Desertasi Rancangbangunmodelkelembagaanintegrasiperencanaanpembangunanpeternakanstudikasusswasembada...
description
Transcript of Desertasi Rancangbangunmodelkelembagaanintegrasiperencanaanpembangunanpeternakanstudikasusswasembada...
NUGROHO ANANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PETERNAKAN (STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)
ABSTRACT
NUGROHO ANANTO. Institutional Integration Model for Livestock Development Planning, Case Study on Beef Self-Sufficiency. Supervised by ERIYATNO, MARIMIN, and ARIEF DARYANTO.
Beef self-sufficiency is part of national food security priorities stated in Presidential Regulation No.5/2010 on National Medium Term Development Plan 2010-2014, while for long-term development period based on Presidential Regulation No. 32/2011. The Ministry of Agriculture has issued General Guidelines for Beef Self-Sufficiency in 2010 which set a target of 90% fulfillment from domestic supply. Technically problems faced in achieving self-sufficiency are disparity between production and consumption, vulnerability of local cattle market to global markets influences, and low productivity of local cattle. This gap is observed from increasing amount of beef imports from 11.8 thousand tons in 2004 increased to 64.1 thousand tons in 2009. In addition, other challenge is implementation of self-sufficiency policy that involves various stakeholders with their roles and functions, in interacting systems as component of process, interrelation in running process, and interconnections within the system framework running dynamically according to the changing time and environmental conditions. These conditions have implications for the importance of alignment between planning and implementation in focused and consistent way through the coordination and synergy among development actors such are ministries, agencies, local governments, and businesses involved. This study aims to develop integrative model of institutional policies wich facilitate relationship across stakeholders in achieving self-sufficiency goals. Synthesis of policy model development requires multi-disciplinary skills, therefore the systems thinking approach was used with knowledge of experts as the thinking of respondents. This research are using several method of analysis network process (ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), and interpretive structural modeling (ISM) which is the soft system methodology (SSM). The study produces model with a viable system approach, emphasizing the importance of the role of relational capital in institutional relationships, as well as monitoring and evaluation. It is suggested that self-sufficiency policies and implementation programs should be carried out on small and medium-scale farms. In particular, the activities undertaken by individual farmers and production cooperatives at village level should be concentrated on Bali and Nusa Tenggara Corridor as proposed in the Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Development 2011-2025.
Keywords: Beef self-sufficiency, system thinking, thinking respondent, ANP, SAST, ISM, soft system methodology, viable system model, relational capital
RINGKASAN
NUGROHO ANANTO. Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan, Studi Kasus Swasembada Daging Sapi. Dibawah Bimbingan ERIYATNO, MARIMIN, dan ARIEF DARYANTO.
Swasembada daging sapi merupakan bagian dari prioritas ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, sedangkan untuk periode pembangunan jangka panjang telah ditetapkan pula Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Kementerian Pertanian telah menerbitkan Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi Tahun 2010 yang menetapkan sasaran swasembada dengan pemenuhan 90% kebutuhan nasional berasal dari sumber sapi lokal Indonesia. Secara teknis permasalahan yang dihadapi dalam pencapaian swasembada adalah kesenjangan produksi daging domestik dengan konsumsi, pasar sapi lokal rentan pengaruh pasar global, dan produktivitas sapi lokal yang masih rendah. Kesenjangan ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah impor daging sapi sebesar 11,8 ribu ton pada tahun 2004 bertahap naik menjadi 64,1 ribu ton pada tahun 2009. Selain hal tersebut tantangan lainnya adalah pelaksanaan swasembada yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi, terkait dalam sistem yang saling berinteraksi sebagai komponen sebuah proses, interrelasi dalam menjalankan proses, dan interkoneksi dalam kerangka sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan kondisi lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan kelembagaan integratif dan dapat memfasilitasi hubungan lintas pelaku pembangunan dalam pencapaian tujuan swasembada. Sintesis dalam pengembangan model kebijakan ini diperlukan keahlian multi disiplin, sehingga digunakan pendekatan system thinking dengan basis pengetahuan dari para pakar sebagai thinking respondents. Pengolahan hasil menggunakan metoda analysis network process (ANP), strategic assumption surfacing and testing (SAST), dan interpretative structural modeling (ISM) yang merupakan perangkat soft system methodology (SSM). Dengan menggunakan teknik ANP disimpulkan bahwa keberhasilan swasembada daging sapi nasional memerlukan prasyarat utama, yaitu integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian dalam swasembada daging sapi, penataan peran kelembagaan dan koordinasi pelaksanaan program, serta pengembangan kapasitas dan peningkatan sarana prasarana yang menjadi fokus utama pemerintah. Melalui teknik SAST, ditemukenali asumsi pencapaian swasembada daging sapi nasional memerlukan kebijakan tataniaga yang kondusif, keseimbangan supply -demand, dan koordinasi tingkat kebijakan juga merupakan hal yang penting dan besar pengaruhnya. Penggunaan teknik ISM untuk sembilan elemen sistem, disimpulkan pada tahap perencanaan program swasembada daging sapi nasional, Kementerian PPN/Bappenas bersama Kementerian Keuangan memiliki daya dorong paling tinggi, sedangkan pelaku usaha dan masyarakat peternak adalah pemangku kepentingan yang paling terpengaruh. Kondisi yang menjadi prasyarat dicapainya perencanaan swasembada daging sapi secara terintegrasi, yaitu tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah industri peternakan, kejelasan kebijakan program sektoral peternakan rakyat, dan ketersediaan anggaran bagi
penyelenggaraan pembibitan, pemulia-biakan serta pengembangan wilayah peternakan rakyat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang paling besar peran dan pengaruhnya adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Penelitian menghasilkan model dengan pendekatan viable system, menekankan pentingnya peran relational capital dalam hubungan kelembagaan, serta monitoring dan evaluasi. Selain hal tersebut juga menyarankan agar kebijakan dan pelaksanaan program swasembada dilaksanakan dengan memperhatikan keberpihakan pada peternakan skala kecil dan menengah, khususnya kegiatan yang diusahakan oleh peternak perorangan maupun koperasi produksi pada tingkat desa difokuskan pada Koridor Bali dan Nusatenggara sebagaimana ditetapkan dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011 - 2025.
Kata kunci: swasembada daging sapi, system thinking, thinking responden, ANP, SAST, ISM, soft system methodology, viable system model, relational capital.
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dalam pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
RANCANG BANGUN MODEL KELEMBAGAAN INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PETERNAKAN (STUDI KASUS SWASEMBADA DAGING SAPI)
NUGROHO ANANTO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Manajemen Bisnis
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup :
1. Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA
2. Dr. Ir. Machfud, MS
Tanggal Ujian Tertutup : 10 Januari 2012
Penguji pada Ujian Terbuka :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya Noorachmat, M.Eng.
2. Dr. Ir. Herry Suhermanto, MCP
Tanggal Ujian Terbuka : 27 Januari 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadiran Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya
sehingga disertasi dengan judul; “Rancang Bangun Model Kelembagaan Integrasi
Perencanaan Pembangunan Peternakan - Studi Kasus Swasembada Daging Sapi” ini dapat
diselesaikan. Disertasi ini disusun dengan melakukan penelitian di Kementerian
PPN/Bappenas dengan pendekatan sistem lukan menggunakan teknik ANP, SAST, dan ISM.
Dengan pendekatan dan teknik ini dapat disusun suatu sistem perencanaan pembangunan
yang terintegrasi dengan yang melibatkan para pemangku kepentingan dalam melaksanakan
peran dan fungsi yang saling terkait.
Penulis sadar bahwa proses penelitian ini memerlukan waktu yang lama, namun pada
sisi lain mendapatkan hikmah yang sangat berharga, karena mendapatkan bimbingan yang
sangat intens. Dalam proses ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir.
Eriyatno, MSAE dalam pembelajaran ilmu sistem dan riset kebijakan yang menjadi basis
dalam penelitian ini dan sekaligus telah memperkuat cara pandang dan cara berpikir penulis
dengan basis kesisteman. Demikian pula kepada Prof. Dr. Ir. Marimin, MSc sebagai anggota
Komisi pembimbing yang secara periodik memberikan bimbingan, dan kepada Dr.Ir. Arief
Daryanto, MEc, ditengah kesibukannya sebagai Ketua Program Studi Manajemen Bisnis
masih memberikan perhatian dan bimbingan selama proses disertasi ini.
Penghargaan disampaikan juga kepada Dr. Ir. Dida H. Salya, MA yang mendorong
dan membuka kesempatan hingga proses pembelajaran dan penelitian ini dapat difasilitasi
oleh Kementerian PPN/Bappenas. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada para pakar
atas kontribusi dalam panel pakar, indepth interview yang berperan sebagai thinking
respondents dalam penelitian ini. Penghargaan juga disampaikan kepada Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Riset dan Teknologi, serta Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi atas dukungan dan fasilitasi hingga terlaksananya
seminar, FGD, dan diskusi yang sangat mendukung penelitian ini.
Jakarta, Februari 2012
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH .................................................... ix
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Tantangan yang Dihadapi .................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 5 1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................. 5
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Sektor Pertanian .......................................................... 7 2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional .................................................. 17 2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya ............................................................. 24 2.4 Perancangan Kebijakan ........................................................................ 33 2.5 Pendekatan Sistem ............................................................................... 38 2.6 Teori Validasi Model ........................................................................... 55
3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 59 3.2 Sasaran, Waktu dan Ruang Lingkup Penelitian .................................... 60 3.3 Disain dan Tahapan Penelitian ............................................................. 62 3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi ........................................... 64 3.5 Metode Analisis Data .......................................................................... 66 3.6 Pilihan Validasi Model ....................................................................... 75
ii
4 ANALISIS SITUASIONAL 4.1 Swasembada Daging Sapi Nasional ..................................................... 77 4.2 Perencanaan Pembangunan Nasional Sektor Pertanian ....................... 87 4.3 Koordinasi dan Sinergi Program Lintas Kementerian dan Lembaga... 96 4.4 Keselarasan Peraturan Perundangan .................................................... 99 4.5 Kinerja Proses Penyusunan Kebijakan ................................................ 102 4.6 Perumusan Permasalahan .................................................................... 106
5 ANALISIS KEBIJAKAN 5.1 Pendekatan Pengembangan Kebijakan ................................................ 111 5.2 Pendekatan Sistem Klaster dalam Swasembada Daging Sapi ............. 114 5.3 Analisis dan Sintesis Hasil ANP .......................................................... 120 5.4 Asumsi Model Kebijakan Hasil SAST ................................................ 133 5.5 Struktur Sistem Elemen Model Integrasi Perencanaan Hasil ISM ...... 139
6 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN 6.1 Perencanaan Pembangunan Sub Sektor Peternakan ............................ 169
6.2 Model Integrasi Perencanaan dan Implementasi Swasembada Daging
Sapi ............. ........................................................................................
173
6.3 Model Kelembangaan dalam Program Swasembada Daging Sapi ...... 183 6.4 Kemitraan Strategis Dalam Swasembada Daging Sapi ……………… 190 6.5 Pengukuran Kinerja Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi .. 195 6.6 Penguatan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Nasional ......... 197 6.7 Implikasi Dalam Pola Perorganisasian ................................................ 199
7 SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan .......................................................................................... 207 7.2 Saran ..................................................................................................... 209
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 211
LAMPIRAN ......................................................................................................... 219
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Perbedaan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan ............................. 8 2.
Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia ............................................................ 9 3.
Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik ............................................... 21 4.
Besar Biaya Logistik terhadap Total Biaya yang Dikeluarkan ..................... 39 5.
Porsi Biaya Logistik terhadap PDB .............................................................. 39 6.
Taksonomi Mode Kordinasi dalam Rantai Pasok ......................................... 41 7.
Matriks Klasifikasi Sistem ............................................................................ 44 8.
Teknologi Manajemen pada Sistem Pengambilan Keputusan ...................... 45 9.
Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Indonesia ....................... 49 10.
Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Negara lain .................... 50 11.
Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 63 12.
Jenis Data dan Sumber Data Primer ............................................................. 64 13.
Jenis dan Sumber Data Sekunder .................................................................. 65 14.
Hubungan Kontekstual Antar Sub Elemen pada Teknik ISM ...................... 71 15.
Metodologi PPA 74 16.
Pemenuhan Permintaan Daging .................................................................... 77 17.
Kondisi Impor Daging Sapi dan Jeroan ........................................................ 78 18.
Evaluasi dan Perbaikan Pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi ... 80 19.
Kegiatan Operasional dalam Swasembada Daging Sapi .............................. 80 20.
Skenario Produksi Domestik dan Impor dalam Swasembada Daging Sapi .. 81 21.
Skenario Proyeksi Perkembangan Populasi, Produksi, dan Konsumsi ........ 81 22.
Ringkasan Anggaran Pembiayaan Swasembada Daging Sapi ..................... 82 23.
Hasil Sensus PSPK 2011 : Populasi Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Menurut Propinsi .........................................................................................
84
24.
Perkembangan Populasi Sapi Menurut Pulau 2003 – 2011 ........................... 85 25.
Substansi Inti dan Kegiatan Prioritas Terkait Swasembada Daging Sapi dalam Prioritas Ketahanan Pangan (Buku I: RPJMN 2010-2014) ...............
90
26.
Peran Kementerian dan Lembaga dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku II: RPJMN 2010-2014) ..............................................................
93
27.
Sinergi Antara Pusat dan Daerah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) .............................................................
94
28.
Fokus Pengembangan Wilayah dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014) .............................................................
95
iv
29.
Identifikasi Inisiatif Kementerian dan Lembaga Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi .............................................................................
97
30.
Peraturan Perundangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ..... 100 31.
Kebijakan Menteri Keuangan Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ...............................................................................................................
101
32.
Kebijakan Menteri Pertanian Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ...............................................................................................................
101
33.
Kebijakan Kementerian dan Lembaga lain Terkait Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi .............................................................................
102
34.
Proyeksi Pengembangan Sapi di Indonesia .................................................. 115 35.
Rekapitulasi Koefisien Kendall’s ................................................................ 120 36.
Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP .............................................................. 121 37.
Faktor Prioritas Utama bagi Pencapaian Swasembada Daging Sapi ........... 123 38.
Pengelompokan Prioritas Utama Dalam Klaster Strategi ............................ 124 39.
Asumsi Strategis Faktor Kondisi................................................................... 134 40.
Asumsi Strategis Kondisi Permintaan............................................................ 134 41.
Asumsi Strategis Kondisi Industri Pendukung ............................................. 135 42.
Asumsi Strategis Kondisi Persaingan Struktur Strategi ............................... 135 43.
Asumsi Strategis Kondisi Pemerintah ......................................................... 135 44.
Asumsi Strategis Kondisi Kesempatan ......................................................... 136 45.
Matrik Gabungan Hasil Analisis Menggunakan Teknik ANP, SAST, dan ISM ...............................................................................................................
171
46.
Matrik Hasil Sintesis dalam Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Peternakan ........................................................
172
47.
Peran Kelembagaan pada Sistem 1 – Implementasi .................................... 176 48.
Peran Kelembagaan pada Sistem 2 – Koordinasi ......................................... 177 49.
Peran Kelembagaan pada Sistem 3 – Kontrol Operasional .......................... 178 50.
Peran Kelembagaan pada Sistem 3* – Audit Kinerja ................................... 180 51.
Peran Kelembagaan pada Sistem 4 – Pengembangan .................................. 180 52.
Peran Kelembagaan pada Sistem 5 – Kebijakan .......................................... 182 53.
Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif ................................ 185 54.
Mekanisme Kooordinasi Kelembagaan Tingkat Strategig-Taktikal.............. 186 55.
Mekanisme Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional ......................... 187 56.
Mekanisme Pelaksanaan Aktivitas Pada Praktek Nyata................................ 189 57.
Peran Para pelaku Dalam Kemitraan Swasembada Daging Sapi 192 58.
Pengukuran Kinerja Kelembagaan................................................................. 197
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Kerangka Pikir PSDS 2014 .......................................................................... 16 2.
Kegiatan Pokok dan Kegiatan Operasional PSDS 2014 ............................... 17 3.
Interaksi Faktor Pemicu dalam Integrasi Sistem Agrikultur ........................ 26 4.
Kerangka Analisis Kebijakan Publik ............................................................ 34 5.
Pemetaan Tipologi Pemangku Kepentingan ................................................. 36 6.
Integrasi Strategis dalam Penciptaan Nilai Tambah ..................................... 38 7.
Model Referensi Proses Bisnis SCOR ......................................................... 42 8.
Rantai Pasik Daging Sapi di Indonesia ......................................................... 43 9.
Kerangka Kerja dari Intelektual Organisasi .................................................. 46 10.
Model Pengukuran Kinerja Kelembagaan..................................................... 47 11.
Siklus Pembelajaran Soft Systems Methodology ........................................... 49 12.
Rekayasa Variasi .......................................................................................... 51 13.
Viable System Model .................................................................................... 52 14.
Penyederhanaan Proses Pemodelan .............................................................. 56 15.
Peta Lingkungan Swasembada Dagung Sapi Nasional ................................ 59 16.
Diagram Input-Output Swasembada Daging Sapi ....................................... 60 17.
Disain dan Tahapan Penelitian ..................................................................... 62 18.
Jaringan Umpan Balik dalam ANP ............................................................... 66 19.
Pemeringkatan Asumsi Strategis dalam SAST ............................................. 69 20.
Kerangka Analisis Menggunakan Berlian Porter ......................................... 70 21.
Kerangka Analisis Menggunakan Pendekatan ISM ..................................... 72 22.
Prinsip Utama dalam Metode PPA ............................................................... 74 23.
Struktur Pemikiran dalam RPJMN 2010-2014 ............................................. 88 24.
Alur Pengembangan Bidang SDA dan LH ................................................... 92 25.
Kinerja Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ......... 103 26.
Kinerja Koordinasi antar Pemerintah Daerah ............................................... 104 27.
Kinerja Koordinasi antar Lembaga ............................................................... 104 28.
Faktor yang Mempengaruhi Koordinasi antar Lembaga/Instansi ................. 105 29.
Kebutuhan Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Lintas Sektor ............ 105 30.
Analisis Proses Kebijakan dalam Swasembada Daging Sapi ....................... 113 31.
Jumlah Penduduk dan Permintaan Daging Sapi ........................................... 116 32.
Kerangka Kebijakan Swasembada Daging pada Program ANP.................... 117 33.
Hasil Pairwised Comparations Kerangka ANP ........................................... 119
vi
34.
Urutan Prioritas Faktor Hasil ANP ............................................................... 122 35.
Hasil Analisis Klaster Input Lingkungan ...................................................... 125 36.
Hasil Analisis Klaster Pasokan ..................................................................... 127 37.
Hasil Ananlisis Klaster Kebutuhan ............................................................... 128 38.
Hasil Analisis Klaster Langkah Solusi ......................................................... 129 39.
Hasil Analisis Klaster Strategi ...................................................................... 131 40.
Pemeringkatan Asumsi Strategis dengan Teknik SAST ............................... 132 41.
Matrik Reachability Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ................. 141 42.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ...................................................................
142
43.
Struktur Sistem Elemen Kelompok Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh ..................................................................................................
143
44.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kebutuhan Program .........................................................................................................
145
45.
Struktur Sistem Elemen kebutuhan Program ................................................ 146 46.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kendala Program .........................................................................................................
148
47.
Struktur Sistem Elemen Kendala Program ................................................... 149 48.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Perubahan yang Dimungkinkan ......................................................................................
151
49.
Struktur Sistem Elemen Perubahan yang Dimungkinkan ............................. 153 50.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tujuan Program .........................................................................................................
154
51.
Struktur Sistem Elemen Tujuan Program ..................................................... 155 52.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Tolok Ukur Pencapaian Tujuan ........................................................................................
157
53.
Struktur Sistem Elemen Tolok Ukur Pencapaian Tujuan .............................. 159 54.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan untuk Implementasi Perubahan ........................................
161
55.
Struktur Sistem Elemen Aktivitas yang Dibutuhkan untuk Implementasi Perubahan ......................................................................................................
162
56.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Ukuran Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas ..........................................................
164
57.
Struktur Sistem Elemen Ukuran Penilaian Hasil Pelaksanaan Aktivitas ..... 165 58.
Matrik Driver Power-Dependence Sub Elemen pada Elemen Kelompok yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program ...................................................
167
59.
Struktur Sistem Elemen Kelompok yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program .........................................................................................................
168
vii
60.
Model Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi Nasional ......... 175 61.
Model Kelembagaan dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi ........... 184 62.
Pola Pikir Kemitraan Strategis dalam Swasembada Daging Sapi ................. 194 63.
Pengukuran Kinerja Dalam Pencapaian Swasembada Daging Sapi ............. 196 64.
Integrasi Optimum dari Tiga Fokus Pembangunan Nasional ........................ 199 65.
Pengorganisasian Intra- Organisasi Pada Kementerian PPN/BAPPENAS .. 201 66.
Hubungan Inter - Organisasi dalam Swasembada Daging Sapi ................... 203 67.
Intelektualitas Organisasi Kementerian/ Lembaga Dalam Program Swasembada Daging Sapi..............................................................................
205
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Contoh Kuesioner ANP ……………………………………………………. 221
2.
Prosedur Kerja Pengolahan Data Menggunakan ANP dengan Piranti Lunak Super Decisions……………………………………………………………..
223
3.
Contoh Kuesioner SAST .............................................................................. 231
4.
Contoh Kuesioner ISM................................................................................. 232
5.
Hasil Pengolahan ISM dengan software ISM …………………………….. 234
6.
Hasil-hasil ISM , SSIM Final yang telah memenuhi aturan transivitas ...... 254
7.
Gambaran Umum Responden Stakeholder Poll : Persepsi dan Kebutuhan Masyarakat terhadap Proses Penyusunan Kebijakan dan Perencanaan di Indonesia ......................................................................................................
258
8.
Data Responden Pakar untuk penetapan prioritas menggunakan ANP ...... 262
9.
Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging 2014”, diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas .........................................................................
264
10.
Data Responden Pakar dalam SAST Swasembada Daging Sapi…………… 268
11.
Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan Pengembangan Peternakan Berbasis Ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging 2014” oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian .........
269
12.
Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi” oleh Kementerian Riset dan Teknologi ...............................................
272
13.
Data Responden Pakar dalam ISM .............................................................. 274
14.
Data Responden Indepth Interview Swasembada Daging Sapi .................... 275
15.
Tatakelola Penelitian dan Langkah Penyelerasan Penggunaan 3 Metoda Penelitian ......................................................................................................
276
ix
DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH
1. ANP : Analitycal Network Process
Merupakan generalisasi dari AHP. Kelebihan ANP dari metodologi yang lain adalah kemampuannya untuk membantu dalam melakukan pengukuran dan sintesis sejumlah faktor-faktor dalam hierarki atau jaringan
2. ASUH : Aman Sehat Utuh Halal
Adalah sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan dengan kondisi:
- Aman, tidak mengandung bahaya-bahaya biologis, kimiawi dan fisik atau bahan-bahan yang dapat mengganggu kesehatan manusia;
- Sehat, Mengandung bahan-bahan yang dapat menyehatkan manusia (baik untuk kesehatan);
- Utuh, tidak dikurangi atau dicampur dengan bahan lain; - Halal, sesuai dengan syariat agama Islam;
3. CATWOE : Customer, Actor, Transformation Process, World View, Owner, Environment
CATWOE adalah singkatan untuk mengkategorikan berbagai pemangku kepentingan:
- Customer, penerima manfaat dari proses bisnis tingkat tertinggi dan bagaimana hal ini mempengaruhi mereka?
- Actor , yang terlibat dalam situasi ini, yang akan terlibat dalam pelaksanaan solusi dan apa yang akan mempengaruhi keberhasilan mereka?
- Transformation Process, proses atau sistem yang terpengaruh oleh isu tersebut?
- World View, gambaran besar dan apa dampak yang lebih luas dari masalah?
- Owner, pemilik proses atau situasi yang sedang diselidiki dan peran apa yang akan mereka mainkan dalam larutan?
- Environment, kendala dan keterbatasan yang akan berdampak solusi dan keberhasilan?
x
4. FGD : Focus Group Discussion
Adalah diskusi terfokus dari suatu group untuk membahas suatu masalah tertentu, dalam suasana informal dan santai. Jumlah pesertanya bervariasi antara 8-12 orang, dilaksanakan dengan panduan seorang moderator.
5. ISM : Interpretative Structural Modeling
Metode yang digunakan untuk menganalisis sistem yang kompleks dengan bantuan komputer yang memungkinkan untuk dapat melihat peta hubungan antara elemen-elemen yang terlibat.
6. K/L : Kementerian/Lembaga
7. K/L/D : Kementerian/Lembaga/Daerah
8. Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional
Forum antar pelaku dalam rangka menyusun perencanaan pembangunan
9. MP3EI : Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
Merupakan perencanaan pembangunan dalam periode 2011 – 2025, bagi 6 koridor ekonomi (sumatera, jawa, kalimantan, sulawesi, bali-nusatenggara, papua dan kep maluku) masing-masing dengan fokus kegiatan utama.
10. OIQ : Organizational Intelligence Quotient
Tingkat Kecerdasan Organisasi
11. OIt : Decision/Reaction Time
Waktu respon dalam pengambilan keputusan
12. OIs : Processing Speed
Kecepatan penyelesaian tugas, dan tetap menjaga kolaborasi
13. OIq : Quantitative Knowledge
Kemampuan analisis, sintesis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan masalah
xi
14. OIrwr : Reading/Writing/Recording Ability
Kemampuan melakukan pertukaran informasi intra dan inter-organisasi dalam format terpadu
15. OIv : Visual Processing
Kemampuan mengolah, menyajikan data/informasi dalam bentuk gambar pola, grafis, animasi/bentuk visual lainnya
16. OImr : Working Memory and Retrieval
Kemampuan menyimpan dan mengolah data, serta menyajikan dalam laporan
17. PSDS : Program Swasembada Daging Sapi Nasional
18. PPN : Perencanaan Pembangunan Nasional
19. Rakorbangpus : Rapat Koordinasi Pembangunan Nasional
Merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan nasional dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang dilaksanakan dalam setiap tahun.
20. RENSTRA : Rencana Strategis
Perencanaan Program dan Anggaran Kementerian/Lembaga untuk jangka waktu 5 tahunan
21. RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Perencanaan Program dan Anggaran Propinsi/Kabupaten/ Kota untuk jangka waktu 5 tahunan
22. RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik Indonesia untuk jangka waktu 5 tahunan
23. RPJP : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Perencanaan Program dan Anggaran Negara Republik Indonesia untuk jangka waktu 25 tahunan
24. SAST : Strategic Assumption Surfacing and Testing
Merupakan teknik untuk menganalisis asumsi strategis dari para pakar yang dikelompokan dalam tingkat kepentingan dan tingkat kepastian
xii
25. SCOR : Supply Chain Operation Reference
Merupakan suatu referensi model yang digunakan untuk mengukur kinerja dari rantai pasok.
26. SSM : Soft System Methodology
Metodologi sistem lunak merupakan kerangka kerja pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi atau masalah yang sulit untuk didefinisikan, dengan membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam atas situasi atau masalah sesuai fenomena yang dihadapi
27. UU SPPN : Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Suatu kesatuan tatacara yang mengatur perencanaan pembangunan untuk menghasilkan perencanaan pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggaraan negara dan masyarakat pada tingkat pusat maupun daerah
28. VSM : Viable Systems Model
Model sistem yang layak merupakan representasi dari sistem yang diatur sedemikian rupa untuk dapat beradaptasi dan memenuhi tuntutan lingkungan yang berubah. Sistem ini terdiri dari lima sub sistem yang berinteraksi dan dapat dipetakan dalam struktur organisasi.
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.1.1 Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan sebagai ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk
mengidentifikasi kondisi dan permasalahan riil yang dihadapi, mengantisipasi
perkembangan lingkungan strategik, mengembangkan berbagai skenario mengenai
berbagai kemungkinan yang terjadi, mendapatkan solusi atas masalah-masalah yang
dihadapi bangsa dan berbagai alternatif kebijakan untuk mewujudkan cita-cita dan
tujuan bernegara, maka keberadaan dan perannya sangat diperlukan dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.
Kathleen (2001) menekankan pentingnya kerangka kerja strategis dan
koordinasi dalam proses perencanaan yang harus dilaksanakan oleh lembaga
perencana, sebagai berikut:
1. Melaksanakan koordinasi dalam pengembangan dan pemeliharaan kebijakan
kerangka kerja strategis bagi organisasi, terkait dengan proses perencanaan
anggaran yang secara sistematis merefleksikan, perilaku dan pendekatan
lintas sektor;
2. Bekerjasama lintas fungsi dalam organisasi untuk mengembangkan
kebijakan yang dapat mengatasi hambatan lintas-fungsi (misal:
tanggungjawab bersama dan penyederhanaan proses);
3. Meninjau ulang fokus riset dan aktivitas evaluasi lintas-organisasi untuk
lebih menyelaraskan mereka dengan kebijakan kerangka kerja strategis;
4. Memastikan fokus strategis yang kuat dalam proses pengajuan anggaran
melalui proposal yang dihasilkan dari diskusi, pengembangan mekanisme
yang lebih baik melalui pemantauan penggunaan anggaran dalam
pelaksanaan program;
5. Menyediakan keahlian dan diseminasi pengetahuan dalam kebijakan sosial
dalam arti yang luas yang relevan dengan kegiatan organisasi;
6. Membangun hubungan kemitraan yang erat, baik dengan pemangku
kepentingan internal dan eksternal untuk membangun kesepahaman atas
kebijakan kerangka kerja strategis dan dalam pencapaian tujuan organisasi.
2
Selaras dengan pendapat tersebut melalui Undang-Undang No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) dalam Bab II,
pasal 2 ayat (4) menjelaskan bahwa : Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
bertujuan untuk: (a) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; (b)
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antarDaerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
(c) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan; (d) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan (e)
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,
dan berkelanjutan.
1.1.2 Swasembada Daging Sapi Nasional sebagai Program Nasional
Swasembada daging sapi merupakan program pembangunan untuk sub
sektor peternakan yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan
nasional. Keberhasilan PSDS 2014 diharapkan tidak hanya dapat memberikan
kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan pendapatan
dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional. Beberapa
landasan hukum pelaksanaan swasembada daging sapi sebagai sebuah program
pembangunan nasional antara lain adalah:
1. Bagian dari prioritas pembangungan ketahanan pangan nasional sesuai
Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014);
2. Pengarahan Bapak Presiden RI kepada para Menteri dan Gubernur se-
Indonesia dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi
Nasional, yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010;
3. Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025)
telah ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan
difokuskan pada Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara;
4. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) yang
diterbitkan berdasarkan Permentan No. 19/Permentan/OT.140/2/2010,
tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi 2014;
3
Dalam hubungan itu semua, tantangan mendasar yang timbul dalam
perencanaan pembangunan adalah bagaimana menjaga konsistensi antara dasar
negara sebagai falsafah bangsa dalam bernegara yang merupakan ‘pemersatu jiwa
dan pikiran bangsa’ dengan pilihan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan, dan antar keduanya dengan strategi, kebijakan, program,
kegiatan-kegiatan, dan kinerja pembangunan (Bappenas, 2009).
Berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas dipandang perlu untuk dilakukan
penelitian, khususnya berkaitan pola pengorganisasian perencanaan pembangunan
nasional yang terintegrasi dengan menggunakan studi kasus program swasembada
daging sapi nasional, agar dapat mendukung tercapainya amanat dalam UU SPPN
khususnya pada Bab II, pasal 2, ayat (4), bagian (b) menjamin terciptanya integrasi,
sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang, antarwaktu, antarfungsi
pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.
1.2 Tantangan yang Dihadapi
Pelaksanaan swasembada daging sapi nasional akan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan dengan masing-masing peran dan fungsi, saling terkait
sebagai sebuah sistem yang (1) saling berinteraksi sebagai komponen sebagai
sebuah proses; (2) interrelasi dalam menjalankan proses sebagai sebuah sistem; dan
(3) interkoneksi diantara sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan
kondisi lingkungannya.
Sebagai sebuah sistem yang harus berjalan berbasis pada multi pemangku
kepentingan dan multi disiplin telah diantisipasi dalam RPJMN 2010-2014 maupun
Blue Print PSDS 2014, dalam RPJMN 2010-2014 dinyatakan bahwa pelaksanaan
program “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam”
merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam
pelaksanaan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, antara lain
adalah : (1) Menteri Pertanian; (2) Menteri Pekerjaan Umum; (3) Menteri
Komunikasi dan Informatika; (4) Menteri Perhubungan; (5) Menteri Perindustrian;
(6) Menteri Keuangan; (7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri
4
Kesehatan; (9) Menteri Negara Lingkungan Hidup; (10) Kepala Badan Penerapan &
Pengkajian Teknologi; (11) Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Keterkaitan dalam lintas kementerian, lembaga maupun antara pusat dan
daerah juga dinyatakan dalam Blue Print PSDS 2014. Keberhasilan pencapaian
swaaembada daging sapi nasional memerlukan dukungan dan partisipasi dari
berbagai pemangku kepentingan, antara lain: (1) Kementerian Pertanian; (2)
Kementerian Keuangan; (3) Kementerian Perdagangan; (4) Kementerian
Perindustrian; (5) Kementerian Dalam Negeri; (6) Kementerian Koperasi dan UKM;
(7) Kementerian Daerah Tertinggal; (8) Kementerian BUMN; (9) Kementerian Riset
dan Teknologi; (10) Kementerian Pendidikan; (11) BATAN; (12) LIPI; (13)
Perbankan; dan (14) 33 Propinsi yang terdiri dari 20 prpinsi sebagai lokasi prioritas
serta 13 propinsi sebagai lokasi pendukung.
Menjadi jelas bahwa dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan
program swasembada daging sapi nasional merupakan gambaran dari sebuah sistem
yang kompleks dan dinamis yang harus dikelola dengan baik, agar dapat dicapai
pola koordinasi lintas pemangku kepentingan menuju sinergi program dan anggaran
untukfokus dalam mencapai sasaran swasembada daging sapi nasional.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan
pembangunan peternakan ini adalah:
1. Melakukan analisis situasional berkaitan dengan kondisi lingkungan
pembangunan peternakan, khususnya berkaitan dengan pencapaian
swasembada daging sapi;
2. Melakukan analisis kebijakan untuk menemukenali kesenjangan yang terjadi
dalam implementasi kebijakan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
upaya swasembada daging sapi;
3. Membangun model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan
pembangunan peternakan khususnya terkait dengan upaya pencapaian
swasembada daging sapi, meliputi pola pengorganisasian, penataan peran,
dan pengukuran kinerja kelembagaan.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Model kelembagaan yang integratif dalam perencanaan pembangunan sektor
pertanian, khususnya terkait dengan upaya pencapaian swasembada daging sapi
yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
berbagai pemangku kepentingan antara lain:
1. Bagi Kementerian PPN/Bappenas:
a. Diperoleh metode yang efektif dalam pola pengorganisasian proses
perencanaan pembangunan nasional;
b. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan dan
disertai dengan peran dan fungsi yang harus dilakukan dalam konteks
intra-organization maupun inter-organization;
2. Bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah:
a. Diperoleh kerangka pikir dan alur proses perencanaan pembangunan
dengan peran, fungsi dan pengaruh terhadap tercapainya efektivitas
proses perencanaan pembangunan;
b. Teridentifikasinya faktor-faktor dominan yang mempengaruhi
efektivitas proses perencanaan pembangunan, dan inisiatif strategis yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya ;
3. Bagi kalangan Perguruan Tinggi dan masyarakat ilmiah:
a. Adanya referensi yang dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat
(causal-link) secara sistematis untuk meningkatkan efektivitas proses
perencanaan pembangunan nasional;
b. Adanya referensi baru berupa penilitian kebijakan dengan metode,
sistem pakar dan soft system methodology, khusunya dalam bidang
penelitian proses perencanaan pembangunan nasional;
1.5 Kebaruan Penelitian
Penelitian ini akan dapat memberikan kontribusi kebaruan dalam bentuk,
antara lain:
1. Rumusan atau desain model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan
nasional yang efektif, meningkatkan integrasi pembangunan antara pusat dan
daerah, maupun sinkronisasi antarsektor pembangunan;
6
2. Teridentifikasinya faktor dominan yang melibatkan peran dan fungsi
pemangku kepentingan yang mempengaruhi efektivitas proses perencanaan;
3. Model kelembagaan terintegrasi dalam pengorganisasian perencanaan
pembangunan swasembada daging sapi, dengan penjabaran kerangka kerja
pada tingkat kelembagaan (strategik) dan taktikal-operasional.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Sektor Pertanian
2.1.1 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan
Sen (1981) berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang
kerap beragumentasi bahwa ketidak-tahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah
soal produksi dan ketersediaan semata. Sedangkan dengan mengangkat berbagai
kasus di India dan Afrika, Sen mampu menunjukkan bahwa ketidak-tahanan pangan
dan kelaparan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements
failures) bahkan ketika produksi pangan berlimpah, ibarat “tikus mati di lumbung
padi”.
Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada
produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara
bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi
tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar
internasional. Sebaliknya, negara yang melakukan swasembada produksi pangan
pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rawan pangan karena ada
hambatan akses dan distribusi pangan (Stevens, 2000).
Cowan dalam Lassa (2006) mencatat perubahan kebijakan dan pendefinisian
formal ketahanan pangan dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan yang
terjadi di beberapa negara. Contohnya, Malaysia mendefinisikan ulang ketahanan
pangannya sebagai swasembada 60% pangan nasional. Sisanya 40% didapatkan dari
impor pangan. Malaysia kini memiliki tingkat ketahanan pangan yang kokoh.
Swasembada pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan
pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan lebih mengutamakan
akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan
produktif. Hanani (2009a) menjelaskan perbedaan antara swasembada pangan dan
ketahanan pangan seperti dijelaskan dalam Tabel 1.
8
Tabel 1. Perbedaan swasembada pangan dan ketahanan pangan
Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan (1) (2) (3)
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu Sasaran Komoditas pangan Manusia Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses
pangan, dan penyerapan pangan Output Peningkatan produktivitas
pangan Status gizi (penurunan: kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh domestik
Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani (2009)
Lassa (2006) dan Hanani (2009a) telah melakukan studi pustaka atas 200
definisi dan 450 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan. Berikut disajikan
beberapa definisi ketahanan pangan yang sering menjadi acuan sebagai berikut:
1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975: ketahanan pangan adalah
“ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu ... - untuk
menjaga keberlanjutan konsumsi pangan - ... dan menyeimbangkan fluktuasi
produksi dan harga.”
2. FAO 1992: Ketahanan pangan adalah “situasi dimana semua orang dalam
segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan
bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3. World Bank 1996: Ketahanan pangan adalah: “akses oleh semua orang pada
segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat dan aktif.”
4. Oxfam 2001: Ketahanan pangan adalah kondisi etika: “setiap orang dalam
segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang cukup dan
kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua kandungan makna
tercantum di sini, yakni: ketersediaan dalam artian kualitas dan kuantitas dan
akses (hak atas pangan melalui pembelian, pertukaran maupun klaim).
5. FIVIMS 2005: Ketahanan pangan adalah: kondisi ketika ”semua orang pada
segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada pangan
yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi (dietary
needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi kehidupan yang aktif dan
sehat.
6. Indonesia – UU No. 7/1996: Ketahanan pangan adalah: “Kondisi dimana
terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari
9
ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya jaminan
atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan membeli.
7. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai
akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi
untuk kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketahanan
pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi (Hanani, 2009a) adalah: (1)
Berorientasi pada rumah tangga dan individu; (2) Dimensi waktu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses; (3) Menekankan pada akses pangan rumah tangga dan
individu, baik fisik, ekonomi dan sosial; (4) Berorientasi pada pemenuhan gizi; (5)
Ditujukan untuk hidup sehat dan produktif.
2.1.2 Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan di Indonesia
Lassa (2006) menyatakan bahwa Indonesia bergumul dengan upaya mencapai
swasembada pangan sejak 1952 hingga hari ini. Pencapaian swasembada pangan
1984 tidak mampu dijaga secara berkelanjutan. Susilo Bambang Yudhoyono gencar
mempromosikan “revitalisasi pertanian”, dengan upaya mencapai swasembada beras
maupun non-beras. Melalui pengarus-utamaan pangan alternatif seperti jagung,
singkong, di samping beras. Karena itu, di atas kertas, ada peningkatan kualitas
kebijakan dibandingkan rezim kepresidenan sebelumnya. Revitalisasi pertanian
termasuk di dalamnya juga pembangunan sektor agribisnis demi terciptanya nilai
tambah komoditas agribisnis demi pendapatan dan akses atas pangan yang lebih
baik. Sejarah kebijakan pangan di Indonesia sejak tahun 1950 sampai dengan tahun
2005 (Lassa, 2006) dapat dikemukakan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia
Orde Rezim Pemerintahan
Kebijakan Pangan Catatan
(1) (2) (3) (4) Orde lama (pasca kemerdekaan)
Soekarno 1952-1956
Swasembada beras melalui program kesejahteraan Kasimo
- 1950-1952: BAMA (Yayasan Bahan Makanan)
- 1953-1956: YUBM (Yayasan Urusan Bahan Makanan)
Soekarno 1956-1964
Swasembada beras melalui program sentra padi
- 1956:YBPP (Yayasan Badan Pembelian Padi)
- 1963: Subsitution Jagung - 1964: PP No. 3-Food Material Board - 1964: Bimas dan “Panca Usaha” Tani
10
Tabel 2 (lanjutan) Orde Rezim
Pemerintahan Kebijakan
Pangan Catatan (1) (2) (3) (4)
Pemerintahan Transisi 1965-1967
- 1996: Komando Logistik Nasional (KOLOGNAS)
- 1967: dibubarkannya KOLOGNAS - 1967:14/05, Badan Urusan Logistik
(BULOG) didirikan dan berfungsi sebagai pembeli beras tunggal
Orde baru (orde pembangunan)
Soeharto Repelita 1 &2: 1969-1979
Swasembada beras
- 1969: Tambahan tugas Bulog: Manajemen Stok Penyangga Pangan Nasional – dan penggunaan neraca pangan nasional sebagai standar ketahanan pangan.
- 1971: Tambahan tugas Bulog sebagai pengimpor gula dan gandum
- 1973: Lahirnya Serikat Petani Indonesia - 1974: Tambahan tugas Bulog:
Pengadaan daging untuk DKI Jakarta - 1974: Penggunaan Revolusi Hijau untuk
mencapai swasembada beras - 1977: Tambahan Tugas Bulog: Kontrol
impor kacang kedelai - 1978: Penetapan harga dasar jagung,
kedelai, kacang tanah dan kacang hijau Soeharto Repelita 3&4: 1979-1989
Swasembada beras
- 1978:Kepres 39/1978, pengembalian tugas Bulog sebagai kontrol harga untuk gabah, beras, tepung gandum, gula pasir dll.
- 1984: Medali dari FAO atas tercapainya swasembada pangan.
Soeharto Repelita 5,6,7: 1989-1998
Swasembada beras
- 1995: Penganugerahan pegawai Bulog sebagai PNS
- 1997: Perubahan fungsi Bulog untuk mengontrol hanya untuk harga beras dan gula pasir
- 1998: Penetapan harga dasar jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau
Reformasi (Transisi)
Habibie 1998/1999
Swasembada beras
1998/1999: Penjualan pesawat IPTN yang ditukar dengan beras Thailand
A. Wahid 1999/2000
Swasembada beras
2000: Penugasan tugas Bulog untuk management logistic beras (penyediaan, distribusi dan kontrol harga)
Reformasi (setelah 2000)
Megawati 2000/2004
Swasembada beras
- 2003: Privatisasi Bulog - 2004: No-Option Strategy kecuali
swasembada beras S. Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2009)
“Revitalisasi Pertanian”
2005: “revitalisasi pertanian”- komitmen (janji) untuk peningkatan pendapatan pertanian untuk GDP, pembangunan agribisnis yang mampu menyerap tenaga kerja dan swasembada beras, jagung serta palawija
Sumber : Lassa (2006), dikelola sendiri dari Mears 1984, Mears dan Moeljono 1981 dan berbagai sumber.
