245S). Situs yang berpotensi
sebagai pusat reaktivasi mutan p53 tersebut terletak pada daerah sekitar mutasi,
sedangkan reaktivasi mutan p53 tersebut diduga terjadi melalui pengembalian
konformasinya.
Meskipun interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 sudah diketahui, namun
dinamika interaksinya belum dapat digambarkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian mengenai dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 dalam
rangka mereaktivasi mutan tersebut.
3
B. Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sebagian besar penyakit kanker pada manusia terjadi akibat adanya
mutasi pada protein p53. Mutasi yang terjadi dibedakan menjadi dua kelas, yaitu
kontak termutasi, terjadi pada residu yang langsung kontak dengan DNA
(misalnya G248W, R273H) dan konformasi termutasi, terjadi pada residu yang
menjaga stabilitas struktur dari domain inti (misalnya R175H, R249S, 281G)
(Peng et al., 2003). Pengembalian fungsi p53 yang mengalami mutasi berpotensi
memicu apoptosis masal yang dapat menghentikan sel tumor secara efektif.
(Bykov et al., 2002b).
Ligan PRIMA-1 telah terbukti dapat mengembalikan konformasi
domain inti dari p53 yang termutasi pada beberapa penyakit kanker, namun belum
optimal untuk semua jenis tipe kanker yang mengalami mutasi pada p53 (Bykov
et al., 2002a). Menurut Warsino (2008), p53 termutasi pada residu G245 (mutasi
pada hot spot) memiliki pusat reaktivasi pada daerah sekitar mutasi tersebut
melalui pengembalian konformasinya. Namun, penelitian tersebut belum dapat
menjelaskan dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 pada dua situs yang
memiliki energi docking berbeda.
Simulasi kimia dapat menggambarkan dinamika interaksi PRIMA-1
dengan mutan p53. Pemilihan metode dan force field yang sesuai merupakan
suatu permasalahan dalam simulasi kimia. Metode simulasi yang umum
digunakan adalah Molecular Dynamic (MD) dan Monte Carlo (MC). Menurut
Esposito, Tobi, and Madura (2006) berbagai program MD yang populer seperti
AMBER (Assisted Model Building with Energy Refinement), CHARMM
(Chemistry at HARvard Macromolecular Mechanics), Tinker, GROMOS
(Groningen Molecular Simulation), dan NAMD (NAnoscale Molecular Dynamics)
dapat digunakan untuk perbaikan molekul.
4
2. Batasan Masalah
Pada penelitian ini, studi dinamika interaksi mutan p53 dilakukan
terhadap mutan p53 (G245S) (jenis mutasi M133L-V203A-N239Y-(G245S)-
N268D dan kode pdb 2JIY). Dari 10 situs pada mutan p53 yang telah ditemukan
Warsino (2008), 2 di antaranya akan digunakan sebagai situs interaksi PRIMA-1.
2 situs tersebut adalah situs-situs yang memiliki perbedaan energi docking yang
paling besar di antara 10 situs yang ditemukan. Situs yang digunakan yaitu situs 1
(dengan energy docking -6,98 kkal/mol) sebagai situs 1 dan situs 10 (dengan
energy docking -4,18 kkal/mol) sebagai situs 2. Keduanya memiliki perbedaan
energi docking sebesar 2,8 kkal/mol. Studi dinamika juga dilakukan pada p53
wild type dan mutan p53 sebagai pembanding.
Metode simulasi yang digunakan adalah Molecular Dynamic (MD)
karena metode ini sesuai untuk simulasi yang berupa pemantauan perubahan suatu
sampel dari keadaan satu menjadi keadaan lain (di mana penentuan dinamika
interaksi mutan p53 merupakan proses pemantauan perubahan keadaan mutan p53
dari keadaan satu menjadi keadaan lain dengan perlakuan berupa penempelan
ligan PRIMA-1). Sedangkan program yang akan digunakan adalah AMBER7
karena program ini cukup baik untuk simulasi biomolekul protein dan memiliki
kemampuan untuk menggabungkan lebih dari satu force field.
3. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di dua
situs dengan energi docking berbeda ?
2. Apakah perbedaan letak situs interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S)
menunjukkan dinamika interaksi yang berbeda?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di dua
situs dengan energi docking berbeda.
2. Mengetahui pengaruh letak situs interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53
(G245S) terhadap dinamika interaksinya.
D. Manfaat Penelitian
Perbandingan dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S)
di situs 1 dan 2 cukup mampu menggambarkan selektivitas PRIMA-1 dalam
berinteraksi dengan mutan di kedua situs tersebut. Dengan diketahuinya
selektivitas PRIMA-1, maka dapat diketahui efektivitasnya dalam mengobati
kanker. Penelitian ini juga membuka kemungkinan untuk mendesain senyawa
baru selain PRIMA-1 yang lebih efektif dalam mengobati kanker.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kanker
Kanker adalah suatu penyakit yang terjadi karena gangguan beberapa
mekanisme checkpoint dan penekanan tumor (Hanahan & Weinberg, 2000).
Pertumbuhan kanker diawali dengan mutasi berangkai. Mutasi tersebut terjadi
pada gen penekan tumor dilanjutkan dengan mutasi pada gen yang berfungsi
untuk memperbaiki kerusakan DNA (DNA repair gene). Mutasi pada
protoonkogen dapat mengaktifkan onkogen dan menonaktifkan gen penekan
tumor. Beberapa faktor hereditas dapat meningkatkan perubahan mutasi penyebab
kanker, mencakup aktivasi onkogen atau penghambat gen penekan tumor. Fungsi
berbagai gen penekan tumor dan onkogen dapat diganggu pada tahapan berbeda
pertumbuhan tumor (Hadi & Nurlaila, 2008).
Mutasi gen penekan tumor mengganggu regulasi sel normal karena mutasi
tersebut mampu menghilangkan restriction point yang seharusnya dilewati oleh
setiap sel pada saat masuk ke siklus sel (Hadi & Nurlaila, 2008). Urutan kejadian
dapat diidentifikasi sebagai berikut : diawali dari keadaan istirahat (fase G0),
pertumbuhan sel dan persiapan kromosom untuk replikasi (fase G1). Siklus
dilanjutkan dengan sintesis DNA (fase S) dan diikuti dengan persiapan pemisahan
sel (fase G2). Siklus disempurnakan dengan mitosis (fase M) hingga dihasilkan
sel-sel belahan yang baru (Enten and Monson, 2005). Restriction point terjadi di
antara fase G1 dan fase S siklus sel, berlangsung kira-kira dua hingga tiga jam
sebelum DNA disintesa dalam fase S. Lintasan yang teraktifkan sebagai respon
kerusakan DNA merupakan sinyal bagi inaktivasi restriction point, sehingga
siklus sel berhenti di fase G1. Apabila terjadi kerusakan DNA, siklus sel berhenti
di fase G1 dan di fase G2. Pemberhentian di fase G1 berfungsi untuk mencegah
DNA yang rusak direplikasi dan pemberhentian di G2 memungkinkan sel untuk
menghindari pemisahan kromosom yang rusak (Hadi & Nurlaila, 2008).
7
Bila mutasi pada gen penekan tumor terjadi, maka sel tetap berproliferasi
meskipun DNA yang dimilikinya mengalami kerusakan atau ketidaksesuaian
dengan urutan DNA normal. Kerusakan tersebut diwariskan pada sel-sel anakan
(Hadi & Nurlaila, 2008). Siklus sel ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus sel (Ismono & Anggono, 2009).
2. Gen Penekan Tumor dan p53 Penekan Tumor
p53 manusia adalah suatu fosfoprotein inti dengan berat molekul 53 kDa,
yang dikode oleh gen 20 kb yang mengandung 11 ekson dan 10 intron, yang
berlokasi pada tangan kecil kromosom 17. Gen ini termasuk ke dalam famili gen
yang sangat dipertahankan (highly conserved gene) yang mengandung setidaknya
dua anggota lain, yaitu p63 and p73. Protein p53 wild-type mengandung 393 asam
amino dan dibuat dari berbagai domain struktural dan fungsional (Bai & Zhu,
2006).
Menurut Lacroix et. al. (2006) p53 bertempat di kromosom 17 (17p13),
mengandung 11 ekson yang membentangkan 20 kb. p53 termasuk keluarga gen
yang sangat dipertahankan yang juga meliputi TP63 and TP73 yang secara
berurutan mengkode p63 dan p73. Tiga daerah yang berbeda secara fungsional
telah diidentifikasi dalam p53 (disajikan pada gambar 2).
8
a. Daerah ujung N yang bersifat asam (kodon 1−101) yang mengandung 2
domain utama. (i) domain transaktivasi yang bersifat asam (kodon 1−62).
Kodon 17–28 dapat berinteraksi dengan ubikuitin ligase mouse double
minute-2 homologue (MDM2), yang berperan penting dalan degradasi p53.
Kodon 22–26 (LWKLL) membentuk suatu motif pengenalan koaktivator tipe
LXXLL (Savkur & Burris, 2004) yang dilibatkan dalam histon ikatan
acetyltransferase P300. Diyakini bahwa kodon 11–27 dapat berfungsi sebagai
nuclear export signal (NES) sekunder dan bahwa fosforilasi yang
menginduksi kerusakan DNA dapat menghambat aktivitas ini. (ii) domain
kaya prolin (kodon 63–97) diperlukan untuk interaksi dengan berbagai
protein yang terlibat dalam induksi apoptosis. Domain ini mengandung lima
motif PXXP (PRMP pada 64–67; PVAP pada 72–75; PAAP pada 77–80;
PAAP pada 82–85; PSWP pada 89–92) yang terlibat dalam interaksi p53
dengan P300 (Dornan et al., 2003). Menariknya, polimorfisme telah
terdemonstrasikan pada kodon 72, di mana prolin sering digantikan oleh
arginin. Kedua bentuk ini merupakan wild type secara morfologis dan tidak
berbeda kemampuannya mengikat DNA dalam tingkah laku sekuen spesifik.
Namun, terdapat sejumlah perbedaan antara varian-varian p53 dalam hal
kemampuannya untuk mengikat komponen mesin transkripsional,
mengaktifkan transkripsi, menginduksi apoptosis, dan untuk menekan
transformasi sel-sel primer (Thomas et al., 1999).
b. Daerah inti ikatan DNA pusat (kodon 102–292). Daerah ini mengenal motif
konsensus promoter yang terbuat dari segmen 10 bp (RRRCWWGYYY)
yang dipisahkan oleh 0–13 bp. Daerah ini sangat dipertahankan selama
evolusi. Daerah ini juga merupakan daerah yang sama antara anggota family
p53 (P63, P73).
c. Daerah ujung C yang bersifat basa (kodon 293–393), terlibat dalam
tetramerisasi dan pengaturan aktivitas p53. Daerah ini mengandung : tiga
sinyal lokalisasi inti (kodon 305–322, 369–375, 379–384) yang diperkenalkan
oleh kompleks heterodimerik yang terbuat dari alfa dan beta importin yang
memungkinkan masuknya inti p53 (Fabbro & Henderson, 2003); (ii) domain
9
tetramerisasi (kodon 323–356) yang mengandung NES primer (kodon 339–
352) yang diperkenalkan oleh reseptor ekspor CRM1/exportin (Fabbro &
Henderson, 2003). p53 aktif sebagai faktor transkripsi hanya dalam bentuk
homotetrametrik. Tetramerisasi p53 menutupi NES primer dan mencegah
ekspor dari inti sel; (iii) daerah regulasi negatif (kodon 363–393). Melalui
untaian DNA non spesifik yang berikatan pendek, daerah ini dapat mencegah
DNA spesifik berikatan dengan daerah inti (Weinberg et al., 2004).
Gambar 2. p53 manusia beserta pembagian domainnya. Lokalisasi kromosomal
gen p53 dan gambaran skematik domain protein p53 : transaktivasi
transkripsional (asam amino 1−62); kaya prolin (asam amino 63−97);
ikatan DNA (asam amino 102−292); tetramerisasi (asam amino
323−356), regulasi ( asam amino 362−393) (Bossi & Sacchi, 2007).
