Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar...
Transcript of Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar...
PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DALAM TRADISI SESERAHAN
MAKANAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN BETAWI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Irma Febrie Dhanayanti
11141110000005
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARSM
Skripsi yang berjudul :
PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DALAM TRADISI SESERAHAN
MAKANAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN BETAWI
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidsayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 5 Desember 2018
Irma Febrie Dhanayanti
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa
Nama : Irma Febrie Dhanayanti
NIM : 11141110000005
Program Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul :
“PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DALAM TRADISI SESERAHAN
MAKANAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN BETAWI”
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Ciputat, 5 Desember 2018
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122003
Menyetujui,
Pembimbing
Dr. M. Adlin Sila, MA
NIP. 197009161992031002
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DALAM TRADISI SESERAHAN
MAKANAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN BETAWI
Oleh
Irma Febrie Dhanayanti
11141110000005
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Januari 2019. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada
Program Studi Sosiologi.
Ketua, Sekertaris,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Joharatul Jamilah, M.Si
NIP. 196306161990032002 NIP. 196808161997032002
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Zulkifli, MA Dr. M. Guntur Alting, MA
NIP. 196608131991031004 NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi Syarat kelulusan pada tanggal 16
Januari 2018.
Ketua Program Studi Sosiologi
Dr. Cucu Nurhayati, M.si
NIP. 197609182003122003
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa tentang bagaimana pemaknaan yang terbentuk dalam
simbol tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan betawi. penelitian ini
menggunakan metode penulisan kualitatif dan deskriptif, dimana dalam penulisan
penelitian menggunakan gambaran dan tulisan dengan susunan kata-kata sesuai
dengan data yang diperoleh. Tujuan dalam penelitian ini memberikan
pengetahuan mengenai tradisi seserahan makanan yang terdapat dalam proses
upacara pernikahan adat betawi dan simbol-simbol makanan yang digunakan
dalam tradisi seserahan pada upacara pernikahan betawi memiliki makna baik
filosofis, history, maupun makna budaya yang dibentuk dalam masyarakat betawi,
serta makna-makna yang terkandung dalam simbol tersebut dibentuk dengan
adanya interaksi, interaksi itulah yang kemudian membingkai terbentuknya
simbol-simbol tersebut yang kemudian dimaknai oleh masyarakat betawi dalam
tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahannya sehingga dengan interaksi
tersebut pula dapat merubah sebuah tradisi seserahan makanan baik dalam
bentuk, prosesi, maupun makna yang diberikan dalam interaksi yang
membingkainya. Penelitian ini menggunakan teori interaksionisme simbolik milik
Herbert Blummer yang memiliki persamaan pembahasan mengenai terbentuknya
makna pada suatu simbol yang diperoleh dengan adanya interaksi dan dengan
adanya interaksi tersebut memungkinkan sebuah makna atau tradisi berubah,
sederhananya manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan
simbol dalam proses interaksi mereka.
Kata Kunci : Perubahan, Simbol dan Makna, Tradisi, Pernikahan, Betawi,
Interaksi,
vi
ABSTRACT
This thesis analyzes how the meaning formed in the symbol of the tradition of
food delivery at the Betawi wedding ceremony. this study uses qualitative and
descriptive writing methods, where in research writing uses images and writing
with the arrangement of words according to the data obtained. The purpose of this
research is to provide knowledge about the tradition of food delivery contained in
the traditional Betawi wedding ceremony process and food symbols used in the
tradition of the Betawi wedding ceremony having both philosophical meaning,
history, and cultural meanings formed in the Betawi community, as well as
meaning the meaning contained in the symbol is formed by the interaction, that
interaction then frames the formation of these symbols which are then interpreted
by the Betawi community in the tradition of food delivery at the wedding
ceremony so that the interaction can also change a tradition of food delivery both
in form, procession, as well as meaning given in interactions that frame it. This
study uses Herbert Blummer's symbolic interactionism theory which has the same
discussion about the formation of meaning in a symbol obtained by the interaction
and with the existence of such interactions allows a meaning or tradition to
change, simply humans are social beings who always need symbols in their
interaction process.
Keywords: Change, Symbols and Meanings, Tradition, Marriage, Betawi,
Interaction.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Penulis panjatkan atas segala nikmat
yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Pemaknaan Simbol dalam Tradisi Kuliner Upacara Pernikahan Betawi”.
Shalawat serta salam penulis selalu tercurahkan kepada junjungan besar nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabta-sahabat dan para pengikutnyayang
telah mengembangkan Islam dan Keilmuannya hingga saat ini.
Dengan selesainya penelitian ini, maka penulis tidak lupa mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang bersangkutan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, untuk itu izinkan penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1. Bapak Prof Dr. Zulkifli selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak dan Ibu Wakil Dekan,
serta seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelajaran selama masa studi
penulis.
2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si selaku ketua program studi Sosiologi FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Joharatul Jamilah, M.Si selaku sekertaris program studi Sosiologi
FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. M. Adlin Sila, MA selaku dosen pembimbing skripsi penulis
yang telah banyak sekali membantu, mendengarkan setiap kesulitan yang
viii
penulis alami, serta selalu memberikan support dan arahan supaya skripsi
ini berjalan dengan lancar.
5. Pak Kasyfiyullah M.Si dan keluarga selaku dosen pembembing kedua
penulis yang telah siap sedia mendengarkan keluh kesah saat proses
penyusunan skripsi ini berlangsung, serta membantu memberikan
masukan dan mengarahkan setiap proses penulisan skripsi ini.
6. Kepada seluruh jajaran kampus yang telah membantu penulis dalam proses
menyelesaikan skripsi ini, atas bantuan pengkoreksian nilai dan
operasional lainnya.
7. Para informan, selaku budayawan betawi, sejarahwan, aktivis dan kerabat
dekat yang pernah mengetahui, mengalami, dan melaksanakan pernikahan
dalam adat betawi yang telah bersedia menjadi informan dan memberikan
informasi dalam penelitian ini.
8. Teruntuk yang paling spesial, untuk kedua orang tua penulis tidak ada kata
selain “terimakasih” atas segala support dalam bentuk material ataupun
non material, selalu sabar dalam mendidik dan membimbing penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini, serta menjadi alasan utama untuk penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Teruntuk (Alm) Ayahanda Mochammad Ichwan selaku ayah kandung
penulis yang telah berpulang, skripsi ini penulis persembahkan untuk
beliau yang tak pernah lelah mengingatkan dan mensupport penulis
sewaktu kecil untuk selalu memperhatikan pendidikan, dan
memperjuangkan pendidikan.
ix
10. Keluarga penulis, untuk kakak penulis M. Irvan Maulana, adik sepupu
penulis Karlina Aulia Hasanah, serta sister from another mother Ita
Andriany, atas support dan bantuan penulisan skripsi ini, serta mampu
membangkitkan mood penulis ketika sedang lemah dan tidak bersemangat
dalam mengerjakan skripsi ini, mereka menjadi alasan kedua untuk penulis
menyelesaikan skripsi ini.
11. Herry yuwono putra, selaku teman terdekat dan terspesial penulis, atas
segala support dalam bentuk material maupun non material, juga atas
waktu yang selalu tersedia untuk mengantar dan menemani penulis untuk
bertemu informan, bimbingan, serta menemani saat penulisan skripsi ini,
menjadi alasan ketiga setelah orang tua dan keluarga untuk penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
12. Kepada seluruh sahabat penulis di luar kampus, Laily, Nur Azizah,
Indriani, Aini Zahra, Saukani Shopie, Avininda, Dessy pratiwi, Daraintan,
atas segala waktu yang tersedia untuk menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, serta support yang selalu tercurahkan untuk
penulis.
13. Teruntuk teman-teman seperjuangan penulis dalam lingkungan kampus,
terkhusus kepada Hilda Putri Lestari, Nia Nadia, Usman Effendi, Beby
Nurdiana, Fifi Novianti, Sikah, Risma, Vicky, Arlinda atas segala
dukungan dan bantuan dalam penyusunan penulisan skripsi, mengarahkan
dan mengoreksi teknik maupun alur penulisan skripsi, serta membantu
penulis saat melakukan wawancara dengan informan, juga tak lupa kepada
x
keluarga besar Sosiologi A 2014 atas segala kenangan dan dukungan
dalam prosesi perkuliahan berlangsung.
14. Pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Demikian ucapan syukur dan terimakasih yang penulis berikan. Semoga
Allah senantiasa membals semua kebaikan serta menuntun kita ke jalan yang
diridhoi-Nya. Walaupun terdapat kekurangan dalam skripsi ini, penulis berharap
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.
Ciputat, Desember 2018
Penulis
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISM ..................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN SKRIPSI .................................... . iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
D. Kegunaan Penelitian .................................................................. 5
1. Kegunaan Teoritis dan Akademis........................................ 5
2. Kegunaan Praktis ................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 6
F. Kerangka Teori .......................................................................... 15
G. Kerangka Pemikiran ................................................................. 18
H. Definisi Konsep ........................................................................ 19
1. Makna ................................................................................. 19
2. Simbol ................................................................................. 20
3. Tradisi ................................................................................. 20
I. Metode Penelitian ..................................................................... 21
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ......................................... 21
2. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 21
xii
a. Wawancara/Interview ................................................... 22
b. Sumber Data ................................................................. 23
3. Teknik Pengumpulan Informan Penelitian ......................... 23
4. Teknik Pengolahan Data ..................................................... 26
5. Proses Penelitian ................................................................. 27
J. Sistematika Penulisan ............................................................... 29
BAB II MASYARAKAT BETAWI DAN TRADISI KULINER
UPACARA ADAT PERNIKAHANNYA
A. Asal-usul Betawi ...................................................................... 30
1. Sejarah Betawi ...................................................................... 30
2. Variasi Betawi ...................................................................... 34
B. Proses Pernikahan Betawi ........................................................ 35
a. Ngedelengin ........................................................................ 36
b. Ngelamar ............................................................................ 38
c. Tunangan (Nentuin dan Ngenjot) ....................................... 49
d. Akad Nikah dan Pesta Nikah .............................................. 39
C. Macam-macam Kuliner Pernikahan Adat Betawi .................... 41
1. Roti Buaya .......................................................................... 41
2. Sayur Besan ........................................................................ 42
3. Dodol dan Kue Bacot ......................................................... 43
4. Nasi Kuning dan Bekakak Ayam ....................................... 45
5. Pisang Raja dan Sirih Lamaran .......................................... 45
xiii
BAB III TEMUAN DAN ANALISA DATA
A. Tradisi Kuliner Pernikahan Adat Betawi (Proses Pemaknaan Simbolik)
.............................................................................................................. 47
1. Tradisi Ikan Bandeng dalam Prosesi Ngedelengin ........................ 51
2. Tradisi Seserahan Kuliner Lamaran (buah-buahan, kue bacot,
pisang raja, dan bahasan hantaran) ................................................ 54
3. Tradisi Njotan (balasan hantaran makanan) .................................. 60
4. Tradisi Seserahan Roti Buaya ....................................................... 63
B. Perubahan Makna, dan Simbol dalam Tradisi Seserahan Makanan
Pernikahan Betawi
1. Perubahan Makna Mak Comblang dan Tradisi Seserahan Ikan Bandeng
karena Faktor Globalisasi ................................................................ 69
2. Perubahan Makna dan Simbolik Pada Seserahan Roti Buaya dalam
Tradisi Seserahan makanan Pernikahan Betawi .............................. 74
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 79
B. Saran .......................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I.E.1 Matriks Tinjauan Pustaka .............................................................. 12
Tabel I.I.2 Informan Penelitian ....................................................................... 26
Tabel II.A.1 Jumlah (Etnis) Penduduk Jakarta ................................................ 31
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.C.1 Roti Buaya .............................................................................. 41
Gambar II.C.2 Sayur Besan ............................................................................ 42
Gambar II.C.3 Dodol dan Kue Bacot .............................................................. 44
Gambar II.C.4 Nasi Kuning dan Bekakak Ayam ............................................ 45
Gambar II.C.4 Pisang Raja dan Sirih Lamaran ............................................... 46
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Penelitian ini akan membahas tentang sebuah tradisi yang dilakukan
masyarakat Betawi dalam upacara pernikahannya. Di dalam upacara tersebut
terdapat tradisi seserahan makanan yang menjadi suatu kewajiban bagi mereka
saat melakukan upacara pernikahannya. Pada hakikatnya, tradisi merupakan
kebiasaan yang selalu terulang dengan bentuk dan proses yang sama menurut
pengertian dan pemahaman tentang tradisi. Akan tetapi, pada kenyataannya dalam
tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan adat Betawi sedikit banyak
mengalami perubahan yang tidak semua masyarakatnya menyadari. Untuk itu,
dalam penelitian ini akan membahas mengenai berubahnya suatu makna dan
simbol dalam tradisi seserahan makanan upacara pernikahan adat Betawi.
Di dalam etnis Betawi ada yang dinamakan “siklus kehidupan” merupakan
suatu proses dari kehidupan masyarakat Betawi dari mulai pernikahan, kelahiran,
nujuh bulan, hingga siklus hidup terakhir yang dinamakan kematian (Shinta
Theviningrum 2016:75).
Siklus kehidupan yang terdapat di Betawi merupakan suatu proses yang
menjelaskan tentang gambaran kehidupan manusia pada umumnya, bahwa
manusia akan mengalami “pernikahan”. Dengan berjalannya pernikahan manusia
yang berpasangan akan mengalami fase melahirkan yang disebut dalam siklus
kehidupan orang Betawi berupa “kelahiran”. Setelah kelahiran dalam Betawi ada
yang namanya “nujuh bulan” nujuh bulan merupakan suatu prosesi syukuran atas
kelahiran generasi baru dalam kehidupan orang Betawi. Terakhir ialah siklus
2
“kematian” yang pasti akan dialami oleh manusia yang memiliki budaya ataupun
tidak (Shinta Theviningrum 2016:75-111).
Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus
kehidupan seseorang, setiap acara pernikahan tentunya memiiki persiapan yang
matang dan terperinci, dari mulai acara lamaran sampai dengan acara puncak
pernikahannya. Prosesi pernikahan Betawi sendiri terdiri dari beberapa rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakatnya. Prosesi kegiatan tersebut terdiri
dari 1. Ngedelengin, 2. Ngelamar, 3. Tunangan (enjotan), 4. Akad, 5. Pesta
pernikahan. Dalam rangkaian prosesi tersebut memliki persamaan dan perbedaan
dengan etnis lainnya (Shinta Theviningrum 2016;76).
Dalam rangkaian prosesi pernikahan setiap daerah memiliki tradisi yang
selalu dilaksanakan. Tradisi merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan turun-
temurun dan dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu dengan bentuk
yang sama dan telah menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.
Artinya di dalam pernikahan Betawi memiliki tradisi yang diwariskan dari
generasi ke generasi dan dilakukan dengan proses yang sama dari dulu hingga saat
ini. Dalam kaitannya tradisi sangat erat dengan kebudayaan, karena tradisi
dilakukan karena adanya kesepakatan dari sekelompok sosial yang berpegang
teguh dengan kebudayaan yang mereka anut.
Kebudayaan merupakan suatu pandangan hidup kelompok sosial,
pandangan hidup ini bisa dilihat dalam berbagai bentuk yang mereka yakini dan
mereka sepakati secara bersama. Dalam tradisi seserahan makanan pernikahan
Betawi terdapat beberapa makanan yang mereka jadikan sebuah simbol hantaran
untuk memaknai setiap prosesi yang mereka lakukan, pembentukan sebuah simbol
3
tersebut dilakukan karena adanya keyakinan mereka terhadap apa yang mereka
jadikan sebuah simbol dalam tradisi seserahan tersebut. Hal ini terjadi karena
adanya suatu interaksi yang dilandaskan dengan adanya kepercayaan kolektif
yang mereka bangun dengan memaknai sebuah simbol yang mereka gunakan saat
prosesi acara pernikahan tersebut berlangsung, proses komunikasi ini cenderung
mereka lakukan secara terus menerus dari setiap satu generasi sampa ke generasi
seterusnya hingga saat ini.
Dalam kaitannya dengan pernikahan Betawi, tradisi yang dilakukan
terbentuk atas proses komunikasi yang terjadi secara turun temurun kemudian
membentuk suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dengan proses
dan bentuk yang sama. Tradisi seserahan makanan merupakan salah satu tradisi
yang ada dalam rangkaian prosesi acara upacara pernikahan adat Betawi, tradisi
yang dilakukan dari generasi ke generasi sampai dengan saat ini.
Tradisi seserahan makanan yang dilakukan dalam prosesi upacara
pernikahan Betawi ini merupakan kebiasaan memberikan seserahan berupa
makanan yang dijadikan suatu tanda keseriusan calon mempelai laki-laki kepada
calon mempelai perempuan.
Dalam tradisi seserahan makanan yang dilakukan oleh masyarakat Betawi
dalam rangkaian upacara pernikahannya cenderung menggunakan seperangkat
bahan-bahan makanan yang mereka jadikan syarat dalam berlangsungnya tradisi
tersebut. Biasanya barang yang mereka jadikan syarat tersebut bukanlah tanpa
adanya makna tertentu, melainkan hal itu dilakukan karena adanya maksud dan
tujuan yang mereka bentuk secara kolektif melalui interaksi diantara mereka
sebagai kelompok sosial.
4
Manusia pada hakikatnya ialah makhluk yang selalu melakukan interaksi
dalam hidunya, juga dalam interaksi tersebut kemudian mereka mencari makna
dari berbagai hal yang ada di sekitarnya, (Hiqma, 2016:59). Hal inilah yang
melatarbelakangi masyarakat betawi memaknai bahan-bahan makanan yang
mereka gunakan sebagai sebuah simbol dalam bentuk seserahan makanan pada
acara pernikahannya, karena adanya sebuah kepercayaan yang mereka bangun
bersama untuk menyampaikan pesan dan harapan mereka dalam bentuk simbol
yang mereka gunakan dalam tradisi seserahan makanan ini, dalam simbol yang
mereka bentuk ini merupakan suatu interaksi yang berusaha mereka bangun dalam
penyampaian pesan dan harapan mereka untuk kedua mempelai pengantin.
Pemaknaan sebuah simbol yang terkandung dalam tradisi seserahan
makanan pada upacara pernikahan adat Betawi dibentuk karena adanya nilai-nilai
kepercayaan yang dibangun dan dibentuk oleh masyarakat Betawi itu sendiri
terhadap apa yang mereka percayai dapat menjadi sebuah makna yang
mencerminkan kehidupan mereka.
Dalam proses upacara pernikahan Betawi terdapat beberapa makanan
khusus yang mereka jadikan sebuah hantaran seserahan saat upacara pernikahan
tersebut berlangsung, adapun tradisi seserahan makanan yang wajib ada saat
proses upacara pernikahan tersebut, dan makanan-makanan yang terdapat dalam
tradisi upacara pernikahan adat tersebut memiliki symbol-simbol tertentu melalui
beberapa jenis makanan yang kemudian dipahami dengan makna yang mereka
sepakati bersama.
Berangkat dari permasalahan tersebut peneliti mencoba untuk mengkaji
tentang “PERUBAHAN MAKNA DAN SIMBOL DALAM TRADISI
5
SESERAHAN MAKANAN DALAM UPACARA PERNIKAHAN BETAWI”
dan memfokuskan penelitian kepada bagaimana berubahnya suatu tradisi
seserahan makanan pada upacara pernikahan adat Betawi yang menjadi media
interaksi penyampaian pesan dan harapan mereka dalam suatu pernikahan.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari pernyataan masalah yang telah penulis kemukakan diatas, kemudian
pada kesempatan kali ini penulis akan merumuskan beberapa rumusan masalah
yang harus penulis temukan jawaban dan solusi dari permasalahan penelitian
ini. Adapun rumusan masalah sebagai berikut ;
1. Simbol apa saja yang digunakan dalam tradisi seserahan makanan pada
upacara pernikahan Betawi, dan bagaimana pemaknaannya?
2. Bagaimana faktor perubahan makna dan simbol pada tradisi seserahan
makanan pada upacara pernikahan adat Betawi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tentang tradisi seserahan
makanan yang terdapat dalam upacara pernikahan Betawi, serta bagaimana
masyarakat Betawi memaknai makanan-makanan yang mereka jadikan simbol
dalam tradisi tersbut, kemudian makna ataupun tradisi itu berubah dengan dimensi
ruang dan waktu yang membigkai interaksi mereka.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis dan akademis
Kegunaan dari adanya penelitian ini untuk memberikan tambahan dalam
hal penelitian dan pengetahuan baru dalam ranah sosiologi yang memiliki
6
hubungan dengan pemaknaan simbol dalam tradisi seserahan makanan pernikahan
Betawi yang dapat dijadikan refrensi pada penelitian-penelitian berikutnya.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna serta bermanfaat bagi pembaca
antara lain: budayawan dan masyarakat Indonesia agar lebih mengenal tentang
makna budaya pada suatu makanan daerah, serta membuka kesadaran masyarakat
atas pentingnya mempertahankan identitas budaya pada suatu makanan daerah
atau tradisi dalam pernikahannya. Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk
lembaga yang bergerak di bidang kebudayaan, karena dapat dijadikan alasan
betapa pentingnya meningkatkan minat masyarakat terhadap produk makanan
tradisional dan tradisinya, agar tetap terjaga dan dilestarikan makna yang
terkandung di dalamnya.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis membutuhkan beberapa tinjauan
pustaka yang dapat dijadikan bahan rujukan, refrensi, atau pembanding dengan
penelitian-penelitian terdahulu, guna untuk mencegah adanya bias data dan plagiat
data yang digunakan dalam penelitian kali ini. Untuk itu penulis membutuhkan
kajia-kajian penelitian terdahulu sebagai berikut:
Muhammad Thobroni (2017), dariUniversitas Borneo Tarakan dalam
jurnal yang berjudul “Makna Simbol Prosesi dalam Ritual Ambil Semangat Suku
Tidung”. Penelitian ini mendeskripsikan makna simbol prosesi ritual Ambil
Semangat di Sembakung, Nunukan, Kalimantan Utara. Ambil Semangat
merupakan ritual adat untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh
makhluk halus. Metode penelitian dalam jurnal inimenggunakan metode kualitatif
dengan menggunakan data penelitian yang diperoleh dengan cara teknik rekam,
7
catat, dan wawancara, kemudian dihimpun, diidentifikasikan, dan diklasifikasi.
Data penelitian berupa berupa rekaman wawancara dan observasi mengenai
makna simbol yang terdapat dalam ritual Ambil Semangat di Sembakung
Nunukan. Penelitian berfokus pada makna simbol prosesi ritual Ambil Semangat
dengan pendekatan teori kajian semiotika miliki Peirce.
Penelitian makna simbol prosesi ritual Ambil Semangat di Sembakung
Nunukan menggunakan kajian semiotik dengan menerapkan teori segitiga makna
(sign, object, dan interpretant). Hasil dari penelitian ini diperoleh kesimpulan
bahwa dari tahapan proses dalam acaranya terdapat makna yang unik. Urutan
ritual Ambil Semangat adalah Pembukaan, Potong Lilin Tiga Sisi, Mengisi Air
dalam Ember, Memulai Ritual Ambil Semangat, Menyalakan Lilin Kuning,
Tempel Lilin Kuning, Putar Mangkuk pakan, Usapan air Salawat Nabi, Ambil
Syarat Nabi Ilyas As, Pemanggil Roh, Pulang dengan Doa, Pasang Ikat, Hambur
Pakan, Masuk Air, Air Nabi Khaidir As, Telan Air Salawat Nabi Khaidir As,
Penutup.
Penelitian kedua yang penulis jadikan refrensi pustaka dari jurnal milik
Oda I.B. Hariyanto (2016) mahasiswa dari Manajemen Perhotelan, Akademi
Pariwisata BSI yang berjudul “Pergeseran Makna Sakral dan Fungsi Tumpeng di
Era Globalisasi”. Dalam penelitian ini penulis membahas tentang adanya
pergeseran makna pada tumpeng yang dijadikan simbol dalam wujud rasa syukur
bagi masyarakat jawa. Penelitian ini menggunakanmetode kualitatif-deskriptif
dengan pendekatan multisiplin, alasannya adalah bahwa tumpeng merupakan
bagiandari kebudayaan, untuk menganalisa masalah budaya perlu melibatkan
berbagai perspektif disiplin ilmu yangberlainan. Tujuan penelitian adalah untuk
8
mengeksplanasi dan mendikripsikan fakta penggeseran makna sakral danfungsi
tumpeng pada masa kini.
Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti Oda adalah adanya
Tumpeng merupakan kuliner tradisional, dihidangkan pada acara-acara penting
dan sakralpada hari ulang tahun, peresmian suatu kegiatan dansyukuran. Kini
fungsi tumpeng telah bergeser,dikenal sebagai makanan sarapan pagi bagi lapisan
masyarakat tertentu, dan kesakralannya tergerus oleharus kuliner globalisasi yang
masuk dari luar; Asia,Timur Tengah, dan Barat. Karena Secara historis tumpeng
memiliki relasi religimasa lalu; anisme-dinamis, dan agama Hindu-budha.
Pada masa sekarang memiliki relasi dengan simbol-simbolagama yang ada
di Indonesia. pada penelitian kali ini memiliki adanya persamaan dan perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Oda dalam jurnalnya, persamaannya
terletak dalam pembahasan mengenai kajian makna yang terkandung dalam
makanan, dan dijadikan simbol sebagai perwujudan tradisi yang sering dilakukan
pada masyarakat yang memiliki kebudayaan. Namun ada juga perbedaan yang
terdapat dalam penelitian kali ini dengan penelitian Oda, yaitu terletak dalam teori
yang digunakan, dalam penelitian yang dilakukan oleh Oda menggunaka teori
semiotika, berbeda dengan penelitian kali ini yang berusaha membahas tentang
makna simbolik pada tradisi seserahan makanan serta perubahannya dengan
menggunakan teori interaksionisme simbolik
Penelitian ketiga selanjutnya yang penulis jadikan refrensi pustaka dari
jurnal milik Achmad Zubaer Abdul Kudus yang berjudul “Kemanten Jadur (Studi
Etnografi Tentang Makna Simbolik dalam Prosesi Perkawinan di Kelurahan
Lumpur, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik). Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teori yang digunakan dalam
9
penelitian ini menggunakan interaksinisme simbolik milik Cliffod Geertz, dengan
menyumbangkan hasil penelitian berupa makna simbolik yang terdapat dalam
Kemanten Jadur dapat dilihat pada alat-alat pendukungnya, alat pendukung pada
prosesi Kemanten Jadur memiliki nilai simbolik masing-masing baik dari pakaian
yang digunakan oleh pihak laki-laki, hiasan pada ketopang, payung, dan seserahan
yang dibawa oleh ibu-ibu keluarga pengantin pria pada prosesi mèleki. Diantara
ketiganya tersebutlah yang menjadi unsur simbol alat-alat atau pendukung yang
digunakan pada pengantin jadur bukan hanya menjadi hiasan semata. Dalam
penelitian ini dapat terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara penelitian kali
ini dengan penelitian yang dilakukan dahulu oleh Achmad. Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama membahas tentang makna yang terkandung dalam suatu
tradisi dan menggunakan teori yang sama yaitu interaksionisme simbolik, namun
perbedaan yang terletak ialah wilayah, objek yang diteliti sangat berbeda, bila
penelitian terdahulu oleh Achmad meneliti tentang tradisi makna simbolik yang
terdapat dalam alat-alat pendukung di kemanten jadur, penelitian kali ini mencoba
membahas tentang makna simbolik yang terkandung dalam tradisi seserahan
makanan dalam pernikahan adat Betawi serta perubahannya.
Penelitian terdahulu ke empat penulis menjadikan jurnal milik Wildan
Rijal Amin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Berjudul “KUPATAN, TRADISI
UNTUK MELESTARIKAN AJARAN BERSEDEKAH, MEMPERKUAT TALI
SILATURAHMI, DAN MEMULIAKAN TAMU” sebagai salah satu refrensi
pustaka untuk penulisan kali ini. penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif, dengan menjelaskan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Tradisi
Kupatan merupakan sebuah perayaan selametan yang dipraktikkan oleh
10
masyarakat Jawa di daerah Durenan, Trenggalek, Jawa Timur, dengan cara open
house agar dikunjungi oleh warga lain. Saat perayaan, masyarakat menyiapkan
hidangan ketupat untuk para tamu pada hari kedelapan Hari Raya Idul Fitri,
setelah enam hari menjalankan puasa sunah Syawal. Tradisi yang berawal dari
mbah Mesir ini diteruskan oleh cucunya, Kyai Abdul Fattah Mu‟in, dan secara
turun-temurun sudah dipraktikkan oleh masyarakat di desa Durenan selama
hampir 200 tahun. Dari studi living hadith ditemukan bahwa tradisi ini merupakan
bentuk praktik masyarakat setempat atas ajaran Nabi Muhammad saw. yang
berkaitan dengan sedekah, memperkuat tali silaturahmi, dan memuliakan tamu
agar hidup menjadi lebih berkah. Para leluhur dan Kyai berperan sebagai konektor
yang menghubungkan antara teks, realitas sosial, dan kehidupan masyarakat
setempat yang diwujudkan dalam bentuk praktik selametan ini. Sama dengan
pembahasan skripsi terdahulu sebelumnya, dalam skripsi ini memliki persamaan
tentang membahas makna yang terkandung dalam tradisi, namun berbeda dengan
penelitian kali ini. Penelitian milik Wildan lebih menekankan kepada pemaknaan
dalam cakupan pembahasan filsafat dan islamiyah, sedangkan dalam penelitian
kali ini lebih kepada aspek sosial dan budaya.