11
2.1.3 Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Ketahanan pangan nasional merupakan salah satu pondasi utama
pembangunan nasional lima tahun ke depan. Dalam RPJMN 2010-2014 program
aksi bidang pangan merupakan prioritas ke 5 dari pembangunan nasional, dengan
tema : “Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan Indeks
Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada tahun 2014”. Pelaksanaan program aksi ini
merupakan tanggungjawab Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Masih dalam kerangka program aksi tersebut, untuk program kerja bidang
pangan dapat diidentifikasikan beberapa substansi inti/kegiatan prioritas yang terkait
langsung dengan sub sektor peternakan adalah sebagai berikut:
1. Koordinasi bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan, dengan
sasaran meningkatnya koordinasi kebijakan, serta indikator jumlah
rekomendasi pembangunan peternakan dan veteriner, diseminasi, promosi dan
publikasi;
2. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner, dengan sasaran
meningkatnya inovasi teknologi peternakan veteriner mendukung program
percepatan produksi swasembada; serta dengan indikator : (1) jumlah SDG
peternakan, TPT dan veteriner yang dikonservasi dan dikarakterisasi; (2)
jumlah galur baru ternak dan TPT yang dihasilkan; (3) jumlah inovasi
peternakan, TPT dan veteriner yang dihasilkan dan dialihkan/ didesiminasikan
kepada pengguna;
3. Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan
sumber daya lokal, dengan sasaran dan indikator sebagai berikut :
a. Sasaran peningkatan kualitas dan kuantitas benih dan bibit ternak, dengan
indikator peningkatan kuantitas semen (dosis);
b. Sasaran penguatan kelembagaan pembibitan dengan good breeding
practices, dengan indikator peningkatan produksi embrio;
c. Sasaran penerapan standar mutu benih dan bibit ternak, dengan indikator
peningkatan kuantitas bibit sapi;
12
d. Sasaran penerapan teknologi pembibitan, dengan indikator peningkatan
kuantitas bibit unggas lokal;
e. Sasaran pengembangan usaha dan investasi pembibitan, dengan indikator
peningkatan kuantitas bibit kambing dan domba;
4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya
lokal, dengan sasaran meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia,
serta dengan indikator : (1) pengembangan ternak potong (ekor); (2)
pengembangan sapi perah (ekor); (3) pengembangan integrasi tanaman ternak
(unit); (4) pengembangan ternak ruminansia;
5. Peningkatan produksi ternak non ruminansia dengan pendayagunaan sumber
daya lokal, dengan sasaran meningkatnya pendayagunaan sumber daya lokal
ternak non ruminansia, serta dengan indikator : (1) pengembangan kelompok
non unggas; (2) pengembangan pakan ternak; (3) pengembangan alsin ternak;
2.1.4 Tantangan Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Pada negara-negara berkembang, meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi
dan peningkatan pendapat per kapita akan memicu peningkatan konsumsi daging
dan produk ternak lain, hal ini memberikan peluang mendorong peningkatan
produksi untuk produk produk peternakan. Kondisi ini memerlukan upaya
intensifikasi yang akan melibatkan cara-cara baru dalam sistem produksi, teknologi,
serta pemasaran.
Selain membawa peluang, hal tersebut juga juga menimbulkan berbagai
kendala. Pengembangan usaha peternakan komersil dan terintegrasi secara besar-
besaran akan mematikan usaha peternakan rakyat, sehingga dapat memperburuk
kemiskinan di wilayah pedesaan. Usaha peternakan yang dikelola dengan baik,
secara dinamis akan dapat menjadi katalisator dalam merangsang pertumbuhan
ekonomi pedesaan. Untuk itu diperlukan peran pemerintah melalui kebijakan yang
pro aktif, baik untuk sektor swasta maupun publik. Steinfeld (2003) mengemukakan
beberapa hal yang dapat menjadi perhatian dalam upaya fasilitasi oleh pemerintah,
antara lain:
1. Meninjau ulang kebijakan yang tidak selaras dengan upaya peningkatan
produsen dalam ekonomi skala kecil;
13
2. Membangun kapasitas institusional dan infrastruktur yang akan
memungkinkan produsen berskala kecil di pedesaan untuk meningkatkan
kemampuan bersaing, serta mengembangkan usaha peternakan secara
terintegrasi;
3. Memfasilitasi terciptanya lingkungan yang kondusif, melalui investasi sektor
publik yang dapat mendorong peningkatan produksi melalui perbaikan tingkat
efisiensi dan produktivitas, dan
4. Secara efektif mengurangi ancaman lingkungan, hewan dan risiko kesehatan
manusia bagi manusia.
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan peningkatan
pendapatan telah meningkatkan permintaan produk-produk peternakan, hal ini
mendorong dinamika sektor peternakan di negara-negara berkembang. Sementara
itu bagi negara maju sektor peternakan relatif mengalami stagnasi, disisi lain mereka
memiliki sistem produksi yang terus meningkat efisiensinya dan lebih ramah
lingkungan. Persaingan bisnis peternakan masa depan akan bertumpu pada
ketersediaan sumber daya alam terutama lahan dan air. Produksi ternak akan
semakin terpengaruh oleh pembatasan karbon dan perundangan yang mengatur
kesejahteraan lingkungan dan hewan. Permintaan produk peternakan di masa depan
bisa dikontrol oleh faktor-faktor sosio-ekonomi seperti masalah kesehatan manusia
dan perubahan nilai-nilai sosial-budaya (Thornton, 2010).
2.1.5 Permasalahan Pembangunan Sub Sektor Peternakan
Daryanto (2009) menyatakan empat permasalahan mendasar yang
memerlukan perhatian khusus dalam pembangunan peternakan, adalah:
1. Keterpaduan yang sinergis dari kebijakan lintas sektoral untuk menwujudkan
kesejahteraan masyarakat peternak belum optimal. Fenomena sektor sentris
(egosektoral) masih mewarnai penyelenggaraan pembangunan peternakan.
Pada masa mendatang, perlu dibangun kerjasama lintas sektoral terkait
pertanian, peternakan (interlinkages), baik yang berada di hulu maupun di
hilir. Perlu komitmen nasional atau adanya konvergensi nasional diantara
komponen bangsa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), bahwa sektor pertanian
termasuk peternakan merupakan landasan kokoh bagi pembangunan nasional.
14
2. Kebijakan makro ekonomi baik di bidang moneter, fiskal, perdagangan dan
investasi belum sepenuhnya berpihak kepada peternakan dan lebih bias kepada
sektor industri jasa. Pemerintah seharusnya mampu menciptakan iklim usaha
yang kondusif, sehingga mampu merangsang investor baik domestik maupun
asing;
3. Kebijakan dari sektor-sektor non-peternakan yang secara konsisten
memfasilitasi dan mendukung pembangunan peternakan antara lain dukungan
agroindustri, dukungan permodalan, dan lainnya. Keterbatasan dukungan
sektor non-peternakan tersebut akan mengurangi efisiensi yang pada akhirnya
akan menurunkan daya saing sektor peternakan;
4. Inkonsistensi antar kebijakan dan peraturan yang dapat berpengaruh langsung
terhadap tingkat pendapatan dan kesejahteraan peternak. Masih pada kesempatan yang disampaikan pula lima fenomena yang terjadi
pada kebijakan pemerintah yang kurang kondusif bagi pengembangan sektor
peternakan. Fenomena ini diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya
agripesimisme, yaitu: (1) kebijakan pemerintah yang bersifat “double squeeze”; (2)
kebijakan pemerintah yang bersifat “price scissors”; (3) salah mengartikan proses
perubahan struktural dalam perekonomian; (4) belanja publik yang belum memadai;
dan (5) adanya penurunan bantuan donor bagi sektor pertanian-peternakan dan
pembangunan perdesaan.
2.1.7 Swasembada Daging Sapi Nasional
Penetapan sebagai Program Nasional
Penetapan swasembada daging sapi sebagai sasaran pencapaian dari program
pembangunan nasional untuk sub sektor peternakan dinyatakan dalam beberapa
kebijakan pemerintah baik yang tertuang dalam dokumen perencanaan maupun
dalam pengarahan Bapak Presiden RI dalam berbagai kesempatan.
Dalam Rapat Kerja Program Percepatan dan Peningkatan Ekonomi Nasional,
yang dilaksanakan tanggal 19-21 April 2010, Bapak Presiden RI memberikan
pengarahan kepada para Menteri dan Gubernur se-Indonesia bahwa sasaran
pencapaian ketahanan pangan dan air (direktif ke 7) adalah: (1) revitalisasi pangan
gelombang 2 selesai pada 2014, dengan target (a) memantapkan swasembada beras,
(b) swasembada jagung, gula, dan daging sapi; (2) hilirisasi industri pangan; (3)
15
memantapkan Indonesia sebagai pemasok pangan dunia (fee the world), serta (4)
komoditas strategis makin cukup (Bappenas, 2010).
Hal tersebut diatas selaras dengan target pencapaian pada prioritas
pembangunan ke-5 dalam ketahanan pangan nasional yang dinyatakan pada
Peraturan Presiden No.5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014 (RPJMN 2010-2014). Kondisi ketahanan pangan nasional yang
akan dicapai adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup, bergizi seimbang,
dan terjangkau bagi seluruh masyarakat. Pencapaian ketahanan pangan nasional
memerlukan dukungan penuh dari revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan.
Dengan memperhatikan kondisi dan permasalahan yang ada, untuk prioritas bidang
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan telah ditetapkan 5 (lima) fokus prioritas, yaitu : (1) Peningkatan Produksi
dan Produktivitas untuk Menjamin Ketersediaan Pangan dan Bahan Baku Industri
dari Dalam Negeri; (2) Peningkatan Efisiensi Sistem Distribusi dan Stabilisasi Harga
Pangan; (3) Peningkatan Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi Pangan; (4) Peningkatan
Nilai Tambah, Daya Saing, dan Pemasaran Produk Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan; serta (5) Peningkatan Kapasitas Masyarakat Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Secara lebih spesifik dinyatakan bahwa sasaran utama pembangunan
nasional, ditetapkan sasaran pembangunan kesejahteraan rakyat, secara spesifik
untuk bidang pangan, telah ditetapkan target yang harus dicapai adalah sebagai
berikut (Bappenas, 2010):
1. Produksi padi : tumbuh 3,22 persen per tahun
2. Produksi jagung : tumbuh 10,2 persen per tahun
3. Produksi kedelai : tumbuh 20,05 persen per tahun
4. Produksi gula : tumbuh 12,55 persen per tahun
5. Produksi daging sapi : tumbuh 7,30 persen per tahun
Untuk merealisasikan sasaran pencapaian swasembada daging sapi sebagai
program nasional, Kementerian Pertanian telah menerbitkan Permentan No.
19/Permentan/OT.140/2/2010, tentang Pedoman Umum Swasembada Daging Sapi
2014, dilengkapi dengan Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
(PSDS 2014) dengan beberapa kali penyempurnaan. PSDS 2014 ini merupakan
tindak lanjut program swasembada daging yang pernah dicanangkan pada tahun
2005 dan tahun 2010. Gambar 1 menjelaskan bahwa keberhasilan PSDS 2014 tidak
16
terlepas dari kontribusi kementerian/lembaga yang melakukan peran dalam
mendukung swasemabada, pencapaian swasembada diharapkan tidak hanya dapat
memberikan kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional, tetapi juga peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan peternak serta pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
Gambar 1. Kerangka pikir PSDS 2014
Selaras dengan visi pembangunan nasional yang tertuang dalam UU No. 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025,
melalui Peraturan Presiden No. 32 tahun 2011, tentang Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011-2025) telah
ditetapkan bahwa kegiatan ekonomi utama bidang peternakan difokuskan pada
Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara. Pengembangan kegiatan ekonomi utama
peternakan pada koridor ini akan difokuskan pada pengembangan kawasan
agribisnis dengan industri utama pengolahan daging sapi (food animal industry) dan
industri pendukung yaitu industri tepung tulang, kulit, pupuk organik dan biogas
(non food animal industry). Produk peternakan tidak hanya dikonsumsi secara lokal,
namun didistribusikan ke konsumen wilayah lain.
17
Pengertian Swasembada Daging Sapi Nasional
Sesuai dengan pernyataan dalam Blue Print PSDS 2014 bahwa untuk skenario
most likely bahwa:
- swasembada daging sapi nasional dapat memenuhi 90% kebutuhan
dalam negeri secara konsisten dan berkelanjutan -
Pada skenario ini, diperlukan upaya khusus yang bersifat terobosan dalam rangka
meningkatkan produksi dan produktivitas ternak, menerbitkan regulasi yang
kondusif dan menerapkan sistem perkarantinaan yang kuat. Gambar 2 menjelaskan
langkah yang dilakukan untuk mencapai swasembada daging adalah dengan
melaksanakan 5 kegiatan pokok dan 13 kegiatan operasional.
Sumber : Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014
Gambar 2. Kegiatan pokok dan kegiatan operasional PSDS 2014
2.2 Perencanaan Pembangunan Nasional
2.2.1 Pengertian Perencanaan Pembangunan
Perencanaan pembangunan merupakan fungsi manajemen pemerintahan yang
dilaksanakan oleh lembaga negara untuk mengemban tugas perjuangan mencapai
tujuan bernegara yang secara jelas tercantum dalam konstitusi negara.
Pendapat para ahli di bidang perencanaan pembangunan, dapat kita jumpai
beberapa rumusan mengenai makna perencanaan pembangunan dan lingkup
kegiatan pekerjaan perencanaan pembangunan, sebagai berikut:
18
1. Myrdal (1957) menyatakan bahwa rencana merupakan suatu pemrograman
dari suatu strategi pemerintahan dalam pembangunan nasional dengan
menggunakan sistem intervensi dan mekanisme pasar.
2. Nitisastro (1963) berpandangan bahwa “Perencanaan pada asasnya berkisar
pada dua hal. Pertama adalah penentuan secara sadar mengenai tujuan-
tujuan konkrit yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu atas dasar
nilai-nilai yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan; dan yang kedua
adalah di antara cara-cara alternatif yang efisien serta rasional guna mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Baik untuk penentuan tujuan yang meliputi jangka
waktu tertentu maupun bagi pemilihan cara-cara tersebut diperlukan ukuran
atau kriteria-kriteria tertentu yang terlebih dahulu harus dipilih”.
3. Seiring dengan itu, Lewis menyatakan bahwa perencanaan pembangunan
disusun berdasar kerangka pemikiran filosofi mengenai bagaimana
pembangunan berlangsung; dan hanya sebagian merupakan aplikasi
ekonomi, bagian lainnya merupakan kompromi politik (Lewis, 1951).
4. Besarnya pengaruh faktor non-ekonomi terhadap aktivitas ekonomi, dan
menekankan pencapaian tujuan ekonomi seperti pertumbuhan harus disertai
upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial seperti peningkatan
kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan; juga menekankan perlunya
kepedulian terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup,
dan sistem kelembagaan (Salim, 1976).
5. Tjokroamidjojo (1995) dari pengalamannya yang panjang di bidang
perencanaan dan birokrasi pemerintahan menulis kesimpulan bahwa dalam
perencanaan pembangunan perlu diketahui lima hal pokok berikut: (1)
Permasalahan-permasalahan pembangunan yang dikaitkan dengan sumber-
sumber pembangunan ekonomi dan non ekonomi yang dapat diusahakan; (2)
Tujuan dan sasaran rencana yang ingin dicapai; (3) Kebijakan dan cara untuk
mencapai tujuan dan sasaran rencana dengan melihat penggunaan sumber-
sumbernya dan pemilihan alternatif-alternatifnya yang terbaik; (4)
Penerjemahan kedalam program-program atau kegiatan-kegiatan yang
konkrit; dan (5) Jangka waktu pencapaian sasaran dan tujuan.
19
2.2.2 Konsep Perencanaan Strategis
Djunaedi (2000) menyatakan bahwa keragaman corak perencanaan (planning
styles) dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: keragaman corak perencanaan
yang umum ditemui dalam praktek dan corak perencanaan dengan keragaman teori
politik.
Secara umum, keragaman perencanaan pembangunan yang ada dalam praktek
saat ini, yaitu: perencanaan komprehensif (comprehensive planning); perencanaan
induk (master planning); perencanaan strategis (strategic planning); perencanaan
ekuiti (equity planning); perencanaan advokasi (advocacy planning); dan
perencanaan inkrimental (incremental planning).
1. Perencanaan komprehensif, proses perencanaan dilakukan secara sekuensial,
Hasil perencanaan bersifat rinci, jelas, dan berupa rancangan pengembangan
fisik atau tata ruang. Setelah rencana selesai, maka dilakukan proses
pengesahan oleh pihak legislatif, dan kemudian dilakukan implementasi
rencana (aksi/tindakan);
2. Perencanaan induk, umumnya dilakukan secara satu disiplin, yaitu
arsitektur. Perencanaan induk dan perencanaan komprehensif, mempunyai
kesamaan dalam sifat produk akhir rencana yang jelas, rinci, end-state, tidak
fleksibel-seakan masa depan sangat pasti;
3. Perencanaan strategis, memfokuskan secara efisien pada tujuan yang
spesifik, dengan meniru pendekatan perusahaan swasta yang diterapkan pada
gaya perencanaan publik. Perencanaan strategis tidak mengenal standar
baku, dan prosesnya mempunyai variasi yang tidak terbatas;
4. Perencanaan ekuiti, mengikuti pendapat perencanaan advokasi bahwa akar-
akar ketidakadilan sosio-ekonomis perkotaan perlu diatasi, tapi tidak
sependapat bahwa perencana mempunyai tanggung-jawab eksplisit untuk
membantu pihak-pihak yang tidak beruntung. Hasil perencanaan ekuiti dapat
sama atau mendekati dengan hasil perencanaan komprehensif atau
perencanaan strategis bila partisipasi -kelompok minoritas- telah terwadahi
dengan memuaskan;
5. Perencanaan advokasi, memiliki faham bahwa perencanaan haruslah dapat
mendorong pluralisme yang berimbang dengan cara mengadvokasi
(“memberi hak bersuara”) pihak-pihak yang tidak mampu menyalurkan
20
aspirasinya. Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mewadahi
kepentingan yang plural di masyarakat;
6. Perencanaan inkrimental, perencanaan dilakukan secara inkrimental
(sepotong demi sepotong) menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-
hasil berurutan” untuk mencapai tujuan jangka pendek yang realistis.
Pendekatan inkrimental meningkatkan orientasi ke analisis marginal dari
kebijakan ekonomi dan politik pragmatis.
Sedangkan untuk corak dengan keragaman politik, memiliki empat macam
tipologi, yaitu: perencanaan tradisional, perencanaan demokratis, perencanaan
ekuiti, dan perencanaan inkremental.
1. Perencanaan tradisional merupakan produk dari teori politik teknokratik
(Fainstein dan Fainstein, 1996:273), beranggapan bahwa dengan
menerapkan pendekatan ilmiah lewat teknologi akan dapat diatasi masalah
yang dihadapi;
2. Perencanaan demokratis, menekankan pada partisipasi. Pendapat dari
mayoritas merupakan pendapat yang paling benar. Dalam perencanaan
demokratis, maka tujuan dan cara harus berdasarkan pada kepentingan atau
pendapat mayoritas tersebut; (Fainstein dan Fainstein, 1996: 275).
3. Perencanaan ekuiti, menekankan pada program-program substantif. Fokus
ini bergeser dari “siapa yang berwenang (menetapkan tujuan dan cara)“
menjadi “siapa mendapat apa”. Dalam hal ini, perencana ekuiti berupaya
memberikan pilihan yang lebih luas bagi sekelompok warga masyarakat.
Perencanaan ekuiti tidak selalu demokratis, dalam arti tidak selalu
mempunyai pendukung mayoritas dalam masyarakat, tapi mereka membela
keadilan bagi kelompok masyarakat tertentu (tertinggal, minoritas, tertindas);
4. Perencanaan inkrimental (meskipun beberapa pihak menganggap
pendekatan inkrimental bukan termasuk perencanaan). Melakukan
perencanaan dalam jangka pendek, sepotong demi sepotong bersambung,
bukan dipikirkan secara jangka panjang. Pelaku perencanaannya juga bukan
hanya satu instansi atau lembaga tapi seluruh unsur atau kelompok-kelompok
masyarakat. Terdapat dua macam perencanaan inkrimental, yaitu: (a)
21
disjointed incremental tanpa memikirkan kesinambungan, dan (b) jointed
incremental memikirkan kesinambungan (jointed) antar potongan-potongan.
Dari pembahasan tipologi perencanaan, dan dikaitkan dengan keragaman
corak perencanaan dalam praktek dan teori politik dapat ditarik kesesuaian seperti
pada Tabel 3.
Tabel 3. Perencanaan dalam keragaman teori politik (Djunaedi, 2000)
Keragaman Praktek Perencanaan
Pembangunan
Perencanaan dalam Keragaman Teori Politik
Tek
nokr
atik
be
rdas
arka
n pe
mik
iran
rasi
onal
Dem
okra
tik
didu
kung
may
orita
s pe
ndud
uk
Sosia
lis
mew
adah
i pl
ural
ism
&
konf
lik so
isal
Lib
eral
pl
ural
ism
& ti
dak
terik
at m
asa
lalu
/mas
a de
pan
Perencanaan Induk Perencanaan Komprehensif Perencanaan Strategis Perencanaan Ekuiti Perencanaan Advokasi Perencanaan Inkrimental
Sumber: Djunaedi (2000)
2.2.3 Peran Lembaga Perencana Pembangunan
Lembaga perencana dalam suatu negara harus dapat melaksanakan fungsi
dasar sebagai berikut: (1) mengumpulkan data dan informasi yang dilakukan melalui
riset berkaitan dengan potensi dan permasalahan negara, untuk menyiapkan
perencanaan jangka panjang yang akan diajukan dan disetujui oleh pemerintah.
Perencanaan jangka panjang tersebut harus mencakup program dan aktivitas dari
berbagai lembaga pemerintah untuk menghindarkan terjadinya duplikasi yang
menimbulkan in efisiensi; (2) membantu pemerintah untuk menyiapkan peraturan
perundangan, khususnya hal yang bersifat teknis; (3) berperan sebagai “clearing
house of information” dari berbagai lembaga pemerintah, antar pemerintah daerah,
dan antara pusat dan daerah; (4) memberikan bimbingan teknis dan nasehat untuk
membantu pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah perencanaan dan
penyusunan program (William, 1952).
Lembaga perencana sebaiknya tidak dibebani tugas dalam fungsi administratif,
hal ini membuat lembaga tersebut menjadi ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan
setiap rencana atau program. Bila lembaga perencana dibebani pula dengan fungsi
22
administratif atau pengawasan, maka fungsi perencanaan itu sendiri akan menjadi
tidak optimal (Millett, 1946). Bagi lembaga perencana melaksanakan kegiatan
perencanaan adalah tugas utama dalam sepanjang waktu yang membutuhkan
konsentrasi penuh.
Perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat global, nasional dan lokal
memberikan persoalan yang begitu kompleks dan sulit diprediksi. Globalisasi
memberikan dampak terhadap kebebasan aliran informasi dan keleluasaan aliran
barang dan jasa. Selain itu globalisasi juga memberikan dampak terhadap
munculnya isu-isu lintas bidang (cross-cutting issues) seperti: lingkungan, HAM,
korupsi, good governance, demokrasi, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga persoalan
yang semula merupakan isu domestik dapat berubah menjadi isu internasional.
Untuk menghadapi situasi seperti itu diperlukan suatu upaya sistematis untuk
mempertahankan kepentingan bangsa dan negara. Bappenas (2004) telah melakukan
penelitian tentang tingkat efektivitas kinerja lembaga ini dalam melaksanakan peran
dan fungsinya sebagai lembaga perencanaan, yang meliputi: yang meliputi: (1)
Menyiapkan rancangan rencana pembangunan; (2) Melakukan koordinasi
perencanaan; (3) Menyusun APBN/APBD; (4) Menyusun kebijakan pinjaman dan
bantuan LN; (5) Melakukan penilaian rencana pembangunan; (6) Melakukan
penelitian kebijakan dan penilaian kinerja pembangunan; (7) Meningkatkan
kapasitas institusi perencanaan.
Penelitian tersebut dilakukan dengan melakukan jajak pendapat para
pemangku kepentingan dalam penyusunan kebijakan maupun pelaksanaan
kebijakan, dengan sampling unit adalah orang atau individu yang dianggap mewakili
kelompok-kelompok pemangku kepentingan (stakeholder) dalam perencanaan
pembangunan yang meliputi wakil-wakil dari: (1) Masyarakat Madani (Civil
Society), (2) Wakil-wakil Rakyat Terpilih (Elected Representatives), (3) Masyarakat
Profesional Sektor Publik (Public Sector Professional Community), (4) Masyarakat
Internasional (International Community) and (5) Pegawai Pemerintah (Government
Officials).
2.2.4 Bauran Kebijakan dalam Pembangunan Sektor Pertanian
Vietor (2007) menyatakan bahwa negara bersaing untuk membangun. Ini
adalah salah satu hasil (konsekuensi) dari globalisasi. Mereka (negara-negara)
23
bersaing untuk memperebutkan pasar, untuk teknologi, untuk keahlian (skills) dan
investasi. Mereka bersaing untuk tumbuh dan meningkatkan standar hidup
masyarakatnya. Ditekankan bahwa pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas
kebijakan keuangan dan kebijakan fiskal semata, tetapi harus juga menciptakan dan
membantu perkembangan seluruh institusi yang penting dan kritikal yang dapat
memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Optimalisasi pertumbuhan ekonomi dapat
dicapai bila diterapkan bauran kebijakan (policy mix) yang terkoordinasi antara satu
kebijakan dengan kebijakan lainnya (Vietor, 2007).
Bauran kebijakan merupakan koordinasi antar kebijakan-kebijakan
pembangunan regional dan sektoral yang terkait dengan kebijakan fiskal,
perdagangan, perindustrian, pertambangan, tenaga kerja, pertanian, dan kebijakan
lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketidakselarasan dalam
bauran kebijakan pembangunan regional dan pembangunan sektoral merupakan hal
yang menghambat peningkatan kinerja pembangunan atau peningkatan daya saing
nasional.
Dalam pembangunan sektor pertanian bauran kebijakan sebagaimana
dikemukakan oleh Arifin (2007) menekankan bahwa para analis dan perumus
kebijakan harus memahami bahwa agribisnis sebagai satu rangkaian kesatuan
sistem. Selanjutnya juga dikemukakan rekomendasi 5 (lima) strategi kebijakan agar
dapat dilaksanakan dengan seksama dan sistematis (Arifin, 2007).
1. Sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agro-industri, bahkan pada skema
kebijakan makro ekonomi karena seluruh elemen moneter dan fiskal amat
terkait dengan pembangunan pertanian;
2. Sektor pertanian harus memperoleh tingkat bunga yang layak dan terjangkau
bagi sebagian besar petani dan pelaku usaha agribisnis;
3. Sektor pertanian memerlukan pengelolaan dan target laju inflasi yang cukup
untuk menurunkan tingkat keragaman suku bunga yang dihadapi komoditas
pertanian. Dalam bahasa yang berbeda, pertumbuhan sektor pertanian
seharusnya tertolong oleh laju inflasi yang rendah;
4. Sektor pertanian jelas memerlukan dana publik, yang dapat diterjemahkan
menjadi langkah pemihakan pemerintah untuk menggulirkan aktivitas
ekonomi, memberikan subsidi tepat sasaran dalam pembangunan pertanian.
Sektor pertanian sangat tergantung pada investasi infrastruktur publik;
24
5. Sektor pertanian mensyaratkan land-policy reform yang tepat dan terukur,
yang mampu mengkombinasikan peningkatan aset lahan yang dikuasai petani
dan perbaikan akses dan pemberdayaan kapasitas petani itu sendiri;
Hanafie (2010) mengemukakan bahwa tujuan umum politik pertanian di
Indonesia adalah untuk memajukan sektor pertanian yang dalam pengertian lebih
lanjut meliputi : (1) peningkatan produktivitas dan efisiensi sektor pertanian; (2)
peningkatan produksi pertanian; dan (3) peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
petani, serta pemerataan tingkat pendapatan. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas,
maka ruang lingkup politik pertanian meliputi: (1) Kebijakan produksi; (2)
Kebijakan subsidi; (3) Kebijakan investasi; (4) Kebijakan harga; (5) Kebijakan
pemasaran; (6) Kebijakan konsumsi;
2.3 Kajian Penelitian Sebelumnya
2.3.1 Pengembangan Peternakan Berwawasan Agribisnis
Saputra (2009) menyatakan beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan
dalam pengembangan ternak sapi potong berwawasan agribisnis, antara lain:
1. Strategi pengembangan usaha ternak sapi potong melalui penerapan kawasan
peternakan terpadu (klaster) yang ditunjang oleh tersedianya subsistem-
subsistem dalam agribisnis peternakan sapi potong dari subsistem hulu
hingga hilir serta jasa penunjang;
2. Strategi peningkatan koordinasi dengan semua pihak yang terkait
(stakeholder) dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA),
perkembangan teknologi dan informasi dan jumlah rumah tangga yang
banyak untuk meningkatkan daya saing usaha peternakan sapi potong.
3. Strategi peningkatan sumber daya manusia (SDM) peternak, penyuluh,
inseminator, paramedis) melalui pola pembinaan kelompok peternak,
pelatihan-pelatihan, magang dan sudi banding dalam upaya meningkatkan
motivasi, kemampuan penguasaan teknologi tepat guna dan manajerial dari
SDM peternakan.
4. Strategi penerapan pola kemitraan usaha peternakan sapi potong yang
berkesinambungan yang dikontrol dengan baik oleh Dinas Kesehatan Hewan
dan Peternakan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
25
Sedangkan untuk penerapan strategi tersebut diberikan saran agar
pengembangan kawasan terpadu peternakan sapi potong dilakukan secara bertahap
dan berkesinambungan, sehingga mengarah pada wilayah yang berkembang,
mandiri dan memiliki nilai ekonomis. Selain hal tersebut pengidentifikasian daerah
pembibitan maupun penggemukan sapi potong dilaksanakan dengan memperhatikan
ketersediaan sapi ptotong (Saputra, 2009).
2.3.2 Investasi Sektor Pertanian dan Disparitas Ekonomi Antar Wilayah
Purnamadewi (2010) melakukan kajian dampak perubahan produktivitas
sektoral berbasis investasi terhadap disparitas ekonomi antar wilayah dan kondisi
makroekonomi di Indonesia diperoleh kesimpulan antara lain:
1. Prioritas alokasi investasi ke kelompok sektor pertanian dan industri berbasis
pertanian yang didukung pembangunan infrastruktur atau melalui penerapan
strategi Agricultural Development Led-Industrialisation (ADLI) yang
didukung dengan pembangunan infrastruktur dapat menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan sekaligus dapat menurunkan
disparitas ekonomi antar wilayah;
2. Pada kondisi tingkat disparitas ekonomi antar wilayah yang tinggi, peran
pemerintah pusat sangat diperlukan untuk secara konsisten memprioritaskan
alokasi dana pembangunan ke kelompok sektor pertanian, industri berbasis
pertanian dan infrastruktur dengan prioritas ke wilayah-wilayah dengan
pendapatan perkapita atau wilayah-wilayah dengan sumber PDRB utama
dari sektor pertanian;
3. Untuk pemerintah daerah yang masih memiliki pendapatan perkapita relatif
rendah harus lebih intensif dan sunggunh-sungguh untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif, dan perlu memfokuskan kebijakan yang dapat
mendorong peningkatan produktivitas yang besar agar sektor pertanian
semakin kuat dan dapat mendorong ekspor.
2.3.3 Peranan Investasi Infrastruktur pada Perekonomian Indonesia
Permana (2010) telah melakukan analisis peranan dan dampak investasi
infrastruktur terhadap perekonomian Indonesia, menyimpulkan bahwa infrastruktur
memiliki keterkaitan ke belakang yang lebih tinggi daripada keterkaitan kedepannya
26
yang berarti bahwa infrastruktur lebih berperan dalam meningkatkan output sektor
lain untuk digunakan sebagai input dibandingkan dengan kemampuannya dalam
meningkatkan output sektor lain yang menggunakan input dari infrastruktur, dan
Semua sektor kategori infrastruktur memberikan dampak multiplier yang positif
terhadap sektor perekonomian lainnya. Kajian tersebut menyarankan bahwa apabila
tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah untuk meningkatkan total
penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian maka prioritas investasi sebaiknya
ditujukan pada pengembangan infrastruktur jalan, jembatan dan pelabuhan
(Permana, 2010).
2.3.4 Interaksi dalam Integrasi Sistem Agrikultur
Pertanian di Amerika mengalami perubahan yang dramatis pada abad ke-20,
yang semula hampir independen dari kebijakan pemerintah, struktur pertanian telah
terjadi perubahan substansial yang dipengaruhi berbagai kondisi. Hal ini dapat
disebabkan berbagai faktor, seperti kebijakan pemerintah, mekanisasi
pertanian, biaya bahan bakar berbasis fosil, peningkatan konsolidasi dan integrasi
vertikal pasar dan peningkatan kesadaran sosial berkaitan dengan lingkungan hidup
dalam praktek pertanian. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi Sistem Agrikultur
yang terjadi dapat diilustrasikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Interaksi faktor pemicu dalam integrasi sistem agrikultur
27
Sistem pertanian dipengaruhi pemicu (driver) eksternal yaitu sosial, politik,
ekonomi, lingkungan, dan teknologi. Pemicu ini dapat menimbulkan pengaruh
positif maupun negatif terhadap kondisi sistem pertanian dalam menghadapi
tantangan masa depan. Untuk kesejahteraan petani, sistem pertanian harus
dikembangkan untuk dapat menghadapi tantangan masa depan (Hendrickson,
2008).
2.3.5 Penetapan Kebijakan dalam Kompleksitas Kondisi Ekonomi
Dalam menghadapi kondisi ekonomi dalam sistem yang komplek para
pembuat kebijakan harus benar-benar mempertimbangkan beberapa hal yang
penting, yaitu: (1) saling ketergantungan dari berbagai aktor pelaku ekonomi secara
konsisten telah menimbulkan berbagai agregat perilaku, hal ini dapat mengakibatkan
lingkungan ekonomi yang terjebak dalam stagnansi yang tidak diinginkan mencakup
tingkat patologi-sosial, maupun pemilihan teknologi rendah; (2) konsekuensi dari
sebuah kebijakan secara kritikal akan saling terkait dengan kebijakan yang lain dan
menimbulkan efek secara nonlinier, sehingga cukup sulit untuk dilakukan evaluasi
efektivitas dari kebijakan tersebut (Durlauf, 1998).
Alappatt (2005) menjelaskan bahwa dalam bidang ekonomi, pemikiran
mensejahterakan masyarakat yang dikembangakan Gandhi dari prinsip swadeshi,
secara tidak langsung telah membangun kembali tatanan ekonomi India yang
sebelumnya telah hancur oleh sistem kolonialisme. Pembangunan ekonomi yang
menekankan pada sistem desentralisasi dan penataan kembali industri kecil di
pedesaan India ini, dinilai telah mampu memberikan kontribusi yang cukup penting
bagi perbaikan kondisi ekonomi rakyat India. karakteristik utama dari swadeshi
yang dikembangakan Gandhi mencakup beberapa hal, diantaranya:
1. Gerakan swadeshi secara tidak langsung mensyaratkan adanya boikot
terhadap barang-barang produksi luar negeri. Hal ini dilakukan bukan hanya
semata-mata karena barang tersebut berasal dari negeri asing, tetapi karena
hingga saat ini keberadaan produksi asing itu dinilai telah membahayakan
kepentingan nasional bangsa India.
2. Swadeshi juga bermakna produksi dan menghasilkan secara mandiri, karena
boikot tidak dapat terus berlangsung dalam melindungi kepentingan
28
nasional, tanpa adanya produksi barang-barang dari dalam negeri yang
dibutuhkan oleh rakyat India.
3. Swadeshi juga berarti bahwa mendukung industri dalam negeri merupakan
kewajiban utama bagi setiap warga India. Hal ini harus terus berlangsung
meskipun India telah meraih kemerdekaannya, karena hanya dengan cara
inilah industri pedesaan di India dapat terlindungi. Dimana keberadaan
industri pedesaan ini merupakan hal yang sangat vital bagi eksistensi dan
kebebasan dalam menyediakan lapangan kerja bagi jutaan rakyat India yang
tinggal di pedesaan.
4. Semangat swadeshi memiliki implikasi bahwa setiap individu harus siap
membatasi dirinya sendiri untuk hanya memakai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh lingkungan terdekatnya.
2.3.6 Membangun Kemandirian Ekonomi dalam Kehidupan Masyarakat
Penelitian yang dilakukan oleh Isenberg (2010) menemukenali sembilan
faktor kunci untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan revolusi entrepreneur
barbasis pada komunitas masyarakat, sebagai berikut:
1. Berhentilah meniru Silicon Valley. Membangun ekosistem inovasi di
wilayah-wilayah harus seuai dengan kondisi sumber daya fisik dan nonfisik
yang ada dalam suatu wilayah. Negara bekerja sama dengan sektor swasta
harus menciptakan ekosistem ini dengan terencana dan desain secara
sistemik organik, serta memperhitungkan empat elemen utama: (1)
kepemimpinan inovatif, (2) budaya inovatif, (3) sumber permodalan yang
kondusif, dan (4) pelanggan yang terbuka (termasuk keterbukaan mereka
dalam melibatkan dan dilibatkan pada dalam proses inovasi);
2. Ekosistem kewirausahaan inovatif harus sesuai dengan kondisi lokal
(kontekstual). Membangun kemampuan inovasi dengan memperhatikan
konteks potensi perwilayahan (lokal), termasuk pendapat calon
pelanggan/konsumen/pengguna dan para pemangku kepentingan lainnya;
3. Melibatkan dunia usaha merupakan prinsip keberhasilan revolusi
entrepreneurial. Pendekatan top-down yang dilakukan pemerintah secara
sendirian tidak dapat membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan.
Keterlibatan dunia usaha dalam proses inovasi nasional sedini mungkin,
29
dimulai dari persiapan formulasi atau formasi strategi sistem (ekosistem)
inovasi nasional, implementasi, pengendalian dan/atau perubahannya.
4. Memberikan dukungan pada potensi yang tinggi dalam penciptaan nilai
tambah. Dalam menghadapi kondisi keterbatasan sumberdaya perwilayahan,
maka kewirausahaan harus ditekankan pada potensi penciptaan nilai tambah
yang tinggi. Pengembangan dapat diakaitkan dengan paradigma
pembangunan kewirausahaan berbasis discovery dan creation. Kriteria
kelayakan usaha tidak terbatas hanya untuk menilai tinggi rendahnya potensi
kewirausahaan inovatif. Para pengambil keputusan pendanaan/pemodalan
ventura baru harus berdasarkan tinggi rendahnya potensi keberhasilan
penciptaan nilai sosial dan ekonomi. Hal ini sejalan dengan membedakan
antara sustaining innovation dan disruptive innovation (Christensen, 2006).
5. Promosi keberhasilan (walaupun sedikit) dapat menumbuhkan inspirasi
dan membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang kondusif.
Sukses-sukses awal kewirausahaan akan mengurangi persepsi bahwa
berwirausaha itu sulit dan penuh risiko. Dukungan pemerintah dan media
harus besar untuk mengangkat kesuksesan-kesuksesan wirausaha. Perlu
dilakukan kampanye keberhasilan secara luas, mengadakan lomba inovasi
dan kewirausahaan secara sistematis. Umumkan pemenangnya di mana-
mana untuk membangun suasana dan persepsi kondusif. Situasi itu dapat
mengubah lingkungan yang tadinya kaku tanpa penghargaan menjadi
kondusif mengapresiasi aktivitas berwirausaha. Peran media tidak hanya
dalam mengumumkan pemenang tetapi juga dalam mengubah perilaku.
6. Pemerintah harus memperhitungkan faktor-faktor lokal seperti budaya
lokal, iklim, dan selera lokal. Pemerintah memakai pendekatan antropologi
dan etnografi untuk memahami kondisi dan konteks lokal.
7. Pola pendanaan yang ketat. Adalah pandangan yang salah bahwa jika
pemerintah atau pihak manapun memberi kemudahan secara berlebihan
kepada wirausaha-wirausaha potensial dengan uang berlimpah yang mudah
diperoleh, secara dini mereka harus dipaparkan dengan tantangan pasar.
Ekosistem inovasi dan kewirausahaan harus dibangun dalam situasi
kelangkaan untuk melatih kekuatan, efektivitas, dan daya tahan pengelolaan
usaha.
30
8. Jangan merekayasa kluster secara berlebihan. Biarkan kluster tumbuh
secara organik. Kluster secara organik terbentuk karena lingkungan yang
ada mendukung secara sosial dan fisik. Pembentukan kluster secara sepihak
tanpa memperhatikan isi dan konteks lokal atau wilayah setempat akan
menghasilkan hampa bahkan kerugian. Pemerintah sebaiknya melihat arah
kecenderungan (potensi) kewirausahaan wilayah-wilayah tertentu. Berbasis
pemetaan itu, pemerintah membantu mengoptimalkan kerja sama berbagai
pihak dalam membangun ekosistem inovasi dan kewirausahaan yang
kondusif dalam lingkup dukungan kepemimpinan, budaya, sumber
permodalan, dan masyarakat yang terbuka.
9. Melaksanakan reformasi hukum, birokrasi, dan kerangka regulasi.
Kunci kesembilan ini menjadi puncak pembangunan ekosistem inovasi dan
kewirausahaan perwilayahan atau bahkan suatu negara. Peter Drucker
(1985) mengingatkan pentingnya inovasi sosial untuk membangun sosietas
entrepreneurial. Pertama penciptaan lapangan pekerjaan harus menjadi
prioritas. Reformasi dan penataan kebijakan harus mendukung aktivitas
entrepreneurial yang menciptakan lapangan pekerjaan sebesar mungkin
sehingga dapat membangun kedaulatan ekonomi dan kemandirian
komunitas. Kedua, pemerintah berani memperbaiki atau bahkan menghapus
kebijakan dan peraturan yang sudah tidak relevan dan tidak menunjang era
inovasi dan kewirausahaan.
2.3.6.1 Strategi Nasional dalam Pengembangan Kewirausahaan di Kanada
Upaya percepatan dalam menumbuhkan kewirausahaan adalam masalah
yang bersifat multi dimensi dan komplek, tidak ada satu alat analisispun yang dapat
menangkap secara pasti dapat menjelaskan faktor-faktor yang secara tepat dapat
mendorong pertumbuhan dan pengembangan kewirausahaan. Berdasarkan sintesis
yang dikembangkan dari hasil penelitan dan analisis yang telah dilakukan, telah
dapat ditemukenali kondisi kunci yang diperlukan untuk membangun lingkungan
yang kondusif bagi pertumbuhan kewirausahaan.
