DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

18
DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH KONTAK SERUMAH DALAM UPAYA PENEMUAN KASUS BARU TB PARU DI CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014 Dadang Darmawan, Zarfiel Tafal 1. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 2. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Email : [email protected] ABSTRAK Tuberkulosis paru hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prinsif pengendalian TB Paru adalah menemukan kasus sebanyak-banyaknya dan menyembuhkan semua kasus yang ditemukan. Upaya penemuan kasus baru dilakukan melalui pemeriksaan dahak dari kontak penderita TB Paru BTA positif. Cakupan penemuan kasus TB Paru melalui pemeriksaan dahak di Puskesmas Cileungsi masih rendah 44,24%. Penelitian kuantitatif non eksperimental ini menggunakan pendekatan cross sectional untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen (kepatuhan kontak) dan independen sebagai faktor predisposing, enabling dan reinforcing (bivariat) dengan uji statistik menggunakan Chi-square dilanjutkan uji regresi logitik untuk mengetahui faktor yang paling dominan (multivariat). Jumlah sampel 85 responden yang merupakan kontak penderita TB BTA positif yang berobat ke Puskesmas Cileungsi pada trimester pertama 2013. Hasil penelitian ini diketahui tingkat kepatuhan kontak masih rendah 22,4% dengan determinan kepatuhan yang signifikan antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap yang termasuk predisposing factor. Jarak, waktu tempuh, dan besar biaya yang harus dikeluarkan yang termasuk enabling factor. Dukungan keluarga, masyarakat dan petugas yang termasuk reinforcing factor. Pengetahuan kontak tentang TB merupakan determinan yang paling dominan. Diharapkan dengan diketahuinya determinan kepatuhan kontak menjadi salah satu pertimbangan puskesmas dalam menciptakan terobosan untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus TB baru. Kata kunci : Kepatuhan; Kontak serumah; Pot dahak; TB Paru ABSTRACT Pulmonary tuberculosis is still a public health problem in Indonesia. Principle of Pulmonary TB control is to find as many cases and cure of all cases are found. Efforts made the discovery of new cases through sputum examination of contacts of smear positive pulmonary TB patients. Coverage of TB case detection by sputum examination at the health center is still low Cileungsi 44.24%. This non-experimental quantitative study using cross-sectional approach to determine the relationship between the dependent variable (compliance contact) and independent as a factor predisposing, enabling and reinforcing (bivariate) by using a statistical test Chi-square test was continued logistic regression to determine the most dominant factor (multivariate ). Total sample of 85 respondents who are contacts of smear positive TB patients treated at the health center Cileungsi in the first trimester of 2013. Results of this study are known contact is low compliance rate of 22.4% with a significant determinant of adherence such as the level of education, knowledge and attitudes that include predisposing factor. Distance, travel time, and the large costs which include enabling factor. Support families, communities and officials including reinforcing factors. Knowledge about TB contact is the most dominant determinant. It is expected that with the known determinants of compliance contacts into one of the considerations in creating breakthrough health centers to improve the coverage of the discovery of new TB cases. Keywords: Compliance; Household Contacts; Pot Sputum; Pulmonary TB Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Transcript of DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Page 1: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH

KONTAK SERUMAH DALAM UPAYA PENEMUAN KASUS BARU TB

PARU DI CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014

Dadang Darmawan, Zarfiel Tafal

1. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Indonesia

2. Departemen Pendidikan Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,

Universitas Indonesia

Email : [email protected]

ABSTRAK

Tuberkulosis paru hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prinsif

pengendalian TB Paru adalah menemukan kasus sebanyak-banyaknya dan menyembuhkan semua kasus yang

ditemukan. Upaya penemuan kasus baru dilakukan melalui pemeriksaan dahak dari kontak penderita TB Paru

BTA positif. Cakupan penemuan kasus TB Paru melalui pemeriksaan dahak di Puskesmas Cileungsi masih

rendah 44,24%. Penelitian kuantitatif non eksperimental ini menggunakan pendekatan cross sectional untuk

mengetahui hubungan antara variabel dependen (kepatuhan kontak) dan independen sebagai faktor predisposing,

enabling dan reinforcing (bivariat) dengan uji statistik menggunakan Chi-square dilanjutkan uji regresi logitik

untuk mengetahui faktor yang paling dominan (multivariat). Jumlah sampel 85 responden yang merupakan

kontak penderita TB BTA positif yang berobat ke Puskesmas Cileungsi pada trimester pertama 2013. Hasil

penelitian ini diketahui tingkat kepatuhan kontak masih rendah 22,4% dengan determinan kepatuhan yang

signifikan antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan dan sikap yang termasuk predisposing factor. Jarak,

waktu tempuh, dan besar biaya yang harus dikeluarkan yang termasuk enabling factor. Dukungan keluarga,

masyarakat dan petugas yang termasuk reinforcing factor. Pengetahuan kontak tentang TB merupakan

determinan yang paling dominan. Diharapkan dengan diketahuinya determinan kepatuhan kontak menjadi salah

satu pertimbangan puskesmas dalam menciptakan terobosan untuk meningkatkan cakupan penemuan kasus TB

baru.

Kata kunci : Kepatuhan; Kontak serumah; Pot dahak; TB Paru

ABSTRACT

Pulmonary tuberculosis is still a public health problem in Indonesia. Principle of Pulmonary TB control is to find

as many cases and cure of all cases are found. Efforts made the discovery of new cases through sputum

examination of contacts of smear positive pulmonary TB patients. Coverage of TB case detection by sputum

examination at the health center is still low Cileungsi 44.24%. This non-experimental quantitative study using

cross-sectional approach to determine the relationship between the dependent variable (compliance contact) and

independent as a factor predisposing, enabling and reinforcing (bivariate) by using a statistical test Chi-square

test was continued logistic regression to determine the most dominant factor (multivariate ). Total sample of 85

respondents who are contacts of smear positive TB patients treated at the health center Cileungsi in the first

trimester of 2013. Results of this study are known contact is low compliance rate of 22.4% with a significant

determinant of adherence such as the level of education, knowledge and attitudes that include predisposing

factor. Distance, travel time, and the large costs which include enabling factor. Support families, communities

and officials including reinforcing factors. Knowledge about TB contact is the most dominant determinant. It is

expected that with the known determinants of compliance contacts into one of the considerations in creating

breakthrough health centers to improve the coverage of the discovery of new TB cases.

