Deskripsi Ekspor Tanaman Kencur
-
Upload
nidasuryandari -
Category
Documents
-
view
79 -
download
2
description
Transcript of Deskripsi Ekspor Tanaman Kencur
Pada tahun 2004, pemimpin eksportir tumbuhan obat dan tanaman aromatik dari negara berkembang dengan tujuan Uni
Eropa adalah Cina, India, Nigeria, Kenya, Bosnia- Herzegovina, Uzbekistan, dan Afrika Selatan. Kurang lebih senilai 75 %
dari impor ekstrak dan tanaman alkaloid berasal dari Cina dan Madagaskar. Cina memasok senilai 36 % dari keseluruhan
alkaloid negara berkembang, diikuti oleh India ( 25 % ) dan Brasil ( 19 %).
Pada 2004, nilai impor Uni Eropa untuk tumbuhan obat stabil pada angka 375
milyar Euro, sedangkan nilai untuk kategori ekstrak dan getah tumbuhan obat
adalah 101 milyar Euro, serta tanaman alkaloid senilai 521 milyar Euro, menurun
jika dibanding tahun 2000. Untuk tumbuhan obat dan tanaman aromatik, serta
ekstrak dan getah tanaman obat secara volume menunjukkan perkembangan
positif, dan ini mengindikasikan adanya penurunan secara umum dari segi harga.
Harga untuk kategori bahan alam di industri farmasi mengalami penurunan secara global.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya presentasi spesies strategis yang diproses dalam
bentuk ekstrak atau tanaman alkaloid mulai dibudidayakan secara masal. Pengembangan
produk berkorelasi dengan akses menuju bahan mentahnya. Saat produksi bahan mentah
beralih dari tanaman liar menuju kultivasi masal, maka harga bahan mentah akan
mengalami penurunan secara bertahap juga.
Peluang Untuk Eksportir
Tidak mudah sebenarnya untuk melakukan pemastian prospek produk yang positif dari negara berkembang. Kenapa ?
Karena dalam hal ini terjadi transfer dalam jumlah besar bahan alam dari negara berkembang ke industri farmasi untuk
kepentingan riset. Industri farmasi berkepentingan melakukan eksplorasi kekayaan alam hayati ( terutama variabilitas)
untuk kepentingan komersial dan sumber bahan biokimia. Tipe perdagangan semacam ini adalah perdagangan yang
dikendalikan oleh penelitian ( research driven trading). Perusahaan farmasi melakukan studi penelitian kandungan dan
efek pada spesies tanaman obat yang spesifik untuk kemudian pengembangan dilanjutkan dalam rangka menemukan obat
baru, lalu dipatenkan.
Riset semacam ini membutuhkan sumber daya yang sangat besar, baik dari segi
pengetahuan, teknologi, peralatan, hingga sokongan dana dimana hanya industri- industri
farmasi skala besar yang mampu melaksanakan. Eksportir dari negara berkembang
sebaiknya mengambil peluang dari bahan alam yang sudah diketahui kandungan dan
efeknya, yang belum dipatenkan serta masih dapat diperdagangkan secara bebas.
Sebanyak 2000 tumbuhan obat dan tanaman aromatik digunakan di Eropa untuk kebutuhan komersial. Beberapa spesies
botani secara konsisten dibutuhkan oleh banyak industri di US dan Eropa hingga setidaknya lima tahun kedepan. ( Laird et
al., 2002). Salah satunya adalah Echinacea, dan beberapa tumbuhan yang paling banyak dibutuhkan adalah Gingko,
Ginseng, Valerian, Goldenseal, dan Bawang Putih.
Nilai impor Uni Eropa terhadap beberapa negara berkembang yang selama ini memasok
tumbuhan obat dan tanaman aromatik adalah :
Nilai perbandingan komoditas dan negara pengekspor tumbuhan obat dan tanaman
aromatik adalah sebagai berikut :
Ekspor Negara berkembang ke negara Uni Eropa cenderung menurun. Terutama untuk
kategori tumbuhan alkaloid, impor dari negara berkembang menunjukkan penurunan
sebanyak 17% setiap tahunnya antara tahun 2000 dan 2004. Namun, jika dilihat dari pangsa
total keseluruhan impor di Uni Eropa, negara berkembang memiliki posisi stabil pada
perdagangan bahan baku alami untuk farmasi.
Pada 2004, negara berkembang kuat pada sisi pemasok tumbuhan obat dan tanaman
aromatik, secara nilai sekitar 39% dari total impor anggota Uni Eropa, dan 50 % secara
volume dari total impor Uni Eropa. Selama beberapa tahun terakhir, pangsa impor ke Uni
Eropa dari negara berkembang selalu berfluktuasi pada level ini.