31
1. Pengembangan jejaring dan peningkatan kapasitas SDM, meliputi:
a. Mengembangkan akses menuju pasar dan pelanggan, serta kesediaan
untuk memberikan masukan bagi produk maupun jasa yang
dihasilkan agar dapat dilakukan perbaikan atau peningkatan kualitas,
maupun memenuhi ekspektasi pasar dan pelanggan;
b. Membangun kapasitas dan kemampuan manajerial, penguatan
kemampuan manajerial dan pengambangan sistem akan sangat
dibutuhkan pada saat kegiatan usaha mulai berkembang;
c. Menetapkan klaster untuk fokus pada kegiatan yang berpotensi dan
pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat difasilitasi perguruan tinggi,
litbang, maupun pelaku usaha untuk menjadikan sebagai pusat
unggulan (center of excellence);
d. Mengawali dengan inkubator dan bekerjasama dengan industri
merupakan faktor kunci untuk menguatkan hubungan antara industri,
penyandang dana, wirausaha yang dapat memfasilitasi tercapainya
praktek terbaik;
2. Dukungan permodalan, meliputi:
a. Ketersediaan sumber permodalan yang dapat mendukung dalam
setiap tahap pengembangan;
b. Ketertarikan penyandang dana yang dipicu oleh potensi ekspor dari
produk yang dihasilkan;
c. Sumber pandanaan yang lain yang dapat diperoleh dari lembaga
keuangan maupun dari kebijakan insentif yang kondusif (pajak,
asuransi, kolateral, bentuk program pemerintah lainnya)
3. Kerangka kebijakan publik, meliputi:
a. Kebijakan perpajakan untuk memberikan insentif bagi para investor
dan pelaku usaha yang berpartisipasi dalam pengembangan
kewirausahaan;
b. Kebijakan publik untuk mendukung penelitian dan pengembangan
melalui kebijakan perpajakan dan bentuk insentif lain untuk dapat
mendukung dicapainya inovasi yang mendorong pengembangan
kewirausahaan;
32
c. Pengadaan barang dan jasa bagi pemerintah, penggunaan
(pengadaan) produk dan jasa dari usaha kewirausahaan oleh
pemerintah sebagai pelanggan awal (early customer) akan sangat
membantu pengembangan usaha kewirausahaan;
d. Kebijakan yang berpihak pada pengembangan kewirausahaan, hal ini
dapat dilakukan dalam lingkup sistem hukum, hak kekayaan
intelektual, serta kebijakan lain yang mendukung iklim kondusif bagi
pengembangan kewirausahaan;
4. Tatanilai sosial-budaya, meliputi:
a. Budaya kewirausahaan, mempromosikan karir kewirausahaan dan
memberikan toleransi pada kesalahan, serta penghargaan atas
“kegagalan” pada risiko yang dialami oleh pelaku kewirausahaan
akan mendorong pertumbuhan wirausaha baru dan potensi kegiatan
usaha lainnya;
b. Kepemimpinan politik yang mengedepandan keberpihakan pada
pengembangan kewirausahaan sangat penting bagi penciptaan
regulasi yang kondusif;
c. Mempromosikan keberhasilan yang telah dicapai oleh para wirausaha
yang sukses dapat menginspirasi dan memicu semangat wirausaha
lainnya maupun pertumbuhan wirausaha baru;
2.3.6.2 Penciptaan Generasi Masa Depan Usaha Inovasi Teknologi di Malaysia
Para wirausaha merasakan bahwa pemerintah memegang peran yang penting
dalam inovasi dan kewirausahaan. Pada saat ini pemerintah telah memiliki kebijakan
insetif bagi pengembangan teknologi dan kreativitas. Bahkan di Amerika pada saat
ni pemerintah masih memberikan dukungan kepada wirausahawan dalam bentuk
iniistif-inisiatif, termasuk dukungan pendanaan bagi wirausahawan pemula. Bahkan
dinegara manapun pemerintah harus tetap mendukung pengembangan iklim
kondusif bagi pengembangan wirausahawan baru, khususnya dalam penyediaan
modal.
Beberapa praktek kebijakan di Malaysia yang dilaksaksanakan untuk
memberikan dukungan pertumbuhan usaha inovasi teknologi, antara lain:
33
1. Jenis dukungan yang tepat – berbasis pada sistem prestasi, dukungan
diberikan kepada para wirausahawan, inovator, perusahaan, lembaga
berdasarkan prestasi yang dicapai dan kelayakan dalam memberikan nilai
tambah bagi bangsa;
2. Kebijakan harus “membuka jalan rintisan”, kebijakan harus dapat
memfasilitasi para inovator dan wirausahawan untuk dapat maju pada semua
sektor kegiatan usaha;
3. Kebijakan yang terintegrasi, pembuatan kebijakan dengan melibatkan para
pelaku usaha yang terkait langsung dengan memperhatikan kepentingan
dalam penciptaan nilai tambah;
4. Inovasi adalah proses multi disiplin – bukan aktivitas dalam silo, berbagai
lembaga harus berkolaborasi dan bekerjasama dengan baik untuk
memastikan bahwa mereka telah memberikan yang terbaik bagi para
wirausahawan dan pelaku usaha untuk dapat mencapai hasil yang terbaik;
5. Indikator kinerja lembaga dan organisasi harus berorientasi pada
pertumbuhan kewirausahaan, ini adalah saat yang tepat bagi semua
lembaga dan orgaisasi pemerintah yang terlibat dalam inovasi kewirausahaan
untuk berkolaborasi dan berjuang untuk mencapai tujuan yang lebih
bermakna yang terukur dalam indikator kinerja yang terintegrasi;
6. Kurangi monopoli dan promosikan inovasi, monopoli tidak baik bagi
negara karena akan “membunuh” inovasi, menghambat kewirausahaan,
meningkatkan harga, serta menumbuhkan korupsi. Bagi sebuah negara bila
benar-benar menginginkan inovasi sebagai masa depan suatu bangsa, maka
harus menghapuskan praktek monopoli sebagai agenda nasional;
2.4 Perancangan Kebijakan
2.4.1 Analisis Kebijakan Publik
Beberapa tujuan dalam analisa proses kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Memahami proses kebijakan yang telah dikembangkan dan
diimplemetasikan.
2. Memahami tujuan dan motif di balik kebijakan, dan sejauh mana kebijakan
itu berkaitan dengan livelihood dan/atau kemiskinan.
34
3. Memahami dampak kebijakan terhadap livelihood. Sejauh mana kebijakan
itu benar-benar memenuhi tujuan mereka.
4. Memahami area intervensi dalam proses kebijakan terkait dengan
perkembangan, baik pengembangan kebijakan dan dampak livelihood.
Tujuan dan proses analisisi kebijakan dilustrasikan dalam kerangka analisis
kebijakan seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Karangka analisis kebijakan publik (Baginski, 2002)
Analisa proses kebijakan pada Gambar 4 diatas bekerja secara sistematis
tentang bagaimana fungsi kebijakan itu dipraktekkan. Sehubungan dengan hal ini,
langkah-langkah yang disajikan di atas sangatlah membantu apabila strukturnya
dilakukan dalam kerangka analitis dan dinamis yang berhubungan dengan kebijakan
pengembangan maupun implementasi. Meski langkah-langkahnya cukup logis dan
menjelaskan strukturnya, analisa juga harus menangkap unsur kontingensi dan
aspek-aspek yang melekat pada proses kebijakan tersebut. Model tersebut dapat
dilihat dalam kerangka analisis bahwa setiap aspek dalam analisas proses harus
dipahami, juga interaksinya.
Proses kebijakan tidak bisa dijelaskan dalam paradigma lama yang
„rasional‟ (misalnya proses kebijakan yang berjalan lancar pasti menghasilkan
kebijakan yang paling rasional, dan jika ada masalah, itu karena implementansinya).
Pada kenyataannya, membentuk kebijakan itu cukup sulit, dan prosesnya lama,
melibatkan negosiasi dan kekuatan-kekuatan diantara pemangku kepentingan.
35
Salah satu aspek paling penting dalam proses kebijakan - seperti yang
diilustrasikan diatas - adalah proses yang berlangsung berulang-ulang dan terus
berkelanjutan, dan terus menerus tergantung kepada review dan inisiasi-inisiasi baru.
Melalui upaya untuk melaksanakan kebijakan tersebut, maka situasi dan isu-isu baru
terus bermunculan yang menuntut refleksi dan penyesuaian, bahkan reformulasi
dalam kebijakan itu. Dalam pengulangan ini, ada juga artikulasi kompleks dan
umpan balik dimana analisa harus tetap dilakukan.
2.4.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan
Dalam buku tersebut Freeman (1984) menekankan untuk membangun
sebuah pendekatan manajemen yang mempertimbangkan lingkungan eksternal
dengan suatu perhitungan dan pendekatan secara sistematis. Berkaitan dengan hal
tersebut dikemukakan tiga tingkatan analisis yang dapat digunakan untuk
memetakan pemangku kepentingan, yaitu: (1) tingkat analisis rasional, pada tingkat
ini kita harus memahami hal-hal yang merupakan kepentingan atau ekspektasi yang
menjadi ‘pertaruhan’ para pemangku kepentingan pada saat berhubungan dengan
organisasi; (2) tingkat analisis proses, adalah analisis untuk memahami bagaimana
organisasi baik secara implisit atau eksplisit mengelola hubungan dengan para
pemangku kepentingan, serta apakah proses ini sesuai dengan rasional peta
pemangku kepentingan organisasi. Menurut Freeman, ada proses strategis yang
bekerja cukup baik dapat diperkaya dengan kepedulian terhadap berbagai pemangku
kepentingan; (3) tingkat analisis transaksional, adalah langkah untuk memahami
himpunan transaksi atau tawar-menawar antara organisasi dan pemangku
kepentingan, serta menyimpulkan apakah negosiasi ini cocok dengan peta pemangku
kepentingan dan proses organisasi bagi para pemangku kepentingan. Menurut
Freeman kesuksesan transaksi dengan para pemangku kepentingan terbangun oleh
kesepahaman atas legitimasi dari pemangku kepentingan dan berlangsungnya proses
secara rutin yang menggambarkan kepedulian terhadap kepentingan mereka.
2.4.3 Dinamika Hubungan Pemangku Kepentingan
Konsep dinamika pemangku kepentingan diperkenalkan oleh Freeman
(1984) dan Alkhafaji (1989). Mitchel dan rekan (1997) mengemukakan model
pengelompokan pemangku kepentingan berdasarkan tiga atribut hubungan: kekuatan
(power), legitimasi (legitimacy), dan kepentingan (urgency). Dengan
36
mengkombinasikan atribut tersebut dihasilkan tipologi pemangku kepentingan
(Gambar 5). Menurut mereka bila pemangku kepentingan memiliki hanya satu
atribut, maka disebut ‘latent stakeholder’ dan tidak menonjol. Jika satu-satunya
atibut yang dimiliki adalah kekuatan, maka disebut ‘dormant stakeholder’, bila
hanya legitimasi, disebut ‘discretionary stakeholder’, dan bila hanya kepentingan
disebut dengan ‘demanding stakeholder’.
Gambar 5. Pemetaan tipologi pemangku kepentingan (Mitchel, 1997)
Pemangku kepentingan memberikan arti yang lebih menonjol, bila memiliki
dua atribut sekaligus. Pemangku kepentingan ini disebut sebagai ‘expectand
stakeholder’. Dalam kelompok ‘expectand stakeholder’, yang memiliki atribut
kekuatan dan legitimasi disebut sebagai ‘dominant stakeholder’, untuk yang
memiliki legitimasi dan kepentingan disebut ‘dependent stakeholder’, sedangkan
yang memiliki atribut power dan kepentingan disebut ‘dangerous stakeholder’.
Pemangku kepentingan masuk dalam tipologi yang sangat menonjol bila
memiliki tiga atribut sekaligus. Tipologi ini disebut sebagai ‘definitive stakeholder’.
Lebih lanjut kualitas dan tingkat dinamika dari pemangku kepentingan dapat
ditunjukkan dengan pola perubahan dan pergeseran pemangku kepentingan dari satu
tipologi ke tipologi yang lain.
37
2.4.4 Integrasi dalam Penciptaan Nilai Tambah
Burgelman (2001) mendiskripsikan lima bentuk integrasi strategis yang dapat
digunakan sebagai pendekatan dalam penciptaan nilai tambah (Gambar 6):
1. Integrasi ambisi berlebihan (overambitious integration), suatu kondisi bahwa
kemampuan organisasi tidak memungkinkan untuk melakukan trade-off antara
ruang lingkup dan sasaran pencapaian secara maksimal;
2. Integrasi minimal (minimal integration), kondisi ini memungkinkan organisasi
menetapkan lingkup dan sasaran sesuai dengan batasan atau sumberdaya yang
dimiliki;
3. Integrasi berbasis ruang lingkup (scope-driven integration), integrasi yang
ditetapkan berdasarkan potensi maksimum yang dapat dicapai dalam ruang
lingkup (scope), dengan mempertimbangkan keterbatasan yang dihadapi
dalam pencapaian sasaran (reach);
4. Integrasi berbasis pencapaian sasaran (reach-driven integration), ditetapkan
berdasarkan maksimum sasaran yang ingin dicapai, dengan
mempertimbangkan keterbatasan yang dihadapi dalam lingkup (scope);
5. integrasi strategis yang kompleks (complex integration), dilakukan dengan
mengupayakan secara maksimal baik dari sisi pencapaian (reach), maupun
lingkup (scope);
38
Gambar 6. Integrasi dalam penciptaan nilai tambah (Burgelman, 2001)
2.5 Pendekatan Sistem
2.5.1 Sistem Manajemen Rantai Supply
2.5.1.1 Sistem Logistik Nasional
Menurut Council of Supply Chain Management Professional (CSCMP) yang
berkedudukan di Amerika Serikat: “Manajemen logistik adalah bagian dari
manajemen rantai suplai yang merencanakan, menerapkan dan mengendalikan
tingkat efisiensi dan efektifitas dari arus dan penyimpanan barang, jasa dan
informasi yang terkait, dari hulu-ke-hilir dan sebaliknya, mulai dari titik asal barang
tersebut hingga titik tempat digunakan atau dikonsumsinya barang tersebut, untuk
dapat memenuhi persyaratan dan permintaan dari pelanggan” (Menko
Perekonomian, 2008).
Banyak masalah strategis dalam sektor logistik nasional teridentifikasi dari
hasil berbagai seminar, diskusi, bahkan riset yang terkait dengan sektor logistik.
Dalam praktek nyata pada dunia usaha, permasalahan tersebut dapat dilihat dengan
membandingkan kinerja sistem logistik pada beberapa negara sperti terlihat pada
Tabel 4 dan Tabel 5.
39
Tabel 4. Besar biaya logistik terhadap total biaya yang dikeluarkan
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Jepang (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Besar biaya logistik dari total biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha
17% 8% 7% 6% 5%
Sumber: Infobanknews (2011)
Tabel 5. Porsi biaya logistik terhadap PDB
Indonesia Korea Selatan Filipina Amerika
Serikat (1) (2) (3) (4) (5)
Porsi biaya logistik terhadap PDB 27% 16,3% 10,6% 9,9%
Sumber: Infobanknews (2011)
Pandangan dari pelaku industri penyedia jasa logistik (LSP) nasional
terhadap permasalahan tersebut (Kajian Gefeksi, 2008) menggambarkan sebagian
dari keseluruhan permasalahan tersebut dan seberapa jauh pengaruh mereka kepada
efektifitas dan efisiensi logistik nasional, dan pada gilirannya juga kepada daya
saing nasional. Permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Rendahnya penegakan hukum/peraturan, masih belum terintegrasinya
payung hukum yang kuat di sektor logistik merupakan permasalahan utama
dalam pertumbuhan dan kepastian hukum bisnis jasa logistik.
2. Rendahnya koordinasi lintas sektoral, lemahnya koordinasi antar
departemen, antar asosiasi, dan antar instansi diperparah dengan belum
adanya payung hukum dan peraturan perundangan yang kurang kuat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh bermacam pihak tersebut sering tidak
terkoordinasi, sehingga penerapan di lapangannya sering menimbulkan
kesulitan dna bahkan gagal.
3. Sistem perdagangan yang kurang mendukung, sebuah fakta yang sangat
ironis adalah bahwa di dalam perdagangan internasional perusahaan-
perusahaan Indonesia sama sekali tidak memiliki bargaining position yang
memadai untuk turut mengendalikan sistem perdagangan (kontrak), termasuk
dampaknya terhadap manajemen logistik nasional.
4. Kurangnya dukungan infrastruktur dan sistem, yang meliputi: (a) belum
adanya ”hub port” nasional, (b) buruknya manajemen interkoneksi atau
sistem intermodal antara infrastruktur pelabuhan, transportasi dan
40
pergudangan, (c) rendahnya kapabilitas aringan, teknologi informasi dan
pengetahuan;
5. Rendahnya kompetensi SDM dan lembaga pendidikan bidang logistik,
sebuah sistem logistik yang efisien dan terintegrasi sangat dibutuhkan untuk
menopang industri secara keseluruhan. Sistem ini baru bisa bekerja apabila
terdapat ketersediaan Sumber Daya Manusia yang tepat sasaran.
2.5.1.2 Koordinasi Membangun Integrasi Rantai Pasok
Untuk memaksimalkan potensi penciptaan nilai tambah melalui keunggulan
kompetitif, perusahaan (lembaga) perlu mengembangkan koordinasi, baik secara
intern maupun dengan pihak-pihak diluar lembaga (Dyer dan Singh, 1998).
Koordinasi antar lembaga-lembaga independen, seperti: pemasok bahan baku,
pemrosesan, distributor, maupun penyedia jasa logistik dan penjualan, merupakan
kunci untuk memperoleh fleksibilitas yang diperlukan dalam mencapai kinerja
integrasi rantai pasok, khususnya untuk memberikan respon maupun menghadapi
cepatnya perubahan kondisi pasar.
Simatupang dan Wright (2002) mengemukakan adanya empat modus yang
dapat diidentifikasikan dalam dimensi koordinasi yaitu:
a. Koordinasi sinkronisasi logistik (logistic synchronization), yang
bertanggungjawab untuk memastikan keselarasan antara aktivitas proses
logistik untuk pengiriman produk dan layanan yang dibutuhkan atau
diinginkan pelanggan (Fisher, 1997);
b. Koordinasi berbagi informasi (information sharing), mewujudkan koherensi
informasi, agar para pelaku dapat saling bekerjasama serta memahami aturan
berdasarkan informasi yang diperolehnya (Lee,2000);
c. Koordinasi penyelarasan insentif (incentive alignment), memotivasi para
pelaku untuk mencapai keuntungan dalam proses rantai pasok, dengan cara
menyediakan berbagai mekanisme untuk mendistribusikan manfaat dan risiko
yang terkait dengan fungsi-fungsi logistik (Lee, 2000; Simatupang dan
Sidharan, 2002);
d. Koordinasi pembelajaran bersama (collective learning), kesepakatan berkaitan
dengan tindakan (how) untuk mengatasi masalah yang memerlukan inisiasi
dan pengetahuan lintas fungsi/batas (Senge, 1990).
41
Tabel 6. Taksonomi mode koordinasi dalam rantai pasok
Koordinasi Mutualistis Komplementer Koherensi
Fokus koordinasi
Keterkaitan operasional
Sinkronisasi logistik (obyek: produk/jasa dan proses logistik)
Pertukaran informasi (obyek: informasi)
Keterkaitan organisasional
Penyelarasan insentif (obyek: keuntungan dan resiko)
Pembelajaran kolektif (obyek: pengetahuan dan kapabilitas)
Sumber: Simatupang & Wright (2002)
2.5.1.3 Manajemen Rantai Pasok Produk Pertanian
Marimin (2010) menjelaskan bahwa manajemen rantai pasok produk
pertanian berbeda dengan manajemen rantai pasok produk manufaktur karena: (1)
produk pertanian bersifat mudah rusak, (2) proses penanaman, pertumbuhan, dan
pemanenan tergantung pada iklim dan musim, (3) hasil panen memiliki bentuk dan
ukuran yang bervariasi, (4) produk pertanian bersifat kamba sehingga sulit untuk
ditangani (Austin 1992; Brown 1994). Seluruh faktor tersebut harus
dipertimbangkan dalam disain manajemen rantai pasok produk pertanian karena
kondisi rantai pasok produk pertanian lebih kompleks darpada rantai pasok pada
umumnya. Selain hal tersebut rantai pasok pertanian juga bersifat probabilistik dan
dinamis (Marimin dan Maghfiroh, 2010).
Berdasarkan konsep supply chain terdapat tiga tahapan dalam aliran material.
Bahan mentah didistribusikan ke manufaktur membentuk suatu sistem physical
supply, manufaktur mengolah bahan mentah, dan produk jadi didistribusikan kepada
konsumen akhir membentuk sistem physical distribution.
2.5.1.4 Referensi Operasi Rantai Pasok
Metode SCOR (supply chain operations reference) merupakan metode
sistematis yang mengkombinasikan elemen-elemen seperti teknik bisnis,
benchmarking, dan praktek terbaik (best practices) untuk diterapkan di dalam rantai
pasokan. Kombinasi dari elemen-elemen tersebut diwujudkan dalam kerangka kerja
yang komprehensif sebagai referensi untuk meningkat kinerja manajemen rantai
pasokan tertentu. Gambar 7 menunjukan bahwa pada dasarnya model SCOR
didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu:
42
a. Pemodelan proses, referensi untuk memodelkan suatu proses rantai pasokan
agar lebih mudah diterjemahkan dan dianalisis. Meliputi lima proses yang
terintegrasi, yaitu: perencanaan (plan), pengadaan (source), produksi (make),
distribusi (distribution), dan pengembalian (return). Sebagai proses tambahan
pada masing-masing proses tersebut dapat dilakukan suatu tindakan (enable).
b. Pengukuran performa/kinerja rantai pasokan, referensi untuk mengukur
performa suatu rantai pasokan sebagai standar pengukuran. Model SCOR
menyediakan lebih dari 150 indikator penilaian yang mengukur performa
proses rantai pasokan (www.wikipedia.org). Kriteria yang digunakan dalam
pengukuran performa rantai pasokan tersebut disebut dengan atribut performa,
meliputi: reliabilitas rantai pasokan, responsivitas rantai pasokan, fleksibilitas
rantai pasokan, biaya rantai pasokan, dan manajemen asset rantai pasokan.
c. Penerapan best practice (praktek-praktek terbaik), referensi untuk
menentukan praktek terbaik yang dibutuhkan. Model SCOR menyediakan
praktek-praktek terbaik yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
penerapannya. Praktek-praktek tersebut haruslah memenuhi kriteria, antara
lain adalah: keterkinian, terstruktur, terbukti, dapat diulang, memiliki metode
yang jelas, serta memberikan imbas yang positif ke arah kemajuan.
Gambar 7. Model referensi proses bisnis SCOR
2.5.1.5 Rantai Pasok Daging Sapi
Rantai pasok daging sapi di Indonesia dapat dikelompokkan dalam lima
tahap yang dimulai dari tahap produksi yang dilakukan oleh peternak tradisional
atau peternak kecil, selanjutnya masuk pada tahap distribusi ternak sapi, baik untuk
antar kabupaten maupun antar propinsi (Gambar 8). Pada tahap pemotongan ternak
43
sapi, rumah potong hewan selain mendapat pasokan dari sapi lokal yang berasal dari
perdagangan antar kebupaten maupun antar propinsi, juga mendapatkan pasokan
sapi yang berasal dari luar negari (import). Pemeliharaan untuk waktu tertentu
dilakukan untuk sapi import sampai saat pemotongan dilakukan (USAID, 2007).
Tahap keempat adalah pemrosesan yang dilakukan sampai daging siap
dipasarkan, baik dalam bentuk potongan daging maupun bentuk produk olahan
dalam berbagai merk dagang. Produk olahan dalam bentuk bakso (meat ball)
diperkirakan membutuhkan 60% dari seluruh produksi daging nasional. Pada tahap
akhir adalah pemasaran, daging yang ada di pasaran dapat berasal dari rumah
potong hewan, pemrosesan daging, maupun daging import. Para pedagang daging
(retail) ataupun konsumen besar (hotel, rumah makan, atau institusi) memperoleh
pasokan dari pasar daging atau pedagang besar, yang selanjutnya para pedagang
tersebut menjual kepada konsumen.
Gambar 8. Rantai pasok daging sapi di Indonesia
44
2.5.2 Pengorganisasian dan Pengukuran Kinerja
2.5.2.1 Pendekatan dalam Pengambilan Keputusan
Ditinjau dari komponen input, proses, dan output, suatu sistem dapat
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu sistem analisis, sistem disain, dan sistem
kontrol. Tabel 7 mengilustrasikan ketiga kategori tersebut.
Tabel 7. Matriks klasifikasi sistem
Sistem Input Proses Output (1) (2) (3) (4)
Analisis ()
Karakteristik sudah diketahui
() Karakteristik sudah
diketahui
() Karakteristik perlu
dianalisis/direkayasa/ diatur
Desain ()
Karakteristik sudah diketahui
() Karakteristik perlu
dianalisis/direkayasa/ disintesis
() Karakteristik sudah
diketahui
Kontrol
() Karakteristik perlu
dianalisis/direkayasa/ diatur
() Karakteristik sudah
diketahui
() Karakteristik sudah
diketahui
Sumber: Marimin (2007)
Dapat ditemukenali karakteristik kesalahan dalam pengambilan keputusan
yang spesifik untuk setiap strata, sebagai berikut :
a. Untuk tingkat direktif (S1), sumber kesalahan keputusan adalah kehilangan
kesempatan (opportunity loss) yang disebabkan pemisahan yang tidak tepat
antara tujuan organisasi khususnya program jangka panjang, dengan evolusi
lingkungan sistem yang aktual;
b. Tingkat strategis (S2), kesalahan dalam kekeliruan pendayagunaan (disutility).
Hal ini merupakan konsekuensi dari ketidaksinambungan pada struktur
perencanaan yang semestinya disesuaikan secara relatif pada kejadian aktual;
c. Tingkat taktis (S3), sumber kesalahan berwujud pada ketidak seimbangan
(disequilibrium). Hal ini disebabkan perubahan-perubahan pada instrument
pengendali;
d. Tingkat operasional (S4), kesalahan tampak dalam bentuk munculnya
keragaman (variance) yang disebabkan karena perbedaan nyata antara hasil
yang dikehendaki dengan hasil yang sebenarnya dalam mekanisme
transformasi input-output;
45
Karakteristik dari setiap tingkat dalam hirarkhi manajemen pengambilan keputusan
tersebut dijelaskan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Teknologi manajemen pada sistem pengambilan keputusan
Kategori/Kelas Keputusan Teknologi Manajerial Proses Keputusan (1) (2) (3)
S1 :
Direktif Untuk mengelola integritas organisasi jangka panjang
- Skema penelitian lapang - Program pemecahan model
heuristik - Prosedur keputusan
Perencanaan jangka panjang
S2 :
Strategis Untuk mengelola integritas komponen dan adaptasi awal kecenderungan lingkungan
Status stokastik : - Model teori peluang - Analisa program kualitatif/
logic
Perencanaan perihal tak terduga
S3 :
Taktis Untuk memadukan parameter-parameter organisasional dengan kendala-kendala eksogenus yang mutakhir
Status terbatas : - Instrument pengendali dan
keputusan berdasar statistik - Model probabilistic untuk
metode ekonometrik - Teori keputusan parametrik
Pemeliharaan keseimbangan
S4 : Operasional Untuk mengelola efisiensi dan prediksi pada tingkat
Status diskrit : - Hitungan algoritmik - Teknik penelitian
operasional
Pengendalian proses
Sumber: Marimin (2004)
2.5.2.2 Metafora Organisasi Morgan (2008) membedah pemahaman tentang kehidupan organisasi dengan
menggunakan istilah metaphor yang berarti menyamakan. Dalam arti kesamaan cara
kerja dan aktivitasnya. Morgan menyampaikan 8 metafora organisasi. yaitu: (1)
organisasi sebagai mesin (organization as machine), (2) Organisasi itu seperti
makhluk hidup (organization likes organism). (3) Organisasi adalah otak
(organization as brain). (4) Organisasi adalah budaya (organization as culture). (5)
Organisasi sebagai system politik (as political system). (6) Organisasi sebagai
psychic prison. (7) Organisasi itu perubahan yang terus menerus (flux and
transformation) dan (8) organisasi adalah alat untuk menguasai (instrument of
domination).
2.5.2.3 Modal Intelektual Organisasi Studi tentang aplikasi manajemen modal intelektual telah dilakukan di
beberapa negara baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Studi
ini dilakukan di negara maju seperti Inggris (Brooking, 1996; Roos et al., 1997),
Kanada (Bontis, 1997; Miller, 1999), Amerika Serikat (Stewart, 1997), sedangkan
46
dinegara berkembang dilakukan di Taiwan (Tsan dan Chang, 2003) dan Malaysia
(Bontis dan Richardson, 2000). Jung (2009) menggambarkan kerangka kerja dari
intelektual organisasi seperti dalam Gambar 9.
Sumber: Jung (2009)
Gambar 9. Kerangka kerja dari intelektual organisasi
Modal intelektual yang mencakup sumber daya manusia, modal
organisasional, dan modal relasional merupakan aset intangible yang berperan
penting sebagai sumber daya untuk mencapai keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan. Melalui pengelolaan modal intelektual secara tepat organisasi dapat
mengembangkan sumber daya yang dimiliki untuk menunjang pencapaian tujuan
dan sasaran organisasi. Untuk mencapai kesuksesan dalam mengelola modal
intelektual perlu pengintegrasian aset intelektual dengan strategi pengembangan
organisasi dan adaptasi dengan perubahan internal maupun eksternal yang sangat
dinamis.
2.5.2.4 Pengukuran Kinerja Pencapaian, dibanyak organisasi, diukur dalam bentuk uang – kriteria
kesuksesan adalah sejauh mana keuntungan dapat dimaksimalkan. Namun, oleh
Beer (1984), ini tidak dianggap sebagai hal yang memuaskan karena pencapaian itu
mengabaikan seberapa baik organisasi mempersiapkan masa depan dengan
melakukan investasi dan pengembangan. Oleh sebab itu Beer mengadopsi 3 jenis
pencapaian (aktualitas, kapabilitas dan potensialitas) dimana hal tersebut
digabungkan dengan tiga indeks (produktivitas, efektivitas dan kinerja) sebagaimana
47
dijelaskan pada Gambar 10 yang menjelaskan ukuran kinerja yang komprehensif
dalam hubungannya dengan semua jenis sumber-sumber yang ada dalam organisasi.
Sumber: Jackson (2003)
Gambar 10. Model pengukuran kinerja kelembagaan
Tiga tingkat pencapaian didefinisikan dengan jelas sebagai berikut:
1. Aktualitas adalah apa yang sekarang kita lakukan, dengan sumber daya yang
ada dan dengan kendala-kendala yang ada.
2. Kapabilitas adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang jika kita benar-
benar berusaha untuk itu, dengan sumber-sumber yang ada dan dengan
kendala yang ada.
3. Potensialitas adalah apa yang bisa kita lakukan dengan mengembangkan
sumberdaya serta menghapus kendala, meski masih beroperasi dalam batas-
batas yang masih dapat ditoleransi.
Oleh sebab itu, indeks adalah:
1. Produktivitas: Ratio aktualitas dan kapabilitas
2. Efektivitas: Ratio kapabilitas dan potensialitas
3. Kinerja: Rasio aktualitas dan potensialitas, juga produk laten dan
produktivitas
2.5.3 Pendekatan Soft System Methodology (SSM)
2.5.3.1 Siklus Pembelajaran dalam SSM
Dalam SSM terdapat berbagai teknik yang digunakan dalam menganalisis
penelitian kebijakan. Mengingat kebijakan publik adalah pengetahuan yang sangat
multi disipliner, tentunya untuk menghasilkan sintesa yang mendalam dan
komprehensif tidak cukup bila hanya menggunakan satu metoda saja. Selain hal
tersebut peneliti juga harus menyadari bahwa setiap teknik (complementarism)
48
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dengan menggunakan kombinasi
teknik yang tepat dapat mempertajam analisis, meningkatkan mutu disain dan
meminimalisasi bias dalam penelitian.
Checkland (1981) dalam Jakson (2003), “Systems Thinking, Creative Holism
for Managers”, yang dikembangkan oleh Eriyatno (2007), bahwa implementasi
SSM dapat dilakukan dalam 7 (tujuh) siklus, seperti pada Gambar 11:
1. Situasi permasalahan yang tidak terstruktur, dimana peneliti harus mendalami situasi yang dihadapi (problem situation);
2. Situasi permasalahan yang ditemu kenali, upaya pemahaman masalah secara
kreatif dalam bentuk “rich picture”, belum dalam pola kesisteman;
3. Pendefisian sistem yang relevan, tahap ini merupakan wilayah human activity
systems. Pada tahap ini ditentukan sistem, metode dan teknik yang akan
digunakan dalam pendekatan SSM sesuai tujuannya, dilakukan pertimbangan
terhadap 6 (enam) hal yang disingkat CATWOE (Customers, Actors,
Tranformation process, World view, Owner, Environmental Constraints);
4. Model konseptual, tahap penyusunan model konseptual dengan cara berfikir
system. Tahap 3 (CATWOE) merupakan basis untuk menghasilkan model
yang inovatif (lebih baik) dari model (kondisi) yang telah ada;
5. Perbandingan antara “model konseptual” dan “situasi permasalahan yang
ditemu kenali”, pada tahap ini dilakukan eksplorasi atas “model konseptual”
dan “situasi permasalahan yang ditemu kenali”, dan disusun bahan diskusi
dengan semua kemungkinan alternatif pemecahan masalah;
6. Identifikasi hal yang diinginkan secara sistematis dan perubahan yang layak
secara efektif, merupakan langkah untuk memilih alternatif yang terbaik
(optimal) berkaitan dengan pemenuhan kepentingan aktor atas perubahan yang
akan diambil, serta cara dan metode perubahan yang akan dilakukan;
7. Tindakan untuk memperbaiki keadaan, adalah tahap penerapan model kreatif
yang dihasilkan dalam praktek nyata sebagai upaya untuk memperbaiki
permasalahan yang ada.
49
Sumber : Eriyatno, Riset Kebijakan, hal 75.
Gambar 11. Siklus pembelajaran dalam Soft Systems Methodology
SSM merupakan pendekatan sistemik yang dapat digunakan dalam
penyelesaian masalah yang komplek, tidak terstruktur, dan melibatkan berbagai
variabel dengan karakteristik dan perspektif yang bervariasi. Pendekatan SSM telah
banyak digunakan baik dalam riset ilmiah maupun dalam upaya untuk
menyelesaikan permasalahan konkrit yang dengan basis empiris serta melibatkan
berbagai pemikiran berbagai ahli dalam disiplin ilmu yang berbeda. Sebagai
ilustrasi beberapa penilitan di Indonesia yang telah menggunakan pendekatan SSM
dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan untuk penelitian yang telah dilakukan di
negara lain dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 9. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Indonesia
No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)
1. Rancangan Kebijakan Pengelolaan Budaya Organisasi Untuk Meningkatkan Kapabilitas Bank Sntral
Widyo Gunadi Bulletin Penelitian Universitas Mercubuana No. 24. Maret 2011: 37-49
2. Disain Lembaga Pembiayaan Pertanian Nasional Subsektor Tanaman Pangan Menggunakan Pendekatan Interpretative Structural Modeling (ISM)
Imam Teguh Saptono Jurnal Manajemen dan Agribisnis. Vol. 7 No. 2 Oktober 2010: 84-96
50
Tabel 9 (lanjutan) No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)
3. Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Pendekatan Berbasis Sumber Daya: Studi Kasus Pengusaha Industri Kecil Logam Kiara Condong, Bandung
Widjajani. Yudoko Jurnal Teknik Industri Vol. 10. No. 1. Juni 2008: 50-64
4. Penatakelolaan Kawasan Hutan Rawan Konflik Melalui Pendekatan Metodologi Sistem Lunak : Kasus Hutan Penelitian Benakat, Sumatera Selatan
Martin. Winarno. Purnomo. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No. 3 September 2008: 179-202
5. Rancang Bangun Operasional Teknologi Informasi Bank Sentral Melalui Sistem Outsourcing
Tjiptorogo Dinarjo Disertasi Doktor pada Program Studi Manajemen Bisnis IPB
Tabel 10. Penggunaan pendekatan SSM dalam penelitian di Negara lain
No Judul Penelitian Dilakukan oleh (1) (2) (3)
1. Systems thinking in innovation project management: A match that works
Maria Kapsali, International Journel of Project Management. 29 (2011) 396-407
2. Operational Research, Systems Thinking and Development Of Management Sciences Methodologies in US and UK
Alberto Paucar-Caceres, Scientific Inquiry, vol. 9, No.1, June, 2008: 3-18
3. The Application of Systems Thinking and Systems Theory to Systems Engineering
Adams., Mun. 26th ASEM National Conference Proceedings, October 2005
4. Five case studies applying Soft Systems Methodology to Knowledge Management
Tayyab Maqsood Doctoral Candidate, CRC for Construction Innovation, RMIT University, Melbourne, Victoria, Australia
5. A Soft Systems Methodology for Transforming Organisations to Product-Service Systems (Application In Defence and Construction Industry)
Maged Morcos and Michael Henshaw 7 th Annual Conference on Systems Engineering Research 2009 (CSER 2009)
2.5.3.2 Viable System Model (VSM) VSM merupakan perwujudan berbagai macam hukum dan prinsip cybernetik
yang disebut Beer (1984) sebagai hal penting untuk meningkatkan kinerja
organisasi. Tidak mengherankan apabila hal ini ditemukan dalam pendekatan yang
disebut sebagai organisasi cybernetik. Namun demikian perlu diingat bahwa VSM
51
itu sendiri hanya sebagai model – bukan metodologi – dan dapat digunakan untuk
tujuan lain.
Gambar 12. Rekayasa variasi
Titik awal kita untuk memahami VSM haruslah mengenai konsep “variasi”
dan hukum variasi dari (Ashby, 1956): “hanya variasi yang dapat menghancurkan
variasi”. VSM merupakan bagian canggih atas implikasi hukum Ashby yang
diperlukan untuk berbagai macam organisasi. Proses penting yang dihadapi
organisasi harus diselesaikan – yaitu sentralisasi versus desentralisasi. Seperti yang
diperlihatkan dalam Gambar 12, manajemen lebih tertarik untuk mengontrol operasi
daripada menyadari tujuan yang disepakati. Di saat yang sama, apabila operasi
tersebut responsif terhadap perubahan dalam lingkungan, mereka akan
membutuhkan kapasitas maksimum untuk bertindak dalam cara otonom. Sebaliknya,
apabila manajemen terlalu banyak membatasi variasi operasi, maka organisasi
menjadi tidak adaptif terhadap perubahan lingkungan. Dilain pihak apabila
manajemen terlalu sedikit melakukan kontrol terhadap operasi, maka tujuan
organisasi akan meleset dan tidak akan mencapai tujuan. Oleh karena itu VSM
menjelaskan solusi kepada manajer dimana otonomi maksimal diberikan kepada
operasi sejalan dengan sistem sehingga mencapai tujuan.
Tujuan selanjutnya adalah memusatkan perhatian pada “sistem fokus”,
dengan menggunakan VSM pada model rekursi tiga tingkatan. Penerapan VSM
dalam organisasi terdiri dari lima elemen (sistem 1 sampai 5), yang disebut:
implementasi (implementation), koordinasi (coordination), operational control
(termasuk managemen pendukung), pengembangan (development) dan kebijakan
(policy). Fungsi-fungsi yang ditangani oleh lima elemen ini, dijalankan pada semua
sistem yang diharapkan dapat berkelanjutan (Gambar 13).
Sistem 1, memiliki kebebasan penuh untuk berhubungan dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, sistem tersebut harus dirancang – sesuai dengan
VSM – dengan kebijakan, perkembangan, operational control, koordinasi dan
52
fungsi-fungsi implementasi sendiri mereka sendiri. “ledakan” elemen B, dengan
manajemen lokal 1B dan lingkungan yang mendukung
Gambar 13. Viable system model (Jackson, 2003)
Bagian-bagian sistem 1 didesain untuk dapat dijalankan secara mandiri.
Mereka dapat merespon perubahan dalam lingkungannya sesuai dengan prioritas
mereka sendiri. Manajemen lokal 1B misalnya – berdasarkan keputusan manajemen
lebih tinggi - setuju dengan tujuannya untuk menjalankan operasi B sendiri, dan
menerima umpan balik atas informasi dan kinerja, lalu mengambil tindakan korektif
yang diperlukan.
1. Otonomi atas bagian-bagian itu merupakan dasar untuk menyebarkan
kepemimpinan dan kontrol terhadap seluruh sistem. Satu-satunya pembatasan
otonomi pada elemen sistem 1 berasal dari persyaratan bahwa mereka harus
terus berfungsi sebagai sebuah bagian dari keseluruh organisasi.
53
2. Oleh sebab itu mereka menerima konfirmasi atas tujuan dan sasaran mereka
dari sistem 5, disempurnakan menjadi target oleh sistem 3, turun secara
vertikal ke saluran perintah dan tunduk pada koordinasi dan audit oleh sistem
2 dan 3.
3. Mereka menyampaikan laporan kinerja pada sistem 3.
Mudah melihat VSM sebagai hierarki dan pembatasan sistem 1 merupakan
„kendala‟. Namun pandangan itu keliru. VSM memang perlu naik turun sehingga
jelas terlihat bahwa sistem 1 adalah bagian terpenting. Sementara itu sistem 2
sampai 5 – yang kadang-kadang disebut juga “metasistem” - memfasilitasi operasi
sistem 1. Elemen B tidak menyadari tujuannya jika ditolak oleh tindakan dari A,C
atau D, yang juga memerlukan koordinasi atau sistem 2. Tidak ada gunanya bagi B
untuk terus mengejar tujuan yang ada. Misalnya, jika perubahan besar dalam seluruh
lingkungan membuatnya tidak relevan – maka kebutuhan akan pengembangan
didorong oleh sistem 4. Sementara itu sistem 2-5, dirancang untuk menjadi
fasilitator. Bahaya akan muncul apabila sistem 2–5 mengambil alih hidupnya sendiri
dan mulai berperan seperti apa yang diperankan pada sistem 1 sebagai bagian
operasi dalam sebuah organisasi. Sistem 2-5 tidak diijinkan untuk menjadi sistem
yang menjamin kelangsungan hidup. Otonomi elemen sistem 1 terlindungi dengan
sangat baik. VSM menjelaskan bahwa kontrol terhadap manajemen dijalankan oleh
koordinasi dan audit daripada otoritas yang berada di bawah garis perintah diatas.
Sistem 2 adalah fungsi koordinasi karena sistem 2 terdiri dari berbagai
macam peraturan dan regulasi untuk memastikan bahwa bagian-bagian sistem 1
tetap berada dalam jalurnya. Hal ini juga termasuk persyaratan-persyaratan hukum
yang perlu dipatuhi. Sistem 2 digunakan untuk memastikan keharmonisan antara
elemen-elemen sistem 1. Jika sebuah divisi mempekerjakan karyawan dimana
kondisi dan persyaratannya berbeda dengan apa yang biasa digunakan dalam B,C
dan D, ini akan menimbulkan merusak keseluruhan sistem 1 dan memiliki dampak
yang buruk.
Sistem 3(*) adalah pembantu dari sistem 3, memenuhi ketentuan-ketentuan
audit untuk memastikan bahwa target yang ditentukan oleh sistem 3, serta peraturan
dan regulasi yang dikeluarkan oleh sistem 2, dipatuhi. Saluran ini memberikan akses
langsung pada sistem 3, dan secara berkala, masuk dalam sistem operasional.
54
Melalui cara ini, sistem 3 dalam melakukan pengecekan lebih cepat atas kinerja,
kualitas, kepatuhan terhadap regulasi keuangan, maintenance, dan lainnya.
Peran sistem 3 yang tepat adalah mengontrol operasi sistem 1 dan
manajemen service (fungsi-fungsi seperti sumberdaya manusia dan keuangan).
Sistem 3 memiliki tanggungjawab untuk menjalankan organisasi sehari-hari,
memastikan bahwa ketentuan diimplementasikan dengan tepat.
1. Sistem 3 muncul dalam bentuk perintah, dan harus menghasilkan rencana yang
terkoordinasi, lalu mengalir ke garis bawah – menuju sistem 1. Ini melibatkan
„tawar menawar sumberdaya‟ dengan bagian-bagian sistem 1. Segera setelah
hal ini selesai dilakukan, maka secepat mungkin (khususnya di area-area
pendukung) untuk langsung melakukan operasi melalui koordinasi dan audit.
2. Terkadang, dalam rangka menerima informasi dari sistem 4,3* atau 2
diperlukan langkah-langkah kontrol yang lebih hierarkis. Sistem 3 juga harus
membuat laporan atas setiap informasi yang diperlukan oleh sistem 5.
Dalam sebuah organisasi, sistem 1,2 dan 3 membuat Beer menyebutnya
“manajemen otonom” karena dapat menjaga stabilitas internal dan mengoptimalkan
kinerja dalam sebuah kerangka kerja yang baik tanpa referensi yang lebih tinggi dari
manajemen. Meski demikian manajemen otonom tidak memiliki pandangan yang
menyeluruh atas lingkungan organisasi sehingga tidak mampu menanggapi ancaman
dan peluang yang timbul. Sistem itu juga tidak memiliki kapasitas pembelajaran
ganda. Jadi itulah mengapa sistem 4 dan 5, diperlukan.
Sistem 4, pengembangan, adalah tempat dalam sebuah organisasi dimana
informasi internal yang diterima dari sistem 3 diubah bersama-sama dengan
informasi lingkungan organisasi, lalu disajikan dalam bentuk pengambilan
keputusan. Beer mengatakan bahwa sistem 4 adalah „ruang operasi‟ perusahaan,
„lingkungan keputusan‟ yang riil.
1. Sistem 4 harus dapat menangkap semua informasi yang relevan tentang
lingkungannya secara total. Apabila organisasi ingin menyesuaikan diri
dengan variasi lingkungan yang dialaminya, diperlukan sebuah model yang
memuat prediksi-prediksi masa depan.
