Determinan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di ...
Transcript of Determinan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di ...
Determinan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Tahun 2014-2015
Putri Madya Kharimah, Sudarto Ronoatmodjo
1. Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia 2. Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Selama dua tahun berturut-turut Kecamatan Jasinga memiliki prevalensi BBLR tinggi di Kabupaten Bogor dan menjadi satu-satunya Kecamatan yang jumlah kasusnya secara absolut melebihi 100 kasus pada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran determinan dan besar hubungannya dengan kejadian BBLR di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Tahun 2014-2015. Penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol dengan jumlah kasus sebanyak 97 dan kontrol sebanyak 97. Sumber data yang digunakan ialah register kohort ibu di seluruh puskesmas di Kecamatan Jasinga Tahun 2014-2015. Variabel independen yang diteliti antara lain faktor ibu yaitu umur, paritas dan jarak antar kehamilan serta faktor pelayanan kesehatan antara lain usia kehamilan ibu saat melakukan K1 dan jumlah kunjungan antenatal. Proporsi kejadian BBLR ditemukan lebih tinggi pada kelompok berisiko dari seluruh variabel independen. Paritas dan jarak antar kehamilan memiliki nilai p < 0,05 dan OR masing-masing sebesar 2,476 [95% CI: 1,377-4,452] dan 2,031 [95% CI: 1,147-3,599]. Sementara umur ibu, usia kehamilan saat K1 dan jumlah kunjungan antenatal memiliki nilai p > 0,05 dan OR masing-masing sebesar 1,162 [95% CI: 0,544-2,843]; 1,249 [95% CI: 0,696-2,243]; dan 1,444 [95% CI: 0,678-3,077]. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa paritas dan jarak antar kehamilan memiliki hubungan dengan kejadian BBLR di Kecamatan Jasinga Tahun 2014-2015.
Determinants of Low Birth Weight Infant in Jasinga District of Bogor Regency Years 2014-2015
Abstract
For two consecutive years Jasinga District has the high prevalence of LBW in Bogor Regency and become the only district that has number of cases exceeded 100 in 2015. This study aims to know the description and the relationship of determinants with LBW in Jasinga District of Bogor Regency Years 2014-2015. This study uses case-control design with 97 cases and 97 controls. The source data of this study is register cohorts of women in all primary health care in Jasinga District Years 2014-2015. The independent variables are maternal factors such as age, parity, pregnancy spacing and health service factors include gestational age at K1 and the number of antenatal visits. The proportion of LBW found to be higher in risk group of all independent variables. Parity and pregnancy spacing have p value < 0.05 and OR respectively 2.476 [95% CI: 1.377 to 4.452] and 2.031 [95% CI: 1.147 to 3.599]. While maternal age, gestational age at K1 and the number of antenatal visits have p value > 0.05 and OR respectively 1.162 [95% CI: 0.544 to 2.843]; 1.249 [95% CI: 0.696 to 2.243]; and 1.444 [95% CI: 0.678 to 3.077]. In conclusion, parity and pregnancy spacing have a relationship with LBW in Jasinga District Years 2014-2015. Keywords : LBW; pregnant mother; antenatal care
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
Pendahuluan
Angka kematian bayi menjadi salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
pembangunan kesehatan dari suatu negara serta kualitas hidup dari masyarakatnya. Pada
tahun 2015 estimasi kematian bayi baru lahir di dunia terjadi sebanyak 2,7 juta. Risiko
kematian paling tinggi terjadi pada saat persalinan (Roos dan Xylander, 2016). Angka
kematian bayi di Indonesia berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
Tahun 2012 adalah sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Angka ini menggambarkan bahwa
setiap 1000 bayi yang lahir hidup ditemukan 32 anak yang meninggal sebelum mencapai
umur 1 tahun. Enam puluh persen dari kematian bayi terjadi pada umur 1 bulan sehingga
menghasilkan angka kematian neonatal sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan
Laporan Countdown 2012 penyebab utama kematian neonatal adalah komplikasi
prematuritas (45%), gangguan intrapartum seperti Asfiksia (21%), kelainan kongenital
(13%), dan infeksi seperti Tetanus, Sepsis dan Meningitis (11%) (Depkes RI, 2012).
Sementara berdasarkan Laporan Tahunan Provinsi Tahun 2015 diketahui bahwa proporsi
terbesar penyebab kematian neonatal ialah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebesar 37%,
kemudian Asfiksia sebesar 26%, disusul lain-lain (21%), kelainan bawaan (12%), Sepsis
(4%) dan Tetanus Neonatorum yang hampir mendekati 0% (Depkes RI, 2015).
Bayi Berat Lahir Rendah atau BBLR menurut Badan Kesehatan Dunia atau WHO
adalah bayi yang memiliki berat badan kurang dari 2500 gram (WHO dan UNICEF, 2004).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Simbolon (2012) menyatakan bahwa
berdasarkan laporan SDKI periode tahun 1986-1991; 1989-1994; 1992-1997; 2002-2003;
2007 dan 2012 prevalensi kejadian BBLR di Indonesia belum menunjukkan penurunan yang
signifikan atau cenderung stagnan yaitu pada masing-masing periode sebesar 7,3%; 7,1%;
7,7%; 7,2%; 6,7% dan 7%. Penyebab dari BBLR bersifat multifaktor, bervariasi tergantung
dengan jenis populasinya. Dalam suatu meta analisis yang dilakukan Kramer, ditemukan 43
faktor yang potensial dalam menyebabkan BBLR. Faktor tersebut di antaranya genetik dan
konstitusional, obstetrik, demografi dan psikososial, nutrisi, morbiditas pada ibu saat hamil,
perawatan selama hamil, dan lain-lain. Identifikasi faktor yang berkontribusi terhadap BBLR
menjadi penting sebab BBLR dapat dijadikan indikasi bahwa bayi tidak lagi bertahan di
dalam rahim dalam kurun waktu yang lama atau tidak berkembang dengan baik (Taywade
dan Pissude, 2016).
