perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan...

41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i ACONG DI RUMAH JOKO Dinamika Kehidupan Masyarakat Tionghoa di Surakarta Tugas Akhir Video Dokumenter Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Disusun Oleh : Ade Rizal Aviyanto D 0204018 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan...

Page 1: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

i

ACONG DI RUMAH JOKO Dinamika Kehidupan Masyarakat Tionghoa di Surakarta

Tugas Akhir Video Dokumenter

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Disusun Oleh :

Ade Rizal Aviyanto

D 0204018

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

Page 2: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

LEMBAR PERSETUJUAN

Tugas Akhir ini telah disetujui untuk dipertahankan

Dihadapan Panitia Ujian Tugas Akhir Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Pembimbing Tugas Akhir

Drs. Aryanto Budhi Sulihyantoro, M.Si NIP. 19581123 198603 1 002

Page 3: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENGESAHAN

Telah Diuji dan Disahkan Oleh Panitia Penguji Tugas Akhir

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji

1. Drs. Surisno Satrijo U., M.Si :.......................... NIP. 19500926 198503 1 001

2. Catharina Heny Dwi S.,S.Sos, M.Si. :.......................... NIP. 19761222 200212 2 002

3. Drs. Aryanto Budhi Sulihyantoro, M.Si :.......................... NIP. 19581123 198603 1 002

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Drs. H. Supriyadi SN, SU NIP 19530128 198103 1 001

Page 4: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

MOTTO

“....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali

mereka mau berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...”

(Al-Qur’an, Surat Ar-Ra’d :11)

“...Jangan pernah takut!! Jangan pernah lemah!!!...”

(Ernesto “Che” Guevara Lynch De La Serna)

“...Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan...”

(Soe Hok Gie)

“Dream it, Plan it, Do it”

(National Geogaphic Magazine)

“If your picture aren’t good enough you’re not close enough”

(Robert Capa)

The moment, once you miss it, it is gone forefer

(Henri Cartier Bresson)

Page 5: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk bapak Wurjanto dan ibu

Syukriyah.

Untuk Hanif Aviyanto, adikku Rifky Faris Aviyanto, dan Zaini Abdul Hakim

Aviyanto.

Serta seluruh Masyarakat Solo, kuat kita bersinar.

Page 6: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

KATA PENGANTAR

Kebanggaan, inilah perasaan yang paling dirasakan penulis di saat

terselesaikannya Karya Tugas Akhir ini, setelah selama hampir 9 bulan selalu

berkutat dalam satu kesibukan saja. Sebuah kebanggaan karena merupakan usaha

yang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini

dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis telah merasakan

sebuah proses pengembangan diri di sebuah lingkungan masyarakat yang

sebenarnya. Sebuah bekal pengalaman yang sangat besar manfaatnya bagi penulis

sendiri.

Selama proses, banyak perasaan dan pengorbanan yang harus dilakukan

demi tercapainya Karya Tugas Akhir ini. Rasa senang, sedih, bingung, stress,

bangga hingga pengorbanan waktu, tenaga, materi bercampur menjadi satu.

Namun semuanya tidak ada artinya dengan pencapaian yang didapatkan penulis

kemudian.

Hanya Tuhan Sang Pencipta dan Sang Penguasa yang sempurna.

Begitupun dengan Karya Tugas Akhir ini tidak akan pernah dikatakan sempurna.

Dengan segala daya dan usaha yang dilakukan penulis selama ini, pastilah ada

hal-hal kurang dalam Karya Tugas Akhir ini. Layaknya karya manusia yang lain,

penulis terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca dan penonton

Karya Tugas Akhir ini.

Tugas akhir ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan dari orang-

orang yang selalu memberikan dukungan moril dan materiil bagi penulis selama

Page 7: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang mendukung

penulis selama ini:

1. Allah SWT, terima kasih atas anugerah kesempatan yang tak terkira ini.

2. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan FISIP UNS

3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D selaku Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi

FISIP UNS

4. Drs. Aryanto Budhi S., M.Si., selaku pembimbing Tugas Akhir ini.

5. Sumartono Hadinoto selaku Humas PMS.

6. Aji Chandra selaku Ketua MAKIN Surakarta.

7. Sudarmono selaku Sejarawan Kota Surakarta.

8. Pengurus PMS dan MAKIN Surakarta.

9. Anggota PMS dan MAKIN Surakarta.

10. Kartika Rachma dan Fatimah SW yang telah meluangkan tenaga dan

waktunya untuk mengisi VO.

11. Teman-teman Psikopat Documentary Forum terima kasih telah

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan masukan-

masukan yang sangat membantu dalam terselesaikannya film dokumenter

ini.

12. Teman-teman Psikopat (Persatuan Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2004).

13. Teman – teman Kine Klub Fisip UNS, Fisip Fotografi Club UNS.

14. Kartika Rachma untuk dukungannya.

Serta semua pihak yang belum sempat kami sebutkan satu persatu dalam tulisan

ini, penulis ucapkan terima kasih.

Page 8: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ............................................................................................................. i

LEMBAR PERSERTUJUAN ......................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ iii

MOTTO ........................................................................................................... iv

PERSEMBAHAN............................................................................................ v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

SINOPSIS ....................................................................................................... ix

SINOPSIS (ENGLISH) ................................................................................. x

BAB I : LATAR BELAKANG ........................................................................ 1

BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................ 6

BAB III : VISI, MISI dan TUJUAN PENGGARAPAN ............................... 16

BAB IV : TAHAPAN PEMBUATAN FILM DOKUMENTER ................... 17

BAB V : CATATAN PRODUKSI .................................................................. 25

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 81

LAMPIRAN

Transkrip Wawancara........................................................................................ I

Page 9: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

SINOPSIS

Tugas Akhir

ACONG DI RUMAH JOKO

Sejarah mencatat Etnis Tionghoa di Indonesia pernah mengalami sejarah kelabu,

mendapat perlakuan diskriminatif dan tidak mendapatkan hak-haknya sebagai

warga Negara Indonesia. Dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh

Pemerintahan Orde Baru, gerak – gerik etnis keturunan Cina ini sangat dibatasi.

Aktivitas kebudayaan yang berbau China (Tionghoa) termasuk hari raya

keagamaan, aktivitas keagamaan Kong Hu Chu tidak boleh dilakukan. Dalam

bidang politik dan militer pun setali tiga uang, tidak ada satupun politikus dan

militer dari kalangan Tionghoa.

Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya konflik pribumi dan

non pribumi di Indonesia dan berawal dari Kota Solo. Konflik muncul karena

adanya prasangka buruk antara golongan yang merasa sebagai kelompok pribumi

dengan golongan Tionghoa yang dianggap pendatang. Fenomena ini berulang kali

terjadi di Kota Surakarta dan ditangkap oleh seorang sejarawan Drs. Sudarmono,

SU dan merumuskan teori adanya siklus radikalisme masyarakat Solo tiap 15

tahun dan selalu merembet ke masalah etnis dan mengorbankan masyarakat

Tionghoa.

Bagaimana masyarakat Kota Solo menyikapi fenomena tersebut? Apakah

Siklus tersebut akan terulang kembali?

Page 10: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

LATAR BELAKANG

Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu,

semboyan negara yang harus selalu kita junjung tinggi. Pluralitas atau perbedaan

adalah suatu hal yang pasti ada dan menjadi keniscayaan dimanapun manusia

berpijak di dunia ini. Bahkan ketika teknologi telah berkembang begitu pesatnya,

peradaban manusia telah begitu majunya, pluralitas telah menjadi takdir yang

tidak bisa dihindarkan (inevitable desteny) di berbagai komunitas. Namun, ada

catatan penting yang diungkapkan oleh Martin Luther King Jr., bahwa meskipun

secara fisik kita tinggal bersama dalam masyarakat majemuk, tetapi secara sosial-

spiritual kita belum memahami makna sesunguhnya dari hidup bersama dengan

orang yang memiliki perbedaan kultur, yang antara lain mencakup perbedaan

agama dan etnisitas.

Begitu pula di Indonesia, dengan keadaan geografis Indonesia yang

berpulau-pulau menjadikan kebudayaan di Indonesia sangat beragam. Satu pulau

dengan pulau yang lain berbeda adat istiadat dan budayanya. Bahkan dalam satu

pulau pun terdapat banyak perbedaan adat istiadat dan budaya antara satu daerah

dengan daerah yang lain.

Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk,

ditandai dengan beragamnya penduduk Indonesia. Disamping penduduk asli

Indonesia terdapat juga golongan keturunan asing seperti golongan etnis Tionghoa

1

Page 11: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

(Cina), Arab, Pakistan, India dan lain-lain. Masing-masing golongan etnis

memiliki kebudayaan tersendiri baik dalam hal bahasa, adat istiadat, agama,

maupun latar belakang kehidupan sosial budaya. culture is a way of being,

thinking and feeling. As a driving force in society it unites individuals by

language, custom, habit and experience...for our purpose, cultural activities are

the creative elements of our existence - expressions of who we are, where we come

from, and where we wish to go.1

Keberagaman ini bisa menjadi kekuatan dan nilai lebih bagi bangsa kita

sekaligus menjadi tantangan untuk menjaga agar tetap bisa hidup selaras,

seimbang dan damai dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya

berbagai macam golongan etnis yang berdiam di Indonesia seringkali memicu

munculnya masalah rawan yang merupakan konsekuensi dari kebhinekaan

masyarakat kita, seperti masalah primordial terhadap suku, agama, dan ras.

Satu sisi, pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan tidak

dimaksudkan dan tidak mungkin menghilangkan kebhinekaan di republik ini

tetapi agar pembangunan nasional dapat berjalan lancar, segala potensi timbulnya

masalah atau konflik yang dapat timbul dari kebhinekaan tersebut perlu

diantisipasi agar tidak mengganggu jalannya pembangunan. Selain itu juga

berpotensi memunculkan masalah yang lebih besar yaitu terjadinya krisis

persatuan dan kesatuan bangsa.

1 M. Sharon Jeannotte & Dick Stanley, Journal: How Will We Live Together, Department of Canadian Heritage, Canada, 2002.

Page 12: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Merupakan kewajiban setiap Warga Negara Republik Indonesia untuk

menjaga persatuan dan kesatuan. Untuk menjaga agar kebhinekaan ini dapat

terjaga hingga terwujud ke-tunggal ika-an maka harus diwujudkan suatu toleransi

antar golongan etnis yang ada (termasuk pribumi). Salah satu wujud toleransi

tersebut dengan adanya asimilasi budaya.

Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang

ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang

terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga

meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses

mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan

bersama.

Proses asimilasi terjadi jika ada kelompok-kelompok manusia yang

berbeda kebudayaannya; orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok

tadi saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama

sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut

masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.2

Jadi masalah asimilasi yang terpenting adalah penggabungan golongan-

golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan

2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1990. 

 

Page 13: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

sosiologis dan budaya. Hal ini berarti pula ingin diambil secara fleksibel unsur

kebudayaan mana yang dibuang dan yang diambil dapat berpadu dengan harmonis

dengan unsur kebudayaan lain yang kemudian pantas disebut kebudayaan bangsa

Indonesia. Social cohesion is the ongoing process of developing a community to

shared value, shared chalanges and equal opportunity within, based on a sense of

trust, hope and reciprocity among all.3

Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi

adalah golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal itu

golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur

kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan

mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat alun kehilangan kepribadian

kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.4

Dilihat dari realitas kehidupan sosial, proses asimilasi itu sendiri tidak

mudah dan memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini dapat dilihat dari

kehidupan sehari-hari dimana golongan-golongan etnis (terutama di Surakarta)

telah bergaul secara luas dan intensif dengan penduduk sekitarnya yang mayoritas

suku Jawa, namun belum menjadikan mereka terintegrasi sepenuhnya ke dalam

masyarakat dan kebudayaan Indonesia.

3 Jane Jenson, Journal : Identifying the Links : Social Cohesion and Culture, Universite de montreal, Canada, 2002

4 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000. hal. 255 

 

Page 14: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

Dari berbagai etnis yang ada, etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis

terbesar di Indonesia. Disamping sebagai etnis terbesar, etnis Tionghoa memiliki

mobilitas yang tinggi. Tingginya mobilitas etnis inilah yang menyebabkan

terjadinya interaksi antar etnis ini dengan etnis-etnis yang ada, khususnya dengan

etnis pribumi. Hal ini terjadi merata hampir di seluruh wilayah Nusantara.