3. Mutasi pada Protein p53
Lebih dari 50% kanker manusia mengalami mutasi salah (missence
mutation) dalam pengkodean gen untuk penekan tumor p53 yang menyebabkan
inaktifnya p53 tersebut (Friedler et al., 2002). Beberapa kerusakan DNA (karena
radiasi ultraviolet ataupun radiasi pengionan) diiringi dengan meningkatnya
sintesis p53 yang mengendalikan propagasi DNA yang rusak (Nelson and Kastan,
1994). Protein p53 memiliki afinitas yang tinggi terhadap lesi-lesi DNA et al.,
10
1995). Jadi, suatu proses polimerisasi yang terjadi pada konsentrasi p53 tinggi
akan berperan dalam pengenalan dan perbaikan DNA rusak saat penundaan
replikasi (Cox et al., 1996). Jika kerusakan DNA di luar kemampuan mesin
perbaikan, apoptosis terjadi (Martin et al., 1994). Enoch and Norbury (1995)
mengusulkan bahwa tingginya level p53 merupakan pertanda penting untuk hal
ini.
Tumor yang mengandung p53 termutasi cenderung resisten terhadap
kemoterapi yang telah umum dilakukan dibandingkan dengan yang mengandung
wild type p53 (Bykov et al., 2002a). Di samping itu terapi tumor bervariasi
bergantung pada tipe tumor tersebut. Dalam kaitannya dengan pengendalian
tumor melalui induksi apoptosis jalur p53 diketahui bahwa limfoma menunjukkan
respon paling kuat, pada mamari dan intestinal tumor diperoleh respon menengah,
sedangkan untuk tumor paru-paru, kulit, dan hati, tidak ditemukan terapi yang
terkait dengan induksi apoptosis (Kemp et al., 2001).
Enam mutasi yang berkaitan dengan kanker yang paling sering terjadi
adalah hot spot R175H, G245S,R248Q, R249S, R273H, and R282W. Mutasi ini
dibagi menjadi dua kategori : (i) Mutasi kontak-DNA (R248 dan R273) yang
terjadi karena hilangnya residu ikatan DNA, dan (ii) mutasi struktural yang terjadi
karena perubahan struktur domain inti ikatan DNA pada p53 (Friedler et al.,
2002). Domain inti p53 adalah bagian yang sangat dipertahankan. Substitusi pada
domain inti akan meningkatkan 98% mutasi perubahan (transforming mutation)
pada p53, dan 40% dari jumlah tersebut melibatkan hanya enam hot spot di dekat
permukaan ikatan DNA (Wong et al., 1999). Frekuensi dan distribusi mutasi p53
disajikan pada gambar 3.
11
Gambar 3. Frekuensi dan distribusi mutasi p53. Daerah I−V merupakan daerah
yang paling dipertahankan, empat di antaranya (II−IV) termasuk ke
dalam domain inti. Histogram mutasi salah (missence mutation)
menunjukkan mutasi terjadi pada domain inti; residu berlabel
merupakan hot spot mutasi (Bullock & Fersht, 2001).
Mutan p53 kode 2J1Y dengan mutasi hot spot G245S terjadi akibat
ketidakstabilan struktur p53 dalam berinteraksi dengan DNA. Ketidakstabilan
terjadi antara loop 2 dan loop 3 dikarenakan struktur pada daerah mutasi ini
berubah. Interaksi PRIMA-1 diharapkan dapat mengembalikan stabilitas interaksi
antara loop 2 dan loop 3, lebih lanjut lagi stabilitas ikatan dengan DNA dapat
dikembalikan (Warsino, 2008).
Menurut Warsino (2008) verifikasi hasil docking awal pada 2J1Y
didapatkan 10 tempat penempelan (situs) yang dimungkinkan merupakan situs
aktif dari 2J1Y. Ringkasan hasil docking PRIMA-1 pada 2JIY disajikan pada tabel
1, letak 10 situs tersebut pada 2JIY disajikan pada gambar 4.
12
Tabel 1. Ringkasan hasil docking PRIMA-1 pada 2J1Y. Data energi penempelan
yang disajikan hanya energi terendah dari klaster (cluster) terendah masing-
masing situs.
No.Site
energi dock awal (kkal/mol)
jumlah cluster
jumlah dlm cluster terendah
energi minimal (kkal/mol)
energi rerata (kkal/mol)
Energi ikat (kkal/mol)
1 -6.98 1 20 -6.62 -6.62 -6.18
2 -5.86 1 20 -5.93 -5.92 -5.44
3 -5.85 3 9 -5.88 -5.88 -5.18
4 -5.61 6 2 -5.64 -5.63 -4.95
5 -5.39 1 20 -5.42 -5.42 -4.95
6 -5.17 3 18 -5.21 -5.20 -4.67
7 -4.99 2 4 -5.95 -5.95 -5.45
8 -4.62 4 1 -5.91 -5.91 -5.46
9 -4.35 2 18 -4.47 -4.46 -3.84
10 -4.18 3 9 -4.62 -4.61 -3.92 · Tanda latar gelap menunjukkan bahwa situs ini bergabung dengan situs yang
lain di dekatnya.
Gambar 4. Letak 10 situs aktif pada 2JIY. Daerah hot spot terdapat pada
daerah Lp1 (loop 1), Lp2 (loop 2) dan Hl2 (heliks 2). Anak panah
berwarna hijau dan kuning menunjukkan situs 1 dan 10 (Warsino,
2008).
13
4. PRIMA-1 (p53 Reactivation and Induction of Massive Apoptosis)
Proses pengembalian fungsi p53 melalui pengembalian konformer
domain inti dari p53 termutasi dengan molekul kecil telah dilakukan. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa fungsi p53 dapat dikembalikan dengan mengatur konfomasi
mutan p53 sehingga menyerupai p53 wild type . Senyawa yang digunakan salah
satunya adalah PRIMA–1 (2,2-bis(hydroxymethyl)-1-azabicyclo[2,2,2]octan-3-
one) oleh Bykov et al. (2002b). PRIMA-1 memiliki sifat fisik yaitu berupa kristal
putih dengan titik leleh sebesar 142 –144° C, rumus molekul C9H15NO, dan berat
molekul 185,2 g/mol. PRIMA-1 secara selektif menghambat pertumbuhan sel
tumor dengan memicu apoptosis dalam pola yang bergantung pada transkripsi
melalui manipulasi konformasional mutan p53 untuk memperbaiki ikatan DNA
sekuen spesifik (Bykov et al., 2002b). Struktur PRIMA-1 disajikan pada gambar
5.
Gambar 5. Struktur PRIMA-1 (Bykov et al., 2002b).
5. Simulasi Kimia
Metode simulasi komputer memudahkan kita untuk mempelajari
beberapa sistem dan memprediksikan sifat-sifatnya dengan penggunaan teknik
yang mempertimbangkan replikasi yang kecil dari sistem makroskopik dengan
sejumlah atom atau molekul yang dapat diatur. Simulasi menghasilkan suatu
konfigurasi yang representatif dari replikasi yang kecil ini dalam beberapa cara
yang nilai akurat dari sifat-sifat struktural dan termodinamiknya dapat diperoleh
dengan sejumlah komputasi yang mungkin mudah dikerjakan. Teknik simulasi
juga memungkinkan perilaku bergantung-waktu dari sistem atomik dan molekuler
14
untuk didekati, menyediakan suatu gambaran yang detail dari cara di mana sistem
berubah dari satu konformasi atau konfigurasi ke yang lain. Teknik simulasi juga
digunakan secara luas dalam beberapa prosedur eksperimental, seperti pendekatan
struktur protein dari kristalografi sinar X (Leach, 2001).
Dua jenis teknik simulasi yang umum dalam pemodelan molekuler adalah
metode Molecular Dynamic (MD) dan Monte Carlo (MC) (Leach, 2001). Simulasi
Molecular Dynamic dan Monte Carlo berbeda dalam berbagai hal. Yang sangat
berbeda adalah Molecular Dynamic menyediakan informasi mengenai
ketergantungan waktu sifat-sifat sistem sedangkan tidak ada hubungan waktu
antara konfigurasi successive Monte Carlo. Dalam simulasi Monte Carlo
pengeluaran dari tiap-tiap percobaan pergerakan hanya tergantung pada immediate
predecessor, sedangkan Molecular Dynamic memungkinkan untuk
memprediksikan konfigurasi sistem di setiap waktu di waktu yang akan datang
atau waktu-waktu yang sudah terlewati. Molecular Dynamic memiliki kontribusi
energi kinetik terhadap total energi sedangkan dalam simulasi Monte Carlo total
energi ditentukan secara langsung dari fungsi energi potensial (Leach, 2001).
6. Mekanika Statistik
Teknik eksperimental mendekati sifat-sifat seperti tekanan atau kapasitas
kalor dengan melakukan pengukuran pada sistem makroskopik. Sistem
makroskopik tunggal dapat digantikan dengan sejumlah besar replikasi sistem
mikroskopik yang dipertimbangkan secara simultan (Wibowo, 2005). Mekanika
statistik adalah alat teoritis yang digunakan untuk mempelajari sifat-sifat sistem
makroskopik (sistem terdiri dari banyak atom atau molekul) dan mengaitkan sifat-
sifat tersebut dengan keadaan sistem mikroskopik (Widom, 2002).
Suatu keadaan mikroskopik sistem dikarakterisasi oleh suatu set harga
{r,p}, yang berkaitan dengan suatu titik dalam ruang yang didefinisikan oleh
koordinat r dan momenta p (disebut phase space) (Becker & Watanabe, 2001).
Untuk memperoleh rata-rata termodinamik ensemble kanonikal, yang
dikarakterisasi oleh variable makroskopis (N, V, T), sangat tepat untuk
mengetahui probabilitas menemukan sistem pada masing-masing dan setiap titik
15
(keadaan) dalam phase space. Distribusi probabilitas ini ρ(r,p), disajikan oleh
fungsi distribusi Boltzmann
(2.6.1)
di mana fungsi partisi Z adalah integral dari seluruh phase space factor
Boltzmann , dan kB merupakan factor Boltzmann. Ketika
fungsi distribusi diketahui, maka dapat digunakan untuk menghitung rata-rata
phase space dari berbagai variable dinamik A(r, p).
Contoh variabel dinamik adalah posisi, energi total, energi kinetik,
fluktuasi, dan berbagai fungsi lain dari r dan/atau p. Rerata ini disebut rerata
termodinamik atau rerata ensemble karena berperan dalam menghitung setiap
keadaan yang mungkin dari sistem. Untuk menghitung rerata termodinamik, harus
diketahui probabilitas Boltzmann untuk setiap dan masing-masing keadaan {r, p}
yang merupakan tugas komputasional yang sangat sulit (Becker & Watanabe,
2001).
7. Metode Simulasi Molecular Dynamic
Dalam molecular dynamic, konfigurasi berurutan dari sistem
dihasilkan dengan menggabungkan hukum-hukum Newton dari pergerakan.
Hasilnya adalah suatu trajektori yang menspesifikkan bagaimana posisi dan
kecepatan partikel di dalam sistem bervariasi sesuai waktu. Hukum-hukum
Newton dari pergerakan dapat dinyatakan sebagai berikut.
a. Suatu zat melanjutkan pergerakannya dalam garis lurus pada kecepatan
konstan kecuali jika suatu gaya bekerja padanya.
b. Gaya sama dengan laju perubahan momentum.
c. Kepada setiap kerja (action) terdapat reaksi yang sama dan berlawanan.
(Leach, 2001)
Trajektori dihasilkan dengan menyelesaikan persamaan diferensial
yang diwujudkan dalam Hukum Newton 2 (F = ma):
(2.7.1)
iixi
m
F
dt
xd=
2
2
16
Persamaan tersebut menggambarkan pergerakan partikel yang
bermassa mi sepanjang satu koordinat (xi) dengan Fxi merupakan gaya pada
partikel dalam arah tersebut (Leach, 2001).
Simulasi Molecular Dynamic memungkinkan kita untuk menyelidiki
energi dan gaya yang berkaitan dengan sejumlah banyak ikatan dan konfigurasi
sterik mengenai protein. Kita dapat mengumpulkan informasi stabilitas dan
perilaku protein dengan mengamati sejumlah sifat-sifat fisik sistem. Secara
visual kita dapat mengamati misalnya jika protein menunjukkan tanda-tanda
denaturasi atau reorganisasi (Turner, 2004).
Terdapat empat tahap utama dalam simulasi Molecular Dynamic.
Setelah menemukan konfigurasi awal sistem, fase penyeimbangan dilakukan
untuk memperoleh sistem yang stabil. Atom-atom makromolekul dan pelarut di
sekitarnya yang mengalami fase relaksasi biasanya menghabiskan 10 atau 100
ps sebelum sistem mencapai keadaan stasioner. Sifat-sifat termodinamik
seperti temperatur, energi, dan densitas dipantau sampai nilainya stabil.