Keywords: Compliance; Household Contacts; Pot Sputum; Pulmonary TB

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 2: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Pendahuluan

Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi kronis menular yang menyerang jaringan

paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun

lokal. Hingga saat ini tuberkulosis masih menjadi perhatian dunia dan belum ada satu negara

pun yang bebas TB. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk

dunia telah pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dalam hidupnya,

Menurut laporan WHO (2009) setiap tahun ada sekitar 9 juta kasus baru dengan angka

kematian mencapai 1,6 juta orang di seluruh dunia, atau dengan kata lain setiap menit ada 3

orang meninggal dunia akibat infeksi tuberkulosis. Diperkirakan 95% penderita TB berada di

negara-negara berkembang dengan menyumbangkan 25% sebagai penyebab kematian dari

penyakit yang sebenarnya dapat dicegah. Kematian pada wanita akibat penyakit tuberkulosis

jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan kematian karena kehamilan, persalinan dan

nifas. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1-3% per tahun dan jumlah ini pun akan

terus meningkat seiring dengan munculnya epidemi HIV dan AIDS di dunia (Kemenkes RI,

2013).

Di Indonesia sendiri walaupun dilaporkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini

menunjukan tren penurunan namun pemerintah masih menganggapnya sebagai salah satu

masalah kesehatan masyarakat. Berbagai upaya penanggulangannya telah dilakukan akan

tetapi jumlah penderita dan angka kematian akibat penyakit TB masih terbilang cukup tinggi.

Tahun 2011 WHO menempatkan Indonesia sebagai penyumbang pasien TB terbesar ke-4 di

dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Estimasi jumlah penderita TB Paru di Indonesia

sekitar 900.000 kasus pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013) dengan point prevalence TB di

Indonesia berada pada angka 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian kasus penderita

TB 140.000 orang per tahun. Tuberkulosis termasuk penyebab kematian nomor tiga setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan usia dan

merupakan penyebab kematian nomor satu dari seluruh penyakit infeksi.

Penyakit TB juga lebih jauh dapat menghambat kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan

dampak economic lost yang tinggi yaitu kehilangan pendapatan rumah tangga akibat

penurunan produktifitas sumber daya manusia dalam rentang waktu yang cukup lama. Selain

itu sebagian besar penyakit tuberkulosis menyerang kelompok masyarakat pada rentang usia

kerja produktif secara ekonomi (usia 15-59 tahun) dan kebanyakan penderita tuberkulosis

berasal dari kelompok masyarakat sosial ekonomi rendah yang umumnya mereka itu adalah

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 3: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

tulang punggung ekonomi keluarga. Menurut WHO, seseorang yang menderita TB Paru

diperkirakan akan kehilangan rata-rata waktu kerja sekitar 3-4 bulan per tahun yang berakibat

kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya kira-kira 20-30%, dan apabila penderita

tuberkulosis meninggal maka rumah tangganya akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun.

Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 menderita kerugian akibat penyakit tuberkulosis

mencapai 8,2 trilyun rupiah, adapun kerugian ini dihitung dari kehilangan waktu produktif,

mati muda dan biaya pengobatan.

Jumlah penderita penyakit TB Paru di Provinsi Jawa Barat berdasarkan hasil riset kesehatan

dasar menduduki peringkat pertama di Indonesia (Riskesdas 2013). Kabupaten Bogor salah

satu kabupaten di Jawa Barat dengan jumlah penduduk terpadat yaitu hampir mencapai 5,2

juta orang tentunya turut memberikan andil terhadap tingginya jumlah penderita TB Paru di

Jawa Barat. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat bahwa

jumlah kasus baru TB Paru di Kabupaten Bogor tahun 2012 sebanyak 8093 kasus, prevalensi

TB di Kabupaten Bogor mencapai 161 per 100.000 penduduk. Penemuan kasus baru BTA

positif di Kabupaten Bogor Tahun 2012 sebanyak 4225 kasus. Selanjutnya dari hasil

penanggulangan yang sudah dilaksanakan ternyata cakupan penemuan penderita TB jika

dibandingkan dengan standar pelayanan minimal (SPM) yang diharapkan yaitu mencapai

100%, pada tahun 2012 baru dapat dicapai 80,2% dengan angka sukses rate mencapai 88,9 %

(Profil Diskes Kab.Bogor 2012).

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Kecamatan Cileungsi merupakan salah satu

Puskesmas di Kabupaten Bogor, dengan wilayah kerja yang dimiliki sebanyak 4 desa terdiri

dari Desa Cileungsi, Cileungsi Kidul, Limus Nunggal dan Desa Dayeuh dengan jumlah

penduduk dari 4 desa tersebut sebanyak 98.748 jiwa. Berdasarkan laporan tahunan puskesmas

cakupan penemuan kasus TB di UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi masih rendah yaitu

44,24% dibanding dengan target yaitu 80% (Laporan Tahunan UPT Puskesmas Kecamatan

Cileungsi 2013).

Cakupan penemuan kasus baru yang terpaut jauh dari target yang ditentukan tentunya akan

menghambat dalam upaya pengendalian TB Paru, karena setiap penderita dengan BTA positif

yang tidak diobati akan menularkan kepada 10-15 orang setiap tahunnya. Artinya jumlah

kasus TB BTA positif yang tidak terdeteksi maka akan meningkatkan jumlah kasus menjadi

10-15 kali lipat dalam 1 tahun. Anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita TB

Paru adalah kelompok yang paling rentan dan beresiko tertular penyakit TB Paru karena sulit

untuk menghindari kontak langsung dengan penderita yang merupakan sumber penularan

utama.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 4: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Untuk menekan penyebaran penyakit TB Paru dilakukan pemeriksaan kontak melalui strategi

passive case finding dengan active promotion sebagai aplikasi dari program Directly

Observed Treatment of Short course (DOTS). Keberhasilan dalam menemukan kasus baru

sangat penting untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit. Upaya ini telah dilakukan

oleh petugas kesehatan di puskesmas melalui strategi penjaringan kontak dengan melakukan

survey kepada kontak serumah untuk dilakukan pemeriksaan BTA dalam dahaknya. Namun

kesadaran kontak untuk melakukan pemeriksaan dahak sebagai upaya deteksi dini terhadap

penyakit TB Paru masih rendah dan hal ini sangat terkait dengan perilaku kesehatan.