Semakin sering terjadi interaksi maka kemungkinan yang bisa terjadi

adalah terjadinya akulturasi dan asimilasi budaya antara masyarakat pribumi di

suatu daerah tertentu dengan masyarakat Tionghoa, selain itu juga muncul suatu

kemungkinan atau potensi terjadinya konflik antar golongan jika komunikasi antar

budaya tidak terjalin dengan baik.

Menilik sejarah Tionghoa di Indonesia, WNI keturunan Cina ini telah

mengalami tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintahan Republik

Indonesia pra Reformasi 1998. Setelah sekian lama hidup di bawah tekanan dan

pembatasan-pembatasan ruang gerak, Tionghoa kembali mendapatkan hak-haknya

sebagai WNI setelah era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mencabut

undang-undang dan peraturan-peraturan yang diskriminatif terhadap etnis

Tionghoa di Indonesia. Setelah mendapatkan ruang gerak dan hak-hak yang sama

sebagai WNI, bagaimana WNI keturunan Tionghoa (di Solo pada khususnya)

menjalin kembali hubungan yang merenggang dengan masyarakat Jawa.

Melupakan trauma masa lalu, menjalani masa ke depan yang lebih baik tanpa

dendam.

Page 15: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

Permasalahan diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia merupakan

warisan sejarah masa lampau, terjadi saat Belanda datang dan merusak hubungan

yang telah berjalan dengan baik antara masyarakat Tionghoa dengan Jawa.

Pemerintah Kolonial Belanda menjalankan politik devide et impera (politik pecah

belah), yang membagi masyarakat di indonesia menjadi 3 golongan bertingkat

dengan tujuan memecah belah Bangsa Indonesia. Golongan orang Eropa (barat)

menduduki tingkap paling tinggi dalam strata sosial, tingkat ke dua menjadi milik

golongan timur asing (vremde oosterlingen) termasuk di dalamnya Tionghoa

(Cina), Arab, India dan sebagainya, sedangkan penduduk pribumi Indonesia

(inlanders) diletakkan pada tingkat paling bawah sebagaimana diatur dalam Pasal

163 Indische Staatsregeling.

Diantara ketiga golongan tersebut, golongan pribumilah yang sangat jauh

ketinggalan, baik secara ekonomi mapun sosial, dibandingkan kedua kelompok

lainnya. Perbedaan tersebut dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk

mengadu domba antara golongan pribumi dengan etnis Tionghoa, dimana seolah-

olah golongan pribumi itu inferior, tidak jujur, bodoh dan selalu memusuhi etnis

Tionghoa. Sebaliknya etnis Tionghoa digambarkan sebagai suatu komunitas yang

licik, eksklusif, kikir dan srigala ekonomi, sehingga secara di bawah sadar timbul

kebencian yang mendalam dari golongan pribumi terhadap etnis Tionghoa.

6

Page 16: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Pandangan negatif tersebut muncul kembali saat pemerintahan Orde Lama,

Presiden Soekarno menyatakan perang melawan kolonialisme dan imperialisme.

Tentu saja pernyataan itu ditujukan kepada hegemoni Amerika Serikat dengan

sekutunya NATO. Untuk mewujudkan impiannya melawan hegemoni negara adi

kuasa tersebut, Soekarno melakukan lobi dengan China dan Korea Utara.

Terbentuklah poros Jakarta-Peking dan Hanoi.

Dengan terjalinnya hubungan erat antara Indonesia dengan China

membuat etnik Tionghoa yang berada di Indonesia kal itu merasa di atas angin.

Kondisi tersebut semakin melebar ketika Partai Komunis Indonesia mewarnai

kehidupan politik dan pemerintahan. Hal ini dimanfaatkan oleh etnik China

bergabung dan menjadi onderbouw PKI dalam wadah Baperki (Badan

Pembendaharaan Komunis Indonesia). Harmonisnya hubungan PKI dengan etnik

Tionghoa tercermin dari duduknya beberapa etnik China seperti Oei Tje Tat, SH

menjadi menteri dalam kabinet. Sebagai onderbouw PKI Baperki berfungsi

sebagai donasi bagi PKI melakukan berbagai aktivitasnya termasuk melakukan

makar dengan Gerakan 30 September. Seiring dengan penumpasan G.30.S di

bawah komando Pangkostrad Mayjen Soeharto, PKI dan seluruh onder-bouwnya

termasuk Baperki dibubarkan dan dilarang di seluruh antero tanah air, membuat

kiprah etnik Tionghoa semakin redup.

Mengingat citra negatif komunitas Tionghoa pada masa Orde Lama, maka

pemerintah Orde Baru melakukan pengawasan ketat, dengan mengeluarkan

berbagai kebijakan dan peraturan yang mengekang kebebasan mereka, terutama

Page 17: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

masalah kewarganegaraan. Sebagai negara hukum (rechtsstaat), dan bukan negara

kekuasaan (machtstaat), semua tindakan dalam koridor kebangsaan Indonesia

seharusnya tidak boleh bertentangan dengan hukum. Namun kenyataannya, rezim

Orde Baru telah menggunakan hukum sebagai alat untuk mendiskriminasikan

etnis Tionghoa di Indonesia.

Secara sistematis dan konsisten, rezim Orde Baru telah membatasi,

menekan dan menghancurkan hak-hak politik etnis Tionghoa dengan

mengeluarkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang sangat mengucilkan etnis

Tionghoa di Indonesia menjadi apolitis sehingga tidak ada lagi representasi efektif

etnis Tionghoa di pemerintahan maupun badan legislatif.

Tindakan-tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dilegitimasikan

oleh Orde Baru yang jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di

Indonesia, seperti pelarangan terhadap huruf Tionghoa, bahasa Tionghoa,

pembatasan surat kabar Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, penggantian

nama Tionghoa, pembatasan perayaan Imlek dan arak-arakannya (Cap Gome),

upacara di Klenteng dan formalisasi penggunaan istilah Cina serta perkawinan

antara pemeluk Kong Hu Cu yang tidak diakui sah oleh negara. Hal ini

menimbulkan kesan segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya dan etnis

Tionghoa adalah buruk dan harus dihindari.