Segmen non-stasioner awal dari trajektori akan dibuang dalam penghitungan
sifat-sifat kesetimbangan. Sebelum melakukan simulasi Molecular Dynamic,
sistem harus diseimbangkan dengan kontrol volume, tekanan, dan temperatur
untuk menyesuaikan misalnya densitas pelarut untuk nilai eksperimental dan
temperatur sistem untuk temperatur yang dipilih. Setelah penyeimbangan, fase
produksi dimulai, yang akan memproduksi hasil simulasi aktual dengan
simulasi Molecular Dynamic berdurasi sekitar 1 ns. Pada dasarnya, protokol
yang sama seperti pada saat tahap akhir penyeimbangan dapat digunakan.
Simulasi Molecular Dynamic dapat diteruskan sampai diperoleh konfigurasi
molekuler yang memuaskan. Jalannya produksi Molecular Dynamic
ditampilkan berada pada kondisi jumlah partikel (N), volume (V), dan energi
(E) konstan yang mewakili ensembel mikrokanonikal NVE dan memungkinkan
pengamatan molekul yang berinteraksi dengan lingkungannya selama interval
waktu yang telah ditentukan sebelumnya, biasanya dalam orde nanosekon
(Molinelli, 2004).
17
Ketika mensimulasikan sistem yang tidak homogen, prosedur
kesetimbangan yang lebih rinci biasanya diperlukan. Prosedur khusus untuk
simulasi molecular dynamic dari zat terlarut makromolekuler, seperti protein
dalam larutan, adalah sebagai berikut. Pertama-tama, pelarut tunggal bersama-
sama dengan berbagai counterion gerak adalah subjek minimisasi energi
dengan zat terlarut yang dipertahankan dalam konformasi awalnya. Pelarut dan
berbagai counterion kemudian dibiarkan tersusun menggunakan salah satu
simulasi Molecular Dynamic (atau Monte Carlo), struktur molekul zat terlarut
yang ditentukan dipertahankan kembali. Fase kesetimbangan pelarut ini cukup
meluas untuk membiarkan pelarut disesuaikan kembali secara lengkap terhadap
medan potensial zat terlarut. Untuk Molecular Dynamic hal ini berakibat pada
lamanya fase kesetimbangan pelarut akan lebih panjang daripada waktu
relaksasi pelarut (waktu ini merupakan waktu molekul kehilangan ‘memori’
dari orientasi aslinya, di mana untuk air sekitar 10 ps). Selanjutnya,
keseluruhan sistem (zat terlarut dan pelarut) diminimisasi. Kemudian simulasi
Molecular Dynamic sistem utuh dimulai (Leach, 2001).
8. Assisted Model Building with Energy Refinement (AMBER7)
(Case et al. 2002)
Paket program AMBER7 terdiri dari 60 program yang beberapa di
antaranya dideskripsikan sebagai berikut.
a. Antechamber
Antechamber merupakan program yang mengotomatisasi proses
pengembangan deskriptor-deskriptor force field khususnya untuk molekul-
molekul organik. Antechamber dihidupkan dari masing-masing arsip PDB
(format PDB), arsip (‘prepin’) baru dengan format yang dapat dibaca
dalam LEaP untuk digunakan dalam pemodelan molekuler. Deskripsi
force field yang dibuat dirancang untuk sesuai dengan force field Amber
yang biasa.
18
b. Parmchk
Parmchk dibaca dalam suatu arsip ‘ac’ atau arsip input ‘prep’
sebagaimana suatu arsip force field. Parameter menuliskan arsip ‘frcmod’
untuk parameter-parameter yang hilang.
c. LEaP
Leap adalah suatu program berbasis X-windows yang disediakan untuk
pembuatan model dasar dan koordinat AMBER dan pembuatan arsip input
parameter/topologi. Program tersebut meliputi editor molekuler yang
memungkinkan pembuatan residu dan memanipulasi molekul.
d. Sander (Simulated Annealing with NMR-derived Energy Restraints)
Sander adalah program utama yang digunakan untuk simulasi
Molecular Dynamic. Program ini merelaksasi struktur dengan
memindahkan atom-atom secara iteratif menurunkan gradien energi
sampai gradien rata-rata yang cukup diperoleh. Porsi Molecular Dynamic
membentuk konfigurasi sistem dengan menggabungkan persamaan
Newtonian tentang gerak. Molecular Dynamic akan melakukan sampling
ruang konfigurasional yang lebih banyak daripada minimisasi dan akan
memungkinkan struktur untuk melewati halangan energi potensial yang
kecil. Konfigurasi dapat disimpan pada interval tetap selama simulasi
untuk analisis lebih lanjut, dan perhitungan energi bebas dasar
menggunakan integrasi termodinamik dapat dilaksanakan.
e. Ptraj dan Carnal
Ptraj dan Carnal merupakan program-program untuk menganalisa
trajektori-trajektori Molecular Dynamic, menghitung (misalnya Root Mean
Square deviation dari struktur referen), analisis ikatan hidrogen, fungsi
korelasi waktu, perilaku difusional, dan sebagainya (Molinelli, 2004).
19
9. Root Mean Square Deviation (RMSD)
Pengukuran kesamaan diperlukan untuk perbandingan kuantitatif
suatu struktur dengan lainnya. Kesamaan struktur biasanya diukur dengan root
mean square deviation (RMSD) antara dua konformasi (Becker, 2001). RMSD
yang dihitung dan diplotkan menggunakan ptraj menyediakan informasi
apakah konformasi telah mencapai suatu keadaan yang stasioner. Deviasi
masing-masing frame terhadap frame pertama dalam trajektori dihitung. Harga
ini sangat berguna dalam mendekati sejauh mana struktur bergeser selama
simulasi MD berjalan (Molinelli, 2004).
Dalam koordinat Cartesian, jarak RMS antara konformasi i dan
konformasi j dari suatu molekul didefinisikan sebagai
(2.9.1)
Di mana N adalah jumlah atom, k adalah indeks atom, dan r(i)k, r(ij)k
adalah koordinat Cartesian dari atom k dalam konformasi i dan j. Harga
minimum dari persamaan di atas diperoleh dengan superposisi optimal dari dua
struktur (Becker, 2001).
10. B-factor
B-factor adalah ukuran termal dari ketidaktentuan (luasan densitas
elektron) untuk struktur dan ditetapkan terhadap tiap-tiap atom dan dapat
dihitung untuk tiap-tiap residu asam amino. Pergerakan termal paling besar
biasanya ditemukan pada rantai samping dan loop (Esposito, Tobi, and
Madura, 2006). B-factor kristalografik dapat digunakan sebagai indikator
mobilitas konformasional atau fleksibilitas protein. Analisis distribusi B-factor
telah digunakan lebih awal untuk menganalisa karakteristik struktural dan
fungsional protein (Kumar & Krishnaswamy, 2009). Tinggi rendahnya
fluktuasi atomik suatu molekul diwakili oleh tinggi rendahnya harga B-factor.
Fluktuasi atomik simulasi dapat diperkirakan dengan B-factor yang
persamaannya sebagai berikut.
20
(2.9.2)
Di mana Δri adalah akar pangkat dua fluktuasi posisional atom
(Karjiban, et al., 2009). Menurut Wright and Lim (2007), B-factor rantai utama
rata-rata sebagai fungsi nomor residu menunjukkan bahwa mutasi Arg
273→Cys terlihat membuat rigid beberapa residu yang terlibat di dalam ikatan
Zn2+ dan/atau ikatan DNA terutama protein yang bebas.
11. Struktur Protein dan Sudut Dihedral Backbone Protein
Struktur sekunder memiliki 3 bentuk yang biasa : alfa (α) heliks, beta
(β) sheet (kombinasi dari sejumlah beta strand), dan loop (juga disebut reverse
turns atau coil). Dalam masalah prediksi struktur sekunder protein, inputnya
adalah urutan dan outputnya adalah struktur yang diprediksikan (yang juga
disebut konformasi, yang merupakan kombinasi dari alfa heliks, beta sheet, dan
loop). Suatu protein yang khusus mengandung sekitar 32% alfa heliks, 21%
beta sheet, dan 47% loop atau struktur non regular (Branden and Tooze, 1991).
Gambar 6 menunjukkan struktur dasar asam amino, yang terdiri dari
suatu gugus amino (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen, dan rantai
samping yang semuanya terikat pada suatu atom karbon yang disebut karbon
alfa (Cα). Masing-masing satu dari 20 asam amino memiliki struktur yang sama
kecuali rantai sampingnya. Ikatan peptida menghubungkan gugus karboksil
dari suatu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang lain dengan
cara mengeliminasi air (H2O) (Branden and Tooze, 1991).
Gambar 6. Struktur dasar asam amino.
Gambar 7 menunjukkan suatu unit peptida. Polipeptida adalah suatu
21
struktur tak bercabang dari sejumlah urutan asam amino yang terikat melalui
ikatan-ikatan peptida. Satu unit asam amino dalam rantai polipeptida disebut
residu. Rantai polipeptida dimulai pada ujung amino dan berakhir pada ujung
karboksilnya (Branden and Tooze, 1991).
Gambar 7. Sudut dihedral psi dan phi pada backbone protein (Arjunan, Deris, &
Illias, 2001).
Phi adalah sudut rotasi di sekitar ikatan N–C sedangkan psi
merupakan sudut rotasi di sekitar ikatan C–C. Rotasi-rotasi menentukan
masing-masing struktur protein (seperti alfa heliks, beta sheet, atau loop).
Asam-asam amino yang berada di bagian dalam molekul protein adalah asam-
asam amino golongan hidrofobik sedangkan asam-asam amino yang bersifat
polar berada di permukaan protein dan biasanya memiliki urutan dan
konformasi asam-asam amino yang sama, sehingga memiliki fungsi dan sifat-
sifat yang sama pula (Arjunan, Deris, and Illias, 2001).
Konfigurasi backbone protein sepenuhnya ditentukan oleh spesifikasi
sudut dihedral φ dan ψ. Korelasi sudut dihedral dalam protein asli dan
terdenaturasi sangat penting karena mengandung sumber utama informasi
dalam folding dan stabilitas protein (Keskin, 2004).
22
B. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penelitian Warsino (2008), telah diketahui bahwa p53
(G245S) dapat direaktivasi oleh ligan PRIMA-1 dengan interaksi yang spesifik
melalui pengembalian konformasinya. Namun dinamika interaksi tersebut
belum diketahui. Penelitian ini akan mengamati dinamika interaksi PRIMA-1
dengan mutan p53 di situs 1 dan 2 (beda energi docking keduanya sebesar 2,8
kkal/mol) dengan metode simulasi molecular dynamic (MD). Sebagai
pembanding, simulasi juga dilakukan terhadap p53 wild type dan mutan p53.
Kerangka pemikiran secara skematis dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Kerangka pemikiran.
Dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di situs 2 dibanding p53 wild type dan
mutan p53 (G245S) diketahui
dibandingkan
Mutan p53 (G245S) dapat direaktivasi oleh ligan PRIMA-1 melalui pengembalian konformasinya
(Warsino, 2008)
Metode simulasi kimia (Molecular Dynamic)
Dinamika interaksi PRIMA-1 dengan p53 belum diketahui
program AMBER7
Dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di situs 1 dibanding p53 wild type dan
mutan p53 (G245S) diketahui
Perbandingan dinamika interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di situs 1 dan 2 diketahui
23
C. Hipotesis
1. Interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) diduga terjadi di daerah sekitar
residu 245 yang termutasi.
2. Letak situs interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) berpengaruh
terhadap dinamika interaksinya.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2009 sampai Desember 2009,
bertempat di Laboratorium Kimia Dasar bagian Komputasi Kimia jurusan Kimia
FMIPA UNS.
B. Alat dan Bahan yang Dibutuhkan
1. Alat
Seperangkat komputer dengan spesifikasi : CPU berprosesor AMD Athlon
(tm) 64 X2 Dual Core Processor 5200+, 2.60 GHz, RAM 4 GB, dan harddisk
2x250 GB. Perangkat lunak berupa AMBER7 (Case, et al., 2002), program
Molden (Klinsky et al., 2002), MATLAB7 (MathWorks, 2004), CHIMERA
(Pettersen et al., 2004), dan VMD (Humphrey, Dalke, and Schulten, 1996).