Penelitian terakhir yang penulis pelajari dan dijadikan refrensi pustaka
merupakan karya dari Ferdi Arifin (2015) dalam jurnal penelitian humaniora
miliknya yang berjudul “REPRESENTASI SIMBOL CANDI HINDU DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA: KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGIS”. Hasil
penelitiannya menjelaskan bahwa Candi merupakan bangunan yang memiliki nilai
historis sangat tinggi. Bangunan seperti ini diakui sebagai bangunan peninggalan
bersejarah yang dilindungi oleh pemerintah. Aspek historis dalam candi bukan
11
sekadar sebagai bangunan, melainkan sebagai wujud representasi dari kehidupan
masyarakat. Sebagai bentuk representasi kehidupan masyarakat, candi selalu
menampilkan simbol-simbol yang memberikan pesan kepada masyarakat.
Penelitian ini melihat candi sebagai objek penelitian kualitatif dalam ranah bahasa
dan budaya. Peneliti mengumpulkan data candi melalui survei langsung maupun
dari para ahli arkeologi. Temuan data kebahasaan dalam candi menghasilkan
penelitian ini melihat kehidupan masyarakat pada masa itu. Simpulan penelitian
ini menunjukkan bahwa setiap bagian candi memberikan gambaran kehidupan
masyarakat serta pesan untuk masyarakat yang akan datang.
Seperti bahasan sebelumnya, penelitian kali ini memiliki persamaan dan
perbedaan dalam pembahasannya, persamaannya penelitian terdahulu milik ferdi
membahas tentang makna yang terkandung dalam simbol yang ada pada suatu
objek. Perbedaannya terlihat dari teori yang digunakan dan objek penelitian, jika
penelitian kali ini mencoba membahas tentang makna yang terkandung dalam
tradisi seserahan makanan upacara pernikahan betawi serta perubahannya.
12
Tabel.I.E.1 Tinjauan Pustaka
no Data penulis Teori Metodelogi Persamaan Perbedaan
1. Muhammad Thobroni
(2017) “Makna Simbol
Prosesi dalam Ritual
Ambil Semangat Suku
Tidung”
Teori kajian
semiotika
dari Peirce &
Welby
Kualitatif
Persamaan yang
terdapat dari
kedua penelitian
ini ialah
membahas
tentang makna
yang terkandung
pada simbol
dalam suatu ritual
atau tradisi.
Perbedaanny
a ialah teori
yang
digunakan,
wilayah yang
diteliti, dan
objek
penelitiannya
berbeda
dengan
penelitian
saat ini.
2. Oda I.B. Hariyanto
(2016) mahasiswa dari
Manajemen Perhotelan,
Akademi Pariwisata BSI
yang berjudul
“Pergeseran Makna
Sakral dan Fungsi
Tumpeng di Era
Globalisasi”.
Semiotika Kualitatif
Persamaan dalam
kedua penelitian
terletak pada
focus
pembahasannya
mengenai makna
tradisi kepada
suatu objek
makanan.
Perbedaanny
a ialah
terletak dari
teori yang
digunakan
dan wilayah
pembahasan
dalam
penelitian
3. Achmad Zubaer
Abdul Kudus yang
berjudul “Kemanten
Jadur (Studi Etnografi
Tentang Makna
Simbolik dalam
Prosesi Perkawinan di
Kelurahan Lumpur,
Kecamatan Gresik,
Kabupaten Gresik).
Semiotika Kualitatif Membahas
tentang makna
pada suatu
obyek,menggunak
an teori yang
sama
Objek yang
di teliti
dengan
wilayah
penelitian
terdapat
perbedaan
antara
13
penelitian
terdahulu
milik
achmad
dengan
penelitian
kali ini
4. Wildan Rijal Amin UIN
Sunan Kalijaga,
Yogyakarta. Berjudul
“Kupatan Tradisi Untuk
Melestarikan Ajaran
Bersedekah,
Memperkuat Tali
Silaturahmi, dan
Memuliakan Tamu”
Tidak
disebutkan
Kualitatif Persamaannya
sama dengan
penelitian
sebelumnya, yaitu
membahas
tentang makna
yang terdapat
pada suatu simbol
yang ada pada
suatu tradisi
Perbedaanny
a terletak
pada tradisi
yang
dibahas, dan
konteks
pembahasan
pada
penelitian
wildan lebih
kepada aspek
keilmuan
islam dan
filsafat,
sedangkan
penelitian
kali ini
mencoba
membahas
tentang
makna dalam
aspek
keilmuan
sosial dan
budaya.
14
5. Ferdi Arifin (2015) yang
berjudul
“REPRESENTASI
SIMBOL CANDI
HINDU DALAM
KEHIDUPAN
MANUSIA: KAJIAN
LINGUISTIK
ANTROPOLOGIS”
Tidak
disebutkan
Kualitatif Persamaan dalam
penelitian ini
sama seperti
sebelumnya
mebahas tentang
makna yang
terdapat dalam
suatu simbol
objek
Perbedaanny
a dalam
penelitian
terdahulu
milik ferdi
memfokuska
n kepada
makna yang
terdapat dari
simbol
bangunan
candi,
sedangkan
penelitian
saat ini
membahas
tentang
makna yang
terdapat
dalam
sebuah
tradisi.
15
F. Kerangka Teori
Kajian Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blummer
Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang selalu
melakukan interaksi, bahkan interaksi itu tidak hanya mereka lakukan antar
manusia, melainkan juga mereka lakukan dengan seluruh mikrokosmos, termasuk
interaksi mereka dengan seluruh alam ciptaan (Dedi 2005:113). Artinya manusia
selalu melakukan interaksi, dan dalam interaksi tersebut manusia pasti akan
membutuhkan sarana yang dapat memudahkan mereka untuk berinteraksi, dan hal
itulah yang nantinya akan mereka jadikan simbolisasi dari apa yang ingin mereka
sampaikan maksud dan tujuan dari interaksi tersebut.
Pada penelitian ini, penulis mencoba menggunakan teori interaksionisme
simbolik. Karena dalam teori interaksionisme simbolik menekankan kepada dua
hal. Pertama, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu melakukan interaksi
kepada kelompok sosialnya maupun lingkungan sekitar. Kedua, di dalam interaksi
tersebut cenderung merujuk kepada simbol-simbol tertentu yang mereka gunakan
untuk memudahkannya dalam melakukan interaksi sosial, sifatnyapun akan
cenderung dinamis (Dedi, 2005:113). Hal ini sejalan dengan apa yang akan
penulis bahas dalam penelitian ini.
Dalam penjelasan konsepnya tentang interaksionisme simbolik, Blummer
menunjuk kepada sifat khas dari tindakan atau interaksi antar manusia.
Kekhasannya bahwa manusia saling menerjemahkan, memaknai serta
mendefinisikan tindakannya, bukan hanya reaksi dari tindakan seseorang terhadap
orang lain. tanggapan seseorang, tidak dibuat secara langsung atas tindakan itu,
tetapi didasarkan atas “makna” yang diberikan (dedi, 2005:114).
16
Dalam buku Sociological Theory; six edition (Ritzer 2004:351) ada
beberapa pembahasan mengenai prinsip dasar dari interaksionisme simbolik yang
dikemukakan oleh beberapa tokoh termasuk Blummer, (blummer, 1969; Manis
dan Meltzer, 1978; A. Rose, 1962; snow, 2001) dalam karyanya mereka telah
mencoba menyebutkan prinsip dasar teori interaksionisme simbolik. Prinsip dasar
tersebut meliputi;
1. Manusia tidaklah sama halnya seperti binatang, mereka diberkati kapasitas
untuk berfikir.
2. Kapasitas berfikir tersebut dibentuk oleh interaksi sosial, yang artinya
bahwa interaksi sosial merupakan pembentuk dari kapasitas berfikir
manusia terhadap sesuatu.
3. Dalam interaksi sosial orang-orang belajar tentang makna dan simbol yang
membedakan kapasitas berfikir dari manusia.
4. Makna dan Simbol membiarkan seseorang melakukan/ membawa tindakan
manusia dan interaksi mereka yang berbeda-beda, maksudnya ialah dalam
interaksi tersebut akan mengarahkan mereka ke dalam memaknai sesuatu
simbol, dan dalam pemaknaan simbol terkadang manusa mempunyai
penafsiran yang berbeda-beda.
5. Orang-orang bisa memodifikasi dan mengubah makna dan simbol untuk
mereka bertindak dan berinteraksi sesuai dengan situasinya. Dalam hal ini
menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang melakukan
interaksi dapat mengubah simbol maupun makna yang sudah mereka
sepakati terlebih dahulu untuk memaknai tindakan dan interaksi mereka
sesuai dengan situasinya.
17
6. Mereka dapat mengubah makna dan simbol mereka karena kemampuan
mereka dalam berinteraksi, mereka bisa memilih tindakan mana yang lebih
menguntungkan untuk mereka.
7. Pola yang terjalin antara tindakan dan interaksi membentuk grup dalam
kelompok masyarakat.
Melihat prinsip dasar dari teori interaksionisme yang dibahas oleh Ritzer
dari beberapa tokoh tersebut, adapun premis-premis yang dibentuk Herbert
Blummer mengenai pemikirannya tentang teori tersebut.Pemikiran
interaksionisme simbolik menurut Herbert Blumer yang dijelaskan dalam jurnal
kepustakaan milik Soeprapto (2002:123-124) didasari dari tiga premis yang
mendasar, dan dijadikan penulis sebagai landasan dasar teori untuk penelitian ini
antara lain sebagai berikut :
1. Premis pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna
yang dimiliki objek/ benda itu bagi mereka. Hal ini memberikan
pengertian bahwa tindakan manusia akan sangat bergantung terhadap
makna yang mereka berikan kepada suatu objek yang berada di
lingkungan mereka dengan melihat lingkungan dan situasi yang ada.
2. Premis kedua, makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi
sosial yang dilakukan secara terus-menerus dan terjadi berulang-ulang
dalam suatu masyarakat. Bahwa makna muncul dalam diri seseorang
dengan adanya interaksi dengan orang lain, walaupun makna muncul
dari pemikiran masing-masing individu, tetapi hal itu tidak ada atau
muncul begitu saja, melainkan melalui proses pengamatan kepada
individu lain yang sudah lebih dahulu mengetahui tentang makna
tersebut.
18
3. Premis ketiga, makna-makna tersebut diperbaharui dan disempurnakan
disaat proses sosial sedang berlangsung, melalui suatu penafsiran
masing-masing individu dalam keterlibatannya dengan objek yang
dihadapinya. Berdasarkan premis tersebut, maka makna yang diperoleh
dari setiap penafsiran individu dapat berubah sesuai dengan konteks
dalam ruang dan waktu yang membingkai interaksi mereka, karena
makna bukanlah suatu hasil yang final, melainkan proses penafsiran
yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat tersebut.
G. Kerangka Pemikiran
Masyarakat Betawi sama halnya dengan kelompok sosial pada umumnya
yang pasti melakukan sebuah interaksi untuk dapat berkomunikasi dengan
sesamanya. Dalam melakukan interaksi sosial biasanya manusia belajar
memahami tentang makna dan simbol yang terbentuk dalam interaksi mereka, dan
interaksi yang selalu mereka lakukan dalam setiap waktunya membentuk simbol-
simbol yang mereka maknai kemudian mereka sepakati bersama guna
mempermudah mereka dalam berinteraksi dengan sesamanya (Soeprapto,
2002:123-124). Sederhananya manusia memerlukan simbol untuk menyampaikan
Masyarakat
Betawi Interaksi
Simbol
Makna
Tradisi Seserahan
Makanan Upacara
Pernikahan Betawi
dan Faktor-Faktor
Perubahan
Perubahan Makna dan
Simbol dalam Tradisi
Seserahan Makanan
19
maksudnya. Dalam tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan adat
Betawi terdapat simbol-simbol yang cenderung digunakan dalam setiap rangkaian
acaranya, hal ini merujuk bahwa budaya merupakan sebuah sistem simbol. Tradisi
ini dilakukan karena kebiasaan masyarakat Betawi pada masa lampau yang
cenderung menggunakan simbol dalam makanan yang mereka gunakan sebagai
media interaksi penghubung antara dua belah pihak keluarga serta masyarakat di
sekitarnya. Kemudian dengan berjalannya waktu adanya faktor-faktor yang
membingkai interaksi mereka akan memberikan dampak perubahan bagi sebuah
makna dan simbol dalam tradisi upacara pernikahan betawi yang mereka lakukan.
H. Definisi Konsep
1. Makna
“Makna” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: arti, maksud
pembicara atau penulis; pengertian yang diberikan kepada seseuatu bentuk
komunikasi. Makna merupakan suatu proses yang ditafsirkan seseorang dalam
suatu pesan. Seperti yang dijelaskan dalam premis yang diungkapkan Blummer,
bahwa makna berarti suatu bentuk penafsiran terhadap sesuatu yang membingai
interaksi seseorang.
Dari pengertian diatas memberikan penjelasan bahwa makna merupakan
suatu arti, maksud, serta penafsiran seseorang terhadap apa yang mereka berikan
pada suatu bentuk bisa berupa benda, tindakan seseorang, maupun pesan dalam
sebuah interaksi.
20
2. Simbol
Simbol dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menunjukkan arti
pada “lambang” atau seseuatu perlambangan dan sesuatu yang dijadikan lambang.
Simbol merupakan sebuah lambang yang digunakan untuk menyampaikan suatu
pesan yang dibentuk dalam sebuah perkambangan agar tujuan dan maksud dalam
persan tersebut akan sampai kepada yang di tujukan (Soerjono, 2001: 187).
Simbol yang sering diartikan sebagai sesuatu perlambangan terhadap apa
yang dijadikan sebagai media penyampaian pesan ini dibentuk atas dasar
kesepakatan bersama tentang benda/objek, pengalaman, situasi yang ada
dilingkungan mereka saat pembentukan simbol itu berlangsung. serta simbol
yang telah dibentuk dan ditentukan tersebut diartikan dalam perlambangan segala
sesuatu baik objek material ataupun non material kerap kali memiliki makna
tertentu yang dapat diartikan oleh mereka para penganutnya.
3. Tradisi
Menurut Mardimin, tradisi adalah kebiasaan yang turun temurun dalam
suatu masyarakat dan merupakan kebiasaan kolektif dan kesadaran kolektif
sebuah masyarakat (Johanes Mardimin, 1994:12). Menurut Soerjono Soekanto,
tradisi adalah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang di dalam bentuk yang
sama, yang artinya bahwa tradisi yang dijelaskan ini merupakan kebiasaan
seseorang melakukan suatu kegiatan yang mereka lakukan secara berulang-ulang,
rutin, dilakukan dalam bentuk dan tata cara yang sama seperti halnya yang
dijelaskan oleh Mardimin sebelumnya (Soerjono Soekanto, 1990:181).
Dari penjabaran beberapa tokoh di atas tentang definisi dari tradisi dapat
diartikan bahwa tradisi merupakan suatu kebiasaan yang diwariskan turun-
temurun dan dilakukan secara berulang dan terus menerus dalam dimensi waktu
21
yang berbeda namun dengan bentuk yang sama dan telah menjadi bagian dari
kehidupan suatu kelompok masyarakat.
I. Metode penelitian
1. Pendekatan dan jenis penelitian
Penelitian ini penulis mencoba menyajikan data dengan metode kualitatif
berupa gambaran tentang data-data yang penulis dapatkan dilapangan. Dalam
penelitian ini penulis mencoba menggunakan metode observasi non parsitipasif,
dimana penulis tidak terjun langsung atau mengikuti kegiatan Upacara Pernikahan
Betawi, akan tetapi penulis memperoleh data lapangan berupa proses wawancara
yang penulislakukan dengan beberapa informan yang memiliki kesamaan dan
pengalaman mengenai pengetahuan tentang tradisi seserahan makanan dalam
kegiatan Upacara Pernikahan Betawi, dan memperoleh informasi berdasarkan dari
informan yang pernah melakukan upacara pernikahannya dengan menggunakan
tradisi Betawi.
Penulis menggunakan observasi non-partisipasif dikarenakan dalam kurun
waktu penelitian yang dilakukan oleh penulis sudah jarang ditemukan prosesi
pernikahan yang menggunakan tradisi adat betawi. untuk itulah penulis mencoba
mendapatkan dan menggali data dalam penelitian ini menggunakan informasi-
informasi dan data-data yang diberikan oleh para informan dalam penelitian ini.
1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dari
berbagai proses yang dijalankan, seperti hakikatnya penelitian kualitatif pada
umumnya, disini penulis mencoba mengumpulkan data dari berbagai proses,
sumber, dan cara yang digunakan penulis dalam memperoleh sebuah keabsahan
data. Proses pertama dalam mengumpulkan data yang penulis lakukan ialah
22
mencari refrensi buku, jurnal-jurnal ilmiah yang membahas tentang tema serupa
dengan penelitian ini, serta thesis maupun media cetak dan media elektronik yang
penulis gunakan dalam mencari informasi mengenai penelitian yang akan penulis
bahas.
Kemudian penulis juga menggunakan media informasi melalui informan
yang penulis gunakan dalam penelitian ini dengan cara mengulik informasi dari
mereka agar data yang diperoleh penulis merupakan data yang alami dan benar
apa adanya, data ini merupakan data primer dalam penelitian, artinya sebagian
besar data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan proses wawancara
yang dilakukan penulis dengan informan yang telah penulis pilih menjadi media
dalam informasi ini yang menggunakan teknik snowball dalam
mengumpulkan/menentukan informan penelitian.
a. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang penulis gunakan
dalam memperoleh data primer, yaitu dengan mencari informan yang menjadi
media informasi yang dibutuhkan penulis dalam penelitian ini.
Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan
teknik wawancara random, yaitu dengan menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan
yang berbeda dari satu informan dengan informan lainnya, akan tetapi
pembahasan yang akan penulis tanyakan dalam wawancara tersebut masih sejalan,
penulis juga menggunakan cara menyusun terlebih dahulu pertanyaan yang akan
penulis sampaikan kepada informan, hal ini bermaksud untuk mengarahkan
pembicaraan dalam wawancara seperti apa yang ingin penulis tujukan, serta
mengindari pembicaraan yang terlalu meluas dan melebar diluar tujuan penulis,
23
sehingga membentuk batasan dalam pembicaraan yang akan dilakukan, selain itu
juga digunakan sebagai patokan umum penulis serta dapat dikembangkan melalui
pertanyaan yang muncul ketika wawancara sedang berlangsung (Arikunto 2002:
203).
b. Sumber Data
Sumber data merupakan data sekunder yang penulis gunakan dalam
menyusun penelitian ini, yaitu dengan menggunakan beberapa refrensi buku,
jurnal-jurnal ilmiah, tesis, maupun media-media cetak ataupun media lainnya
yang digunakan penulis untuk mendapatkan informasi mengenai tradisi seserahan
makanan yang terdapat dalam upacara pernikahan Betawi, juga data ini digunakan
sebagai penunjang kebenaran data melalui penelitian-penelitian yang terdahulu
mengenai pembahasan yang serupa maupun yang memiliki kesamaan dalam
berbagai aspek.
2. Teknik Pengumpulan informan Penelitian
Teknik Pengumpulan Informan
Dalam teknik pengumpulan informan yang dilakukan oleh penulis
pertama-tama ialah penulis mencari informasi terlebih dahulu mengenai siapa dan
dimana data informan yang akan peneliti cari. Penulis pertama kali mencari
informasi mengenai kehidupan masyarakat Betawi pada media sosial. Setelah
mencari informasi penulis mendapatkan gambaran untuk menentukan informan
yang akan penulis jadikan narasumber/informan dalam penelitian kali ini.
Dalam menentukan informan penulis menggunakan metode snowball
sampling dan random wilayah informan, yaitu dengan mewawancarai informan
dengan random wilayah/ tidak pada satu wilayah yang difokuskan. Namun
24
penulis membatasi wilayah dengan menentukan informan yang merupakan
masyarakat betawi yang bertempat tinggal di wilayah Jakarta, akan tetapi penulis
tidak menentukan focus kepada satu tempat saja, misalnya dalam mencari dan
menentukan informan penulis mendatangi informan yang berbeda wilayah seperti
di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan sebagainya.
Dan dalam pencarian informan penulis menggunakan metode snowball
yang artinya dalam penentuan informan penulis awalnya hanya mencari satu
informan, dan kemudian dari satu informan tersebut akan menjadi key information
untuk informan-informan selanjutnya, yauitu dalam penentuan informan kedua
dan seterusnya penulis disarankan oleh informan pertama untuk mendapatkan
informasi mengenai Tradisi Seserahan Upacara Pernikahan Betawi.
Hal ini penulis lakukan karena penulis ingin mencari informan sesuai
dengan kriteria yang penulis butuhkan, antara lan:
1. Informan merupakan masyarakat Betawi asli
2. Informan pernah melakukan, mengalami, atau mengamati secara
langsung mengenai tradisi seserahan makanan pada upacara adat
pernikahan Betawi
3. Informan mengetahui sejarah dan perkembangan mengenai budaya dan
tradisi Betawi (tokoh betawi/masyarakat, budayawan, dll)
4. Informan mau dan bersedia untuk memberikan informasi terkait tradisi
seserahan makanan pada upacara adat pernikahan Betawi
Terdapat lima informan yang penulis gunakan dalam penelitian ini alam
memperoleh informasi mengenai tradisi seserahan makanan yang terdapat dalam
upacara pernikahan Betawi. Tiga dari lima informan yang penulis gunakan disini
25
merupakan tokoh Betawi dan sejarahwan. Hal ini penulis lakukan karena penulis
membutuhkan informasi secara mendalam mengenai sejarah tradisi dari seserahan
makanan yang masyarakat Betawi gunakan dalam pernikahannya. Akan tetapi
hanya informan Bang Yahya yang penulis rasa mengetahui secara detil mengenai
sejarah, dan tradisi Betawi pada masa lampau hingga saat ini. Sehingga penulis
memperoleh sebagian besar data dari beliau. Kedua, tokoh Betawi yang menjadi
informan dalam penelitian ini ialah Pak Buhori selaku pengurus dan tokoh dari
kantor Setu Babakan, beliau memang bukan merupakan tokoh besar Betawi yang
dikenal oleh banyak khalayak, akan tetapi beliau merupakan salah satu tokoh di
daerah kantor setu babakan, pengetahuan mengenai Betawi yang selaras dengan
tema dalam penelitian ini cukup memberikan data yang penulis butuhkan dalam
penulisan penelitian ini, kemudian tokoh terakhir merupakan sejarahwan yang
bernama JJ Rizal, beliau merupakan sejarahwan, penulis dan pemerhati budaya
Betawi, sehingga penulis menjadikan beliau sebagai informan untuk mendapatkan
data mengenai sejarah ke Betawian yang beliau ketahui.
Sedangkan dua informan lainnya merupakan masyarakat biasa yang
bekerja sebagai karyawan swasta, akan tetapi penulis memilih mereka sebagai
informan karena keduanya pernah melakukan pernikahan dengan menggunakan
adat Betawi, walaupun pemahaman mereka tentang sejarah Betawi maupun tradisi
seserahan makanan dalam pernikahan Betawi masih belum banyak seperti para
tokoh diatas, akan tetapi dari data yang didapatkan penulis melalui informan Pak
Bekti dan Kak Ana merupakan menjadi titik terang terdapatnya perubahan tradisi
dalam seserahan makanan pada upacara pernikahan betawi yang mereka
lakukan/gunakan dengan tradisi seserahan makanan dari generasi-generasi
sebelum mereka.
26
Berikut merupakan data singkat informan dalam penelitian ini
Tabel I. I. 2. Informan Penelitian
Nama informan Status Lahir, dan tempat tinggal.
Yahya Andi Saputra
(bang yahya)
Ketua bidang penelitian
Lembaga Kebudayaan Betawi
Jakarta, 5 Desember
1961
JJ Rizal (Pak Rizal)
Aktivis, sejarawan,penulis
Jakarta, 12 Februari
1972
H. Buhori, SH, MH (Pak
Buhori)
UPK PBB sebagai pelaksana
teknis informasi dan
pelayanan
Jakarta, 12 Agustus
1963
Yuliana Karyawan swasta Jakarta, 14 juli 1992
Bekti Karyawan swasta Jakarta, 16 Juli 1983
3. Teknik Pengolahan data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan pengolahan data
atau analisis data dimulai dengan melakukan wawancara mendalam dengan
informan, kemudian penulis membuat transkip hasil dari wawancara penulis
dengan informan, hasil transkip ini kemudia penulis pelajari dan dilakukan
reduksi data dengan penyederhanaan atau pemusatan penelitian melalui abstraksi
yang penulis paparkan, dimana dalam penyusunan reduksi data tersebut penulis
mengambil dan mencatat informasi-informasi yang bermanfaat dan dirasa penting
sesuai konteks penelitian, kemudian informasi tersebut akan disusun dan disajikan
dalam tahap penyajian data berupa isi dari penelitian tersebu, setelah itu dilakukan
pengkodingan data dan selective coding (Aripin 2006:137). Kemudian pada tahap
27
akhir dalam pengolahan data penulis melakukan penarikan kesimpulan dari data-
data yang penulis paparkan dalam penelitian ini.
4. Proses Penelitian
Pada penyusunan penelitian (skripsi) ini penulis menjalankan rangkaian
proses yang cukup panjang dalam menyusun dan menyelesaikannya. Mulai dari
mencari informasi terkait tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan
Betawi, mencari refrensi buku-buku yang harus penulis dapatkan, dalam
kaitannya dengan mencari refrensi buku penulis sedikit merasa kesulitan karena
tidak banyak buku yang membahas tentang makna tradisi seserahan makanan
yang terdapat dalam upacara pernikahan Betawi, karena refrensi buku yang
penulis temukan kebanyakan yang berkaitan dengan resep-resep makanan saja,
namun sedikit sekali refrensi buku-buku yang menjelaskan dan mendeskripsikan
tentang sejarah dan bagaimana makanan tradisional Betawi dapat menjadi bagian
dari proses kehidupan masyarakat Betawi itu sendiri terlebih dengan membahas
secara rinci mengenai proses dijadikannya beberapa makanan sebagai simbol
dalam tradisi tersebut, dalam hal ini juga disepakati oleh beberapa tokoh-tokoh
dan para sejarawan tentang masih minimnya sekali refrensi buku-buku mengenai
tradisi seserahan makanan Betawi yang mendeskripsikan tentang ke otentikannya.
Kemudian penulis melanjutkan mencari informan dengan mendatangi
terlebih dahulu perkampungan setu babakan untuk mendapatkan informan, namun
untuk mendapatkan informan dari kantor setu babakan Jakarta Selatan harus
menggunakan surat izin dari kampus terlebih dahulu, atas ketidak tahuan tersebut
penulis esok harinya mengajukan surat permohonan izin kepada pengurus tata
usaha (TU) kampus. Setelah surat perizinan selesai, beberapa hari kemudian
penulis mendatangi kembali kantor setu babakan untuk mendapatkan informan,
28
akan tetapi penulis harus menunggu dalam waktu dua-tiga minggu untuk
mendapatkan surat izin balasan dari pihak kantor setu babakan. Setelah
mendapatkan surat izin balasan penulis baru bisa mendapatkan informasi dari
informan pertama. Kemudian untuk mendapatkan informasi dari informan-
informan lainnya, penulis tidak perlu memakai dan menyerahkan surat izin
wawancara kembali, karena dari pihak informan sendiri yang tidak meminta
penulis untuk memberikan surat izin seperti yang dilakukan penulis pada
informan pertama.