Provinsi Jawa Barat menurut data Riskesdas tahun 2013 memiliki presentase kejadian
BBLR sebesar 11%. Angka ini lebih besar dibandingkan presentase BBLR secara nasional
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
yang sebesar 10,2% (Riskesdas, 2013). Di antara Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat,
Kabupaten Bogor berada di peringkat dua tertinggi penyumbang kasus kejadian BBLR di
Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Sukabumi pada tahun 2012 dan 2014. Dilihat dari
sarana pelayanan kesehatannya, Kabupaten Bogor justru berada di tempat teratas dalam
ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang berjumlah 1609 (Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Barat, 2012; Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014). Sementara di antara
Kecamatan dalam Kabupaten Bogor, pada tahun 2014-2015 secara berturut-turut Kecamatan
Jasinga memiliki proporsi kejadian BBLR yang tinggi di Kabupaten Bogor masing-masing
sebesar 4,88% dan 4,71% dan menempatkannya pada posisi dua tertinggi pada tahun 2014
dan posisi pertama di tahun 2015 serta menjadi satu-satunya kecamatan yang kasusnya
mencapai lebih dari 100 kasus di antara 39 kecamatan lainnya pada tahun 2015 menurut
laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. Faktor risiko yang berkaitan dengan
BBLR sangat kompleks sehingga menarik peneliti untuk mengetahui faktor risiko BBLR di
Kecamatan Jasinga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran determinan dan
besar hubungannya dengan kejadian BBLR di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Tahun
2014-2015
Tinjauan Teoritis
Badan kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah
bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram (WHO dan UNICEF, 2004).
Penyebab BBLR bersifat multifaktor, akan tetapi secara umum, BBLR disebabkan karena
dua hal, yakni prematuritas dan pertumbuhan janin terhambat atau keduanya (Maryunani,
2013). Berdasarkan modifikasi dari Kramer (1987), Kusumaningrum (2012) dan Maryunani
(2013) BBLR disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ibu, janin, obstetrik,
pelayanan kesehatan dan demografi.
Faktor ibu terdiri atas umur, tinggi badan, paritas, jarak antar kehamilan, status gizi
dan perilaku berisiko yaitu merokok serta konsumsi alkohol. Kramer (1987) menyebutkan
bahwa ibu yang berusia terlalu muda berhubungan dengan nilai indeks massa tubuh (IMT)
yang lebih rendah, cenderung mengalami kehamilan yang tidak diinginkan atau tidak
terencana sehingga jarang melakukan kunjungan antenatal, serta lebih sering melakukan
perilaku berisiko. Sementara pada ibu yang berusia di atas 35 tahun telah terjadi perubahan
jaringan alat kandungan dan jalan lahir sehingga tidak lentur lagi serta lebih berisiko
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
mengalami berbagai macam penyakit yang berisiko merugikan janin. Oleh karena itu usia
yang paling aman untuk mengalami kehamilan dan persalinan ialah antara 20 sampai 35
tahun (Rochjati dalam Pramono dan Pramita, 2015; Rochjati dalam Reza dan Puspitasari,
2014).
Borton (2014) mengatakan bahwa paritas adalah jumlah seorang perempuan
melahirkan janin pada usia kehamilan mencapai 24 minggu atau lebih tanpa memerhatikan
apakah bayi lahir hidup atau lahir mati. Manuaba dalam Wahyuningrum, Saudah dan
Novitasari (2015) menyatakan bahwa hasil konsepsi dipengaruhi oleh paritas. Pada ibu-ibu
dengan paritas tinggi dikarenakan tingginya frekuensi melahirkan maka ditemukan penyulit-
penyulit selama kehamilan, kerusakan pada dinding pembuluh darah dalam uterus, serta
adanya jaringan parut yang membuat perlekatan plasenta menjadi tidak kuat sehingga
menghambat aliran nutrisi ke janin (Winkjosastro dalam Kolifah, Kurniati dan Novita, 2012;
Habibah dalam Kolifah, Kurniati dan Novita, 2012).
Jarak antar kehamilan menurut Klebanoff (1988) adalah waktu yang berlalu dari akhir
kehamilan pertama sampai hari pertama periode menstruasi terakhir di kehamilan berikutnya.
Pendeknya jarak antar kehamilan dapat memicu buruknya kondisi bayi saat lahir. Hal ini
terjadi karena stok nutrisi yang menipis dan kondisi ibu yang belum pulih total secara
psikososial. Selain itu, riwayat bayi lahir mati atau neonatus yang meninggal pada kehamilan
sebelumnya membuat ibu berada pada risiko tinggi untuk kembali melahirkan bayi prematur
atau BBLR dalam jangka waktu yang dekat dengan kelahiran sebelumnya (Kramer, 1987).