2. Bahan
Struktur p53 wild type pada manusia kode PDB = 1GZH (Derbyshire et al.,
2002), struktur mutan p53 (G245S) kode PDB = 2JIY (Joerger et al., 2006), dan
PRIMA-1.
C. Prosedur Penelitian
1. Parameterisasi PRIMA-1
Parameterisasi PRIMA-1 dilakukan dengan mengambil terlebih dahulu
struktur PRIMA-1 teroptimasi dari hasil penelitian Warsino (2008). Densitas
elektron (Electrostatic Potensial/ESP) dihitung dengan GAUSSIAN98 (Frisch et
al., 1995) metode ab initio pada level teori HF dan basis set 6-31G*. Populasi
elektron dihitung dengan metode Mulliken. Arsip log yang dihasilkan kemudian
diolah dengan program Antechamber dan parmchk dalam AMBER7 di mana di
25
dalamnya terdapat RESP untuk metode penghitungannya. Hasilnya berupa arsip
prep dan arsip frcmod sebagai template dan parameter ligan PRIMA-1 yang akan
digunakan dalam proses selanjutnya.
2. Penentuan Koordinat Awal Sistem
Simulasi dilakukan terhadap empat sistem, yaitu 1GZH, 2JIY, 2JIY yang
berinteraksi dengan PRIMA-1 pada situs 1, dan 2JIY yang berinteraksi dengan
PRIMA-1 pada situs 2. Ion Cl- sebagai counterion ditambahkan menggunakan
modul XLEAP dalam AMBER7. Sistem kemudian disolvasi dengan penambahan
eksplisit solvent berupa model air TIP3P (Jorgensen, et al., 1983) yang berupa
sekumpulan molekul air yang berbentuk kotak yang melingkupi sistem dengan
jarak antara sistem dan model air sebesar 12 Ǻ. Setelah itu, sistem tersebut
disimpan dalam format arsip pdb (urutan atom dan posisinya), arsip prmtop
(topologi sistem), dan arsip prmcrd (parameter sistem) yang nantinya akan
digunakan dalam proses minimisasi, penyeimbangan, dan simulasi.
3. Minimisasi Sistem
Agar proses solvasi sempurna (yaitu jarak model air dekat dengan sistem),
maka dilakukan minimisasi. Minimisasi sistem dilakukan sebanyak 500 step di
mana tiap 100 step besarnya penahanan harmonik pada makromolekul dan
counterion diubah. Pada 100 step pertama, besarnya penahanan harmonik pada
makromolekul dan counterion adalah sama-sama sebesar 25 kcal/mol-1A-2. Pada
100 step 2, besarnya penahanan harmonik pada makromolekul tetap 25 kcal/mol-
1A-2 dan pada counterion hanya sebesar 20 kcal/mol-1A-2. Pada 100 step ketiga,
besarnya penahanan harmonik pada makromolekul adalah 20 kcal/mol-1A-2 dan
pada counterion hanya 15 kcal/mol-1A-2. Pada step keempat, besarnya penahanan
harmonik pada makromolekul adalah 15 kcal/mol-1A-2 dan pada counterion hanya
sebesar 10 kcal/mol-1A-2. Pada step kelima, besarnya penahanan harmonik pada
makromolekul adalah 10 kcal/mol-1A-2 dan pada counterion hanya sebesar 5
kcal/mol-1A-2. Minimisasi ini akhirnya dilakukan tanpa adanya restraints.
26
4. Equilibrasi Sistem
Penyeimbangan dilakukan dengan pemanasan bertahap 50-300 K (sesuai
suhu sistem yang sebenarnya) selama 200 ps di mana makromolekul dan posisi-
posisi ion dijaga konstan dengan penahanan harmonik (harmonic restraint) 25
kcal/mol-1A-2. Penahanan harmonik berkurang 5 kcal/mol-1A-2 setiap 5 ps selama
25 ps berikutnya, hingga akhirnya kesetimbangan akan berlangsung tanpa adanya
penahanan. Untuk meningkatkan dan menjaga temperatur sistem pada 300 K
digunakan algoritma Berendsen (Berendsen et al., 1984).
5. Simulasi Sistem
Simulasi dijalankan pada temperatur konstan 300 K, tekanan 1 atm, 2 fs
time step, SHAKE constraints 0,00005 Ǻ (mengabaikan vibrasi yang melibatkan
atom hidrogen), nonbonded cutoff 9 Ǻ, dan 0,00001 untuk prosedur particle-mesh
Ewald (PME) (Kawata and Nagashima, 2001) yang digunakan untuk menangani
interaksi elektrostatik yang jangkauannya jauh (long-range electrostatic
interactions). Informasi struktural dikumpulkan setiap 500 step (1 ps).
D. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data yang berupa trajektori hasil simulasi MD diolah dengan perangkat
analisis yang terdapat dalam program AMBER7 (ptraj) dan program MATLAB7.
Sedangkan program CHIMERA dan VMD digunakan untuk menampilkan data
secara visual.
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameterisasi PRIMA-1
Parameterisasi PRIMA-1 dilakukan untuk mendapatkan parameter-
parameter PRIMA-1 yang diperlukan dalam proses minimisasi, equilibrasi, dan
simulasi. Struktur PRIMA-1 diambil dari hasil penelitian Warsino (2008)
sedangkan koordinat atom pada 1GZH dan 2JIY diambil dari data pdb (kode pdb :
1GZH dan 2JIY). Koordinat hidrogen ditambahkan dengan program XLEAP
dalam AMBER7 (Case et al., 2002). Muatan diperoleh dengan RESP (Restrained
ElectroStatic Potensial) (Cieplak et al., 1995). Potensial elektrostatik ab initio
untuk RESP dihitung dengan GAUSSIAN98 (Frisch et al., 1995) pada level teori
HF/6-31G*. Hasil parameterisasi PRIMA-1 disajikan pada gambar 9 dan tabel 2.
Gambar 9. Struktur PRIMA-1
Terparameterisasi
Tabel 2. Kode atom, tipe atom, dan muatan PRIMA-1 yang diperoleh dengan RESP.
Kode atom Tipe atom
Muatan
O1=O2 OH -0.652 H12=H15 HO 0.441 C8=C9 CT 0.096 H10=H11=H13=H14 H1 0.079 C5 CT 0.073 C1 C 0.601 O3 O -0.581 C2 CT 0.029 H5 HC 0.011 C3=C7 CT -0.115 C4=C6 CT -0.007 H1=H2=H6=H7 H1 0.094 N1 NT -0.552 H3=H4=H8=H9 HC 0.050
28
B. Hasil Simulasi
Setelah proses minimisasi dan equilibrasi dilakukan, empat sistem yaitu
p53 wild type pada manusia dengan kode PDB 1GZH, mutan p53 (G245S) dengan
kode PDB 2JIY, kompleks mutan p53 (G245S) dengan PRIMA-1 di situs 1, dan
kompleks mutan p53 (G245S) dengan PRIMA-1 di situs 2 disimulasikan selama
7000 ps (7 ns). Hasil simulasi kemudian diolah dengan program analisis yaitu
ptraj.
1. Root Mean Square Deviation (RMSD)
Analisis yang pertama kali dilakukan adalah RMSD (root mean square
deviation) yang menggambarkan posisi sistem tiap waktu dibanding posisi
awalnya. Gambar 10 menunjukkan bahwa keempat sistem sama-sama bergeser
dari posisi awalnya. 1GZH bergeser sejauh ± 2,5 Å dari posisi awal kemudian
relatif stabil pada jarak tersebut setelah simulasi berjalan 3 ns sedangkan 2JIY
belum mencapai kestabilan posisi karena terus menjauhi posisi awal bahkan
sampai akhir simulasi. Adanya interaksi PRIMA-1 di situs 1 dan 2 pada 2JIY
ternyata mampu membuat posisi 2JIY yang tadinya terus menjauhi posisi awal
menjadi stabil pada jarak ± 2,5 Å, jarak yang sama dengan posisi stabil 1GZH
terhadap posisi awal.
Gambar 10. Grafik perbedaan RMSD sebagai fungsi waktu. 1GZH, 2JIY, 2JIY
yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1, dan 2JIY yang
berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 2 berturut-turut ditunjukkan
dengan warna hitam, merah, hijau, dan kuning.
29
2. B-factor
Seperti halnya RMSD, harga B-factor yang menggambarkan fluktuasi
atomik rata-rata sistem yang disimulasikan juga dihitung dengan ptraj. Grafik B-
factor disajikan pada gambar 11.
Pergeseran posisi berkaitan dengan fluktuasi atomik rata-rata sistem.
Berdasarkan hasil RMSD, 2JIY yang memiliki harga RMSD semakin besar sampai
akhir simulasi dianggap memiliki harga B-factor yang relatif lebih tinggi
dibanding 1GZH. Tingginya harga B-factor 2JIY dibanding 1GZH ini dapat
berasal dari tingginya fluktuasi atomik rata-rata seluruh residu 2JIY atau hanya
beberapa residu saja.
Gambar 11. Grafik perbedaan B-factor sebagai fungsi nomor residu. 1GZH, 2JIY,
2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1, dan 2JIY yang
berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 2 berturut-turut ditunjukkan
dengan warna hitam, merah, hijau, dan kuning. A. B-factor residu total,
B. B-factor residu 118-122, C. B-factor residu 241-245, D. B-factor
residu 246-250, E. B-factor residu 278-282, F. B-factor residu 281-285.
A
B C D
E F
30
Berdasarkan gambar 11 tersebut, ternyata tidak seluruh residu 2JIY
memiliki fluktuasi atomik rata-rata lebih tinggi dibanding 1GZH tetapi hanya
beberapa residu saja, yaitu residu nomor 120 (lisin), 243 (metionin), 248 (arginin),
280 (arginin), dan 283 (arginin). Di antara residu-residu 2JIY yang lain, kelima
residu tersebut memiliki harga B-factor yang jauh lebih tinggi dibanding 1GZH.
Hal tersebut dianggap terjadi karena adanya mutasi G245S pada 2JIY.
Adanya PRIMA-1 masing-masing pada situs 1 dan 2 menyebabkan
fluktuasi atomik rata-rata kelima residu pada 2JIY tersebut secara umum terlihat
berkurang. Dengan demikian, interaksi PRIMA-1 pada 2JIY di kedua situs
dianggap dapat meredam tingginya fluktuasi atomik rata-rata kelima residu
fluktuatif pada 2JIY.
3. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral
Perubahan fluktuasi atomik rata-rata yang tinggi pada residu-residu 2JIY
tersebut sangat dipengaruhi oleh fluktuasi sudut dihedral (yaitu sudut yang
terbentuk oleh 4 atom), sehingga dilakukan penyelidikan terhadap perubahan
fluktuasi sudut dihedral terhadap rentang residu (sepanjang 5 residu) yang
masing-masing melibatkan residu lisin 120, metionin 243, arginin 248, arginin
280, dan arginin 283. Fluktuasi sudut dihedral rentang residu yang melibatkan
residu 243 dan 248 tidak ditampilkan karena kedua rentang residu tersebut tidak
menunjukkan perubahan fluktuasi sudut dihedral yang signifikan (yaitu
berubahnya kisaran sudut fluktuasi dari suatu nilai ke nilai lain yang berbeda)
sehingga fluktuasi atomik rata-rata di sekitar kedua residu tersebut dianggap tidak
disebabkan oleh adanya perubahan fluktuasi sudut dihedral tetapi kemungkinan
terjadi karena frekuensi fluktuasi sudut dihedralnya yang tinggi.
31
a. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang Residu yang
Melibatkan Residu Lisin 120
Menurut Wright & Lim (2007), residu lisin 120 berikatan hidrogen dengan
O6 dan N7 basa Gua 8 pada major groove DNA. Grafik fluktuasi sudut dihedral
backbone rentang residu yang melibatkan residu lisin 120 disajikan pada gambar
12 atas. Pada gambar tersebut 1GZH memiliki fluktuasi sudut dihedral yang
relatif stabil pada kisaran sudut tertentu. Sudut dihedral ψ1, ψ2, ψ3, ψ4 1GZH
berturut-turut berfluktuasi stabil pada sekitar sudut 0°, 150°, -50°, dan 40°.
Sedangkan sudut dihedral φ1, φ2, φ3, dan φ4 1GZH berturut-turut berfluktuasi
stabil pada sekitar sudut -50°, -30°, -120°, dan -50°. Grafik fluktuasi sudut
dihedral 1GZH tersebut dijadikan sebagai pembanding untuk sistem yang lain.