2. Sistem 4 membentuk model ini lalu mengkomunikasikan informasi ini kepada
sistem 3 jika tindakan cepat dibutuhkan, atau kepada sistem 5 jika memiliki
55
implikasi jangka panjang. Sistem 4 juga membantu organisasi
memperkenalkan dirinya sendiri kepada lingkungan.
3. Umumnya, sistem 4 merupakan rumah bagi aktivitas-aktivitas seperti
perencanaan, marketing, riset dan pengembangan serta hubungan
kemasyarakatan.
Sistem 5, kebijakan, bertanggung-jawab atas arah organisasi secara
keseluruhan. Sistem 5 merumuskan kebijakan berdasarkan informasi yang diterima
oleh sistem 4 lalu mengkomunikasikannya ke bawah – kepada sistem 3 – untuk
diimplementasikan oleh setiap divisi.
1. Tugas pentingnya adalah menyeimbangkan antara konflik internal dan
permintaan eksternal. Di sini diperlukan kesimbangan pada sistem 3 – yang
mewakili komitmen manajemen otonom untuk melanjutkan operasi – dan
sistem 4 yang hubungannya dengan lingkungan cenderung keluar dan
berorientasi masa depan.
2. Sistem 5 harus memastikan bahwa – bila diperlukan - organisasi harus
menyesuaikan dengan lingkungan eksternal, namun masih mempertahankan
keuntungan yang dapat diperoleh dari stabilitas internal.
3. Sistem 5 juga harus menterjemahkan identitas dan tujuan seluruh sistem ke
dalam sistem yang lebih luas. Dalam peran ini, sistem 5 bertindak sebagai
manajemen lokal dari elemen tertentu di sistem 1 dalam sebuah sistem yang
lebih luas.
2.6 Teori Validasi Model
Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk
menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang
sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang
meyakinkan dan valid. Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang
iteratif untuk penyempurnaan model yang dibangun Penyederhanaan proses validasi
bagi pemodelan dapat dilihat pada Gambar 14.
56
Gambar 14. Penyederhanaan Proses Pemodelan (Sargent, 1998)
Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent
(1998), terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu:
1. Animation, penampilan secara grafis/visual dalam periode waktu tertentu;
2. Comparison to other models, membandingkan dengan model lain yang telah
valid;
3. Degenerate test, pengujian perilaku model berdasarkan dengan peubah nilai
input dan parameter internal;
4. Event validity, pengujian dengan membandingkan dengan “peristiwa” pada
sistem yang nyata;
5. Extreme condition test, pengukuran kemampuan struktur model untuk
beroperasi pada kondisi yang ekstrim;
6. Face validity, pengukuran validitas dengan meminta pendapat para pakar
yang berpengetahuan tentang sistem, apakah model yang diajukan telah
berperilaku yang wajar. Teknik ini dapat digunakan dalam menentukan
apakah logika dalam model konseptual dianggap benar dan hubungan input-
outputmodel beroperasi secara wajar;
7. Fixed values, (menggunakan konstanta) digunakan dalam berbagai input dan
parameter internal sebuah model;
8. Historical data validation, membangun sistem (lanjutan) berdasarkan data
historikal yang telah ada (misal untuk sistem cuaca);
57
9. Historical methods, validasi dapat dilakukan dengan tiga pendeketan
yaitu: rasionalisme, empirisme, dan ekonomipositif;
10. Internal validity, beberapa ulangan (berjalan) dari model stokastik yang
dibuat untuk menentukan jumlah (internal) variabilitas stokastik;
11. Multistage validity, menggabungkan tiga metode historis dari rasionalisme,
empirisme, dan ekonomi yang positif ke dalam suatu proses dengan cara:
(1) mengembangkan asumsi model pada teori pengamatan, pengetahuan
umum, (2) memvalidasi dengan cara empiris, serta (3) membandingkan
(input-output) dengan sistem yang nyata;
12. Operational graphic, penampilan grafis sebagai model bergerak dalam
periode waktu, dalam bentuk perilaku dinamis dari indikator kinerja secara
visual ditampilkan model simulasi model bergerak dalam kurun waktu;
13. Parameter variability-sensitivity analysis, perubahan nilai-nilai
parameter input dan internal model untuk menentukan efek terhadap
perilaku model dan output;
14. Predictive validation, memprediksi (perkiraan) perilaku sistem, dan
kemudian dibuat perbandingan antara perilaku sistem dan perkiraan model
untuk menentukan apakah mereka adalah sama;
15. Traces, penelusuran perilaku berbagai entitas untuk menentukan apakah
logika dalam model telah benar;
16. Turing test, dengan meminta pendapat pakar apakah mereka dapat
membedakan antara sistem dan keluaran model yang dihasilkan;
58
halaman ini sengaja dikosongkan
59
3 METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Pelaksanaan swasembada daging sapi nasional akan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan dengan masing-masing peran dan fungsi (Gambar 15), saling
terkait sebagai sebuah sistem yang (1) saling berinteraksi sebagai komponen sebagai
sebuah proses; (2) interrelasi dalam menjalankan proses sebagai sebuah sistem; dan
(3) interkoneksi diantara sistem yang berjalan dinamis sesuai perubahan waktu dan
kondisi lingkungannya.
Gambar 15. Peta lingkungan swasembada daging sapi nasional
Mempertimbangkan luasnya lingkup dalam pencapaian swasembada daging
sapi nasional, maka penelitian ini akan ditekankan pada hal-hal yang terkait dengan :
1. Bagaimanakah pola pengorganisasian perencanaan pembangunan
swasembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas kementerian,
lembaga dan daerah agar dapat dicapai hasil pembangunan yang optimal;
2. Bagaimanakah koordinasi dan penataan peran kementerian, lembaga dan
daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran agar dapat
dicapai swasembada daging sapi yang berkesinambungan;
3. Bagaimanakan mengukur pencapaian kinerja kementerian, lembaga dan
daerah baik sebagai satuan kerja kementerian/lembaga/daerah maupun
sebagai sebuah sistem yang terintegrasi;
Berbagai pemangku kepentingan yang terlibat akan menjalankan peran dan
fungsinya untuk mencapai swasembada daging sapi dalam diagram input-output
60
terlihat bahwa (1) manajemen perencanaan, (2) koordinasi dan integrasi pelaksanaan
program, dan (3) identifikasi masalah monitoring dan evaluasi) dan tindakan
korektif, merupakan komponen dari blok manajemen pengendalian untuk mengatasi
timbulnya output yang tidah dikehendaki (Gambar 16).
Gambar 16. Diagram input-output swasembada daging sapi
3.2 Sasaran, Waktu dan Ruang Lingkup Penelitian
3.2.1 Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ditetapkan di beberapa Kementerian/Lembaga/Daerah dan
pemangku kepentingan yang terkait secara terseleksi. Penetapan tersebut dilakukan
dengan beberapa pertimbangan antara lain:
a. Kementerian PPN/Bappenas dan atau lembaga perencana sebagai menjadi
“vocal point” dalam :
- Implementasi UU No. 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional. Khususnya terkait dengan (a) mendukung
61
koordinasi antarpelaku pembangunan; (b) menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antarruang,
antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
- Sebagai pengambil kebijakan dan program dalam rencana pembangunan
nasional baik jangka panjang (RPJPN), menengah (RPJMN) maupun
tahunan (RKP).
b. Kementerian Pertanian dan atau SKPD Pertanian adalah lembaga yang
melaksanakan tugas pokok dan fungsi terkait langsung dengan sub-sektor
peternakan, sekaligus sebagai lembaga yang secara langsung terkait dengan
sektor pembangunan yang menjadi sasaran program;
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 15 bulan, dimulai dengan
melakukan studi pustaka, penyusunan proposal, serta selanjutnya mengikuti
persyaratan akademis maupun teknis untuk memenuhi persyaratan penilitian ilmiah
hingga penulisan dan pertanggungjawaban hasil melalui ujian disertasi.
3.2.3 Ruang Lingkup Penelitian
Dengan uraian diatas maka lingkup penelitian ini akan ditekankan pada hal-
hal yang terkait dengan:
1. Bagaimanakah pola pengorganisasian perencanaan pembangunan
swaembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas kementerian,
lembaga dan daerah agar dapat dicapai hasil pembangunan yang optimal;
2. Bagaimanakah koordinasi dan penataan peran kementerian, lembaga dan
daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran agar dapat
dicapai swasembada daging sapi yang berkesinambungan;
3. Bagaimanakan mengukur pencapaian kinerja kementerian, lembaga dan
daerah baik sebagai satuan kerja kementerian/lembaga/daerah maupun
sebagai sebuah sistem yang terintegrasi;
Dengan lingkup diatas maka untuk penajaman hasil penelitian dilakukan
batasan lingkup penelitian dan hasil yang akan dikontribusikan sebagai berikut:
1. Memberikan solusi atas tantangan dan permasalahan pada aspek manajerial
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional yaitu koordinasi
62
antarinstansi, antarsektor, serta antarpemangku kepentingan. Hal ini selaras
dengan berbagai saran dan rekomendasi dalam berbagai forum diskusi pakar1
maupun kajian yang ada2
2. Upaya pencapaian swasembada daging sapi nasional dengan pemberdayaan
peternakan skala kecil dan menengah yang berbasis sumberdaya lokal
;
3
3.3 Disain dan Tahapan Penelitian
;
Penelitian menggunakan pendekatan soft systems methology dilaksanakan
dalam 4 klaster, bahwa secara keseluruhan terdiri dari 7 tahapan kegiatan seperti
dijelaskan pada Gambar 17.
Gambar 17. Disain dan tahapan penelitian
Dalam garis besar masing-masing klaster dan tahapan pelaksanaan penelitian
dapat diuraikan pada Tabel 11.
1 Forum diskusi pakar: (1) Bappenas: Jakarta, 28 Juni 2010; (2) Menko Bidang Perekonomian: Surabaya, 6 Oktober 2011; (3) Kementerian Ristek: 19 Oktober 2011; 2 Naskah Kebijakan: Strategi dan Kebijakan dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi 2014; 3 Kerangka pikir PSDS 2014;
63
Tabel 11. Disain dan tahapan penelitian
Tahapan Kondisi dan Faktor yang Memerlukan Perhatian
(1) (2) In
put
1 Permasalahan yang tidak terstruktur
• Definisi swasembada daging sapi; • Pola konsumsi (demand) – produksi (supply) (saat ini
dan yang akan datang); • Populasi sapi nasional; • Pola koordinasi lintas K/L dan daerah;
2 Permasalahan yang terungkap
• Model (definisi) swasembada daging berbasis konsumsi protein;
• Pola konsumsi (demand) – produksi (supply) saat ini dan yang akan datang berbasis model konsumsi protein;
3
Mencari sumber relevan untuk sistem yang dibangun
• Rantai pasok peternakan sapi/ daging sapi • Faktor kunci enabler (pakan, obat-obatan, pembibitan,
dan lainnya); • Pemangku kepentingan (peran dan fungsi, serta
ekspektasi) • Pola konsumsi protein (khususnya protein cq. daging
sapi) • Pola pertumbuhan dan penyebaran penduduk, dalam
kaitan kecenderungan peningkatan demand daging sapi;
Ana
lisis
Kes
enja
ngan
4 Model-model konseptual
• Model demand – supply daging sapi berbasis konsumsi protein nasional;
• Kecenderungan pertumbuhan protein nasional ekivalen : (1) berat daging/ekor sapi; (2) kebutuhan pakan; (3) kebutuhan obat; (4) pola produksi bakalan/bibit sapi;
• Pola pengorganisasian lintas K/L dan daerah
5 Perbandingan model dengan dunia nyata
• Praktek di Indonesia dan negara lain (sebagai pembanding)
• Praktek perdagangan dalam negeri dan importasi • Pola (fluktuasi) konsumsi daging sapi (puasa, hari raya,
idul qurban, lainnya)
Val
idas
i
6
Pembahasan untuk perubahan yang diinginkan
• Perdagangan dalam negeri dan importasi • Pola pengorganisasian/ peran kelembagaan • Pola kerjasama pemerintah,dunia usaha, litbang, dan
lembaga keuangan • Insentif program untuk membangun iklim kondusif
Alte
rnat
if D
esig
n
7 Aksi untuk perbaikan
• Integrasi dan sinkronisasi perencanaan swasembada sapi lintas K/L dan Daerah;
• Kemitraan pemerintah (pusat – daerah), dunia usaha, lembaga keuangan dan masyarakat;
64
3.4 Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Penelitian ini fokus pada aspek kebijakan untuk mencapai perencanaan
pembangunan swasembada daging sapi nasional yang terintegrasi lintas
kementerian, lembaga dan daerah, serta koordinasi dan penataan peran kementerian,
lembaga dan daerah untuk dapat mencapai sinergi program dan anggaran. Oleh
karena itu memerlukan data an informasi yang lengkap yang meliputi data primer
dan sekunder.
Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner atau wawancara
langsung dengan responden ataupun panel pakar, jenis dan sumber data primer dapat
dilihat pada Tabel 12. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur,
dokumentasi yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang terkait dengan bidang
penelitian, jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 12. Jenis dan sumber data primer
No Sumber data Jenis data yang dibutuhkan
Teknik pengumpulan
(1) (2) (3) (4)
1.
Responden dari instansi pemerinta : Para pakar, pengambil keputusan, dan atau ahli, yang terkait dengan upaya swasembada daging sapi Hal-hal yang terkait secara
langsung maupun tidak langsung, terutama yang berkaitan dengan : a. Input lingkungan; b. Input terkendali; c. Input tak terkendali; d. Output dikehendaki; e. Output tak dikehendaki; f. Manajemen pengendalian
Kuesioner, survey pakar; Wawancara (in-
depth interview); Panel pakar
(focus group discussion); Observasi
lapang;
2.
Responden dari pelaku usaha : Para pelaku usaha yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan rantai nilai kegiatan usaha sapi dan atau daging sapi
3.
Responden dari pemangku kepentingan lain yang terkait: Para pemangku kepentingan lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan upaya swasembada daging sapi
65
Tabel 13. Jenis dan sumber data sekunder
No Sumber data Jenis data yang
dibutuhkan Teknik
pengumpulan (1) (2) (3) (4)
1.
Instansi pemerintah : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk yang terkait dengan pelaksanaan upaya swasembada daging sapi Hal-hal yang terkait secara
langsung dengan : a. Input lingkungan; b. Input terkendali; c. Input tak terkendali; d. Output dikehendaki; e. Output tak dikehendaki; f. Manajemen
pengendalian
Peraturan perundangan yang terkait; Data statistik, Data dan informasi
dalam berbagai bentuk;; Dokumen
perencanaan program dan anggaran (Renstra K/L, RPJMD, lainnya); Berbagai hasil
kajian; Berbagai bentuk
hasil monev; Data dan informasi
lain yang dimungkinkan;
2.
Pelaku usaha : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk terkait dengan rantai nilai kegiatan usaha sapid an atau daging sapi
3.
Pemangku kepentingan lain yang terkait : Dokumen, data dan informasi dalam berbagai bentuk yang terkait dengan pelaksanaan upaya swasembada daging sapi
Indepth interview dan/atau survai pakar/ahli dilakukan untuk memperoleh
pendapat/pemikiran maupun pengetahuan yang dimiliki oleh pakar yang berkaitan
dengan swasembada daging sapi. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan
atau responden didasarkan atas pertimbangan dan kriteria :
a. Keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk diwawancarai
b. Reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar
c. Keahlian dan pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk
memberikan saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah.
Dalam memecahkan suatu masalah, seorang pakar memiliki karakteristik efektif,
efisien dan sadar terhadap keterbatasannya. Alternatif sumber pengetahuan dapat
ditemukan melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah
(Eriyanto & Sofyan 2007).
Dalam penelitian ini diperoleh masukan pemikiran dari para pakar yang
mewakili pemangku kepentingan yang telah direncanakan, yaitu:
66
a. Anggota DPR RI dengan lingkup tugas yang terkait dengan sektor pertanian;
b. Aparatur pemerintah dari kementerian/lembaga terkait secara langsung
maupun tidak langsung dengan swasembada daging sapi, antara lain:
Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi
c. Akademisi dengan lingkup keahlian peternakan atau terkait dengan sektor
peternakan;
d. Pelaku usaha dalam bidang peternakan atau yang terkait dengan sektor
peternakan;
e. Insan pers atau media dengan bidang tugas (desk) bidang pertanian atau yang
terkait dengan sektor peternakan;
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Analitycal Network Process (ANP)
ANP merupakan gabungan dari dua bagian. Bagian pertama terdiri dari
hierarki kontrol atau jaringan dari kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi.
Bagian kedua adalah jaringan pengaruh-pengaruh diantara elemen dan cluster.
Sebagai ilustrasi jaringan feedback pada Gambar 18 memperlihatkan kerangka
umum untuk analisis. Jaringan ini memiliki 5 buah cluster yaitu: (1) Tujuan; (2)
Aspek, memiliki empat elemen; (3) Masalah, memiliki sepuluh elemen; (4)
Pemecahan, memiliki lima elemen, dan (5) Strategi, memiliki tiga elemen;
Gambar 18. Jaringan umpan balik dalam ANP (Ascarya, 2005)
67
Ascarya mengemukakan bahwa dalam penelitian yang menggunakan ANP sebagai
metode dapat menggunakan 5 (lima) tahapan atau langkah (Ascarya, 2005) sesuai
dengan tiga fungsi utama ANP ditambah dengan langkah-langkah pelengkap yang
diperlukan, yaitu:
a. Mengumpulkan data dan informasi mengenai permasalahan yang akan
diteliti selengkap mungkin dari para ahli yang menguasai permasalahan
tersebut. Hal ini diperlukan untuk memahami permasalahan yang ada secara
mendalam agar kerangka model yang dikembangkan sebisa mungkin
mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Beberapa teknik yang dapat
dilakukan untuk tujuan ini antara lain dengan mengadakan focus group
discussion (FGD) dan indepth interview dengan responden yang benar-benar
menguasai masalah dari berbagai kalangan, seperti pelaku, pakar, akademisi,
dan lain sebagainya. Tanpa pemahaman masalah yang mendalam akan sulit
untuk menstruktur kompleksitas dari masalah yang ada.
b. Dekomposisi atau analisis untuk menstruktur kompleksitas masalah, yang
akan menghasilkan kerangka ANP dari permasalahan yang telah dipahami
secara mendalam, lengkap dengan semua cluster, elemen, dan
hubunganhubungannya.
c. Merancang kuesioner sesuai dengan kerangka ANP yang telah dibuat, yang
nantinya disebarkan kepada para ahli yang benar-benar menguasai masalah
untuk pengukuran menggunakan skala rasio. Dalam metode ANP, data yang
diperlukan dapat diperoleh melalui dua cara. Pertama, satu data yang
diperoleh merupakan konsensus dari sekelompok responden yang
dikumpulkan secara bersamaan. Kedua, pengumpulan data dilakukan secara
terpisah untuk masing-masing responden. Dalam kasus ini metode ANP
membolehkan menggunakan modus atau rata-rata untuk mendapatkan satu
angka skala prioritas. Contoh kuesioner ANP yang digunakan dalam penelitian
ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
d. Memproses dan mensintesis data yang telah dikumpulkan melalui kuesioner
dengan kerangka ANP menggunakan perangkat lunak ANP. Tatacara
pemrosesan hasil ANP disajikan dalam Lampiran 2.
68
e. Menganalisis output yang dihasilkan, yang selanjutnya dipergunakan sebagai
dasar untuk memberikan policy recommendation yang sesuai untuk mengatasi
masalah yang ada.
3.5.2 Strategy Assumption Surfacing and Testing (SAST)
SAST adalah suatu metode yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
yang saling terkait dan rumit, dengan ketidak jelasan tentang tujuan, adanya konflik
kepentingan, serta ketidak pastian lingkungan mupun kendala sosial. Tahapan yang
digunakan dalam penggunaan metode SAST adalah sebagai berikut (Eriyatno,
2007):
a. Tahapan pembentukan kelompok (Group Formation) yang bertujuan untuk
membentuk kelompok dengan peserta yang memiliki criteria advocates of
articular strategies; vested interest; personality type;manager from different
functional areas; manager from different organizational levels; time
orientation (short/long term perspective). Sebagai contoh dalam penelitian
kebijakan kami adalah pakar kebijakan, pakar usaha kecil, pakar lingkungan,
praktisi (pengusaha kecil dan pengusaha menengah atau besar sejenis) dan
tokoh masyarakat.
b. Tahap Pengedepanan (memunculkan) asumsi (Assumption Surfacing),
dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi yang paling signifikan melalui
diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan dan strategi yang diinginkan.
Dalam tahap ini peserta melakukan analisis terhadap beberapa parameter
melalui Focuss Group Discussion (FGD) sehingga diperoleh asumsi-asumsi
dasar secara signifikan berpengaruh terhadap penyusunan kebijakan.
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk mendukung pencapaian hasil
dalam tahap ini antara lain:
a) “Who is affected by the strategy ?”
b) “Who has can interest in it?”
c) “who can affect its adoption, execution of implementation ? “
d) “Who cares about it?”
Sebagai contoh dalam penelitian ini adalah parameter tersebut meliputi
perilaku pemangku kepentingan dalam hal (1) ketersediaan input bahan baku,
(2) pembibitan sapi, (3) pembesaran sapi, (4) penggemukan sapi; (5)
69
perdagangan sapi dan daging sapi, serta pelaksanaan kebijakan yang ada,
peran serta masyarakat dan peran pemerintah. Sebagai ilustrasi disertakan
contoh kuesioner SAST yang digunakan dalam penelitian ini pada Lampiran 3.
Selanjutnya hasil analisis berupa alternatif asumsi dinilai tingkat kepentingan
dan kepastiannya dengan menggunakan Tingkat Peningkatan Asumsi dengan
melibatkan beberapa pakar. Pada penerapan Tingkat Peringkatan Asumsi
diajukan pertanyaan kepada masing-masing pakar tentang: seberapa penting
pengaruh asumsi tersebut terhadap keberhasilan atau kegagalan strategi yang
dimaksud? (memakai skala jawaban “paling tidak penting “ sampai “paling
penting”) ; dan juga seberapa penting); dan juga seberapa jauh keyakinan
bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan?” (memakai skala jawaban “paling
tidak pasti” sampai “ paling pasti”). Hasil pemeringkatan ditampilkan dalam
sumbu kartesius seperti pada Gambar 19.
Gambar 19. Pemeringkatan asumsi strategis dalam SAST (Jakcson, 2007)
c. Tahap Pembahasan Dialektik, dimaksudkan untuk membuat kasus
kemungkinan strategi terbaik yang diinginkan, melalui diskusi pakar. Proses
ini dilakukan melalui perdebatan terbuka dalam diskusi untuk membahas : (1)
asumsi-asumsi mana yang berbeda, (2) asumsi-asumsi mana yang dianggap
oleh setiap anggota kelompok sebagai asumsi yang paling bermasalah. Proses
“modifikasi asumsi” ini tetap berlanjut selama masih dapat diraih kemajuan
melalui proses perdebatan terbuka. Untuk membangun kerangka dialektik
70
dapat digunakan pendekatan dari model yang ada atau kerangka kerja yang
dianggap sesuai. Dalam hal ini akan digunakan pendekatan model Berlian
Porter, seperti pada Gambar 20.
Gambar 20. Kerangka analisis menggunakan Berlian Porter (Porter, 1990)
d. Tahap Sintetis, untuk mencapai kompromi atas asumsi-asumsi yang dapat
menghasilkan strategi baru yang harus mampu menjembatani atau
mengungguli strategi lama.
Menurut Mason keuntungan dalam metoda SAST ini terletak pada dialectical
approach banyak alternatif/strategi para pakar yang dibangun dalam perencanaan
berdasarkan pada bukti yang baik. Disini juga sekaligus merupakan kekurangannya
dimana banyaknya asumsi yang dikemukakan tidak dapat tercover seluruhnya,
selain itu juga adanya pendapat yang sangat berlawanan dapat berpengaruh pada
upaya untuk menghasilkan rencana yang aman untuk menghindari kritik.
3.5.3 Interpretative Structural Modeling (ISM)
Saxena et al (1992) menyatakan bahwa penggunaan ISM dalam analisis
program dapat dibagi menjadi Sembilan elemen utama :
1. Sektor masyarakat yang terpengaruh
2. Kebutuhan dari program
3. Kendala utama program
4. Perubahan yang diinginkan
5. Tujuan dari program
6. Tolak ukur untuk menilai setiap tujuan
71
7. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan
8. Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas
9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program
Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi
sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara sub-
elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan
berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam
terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar sub-
elemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno
(2003), hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Contoh
kuesioner ISM yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 4,
sedangkan hasil pengolahan ISM disajikan dalam Lampiran 5.
Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti
pada Tabel 14. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural
Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol :
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
X jika eij = 1 dan eji = 1
O jika eij = 0 dan eji = 0
Tabel 14. Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM
No Jenis Hubungan Interpretasi (1) (2) (3)
1. Pembandingan (comparative) A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B
2. Pernyataan (definitive) A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B
3. Pengaruh (influence) A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B
4. Keruangan (spatial) A adalah selatan/utara B A di atas B A sebelah kiri B
5. Kewaktuan (temporal/time scale) A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Sumber : Eriyatno (2003)
72
Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen
ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i
dan elemen ke-j. Hasil penelitian ini kemudian dibuat dalam Structural Self
Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya
dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas,
ditampilkan dalam Lampiran 6.
Sumber: Saxena (1990)
Gambar 21. Kerangka analisis menggunakan pendekatan ISM
Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah
untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk
menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk
mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam
empat sektor :
73
Sektor 1 : Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang
berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, mungkin
sedikit berhubungan walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang
berada pada sector ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau
dipengaruhi oleh sub elemen lain.
Sektor 3 : Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang
berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar
sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan
memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya
bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen pada
sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki
kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem.
3.5.4 Participatory Prospective Analysis (PPA)
PPA adalah pendekatan/teknik untuk prakiraan (foresight) atau prospek dari
suatu kebijakan dengan cara membangun asumsi dan tujuan, menyediakan pilihan
kemudian memilih tindakan. PPA makin banyak digunakan baik bisnis maupun
pemerintahan karena membiarkan asumsi “business as usual” menyebabkan banyak
kerugian. Dengan PPA dapat diantisipasi problem agar tidak berkembang lebih jauh
hingga sulit diberikan solusinya. Disadari bahwa analisa sebuah prospek adalah
pekerjaan yang sulit dan bersifat probability, sehingga tujuan utamanya bukanlah
menjamin masa depan (Bourgeois, 2004).
Dalam metode PPA para pakar melaksanakan peran yang sangat strategis.
Dengan menggunakan metode yang benar dan mengedepankan pengetahuan,
keahlian serta pengalaman yang dimiliki untuk mengeksplorasi seluruh variabel-
variabel dalam prioritas tertentu untuk menetapkan kebijakan (policy) saat ini yang
dapat membangun nilai tambah seperti yang diharapkan pada masa mendatang.
Secara umum dapat dikemukakan delapan tahapan dan pendekatan dalam
pelaksanaan metode PPA pada Tabel 15.
74
Tabel 15. Metodologi PPA
No Tahapan Pendekatan (1) (2) (3)
1. Pendifinisian batasan sistem Persiapan awal dan diskusi kelompok 2. Identifikasi variable Brainstorming 3. Pendefinisian variable kunci Diskusi kelompok yang terstruktur 4. Analisis bersama (saling membangun
dari berbagai pandangan) Analisis struktur dan kelompok kerja
5. Interpretasi hubungan pengaruh/ dalam pola keterkaitan
Penggunaan grafik dan tabel untuk mendukung kelompok kerja
6. Pendifinisian kondisi variable yang terbangun
Analisis morphologi dan diskusi kelompok
7. Pengembangan skenario Brainstorming 8. Implikasi strategik dan langkah
antisipasi Diskusi secara terstruktur
Gambar 22. Prinsip utama dalam metode PPA
Dalam melaksanakan tahapan dan pendekatan tersebut diatas, dapat
dikemukakan beberapa prinsip yang terbagi dalam tiga kategori yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaan PPA (Gambar 22), yang meliputi:
1. Prinsip-prinsip terkait objective of the method, yang meliputi effectiveness
dan participations;
2. Prinsip-prinsip terkait feature of the method, yang meliputi consistency,
reproducibility, dan transperancy;
75
3. Prinsip-prinsip terkait finalities of the method, yang meliputi capacity
building, plausibility, dan relevance;
3.6 Pilihan Validasi Model
Proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentifikasi
berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang
dirumuskan (Eriyanto dan Sofyar, 2007). Proses uji validasi pada penelitian
kebijakan dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk
kebijakan. Validasi produk kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau
dilakukan dengan membandingkan produk kebijakan hasil penelitian terhadap
kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Untuk verifikasi proses
perumusan kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam
pengembangan kebijakan.
Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent (1998)
adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan pendapat
pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran logika dan
teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan input-output model
secara masuk akal. Disamping itu, uji validitas juga dilakukan terhadap kinerja
beberapa teknik yang digunakan seperti ANP, SAST dan ISM
76
halaman ini sengaja dikosongkan
77
4 ANALISIS SITUASIONAL
4.1 Swasembada Daging Sapi Nasional
4.1.1 Kondisi Saat Ini
Swasembada daging sapi telah direncanakan dan diupayakan pencapaiannya
dalam 3 periode pembangunan yaitu: periode tahun 2001-2004, 2005-2009 dan
2010-2014. Abdullah (2010) menyatakan bahwa kegagalan dalam pencapaian
sasaran swasembada disebabkan oleh adanya perubahan beberapa considered
variable secara signifikan, antara lain:
Peningkatan Konsumsi Daging Sapi:
a. Konsumsi daging sapi perkapita meningkat drastis, pada tahun 2006 sebesar
0.33kg/kap menjadi 0.53kg/kap pada tahun 2007; dan pada tahun 2010
meningkat menjadi 2.4 kg/kap (data Warta Bisnis), atau 2.72 kg/kap (data
Ditjenak);
b. Peningkatan konsumsi daging sapi secara total pada tahun 2006 sebesar
399.660 ton, menjadi 590.200 ton – 654.400 ton pada tahun 2010;
c. Pemotongan ternak pada tahun 2006 sebanyak 1,7 juta ekor, pada tahun 2010
menjadi diperkirakan 3,93 jt-4,36 jt (Warta Bisnis, 2010).
Untuk memenuhi permintaan daging yang semakin meningkat, pemerintah
melakukan peningkatan produksi daging lokal mapun melakukan inpor selama
periode tahun 2005-2009 secabagaimana dijelaskan Tabel 16.
Tabel 16. Pemenuhan permintaan daging (Ditjennak, 2010)
No Uraian Tahun (000 ton)
2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Produksi daging lokal 217.38 259.54 210.77 233.63 250.81
2. Impor 111.29 119.17 124.80 150.42 142.80 a. Bakalan 55.09 57.14 60.80 80.38 72.80 b. Daging 56.20 62.04 64.00 70.04 70.00
TOTAL 328.67 378.71 335.57 384.05 393.61
78
Faktor Pendorong Peningkatan Konsumsi:
a. Peningkatan jumlah kelompok masyarakat menengah berpendapatan lebih
baik sehingga meningkatkan kemampuan untuk mengkonsumsi daging sapi ;
b. Perubahan pola makan dan aktivitas di masyarakat terutama masyarakat
perkotaan;
c. Peningkatan kemampuan masyarakat dalam menyajikan olahan daging;
d. Penyempurnaan pohon industri berbasis daging sehingga meningkatkan akses
masyarakat terhadap daging;
Diversifikasi Olahan dan Peningkatan Akses Konsumsi:
a. Jangkauan distribusi produk asal daging meningkat;
b. Pengolahan daging menjadi bakso, sosis, dan lainnya diperkirakan sebesar 70-
85%;
c. Import jeroan untuk substitusi daging sebagai bahan pembuat bakso;
Dapat dilihat pada Tabel 17, bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (2004 – 2009) telah
telah terjadi peningkatan impor daging sapi lebih dari 5 kali lipat.
Tabel 17. Kondisi Impor Daging Sapi dan Jeroan (Ditjennak, 2010)
No Uraian Tahun (000 ton)
2004 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. Daging Sapi 11,8 21,5 25,9 50,2 57,2 64,1 2. Jeroan (Offal) 36,5 34,7 36,5 13,8 12,9 10,6
Jumlah 48,3 56,2 62 64 70,1 74,7 Kenaikan (%) 16,36 11,03 2,56 9,53 6,56 Jeroan : Daging (%) 75,3 61,7 58,5 21,5 18,4 14,19
4.1.2 Kilas Balik Pelaksanaan Program Swasembada Daging
Program swasembada daging sapi pernah dicanangkan sebagai sasaran
pembangunan pada sub sektor peternakan dalam dua periode perencanaan
pembangunan jangka menengah, yaitu “Program Kecukupan Daging Sapi” pada
periode tahun 2000 – 2004 dan “Program Percepatan Swasembada Daging Sapi” pada
tahun 2006 – 2009. Berikut adalah ulasan yang dapat memberikan gambaran tentang
pelaksanaan program swasembada daging sapi pada dua periode pembangunan
tersebut.
79
1. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2004
Dalam Pemantapan Program dan Strategi Kebijakan Peningkatan Produksi
Daging Sapi (Yusdja, 2004), swasembada daging yang dicanangkan tahun 2000 dan
berakhir pada 2004 tidak berhasil karena tidak tercapainya tiga sasaran utama dari
program tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa ada lima penyebab
ketidakberhasilan tersebut, yaitu: (1) Kebijakan program yang dirumuskan tidak
disertai dengan rencana operasional yang rinci; (2) Program-program yang dibuat
bersifat top down dan berskala kecil dibandingkan dengan sasaran yang ingin
dicapai; (3) Strategi implementasi program disamaratakan dengan tidak
memperhatikan wilayah unggulan, tetapi lebih berorientasi pada komoditas
unggulan; (4) Implementasi program-program tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan evaluasi dampak program; (5) Program-program tidak secara jelas
memberikan dampak pada pertumbuhan populasi secara nasional.
2. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2010
Program swasembada daging 2010 sulit dicapai (Daryanto, 2007), secara
umum kendala yang dihadapi masih berkisar pada permasalahan yang tidak jauh
berbeda dengan pelaksanaan swasembada daging sapi tahun 2004. Namun secara
lebih spesifik ditekankan bahwa keberhasilan program revitalisasi pembangunan
peternakan sangat tergantung pada keberhasilan penguatan kelembagaan, antara lain
adalah (1) menghindarkan (kalau bisa meniadakan) hambatan-hambatan koordinasi
antara Departemen Pertanian dengan departemen-departemen lain yang terkait; (2)
menghindarkan hambatan koordinasi antar unit atau bentuk “pengkotak-kotakan” di
dalam Departemen Pertanian sendiri;
3. Pembelajaran yang Dapat Diperoleh
Ketidakberhasilan dalam dua periode pembangunan sebelumnya merupakan
pembelajaran sebagai bekal dalam penyempurnaan program swasembada daging
sapi untuk periode pembangunan 2010 – 2014. Perencanaan dan pelaksanaan
program swasembada daging sapi 2014 akan memperhatikan ruang perbaikan agar
kegagalan pada periode pelaksanaan sebelumnya tidak terulang (Caturoso, 2010).
Evaluasi dan perbaikan pelaksanaan program swasembada daging sapi dapat dilihat
secara rinci pada Tabel 18.
80
Tabel 18. Evaluasi dan perbaikan pelaksanaan PSDS Periode Program Kondisi Kritikal
(1) (2)
Tahun 2000 – 2004 “Program Kecukupan Daging Sapi”
1. Program tidak secara sistematis disusun 2. Tidak ada penetapan target pertahun 3. Tidak ada dukungan dana dan SDM untuk mencapainya 4. Lebih berupa jargon-jargon dan belum didukung oleh
instansi lain
Tahun 2005 – 2009 “Program Percepatan Swasembada Daging Sapi”
1. Program telah memiliki target tahunan dan di susun sistematis
2. Belum ada dukungan anggaran yang memadai atau tidak pintar mencari dana
3. Belum melibatkan instansi terkait pusat dan daerah Tahun 2010 – 2014 “Program Swasembada Daging Sapi
1. Program sudah jelas, terukur dalam Blue Print PSDS 2. Didalamnya ada keterkaitan peternak, swasta dan pemerintah 3. Dukungan anggaran sudah ada tetapi belum memadai 4. Belum menjadi suatu gerakan baru berupa program
Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014 (diolah)
4.1.3 Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014
Swasembada daging sapi ditetapkan sebagai program melalui Peraturan
Menteri Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum
Program Swasembada Daging Sapi 2014. Swasembada daging sapi dilakukan
dengan melaksanakan 5 kegiatan pokok yang dijabarkan dalam 13 kegiatan
operasional (Tabel 19).
Tabel 19. Kegiatan operasional dalam swasembada daging sapi Kegiatan Pokok Kegiatan Operasional
(1) (2)
1. Penyediaan bakalan/daging sapi lokal
1 Pengembangan usaha pembiakan dan penggemukan sapi lokal
2 Pengembangan pupuk organik dan biogas 3 Pengembangan integrasi ternak sapi dan tanaman 4 Pemberdayaan dan peningkatan kualitas RPH
2.
Peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal
5 Optimalisasi IB dan INKA 6 Penyediaan dan pengembangan pakan dan air
7 Penanggulangan gangguan reproduksi dan peningkatan pelayanan kesehatan hewan
3. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif
8 Penyelamatan sapi betina produktif
4. Penyediaan bibit sapi 9 Penguatan wilayah sumber bibit dan kelembagaan
usaha pembibitan 10 Pengembangan pembibitan sapi potong melalui VBC 11 Penyediaan bibit melalui subsidi bunga (KUPS)
5. Pengaturan stock daging sapi di dalam negeri
12 Pengaturan stock sapi bakalan dan daging sapi
13 Pengaturan distribusi dan pemasaran sapi dan daging
Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014
81
1. Sasaran Pencapaian Swasembada Daging Sapi
Dalam blueprint disajikan rencana pelaksanaan swasembada daging dalam
tiga skenario, (a) pesimistic, dimana Indonesia hanya akan mampu memenuhi 47.6%
dari total kebutuhan sapi dan daging; (b) most likely, dimana Indonesia telah mampu
mengurangi impor sapi dan daging sampai 10% saja; (c) optimistic, dimana
Indonesia akan dapat mengekspor sapi dan daging karena ada kelebihan 10% dari
total kebutuhan di dalam negeri. Perjalanan untuk mencapai tingkat keberhasilan
berdasarkan tiga skenario tersebut dari tahun ke tahun diilustrasikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Skenario produksi domestik dan impor
Tahun Produksi domestik (%) Impor (%) Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic
2009 63.5 63.5 63.5 36.5 36.5 36.5 2010 52.1 70.2 78.9 47.9 29.8 21.1 2011 50.8 75.5 85.9 49.2 24.5 14.1 2012 49.6 80.5 92.9 50.4 19.5 7.1 2013 48.6 85.3 100.9 51.4 14.7 - 0.9 2014 47.6 90.0 110.0 52.4 10.0 - 10.0
Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014.
Sedangkan perkembangan populasi sapi dan produksi dagingnya dari tahun
2009 s/d 2014 sebagaimana disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Skenario proyeksi perkembangan populasi, produksi dan konsumsi
Tahun Produksi domestik Impor
Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2009
Populasi (ooo ekor) 12.610,10 12.610,10 12.610,10 580,00 580,00 580,00
Populasi (ton) --- --- --- 72,80 72,80 72,80 Produksi (ton) 250,80 250,80 250,80 70,00 70,00 70,00 Konsumsi (ton) 250,80 250,80 250,80 142,80 142,80 142,80
2010
Populasi (ooo ekor) 12.813,50 12.794,90 12.748,00 565,58 260,00 40,80
Populasi (ton) --- --- --- 100,25 46,44 7,36 Produksi (ton) 209,96 282,90 317,90 92,90 73,76 77,84 Konsumsi (ton) 209,96 282,90 317,90 193,15 120,20 85,20
2011
Populasi (ooo ekor) 13.123,00 13.169,50 13.031,90 593,86 196,90 12,20
Populasi (ton) --- --- --- 105,19 35,29 2,19 Produksi (ton) 212,66 316,10 358,50 100,70 67,21 57,44 Konsumsi (ton) 212,66 316,10 358,50 205,89 102,50 59,63
2012
Populasi (ooo ekor) 13.456,20 13.521,60 13.384,30 623,53 149,00 3,60
Populasi (ton) --- --- --- 110,45 27,27 0,68 Produksi (ton) 215,61 349,70 403,40 108,30 57,43 30,32 Konsumsi (ton) 215,61 349,70 403,40 218,75 84,70 31,00
82
Tabel 21 (lanjutan) Tahun Produksi domestik Impor
Pesimistic Most likely Optimistic Pesimistic Most likely Optimistic (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
2013
Populasi (ooo ekor) 13.814,10 13.870,50 654,73 654,73 112,80 1,10
Populasi (ton) --- --- --- 116,01 20,34 (0,28) Produksi (ton) 218,81 384,20 454,20 115,70 45,96 (3,42) Konsumsi (ton) 218,81 384,20 454,20 231,71 66,30 (3,70)
2014
Populasi (ooo ekor) 14.197,70 14.231,00 14.423,00 687,46 85,40 ---
Populasi (ton) --- --- --- 121,85 15,38 --- Produksi (ton) 222,28 420,40 513,80 122,90 31,22 (46,80) Konsumsi (ton) 222,28 420,40 513,80 244,75 46,60 (46,80)
Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014.
2. Pembiayaan Pelaksanaan Program Swasembada Daging Sapi
Sumber dana Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 diharapkan
berasal dari pemerintah (APBN dan APBD), swasta dan masyarakat. Pembiayaan
yang bersumber dari APBN, secara ringkas untuk masing-masing skenario disajikan
pada tabel 22.
Tabel 22. Ringkasan anggaran pembiayaan swasembada daging sapi (dalam juta rupiah)
Skenario 2010 2011 2012 2013 2014 Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
A Pesimistic 300.180 450.270 472.784 496.423 521.244 2.240.900 B Most likeley 2.191.830 1.983.180 2.083.830 2.137.180 2.248.530 10.644.550 C Optimistic 3.911.060 3.762.960 3.964.260 4.070.960 4.293.660 20.002.900
Sumber : Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014, Bab VIII (diolah)
Dalam blueprint disebutkan bahwa untuk skenario most likely dan optimistic,
besaran anggaran pembiayaan tersebut digunakan untuk membiayai 13 kegiatan
operasional dan operasional kegiatan pusat/propinsi/kabupaten/ kota/kecamatan.
4.1.4 Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011
1. Landasan Hukum Pelaksanaan PSPK 2011
Kegiatan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau Tahun 2011 atau
sering disebut dengan PSPK2011, dalam pelaksanaannya dilakukan melalui
kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kementerian Pertanian dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Kerjasama tersebut
dilandasi oleh Nota Kesepahaman No.03001/HK.110/F/03/2011 dan No. 06/KS/3-
III/2011, tanggal 3 Maret 2011, tentang Kerjasama Pengembangan Statistik
83
Peternakan dan Perjanjian Kerjasama Swakelola PPK PSPK2011, Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Direktorat Statistik Peternakan,
Perikanan dan Kehutanan, BPS No.93/KPTS/RC.010/F.1.2.1/03/2011 dan
No.08/KS/4-III/2011.
Cakupan PSPK2011 sesuai dengan perjanjian kerjasama dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia yakni di 33 provinsi, 497 kabupaten/kota, 6.699 kecamatan, dan
77.548 desa/kelurahan, yang diperkirakan melibatkan sebanyak 110.000 orang
petugas. Pendataan lengkap ini merupakan kali ke dua sesudah Sensus Inventarisasi
Hewan Tahun 1967, atau 44 tahun berselang. Persiapan pendataan yang mencakup
koordinasi, rekrutmen petugas, pelatihan, dan penyiapan instrumen pendataan telah
dilakukan. Sedangkan pelaksanaan pendataan di lapangan dilakukan pada tanggal 1
Juni s/d 30 Juni 2011, kemudian diikuti kegiatan lanjutan lainnya seperti pengolahan
dan penyajian tabulasi data, yang ditargetkan selesai pada akhir Bulan November
2011.