Salah satu penyebab meningkatnya risiko BBLR karena pendeknya jarak antar kehamilan
ialah penipisan zat gizi. Ibu yang memiliki jarak antar kelahiran yang pendek tidak memiliki
cukup waktu untuk mengembalikan zat gizi yang dibutuhkan dalam mendukung pertumbuhan
dan perkembangan janin (Eijsden et al., 2008).
Faktor janin terdiri atas kelainan bawaan, infeksi dalam rahim, pertumbuhan janin dan
lama kehamilan. Faktor Obstetrik terdiri dari Hidramnion, Kehamilan ganda, riwayat
kehamilan dan komplikasi. Faktor demografi terdiri atas ras atau etnik dan pendidikan.
Sementara faktor pelayanan kesehatan antara lain umur kehamilan saat K1 dan jumlah
kunjungan antenatal.
WHO (2005) menyatakan bahwa kunjungan antenatal 1 seharusnya dilakukan sedini
mungkin sehingga manfaat yang didapatkan ibu lebih maksimal. Kunjungan antenatal 1
merupakan kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang dapat membuka pintu
bagi pelayanan kesehatan lainnya yang terintegrasi. Banyaknya komponen intervensi penting
dalam kunjungan antenatal maka penting bagi ibu untuk melakukan kunjungan sesegera
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
mungkin sehingga dapat mengidentifikasi kondisi tertentu. Oleh karena itu, kunjungan
antenatal pertama dianjurkan sedini mungkin semasa kehamilan yakni pada Trimeseter 1
(Lincetto, 2006). Ibu hamil yang lebih dini melakukan kunjungan antenatal akan lebih
terawat dan mendapat suplemenen nutrisi dalam jangka waktu yang lebih lama. Beberapa
alasan dibalik terlambatya ibu dalam melakukan kunjungan antenatal antara lain adat istiadat
dan sesuatu yang dianggap tabu terkait kehamilan dan kurangnya sumber daya baik tenaga
maupun sarana prasarana (Tayie dan Lartey, 2008).
Pelayanan antenatal memiliki manfaat untuk pertumbuhan janin dalam rahim atau
lama kehamilan, baik melalui diagnosis, ketepatan pengobatan komplikasi kehamilan dan
mengurangi faktor risiko yang dapat diubah (Kramer, 1987). Departemen Kesehatan
menganjurkan ibu melakukan kunjungan antenatal minimal 4 kali dengan pola sekali pada
trimester I (kehamilan hingga 12 minggu), sekali pada trimester ke-II (kehamilan > 12
minggu-24 minggu), dan dua kali pada trimester ke-III (kehamilan > 24 minggu-36 minggu).
Akan tetapi, kunjungan antenatal bisa melebihi 4 kali kunjungan apabila ibu mengalami
keluhan, penyakit atau gangguan kehamilan (Depkes, 2010). Menurut Kramer, secara teori
semakin sering ibu melakukan kunjungan antenatal, maka akan semakin banyak faktor risiko
yang dapat dikurangi serta pengobatan komplikasi kehamilan hingga tuntas dapat membuat
hasil kehamilan yang lebih baik.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik dengan desain studi kasus
kontrol. Pada penelitian ini, definisi kelompok kasus yakni kasus bayi yang lahir hidup
dengan berat < 2500 gram (BBLR) dan kelompok kontrol yakni bayi yang lahir hidup dengan
berat ≥ 2500 gram (BBLN) kemudian menilik ke belakang atau retrospektif terkait faktor
risiko pada ibu dan pelayanan kesehatan. Faktor risiko pada ibu terdiri atas umur ibu, paritas
dan jarak antar kehamilan. Sementara faktor risiko pada pelayanan kesehatan adalah usia
kehamilan saat K1 dan jumlah kunjungan antenatal.
Penelitian ini dilakukan di seluruh puskesmas Kecamatan Jasinga yang berjumlah tiga
puskesmas yakni Puskesmas Jasinga, Puskesmas Bagoang dan Puskesmas Curug selama satu
bulan yang berlangsung pada bulan Desember 2016.
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh bayi yang lahir hidup pada tahun 2014 dan
2015 di Kecamatan Jasinga sejumlah 4462 bayi lahir hidup. Sampel pada kelompok kasus
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
ialah bayi yang lahir hidup tahun 2014 dan 2015 dengan berat badan kurang dari 2500 gram
di tiga puskesmas Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Sementara sampel pada kelompok
kontrol adalah bayi yang lahir hidup tahun 2014 dan 2015 dengan berat badan lebih dari sama
dengan 2500 gram di tiga puskesmas Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor. Kriteria inklusi
dalam penelitian ini antara lain bayi yang lahir hidup di tiga puskesmas kecamatan Jasinga
Kabupaten Bogor tahun 2014-2015 dan tercatat di kohort ibu hamil; serta data terkait berat
lahir bayi, umur ibu, paritas, usia kehamilan saat ANC 1, jarak antar kehamilan dan
kunjungan antenatal tercatat lengkap dalam kohort ibu hamil. Sampel yang didapatkan adalah
sebesar 97 kasus.