Politik devide et impera kembali dipraktekkan dengan menciptakan

pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan

antara Jawa dan non Jawa, muslim dan non muslim, militer dan sipil, mayoritas

Page 18: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

dan minoritas, pribumi dan non pribumi. Pada masa ini juga berkembang situasi

dimana peluang bisnis diberikan sebesar-besarnya kepada sekelompok kecil (±

200-300 orang) etnis Tionghoa sehingga tercipta golongan konglomerat dari etnis

Tionghoa yang dianggap sebagai golongan oportunis, hanya memperkaya dirinya

sendiri tanpa memperdulikan nasib masyarakat di sekitarnya, sehingga timbul

anggapan stereotip sebagaimana dideskripsikan kaum kolonial bahwa etnis

Tionghoa telah menyebabkan kemiskinan bagi rakyat Indonesia. Stereotip yang

diciptakan seperti inilah yang membahayakan dan bertentangan dengan konsep

persatuan dan kesatuan. A strategy of social cohesion refers to any kind of action

which ensures that every citizen, every individuas can have within their

community the opportunity of access to meeting their basic needs, to progress, to

rights and protection, and to dignity and self confidence.5

Tindakan-tindakan Orde Baru tersebut jelas sengaja dilakukan untuk

membatasi hak-hak asasi golongan Tionghoa, khususnya hak budaya (cultural

right), serta mendiskriminasikan etnis Tionghoa sebagai warga negaranya sendiri.

Tindakan tersebut dapat diartikan pula sebagai cultural genocide terhadap orang

dan kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu dapat pula dikatakan bahwa di satu

pihak negara menginginkan pembauran dan integritas bangsa Indonesia, namun di

lain pihak perlakuan diskirminasi masih berlangsung secara formal dan informal

yang justru merupakan contradictio in terminis dari konsep Bhinneka Tunggal Ika

(unity in diversity).

5 Jane Jenson, Op. Cit.

Page 19: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama

kali di Surakarta, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal ko-

eksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah.

Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik ethiknya yang

dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang:

asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan politik masa mengambang Orba.

Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di

belakang layar. Ada kemenangan pada gerakan boikot oleh para pedagang

Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya. Pada pihak

Pribumi ada kebangkitan dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu

sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah

dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit

sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada penduduk

penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi

yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau penduduk penetap bangsa

Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulangpunggung kekuasaan,

kekuasaan kolonial. Dan terjadilah kerusuhan rasial itu.6

Sejarah mencatat, beberapakali terjadi di Kota Surakarta, kerusuhan besar

dengan latar belakang masalah etnis dan golongan. Dua kerusuhan terakhir adalah

kerusuhan besar yang terjadi di era 1980-an dengan latar belakang masalah

pribadi yang merembet hingga masalah rasial. Kemudian terulang kembali Tahun

6 Pramoedya Ananta Toer, Rasialisme Anti-Tionghoa dan Percobaan Menjawabnya; Jaringan Kerja Budaya, 22 Oktober 1999 Artikel

Page 20: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

1998, kerusuhan berlatar belakang politik yang merembet menjadi kerusuhan

rasial dengan sasaran masyarakat Tionghoa masih membayang di benak

masyarakat Surakarta.

Dengan terjadinya kerusuhan yang menimpa kolektivitas Tionghoa di

Surakarta pada pertengahan Mei 1998 dan peristiwa serupa di daerah – daerah lain

karena menajamnya “konfigurasi pemilahan sosial pri-nonpri” maka hal ini telah

menjadi salah satu indikator yang kuat tentang rendahnya tingkat efektifitas

pelaksanaan kebijaksanaan asimilasi, selain rapuhnya sistem yang ada.7

Konfigurasi pemilahan sosial “pri-nonpri”, yaitu polarisasi sosial dengan

parameter kesenjangan sosial – ekonomi, ras atau etnik, keterdekatan dengan

kekuasaan, tingkat pendidikan, agama dan budaya, antara kolektivitas pribumi

dengan kolektivitas Tionghoa di Surakarta, merupakan faktor kondisi yang

menjadi penyebab terjadinya konflik-konflik sosial antara kedua kolektivitas

tersebut. Dalam polarisasi sosial itu, unsur kesenjangan sosial-ekonomi

merupakan faktor dominan dan kesenjangan sosial – ekonomi yang paralel dengan

perbedaan ras atau etnik, merupakan kondisi sosial yang rawan dengan konflik.

Kondisi sosial yang demikian merupakan lahan subur bagi terjadinya konflik –

konflik laten dengan intensitas yang tinggi antara kedua kolektivitas tersebut.

Dengan faktor pemicu yang relatif kecil saja akan dapat memunculkan konflik-

konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi pula.8

7Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 05 8 ibid, hal 19

Page 21: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

Hadirnya Reformasi dan lepasnya “belenggu” yang selama ini mengekang

aktivitas Masyarakat Tionghoa tentu memberi angin segar dan jalan yang terang

bagi kehidupan kemasyarakatan golongan Tionghoa. Termasuk aktivitas

keagamaan, seni budaya, ekonomi, hingga politik. Setelah Reformasi secara

otomatis keberadaan masyarakat Tionghoa semakin diakui, namun keadaan di

masyarakat masih menyimpan potensi laten konflik berlatar belakang etnis dan

antar golongan tersebut terulang kembali. Surakarta, dikenal dengan kondisi

masyarakatnya yang beragam. Selain itu Surakarta dikenal sebagai kota dengan

“sumbu pendek”, mudah tersulut dan sangat berpotensi muncul konflik antar

golongan dan berlatarbelakang rasial.

Masyarakat Surakarta dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka harus

memulai kembali dari awal, merajut hubungan harmonis antar etnis dengan latar

belakang sejarah yang kusut. Konsep pembauran yang diusung orde baru ternyata

menjadi usaha untuk menyeragamkan budaya. Sangat jauh dari nilai-nilai

Bhinekka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu juga.

Pembauran bangsa merupakan masalah penting untuk dipecahkan bersama

oleh semua warga negara bangsa Indonesia. Pembauran bangsa pada hakikatnya

merupakan satu proses transkultural antar golongan atau kelompok masyarakat

yang menjadi warga suatu negara dengan maksud memperkokoh persatuan dan

kesatuan hidup bersama sebagai warga dari satu negara. Oleh karena itu

masyarakat Indonesia yang majemuk ini harus menjalankan proses saling

membaur baik secara horisontal maupun vertikal sehingga kesetiakawanan atau

Page 22: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

kebersamaan sebagai warga negara Indonesia dapat terbina, dalam hal ini

asimilasi merupakan manifestasi dari konsep pembauran bangsa tersebut.