Kendala yang dialami penulis mungkin memeliki persamaan dengan
kendala yang dirasakan oleh penulis lain, seperti halnya di berikan harapan palsu
oleh informan, dalam hal ini penulis harus sabar dengan diberikan janji palsu atas
waktu yang disediakan oleh informan, misalnya dalam mengatur waktu pertemuan
hari senin pukul sekian, informan sempat membatalkan janji kepada penulis dalam
keadaan penulis sedang dalam perjalanan menuju tempat informan, untuk waktu
perjanjian berikutnyapun informan melakukan kesalahan yang sama yaitu tidak
menghargai keberadaan penulis. Untuk itu dengan tidak mengurangi rasa hormat
penulis meminta baik-baik kepada informan untuk menggantikan informan
tersebut dengan informan lainnya. Karena informan telah melakukan kesalahan
bukan sekali atau dua kali kesempatan, melainkan sudah lebih dari empat kali
penulis di berikan harapan palsu oleh informan dan tidak dihargai oleh informan.
Namun dalam kendala-kendala yang dirasakan oleh penulis dalam
menjalankan proses penelitian adapun kemudahan dan keuntungan yang penulis
dapatkan, yaitu dalam melakukan interaksi kepada informan tidak didapatkannya
kendala seperti, penolakan, pengusiran, penyinggungan dalam pegucapan kata
dan hal-hal yang tidak diinginkan oleh penulis maupun informan.
29
2. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mencoba menyusunkan pembahasan
kedalam empat bab, di bawah ini merupakan penyusunan sistematik yang penulis
jabarkan sebagai berikut :
BAB I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari : pernyataan
masalah, pertanyaan penelitian , tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, definisi konsep, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II merupakan pembahasan tentang gambaran umum mengenai sejarah
betawi, variasi masyarakat betawi, proses upacara pernikahan adat
betawi, dan makanan-makanan yang biasanya dijumpai dalam
proses upacara adat betawi.
BAB III memaparkan hasil penelitian tentang perubahan tradisi seserahan
makanan dalam proses upacara pernikahan adat betawi (makna
simbolik) dengan terdiri dari beberapa tradisi seperti; 1. Tradisi
ikan bandeng pada proses ngedelengin 2. Tradisi seserahan
lamaran (sirih lamaran, buah-buahan, pisang raja, roti tawar, kue
bacot, dll) 3. Tradisi Balasan Hantaran/Seserahan (Njotan) 4.
Tradisi seserahan roti buaya. Kemudian perubahan-perubahan yang
terjadi pada proses tradisi seserahan makanan tersebut.
BAB IV yaitu penutup, berisi kesimpulan dan saran dari seluruh hasil
penelitian yang peneliti dapatkan dan dijelaskan dalam penelitian
ini.
30
BAB II
MASYARAKAT BETAWI DAN TRADISI KULINER UPACARA ADAT
PERNIKAHANNYA
A. Asal-usul Betawi
1. Sejarah Betawi
Dalam pembahasan mengenai sejarah Betawi yang dijelaskan dalam buku
Shinta (2016), penelusuran tentang keberadaan etnis Betawi pernah diungkap oleh
Castle (1967) menuliskan pemahamannya bahwa orang Betawi baru terbentuk
pada pertengahan abad ke – 19 dan merupakan hasil proses peleburan berbagai
etnis yang menjadi budak di Batavia. Argument ini didasari atas analisis terhadap
data sensus yang dilakukan pada masa pemerintahan colonial Belanda tahun 1615.
Dan 1815 yang tidak menemukan adanya catatan mengenai golongan etnis Betawi
(Shinta, 2016:21).
Dikutip dalam buku Yasmine (2004:3) data penduduk yang digunakan
Lance Castles (2007) dalam terbitan Masup, membangun teorinya mengenai latar
belakang sejarah terbentuknya orang Betawi menunjukkan bahwa pada pencatatan
penduduk di Batavia tahun 1673, 1815, dan 1893 tidak ada kelompok masyarakat
di Jakarta yang dicatat dibawah label Betawi. Yasmin mengatakan bahwa hal
yang menarik dalam table ini adalah bila pada dua catatan pertama registrasi tahun
1673 dan 1815 penduduk Batavia (di luar orang Eropa, Cina, Arab, dan Moors)
dapat dibeda-bedakan menurut etnis mereka seperti Jawa, Banda, Melayu, maka
pada registrasi penduduk pada tahun 1893 mereka di persentasekan dalam satu
kelompok saja sebagai kelompok penduduk asli vis a vis kelompok pendatang.
31
Tabel II. A. 1 Jumlah (Etnis) Penduduk Jakarta
Penduduk Jakarta pada tahun 1673,1815, dan 1893
Sumber : Lance Castles, 2007:57, yang di kutip oleh Yasmine, 2004:4
Masih dalam kutipan buku Yasmin (2004:4) pertanyaan yang dapat
dimunculkan di sini, kemanakah etnis-etnis tersebut di atas? Sehubungan dengan
hal itu, menarik untuk menuju hasil sensus 1930 dan menghubungkannya dengan
laporan van der Aa (1846), seorang pegawai pemerintah jajahan Belanda di
Indonesia yang mencatat dalam laporannya bahwa dalam pekerjaannya di
lapangan ia seringkali mendapatkan kesulitan karena banyak orang yang tidak
dapat menentukan kelompok etnik mereka. Pada sensus 1930 terdapat kelompok
(1)
1673 1815 1893
(2) (3) (4)
Eropa 2750 2028 9017
Cina (termasuk pernakan) 2747 11584 26569
Mardijkers 5362 - -
Arab - 318 -
Moors 119 2842 -
Jawa (termasuk sunda) 6339 3331 -
Kelmpok Sulawesi Selatan - 4139 -
Bali 981 7720 -
Sumbawa - 232 72241
Ambon dan Banda - 82 -
Melayu 611 3155 -
Budak 13278 14249 -
32
etnis baru yang tidak terdapat dalam catatan kependudukan sebelumnya, yaitu
kelompok Betawi. Demikianlah dengan pendekatan sejarah demografi dapat
dikatakan bahwa orang Betawi muncul antara tahun 1815 dan 1893 yang
eksistensinya diakui secara resmi dengan didirikannya “Persatoean Kaoem
Betawi” oleh Muhammad Husni Thamrin pada tahunj 1923, serta secara legal
pengakuan ini muncul dengan tercatatnya kelompok etnik Betawi dan sensus
1930.
Pendekatan demografis historis dari Lance Castles yang menunjukkan
bahwa orang Betawi terbentuk dari macam-macam migran yang masuk ke Batavia
membawa sekelompok orang pada hipotesa bahwa orang Betawi bukanlah
penduduk asli Jakarta, tetapi migrant di Jakarta (Yasmine, 2004:5) Hipotesa ini
mendapat raksi penolakan terhadap teori Lance Castles yang berdatangan dari
tokoh Betawi tahun 1990-an, meski belum memproklamirkan diri sebagai
kelompok etnis Betawi, diyakini nenek moyang orang betawi sudah ada jauh
sebelum kota Jakarta didirikan (Shinta, 2016;21) . dikutip dari catatan penerbit
buku terjemahan Castles terbitan Masup Jakarta 2007, Ridwan Saidi yakin orang
Betawi adalah keturunan Kerajaan Salakanagara (tahun 130) yang berpusat di
Condet, tempat ditemukannya makam kuno yang ditafsirkan Ridwan sebagai
tokoh dari zaman Kerajaan Kelapa (pelanjut Kerajaan Salangkanagara).
Teori arkeologis turut memberi bukti bahwa lahirnya masyarakat yang kini
belum di Jakarta diperkirakan dimulai sejak 1500 tahun SM (zaman batu
neolitikum), hal ini didasari atas ditemukannya artefak pecahan gerabah berupa
alat dapur atau alat makan; alat berburu seperti kapak persegi, beliung, dan
serpihan batu; perhiasan seperti gelang batu; serta alat bercocok tanam dari batu
(Shinta, 2016:21).
33
Benda benda tersebut di temukan di beberapa daerah wilayah Jakarta,
pernyataan ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Bang Yahya pada
kcesempatan wawancara
“ Etnis itu lebih dulu ada, cuma memang namanya belum jelas
pada saat itu namanya sudah Betawi atau belum. Jadi manusia-manusia
saat itu adalah manusia proto manusia Betawi, dan itu sudah diketahui
keberadaan itu jauh dari abad masehi. Karena hasil penggalian arkeologi
sebelum abad ke 5 sebelum masehi sudah menemukan kampung-kampung
yang ditempati oleh manusia, dan manusia itu dikatakan sebagai manusia
proto melayu Betawi,jadi belum disebut masyarakat Betawi, penyebutan
proto melayu Betawipun disebutkan pada kemudian hari. Kemudian kata
betawi dapat ditemukan pada abad 18-19 masehi.” (wawancara pada
tanggal 10 Juli 2018)
“Jadi suku ini sudah cukup lama ada disini, terbukti dari hasil
penggalian-penggalian yang dilakukan oleh para ahli kepurbakalaan yang
dilakukan penggalian itu di situs-situs perkampungan Betawi yang dilakukan
pada tahun 70-an. Jadi ada lebih kurang 20 sampai dengan 35 situs dikampung-
kampung Betawi dekat pasar jumat, condet, pondok labu, pasar minggu, kelapa
nunggal, kelapa dua, sampai ke ujung pelabuhan sunda kelapa. Kemudian kalau
dari timurnya dari kampung pakis atau batu jaya disana terkenal dengan wilayah
situs buni. Jadi kita disini sudah cukup lama, namun penamaan Betawi baru
muncul dan diketahui pada abad 18-19 masehi” (wawancara pada tanggal 10 Juli
2018).
Sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Batavia, kota ini merupakan
pengikut kerajaan Banten di bawah pangeran Jayakarta dan penduduknya adalah
penduduk Jawa Barat, dan etnik sunda (Yasmine, 2004;5). Kebijaksanaan kolonial
Belanda yang mendatangkan penduduk dari luar Batavia dalam membangun kota
ini telah menyebabkan munculnya penduduk multietnis yang akhirnya
memunculkan etnik Betawi, keturunan pangeran Jayakarta yang dikalahkan oleh
Belanda, membangun komunitasnya di daerah Jakarta Timur yang kini dikenal
dengan nama Jatinegara Kaoem dan merupakan kelompok tersendiri yang melihat
dirinya sebagai penduduk asli Jakarta (Somad, 2000; Shahab, 2000). Namun
demikian, kelompok ini amat kecil jumlahnya sehingga tak banyak orang yang
dapat menerima bahwa keturunan pangeran Jayakarta ini merupakan lapisan
34
aristocrat dari penduduk asli Jakarta yang merupakan etnis egaliter karena dalam
perjalanan sejarahnya masyarakat Betawi tidak pernah mengenal kerajaan
(Yasmine, 2004;6).
2. Variasi Betawi
Perbedaan laju perkembangan kota Jakarta, telah menyebabkan orang-
orang Betawi di lokasi yang berbeda terkena pengaruh sosial ekonomi yang
berbeda sehingga memiliki cirri-ciri yang berbeda dalam arti tingkat dan bentuk
pendidikan, jenis pekerjaan, gaya hidup, dan sebagainya. Mereka yang tinggal di
pusat kota lebih cenderung merasakan arus dan dampak perkembangan kemajuan
kota jauh lebih besar dibanding mereka yang bermukim di wilayah pinggir kota.
Akibatnya di pusat kota terbentuk kelompok-kelompok Betawi yang lebih
menyandang cirri-ciri urban, sedangkan di pinggiran kota Jakarta terbentuk
kelompok yang lebih merefleksikan kehidupan rural. Kelompok yang berdomisili
di pusat kota dikenal dengan sebutan Betawi kota/ Betawi Tengah; mereka yang
berdomisili di pinggirsan kota Jakarta lebih dikenal sebagai Betawi Pinggir dan
Betawi Udik, sedangkan mereka yang berdomisili di daerah pesisir dinamakan
Betawi Pesisir (Yasmine, 2004;6). Seiring berjalannya waktu perbedaan fisik
dalam kelompok tersebut mulai berkurang dan semakin tidak terlihat perbedaan
antara perbedaan fisik pada kelompok tersebut, hingga kini yang terdengar dan
terlihat hanyalah orang Betawi. Hal ini selaras dengan pernyataan JJ Rizal dalam
kesempatan wawancara dengan penulis.
“ ya sebenernya sih sekarang istilah Betawi, tengah, pinggir, udik,
ataupun pesisir sudah gabisa dipake lagi untuk konteks saat ini, karena
banyaknya pembangunan, penggusuran, perubahan tata ruang kota Jakarta ini
menyebabkan orang yang tinggal di pesisir hilang, orang yang ditengah pindah ke
pinggir, dan bahkan orang Betawi yang berada di pinggir pindah ke Bogor dan
daerah lainnya. Karena sejak tahun 1950an drastis berubah, jadi urbanisasi
mengakibatkan konteks Betawi pinggir dan Betawi tengah itu luntur sebenernya,
35
apalagi setelah tahun 1980an, dan sekarang hanya ada penyebutan orang Betawi
saja di daerah manapun, karena memang pada saat ini persebarannya pun sudah
lebih meluas.” (wawancara dengan JJ Rizal pada tanggal 27 Juli 2018)
Dari penjelasan yang diberikan oleh informan Pak Rizal mengenai tidak
berlakunya lagi istilah perbedaan batasan Betawi seperti betawi tengah, pinggir,
maupun udik, menjadikan pemahaman bahwa tradisi, proses, maupun seserahan
yang mereka gunakan menjadi simbol dalam pernikahan Betawi tidak memiliki
perbedaan satu dengan yang lainnya. karena setiap masyarakat betawi yang
tinggal di berbagai wilayah, contohnya Jakarta, apabila melaksanakan pernikahan
dengan menggunakan adat istiadatnya, tradisi yang mereka lakukan ialah sama
dengan masyarakat Betawi lainnya di berbagai daerah akan melakukan tradisi dan
proses yang serupa.
B. Proses Pernikahan Adat Betawi
Dalam kehidupan orang Betawi ada beberapa tahapan-tahapan atau siklus
kehidupan yang diberi makna di dalamnya, dalam kebudayaan Betawi terdapat
upacara-upacara adat baik itu yang sacral maupun tidak, upacara-upacara tersebut
merupakan bagian dari tradisi yang sudah mendarah daging sehingga terasa ganjil
apabila masyarakat Betawi tidak melaksanakannya dalam perjalanan hidupnya.
(Yahya, 2000:5). Itulah siklus kehidupan yang dialami oleh orang Betawi, suatu
perjalanan panjang penuh liku-liku yang dilalui orang Betawi sejak lahir hingga
masuk liang lahat. Upacara adat itu antara lain ; Akeke, Sunatan, Khatam Qur‟an,
Nikah, Bikin dan Pinde Rume, Nuju Bulan, Nazar, Lebaran, dan Alam Kematian.
Upacara adat perkawinan merupakan salah satu kegiatan dalam menjalani
siklus kehidupan orang Betawi, bagi mereka upacara adat perkawinan ini
sebenarnya dilakukan melalui beberapa tingkatan upacara yang berhubungan atau
36
berkaitan satu sama lainnya. Tahapan-tahapan tersebut diawali dengan masa
perjumpaan dan pendekatan, lamaran sampai dengan akad nikah yang merupakan
resminya seorang pemuda dan seorang gadis menjadi pasangan suami istri serta
keriaan atau pesta yang melengkapinya.
Adapun tahap-tahap yang harus dilalui dalam rangka upacara perkawinan
ini adalah sebagai berikut:
1. Ngedelengin
Tempo doeloe atau pada jamannya ngedelengin merupakan proses paling
awal yang terjadi dalam tahap perjalanan upacara adat perkawinan Betawi.
Ngedelengin merupakan masa pendekatan dan penelaahan terhadap seorang gadis.
Tempo dulu ngedelengin terjadi kalau sebuah keluarga mempunyai anak lelaki
yang sudah dewasa, sudah kerja dan dianggap pantas berumah tangga namun si
jejaka tidak memperlihatkan hasrat untuk berumah tangga atau mungkin si jejaka
tidak berani mendekati anak perawan padahal ia sudah ngebet (Yahya, 2000;31).
Masih pada kutipan buku sebelumnya, Orang tua si jejaka itu tentu saja kuatir
dengan masa depan putranya, maka orang tua si jejaka ini akan segera
menghubungi mak comblang. Mak comblang bertugas mencari perempuan calon
mantu atau istilah Betawinya None Calon Mantu. Jika none calon mantu telah
ditemukan, maka si jejeka akan diajak musyawarah untuk berumah tangga
sebelum ketelanjuran di sebut jajake tue atau bujang lapuk.
Peranan Mak comblang memiliki arti penting di dalam masyarakat betawi,
bahwa kehadirannya adalah sebagai profesi yang penting dalamkaitannya dengan
adat istiadat perkawinan, keadaannya sangat diperlukan karena hubungan antara
anggota masyarakat khususnya tata cara pergaulan antara pemuda dan pemudi
37
masa lampau itu, di Batawi secara ketat oleh aturan adat yang telah mentradisi.
(Cucu, 2000:13). Jadi fungsi mak comblang salah satu diantaranya adalah sebagai
penghubung antar anggota masyarakat yang mempunyai rencana untuk
menikahkan anak-anaknya.
Dulu di daerah tertentu ada kebiasaan menggantungkan sepasang ikan
bandeng di depan rumah seorang gadis, bila si gadis ada yang naksir. Pekerjaan
menggantungkan ikan bandeng ini dilakukan oleh seorang pemuda atau dilakukan
oleh Mak Comblang atas permintaan orang tua si pemuda. Tentu ini merupakan
awal dari tugas dan pekerjaan ngedelengin (Yahya, 2000:31).
Orang tua atau keluarga yang mendapatkan di depan rumahnya di
gantungkan sepasang ikan bandeng, dengan sendirinya memaklumi bahwa anak
perawannya mulai ada yang penuju. Berdasarkan itu, orang tua yang bersangkutan
segera memberi peringatan dan penjelasan kepada anak gadisnya untuk berhati-
hati dan membatasi pergaulannya, dalam tahap ini orang tua si gadis di minta
untuk memingit anak gadisnya, arti memingit disini bukan untuk melarangnya
keluar rumah dan membatasi pergaulannya dengan teman-temannya, namun hal
ini dilakukan bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada anak perawannya
berupa akhlak, sopan santun, dan yang paling penting lagi melatih masak
memasak. Kalau pendidikan ini sudah mantap maka keluarga si gadis akan lega
melepasnya.
Tradisi memberikan seserahan (memasangkan) ikan bandeng pada tahapan
prosesi ngedelengin ini hanya berlaku di beberapa masa saja, saat ini tradisi
seserahan ini tidaklah digunakan atau jarang ditemukan dalam pernikahan Betawi
manapun. Hal ini dirasakan oleh informan Ka Ana yang menyatakan ;
38
“… Enggak ada tuh pas kemaren suami kasih ikan bandeng itumah
Betawi jaman dulu kali ya, kalo sekarang sih juga gapernah denger tetangga atau
sepupu kalo nikahan pake adat Betawi digantungin ikan bandeng gitu”
(wawancara pada 11 agustus 2018 ).
2. Ngelamar
Melamar atau menurut istilah Betawinya “ngelamar” merupakan tingkat
kedua setelah ngedelengin dari urutan upacara adat perkawinan Betawi. Biasanya
setelah seorang pemuda menentukan pilihannya, maka pihak keluarganya akan
mendatangi keluarga gadis pilihannya tadi. Adapun yang dikirim sebagai utusan
biasanya keluarga yang dekat sebanyak dua atau tiga orang termasuk dengan mak
comblang yang sudah dijelaskan pada tahap ngedelengin di atas.
Dalam tahap ini sudah ada pernyataan resmi dari pihak keluarga jejaka
tentang ketertarikan dan hasrat untuk meminang si gadis tersebut, ini biasanya
dilakukan oleh perwakilan keluarga besar si jejaka. Utusan pertama adalah mak
comblang yang berperan membuka pembicaraan agar dialog di antara kedua
keluarga berjalan harmonis. Selain mak comblang, bisa juga mengutus dua pasang
wakil orang tua (dari ibu dan bapak) si jejaka.
Dulu, jika hendak ngelamar, masyarakat Betawi mengutamakan utusan
dari keluarga yang sudah berangkat haji atau yang memahami masalah
keagamaan. Harapannya, bila pembicaraan sampai pada tahap tande putus (pasti
menikah), semua perencanaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan
pasangan calon pengantin bisa membentuk keluarga yang langgeng, penuh kasih,
dan saling menghormati (Shinta, 2016:79). Dari pihak si gadis diharapkan hadir
pula keluarga yang memiliki hubungan serupa dengan pihak si jejaka sebagai
lambing bahwa kedatangan utusan orang tua si jejaka di terima dengan baik oleh
keluarga besar si gadis.
39
3. Tunangan (Nentuin dan ngenjot)
Setelah lamaran di terima oleh pihak si gadis, maka tingkat pengesahan
bertunangan menjadi tahap berikutnya, tahap ini di tandai dengan adanya suatu
acara mengantar kue-kue dan buah-buahan dari pihak laki-laki kerumah pihak si
gadis, yang kemudian dibalas dengan makanan berupa nasi dan lauk pauknya, dan
seterusnya dibagikan kepada semua anggota keluarga masing-masing.
Dalam proses pertunangan ini atau biasa orang Betawi menyebutnya
dengan bawa tande putus merupakan proses yang dilaksanakan oleh anggota
keluarga jejaka yang mendatangi rumah gadis (none calon mantu) dengan
membawa beberapa seserahan atau barang-barang yang menjadi simbol sebagai
tanda putus. Tanda putus ini sendiri artinya bahwa si gadis (none calon mantu)
telah terikat dan tidak lagi dapat di ganggu oleh pihak lain walaupun pelaksanaan
tande putus dilakukan jauh sebelum pelaksanaan acara akad nikah.
4. Akad nikah dan pesta nikah
Akad nikah merupakan salah satu prosesi yang paling sacral diantara
prosesi sebelumnya, karena acara ini merupakan proses pengucapan janji sehidup
bersama anatara mempelai pria dan mempelai wanita dalam suatu pernikahan.
Biasanya acara ini diadakan siang hari di rumah pengantin wanita. Dalam prosesi
ini keluarga pihak mempelai perempuan akan memberikan hidangan “sayur
besan” kepada pihak mempelai laki-laki, gunanya menyediakan hidangan sayur
besan ini biasanya sebuah tanda penghormatan atas datangnya keluarga baru.
Kemudian setelah prosesi atau acara akad nikah ada yang disebut dengan
malam kebesaran / keriyaan. Prosesi ini merupakan acara besar atau malam pesta
pernikahan adat Betawi, biasanya dalam acara tersebut seluruh makanan khas
betawi disediakan untuk para tamu undangan dan sanak saudara maupun keluarga
40
besar kedua mempelai. Dalam proses ini, keluarga pengantin wanita akan
menyajikan beberapa jenis hidangan sebagai bentuk rasa terima kasih atas doa
yang baik yang telah diberikan para tamu. Masakan yang biasa disajikan di sini
meliputi: nasi uduk, kopi, teh, buah-buahan, nasi kuning dengan topping
serondeng, tape uli dan beberapa kue tradisional khas Betawi lainnya.
Dalam pernikahan adat Betawi, prosesi malam keriyaan atau pesta
pernikahan bukanlah akhir dari tahap prosesi pernikahan adat Betawi. Namun
setelah malam keriyaan ada yang namanya malam negor dan pulang tiga ari,
dalam prosesi tersebut dilakukan setelah acara malam keriyaan selesai, malam
negor merupakan momen dimana sang suami berupaya meyakinkan istrinya untuk
memulai hidup baru sebagai sebuah keluarga. Momen ini juga termasuk sebagai
salah satu moment yang sangat sakral dan bermakna bagi kehidupan keduanya
untuk hidup bersama membangunkeluarga mereka, dan berfungsi sebagai bukti
kesucian perempuan sebagai seorang istri.
Setelah semua prosesi dalam pernikahan adat Betawi terlaksanakan, ini
merupakan akhir dari rangkaian prosesi pernikahan adat Betawi. Pulang tiga hari
atau biasa disebut dengan “ngunduh mantu” merupakan prosesi atau momen yang
perlu dilakukan dalam tahapan proses pernikahan adat Betawi, sebab ini
merupakan momen hangat dalam mendekatkan anatara kedua keluarga yang
bersangkutan (keluarga mempelai pria dan wanita).
Tepat tiga hari setelah pengantin pria menginap di rumah istrinya, mereka
berdua kemudian di boyong ke rumah pengantin pria, rombongan pengantin
kemudian dibekali sambel goreng pencok oleh orang tua pengantin wanita
(Yasmin, 2004:52). Sebagai tanda kegembiraan dari orangtua pengantin pria saat
keduapengantin baru tersebut ntelah selamat menunaikan tugas sebagai suami
41
istri,maka dikirimlah beberapa macam bahan mentah untuk pembuatan laksa
pengantin ke rumah orangtua pengantin wanita, dengan menerima bahan ketupat
laksa pengantin tersebut, maka orang tua pengantin wanita menjadi maklum
bahwa gadisnya telah dapat menjaga kehormatan keluarga (Yasmin, 2004:52).
C. Macam-macam Kuliner Pernikahan Adat Betawi
Menurut Yasmin Zaki Shahab dalam buku Identitas dan Otoritas
Rekonstruksi Tradisi Betawi (2004), upacara pernikahan Betawi banyak
mengalami modifikasi, khususnya makanan. Adanya pengaruh budaya Sunda,
Cina, Belanda, hingga Arab, ikut menyumbangkan nuansa berbeda dalam masing-
masing kelompok masyarakat. Meski begitu, tetap ada seserahan makanan wajib
tiap tahap upacara pernikahan tradisional adat Betawi.
Berikut merupakan macam-macam makanan yang kerap dijumpai dalam acara
pernikahan adat Betawi ;
1. Roti buaya
Roti buaya merupakan hidangan orang Betawi berupa roti tawar yang
berbentuk buaya, roti buaya juga merupakan salah satu makanan yang wajib ada
dalam pernikahan adat Betawi, kehadirannya konon merupakan hal terpenting
Gambar II.C.1 Roti Buaya
Sumber:https://plesirankotatua.blogspot.com/201
6/09/filiosofi-arti-roti-buaya-betawi.html
42
bagi pasangan yang segera melangsungkan acara pernikahan. Biasanya roti tawar
berbentuk buaya yang dibawa ini berukuran kurang lebih 50cm dan dibawa oleh
mempelai lelaki kepada mempelai perempuan.
Asal-usul adanya roti buaya ini, konon terinspirasi oleh perilaku buaya
yang hanya kawin sekali sepanjang hidupnya, masyarakat Betawi meyakini hal itu
secara turun temurun. ( Darti, 2012:99). Dalam bukunya, Darti juga menjelaskan
bahwa selain terinspirasi perilaku buaya, simbol kesetiaan yang diwujudkan
dalam sebuah makanan berbentuk roti itu juga memiliki makna khusus, menurut
keyakinan masyarakat Betawi, roti buaya juga menjadi simbol dari kemapaman
ekonomi, dengan maksud selain bisa saling setia, pasangan yang menikah juga
memiliki masa depan yang lebih baik dan bisa hidup mapan (2012: 99).
2. Sayur Besan
Sayur besan juga merupakan makanan khas betawi yang sering di temui
dalam pernikahan adat Betawi. Dalam prosesi pernikahan adat Betawi tradisional
Gambar II.C.2 Sayur Besan
Sumber : http://tangselpos.co.id/2016/11/23/sayur-besan-
bakal-raih-rekor-muri/
43
melibatkan serangkaian prosesi panjang. Beberapa tahapnya melibatkan makanan
khas Betawi yang melambangkan harapan, seperti sayur besan. 1
Sayur ini merupakan sayur pada umumnya yang sama seperti sayur lodeh,
namun perbedaannya pada sayur besan ini ialah menggunakan bahan utama
terubuk yaitu sejenis tebu yang dikonsumsi bunganya saja. Dinamakan sayur
besan konon makanan ini merupakan sebuah hantaran dalam prosesi pernikahan
yang diberikan oleh calon mempelai lelaki kepada calon mempelai perempuan,
namun terkadang pihak keluarga calon mempelai perempuanpun kerap kali
memberikan hantaran makanan sayur besan ini kepada keluarga pihak calon
mempelai laki-laki.
Sayur besan ini merupakan salah satu dari beberapa hantaran makanan
atau tradisi dalam prosesi pernikahan adat Betawi, mengapa sayur ini disebut
sayur besan? Karena makanan ini kerap kali disajikan atau disediakan saat acara
besanan atau dalam suatu prosesi pernikahan adat Betawi, dan masyarakat Betawi
menjadikan makanan ini sebagai salah satu simbol yang identik dengan
pernikahan.
3. Dodol dan kue bacot
Dodol merupakan salah satu makanan khas Betawi, lebih tepatnya
merupakan sejenis kue-kue tradisional khas Betawi atau biasanya masyarakat
Betawi menyebutnya dengan istilah kue bacot, dalam makanan khas Betawi.