Berdasarkan perhitungan sampel dengan rumus uji hipotesis beda proporsi Lemeshow
(1990) didapatkan sampel minimal sebesar 65 sampel. Di kecamatan Jasinga berdasarkan
registrasi kohort ibu hamil dari tiga puskesmas yang telah dikumpulkan tercatat ada 97 kasus
BBLR yang termasuk dalam kriteria inklusi selama tahun 2014-2015 yang berarti telah
melewati batas minimal sampel di atas. Sehingga peneliti memutuskan untuk mengambil
seluruh kasus BBLR di Kecamatan Jasinga pada tahun 2014-2015 yang berjumlah 97 kasus.
Sementara untuk perbandingan kasus dan kontrol, peneliti menggunakan perbandingan 1 : 1
sehingga total sampel dari kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah sebesar 194.
Data yang digunakan pada penelitian ini ialah data sekunder yang berasal dari
Register kohort ibu hamil di tiga puskesmas Kecamatan Jasinga yakni Puskesmas Jasinga,
Puskesmas Bagoang dan Puskesmas Curug tahun 2014-2015. Data pada kelompok kasus dan
kontrol yang telah terkumpul dan memenuhi kriteria inklusi sejumlah 1116. Kemudian untuk
pemilihan kelompok kontrol dilakukan metode systematic random sampling dengan terlebih
dahulu memisahkan 97 kelompok kasus sehingga yang tersisa sebanyak 1019. Dari 1019 data
bayi lahir hidup dengan berat badan lahir lebih dari sama dengan 2500 gram selanjutnya
dilakukan Systematic Random Sampling di komputer untuk pemilihan kelompok kontrol
sejumlah 97.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis univariat dan bivariat.
Analisis univariat dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran distribusi dan
frekuensi pada masing-masing variabel independen maupun dependen. Variabel independen
pada penelitian terdiri dari umur ibu, paritas, tinggi badan, jarak antar kehamilan, usia
kehamilan saat K1 dan kunjungan antenatal. Sementara variabel dependen ialah bayi dengan
berat badan lahir rendah atau BBLR. Sementara analisis bivariat dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji
hipotesis yang digunakan pada penelitian ini ialah uji beda proporsi atau Chi-Square. Pada
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
penelitian ini digunakan derajat kepercayaan sebesar 95%. Ukuran asosiasi yang digunakan
untuk mengetahui kemaknaan hubungan antara variabel independen dan variabel dependen
ialah Odds Ratio atau OR.
Hasil Penelitian
Kecamatan Jasinga merupakan salah satu kecamatan yang berada di bagian barat
wilayah Kabupaten Bogor dan memiliki jarak 64 km dari ibukota Kabupaten Bogor yakni
Cibinong. Kecamatan Jasinga memiliki luas wilayah sebesar 13.602 hektar dari permukaan
laut dan memiliki batas administratif sebelah Utara yaitu Kecamatan Tenjo; sebelah Barat
yaitu Kecamatan Maja, Curug Bitung; sebelah Selatan yaitu Kecamatan Sukajaya; dan
sebelah Timur yaitu Kecamatan Cigudeg. Kecamatan Jasinga terdiri dari 16 Desa antara lain
Desa Pangradin, Desa Kalong Sawah, Desa Sipak, Desa Jugalajaya, Desa Pamagersari, Desa
Curug, Desa Tegal Wangi, Desa Pangaur, Desa Koleang, Desa Jasinga, Desa Setu, Desa
Cikopomayak, Desa Neglasari, Desa Barengkok, Desa Bagoang dan Desa Wirajaya (Profil
Kecamatan Jasinga, 2016).
Analisis univariat akan menjelaskan gambaran atau deskripsi Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) sebagai variabel dependen dengan semua variabel independen yakni umur
ibu, umur kehamilan saat kunjungan antenatal 1, paritas, jarak kehamilan dan kunjungan
antenatal.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berat Lahir Bayi di Kecamatan Jasinga Tahun 2014-2015
Berat Lahir Bayi di Kecamatan Jasinga Tahun 2014-2015
Mean 2634,21 gram
Median 2485 gram
Modus 2400 gram
Minimum 800 gram
Maksimum Standar Deviasi
5500 gram 649,358 gram
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada penelitian ini terkait distribusi berat
lahir bayi pada kelompok kasus dan kontrol didapatkan berat lahir bayi minimum adalah 800
gram dan berat lahir bayi maksimum adalah 5500 gram. Rata-rata berat lahir bayi dari 97
kelompok kasus (BBLR) dan 97 kelompok kontrol (BBLN) adalah sebesar 2634,21 gram,
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
nilai tengahnya sebesar 2485 gram dan berat lahir bayi yang paling banyak ialah 2400 gram
dengan jumlah sebanyak 24 bayi. Deksripsi kasus dan kontrol serta hasil analisis uji statistic
pada setiap variabel independen yakni umur, paritas, jarak antar kehamilan, usia kehamilan
saat K1 dan kunjungan antenatal tersaji pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Deskripsi dan Hubungan Setiap Variabel Independen dengan Kejadian BBLR di Kecamatan Jasinga Tahun 2014-2015
Variabel BBLR BBLN OR Nilai p F % f % Umur Ibu < 20 atau > 35 tahun 17 17,5% 15 15,5% 1,162
(0,544-2,843) 0,847
20-35 tahun 80 82,5% 82 84,5% Paritas 1 atau ≥ 4 anak 67 69,1% 46 47,4% 2,476
(1,377-4,452) 0,004
2-3 anak 30 30,9% 51 52,6% Jarak antar Kehamilan ≤ 2 tahun 56 57,7% 39 40,2% 2,031
(1,147-3,599) 0,022
>2 tahun 41 42,3% 58 59,8% Umur Kehamilan saat K1 Trimester II atau Trimester III
38 39,2% 33 34% 1,249 (0,696-2,243)
0,551
Trimester I 59 60,8% 64 66% Kunjungan Antenatal < 4 kali 19 19,6% 14 14,4% 1,444
(0,678-3,077) 0,445
≥ 4 kali 78 80,4% 83 85,6%
Pada variabel umur ibu diketahui bahwa kelompok umur berisiko yakni < 20 atau >
35 tahun lebih banyak yang melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar 17,5%
dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 15,5%. Sementara pada kelompok
umur tidak berisiko yakni antara 20 sampai 35 tahun lebih banyak yang melahirkan bayi berat
lahir normal (BBLN) sebesar 84,5% dibandingkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar
82,5%. Sementara hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,847 dengan tingkat
kepercayaan 95%. Besar nilai p tersebut menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur ibu saat hamil dengan bayi berat lahir rendah.