Perilaku kesehatan individu ditentukan oleh berbagai determinan, Lawrence Green (1980)

mengelompokkan determinan tersebut ke dalam tiga faktor utama. Ketiga faktor utama

tersebut adalah 1). faktor predisposisi (predisposing factors) yaitu faktor yang dapat

mempermudah terjadinya perilaku pada diri seseorang yang umumnya merupakan faktor

internal individu itu sendiri seperti pengetahuan, sikap dan persepsi seseorang terhadap apa

yang akan dilakukan; 2). faktor pemungkin (enabling factors) atau biasa disebut sebagai

faktor pendukung. Faktor ini merupakan faktor eksternal seperti fasilitas, sarana dan

prasarana yang mendukung terjadinya perilaku kesehatan pada seseorang atau masyarakat; 3)

faktor penguat (reinforcing factors) dapat berupa dukungan orang-orang yang berpengaruh

atau yang menjadi panutan di masyarakat seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, petugas

kesehatan, ataupun yang berupa peraturan dan himbauan. Masing-masing faktor dari ketiga

faktor tersebut apabila sejalan dapat saling menunjang dan memperkuat serta menentukan

perilaku kesehatan individu termasuk di dalamnya perilaku pemeriksaan dahak untuk

melakukan deteksi dini terhadap penyakit TB Paru.

Berdasarkan uraian di atas, salah satu permasalahan yang masih dihadapi oleh program P2TB

di UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi Kabupaten Bogor adalah masih rendahnya cakupan

penjaringan suspek dan cakupan penemuan kasus baru TB Paru. Salah satu kemungkinan

penyebabnya adalah masih rendahnya kesadaran anggota keluarga penderita untuk melakukan

pemeriksaan dahak ke puskesmas dengan indikatornya adalah rendahnya partisipasi kontak

untuk mengembalikan pot dahak yang diberikan petugas puskesmas.

Sampai saat ini di Puskesmas Cileungsi belum pernah dilakukan penelitian yang berkaitan

dengan perilaku deteksi dini pada kontak serumah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka

peneliti tertarik melakukan penelitian di wilayah kerja UPT Puskemas Kecamatan Cileungsi

Kabupaten Bogor untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan

rendahnya perilaku anggota keluarga untuk memeriksa dahak ke puskesmas sebagai upaya

deteksi dini penyakit tuberkulosis paru.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 5: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Tinjauan Teoritis

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis tipe humanus (jarang oleh tipe bovinus). Sebagian besar kuman

TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI. 2006).

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi penting penyebab morbiditi dan mortaliti

di seluruh dunia dan setiap negara berbeda angka insidensinya. Diperkirakan oleh WHO

sepertiga penduduk dunia telah pernah terinfeksi mycobacterium tuberculosis dalam

hidupnya, setiap tahun ada sekitar sembilan juta kasus baru dengan angka kematian mencapai

1,6 juta orang per tahun di seluruh dunia namun hanya sekitar 10% yang berkembang menjadi

penyakit. Diperkirakan lebih dari 96% kematian akibat TB berada di negara-negara

berkembang dengan menyumbangkan 25% sebagai penyebab kematian dari penyakit yang

sebenarnya dapat dicegah (Friedland J.S; 2004).

Sumber utama penularan penyakit TB Paru adalah penderita TB Paru BTA positif. Penularan

terjadi pada waktu penderita dengan BTA positif batuk atau bersin dimana penderita

menyemburkan kuman ke udara dalam bentuk droplet nuclei (percikan dahak). Dalam sekali

batuk penderita TB paru dapat menyebarkan sekitar 3000 percikan dahak.

Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa

jam dan orang dapat terinfeksi jika kuman tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.

Setelah kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB

tersebut juga dapat menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan

penderita dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak makin

menular penderita tersebut, namun bila hasil pemeriksaan mikroskopik dahak penderita tidak

ditemukan kuman TB atau BTA negatif dalam dahaknya maka penderita tersebut dianggap

tidak menular. Kemungkinan seseorang tertular TB ditentukan oleh konsentrasi kuman TB

dalam droplet di udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko tertular TB Paru tergantung pada tingkat pajanan dengan percikan dahak. Penderita TB

paru BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari penderita TB

Paru BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukan dengan Annual Risk of

Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama

satu tahun.

Di Indonesia proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB dianggap cukup tinggi dan

bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI 1% berarti setiap 1000 penduduk terdapat

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 6: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

10 orang yang akan terinfeksi, namun hanya 10% dari yang terinfeksi tersebut yang akan

menjadi penderita TB. Berdasarkan pada perhitungan tersebut dapat diperkirakan pada daerah

dengan ARTI 1% maka diantara 100.000 penduduk rata-rata akan terjadi 100 penderita baru

setiap tahun dimana 50 penderitanya adalah BTA positif yang akan menjadi sumber penularan

baru (Depkes RI 2001).

Penegakan diagnosis penyakit tuberkulosis paru berbeda antara anak dan orang dewasa. Pada

orang dewasa diagnosis penyakit tuberkulosis paru ditegakkan dengan cara ditemukannya

kuman Mycobacterium tuberculosis atau BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis

sebanyak 3 kali yaitu sewaktu, pagi dan sewaktu (SPS).

Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya

positif. Jika hanya satu spesimen yang menunjukan hasil positif perlu dilakukan pemeriksaan

lebih lanjut yaitu dengan melakukan foto Rontgen dada atau pemeriksaan spesimen dahak

SPS diulang. Jika hasil foto Rontgen mendukung diagnosis TB Paru maka penderita di

diagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Namun sebaliknya jika hasil foto tidak

cukup untuk mendukung diagnosis TB Paru maka pemeriksaan spesimen dahak SPS harus

diulang.

