DGI-zine 001

20
DGI-zine | 001

description

Publikasi ringkas dari DGI yang berisi suplemen tentang desain grafis.

Transcript of DGI-zine 001

Page 1: DGI-zine 001

DGI-

zine

| 0

01

Page 2: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 3: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 4: DGI-zine 001

Desain Grafis Indonesia (DGI) adalah sebuah situs kolaborasi yang memfokuskan diri kepada Sejarah

Desain Grafis Indonesia sebagai bagian integral dari warisan kolektif desain grafis internasional.

DGI didirikan pada 13 Maret 2007 oleh salah seorang desainer grafis senior Indonesia, Hanny Kardinata. Situs

ini didirikan sebagai forum maya untuk memupuk saling pengertian di antara desainer grafis Indonesia. Tujuan

DGI adalah membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni,

desain, kebudayaan, dan masyarakat.

Konsep pemahaman diharapkan terwujud melalui penerbitan bagian per bagian sejarah desain grafis Indonesia

yang saat ini dilakukan secara online, supaya generasi muda desainer grafis Indonesia memiliki rujukan

mengenai perjalanan desain grafis Indonesia dari waktu ke waktu, dan memahami kesalingterhubungannya

dengan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh angkatan-angkatan pendahulunya.

Saat ini, dengan memanfaatkan teknologi virtual, DGI mengumpulkan dan mempublikasikan informasi

mengenai desain grafis Indonesia secara berkesinambungan ke seluruh Indonesia dan juga dunia. Selain sebagai

portal atau media informasi, DGI juga berfungsi sebagai pusat data dan kajian desain grafis Indonesia, terbagi

atas data visual dan data verbal.

Cita-cita DGI adalah mendirikan Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang akan mendukung pembelajaran

ilmu desain grafis dengan menyimpan dan merawat karya-karya desain grafis Indonesia secara komprehensif.

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 5: DGI-zine 001

Desain Grafis Indonesia (DGI) adalah sebuah situs kolaborasi yang memfokuskan diri kepada Sejarah

Desain Grafis Indonesia sebagai bagian integral dari warisan kolektif desain grafis internasional.

DGI didirikan pada 13 Maret 2007 oleh salah seorang desainer grafis senior Indonesia, Hanny Kardinata. Situs

ini didirikan sebagai forum maya untuk memupuk saling pengertian di antara desainer grafis Indonesia. Tujuan

DGI adalah membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni,

desain, kebudayaan, dan masyarakat.

Konsep pemahaman diharapkan terwujud melalui penerbitan bagian per bagian sejarah desain grafis Indonesia

yang saat ini dilakukan secara online, supaya generasi muda desainer grafis Indonesia memiliki rujukan

mengenai perjalanan desain grafis Indonesia dari waktu ke waktu, dan memahami kesalingterhubungannya

dengan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh angkatan-angkatan pendahulunya.

Saat ini, dengan memanfaatkan teknologi virtual, DGI mengumpulkan dan mempublikasikan informasi

mengenai desain grafis Indonesia secara berkesinambungan ke seluruh Indonesia dan juga dunia. Selain sebagai

portal atau media informasi, DGI juga berfungsi sebagai pusat data dan kajian desain grafis Indonesia, terbagi

atas data visual dan data verbal.

Cita-cita DGI adalah mendirikan Museum Desain Grafis Indonesia (MDGI) yang akan mendukung pembelajaran

ilmu desain grafis dengan menyimpan dan merawat karya-karya desain grafis Indonesia secara komprehensif.

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 6: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 7: DGI-zine 001

M e m b i m b i n g

p e m a h a m a n

d i a n t a r a

d e s a i n e r g r a f i s

I n d o n e s i a

d a n

p e r s i m p a n g a n n y a

d a l a m

s e n i ,

d e s a i n ,

k e b u d a y a a n ,

d a n

m a s y a r a k a t

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 8: DGI-zine 001

DESAIN(ER) GRAFIS INDONESIA

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 9: DGI-zine 001

DESAIN(ER) GRAFIS INDONESIA

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 10: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

"SAYA SEORANG DESAINER GRAFIS."