Dibanding fluktuasi sudut dihedral 1GZH, 2JIY menunjukkan fluktuasi
yang relatif sama pada rentang residu ini. Perbedaan keduanya hanya terlihat pada
sudut dihedral φ3 (-60°) dan ψ4 (0°). Namun, karena fluktuasi sudut dihedral
keduanya sama-sama stabil pada kisaran sudutnya masing-masing, maka
perbedaan tersebut dianggap tidak signifikan atau dengan kata lain rentang residu
yang melibatkan residu lisin 120 2JIY secara umum dianggap sama dengan
1GZH. Dengan demikian, adanya mutasi G245S pada 2JIY tidak menyebabkan
fluktuasi sudut dihedral di rentang residu tersebut mengalami perubahan yang
signifikan.
Adanya interaksi PRIMA-1 di situs 2 pada 2JIY memperlihatkan fluktuasi
sudut dihedral yang stabil dengan profil yang mirip 2JIY. Hal ini berarti adanya
PRIMA-1 pada situs 2 tidak berpengaruh terhadap fluktuasi sudut dihedral rentang
residu yang melibatkan lisin 120 2JIY.
Interaksi PRIMA-1 di situs 1 pada 2JIY memperlihatkan fluktuasi sudut
dihedral yang berbeda dibanding ketiga sistem lainnya. Pada sistem ini terjadi
perubahan fluktuasi sudut dihedral yang signifikan setelah simulasi berjalan
sekitar 3,5 ns. Perubahan tersebut berupa berubahnya kisaran fluktuasi sudut
dihedral φ4 (melibatkan residu 121 dan 122) yang semula berada pada kisaran
sudut -50° menjadi berfluktuasi di sekitar sudut -150° dan bertahan pada kisaran
32
sudut tersebut sampai simulasi berakhir. Perubahan sudut dihedral yang terjadi
pada struktur disajikan pada gambar 12 bawah.
Gambar 12. Grafik fluktuasi sudut dihedral rentang residu 118-122 (melibatkan residu lisin 120) dan perbedaan posisi sudut dihedral selama simulasi. 1GZH, 2JIY, 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 1, dan 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 2 berturut-turut ditunjukkan dengan warna hitam, merah, hijau, dan kuning. Atas : Grafik fluktuasi sudut dihedral tiap waktu rentang residu 118-122.. Sumbu X adalah waktu (0–7000 ps) sedangkan sumbu Y adalah sudut dihedral (-200°–250°). Grafik atas adalah ψ (1–4 ke kanan) dan bawah adalah φ (1–4 ke kanan). Bawah : Posisi sudut dihedral yang melibatkan residu lisin 120 selama simulasi. A, B, C, dan seterusnya adalah gambaran pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan seterusnya. Rantai samping lisin 120 1GZH sebagai pembanding digambarkan sebagai stik.
A B C D
E F G H
33
Pada gambar 12 bawah terlihat bahwa keempat sistem tidak berimpit pada
awal simulasi (0 ns). Hal ini menunjukkan keempat sistem tidak berada pada
posisi yang sama pada awal simulasi. Pada nanosekon-nanosekon berikutnya,
posisi keempat sistem terlihat berubah baik saling berdekatan maupun saling
menjauh satu sama lain. Posisi yang keempat sistem yang saling berdekatan
terjadi pada saat 1 ns waktu simulasi. Satu ns kemudian posisinya berubah
menjadi saling menjauh satu sama lain. Pada saat 3 ns keempat sistem terlihat
berdekatan kembali. Posisi pada saat 3 ns ini juga terjadi pada saat 4 dan 5 ns di
mana posisi pada ketiga waktu tersebut relatif sama. Pada saat 6 ns keempat
sistem saling berjauhan kembali dan saat 7 ns posisi keempatnya juga berubah
dibanding sebelumnya. Dengan menjauh dan mendekatnya posisi keempat sistem
selama simulasi maka posisi pada saat berdekatan dan berjauhan dianggap tidak
berbeda nyata. Dengan fakta tersebut juga dianggap bahwa posisi keempat sistem
berfluktuasi tiap waktu.
Dilihat dari bentuk backbone, selama 7 ns waktu simulasi 1GZH, 2JIY,
dan 2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 2 tidak mengalami
perubahan bentuk backbone. Ketiganya sama-sama berupa lengkungan loop yang
tidak mengalami pelekukan ataupun perubahan akibat berubahnya sudut dihedral.
Stabilnya bentuk backbone tersebut sesuai dengan grafik fluktuasi sudut dihedral
ketiganya yang juga terlihat stabil.
Fluktuasi sudut dihedral φ4 backbone 2JIY yang berinteraksi dengan
PRIMA-1 di situs 1 telah diketahui mengalami perubahan signifikan saat 3,5 ns
waktu simulasi. Namun, bentuk backbone sebelum dan sesudah waktu tersebut
ternyata tidak berbeda nyata karena bentuknya relatif sama. Dengan demikian,
perubahan sudut dihedral φ4 tersebut dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap
posisi lisin 120 dalam berinteraksi dengan DNA. Apalagi residu yang terlibat
dalam φ4 tersebut adalah residu 121 dan 122, bukan residu lisin 120 yang telah
diketahui berperan dalam berikatan dengan DNA.
Dilihat dari arahan rantai samping lisin 120, gambar 12 bawah
memperlihatkan bahwa rantai samping lisin 120 1GZH sebagai pembanding
bersifat fleksibel (tidak tetap pada satu arahan tertentu). Dengan demikian,
34
perbedaan arahan rantai samping lisin 120 pada ketiga struktur yang lain
dibanding 1GZH dianggap tidak signifikan karena ikatan antara rantai samping
lisin 120 dengan DNA dianggap sebagai ikatan yang juga fleksibel.
b. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang Residu yang
Melibatkan Residu Arginin 248
Arginin 248 berikatan dengan minor groove DNA (Wright & Lim, 2007).
Grafik fluktuasi sudut dihedral backbone rentang residu yang melibatkan residu
arginin 248 disajikan pada gambar 13 atas. Pada gambar tersebut 1GZH sebagai
pembanding memiliki fluktuasi sudut dihedral yang relatif stabil di pada kisaran
sudut tertentu. Sudut dihedral ψ1, ψ2, ψ3, ψ4 1GZH berturut-turut berfluktuasi
stabil pada sekitar sudut 0°, 50°, 0°, dan 150°. Sedangkan sudut dihedral φ1, φ2,
φ3, dan φ4 1GZH berturut-turut berfluktuasi stabil pada sekitar sudut -50°, -100°, -
150°, dan -80°. Grafik fluktuasi sudut dihedral 1GZH tersebut dijadikan sebagai
pembanding untuk sistem yang lain.
Berbeda dengan fluktuasi sudut dihedral rentang residu yang melibatkan
residu lisin 120, rentang residu 2JIY yang melibatkan arginin 248 mengalami
perubahan fluktuasi sudut dihedral yang signifikan setelah simulasi berjalan
sekitar 4,5 ns. Sudut dihedral yang berubah fluktuasinya tersebut adalah φ1
(melibatkan residu 246 dan 247) di mana kisaran fluktuasi sudut dihedralnya
berubah dari 50° menjadi -50°. Perubahan tersebut menyebabkan sudut dihedral
ψ2 dan φ2 (keduanya melibatkan residu 247 dan 248) yang berada di sebelahnya
juga mengalami perubahan kisaran fluktuasi sudut dihedral. ψ2 berubah dari 50°
menjadi 120° dan φ2 berubah dari -100° menjadi -50°. Perubahan sudut dihedral
φ2 tidak langsung menyebabkan berubahnya sudut dihedral ψ3 (melibatkan residu
248 dan 249) yang berada di sebelahnya tetapi mengubah kisaran sudut dihedral
yang letaknya lebih jauh yaitu φ3 (melibatkan residu 248 dan 249) di mana
fluktuasi sudut dihedral yang tadinya berada di sekitar -50° berubah menjadi di
sekitar sudut -150°. Oleh karena itu, sudut dihedral φ2 dan ψ3 dianggap rigid.
Perubahan sudut dihedral φ3 menyebabkan berubahnya sudut dihedral di
35
sebelahnya yaitu ψ4 (melibatkan residu 249 dan 250) yang kisaran fluktuasi sudut
dihedralnya berubah dari 150° menjadi 100°.
Perubahan-perubahan tersebut dianggap terjadi sebagai akibat adanya
mutasi G245S pada 2JIY. Dengan demikian, adanya mutasi G245S pada 2JIY
menyebabkan berubahnya sudut dihedral yang melibatkan arginin 248 sehingga
ikatan antara arginin 248 dengan DNA menjadi terganggu. Dengan terganggunya
kestabilan ikatan antara arginin 248 dengan DNA tersebut, maka fungsi domain
inti p53 yaitu berikatan dengan DNA, menjadi terganggu.
Adanya interaksi PRIMA-1 di situs 1 pada mulanya cukup mampu
meredam perubahan-perubahan fluktuasi sudut dihedral yang terjadi. Hal ini
terlihat dari grafik fluktuasi sudut dihedral yang stabil. Akan tetapi, stabilnya
grafik fluktuasi sudut dihedral tersebut tidak bertahan sampai akhir simulasi
karena saat simulasi berjalan sekitar 6,3 ns, terjadi perubahan-perubahan yang
signifikan yang menyerupai perubahan-perubahan pada 2JIY. Sudut dihedral yang
berubah tersebut di antaranya adalah φ1. Perubahan ini secara langsung
menyebabkan sudut dihedral yang berada di sebelahnya yaitu ψ2 berubah.
Perubahan kedua sudut dihedral tersebut juga terjadi pada 2JIY. Namun, berbeda
dengan perubahan yang terjadi pada 2JIY, perubahan sudut dihedral ψ2 ini tidak
diikuti oleh perubahan sudut dihedral di sebelahnya (sudut dihedral φ2, ψ3, dan φ3
) sehingga sudut dihedral ψ2, φ2, ψ3, dan φ3 dianggap rigid. Perubahan ψ2
menyebabkan perubahan sudut dihedral ψ4. Dengan demikian, adanya interaksi
PRIMA-1 di situs 1 2JIY tidak mampu meredam perubahan fluktuasi sudut
dihedral yang terjadi sehingga interaksi antara arginin 248 dengan DNA masih
terganggu.
Berbeda dengan di situs 1, interaksi PRIMA-1 di situs 2 2JIY mampu
meredam perubahan-perubahan fluktuasi sudut dihedral 2JIY yang terjadi. Hal
tersebut ditunjukkan oleh grafik fluktuasi sudut dihedral yang stabil dari awal
sampai akhir simulasi seperti 1GZH .
Perbedaan struktur sebelum dan sesudah terjadinya perubahan sudut
dihedral disajikan pada gambar 13 bawah. Seperti halnya pada rentang residu
yang melibatkan lisin 120, gambar 13 juga memperlihatkan bahwa secara umum
36
selama 7 ns keempat sistem kadang saling berdekatan dan kadang saling
berjauhan posisinya. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang disimulasikan
memiliki posisi yang cukup fluktuatif atau tidak stabil pada satu tempat.
Gambar 13. Grafik fluktuasi sudut dihedral rentang residu 246-250 (melibatkan residu arginin 248) dan perbedaan posisi sudut dihedral selama simulasi. 1GZH, 2JIY, 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 1, dan 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 2 berturut-turut ditunjukkan dengan warna hitam, merah, hijau, dan kuning. Atas : Grafik fluktuasi sudut dihedral tiap waktu rentang residu 246-250. Sumbu X adalah waktu (0–7000 ps) sedangkan sumbu Y adalah sudut dihedral (-200°–250°). Grafik atas adalah ψ (1–4 ke kanan) dan bawah adalah φ (1–4 ke kanan). Bawah : Posisi sudut dihedral yang melibatkan residu arginin 248 selama simulasi. A, B, C, dan seterusnya adalah gambaran pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan seterusnya. Rantai samping arginin 248 1GZH sebagai pembanding digambarkan sebagai stik.
A B C D
E F G H
37
Perubahan struktur yang signifikan terlihat pada backbone 2JIY pada saat
5, 6, dan 7 ns waktu simulasi. Perubahan tersebut berupa bagian tengah backbone
yang mengalami pelekukan padahal sejak awal sampai 4 ns waktu simulasi bagian
tengah backbone tersebut tidak terlihat melekuk. Perubahan ini sesuai dengan
grafik pada gambar 13 atas yang menunjukkan terjadinya perubahan fluktuasi
sudut dihedral 2JIY setelah simulasi berjalan sekitar 4,5 ns sehingga gambar
backbone sebelum dan sesudah waktu tersebut terlihat berbeda.