2. Rilis Hasil Awal Pelaksanaan PSPK 2011
Berdasarkan hasil PSPK2011 populasi sapi potong di Indonesia pada tahun
2011 tercatat 14,8 juta ekor. Secara regional/pulau, populasi sapi potong adalah sbb:
a. Pulau Jawa sebanyak 7,5 juta ekor atau 50,74 persen dari total populasi
sapi potong di Indonesia;
b. Pulau Sumatera sebanyak 2,7 juta ekor atau 18,40 persen;
c. Pulau Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor atau 14,19 persen;
d. Pulau Sulawesi 1,8 juta ekor atau 11,97 persen;
e. Pulau Kalimantan, serta Maluku dan Papua dengan jumlah populasi
masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor.
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi sapi potong
terbesar di Indonesia sebanyak 4,7 juta ekor atau 31,93 persen dari populasi sapi
potong di Indonesia disusul kemudian Jawa Tengah 1,9 juta ekor. Provinsi lain yang
memiliki populasi sapi potong cukup besar, yaitu lebih dari 0,5 juta ekor tercatat
berturut turut adalah Sulawesi Selatan 984 ribu ekor atau 6,65 persen, Nusa
Tenggara Timur (NTT) 778,2 ribu ekor atau 5,26 persen; Lampung 742,8 ribu ekor
atau 5,02 persen; Nusa Tenggara Barat (NTB) 685,8 ribu ekor atau 4,63 persen; Bali
84
637,5 ribu ekor atau 4,31 persen; dan Sumatera Utara 541,7 ribu ekor atau 3,66
persen dari populasi sapi potong Indonesia (Tabel 23).
Tabel 23. Hasil sensus PSPK 2011 menurut propinsi
Provinsi Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Populasi % Populasi % Populasi %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Sumatera 2 724 364 18,40 2 388 0,40 512 816 39,30 1. Aceh 462 840 3,13 31 0,01 131 494 10,08 2. Sumatera Utara 541 688 3,66 897 0,15 114 289 8,76 3. Sumatera Barat 327 009 2,21 489 0,08 100 310 7,69 4. Riau 159 855 1,08 172 0,03 37 716 2,89 5. Jambi 119 877 0,81 81 0,01 46 535 3,57 6. Sumatera Selatan 246 295 1,66 154 0,03 29 143 2,23 7. Bengkulu 98 953 0,67 244 0,04 19 969 1,53 8. Lampung 742 776 5,02 201 0,03 33 124 2,54 9. Kep. Bangka
Belitung 7 733 0,05 119 0,02 222 0,02
10. Kepulauan Riau 17 338 0,12 - 0,00 14 0,00 Jawa 7 511 972 50,74 592 436 99,21 363 008 27,82 11. DKI Jakarta 1 691 0,01 2 728 0,46 192 0,01 12. Jawa Barat 422 980 2,86 139 973 23,44 130 089 9,97 13. Jawa Tengah 1 937 550 13,09 149 931 25,11 75 674 5,80 14. DI Yogyakarta 375 548 2,54 3 523 0,59 1 205 0,09 15. Jawa Timur 4 727 303 31,93 296 262 49,61 32 705 2,51 16. Banten 46 900 0,32 19 0,00 123 143 9,44 Bali dan Nusra 2 101 521 14,19 194 0,03 257 587 19,74 17. Bali 637 473 4,31 139 0,02 2 181 0,17 18. Nusa Tenggara
Barat 685 810 4,63 18 0,00 105 391 8,08
19. Nusa Tenggara Timur
778 238 5,26 37 0,01 150 015 11,50
Kalimantan 437 273 2,95 365 0,06 41 541 3,18 20. Kalimantan Barat 153 186 1,03 223 0,04 3 173 0,24 21. Kalimantan Tengah 54 648 0,37 - 0,00 6 491 0,50 22. Kalimantan Selatan 138 691 0,94 110 0,02 23 843 1,83 23. Kalimantan Timur 90 748 0,61 32 0,01 8 034 0,62 Sulawesi 1 771 848 11,97 1 741 0,29 110 393 8,46 24. Sulawesi Utara 86 770 0,59 22 0,00 - 0,00 25. Sulawesi Tengah 230 682 1,56 8 0,00 3 271 0,25 26. Sulawesi Selatan 983 985 6,65 1 690 0,28 96 505 7,39 27. Sulawesi Tenggara 213 736 1,44 - 0,00 2 492 0,19 28. Gorontalo 183 853 1,24 8 0,00 13 0,00 29. Sulawesi Barat 72 822 0,49 13 0,00 8 112 0,62 Maluku dan Papua 258 075 1,74 11 0,00 19 671 1,51 30. Maluku 73 975 0,50 - 0,00 17 568 1,35 31. Maluku Utara 60 840 0,41 - 0,00 863 0,07 32. Papua Barat 41 464 0,28 - 0,00 1 0,00 33. Papua 81 796 0,55 11 0,00 1 239 0,09
INDONESIA 14 805 053 100,00 597 135 100,00 1 305 016 100,00 Sumber : Ditjennak, Hasil awal PSPK 2011
85
3. Perkembangan Populasi Sapi (Potong dan Perah) dan Kerbau
Perkembangan populasi sapi (sapi potong dan sapi perah) di Indonesia dalam
delapan tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan. Berdasarkan data hasil
Sensus Pertanian tahun 2003 (ST03) populasi sapi di Indonesia tercatat 10,2 juta
ekor. Jika populasi tahun 2003 ini dibandingkan dengan hasil awal PSPK2011
dimana populasi sapi di Indonesia mencapai 15,4 juta ekor, maka rata-rata
pertambahan per tahun populasi sapi selama 2003–2011 sekitar 653,1 ribu ekor
dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,32 persen per tahun (Tabel 24).
Tabel 24. Perkembangan populasi sapi menurut pulau 2003-2011
Regional/Pulau Tahun Perkembangan rata-rata per tahun
20034 2011 5 (000 ekor) % (1) (2) (3) (4) (5)
Sumetera 1.304.132 2.726.752 177,8 9,66 Jawa 5.989.657 8.104.408 264,3 3,85 Bali dan Nusra 1.427.524 2.101.715 84,3 4,95 Kalimantan 297.936 437.638 17,5 4,92 Sulawesi 981.204 1.773.589 99,0 7,68 Maluku dan Papua 176.846 258.086 10,2 4,84
INDONESIA 10.177.299 15.402.188 653,1 5,32 Sumber : Kementerian Pertanian, 2011
4.1.5 Prasyarat Keberhasilan Swasembada Daging Sapi
Untuk kepentingan penciptaan nilai tambah bagi masyarakat maupun bagi
ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan, selayaknya swasembada daging atau
bentuk swasembada lainnya, khususnya berkaitan dengan pangan sebaiknya tidak
hanya dibatasi pada pencapaian masa pembangunan dalam periode tertentu.
Ketahanan pangan adalah kondisi yang mutlak diperlukan oleh bangsa Indonesia,
dan harus diperjuangkan untuk dapat mencapainya.
Upaya untuk mengoperasionalisasikan revitalisasi peternakan guna
meningkatkan kinerja peternakan umumnya dan kesejahteraan peternak khususnya,
diperlukan institutional arrangement. Penguatan kelembagaan yang efektif dan
efisien dalam implementasinya memerlukan koordinasi dan konsistensi antara
perencanaan dan pelaksanaan program, baik yang bersifat intra-sectoral dan inter-
sectoral dan juga adanya kebijakan-kebijakan yang saling melengkapi antar
depertemen terkait (Daryanto, 2007).
4 Data sensus pertanian 2003 (STO3) 5 Data hasil awal PSPK 2011
86
1. Prasyarat keberhasilan menurut blueprint
Blueprint swasembada daging sapi menyatakan bahwa untuk mencapai
tingkat keberhasilan memerlukan sembilan prasyarat yang harus dipenuhi. Dalam
implementasinya, program swasembada daging sapi harus dilaksanakan secara
komprehensif dan penuh tangung jawab dengan melibatkan semua pihak mencakup
pemerintah pusat dan daerah, swasta serta masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan
dukungan dan komitmen yang kuat, dalam hal kebijakan, pendanaan, dan regulasi
serta pelaksanaannya.
2. Penguatan kebijakan dan program swasembada daging sapi
Dalam naskah kebijakan (Kementerian PPN/Bappenas, 2010) yang disusun
dengan tujuan untuk dapat menjembatani blueprint swasembada daging sapi 2014
dengan kebijakan dan program yang lebih operasional. Bahwa untuk melengkapi
kebijakan yang telah ada, dalam naskah kebijakan ini dikemukakan rumusan
kebijakan dan strategi yang mempunyai prioritas tinggi dan menengah. Untuk
kebijakan dan strategi dengan prioritas tinggi adalah sebagai berikut :
1. Pembibitan dan pemuliabiakan sapi nasional, melalui: (a) pemurnian
sapi lokal, dan (b) pengembangan bangsa sapi komersial Indonesia;
2. Terobosan peningkatan populasi sapi, melalui: (a) pengembangan
kawasan terpadu sapi potong, dan (b) pengembangan wilayah baru
peternakan di pulau terpisah;
3. Ketahanan pakan nasional, melalui: (a) pembentukan institusi penyangga
penyediaan bahan baku pakan, dan (b) pengembangan sistem joint
produksi antar wilayah, dan (c) pemetaan dan revitalisasi padang
penggembalaan; serta
4. Kelembagaan penyelamatan dan penjaringan bibit, melalui: (a)
strukturisasi usaha pembibitan sapi potong, (b) pembentukan komite
penjaringan sapi betina produktif dan bibit unggul, (c) penataan sistem
koordinasi.
87
Sedangkan untuk kebijakan dan strategi dengan prioritas menengah
mencakup beberapa hal sebagai berikut:
1. Kebijakan pasar, tarif dan suku bunga, melalui: (a) kebijakan impor, dan
(b) kebijakan pasar;
2. Ketahanan pakan nasional, melalui: (a) pengembangan zona produksi
hijauan pakan, (b) subsidi harga bahan baku pakan, (c) pengembangan
sistem mekanisasi pakan, (d) strukturisasi tata niaga bahan baku pakan,
dan (e) pemberlakuan tarif ekspor bahan baku pakan; serta
3. Kelembagaan Penyelamatan dan Penjaringan Bibit, melalui: (a)
ekstensifikasi kelembagaan keuangan mikro bagi peternak.
4.2 Perencanaan Pembangunan Nasional Sektor Pertanian
4.2.1 Pola pikir RPJMN Tahun 2010 – 2014
Dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) mengungkap hal sebagai berikut. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) merupakan
penjabaran dari Visi, Misi, dan Program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas kementerian/lembaga, perwilayahan dan lintas perwilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Agar dapat memenuhi amanat ini, RPJMN 2010-2014 disusun dalam tiga
buku yang merupakan satu kesatuan yang utuh dengan masing-masing memuat
hal-hal sebagai berikut (Gambar 23):
a. Buku I: Prioritas Nasional, memuat strategi, kebijakan umum, dan kerangka
ekonomi makro yang merupakan penjabaran dari Visi, Misi, dan Program
Aksi serta sebelas prioritas pembangunan nasional dari Presiden-Wakil
Presiden.
b. Buku II: Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan, memuat rencana
pembangunan yang mencakup bidang-bidang kehidupan masyarakat
88
sebagaimana yang tertuang dalam RPJPN 2005—2025 dalam rangka
mewujudkan visi pembangunan nasional yang tercantum dalam Buku I.
c. Buku III: Pembangunan Berdimensi Perwilayahan : Memperkuat Sinergi
Antara Pusat-Daerah dan Antardaerah, memuat rencana pembangunan
perwilayahan yang disusun dengan tema: “Memperkuat Sinergi Antara
Pusat dan Daerah dan Antardaerah” dalam rangka mewujudkan visi
pembangunan nasional yang tercantum dalam Buku I
Gambar 23. Struktur pemikiran dalam dokumen RPJMN 2010-2014
Dengan demikian, RPJMN 2010-2014 menjadi pedoman bagi
kementerian/lembaga dalam menyusun Rencana Strategis kementerian/lembaga
(Renstra-KL) dan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam
menyusun/menyesuaikan rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam
rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional.
4.2.2 Program aksi di bidang pangan
Dari 11 prioritas nasional yang ada dalam buku I RPJMN Tahun 2010 –
2014, prioritas ke 5 adalah program aksi di bidang pangan, dengan tema:
“Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk
mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian,
peningkatan pendapatan petani serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
89
Peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7% per tahun dan
Indeks Nilai Tukar Petani sebesar 115-120 pada tahun 2014”.
Pelaksanaan program aksi ini merupakan tanggungjawab Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam pelaksanaan program aksi tersebut diatas
melibatkan berbagai kementerian dan lembaga pemerintah, antara lain adalah : (1)
Menteri Pertanian; (2) Menteri Pekerjaan Umum; (3) Menteri Komunikasi dan
Informatika; (4) Menteri Perhubungan; (5) Menteri Perindustrian; (6) Menteri
Keuangan; (7) Menteri Negara Riset dan Teknologi; (8) Menteri Kesehatan; (9)
Menteri Negara Lingkungan Hidup; (10) Kepala Badan Penerapan & Pengkajian
Teknologi; (11) Kepala Badan Pertanahan Nasional;
Dalam matrik prioritas nasional, tertuang bahwa koordinasi oleh
Kementerian Koordinator Bidang Perenonomian yang terkait langsung dengan
bidang peternakan adalah:
a. Substansi inti/kegiatan prioritas : (3) Koordinasi bidang pengembangan
urusan perikanan dan peternakan;
b. Sasaran : meningkatnya koordinasi kebijakan;
c. Indikator : presentase rekomendasi kebijakan bidang pengembagan urusan
perikanan dan peternakan yang diimplementasikan;
Untuk penanganan tugas tersebut telah pula didukung unit kerja struktural dengan
lingkup tugas menyiapkan koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan serta
mensinkronkan pelaksanaan kebijakan di bidang pertanian dan kelautan. Secara
hirarkhi struktur organisasi tersebut adalah: Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan
Kelautan, Asisten Deputi Urusan Perikanan dan Peternakan, dan Bidang Produksi
dan Distribusi Peternakan.
Berdasarkan matriks tersebut, secara lebih spesifik lingkup koordinasi yang
terkait langsung bidang peternakan dapat disajikan dalam Tabel 25.
90
Tabel 25. Substansi inti dan kegiatan prioritas terkait swasembada daging sapi dalam prioritas ketahanan pangan (Buku I: RPJMN 2010-2014)
No Substansi Inti/ Kegiatan Prioritas Sasaran
(1) (2) (3)
3. Penelitian dan pengembangan : Peningkatan upaya penelitian dan pengembangan bidang pertanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil penelitian lainnya menuju kualitas dan produktivitas hasil pertanian nasional yang tinggi
1. Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner
Meningkatkan inovasi teknologi peternakan dan veteriner mendukung program percepatan produksi swasembada daging sapi (P2SDS)
12. Litbang ketahanan pangan
Kebijakan peningkatan dukungan litbang untuk ketahanan pangan khususnya pengembangan pupuk ekologis dan benih unggul-adaptif terhadap lingkungan suboptimal, teknologi panen, teknologi pengelolaan lahan marjinal untuk produksi pangan
4. Investasi, pembiayaan, dan subsidi : Dorongan untuk investasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyediaan pembiayaan yang terjangkau, serta sistem subsidi yang menjamin ketersediaan benih varietas unggul yang teruji, pupuk, teknologi dan sarana pasca panen yang sesuai secara tepat waktu, tepat jumlah, dan terjangkau
10.
Peningkatan kuantitas dan kualitas benih dan bibit dengan mengoptimalkan sumber daya lokal
- Peningkatan kualitas & kuantitas benih dan bibit ternak - Penguatan kelembagaan perbibitan dengan good breeding
practices - Penerapan standar mutu benih dan bibit ternak - Penerapan teknologi perbibitan - Pengembangan usaha dan investasi perbibitan
11.
Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendaya-gunaan sumber daya lokal
- Meningkatnya populasi dan produksi ternak ruminansia
13. Pelayanan perijinan dan investasi
Peningkatan penerimaan penyiapan bahan analisa, fasilitas proses teknis permohonan ijin, pendaftaran di bidang pupuk, pestisida dan alat mesin pertanian, benih/bibit, produk ternak dan pangan segar serta penyiapan bahan pemantauan dan evaluasi
5. Pangan dan gizi: Peningkatan kualitas gizi dan keanekaragaman pangan melalui pola pangan harapan
1.
Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan non pangan
- Penguatan peran dan fungsi lembaga otoritas veteriner - Kesadaran masyarakat akan resiko residu dan cemaran pada
produk hewan serta zoonosis terbangun. - Peningkatan penerapan kesrawan di RPH/RPU
6. Adaptasi perubahan iklim : Pengambilan langkah-langkah kongkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim
2.
Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendaya-gunaan sumberdaya lokal
Meningkatnya populasi dan produksi hasil olahan ternak ruminansia terkait dengan dampak perubahan iklim
Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku I (diolah)
4.2.3 Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian
Kebijakan umum dalam peningkatan ketahanan pangan adalah meningkatkan
ketahanan dan kemandirian pangan serta kecukupan gizi masyarakat secara luas.
Selain itu, diarahkan pula untuk melanjutkan dan meningkatkan revitalisasi
91
pertanian, perikanan, dan kehutanan untuk mewujudkan daya saing produk
pertanian, perikanan, dan kehutanan, dan peningkatan pendapatan petani, dan
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dalam buku II RPJMN Tahun 2010-2014, pada Bab X Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Hidup dijelaskan alur pembangunan bidang sumber daya alam dan
lingkungan hidup, yang meliputi: fokus, prioritas bidang, dan dampak yang pada
akhirnya akan mencapai sasaran peningkatan kesejahteraan rakyat dan peningkatan
kualitas lingkungan hidup (Gambar 24).
92
Sumber: RPJMN 2010-2014, Buku II, Bab X
Gambar 24. Alur pembangunan bidang SDA dan LH
93
Analisis berdasarkan kata kunci “peternakan” dan “pertanian”, yang
dilakukan atas matriks rencana tindak pembangunan jangka menengah 2010-2014
setiap kementerian/lembaga, dapat diperoleh gambaran keterlibatan peran
kementerian/lembaga selain kementerian pertanian dalam pelaksanaan program
swasembada daging sapi (Tabel 26).
Tabel 26. Peran kementerian/lembaga dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku II: RPJMN 2010-2014)
No Kementerian/Lembaga Program/Kegiatan Prioritas/Sasaran/Indikator (dengan kata kunci : “Peternakan” dan “Pertanian”)
(1) (2) (3)
1. Kementerian Koordinator Perekonomian
Koordinasi kebijakan bidang pengembangan urusan perikanan dan peternakan
2. Kementerian Keuangan Penyediaan anggaran secara tepat waktu dan tepat jumlah untuk menunjang program di bidang pangan, pertanian, dan industri perdesaan sesuai dengan persetujuan
3. Kementerian Dalam Negeri
- Pengembangan usaha ekonomi masyarakat, melalui fasilitasi usaha di bidang pertanian dan pangan yang berada di perdesaan melalui bintek CPPD
- Koordinasi dan pemberian stimulan kepada kelompok masyarakat pengelola CPPD
4. Kementerian Perindustrian Revitalisasi dan pertumbuhan industri aneka dan alat pertanian
5. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
- Pembangunan kelompok usaha peternakan di kawasan transmigrasi
- Meningkatnya kemampuan dalam penerapan teknologi tepat guna dan penyerapan informasi pasar di kawasan transmigrasi
- Berkembangnya lahan usaha (lahan produktif) produksi pertanian di permukiman/ kawasan transmigrasi
6. Kementerian Pembangunan Daerah Teringgal
Pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi pusat produksi/pusat pertumbuhan daerah tertinggal dengan: - Melaksanakan kegiatan perbaikan usaha pertanian dan usaha
lainnya - Pembiayaan untuk meningkatnya kualitas dan nilai tambah
produksi pertanian, perikanan, perkebunan
7. Kementerian Pendidikan Diklat pendidik dan tenaga pendidikan bagi peningkatan kompetensi dan profesionalisme bidang pertanian dan perikanan
8. Kementerian Pemberyaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis yang responsif gender
9. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
- Pengembangan dan termanfaatkannya teknologi pengolahan hasil perikanan dan peternakan
- Rekomendasi, alih teknologi, prototipe, pengujian pada pengolahan hasil ikan dan ternak
- Pengembangan dan termanfaatkannya teknologi informasi dan komunikasi pada pertanian untuk mendukung ketahanan pangan
10. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
- Penelitian bioteknologi peternakan modern - Terbangunnya fasilitas litbang bioteknologi peternakan modern
11. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
- Pengembangan aplikasi teknologi isotop dan radiasi - Diperolehnya aplikasi teknologi isotop dan radiasi di bidang
peternakan, kesehatan dan industri
94
Tabel 26 (lanjutan) No Kementerian/ Lembaga Program/Kegiatan Prioritas/Sasaran/Indikator
(dengan kata kunci : “Peternakan” dan “Pertanian”) (1) (2) (3)
13. Badan Pusat Statistik Penyediaan dan pengembangan statistik peternakan, perikanan, dan kehutanan
Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku II (diolah)
4.2.4 Sinergi Antara Pusat Dan Daerah Dan Antardaerah
Perencanaan pembangunan dengan fokus pada sinergi antara pusat dan
daerah dan sinergi antardaerah disusun dalam buku III RPJMN Tahun 2010-2014.
Analisis berdasarkan kata kunci “peternakan”, yang dilakukan atas matriks matriks
sinkronisasi pusat dan daerah dalam pencapaian prioritas nasional, dapat diperoleh
gambaran peran kementerian/lembaga dalam pelaksanaan program/kegiatan pada
wilayah pelaksanaan sebagai sasaran dalam lingkup prioritas ketahanan pangan
(prioritas 5), hasil analisis ditampilkan dalam Tabel 27.
Tabel 27. Sinergi antara pusat dan daerah dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014)
No Substansi Inti/
Kegiatan Prioritas terkait dengan pertanian, sub sektor
peternakan
Instansi Pelaksana
Sasaran Pelaksanaan di Wilayah
Sum
ater
a
Jaw
a B
ali
Kal
iman
tan
Sula
wes
i
Nus
a Te
ngga
ra
Mal
uku
Papu
a (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1. Pengawasan penyaluran kredit Kementerian Keuangan
2 Penelitian dan pengembangan peternakan dan veteriner
Kementerian Pertanian
3. Pengelolaan dan penyediaan benih ternak
Kementerian Pertanian
4. Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal
Kementerian Pertanian
5.
Penjaminan pangan asal hewan yang aman dan halal serta pemenuhan persyaratan produk hewan non-pangan.
Kementerian Pertanian
6.
Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal.
Kementerian Pertanian
7. Terlaksananya sinkronisasi kebijakan terkait tata ruang dan pertanahan
Kementerian/ Lembaga: Dalam Negeri, KUM & HAM, Pertanian, BPN, Kehutanan, Setneg,
95
Tabel 27 (lanjutan)
No Substansi Inti/
Kegiatan Prioritas terkait dengan pertanian, sub sektor
peternakan
Instansi Pelaksana
Sasaran Pelaksanaan di Wilayah
Sum
ater
a
Jaw
a B
ali
Kal
iman
tan
Sula
wes
i
Nus
a Te
ngga
ra
Mal
uku
Papu
a
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
8. Penyusunan RPP tentang perubahan peruntukan kawasan hutan
Kementerian/ Lembaga: Dalam Negeri, KUM&HAM, LH, Pertanian,PU, PDT, Kehutanan, Nakertrans, Kelautan &Perikanan, Setneg, BPN
9.
Pengembangan fasilitas laboratorium litbang bioteknologi peternakan modern untuk mendukung perbaikan kualitas dan produktivitas bibit unggul ternak nasional
LIPI
10.
Keanekaragaman pangan (pengembangan bahan pangan nabati selain beras dan dukungan litbang untuk pengembangan peternakan
LIPI
Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku III (diolah)
Sedangkan fokus untuk pengembangan wilayah, berkaitan dengan
pelaksanaan program swasembada daging sapi dapat dikemukakan dalam Tabel 28.
Tabel 28. Fokus pengembangan wilayah dalam pelaksanaan swasembada daging sapi (Buku III: RPJMN 2010-2014)
No Wilayah Strategi Pengembangan Fokus Prioritas/Kegiatan Prioritas (1) (2) (3) (4)
1. Jawa Timur
Mengembangkan peternakan sapi perah dan sapi potong
Prioritas Nasional: - Litbang peternakan dan veteriner - Pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan menular strategis dan penyakit zonosis
Prioritas Pulau: - Peningkatan investasi dalam pengembangan
ternak - Pengembangan ketersediaan pakan - Penyiapan SDM peternak
2. Bali
3. Kalimantan Barat
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan dengan pengembangan kegiatan ekonomi lokal
Prioritas Pulau: Peningkatan produksi ternak ruminansia dengan pendayagunaan sumber daya lokal 4. Kalimantan
Timur
96
Tabel 28 (lanjutan) No Wilayah Strategi Pengembangan Fokus Prioritas/Kegiatan Prioritas (1) (2) (3) (4)
5. Nusa Tenggara Barat Meningkatkan produktivitas
budidaya peternakan
Prioritas Pulau: - Peningkatan penguasaan teknologi
budidaya peternakan - Pengembangan insentif bagi konsolidasi
usaha peternakan skala mikro dan kecil 6. Nusa Tenggara Timur
Sumber: RPJMN 2010-2014, Matriks Buku III (diolah)
4.3 Koordinasi dan Sinergi Program Lintas Kementerian dan Lembaga
Dalam blueprint swasembada daging sapi 2014 disebutkan bahwa
pelaksanaan program akan melibatkan 13 kementerian dan lembaga, serta
melibatkan juga 20 propinsi prioritas dan 13 propinsi pendukung. Hal tersebut
menggambarkan bahwa keterlibatan melalui koordinasi dan sinergi program dari
kementerian, lembaga, dan daerah akan sangat menentukan tingkat kesuksesan
pencapaian swasaembada daging sapi, tidak sebatas pencapaian untuk tahun 2014,
namun mengarah pada pencapaian swasembada secara berkelanjutan.
Kondisi yang Diperlukan dalam Sinergi dan Koordinasi
1. Kondisi mendasar dapat dicapainya koordinasi dan sinergi program lintas
kementerian, lembaga, dan daerah, dalam lokus otoritas kementerian, lembaga,
dan daerah kondisi tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok dasar, yaitu: (1)
prasyarat pencapaian sinergi dan koordinasi pada lingkup intra-organisasi, dan
(2) prasyarat pencapaian sinergi dan koordinasi pada lingkup inter-organisasi.
Secara mendasar sinergi dan kordinasi tersebut dapat dilakukan apabila dalam
kementerian/lembaga tersebut telah memiliki perangkat organisasi yang sesuai,
antara lain: adanya unit organisasi/unit kerja yang menjalankan fungsi yang
sesuai atau terkait, dan adanya kebijakan, program atau kegiatan yang tertuang
dalam dokumen perencanaan, serta tersedianya dukungan sumberdaya (SDM,
fasilitas, dana) yang dapat didedikasikan dalam pelaksanaan program atau
kegiatan. Analisis atas peran kementerian dan lembaga yang tercantum dalam
Blueprint Swasembada dapat dilihat pada Tabel 29.
97
Tabel 29. Identifikasi inisiatif kementerian dan lembaga terkait pelaksanaan swasembada daging sapi
No Kementerian/ Lembaga/Daerah
Unit Organisasi/ Unit Kerja
Kebijakan/Program/Kegiatan
(1) (2) (3) (4) 1. Kementerian
Pertanian Dirjen Peternakan
a. Berbagai kebijakan terkait peternakan Kegiatan Prioritas: Pencapaian swasembada daging sapi.
b. Blueprint PSDS 2014 c. Renstra Ditjennak
2. Kementerian Keuangan
Dirjen Anggaran
a. Ketahanan Pangan b. Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan
revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
c. Anggaran untuk menstimulus usaha peternakan 3. Kementerian
Perdagangan - Dirjen
Perdagangan Luar Negeri
- Dirjen Perdagangan Dalam Negeri
a. Berbagai kebijakan terkait perdagangan ternak, produk turunan dan produk lain terkait
b. Iklim investasi Pertanian c. Revitalisasi Kredit Usaha Rakyat d. Pengembangan UKM: perluasan OVOP e. Pengendalian distribusi dan pemasaran
ternak&produknya di dalam dan di luar negeri 4. Kementerian
Perindustrian - Dirjen
Industri Kecil dan Menengah
- Dirjen Industri Agro
a. Kesinambungan swasembada pangan b. Pencanangan program peningkatan daya saing
dan nilai tambah produk pertanian dengan pemberian insentif bagi tumbuhnya industri perdesaan berbasis produk
c. Penyediaan dana penjaminan untuk KUR dalam APBN sebesar Rp. 2 triliyun/tahun
d. Perluasan One Village One Product (OVOP) 5. Kementerian
Dalam Negeri a. Program Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat dan Penanggulangan Kemiskinan b. Dukungan terhadap pemda yang wilayahnya
mengembangkan usaha peternakan 6. Kementerian
Koperasi dan UKM Pembinaan KUKM pertanian dan peternakan
7. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal
Sasaran Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal: a. Munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi
pada daerah yang saat ini dikategorikan tertinggal
b. Berkurangnya kesenjangan sosial dan ekonomi antara daerah tertinggal dengan lain
8. Kementerian BUMN
BUMN yang bergerak dalam bidang pertanian dan peternakan
Sesuai arah pengembangan BUMN dan corporate plan
98
Tabel 29 (lanjutan)
No Kementerian/ Lembaga/Daerah
Unit Organisasi/ Unit Kerja
Kebijakan/Program/Kegiatan
(1) (2) (3) (4) 9. Kementerian Riset
dan Teknologi - Deputi - Staf Ahli
Pangan dan Pertanian
Kebijakan Inovasi Pokok: a. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung
litbang Iptek dan meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya UKM: misalnya reformasi kelembagaan
b. Iptek/inovasi; peningkatan kualitas SDM dan insentif non-struktural; pengembangan pusat pusat unggulan (center of excellence); dan pengembangan kapasitas teknologis dan bantuan teknis (technical assistance) bagi dunia usaha (terutama pelaku UKM). Kegiatan Koordinasi dan Sinkronisasi:
c. Riset Unggulan Bersama (7 bidang fokus + 11 Prioritas Nasional KIB II): sistem insentif, riset strategis, riset tematik
10. Kementerian Pendidikan
Fakultas dan jurusan peternakan
Penelitian dasar di bidang peternakan
11. BATAN Laboratorium terkait sektor pertanian
Teknologi budidaya pertanian terpadu (biocyclofarm, hama, ternak dan tanah).
12. LIPI Laboratorium terkait sektor pertanian
Penelitian dasar dan terapan terkait pertanian dan peternakan
13. Perbankan Dukungan kredit bagi pertanian
Pemberian pinjaman modal yang bunganya disubsidi pemerintah/ pemberian pinjaman modal melalui skema lain
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Kendala dan Upaya Pencapaian Sinergi dan Koordinasi
Upaya mensikronkan RPJMN dengan RPJMD adalah keinginan yang baik
namun sulit dilakukan (Darwanto, 2011). Tujuan perencanaan pembangunan
nasional adalah melaksanakan program prioritas pada skala nasional (pertumbuhan
ekonomi, pengangguran, isu-isu MDGs, ketimpangan antar wilayah, dan
sebagainya). Analogi dengan itu, tujuan perencanaan pembangunan daerah adalah
untuk melaksanakan program prioritas pada skala daerah. Prioritas pembangunan
pada skala nasional tentunya tidak sama dengan prioritas pembangunan pada skala
daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah-nya
sudah memberikan petunjuk mengenai kewajiban masing-masing tingkatan
pemerintahan.Pada kesempatan yang sama juga dikemukakan beberapa upaya yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalkan keselarasan antara RPJMN dan RPJMD,
antara lain dengan cara sebagai berikut:
99
a. Pemerintah pusat harus konsekuen melaksanakan program dan kegiatan
yang sesuai dengan tingkatan pemerintahannya, dan tidak ada
program/kegiatan kementerian/lembaga yang sama dengan program/
kegiatan pemda.
b. Memperlakukan pemda sebagai mitra pembangunan daripada sebagai
pelaksana program pusat di daerah. Hal ini berarti pusat perlu
memberikan informasi kepada pemda mengenai RPJMN dan RKP,
demikian juga kementerian/lembaga perlu memberikan informasi
mengenai program/kegiatan mengenai Renstra dan Renja. Selanjutnya
pemda dapat memanfaatkan informasi ini untuk menyusun RPJMD dan
RKPD sesuai kepentingan daerahnya, serta dengan mempertimbangkan
kepentingan nasional.
c. Pusat menyediakan ruang untuk menampung aspirasi rakyat dan pemda.
Hal ini dapat dilakukan dengan (1) mengadakan pertemuan-pertemuan
khusus membahas rencana pembangunan nasional antara presiden dengan
para kepala daerah, (2) mengakomodasi secara rasional usulan DPR dan
DPD saat membahas RPJMN/RAPBN, (3) menyelenggarakan konsultasi
publik untuk membahas rencana dan isu pembangunan, (4) membuka
forum komunikasi melalui internet untuk menampung pendapat publik
mengenai rancangan rencana, dan lainnya.
d. Tujuan pembangunan nasional yang memerlukan keterlibatan pemda
untuk mencapainya diupayakan dengan membuat kebijakan khusus
disertai dana dan petunjuk pelaksanaan dan pertangggungjawaban.
Misalnya, untuk mencegah konversi sawah menjadi permukiman,
pemerintah pusat dapat membuat peraturan untuk membatasi konversi
lahan tersebut disertai dengan pemberian kompensasi bagi pemda atau
kepada pemilik lahan.
4.4 Keselarasan Peraturan Perundangan
Dalam berbagai forum diskusi yang dihadiri oleh para pemangku
kepentingan terkait, baik dari wakil pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi,
pelaku usaha peternakan dan pelaku usaha pendukung peternakan, maupun yang
diselenggarakan oleh beberapa kementerian maupun lembaga, hampir selalu
100
memunculkan pembahasan berkaitan kebijakan atau peraturan perundangan, antara
lain:
1. Ketidakharmonisan peraturan perundangan atau kebijakan, sehingga kurang
kondusif terhadap pelaksanaan program swasembada daging sapi;
2. Ketidak konsistenan pelaksanaan peraturan perundangan atau kebijakan yang
telah ada;
3. Perlunya dukungan (belum adanya) peraturan perundangan atau kebijakan
untuk pelaksanaan program dan kegiatan yang merupakan inisiatif strategis
yang dianggap kritikal bagi kesuksesan pencapaian swasembada daging sapi
secara berkelanjutan;
Peraturan perundangan dan kebijakan tersebut, selain dalam lingkup
kewenangan Kementerian Pertanian, juga merupakan lingkup kewenangan
kementerian atau lembaga lain, dan juga daerah baik propinsi, kabupaten maupun
kota. Beberapa peraturan perundangan dan kebijakan yang teridentifikasi berkaitan
dengan pelaksanaan swasembada daging sapi seperti dalam Tabel 30 sampai dengan
Tabel 33.
Tabel 30. Peraturan perundangan terkait pelaksanaan swasembada daging sapi
No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)
1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 Peternakan dan Kesehatan Hewan 2. Keputusan Presiden No. 22 Tahun
1990 Pembinaan Usaha Peternakan Ayam
3. Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000
Standardisasi Nasional
4. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 - Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001
Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
6. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1977
Usaha Peternakan
7. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 -Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
101
Tabel 31. Kebijakan menteri keuangan terkait pelaksanaan swasembada daging
No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.010/2005
Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk 2005-2010 Tahap Kedua
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 131/PMK.05/2009
Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS)
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.011/2011 - Tentang Perubahan Ketujuh Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.010/2006
Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tabel 32. Kebijakan menteri pertanian terkait pelaksanaan swasembada daging
No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3) 1. Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 242/Kpts/OT.210/4/2003 Pendaftaran dan Labelisasi Pakan Menteri Pertanian
2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006
Sistem Perbibitan Ternak Nasional
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006
Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/10/2006
Pedoman Pemeliharaan Unggas Di Pemukiman
5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 44/Permentan/OT.140/5/2007
Pedoman Berlaboratorium Veteriner Yang Baik (Good Veterinary Laboratory Practice)
6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/9/2007
Pedoman Pengawasan Mutu Pakan
7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 28/Permentan/OT.140/5/2008
Pedoman Penataan Kompartemen dan Penataan Zona Usaha Perunggasan
8. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2008
Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak
9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2008
Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong
10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/4/2009
Syarat dan Tatacara Pendaftaran Pakan
11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 20/PERMENTAN/OT.140/4/2009
Pemasukan Dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan Dari Luar Negeri
12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 40/PERMENTAN/PD.400/9/2009
Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi
13. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010
Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant)
102
Tabel 32 (lanjutan) No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3) 14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor
16/PERMENTAN/OT.140/1/2010 Pedoman Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar
15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010
Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014
16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/PERMENTAN/OT.140/2/2010
Pemasukan Hewan Babi dan Produknya Ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tabel 33. Kebijakan kementerian dan lembaga lain terkait pelaksanaan swasembada daging
No Kebijakan Lingkup (1) (2) (3)
1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/9/2011
Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan
2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-DAG/PER/9/2009
Ketentuan Umum di Bidang Impor
3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2008
Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Daging
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008
Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah
5. Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 57/KEP/BSN/5/2008
Penetapan 8 (delapan) Standar Nasional Indonesia
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
4.5 Kinerja Proses Penyusunan Kebijakan
Globalisasi memberikan dampak terhadap kebebasan aliran informasi dan
keleluasaan aliran barang dan jasa. Selain itu globalisasi juga memberikan dampak
terhadap munculnya isu-isu lintas bidang (cross-cutting issues) seperti: lingkungan,
HAM, korupsi, good governance, demokrasi, kemiskinan dan lain-lain. Sehingga
persoalan yang semula merupakan isu domestik dapat berubah menjadi isu
internasional. Selain hal tersebut, proses demokratisasi melahirkan beragam
pendapat dan kehendak muncul ke permukaan didalam masyarakat yang heterogen.
Untuk menghadapi situasi seperti itu diperlukan suatu upaya sistematis untuk
mempertahankan kepentingan bangsa dan negara.
Perubahan lain terjadi pada sistem perencanaan dan penganggaran
pembangunan – seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut
memberikan perubahan yang signifikan terhadap sistem perencanaan dan
penganggaran pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan secara
bijaksana sistem perencanaan yang dapat menjamin keselarasan pembangunan antar
daerah dengan tidak mengurangi wewenang yang telah diberikan.
103
Berkaitan dengan hal tersebut, telah dilakukan penelitian yang bertujuan
untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi masyarakat terhadap kinerja
proses penyusunan kebijakan saat ini serta kebutuhan (tuntutan) masyarakat atas
kinerja proses penyusunan kebijakan kedepan (PPN/Bappenas, 2004). Responden
berasal dari berbagai kalangan, yaitu: (1) pegawai pemerintahan: 41,8 persen
(pemerintah pusat dan daerah), (2) masyarakat madani: 41,8 persen (LSM,
perguruan tinggi/lembaga penelitian, dunia usaha, media masa/ pers, konsultan
individu), (3) wakil rakyat terpilih: 5,5 persen, (4) lembaga internasional: 7,7 persen,
dan (5) masyarakat profesional sektor publik: 3,3 persen. Secara umum gambaran
responden dalam penelitian persepsi masyarakat ditampilkan dalam Lampiran 7.
4.5.1 Kinerja Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Berkaitan dengan koordinasi antara Pusat dan Daerah sebanyak 68,1 persen
menjawab pernah mengikuti atau mengetahui adanya forum koordinasi pusat dan
daerah misalnya seperti yang dilakukan dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), dan 30,8 persen menjawab tidak pernah
mengikuti atau mengetahui.
Sebanyak 46,2 persen menilai bahwa kinerja koordinasi antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah berjalan kurang baik, bahkan sebanyak 11 persen
menilai kinerja koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sangat
tidak baik. Hanya 8,8 persen saja yang menyatakan koordinasi sudah baik dan
sangat baik. Sedangkan 33 persen menyatakan koordinasi sudah cukup berjalan
(Gambar 25).
11,0
46,2
33,0
8,8
1,1
0 10 20 30 40 50
Sangat Tidak Baik
Kurang Baik
Cukup
Baik
Sangat Baik
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 25. Kinerja koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
104
Berdasarkan pertanyaan mengenai alasan yang mempengaruhi koordinasi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sebagian besar responden atau 42 persen
menyatakan bahwa keseimbangan kepentingan antara Pusat dan Daerah harus
menjadi perhatian dalam rangka melakukan koordinasi (Gambar 26).
25,0
42,7
32,3
0 10 20 30 40 50
Komunikasi antara Pemerintah Pusat dan
Daerah
Keseimbangan antara kepentingan
Pemerintah Pusat dan Daerah
Pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 26. Kinerja koordinasi antar pemerintah daerah
4.5.2 Kinerja Koordinasi antar Lembaga/Instansi
Sebanyak 52,7 persen menilai bahwa kinerja koordinasi antar
lembaga/intansi berjalan kurang baik, bahkan sebanyak 16,5 persen menilai kinerja
koordinasi antar lembaga/instansi berjalan sangat tidak baik. Hanya 6,6 persen
responden yang menyatakan koordinasi sudah baik. Sedangkan 24,2 persen
menyatakan koordinasi sudah berjalan cukup baik (Gambar 27).
16,5
52,7
24,2
6,6
Sangat Tidak Baik
Kurang Baik
Cukup
Baik
Sangat Baik
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 27. Kinerja koordinasi antar lembaga
105
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja koordinasi antar daerah,
sekitar 38,7 persen responden menjawab bahwa egoisme sektor menjadi faktor yang
mempengaruhi kinerja koordinasi. Selain itu koordinasi antar lembaga dipengaruhi
oleh kinerja dari lembaga perencana yang memiliki fungsi untuk mengkoordinasikan
antar lembaga (Gambar 28).
38
22,5
34,2
4,5
Adanya egoisme masing-masing sektor
Perbedaan dalam menentukan prioritas
antar lembaga/instansi
Tidak berjalannya fungsi koordinasi dalam
lembaga perencana
Ketersediaan dana
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 28. Faktor yang mempengaruhi koordinasi antar lembaga/instansi
4.5.3 Perbaikan Proses Penyusunan Kebijakan Lintas Sektor
Berdasarkan jawaban responden terhadap perlunya perbaikan dalam proses
penyusunan kebijakan (policy making process), dapat dilihat bahwa hampir semua
jawaban yang disampaikan dalam pertanyaan memiliki persentase yang hampir
sama. Artinya bahwa responden melihat perlunya perbaikan dalam setiap
mekanisme koordinasi yang ada baik antara pusat-daerah, antar daerah dan antar
lembaga. Selain itu dibutuhkan peningkatan peran lembaga perencana dalam
melakukan koordinasi (Gambar 29).
22,9
17,3
Mekanisme koordinasi Pusat dan Daerah
Mekanisme koordinasi antar lembaga
Mekanisme koordinasi antar Daerah
Peningkatan Peran Koordinasi Lembaga
Perencana
Sumber: Bappenas, 2004
Gambar 29. Kebutuhan perbaikan proses penyusunan kebijakan lintas sektor
106
Hasil penjaringan persepsi pemangku kepentingan ini merupakan masukan
yang sangat berarti dalam penyempurnaan sistem penyusunan kebijakan dan
perencanaan, pemantapan peran dan fungsi lembaga perencanaan kedepan serta
bahan awal untuk melihat persepsi dan kebutuhan masyarakat terhadap proses
penyusunan kebijakan, khususnya dalam koordinasi dan sinergi dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan nasional.
4.6 Perumusan Permasalahan
Secara umum perumusan permasalahan dapat dilakukan dengan
mengelompokkan potensi permasalahan dalam lingkup intra-organisasi, yaitu
permasalahan yang timbul pada internal organisasi K/L itu sendiri. Kelompok
berikutnya adalah potensi permasalahan yang dihadapi pada lingkup inter-
organisasi, yaitu permasalahan yang terjadi lintas K/L/D maupun dengan para
pelaku pembangunan lainnya.
Selain hal tersebut diatas besar kemungkinan adanya permasalahan yang
timbul dari faktor lingkungan strategis antara lain politik, ekonomi, sosial, teknologi
dan lingkungan hidup. Permasalahan yang timbul dari kondisi ini relatif sulit untuk
dapat diatasi oleh inisiatif pada tingkat K/L/D.