Pada variabel paritas terlihat bahwa pada kelompok paritas berisiko yakni yakni 1
atau ≥ 4 anak lebih banyak yang melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar 69,1%
dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebear 47,4%. Sementara pada kelompok
paritas tidak berisiko yakni antara 2 sampai 3 anak lebih banyak yang melahirkan bayi berat
lahir normal (BBLN) sebesar 52,6% dibandingkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar
30,9%. Uji statistik menghasilkan nilai p sebesar 0,004 dengan tingkat kepercayaan 95%.
Besar nilai p tersebut menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna
antara paritas dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR). Apabila melihat dari nilai OR
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dikarenakan tidak terdapat angka 1 di
dalam rentang nilai OR [1,377-4,452]. Prevalensi kasus BBLR yang jarang membuat
interpretasi OR dapat diasumsikan dengan nilai RR. Oleh karena itu, nilai OR sebesar 2,476
menjelaskan bahwa ibu yang memiliki jumlah anak 1 atau ≥ 4 memiliki risiko untuk
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) 2,476 kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang
memiliki jumlah anak antara 2 sampai 3.
Pada variabel jarak antar kehamilan tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok ibu
dengan jarak antar kehamilan berisiko yakni ≤ 2 tahun lebih banyak yang melahirkan bayi
berat lahir rendah (BBLR) sebesar 57,7% dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN)
sebesar 40,2%. Sementara pada kelompok ibu dengan jarak antar kehamilan tidak berisiko
yakni > 2 tahun lebih banyak yang melahirkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 59,8%
dibandingkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar 42,3%. Uji statistik menghasilkan nilai
p sebesar 0,022 dengan tingkat kepercayaan 95%. Besar nilai p tersebut menunjukkan bahwa
secara statistik ada hubungan yang bermakna antara jarak antar kehamilan dengan bayi berat
lahir rendah. Apabila melihat dari nilai OR juga menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna dikarenakan tidak terdapat angka 1 di dalam rentang nilai OR [1,147-3,599]. Nilai
OR sebesar 2,031 menjelaskan bahwa ibu yang memiliki jarak antar kehamilan ≤ 2 tahun
memiliki risiko untuk melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) 2,031 kali lebih besar
dibandingkan ibu yang memiliki jarak antar kehamilan > 2 tahun.
Pada variabel usia kehamilan saat K1 terlihat bahwa kelompok ibu yang melakukan
K1 pada Trimester II atau Trimester III lebih banyak yang melahirkan bayi berat lahir rendah
(BBLR) sebesar 39,2% dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 34%.
Sementara pada kelompok ibu yang melakukan K1 pada Trimester I lebih banyak yang
melahirkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 66% dibandingkan bayi berat lahir
rendah (BBLR) sebesar 60,8%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,551 dengan
tingkat kepercayaan 95%. Besar nilai p tersebut menunjukkan bahwa secara statistik tidak
ada hubungan yang bermakna antara umur kehamilan ibu saat kunjungan antenatal 1 (K1)
dengan bayi berat lahir rendah.
Pada variabel jumlah kunjungan antenatal tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok
ibu yang tidak K4 yakni jumlah kunjungan antenatalnya < 4 atau ≥ 4 kali tetapi tidak
mengikuti pola 1-1-2 lebih banyak yang melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebesar
19,6% dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 14,4%. Sementara pada
kelompok ibu dengan K4 yakni ≥ 4 kali dan mengikuti pola 1-1-2 lebih banyak yang
melahirkan bayi berat lahir normal (BBLN) sebesar 85,6% dibandingkan bayi berat lahir
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
rendah (BBLR) sebesar 80,4%. Uji statistik menghasilkan nilai p sebesar 0,445 dengan
tingkat kepercayaan 95%. Besar nilai p tersebut menunjukkan bahwa secara statistik tidak
ada hubungan yang bermakna antara kunjungan antenatal dengan bayi berat lahir rendah.