Page 11: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

“… m

asih

ada

sat

u pe

rtan

yaan

yan

g ti

mbu

l di b

enak

say

a. P

erta

nyaa

n ya

ng m

enya

ngku

t kat

a In

done

sia

–da

lam

hal

ini k

ata

‘In

don

esia

n’–

da

lam

Indo

nesi

an G

raph

ic D

esig

n A

war

d, a

paka

h ha

nya

akan

dia

rtik

an

seba

gai l

okas

i/te

mpa

t? S

emen

tara

m

akna

kat

a ‘In

done

sia’

dal

am IG

DA

ju

ga d

apat

dia

rtik

an s

ebag

ai

cerm

inan

sua

tu w

atak

, kep

riba

dian

, ka

rakt

er, c

ara

pand

ang,

sem

anga

t da

n ha

l lai

n ya

ng d

apat

men

gart

ikan

In

done

sia

seba

gai s

uatu

Iden

tita

s.

Kal

au k

ita

coba

tela

ah, t

anpa

iden

tita

s ke

-Ind

ones

ia-a

n, IG

DA

aka

n m

enja

di

ajan

g aw

ards

pad

a um

umny

a. D

an

IGD

A h

anya

aka

n m

emot

ivas

i de

sain

er g

rafis

Indo

nesi

a su

paya

be

rkar

ya s

ecar

a kr

eati

f saj

a, y

ang

bisa

saj

a m

enga

rahk

an k

ita

pada

be

ntuk

kar

ya y

ang

mis

kin

iden

tita

s.”

Sepenggal kutipan dari pidato Abdul Djalil Pirous pada acara puncak IGDA (Indonesian Graphic Design Award) tahun 2010.

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Page 12: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Pad

a ke

sem

pata

n in

i, D

GI

men

gaja

k pa

ra p

endi

dik,

pra

ktis

i, ak

tivi

s, p

elaj

ar, d

an r

ekan

-rek

an y

ang

bers

entu

han

deng

an

bida

ng d

esai

n gr

afis

unt

uk s

ecar

a sa

dar

dan

akti

f men

jala

nkan

“Si

kap

Bud

aya:

Ide

ntit

as D

esai

n G

rafi

s In

done

sia”

. Si

kap

buda

ya m

erup

akan

per

wuj

udan

dar

i seb

uah

keya

kina

n, k

eped

ulia

n, m

isi,

juga

seb

uah

lang

kah

yang

aka

n m

engh

anta

rkan

kit

a ke

pin

tu g

erba

ng ja

ti d

iri d

esai

n gr

afis

Ind

ones

ia.

Kam

i yak

in b

ahw

a D

esai

n G

rafi

s In

done

sia

haru

s m

emili

ki id

enti

tas.

Sua

tu

keya

kina

n ya

ng te

lah

dipu

puk

oleh

pen

dahu

lu k

ita

–p

ara

per

inti

s p

end

idik

an r

anca

ng

visu

al d

ari t

ahu

n 1

950

-an

, per

inti

s fo

rmal

p

rogr

am d

esai

n g

rafi

s se

jak

tah

un

19

73, p

elak

u d

an s

tud

io-s

tud

io

des

ain

gra

fis

Ind

on

esia

– y

ang

tela

h be

rgia

t men

cari

ke-

Indo

nesi

aan.

Sua

tu

keya

kina

n at

as id

enti

tas

yang

dap

at m

enci

trak

an w

atak

, pem

ikir

an,

men

talit

as, k

epri

badi

an a

tau

filo

sofi

Ind

ones

ia d

alam

per

kem

bang

an d

unia

gl

obal

yan

g m

akin

mem

pert

ingg

i ikl

im p

ersa

inga

n an

tar

nega

ra, a

ntar

pe

rusa

haan

dan

ant

ar p

riba

di, s

ehin

gga

berp

enga

ruh

terh

adap

pra

ktek

des

ain

graf

is y

ang

cend

erun

g m

akin

inst

an d

an s

erag

am.

Kam

i yak

in b

ahw

a w

ujud

iden

tita

s te

rseb

ut b

isa

dica

ri d

ari k

ualit

as n

ilai-

nila

i In

done

sia

yang

sud

ah a

da a

tau

diba

ngun

wuj

ud b

aru

hasi

l dar

i pen

cari

an

ters

ebut

. Per

wuj

udan

ini m

engh

inda

rkan

Ind

ones

ia te

ngge

lam

ole

h at

au

men

giku

ti w

ujud

iden

tita

s la

in.