1. Permasalahan Koordinasi Lintas Fungsi/UnitKerja/Unit Organisasi
Dalam sebuah organisasi, pelaksanaan kegiatan tatakelola secara umum
dapat dikatakan mengikuti siklus majamenen PDCA dari Deming, yaitu plan, do,
check, action ataupun siklus ataupun siklus POAC, planning, organizing, actuating,
dan controlling. Dikaitkan dengan pelaksanaan sasaran swasembada daging sapi,
praktek pelaksanaan siklus tersebut dalam internal organisasi sangat berkaitan erat
dengan kondisi sebagai berikut:
a. Apakah keterlibatan K/L didukung dengan mandat, kebijakan yang jelas
dan memiliki kekuatan hukum;
b. Adakah fungsi organisasi dalam bentuk unit kerja atau unit organisasi
dalam K/L tersebut yang mendapatkan penugasan (tupoksi) dalam
penanganan program swasembada daging sapi sesuai dengan lingkup
tanggungjawabnya;
107
c. Apakah fungsi perencanaan dalam K/L mengacu pada produk
perencanaan pada hirarkhi yang lebih tinggi (misal: RPJMN 2010-2014),
yang berkaitan dengan pelaksanaan program swasembada daging sapi,
dan memuat dalam produk perencanaan K/L yang bersangkutan;
d. Apabila muatan perencanaan telah mencantumkan kegiatan yang
berkaitan dengan program swasembada daging sapi, maka :
- Bagaimanakah kebijakan K/L dalam pelaksanaan program/
kegiatan tersebut? Apakah menggunakan pendekatan “proyek”
yang dilaksanakan hanya untuk satu atau dua tahun, atau
pendekatan yang bersifat “berkelanjutan”, dilaksanakan secara
kontinyu;
- Seberapa besarkah dukungan sumberdaya yang dialokasikan
untuk pelaksanaan program/kegiatan tersebut (SDM, anggaran,
fasilitas, mesin dan peralatan, dan sebagainya);
e. Seberapa efektifkah koordinasi lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi
dalam K/L yang terkait dengan penanganan program swasembada
daging sapi sesuai dengan lingkup tanggungjawabnya;
Dari kondisi tersebut diatas dapat diidentifikasikan potensi permasalahan
intra-organisasi dalam lingkup K/L adalah sebagai berikut :
a. Rencana strategis, RPJMD atau produk perencanaan K/L/D yang
bersangkutan tidak memuat program/kegiatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan swasembada daging sapi, baik yang terkait langsung
maupun tidak langsung;
b. Alokasi sumberdaya yang kurang memadai dalam pelaksanaan
program/kegiatan, serta pendekatan pelaksanaan yang bersifat “proyek”
dan kurang mempertimbangkan penciptaan nilai tambah secara
keberlanjutan atau jangka panjang;
c. Lemahnya koordinasi lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi dalam
K/L/D, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pada proses
pemantauan dan evaluasi;
d. Tidak efektifnya upaya tindak lanjut untuk melakukan tindakan
perbaikan yang dapat meminimalisasi (meniadakan) kesenjangan antara
108
perencanaan dan pelaksanaan, melalui tindakan taktis-operasional pada
pelaksanaan program/kegiatan, maupun perbaikan perencanaan untuk
periode berikutnya;
2. Permasalahan Koordinasi Lintas Kementerian/Lembaga/Daerah
Pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi adalah kegiatan
yang bersifat cross-cutting issues atau bersifat lintas K/L/D. Dengan demikian
keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi akan sangat tergantung pada
kualitas koordinasi dan sinergi program lintas kementerian/lembaga/daerah. Dalam
beberapa forum panel pakar, seminar/ diskusi, maupun depth interview yang
membahas hal-hal yang berkaitan dengan program swasembada daging sapi,
dikemukakan bahwa sesuai peran dan fungsi atau lingkup otoritas (locus of control)
Kementerian Pertanian dalam mewujudkan swasembada daging hanya sebatas 30
persen. Sementara kunci keberhasilan yang 70 persen lainnya adalah wilayah locus
of concern atau ada pada peran dan fungsi K/L/D dan/atau pelaku pembangunan
lainnya.
Analisis situasional potensi permasalahan dalam koordinasi lintas K/L/D
dapat diidentifikasikan dalam dua kategori, yaitu pada tahap perencanaan dan tahap
pelaksanaan atau implementasi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Tahap Perencanaan :
1. Belum optimalnya forum lintas sektor yang mempertemukan K/L/D untuk
mempersiapkan perencanaan pembangunan (planning to plan) bagi prioritas
pembangunan nasional (RPJMN Buku I), sehingga dapat diperoleh gambaran
yang jelas berkaitan dengan peran dan tanggungjawab masing-masing
K/L/D;
2. Belum optimalnya koordinasi perencanaan implementasi tingkat tinggi (high
level implementation plan), yang dalam hal ini adalah: Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator
Perekonomian;
3. Kondisi diatas dapat menyebabkan ketidakselarasan antara penetapan sasaran
prioritas pembangunan nasional dalam penjabaran pada rencana strategis
masing-masing K/L, maupun RPJMD pada pemerintah daerah;
109
4. Ketidakselarasan tersebut akan berdampak pada ketidaksesuaian dalam
penetapan alokasi sumberdaya (terutama anggaran), baik yang berasal dari
APBN, APBD maupun sumber pendanaan dari sumber lainnya;
Tahap Pelaksanaan :
1. Belum optimalnya forum koordinasi dan sinergisme sebagai bagian dari
upaya dalam mengintegrasikan pelaksanaan program/kegiatan lintas K/L/D;
2. Adanya “ego sektoral”, sehingga K/L hanya terfokus pada peran dan fungsi
secara “stand-alone” tanpa koordinasi dengan K/L yang terkait;
3. Belum optimalnya forum pemantauan dan evaluasi (monev) yang bersifat
lintas K/L/D, sehingga dapat dilakukan identifikasi permasalahan dan
diambil tindakan pencegahan atau perbaikan untuk mencegah penyimpangan
yang terjadi (problem identification and corrective action);
3. Permasalahan Ketidakselarasan Peraturan Perundangan/Kebijakan
Pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi oleh K/L, serta
keterlibatan para pelaku pembangunan lainnya tidak dapat dilepaskan dari sejumlah
peraturan perundangan maupun bentuk kebijakan lain baik dari tingkat pusat
maupun daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam praktek pelaksanaannya dapat
ditemukan adanya peraturan perundangan atau kebijakan yang mendukung
pelaksanaan program/kegiatan, atau yang bersifat value creator/value enhancer.
Namun pada saat yang sama juga dijumpai cukup banyak peraturan perundangan
atau kebijakan yang “menghambat” pelaksanaan program/kegiatan atau bersifat
value destroyer.
Dari kondisi tersebut diatas dapat diidentifikasikan potensi permasalahan
yang muncul karena ketikaselarasan/disharmoni peraturan perundangan dan
kebijakan, antara lain sebagai berikut :
1. Adanya peraturan perundangan (undang-undang, peraturan pemerintah,
instruksi presiden, keputusan presiden) yang berpotensi menimbulkan
distorsi dalam pelaksanaan program/kegiatan;
2. Adanya kebijakan (peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah,
keputusan kepala daerah, atau lainnya) yang tidak selaras dengan
pelaksanaan program/kegiatan dan mengakibatkan iklim yang kurang
kondusif;
110
3. Belum adanya turunan kebijakan atas peraturan perundangan/ kebijakan yang
sudah ada sebelumnya, sehingga tidak ada pedoman umum, petunjuk
pelaksanaan, maupun petunjuk teknis dalam pelaksanaan program/kegiatan;
4. Masih adanya “arogansi” sektoral atau daerah/regional/wilayah, hingga
menimbulkan iklim yang kurang kondusif dalam pelaksanaan
program/kegiatan;
5. Kurang efektifnya upaya harmonisasi peraturan perundangan/ kebijakan
melalui koordinasi dan sinkronisasi lintas K/L/D;
111
5 ANALISIS KEBIJAKAN
5.1 Pendekatan Pengembangan Kebijakan
Proses kebijakan tidak bisa dipisahkan dari birokrasi, sosial politik, serta tren
perubahan. Misalnya, perubahan pada sistem ekonomi dan perdagangan pada tingkat
global maupun nasional. Khususnya pada tingkat nasional maupun lokal seperti
demokratisasi, desentralisasi yang membawa dampak cukup besar dalam arah
pengembangan berbagai sektor pembangunan.
Analisis kebijakan berkaitan dengan swasembada daging sapi, dilakukan
dengan beberapa tujuan sebagai berikut:
a. Memahami proses kebijakan yang telah dikembangkan dan di
implemetasikan.
b. Memahami tujuan dan motif di balik kebijakan, dan sejauh mana kebijakan
itu berkaitan dengan kehidupan masyarakat (masyarakat konsumen dan
pelaku usaha yang terkait dengan rantai nilai peternakan) .
c. Memahami dampak kebijakan terhadap masyarakat. Sejauh mana kebijakan
itu benar-benar memenuhi tujuan mereka.
d. Memahami area intervensi dalam proses kebijakan terkait dengan
perkembangan, baik pengembangan kebijakan dan dampak kepada
masyarakat.
Untuk memahami proses pengembangan kebijakan, harus dilakukan langkah
identifikasi dan pemahaman hal yang benar-benar terjadi dan melibatkan interaksi
maupun tanggapan pelaku pada saat memformulasikan kebijakan, juga hasil-hasil
“kebijakan makro” yang dirumuskan. Hal tersebut termasuk juga:
a. Memahami peran dan fungsi kementerian/lembaga/daerah dan organisasi
masyarakat sipil terkait dengan pengembangan kebijakan dan implementasi.
b. Mengidentifikasi kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan
utama dalam proses pengembangan kebijakan di semua tingkatan, kekuatan
dan peran para pemangku kepentingan dalam proses kebijakan dan
bagaimana hal tersebut telah dipraktekkan.
112
c. Strategi yang dipakai oleh para pemangku kepentingan untuk
merepresentasikan peran dan fungsi mereka dalam proses kebijakan dan
untuk memenuhi (atau mengalihkan) intensinya dalam implementasi.
d. Pemangku kepentingan utama yang memiliki peran terhadap proses, juga
terhadap pola pelaksanaan.
e. Tindakan kolektif yang dilakukan oleh para pelaku usaha, organisasi
masyarakat sipil, dan komunitas lain serta hubungan mereka pencapaian
tujuan dan nilai tambah yang diperolehnya.
Model analisis kebijakan (Blaikie, 2001) diatas menggambarkan bahwa
setiap aspek dalam analisas proses harus dipahami, juga interaksinya. Model
tersebut memadukan unsur-unsur negara dan masyarakat yang berorientasi pada
kebijakan dan implementasinya. Gambar 30 menunjukan kerangka analisis
kebijakan dalam swasembada daging sapi.
113
Gambar 30. Analisis proses kebijakan dalam swasembada daging sapi
114
5.2 Pendekatan Sistem Klaster dalam Swasembada Daging Sapi
Seperti telah dibahas dalam Bab 2, bahwa perilaku dasar organisasi yang
rumit dapat direpresentasikan seperti halnya tubuh manusia yang dikontrol oleh
sistem syaraf yang merupakan sistem terkaya dan paling fleksibel, maka pemikiran
tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh Beer, 1984 dalam VSM (viable system
model). VSM menggambarkan esensi sistem “organisasi” dibanding strukturnya,
dan merupakan perwujudan dari berbagai macam hukum prinsip cybernetik sebagai
hal penting untuk meningkatkan kinerja organisasi (Jackson, 2003).
5.2.1 Faktor-faktor yang terkait dalam Swasembada Daging Sapi
Dengan memperhatikan prinsip dan hukum VSM, hasil studi literatur, serta
depth interview maka dapat dirumuskan pemahaman lingkungan yang berpengaruh
terhadap pencapaian swasembada daging sapi yang dikelompokkan dalam lima
klaster, dan masing masing klaster terdiri dari beberapa node atau variabel.
Pengelompokkan dalam jenis klaster dilakukan dengan mempertimbangkan
klasifikasi sistem dalam input-output (Marimin, 2007), selanjutnya untuk
pendekatan sifat dan karakteristik hierarki permasalahan manajemen (direktif,
strategik, taktikal, dan operasional) digunakan dalam penetapan faktor/node yang
tersebar pada masing-masing klaster (Marimin, 2004). Klaster dan faktor/node
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Klaster Input Lingkungan
Faktor/node pada klaster ini merupakan faktor-faktor lingkungan yang
memberikan pengaruh pada pencapaian tujuan yang sifatnya tetap dan diluar kontrol
dari sistem swasembada daging sapi. Klaster input lingkungan memiliki enam
faktor, yaitu : nilai tukar (kurs rupiah), tarif impor, suku bunga bank, intervensi
program pada sektor peternakan, kebijakan perdagangan (dalam/luar negeri),
kebijakan pembangunan yang mendukung sektor peternakan.
2. Klaster Supply/Ketersediaan
Daging sapi yang bersifat demand driven, sampai saat ini masih bermasalah
dalam pemenuhannya. Kesenjangan antara kebutuhan konsumsi dengan produksi
daging sapi lokal terjadi tiap tahun, yang diduga karena adanya peningkatan jumlah
masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas.
115
Impor daging yang selama ini dilakukan tidak lain untuk mengisi excess
demand agar harga tertinggi (ceiling price) dapat dijangkau oleh masyarakat.
Penetapan harga tertinggi bertujuan untuk melindungi konsumen, ternyata di sisi
lain dapat menjadi disinsentif bagi peternak untuk memelihara sapi.
Berbagai upaya pokok untuk mencapai angka suplai 90% dari kebutuhan
daging nasional6
Tabel 34. Proyeksi pengembangan sapi di indonesia
. Upaya tersebut bertitik tolak pada pendekatan peningkatan
populasi sapi dalam negeri, yang didukung oleh populasi sapi tahun 2010 menjadi
base line. Pengembangan sapi Indonesia yang diproyeksikan akan terus meningkat
hingga tahun 2014 seperti pada Tabel 34.
Bangsa sapi 2010 2014 kenaikan (%)
komposisi 2014 (%)
(1) (2) (3) (4) (5)
Lokal lain 2,029,709 2,328,277 14.71 15.02 Bali 4,313,415 5,027,833 16.56 32.43 Peranakan Ongole 2,541,829 2,851,538 12.18 18.39
Brahman 717,546 1,391,985 93.99 8,89 Simental 1,257,380 1,342,240 6.75 8,86 Limosin 2,210,948 2,558,275 15.71 16,50
Sumber : Blue Print P2SDS 2014
Klaster ketersediaan mencermati kondisi yang menjadi prasyarat dalam
menjaga ketersediaan secara berkelanjutan. Klaster ini memiliki sembilan faktor
sebagai berikut: harga daging sapi dalam negeri, harga daging sapi impor, harga
ternak sapi dalam negeri, harga ternak sapi impor, populasi ternak sapi, teknologi
inseminasi buatan (IB), harga pakan sapi dan obat, ketersediaan sarana prasarana
peternakan, penyakit ternak.
3. Klaster Demand/Permintaan
Konsumsi dan penawaran daging berfluktuasi, dan cenderung meningkat
lebih cepat bila dibandingkan dengan peningkatan populasi. Berdasarkan model
ramalan untuk tahun 2009-2013 pada Gambar 31 tampak bahwa konsumsi daging
tumbuh dengan laju yang lebih cepat bila dibanding dengan penawaran. Fenomena
ini dapat memacu peningkatan harga daging, dan selanjutnya akan merangsang 6 Sesuai sasaran pencapaian swasembada daging sapi nasional, dalam Blueprint PSDS 2014
116
peternak rakyat untuk menjual sapinya, termasuk sapi betina produktif
(PPN/Bappenas, 2010).
Gambar 31. Jumlah penduduk dan permintaan daging sapi
Klaster permintaan memiliki tujuh faktor, antara lain: harga daging sapi
dalam negeri, harga sumber protein non daging sapi, pendapatan per kapita, jumlah
penduduk (tingkat populasi), tingkat asupan protein dari daging sapi, gaya hidup,
selera makan, pola permintaan musiman (Idul fitri, qurban, natal, tahun baru dan
lainnya).
4. Klaster Langkah Solusi
Upaya pencapaian swasembada daging sapi menghadapi banyak tantangan
dan permasalahan, baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial maupun kebijakan-
kebijakan pendukungnya. Koordinasi antarinstansi, antarsektor, serta
antarpemangku kepentingan (stakeholder) juga masih sangat lemah, sehingga hal ini
perlu mendapat perhatian untuk diselesaikan pada masa yang akan datang.
Faktor dalam klaster langkah solusi menggambarkan berbagai langkah atau
inisiatif yang harus dilakukan sebagai bagian dari upaya untuk keberhasilan
pencapaian swasembada daging sapi. Pada klaster ini memiliki 6 faktor sebagai
berikut: koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga dan lainnya),
integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah),
keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan
pengawasan, pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat
dalam rantai sektor peternakan, bentuk kemitraan strategis, pengembangan dan
peningkatan sarana dan prasarana.
117
5 Klaster Strategi
Klaster strategi terdiri dari lima faktor sebagai berikut: penataan peran
kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha &
masyarakat); pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan
masyarakat; fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan
berdasarkan program prioritas; optimalisasi pelaksanaan insentif bagi pemberdayaan
pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai sektor peternakan; pelaksanaan
monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan.
5.2.2 Dekomposisi dan Pembuatan Kerangka Kerja ANP
Setelah seluruh informasi dikonfirmasi ulang selanjutnya dibentuk
framework yang terdiri dari klaster yang sudah disusun berdasarkan hirarki dan
hubungan networknya, yang dijelaskan pada Gambar 32.
Gambar 32. Kerangka kebijakan swasembada daging pada program ANP
Sebelum dibuat kuesioner, kerangka kerja ANP ini dikonfirmasi ulang
kepada responden ahli. Dengan bantuan piranti lunak ANP, kemudian disusun
kuesioner pairwised comparisons yang jauh lebih mudah mengisinya. Untuk
selanjutnya kuesioner ANP diisi oleh para pakar sebanyak 26 orang yang mewakili
pemangku kepentingan yang telah direncanakan (Lampiran 8) , yaitu:
1. Anggota DPR RI dengan lingkup tugas yang terkait dengan sektor
pertanian;
118
2. Aparatur pemerintah dari kementerian/lembaga terkait secara langsung
maupun tidak langsung dengan swasembada daging sapi, antara lain:
Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Koordinator Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi
3. Akademisi dengan lingkup keahlian peternakan atau terkait dengan sektor
peternakan;
4. Pelaku usaha dalam bidang peternakan atau yang terkait dengan sektor
peternakan;
5. Insan pers atau media dengan bidang tugas (desk) bidang pertanian atau
yang terkait dengan sektor peternakan;
Selain melalui pengisian kuesioner, untuk memperoleh faktor-faktor yang
dianggap penting dalam masing-masing klaster bagi kerangka kerja ANP
diperoleh dari hasil diskusi yang dilakukan dalam seminar sosialisasi Rancangan
Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging Sapi 2014 yang
diselenggarakan oleh Kementerian Negara PPN/Bappenas (Lampiran 9).
5.2.3 Pengolahan Data ANP
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Super
Decisions versi 2.0 Beta yang dibuat oleh Thomas L. Saaty dan dapat diunduh dari
alamat website-nya di www.superdecision.com.
a. Penyusunan Kuesioner dan Pengentrian Data
`Dalam pengolahan data terdapat
empat tahapan yang dilakukan untuk dapat mensintesis hasil, yaitu : pertama,
pembuatan Framework, kedua, pembuatan kuesioner pairwised comparisons, ketiga,
menguji konsistensi dan mensintesis hasil, dan keempat mencari nilai Kendall’s
Coefficient of Concordance dengan bantuan piranti lunak Minitab versi 14.01 yang
digunakan untuk menentukan tingkat kesepakatan pemilihan faktor-faktor terkait di
antara para responden.
Dalam penyusunan kuesioner ANP “pairwised comparisons” dibuat sesuai
dengan standar kuesioner ANP yang ada pada piranti lunak Super Decision versi
2.0, yang kemudian dibuat tabel matriks menggunakan program MS Word. Dengan
metode pairwised comparisons sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
119
Gambar 33. Hasil pairwised comparisons kerangka ANP
Pada penelitian ini jumlah matrik pairwise comparison sebanyak 87 matriks
dengan total pertanyaan yang diajukan kepada responden sebanyak 1178
pertanyaan. Setelah data primer berupa jawaban responden diperoleh kemudian data
tersebut dimasukkan ke dalam piranti lunak Super Decision versi 2.0 seperti
disajikan pada Gambar 33.
b. Penentuan Nilai Rater Agreement
Metode ANP adalah metode pengambilan keputusan dengan menggunakan
judgment para pakar melalui kuesioner perbandingan berpasangan (pairwised
comparisons). Dengan perangkat ini para pakar menjadi lebih mudah dan fokus
dalam mengambil keputusan. Untuk pengambilan data dapat dilakukan dengan
dengan dua cara: pertama, dengan membentuk Focus Group Discussion (FGD),
dimana satu pertanyaan dijawab melalui consensus oleh para responden yang terdiri
dari para pakar. Kedua, kuesioner diisi para pakar secara terpisah, kemudian
dihitung geometrics mean (rataan).
Ukuran akurasi tingkat kesepakatan para responden terhadap penentuan
prioritas kebijakan yang dipilih dapat diuji dengan menggunakan analisis rater
agreement yang ditunjukkan oleh nilai koefisien Kendall W yang diperoleh. Nilai
koefisien Kendall W adalah normalisasi dari Friedman Statistic yang digunakan
untuk mengukur kesepakatan (agreement) di antara para responden. Rentang skala
120
nilai koefisien Kendall’s W antara 0 sampai dengan 1, dimana 0 (nol) berarti tidak
ada kesepakatan dan 1 (satu) yang berarti terdapat kesepakatan yang sempurna.
Untuk memudahkan perhitungan nilai koefisien Kendall W dilakukan proses
pengolahan data menggunakan bantuan program perangkat lunak pengolahan data
statistik “Minitab 14.01”. Pada Tabel 35 disajikan rekapitulasi nilai koefisien
Kendall W hasil pengolahan terhadap seluruh node (atribut) yang ada pada frame
work ANP model kebijakan swasembada sapi, yaitu sebanyak 33 node. Setiap node
diranking (dibuat peringkat) berdasarkan hasil penilaian/pendapat 26 responden
pakar hasil pengolahan ANP.
Tabel 35: Rekapitulasi koefisien Kendall’s W
Koefisien Kendall Chi-Sq DF P 0,824521 686,002 32 0,0000
Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa dalam hal seluruh node (atribut)
pada model kebijakan swasembada daging sapi nasional menunjukkan bahwa
seluruh responden ternyata memiliki kesepakatan yang relatif tinggi yang
ditunjukkannya nilai koefisien Kendall W dengan nilai lebih dari 0,82 atau dapat
dikatakan bahwa secara signifikan terdapat kesepakatan antara responden dengan
ditunjukkannya nilai P kurang dari 0,1 atau 10%.
5.3 Analisis dan Sintesis Hasil ANP
Sintesa dari pairwised comparisons diperoleh melalui pengolahan data yang
dilakukan satu persatu oleh masing-masing responden terlebih dahulu. Dengan
bantuan piranti lunak Super Decisions data dioleh per responden untuk
menghasilkan supermatriks. Supermatriks tersebut menampilkan urutan prioritas
klaster-klaster terpenting dari faktor-faktor terkait model kebijakan swasembada
daging sapi, urutan prioritas dari alternatif pemecahan masalah dalam pembentukan
model kebijakan swasembada daging sapi, dan pilihan model strategis yang tepat
menurut masing-masing responden yang disajikan dalam Tabel 36.
121
Tabel 36. Urutan faktor prioritas hasil ANP
Cluster Normalized By ClusteLimiting1 Langkah solusi 25. Keterkaitan dan Konsistensi 0,1849 0,07042 Langkah solusi 23. Koordinasi antar pelaku pembangunan 0,1565 0,06943 Strategi 33. Monitoring & evaluasi 0,1940 0,06794 Strategi 29. Penataan peran kelembagaan 0,1900 0,06655 Strategi 28. Pengembangan sarana-prasarana 0,1640 0,06246 Langkah solusi 26. Pemberian insentif 0,1588 0,06047 Strategi 31. Fokus perencanaan 0,1723 0,06038 Strategi 30. Pengembangan kapasitas kelembagaan & SDM 0,1604 0,05629 Langkah solusi 27. Bentuk kemitraan strategis 0,1217 0,0463
10 Langkah solusi 24. Integrasi, sikronisasi & sinergi program 0,1020 0,045211 Strategi 32. Optimalisasi insentif 0,1210 0,042412 Demand 16. Harga daging sapai dlm negeri 0,1995 0,013413 Demand 22. Pola permintaan musiman 0,1745 0,011514 Demand 20. Tingkat asupan protein 0,1363 0,009015 Demand 21. Gaya hidup-selera makan 0,1338 0,008816 Demand 17. Harga sumber protein non daging 0,1251 0,008417 Demand 18. pendapatan perkapita 0,1192 0,008018 Input Lingkungan 6. Kebijakan pembangunan 0,2876 0,007819 Demand 19. jumlah pddk 0,0950 0,006420 Supply 7. Harga daging lokal 0,1273 0,005421 Supply 11. Populasi ternak sapi 0,1337 0,005422 Supply 9. Harga ternak sapi dlm negeri 0,1216 0,004923 Supply 12. Teknologi IB 0,1197 0,004824 Supply 13. Harga pakan sapi dan obat 0,1186 0,004825 Input Lingkungan 5. Kebijakan dagang 0,1660 0,004526 Input Lingkungan 4. intervensi program 0,1580 0,004327 Supply 8. Harga daging impor 0,1039 0,004228 Supply 10. Harga ternak sapi impor 0,0907 0,003629 Supply 14. Ketersediaan sarana dan prasarana 0,0703 0,003430 Supply 15. Penyakit ternak 0,0602 0,002931 Input Lingkungan 2. tarif impor 0,0953 0,002632 Input Lingkungan 3. Suku bunga 0,0724 0,002033 Input Lingkungan 1. Nilai tukar 0,0717 0,0019
NilaiNode Model ANP Swasembada Daging SapiPrioritas
Pada hasil keluaran (output) piranti lunak Super Decisions 2.0 secara
keseluruhan seperti yang ditampilkan pada Tabel di atas terdapat dua nilai yaitu nilai
Normalized by cluster dan nilai Limiting. Nilai Normalized by cluster adalah nilai
prioritas pada setiap satu klaster yang bernilai total satu atau seratus persen jika
dijumlah dalam satu klaster, sedangkan nilai Limiting adalah nilai prioritas pada
seluruh prioritas node (atribut) permasalahan dan alternatif solusi atau kebijakan
antar klaster. Dalam analisa per klaster digunakan nilai Limiting karena pada
dasarnya urutan prioritas pada pilihan alternatif pada satu klaster akan menghasilkan
urutan yang sama baik menggunakan nilai Normalized by Cluster maupun
menggunakan nilai Limiting.
5.3.1 Hasil Penetapan Prioritas dengan Pemodelan ANP
Survey pakar yang dilakukan dengan metode ANP dengan 5 klaster (input
lingkungan, supply, demand, langkah solusi, dan strategi), yang terdiri dari 33
122
faktor. Gabungan pendapat para pakar menggambarkan urutan prioritas dari 33
faktor yang dinilai dari keterkaitan dan besarnya pengaruh terhadap pencapaian
tujuan, yaitu Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi untuk
mencapai swasembada (Gambar 34).
Gambar 34. Urutan prioritas faktor hasil ANP
5.3.2 Faktor Prioritas Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada
Daging Sapi
Dari 33 faktor dapat diidentifikasikan 10 prioritas teratas yang merupakan
faktor kunci dalam keberhasilan pencapaian Integrasi Perencanaan Pembangunan
Swasembada Daging Sapi seperti pada Tabel 37.
123
Tabel 37. Faktor prioritas utama bagi pencapaian swasembada daging sapi
Prioritas Node Normalized by cluster Limiting
(1) (2) (3) (4)
1 Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan 0,1849 0,0704
2 Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga, dll) 0,1565 0,0694
3 Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan 0,1940 0,0679
4 Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat) 0,1900 0,0665
5 Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana 0,1640 0,0624
6 Pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan 0,1588 0,0604
7 Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas 0,1723 0,0603
8 Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat 0,1604 0,0562
9 Bentuk kemitraan strategis 0,1217 0,0463
10 Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah) 0,1020 0,0452
Dalam kaitan perencanaan dan penganggaran pembangunan sektor pertanian,
khususnya dalam pencapaian swasembada daging sapi, secara hierarki dalam
pengambilan keputusan maupun tatakelola pembangunan dapat dikemukakan dalam
empat tingkatan.
Tingkat direktif, bahwa penetapan swasembada daging sapi nasional
merupakan bagian dari prioritas pembangunan ketahanan pangan yang termuat
dalam RPJM Nasional 2010-2014 (Perpres No.5/2010). Selanjutnya pelaksanaan
perencanaan pembangunan mengacu pada UU No.25/2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, sedangkan untuk penetapan anggaran
mengikuti ketentuan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara. Selain hal
tersebut untuk hal-hal yang dalam pelaksanaannya melibatkan pemerintah daerah
propinsi, kabupaten maupun kota akan mengacu pada UU No.32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Berdasarkan peraturan perundangan diatas dijabarkan 3 tingkatan
hirarkhi yang secara ringkas ditampilkan dalam Tabel 38.
124
Tabel 38. Pengelompokan prioritas utama dalam klaster strategi
Prioritas Faktor Limiting Hirarki (1) (2) (3) (4)
1 Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
0,0704
Strategik 7 Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas
0,0603
10 Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah) 0,0452
2 Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga, dll) 0,0694
Taktikal 3 Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan 0,0679
4 Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat)
0,0665
5 Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana 0,0624
Operasional 6 Pemberian insentif bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan
0,0604
8 Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat 0,0562
9 Bentuk kemitraan strategis 0,0463
Pada tingkat strategik diperlukan strategi yang dapat memberikan panduan
agar terbangun (1) keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan, dengan (2) fokus pada program prioritas, serta
melaksanakan (3) integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antardaerah,
antarfungsi pemerintah). Pada tingkat taktikal diperlukan berbagai forum lintas
kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam hal: (1) penataan peran
kelembagaan, (2) koordinasi dalam pelaksanaan peran dan fungsi, pemantauan dan
evaluasi serta (3) berbagai upaya langkah perbaikan untuk menjaga agar terbangun
sinergi dalam pencapaian sasaran swasembada daging sapi. Selanjutnya untuk
menjaga iklim yang kondusif dalam pelaksanaan tingkat operasional diperlukan
kebijakan yang dapat memfasilitasi: (1) terciptanya kemitraan strategis antarpelaku
pembangunan, (2) pengembangan SDM masyarakat peternak, pelaku usaha dalam
bidang yang terkait dengan peternakan, (3) pengembangan dan peningkatan sarana
dan prasarana yang terkait dengan sektor peternakan, serta (4) pemberian insentif
bagi pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai sektor
peternakan.
125
Mengamati karakteristik faktor-faktor yang menjadi prioritas tersebut dapat
tergambarkan hubungan yang erat antara keberhasilan pencapaian swasembada
daging sapi dengan integrasi, sinkronisasi, sinergi antardaerah, antarruang,
antarwaktu, antarfungsi pemerintah, serta antara pusat dan daerah dalam
pelaksanaan upaya swasembada daging sapi. Oleh Morgan (2006) pola
pengorganisasian dengan kondisi ini digambarkan sebagai metapor organisasi
sebagai organisme (Nature intervenes–Organization as Organism), organisasi juga
terdiri atas interaksi berbagai subsistem yang antara lain meliputi lingkungan,
strategi, human-kultural, struktural, teknologi dan manajemen. Dengan demikian
sangat diperlukan adanya forum-forum antarfungsi pemerintah dalam lintas
kementerian/lembaga, maupun antara pusat dan daerah yang sejalan dengan amanat
UU SPPN Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan
nasional.
5.3.3 Analisis Prioritas pada Masing-masing Klaster
Analisis Klaster Input Lingkungan
Gambar 35. Hasil analisis klaster input lingkungan
Gambar 35 menjelaskan bahwa pada klaster input lingkungan para pakar
berpendapat bahwa 3 prioritas tertinggi adalah: kebijakan pembangunan yang
mendukung sektor peternakan (0,2876), kebijakan perdagangan dalam negeri dan
126
luar negeri (0,1660), dan intervensi program pada sektor peternakan (0,1580).
Analisis atas 3 prioritas tertinggi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Kebijakan pembangunan yang mendukung sektor peternakan (0,2876):
bahwa untuk keberhasilan pencapaian sasaran swasembada daging sangat
dipengaruhi oleh penetapan secara formal (sebagai kebijakan nasional)
bahwa program tersebut merupakan prioritas pembangunan nasional.
b. Kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar negeri (0,1660): bahwa
kebijakan perdagangan atau tataniaga mempunyai pengaruh yang besar
terhadap keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan, khususnya
dalam menjaga kelancaran rantai pasok perdagangan ternak dan daging
sapi, baik bagi sapi impor maupun sapi lokal.
c. Intervensi program pada sektor peternakan (0,1580): pelaksanaan
program yang menjadi sasaran pembangunan memerlukan keterlibatan
berbagai sektor pembangunan, maupun berbagai pemangku kepentingan
sebagai pelaku pembangunan, baik pemerintah pusat dan daerah, para
pelaku usaha, maupun masyarakat. Untuk dapat “menggerakkan” para
pemangku kepentingan agar fokus, selaras dan dan dapat menciptakan
sinergi yang positf, diperlukan intervensi program dari pemerintah. Pada
umumnya intervensi program dilakukan pada level taktikal maupun
operasional.
Analisis Klaster Pasokan/Supply Penetapan prioritas pada klaster pasokan ditampilkan dalam Gambar 36,
menunjukan bahwa 3 faktor dengan nilai tertinggi sebagai prioritas dalam klaster ini
adalah: populasi ternak sapi (0,1337), harga daging dalam negeri (0,1273), dan harga
ternak sapi dalam negeri (0,1216).
127
Gambar 36. Hasil analisis klaster pasokan
Dengan adanya faktor yang memiliki nilai prioritas yang sama, untuk klaster
pasokan para pakar berpendapat bahwa 5 prioritas pada klaster ini adalah:
1. Populasi ternak sapi (0,1337): Populasi ternak sapi memberikan pengaruh
yang tinggi terhadap kelangsungan tingkat pasokan daging sapi.
Ketersediaan pasokan daging sapi secara berkelanjutan dapat terjaga dengan
integrasi yang baik dalam proses budidaya, ketersediaan betina produktif,
keberhasilan proses reproduksi alamiah maupun buatan, yang pada akhirnya
menjaga ketersediaan bakalan maupun sapi siap potong. Salah satu faktor
penghambat laju peningkatan populasi adalah pemotongan sapi betina
produktif yang semakin tinggi sebagai akibat desakan untuk mencukupi
permintaan;
2. Harga daging sapi dalam negeri (0,1273): ketersediaan daging sapi dalam
negeri dengan harga yang terjangkau merupakan hal yang harus menjadi
perhatian pemerintah. Kesenjangan jumlah pasokan akan meningkatkan
harga daging sapi di pasaran, untuk itu impor dilakukan agar dapat mengisi
excess demand agar harga tertinggi masih dapat dijangkau oleh masyarakat.
Kenaikan harga daging sapi impor di dalam negeri akan diikuti oleh
kenaikan harga daging sapi lokal. Kondisi permintaan pada saat hari Raya
Idul Fitri, secara konsisten meningkatkan harga. Demikian juga pada saat
hari raya korban secara konsisten menurunkan harga daging sapi. Kebijakan
128
stabilisasi harga dengan menjaga supply yang cukup dengan distribusi yang
tepat oleh pemerintah belum dapat menurunkan harga eceran daging sapi.
3. Harga ternak sapi dalam negeri (0,0049): paling tidak ada tiga masalah
utama dalam pemasaran ternak sapi di Indonesia yaitu: transprotasi ternak
antar daerah khususnya antar pulau, pungutan pemda pada ternak yang
melewati daerahnya dan banyaknya peternak yang menjual ternak pada
pedagang pengumpul desa daripada ke pasar hewan. Rendahnya harga bibit
nasional yang tidak mendatangkan insentif bagi peternak untuk menjadi
produsen bibit, karena secara bisnis tidak menguntungkan karena harga bibit
yang rendah.
Analisis Klaster Kebutuhan/Demand Untuk klaster kebutuhan disajikan dalam Gambar 37, terdapat 3 faktor yang
dianggap penting dan menjadi prioritas adalah: harga daging sapi dalam negeri
(0,1995), pola permintaan musiman (idul fitri, idul qurban, natal, tahun baru, dan
lainnya) (0,1745), dan tingkat asupan protein dari daging sapi (0,1363).
Gambar 37. Hasil analisis klaster kebutuhan
Kondisi tersebut menggambarkan bahwa:
1. Harga daging sapi dalam negeri (0,1995): faktor ini juga menjadi faktor
prioritas pada klaster pasokan. Hal ini menunjukan bahwa harga daging sapi
merupakan faktor yang memberikan pengaruh besar pada tingkat
keberhasilan dalam pencapaian swasembada daging sapi;
129
2. Permintaan musiman (idul fitri, idul qurban, natal, tahun baru, dan lainnya)
(0,1745): dapat dikenali bahwa tren permintaan dalam periode tahunan selalu
berfluktuasi bersamaan dengan datangnya hari raya keagamaan ataupun hari
besar lainnya.
3. Tingkat asupan protein dari daging sapi (0,1363) : peningkatan kesadaran
masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk kesehatan dan kecerdasan
berpengaruh pada meningkatnya kebutuhan permintaan daging khususnya
daging sapi yang semakin meningkat.
Analisis Klaster Langkah Solusi Pada klaster ini para pakar berpendapat bahwa faktor yang menjadi prioritas
adalah: keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,
dan pengawasan (0,1849), pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana
(0,1640), serta pemberian insentif bagi pembardayaan bagi pelaku usaha dan
masyarakat dalam rantai nilai sektor peternakan (0,1588).
Gambar 38. Hasil analisis klaster langkah solusi
Memperhatikan hasil pada Gambar 38 diatas, beberapa kondisi yang dapat
menggambarkan pentingnya faktor-faktor tersebut bagi keberhasilan pencapaian
swasembada daging sapi, antara lain:
1. Keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan (0,1849): adanya keselarasan dalam bentuk
forward linkage dan backward linkage yang dimulai dari: input –
proses/kegiatan – output/keluaran – outcome/hasil – impact/dampak. Dalam
130
penerapannya keterkaitan dan konsistensi tersebut dapat diukur dengan
menggunakan tiga komponen sebagai berikut:
a. Indikator kinerja, merupakan alat ukur keberhasilan suatu program
atau kegiatan.
b. Standar biaya yang digunakan merupakan masukan pada awal tahap
perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, dan nantinya
menjadi standar biaya keluaran.
c. Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan
masalah implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik
bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi efisiensi dan
efektivitas dari suatu program/kegiatan.
2. Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana (0,1640) :
pengembangan usaha ternak sapi potong harus didukung dengan sarana dan
prasarana untuk subsistem-subsistem dalam agribisnis peternakan sapi
potong yaitu subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, serta
subsistem jasa penunjang.
a. Subsistem hulu adalah sarana dan prasarana untuk menghasilkan dan
memperdagangkan sarana produksi ternak (sapronak), jenis usaha
pembibitan, industri pakan, industri obat-obatan, dan industri
penyedia peralatan ternak;
b. Subsistem budidaya adalah sarana dan prasarana untuk mendukung
perkembangan usaha peternakan sapi potong yang sudah ada serta
menumbuhkembangkan usaha baru yang bergerak di hulu dari
agribisnis peternakan sapi potong.
c. Subsistem hilir adalah sarana dan prasarana untuk mengolah hasil
peternakan sapi potong agar sesuai dengan kebutuhan konsumen
sekaligus membuka kesempatan berusaha dan bekerja pada agribisnis
hilir peternakan sapi potong.
d. Subsistem jasa penunjang adalah dengan memfasilitasi
berkembangnya usaha-usaha agribisnis ternak sapi potong baik di
hulu, budi daya maupun hilir melalui: penguatan SDM peternakan,
penguatan kelembagaan peternakan, serta sarana dan prasarana
distribusi dan transportasi.
131
3. Pemberian insentif bagi pemberdayaan bagi pelaku usaha dan masyarakat
dalam rantai nilai sektor peternakan (0,1588): Diperlukan upaya yang
menyentuh aspek sosial-ekonomi peternak secara mikro, perlu
dipertimbangkan secara khusus untuk memfasilitasi kesejahteraan peternak
dan pelaku usaha di sektor peternakan. Hal ini sekaligus untuk agar
pemenuhan kebutuhan daging sapi dan produk turunannya dapat dipenuhi
oleh hasil peternakan yang bersumber dari sapi lokal Indonesia,
mempercepat pertumbuhan dan perkembangnan ekonomi kerakyatan
berbasis peternakan sapi dan produk turunannya (pro job, pro poor, pro
growth).
Analisis Klaster Strategi Dari lima faktor strategi yang dimungkinkan, para pakar berpendapat bahwa
3 faktor yang dianggap menjadi prioritas dalam klaster ini adalah: pelaksanaan
monitoring dan evaluasi serta melaksanakan langkah perbaikan (0,1940), penataan
peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha, dan
masyarakat) (0,1900), serta fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan
pengawasan berdasarkan program prioritas (0,1723).
Gambar 39. Hasil analisis klaster strategi
Secara ringkas untuk faktor prioritas dari klaster strategis yang disajikan
dalam Gambar 39, dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi serta melaksanakan langkah
perbaikan (0,1940): monitoring dan evaluasi kinerja merupakan proses
penilaian dan pengungkapan masalah implementasi kebijakan untuk
132
memberikan umpan balik bagi peningkatan kualitas kinerja, baik dari sisi
efisiensi dan efektivitas dari suatu program/kegiatan. Pelaksanaan evaluasi
dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil terhadap target (dari sisi
efektivitas) dan realisasi terhadap rencana pemanfaatan sumber daya (dilihat
dari sisi efisiensi). Hasil evaluasi kinerja merupakan umpan balik (feed back)
bagi suatu organisasi untuk memperbaiki kinerjanya.
2. Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda,
pelaku usaha, dan masyarakat) (0,1900): keberhasilan pencapaian sasaran
swasembada daging sapi nasional akan sangat ditentukan oleh “kerapihan”
penataan peran kelembagaan agar dapat dicapai koordinasi dan sinkronisasi
program dan kegiatan yang dilaksnakan dalam kerangka anggaran yang
efektif dan efisien. “Kerapihan” penataan peran dan anggaran menjadi
penting dan kritikal, mengingat :
a. Sebagai bagian dari prioritas ketahanan pangan yang termuat dalam
RPJMN 2010-2014, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
mengkoordinasikan 11 kementerian/lembaga yang melaksanakan
program dan kegiatan.
b. Blueprint Swasembada Daging Sapi 2014 juga dicantumkan bahwa
pelaksanaan 13 kegiatan operasional swasembada daging sapi akan
melibatkan 14 kementerian/lembaga, 33 propinsi yang terdiri dari 20
lokasi prioritas dan 13 lokasi pendukung;
3. Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan
berdasarkan program prioritas (0,1723): pencapaian swasembada daging
sapi nasional memerlukan upaya terintegrasi yang melibatkan pemangku
kepentingan lintassektor, lintasfungsi pemerintah, antara pusat dan daerah,
serta antar pelaku pembangunan. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal,
diperlukan integrasi perencanaan penganggaran, pelaksanaan, sesuai dengan
peran kelembagaan, serta pemantauan dan evaluasi untuk melakukan
tindakan perbaikan maupun perbaikan perencanaan (rolling plan).
133
5.4 Asumsi Model Kebijakan Hasil SAST
Pembuatan kebijakan harus mempertimbangkan berbagai fakta maupun
kondisi yang nyata maupun yang bersifat sebagai potensi atau kondisi latent. Untuk
dapat memperoleh berbagai faktor yang dapat mewakili kondisi tersebut
menggunakan pendekatan strategic assumption surfacing and testing (SAST),
dengan bantuan panel pakar yang dirancang dalam sebuah focus group discussion
(Jackson, 2003). Asumsi strategis yang merupakan pendapat para pakar dilakukan
pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan dan tingkat kepastian
menggunakan. Pada riset ini pencarian asumsi strategis dilakukan melalui panel
pakar dengan responden pakar yang berpengalaman baik dalam bidang peternakan
maupun para aparatur negara pada posisi sebagai pengambil keputusan pada sektor
peternakan maupun perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, khususnya untuk
sektor peternakan. Daftar responden pakar untuk metode SAST ditampilkan dalam
Lampiran 10. Eksplorasi asumsi strategis para pakar juga dilakukan berdasarkan
hasil diskusi yang dilakukan dalam FGD tentang Kebijakan Pengembangan
Peternakan Berbasis ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging
Sapi dan Kerbau Tahun 2014, yang diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian (Lampiran 11).