Dari tabel di atas secara keseluruhan dapat diketahui bahwa kelompok berisiko dari
setiap variabel independen memiliki proporsi yang lebih tinggi untuk melahirkan bayi berat
lahir rendah (BBLR) dibandingkan bayi berat lahir normal (BBLN). Sementara untuk analisis
bivariate hanya variabel paritas dan jarak antar kehamilan yang menunjukkan adanya
hubungan dengan kejadian BBLR di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Tahun 2014-2015.
Pembahasan
Umur ibu secara statistik ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna dengan
kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan nilai p > 0,05 yakni sebesar 0,847. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Nazifah (2013) di Kota Pariaman dimana tidak
adanya hubungan yang bermakna antara usia ibu dengan kejadian BBLR dengan nilai p
sebesar 0,11 dan OR sebesar 1,7 [0,94-3,09]. Selain penelitian Nazifah, penelitian Slemming
dkk (2016) di Afrika Selatan juga menunjukkan hal yang sama dimana antara usia ibu dengan
kejadian BBLR tidak terdapat hubungan yang signifikan. Tidak adanya hubungan antara
umur ibu dengan kejadian BBLR menurut peneliti dikarenakan sebagian besar ibu di
Kecamatan Jasinga hamil pada usia yang tidak berisiko yakni antara 20 sampai 35 tahun.
Dapat terlihat dari jumlah absolut yang ada dalam tabel bahwa ibu yang hamil pada usia tidak
berisiko jauh lebih banyak dibandingkan ibu yang hamil pada usia berisiko. Akan tetapi,
alasan lainnya adalah dikarenakan pencatatan dan pelaporan yang kurang membuat ibu hamil
pada usia berisiko tidak terdata. Hal ini dikarenakan ibu yang hamil di usia muda termasuk
dalam kategori ibu hamil risiko tinggi (Bumil Risti). Salah satu evaluasi UPT Puskesmas
Jasinga adalah masih rendahnya deteksi bumil risti sehingga kemungkinan ibu-ibu yang
hamil di usia muda tidak terdata.
Ibu yang terlalu sering melahirkan memiki risiko lebih tinggi untuk melahirkan BBLR
dibandingkan ibu yang jarang melahirkan. Teori tersebut sejalan dengan hasil penelitian di
Kecamatan Jasinga dimana terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian
BBLR. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p < 0,05 yaitu sebesar 0,004. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Pramono dan Paramita (2015) yang melakukan analisis Riset
Kesehatan Dasar 2013 dimana terdapat hubungan yang signifikan serta menemukan bahwa
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
risiko untuk melahirkan BBLR meningkat 1,31 kali pada ibu yang memiliki jumlah anak 1
atau lebih dari 3 anak dibandingkan ibu yang memiliki 2 sampai 3 anak setelah melakukan
kontrol terhadap variabel komplikasi kehamilan, status ekonomi dan jenis kelamin bayi.
Selain itu, penelitian Khatun dan Rahman (2008) serta Negi, Kandpal dan Kukreti (2006)
juga menunjukkan hasil yang bermakna antara paritas dengan kejadian BBLR. Adanya
hubungan antara paritas dengan kejadian BBLR menurut peneliti juga dikarenakan proporsi
paritas berisiko khususnya yang memiliki anak 1 mendominasi distribusi di antara ibu-ibu di
Kecamatan Jasinga pada tahun 2014-2015. Selain itu, menurut informasi yang peneliti dapat
dari salah satu bidan di Puskesmas wilayah Kecamatan Jasinga disebutkan bahwa sebagian
besar masyarakat telah menggunakan pelayanan Keluarga Berencana (KB). Hal ini juga
didukung oleh program KB yang menjadi salah satu program pokok di UPT Puskesmas
Jasinga menurut Profil UPT Puskesmas Jasinga Tahun 2014-2015.
Kramer (1987) mengungkapkan bahwa buruknya kondisi bayi saat lahir dapat terjadi
karena pendeknya jarak antara kehamilan terdahulu dengan kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian di Kecamatan Jasinga sejalan dengan teori di atas dimana ditemukannya hubungan
yang bermakna antara jarak antar kehamilan dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR)
dengan nilai p < 0,05 yakni sebesar 0,022. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Firdous dkk (2012); Salmawati (2011); Syahraeni (2013); Negi, Kandpal dan Kukreti (2006);
Coutinho dkk (2009) di Campina Brazil yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara jarak antar kehamilan dengan BBLR. Adanya hubungan antara jarak antar
kehamilan dengan kejadian BBLR pada penelitian ini menurut peneliti dikarenakan sebagian
besar ibu di Kecamatan Jasinga memang hanya memberi jarak pada kehamilannya 1-2 tahun.
Apabila dikaitkan dengan variabel umur ibu, dimana tidak banyak ibu yang melahirkan pada
usia di atas 35 tahun menandakan bahwa jarak antar kehamilan sebagian besar ibu di
Kecamatan Jasinga cukup pendek.