Tuberkulosis paru merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sulit

ditanggulangi. Masalah kesehatan yang sulit ditanggulangi dan program kesehatan yang sulit

dicapai harus dipertimbangkan melakukan intervensi pada aspek perilaku, karena perilaku

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan terbesar setelah faktor

lingkungan (H.L.Bloom)

Perilaku merupakan hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dan respon (faktor

internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dengan perkataan lain, perilaku

seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor-faktor baik dari dalam maupun

dari luar subjek. Faktor yang menentukan atau membentuk perilaku ini disebut determinan.

Banyak teori mengenai determinan perilaku ini, masing-masing mendasarkan pada asumsi-

asumsi yang dibangun. Salah-satu teori yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian

kesehatan masyarakat adalah teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green.

Masalah kesehatan secara garis besarnya disebabkan oleh dua faktor yaitu perilaku dan non

perilaku (Green,1980). Oleh karena itu pemahaman tentang konsep perilaku menjadi sebuah

keharusan dalam menanggulangi masalah kesehatan terlebih jika diyakini bahwa perilaku

memberikan kontribusi terhadap munculnya masalah tersebut.

Asumsi yang dibangun dalam teori Green berawal dari hasil analisis penyebab masalah

kesehatan. Di mana penyebab masalah kesehatan oleh Green dibedakan menjadi dua

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 7: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

determinan yaitu behavior factors (faktor-faktor perilaku) dan non behavior factors (faktor-

faktor non perilaku). Selanjutnya Green menganalisis, bahwa faktor perilaku sendiri

ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu :

1) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

Yaitu faktor-faktor yang mempredisposisi atau mempermudah terjadinya perilaku

seseorang antara lain: pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai,

norma dan tradisi.

2) Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)

Yaitu faktor lingkungan yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku

seseorang, antara lain sarana dan prasarana untuk terjadinya perilaku seseorang

seperti: keberadaan dan keterjangkauan terhadap sarana dan prasarana pelayanan

kesehatan, ketersediaan transportasi, biaya, jarak tempuh ke tempat pelayanan,

komitmen dari masyarakat atau pemerintah terhadap masalah kesehatan, dan lain

sebagainya.

3) Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)

Adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku, yang

termasuk pada faktor ini antara lain: dukungan keluarga, dukungan petugas

kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, guru, majikan, hukum adat, peraturan-

peraturan pemerintah dan lain sebagainya.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Rancangan penelitian non eksperimental

dengan pendekatan pengumpulan data secara Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini

semua kontak dari pasien TB Paru BTA positif yang diobati di Puskesmas Cileungsi pada

periode triwulan pertama tahun 2013 dengan sampel penelitian yang digunakan adalah total

sampling atau keseluruhan populasi yaitu seluruh kontak serumah penderita TB Paru BTA

positif, dengan kriteria inklusi:

1) Usia ≥ 15 tahun

2) Tinggal serumah dengan penderita TB Paru BTA positif minimal 6 bulan.

3) Bersedia menjadi responden dengan memberikan pernyataan persetujuan secara

tertulis.

Keadaan yang menyebabkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi tidak dapat

diikutsertakan dalam penelitian ini (kriteria eksklusi) adalah :

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 8: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

1) Tidak mampu baca tulis

2) Tidak mampu berkomunikasi secara verbal

3) Tidak kooperatif

4) Tidak ada di tempat saat pengambilan data primer

Instrumen untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer yang

diterima melalui data kuesioner. Kuesioner yang telah dibuat mencakup variabel independen

yaitu umur, jenis kelamin, hubungan dengan penderita TB Paru BTA positif, tingkat

pendidikan formal, status bekerja, jarak rumah ke puskesmas, waktu tempuh ke puskesmas,

akses transportasi, biaya yang harus dikeluarkan, penghasilan keluarga, dukungan keluarga,

dukungan masyarakat, dukungan petugas, tingkat pengetahuan dan sikap.

Hasil Penelitian

Diketahui bahwa tingkat kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak di Cileungsi dalam

penelitian ini masih rendah (22,4%). Untuk melihat hubungan kemaknaan antara variabel

independen dengan variabel dependen yang keduanya merupakan data kategorik digunakan

uji statistik chi-square. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status bekerja, hubungan dengan klien, pengetahuan dan sikap responden

mengenai tuberkulosis yang dalam hal ini dikategorikan sebagai faktor predisposisi

(predisposing factors). Selain itu variabel jarak tempuh, waktu tempuh, akses transportasi,

besaran biaya yang harus dikeluarkan dan penghasilan keluarga yang dikategorikan sebagai

faktor pemungkin (enabling factors), dan variabel dukungan keluarga, dukungan masyarakat

dan dukungan petugas kesehatan dikategorikan sebagai faktor penguat (reinforcing factors).

Dari masing-masing variabel tersebut secara statistik didapatkan hampir semua variabel

berhubungan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak dengan nilai kemaknaan

yang bervariasi. Sementara yang tidak memiliki hubungan hanya akses transportasi (nilai p =

1,000), penghasilan keluarga (nilai p = 0,277) dan umur (nilai p = 0,065). Selanjutnya untuk

melihat faktor yang paling dominan maka hasil dari uji bivariat dilanjutkan dengan uji

multivariat menggunakan regresi logistik dan hasilnya diketahui variabel pengetahuan yang

paling dominan mempengaruhi kepatuhan pengembalian pot dahak oleh kontak (OR = 58,9).

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak yaitu

sebanyak 22,4%. Hasil ini memiliki kesesuaian dengan konsep kepatuhan (Sarafino, 1990)

yang mengatakan bahwa perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis baik

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 9: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

kepatuhan dalam pengobatan maupun pencegahanya karena tidak ada akibat buruk yang

segera dirasakan atau resiko yang jelas. Penyakit TB Paru tergolong penyakit menular kronis

(Depkes RI) namun bukan sebagai satu-satunya faktor yang mempengaruhi kepatuhan karena

adanya faktor lain baik internal maupun faktor eksternal dari individu yang bersangkutan.

Faktor-faktor ini oleh Green digolongkan menjadi tiga faktor yaitu; faktor predisposisi, faktor

pemungkin dan faktor penguat.