The link between culture and social cohesion may be amongest the most challenging issues we will face in the twenty-first century. One of the greatest demands to be placed upon us will be the challange of finding ways for people to live together on a planet growing more and more crowded ................ The intermingling of diverse cultures will be the norm, while culture itself may hold the key to finding an accomodation within all this diversity.9

Asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang

ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang

terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga

meliputi usaha-usaha mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses

mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan

bersama.

Proses asimilasi terjadi jika ada kelompok-kelompok manusia yang

berbeda kebudayaannya; orang perorangan sebagai warga kelompok-kelompok

tadi saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama

sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut

masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.10

9 M. Sharon Jeannotte & Dick Stanley, Journal: How Will We Live Together, Department of Canadian Heritage, Canada, 2002.

10 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo, Jakarta, 1990. 

 

Page 23: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

Jadi masalah asimilasi yang terpenting adalah penggabungan golongan-

golongan yang berbeda latar belakang kebudayaannya menjadi satu kebulatan

sosiologis dan budaya. Hal ini berarti pula ingin diambil secara fleksibel unsur

kebudayaan mana yang dibuang dan yang diambil dapat berpadu dengan harmonis

dengan unsur kebudayaan lain yang kemudian pantas disebut kebudayaan bangsa

Indonesia.

Ditegaskan pula oleh Soerjono Soekanto bahwa faktor-faktor yang dapat

mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain :

1. Toleransi

2. Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang

3. Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaanya

4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa

5. Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan

6. Perkawinan campuran (amalgamation)

7. Adanya musuh bersama dari luar11

Konflik – konflik etnis tersebut ditangkap dan diamati oleh seorang

sejarawan di Kota Solo, Drs. Sudarmono S.U dan menemukan adanya siklus

dalam setiap 15 – 18 tahun sekali selalu terjadi kerusuhan di kota Solo dan

seringkali atau hampir selalu mengorbankan masyarakat Tionghoa. Jika ditarik

sejarahnya hitungan trsebut dimulai dari terjadinya “geger pacina” di Solo, yaitu

11 ibid

Page 24: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

runtuhnya Keraton Kartasura oleh serangan laskar Cina yang dipimpin oleh Mas

Gerendi atau Sunan Kuning.

Lahirnya Kota Surakarta sendiri itu tidak lepas dari peristiwa pertama

konflik “pri – nonpri”, ketika tanggal 30 Juni 1742 laskar Cina dibantu oleh

sejumlah massa rakyat berhasil mebobol benteng istana Kartasura, memporak –

porandakan bangunan istana, menjarah apa saja yang bisa dijarah dan menduduki

istana selama beberapa bulan. Peristiwa ini dalam sejarah Jawa disebut Geger

Pacina atau Bedah Kartasura.12

Rentetan kejadian tersebut berulang kembali dan selalu dalam hitungan

setiap 15 – 18 tahun sekali sampai dalam hitungan terakhir pada peristiwa

kerusuhan Mei 1998 yang terjadi di kota Solo. Keadaan ini semakin

mengkhawatirkan dengan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kondisi

interaksi sosial di Kota Solo. Tidak ada upaya yang nyata, sistematis dan

berkelanjutan dari pemerintah kota untuk mengantisipasi fenomena sosial

tersebut.

Pertanyaannya adalah, setelah adanya penelitian tentang siklus radikalisme

masyarakat Solo dalam siklus 15 tahun tersebut apakah akan terulang kembali?

Ataukah kerusuhan Mei 1998 menjadi akhir dari siklus tersebut?

12 Dr. Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhammadiyah University Press, 2004. hal. 149

Page 25: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

BAB III

VISI, MISI, DAN TUJUAN PENGGARAPAN

A. VISI

Visi pada film dokumenter ini berusaha mewujudkan keharmonisan

sosial di masyarakat, menjamin kelangsungan hidup solidaritas sosial yang

telah terbangun serta memperkokoh integrasi sosial dengan lebih menghargai

dan menjadikan warga negara Indonesia keturunan sebagai bagian utuh dari

masyarakat yang tidak termarjinalkan

B. MISI

Misi film dokumenter ini memaparkan sejarah potret kehidupan Suku

Tionghoa di Solo secara garis besar mulai dari masa sebelum reformasi dan

memaparkan adanya siklus kerusuhan di kota Solo yang selalu menyentuh

masalah etnis dan mengorbankan masyarakat minoritas Tionghoa.

C. TUJUAN PENGGARAPAN

Memberikan paradigma baru dalam memandang Suku Tionghoa

sebagai bagian dari kemajemukan yang ada di Indonesia, serta untuk

mengingatkan masyarakat akan adanya bahaya laten kerusuhan di Solo seperti

yang diungkapkan dalam Siklus 15 tahun sikap radikalisme masyarakat Solo,

dengan harapan siklus tersebut dapat terputus.

16

Page 26: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

BAB IV

TAHAPAN PEMBUATAN FILM DOKUMENTER

A. SEKILAS TENTANG FILM DOKUMENTER

Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya

Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang

dibuat sekitar tahun 1890-an. Tiga puluh enam tahun kemudian, kata

‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal

Inggris John Grierson untuk Film Moana (1962) karya Robert Flaherty.

Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif merepresentasikan

realitas.13

Film dokumenter termasuk dalam kategori film non cerita, Pada

mulanya ada dua tipe film non cerita yaitu yang termasuk dalam film

dokumenter dan film faktual. Film faktual, umumnya menampilkan fakta.

Kamera sekedar merekam peristiwa. Film ini hadir dalam bentuk film berita

(newsreel) dan film dokumentasi. Film berita, titik beratnya pada segi

pemberitaan atau suatu kejadian aktual, sedangkan film dokumentasi hanya

merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya dokumentasi peristiwa perang

atau upacara kemerdekaan.14

John Ivens, pembuat film dokumenter terkenal dari Belanda,

menyebutkan bahwa kekuatan utama yang dimiliki film dokumenter terletak

pada rasa keontentikan, bahwa tidak ada definisi film dokumenter yang 13 Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan, Yogyakarta, 2002, hal. 11 14 Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,

1996, hal. 13

17

Page 27: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

lengkap tanpa mengaitkan faktor-faktor subyektif pembuatnya. Dengan kata

lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari kenyataan, melainkan ada

proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan oleh si pembuat film

dokumenter.

Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung

subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap

peristiwa. Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan

kan sangat tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu.15

Seorang pembuat film dokumenter lain yaitu DA. Peransi mengatakan

bahwa film dokumenter yang baik adalah yang mencerdaskan penonton.

Sehingga kemudian film dokumenter menjadi wahana yang tepat untuk

mengungkap realitas, menstimulasi perubahan. Jadi yang terpenting adalah

menunjukkan realitas kepada masyarakat yang secara normal tidak terlihat

realitas itu.16

Layaknya sebuah gambar atau foto, kontras adalah salah satu hal

menarik perhatian. Demikian pula dalam film dokumenter, “kontras”

diwujudkan dengan adanya pertentangan di dalam konteks film itu. Apakah

pertentangan dalam hal idealisme pendapat, dikotomi, ataupun pertentangan

dalam satu konteks film itu sendiri.

Kini, dokumenter menjadi tren tersendiri dalam perfilman dunia. Para

pembuat film dapat bereksperimen dan belajar banyak hal ketika terlibat dalam

produksi film dokumenter. Tak hanya itu, dokumenter juga membawa banyak

15 Ibid 16 Ibid, hal. 15

Page 28: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

keuntungan dalam jumlah yang memuaskan. Ini bisa dilihat dari film

dokumenter yang ada di televisi seperti National Geographic dan Animal

Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel telah mentahbiskan diri

sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter

tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk dikonsumsi, dokumenter

juga lazim diikutsertakan dalam beragam festival baik berskala nasional

maupun internasional.

B. TAHAP PEMBUATAN FILM DOKUMENTER

Dalam pembuatan film dokumenter, kejelian adalah hal yang pokok.

Sehingga diperlukan suatu pemikiran dan proses teknis yang matang. Suatu

produksi program film memerlukan tahapan proses perencanaan, proses

produksi, hingga hasil akhir produksi. Tahapan tersebut sering dikenal dengan

Standard Operation Procedure (SOP), yang terdiri dari:

1. Pra Produksi (ide, perencanaan, persiapan)

2. Produksi (pelaksanaan)

3. Pasca Produksi (Penyelesaian dan Penayangan)

I. Pra Produksi

Merupakan tahap awal dari proses produksi, termasuk didalamnya

adalah penemuan ide, pengumpulan bahan berupa data-data untuk

mendukung fakta atau subyek yang dipilih. Tahap pra produksi ini sangat

penting karena merupakan landasan untuk melaksanakan produksi dan

harus dilakukan dengan dengan rinci dan telliti sehingga akan membantu

kelancaran proses produksi. Jika tahap ini telah dilaksanakan secara rinci

Page 29: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

dan baik, sebagian dari produksi yang direncanakan sudah beres.17

Kegiatan ini meliputi :

1. Memilih Subyek Film Dokumenter (choosing a subject)

Ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk memilih

subyek. Subyek film dokumenter bisa berhubungan dengan sejarah,

mitos atau legenda, sosial budaya, sosial ekonomi, atau yang lainnya.

Pertimbangan dipilihnya suatu subyek bukan hanya karena kebetulan

semata tetapi melalui proses panjang, melalui penelitian dan memiliki

dasar pemikiran yang kuat. Dalam sebuah film dokumenter, apa yang

disajikan mengandung subyektivitas pembuatnya, dalam arti sikap atau

opini pembuat film terhadap realita yang didokumentasikannya. Tugas

Akhir ini memilih masyarakat tionghoa dengan dasar pemikiran seperti

yang telah disebutkan dalam uraian sebelumnya.

2. Riset (Research)

Riset (penelitian) adalah salah satu bagian terpenting sebelum

pembuatan film dokumenter. Riset digunakan untuk mendukung fakta-

fakta tentang subyek yang telah dipilih. Riset dilakukan untuk

mendapatkan data-data yang bisa diperoleh melalui wawancara dengan

tokoh ahli, kepustakaan, media massa, internet, dokumen maupun

sumber lain.

Menurut Garin Nugroho, riset juga berhubungan dengan tema

film. Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana

17 Fred Wibowo, Dasar-dasar Produksi Program Televisi, Grasindo, Jakarta, 1997, hal. 20

Page 30: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

yang menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke

bentuk visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting

dan harus dilakukan.

Penelitian untuk Tugas Akhir ini diawali pada bulan Desember

2008 dengan mencari data maupun informasi di Sekretariat PMS.

Kemudian dilakukan survey awal dengan wawancara mendalam

dengan berbagai narasumber. Penelitian ini dilanjutkan lagi dengan

melakukan survey ulang, mencari data-data lewat buku-buku tentang

Masyarakat Tionghoa Surakarta, Sejarah masyarakat Tionghoa di

Indonesia, dan Sejarah masyarakat Tionghoa di Solo.

3. Mempersiapkan Detail Produksi

Mempersiapkan detail berarti menyiapkan segala hal yang

diperlukan agar proses produksi dapat berjalan lancar. Persiapan-

persiapan tersebut antara lain:

a. Data Teknis

b. Sinopsis atau tulisan ringkas mengenai garis besar cerita,

meliputi adegan adegan pokok dan garis besar pengembangan

cerita.18

c. Treatment, dapat dijabarkan sebagai perlakuan tentang hal-hal

yang dijabarkan dalam sinopsis. Sebuah uraian mengenai segala

18 Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 117

Page 31: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

urutan kejadian yang akan tampak di layar TV atau Video.

Uraian itu bersifat naratif, tanpa menggunakan istilah teknis.19

d. Naskah atau skenario, yaitu cerita dalam bentuk rangkaian

sekuen dan adegan-adegan yang siap digunakan untuk titik tolak

produksi film, tetapi belum terperinci.

e. Shooting Script adalah naskah versi siap produksi yang berisi

sudut pengambilan gambar atau angle dan bagian-bagian

kegiatan secara rinci dan spesifik.

f. Timetable Shooting atau penjadwalan Shooting yang berbentuk

Shooting Breakdown dan Shooting Schedule.