Bagian tengah backbone tersebut merupakan residu arginin 248. Dengan
pelekukan backbone, maka arah rantai samping arginin 248 akan berubah. Dengan
berubahnya arah rantai samping tersebut, maka ikatannya dengan DNA dapat
terganggu.
Perubahan sudut dihedral backbone pada 2JIY tersebut juga terjadi pada
2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1 di mana selama 0–6 ns waktu
simulasi, backbone dan rantai samping 2JIY tersebut tidak banyak berubah,
namun setelah simulasi berjalan 7 ns, posisinya menjadi berimpit dengan posisi
2JIY yang sebelumnya diketahui bahwa 2JIY tersebut mengalami perubahan
pelekukan di bagian tengah backbone. Perubahan ini sesuai dengan grafik pada
gambar 13 atas yang menunjukkan bahwa 2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-
1 di situs 1 mengalami perubahan fluktuasi sudut dihedral menyerupai 2JIY
setelah simulasi berjalan sekitar 6,3 ns. Dengan demikian, posisi 2JIY yang
berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1 dianggap menyerupai posisi 2JIY yaitu
mengalami pelekukan di bagian tengah backbone sehingga interaksi PRIMA-1 di
situs 1 tidak mampu mencegah terjadinya pelekukan bagian tengah backbone
yang menyebabkan ikatan antara arginin 248 dengan DNA menjadi terganggu.
Berbeda dengan di situs 1, adanya interaksi PRIMA-1 di situs 2 tidak
menyebabkan perubahan backbone 2JIY. Hal ini sesuai dengan grafik fluktuasi
sudut dihedral pada gambar 13 atas yang stabil selam simulasi. Dengan demikian,
interaksi PRIMA-1 di situs 1 mampu mengembalikan bentuk backbone 2JIY yang
tadinya melekuk menjadi seperti bentuk backbone 1GZH yang tidak mengalami
pelekukan.
38
c. Perubahan Fluktuasi Sudut Dihedral Backbone Rentang Residu yang
Melibatkan Residu Arginin 280
Arginin 280 berinteraksi dengan atom-atom basa pada major groove DNA
(Wright & Lim, 2007). Grafik fluktuasi sudut dihedral backbone rentang residu
yang melibatkan residu arginin 280 disajikan pada gambar 14 atas. Pada gambar
tersebut 1GZH sebagai pembanding memiliki fluktuasi sudut dihedral yang relatif
stabil pada kisaran sudut tertentu. Sudut dihedral ψ1, ψ2, ψ3, dan ψ4 1GZH
berfluktuasi stabil pada sekitar sudut -20°. Sedangkan sudut dihedral φ1, φ2, φ3,
dan φ4 1GZH berturut-turut berfluktuasi stabil pada sekitar sudut -70°. Grafik
fluktuasi sudut dihedral 1GZH tersebut dijadikan sebagai pembanding untuk
sistem yang lain.
Dibanding fluktuasi sudut dihedral 1GZH, 2JIY menunjukkan fluktuasi
yang relatif sama pada rentang residu ini sehingga rentang residu yang melibatkan
residu arginin 280 2JIY secara umum dianggap sama dengan 1GZH. Dengan
demikian, adanya mutasi G245S pada 2JIY tidak menyebabkan fluktuasi sudut
dihedral di rentang residu tersebut mengalami perubahan yang signifikan.
Adanya interaksi PRIMA-1 pada situs 1 2JIY juga memperlihatkan
fluktuasi sudut dihedral yang sama dengan 1GZH dan 2JIY. Namun, adanya
interaksi PRIMA-1 pada situs 2 2JIY ternyata memperlihatkan fluktuasi sudut
dihedral yang sedikit berbeda dibanding ketiga sistem yang lain. Perbedaan
tersebut terletak pada berubahnya fluktuasi sudut dihedral φ2 (melibatkan residu
279 dan 280) yang semula stabil di sekitar sudut -70° menjadi berfluktuasi di
sekitar -120° setelah simulasi berjalan 3,5 ns. Keadaan setelah perubahan tersebut
bertahan selama beberapa nanosekon kemudian setelah simulasi berjalan selama 6
ns fluktuasi sudut dihedral tersebut berubah kembali menjadi seperti semula.
Perubahan sudut dihedral yang terjadi pada struktur disajikan pada gambar
14 bawah. Seperti halnya pada rentang residu yang melibatkan lisin 120 dan
arginin 248, gambar 14 bawah juga memperlihatkan bahwa selama 7 ns waktu
simulasi keempat sistem kadang saling berdekatan dan kadang saling berjauhan
posisinya yang menunjukkan bahwa sistem yang disimulasikan memiliki posisi
yang cukup fluktuatif atau tidak stabil pada satu tempat.
39
Gambar 14. Grafik fluktuasi sudut dihedral rentang residu 278-282 (melibatkan
residu arginin 280) dan perbedaan posisi sudut dihedral selama
simulasi. 1GZH, 2JIY, 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 1,
dan 2JIY yang direaktivasi PRIMA-1 di situs 2 berturut-turut
ditunjukkan dengan warna hitam, merah, hijau, dan kuning. Atas :
Grafik fluktuasi sudut dihedral tiap waktu rentang residu 278-282.
Sumbu X adalah waktu (0–7000 ps) sedangkan sumbu Y adalah sudut
dihedral (-200°–250°). Grafik atas adalah ψ (1–4 ke kanan) dan bawah
adalah φ (1–4 ke kanan). Bawah : Posisi sudut dihedral yang
melibatkan residu arginin 280 selama simulasi. A, B, C, dan
seterusnya adalah gambaran pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan seterusnya.
Rantai samping arginin 280 1GZH sebagai pembanding digambarkan
sebagai stik.
D C B A
E F G H
40
Pada gambar tersebut terlihat bahwa selama 7 ns waktu simulasi 1GZH,
2JIY, dan 2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1 tidak mengalami
perubahan bentuk backbone. Ketiganya sama-sama berupa α-heliks yang tidak
mengalami pelekukan ataupun perubahan akibat berubahnya sudut dihedral.
Stabilnya bentuk backbone tersebut sesuai dengan grafik fluktuasi sudut dihedral
ketiganya yang juga terlihat stabil.
Fluktuasi sudut dihedral φ2 backbone 2JIY yang berinteraksi dengan
PRIMA-1 di situs 2 telah diketahui mengalami perubahan signifikan saat 3,5 ns
waktu simulasi kemudian berubah kembali pada kisaran sudut sebelumnya setelah
simulasi berjalan sekitar 6 ns. Namun, setelah perubahan tersebut ternyata tidak
terdapat perbedaan bentuk backbone yang nyata karena bentuknya relatif sama.
Dengan demikian, perubahan fluktuasi sudut dihedral φ2 pada 2JIY yang
berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 2 dianggap tidak berpengaruh terhadap
fungsi arginin 280 2JIY dalam berikatan dengan DNA, apalagi setelah 6 ns
fluktuasi sudut dihedralnya kembali berkisar pada kisaran sudut semula.
4. Posisi PRIMA-1 terhadap 2JIY
Perubahan-perubahan signifikan sudut dihedral pada 2JIY yang masing-
masing berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1 dan 2 diduga terjadi sebagai
akibat dari adanya interaksi PRIMA-1. Perbedaan perubahan sudut dihedral
keduanya dimungkinkan terjadi karena perbedaan letak interaksi PRIMA-1 dengan
2JIY. Letak PRIMA-1 terhadap 2JIY disajikan pada gambar 15.
Berdasarkan gambar 15, posisi PRIMA-1 yang berinteraksi dengan 2JIY di
situs 1 dan 2 ternyata memiliki perilaku yang berbeda saat disimulasikan. Saat 3
ns pertama waktu simulasi, PRIMA-1 di situs 1 masih berdekatan dengan protein
2JIY tetapi menjauh setelah 4 ns dan tidak kembali lagi bahkan sampai simulasi
berakhir. Berdasarkan gambar 12 atas, PRIMA-1 diduga menjauhi situs 1 pada
saat 3,5 ns waktu simulasi seiring dengan berubahnya fluktuasi sudut dihedral
2JIY yang berinteraksi dengan PRIMA-1 di situs 1. Sedangkan di situs 2 PRIMA-1
tetap berdekatan dengan 2JIY sampai 7 ns meskipun saat 6 ns sempat menjauh.
Menjauhnya PRIMA-1 dari situs 2 pada saat 6 ns tersebut tidak berpengaruh
41
terhadap perubahan fluktuasi sudut dihedral karena pada grafik gambar 12, 13,dan
14 atas tidak terdapat perubahan fluktuasi sudut dihedral yang signifikan pada
rentang waktu 5−7 ns, apalagi pada saat 7 ns PRIMA-1 sudah kembali berada di
situs 2 2JIY.
Gambar 15. Perbandingan posisi PRIMA-1 pada 2JIY di situs 1 dan 2 selama
simulasi. PRIMA-1 (digambarkan sebagai spherical) yang
berinteraksi dengan 2JIY (digambarkan sebagai pita) di situs 1
ditunjukkan dengan warna hijau sedangkan sedangkan di situs 2
ditunjukkan dengan warna kuning. A, B, C, dan seterusnya adalah
gambaran pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan seterusnya.
C
B
A
D
E
F
G
H
42
5. Interaksi PRIMA-1 dengan 2JIY di situs 1 dan 2
Menurut Lambert et al. (2009), PRIMA-1 dapat mempromosikan folding
(pelekukan) yang benar dari domain inti dengan cara membentuk kontak
tambahan dengan asam amino domain inti melalui ikatan hidrogen dan/atau
interaksi hidrofobik. Posisi PRIMA-1 di situs 1 2JIY disajikan pada gambar 16
kiri. Selama 2 ns waktu simulasi, PRIMA-1 di situs tersebut terlihat bergulir
(bergeser sambil berputar) dari posisi awalnya. Perilaku PRIMA-1 tersebut
dianggap terjadi karena adanya interaksi ikatan hidrogen yang menahan PRIMA-1
untuk terus berdekatan dengan 2JIY.
Berdasarkan gambar 16 kanan, pada 0 ns waktu simulasi terdapat lima
jarak atom yang berpotensi membentuk ikatan hidrogen, yaitu atom pada residu
arginin 174 2JIY (tipe atom NH2) dengan atom pada PRIMA-1 (tipe atom O2),
valin 172 (O) dengan PRIMA-1 (O2), glisin 244 (O) dengan PRIMA-1 (N1), dan
glisin 244 (O) dengan PRIMA-1 (O1).
Jarak atom arginin 174 2JIY (NH2)–O2 PRIMA-1 terlihat dekat pada 0 ns
kemudian perlahan saling menjauh hingga berjarak 10 Å satu sama lain pada saat
1 ns waktu simulasi, kemudian mendekat dan menjauh kembali dengan jarak 10 Å
juga ketika mendekati 2 ns waktu simulasi. Pada saat 2 ns waktu simulasi,
sebenarnya keduanya berjarak cukup dekat tetapi tidak terjadi ikatan hidrogen.
Setelah melebihi 2 ns waktu simulasi kedua atom tersebut saling menjauhi bahkan
melebihi jarak 40 Å meskipun pada akhir simulasi keduanya kembali saling
mendekat mencapai jarak sekitar 30 Å satu sama lain. Dengan jarak 30 Å ikatan
hidrogen tidak mungkin terjadi antara 2 atom tersebut.
Atom glisin 244 (O) dengan PRIMA-1 (N1) mulanya berdekatan (0 ns)
dan membentuk ikatan hidrogen. Namun keduanya kemudian semakin menjauh
apalagi setelah 2 ns waktu simulasi. Perilaku yang sama juga ditunjukkan oleh
jarak atom glisin 244 (O) dengan O PRIMA-1.
Jarak atom valin 172 (O)–O2 PRIMA-1 memiliki fluktuasi jarak yang
hampir sama dengan jarak atom arginin 174 2JIY (NH2)–O2 PRIMA-1. Akan
tetapi jarak atom valin 172 (O)–O2 PRIMA-1 yang berdekatan pada saat 2 ns
waktu simulasi memungkinkan keduanya untuk membentuk ikatan hidrogen.