1. Hubungan Antara Faktor Predisposing, Enabling dan Reinforcing Dengan Kepatuhan

Pengembalian Pot Dahak

a. Hubungan umur dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak

Hasil analisis univariat menunjukan distribusi frekuensi kontak paling banyak pada rentang

usia 18 tahun - 45 tahun yaitu sebanyak 58 orang (79%) sisanya tersebar pada usia diatas

45 tahun dan di bawah 18 tahun. Hasil ini sejalan dengan data yang dipublikasikan WHO

yang menyatakan bahwa penderita TB Paru lebih banyak diderita oleh kalangan usia

produktif. Apabila dikaitkan antara umur dengan tingkat kepatuhan menurut hasil

penelitian ini didapatkan bahwa umur di atas 45 tahun menunjukan tingkat kepatuhan yang

paling tinggi yaitu 29,4% sementara usia antara 18 – 45 tahun 22,4% dan pada usia anak

(di bawah 18 tahun) menunjukan hasil nihil (0%). Hasil ini sesuai dengan konsep

kepatuhan (Smet.B, 1994) dimana lanjut usia (di atas 45 tahun) lebih cenderung

mengasosiasikan setiap keluhan fisik dengan penyakit yang berbahaya, selain itu umur erat

kaitannya dengan tingkat ketergantungan individu, mengutip pernyataan Linda (2004)

dalam Tesis mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien pada

penyakit kronis; Diabetes Mellitus (Marulianna, 2013) yang menyatakan bahwa variabel

sosiodemografik seperti usia dan jenis kelamin tampak mempengaruhi derajat kepatuhan

sehingga hal ini membangun asumsi peneliti mungkin ada keterkaitan mengapa pada hasil

penelitian ini usia kategori anak (di bawah 18 tahun) menunjukan hasil nihil karena tingkat

ketergantungan anak pada orang dewasa masih cukup tinggi sehingga mempengaruhi pada

derajat kepatuhan.

b. Hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa distribusi frekuensi kontak lebih banyak

responden perempuan yaitu 52 orang (61,2%) dibanding laki-laki 33 orang (8,8%). Dari

hasil tersebut terdapat 33,3% kontak berjenis kelamin laki-laki yang tergolong patuh

sementara kontak yang berjenis kelamin perempuan hanya 15,4% yang patuh

mengembalikan pot dahak. Hasil uji statistik pada analisis bivariat menunjukan tidak ada

hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan (nilai

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 10: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

p = 0,065) namun dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan secara distribusi jenis kelamin

laki-laki cenderung lebih patuh dalam mengembalikan pot dahak dibandingkan dengan

perempuan dibuktikan dengan nilai OR = 0,3 artinya kontak dengan jenis kelamin

perempuan hanya memiliki peluang 0,3 kali untuk patuh mengembalikan pot dahak

dibandingkan kontak yang berjenis kelamin laki-laki.

Dalam penelitian mengenai kepatuhan pemeriksaan ulang dahak fase akhir pengobatan

penderita TB Paru (Sumarman,2011) hasilnya menunjukan tidak ada perbedaan distribusi

frekuensi jenis kelamin dalam kepatuhan memeriksakan ulang dahak pada fase akhir

pengobatan (Perempuan 51,9% dan laki-laki 48,1%) dan tidak ada hubungannya antara

jenis kelamin dengan kepatuhan (p = 0,452).

Adanya perbedaan distribusi frekuensi berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini

mungkin ada kaitannya dengan kebiasaan merokok pada laki-laki, hal ini ditunjang oleh

hasil penelitian Amu,Fenti Alvian (2008) yang mengatakan bahwa perokok laki-laki

jumlahnya lebih banyak yaitu sekitar 47% dibandingkan perokok perempuan yang hanya

12%. Selain itu perokok memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita penyakit TB Paru,

lebih lanjut Amu mengatakan peningkatan resiko ini akibat efek asap rokok yang

mengganggu efektifitas sebagian mekanisme pertahanan respirasi selain itu asap rokok

diketahui merangsang pembentukan mukus (dahak).

Merujuk pada hasil penelitian Amu (2008) peneliti membangun asumsi dari hasil

penelitian ini mungkin karena laki-laki cenderung lebih mudah menghasilkan dan

mengeluarkan dahak berkaitan dengan tingginya jumlah perokok dikalangan laki-laki

karena yang dimaksud pengembalian pot dahak disini tidak hanya sebatas mengembalikan

pot dahak saja akan tetapi esensinya yang lebih penting adalah pemeriksaan dahak dari

kontak.

c. Hubungan pendidikan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak

Tingkat pendidikan respoden cukup seimbang yaitu 50,6% (43 orang) responden masuk

dalam kategori pendidikan rendah (tidak sekolah,SD,SMP, atau tidak tamat SMA) dan

49,4% (42 orang) masuk dalam kategori pendidikan tinggi (lulus SMA atau lebih tinggi).

Analisis bivariat menjelaskan hubungan antara pendidikan dengan kepatuhan pasien

menggambarkan bahwa responden yang berpendidikan tinggi jauh lebih menunjukan

kepatuhan (42,9%) sedangkan responden yang berpendidikan rendah hanya (2,3%) secara

statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang sangat signifikan (nilai p = 0,000 pada

α = 0,05) dengan nilai OR = 31,5 yang artinya kontak dengan tingkat pendidikan tinggi

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 11: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

memiliki peluang 31,5 kali untuk patuh dibandingkan dengan yang tingkat pendidikan

rendah.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berhubungan erat dengan tingginya kemauan

belajar dan kemampuan memahami dan menyerap informasi dengan baik. Seseorang yang

berpendidikan tinggi dianggap memiliki kemampuan berfikir logis yang tinggi serta

kesadaran akan kesehatan yang juga tinggi. Tingkat pendidikan yang tinggi

memungkinkan individu mengakses dan memahami informasi tentang kesehatan, sehingga

pasien mampu mencari informasi dan memahami serta mematuhi informasi yang

diterimanya sehingga kondisi ini tentunya akan menunjang pada tingginya tingkat

kepatuhan.