Makanan ini juga termasuk ke dalam makanan yang sering dijumpai dalam
1Detik food, ulasan khusus : kuliner Betawi “Pesta Pernikahan ala Betawi,
Wajib Ada Sayur Besan dan Roti Buaya. https://food.detik.com/info-
kuliner/d-2612200/pesta-pernikahan-a-la-betawi-wajib-ada-sayur-besan-
dan-roti-buaya diakses pada tanggal 7 september 2018 pukul 14:59 WIB.
44
pernikahan adat Betawi, karena masyarakat Betawi sendiri memahami bahwa
hantaran makanan kue-kue tradisional ini merupakan salah satu simbol dalam
keberlangsungan prosesi pernikahan adat Betawi.
Kue bacot merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
betawi dalam prosesi pernikahan adat Betawi, kue-kue khas tradisional ini sepeeti
dodol, geplak, uli, kue cincin, kue wajik, serondeng, kue cina, manisan, dan masih
banyak lagi. Kue-kue khas Betawi yang dihadirkan dan dijadikan hantaran pada
prosesi pernikahan adat Betawi ini mengandung arti sebagai kata “bicara” yang
berarti dalam tradisi hantaran kue bacot ini memeliki makna dalam pernikahan
yang segera berlangsung.
4. Nasi kuning dan bekakak ayam
Nasi kuning dan bekakak ayam merupakan makanan yamg sering dijumpai
dalam proses kehidupan masyarakat Betawi, yang artinya kedua makanan ini
selalu ada di setiap acara penting dalam masyarakat Betawi. Misalnya, dalam
acara sunatan, pernikahan, nujuh bulan dll. Kedua makanan ini menjadi sangat
penting bagi masyarakat Betawi pada zamannya
Gambar II.C.3 Dodol dan Kue Bacot
Sumber : https://sportourism.id/history/kue-bacot-
masih-adakah-di-masyarakat-betawi-pinggiran
45
Konon makanan ini selalu dijadikan makanan persembahan atau makanan yang
dapat mengutarakan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Karena itulah kedua
makanan tersebut selalu dijumpai dalam beberapa acara besar dan penting dalam
prosesi daur kehidupan
masyarakat betawi.
5. Pisang raja dan Sirih lamaran
Pisang raja merupakan salah satu hantaran makanan yang dibawa oleh
pihak mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan, biasanya hantaran ini
diberikan pada saat prosesi acara lamaran, namun juga disediakan pada saat
prosesi akad nikah dalam tradisi pernikahan Betawi. Biasanya makanan ini sering
disandingkan dengan dua buah roti yang di tempatkan di atas nampan berbungkus
kertas warna. Kedua pasangan makanan ini sering disebut dengan pasangan roti
pisang.
Gambar II.C.4 Nasi Kuning dan Bekakak Ayam
Sumber: http://www.harnas.co/2017/05/25/mengenali-rasa-dalam
tradisi/mengenali-rasa-dalam-tradisi-2
46
Kemudiaan ada hantaran yang dinamakan sirih lamaran, sirih lamaran
memang bukan termasuk ke dalam makanan yang dapat dikonsumsi dalam acara
pernikahan adat Betawi, namun sirih lamaran termasuk ke dalam kategori bahan
pangan yang dijadikan simbol dalam pernikahan adat Betawi. Biasanya barang ini
merupakan bawaan pertama dan utama sebagai lambing kegembiraan dan
lambang penghargaan terhadap sigadis, orang tua, dan keluarganya karena sudah
bisa memelihara moral, akidah, dan keanggunan si gadis hingga tahap ini (Shinta,
2016:79).
Gambar II.C.4 Pisang Raja dan Sirih
Lamaran
Sumber:http://bellezuli.blogspot.com/2018/01/pisan
g-sanggan-seserahan.html
47
BAB III
TEMUAN DAN ANALISA DATA
Pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan hasil temuan data
yang penulis dapatkan saat proses wawancara dilapangan dilakukan, serta temuan
data berdasarkan informasi-informasi yang penulis dapatkan dari beberapa
refrensi bacaan mengenai pembahasan yang akan penulis bahas pada penelitian
kali ini.
A. Tradisi Seserahan Makanan Pernikahan Adat Betawi (Proses
Pemaknaan Simbolik)
Seperti pada hakikatnya bahwa manusia merupakan makhluk yang selalu
berinteraksi dalam kehidupan sehari-harinya. Interaksi tersebut tidaklah hanya
melibatkan sesama antar manusia melainkan berhubungan dengan seluruh
mikrokosmos, yaitu termasuk dengan interaksi yang dilakukan manusia dengan
seluruh alam ciptaan. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan sebuah interaksi
manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia
menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka
maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang
ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak
yang terlihat dalam interaksi sosial (Artur, 2004:14).
Syam dalam bukunya (2009: 42) mengungkapkan bahwa simbol
merupakan sesuatu yang sangat berguna untuk melakukan komunikasi.
Berdasarkan apa yang disampaikan Syam tersebut, simbol dengan demikian
memiliki peran penting dalam terjadinya komunikasi. Simbol juga diartikan
sebagai media prantara komunikasi antara masyarakat yang memiliki budaya.
48
Dari simbol tersebut masyarakat akan memahaminya melalui makna-
makna yang akan mereka sepakati bersama. Sedangkan makna memiliki artian
sebagai produk sosial yang dihasilkan oleh manusia, makna tersebut terbentuk
karena adanya proses interaksi sosial yang telah disepakati bersama dan
diinterpretasikan melalui simbol-simbol tersebut. Menurut Blummer (1969)
terdapat tiga cara menjelaskan asal sebuah makna. Pertama, makna adalah sesuatu
yang bersifat intrinsic dari suatu benda. Kedua, makna itu terdapat di dalam orang
yang menginterprestasikan, bukan di dalam benda itu sendiri. Ketiga, makna
adalah produk sosial atau ciptaan yang di bentuk dalam melalui pendefinisian
aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi (west&turner, 2008).
Kemudian pada kesempatan selanjutnya penulis akan memaparkan lebih
lanjut mengenai proses pemaknaan simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi
kuliner pada prosesi upacara pernikahan adat Betawi sesuai dengan premis
pertama yang dikemukakan oleh Herbert Blummer (Laksmi, 2017:126) dalam
teori interaksionisme simbolik miliknya, bahwa manusia bertindak terhadap
sesuatu atas dasar makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka. Dengan kata
lain, manusia dianggap aktif dalam menentukan dan memaknai lingkungan atau
situasi di sekitar mereka, dan menginterprestasikan makna-makna tersebut melalui
simbol-simbol yang mereka sepakati bersama.
Kemudian melalui premis keduanya Blummer mengatakan makna-makna
tersebut merupakan hasil interaksi sosial yang terus-menerus dan terjadi berulang-
ulang dalam suatu masyarakat. Makna pada suatu tanda, yaitu objek, peristiwa,
atau gagasan tidak melekat pada tanda tersebut secara sendirinya, tetapi
merupakan hasil dari negosiasi. Pengertian tersebut memberikan arti bahwa
makna yang dilekatkan pada suatu objek, peristiwa atau gagasan tidak datang
49
dengan sendirinya, melainkan adanya negosiasi dalam interaksi mereka sebagai
manusia secara berkelompok yang kemudian disepakati bersama dengan hasil
pertimbangan satu dengan yang lain.
Kemudian di premis berikutnya Blummer juga menyumbangkan
pemikiran bahwa makna-makna tersebut diperbaharui melalui suatu proses
penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan
objek yang dihadapinya. Berdasarkan premis tersebut, maka makna pada simbol
atau objek dapat berubah sesuai dengan konteks dalam ruang dan waktu yang
membingkai interaksi tersebut.
Hal ini merupakan gagasan penting untuk menganalisis proses
pembentukan simbol datam tradisi kuliner yang dilaksanakan dalam upacara
pernikahan adat betawi. Kegiatan atau proses tradisi upacara pernikahan dalam
adat istiadat betawi bukanlah seseuatu kegiatan yang dijalankan tanpa adanya
maksud, tujuan dan makna yang terdapat di dalamnya, melihat dari nilai sacral
yang terkandung di dalam upacara tersebut, maka prosesi di dalam kegiatan
upacara tersebut memiliki makna yang telah dipahami oleh masyarakat Betawi
sejak dulu kemudian dijadikan tradisi yang terus dilakukan sampai dengan saat
ini.
Dalam proses pernikahan betawi biasanya banyak sekali rangkaian tradisi
upacara pernikahan yang harus dipersiapkan secara matang. Dalam persiapan
tersebut ada yang dinamakan tradisi seserahan makanan, tradisi seserahan
makanan yang dimaksud disini ialah berupa “hantaran makanan” yang biasanya
dilakukan oleh masyarakat betawi ketika ingin melangsungkan pernikahan.
Sebelum acara pesta kebesaran ada tradisi-tradisi yang biasanya dilakukan oleh
50
masyarakat Betawi dan tradisi tersebut masuk ke dalam proses rangkaian menuju
pernikahan adat betawi.
Dalam upacara pernikahan adat Betawi, simbol menjadi sesuatu hal yang
melekat dan menyatu dalam setiap prosesi tradisi yang dilakukan oleh masyarakat
betawi, termasuk dalam hal tradisi seserahan makanan yang dapat menjadi simbol
perantara mengenai interaksi antara individu dengan individu maupun dengan
masyarakat. Demikian halnya dengan tradisi seserahan makanan yang dilakukan
oleh masyarakat Betawi dalam rangkaian prosesi upacara penikahannya,
masyarakat tersebuat cenderung melakukan suatu tindakan atau perilaku
berdasarkan makna yang terdapat dalam simbol-simbol pada tahapan kegiatan
tersebut. Kemudian mereka bertindak atas makna yang dimiliki oleh benda/objek
yang telah mereka jadikan sebuah simbol tersebut, juga bertindak atas kejadian
maupun fenomena yang ada disekeliling mereka.
Masyarakat cenderung merespon lingkungan maupun objek fisik material
dan nonmaterial dalam kehidupan sosialnya berdasarkan makna yang terkandung
dalam objek tersebut. Objek/benda tetaplah sebagai objek atau dapat dikatakan
seseuatu hal yang tidak berharga jika tidak dikonstruk dan dimaknai bersama oleh
masyarakat tersebut, sedangkan ketika objek/benda yang di konstruk dan
dimaknai sebagai sesuatu objek yang berharga dan memiliki nilai lebih dapat
menjadi simbol identitas tersendiri bagi masyarakat setempat. Pemahaman
mengenai suatu objek tersebut akan mempengaruhi tindakan masyarakat sesuai
apa yang mereka fikirkan mengenai makna yang melekat dalam objek yang
mereka respon, simbol tersebut menjadi amatlah lekat dalam kehidupan mereka
serta dapat membentuk sebuah tradisi atas kesepakatan yang sudah mereka bentuk
secara bersama.
51
Adapun beberapa hal yang dapat diartikan sebagai simbol dalam tradisi
seserahan makanan pada upacara pernikahan Betawi yang kemudian dipahami
dengan makna yang masyarakat tersebut sepakati sebagai berikut :
1. Tradisi Ikan Bandeng dalam Prosesi Ngedelengin
Sebelum melangsungkan pernikahan, betawi jaman dulu memulai awal
proses yang dinamakan “ngedelengin”. Ngedelengin merupakan proses
perkenalan antara calon pengantin pria dan calon pengantin perempuan. Pada
proses ngedelengin biasanya dilakukan sendiri oleh jejaka (calon mempelai pria)
dalam mencari calonnya, saat dia sudah marasa cocok dengan perempuan yang
dia sukai maka secepatnya dia akan meminta izin kepada orang tuanya untuk
mengikat si gadis tersebut. Di komunitas Betawi tertentu ada kebiasaan dari
keluarga si jejaka yang menaruh hati pada seorang gadis, keluarga jejaka akan
menggantungkan sepasang ikan bandeng segar di depan rumah si gadis pujaannya,
itu pertanda bahwa si gadis sudah di taksir oleh seseorang (Shinta, 2016:76).
Keluarga yang di depan rumahnya digantungi sepasang ikan bandeng harus
paham bahwa ada yang menaksir anak gadisnya, walau belum tahu siapa pria itu.
maka orang tua wajib menjaga dan membatasi pergaulan gadisnya. (Shinta,
2016:76).
Hal ini serupa dengan apa yang diungkapkan oleh narasumber Yahya Andi
Saputra selaku pakar budayawan betawi.
“… Iya ada yang istilahnya digantungin ikan bandeng, jadi mereka
menggunakan symbol ikan bandeng itu sebagai pertanda bahwa si gadis sudah
ada yang naksir, dan biasanya juga itu dijadikan anteran keluarga calon mempelai
laki-laki yang diwakilkan mak comblang.” (Wawancara pada 10 juli 2018)
Dalam tahap ngedelengin jika jejaka (calon mempelai pria) belum
menemukan calon mempelai wanitanya pihak keluarga lelaki akan mencarikan
52
“mak comblang” untuk membantu atau mempermudah jalan calon pengantin laki-
laki untuk meminang gadis impiannya, seperti yang sudah dijelakan oleh
narasumber diatas bahwa kehadiran mak comblang menjadi penghubung antara
pihak keluarga lelaki dan pihak keluarga perempuan, dengan pertemuan awal
yang dilakukan oleh mak comblang kepada pihak keluarga perempuan akan ada
perbincangan mengenai niat baik seorang laki-laki yang akan disampaikan mak
comblang kepada pihak keluarga perempuan, jika pihak keluarga perempuan
memberikan kesan yang baik kepada mak comblang maka akan digantungkannya
ikan bandeng tersebut sebagai simbol bahwa anak gadis tersebut sudah ada yang
naksir.
Hal ini menjadi salah satu interaksi bagi kedua belah pihak keluarga yang
didasari dengan adanya simbol yang mereka pahami dan sepakati berseama.
Ketika seseorang mak comblang telah datang dan meminta izin kepada orang tua
pihak calon mempelai perempuan maka apa bila keluarga pihak perempuan
tersebut telah menerima kedatangan mak comblang ini dengan sangat hangat,
maka di berikanlah sepasang ikan bandeng yang mereka jadikan simbol atas
penerimaan lamaran atau proses tahap perkenalan antara kedua belah pihak
keluarga. Penjelasan ini serupa dengan apa yang di utarakan oleh informan Pak
bekti mengenai pengalaman ibu nya yang diceritakan langsung kepada
narasumber Pak Bekti.
“Kata ibu saya dulu jadi pas orang tua ibu saya menerima kayak
semacam lamaran gitu, tapi belum resmi lamaran kayak baru perkenalan. Nah
nanti itu mak comblang ngasih sepasang ikan bandeng di dalem kotak atau peti
kecil gitu, nanti dia minta tolong untuk digantungin di depan rumah sebagai tanda
persetujuan kalo keluarga ibu saya udah nerima kedatangan mak comblang yang
dikirim oleh keluarga bapak saya, jadi biar kasih tanda gitulah ir biar orang orang
di sekitar tau kalo ibu saya sudah ada yang ingin nikahin. Jadi nanti semisal ada
lelaki lain yang naksir ibu saya selain dari bapak saya yang udah mengutarakan
niat duluan ya biar gak ganggu lagi hubungan mereka” (wawancara pada 3
September 2018)
53
Selain menjadi media interaksi dan penandaan bahwa keluarga pihak calon
mempelai perempuan telah menerima niat baik calon mempelai pria yang
diwakilkan oleh mak comblang. Sepasang ikan bandeng ini akan dipasang di
depan rumah calon mempelai perempuan guna memberikan tanda kepada orang
sekitar bahwa si gadis yang berada di dalam rumah ini sudah ada yang mengikat
kejenjang pernikahan. Sehingga menjadi tanda untuk menghindari para lelaki-
lelaki yang ingin mendekati sang ngadis tersebut datang dan mengunjungi rumah
si gadis tersebut.
Hal tersebut merupakan sepemahaman dengan teori interaksionalisme
simbolik yang diungkapkan oleh Herbert Blummer dalam premis pertamanya,
bahwa masyarakat betawi selalu bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna
yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, benda yang dimaksud ialah ikan
bandeng yang dijadikan simbol untuk mereka mengungkapkan sesuatu baik itu
niat yang akan disampaikan atau tindakan yang mereka artikan sebagai tanda yang
mereka jadikan jejak dalam interaksi yang mereka lakukan. Dengan arti lain
masyarakat dianggap aktif dalam menentukan dan memaknai lingkungan atau
situasi mereka, seperti yang dimaksudkan dalam penandaan sepasang ikan
bandeng yang digantungkan depan rumah calon mempelai perempuan, dalam
melihat situasi tersebut orang sekitar akan paham dan memaknai arti dari objek
yang diberikan sebagai petanda oleh sang pemilik rumah, bahwa di dalam rumah
tersebut terdapat anak gadis yang harus dijaga sebaik mungkin dalam hal
pergaulan karena sudah ada yang berniat untuk menikahinya.
54
2. Tradisi Seserahan Makanan Lamaran (Buah-buahan, Kue Bacot,
Pisang Raja, dan Balasan Hantaran)
Setelah proses ngedelengin, kemudian lanjut proses lamaran, dalam
prosesi lamaran di pernikahan adat Betawi ini banyak sekali tradisi seserahan
makanan yang sering dilakukan oleh masyarakat Betawi, tidak hanya di
masyarakat Betawi sebenarnya, di maskarakat dengan etnis berbedapun
melakukan tradisi tersebut, akan tetapi tradisi setiap masing-masing daerah
memiliki perbedaan wujud dan makna.
Seserahan makanan yang terdiri dari buah-buahan, kue bacot, pisang raja
maupun makanan-makanan matang yang menjadi balasan hantaran merupakan
simbol yang terdapat dalam tradisi tersebut yang ada dalam masyarakat Betawi
ketika proses pernikahan dalam siklus hidup manusia berlangsung. Terdapat
makanan-makanan khusus yang dihantarkan atau dihidangkan selama proses atau
tahap-tahap dalam pernikahan tersebut di laksanakan. Dalam proses lamaran di
masyarakat betawi seserahan yang diberikan dari pihak keluarga lelaki maupun
perempuan selalu ada tradisi menyerahkan hantaran seserahan dan membalas
hantaran seserahan. hal ini selaras dengan penuturan dari narasumber.
“ … Banyak sih kemaren waktu lamaran yang dibawain suami, kayak
buah-buahan, terus makanan kayak kue-kue khas betawi gitu, ada geplak, ada uli
juga, ada pisang raja,ada roti , ada sirop dan macem – macem. Terus besokannya
apa selang beberapa hari deh gitu pihak keluarga aku juga ngasih anteran ke sana
pihak keluarga calon suami deh dulu kan belom nikah hehe”. (wawancara pada
11 agustus 2018)
Tradisi penyerahan hantaran atau seserahan saat lamaran pertama
dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki yang mendatangi kediaman mempelai
perempuan. Biasanya hantaran yang diantarkan oleh pihak laki-laki berupa
makanan-makanan khas daerahnya. Tradisi dalam pernikahan betawi pada saat
55
lamaran memberikan seserahan makanan khas Betawi berupa kue-kue khas
tradisional dan makanan-makanan khusus yang terdapat di dalamnya. Tradisi
seserahan makanan ini bukan hanya sebagai tradisi masyarakat Betawi saja dari
setiap tahun ke tahunnya, akan tetapi tradisi yang terus berjalan ini merupakan
tradisi yang memiliki maksud dan tujuan di dalamnya.
Pada saat lamaran pihak lelaki akan membawa rombongan keluarga
dengan membawa beberapa bingkisan seserahan yang sudah berisi makanan-
makanan khas radisional Betawi, berupa buah-buahan, seperti pisang raja, buah
apel, anggur dan beberapa buah lainnya yang memiliki banyak macam rasa manis
ataupun asam. Hal ini dipercayai masyarakat Betawi bahwa dengan memberikan
seserahan berupa buah-buahan dengan rasa yang berbeda atau bermacam rasa
sebagai wujud harapan calon mempelai pengantin pria maupun perempuan dapat
mengarungi bahtera rumah tangga yang nantinya akan mengalami masa pahit,
manis dan lainnya yang akan mereka terima saat menjalani kehidupan berumah
tangga.
“….Kemudian ada juga pohonan yang terbuat dari bahan ranting di
tebang terus diisi buah-buahan di sisi ranting-ranting itu, nah itu maknanya
mengajarkan kita bahwa dalam berumah tangga nanti pasti lu temuin deh tuh
macam-macam rasanya, ada yang masanya rumah tangganya berjalan manis kan
tuh kayak buah pisang misalnya, ada juga asem kayak nanas atau semacamnya,
pokoknya ya mengajarkan kita buat nerima nantinya dalam hidup berumah
tangga” (wawancara pada 10 Agustus 2018)
Seperti yang diungkapkan oleh narasumber Pak Buhori yang menjelaskan
bahwa adanya seserahan buah-buahan dalam tradisi masyarakat Betawi bukan
diberikan tanpa adanya maksud dan tujuan, pada masyarakat betawi dulu
memberikan seserahan buah-buahan yang di bawa dan dihias menggunakan
ranting-ranting pohon yang kemudian diisi buah-buahan yang akan dijadikan
hantaran untuk calon mempelai perempuan bertujuan untuk menyimbolkan
56
harapan bahwa saat nanti menjalankan rumah tangga, mempelai lelaki dan
perempuan semoga bisa melewati masa-masa manis dan pahitnya kehidupan akan
dijalankan bersama-sama.
Selain seserahan buah-buahan, dalam tradisi seserahan makanan
pernikahan adat Betawi juga ada hantaran kue-kue tradisional, kue-kue tradisional
ini dikenal dalam masyarakat Betawi sebagai tradisi seserahan kue bacot. Kue
bacot ini biasanya dikemas dalam beraneka ragam, dulu masyarakat betawi
menggunakan tenong dalam menyerahkan hantaran kepihak mempelai wanita.
“biasanya orang Betawi kalo mau ngelamar juga bawa tenong, tenong itu wadah yang
diisi kue-kue betawi yang ditumpuk keatas terus di pikul” (wawancara pada 10
Agustus 2018). Pernyataan tersebut dijelaskan oleh informan yang bernama pak
Buhori, beliau mengatakan bahwa pada masanya, masyarakat Betawi memiliki
tradisi hantaran seserahan berupa kue-kue tradisional khas nya, kue-kue tersebut
dikemas dan disusun seperti tumpukan kue didalam wadah kemudian dibawa dan
dihantarkan dari rumah calon mempelai laki-laki kerumah calon mempelai
perempuan.
Kue-kue tradisional khas Betawi yang disusun dalam wadah tenong
tersebut dinamakan kue bacot. Kue bacot merupakan salah satu hantaran atau
tradisi seserahan makanan didalam pernikahan adat Betawi. Kue tersebut
dipahami oleh masyarakat Betawi sebagai perwujudan silaturahmi antara keluarga
pihak lelaki kepada pihak perempuan, karena dari makna kata “bacot” yang di
pahami sebagai kata “bicara” yang mengartikan bahwa kue tersebut merupakan
symbol dari adanya niat baik yang ingin disampaikan oleh pihak laki-laki kepada
keluarga pihak perempuan.
57
“…Nah kue bacot itu salah satu symbol dari masyarakat Betawi kalo ada
laki-laki yang pengen ngelamar perempuan biasanya bawa seserahan kue kan ?
nah itu melambangkan bahwa adanya seserahan kue itu istilahnya ada maksud
dari kedatangan si lelaki, oh ini si lelaki mau ada yang dibicarain, mau ngomong
niat baiknya dia, makanye dah tuh dibawain seserahan kue bacot biar yang
dikasih seserahan itu udah tau maksud dan tujuannya dating kerumah, biar dia
mempersiapkan segala macem buat nyambut kedatangan si pria tersebut”.
(wawancara dengan pak buhori pada 10 Agustus 2018)
Selain sebagai simbol untuk mengutarakan tujuan dan pembicaraan
maksud kedatangan pihak laki-laki kerumah pihak perempuan, hantaran kue bacot
ini juga digunakan sebagai media untuk mengundang ke kerabat terdekat atau
tetangga, gunanya untuk memberitahu orang-orang terdekat bahwa si
perempuanyang bersangkutan akan melangsungkan pernikahan dalam waktu
dekat, sehingga dapat mengurangi adanya fitnah atau kesalah pahaman disuatu
hari nanti. Hal ini diketahui dengan adanya penjelasan yang diberikan oleh
beberapa informan.
“…Di dalam filosofi orang Betawi itu ada yang namanya ngundang atau
ngasih tau ke tetangga tetangga kalo anak gue udah nikah anak gue udah ketemu
jodoohnye, kalo di betawi resepsi pernikahan itu dibilang keriyaan, riya yang
artinya nampang-nampanginlah kalo bahasa betawi. Nah sebelum itu biasanya
ada yang namanya besanan tuh, besanan biasanya kan bawa-bawaan makanannya
tuh banyak banget neng, dari kue-kuenya juga banyak banget yang dibawaain,
ada kue geplak kue dodol kue wajik, kue ketan uli, pokoknya lengkap deh, itu
biasanya orang betawi juga bilangnya kue bacot, nanti nih kue-kue yang dikasih
sama calon mempelai laki-lakinya itu gak dimakan sendiri doang, jadi nanti dia
dibagiin ke tetangga-tetangganya sekalian ngundang. (wawancara pada 10
Agustus 2018)
Pada kesempatan yang sama, pak rizal juga memberikan
penjelasan bahwa
“…Kalo buat seserahan awal ya makanan-makanan biasa aja,
yang istilahnya kita juga konsumsi buat hari-hari biasa. Kue-kue khas
betawi juga, dulu sih namanya kue bacot, jadi dulu diistilahkan kue bacot
karena kan betawi itu apaadanya ya, kayak ceplas-ceplos, dulu ada yang
nemanya tradisi nganter kue bacot, jadi kue-kue (kue bacot) yang udah
dikasih sama si lelaki ini buat ngelamar, nanti diterima sama si pihak
perempuan kemudian nanti dibagiin ke warga sambil nyebarin kabar
bahagia atau mau ada acara keriyaan nantinya, keriyaan itu pesta
pernikahan betawi. Jadi kue bacot yang udah dikasih itu kayak symbol
58
ngundang tetamgga-tetangga dekat atau saudara terdekat gitu, omongan
dari satu pintu ke pintu lain itu yang jadiin nama kue itu sebagai kue
bacot” (wawancara pada 27 Juli 2018).
Pada saat lamaran tidak hanya hantaran buah-buahan dan kue bacot saja,
dalam kesempatan dan waktu yang sama ada tradisi seserahan yang diberikan
pihak lelaki ke pada pihak perempuan, dalam hantaran seserahan dalam prosesi
lamaran tersebut pihak lelaki memberikan roti tawar (2 buah), sirop, sirih lamaran
dan lain lain. pemberian hantaran ini bukanlah hanya sebagai wujud pengormatan
dan syarat atau tradisi dalam masyarakat Betawi, tetapi ada makna-makna yang
terkandung di dalamnya.
Makanan-makanan yang dijadikan sebagai tradisi seserahan diatas
memiliki makna yang sangat mendalam bagi masyarakat Betawi, hal ini yang
menjadikan tradisi tersebut tetap berlangsung sampai dengan saat ini. Menurut
buku Shinta Teviningrum,dkk. dalam karyanya yang berjudul “Kuliner Betawi
Selaksa Rasa & Cerita , hantaran makanan seperti pisang raja, roti tawar dan sirih
lamaran pada prosesei lamaran memiliki maksud dan tujuan yang bermakna.
Sirih lamaran merupakan bawaan pertama dan utama sebagai lambang
kegembiraan dan lambangan penghargaan kepada si gadis, orangtua, dan
keluarganya karena sudah bisa memelihara moral, akidah, dan keanggunan si
gadis hingga tahap ini (2016 : 79).
Adapun pisang raja yang dijadikan seserahan makanan yang diberikan
oleh pihak calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan pada saat
lamaran harapannya hubungan antara calon mempelai lelaki dan calon mempelai
perempuan kehidupan setelah pernikahan menyerupai kehidupan raja-raja pada
umumnya yang diketahui oleh masyarakat melalui cerita rakyat atau media
59
lainnya. Kehidupan raja yang diketahui masyarakat memiliki hidup yang makmur
serta sejahtera dijadikan penyimbolan harapan yang dilakukan oleh masyarakat
betawi melalui seserahan pisang raja pada upacara pernikahan adat Betawi. hal ini
diketahui dari penjelasan informan pak Rizal pada kesempatan wawancara :
“…Nah pisang raja disini dibawa karena kita berharap nantinya
kehidupan kita nih orang Betawi makmur kayak raja, mulai dari rezekinya,
kehidupannya, kemakmuran keluarganya pokonya berharap seperti raja yang
hidupnya sejahtera dan makmur” (wawancara pada 27 Juli 2018).