5.4.1 Eksplorasi Asumsi Strategis dengan pendekatan SAST
Eksplorasi awal asumsi strategis menjabarkan komponen dari enam
faktor/kondisi yaitu: faktor kondisi, kondisi permintaan, kondisi industri pendukung,
kondisi persaingan, struktur dan strategi, kondisi pemerintah dan kondisi
kesempatan7
, yang secara berurutan disajikan dalam Tabel 39 sampai Tabel 44.
7 Struktur kuesioner dengan adaptasi dari model Diamond Porter’s
134
Tabel 39. Asumsi strategis faktor kondisi
A. Faktor Kondisi
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
A1. Ketersediaan fasilitas peternakan (kandang, pengumpulan ternak) dan atau padang penggembalaan 5 2
A2. Ketersediaan sarana dan prasarana, serta kelancaran transportasi darat, laut, udara 6 2
A3. Jumlah dan sebaran fasilitas (penguasaan) teknologi inseminasi buatan (IB) 6 5
A4. Jumlah dan sebaran sarana dan prasarana rumah potong hewan (RPH) 5 2
A5. Ketersediaan sarana dan prasarana klinik hewan (ternak) 7 4
A6. Ketrampilan dan ketersediaan SDM petugas penyuluh lapangan (PPL), bagi masyarakat pelaku usaha peternakan 6 3
A7. Ketrampilan SDM peternak, dan pelaku usaha dalam rantai nilai pendukung 7 3
A8. Penguasaan teknologi peternakan (pakan, perbibitan, pemeliharaan, lainnya) 6 3
A9. Penyakit ternak yang menyebabkan penurunan produktivitas usaha peternakan 6 6
A10. Kondisi alam yang tidak kondusif dan menyebabkan kerugian bagi usaha peternakan 2 2
Tabel 40. Asumsi strategis kondisi permintaan
B. Kondisi Permintaan
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
B1. Harga daging sapi yang dapat mempengaruhi tingkat pasokan maupun tingkat konsumsi 4 4
B2. Harga daging non sapi atau sumber protein lainnya (substitusi daging sapi) yang dapat mempengaruhi jumlah permintaan daging sapi
2 2
B3. Ketersediaan dan keterjangkauan daging sapi ASUH (aman, sehat, utuh, halal) bagi masyarakat konsumen 5 3
B4. Peningkatan jumlah permintaan daging sapi secara musiman (idul qurban, hari raya keagamaan, hari besar lainnya) 7 6
B5. Gaya hidup, selera makan, trend hidup sehat (vegetarian, menghidari kolesterol, lainnya) yang mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapi
5 4
B6. Jumlah kunjungan turis asing yang mempengaruhi tingkat konsusmsi daging sapi impor 1 1
B7. Jumlah hotel, restauran yang menyediakan menu makanan berbasis daging sapi dan mempengaruhi tingkat permintaan daging sapi impor
6 6
B8. Peningkatan variasi makanan olahan berbasis daging sapi (bakso, sosis, makanan siap saji lainnya), yang mempengaruhi tingkat konsumsi daging sapi lokal
6 6
135
Tabel 41. Asumsi strategis kondisi industri pendukung
C. Kondisi Industri Pendukung
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
C1. Ketersediaan/kecukupan pakan ternak dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi persyaratan (industri/produsen pakan) 6 4
C2. Ketersediaan/kecukupan obat-obatan dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi persyaratan (industri/produsesn obat-obatan) 5 5
C3. Terjaganya kelangsungan ketersediaan (sustainabilitas) bibit – bakalan – sapi siap potong, yang dapat menjamin kontinuitas swasembada daging sapi
7 4
C4. Kelancaran jaringan distribusi dalam rantai pasok bagi ternak, daging sapi dan produk olahan daging sapi (jasa transportasi, perdagangan, dan sarana perdagangan)
6 2
Tabel 42. Asumsi strategis kondisi persaingan, struktur dan strategi
D. Kondisi Persaingan, Struktur dan Strategi
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
D1. Kebijakan larangan impor daging sapi, jeroan dan tulang sapi 7 7
D2. Kebijakan larangan impor sapi bakalan dan sapi siap potong 7 7
D3. Kebijakan larangan ekspor bahan baku pakan ternak sapi 7 7
D4. Masuknya produk impor daging sapi, jeroan dan tulang sapi 7 7
D5. Masuknya impor bakalan sapi dan ternak sapi potong 7 7
D6. Pengaruh/intervensi “blantik” dan bentuk “middle man” dalam perdagangan daging dan ternak sapi 7 7
D7.
Kerjasama antar wilayah dalam rantai nilai utama maupun rantai nilai pendukung usaha peternakan (sesuai dengan potensi perwilayahan) yang terfokus pada pencapaian sasaran swasembada daging sapi
5 3
Tabel 43. Asumsi strategis kondisi pemerintah
E. Kondisi Pemerintah
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
E1. Konsistensi muatan Renstra Kementerian/ Lembaga, maupun RPJMD Propinsi, Kabupaten/Kota yang terkait, dalam “menyerap” program swasembada daging sapi
6 2
E2.
Koordinasi Kementerian PPN/Bappenas (fungsi perencanaan), Kementerian Keuangan (fungsi anggaran), dan Kemenko Perekonomian (fungsi koordinasi), dalam menjaga fokus dan keselarasan pelaksanaan program dan
7 6
136
E. Kondisi Pemerintah
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
kegiatan prioritas nasional
E3.
Pengaruh/intervensi “kepentingan” dari golongan/komunitas/organisasi profesi/ organisasi politik/organisasi lainnya, dalam perdagangan daging dan ternak sapi
5 4
E4. Kebijakan perdagangan yang kondusif (non tarif barier, dan bentuk lainnya) yang mendorong terciptanya nilai tambah bagi usaha peternakan
7 7
E5. Sistem informasi ternak sapi nasional secara terintegrasi 6 2
E6. Politik (kebijakan) perdagangan luar negeri (ekonomi) internasional yang “mengganggu” pencapaian sasaran swasembada daging sapi
6 2
E7. Fluktuasi nilai tukar (kurs) mata uang asing yang mempengaruhi kinerja pencapaian sasaran swasembada daging sapi
7 7
Tabel 44. Asumsi strategis kondisi kesempatan
F. Kondisi Kesempatan
Kode Asumsi Strategis Tingkat
kepentingan (x)
Tingkat kepastian
(y) (1) (2) (3) (4)
F1. Seluruh kebutuhan daging sapi nasional dapat dipenuhi oleh hasil peternakan yang bersumber dari sapi lokal Indonesia 7 3
F2. Peningkatan budidaya dan pelestarian plasma nutfah sapi lokal asli Indonesia 6 2
F3. Optimalisasi nilai tambah bagi peternak dengan pemangkasan beban biaya : pungli, komisi, calo, blantik, lainnya 5 3
F4. Pertumbuhan dan perkembangnan ekonomi kerakyatan berbasis peternakan, daging sapi dan produk turunannya (pro job, pro poor, pro growth)
5 4
5.3.2 Penetapan Konsideran Prioritas dalam Penyusunan Kebijakan
Dengan menggunakan teknik SAST dilakukan pemeringkatan terhadap
asumsi-asumsi yang ada. Secara grafis hasil pemeringkatan diposisikan dalam
kuadran kartesius seperti pada Gambar 40, sehingga mudah dikenali posisi tingkat
kepentingan dan tingkat kepastian dari setiap asumasi strategis yang ada.
137
Gambar 40. Pemeringkatan asumsi strategis dengan teknik SAST
Hasil pemeringkatan menunjukan gambaran tingkat kepentingan dan tingkat
kepastian dari masing-masing asumsi yang ada. Untuk penajaman atas hal-hal yang
harus dipertimbangkan dalam proses penyusunan atau pengambilan kebijakan, maka
analisis dan sintesis dilakukan pada asumsi yang berada dalam kuadran I, yaitu
posisi yang memiliki tingkat kepentingan dan tingkat kepastian yang relatif tinggi.
Pada kuadran I tersebut dapat teridentifikasi asumsi-asumsi senagai berikut :
1. Asumsi dengan nilai 7,7 (amat sangat penting–amat sangat pasti) adalah D1,
D2, D3, D4, D5, D6, E4, E7;
2. Asumsi dengan nilai 7,6 (amat sangat penting–sangat pasti) adalah: B4;
3. Asumsi dengan nilai 6,7 (sangat penting–amat sangat pasti) adalah: E2;
4. Asumsi dengan nilai 6,6 (sangat penting–sangat pasti) adalah: A9, B7, B8;
5. Asumsi dengan nilai 6,5 (sangat penting–pasti) adalah: A3;
6. Asumsi dengan nilai 5,5 (penting–pasti) adalah: C2
Bila kita cermati lebih lanjut, asumsi strategis dengan nilai yang amat sangat
penting dan amat sangat pasti (D1, D2, D3, D4, D5, D6, E4, E7) adalah hal-hal yang
berkaitan erat dengan kebijakan tataniaga maupun proses perdagangan ternak sapi,
daging, produk turunan dan produk pendukung peternakan. Dapat diketahui bahwa
138
asumsi-asumsi tersebut merupakan hal yang berada diluar kewenangan Kementerian
Pertanian. Hal ini dapat memberikan penguatan pendapat pakar yang diperoleh
melalui FGD maupun indepth interview (Lampiran 14), bahwa peran Kementerian
Pertanian keberhasilan swasembada daging sapi hanya sekitar 30 persen (value
proposition). Dapat dikemukakan pada kondisi ini kementerian dan/atau lembaga
yang memegang peranan penting adalah Kementerian Perdagangan selaku
pemegang fungsi dan peran dalam pengaturan impor maupun ekspor dan
Kementerian Koordinator Perekonomian yang menentukan besaran kuota impor.
Untuk asumsi strategis dengan nilai amat sangat penting dan sangat pasti
adalah peningkatan jumlah permintaan daging sapi secara musiman (idul qurban,
hari raya keagamaan, hari besar lainnya). Mengingat kondisi “musiman” ini adalah
hal yang rutin dan dengan pola “lonjakan” permintaan yang sangat mudah
diprediksi, maka seharusnya Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan
para pelaku usaha (termasuk peternak rakyat) seharusnya dapat berkoordinasi untuk
mengantisipasi kondisi ini, baik untuk tingkat ketersediaan ternak, daging, dan
produk turunannya, maupun keterjangkauan harga dari produk-produk tersebut.
Selain hal tersebut secara periodik dan siklikal Kementerian Pertanian dapat
mengantisipasi dengan kesiapan dukungan bibit, bakalan, dan produk pendukung
peternakan agar siap pada saat “jatuh tempo” di hari-hari tersebut.
Sedangkan untuk asumsi nilai sangat penting dan amat sangat pasti) adalah E2
atau koordinasi Kementerian PPN/Bappenas (fungsi perencanaan), Kementerian
Keuangan (fungsi anggaran), dan Kemenko Perekonomian (fungsi koordinasi),
dalam menjaga fokus dan keselarasan pelaksanaan program dan kegiatan prioritas
nasional. Hal ini memperkuat bahwa pelaksanaan upaya swasembada daging sapi
yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga, maupun para pemangku
kepentingan lainnya memerlukan dukungan “kepastian” pada tingkat kebijakan yang
lebih tinggi. Tingkat kepastian dalam hal ini adalah fokus dan keselarasan
pelaksanaan program swasembada daging sapi dalam bentuk :
1. Sesuai amanat UU SPPN No. 25/2004, Kementerian PPN/Bappenas
menjalankan tatakelola perencanaan yang dapat menjamin terciptanya
integrasi, sinkronisasi, sinergi antardaerah, antarruang, antar waktu, antar
fungsi pemerintah, antara pusat dan daerah (Bab II, pasal 2, ayat 4 titik (b).
139
2. Berdasarkan perencanaan yang ada tersebut, Kementerian Keuangan
mendukung dan mengalokasikan anggaran pada seluruh kementerian/
lembaga/daerah yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
pencapaian swasembada daging sapi.
3. Berpegang pada perencanaan dan ketersediaan anggaran pada masing-masing
kementerian/lembaga/daerah, selanjutnya Kementerian Koordinator
Perekonomian “menjaga” proses koordinasi dan sinergi program lintas
kementerian/lembaga/ daerah;
4. Koordinasi tingkat tinggi harus senantiasa dilakukan oleh tiga kementerian ini,
baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pemantauan dan evaluasi.
Dalam perjalanannya, tindakan korektif atas pelaksanaan program
swasembada daging sapi dapat berimplikasi pada perbaikan dan tatakelola
pada aspek perencanaan, penganggaran, maupun koordinasi dan sinkronisasi
program;
5.5 Struktur Sistem Elemen Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Hasil ISM
Model kebijakan integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian
“swasembada daging sapi nasional” adalah untuk mewujudkan terciptanya
kemandirian pangan dengan meningkatnya ketahanan pangan rakyat, berupa
perbaikan status gizi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan,
membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan sesuai dengan
sasaran utama pembangunan nasional. Model kebijakan ini disusun berdasarkan
hasil asumsi-asumsi dasar dengan prioritas tertinggi sebagai prasyarat yang harus
diperhatikan dalam penyusunan model kebijakan integrasi pembangunan
swasembada daging sapi.
Struktur sisem elemen model kebijakan swasembada daging sapi nasional ini
dianalisis dengan metode ISM dan hasil wawancara pakar diperoleh enam elemen
utama yang harus diperhatikan dalam membuat kebijakan yakni : (1) Kelompok
Pemangku kepentingan yang terpengaruh, (2) Kebutuhan dari program, (3) Kendala
utama, (4) Perubahan yang dimungkinkan, (5) Tujuan program, (6)
Lembaga/Kelompok yang terlibat pelaksanaan program. Selain itu ada 3 elemen
pendukung lainnya yakni: (1) Tolok ukur penilaian setiap tujuan, (2) Aktivitas yang
140
dibutuhkan untuk perubahan, (3) Ukuran aktivitas untuk penilaian hasil aktivitas.
Eksplorasi dan identifikasi sub elemen dari 9 elemen ISM diperoleh melalui panel
pakar yang diselenggaran melalui seminar Pedoman Umum Swasembaga Daging
Sapi Tahun 2014 yang diselenggarakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi
(Lampiran 12), selanjutnya daftar responden pakar untuk metode ISM ditampilkan
dalam Lampiran 13.
1. Elemen kelompok Pemangku Kepentingan yang Terpengaruh pada Kebijakan Swasembada Daging Sapi
Elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh, pada model
kebijakan swasembada daging sapi nasional terdiri dari enam sub elemen, yaitu: (1)
Kementerian Koordinator Perekonomian, (2) Kementerian Keuangan,
(3)Kementerian PPN/Bappenas, (4) Kementerian Pertanian, (5) Kementerian
Perdagangan, (6) Kementerian Kehutanan, (7) Kementerian Dalam Negeri, (8)
Kementerian BUMN, (9) Kementerian Riset dan Teknologi, (10) Pemerintah
Propinsi/Kabupaten/Kota dan (11) Pelaku Usaha (industri dan masyarakat) dalam
Rantai Nilai Peternakan Sapi. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar
sub elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh dilakukan dengan
pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh hubungan
langsung dari tingkat hirarki kontribusi dalam kelompok pemangku kepentingan.
Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai
pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan
dilakukan berdasarkan matriks reachability pada Gambar 41.
141
Gambar 41. Matrik reachability pemangku kepentingan (stakeholders) yang terpengaruh
Verifikasi pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh (yang menjadi sub
elemen kunci adalah Kementerian Keuangan (1) dan Kementerian PPN/Bappenas
(2) karena memiliki daya pendorong (driver power) paling besar dengan tingkat
ketergantungan terhadap sub elemen kelompok pemangku kepentingan lainnya yang
paling rendah. Selanjutnya di rangking dua adalah Kementerian Koordinator
Ekonomi (3) yang memiliki daya pendorong besar dengan tingkat ketergantungan
diatas Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas dan pada rangking
tiga adalah Kementerian Pertanian (4), pada rangking empat adalah Kementerian
BUMN (5), Kementerian riset dan teknologi (6), Kementerian kehutanan (7),
Kementerian Perdagangan (8), Kementerian dalam negeri (9) dan Pemerintah
propinsi/kota/kabupaten (10), pada rangking lima adalah Pelaku usaha (11) yang
merupakan elemen dengan daya pendorong paling kecil dengan tingkat
ketergantungan paling tinggi terhadap kelompok pemangku kepentingan lainnya.
Posisi setiap sub elemen pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh
ditampilkan pada Gambar 42.
142
Gambar 42. Matriks driver power-dependence subelemen pada elemen pemangku kepentingan yang terpengaruh
Sub elemen Pelaku usaha (11) berada pada sumbu ketergantungan
(dependence)/(sektor II) dengan daya pendorong (driver power) lebih rendah
sehingga cenderung bersifat dependent, yang artinya bahwa sub elemen pelaku
usaha sangat bergantung kepada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada
daging sapi. Pada Gambar 43 juga terlihat bahwa kelompok pemangku kepentingan
seperti Kementerian BUMN (5), Kementerian Riset dan Teknologi (6), Kementerian
Kehutanan (7), Kementerian Perdagangan (8), Kementerian Dalam Negeri (9) dan
Pemerintah propinsi/kota/kabupaten (10) adalah termasuk peubah linkage (pengait)
dari sistem (sektor III). Artinya, setiap tindakan yang diambil pada kelompok
pemangku kepentingan tersebut akan menghasilkan suksesnya kebijakan
swasembada daging sapi nasional, dan sebaliknya lemahnya perhatian pada kelima
kelompok tersebut akan mengakibatkan kegagalan program. Pada sektor IV sub
elemen yang termasuk di dalamnya adalah Kementerian Keuangan (1), Kementerian
PPN/Bappenas (2) dan Kementerian Pertanian (3). Ketiga elemen ini memiliki daya
pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap
143
sub elemen yang lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat
ketergantungan yang paling rendah atau independent, yang berarti sebagai akibat
dari tindakan atas kelompok pemangku kepentingan lainnya.
Gambar 43. Struktur sistem elemen kelompok pemangku kepentingan yang terpengaruh
Gambar 43 menunjukkan bahwa penetapan tingkat dari setiap sub elemen
ditentukan dari ranking masing-masing sub elemen. Hasil dari riset ini diperoleh
lima tingkat hirarki dimana sub elemen perilaku usaha (6) menempati level pertama,
Kementerian Keuangan (1) dan Kementerian PPN/Bappenas (2) menempati level 5.
2. Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan Kebijakan swasembada daging
Elemen kebutuhan program kebijakan swasembada daging sapi nasional
terdiri atas sembilan sub elemen, yaitu: (1) Kejelasan kebijakan program
swasembada daging pada tingkat nasional, (2) Kejelasan peran dan tanggungjawab
K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging,
(3)Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan Renstra
K/L dan RPJMD Pemerintah Daerah, (4) Ketersediaan dana/anggaran bagi
pelaksanaan program swasembada daging, (5) Adanya instrumen monitoring &
evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D, (6) Proses perencanaan pembangunan
yang bersifat lintas sektor, lintas pelaku pembangunan, serta antara pusat dan
daerah, (7) Kompetensi SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang
144
melaksanakan program swasembada daging, (8) Jaringan kemitraan dengan pelaku
usaha dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan dan (9) Tataniaga yang kondusif
bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional. Penilaian pakar
terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kebutuhan program dilakukan
dengan pendekatan V, A, X dan O juga. Pendekatan tersebut digunakan untuk
memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan terhadap kebutuhan
program. Nilai pendapat gabungan merupakan hasil agregasi pendapat para pakar.
Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan
matriks reachability.
Pada model kebijakan swasembada daging sapi nasional berdasarkan
kebutuhan program, yang menjadi elemen kunci adalah Kejelasan kebijakan
program swasembada daging pada tingkat nasional (1), Ketersediaan dana/anggaran
bagi pelaksanaan program swasembada daging (4) dan Tataniaga yang kondusif bagi
penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional (9) karena memiliki daya
pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen
kebutuhan lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat
dibawahnya adalah Proses perencanaan pembangunan yang bersifat lintas sektor,
lintas pelaku pembangunan, serta antara pusat dan daerah (6), Pada rangking tiga,
sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Kejelasan peran dan tanggungjawab
K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging (2) dan
Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan Renstra
K/L dan RPJMD daerah ((3). Sementara itu sub elemen Adanya instrumen
monitoring & evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D (5) dan Kompetensi SDM
(teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada
daging (7) di rangking empat dan Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan
masyarakat dalam rantai nilai peternakan (8) berada pada rangking lima. Posisi
setiap sub elemen pada elemen kebutuhan program ditampilkan pada Gambar 44.
145
Gambar 44. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kebutuhan
program
Pada sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya adalah Adanya
instrumen monitoring & evaluasi pada tingkat nasional serta K/L/D (5), Kompetensi
SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada
daging (7) dan Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai
nilai peternakan (8). Ketiga sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power)
rendah dan bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat
bergantung pada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada daging sapi
nasional. Sub elemen yang termasuk dalam sektor III adalah Kejelasan peran dan
tanggungjawab K/L/D yang terlibat dalam pelaksanaan program swasembada daging
(2) dan Tercantumnya substansi program/kegiatan dalam dokumen perencanaan
Renstra K/L dan RPJMD daerah (3). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan
satu dengan yang lainnya sehingga perlu dikaji secara seksama dalam setiap
tindakan yang diambil, karena dapat memberikan dampak/umpan balik pada peubah
lainnya. Agar pengelolaan swasembada daging sapi berjalan dengan baik, maka
sebaiknya pihak pemerintah memfokuskan tindakan terhadap kedua sub elemen
146
tersebut. Sebaliknya, lemahnya perhatian terhadap kedua sub elemen tersebut akan
menyebabkan kegagalan program. Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di
dalamnya adalah Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat
nasional (1), Ketersediaan dana/anggaran bagi pelaksanaan program swasembada
daging (4) dan Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri
peternakan nasional (9). Ketiga sub elemen ini memiliki daya pendorong yang
sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang
lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang
paling rendah atau independent.
Gambar 45. Struktur sistem elemen kebutuhan program
Gambar 45 menunjukkan bahwa tingkatan hirarki elemen kebutuhan
program terdiri dari lima level. Sub elemen Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha
dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan (8) pada level satu, sedangkan
Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional (1),
Ketersediaan dana/anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging (4) dan
Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan
nasional (9) menempati level lima.
147
3. Elemen kendala program pada kebijakan swasembada daging sapi
Elemen kendala program pada pengelolaan kebijakan swasembada daging
sapi terdiri dari tujuh sub elemen, yaitu : (1) Ketidak konsistenan antara perencanaan
yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang disediakan, (2) Program atau
kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor pembangunan) tidak terakomodir
dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda, (3) Pencapaian kemajuan (lintas sektor
pembangunan) pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi tidak terkait
dengan penilaian kinerja kelembagaan, (4) Tidak efektifnya koordinasi dan sinergi
lintas K/L, antara pusat dan daerah, serta dengan pelaku usaha dan masyarakat, (5)
Keterbatasan (pola) forum perencanaan pembangunan yang tidak memungkinkan
terjadinya integrasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan, (6)
Adanya peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan menghambat
tercapainya swasembada daging sapi, (7) Adanya ego-sektoral ihngga K/L/D enggan
untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program swasembada daging sapi. Penilaian
pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen kendala program dilakukan
dengan pendekatan V, A, X dan O seperti pada elemen sebelumnya. Tujuannya
sama, yaitu untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki kontribusi
dari kendala program. Nilai pendapat gabungan merupakan hasil agregasi pendapat
para pakar. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan
berdasarkan matriks reachability yang terlampir.
Hasil verifikasi pada model kendala program yang menjadi elemen kunci
adalah Ketidak konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi
besaran anggaran yang disediakan (1) dan Adanya peraturan perundangan yang
“value destroyer”, dan menghambat tercapainya swasembada daging sapi (6) karena
memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub
elemen kendala program lainnya yang paling rendah. Dapat dikatakan bahwa
kendala terbesar dalam kebijakan swasembada daging sapi adalah
ketidakkonsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran
anggaran yang disediakan dan adanya peraturan perundangan yang “value
destroyer”, dan menghambat, sehingga dapat mengakibatkan kebijakan tersebut
tidak terlaksana dengan baik. Selanjutnya di ranking dua adalah Program atau
kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor pembangunan) tidak terakomodir
dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda (2) dan Keterbatasan (pola) forum
148
perencanaan pembangunan yang tidak memungkinkan terjadinya integrasi lintas
sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (5) yang memiliki daya
pendorong besar dengan tingkat ketergantungan lebih besar dari Ketidak
konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran
yang disediakan dan adanya peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan
menghambat (sub elemen 1 dan 6). Pada ranking tiga, sub elemen yang termasuk di
dalamnya adalah Tidak efektifnya koordinasi dan sinergi lintas K/L, antara pusat
dan daerah, serta dengan pelaku usaha dan masyarakat (4) dan Pencapaian kemajuan
(lintas sektor pembangunan) pelaksanaan program/kegiatan swasembada daging sapi
tidak terkait dengan penilaian kinerja kelembagaan (3). Di ranking empat adalah sub
elemen Adanya ego-sektoral sehingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya
integrasi program swasembada daging sapi (7).
Gambar 46. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kendala program
Pada Gambar 46 terlihat bahwa di sektror II terdapat sub elemen Adanya
ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program
swasembada daging sapi (7) dengan daya pendorong (driver power) lebih rendah
sehingga cenderung bersifat dependent, yang artinya bahwa sub elemen adanya ego-
149
sektoral sangat bergantung kepada sub elemen lainnya dalam pencapaian kebijakan
swasembada daging sapi nasional. Pada sektor III sub elemen yang termasuk di
dalamnya adalah Program atau kegiatan terkait swasembada daging (lintas sektor
pembangunan) tidak terakomodir dalam Renstra K/L dan atau RPJMD Pemda (2)
dan Keterbatasan (pola) forum perencanaan pembangunan yang tidak
memungkinkan terjadinya integrasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku
pembangunan (5) Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu dengan yang
lainnya (linkages) sehingga manajemen perlu memusatkan perhatian atas setiap
tindakan/solusi yang diambil pada kedua sub elemen tersebut. Pada sektor IV sub
elemen yang termasuk di dalamnya adalah Ketidak konsistenan antara perencanaan
yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang disediakan (1) dan Adanya
peraturan perundangan yang “value destroyer”, dan menghambat tercapainya
swasembada daging sapi (6). Kedua sub elemen ini memiliki daya pendorong yang
sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang
lain. Selain itu, kedua sub elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang
paling rendah atau independent.
Gambar 47. Struktur sistem elemen kendala program
150
Keluaran model struktural kendala program dengan teknik ISM pada Gambar
47 menunjukkan bahwa pada model kendala program terdapat empat tingkatan
hirarki. Sub elemen Adanya ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat”
dalam upaya integrasi program swasembada daging sapi (7) menempati level satu
dan Ketidak konsistenan antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran
anggaran yang disediakan (1) dan Adanya peraturan perundangan yang “value
destroyer”, dan menghambat tercapainya swasembada daging sapi (6) menempati
level empat.
4. Elemen perubahan yang dimungkinkan dalam model kebijakan swasembada daging sapi.
Elemen perubahan yang dimungkinkan terdiri atas tujuh sub elemen, yaitu:
(1) Meningkatkan koordinasi (directive) antara: Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, Kementerian kordinator Perekonomian, (2) Meningkatkan
koordinasi (strategic) antara: Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Dalam Negeri, (3) Meningkatkan (revitalisasi) peran Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas sektor bagi
pelaksanaan swasembada daging sapi, (4) Koordinasi antara Kementerian
Perdagangan dan Kemenenterian Pertanian dalam kebijakan (pengaturan) impor
ternak, daging, dan produk turunannya, (5) Penataan peraturan perundangan yang
bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian sawsembada daging sapi, (6)
Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi
lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan dan (7) Ketepatan,
keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi, serta
kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan produk turunannya.
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen perubahan
yang dimungkinkan dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan
tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki
dukungan terhadap perubahan yang dimungkinkan. Setiap nilai pendapat pakar
individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan.
Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan
matriks reachability.
Pada model kebijakan swasembada daging sapi, perubahan yang
dimungkinkan, yang menjadi elemen kunci adalah: Meningkatkan koordinasi
151
(directive) antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan,
Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian (1) karena memiliki daya pendorong
paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen perubahan lainnya
paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat dibawahnya adalah
Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi
lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (6). Pada rangking tiga,
sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatkan (revitalisasi) peran
Kementerian koordinator Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas sektor
bagi pelaksanaan swasembada daging sapi (3) dan Penataan peraturan perundangan
yang bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian sawsembada daging sapi
(5), pada rangking empat adalah Meningkatkan koordinasi (strategic) antara
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri (2)
dan Koordinasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian dalam
kebijakan (pengaturan) impor ternak, daging, dan produk turunannya (4).
Sementara itu sub elemen Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi
dan sebaran ternak sapi, serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk
daging dan produk turunannya berada di rangking 5.
Gambar 48. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen perubahan
yang dimungkinkan
152
Pada Gambar 48, di sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya adalah
Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi,
serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan produk
turunannya (7). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan
bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada
sub elemen lainnya dalam perubahan kebijakan swasembada daging sapi nasional.
Sub elemen yang termasuk dalam sektor III adalah Meningkatkan (revitalisasi)
peran Kementerian koordinator Perekonomian dalam koordinasi dan sinergi lintas
sektor bagi pelaksanaan swasembada daging sapi (3) dan Penataan peraturan
perundangan yang bersifat “value destroyer” terhadap upaya pencapaian
swasembada daging sapi (5). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu
dengan yang lainnya sehingga pengambilan suatu tindakan yang tepat atas kedua
sub elemen akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya perubahan kerbijakan dan
dapat memberikan dampak/umpan balik pada peubah lainnya. Pada sektor IV sub
elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatkan koordinasi (directive)
antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
kordinator Perekonomian (1) karena memiliki daya pendorong paling besar dengan
tingkat ketergantungan terhadap sub elemen perubahan lainnya paling rendah dan
Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integrasi
lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan (6). Kedua Sub elemen
ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor
penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga memiliki
tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.
153
Gambar 49. Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan
Keluaran model struktural elemen perubahan yang dimungkinkan dengan
teknik ISM, seperti pada Gambar 49 menghasilkan lima tingkatan hirarki. Sub
elemen Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran
ternak sapi, serta kecenderungan (potensi) supply – demand untuk daging dan
produk turunannya (7) pada level satu dan Meningkatkan koordinasi (directive)
antara Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian
kordinator Perekonomian pada level lima.
5. Elemen tujuan program dalam kebijakan swasembada daging sapi nasional
Elemen tujuan program terdiri atas enam sub elemen, yaitu: (1) Pemenuhan
seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging sapi dapat dipasok dari
sumber sapi dari dalam negeri, (2) Meningkatnya populasi sapi lokal (galur
murni/asli) melalui proses budidaya secara sistematis dan terencana dengan baik, (3)
Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan
penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor), (4)
Meningkatnya penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yang dihasilkan dari sub
sektor peternakan dari hulu sampai hilir (pro growth), (5) Meningkatnya efektivitas
penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam
154
pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional, (6)Tumbuhnya
industri pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha
peternakan.
Pada elemen tujuan penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar
sub elemen tujuan program dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O juga.
Pendekatan tersebut digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat
hirarki dukungan terhadap tujuan program. Setiap nilai pendapat pakar individual
dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat
pakar individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability yang
terlampir.
Gambar 50. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen tujuan program
Gambar 50 menunjukan bahwa model kebijakan swasembada daging sapi
berdasarkan tujuan program, yang menjadi elemen kunci adalah Meningkatnya
efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan
dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional (5). Hal ini
155
dikarena memiliki daya pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan
terhadap sub elemen tujuan program lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen
yang berada satu tingkat di bawahnya adalah Meningkatnya populasi sapi lokal
(galur murni/asli) melalui proses budidaya secara sistematis dan terencana dengan
baik (2) dan Meningkatnya penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yang
dihasilkan dari sub sektor peternakan dari hulu sampai hilir (pro growth) (4). Di
rangking tiga, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah pemenuhan seluruh
atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging sapi dapat dipasok dari sumber sapi
dari dalam negeri (1) dan Tumbuhnya industri pangan berbasis daging sapi, maupun
industri pendukung kegiatan usaha peternakan (6). Sementara itu sub elemen di
rangking empat adalah Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera,
disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan
(pro poor) (3).
Gambar 51. Struktur sistem elemen tujuan program
Pada Gambar 51 tampak bahwa di sektor II, sub elemen yang termasuk
didalamnya adalah Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera,
disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan
(pro poor) (3). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan
156
bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada
sub elemen lainnya dalam pengelolaan kebijakan swasembada daging sapi. Selain
itu, sub elemen pemenuhan seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumsi daging
sapi dapat dipasok dari sumber sapi dari dalam negeri (1) dan Tumbuhnya industri
pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha peternakan
(6) cenderung masuk sektor II, walaupun sudah mendekati sektor III. Artinya kedua
sub elemen ini saling berkaitan dalam mendukung Meningkatnya jumlah masyarakat
peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan penciptaan nilai tambah pada
kegiatan usaha peternakan (pro poor). Sub elemen yang termasuk dalam sektor III
adalah Meningkatnya populasi sapi lokal (galur murni/asli) melalui proses budidaya
secara sistematis dan terencana dengan baik (2) dan Meningkatnya penciptaan nilai
tambah (ekonomi nasional) yang dihasilkan dari sub sektor peternakan dari hulu
sampai hilir (pro growth) (4). Kedua sub elemen ini memiliki keterkaitan satu
dengan yang lainnya sehingga perlu dikaji secara komprehensip, mengingat setiap
tindakan yang diambil pada peubah tersebut akan memberikan dampak/umpan balik
pada peubah lainnya. Pemerintah atau pihak terkait perlu untuk memfokuskan
pengambilan tindakan berdasarkan kedua tujuan program tersebut, sehingga
penerapan kebijakan swasembada daging sapi nasional dapat berjalan dengan baik.
Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Meningkatnya
efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan
dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional (5). Sub
elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai
motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga
memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.
Keluaran model struktural elemen tujuan program dengan teknik ISM
menghasilkan empat tingkatan hirarki. Sub elemen Meningkatnya jumlah
masyarakat peternak yang sejahtera, disebabkan peningkatan penciptaan nilai
tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor) (3) berada pada level satu dan
sub elemen Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta
peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran
swasembada daging sapi nasional (5) level empat.
157
6. Elemen tolok ukur dalam pengelolaan swasembada daging sapi
Elemen tolok ukur terdiri atas delapan sub elemen, yaitu (1) Keseimbangan
jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam pemenuhan siklus supply
– demand tingkat daerah maupun nasional (2) Peningkatan jumlah dan sebaran
induk sapi galur asli Indonesia (3) Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha
peternakan rakyat, maupun pelaku usaha pendukung peternakan (pakan dan nutrisi
ternak, obat2an, mesin & peralatan) (4) Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara
positif) areal hutan, perkebunan, dan lahan bagi kegiatan peternakan (5)
Terbangunnya (meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi antar wilayah
(kabupaten/kota/propinsi) (6) Meningkatnya PAD (kabupaten/kota/propinsi) yang
bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (7) Terbentuknya koperasi peternak
(rakyat) sapi potong bagi pada tingkat desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (8)
Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang
kondusif. Posisi setiap sub elemen pada elemen tolok ukur pencapaian tujuan
ditampilkan pada Gambar 52.
Gambar 52. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen tolok ukur
pencapaian tujuan
158
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen tolok ukur
dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut digunakan untuk
memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan terhadap tolok ukur.
Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi untuk mendapatkan nilai
pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual maupun gabungan
dilakukan berdasarkan matriks reachability.
Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan tolok ukur, yang
menjadi elemen kunci adalah Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk
pendukung peternakan yang kondusif. (8); Meningkatnya PAD (kabupaten/kota/
propinsi) yang bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (6), Terbangunnya
(meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi antar wilayah (kabupaten/kota/
propinsi) (5), Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) areal hutan,
perkebunan, dan lahan bagi kegiatan peternakan (4), Peningkatan jumlah dan
sebaran induk sapi galur asli Indonesia (2), Terbentuknya koperasi peternak (rakyat)
sapi potong bagi pada tingkat desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (7),
Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat, maupun pelaku usaha
pendukung peternakan (pakan dan nutrisi ternak, obat2an, mesin & peralatan) (3),
Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam
pemenuhan siklus supply–demand tingkat daerah maupun nasional (1).
Pada Gambar 52 tampak bahwa pada sektor II, sub elemen yang termasuk
didalamnya adalah Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan sapi siap
potong dalam pemenuhan siklus supply – demand tingkat daerah maupun nasional
(1), Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat, maupun pelaku
usaha pendukung peternakan (pakan dan nutrisi ternak, obat2an, mesin & peralatan)
(3), Terbentuknya koperasi peternak (rakyat) sapi potong bagi pada tingkat
desa/kecamatan, maupun kabupaten/kota (7) dan Peningkatan jumlah dan sebaran
induk sapi galur asli Indonesia (2). Kedua sub elemen ini memiliki daya pendorong
(driver power) rendah dan bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen
tersebut sangat bergantung pada sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada
daging sapi. Pada sektor III, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah
Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) areal hutan, perkebunan, dan
lahan bagi kegiatan peternakan (4) . Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di
159
dalamnya adalah Terbangunnya (meningkatnya) kerjasama usaha peternakan sapi
antar wilayah (kabupaten/kota/propinsi) (5) Meningkatnya PAD
(kabupaten/kota/propinsi) yang bersumber dari kegiatan usaha peternakan sapi (6)
Tataniaga perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang
kondusif (8). Sub elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat
bertindak sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub
elemen ini juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau
independent.
Keluaran model struktural tolak ukur dengan teknik ISM pada Gambar 53
menghasilkan lima tingkatan hirarki. Sub elemen Keseimbangan jumlah populasi
bibit, bakalan dan sapi siap potong dalam pemenuhan siklus supply – demand
tingkat daerah maupun nasional (1) berada pada level satu dan Tataniaga
perdagangan daging, sapi, dan produk pendukung peternakan yang kondusif (8)
berada pada level lima.
Gambar 53. Struktur sistem elemen tolok ukur pencapaian tujuan
160
7. Elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk implementasi perubahan
Elemen aktivitas perubahan terdiri atas tujuh sub elemen, yaitu: (1) Fasilitasi
pemerintah bagi peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’,
maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’. (2) Penetapan (melalui
kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber bibit (3)
Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal: akses
permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat
guna. (4) Membangun skema kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan
pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif (5)
Kebijakan pemerintah dalam integrasi tanaman-ternak dalam suatu kawasan hutan,
perkebunan, atau kawasan lain. Untuk penggembalaan maupun bagi sumber pakan
(6) Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging
dan produk turunannya (7) Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan
usaha peternakan berbasis masyarakat.
Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen aktivitas
perubahan dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut
digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan
terhadap aktivitas perubahan. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan
agregasi untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar
individual maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability.
161
Gambar 54. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen elemen
aktivitas yang dibutuhkan untuk implementasi perubahan Pada Gambar 54 di sektor II, sub elemen yang termasuk didalamnya
adalah Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal:
akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi
tepat guna. (3), Fasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan usaha
peternakan berbasis masyarakat.(7) Fasilitasi pemerintah bagi peningkatan populasi
(perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’, dan
‘transfer embrio’ (1). Pada sektor III, sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah
Penetapan (melalui kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber
bibit (2) Membangun skema kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan
pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif (4)
Pada sektor IV sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Harmonisasi lintas
K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
(6) Sub elemen ini memiliki daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak
sebagai motor penggerak terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini
juga memiliki tingkat ketergantungan yang paling rendah atau independent.
162
Gambar 55. Struktur sistem elemen aktivitas yang dibutuhkan untuk impelementasi
perubahan
Keluaran model struktural elemen aktivitas perubahan dengan teknik ISM
menghasilkan lima tingkatan hirarki seperti pada Gambar 55. Sub elemen
Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan
produk turunannya (6) Dan berada pada level satu adalah Melaksanakan insentif
bagi masyarakat (kelompok) peternak dalam hal: akses permodalan, penguatan
organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna. (3) berada pada
level lima.
8. Elemen Ukuran aktivitas untuk penilaian hasil aktivitas
Elemen ukuran aktivitas terdiri atas delapan sub elemen, yaitu: (1)
Terlaksananya peningkatan populasi (pembibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’,
maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’. (2) Terbitnya kebijakan
pemerintah tentang penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit. (3)
Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &
163
manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna. (4) Terciptanya kerjasama “win-
win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya
dan pemasaran yang efektif. (5) Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-
ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala
maupun sumber pakan. (6) Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan
perdagangan ternak, daging dan produk turunannya. (7) Terbentuknya koperasi
masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha
peternakan. Penilaian pakar terhadap hubungan kontekstual antar sub elemen ukuran
aktivitas dilakukan dengan pendekatan V, A, X dan O. Pendekatan tersebut
digunakan untuk memperoleh hubungan langsung dari tingkat hirarki dukungan
terhadap ukuran aktivitas. Setiap nilai pendapat pakar individual dilakukan agregasi
untuk mendapatkan nilai pendapat gabungan. Penilaian pendapat pakar individual
maupun gabungan dilakukan berdasarkan matriks reachability.
Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan ukuran aktivitas,
yang menjadi elemen kunci adalah Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan
perdagangan ternak, daging dan produk turunannya (6). Terbitnya kebijakan
pemerintah integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan
lain. Sebagai ladang gembala maupun sumber pakan (5). Terciptanya kerjasama
“win-win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi
budidaya dan pemasaran yang efektif (4). Terbitnya kebijakan pemerintah tentang
penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit (2). Terlaksananya
peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun
‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio’ (1). Terbentuknya koperasi masyarakat
peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan
(7). Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &
manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna (3).
164
Gambar 56. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen
ukuran penilaian aktivitas hasil pelaksanaan aktivitas
Pada Gambar 56 tampak bahwa sub elemen yang termasuk pada sektor II
adalah Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi &
manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna (3), Terbentuknya koperasi
masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha
peternakan (7). Sub elemen ini memiliki daya pendorong (driver power) rendah dan
bersifat dependent sehingga keberadaan sub elemen tersebut sangat bergantung pada
sub elemen lainnya dalam kebijakan swasembada daging sapi nasional. Pada sektor
III sub elemen yang termasuk di dalamnya adalah Terlaksananya peningkatan
populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’,
dan ‘transfer embrio’(1), Terbitnya kebijakan pemerintah tentang penetapan village
breeding center di wilayah sumber bibit (2). Kedua sub elemen tersebut termasuk
pada seubah linkages sehingga setiap tindakan pada ukuran-ukuran aktivitas tersebut
akan menghasilkan kesuksesan dalam pengelolaan kebijakan swasembada daging
sapi. Pada sektor IV, sub elemen yang termasuk Terciptanya kerjasama “win-win”,
antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan
pemasaran yang efektif (4), Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-
165
ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala
maupun sumber pakan (5) Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan
perdagangan ternak, daging dan produk turunannya (6). Sub elemen ini memiliki
daya pendorong yang sangat kuat atau dapat bertindak sebagai motor penggerak
terhadap sub elemen yang lain. Selain itu, sub elemen ini juga memiliki tingkat
ketergantungan yang paling rendah atau independent.
Gambar 57. Struktur sistem elemen aktivitas penilaian hasil aktivitas
Keluaran model struktural elemen aktivitas perubahan dengan teknik ISM
pada Gambar 57 menghasilkan empat tingkatan hirarki. Sub elemen Tidak adanya
distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk
turunannya (6) berada pada level satu dan Terlaksananya program insentif: akses
permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat
guna (3) berada pada level lima.