Cina dan India adalah negara yang memiliki sejarah panjang dalam pengobatan bahan alam
dan dengan lahan mereka yang sangat luas, memposisikan diri sebagai pemimpin produsen
bahan alam untuk farmasi. Namun ekspor India untuk tumbuhan obat dan tanaman
aromatik mengalami penurunan sebesar 28 % pada sekitar tahun 2000 dan 2004. Negara
berkembang yang mengalami peningkatan ekspor untuk komoditas tumbuhan obat dan
tanaman aromatik antara tahun 2000 dan 2004 adalah Nigeria, Kenya, Bosnia- Herzegovina,
Uzbekistan, dan Afrika Selatan. Sedangkan negara berkembang yang mengalami penurunan
ekspor adalah Brasil, Sudan, Argentina, India, Chile, Albania, dan Masedonia.
Ekspor Tanaman Obat Terus MeningkatSEMARANG-Ekspor tanaman obat atau biofarmaka Indonesia ke berbagai negara di dunia hingga saat ini telah mencapai 5,452 juta dolar AS dengan volume 9.149 ton. Komoditas yang diminati pasar ekspor antara lain jahe, kunyit, kencur, dan temulawak.
Dr Sumarno MSc, Direktur Jenderal Bina Produksi Hortikultura Departemen Pertanian mengemukakan angka ekspor biofarmaka terus meningkat. Pada tahun 1991 sebesar Rp 95,5 miliar, 1999 menjadi Rp 600 miliar, dan 2003 mencapai Rp 4 triliun.
''Potensi pasarnya cukup menjanjikan sehingga dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan nilai ekspornya akan terus naik,'' ujarnya usai penandatanganan kerja sama antara PT Sido Muncul dan petani Tanah Laut Kalimantan Selatan di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Semarang, baru-baru ini.
Namun, lanjut dia, pengembangan biofarmaka masih sering tidak ditangani secara serius oleh pelaku utama, yakni petani.
Padahal pasar Eropa dan Timur Tengah sangat membutuhkan pasokan bahan baku obat biofarmaka dari Indonesia.
''Kita akan kalah bersaing dengan negara lain, misalnya Malaysia, yang sudah menambah lahan perkebunan untuk tanaman biofarmaka jika kita tidak segera membenahi,'' ujar Sumarno.
Biofarmaka adalah tanaman yang berkhasiat obat. Tanaman biofarmaka sudah berabad-abad dikenal di Indonesia sebagai khasiat jamu.
Sayangnya, tidak ada kelanjutan penelitian ilmiah terhadap khasiat tanaman biofarmaka, misalnya jahe, kunyit, kencur, dan temulawak.
Selain itu, jumlah tanaman biofarmaka masih terbatas karena hanya dibudidayakan sebagai tanaman hias dan perimbun halaman rumah.
Direktorat Jenderal Bina Hortikultura, kata dia, terus-menerus melakukan promosi potensi keuntungan yang didapat dari biofarmaka.
Belum Dipenuhi
Pada tahun 2002 Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) mencatat 326 pabrik jamu di Indonesia menggunakan 180 spesies tumbuhan obat dan aromatika.
Total bahan baku yang dibutuhkan per tahun mencapai 56.223 ton.
''Kebutuhan bahan baku itu belum dapat dipenuhi oleh produk dalam negeri,'' jelasnya.
Dia berharap para pengusaha menyadari potensi biofarmaka sehingga mau menanamkan investasi berupa penambahan lahan dalam bentuk perkebunan sehingga permintaan pasar terhadap bahan baku biofarmaka bisa terpenuhi.
Potensi lainnya, lanjut dia, sejalan dengan makin menguat isu back to nature minat masyarakat untuk mencegah atau mengobati penyakit dengan obat-obatan dari bahan alam kina meluas. China dikenal sebagai negara yang memproduksi berbagai macam obat dari bahan alami.
Menurut dia, beberapa produk tanaman obat Indonesia banyak dikirim ke China.
Sebaliknya, negeri itu mengekspor obat-obatan ke beberapa negara termasuk Indonesia.
''Kini sudah saatnya pengembangan tanaman obat yang bernilai ekonomis kita galakkan,'' tegasnya.
Konsep pengembangan lainnya adalah lewat pembuatan sentra-sentra tanaman obat di Indonesia.
Beberapa wilayah yang sudah berkembang antara lain kencur di Tanah Laut (Kalimantan Selatan), lengkuas di Kota Semarang, kunyit di Kulonprogo (DIY), dan temulawak di Kabupaten Semarang.
''Untuk pengembangan itu kita selalu bekerja sama dengan masyarakat sekitar, sedangkan pemerintah membantu bibit dan teknologi,'' jelasnya. (G2-53)