Dari penjelasan informan pak rizal diatas menyatakan bahwa pisang raja
merupakan sesuatu yang dijadikan simbol oleh masyarakat betawi di dalam proses
rangkaian upacara pernikahannya dikarenakan adanya sebuah harapan yang ingin
masyarakat Betawi sampaikan melalui seserahan makanan tersebut. Adapun
seserahan makanan lainnya yang dijadikan simbol dalam tradisi seserahan pada
acara lamaran seperti roti tawar dengan sirop, perannya sama penting dengan
pisang raja, sebagai sebuah penyimbolan harapan yang ingin masyarakat Betawi
sampaikan melalui interaksi yang disimbolkan melalui makanan tersebut. Roti
tawar dijadikan sebagai makanan hantaran dalam prosesi lamaran pada pernikahan
Betawi karena pada zaman dahulu roti merupakan makanan yang sangat istimewa,
sulit di dapatkan dan hanya masyarakat kalangan tertentu saja bisa menyantapnya.
Hal ini memperlambangkan bahwa calon mempelai perempuan diibaratkan
sebuah makanan roti tawar tersebut, merupakan hal yang istimewa dan patut
untuk diperjuangkan, untuk itulah masyarakat Betawi menjadikan makanan
tersebut sebagai salah satu seserahan kuliner yang dihantarkan dari pihak lelaki ke
rumah pihak perempuan pada saat prosesi lamaran berlangsung. Hal ini diketahui
dari informasi yang diberikan oleh informan bang yahya ;
60
“…Terus ada anteran lamaran yang lain terdiri dari roti sirop, roti yang
disanding dengan sirop. Roti tawar, pisang raja, sirih lamaran, terus juga
hadiah-hadiah lain. tapi yang paling inti pada saat lamaran ya itu yang
saya sudah sebutkan tadi, nah itu spaya memunculkan dan memperkuat
silaturahim, jadi roti tawar kemudian sirup manis warna merah timbul
dari keikhlasan dan kita ingin membawa senantiasa dari yang murni
kemudiaan senantiasa bawa yang manis-manis, dan roti tawar yang
dikasih tuh ke keluarga perempuan dijadiin lamaran itu punya cerita, dulu
ya orang Betawi mah gapernah makan roti, yang makan roti biasanya
kalangan tertentu atau bangsawan, buat kite nih orang betawi kalo makan
roti mah dulu udah istimewa banget deh. Dan ngedapetinnya tuh gak
mudah, butuh perjuangan deh istilahnya kalo masyarakat betawi dulu
makan-makanan punya bangsawan atau majikan kite dulu ” (wawancara
pada 27 juli 2018 )
Roti tawar, pisang raja, dan sirup manis yang sudah dijelaskan diatas
merupakan bagian hantaran yang diberikan pihak lelaki kepada pihak perempuan
saat melangsungkan acara lamaran. Beberapa helai roti tawar dan sirup manis
dijadikan hantaran oleh masyarakat betawi sebagai simbol harapan bagi mereka
agar kehidupan rumah tangga mereka (calon mempelai laki-laki dan perempuan)
senantiasa diberikan suasana yang manis dan selalu harmonis. Harapan-harapan
yang mereka simbolkan melalui makanan yang mereka jadikan sebuah hantaran
merupakan hasil dari interaksi mereka sebagai masyarakat yang memiliki budaya
yang sama, dan tradisi yang mereka lakukan pun juga atas pengalaman-
pengalaman yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya.
3. Tradisi Njotan (Balasan Hantaran Makanan)
Setelah prosesi lamaran dilaksanakan, prosesi setelahnya adalah tunangan
yang biasanya masyarakat Betawi menyebutnya dengan nentuin dan ngenjot.
Biasanya pada prosesi ini pihak keluarga laki-laki akan mendatangkan utusan
mereka untuk datang kembali kerumah perempuan sebagai perwakilan pihak laki-
laki untuk memberikan sesuatu yang diistilahkan sebagai tande putus (pengikat)
61
berupa cincin kepada pihak keluarga perempuan. Dalam prosesi ini utusan
keluarga dari pihak laki-laki ini pun mengantar dan memberikan bahan-bahan
panganan mentah sperti beras, beras ketan, daging sapi, daging kambing, ikan,
sayur mayur, bumbu dapur dan lain-lain. Hal ini dilakukan sebagai pengikat dan
tanda keseriusan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Kemudian hantaran
tersebut akan dibalas oleh pihak keluarga perempuan dengan pengiriman sajian
makanan matang, balasan hantaran makanan ini dikenal oleh masyarakat Betawi
dengan tradisi njotan. Hal ini diketahui melalui informasi yang penulis dapat dari
informan pak Bekti ;
“…Jadi istilahnya itu balasan hantaran makanan itu kalo gak salah njotan
namanya, cuma karena waktu itu saya waktunya mepet nikahnya, jadi
saya waktu lamaran ngasih kayak buah dan kue-kue tadi pas dateng
kerumahnya acara lamaran,pas malemnya pakde saya nganterin bahan-
bahan makanan gitu kayak beras, daging ayam, sapi mentah, terus bahan-
bahan makanan lainnya yang belum diolah. Nah nanti bahan panganan
yang di kasih itu diolah sama mereka menjai makanan mateng, selang
beberapa hari sebelum akad disitu ada makanan-makanan khas betawi
juga termasuk sayur besan. Ada pecak gurame juga, gabus pucung, semur
jengkol, pokoknya makanan-makanan yang menurut kita nih masyarakat
betawi enak ya disediain sama keluarga istri saya, dan dianterin kerumah
saya, itu yang orang betawi bilangnya ngenjot. Katanya sih untuk
menyambut kedatangan tamu special nantinya ya harus disediakan menu
yang special pula” (wawancara pada 3 September 2018)
Hal ini serupa dengan pernyataan yang dijelaskan oleh informan Ana mengenai
pengalamannya saat menikah dengan menggunakan prosesi adat betawi.
“Terus besokannya apa selang beberapa hari deh gitu pihak keluarga
suami aku dateng lagi bawain anteran kayak bahan-bahan makanan
mentah buat dimasak sama pihak keluarga aku, nah nanti beberapa hari
kemudian sebelum acara nikahan, ya aku nganterin makanan mateng
yang udah dimasak tadi yang dapet kiriman bahan makanan dari keluarga
dia, dianterin sama tetangga aku sama sodara aku, jadi ya ngebales
anteran dia itu.”(wawancara pada 11 agustus 2018)
Berbeda hal dengan hantaran yang diberikan oleh pihak calon mempelai
laki-laki ke rumah pihak calon mempelai perempuan, biasanya tradisi hantaran
62
yang diberikan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan berupa kue-kue khas
tradisional atau buah-buahan, sedangkan pada kesempatan lain pihak perempuan
akan memberikan, menyediakan, atau menghantarkan hantaran berupa makanan-
makanan matang khas Betawi yang dibuat sendiri oleh calon mempelai
perempuan atau pihak keluarga mempelai perempuan, dalam tradisi ini dinamakan
tradisi jotan. Hal ini memberikan maksud bahwa dengan disediakannnya
makanan-makanan matang ini menandakan bahwa calon mempelai perempuan
beserta keluarga besarnya dengan sangat terbuka sudah menerima kehadiran
keluarga baru, dan juga menandakan bahwa calon mempelai perempuan sudah
siap lahir dan batin. Hal ini senada pula dengan apa yang dijelaskan oleh informan
Bang Yahya sebagai berikut:
“…Sebelum acara pernikahan juga ada tradisi hantaran makanan dari
pihak calon mempelai perempuan ke pihak mempelai pria yang menjadi symbol
dari proses menuju tunangan atau tande putus, kalo misalnya pihak perempuan
itu bawain atau nganterin makanan-makanan mateng yang udah diolah seperti
acar kuning, pesmol ikan bandeng, sayur besan, semur kebo, nasi putih, ada
dodol, ada kue-kue lainnya, itu sebagai symbol dari kesiapan calon pihak
perempuan menerima calon laki-laki. Kalo besok upacara akad nikah dateng
kerumah perempuan, jadi hari ini nih gini hari kita dari pihak perempuan nganter
ke pihak laki-laki namanya jotan itu nama anteran makanannya kalo upacaranya
namanya upacara ngejot yang tadi saya udah sebutin bahwa ya diartikan sebagai
symbol pihak perempuan telah siap untuk dinikahkan oleh pihak lelaki, dan itu
biasanya menghantarkan makanan mateng semua, itu artinya kita udah siap itu
udah mateng semua artinya dirumah kita nih udah mateng semua, gacuma bentuk
fisik, tapi bentuk batin kita juga udah siap juga”(wawancara pada 10 juli 2018).
Tradisi njotan ini merupakan tahapan balasan hantaran makanan yang
dilakukan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Hal ini sesuai dengan
premis kedua blummer yang dijelaskan oleh Laksmi pada penulisan jurnalnya,
bahwasannya makna akan terbentuk melalui proses interaksi sosial antara
manusia dan terjadi secara berulang-ulang. Tradisi njotan merupakan suatu
63
kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat betawi dalam kurun waktu yang cukup
lama, artinya kebiasaan ini selalu terulang dari generasi yang berbeda dan
dilakukan secaraturun-temurun . Tradisi balasan hantaran ini merupakan proses
interaksi atau sosialisasi pendekatan antara kdeua belah pihak keluarga. Makna ini
dibentuk oleh masyarakat Betawi untuk dapat mempererat dan memperkuat tali
persaudaraan mereka saat pernikahan berlangsung kelak, serta sebagai pengikat
untuk membuktikan keseriusan pihak lelaki kepada pihak perempuan, serta
memberikan makna bahwa calon mempelai perempuan sudah menerima pinangan
tersebut secara lahiriah maupun batiniah.
Tradisi yang sudah dijelaskan diatas merupakan tradisi yang terdapat di
dalam prosesi lamaran pada acara pernikahan adat betawi, hantaran-hantaran
makanan yang diberikan oleh kedua belah pihak keluarga merupakan objek yang
dipahami dan diberikan makna oleh msyarakat betawi tersebut, untuk dapat
menjalin interaksi dan komunikasi antara pihak-pihak yang bersangkutan.
4. Tradisi Seserahan Roti Buaya
Setelah prosesi lamaran selesai, berlanjut menuju proses keriyaan atau hari
kebesaran (pesta pernikahan) yang akan dilaksanakan. Pada saat proses akad
nikah ada sebuah tradisi wajib yang dilakukan oleh masyarakat betawi, yaitu
seserahan hantaran roti buaya. Hal ini bukanlah terdengar asing bagi seluruh
masyarakat Indonesia, tidak hanya betawi namun masyarakat yang berbudaya lain
maupun beberapa budaya asingpun mengenal tradisi ini. Seserahan roti buaya
merupakan icon yang mengidentikkkan pernikahan Betawi, rasanya tak lengkap
bila tak ada tradisi seserahan roti buaya dalam pernikahan adat Betawi.
Sepasang roti buaya menjadi icon dalam pernikahan adat Betawi, hal ini
melihat karena sejarah dari buaya yang dijadikan lambang dalam pernikahan adat
64
Betawi. Masyarakat Betawi mempercayai bahwa hewan buaya yang dijadikan
lambang dalam pernikahan mereka merupakan hewan istimewa, hewan yang
memberikan arti dari kesetiaan karena melihat sifat buaya yang hanya bisa kawin
satu kali di seumur hidupnya. Kesetiaan nyata yang diperlihatkan dalam hewan
buaya ini dijadikan harapan bagi masyarakat Betawi dalam tradisi adat
pernikahannya.
Namun sejauh itu, ternyata makna dari roti buaya tidak sesempit yang
masyarakat Betawi ketahui pada umumnya. Berangkat dari sejarahnya, roti buaya
diambil dari hewan buaya yang merka jadikan sebuah symbol dalam pelaksanaan
upacara pernikahan Betawi. Hal ini dilandasi dengan sejarah dan filosofi dari
hewan buaya itu sendiri. Pada sejarah dan filosofinya simbol hewan buaya dalam
pernikahan adat betawi bukanlah menggunakan roti, melainkan anyaman yang
digunakan dari pohon kelapa yang dianyam membentuk seperti buaya. Hal ini
diketahui dengan adanya penjelasan yang diberikan oleh narasumber bernama
Bang Yahya selaku budayawan Betawi
“Roti buaya itu simbol kelangsungan hidup manusia, karena dia simbol
buaya siluman itu yang menjadi ekspresinya dalam roti buaya. Ekspresi roti
buaya itu didalam cerita betawi aja ada cerita rakyat ya tentu saja buaya
buntung,buaya merah,buaya putih, nah namaasli dari roti buaya adalah "aji putih
naga raksa" itu sepasang siluman buaya bunting yg menjaga sumber mata air,
manusia bisa saja tdk makan 2-3 hari tapi manusia tidak bisa hidup kalo gak
minum dia akan kekurangan cairanye kan, itulah makna dari roti buaya di dalam
keberlangsungan hidup manusia, air merupakan simbol keberlangsungan hidup
manusia” ( wawancara pada 10 juli 2018 )
Menurut pemaparan informan Bang Yahya mengenai roti buaya dijadikan
sebagai simbol paling penting dalam upacara pernikahan adat Betawi terletak
pada pemaknaan mereka terhadap hewan buaya, masyarakat Betawi terdahulu
mempercayai bahwa hewan buaya yang kerap digunakan dalam simbol roti buaya
65
ini memiliki makna sebagai penjaga kehidupan dan melangsungkan kehidupannya
sendiri. Siluman buaya putih yang digambarkan oleh narasumber Bang Yahya
diatas merupakan ekspresi hewan yang sangat dihormati oleh msyarakat Betawi,
penghormatan tersebut bukanlah berupa menuhankan hewan tersebut sebagai
sesuatu yang patut disembah, melainkan sebagai penghormatan terhadap hewan
yang memberikan mereka pelajaran tentang arti keberlangsungan hidup manusia.
Menurutnya, air merupakan sesuatu hal yang khusus bagi masyarakat Betawi.
keberadaannya adalah hal terpenting bagi masyarakat Betawi, hal ini terjadi
karena dari mulai proses kehidupan lahir hingga kematian pastilah membutuhkan
sumber air. Beliau juga menjelaskan bahwa air merupakan bagian terpenting bagi
manusia, sebab manusia dapat bertahan hidup dengan tidak mengkonsumsi
makanan, akan tetapi manusia tidak akan bertahan lama bila tidak minum.
Perumpamaan ini lah yang menjadikan masyarakat Betawi sangat dekat dengan
sumber air, dan mereka sepakat menjadikan hewan buaya sebagai simbol yang
sangat penting dalam upacara pernikahan Betawi.
Simbol ini terbentuk bukan datang dengan sendirinya, melainkan adanya
proses interaksi di dalam masyarakat Betawi untuk menjadikannya sebagai simbol
penting dalam upacara pernikahan adat Betawi. Simbol ini dibentuk atas dasar
kepercayaan masyarakat betawi tentang hewan buaya yang merupakan sebagai
hewan yang dapat menjaga keberlangsungan hidup sumber mata air, kemudian
mereka jadikan sebagai penghormatan terhadap hewan buaya tersebut dalam
bentuk simbol yang mereka gunakan pada roti buaya sebagai tradisi seserahan
makanan yang dilakukan oleh masyarakat Betawi pada upacara pernikahannya.
Dalam penyimbolan terhadap hewan buaya yang dilakukan oleh
masyarakat Betawi ini merupakan sebuah interaksi yang ingin disampaikannya
66
menggunakan sebuah simbol. Bagi masyarakat Betawi, pernikahan bukanlah
prihal perubahan status, akan tetapi pernikahan merupakan sebuah keberlanjutan
kehidupan manusia, karena dari menikah, lalu melahirkan, memiliki keturunan
dan melangsungkan siklus kehidupan seterusnya merupakan hal yang sangat
sakral bagi mereka. Untuk itulah mereka ingin menyampaikan sebuah interaksi
mereka berupa harapan mereka atas berlangsungnya pernikahan melalui simbol
yang mereka umpamakan seperti hewan buaya yang sudah dijelaskan di atas.
Hal ini memberikan pemahaman yang sama dengan apa yang dijelaskan
oleh informan Bang Yahya pada kesempatan wawancara dengan beliau.
“…Jadi sepasang roti buaya itu menjadi simbol ekuilium
darikeseimbangan, simbol dari keberlanjutan kehidupan umat manusia,karna dari
yg saya bilang tadi orang kawin itu bukan sekedar dia ingin melampiaskan dia
punya hawa nafsu tapidia harus memperhitungkan, dia harus punya anak, dia
harus punya rumah, istrinya hamil kemudian dia punya anak, anaknya
harusdisekolahin, anaknya diupacarain sunatan, anaknya ada lepas ngaji ada
acara khatam quran dan itu harus dipikirkan, dan seterusnya” (wawancara pada
10 juli 2018).
Menurut penjelasan informan bang yahya di atas, jelas adanya
pembentukan simbol yang dilakukan terhadap hewan buaya ini bermula dengan
kepercayaan masyarakat Betawi terhadap hewan/siluman buaya tersebut yang
mampu menjaga sumber air dan termasuk hewan yang kokoh dalam menjaga
keberlanjutan hidupnya. Untuk itulah masyarakat betawi memberikan
penyimbolan terhadap hewan tersebut agar dalam kehidupan masyarakat betawi
dapat mencontoh kekokohan hewan tersebut. Hal ini dijadikan penyimbolan yang
dikaitkan dengan pernikahan ialah masyarakat betawi berharap agar calon
pasangan suami istri yang hendak melangsungkan pernikahan dapat menjada dan
menjalankan kehidupan setelah pernikahan dengan sebaik mungkin, karena
pernikahan bukanlah sekedar melampiaskan hawa nafsu dengan lawan jenis, akan
67
tetapi pembuktian tentang arti kehidupan sebenarnya akan di rasakan setelah
berlangsungnya pernikahan.
Adapun makna yang lain yang diungkapkan oleh informan pak bu khori
mengenai penyimbolan terhadap hewan buaya yang digunakan sebagai seserahan
pernikahan adat Betawi pada prosesi akad nikah.
“…Roti buaya memang buat sImbol kesetiaan ya dek, jadi buaya itu kan
kawinnya cuma sekali, ya abis kawin dia kagak bakal nikah-nikah lagi. Jadi
buaya itu dijadikan simbol karena kepribadian buaaya itu sendiri” (wawancara
pada 10 agustus 2018).
Hal ini senada dengan penuturan yang diungkapkan oleh informan Ana dan pak Bekti;
“…Kalo kata orang tua aku sih ya biar nantinya pasangan setia, soalnya
kan buaya nikahnya cuma sekali, terus roti buayanya juga harus sepasang, atau
lebih lengkapnya ya ada roti anak buayanya juga biar katanya hidup bahagia
sama keluarga kecil nya dan dikaruniai momongan” (wawancara pada 11 agustus
2018 ).
“…Wah kalau roti buaya itu pastii, paling utama itu pokoknya
saya dulu nyarinya sampe kemana-mana, kan memang sudah jarang
banget yang jual, jadi mereka prosuksi kalo ada pesenan jauh-jauh hari,
Cuma kan pernikahan saya emang waktunya mepet mendadak banget,
jadi ya susah nyarinya, ketemunya pas dicariin temen saya itu juga mepet
banget dan dapetnya yang kecil. Ya istilahnya biar gak sempurna mah itu
wajib ada dipernikahan, Karena ya katanya kan melambangkan kesetiaan
jadi ya diusahakan ada biar jadi doa tersendiri buat kita” ( wawancara
pada 3 september 2018)
Hal tersebut sepemahaman dengan premis pertama teori blummer
mengenai interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa manusia selalu
melakukan atau memberikan makna terhadap apa yang mereka lihat dan ada di
sekeliling lingkungan mereka sesuai dengan keadaan yang mereka rasakan/
harapkan saat pemaknaan tersebut berlangsung, dan mereka cenderung bertindak
atas dasar makna-makna yang mereka bentuk sendiri yang kemudian diwujudkan
dalam sebuah simbol. Roti buaya merupakan simbol yang dibentuk dan dimaknai
oleh masyarakat Betawi dengan melihat lingkungan dan situasi masyarakat
68
Betawi pada masa itu. wilayah Jakarta yang merupakan tempat dan tumbuhnya
penduduk Betawi terbesar dulu merupakan wilayah yang banyak memiliki sungai
dan perairan. Dan kisah-kisah atau legenda tentang siluman buaya pun ada karena
lingkungan dulu yang mereka tempati memiliki banyak sumber mata air berupa
sungai. Hal ini yang menjadikan masyarakat Betawi sepakat menggunakan hewan
buaya atau sosok dalam legenda buaya tersebut menjadi simbol dalam pernikahan
adat betawi yang dimaknai sebagai pemelihara kehidupan yang paling kokoh.
Serta perbedaan pendapat dari beberapa informan mengenai makna roti
buaya tersebut merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran individu yang berbeda.
Pemaknaan pada suatu objek atau dalam hal ini dapat dikatakan objek tersebut
merupakan penyimbolan terhadap hewan buaya, dalam halnya perbedaan
pendapat ini merupakan proses interaksi yang dilakukan oleh masyarakat betawi,
diluar benar atau salah dalam pemaknaan tersebut hal ini merupakan proses
interaksi antara individu satu dengan yang lainnya, melalui proses pengamatan
yang sudah dilakukan terlebih dahulu dan kemudian makna itu akan diwariskan
secara turun temurun, hal ini senada dengan premis kedua blummer.
B. Perubahan Makna, dan Simbol dalam Tradisi Seserahan Makanan
Pernikahan Betawi
Ada beberapa pengertian atau pernyataan tentang tradisi, yaitu menurut
Soerjono Soekanto “tradisi adalah perbuatan yang dilakukan dilakukan berulang-
ulang dalam bentuk yang sama” (1990:181). Kemudian pengertian tentang tradisi
dijelaskan oleh W.J.S Poerwadarminto “ tradisi merupakan segala sesuatu (seperti
adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan sebagainya) yang turun temurun dari
nenek moyang” (1976 : 1568).
69
Dari penjelasan menurut dua tokoh diatas mengartikan bahwa tradisi
merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang didapat turun-temurun setiap
generasi dan berjalan dengan bentuk dan proses yang sama. Namun pada
kenyataannya, tradisi saat ini banyak memiliki perubahan, akan tetapi tidak semua
berubah, melainkan proses, perubahan bentuk atau simbol dari tradisi tersebut
mengalami beberapa perubahan, namun ada juga yang bertahan.
1. Perubahan Makna Mak Comblang dan Tradisi Seserahan Ikan Bandeng
karena Faktor Globalisasi
Dalam tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan Betawi ada
beberapa proses yang mengalami perubahan. Seperti halnya prosesi “ngedelengin”
yang merupakan proses tahap awal dalam upacara pernikahan adat Betawi, dalam
proses ini sedikit mengalami perubahan. Tradisi yang dilakukan dulu sekitar abad
20an dalam proses ngedelengin ini mengirimkan mak comblang sebagai perantara
dalam memperkenalkan dan menjodohkan calon mempelai pria dan calon
mempelai perempuan, akan tetapi pada saat ini mak comblang yang menjadi
perantara dalam proses ngedelengin di dalam tradisi upacara pernikahan adat
Betawi sudah jarang ditemukan, karena kebiasaan yang sangat berbeda antara
masyarakat Betawi jaman dulu dengan generasi penerus masyarakat Betawi saat
ini, hal ini terjadi pasca reformasi atau pada saat era modernisasi berkembang
pesat di Indonesia dan hampir seluruh Negarapun mengalami hal yang sama, hal
ini menjadi salah satu factor dari berubahnya suatu tradisi yang sering dilakukan
oleh masyarak Betawi (abad ke-20 atau sebelum pertengahan decade 1970-an dan
berkmbangnya globalisasi di Indonesia ) ke masyarakat Betawi generasi saat ini.
70
Faktanya saat ini kehadiran globalisasi memberikan dampak perubahan yang
dirasakan masyarakat betawi dalam proses interaksi mereka.
Masuknya globalisasi di Indonesia sedikit banyak merubah segala aspek,
seperti ekonomi, media informasi, pergaulan, interaksi sosial dan lainnya.
interaksi sosial yang tercipta dari datangnya globalisasi saat ini mendatangkan
perubahan dalam proses interaksi masyarakat Betawi yang mereka rasakan. Hal
ini terbukti dengan adanya perubahan yang dirasakan masyarakat betawi dalam
prosesi ngedelengin dalam upacara pernikahan Betawi dalam tradisi seserahan
makanannya.
Seperti yang diutarakan oleh informan Pak Bekti mengenai
pengalamannya saat melangsungkan pernikahan adat Betawi.
“…Kalo masih pake atau tidaknya dalam konteks saat ini saya kurang tau
ir, kalo saya pribadi sih dulu ga pake mak comblang, jadi ya kayak ngelamar
biasa aja sama kayak lamaran pada umumnya. Kalo yang mak comblang itu
waktu jamannya ibu saya kayaknya, jadi ya waktu dulu emang betawi biasanya
kalo sebelum nikah ada proses perkenalan” (wawancara pada 3 september 2018).
Tradisi memang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh makhluk
sosial secara berulang dan dengan proses yang sama, namun pada hakikatnya
kebiasaan itu akan mengalami perubahan dalam berbagai bentuk sesuai dengan
konteks dan situasi yang sesuai dengan pada masanya. Hal ini serupa dengan
pendapat yang di ceritakan oleh informan Pak Bekti;
“…Tapi kalo sekarang kan laen ye neng, orang Betawi jaman sekarang
mah udeh gak pake mak comblang lagi tuh, karena jamannya udeh berubah agak
bebas jadi istilahnya sekarang udeh kenal yang namanya pacaran jadi ye
perkenalannya gak butuh lagi mak combalng, perkenalannya ya paling langsung
dateng deh tuh si laki kerumah perempuan bawa orang tua buat ngelamar, kalo
dulu mah orang tua gak turun tangan langsung, melainkan ada peran si mak
comblang ini buat ngejodohin” (wawancara pada 10 agustus 2018)
71
Perubahan prosesi dalam rangkaian pada upacara pernikahan Betawipun
mengalami perubahan yang salah satunya proses ngedelengin dan peran mak
comblang sudah jarang sekali ditemukan, meskipun ada beberapa masyarakat
Betawi yang melaksankannya menggunakan proses tersebut tapi tidak sedikit pula
yang tidak melakukan proses tersebut, adapun yang melakukan proses
ngedelengin (perkenalan) tersebut akan tetapi tidak menggunakannya peran mak
comblang sebagai perantaranya, melainkan proses pengenalan antara keluarga
lelaki terhadap keluarga perempuan dilakukan dengan sendirinya oleh pihak
keluarga lelaki. Perubahan ini seperti yang dijelaskan pak buhori terjadi karena
sedikitnya pengaruh globalisasi tentang status hubugan yang dinamakan
berpacaran, pada masyarakat Betawi dulu tidak mengenal istilah pacaran dan
cenderung sangat menjaga sekali nilai-nilai keagamaannya karena masyarakat
Betawi mayoritas beragama islam pada masa itu.
Pengaruh globalisasi memberikan perubahan dalam aspek interaksi sosial
yang dialami oleh masyarakat Betawi, perubahan yang terjadi ini berdampak
dengan adanya perubahan makna yang dialami dalam proses ngedelengin. Mak
comblang yang menjadi perantara dalam menghubungkan interaksi antara dua
keluarga mempelai perempuan maupun laki-laki kini sudah mengalami
perubahan, saat ini faktanya hubungan interaksi antara calon mempelai lelaki dan
perempuan tidak diperantarai oleh hadirnya mak comblang, tetapi dilakukan
sendiri oleh keluarga pihak calon mempelai lelaki kepada mempelai perempuan.
Saat ini istilah interaksi perkenalan yang dilakukan oleh kebanyakan jejaka
Betawi dengan calon mempelai perempuan ialah „berpacaran‟ sehingga sebelum
adanya ikatan resmi atau sebuah lamaran kedua calon mempelai sudah
72
melakukan pengenalan satu sama lain jauh dari sebelum proses niatan lamaran
atau pernikahan yang ingin dilaksanakan.
Sehingga dari kenyataan terebut memberikan perubahan makna ditengah
masyarakat Betawi saat ini. Berbeda hal dengan masyarakat Betawi dulu yang
selalu mencari orang lain (Mak Comblang) sebagai perantara penghubung antara
dua keluarga yang bersangkutan.