Berbeda dengan hasil penelitian Versitania (2011) yang menunjukan tidak ada hubungan

antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pasen TB Paru yang berobat ke puskesmas (p

= 0,875). Eratnya hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan kontak dalam

penelitian ini sejalan dengan hasil dari variabel yang lainya yaitu responden yang tingkat

pendidikan tinggi sebagian dari mereka bekerja, sehingga peneliti mengasumsikan ada

dorongan lain sebagai faktor penguat terkait dengan status bekerjanya responden.

d. Hubungan pekerjaan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pekerjaan dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak . Uji statistik yang

dilakukan menunjukkan nilai p = 0,000 pada α = 0,05. Dengan OR 10,0 dapat disimpulkan

bahwa responden yang bekerja memiliki peluang 10 kali untuk patuh dibandingkan dengan

responden yang tidak bekerja. Pada analisis data pekerjaan dengan kepatuhan

pengembalian pot dahak pada kontak didapatkan data dari 85 reponden 15 orang (44,5%)

yang bekerja patuh mengembalikan pot dahak dibanding yang tidak bekerja hanya 4

(7,7%). Sutedja (2002) meneliti faktor-faktor yang mendorong seseorang mencari

pengobatan pada masyarakat tersangka TB Paru menunjukan perbedaan antara yang

bekerja 57% dan yang tidak bekerja 43% dan hasil penelitian Sumarman (2011) 68,3% dari

penderita yang bekerja tergolong patuh namun dari dua hasil penelitian tersebut tidak

menjelaskan lebih rinci alasan perbedaan tersebut.

Adanya kecenderungan orang yang bekerja lebih patuh dalam mengembalikan pot dahak

yang sejalan dengan hasil penelitian mengenai pencarian pengobatan peneliti membangun

asumsi yaitu kemungkinan orang yang bekerja memiliki faktor penguat yang lebih besar

seperti adanya dukungan rekan kerja, takut kehilangan pekerjaan ataupun tempat bekerja

yang menjadikan status kesehatan menjadi syarat mutlak untuk karyawannya atau malah

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 12: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

sebaliknya karyawan menunjukan perilaku kepatuhan ini sebagai alasan yang logis untuk

memperoleh kesempatan istirahat dari rutinitas pekerjaan. Asumsi ini tentunya masih

memerlukan penelitian lebih lanjut.

e. Hubungan jarak tempuh dan waktu tempuh dengan kepatuhan kontak

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa proporsi kepatuhan pengembalian pot dahak

lebih besar pada responden yang memiliki jarak tempuh dekat 17 (30,9%), dibandingkan

dengan responden yang memiliki jarak tempuh jauh 2 (6,7%). Analisis lebih lanjut

menunjukkan ada hubungan antara jarak tempuh dari rumah responden ke puskesmas

dengan kepatuhan mengembalikan pot dahak (p = 0,013) dengan nilai OR = 6,2 yang

artinya kontak dengan jarak tempuh dekat memiliki peluang lebih patuh 6,2 kali

dibandingkan dengan kontak yang memiliki jarak tempuh jauh. Hasil yang sama persis

didapat pada variabel waktu tempuh. Dari seluruh responden menunjukan antara jarak

tempuh berbanding lurus dengan waktu tempuh.

Dari hasil penelitian sebelumya yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan penderita TB

Paru baik dalam pengobatan maupun dalam hal pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan

menunjukan hal yang sama yaitu adanya hubungan yang signifikan antara tingkat

kepatuhan dengan jarak dan waktu tempuh (P = 0,032).

f. Hubungan akses transportasi dengan kepatuhan pengembalian pot dahak pada kontak.

Analisis hubungan akses transportasi dengan kepatuhan pengembalian pot dahak

menjelaskan bahwa responden yang memiliki akses transportasi mudah sebanyak 22,5%

(18 orang) tergolong patuh mengembalikan pot dahak, sedangkan pada responden yang

mengatakan akses transportasi sulit sebanyak 20% (1 orang) tidak mengembalikan pot

dahak. Hasil analisis bivariat menunjukan tidak ada hubungan bermakna dengan nilai p =

1,000 dengan nilai OR = 1,1 artinya hampir tidak terdapat perbedaan peluang kepatuhan

antara kontak yang memiliki akses transportasi mudah dengan kontak yang memiliki akses

transportasi sulit.

g. Hubungan besarnya biaya/ongkos yang harus dikeluarkan dengan kepatuhan

pengembalian pot dahak.

Analisis hubungan besarnya biaya yang harus dikeluarkan dengan kepatuhan kontak dalam

mengembalikan pot dahak menggambarkan dan menjelaskan dari seluruh kontak yang

mengembalikan pot dahak didapatkan responden yang harus mengeluarkan biaya kurang

dari 20 ribu rupiah sebanyak 17 orang (28,3%) sedangkan responden yang harus

mengeluarkan biaya lebih besar dari 20 ribu rupiah sebanyak 2 orang (8%). Hasil uji

statistika didapatkan nilai p = 0,048 pada α = 0,05, maka dapat disimpulkan terdapat

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 13: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

hubungan yang signifikan antara besarnya biaya yang harus dikeluarkan terhadap

kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak ke puskesmas. Nominal 20 ribu rupiah

digunakan sebagai standar diambil dari angka kemampuan daya beli masyarakat

Kabupaten Bogor.

h. Hubungan penghasilan keluarga dengan kepatuhan pengembalian pot dahak

Tingkat kepatuhan seseorang diduga berkaitan dengan status ekonomi keluarga. Dalam

penelitian ini terdapat 30% (9 orang dari 30 orang) yang patuh mengembalikan pot dahak

ke puskesmas dengan latar belakang penghasilan keluarga di atas upah minimum regional

dan 18,2% responden (10 orang dari 55 orang) dengan penghasilan keluarga di bawah upah

minimum regional. Analisis bivariat menunjukan hasil nilai p = 0,328 lebih tinggi dari nilai

α = 0,05 artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan keluarga

dengan tingkat kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak.

i. Hubungan dukungan keluarga dengan pengembalian pot dahak pada kontak

Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak yang mendapatkan dukungan

keluarga yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 48,7% sementara

hasil nihil (0%) ditunjukan oleh responden yang tidak mendapatkan dukungan dari

keluarga. Nilai p = 0,000 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga degan perilaku kepatuhan kontak dalam

mengembalikan pot dahak ke puskesmas. Kontak yang mendapatkan dukungan dari

keluarga memiliki kemungkinan hampir 2 kali lipat (OR = 1,9) untuk menunjukan perilaku

patuh dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan dukungan.