Hasil penelitian di Kecamatan Jasinga karena tidak ditemukannya hubungan
bermakna antara usia kehamilan saat K1 dan kejadian BBLR. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Coutinho dkk (2009) serta Mandoreba dan Mokwena (2016) di Harare,
Zimbabwe yang tidak menemukan adanya hubungan bermakna antara usia kehamilan ibu
saat K1 dengan kejadian BBLR. Tidak ditemukannya hubungan antara usia kehamilan saat
K1 dengan BBLR menurut peneliti dikarenakan sebagian besar ibu di Kecamatan Jasinga
sudah melakukan kunjungan antenatal 1 pada waktu yang dini yakni Trimester I (0-12
minggu). Selain itu, penelitian Mandoreba dan Mokwena (2016) menemukan bahwa
beberapa alasan di balik keputusan melakukan K1 secara dini atau telat antara lain karena
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
manfaat yang didapat dari pelayanan antenatal, antusias ibu mengandung, biaya pelayanan
antenatal dan riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya.
Hasil penelitian di Kecamatan Jasinga menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya
hubungan bermakna antara kelengkapan kunjungan antenatal dengan kejadian bayi berat lahir
rendah (BBLR). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Salmawati (2011) di
Kecamatan Lalan Kabupaten Belitung Timur dan Eryando (2010) yang tidak menemukan
adanya hubungan signifikan antara kunjungan antenatal dengan kejadian BBLR. Tidak
ditemukannya hubungan antara kunjungan antenatal dengan kejadian BBLR menurut peneliti
dikarenakan sebagian besar ibu di Kecamatan Jasinga telah melakukan kunjungan antenatal
yang lengkap yakni minimal 4 kali kunjungan. Berdasarkan informasi yang didapat peneliti,
bidan desa cukup gencar dalam mengajak masyarakatnya untuk melakukan kunjungan
antenatal di fasyankes mengingat tingkat kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri saat
hamil ke fasilitas kesehatan masih tergolong rendah.
Ada atau tidaknya hubungan beberapa faktor di atas dengan kejadian BBLR
menunjukkan bahwa masih ada faktor lain yang memengaruhi BBLR di Kecamatan Jasinga.
Salah satu determinan atau faktor yang belum tergambar dalam penelitian ialah status gizi
ibu. Kramer dalam Ramakrishnan (2003) menyebutkan bahwa kejadian BBLR di Negara
berkembang lebih dari 50 persennya disebabkan oleh gizi ibu baik sebelum maupun selama
hamil.
Kesimpulan
Apabila dilihat dari faktor ibu, faktor yang memiliki hubungan dengan kejadian bayi
berat lahir rendah (BBLR) di Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Tahun 2014-2015 adalah
paritas dan jarak antar kehamilan. Sementara faktor umur ibu tidak memiliki hubungan yang
bermakna. Apabila dilihat dari faktor pelayanan kesehatan, tidak ada variabel yang memiliki
hubungan dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR) di Kecamatan Jasinga Kabupaten
Bogor Tahun 2014-2015
Saran
Puskesmas-puskesmas di Kecamatan Jasinga disarankan untuk melakukan
pemantauan dan evaluasi terkait pelaporan dan pencatatan pada register kohort ibu,
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
meningkatkan program KIA, melakukan penyuluhan yang lebih gencar, mengadakan
pelatihan dengan mengajukan ke Dinas Kesehatan untuk bidan di puskesmas dalam
manajemen BBLR dan meningkatkan program terkait gizi ibu hamil. Saran untuk Bidan Desa
dan Bidan Koordinator ialah menjalin kerja sama dengan paraji/dukun bayi terkait perawatan
selama kehamilan dan melakukan KIE terkait asupan zat gizi selama hamil. Dinas Kesehatan
Kabupaten Bogor disarankan untuk meningkatkan promosi kesehatan, Memberikan umpan
balik terhadap laporan tahunan Puskesmas serta meningkatkan mitra dan kerja sama lintas
sektor. Kepada peneliti lain diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan
variabel yang lebih bervariasi dan menyeluruh atau variabel yang sama namun melakukan
analisis yang lebih dalam.
Daftar Referensi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik &
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : BPS dan Kemenkes RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013. RISET KESEHATAN DASAR, Jakarta.
Chloe, B., 2014. Gravidity and Parity Definitions (and their Implications in Risk Assessment). , 91, pp.2012–2015.
Coutinho, P.R. et al., 2009. factors associated with low birth weight in a historical series of deliveries in campinas , brazil. Rev Assoc Med Bras, 55(6), pp.692–699.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2014. Laporan Tahunan Tahun 2014. Bogor : Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2015. Laporan Tahunan Tahun 2015. Bogor : Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2012. , p.134.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat Tahun 2014.
Djaali, N.A., Eryando, T. & Max, M., 2010. Bayi Berat Lahir Rendah di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo dan Faktor-faktor yang Berhubungan (Factors Related to Low Birth Weight Babies in Pasar Rebo Public General Hospital). Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 5(113), pp.2–6.
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
Eijsden, M. Van et al., 2008. Association between short interpregnancy intervals and term birth. The American Journal of Clinical Nutrition, 88, pp.147–153.
Firdous, N. et al., 2014. Impact Of Interpregnancy Interval On Perinatal Outcome. JK-Practitioner, 19(December), pp.75–79.
Kecamatanjasinga.bogorkab.go.id. (2016). Kecamatan Jasinga. [online] Available at: http://kecamatanjasinga.bogorkab.go.id/index.php/multisite/page/1175#.WGDFRH0pqjs [Accessed 1 Jan. 2017].