Hal ini yang melatarbelakangi tidak adanya dan ditemukannya lagi tradisi
seserahan ikan bandeng yang diberikan pihak lelaki melalui mak comblang
sebagai perantara, karena dalam prosesi ini pun mengalami perubahan yaitu jarang
ditemuinya lagi tradisi seserhan ikan bandeng pada prosesi acara ngedelengin,
sehingga menjadikan tradisi ini ikut menghilang dan tidak diketahui lagi oleh
kebanyakan masyarakat Betawi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh informan
Pak Bekti ;
“…Iya kalo ibu saya nikah dulu ada katanya tradisi itu, cumaya kalo sekarang
pas saya udah ga pake, saya juga kan nikahnya persiapan gak banyak, juga gak pake
tunangan atau mak comblang, jadi ya saya sendiri yang mengenalkan calon saya ke
keluarga begitu sebaliknya. Jadi gak ada yang istilahnya gantungin ikan bandeng gitu,
kalo waktu ibu saya iya kan dulu orang Betawi mah jarang yang pacaran, jadi nilai-
nilai agamanya juga masih kentel banget jadi ya mungkin dia pake perantara gitu. Nah
kalo saya kan udah sama-sama kenal jadi ya langsung aja lamaran. Kalo masih ada
atau nggaknya tradisi yang ikan bandeng itu kurang tau ya, tapi kalo yang saya alamin
dari pernikahan-pernikahan saudara saya ya udah gak ada, itupun generasi ibu saya
gak semuanya nerapin banget, nah kebetulan mak comblang yang perantarain ibu saya
sama bpk saya itu ya orangnya Betawinya kentel banget deh orang dulu banget
keturunan orang Betawi asli banget jadi ya mungkin paham dengan tradisi-tradisi itu.”
(wawancara pada 10 agustus 2018).
Serupa dengan penjelasan yang diberikan oleh informan Pak Buhori
mengenai pengaruh dari globalisasi yang menjadi factor dari berubahnya
sebuah makna dan simbolisasi pada tradisi seserahan makanan Betawi;
“Kalo dulu orang betawi gak kenal istilahnya pacaran. Jangankan pacaran
neng, anak laki kalo main istilahnya kalo sekarang ngapelin kerumah perempuan itu
gak boleh masuk kerumah. Jadi tuh nanti laki yang main itu bolehnya ya ketemu
bapak atau emaknye. Ngobrolnya pun diluar dan gaboleh deh masuk walaupun
73
cumangelangkahin kaki satu masuk kerumah itu udah melanggar, biasanya yang
kayak gitu langsung deh buru-buru di nikahin.jadi dulu kalo orang betawi nikah itu
gak langsung dateng kerumah, ade tuh yang namanye mak comblang. Mak comblang
tuh yang biasanya jodoh-jodohin si lelaki itu sama perempuan yang dia taksir, dateng
dah tuh si mak comblang kerumah perempuan namanye itu proses ngedelengin atau
perkenalan deh yang gampangnya. Jadi disitu si mak comblang ngobrol sama orang
tua si perempuannye bilang kalo ada lelaki yang naksir anaknya, namanya si pulan bin
pulan lah istilahnye. Nah nanti ngenalin deh tuh si lelaki latarbelakangnye gimana-
gimana. kalo nanti tuh orang tua udeh ngasih sinyal-sinyal setuju mak comblang bakal
nyampein ke keluarga laki biar diomongin lai kelanjutannye. Tapi kalo sekarang kan
laen ye neng, orang betawi jaman sekarang mah udeh gak pake mak comblang lagi
tuh, karena jamannya udeh berubah agak bebas jadi istilahnya sekarang udeh kenal
yang namanya pacaran jadi ye perkenalannya gak butuh lagi mak combalng,
perkenalannya ya paling langsung dateng deh tuh si laki kerumah perempuan bawa
orang tua buat ngelamar” (
Dari penjelasan tersebut memberikan bukti nyata tentang premis yang
dikemukakan Herbert Blummer dalam teorinya, mengenai proses pemaknaan akan
berubah seiring dengan waktu dan ruang yang membingkai interaksi mereka,
perubahan nyata yang dialami oleh masyarakat Betawi tentang hilangnya tradisi
seserahan ikan bandeng yang mereka jadikan sebuah simbol dalam prosesi
ngedelengin yang saat ini jarang sekali ditemukan dalam upacara pernikahan
Betawi. Karena perubahan masa dalam generasi ke generasai masyarakat Betawi,
bila masyarakat Betawi dulu kerap kali menggunakan tradisi seserahan ikan
bandeng ini dalam memberikan pesan dalam bentuk simbol tersebut, berbeda
halnya dengan masyarakat betawi saat ini, yang sudah tidak lagi mengunakan
tradisi seserahan ikan bandeng ini dikarenakan tidak adanya lagi peran mak
comblang dalam prosesi pernikahan mereka dank arena factor globalisasi yang
cenderung memberikan dampak atas sebuah tradisi dan pemaknaannya.
Hal ini pula yang menyebabkan berubahnya sebuah makna atau arti dari
simbolisasi mak comblang dengan tradisi seserahan ikan bandeng, saat ini
masyarakat betawi tidaklah mengetahui tetangga dekatnya atau perempuan yang
berada di dekat rumahnya sudah ada yang meminang lewat simbol sepasang ikan
74
bandeng yang digantung oleh mak comblang, akan tetapi saat ini makna itu
berubah semisal ada orang pun yang menggantungkan sepasang ikan bandeng di
depan rumahnya sudah tidak bermakna lagi, karena saat inipun masyarakat Betawi
kebanyakan sudah tidak mengetahui tradisi sepasang ikan bandeng yang
digantung di depan rumah calon pengantin. Saat ini memang peran mak comblang
masih sedikit terdengar dan masih digunakan dalam masyarakat Betawi, akan
tetapi penyimbolan terhadap tradisi seserahan sepasang ikan bandeng saat ini
sudah tidak diketahui lagi maknyanya oleh masyarakat betawi, bahkan saat inipun
banyak yang tidak mengetahui atas simbol tersebut. Begitupun makna yang saat
ini berubah karena adanya interaksi dari perkembangan globalisasi. Saat ini
perkenalan antara calon mempelai peria dan mempelai wanita lebih di dominan
oleh mereka yang mempunya status hubungan berpacaran.
2. Perubahan Makna dan Simbolik Pada Seserahan Roti Buaya dalam Tradisi
Seserahan makanan Pernikahan Betawi
Kemudian perubahan tradisi juga dapat dilihat dari bentuk penyimbolan
yang digunakan masyarakat Betawi pada roti buaya. Dalam sejarah dan
perkembangannya penyimbolan pada roti buaya yang diberikan oleh masyarakat
betawi mengalami perubahan bentuk (transformasi) pada saat ini. Hal ini
diketahui dengan adanya penuturan dari informan Bang Yahya selaku pemerhati
budaya Betawi;
“….Dulu malah bukan roti buaya sebenernya, tapi simbol yang
digunakan berbentuk anyaman dari pohon kelapa yang dianyam membentuk
sperti buaya, atau jaman dulu itu kalau dia tidak dianyaman itu dibikin dari kayu
diukir berbentuk buaya sepasang laki perempuan.Ketika masa kolonial
bertumbuhanlah perusahaan-perusahaan roti nah maka jadilah roti buaya,dulu si
ya buaya aja buaya sepasang simbol dari kebersamaan,simbol dari
keberlangsungan hidup, simbol dari menjaga mata air,jadi masa kolonial
perusahaan roti awal abad 19, awal abad 20 itu bertumbuhlah perusahaan
75
perusahaan roti, lalu ada ide bagaimana caranya lebih praktis, lebih estetik, dulu
itu rotinya roti gak manis, roti tawar dan itu gak dimakan, disimpen taro di depan
atau diatas lemari sampe dia habis dimakan oleh binatang, kemudian
dipertengahan abad 20 apalagi di abad 20 akhir ditahun 80a, ketika pemahaman
org-org yg semakin kuat ada kelompok- kelompok yg "wah itu jgn sampe
mubazirlah" maka dibuatlah roti buaya yang rasanya manis,nah rotiyang manis
itu dibagi-bagiin jadi ga sampe dibuang-buang.” (wawancara pada 10 juli 2018)
Penyimbolan pada hewan buaya tersebut yang masyarakat Betawi kenal
dengan simbol roti buaya pada seserahan hantaran betawi pada prosesi akad nikah
mengalami perubahan yang terjadi dalam “bentuk” penyimbolan. Dulu
masyarakat Betawi sekitar abad ke-17 sampai dengan akihir abad ke 18
menggunakan pohon kelapa ataupun kayu untuk dianyam dan diukir membentuk
buaya kemudian dijadikan simbol dalam hantaran pernikahan Betawi yang
masyarakat Betawi yakini dapat membawa harapan baik untuk kedua pengantin
yang hendak melaksanakan pernikahan. Kemudian dengan berkembangnya zaman
pada abad ke-19 awal hingga abad ke-20ansekitar tahun 80an mengalami
perubahan yang menjadikan bentuk dari penyimbolan tersebut dirubah menjadi
roti buaya. Hal ini terjadi karena adanya proses interaksi dan penafsiran yang
dilakukan oleh setiap individu yang terkait dalam kelompok sosial tersebut
terhadap keterlibatan objek didalam interaksi mereka, sehingga memungkinkan
adanya perubahan yang terjadi dalam setiap proses perkembangannya.
Selain itu, faktor kemajuan ekonomi Indonesia pada awal abad ke-19an
menjadi faktor pendukung perubahan bentuk dalam penyimbolan soso/hewan
„buaya‟ yang masyarakat Betawi gunakan sebagai simbol dalam tradisi
pernikahannya. Seperti yang dikatakan oleh Informan diatas mengenai perubahan
bentuk yang dilakukan oleh masyarakat Betawi melihat dari kondisi pada
masanya saat itu, masyarakat Betawi pada awalnya hanya memanfaatkan kayu-
kayu atau pohon kelapa yang diukir dan dianyam membentuk buaya yang akan
76
mereka jadikan simbol dalam kehidupan sosial mereka untuk upacara
pernikahannya. Akan tetapi berbeda sekitar abad ke 20an merubah persepsi
masyarakat disana dengan keadaan yang mereka anggap sedikit rumit bila
menggunakan kayu ataupun pohon kelapa sebagai objek penyimbolan terhadap
hewan buaya tersebut, sehingga dengan bertumbuhnya perusahaan roti pada awal
abad 20 dimanfaatkan masyarakat Betawi untuk menggunakan roti yang dibentuk
menyerupai wujud buaya sebagai simbol dalam tradisi seserahan makanan pada
acara pernikahan Betawi, roti itu merupakan roti tawar yang kemudian di pajang
atau didiamkan guna untuk memberitahukan bahwa didalam rumah tersebut ada
salah satu anggota keluarganya yang baru saja melaksanakan pernikahan.
Kemudian pada akhir abad 20 munculah penafsiran baru dari masyarakat
betawi yang berpendapat "wah itu jgn sampe mubazirlah" (Yahya, wawancara
pada 10 juli 2018), dari situlah perubahan tersebut kembali terjadi lagi, roti buaya
yang tadinya memliki cita rasa tawar dan hambar karena hanya digunakan
menjadi simbol dalam pernikahan diubah menjadi roti buaya yang memiliki cita
rasa manis seperti yang disepakati oleh masyarakat Betawi tersebut, karena
mereka berfikir bahwa jika cita rasa roti buaya itu tawar dan hanya dijadikan
pajangan saja maka mereka menganggap itu hal yang mubazir, untuk itulah
mereka rubah cita rasa roti buaya tersebut menjadi manis dan bermacam rasa agar
bisa bermanfaat untuk dikonsumsi sendiri maupun dibagikan kepada kerabat dan
tetangga terdekat. Hal ini memunculkan adanya faktor agama dalam kaitannya
dengan perubahan yang dibentuk oleh masyarakat betawi terhadap penyimbolan
tersebut.
Disamping adanya perubahan bentuk dalam penyimbolan terhadap suatu
objek tersebut dengan adanya faktor agama yang menjadikannya sebuah simbol
77
itu kemudian dirubah lagi dengan sesuatu yang lebih berguna dan tidak mubazir
seperti apa yang difikirkan oleh masyarakat Betawi, kemudian dari adanya
perubahan sebuah simbol baru yang diciptakan oleh masyarakat Betawi yang
mengubah atau memperbaharuinya menjadi sesuatu simbol yang dapat dimaknai
dapat dipergunakan dan bermanfaat untuk masyarakat ataupun keluarga
pengantin, menimbulkan adanya sebuah perubahan makna yang terjadi di
dalamnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Informan Pak Rizal;
“…ya hari ini orang masih tetap membawanya saat prosesi lamaran pada
tradisi pernikahan adat betawi, tetapi mereka tidak mengerti misal roti buaya kan
sebenarnya tidak boleh dimakan, tapi pada kenyataannya saat ini ya masyarakat
betawi sekarang menciptakan kreasi-kreasi yang membuat roti buaya itu sendiri
kehilangan makna” (wawancara pada 27 juli 2018)
Menurut informan pak Rizal, beliau menganggap bahwa perubahan makna
atau bergesernya sebuah makna dalam objek (roti buaya) dikarenakan adanya
perubahan dari cita rasa dan penggunaan dalam roti buaya tersebut. Roti buaya
yang menurutnya merupakan suatu simbol sakral dalam pernikahan Betawi
sehingga objek tersebut hanya disimpan dan digunakan sebagai pajangan seperti
cendramata yang menurut beliau memang harusnya seperti itu gunanya simbol.
Kemudian sebagian kelompok masyarakat betawi yang sudah dijelaskan oleh
informan bang yahya sebelumnya mengungkapkan penafsiran yang berbeda
mengenai penggunaan dari simbol roti buaya, mereka sepakat merubahnya
menjadi roti yang bercita rasa manis untuk menghindari hal “kemubaziran”
terhadap suatu makanan yang mereka gunakan sebagai simbol tersebut atas dasar
faktor agama yang melekat pada masyarakat Betawi. Namun di sisi lain menurut
informan pak rizal berubahnya penggunaan dalam simbol roti buaya dalam suatu
tradisi pernikahan Betawi menjadikan makna dalam simbol tersebut mengalami
perubahan pula.
78
Menurut informan Pak rizal dalam menjelaskan penafsirannya mengenai
berubahnya suatu makna pada objek yang disimbolkan atas dasar asumsi yang
jelas menurutnya, hal ini beliau ungkapkan dalam penjelasan berikut;
“…Ya karena itu barang suci, simbolisasi dari leluhur masa leluhur
dimakan hehe , jadi tuh dulu ya masyarakat Betawi mempercayai bahwa roti
buaya ya sebagai simbolisasi yang mencerminkan leluhur pada jaman dulu yang
sangat menghormati buaya, kaya misalnya di Negara-negara lain atau
kebudayaan lain, contohnya india mungkin ya, yang masyarakat sana sangat
menghormati binatang kerbau, yak arena mereka menganggap binatang kerbau
itu sebagai simbolisasi penghormatan kepada dewa-dewa menurut kepercayaan
mereka, sama halnya pada buaya, yang diyakini masyarakat Betawi jaman dulu
ya begitu. Dari sini dapat kita lihat dan rasakan bahwa makna-makna itu
menghilang, apakah itu evolutif cara selamatnya roti buaya atau sebuah gagal
paham mengenai makanan simbolik” (wawancara pada 27 juli 2018)
Dari penjelasan di atas beliau mengungkapkan bahwa perubahan tersebut
terjadi karena adanya sebuah gagal paham masyarakat yang beliau rasakan
mengenai makna dari roti buaya. Beliau menganggap bahwa makanan yang
menjadi suatu simbolik dalam pernikahan Betawi merupakan hal yang sangat
sakral, dan sesuatu yang sakral dan wujud dari rasa penghormatan dalam simbol
tersebut seharusnya tidaklah dikonsumsi, karena akan menghilangkan makna dari
simbol itu sendiri.
Perbedaan makna-makna tersebu merupakan sejalan dengan premis kedua
dan ketiga milik blummer, bahwa makna yang terdapat dalam suatu objek itu ada
bukan dengan sendirinya, melainkan hasil dari proses interaksi dan terbentuk dari
penafsiran-penafsiran individu dalam suatu kelompok, hal inilah yang menjadikan
adanya perbedaan penafsiran mengenai makna yang terdapat pada suatu objek
yang kemudiam mereka gunakan menjadi simbol yang dapat memudahkan
mereka dalam berinteraksi menyesuaikan dengan konteks ruang dan waktu yang
membingkai interaksi tersebut.
79
BAB IV
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan penulis mengenai perubahan
makna dan simbol dalam tradisi seserahan makanan pada upacara pernikahan
Betawi, dapat ditarik kesimpulan atas penemuan data dan hasil analisis sebagai
berikut;
Pertama, dalam masyarakat betawi jaman dulu sekiranya pertengahan
decade 1970-an dimana prosesi dan tradisi seserahan makanan pada upacara
pernikahannya terdiri dari awal mula prosesi pengenalan antara jejaka (calon
mempelai lelaki dangan keluarga calon mempelai peremuan dengan yang
dinamakan prosesi ngedelengin yang diperantarai oleh mak comblang yang
disertai dengan menyerahkan simbol sepasang ikan bandeng yang dimaknai untuk
mengikat sang gadis (mempelai perempuan). Kemudian dilanjut dengan prosesi
lamaran yang menyerahkan simbol berupa seserahan makanan buah-buahan,
pisang raja, kue bacot, roti buaya yang dimana dalam tradisi seserahan makanan
tersebut memiliki makna mendalam berupa sebuah harapan yang mereka bentuk
dalam sebuah penyimbolan seserahan makanan tersebut, guna untuk membangun
interaksi yang mereka simbolkan dalam suatu objek berupa harapan yang mereka
gantungkan terhadap objek tersebut.
Kedua, terdapat adanya perubahan dari prosesi tradisi seserahan makanan
dalam upacara pernikahan Betawi maupun perubahan makna dan fungsi simbol
yang terdapat dalam tradisi seserahan makanan pernikahan Betawi saat ini sekitar
awal abad ke-19 s/d abad ke-20 dikarenakan adanya perbedaan kontekstasi dan
kondisi yang mereka alami dari setiap generasi, serta adanya faktor-faktor
80
penyebab yang membentuk sebuah perubahan dalam tradisi seserahan makanan
pada upacara pernikahan betawi, antara lain faktor globalisasi yang menyebabkan
berubahnya suatu makna dalam prosesi ngedelengin, dan adanya faktor agama
serta ekonomi yang menyebabkan munculnya perubahan makna dalam
simbolisasi seserahan roti buaya di tengah masyarakat betawi saat ini. Dimana
mereka akan melakukan penyesuaian serta pembaharuan terhadap sebuah tradisi
maupun makna pada simbol sesuai dengan konteks dalam ruang dan waktu yang
membingkai interaksi mereka.
B. Saran
Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan bahwa dalam penelitian ini
penulis tidak melakukan studi kasus melainkan hanya menggunakan media
interaksi dengan informan yang mengetahui tentang pembahasan yang penulis
tulis dalam penelitian ini, dikarenakan saat ini sudah jarang sekali ditemukan
pernikahan-pernikahan yang menggunakan adat Betawi dan pengetahuan
mengenai budaya betawi karena satu dan lain hal.
Untuk itu penulis melakukan penelitian mengenai budaya Betawi untuk
menambah khasanah keilmuan budaya yang penulis rasa masih sangat jarang yang
mebahas secara detail mengenai sejarah maupun tradisi yang terdapat dalam
budaya tersebut. Juga penulis berharap masyarakat untuk meningkatkan
kecintaannya terhadap tradisi seserahan makanan produk budaya mereka untuk
tetap mempertahankan keberadaan makanan-makanan yang dijadikan simbol
dalam tradisi tersebut sebagai identitas dan simbolisasi mereka terhadap
kebudayaan mereka.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Agus, Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Penerbit PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interactionism: Perspectif and Method. New
Jersey: Harper and Row.
Castles, L. 2007. Profil Etnik Jkarta. Jakarta: Masup Jakarta.
Johanes Mardimin. 1994. Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta: Kanisius
Moleong, Lexy J.
2000. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
2011. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ritzer, George and Douglas J. Goodman. 2004. Sociological Theory. New York:
Phillip A. Butcher.
Poerwadarminta W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai
Pustaka, Jakarta.
Saputra, Yahya Andi, dkk. 2000. Jakarta : Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB)
bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta.
Snow, David. 2001. “Extending and Broadening Blumer’s Conzeptualization of
Symbolic Interactionism.” Symbolic Interaction
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
xvi
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.Jakarta.PT Raja Grafindo
Persada.
Soeprapto, Riyadi. 2002. Interaksi Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern.
Yogyakarta: Averrpes Press dan Pustaka Pelajar.
Teviningrum, Shinta. Dkk. 2016. Kuliner Betawi Selaksa Rasa dan Cerita.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
West, Turner. 2008. ”Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi”.
Jakarta. Salemba Humanika
Jurnal :
Achmad Zubaer Abdul Kudus. 2013. “Kemanten Jadur (Studi Etnografi Tentang
Makna Simbolik dalam Prosesi Perkawinan di Kelurahan Lumpur, Kecamatan
Gresik, Kabupaten Gresik). Universitas Airlangga ; AntroUnairDotNet,
Vol.2/No.1.
Dadi Ahmadi. 2005. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. MEDIATOR, Vol. 9
No.2.
Ferdi Arifin. 2015. “Representasi Simbol Candi Hindu dalam Kehidupan
Linguistik Antropologis”. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 16, No. 2.
Hiqma Nur Agustina, 2016. “Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya.”
Parafrase Vol. 16 No.01.
Muhammad Thobroni, 2017. “Makna Simbol Prosesi dalam Ritual Ambil
Semangat Suku Tidung”. Universitas Borneo Tarakan ; Jurnal Madah Volume 8,
Nomor 1.
Oda I.B. Hariyanto, 2016. “Pergeseran Makna Sakral dan Fungsi Tumpeng di Era
Globalisasi”. Manajemen Perhotelan, Akademi Pariwisata BSI; Prosiding
Seminar Nasional FDI. ISSN. 2460-5271.
xvii
Internet :
https://food.detik.com/info-kuliner/d-2612200/pesta-pernikahan-a-la-betawi-
wajib-ada-sayur-besan-dan-roti-buaya (Diakses pada tanggal 7 september 2018 pukul
14:59 WIB )
https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/download/1115/683(Diaks
es pada tanggal 13 September 2018 pukul 19:05 WIB)
https://communication.binus.ac.id/2015/12/04/simbol-dalam-budaya-merupakan-
bagian-dari-komunikasi/ (Di akses pada tanggal 23 September 2018 pukul 16:00
WIB)
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/3015/ISI.docx?sequence
=2 (Diakses pada tanggal 27 September 2018 pukul 21:00 WIB)
http://bellezuli.blogspot.com/2018/01/pisang-sanggan-seserahan.html(Diakses
pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 15:00 WIB)
http://www.harnas.co/2017/05/25/mengenali-rasa-dalam-tradisi/mengenali-rasa-
dalam-tradisi-2 (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 15:00 WIB)
xviii
LAMPIRAN
Transkip wawancara
Nama informan :Yahya Andi Saputra (bang yahya)
Status : Aktivis dan praktisi dan kesenian Betawi
Lahir : Jakarta, 5 Desember 1961
Tempatdan waktu wawancara : rumah beliau (jl Gandaria) / 10 Juli 2018
Penulis Informan
Bang yahya, abang kan sebagai tokoh betawi
nih, kalau sejarah etnis betawi atau
masyarakat betawi itu gimana ceritanya?
Etnis itu lebih dulu ada, cuma memang
namanya belum jelas pada saat itu namanya
sudah Betawi atau belum. Jadi manusia-
manusia saat itu adalah manusia proto
manusia betawi, dan itu sudah diketahui
keberadaan itu jauh dari abad masehi.
Karena hasil penggalian arkeologi sebelum
abad ke 5 sebelum masehi sudah
menemukan kampung-kampung yang
ditempati oleh manusia, dan manusia itu
dikatakan sebagai manusia proto melayu
betawi,jadi belum disebut masyarakat
betawi, penyebutan proto melayu betawipun
disebutkan pada kemudian hari. Kemudian
kata betawi dapat ditemukan pada abad 18-
19 masehi. Jadi suku ini sudah cukup lama
ada disini, terbukti dari hasil penggalian-
penggalian yang dilakukan oleh para ahli
kepurbakalaan yang dilakukan penggalian
itu di situs-situs perkampungan betawi yang
dilakukan pada tahun 70-an. Jadi ada lebih
kurang 20 sampai dengan 35 situs
dikampung-kampung betawi dekat pasar
jumat, condet, pondok labu, pasar minggu,
kelapa nunggal, kelapa dua, sampai ke
ujung pelabuhan sunda kelapa. Kemudian
kalau dari timurnya dari kampung pakis
atau batu jaya disana terkenal dengan
wilayah situs buni. Jadi kita disini sudah
cukup lama, namun penamaan betawi baru
muncul dan diketahui pada abad 18-19
masehi .
Berarti betawi itu luas ya bang tidak hanya
di Jakarta ?
Iyalah neng, kalau ngomongin betawi itu
ngomongin ethnic, etnik itu adalah kultur,
kultur itu adalah kawasan dimana
kesamaan-kesamaan yang ada pada
masyarakat. Misalnya, kalau kita ke pakis
jaya atau ke muara gembong atau kelemah
xix
abang atau ke tambun bekasi, semplak ,
bojong gede kemudian sampai pada
kawasan ciputat, legok, tangerang selatan
sampai kesana itu ada kesamaan-kesamaan
berperilaku dan berbahasa, bahasa itu
adalah salah satu tanda yang menandai
bahwa mereka memiliki kesamaan atau
identitas. Meskipun dalam berbahasa itu
sendiri dapat di pilah lagi menjadi dialeg-
dialeg, seperti dialeg betawi pinggir, dialeg
betawi pesisir dan dialeg betawi tengah.
Jadi kesamaan itulah yang menandakan
adanya identitas etnik pada kampung ini.
Jadi kawasan betawi adalah etnik yang
mendiami kawasan wilayah budaya betawi.
Pada masa colonial wilayah tersebut disebut
Batavia nom London . kalau sekarang
wilayah tersebut di ketahui dengan nama
Jakarta dan sekitarnya (JABODETABEK).
Wilayah tersebut memiliki kesamaan
budaya, seperti bahasanya, nanggap lenong
sama, nyutanin caranya sama, nujuh
bulanan sama. Hampir sebagian besar
kebiasaan mereka memiliki kesamaan yang
di sebut sebagai identitas budaya mereka,
yaitu identitas betawi.
Betawi itu kan banyak banget produk
budayanya ya bang, kalo kuliner khasnya
gitu termasuk produk budaya juga bang?
Oh iya jelas , makanan merupakan produk
budaya betawi juga, bukan hanya betawi sih
pastinya, tapi seluruh budaya yang ada di
Indonesia juga akan setuju dengan hal itu.
karena dari dunia ide bisa menjadi dunia
barang dan kemudian menjadi dunia artefak.
Makanan-makanan seperti yang kita kenal
sebagai ciri khas budaya seperti kue-kue,
minuman, teh, kerak telor dll, merupakan
makanan yang tercipta dari hasil pola fikir
dan merupakan bukti bahwa manusia
memiliki kemampuan untuk berintraksi
melalui daya fikir yang tercipta dalam
kuliner.
Berarti dari makanan itu bisa terjadi
interaksi ya bang ?
Yaiya neng, sekarang gini, kalo eneng
belajar masak, neng biasanya belajarnya
dari mana? Pasti kalo gak minta ajarin
mama neng atau keluarga atau siapapun deh
iya kan? Nah itu kan bagian dari interaksi,
apa yang kita ketahui, apa yang kita
xx
pahamin dari fikiran kita, kita sharing lagi
ke orang lain, sama nih kayak kita lagi
ngobrol begini, ini kan bagian dari interaksi
atau adanya komunikasi diantara kita, lah
kalo nggak ada interaksi mah kita tandanya
gak bernyawa neng. Biasanya juga dari
makanan itu ada makna-maknanya neng,
jadi makanan yang kita makan bukan hanya
sekedar dimakan udah selesai, tapi biasanya
juga kalo makanan itu ka nada nilai
filosofisnya, nilai maknanya, ada juga
beberapa yang punya nilai sacral dll.
Jadi ya makanan juga jadi media kita juga
dalam berinteraksi, dari interaksi itu kita
menyampaikan dan mengkomunikasikan
kepada orang oh ini loh makanan kite, dulu
tuh makanan ada ceritenye begini, ini tuh
makanan ada nilainya begini, jadi bukan
hanya sekedar alat pengenyang perut aja,
tapi ada nilai sejarahnya, nilai filosofinya,
nilai sacral dan budayanya semua ada di
makanan.