SIK

AP

B

UD

AYA

: ID

EN

TITA

S D

ESA

IN

GR

AF

IS

IND

ON

ESI

A

Page 13: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Kam

i pah

am b

ahw

a pr

oses

per

wuj

udan

iden

tita

s in

i buk

an p

rose

s in

stan

ata

u se

kali

jadi

, tid

ak b

isa

dipa

ksak

an d

an ti

dak

ada

rum

usan

ata

u re

sep

baku

; se

mua

har

us b

ersi

fat j

ujur

dan

nat

ural

dal

am m

enyi

kapi

pot

ensi

sum

ber

daya

se

kalig

us k

enda

lany

a.

Kam

i mer

ekom

enda

sika

n sa

lah

satu

jala

n ya

ng s

adar

dan

pro

akti

f dal

am

mew

ujud

kan

iden

tita

s in

i, ya

itu

deng

an c

ara

men

empa

tkan

dir

i dal

am s

uatu

ko

ndis

i pen

gem

bang

an s

tudi

dan

ling

kung

an k

erja

yan

g ka

ya a

kan

rise

t dan

an

alis

is k

ekay

aan

nila

i dan

mat

eri a

lam

ser

ta b

uday

a In

done

sia

mas

a la

lu d

an

kini

; kay

a ak

an e

kspl

oras

i, se

hing

ga p

rose

snya

buk

an h

anya

men

dupl

ikas

i ke

kaya

an m

asa

lalu

teta

pi ju

stru

teri

nspi

rasi

dar

inya

unt

uk m

engh

asilk

an

krea

si b

aru.

Kam

i men

ghid

upka

n su

asan

a ke

bers

amaa

n da

lam

mew

ujud

kan

iden

tita

s in

i, m

elal

ui d

ialo

g pi

kira

n da

n ka

rya

yang

kon

trib

utif

, ser

ta s

alin

g be

rtuk

ar

waw

asan

dan

tekn

olog

i, de

mi t

erw

ujud

nya

prog

ram

pem

bent

ukan

iden

tita

s in

i. K

eber

sam

aan

ini m

engh

arus

kan

kam

i mel

epas

sek

at p

emba

tas

indi

vidu

da

n or

gani

sasi

, seh

ingg

a da

pat b

erko

mun

ikas

i leb

ih in

tens

if d

an s

iner

gis.

Kam

i ber

hara

p pr

ogra

m in

i ber

guna

unt

uk m

enin

gkat

kan

krea

tivi

tas

dala

m

diri

kam

i, se

hing

ga ti

dak

terj

ebak

dal

am k

reat

ivit

as s

emu

iden

tita

s;

men

amba

h re

puta

si k

eilm

uan

dan

prof

esi k

ami d

alam

mem

beri

car

a ya

ng

bert

angg

ung

jaw

ab, b

erda

sar,

dan

ber

man

faat

sec

ara

konk

rit u

ntuk

akt

ivit

as

mas

yara

kat.

Sem

oga

mel

alui

pro

gram

ini m

asya

raka

t sec

ara

lang

sung

dap

at

men

ikm

ati k

ekay

aan

nila

i Ind

ones

ia, s

ehin

gga

mem

peng

aruh

i kep

erca

yaan

di

ri d

an k

eyak

inan

mas

yara

kat a

tas

pote

nsi i

dent

itas

Ind

ones

ia.

Jaka

rta,

23

Mei

20

10.

Kami yang mengusulkan Sikap Budaya ini:

Abdul Djalil Pirous, Priyanto Sunarto, Hanny Kardinata,

Hermawan Tanzil, Eka Sofyan Rizal, Ismiaji Cahyono, Surianto Rustan,

Caroline F Sunarko, Hastjarjo B Wibowo.