Kementerian Kesehatan RI,, 2015. PROFIL KESEHATAN INDONESIA, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan. 2014. Rencana Aksi Nasional Kesehatan Neonatal. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan., 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2012, Jakarta: Kementerian Kesehatan.RI
Kementerian Kesehatan., 2015. Laporan Tahunan Provinsi Tahun 2015, Jakarta: Kementerian Kesehatan.RI
Khatun, S. & Rahman, M., 2008. Socio-economic determinants of low birth weight in Bangladesh : A multivariate approach. Bangladesh Med Res Counc Bull, pp.81–86.
Klebanoff, M.A., 1988. Short Interpregnancy Interval and the Risk of Low Birthweight. AJPH, 78(6).
Koliffah, Kurniati, E. & Novita, M., 2012. HUBUNGAN PARITAS DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BARENG KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2012. , pp.3–7.
Kramer, M.S., 1987. Determinants of low birth weight : methodological assessment and meta-analysis. , 65(5), pp.663–737.
Kusumaningrum, A.I., 2012. Hubungan Faktor Ibu dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Wilayah Kerja Puskesmas Gemawang Kecamatan Gemawang Kabupaten Temanggung Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Universitas Indonesia.
Lemeshow, S. et al., 1990. Adequacy of Sample Size in Health Studies, England: World Health Organization; John Wiley and Sons.
Lincetto, O., Mothebesoane-Anoh, S., Gomez, P. and Munjanja, S. 2006. Opportunitis for Africa's Newborns. 1st ed. Johannesburg/Geneva: WHO. Available at : http://www.who.int/pmnch/media/publications/aonsectionIII_2.pdf
Mandoreba, T. & Mokwena, K., 2016. Factors associated with late antenatal booking in Harare , Zimbabwe. Botswana Journal of African Studies, 30(1), pp.131–138.
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
Maryunani, A., 2013. Asuhan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) T. Ismail, ed., Jakarta: Trans Info Media.
Nazifah, U., 2013. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah Di Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat Tahun 2011 -2012. Universitas Indonesia.
Negi, K.S., Kandpal, S.D. & Kukreti, M., 2006. Epidemiological Factors Affecting Low Birth Weight. JK Science, 8(1), pp.31–34.
Pramono, M.S. & Paramita, A., 2015. POLA KEJADIAN dan determinan BAYI DENGAN Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR ) DI INDONESIA tahun 2013 ( Pattern of Occurrence and Determinants of Baby. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 18, pp.1–10.
Ramakrishnan, U. 2003. Nutrition and low birth weight: from research to practice. The American Journal of Clinical Nutrition, 79, pp.17-21.
Reza, C. & Puspitasari, N., 2014. Determinan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, 3(2), pp.96–106.
Roos, N. & Von, X.R., 2016. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynaecology Why do maternal and newborn deaths continue to occur ? Best Practice & Research Clinical Obstetrics & Gynaecology, 36, pp.30–44. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2016.06.002.
Salmawati, 2011. Hubungan Antenatal Care dengan Kejadian BBLR Tahun 2009-2010 di Kecamatan Lalan Kabupaten Musi Banyu Asin Sumatera Selatan. Universitas Indonesia.
Simbolon, D., 2012. Berat Lahir dan Kelangsungan Hidup Neonatal di Indonesia Birth Weight and Neonatal Survival in Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(95).
Slemming, W. et al., 2016. Early Human Development Maternal risk exposure during pregnancy and infant birth weight. Early Human Development, 99, pp.31–36. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.earlhumdev.2016.03.012.
Syahraeni, 2013. PENGARUH PARITAS DAN FAKTOR -FAKTOR LAIN TERHADAP KEJADIAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH DI RS BENYAMIN GULUH KABUPATEN KOLAKA PROVINSI SULAWESI TENGGARA TAHUN 2011 -2012. Universitas Indonesia.
Tayie, F. & Lartey, A., 2008. Volume 8 No . 3 2008 September 2008 Volume 8 No . 3 2008 September 2008. African Journal of Food Agriculture Nutrition and Development, 8(3), pp.291–303.
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017
Taywade, M.L. & Pisudde, P.M., 2016. ScienceDirect Study of sociodemographic determinants of low birth weight in Wardha district , India. Clinical Epidemiology and Global Health, pp.1–7. Available at: http://dx.doi.org/10.1016/j.cegh.2016.07.001.
The World Health Report 2005 Chapter 3 Realizing The Potential of Antenatal Care. 2005. 1st ed. [ebook] Geneva: WHO. Available at: http://www.who.int/whr/2005/chapter3/en/print.html [Accessed 1 Jan. 2017].
UPT Puskesmas Jasinga., 2014. Profil Puskesmas Jasinga Tahun 2014, Jasinga: Bogor
UPT Puskesmas Jasinga., 2015. Laporan Kegiatan Tahunan Puskesmas Jasinga Tahun 2015, Jasinga: Bogor
UPT Puskesmas Jasinga., 2015. Profil Puskesmas Jasinga Tahun 2015, Jasinga: Bogor
Wahyuningrum, T., Saudah, N. & Novitasari, W.W., 2015. Hubungan paritas dengan berat bayi lahir di rumah sakit umum daerah dr. wahidin sudiro husodo mojokerto. Midwiferia, 1(2), pp.87–92.
WHO & UNICEF, 2004. GLOBAL ESTIMATES, Geneva: WHO, UNICEF.
Determinan Kejadian ..., Putri Madya Kharimah, FKM UI, 2017