Hehe iya sih bang, oya bang kan kalo dari
sejarah Jakarta itu banyak banget nih
akulturasinya, kalo dari kuliner betawi
sendiri ada gak sih yang bener-bener pure
sebagai icon makanan betawi?
Semua kuliner betawi adalah identitas
masyarakat betawi, kalau masalah
akulturasi itu dimana-mana juga mengalami
hal tersebut, bukan hanya budaya-budaya
lainpun seperti itu, di jawapun begitu, sunda
apalagi, atau negara manapun juga pasti
memiliki akulturasi budaya dalam hal
apapun bukan kuliner saja. Akulturasi,
percampuran budaya, serap menyerap itu
sudah menjadi keniscayaan bagi manusia
yang melakukan interaksi dengan manusia
lain, kecuali suku terasing yang memang
hidup diantara dia-dia saja, yang tidak
memiliki interaksi dengan manusia lain
ataupun dengan alam sekitarnya. Karena itu
dalam budaya betawi pasti adanya
percampuran budaya atau ide dalam
terbentuknya kuliner, misalnya ada
kesamaan-kesamaan rasa atau bumbu dalam
beberapa masakan betawi ya disebabkan
adanya akulturasi budaya, karena tidak bisa
dipungkiri bahwa kita tinggal diwlayah
yang mengharuskan berinteraksi dengan
siapapun dan budaya apapun. Seperti
xxi
adanya pengaruh kuliner dari Negara Timur
(Arab), Negara Eropa, China, dan lainnya.
Semuanya memiliki turut andil dalam
menciptakan ide dalam meracik sebuah
kuliner, dan kuliner tersebut yang kemudian
menjadi ciri khas budaya betawi.
Kalo dalam kuliner betawi, ada gak sih
bang makna filosofis atau makna sacralnya?
Banyak neng tergantung kita melihat dan
menilai dari sisi mana, Makanan itu nih ya,
pertama ada makanan yang biasa, makanan
sehari-hari yang terdiri dari; makanan anak-
anak, makanan orang dewasa, makanan
engkong-engkong, makanan orang sakit,
makanan orang sehat, makanan pagi,
makanan malem, makanan ringan makanan
berat. Kemudian manusia juga tergantung
pada suatu yang pada masa dulu itu sesuatu
yang agung sebelum islam dateng, maka
ada makanan-makanan persembahan,
makanan persembahan itu misalnya waktu
kite jaman dulu ketika terjadi pesta bumi
atau sedekah bumi, makanan –makanan
persembahan dimunculin disitu, karena kita
manusia pada jaman dulu berterimakasih
karena sudah mendapatkan anugrah dari
yang Maha Kuasa, siapa Maha Kuasa?
Maha Kuasa bisa macem-macem bisa dari
maha kuasa pemahaman kita masa dulu, dan
disitu muncul makanan-makanan
persembahan. Jadi makanan persembahan
bumi itu adalah upacara manusi betawi
berterimakasih kepada sang penguasa,
karena saat itu sudah memasuki masa hindu
Buddha, maka persembahan itu
dipersembahkan kepada dewi sri (dewi
kesuburan) mana dia ada bekakak ayam,
nasi kuning, kue apem, kue unti, telor
mateng telor ayam telor bebek, tembakau
lisong roko dll, itu sebagai password kepada
yang Maha kuasa pada pemahaman jaman
dahulu. Sehingga dengan persembahan-
persembahan yang diberikan akan
menghasilkan lahan yang subur, hasil alam
yang melimpah, dll. Jadi begitu, makanan
itu macem-macem. Makanan persembahan
salah satunya. Kalo symbol-simbol sih ya
hal-hal yang biasa ya karena symbol yang
xxii
paling utama itu ada di bekakak ayam, yaitu
bekak ayam itu satu makanan menjadi
makanan persembahan yang bentuknya
utuh, ayam itu katanya di percaya sebagai
ayam yang mampu memberikan nilai
kemandirian. Nasi kuning itu adalah nasi
kemuliaan, warna kuning itu dipercaya
sebagai warna kemuliaan, dan kemuliaan itu
adalah milik Allah kalo pada jaman
sekarang, nasi kuning itu bukan kayak yang
di jawa ya (nasi tumpeng kuning) kita juga
punya nasi kuning, nyunatin nasi kuning,
ngelamar , duduk nikah, nujuh bulan,
pindah rumah juga nasi kuning. Warna
kuning itu dianggap sebagai warna
kemulian. Oleh karena itu pemahaman
orang kita termasuk juga pak soekarno
menerjemahkan ketuhanan yang Maha Esa.
Pancasila itukan symbolnya itu bintang, dan
bintang itu warna kuning, dan warna kuning
itu warna kemuliaan maka nasi kuning ini
adalah symbol kemuliaan kepada Tuhan
Maha Esa. Kemudian makanan selanjutnya
yang terdapat dalam upacara adat itu adalah
makanan-makanan yang berwarna cokelat,
yang diidentikan dengan warna tanah,
seperti dodol, wajik, kue unti, dan beberapa
makanan atau kue-kue yang berwarna
cokelat itu symbol dari keadaan manusia,
bahwa manusia itu di betawi atau manusia
dimana-mana. Manusia berasal dari tanah,
dia setiap hari melakukan aktivitas diatas
tanah, dan ketika dia mati akan kembali
pada tanah.
Lanjutan wawancara dengan bang yahya
Maaf bang yahya mengganggu waktunya
lagi, hanya ingin menambahkan dari diskusi
kemarin saja pak, mau nanya tentang tradisi
kuliner di dalam pernikahan betawi, awalnya
mau tau dulu sih bang gimana proses
pernikahan adat di dalam betawi ?
Oh iya gak apa neng, proses pernikahan di
betawi ya sama aja sih sama proses
pernikahan pada umumnya, di mulai dari
mencari jodoh, kalo dia berani ya dia
mencari sendiri, kalo dia gak berani ya dia
ditolong orang, itu yang dikenal sebagai
mak comblang. Nah dari situ berlanjut pada
pendekatan yang intensif kemudian ada
masa pertunangan itu masih dibimbing
sama mak comblang. udah itu sesudah
tunangan bertemulah masa tanda putus,
tanda putus itu membicarakan kapan
xxiii
tanggal akad nikah, apa uang belanjanya,
apa macam-macam hadiahnya, siapa aja
yang dateng nantinya, kapan tanggalnya,
dan seterusnya. Sesudah itu ditentukanlah
hari pernikahan, dan hari pernikahan itulah
yang disebut dengan ijab qobul. Terus abis
akad ya tinggak acara kebesarannya yang
biasanya disebut orang betawi keriyaan.
Kalo yang saya pernah saya baca-baca
diproses pernikahan adat betawi dulu-dulu
itu kalo sebelum nikah itu dirumah
perempuan suka digantungin ikan bandeng
ya bang, itu fungsinya buat apa bang?
iya ada yang istilahnya digantungin ikan
bandeng, tapi itu betawi jaman dulu banget
dan gak semua orang betawi masangin ikan
bandeng dirumah calon mempelainya, cuma
ada beberapa kelompok betawi tertentu,
kayak misalnya di pinggiran, kayak
misalnya di pinggiran yang
menggantungkan hidupnya dari hasil
perairan, jadi mereka menggunakan symbol
ikan bandeng itu sebagai pertanda bahwa si
gadis sudah ada yang naksir,dan biasanya
juga itu dijadikan anteran keluarga calon
mempelai laki-laki yang diwakilkan mak
comblang, anteran itu ada dalam suasana
pendekatan, jadi seorang calon menantu
yang tidak menghiraukan pihak keluarga
besan itu di anggap kurang sopan, jadi ada
saat-saat panen perikanan itu dan ada pada
saat-saat tertentu terutama pada saat imlek
kan panen bandeng tuh, nah biasanya ya
nganterin anterannya ya ikan bandeng,
biasanya pada tahun baru cina itu biasanya
banyak tuh yang suka anter-anter, tapi kalo
kita yang islam pada saat menjelang bulan
puasa atau menjelang lebaran itu ada yang
namanya anter-anteran sebagai calon, atau
kalao udah jadi anteran sebagai menantu itu
suatu tradisi atau kebiasaan yang dilakukan
oleh mama kita untuk ekspresi rasa gembira,
ekspresi rasa sopan, ekspresi rasa
terimakasih, ekspresi rasa penghormatan
sopan santun kepada calon mertua atau
kepada mertua yang anaknya sudah kita
ambil. Itu tuh kebiasaan orang betawi, jadi
ya gak Cuma saat nikah doang sih
anterannya itu berlanjut ketika kita sudah
resmi menjadi keluarga juga nantinya, jadi
xxiv
ya hubungan silaturahimnya gak putus.
Kalau misalkan proses pernikahan betawi
itu sendiri mengalami perubahan gak sih
bang?
Gaada dari dulu sampe sekarang juga gitu-
gitu aja, Cuma ya barangkali kemasannya
aja yang berbeda, kalo misalnya nikahannya
di hotel kan semuanya sudah disiapkan oleh
pihak catering kalo jaman sekarang. Kalo
jaman dulu kan kita asas gotong royong,
asas kebersamaan, asas kekeluargaan itu
menjadi ukuran kita semua, orang yang
sering hormatin orang lain, orang yang
dihargain itu biasanya datang buat bantuin,
karena emang dia (calon pengantin dan
keluarganya) orang yang baik, orang yang
sopan, suka nolongin orang, jadi ya kita
sebagai tetangganya wajib buat ikut gotong
royong pada upacara apapun yang ada di
dalam rumahnya, apakah dia mau bikin
rumah, terutama pada saat kita ingin
melakukan upacara, yang merupakan siklus
hidup perjalanan manusia yang dari
”jomblo” belum punya bini sehingga dia
menjadi istri, itu perosnya. Nah kalo
sekarang kan di hotel, udah ada yang
ngurusin segala macem, undangan diurusin,
semuanya deh diurusin sama pihak Wedding
Organizernya (WO). Beda sama jaman dulu
mah kalo betawi biasanya ya nikahannya
dirumah karena biar ada asas kebersamaan,
asas kekeluargaan, asas gotong royong,
karena itu merupakan hal terpenting buat
masyarakat betawi yang emang dari dulku
terkenal dengan gotong royongnya, karena
emang orang betawi kan dulu kere semua
neng haha, Cuma banyak ditanah warisan
aja. Dan biasanya dulu dalam hal gotong
royong bantuin persiapan nikahan biasanya
tetangga-tetangga nganterin sumbangan
beras sekarung, sumbangan ikan 5 kilo,
sumbangan kelapa 400biji, sumbangan
makanan-makanan itukan dicatet semua,
meskipun tidak berharap nanti mendapat
balikan ketika kita melakukan hal yang sam,
tapi itu merupakan ekspresi gotong royong
sebenarnya buat kita. Jadi itu sifat gotong
royong yang sudah berubah dari jaman dulu
ke jaman sekarang, mungkin sekarang ga
xxv
berubah juga sih kata gotong royong itu
sendiri, Cuma sistemnya transfer kalo
sekarang mah, jadi ya mungkin
perbedaannya disitu, dulu kebanyakan ya
gotong royongnya sumbangin makanan,
bantuin nyiapin makanan di dapur dan
lainnya, kalo sekarang lebih simple, tinggal
transfer aja buat tambah-tambahan dia. Jadi
bentuknya beda tapi mungkin maknanya
sama.
Kalo tradisi makanan yang ada di
pernikahan betawi itu apa aja bang?
nah ada makanan atau biasanya kite orang
betawi punya tradisi dari mulai ngelamar,
ngelamar itu biasanya yang di bawa adalah
roti lamaran, roti lamaran tersebut biasanya
dihantarkannya dengan pisang raja, kue
lamaran (kalo orang betawi biasanya bilang
kue bacot) terus ada anteran lamaran yang
lain terdiri dari roti sirop, roti yang
disanding dengan sirop. Roti tawar, pisang
raja, sirih lamaran, terus juga hadiah-hadiah
lain. tapi yang paling inti pada saat lamaran
ya itu yang saya sudah sebutkan tadi, nah itu
spaya memunculkan dan memperkuat
silaturahim, jadi roti tawar kemudian sirup
manis warna merah timbul dari keikhlasan
dan kita ingin membawa senantiasa dari
yang murni kemudiaan senantiasa bawa
yang manis-manis, dan kemuliaan itu dari
pisang raja, dan symbol dari dunia besar
dunia kecil bahwa kita menyembahkan itu
bukan semata-mata kita menghormati dia,
tetapi juga menghamba ke Yang Maha
Kuasa, mikro kosmos& makro kosmos, jadi
alam manusia menjadi ekspresi alam
kemuliaan, jadi itu makanan itu semua yang
dibawa di acara lamaran. Sebelum lamaran
juga ada tradisi hantaran makanan dari pihak
calon mempelai perempuan ke pihak
mempelai pria yang menjadi symbol dari
proses menuju lamaran, bawaannya itu acar
kuning, pesmol ikan bandeng, sayur besan,
semur kebo, nasi putih, ada dodol, ada kue-
kue lainnya, itu sebagai symbol dari
kesiapan calon pihak perempuan menerima
calon laki-laki. Jadi kalo besok upacara akad
nikah dateng kerumah perempuan, jadi hari
xxvi
ini nih gini hari kita dari pihak perempuan
nganter ke pihak laki-laki namanya jotan itu
nama anteran makanannya kalo upacaranya
namanya upacara ngejot yang tadi saya udah
sebutin bahwa ya diartikan sebagai symbol
pihak perempuan telah siap untuk
dinikahkan oleh pihak lelaki, dan itu
biasanya menghantarkan makanan mateng
semua, itu artinya kita udah siap itu udah
mateng semua artinya dirumah kita nih udah
mateng semua, gacuma bentuk fisik, tapi
bentuk batin kita juga udah siap juga. Dan
besoknya dateng pihak laki-laki kerumah
pihak perempuan, yang namanya itu disebut
dengan ngerudat, ngerudat itu artinya
nganter pihak laki-laki ke rumah perempuan
untuk duduk nikeh di depan walinya, atau
depan penghulu, nah itu seserahan yang
biasa dibawa ada sepasang roti buaya, itu
symbol dari keberlanjutan hidup manusia
karena dia memelihara sumber kehidupan,
nah udah gitu ada lagi yang dibawa nasi
kuning, nasi kuning itu symbol kemuliaan
karena warna kuning itu disimbolkan
sebagai warna kemuliaan ya karena manusia
menghamba kepada Allah Subhanahu
Wata’ala. dulu dewa-dewa dan leluhur itu
warnanya kuning, makanya sukarno itu
mengambil Ke Tuhanan yang Maha Esa itu
pada pancasila itu simbolnya bintang dan
warna kuning, maka nanti kalo kamu
meninggal itu ada bendera kuning di depan
rumah kamu itu menyimbolkan bahwa kamu
akan kembali kepada Yang Maha Kuasa,
bahwa kamu akan menjadi ke Maha Mulia,
maka nasi kuning itu dipahami oleh kita nih
orang betawi sebagai symbol kemuliaan
symbol ke agungan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Roti buaya itu symbol kelangsungan
hidup manusia, karena dia symbol buaya
siluman itu yang menjadi ekspresinya
dalam roti buaya. Dulu malah bukan roti
buaya sebenernya, tapi symbol yang
digunakan berbentuk anyaman dari pohon
kelapa yang dianyam membentuk sperti
buaya, atau jaman dulu itu kalau dia tidak
xxvii
dianyaman itu dibikin dari kayu diukir
berbentuk buaya sepasang laki perempuan,
siang malem, laki perempuan, atas bawah
manusia yang tidak manusia, alam ghaib
dan seterusnya. Itulah makna dari roti buaya
di dalam keberlangsungan hidup manusia,
air merupakan symbol keberlangsungan
hidup manusia. Kemudian sirih nanas tadi
kalo yang di sirih lamaran itu namamnya
sirih embun, sirih nanas itu nanas yang di
susun dengan daun sirih itu symbol dari
kehati-hatian, symbol dari pemeliharaan
rumah tangga, kita jangan membuka aib kita
ke tengah masyarakat. Makanya rahasia kita
harus di tutupi sedemikian rupa itu betul,
nanas di tutup dengan jalinan sirih, jadi ada
4 kembangnya yang melambangkan siklus
dari kehidupan manusia, dan kehidupan itu
jalan terus maka rumah tangga harus di
pelihara jangan mengumbar aib di depan
yang lainnya. Biar dia pecah di perut tapi
asal jangan pecah di mulut biar rahasia itu
kita tutupi jangan diumbar. Kemudian ada
juga makanan-makanan seserahan yang
menjadi symbol seperti yang di petisiye,
petisiye itu isinya bahan-bahan mentah ya
beras, ya telor, ya sayur mayor, ya kelapa,
ada semua tuh disitu, nanti setelah ngga. dia
menikah dia gak sempet belanja atau segala
macem jadi rumah tangga harus kita
persiapkan, nah persiapan ini disimbolkan
menjadi petisiye, kan rumah tangga tidak
semata-mata mengumbar hawa nafsu tapi
kita harus mempersiapkannya betul-betul
nah itu di simbolkan dalam makanan-
makanan mentah itu ke dalam petisiye,
karena memang bentuknya segi empat, jadi
petisiye mengartikan symbol dari kesiapan
orang yang betul-betul berumah tangga.
Terus ada juga namanya kekudang,
kekudang itu seserahan apa yang si
perempuan inginin, gak Cuma makanan sih
bisa baju atau yang lainnya, tapi paling
sering ya kalo orang yang bener-bener
betawi banyaknya mintanya dalam bentuk
makanan. Nah jadi dari pertanyaannya tadi
xxviii
sama sekali tidak menggeserkan makna-
makna yang ada di tradisi seserahan atau
anteran makanan tersebut, karena kalo
ngomongin makanan di tradisi pernikahan
betawi ya ada dua kategori yang umum
sama yang khusus, biasanya kalo yang
umum ya sama aja kayak pernikahan pada
umumnya, Cuma dalam tradisi dari mulai
proses tunangan, lamaran, sampe akad nikah
ya setiap daerah pasti punya perbedaan
tradisi hantarannya.
Kalo roti buaya itu sejarahnya gimana sih
pak bisa dijadiin symbol pernikahan untuk
masyarakat betawi sendiri?
Roti buaya itu sebetulnya dia ya tadi itu dia
bukan roti dulunya. Ketika masa kolonial
bertumbuhanlah perusahaan-perusahaan roti
nah maka jadilah roti buaya,dulu si ya buaya
aja buaya sepasang symbol dari
kebersamaan,symbol dari keberlangsungan
hidup,symbol dari menjaga mata air, jadi
symbol dari sepasang buaya yg jaman dulu
bisa Dianyam dari daun/pohon kelapa atau
dibikin dari kayu di ukir jadi seperti
buaya,jadi masa kolonial perusahaan roti
awal abad 19, awal abad 20 itu
bertumbuhlah perusahaan perusahaan roti,
lalu ada ide bagaimana caranya lebih
praktis, lebih estetik, dulu itu rotinya roti
gak manis, roti tawar dan itu gak dimakan,
disimpen taro di depan atau diatas lemari
sampe dia habis dimakan oleh binatang,
kemu dia dipertengahan abad 20 apalagi di
abad 20 akhir ditahun 80, ketika
pemahaman org-org yg semakin kuat ada
kelompok- kelompok yg "wah itu jgn sampe
mubazirlah" maka dibuatlah roti buaya yang
rasanya manis, nah roti yang manis itu
dibagi-bagiin jadi ga sampe dibuang-buang.
Ekspresi roti buaya itu didalam cerita betawi
aja ada cerita rakyat ya tentu saja buaya
buntung,buaya merah,buaya putih, nah
nama asli dari roti buaya adalah "aji putih
naga raksa" itu sepasang siluman buaya
bunting yg menjaga sumber mata air,
manusia bisa saja tdk makan 2-3 hari tapi
manusia tdk bisa hidup kalo gak minum dia
akan kekurangan cairanye kan,ekspresi ini
kalo kita liat di masalalu dan kita liat lewat
xxix
ditempat mata air "pang numpang anak org
mau lewat" kan dulu ekspresinya begitu,
kalo anak skrg kan gatau yg begitu jadi
sepasang roti buaya itu menjadi symbol
ekuilium dari keseimbangan, simbol dari
keberlanjutan kehidupan umat
manusia,karna dari yg saya bilang tadi orang
kawin itu bukan sekedar dia ingin
melampiaskan dia punya hawa nafsu tapi dia
harus memperhitungkan, dia harus punya
anak, dia harus punya rumah, istrinya hamil
kemudian dia punya anak, anaknya harus
disekolahin, anaknya diupacarain sunatan,
anaknya ada lepas ngaji ada acara khatam
quran dan itu harus dipikirkan, dan
seterusnya. Jadi dengan kita adanya
perkawinan itu maka kelangsungan hidup
akan terjaga dan tidak akan pernah putus,
kakek mati ada emak, emak mati ada anak,
anak mati ada cucu, cucu mati ada cicit, cicit
mati ada canggah, dan ada ciut berlanjut
danbegitu terus,siklus hidupnya berlanjut
terus,symbol dari siklus kehidupan yg
memelihara kehidupan.
xxx
Transkip wawancara 2
Nama informan : JJ Rizal (Pak Rizal)
Status : Aktivis, sejarawan betawi, penulis
Lahir : Jakarta, 12 Februari 1972
Tempatdan waktu wawancara : Komunitas Bambu / 27 Juli 2018
Penulis informan Selamat pagi pak Rizal maaf mengganggu
waktunya, hanya ingin sekedar mengobrol
dan sharing dengan pak rizal boleh?
Oh iya boleh-boleh, kalo gak ngebolehin
saya gak akan nyuruh kamu datang
kerumah saya, ya tapi harap maklum aja
keadaan rumah ini karena memang juga
sebagai tempat perkumpulan saya dengan
beberapa teman saya untuk menulis buku
ya di tempat ini komunitas bambu ini.
wah iya pak tidak masalah, sebelumnya
saya sudah membaca tentang biografi pak
rizal mengenai status bapak sebagai
budayawan dan penulis buku-buku yang
lumayan bersejarah ya pak, sedikit
banyaknya boleh saya tahu mengenai
sejarah dari betawi pak?
Ya ini pertanyaan besar ya menurut aku,
kamu lebih baik nyari refrensi buku ada di
atas di perpustakaan saya nanti kamu coba
cari ada buku betawi tempo dulu, folklore
betawi atau identitas dan otoritasnya punya
yasmin zaki. Intinya ketiga buku itu
merupakan buku panduan tentang sejarah
betwi yang bisa kamu jadiin basis dasar
dari pertanyaan kamu tadi.
kalo sejarah kulinernya pak bagaimana asal
mula adanya makanan khas betawi?
didalam situ sebenernya juga ada, cuma ga
banyak ya, sejarah kuliner itukan berkait
dengan pertemuan ya, pertemuan
kebudayaan, dan orang betawi sebagai
penduduk Jakarta itu kan pusat dari segala
pertemuan, pertemuan dengan arab, cina
,belanda, pertemuan dengan macam-
macam etnis di nusantara seperti sunda,
jawa, Makassar dan lainnya. Itu nanti satu
sama lain akan mempengaruhi makanan
mereka , kamu itu musti memahami
konteks sejarah melalui konteks pertemuan
itu, bahwa kebudayaan betawi dibentuk
oleh pertemuan-pertemuan tersebut dan
pertemuan tersebut mempengaruhi
makanannya seperti ekspresi atau produk
budaya mereka yang lain seperti gambang
kromong itu kan ada pengaruh besar
terhadap cina, eropa.
kalo misalkan betawi sendiri itu ada daerah
pesisir, tengah, atau pinggiran ya pak, itu
kulinernya juga beda-beda tidak setiap
daerah ?
nah sebenernya dalam kuliner itu atau
dalam konteks kebetawian sekarang ya ,
dia tidak begitu kuat dipengaruhi oleh
aksonomi geografi itu, dalam antropologi
kan ada betawi pinggir, betawi tengah,
pesisir, dalam makanannya misalnya kita
xxxi
melihat ada pengaruh makanan tionghoa itu
besar di pesisir juga besar di pedalaman,
nah dalam konteks betawi pembagian
wilayah betawi tengah, pinggir ataupun
pesisir sudah tidak bisa dipergunakan lagi
karena adanya pembangunan dan
penggusuran, akhirnya orang yang tinggal
di pesisir hilang, orang yang tinggal di
tengah pindah ke pinggir, bahkan pinggir
sampai ke bogor, jadi kamu gak bisa pakai
lagikonteks itu pada hari ini, jadi itu ilmu
yang membeku dan tidak di koreksi pada
konteks kekinian, dia bisa dipakai untuk
melihat masalalu tapi itu periodenya
pendek sekali. Karena sejak tahun 1950an
itu drastis berubah jadi urbanisasi
mengakibatkan konteks betawi tengah
pinggir ataupun pesisir itu luntur apalagi
setelah tahun 1980an, nah nanti kamu akan
melihat tiba-tiba nasi uduk akan bersanding
dengan pecel lele, itu produk betawi, di jual
di Jakarta dan dimakan pakai lele, dan
orang betawi gak punya tuh kebudayaan
makan lele, dan kamu mesti tanggap atas
perubahan teknologi dan ekologis .
kalo dalam makanan atau kuliner betawi
sendiri ada gak sih pak yang memiliki nilai
makna yang bener-bener mencerminkan
orang betawi banget?
yang paling gampang itu roti buaya ya, roti
buaya itu dibawa dalam ritus hidup atau
siklus hidup orang betawi yang paling
penting dalam perkawinan, roti buaya itu
yang menarik itu kataroti itu kan dari
budaya eropa ya, yang kalau dari
sejarahnya kita lihat bahwa bahan atau
makanan roti memang kepunyaan orang-
orang eropa, namun dalam sejarahnya
diambil alih atau mungkin dimanfaatkan
oleh orang betawi untuk menjadi ruang
manifestasi dari penghormatan besar
mereka kepada buaya. Karena mereka
(masyarakat betawi) diketahui sebagai
masyarakat sungai dalam sejarahnya. So
jadi lo gabisa nemuin ini di dalam
kebudayaan jawa, sunda dan lainnya. Jadi
secara tidak langsung ini menyimbolkan
pertemuan, sejarah pertemuan sekaligus
sejarah panjang mereka sebagai masyarakat
sungai, so jadi itu iconic banget karena
bukan hanya tentang bicara kesetiaan, tapi
ini menjadi bukti nyata dari kesejarahan
masyarakat betawi, ya hari ini orang masih
tetap membawanya saat prosesi lamaran
pada tradisi pernikahan adat betawi, tetapi
xxxii
mereka tidak mengerti misal roti buaya kan
sebenarnya tidak boleh dimakan, tapi pada
kenyatraannya saat ini ya masyarakat
betawi sekarang menciptakan kreasi-kreasi
yang membuat roti buaya itu sendiri
kehilangan makna.
loh memangnya kenapa pak roti buaya
tidak boleh dimakan ?
Ya karena itu barang suci, simbolisasi dari
leluhur masa leluhur dimakan hehe , jadi
tuh dulu ya masyarakat betawi
mempercayai bahwa roti buaya ya sebagai
simbolisasi yang mencerminkan leluhur
pada jaman dulu yang sangat menghormati
buaya, kaya misalnya di Negara-negara lain
atau kebudayaan lain, contohnya india
mungkin ya, yang masyarakat sana sangat
menghormati binatang kerbau, yak arena
mereka menganggap binatang kerbau itu
sebagai simbolisasi penghormatan kepada
dewa-dewa menurut kepercayaan mereka,
sama halnya pada buaya, yang diyakini
masyarakat betawi jaman dulu ya begitu.
Dari sini dapat kita lihat dan rasakan bahwa
makna-makna itu menghilang, apakah itu
evolutif cara selamatnya roti buaya atau
sebuah gagal paham mengenai makanan
simbolik.
kalo ngomongin roti buaya kan pasti
identik banget ya pak sama pernihakan
betawi, kalo selain roti buya gitu adagak
sih makanan-makanan yang menjadi icon
budaya betawi dalam pernikahannya?
kalo nanyain makanan ya banyak banget,
mungkin hampir semua makanan khas
betawi itu juga ada kali ya di
pernikahannya, tapi coba kamu baca
dibukunya yasmin zaki shahab kalo gak
salah yg judulnya identitas dan kontruksi,
diasana setau saya ada juga yang
membahas tentang kuliner dalam
pernikahan betawi itu apa aja. Kalo
dipernikahan saya waktu itu juga
menggunakan adat betawi sih ya, Cuma
yang gak betawi-betawi banget karena
prosesinya dulu tuh di gedung, jadi ya
campuran sama nusantara juga, tapi kalo
seserahannya sih ya pakai adat betawi,
karena kan saya orang betawi jadi ya bawa-
bawaan ke istri saya dulu pakai makanan-
makanan khas betawi, jadi ya sekalian
mengenakan juga ciri khas kebetawiannya.
biasanya tuh tradisi dalam pernikahan
betawi itu bawa makanan ap aja sih pak?