II. Produksi

Tahap ini merupakan kegiatan pengambilan gambar atau shooting.

Pengambilan gambar dilakukan berdasarkan shooting script dan shooting

breakdown dengan pengaturan jadwal seperti yang tercantum dalam

shooting schedule.

Beberapa istilah yang digunakan dalam pengambilan gambar atau

shooting antara lain :

1. Shot, adalah sebuah unit visual terkecil berupa potongan film yang

merupakan hasil satu perekaman.20

2. Camera Angle, atau biasa disebut sudut pengambilan gambar, adalah

posisi kamera secara relatif terhadap subyek dan obyek.

19 PCS. Sutisno, Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video, Grasindo, Jakarta, 1993.

hal. 46 20 Marselli Sumarno, Op. Cit., hal. 116

Page 32: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

3. Sequence, atau serangkaian shot-shot yang merupakan satu kesatuan

yang utuh.

4. Scene, atau adegan adalah salah satu shot atau lebih dari suatu lokasi

atau action yang sama.

5. Close Up (CU), atau pengambilan terdekat. Tembakan kamera pada

jarak yang sangat dekat dan memeperlihatkan hanya bagian kecil

subyek, misalnya wajah seseorang.21

6. Long Shot (LS), shot jarak jauh yang kepentingannya untuk

memeperlihatkan hubungan antara subyek-subyek dan lingkungan

maupun latar belakangnya.

7. Medium Shot (MS), shot yang diambil lebih dekat pada subyeknya

dibandingkan long shot. Bila obyeknya manusia, medium shot

menampilkan bagian tubuh dari pinggang ke atas.22

8. Medium Long Shot (MLS), atau disebut juga knee shot. Bila obyeknya

manusia, maka yang tampak adalah dari kepala sampai lutut, bagian

latar belakang tampak rinci. 23

9. Composition, merupakan teknik menempatkan gambar pada layar

dengan proporsional.

10. Pan, menggerakkan kamera ke kanan dan ke kiri pada poros (as)

horisontalnya.24

21 Ibid, hal. 112 22 Ibid, hal. 115 23 Ibid 24 Ibid

Page 33: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

11. Tilt, gerakan kamera menunduk dan mendongak pada poros

vertikalnya.25

12. Tracking Shot, shot yang diambil dengan memindahkan kamera

mendekat ke subyek (track in) maupun menjauh dari subyek (track

out). Kamera bisa diletakkan diatas peralatan beroda karet yang

disebut dolly.26

13. Follow, adalah gerakan kamera yang mengikuti kemana obyek

bergerak.

III. Pasca Produksi

Pasca produksi bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari keseluruhan

proses produksi. Tahap ini dilaksanakan setelah semua pengambilan

gambar selesai. Tahap pasca produksi ini meliputi logging, editing, dan

mixing.

Logging merupakan kegiatan pencatatan timecode hasil shooting,

setelah logging, dilakukan penyusunan gambar sesuai skenario atau

shooting script melalui editing. Setelah editing selesai dilakukan mixing

gambar dengan suara. Suara dapat berupa atmosfir, suara asli, background

musik, atau narasi.

Akhirnya setelah melalui semua tahapan tersebut, film dapat

dilepas ke publik. Media agar film itu dapat sampai kepada ke publik pun

bisa di pilih, mulai dari forum diskusi kampus, festival, televisi, sampai

bioskop sesuai keinginan Sang film maker maupun tujuan dari pembuatan

film dokumenter tersebut.

25 Ibid, hal. 117 26 Ibid

Page 34: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

BAB V

CATATAN PRODUKSI

A. TREATMENT

Tema

Dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa di Solo yang telah melalu

berbagai masa yang cukup sulit mulai dari politik diskriminatif, menjadi

korban kemarahan masyarakat pribumi yang terjadi berulang dalam siklus 15

tahun.

Permasalahan

Masyarakat Tionghoa, telah melewati berbagai macam perlakuan

negatif di Negara ini, Mulai dari politi diskriminatif yang diusung pemerintah

pada masa lalu hingga menjadi korban dan dikambing hitamkan atas segala

permasalahan yang dihadapi negeri ini. Dijadikan sasaran kemarahan

masyarakat yang merasa sebagai golongan pribumi.

Kejadian kerusuhan yang menyentuh masalah etnis tidak hanya sekali

terjadi di Kota Solo. Bahkan seorang sejarawan menangkap adanya siklus

radikalisme masyarakat Solo yang selalu berulang tiap 15 Tahun. Bagaimana

siklus ini disikapi oleh masyarakat Tionghoa? Apakah masih ada potensi

siklus tersebut berlanjut?

25

Page 35: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Bahan Dasar

Mencari data-data tertulis lewat buku, artikel, maupun internet.

Wawancara dengan sejarawan dan masyarakat Tionghoa serta melakukan riset

lapangan dan visual.

Judul

Acong di Rumah Joko

Durasi

22 menit

Audiens

Generasi muda range umur 17 tahun hingga 24 tahun, masyarakat

umum.

Lokasi

Surakarta

Ringkasan Sajian

Sejarah mencatat Etnis Tionghoa di Indonesia pernah mengalami

sejarah kelabu, mendapat perlakuan diskriminatif dan tidak mendapatkan hak-

haknya sebagai warga Negara Indonesia. Dengan peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh Pemerintahan Orde Baru, gerak – gerik etnis keturunan Cina

ini sangat dibatasi. Aktivitas kebudayaan yang berbau China (Tionghoa)

termasuk hari raya keagamaan, aktivitas keagamaan Kong Hu Chu tidak boleh

dilakukan. Dalam bidang politik dan militer pun setali tiga uang, tidak ada

satupun politikus dan militer dari kalangan Tionghoa.

Page 36: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

Keadaan ini semakin diperparah dengan munculnya konflik pribumi

dan non pribumi di Indonesia dan berawal dari Kota Solo. Konflik muncul

karena adanya prasangka buruk antara golongan yang merasa sebagai

kelompok pribumi dengan golongan Tionghoa yang dianggap pendatang.

Fenomena ini berulang kali terjadi di Kota Surakarta dan ditangkap oleh

seorang sejarawan Drs. Sudarmono, SU dan merumuskan teori adanya siklus

radikalisme masyarakat Solo tiap 15 tahun dan selalu merembet ke masalah

etnis dan mengorbankan masyarakat Tionghoa.