j. Hubungan dukungan masyarakat dengan pengembalian pot dahak pada kontak

Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak mendapatkan dukungan

masyarakat yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 28,6% sementara

responden yang tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat sebesar 17,9%. Nilai p =

0,005 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

masyarakat degan perilaku kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke

puskesmas. Kontak yang mendapatkan dukungan dari masyarakat memiliki kemungkinan

11 kali (OR = 11,4) untuk menunjukan perilaku patuh dibandingkan dengan yang tidak

mendapatkan dukungan masyarakat.

k. Hubungan dukungan petugas dengan pengembalian pot dahak pada kontak

Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini didapatkan kontak yang mendapatkan dukungan

petugas yang patuh mengembalikan pot dahak ke puskesmas sebesar 28,4% dan hasil nihil

(0%) ditunjukan oleh responden yang tidak mendapatkan dukungan dari petugas. Nilai p =

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 14: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

0,000 dari uji statistik ini menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan

petugas degan perilaku kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke puskesmas.

Kontak yang mendapatkan dukungan dari petugas memiliki kemungkinan hampir 2 kali

lipat (OR = 1,3) untuk menunjukan perilaku patuh dibandingkan dengan yang tidak

mendapatkan dukungan.

Hasil dari tiga jenis dukungan di atas yaitu dukungan keluarga, dukungan masyarakat

maupun dukungan dari petugas dalam penelitian ini seluruhnya menunjukan adanya

hubungan yang signifikan, hal yang sama ditunjukan dalam hasil penelitian sebelumnya

yang mengatakan terdapat hubungan bermakna antara kepatuhan dengan masing-masing

dukungan tersebut (Sumarman dan Heri Unita, 2011). Kepatuhan tersebut berkaitan

dengan pengobatan penderita TB Paru dan pemeriksaan ulang dahak pada penderita. Hasil

penelitian ini juga didukung oleh konsep social support (Sarafino dan Bert) mengatakan

dengan adanya dukungan sosial dari berbagai pihak akan meringankan beban penderitaan

dan mengurangi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh individu.

l. Hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan mengembalikan pot dahak

Berdasarkan distribusi frekuensi tingkat pengetahuan responden dalam penelitian ini lebih

banyak responden yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi yaitu 47 orang dan yang

memiliki pengetahuan tergolong rendah 38 orang. Analisis bivariat menjelaskan hubungan

antara pengetahuan dengan kepatuhan pasien menggambarkan bahwa responden dengan

pengetahuan tinggi jauh lebih menunjukan kepatuhan 36,2% sedangkan responden dengan

pengetahuan rendah hanya 5,3% secara statistik dapat disimpulkan terdapat hubungan yang

sangat signifikan (nilai p = 0,002 pada α = 0,05) dengan nilai OR = 10,2 yang artinya

kontak dengan tingkat pegetahuan tinggi memiliki peluang 10,2 kali untuk patuh

dibandingkan dengan yang tingkat pengetahuan rendah.

m. Hubungan sikap dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak

Berdasarkan distribusi frekuensi sikap responden dalam penelitian ini hampir seimbang

antara responden yang memiliki sikap positif yaitu 45 orang dan yang memiliki sikap

negatif 40 orang. Analisis bivariat menjelaskan hubungan antara sikap responden dengan

kepatuhan pasien menggambarkan bahwa responden dengan sikap positif jauh lebih

menunjukan kepatuhan 42,2% sedangkan responden dengan sikap negatif tidak ada satu

pun yang patuh mengembalikan pot dahak dan hasil uji secara statistik dapat disimpulkan

terdapat hubungan yang sangat signifikan (nilai p = 0,000 pada nilai α = 0,05) dengan nilai

OR = 1,7 yang artinya kontak dengan sikap yang positif terhadap upaya pemberantasan

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 15: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

penyakit TB Paru memiliki peluang hampir 2 kali untuk patuh dibandingkan dengan yang

memiliki sikap negatif.

Perilaku ditentukan oleh tiga faktor (Green) yaitu salah satunya adalah faktor predisposisi

yaitu faktor-faktor yang mempermudah seseorang untuk berperilaku diantaranya adalah

pengetahuan dan sikap. Walaupun dalam penelitian ini tingkat kepatuhan kontak masih

rendah namun secara uji statistik terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan

dan sikap dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak (nilai p = 0,002 dan

nilai p = 0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dari Lawrence Green namun

bukan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan perilaku seseorang.

Penelitian sebelumnya mengenai perilaku kepatuhan yang berkaitan dengan penderita

tuberkulosis antara lain mengenai kepatuhan berobat dan kepatuhan pemeriksaan dahak

akhir pengobatan menunjukan hal yang sama yaitu adanya hubungan yang kuat antara

pengetahuan dan sikap penderita terhadap tingkat kepatuhan.

2. Variabel Yang Dominan

Hasil analisis bivariat didapatkan beberapa variabel yang memiliki hubungan yang bermakna

dengan kepatuhan kontak dalam pengembalian pot dahak. Untuk mengetahui variabel mana

yang paling dominan diantara variabel-variabel yang memiliki hubungan secara statistik maka

dilakukan analisis multivariat dengan regresi logistik. Berdasarkan hasil analisis multivariat

diketahui variabel yang paling dominan dalam penelitian ini diantara variabel-variabel yang

diteliti adalah variabel pengetahuan kontak tentang TB dengan nilai p = 0,024 dan nilai OR =

58,9 yang artinya kontak dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki peluang 58,9 kali untuk

patuh dibandingkan dengan yang tingkat pengetahuan rendah, setelah dikontrol oleh variabel

jarak tempuh, pendidikan dan status pekerjaan.

Kesimpulan

1. Tingkat kepatuhan responden yang adalah kontak penderita TB Paru BTA positif dalam

mengembalikan pot dahak di wilayah kerja Puskesmas Cileungsi masih rendah yaitu

22,4%.

2. Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan sikap yang termasuk predisposing factor

berhubungan dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.