Atau mungkin waktu pernikahan pak rizal
bawaannya makanan apa aja ?
banyak sih kayak misalnya saya waktu
ngelamar atau istilahnya silaturahmi dulu
gitu ke keluarga istri saya, bawaannya ya
kayak buah-buahan, kue-kue khas betawi,
missal kayak buah-buahan, sirop, pisang
xxxiii
raja, nah pisang raja disini dibawa karena
kita berharap nantinya kehidupan kita nih
orang betawi makmur kayak raja, mulai
dari rezekinya, kehidupannya, kemakmuran
keluarganya pokonya berharap seperti raja
yang hidupnya sejahtera dan makmur. roti
tawar, beda ya roti tawar dengan roti
buaya, nah kalo roti buaya dibawainnya
nanti pas acara akad nikahnya, kalo buat
seserahan awal ya makanan-makanan biasa
aja, yang istilahnya kita juga konsumsi buat
hari-hari biasa. Kue-kue khas betawi juga,
dulu sih namanya kue bacot, jadi dulu
diistilahkan kue bacot karena kan betawi
itu apaadanya ya, kayak ceplas-ceplos, dulu
ada yang nemanya tradisi nganter kue
bacot, jadi kue-kue (kue bacot) yang udah
dikasih sama si lelaki ini buat ngelamar,
nanti diterima sama si pihak perempuan
kemudian nanti dibagiin ke warga sambil
nyebarin kabar bahagia atau mau ada acara
keriyaan nantinya, keriyaan itu pesta
pernikahan betawi. Jadi kue bacot yang
udah dikasih itu kayak symbol ngundang
tetamgga-tetangga dekat atau saudara
terdekat gitu, omongan dari satu pintu ke
pintu lain itu yang jadiin nama kue itu
sebagai kue bacot.
oh jadi kalo seserahan kue betawi itu
dinamain kue bacot ya pak, terus ada lagi
gak pak makanan-makanan lain yang
menciri khaskan atau yang wajib ada di
pernikahan adat betawi?
kalo setau saya tradisi makanan yang wajib
ada di pernikahan betawi itu ya roti buaya
sih yang paling menjadi iconnya
pernikahan adat betawi, yang
mencirikhaskan pernikahan betawi. Cuma
ya memang sih ada beberapa makanan juga
yang biasanya dihadirkan saat prosesi
pernikahan adat betawi, kaya misalnya ada
dodol juga, ada laksa pengantin kalau kata
orang betawi dulu mah, terus ada sayur
besan juga yang kedudukannya sama
pentingnya sama roti buaya.
kenapa sayur besan itu sama pentingnya
pak sama yang roti buaya? Terus apa
bedanya laksa pengantin yang bapak
sebutkan tadi dengan laksa betawi yang
dijual di pasaran atau di rumah makan
betawi?
ya kalo menurut saya sayur besan dan roti
buaya itu makanan yang paling cirri khas
banget di pernikahan betawi, kalo gaada
kedua makanan itu kayaknya kurang afdol
buat saya pribadi sebagai masyarakat
betawi yang pernah melakukan pernikahan
yang menggunakan adat tersebut, ya
meskipun gak seluruh prosesi pernikahan
saya menggunakan adat betawi, cuma ya
roti buaya dan sayur besan ada di waktu
xxxiv
proses pernikahan saya. Sebenernya ya
kalo sayur besan sama aja kayak sayur
biasa, bedanya yang menciri khaskan
makanan itu ya ada di trubuk, kalo dari
sejarah-sejarahnya gitu memang sayur
besan tidak punya sejarah yang signifikan
seperti roti buaya, cuma ya istimewanya
sayur besan dan yang menjadikan dia
makanan bermakna ya karena sayur itu
dijadikan symbol penghormatan kepada
keluarga besannya. Apa bedanya laksa
pengantin dengan laksa yang
dijualdiluaran? Ya tidak ada bedanya sih,
sama-sama laksa, dan bahan-bahannyajuga
kayaknya sama, Cuma ya biasanya orang
betawi menyediakan makanan laksa saat
proses acara pulang tiga hari, atau kalo dari
jawa biasanya disebutnya ngunduh mantu,
acaranya sih biasa aja kayak kumpul-
kumpul keluarga dekat dan acara makan-
makan laksa yang disebut laksa pengantin,
tapi kalo sekarang ga tau deh masih pake
laksa atau makanan lain .
oh gitu ya pak, kalo menurut bapak sendiri
sebagai budayawan apalagi dari betawi ya
pak, ada gak sih perubahan antara tradisi
kuliner atau makanan di pernikahan betawi
jaman dulu dengan keadaan sekarang ?
kalo ditanya perubahan yapasti ada yang
berubah ada yang tidak, dalam artian ya
ada yang masih bertahan tradisi tersebut,
seperti yang saya sudah jelaskan tadi,
mungkin tradisi hantaran roti buaya yang
masih sangat terlihat dikalangan
masyarakat tentang ciri khas makanan
betawi,mungkin tradisi hantaran roti buaya
sebagai simbol itu masih dilakukan cuma
ya saya rasa ada perubahan makna aja,
yang tadinya roti buaya itu hanya dijadikan
barang seserahan simbolik, tapi sekarang
roti buaya bisa dimakan. tapi ya ada juga
yang mungkin bukan hilang ya, cuma
terkadang tidak terlalu digunakan dalam
tradisi makanan di dalam pernikahan adat
betawi. Misalnya ya laksa pengantin tadi,
atau malah pas waktu prosesi acara
besarnya juga, yang terkadang orang gak
mau ribet jadi pesen catering, dan biasanya
ya kalo makanan dari catering ya makanan-
makanan umum bukan makanan khas
daerahnya, ya walaupun masih bisa request
gitu, disitu letak berubah dan perbedaannya
dari pernikahan betawi jaman nenek saya,
ibu saya, saya, atau jnaman kamu nanti
mungkin udah berubah total kali ya.
xxxv
maksudnya berubah itu dalam artian yang
bagaimana pak? Atau jenis makanannya
yang berubah, atau lainnya?
ya berubah banyak, dari segi prosesi
pernikahan aja sekarang jarang yang
menggunakan tradisi adatnya masing-
masing, apalagi betawi, coba kamu cari
pernikahan adat betawi di Jakarta itu udah
jarang banget kan? Ya karena memang
sudah banyak yang berubah, masyarakat
betawi yang dulu mendominasi wilayah
Jakarta sejak adanya pembangunan jadi
mulai bergeser, banyak ya daerah-daerah
pinggiran kayak di bekasi, bogor, depok, di
Jakarta malah cuma beberapa wilayah aja
yang dominan orang betawinya, dari
kenyataan itupun bisa jadi salah satu factor
berubahnya prosesi pernikahan, tradisi
kulinernya, dan lain-lain. adapun factor lain
juga yang jadi titik perubahan dalam
pernikahan adat, bukan betawi doing nih
ya, mungkin bisa dilihat adat-adat lainpun
ya banyak mengalami perubahan, dulu
betawi kalo nikah dirumah, jarang ada yang
di gedung, karena mereka lebih nerapin
system kekeluargaan, dan biar bisa lebih
lama ngejamu tamunya, juga kalo
makanan-makanan yang ada di resepsi
biasanya ya dimasak sendiri sama tukang
masak tetangga yang deket rumah, kalo
sekarangkan ada Wedding Organizer (WO)
jadi ya beda banget sama pernikahan
betawi jaman dulu, mungkin sekarang
orang-orang gak mau ribet kali ya, jadi
yaudah kalo mau nikah tinggal cari WO
tinggal bayar udah deh nikah, kalo dulu
gotong royongnya masih keliatan banget
kalo ada acara pernikahan. Oya satu lagi
yang mungkin jadi salah satu factor
berubahnya tradisi-tradisi kuliner atau
pernikaan adat betawi, karena sekarang
banyakan ya nikahnya beda etnis sama
pasangannya, misalnya betawi-jawa,
betawi-sunda, betawi-padang, bahkan
mungkin ada yang dapet pasangan diluar
Indonesia, karena sekarang juga kan makin
kompleks masyarakat Indonesia, jadi
makin kompleks juga kebudayaan yang ada
dijakarta, jadi mungkin itu salah satu alasan
berubahnya tradisi-tradisi dalam
pernikahan adat.
xxxvi
Transkip wawancara 3
Nama Informan : H. Buhori, SH, MH (Pak Buhori)
Status : UPK PBB sebagai pelaksana teknis informasi dan
pelayanan
Lahir : Jakarta, 12 Agustus 1963
Tempatdan waktu wawancara : Setu Babakan / 10 Agustus 2018
Penulis informan Selamat siang pak buhori, saya Irma
mahasiswi Uin SyarifHidayatullah, gini
pak saya mau nanya kalau dalam budaya
betawi proses pernikahannya itu gimana
sih pak ?
Proses pernikahan betawi jaman mana dulu
nih neng? Karena setiap proses
pernikahannya betawi ya sedikit banyaknya
ngalamin perubahan. Kalo dulu orang
betawi gak kenal istilahnya pacaran.
Jangankan pacaran neng, anak laki kalo
main istilahnya kalo sekarang ngapelin
kerumah perempuan itu gak boleh masuk
kerumah. Jadi tuh nanti laki yang main itu
bolehnya ya ketemu bapak atau emaknye.
Ngobrolnya pun diluar dan gaboleh deh
masuk walaupun cumangelangkahin kaki
satu masuk kerumah itu udah melanggar,
biasanya yang kayak gitu langsung deh
buru-buru di nikahin.jadi dulu kalo orang
betawi nikah itu gak langsung dateng
kerumah, ade tuh yang namanye mak
comblang. Mak comblang tuh yang
biasanya jodoh-jodohin si lelaki itu sama
perempuan yang dia taksir, dateng dah tuh
si mak comblang kerumah perempuan
namanye itu proses ngedelengin atau
perkenalan deh yang gampangnya. Jadi
disitu si mak comblang ngobrol sama orang
tua si perempuannye bilang kalo ada lelaki
yang naksir anaknya, namanya si pulan bin
pulan lah istilahnye. Nah nanti ngenalin
deh tuh si lelaki latarbelakangnye gimana-
gimana. kalo nanti tuh orang tua udeh
ngasih sinyal-sinyal setuju mak comblang
bakal nyampein ke keluarga laki biar
diomongin lai kelanjutannye. Tapi kalo
sekarang kan laen ye neng, orang betawi
jaman sekarang mah udeh gak pake mak
comblang lagi tuh, karena jamannya udeh
berubah agak bebas jadi istilahnya sekarang
udeh kenal yang namanya pacaran jadi ye
perkenalannya gak butuh lagi mak
combalng, perkenalannya ya paling
langsung dateng deh tuh si laki kerumah
perempuan bawa orang tua buat ngelamar,
kalo dulu mah orang tua gak turun tangan
langsung, melainkan ada peran si mak
xxxvii
comblang ini buat ngejodohin. Oh begitu pak, terus kalo makanan-
makanan yang biasanya ada proses
pernikahan betawi biasanya ada apa aja?
Didalam pernikahan adat betawi yang tadi
saya bilang ya sebagian besar hampir sama
kayak pernikahan pada umumnya kayak
panggil penghulu ada wali jikah dan
lainnya sama, Cuma mungkin proses
resepsinya setiap daerah beda-beda,
resepsinya kalo di dalam filosofi orang
betawi itu artinya ngundang atau ngasih tau
ke tetangga tetangga kalo anak gue udah
nikah anak gue udah ketemu jodoohnye,
kalo di betawi resepsi pernikahan itu
dibilang keriyaan, riya yang artinya
nampang-nampanginlah kalo bahasa
betawi. Nah sebelum itu biasanya ada yang
namanya besanan tuh, besanan biasanya
kan bawa-bawaan makanannya tuh banyak
banget neng, dari kue-kuenya juga banyak
banget yang dibawaain, ada kue geplak kue
dodol kue wajik, kue ketan uli, pokoknya
lengkap deh, itu biasanya orang betawi juga
bilangnya kue bacot, nanti nih kue-kue
yang dikasih sama calon mempelai laki-
lakinya itu gak dimakan sendiri doang, jadi
nanti dia dibagiin ke tetangga-tetangganya
sekalian ngundang, nah kue bacot itu salah
satu symbol dari masyarakat betawi kalo
ada laki-laki yang pengen ngelamar
perempuan biasanya bawa seserahan kue
kan ? nah itu melambangkan bahwa adanya
seserahan kue itu istilahnya ada maksud
dari kedatangan si lelaki, oh ini si lelaki
mau ada yang dibicarain, mau ngomong
niat baiknya dia, makanye dah tuh
dibawain seserahan kue bacot biar yang
dikasih seserahan itu udah tau maksud dan
tujuannya dating kerumah, biar dia
mempersiapkan segala macem buat
nyambut kedatangan si pria tersebut.
Kemudian ada juga pohonan yang trbuat
dari bahan ranting di tebang terus diisi
buah-buahan di sisi ranting-ranting itu, nah
itu maknanya mengajarkan kita bahwa
dalam berumah tangga nanti pasti lu temuin
deh tuh macam-macam rasanya, ada yang
masanya rumah tangganya berjalan manis
kan tuh kayak buah pisang misalnya, ada
juga asem kayak nanas atau semacamnya,
pokoknya ya mengajarkan kita buat nerima
nantinya dalam hidup berumah tangga.
Kemudian ada lagi tenong, biasanya orang
betawi kalo mau ngelamar juga bawa
xxxviii
tenong, tenong itu wadah yang diisi kue-
kue betawi yang ditumpuk keatas terus di
pikul. terus juga bawa kambing atau
biasanya disebut tukon, tapi gak cuma
kambing, bisa juga dengan ayam atau
hewan semacamnya. Jadi setiap laki-laki
biasanya bawa tukon ke rumah calom
mempelai perempuannya jadi maknanya ya
kayak kita dibekali sema keluarga kita buat
beternak nantinya, bawaan ini tuh biasanya
dibawa pas prosesi ngenjot atau orang
bilang tradisi njotan,nanti gak cuma tuqon
yang dibawa, tapi ada bahan-bahan
makanan mentah yang diberikan pihak laki-
laki ke perempuan dah tuh, nanti bahan-
bahan panganan mentah itu seperti beras,
daging ayam,ikan,kambing, atau sapi dan
bahan dapur lainnya itu diolah sama pihak
perempuan jadi makanan mateng, terus di
anterin lagi ke kita pihak laki-laki jadi
kayak maen anter-anteran makanan gitu.
Kalau misalkan makanan buat
dipernikahan ada apa aja selain roti buaya
sebagai symbol yang harus dibawa wajib?
Kalau roti buaya memang buat symbol
kesetiaan ya dek, jadi buaya itu kan
kawinnya cuma sekali, ya abis kawin dia
kagak bakal nikah-nikah lagi. Jadi buaya
itu dijadikan simbol karena kepribadian
buaaya itu sendiri. Nah kita kepengen tuh
orang betawi tuh begitu. Kepengen kan
boleh ye kan kalo kenyataan mah kita
gatau. Karena proses kehidupan rumah
tangga beda-beda. Jadi ya itu dijadikan
simbol harapan untuk orang betawi.
xxxix
Transkip wawancara 4
Nama Informan : Bekti (pak bekti)
Status : Karyawan swasta
Lahir : Jakarta 16 juli 1983
Tempat dan waktu wawancara : Rumah Informan (kebayoran Lama) / 3 September
2018
Penulis Informan
Selamat pagi pak maaf mengganggu
waktunya, mau nanya-nanya tentang betawi
boleh?
boleh kok, kamu mau nanya apa ?
Yang saya tau kan pak bekti itu orang betawi,
dulu waktu nikahannya pakai adat betawi juga
gak pak ?
Oh iya sih dulu pake adat betawi nikahannya, cuma
gak terlalu pure betawi banget karena dulu saya
nikah dalam waktu sangat singkat, jadi ya
perseiapannya singkat banget.
kalo perkenalannya dulu sama istri gimana
pak, langsung dateng kerumah apa bapak ada
pacaran dulu ?
enggak dulu mah saya nikah langsung dateng
kerumahnya ketemu sama orang tua dia, kenal
pertama kali waktu itu pernah ada tugas bareng, ya
beberapa minggu kenal gak lama saya ya utarain
niat serius sama dia, terus ya dia mempersilahkan
kerumah ngomong sama orang tua dia.
waktu bapak dateng kerumah istri bapak dulu
dateng sendiri sama orang tua atau mengirim
pewakilan pak kaya misalnya mak comblang
gitu?
oh enggak dulu saya waktu nikah ga pake mak
comblang, jadi pas saya bilang saya mau serius
sama istri saya ya dia langsung bilang suruh
kerumah sama orang tua saya buat menghadap ke
orang tua dia, jadi gak pake mak comblangan
karena ya kita udah kenal deket satu sama lain
sama keluargapun juga
iya kan yang saya tau kalo betawi sebelum
nikah itu waktu perkenalan ke keluarga
perempuan ngirim orang perwakilan pak
kayak mak comblang, kalo sekarang udah
gapake mak comblang ya pak?
jadi waktu nikahan ibunya pak bekti itu masih
menggunakan perantara mak comblang ya
pak, itu biasanya kalo mak comblang dateng
kerumah bawaannya itu apa aja pak?
kalo masih pake atau tidaknya dalam konteks saat
ini saya kurang tau ir, kalo saya pribadi sih dulu ga
pake mak comblang, jadi ya kayak ngelamar biasa
aja sama kayak lamaran pada umumnya. Kalo yang
mak comblang itu waktu jamannya ibu saya
kayaknya, jadi ya waktu dulu emang betawi
biasanya kalo sebelum nikah ada proses perkenalan.
Karena orang betawi jaman dulu nih nurut banget
deh sama orang tua-orang tua mereka dan nilai
budaya asusilanya masih kenceng banget, jadi buat
ngutarain niat baik mau ngelamar pun dia gak
langsung dateng melainkan ada perantara gitu, ya
itu yang di bilang mak comblang.
kalo bawaan mak comblangnya sih setau saya sama
aja ya kayak bawaan kalo lagi siltaurahmi kerumah
orang, kayak bawa kue-kue atau makanan-makanan
khas betawi gitu biasanya.
xl
kalau bawaan ikan bandeng gitu ada gak pak?
Karena yang pernah saya pelajari orang
betawi kalo sebelum nikah itu digantungin
ikan bandeng di depannya buat penanda gitu.
oh iya dulu ibu saya juga pernah cerita pas saya
sebelum nikah ada tuh tradisi ikan bandeng gitu,
jadi pas mak comblang atau perantaranya ayah saya
dulu dateng kerumah ibu saya, waktu itu orang tua
ibu saya yang nemuin, ibu saya disuruh dikamar aja
jadi keputusan diterima apa enggaknya lebih
besarnya orang tua yang nentuin, ibu saya mah
tinggal nurut aja. Istilahnya dulu ya penentuan
jodoh baik enggaknya ya orang tua yang bisa nilai.
dulu waktu dikasih ikan bandeng itu gimana
pak, dan maksudnya biar apa pak?
kata ibu saya dulu jadi pas orang tua ibu saya
menerima kayak semacam lamaran gitu, tapi belum
resmi lamaran kayak baru perkenalan. Nah nanti itu
mak comblang ngasih sepasang ikan bandeng di
dalem kotak atau peti kecil gitu, nanti dia minta
tolong untuk digantungin di depan rumah sebagai
tanda persetujuan kalo keluarga ibu saya udah
nerima kedatangan mak comblang yang dikirim
oleh keluarga bapak saya, jadi biar kasih tanda
gitulah ir biar orang orang di sekitar tau kalo ibu
saya sudah ada yang ingin nikahin. Jadi nanti
semisal ada lelaki lain yang naksir ibu saya selain
dari bapak saya yang udah mengutarakan niat
duluan ya biar gak ganggu lagi hubungan mereka.
lalu kalo pada saat lamaran itu pa bekti bawa
apa aja kerumah istri pak?
waktu pas lamaran ya saya bawain kerumah istri
saya dulu buah-buahan, kue-kue tradisional betawi,
apa deh namanya kue bacot deh kalo gak salah,
terus juga bawa roti tawar, dodol, geplak, banyak
deh pokoknya ya makanan khas betawi gitu tapi
yang kue-kue nya. Terus saya juga bawa pisang raja
tuh satu sisir, itu dari makanannya yang saya bawa.
makanan-makanan yang sudah bapak
sebutkan tadi kan merupakan bawaan pa
bekti, kalo dari keluarga istri pa bekti sendiri
ada gak sih pak makanan yang diberikan
sebagai balasan hantaran?
oh iya jelas ada air, jadi istilahnya itu balasan
hantaran makanan itu kalo gak salah njotan atau
ngenjot gitu namanya, cuma karena waktu itu saya
waktunya mepet nikahnya, jadi saya waktu lamaran
ngasih kayak buah dan kue-kue tadi pas dateng
kerumahnya acara lamaran,pas malemnya pakde
saya nganterin bahan-bahan makanan gitu kayak
beras, daging ayam, sapi mentah, terus bahan-bahan
makanan lainnya yang belum diolah. nah nanti
bahan panganan yang di kasih itu diolah sama
mereka menjai makanan mateng, selang beberapa
hari sebelum akad disitu ada makanan-makanan
khas betawi juga termasuk sayur besan. Ada pecak
gurame juga, gabus pucung, semur jengkol,
pokoknya makanan-makanan yang menurut kita nih
masyarakat betawi enak ya disediain sama keluarga
istri saya, dan dianterin kerumah saya, itu yang
orang betawi bilangnya ngenjot. katanya sih untuk
menyambut kedatangan tamu special nantinya ya
xli
harus disediakan menu yang special pula.
terus pas akad nikah bapak bawa seserahan
roti buaya gak?
Wah kalau roti buaya itu pastii, paling utama itu
pokoknya saya dulu nyarinya sampe kemana-mana,
kan memang sudah jarang banget yang jual, jadi
mereka produksi kalo ada pesenan jauh-jauh hari,
Cuma kan pernikahan saya emang waktunya mepet
mendadak banget, jadi ya susah nyarinya,
ketemunya pas dicariin temen saya itu juga mepet
banget dan dapetnya yang kecil. Ya istilahnya biar
gak sempurna mah itu wajib ada dipernikahan,
Karena ya katanya kan melambangkan kesetiaan
jadi ya diusahakan ada biar jadi doa tersendiri buat
kita.
Jadi harus ya pak kalo menurut bapak
pribadi seserahan roti buaya, terus kalo
makanan seserahan lain ada lagi gak pak
yang menjadi tradisi dari pernikahan betawi
itu sendiri?
Ya kalo roti buaya ya menurut saya emang udah
jadi simbol legendaris, orang betawi wajib ngasih
itu kalo pernikahan, selain menjadi simbol dalam
pernikahan ya sebagai identitas kita juga. Kalo
makanan lain di betawi sih banyak, pokoknya kalo
ada acara upacara pernikahan, atau upacara-upacara
adat betawi semua jenis makanan betawi hampir
seluruhnya di adain, Cuma ya kalo menjadi cirri
khas pernikahan dan juga tradisinya ya paling Cuma
sebagian besar yang istilahnya memiliki makna
kehidupan yang mendalam yang disediakan
masyarakat betawi dalam acara itu. ya roti buaya
lah, kue bacot, roti tawar, sayur besan, dan
seserahan lainnya
xlii
Transkip wawancara
Nama Informan : Yuliana (ka ana)
Status : Karyawan swasta
Lahir : Jakarta, 14 Juli 1992
Tempat dan waktu wawancara : Rumah Informan (Tebet) / 11 Agustus 2018
Penulis Informan Maaf ka ana ganggu waktunya, mau nanya
dlu nikah pake adat betawi kan ya ?
Iya kemarin nikahnya pake adat betawi
Kalo waktu sebelum nikah prosesnya
gimana aja kak ?
Ya kayak biasanya aja pernikahan pada
umumnya, kayak lamaran terus abis itu
nikah.
Itu nggak tunangan dulu atau langsung
lamaran kak?
Nggak pake tunangan, dulu suami tuh
langsung kerumah sama keluarganya sama
rombongan keluarganya dan tetangga
deket, ketemu sama orang tua langsung
ngelamar gitu.
Berarti dulu gak ada proses ngedelengin ya
kak atau mak comblang?
Iya nggak ada dulu mah langsung lamaran
terus tentuin tanggal nikah deh.
Kalau dulu suami kaka pas lamaran ngasih
seserahan ikan bandeng mentah gak terus
digantungin depan rumah?
Enggak ada tuh pas kemaren suami kasih
ikan bandeng itumah Betawi jaman dulu
kali ya, kalo sekarang sih juga gapernah
denger tetangga atau sepupu kalo nikahan
pake adat Betawi digantungin ikan bandeng
gitu
Dulu pas lamaran suami kaka itu bawa
bawaannya apa aja kak? Banyak sih kemaren waktu lamaran yang dibawain suami, kayak buah-buahan, terus makanan kayak kue-kue khas betawi gitu, ada geplak, ada uli juga, ada pisang raja,ada roti , ada sirop manis yang warna merah dan macem – macem. Terus besokannya apa selang beberapa hari deh gitu pihak keluarga suami aku dateng lagi bawain anteran kayak bahan-bahan makanan mentah buat dimasak sama pihak keluarga aku, nah nanti beberapa hari kemudian sebelum acara nikahan, ya aku nganterin makanan mateng yang udah dimasak tadi yang dapet kiriman bahan makanan dari keluarga dia, dianterin sama tetangga aku sama sodara aku, jadi ya ngebales anteran dia itu.
Waktu itu pas nganterin hantaran dari pihak kaka ke suami kaka dulu sama aja kayak yang dikasih suami atau beda ka?
Beda, kalo keluarga aku sih dulu ngasihnya atau ngembaliinhya itu kayak makanan besarnya, makanan pokok, ada nasi kuning, ayam utuh atau biasanya orang betawi bilang bekakak ayam, terus ada pecak gurame, sayur besan, gabus pucung, sayur asem, pokoknya makanan-makanan buat sehari-hari tapi ya cirri khas betawi.
xliii
Oh gitu kak, itu kenapa bisa beda bawaannya kak antara bawaan seserahan lelaki sama perempuan?
Kalo kenapanya aku kurang tau, yang pasti sih tradisinya dari dulu gitu.
Kalo yang tadi kaka jelasin kan seserahan pas lagi lamaran ya kak, terus ada lagi gak makanan-makanan yang khas atau identik dengan pernikahan betawi ?
Itu sih paling roti buaya, ya kan kalo identik sama pernikahan betawi kalo nggak roti buaya atau gak sayur besan, sama seserahan kue-kue betawi itu kalo gak salah disebutnya kue bacot deh.
Biasanya kan setau aku kalo ada orang abis dilamar gitu suka ngasih kaya pisang raja atau buah lainnya gitu ke tetangga yang ada anak perawannya, kaka dulu ngelakuin hal itu ga?
Oh iya dulu aku juga ngasih ngasih tetangga, kayak pisang raja, buah jeruk, kue pepe (kalo gak salah), terus sama bolu atau roti gitu.
Itu maksudnya biar apa kak?
Kalo kata orang tua aku ya bagi-bagi aja sih, kayak biar ngasih tau juga ke tetangga kalo misalnya aku udah dilamar, kan nanti biasanya abis ngasih atau ngasih tau banyak yang doain juga, jadi kaya minta doa juga biar dilancarin, sama katanya ya biar yang punya anak perawan juga bisa jadi doa semoga bisa segera nyusul.
Dulu pas suami ngasih seserahan roti buaya itu artinya apa sih buat masyarakat betawi ?
Kalo kata orang tua aku sih ya biar nantinya pasangan setia, soalnya kan buaya nikahnya cuma sekali, terus roti buayanya juga harus sepasang, atau lebih lengkapnya ya ada roti anak buayanya juga biar katanya hidup bahagia sama keluarga kecil nya dan dikaruniai momongan.
Terus roti buayanya itu dikonsumsi sendiri, dibagi-bagi atau di diemin aja kak?
Ya dimakanlah namanya juga makanan, roti kan makanan dan fungsinya emang buat dimakan, waktu itu sih ya langsung dipotong-potong rotinya dibagiin tetangga sama saudara-saudara juga, soalnya kalo buat sendiri juga pasti gak bakal abis.
Terus ada makanan lainnya gak kak selain yang udah disebutkan dan dijelaskan kaka?
Kalo menurut pengalaman aku sih udah itu aja ir yang dibawain suami aku duluu sama yang dikasih balesan sama keluarga aku, selebihnya ya kayak makanan plasmanan ya aku pesen catering gitu