Bagaimana masyarakat Kota Solo menyikapi fenomena tersebut?

Apakah Siklus tersebut akan terulang kembali?

Story Line

Sekuen 1

Bagian pertama menceritakan tentang keadaan pada saat kerusuhan Mei

1998 terjadi di Surakarta beserta hal- hal yang melatar belakanginya.

Kerusuhan tersebut bukan yang pertama terjadi di Surakarta, dan fenomena

tersebut telah dirumuskan oleh seorang sejarawan sebagai sebuah siklus 15

tahunan.

Shot – shot penting:

1. Dokumen foto kerusuhan.

2. Kebakaran.

3. Aktivitas di klenteng.

Page 37: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

4. Aktivitas narasumber.

5. Aktivitas masyarakat kota.

Sekuen 2

Pada bagian kedua cerita ditarik ke belakang menceritakan tentang

keadaan masyarakat Tionghoa pada masa sebelum revormasi digulirkan,

menghadapi kebijakan politik diskriminatif pada masa itu dan bagaiman

perasaan dan sikap masyarakat Tionghoa saat itu.

Shot – shot penting:

1. Dokumen foto kerusuhan.

2. Ornamen – ornamen kelenteng.

3. Aktivitas di klenteng.

4. Aktivitas narasumber.

5. Aktivitas masyarakat kota.

6. Landscape Perkotaan.

7. Aktivitas perekonomian.

Sekuen 3

Pada bagian ketiga cerita kembali ditarik kebelakang, memaparkan bahwa

politik diskriminatif tersebut adalah warisan zaman penjajahan Belanda dan

bagaimana kedepannya masyarakat harus menyikapi fenomena tersebut.

Shot – shot penting:

1. Dokumen foto sejarah.

2. Aktivitas narasumber.

Page 38: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

3. Aktivitas masyarakat kota.

4. Landscape Perkotaan.

5. Aktivitas perekonomian.

6. Kirab Keraton Kasunanan Surakarta.

7. Kirab Barongsay.

B. PROSES PEMBUATAN FILM DOKUMENTER

Pengerjaan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko” memakan waktu

kurang lebih 10 bulan mulai bulan Maret 2009 dan karya ini dapat terselesaikan

pada bulan Januari 2010 dengan perincian sebagai berikut :

a. Proses Pra Produksi

Proses pra produksi dimulai bulan Januari 2009. Diawali dari riset

data literature dari buku dan Internet. Setelah mendapat gambaran umum

tentang permasalahan yang akan diangkat, penulis memperdalam hasil

riset data literatur dengan melakukan wawancara dengan beberapa

narasumber, yaitu Sumartono Hadinoto, seorang pengusaha tionghoa di

Surakarta dan Humas Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Dari

Sumartono, penulis mendapat masukan untuk menemui Aji Chandra,

Ketua Majelis Kong Hu Cu Indonesia (MAKIN) Solo dan Usman Arif,

sejarawan dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) UNS Surakarta.

Karena film ini akan menggunakan pendekatan sejarah maka penulis

Page 39: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

menemui seorang sejarawan Kota Solo, Drs. Sudarmono, S.U. sebagai

nara sumber.

Selanjutnya penulis melakukan riset secara visual untuk

mendapatkan data visual. Riset visual dilakukan di Klenteng Pasar

Gedhe, Kampung Sudiroprajan, Kampung Balong, Keraton Surakarta

dan Kampung Baluwarti serta beberapa tempat umum di Surakarta.

Setelah itu, penulis menentukan sudut pandang cerita dan membuat story

line.

b. Proses Produksi

Pengambilan gambar telah dilakukan selama kurang lebih dua

bulan di beberapa lokasi, dengan jadwal sebagai berikut :

1. 9 Mei 2009

Lokasi : Rumah Sumartono Hadinoto

Personil : 3 orang

2. 25 Mei 2009

Lokasi : Kantor MAKIN Surakarta

Personil : 3 orang

3. 25 Juni 2009

Lokasi : Rumah Drs. Sudarmono, S.U.

Personil : 2 orang

4. 6 Juli 2009

Lokasi : Jalan Slamet riyadi dan kompleks Manahan

Personil : 2 orang

Page 40: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

5. 19 Juli 2009

Lokasi : Keraton Solo

Personil : 2 orang

6. 23 Juli 2009

Lokasi : Pasar gedhe dan Klenteng Pasar Gedhe

Personil : 1 orang

7. 16 Agustus 2009

Lokasi : Jalan Slamet Riyadi

Personil : 2 orang

c. Proses Pasca Produksi

Pengerjaan naskah “Acong di Rumah Joko” dimulai bulan April

hingga bulan Mei 2009. Sementara proses editing dimulai bulan

November dan karya selesai total pada bulan Januari 2010.

Selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di rumah Joko”,

terdapat beberapa catatan penting, antara lain :

1. Kurangnya narasumber yang khusus meneliti tentang suku tionghoa

di Surakarta. Sehingga penulis harus merangkum dari berbagai

sumber untuk memperoleh data.

2. Mendapat penolakan dari beberapa tempat atau dari personal subyek

yang akan direkam aktivitasnya.

Page 41: perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac fileyang besar bagi penulis untuk begitu lama menyelesaikan Karya Tugas Akhir ini dengan sebaik-baiknya. Sebuah kebanggaan pula karena penulis

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

3. Proses produksi sempat terhenti selama beberapa bulan dikarenakan

salah seorang narasumber meminta untuk membaca beberapa

literature terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara.

4. Narasumber sulit ditemui karena kesibukan dan kadang melupakan

jadwal yang telah ditentukan dengan penulis.

Secara keseluruhan, Penulis tidak menemukan kendala yang cukup

berarti selama proses pembuatan Video Dokumenter “Acong di Rumah Joko”.

Penulis berharap, video dokumenter ini dapat memberikan paradigma baru

dalam memandang Suku Tionghoa sebagai bagian dari kemajemukan yang ada

di Indonesia, serta untuk mengingatkan masyarakat akan adanya bahaya laten

kerusuhan di Solo seperti yang diungkapkan dalam Siklus 15 tahun sikap

radikalisme masyarakat Solo, dengan harapan siklus tersebut dapat terputus.