Page 14: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Sandy Karman: A Post(er) Catalogue | Rp 50.000,-

Kaos “DGI” black on black | Rp 95.000,-

iPhone Compparel Edisi Customized SignatureiPhone 4/4s : Rp 110.000,- | iPhone 5 : Rp 140.000,-

Kao

s “S

aya

Se

ora

ng

De

sain

er

Gra

fis”

|

R

p 1

15.0

00,-

Page 15: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

DG

I

ST

OR

E

DG

I

BO

OK

ST

OR

E

Buku PERSPEKTIF: 19 Desainer Grafis IndonesiaRp 150.000,- | Pre-order

Mug DGI | Rp 45.000,-

Toelen Playing Card “Wayang Series” | Rp 60.000,-

Page 16: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Neo Permata B-55,

Bintaro Jaya Sektor 9,

Tangerang 15227 Indonesia

T: +62 21 29237 900

F: +62 21 29237 833

[email protected]

www.dgi-indonesia.com

DARIPADASEPI SENDIRIMARI BER-KOLABORASI

DGI mengundang rekan-rekan untuk menjadi

bagian dari pencatatan desain grafis Indonesia dengan

mengirimkan tulisan (berupa pemikiran, catatan, wacana, ulasan)

dan arsip karya desain grafis yang dapat memperkaya jejak

perjalanan desain grafis di Indonesia.

DGI membuka kesempatan bagi pelajar

desain grafis ataupun yang masih berumur di bawah 22 tahun untuk

bergabung dengan DGI dalam program volunteer. Volunteer akan

difokuskan untuk berpartisipasi mendukung jalannya program dan

acara yang akan diadakan oleh DGI.

DGI mengundang para desainer, seniman,

serta creativepreneur untuk menyalurkan karya berupa buku,

produk fungsional, ataupun merchandise, melalui DGI Store

dan DGI Bookstore.

DGI membuka kesempatan untuk para

desainer dan penulis agar dapat menerbitkan bukunya

melalui DGI Press, divisi penerbitan milik DGI.

DGI adalah sebuah lembaga berbasis kolaborasi. Oleh karenanya, DGI membuka pintu kolaborasi bagi siapa saja yang berminat untuk memberikan kontribusi positif.

informasi lebih lanjut: [email protected]

Page 17: DGI-zine 001

Tercatat bahwa profesi desain grafis sudah ada di tanah air sejak tahun 1920-an. Pada saat itu Tan Tik Hien di 1928 memeragakan keahliannya merancang kemasan dan menyiapkan gambar kerja untuk cetak, sementara Lie Giok Sien, lulusan Federal School of Arts, Amerika, mengarahkannya sebagai art director di percetakan milik pegusaha Thay Siang In Kiok, Soerabaia.

Hampir seabad kemudian, kini, bagaimanakah keadaan desain grafis Indonesia ini di mata pelaku-pelakunya? Di abad ke-21 dimana percepatan teknologi meniadakan batas antar media, meleburkan dan menetaskan beragam kategori-kategori disiplin komunikasi visual, apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan

kemapanan profesi yang layak? Apakah desainer grafis Indonesia sudah mencapai tingkat apresiasi yang sejajar dengan nilai kegunaan profesinya? Apakah desainer grafis Indonesia sudah menemukan jati dirinya?

Kampanye meme yang diselenggarakan Desain Grafis Indonesia (DGI) berkolaborasi dengan Novita

Angka, Yan Mursid, dan Adi Handoyo, mengungkapkan beragam keresahan atas fakta-fakta 'kesalahpahaman' sebuah profesi dari berbagai sisi pandang masyarakat, dan bahkan persepsi salah di dalam lingkup profesinya sendiri. Warna-warni reaksi atas kampanye ini seolah membangkitkan semangat yang lama terpendam—atau dipendam oleh pelaku desain grafis

yang haus atas jawaban, aktualisasi atas kegiatan yang mereka lakukan untuk mencari nafkah, kegiatan yang merupakan semangat atas hasrat yang pribadinya miliki. Padahal, profesi ini, berdasarkan catatan DGI tidak buruk-buruk amat. Bahkan, seharusnya dengan berbagai prestasi yang telah dicapainya, desainer grafis Indonesia bersikap bangga.Bagaimana tidak

bangga, desainer grafis Indonesia prestasinya sudah mendunia! Lalu, mengapa masih gelisah?

Kegelisahan pelaku desain grafis Indonesia wajar, layaknya profesi lain di Indonesia yang relatif muda, dan sedang berkembang pesat seiring peningkatan ekonomi, percepatan teknologi, makin terbukanya akses pada informasi, dan menguatnya jaringan

antar pelaku-pelaku itu sendiri. Ketiadaan lembaga yang aktif untuk menampung permasalahan-permasalahan yang dijumpai dalam perdagangan jasa desain grafis kerap menjadi kambing hitam keresahan ini, yang berakibat pada tidak adanya payung untuk melindungi kecenderungan eksploitasi yang kerap terjadi antar klien dan desainer yang sebenarnya merupakan aspek wajar dari

persaingan yang makin ramai, makin ganas, makin ketat antar pelaku desain grafis itu sendiri. Asosiasi yang aktif, yang mampu untuk memberdayakan profesi penting, tetapi itu bukan satu-satunya faktor yang dapat meringankan kekhawatiran pelaku desain grafis.