43
Gambar 16. Posisi PRIMA-1 di situs 1 dan jarak atom yang terlibat ikatan
hidrogen selama simulasi. Kiri : Posisi PRIMA-1 (digambarkan
sebagai bola dan stik) di situs 1 terhadap 2JIY (digambarkan
sebagai surface berwarna hijau) pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan
seterusnya sebagai A, B, C, dan seterusnya. Warna merah, jingga,
kuning, biru, ungu berturut-turut adalah sistein, valin 172, arginin
174, glisin 244, dan arginin 249. Kanan : Jarak atom yang terlibat
dalam ikatan hidrogen antara 2JIY dengan PRIMA-1 di situs 1.
Warna merah, kuning, hijau, biru, dan ungu berturut-turut adalah
jarak arginin 174 (NH2) dengan O2 PRIMA-1, jarak glisin 244 (O)
dengan N1 PRIMA-1, jarak glisin 244 (O) dengan O PRIMA-1,
jarak O2 PRIMA-1 dengan valin 172 (O), dan O3 PRIMA-1 dengan
arginin 249 (NH2).
Jarak atom arginin 249 2JIY (tipe atom NH2) dengan atom pada PRIMA-1
(tipe atom O3) menunjukkan fluktuasi yang agak berbeda di mana pada 0 ns jarak
arginin 2JIY (NH2)–O3 PRIMA-1 sekitar 10 Å, kemudian mendekat dan menjauh
C
B
A
D
E
F
G
H
ja
rak
(ang
stro
m)
waktu (ps)
44
pada saat mendekati 1 ns waktu simulasi. Pada saat 1 ns waktu simulasi jarak
keduanya justru sangat dekat yang memungkinkan keduanya membentuk ikatan
hidrogen. Namun jarak yang dekat tersebut tidak bertahan lama karena setelah
melewati waktu 2 ns keduanya saling menjauh meskipun kembali mendekat pada
akhir simulasi yaitu mencapai jarak 20 Å. Jarak yang cukup jauh ini tidak
memungkin terjadinya ikatan hidrogen antara keduanya.
PRIMA-1 di situs 2 2JIY menunjukkan perilaku yang berbeda dibanding
ketika berinteraksi dengan 2JIY di situs 1. Gambar 17 kiri memperlihatkan bahwa
selama 5 ns waktu simulasi PRIMA-1 berinteraksi dengan 2JIY kemudian terlihat
menjauh pada saat 6 ns dan kembali berinteraksi dengan situs 2 pada saat 7 ns.
Hal ini berarti bahwa interaksi PRIMA-1 di situs 2 terjadi sebanyak dua kali. Fakta
ini relevan dengan hasil penelitian Lambert et al. (2009) yang menyatakan bahwa
mutan p53 His175 berikatan sebanyak dua kali dengan PRIMA-1 sebagaimana
yang terjadi pada p53 wild type .
Seperti pada situs 1, PRIMA-1 di situs 2 juga dipertahankan posisinya agar
tetap berdekatan dengan 2JIY melalui interaksi ikatan hidrogen. Berdasarkan
gambar 17 kanan terdapat 5 jarak atom yang berpotensi membentuk ikatan
hidrogen.
Pada 0 ns, jarak atom yang berpotensi membentuk ikatan hidrogen adalah
jarak sistein 277 (SG)–O2 PRIMA-1. Dua atom tersebut membentuk ikatan
hidrogen hanya pada saat 0 ns karena pada waktu-waktu berikutnya jarak
keduanya cukup fluktuatif yaitu perlahan menjauh, mendekat, menjauh hingga 10
Å saat mendekati 2 ns waktu simulasi, kemudian perlahan mendekat lagi saat
mendekati 4 ns. Setelah 4 ns, keduanya saling menjauh lebih jauh dari
sebelumnya. Pada saat 1 ns, jarak alanin 276 (O) 2JIY–O2 PRIMA-1
memungkinkan terbentuknya ikatan hidrogen antara keduanya. Beberapa
pikosekon setelah 1 ns waktu simulasi keduanya saling menjauh (yang berarti
ikatan hidrogen yang terjadi terputus) tetapi mendekat kembali ketika mendekati
waktu 2 ns. Pada saat 2 ns ikatan hidrogen tersebut terbentuk kembali. Namun
ikatan tersebut segera putus karena jarak keduanya kemudian menjauh hingga
melebihi jarak 4 Å. Meskipun keduanya sempat saling mendekat hingga berjarak
45
Gambar 17. Posisi PRIMA-1 di situs 2 dan jarak atom yang terlibat ikatan
hidrogen selama simulasi. Kiri : Posisi PRIMA-1 (digambarkan
sebagai bola dan stik) di situs 2 terhadap 2JIY (digambarkan sebagai
surface berwarna kuning) pada saat 0, 1, 2, 3 ns, dan seterusnya
sebagai A, B, C, dan seterusnya. Warna merah, hijau, ungu, biru,
jingga, dan abu-abu berturut-turut adalah sistein, serin 121, threonin
123, lisin 139, leusin 137, alanin 276. Kanan : Jarak atom yang
terlibat dalam ikatan hidrogen antara 2JIY dengan PRIMA-1 di situs
2. Warna merah, kuning, hijau, biru, dan ungu berturut-turut adalah
jarak leusin 137 (N) dengan O3 PRIMA-1, O1 PRIMA-1 dengan
alanin 276 (O), O2 PRIMA-1 dengan alanin 276 (O), O3 PRIMA-1
dengan alanin 276 (O), dan O2 PRIMA-1 dengan sistein 277 (SG).
sekitar 3 Å pada sekitar 2,3–3,7 ns waktu simulasi ikatan hidrogen tidak terbentuk
lagi. Setelah 4 ns waktu simulasi ikatan hidrogen antara keduanya tidak mungkin
terbentuk karena jarak keduanya yang semakin menjauh hingga berjarak di atas 6
Å. Selain 2 atom tersebut, saat 2 ns terdapat atom-atom lain yang juga berpotensi
C
A
B
D
E
F
G
H
jara
k (a
ngst
rom
)
waktu (ps)
46
membentuk ikatan hidrogen, yaitu alanin 276 (O)–O1 PRIMA-1 di mana
keduanya berdekatan dengan jarak sekitar 3 Å dalam rentang waktu 2,3–3,5
waktu simulasi. Ikatan hidrogen antara keduanya juga terjadi pada saat 3 ns waktu
simulasi. Setelah 3,5 ns waktu simulasi keduanya berjarak jauh satu sama lain
sehingga ikatan hidrogen tidak mungkin terjadi. Saat 4 ns hanya ada satu jarak
atom yang berpotensi membentuk ikatan hidrogen, yaitu atom pada alanin 276
(tipe atom O) dengan atom O PRIMA-1 (tipe atom O3). Sejak awal simulasi
keduanya berjarak cukup jauh, sekitar 7 Å lalu mendekat saat 4 ns waktu simulasi.
Setelah 4 ns, keduanya tidak membentuk ikatan hidrogen lagi karena jarak
keduanya yang fluktuatif meskipun cukup dekat dibanding jarak sebelum 4 ns.
Satu nanosekon berikutnya jarak leusin 137 (N)–O3 PRIMA-1 memungkinkan 2
atom tersebut membentuk ikatan hidrogen. Pada mulanya kedua atom tersebut
berjarak sangat jauh satu sama lain yaitu di atas 12 Å. Keduanya kemudian
mendekat menjelang 5 ns waktu simulasi. Ketika simulasi berjalan hampir 6 ns,
jarak keduanya menjauh kemudian mendekat lagi menjelang 7 ns waktu simulasi.
Pada saat 7 ns inilah ikatan hidrogen antara keduanya kembali terjadi.
Pada saat 6 ns waktu simulasi tidak terdapat jarak atom yang berpotensi
membentuk ikatan hidrogen. Fakta ini relevan dengan data sebelumnya yaitu
gambar 15 yang menunjukkan posisi PRIMA-1 yang sangat jauh dari situs 2. Data
ini juga diperkuat oleh gambar 17 kiri yang menunjukkan bahwa PRIMA-1 tidak
berada di situs 2 pada saat 6 ns waktu simulasi.
6. Perbedaan Probabilitas Terjadinya Reaktivasi 2JIY di Situs 1 dan 2
Perubahan konformasi backbone yang melibatkan residu arginin 248 2JIY
sebagai akibat adanya mutasi G245S pada mulanya dapat dikembalikan menjadi
bentuk seperti wild type dengan adanya interaksi PRIMA-1 pada 2JIY baik di
situs 1 maupun 2. Di situs 1 (yang berada dekat dengan arginin 248),
pengembalian konformasi diduga terjadi secara langsung dengan adanya ikatan
hidrogen di sekitar residu serin 245 sehingga konformasi yang tadinya berubah
akibat mutasi dapat dikembalikan menjadi seperti konformasi wild type (1GZH).
47
Namun, pulihnya konformasi tersebut menjadi tidak berarti karena setelah 6 ns
waktu simulasi konformasi kembali berubah menjadi seperti semula.
Berbeda dengan di situs 1, adanya PRIMA-1 di situs 2 mampu
mengembalikan konformasi yang berubah bahkan sampai akhir simulasi. Namun,
karena situs 2 letaknya jauh dari arginin 248, maka pengembalian konformasi
diduga terjadi tidak secara langsung atau dengan kata lain adanya ikatan hidrogen
antara PRIMA-1 dengan 2JIY di situs tersebut tidak secara langsung
mengembalikan konformasi yang berubah.
Dibanding situs 1, situs 2 memiliki sistein permukaan yang lebih banyak.
Sistein-sistein permukaan pada 2JIY berperan penting dalam berinteraksi dengan
PRIMA-1 kaitannya dengan pengembalian konformasinya karena menurut
Lambert et al. (2009) modifikasi kovalen dari satu atau beberapa residu sistein
dalam domain inti p53 bertanggung jawab terhadap restorasi konformasinya.
Lambert et al. (2009) juga menyatakan bahwa PRIMA-1 berinteraksi dengan
protein dengan cara dikonversi terlebih dahulu menjadi senyawa-senyawa reaktif,
kemudian mengalkilasi gugus tiol dalam protein. Sistein yang terletak di
permukaan domain inti sangat berpotensi untuk dimodifikasi oleh PRIMA-1.
Lebih lamanya PRIMA-1 bertahan dan tingginya jumlah sistein permukaan
di situs 2 menyebabkan 2JIY memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk
direaktivasi melalui situs 2 oleh PRIMA-1. Dengan demikian, perbedaan energi
docking kedua situs sebesar 2,8 kkal/mol ternyata cukup mampu menunjukkan
perbedaan dinamika interaksi PRIMA-1 dengan 2JIY.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Interaksi PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) di situs 1 terjadi dengan
pembentukan ikatan hidrogen di sekitar residu lisin 245 yaitu melibatkan residu
valin 172, arginin 174, glisin 244, dan arginin 249. Sedangkan ikatan hidrogen
di situs 2 tidak terbentuk di sekitar residu lisin 245 melainkan di residu sistein
277 dan sekitarnya yaitu leusin 137 dan alanin 276.
2. Letak situs interaksi yang berbeda energi docking sebesar 2,8 kkal/mol
menunjukkan perbedaan dinamika interaksi PRIMA-1 dengan 2JIY yaitu di
situs 2 PRIMA-1 bertahan lebih lama dibanding di situs 1 yang lebih rendah
energinya. Selain itu, karena situs 2 juga merupakan daerah kaya sistein maka
reaktivasi 2JIY lebih mungkin terjadi melalui situs 2.
B. Saran
1. Penelitian ini mengungkap bahwa perbedaan energi docking kedua situs sebesar
2,8 kkal/mol menunjukkan perbedaan dinamika interaksi mutan p53 (G245S)
oleh PRIMA-1. Penelitian yang membandingkan dinamika reaktivasi mutan
p53 (G245S) 2 situs dengan selisih energi docking selain sebesar 2,80 kkal/mol
perlu dilakukan untuk mengetahui lebih detail mengenai selektivitas PRIMA-1
dalam mereaktivasi mutan p53 (G245S).
2. Penelitian ini hanya dapat mengungkap bahwa interaksi yang terjadi antara
PRIMA-1 dengan mutan p53 (G245S) adalah interaksi ikatan hidrogen.
Penelitian lebih lanjut dengan tingkat ketelitian lebih tinggi dengan metode
simulasi mekanika kuantum akan memperjelas interaksi yang terjadi selama
PRIMA-1 dipertahankan posisinya dengan ikatan hidrogen pada situs 1 dan 2.