3. Jarak, waktu tempuh, dan besar biaya yang harus dikeluarkan yang termasuk enabling

factor berhubungan dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 16: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

4. Dukungan keluarga, masyarakat dan petugas yang termasuk reinforcing factor

berhubungan bermakna dengan kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak ke

puskesmas.

5. Pengetahuan responden yang adalah kontak penderita TB Paru BTA positif merupakan

variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot

dahak.

Saran

Sebagai implikasi hasil penelitian ini terhadap program TB Paru di puskesmas antara lain

dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menyusun strategi program. Dengan

diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam

mengembalikan pot dahak diharapkan dapat menemukan terobosan baru dalam menunjang

peningkatan cakupan program.

Untuk meningkatkan cakupan pengembalian pot dahak ke puskesmas dapat membuat

terobosan baru terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan signifikan

dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak misalnya untuk meningkatkan

pengetahuan dan sikap positif dari kontak yang merupakan faktor predisposisi yang

berhubungan dengan kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak melalui

pembentukan kader khusus pengendalian penyakit TB Paru yang diberdayakan untuk

melakukan penyuluhan intensif kepada kontak serumah penderita TB Paru dalam upaya

meningkatkan pengetahuan dan sikap positif khususnya pada kontak serumah dan masyarakat

pada umumnya. Selain itu kader TB juga dapat diberdayakan sebagai kurir pot dahak sebagai

inovasi untuk mengatasi kendala yang berkaitan dengan faktor enabling seperti jarak tempuh,

waktu tempuh dan besaran biaya atau ongkos yang harus dikeluarkan.

Selain itu petugas kesehatan diharapkan dapat menciptakan dan mensosialisasikan berbagai

bentuk dukungan sosial (social support) yang diketahui sebagai faktor penguat yang memiliki

hubungan dengan tingkat kepatuhan kontak mengembalikan pot dahak. Kemampuan dalam

memberikan dukungan sosial ini diharapkan dapat dilakukan oleh petugas, keluarga dan

masyarakat baik dalam bentuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan

instrumental maupun dukungan informatif.

Selain itu diharapkan petugas dapat meningkatkan kemampuan bagi keluarga dan masyarakat

agar lebih aktif berpartisipasi dalam program pengendalian penyakit tuberkulosis serta

mengajarkan kepada kontak sasaran untuk dapat mempraktikan keterampilan batuk efektif

sehingga memudahkan untuk mengeluarkan dahak.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 17: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Penelitian ini menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan signifikan dengan

kepatuhan kontak dalam mengembalikan pot dahak ke puskesmas dan berbeda dengan asumsi

awal antara lain jenis kelamin dan status bekerja. Pada awalnya peneliti membuat asumsi

bahwa jenis kelamin perempuan dan status tidak bekerja akan lebih menunjukan perilaku

patuh namun pada hasil penelitian ini didapatkan hasil yang sebaliknya sehingga disarankan

dapat dijadikan dasar atau data awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

Selain itu rendahnya cakupan penemuan kasus mungkin ada kaitannya dengan target capaian

yang digeneralisir tingkat nasional, sehingga untuk daerah-daerah yang memiliki jumlah

penduduk tinggi namun dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup baik akan mengalami

kesulitan dalam mencapai target tersebut hal ini ditunjang oleh banyak penelitian yang

mengungkap keterkaitan antara faktor sosial ekonomi dan lingkungan dengan kejadian kasus

TB Paru.

Daftar Refrensi

Amu, F.A. 2008. Hubungan Merokok dan Penyakit Tuberkulosis Paru. Jurnal Tuberkulosis

Indonesia. Volume 5. Jakarta.

Asnawi, 2002. Tesis: Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Berobat

Penderita TB Paru Di Kota Jambi 2002. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia. Depok.

Cohen, J ; Powderly, W.G. 2004. Infectious Desease: Second Edition. Philadelpia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis. buku –pedomam-nasional-penanggulangan-tbc-pdf.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 2012. Profil Kesehatan 2012. Bandung. Dinas

Kesehatan Provinsi Jawa Barat.

Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.2012. Profil Kesehatan 2012. Bogor. Dinas Kesehatan

Kabupaten Bogor

Green, L.W. et al., 1980. Health Education Planning : A Diagnostic approach. First Ed.

Mayfield Publishing Company.

Hastono.S.P. 2007. Analisis Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia, Depok.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Promosi Kesehatan

Tuberkulosis. Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes RI. Jakarta.

Kodim.N. 2011. Editorial Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 5 Nomor 5. 2011. Fakultas

Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014

Page 18: DETERMINAN KEPATUHAN PENGEMBALIAN POT DAHAK OLEH …

Marulianna, F.B. 2013. Tesis : Analisi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kepatuhan

Pasien Neuropati Diabetik Dalam Pencegahan Ulkus Diabetikum. Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia . Depok

Muis, A.A., 2001. Tesis: Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kepatuhan Penderita

Tuberkulosis Untuk Berobat Teratur Di Jawa Tengah Dan Sulawesi Tengah 2001.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.

Notoatmodjo.S. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, PT.Rhineka Cipta, Jakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.

Sarafino, E.P. 2006. Health Psychology ; Biopsychosocial interaction, 5th

Edition, John

Willey & Sons, INC.

Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Sudoyo.A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid II. Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Sumarman. 2011. Peran PMO Dan Kepatuhan Pemeriksaan Ulang Dahak Fase Akhir

Pengobatan TB Di Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Volume 6.

Nomor 2. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.

Thawaf,S & Sutedja, 2002. Pengetahuan Persepsi dan Perilaku Tersangka TB Paru dalam

Mencari Pengobatan di Wilayah Kerja Puskesmas Jaya Giri Bandung Tahun 2000,

MKB Volume 34 Nomor 3.

Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Kecamatan Cileungsi. 2013. Laporan Tahunan 2012,

Bogor : UPT Puskesmas Kecamatan Cileungsi.

Versitania.H.U. & Putranto.H.K. 2011. TB Paru Di Palembang. Jurnal Kesehatan Masyarakat

Edisi 5. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Depok.

WHO. 2010. Global of Tuberculosis Control : Report 2010.

Yunus.F. 2006. Pulmonologi Klinik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

Determinan kepatuhan..., Dadang Darmawan, FKM UI, 2014