Kalau bukan asosiasi pemberdayanya, siapa yang mampu?

DGI percaya bahwa sejarah desain grafis Indonesia kaya akan peristiwa-peristiwa pemberdayaan profesi yang dibangun berdasarkan kerjasama erat antar pelaku-pelaku yang bersifat kekeluargaan. Diawali dari angkatan 1970, pelaku desain grafis saat itu tidak banyak, namun memiliki semangat berkegiatan, berkumpul, dan berserikat melampaui batasan dan tantangan yang nyata. Tiap dekade dan angkatan- angkatan baru yang muncul meneruskan semangat ini hingga sekarang. DGI menemukan sikap dan semangat yang sama di tiap kegiatan, kepercayaan diri atas kebanggaan yang hadir di jiwa pelaku-pelaku desain grafis Indonesia. Namun, percaya diri dan semangat tidak akan timbul dengan sendirinya—sikap-sikap tersebut harus dipicu oleh pemahaman antar desainer grafis itu sendiri, mengenai profesi, lingkungan budaya, dan masyarakat.

DGI didirikan atas keinginan untuk berbagi catatan beragam peristiwa desain grafis yang patut untuk dibanggakan, pantas menjadi lebih dari catatan sejarah, namun diolah secara pribadi oleh pelaku desain grafis menjadi aka—dan akar ini hanya baru bisa terwujud bila tali persaudaraan, rasa kekeluargaan hadir, sehingga ia secara otomatis mengikat kepentingan-kepentingan peribadi itu menjadi satu kepentingan. Berbagai peristiwa penting, seperti penyelenggaraan pameran bers ama tingkat nasional, beragam acara yang memupuk tali persaudaraan, acara edukatif yang membimbing pemahaman identitas desain grafis Indonesia. Ini membuktikan bahwa profesi kita itu memiliki kebanggaan yang patut menjadi akar pribadi desainer grafis Indonesia. Booth DGI di acara FGD Expo 2013 kemarin, merupakan wujud visual dari maksud ulasan di atas. Video desainer-

desainer yang menyatakan dengan bangga identitasnya diekspos di atas slogan DGI: "Membimbing pemahaman di antara desainer grafis Indonesia dan persimpangannya dalam seni, desain, kebudayaan, dan masyarakat." Instalasi sederhana ini semoga menjadi langkah pertama yang perlu dilakukan pelaku desain grafis Indonesia untuk jalan menuju pemahaman profesi yang ideal, yang mantap, yang percaya diri, berakar, berdaya, yaitu dimulai dari bangga, lantang, semangat menyatakan:

Pengarsipan, peliputan dan pewartaan, wadah wacana dan diskursus paradigma Desain Grafis Indonesia secara Online (saat ini) lewat situs DGI.

Merancang dan menyalurkan karya desainer grafis Indonesia, baik berupa merchandise, produk fungsional, dan buku: DGI Store, DGI Bookstore

Menyelenggarakan acara-acara yang berkaitan dengan desain grafis Indonesia: IGDA, TUAI, lokakarya (Masterclass Camp, Senior-Junior, dsb).

Penerbitan buku desain grafis Indonesia lewat DGI Press. DGI Press dikembangkan sejalan dengan komitmen DGI yang bertujuan membina pemahaman antar desainer grafis dan persimpangannya dengan lintas disiplin–lewat materi bacaan yang menuntun ke pemahaman “Indonesia”–jati diri bangsa, jati diri desainer grafis itu sendiri.

Program DGI

Page 18: DGI-zine 001

MASIH PERCAYA desain ITU PENTING?

Page 19: DGI-zine 001
Page 20: DGI-zine 001

Neo Permata B-55,

Bintaro Jaya Sektor 9,

Tangerang 15227 Indonesia

T: +62 21 29237 900

F: +62 21 29237 833

[email protected]

www.dgi-indonesia.com