49
DAFTAR PUSTAKA
Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., et al. 2002. Molecular
Biology of the Cell, 4th Edition. Garland Science, New York.
Arjunan, S. N. V., Deris, S., and Illias, R. M. D. 2001. Prediction of Protein
Secondary Structure. Jurnal Teknologi, 35, page : 81–90.
Bai, L. and Zhu, W. 2006. p53: Structure, Function and Therapeutic
Applications. Journal of Cancer Molecules Vol. 2. No. 4. Hal. 141-153.
Becker, O. M. 2001. Computational Biochemistry and Biophysics, Chapter 4.
Marcel Dekker, Inc, New York
Becker, O. M. and Watanabe, M., 2001. Computational Biochemistry and
Biophysics, Chapter 3. Marcel Dekker, Inc, New York.
Berendsen, H. J. C., Postma, J. P. M., van Gunsteren, W. F., DiNola, A. & Haak,
J. R. 1984. Molecular Dynamics with Coupling to An External Bath. The
J. Chem. Phys. 81, 3684±3690.
Bossi, G. and Sacchi, A. 2007. Restoration of Wild-Type p53 Function in Human
Cancer: Relevance for Tumor Therapy. Head and Neck, 29(3):272-84.
Branden C., and J. Tooze. 1991. Introduction to Protein Structure. Garland
Publishing. Inc. 3–29.
Bullock, A. N. & Fersht, A. F. 2001. Rescuing the Function of Mutant p53.
Nature Reviews Cancer. Vol. 1. Macmillan Magazines.
Bykov, V. J. N., Issaeva, N., Selivanova, G., and Wiman, K. G. 2002a. Mutant
p53-Dependent Growth Suppression Distinguishes PRIMA-1 From Known
Anticancer Drugs: A Statistical Analysis of Information In The National
Cancer Institute Database. Carcinogenesis. Vol. 23. No. 12. Hal. 2011–
2018.
Bykov, V. J. N., Issaeva, N., Shilov, A., Hultcrantz, M., Pugacheva, E., et al.
2002b. Restoration of the Tumor Suppresor Function to Mutant p53 by A
Low-Molecular Weight Compound. Nat. Med. Vol. 8. No. 3. Hal. 282 –
288.
50
Case, D. A., Pearlman, D. A., Caldwell, J. W., Cheatham, T. E. III, Wang, J., et
al. 2002. AMBER7, University of California, San Fransisco.
Cieplak, P., Cornell, W.D., Bayly, C., and Kollman, P.A. 1995. Application of the
Multimolecule and Multiconformational RESP Methodology to
Biopolymers - Charge Derivation for DNA, RNA and Proteins. J. Comp.
Chem. 16:1357-1377.
Cox, L. S., Hupp, T., Midgley, C. A., and Lane, D. P. 1996. A Direct Effect of
Activated Human p53 on Nuclear DNA Replication. EMBO J., 14:
2099−2105.
Derbyshire, D., Basu, B., Serpel, L., Joo, W., date,T., Iwabuchi, K., and Doherty,
A., 2002, Crystal Structure of Human 53BP1 BRCT Domains Bound to p53
Tumour Suppressor, EMBO J., 21: pp. 3868.
Dornan D., Shimizu, H.,Burch, L., Smith, A. J., and Hupp, T. R. 2003. The
Proline Repeat Domain of p53 Binds Directly to the Transcriptional
Coactivator p300 and Allosterically Controls DNA-dependent Acetylation
of p53. Molecular and Cellular Biology, 23: 8846−8861.
Enoch, T. and Norbury, C. 1995. Cellular Responses to DNA Damage: Cell-Cycle
Checkpoints, Apoptosis and the Roles of p53 and ATM. Trends in
Biochem. Sci., 20: 426−430.
Enten, J. and Monson, M. 2005. DNA Cell Cycle Analysis with 4′, 6-Diamidino-2-
Phenylindole (DAPI) or Propidium Iodide (PI) Nuclear Stains. Cellular
Analysis Business Center, Beckman Coulter, Miami.
Esposito, E. X., Tobi, D., and Madura, J. D. 2006. Reviews In Computational
Chemistry. Vol. 22, Chapter 2, Page: 57&133. JohnWiley&Sons, New
Jersey.
Fabbro, M. and Henderson, B. R. 2003. Regulation of Tumor Suppressors by
Nuclear-Cytoplasmic Shuttling. Experimental Cell Research, 282: 59−69.
Friedler, A., Hansson, L. O., Veprintsev, D. B., Freund, S. M. V., Rippin, T. M.,
et. al. 2002. A Peptide that Binds and Stabilizes p53 Core Domain:
Chaperone Strategy for Rescue of Oncogenic Mutants. Proc. Natl Acad.
Sci., vol. 99 no. 4 (937–942). USA.
51
Frisch M. J., Trucks G. W., Schlegel H. B., Scuseria G. E., Robb M. A., et al.,
1995. Gaussian98 (Revision A.1), Gaussian, Inc., Pittsburgh PA.
Hadi, M. dan Nurlaila, I. 2008. Pemodelan Nonlinier Reaksi Difusi Pertumbuhan
Kanker. Diakses 18 Oktober 2008 dari
http://www.nano.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1203647897.
Hanahan, D. & Weinberg, R. A. 2000. The Hallmarks of Cancer. Cell 100: 57–70.
Hindarto, S. Y. 2008. 2010, Kanker Jadi Penyebab Kematian Terbanyak. Diakses
19 Januari 2009 dari
http://techno.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/12/56/172972/20
10-kanker-jadi-penyebab-kematian-terbanyak.
Humphrey, W., Dalke, A., and Schulten, K. 1996. VMD—Visual Molecular
Dynamics, J. Mol. Graphics 14, 33–38 (1996).
Ismono, D. & Anggono, T. 2009. Biomol & Genetic of MST. Department of
Orthopaedic Surgery and Traumatology, Hasan Sadikin General Hospital
Medical School of Padjajaran University, Bandung.
Joerger, A. C., Ang, H.C., and Fersht, A. R. 2006. Structural Basis for
Understanding Oncogenic p53 Mutantion and Designing Rescue Drugs,
Proc. Nat. Acad. Sci., 103: pp. 15056–15061.
Jorgensen, W. L., Chandrasekhar, J., Madura, J. D., Impey, R. W., and Klein, M.
L. 1983. Comparison of Simple Potential Functions for Simulating Liquid
Water. J. Chem. Phys., 79, 926-935.
Karjiban, R. A., Rahman, M. B. A., Basri, B., Salleh, A. B. Jacobs, D. et al. 2009.
Molecular Dynamics Study of the Structure, Flexibility and Dynamics of
Thermostable L1 Lipase at High Temperatures. Protein J. 28:14–23.
Kawata, M. and Nagashima, U. 2001. Particle Mesh Ewald Method For Three-
Dimensional Systems With Two-Dimensional Periodicity. Chemical
Physics Letters Volume 340, Issues 1-2.Pages: 165-172.
Kemp, C. J., Sun, S., and Guerley, K. E. 2001. p53 Induction and Apoptosis in
Response to Radio- and Chemotherapy in Vivo Is Tumor-Type-dependent.
Cancer Res., 61: pp. 327 – 332.
52
Keskin, O., Yuret, D., Gursoy, A., Turkay, M., and Erman, B. 2004. Relationships
Between Amino Acid Sequence and Backbone Torsion Angle Preferences.
Proteins 00:000–000.
Kumar, A. and Krishnaswamy, S. 2009. Structural Analysis of Outer Membrane
Beta-Stranded Porins Using B-factor. School of Biotechnology, Madurai
Kamaraj University, Madurai, Tamilnadu India: Poster.
Lacroix, M., Toillon, R. A., and Leclercq, G. 2006. p53 and Breast Cancer, an
Update. Endocrine-Related Cancer, 13: 293–325.
Lambert, J. M. R., Gorzov, P., Veprintsev, D. B., Soderqvist, M., Sagerback, D.,
et al. 2009. PRIMA-1 Reactivates Mutant p53 by Covalent Binding to the
Core Domain. Cancer Cell, 15:376–388.
Leach, A. R.2001. Molecular Modelling, Principles and Applications, Chapter 6
and 7. Prentice-Hall, USA, pp. : 303, 307, 353, 367.
Lee, S., Elenbaas, B., Levine, A., and Griffith, J. 1995. p53 and its 14 kDa C-
Terminal Domain Recognize Primary DNA Damage in the Form of
Insertion/Deletion Mismatches. Cell, 81: 1013−1020.
Li Y., Mao Y., Brandt-Rauf P. W., Williams A. C., and Fine R. L. 2005. Selective
Induction of Apoptosis in mutant p53 Premalignant and Malignant Cancer
Cells by PRIMA-1 Through the C-Jun-NH2-kinase Pathway. Mol. Cancer
Ther., 4(6): 901-9.
Maliya, A. 2004. Perubahan Sel Menjadi Kanker dari Sudut Pandang biologi
Molekuler. Infokes Vol. 8 No. 1. pp. : 22−26. Diakses 6 September 2008
dari http://eprints.ums.ac.id/journal/index.php?t=infokes.
Martin, S. J., Green, D. R., and Cotter, T. G. 1994. Dicing with Death: Dissecting
the Components of the Apoptosis Machinery. Trends in Biochem. Sci., 19:
26–30.
MathWorks, Inc. 2004. Natick, Massachusetts, USA.
Molinelli, A. 2004. Molecularly Imprinted Polymers : Towards a Rational
Understanding of Biomimetic Materials. Georgia Institute of Technology,
Georgia.
53
Murray, R. K., Granner, D. K., Mayes, P. A., and Rodwell, V. W. 1998. Harpers
Biochemistry. 62: 779-800. Prentice-Hall International, USA.
Nelson, W. G. and Kastan, M. B. 1994. DNA Strand Breaks : The DNA Template
Alterations that Trigger p53-dependent Damage Response Pathways. Mol.
Cell. Biol., 14: 1815−1823.
Peng, Y., Li, C., Chen, L., Sebti, S., and Chen, J. 2003. Rescue of Mutant p53
Transcription function by Ellipticine. Oncogene, 22: pp. 4478 – 4487.
Pettersen, E. F., Goddard, T. D., Huang, C. C., Couch, G. S., Greenblatt, D. M., et
al., 2004. UCSF Chimera - A Visualization Sistem for Exploratory
Research and Analysis., J. Comput. Chem., 25: pp. 1605–12.
Savkur, R. S. and Burris T. P. 2004. The Coactivator LXXLL Nuclear Receptor
Recognition Motif. Journal of Peptide Research, 63 : 207_212.
Thomas M., Kalita A., Labrecque, S., Pim, D., Banks, L., and Matlashewski, G.
1999. Two Polymorphic Variants of Wild-type p53 Differ Biochemically
and Biologically. Molecular and Cellular Biology, 19: 1092−1100.
Turner, T. E. 2004. Molecular Dynamics Simulations of the 2EGF:2EGFR
Complex for Understanding Receptor Function. London, University of
London: Thesis.
Warsino. 2008. Interaksi Spesifik PRIMA-1 dengan p53 Untuk Kemoterapi
Kanker Melalui Reaktivasi p53 Termutasi. Jurusan Kimia Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Surakarta: Skripsi.
Weinberg, R. L., Freund, S. M., Veprintsev, D. B., Bycroft, M., and Fersht, A. R.
2004. Regulation of DNA Binding of p53 by its C-terminal Domain.
Journal of Molecular Biology, 342: 801−811.
Wibowo, F. R. 2005. Indirect Readout Mechanism is Conducted by DNA
Hydration and DNA Backbone Conformations. Leopold-Franzens-
University of Innsbruck, Austria: Dissertation.
Widom, B. 2002. Statistical Mechanics A Concise Introduction for Chemists.
Cambridge University Press.
Wiesmuller, L. 2001. Genetic Stabilization by p53 Involves Growth Regulatory
and Repair Pathways. Journal of Biomedicine and Biotechnology: 7–10.
54
Wong, K. B., Dedecker, B. S., Freund, S. M. V., Proctor, M. R., Bycroft, M., et.
al. 1999. Hot-spot Mutants of p53 Core Domain Evince Characteristic
Local Structural Changes. Proc. Natl. Acad. Sci., 96 (8438−8442). USA.
Wright, J. D. and Lim, C. 2007. Mechanism of DNA–Binding Loss Upon Single-
Point Mutation in p53. J. Biosci., 32(5): 827–839.