166
9. Elemen Lembaga/Kelompok yang Terlibat Pelaksanaan Program
Elemen Lembaga/Kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan program,
adalah elemen yang penting, karena menjadi subyek dari program perubahan.
Hubungan kontekstual yang diperbandingkan adalah pengaruh antar sub elemen.
Dengan demikian kata kunci (key word) dalam kuesioner pembandingan
berpasangan (pairwise comparation) adalah “lebih besar pengaruhnya”.
Elemen ini terdiri: (1) Kementerian Koordinator Perekonomian. (2)
Kementerian Keuangan (3) Kementerian Perenc. Pemb. Nasional/ Bappenas (4)
Kementerian Pertanian (5) Kementerian Perdagangan (6) Kementerian Kehutanan
(7) Kementerian Perindustrian (8) Kementerian Dalam Negeri (9) Kementerian Riset
dan Teknologi (10) Kementerian BUMN (11) Pemerintah Propinsi (12) Pemerintah
Kabupaten/Kota (13) Perguruan Tinggi (14) Lembaga penelitian dan pengembangan
(15) Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha (16) Masyarakat peternak dan koperasi
usaha peternakan.
Pada pengelolaan swasembada daging sapi berdasarkan lembaga yang terlibat,
yang menjadi elemen kunci adalah Kementerian Koordinator Perekonomian (1),
Kementerian Perdagangan (5) Kementerian Pertanian (4) karena memiliki daya
pendorong paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen ukuran
aktivitas lainnya paling rendah. Selanjutnya, sub elemen yang berada satu tingkat
dibawahnya Kementerian Kehutanan (6), Kementerian BUMN (10), Kementerian
Dalam Negeri (8) dan Pemerintah Propinsi (11). Di rangking tiga, sub elemen yang
termasuk di dalamnya adalah Kementerian Riset dan Teknologi (9) Perguruan
Tinggi (13), Kementerian Perindustrian (7). Sementara itu sub elemen Kementerian
Perenc. Pemb. Nasional/ Bappenas (3) Kementerian Keuangan (2) berada di
rangking empat Lembaga penelitian dan pengembangan (14) Pelaku usaha dan
asosiasi pelaku usaha(15), Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan (16)
berada di ranking lima. Selanjutnya dari Driver Power dan Dependence dapat
disajikan matriks diagram cartecian seperti pada Gambar 58.
167
Gambar 58. Matriks driver power- dependence sub elemen pada elemen kelompok
yang terlibat pelaksanaan program
Pada sektor II, terdapat sub elemen yang terdiri dari: Lembaga penelitian dan
pengembangan (14), Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha (15), Masyarakat
peternak dan koperasi usaha peternakan (16), Kementerian PPN/ Bappenas (3),
Kementerian Keuangan (2), yang berarti sub elemen ini lebih tergantung dari sub
elemen lainnya dalam program perubahan kultur. Sektor II adalah peubah dependent
yang tergantung dari sub elemen yang lain dalam sektor ini.
Pada sektor III (linkage) terdiri dari: Kementerian Riset dan Teknologi (9)
Perguruan Tinggi (13), Kementerian Perindustrian (7). harus diperhatikan dalam
program, selain DP cukup besar juga berada di sektor III dengan nilai dependence
yang lebih besar dari sub elemen (1). Sektor III adalah Kementerian Kehutanan (6),
Kementerian BUMN (10), Kementerian Dalam Negeri (8) dan Pemerintah Daerah
(11) wilayah kritikal yang menjadi sektor dari program. Ini berarti kedua sub elemen
ini mempunyai peranan yang penting dalam mensukseskan program perubahan.
Kedua sub elemen ini sebenarnya juga berbatasan dengan sektor IV. Selanjutnya
pada sektor IV adalah sub elemen Kementerian Koordinator Perekonomian (1),
Kementerian Perdagangan (5) Kementerian Pertanian (4) menjadi elemen kunci (key
168
element) dengan Driver Power terbesar. Ini berarti sub elemen ini mempunyai
pengungkit (leverage) yang besar terhadap keberhasilan program. Apalagi sub
elemen ini juga “independent” atau dalam sektor IV yang berarti dapat menjadi
inisiator atau relatif tidak tergantung pada sub elemen yang lain.
Dari klasifikasi elemen dan matriks reachability dihasilkan model struktural
seperti pada Gambar 59, untuk elemen ini jelas terlihat bahwa sub elemen
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (1), Kementerian Perdagangan (5)
Kementerian Pertanian (4) yang berada pada ranking lima adalah sub elemen kunci
dan mempengaruhi enam sub elemen yang lain. Sedangkan sub elemen pegawai
Lembaga penelitian dan pengembangan (14) Pelaku usaha dan asosiasi pelaku
usaha(15), Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan (16) berada di
rangking satu.
Gambar 59. Struktur sistem elemen kelompok yang terlibat program
169
6 MODEL KONSEPTUAL KELEMBAGAAN
6.1 Perencanaan Pembangunan Sektor Peternakan
6.1.1 Integrasi dan Sinergi Lintas Sektor dalam Swasembada Daging
Swasembada daging sapi nasional merupakan bagian dari ketahanan pangan
yang merupakan prioritas kelima pembangunan nasional. Dari analisis situasional
maupun analisis kebijakan dapat diyakini bahwa keberhasilan pencapaian
swasembada daging sapi secara khusus dan keberhasilan prioritas pembangunan
sektor pertanian pada umumnya tidak mungkin dapat dicapai oleh upaya dari
Kementerian Pertanian saja. Keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi
nasional memerlukan kontribusi dan keterlibatan kementerian/lembaga/daerah
maupun para pelaku pembangunan lainnya sebagai subsistem yang berinteraksi,
interkoneksi, dan interrelasi secara konstruktif sebagai sebuah sistem untuk
mencapai sasaran swasembada daging sapi.
Melalui berbagai forum kepakaran yang telah dilakukan baik dalam bentuk
seminar, FGD, pengisian kuesioner, maupun indepth interview yang telah dibahas
dan dilakukan analsis kebijakan (Bab 5), dengan menggunakan teknik ANP, SAST
dan ISM, melalui proses sintesis dapat ditemukenali fokus isu atau topik pada
tingkat strategik, taktikal, maupun operasional yang harus mendapatkan perhatian
dalam penyusunan kebijakan maupun pengembangan model dalam upaya
pencapaian swasembada daging sapi. Secara ringkas hal tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 45.
6.1.2 Arah Kebijakan Pembangunan Swasembada Daging
Kurang berhasilnya pemerintah dalam mencapai swasembada daging sapi
pada tahun-tahun sebelumnya karena disebabkan terdapat berbagai permasalahan di
lapangan. Dari berbagai kajian yang telah ada dapat dikemukakan bahwa aspek
teknis yang perlu mendapatkan prioritas penanganan adalah: (1) Pembibitan dan
pemuliabiakan sapi nasional; (2) Terobosan peningkatan populasi sapi; (3)
Ketahanan pakan nasional; serta (4) Kelembagaan penyelamatan dan penjaringan
bibit.
170
Selain hal tersebut dalam rekomendasi dari berbagai kajian yang telah ada
maupun saran dan pemikiran para pakar yang dikemukakan dalam berbagai diskusi
maupun depth interview menyatakan bahwa ada permasalahan yang lebih mendasar
berkaitan dengan koordinasi antarinstansi, antarsektor, serta antarpelaku
pembangunan atau pemangku kepentingan, sehingga hal ini perlu mendapat
perhatian untuk diselesaikan pada masa yang akan datang. Sejalan dengan
permasalahan tersebut dalam penelitian ini mengajukan arah kebijakan untuk dapat
mengintegrasikan perencanaan pembangunan sektor pertanian, khususnya dalam
pencapaian swasembada daging sapi nasional, sebagai berikut:
a. Membangun keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran,
pelaksanaan dan pengawasan, serta melaksanakan integrasi, sikronisasi dan
sinergi program (antardaerah, antarfungsi pemerintah);
b. Melaksanakan penataan peran kelembagaan dan melakukan koordinasi
dalam pelaksanaan peran dan fungsi, pemantauan dan evaluasi, serta upaya
langkah perbaikan untuk menjaga terlaksananya sinergi dalam pencapaian
swasembada daging sapi;
c. Mengembangkan dan meningkatkan sarana dan prasarana yang terkait
dengan rantai nilai kegiatan usaha peternakan, memberikan insentif bagi
pemberdayaan masyarakat pelaku usaha dalam rantai nilai sektor peternakan,
serta memfasilitasi kemitraan strategis antarpelaku pembangunan dalam
kegiatan peternakan sapi;
Dalam pelaksanaan arah kebijakan tersebut akan dijabarkan dalam strategi
dan metode pendekatan yang dapat dipakai untuk mengukur pencapaian hasil
pelaksanaannya, hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 46. Selama pelaksanaan
tatakelola penelitian telah diperoleh berbagai proses pembelajaran yang cukup
menarik, khususnya untuk menjaga konsistensi integrasi penggunaan 3 metode agar
tetap berfokus pada prinsip-prinsip systems thinking (goal oriented, holistic, dan
effective), upaya tersebut antara lain dilakukan melalui indepth interview (Lampiran
14). Ringkasan proses pembelajaran tersebut disampaikan pada Lampiran 15.
171
Tabel 45. Matrik gabungan hasil analisis menggunakan teknik ANP, SAST, dan ISM
No
Teknik Hirarkhi
Teknik ANP Teknik SAST Teknik ISM Prioritas Utama Fokus Isu Asumsi Strategis Fokus Isu Elemen Sub Elemen Pendorong Sub Elemen Terpengaruh
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1. Direktif Mengacu pada: (1) RPJMN Tahun 2010-2014, (2) MP3EI 2010-2025, dan (3) Sistem Logistik Nasional
2. Strategik
Keterkaitan dan konsistensi antara perencanan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
Integrasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Swasembada Daging Sapi Nasional
1. Kebijakan larangan impor daging sapi
2. Kebijakan larangan impor sapi bakalan
3. Kebijakan ekspor bahan pakan
4. Masuknya produk impor daging
5. Masuknya impor bakalan 6. Pengaruh “middle man” 7. Kebijakan tataniaga yang
kondusif 8. Fluktuasi kurs mata uang
asing
Kebijakan tata niaga yang kondusif
Prasyarat dicapainya perencanaan swasembada secara terintegratif
1. Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional
2. Ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging
3. Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional
1. Jaringan kemitraan dengan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai nilai peternakan
2. Adanya instrumen monev tingkat nasional serta K/L/D
3. Kompetensi SDM (teknis dan non teknis) pada K/L/D yang melaksanakan program swasembada
Fokus perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan berdasarkan program prioritas
Peran Kementerian/ Lembaga pada Tahap Perencanaan
1. Kementerian Keuangan 2. Kementerian PPN/Bappenas
Pelaku Usaha dan Masyarakat Peternak
Integrasi, sikronisasi dan sinergi program (antar daerah, antar fungsi pemerintah)
3. Taktikal
Penataan peran kelembagaan (kementerian, lembaga pemerintah, pemda, pelaku usaha & masyarakat)
Penataan Peran Kelembagaan dan Koordinasi Pelaksanaan Program
9. Koordinasi Kemen PPN/Bappenas, KemenKeu, Kemen Kord. Bid. Perekonomian
Koordinasi tingkat kebijakan (high level implementation plan)
Tolok ukur penilaian hasil pelaksanaan aktivitas
Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
1. Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna
2. Terbentuknya koperasi masy. peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan
Koordinasi antar pelaku pembangunan (kementerian, lembaga dll)
Peran Kementerian/ Lembaga pada Tahap Pelaksanaan
1. Kementerian Koord. Bid. Perekonomian
2. Kementerian Perdagangan 3. Kementerian Pertanian
1. Pelaku usaha dan masyarakat peternak dan pendukung usaha peternakan
2. Koperasi dan asosiasi peternak dan pendukung usaha peternakan
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta langkah perbaikan
4. Operasional
Pengembangan kapasitas kelembagaan dan SDM pelaku usaha dan masyarakat Pengembangan
Kapasitas dan Peningkatan Sarana Prasarana
10. Peningkatan permintaan musimam
11. Penyakit ternak 12. Jumlah menu dengan daging
sapi impor 13. Variasi makanan berbasis
daging sapi 14. Fasilitas & penguasaan
teknologi IB 15. Ketersediaan & kecukupan
obat-obatan
Keseimbangan supply – demand
Aktivitas yang paling berpengaruh atas pencapaian swasembada
Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
Melaksanakan insentif bagi masy. peternak dalam: akses permodalan, penguatan org. & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna.
Bentuk kemitraan strategis Tujuan dari integrasi perencanaan pembangunan swasembada daging sapi
Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi
Meningkatnya jumlah masyarakat peternak yang sejahtera, karena peningkatan penciptaan nilai tambah pada kegiatan usaha peternakan (pro poor)
Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana Pemberian insentif pemberdayaan pelaku usaha dan masyarakat dalam rantai sektor peternakan
172
Tabel 46. Matrik hasil sintesis dalam rancang bangun model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan peternakan
No
Teknik Hirarkhi
Fokus Isu Implikasi Manajerial
Inisiatif Kerangka Kerja Teknik ANP Teknik SAST Teknik ISM (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Direktif Mengacu pada: (1) RPJMN Tahun 2010-2014, (2) MP3EI 2010-2025, (3) Sistem Logistik Nasional • Pengembangan viable systems model
dalam swasembada daging sapi 1). • Pengembangan model kelembagaan,
dengan integrasi vertikal dan horizontal 2). • Penguatan instrumen perencanaan
pembangunan, khususnya bagi program prioritas nasional yang bersifat lintas sektor, antarruang, antara pusat dan daerah, dan lintas pelaku pembangunan 3).
A. Strategik Kelembagaan:
1) Model Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi Nasional (Gambar 59, Halaman 175);
2) Model Kelembagaan dalam Pelaksanaan Swasembada Daging Sapi (Gambar 61, Halaman 184)
B. Taktikal-Operasional:
3) Integrasi Optimum dari 3 Fokus Pembangunan Nasional (Gambar 64, Halaman 199);
4) Intelektualitas Organisasi Kementerian/Lembaga dalam Program Swasembada Daging Sapi (Gambar 67, Halaman 205);
5) Hubungan Inter-Organisasi dalam Swasembada Daging Sapi (Gambar 66, Halaman 203);
6) Sebagai ilustrasi: Pengorganisasian Intra-Organisasi pada Kementerian PPN/Bappenas (Gambar 65, Halaman 201);
7) Pengukuran Kinerja Kelembagaan dalam Swasembada Daging Sapi (Gambar 63, Halaman 196);
8) Kemitraan Strategis (Gambar 62, Halaman 194)
2. Strategik
Integrasi Perencanaan Pembangunan Sektor Pertanian dalam Swasembada Daging Sapi Nasional
Kebijakan tata niaga yang kondusif
Kejelasan kebijakan program swasembada daging pada tingkat nasional Tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah bagi industri peternakan nasional Ketersediaan anggaran bagi pelaksanaan program swasembada daging
3. Taktikal Penataan Peran Kelembagaan dan Koordinasi Pelaksanaan Program
Koordinasi tingkat kebijakan (high level implementation plan)
Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
• Pengembangan model kelembagaan 2). • Hubungan inter-organisasi lintas K/L
dengan basis kesisteman 5). • Peningkatan kualitas koordinasi melalui
efektivitas modal relasional 4). • Hubungan intra-organisasi lintas fungsi
dengan basis kesisteman 6).
4. Operasional Pengembangan Kapasitas dan Peningkatan Sarana Prasarana
Keseimbangan supply – demand
Harmonisasi lintas K/Ldalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
• Pengukuran kinerja kelambagaan, sebagai sub sistem mandiri (stand-alone) maupun sebagai sistem terintegrasi 7).
• Hubungan inter-organisasi lintas K/L dengan basis kesisteman 5).
• Hubungan intra-organisasi lintas fungsi dengan basis kesisteman 6).
• Kimitraan strategis yang melibatkan academician, business, governement dan community 8).
Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional, serta peningkatan kinerja kelembagaan dalam pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional
173
6.2 Model Integrasi Perencanaan dan Implementasi Swasembada Daging
6.2.1 Viable Systems Model (VSM)
Salah satu penemuan penting dalam organisasi cybernetik adalah bahwa
sistem-sistem yang rumit memiliki “kebiasaan berulang”. Hal ini mengacu pada
fakta bahwa sistem berada di sebuah hierarki, dan bahwa bentuk organisasi di sistem
yang lebih tinggi adalah berulang, menurut cybernetik, semua sistem kelangsungan
hidup menunjukkan karakteristik organisasi yang sama. VSM mengakui sifat-sifat
sistem berulang untuk diterapkan di tingkatan sistem berbeda sehingga mengijinkan
pelaku-pelaku organisasi bertindak sebagai penengah bagi para manajer. Dengan
menggunakan VSM maka sistem di tingkatan lebih bawah, yang biasanya tampil
sebagai black-box ketika seluruh sistem dalam organisasi tersebut diteliti,
dengan sedikit penyesuaian perhatian mereka akan tampak dan dapat menjadi
fokus yang menarik sesuai dengan paran, fungsi dan otoritas mereka sendiri.
VSM menangkap dan menggambarkan esensi sistem “organisasi”
dibandingkan dengan strukturnya. Organisasi, dalam hal ini, adalah sesuatu yang
menggambarkan sistem dan memungkinkan untuk mempertahankan otonomi dan
identitas. Sementara struktur berkonsentrasi terhadap pengaturan antar bagian-
bagiannya yang “kemungkinan” dapat mengaktifkan sebuah organisasi. VSM terdiri
dari lima elemen (sistem 1 sampai 5), yang disebut dengan: (1) implementasi
(implementation), (2) koordinasi (coordination), (3) operational control (termasuk
manajemen pendukung), (4) pengembangan (development) dan (5) kebijakan
(policy). Fungsi-fungsi yang ditangani oleh lima elemen ini, dijalankan pada semua
sistem yang diharapkan dapat berkelanjutan.
6.2.2 Implementasi VSM pada Swasembada Daging Sapi
Dalam kerangka implementasi VSM bagi swasembada daging sapi nasional
seperti pada Gambar 60, tampak bahwa blok pada masing-masing sistem
menggambarkan aktivitas yang dilaksanakan oleh para pelaku dalam menjalankan
peran dan fungsi untuk mencapai sasaran swasembada daging sapi nasional.
1. Sistem 5, kebijakan (policy) dilaksanakan oleh Kementerian
PPN/Bappenas bersama Kementerian Keuangan. Peran dan fungsi pada
174
sistem 5 adalah menetapkan perencanaan program dan anggaran untuk
pencapaian sasaran swasembada daging sapi nasional. Selain hal
tersebut sistem ini juga memberikan kepastian atas dukungan anggaran
terhadap setiap program dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
2. Sistem 4, pengembangan (development) pada sistem ini Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian melaksanakan peran yang sangat
strategis untuk mengkoordinasikan program dan membangun sinergi
lintas kementerian, lembaga, dan para pelaku pembangunan yang
lainnya. Selain hal tersebut untuk menjaga integrasi dan sinkronisasi
program dilakukan melalui koordinasi dengan Kementerian
PPN/Bappenas.
3. Sistem 3, operational control (termasuk manajemen pendukung) pada
sistem ini program/kegiatan dilaksanakan oleh kementerian dan
lembaga, berdasarkan perencanaan yang telah disetujui dan anggaran
yang telah dialokasikan oleh sistem 1. Dalam pelaksanaan program/
kegiatan, sistem ini didukung oleh sistem 3* (audit) yang diperankan
oleh unit kerja inspektorat kementerian/lembaga dan atau BPKP,
melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi guna mengukur hasil atau
kinerja yang dicapai, serta tingkat kepatuhan terhadap aktivitas yang
dilaksanakan dalam upaya mencapai swasembada daging sapi nasional.
4. Sistem 2, adalah koordinasi (coordination) berbagai bentuk peraturan
perundangan, kebijakan dan standar yang menjadi acuan dalam
pelaksanaan upaya swasembada daging sapi nasional.
5. Sistem 1, adalah implementasi (implementation) pelaksanaan aktivitas
yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi, kabupaten, atau kota.
Aktivitas yang dilaksanakan oleh propinsi, kabupaten, atau kota sesuai
dengan potensi daerah atau kearifan lokal yang dapat mendukung
keberhasilan pencapaian sasaran swasembada daging sapi. Potensi pada
setiap daerah akan sangat dipengaruhi oleh keragaman kondisi geografis,
sumbardaya alam yang tersedia, tingkat ketrampilan SDM, serta bentuk
potensi lainnya.
175
Gambar 60. Implementasi VSM pada swasembada daging sapi nasional
Pada tingkat implementasi, sistem 1 sesuai dengan potensi yang ada akan
senantiasa berhubungan dengan aktivitas yang dilaksanakan oleh masyarakat dan
dunia usaha bidang peternakan yang ada pada wilayah masing-masing. Dalam
prakteknya masyarakat dan dunia usaha bidang peternakan akan saling berhubungan
sebagai sebuah jejaring dalam bentuk interaksi, interelasi, dan interkoneksi.
Swasembada daging sapi merupakan bagian dari sektor peternakan yang dalam
penerapannya secara spesifik akan berkaitan langsung dengan kondisi agroekologi.
Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik
lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat
diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah
iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (Pertanian, 1999). Dengan demikian
176
berdasarkan potensi agroekologi yang dapat mendukung pembangunan sektor
peternakan, setiap propinsi, kabupaten, maupun kota dapat ikut andil dalam
membangun keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi nasional.
6.2.3 Peran Kelembagaan barbasis Model VSM
Berbasis model VSM, pelaksanaan swasembada daging sapi secara integratif
dilaksanakan dengan melibatkan peran berbagai pelaku pembangunan, baik pihak
pemerintah maupun masyarakat dan pelaku usaha. Peran pelaku pembangunan yang
terlibat sebagai pemangku kepentingan utama dalam upaya swasembada daging sapi
dapat dikemukakan dalam Tabel 47.
Pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota berada pada sistem 1 yang
berhubungan dengan sistem lain (sistem 2,3,4,5), dengan masyarakat dan dunia
usaha peternakan, serta dengan komunitas dalah wilayah agroekologi.
Tabel 47. Peran Kelembagaan pada Sistem 1 Implementasi
Sistem 1: Implementasi 1. Pelaku
pembangunan : Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota
2. Karakter dasar sistem
: a. Didisain untuk dapat dijalankan secara mandiri dan merespon perubahan dalam lingkungannya sesuai dengan prioritas mereka sendiri;
b. Menerima umpan balik atas informasi dan kinerja, lalu mengambil tindakan korektif yang diperlukan;
c. Pembatasan otonomi adalah sistem 1 harus berperan sebagai sebuah bagian (subsistem) dari tujuan swasembada daging sapi nasional;
3. Peran dan fungsi : a. Mengimplementasikan kegiatan terkait dengan swasembada daging sapi sesuai dengan potensi daerah, dengan mengacu pada: - Peraturan, regulasi dan kebijakan yang berlaku (sistem 2); - Mentaati keputusan yang ditetapkan oleh hirarkhi yang
lebih tinggi (sistem 3,4,5); - Dukungan dan fasilitasi dari kementerian dan lembaga
terkait (sistem 3), dalam bentuk arahan koordinasi dan pengalokasian sumberdaya (keahlian, SDM, keuangan, sarana);
b. Mengkoordinasikan aktivitas yang dilaksanakan oleh jejaring komunitas masyarakat dan kegiatan usaha bidang peternakan pada wilayah agroekologi dan/atau administrasi masing-masing;
c. Menyampaikan laporan kinerja atas fasilitasi dan dukungan sumberdaya yang diterima kepada kementerian dan/atau lembaga terkait sistem 3;
4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada
: a. Hubungan koordinasi lintas wilayah administrasi dan/atau lintas wilayah agroekologi sebagai
b. Hubungan sistem 2, untuk kepatuhan pada peraturan regulasi
177
Sistem 1: Implementasi sistem lainnya dan kebijakan, serta memenuhi standar yang telah ditetapkan;
c. Hubungan dengan kementerian dan lembaga terkait (sistem 3), melakukan koordinasi untuk menjaga menjaga keharmonis pelaksanaan kegiatan swasembada daging sapi nasional;
d. Menjalani proses pemantauan dan evaluasi maupun proses audit (sistem 3*) untuk mengukur kinerja administratif, teknis maupun kepatuhan terhadap peraturan, regulasi, kebijakan dan stanadar;
e. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian Keuangan);
5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya
: a. Hubungan dengan masyarakat dan dunia usaha peternakan dalam bentuk koordinasi dan membangun sinergi kegiatan pada tingkat operasional agar dicapai hasil optimal, baik untuk tingkat subsistem daerah/agroekologi maupun integrasi sebagai sistem swasembada daging sapi nasional;
b. Memberikan dukungan dan fasilitasi kepada masyarakat, dunia usaha peternakan maupun komunitas dalam wilayah agroekologi, untuk menjaga optimalisasi pencapaian sasaran swasembada daging sapi nsional;
6. Tantangan : a. Pemerintah propinsi/kabupaten/kota “merasa” tidak mendapatkan nilai tambah dalam jangka pendek;
b. Kesalahpahaman atas mandat “otonomi” yang diberikan sehingga:
- Pemerintah propinsi/kabupaten/kota tidak bertindak memerankan dirinya sebagai subsistem yang saling interaksi, interkoneksi, interrelasi dengan kementerian/lembaga, maupun masyarakat dan pelaku usaha peternakan sebagai sistem swasembada daging sapi nasional;
- Tidak melaksanakan komitmen atas ketentuan perundangan, regulasi, dan kebijakan yang berlaku
- Tidak melaksanakan komitmen atas ketentuan dankeputusan dari hirarkhi yang lebih tinggi;
Pelaksanaan program dan kegiatan oleh kementerian/lembaga maupun
daerah, secara mandiri maupun dalam bentuk koordinasi antarfungsi pemerintah,
lintas sektor pembangunan, antarpelaku pembangunan maupun antara pusat dan
daerah dilaksanakan dengan mematuhi peraturan, regulasi, kebijakan maupun
standar yang ada pada sistem 2. Kondisi tersebut dijelaskan pada Tabel 48.
Tabel 48. Peran Kelembagaan pada Sistem 2 Koordinasi
Sistem 2: Koordinasi 1. Pelaku
pembangunan : Seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan pelaksanaan
program dan kegiatan swasembada daging sapi nasional. 2. Karakter dasar
sistem : Merupakan peraturan perundangan, regulasi, kebijakan, dan
bentuk-bentuk standar yang harus menjadi dasar pelaksanaan program dan kegiatan.
3. Peran dan fungsi : Menjadi acuan dasar dalam pelaksanaan program dan kegiatan.
178
Sistem 2: Koordinasi 4. Tantangan : Melakukan harmonisasi atau “menekan” distorsi yang terjadi
karena adanya kondisi sebagai berikut: a. Ketidakharmonisan peraturan perundangan, regulasi maupun
kebijakan, sehingga dapat merusak upaya penciptaan nilai tambah (value destroyer) dalam pencapaian swasembada daging sapi;
b. Adanya lingkup inisiatif yang seharusnya dilakukan tetapi belum didukung peraturan atau kebijakan, sehingga terjadi kondisi “status quo” (misal: berkaitan dengan tataniaga, pakan, vilage breeding center, lainnya);
c. Adanya kecenderungan untuk menggunakan dasar peraturan perundangan atau kebijakan yang “memudahkan” bagi kementerian/lembaga/daerah yang bersangkutan (egosektoral);
Tabel 49 menjelaskan bahwa kontrol operasional dan dukungan manajemen
dalam pelaksanaan swasembada daging sapi nasional dilakukan oleh
kementerian/lembaga yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Tabel 49. Peran Kelembagaan pada Sistem 3 Kontrol Operasional
Sistem 3: Kontrol Operasional (termasuk dukungan manajemen) 1. Pelaku
pembangunan : Kementerian dan lembaga yang terkait secara langsung maupun
tidak langsung dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi 2. Karakter dasar
sistem : a. Sistem 3 muncul dalam bentuk perintah, dan harus
menghasilkan rencana yang terkoordinasi, lalu mengalir ke garis bawah – menuju sistem 1;
b. Kementerian/lembaga ini dimungkinkan untuk diberikan wewenang pengalokasian anggaran kepada propinsi/kabupaten/ kota dalam bentuk: dana dekonsentrasi (dekon), tugas perbatuan (TP), dan usaha bersama (UB);
c. Melibatkan “tawar menawar” sumberdaya: dengan bagian-bagian sistem 1. Segera setelah hal ini selesai dilakukan, maka secepat mungkin (khususnya di wilayah administrasi/wilayah agroekologi) untuk langsung melakukan operasioal melalui koordinasi dan audit.
3. Peran dan fungsi : a. Mengontrol operasi yang dilakukan pemerintah propinsi/ kabupeten/kota (sistem 1) dan memberikan dukungan manajemen (keahlian SDM, teknologi, sarana dan keuangan);
b. Bertanggungjawab untuk menjalankan organisasi sehari-hari, dan memastikan bahwa ketentuan di-implementasikan dengan tepat;
c. Menjaga keharmonisan kinerja sistem 1 (antar subsistem pada sistem 1) agar tercapai integrasi yang optimal;
d. Menerima laporan kinerja dari pemerintah propinsi/kabupaten/ kota (sistem 1), serta laporan hasil pemantauan dan evaluasi dari inspektorat dan/atau BPKP (sistem 3*);
4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada
: a. Hubungan dengan pemerintah propinsi/kabupaten/kota (sistem 1), antara lain :
a) melakukan koordinasi untuk menjaga menjaga
179
Sistem 3: Kontrol Operasional (termasuk dukungan manajemen) sistem lainnya keharmonisan pelaksanaan kegiatan swasembada daging
sapi nasional; b) pengalokasian sumberdaya dalam bentuk keahlian,
teknologi, sarana, dan anggaran (dekon, TP, dan UB); b. Hubungan sistem 2, untuk kepatuhan pada peraturan regulasi
dan kebijakan, serta memenuhi standar yang telah ditetapkan; c. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging
sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian
d. Menjalani proses pemantauan dan evaluasi maupun proses audit (sistem 3*) untuk mengukur kinerja administratif, teknis maupun kepatuhan terhadap peraturan, regulasi, kebijakan dan stanadar;
5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya
: a. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan program dan kegiatan pada masyarakat dan pelaku usaha peternakan untuk dilakukan inisiatif perbaikan dalam perencanaan maupun pelaksanaannya;
b. Dalam batasan kewenangannya, memberikan dukungan dan fasilitasi kepada masyarakat peternakan maupun komunitas dalam wilayah agroekologi, untuk menjaga optimalisasi pencapaian sasaran swasembada daging sapi nsional;
6. Tantangan : a. Adanya tendensi kementerian dan/atau lembaga untuk melaksanakan program dan kegiatan yang seharusnya merupakan lingkup program/kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah propinsi/kabupaten/kota;
b. Adanya egosktoral yang menyebabkan kurangnya inisiatif kementerian/lembaga untuk melakukan koordinasi antar sektor pembangunan yang merupakan fungsi masing-masing dalam pelaksanaan swasembada daging sapi;
c. Lemahnya integrasi perencanaan swasembada daging sapi lintas sektor pembangunan dan fungsi pemerintah dan termuat dalam Renstra K/L terkait (Kementerian PPN/Bappenas, sistem 4);
d. Tidak optimalnya koordinasi dan sinergi program yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (sistem 4);
Untuk menjaga kualitas kinerja yang baik secara berkelanjutan, selama
pelaksanaan operasional dan dukungan manajemen diperlukan pemantauan dan
evaluasi secara integratif yang dilakukan secara periodik. Pada Tabel 50
menjelaskan bahwa Sistem 3* melaksanakan audit untuk mendukung sistem 3, agar
swasembada daging sapi nasional dapat terwujud secara berkelanjutan.
180
Tabel 50. Peran Kelembagaan pada Sistem 3* Audit Kinerja
Sistem 3*: Audit Kinerja 1. Pelaku
pembangunan : Inspektorat kementerian/lembaga, Badan Pengawas
Propinsi/Kabupaten/Kota, dan/atau BPKP 2. Karakter dasar
sistem : a. Mempunyai akses langsung pada kementerian/lembaga
(sistem 3), dan secara berkala, masuk dalam sistem operasional;
b. Merupakan sistem yang independen, mengacu pada peraturan, regulasi, kebijakan dan standar-standar yang telah ditetapkan yang berlaku dalam upaya pelaksanaan program dan kegiatan; swasaembada daging sapi;
3. Peran dan fungsi : a. Mendukung kementerian/lembaga (sistem 3), melalui pemantauan dan evaluasi (audit) untuk mengukur: a) Kinerja (output, outcome, impact) dalam upaya
mencapai target yang telah ditentukan oleh sistem 3; b) Ketaatan dan ketertiban administrasi keuangan dan
anggaran berdasarkan ketentuan yang berlaku; c) Kepatuhan pelaksanaan peraturan, regulasi dan standar
yang telah ditetapkan pada sistem 2; b. Memberikan laporan pada kementerian/lembaga (sistem 3);
4. Tantangan a. Kelengkapan indikator kinerja (input-proses-output-outcome-impact) yang telah tersusun pada tingkat kementerian, lembaga, maupun daerah;
b. Belum terbangunnya indikator kinerja integratif lintas sektor pembangunan, lintasfungsi pemerintah dalam pelaksanaan program dan kegiatan swasembada daging sapi nasional;
Sistem 1,2 dan 3 adalah “manajemen otonom” karena dapat menjaga
stabilitas internal dan mengoptimalkan kinerja dalam sebuah kerangka kerja yang
baik tanpa referensi yang lebih tinggi dari manajemen. Meski demikian manajemen
otonom tidak memiliki pandangan yang menyeluruh atas lingkungan organisasi
sehingga tidak mampu menanggapi ancaman dan peluang yang timbul. Sistem itu
juga tidak memiliki kapasitas pembelajaran ganda. Jadi itulah mengapa sistem 4 dan
5, diperlukan. Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 51 dan Tabel 52.
Tabel 51. Peran Kelembagaan pada Sistem 4 Pengembangan
Sistem 4: Pengembangan 1. Pelaku pembangunan : a. Kementerian PPN/Bappenas dan
b. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2. Karakter dasar sistem : a. Merupakan “simpul/hub” dimana informasi diterima dan
diproses secara bersama-sama (lintas kementerian/lembaga) untuk disesuaikan dengan kondisi lingkungan strategis, kemudian disajikan dalam bentuk pengambilan keputusan;
b. Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;
3. Peran dan fungsi : a. Membantu kementerian/lembaga/daerah (sistem 1 dan 3) untuk memperkenalkan memahami lingkungan strategis swasembada daging sapi secara integratif ;
181
Sistem 4: Pengembangan b. Menangkap semua informasi yang relevan tentang
lingkungan strategis swasembada daging sapi nasional secara total. Melakukan penyesuaian strategi pencapaian dengan variasi perubahan lingkungan yang dialami, dan membuat sebuah model (kebijakan) yang memuat prediksi masa depan dan langkah pencapaiannya;
c. Merupakan “rumah” bagi perencanaan, pengembangan, hubungan lintas pemangku kepentingan, serta fasilitator (koordinasi dan sinkronisasi) bagi upaya pencapaian swasembada daging sapi;
4. Hubungan dengan pelaku pembangunan pada sistem lainnya
: a. Sangat diperlukan hubungan “tripartied” pada tingkat kebijakan (high level) antara Kemenko Bid. Perekonomian – Kemen. Keuangan – Kemen. PPN/Bappenas, dalam hal :
a) Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program swasembada daging sapi secara terintegrasi, dengan Kemen. PPN/Bappenas (sistem 4 dan 5);
b) Koordinasi perencanaan anggaran swasembada daging sapi berbasis kinerja secara terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, dengan Kemen. Keuangan (sistem 5);
b. Hubungan dengan kementerian dan lembaga terkait (sistem 3), melakukan koordinasi untuk menjaga keharmonisan pelaksanaan kegiatan swasembada daging sapi nasional;
c. Mematuhi ketetapan perencanaan terkait swasembada daging sapi nasional (sistem 4 & 5: Kementerian PPN/Bappenas), dan dalam besaran anggaran berbasis kinerja (sistem 5: Kementerian Keuangan);
5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya
: Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;
6. Tantangan : a. Membangun integrasi pelaksanaan pembangunan dalam jangka menengah-panjang melalui koordinasi program dan sinergi dalam pelaksanaannya
b. Untuk Kementerian PPN/Bappenas : a) Koordinasi intra organisasi (lintas direktorat) untuk
menjaga (membangun) integrasi perencanaan program swasembada daging sapi nasional masuk sebagai program/kegiatan pada kementerian dan lembaga terkait;
b) Menyesuaikan langkah antisipasi (rolling plan) atas kesenjangan capaian realisasi pelaksanaan program/kegiatan atau karena perubahan lingkungan strategis;
c) Forum koordinasi perencanaan pembangunan yang dapat memfasilitasi sinergi lintas sektor pembangunan atas prioritas nasional ke 5 (buku I RPJMN), khususnya bagi swasembada daging sapi nasional;
c. Untuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian : a) Koordinasi intra organisasi (lintas asisten deputi)
untuk menjaga (membangun) integrasi pelaksanaan program dan kegiatan terkait dengan swasembada daging sapi nasional (misal: perdagangan/tataniaga,
182
Sistem 4: Pengembangan infrastruktur, industri, lainnya) ;
b) Meminimalisasi distorsi peraturan, regulasi dan kebijakan yang tidak kondusif bagi pencapaian swasembada daging sapi nasional;
c) Akseptasi (adanya ego sektoral) kementerian dan lembaga lain untuk melakukan koordinasi dan sinergi pelaksanaan program/kegiatan;
Tabel 52. Peran Kelembagaan pada Sistem 5 Kebijakan
Sistem 5: Kebijakan 1. Pelaku
pembangunan : a. Kementerian Keuangan
b. Kementerian PPN/Bappenas dan 2. Karakter dasar
sistem : a. Menetapkan kebijakan perencanaan program dan kegiatan
(Kementerian Bappenas), dan kebijakan pengalokasian anggaran atas program dan kegiatan (Kementerian Keuangan)
b. Memberikan kepastian atas dukungan anggaran terhadap setiap program dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk jangka menengah dan jangka panjang;
3. Peran dan fungsi : a. Merumuskan kebijakan berdasarkan informasi yang diterima oleh sistem 4 lalu mengkomunikasikannya ke bawah – kepada kementerian/lembaga (sistem 3) – untuk diimplementasikan oleh setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.
b. Menyeimbangkan antara konflik kepentingan antar fungsi pemerintah, antara pusat dan daerah, maupun antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha;
c. Bertindak sebagai manajemen pada tingkat nasional 4. Hubungan dengan
pelaku pembangunan pada sistem lainnya
: Sangat diperlukan hubungan “tripartied” pada tingkat kebijakan (high level) antara Kemenko Bid. Perekonomian – Kemen. Keuangan – Kemen. PPN/Bappenas, dalam hal :
a. Koordinasi (langkah antisipasi) atas kesenjangan capaian pelaksanaan program swasembada daging sapi secara terintegrasi, dengan Kemenko Bid. Perekonomian (sistem 4);
b. Koordinasi (langkah antisipasi) penyesuaian alokasi anggaran swasembada daging sapi berbasis kinerja secara terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, dengan Kemen. Keuangan (sistem 5);
5. Hubungan dengan pelaku pembangunan lainnya
: Berhubungan dengan pihak eksternal dan berorientasi pada masa depan;
6. Tantangan : a. Membangun keberlanjutan pelaksanaan program dan kegiatan oleh para pelaku pembangunan secara terintegrasi, hingga dapat dicapai sasaran pencapaian swasembada daging sapi nasional;
b. Melakukan edukasi kepada para pelaku pembangunan dan pemangku kepentingan bahwa pelaksanaan program dan kegiatan dapat membawa nilai tambah yang optimal pada jangka panjang (walaupun pada jangka pendek belum memberikan keuntungan);
183
6.3 Model Kelembagaan dalam Program Swasembada Daging Sapi
Perancangan Model Peran Kelembagaan dilakukan dengan pendekatan
viable system model yang menempatkan setiap pelaku pembangunan sebagai sub
sistem dari sebuah sistem yang mempunyai tujuan yang sama yaitu pencapaian
swasembada daging sapi nasional. Dengan demikian setiap aktivitas dari masing-
masing sub sistem merupakan kegiatan yang bersifat integratif dalam bentuk
interaksi, interrelasi dan interaksi.
Model peran kelembagaan pada Gambar 61 terbagi dalam 4 level yaitu:
koordinasi tingkat direktif, koordinasi strategik-taktikal, koordinasi operasional,
serta pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata. Mekanisme koordinasi kelembagaan
untuk tingkat direktif dijelaskan pada Tabel 53.
184
Gambar 61. Model Kelembagaan dalam pelaksanaan swasembada daging sapi
185
Tabel 53. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat direktif
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif 1. Pelaku
pembangunan : a. Kementerian Keuangan
b. Kementerian PPN/Bappenas c. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
2. Hubungan kelembagaan
: a. Kementerian PPN/Bappenas Bappenas menetapkan kebijakan perencanaan program dan kegiatan (dengan mempertimbangkan usulan K/L);
b. Berdasarkan rencana program/kegiatan yang ada Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan pengalokasian anggaran atas program dan kegiatan;
c. Kementerian Koord. Bid. Perekonomian mengacu pada rencana program/kegiatan dan dukungan anggaran yang tersedia, memfasilitasi sinergi dan koordinasi lintas program/kegiatan K/L/D pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi;
3. Peran dan fungsi kelembagaan
: Merupakan hubungan “tripartied” pada tingkat direktif (high level implementation plan) antara : Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/ Bappenas, dan Kementerian Koord. Bid. Perekonomian, dalam bentuk:
a. Tahap perencanaan: a) Kementerian PPN/Bappenas melaksanakan mekanisme
perencanaan teknokratik (top-down dan bottom-up) terkait swasembada daging sapi;
b) Kementerian Keuangan melakukan perencanaan alokasi anggaran sesuai sasaran pencapaian yang ditetapkan dalam perencanaan teknokratik;
c) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian (bersama Kementerian PPN/Bappenas) merencanakan skenario sinergi dan koordinasi program lintas K/L untuk diakomodir dalam Renstra K/L dan RPJMD propinsi/kabupaten/kota;
b. Tahap pelaksanaan: a) Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan,
melakukan koordinasi (langkah antisipasi) atas kesenjangan capaian pelaksanaan program dan penyesuaian anggaran yang diperlukan;
b) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian memfasilitasi koordinasi teknis pelaksanaan program lintas K/L dan daerah, serta pemangku kepentingan utama lainnya;
c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri
(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;
4. Tantangan : a. Penguatan instrumen perencanaan pembagunan pada tingkat kebijakan melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koord. Bid. Perekonomian;
b. Intervensi pemuatan substansi swasembada daging sapi pada dokumen perencanaan K/L/Daerah dalam bentuk program dan
186
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Direktif atau kegiatan, serta didukung anggaran yang memadai;
c. Optimalisasi peran Kementerian Koord. Bidang Perekonomian dalam:
a) Pelaksanaan koordinasi teknis penyelarasan kinerja lintas K/L/D;
b) Upaya mengatasi distorsi implementasi kebijakan khususnya berkaitan dengan tataniaga ternak, daging dan produk pendukung peternakan sapi;
Koordinasi pada level strategik-taktikal Kementerian Pertanian, Kementerian
Perdagangan bersama-sama Kementerian dan Lembaga lain yang terkait difasilitasi
oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara periodik melakukan
koordinasi berkaitan dengan upaya dalam mengurangi terjadinya distorsi atas
pelaksanaan kebijakan, sekaligus untuk sebagai forum untuk membahas status
pelaksanaan agar dapat dilakukan langkah-langkah konkrit dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada. Penjelasan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 54.
Tabel 54. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat strategik-taktikal
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Strategik-Taktikal 1. Pelaku
pembangunan : a. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
b. Kementerian Pertanian c. Kementerian Perdagangan d. Kementerian dan Lembaga lain yang terkait
2. Hubungan kelembagaan
: a. Koordinasi penyelarasan (usulan) program dan kegiatan pada tahap perencanaan antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan K/L lain terkait;
b. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator dalam melakukan koordinasi dan sinergi program lintas K/L dan pemangku kepentingan utama lain yang terkait dalam pelaksanaan swasembada daging sapi;
c. K/L secara aktif mengambil inisiatif untuk melakukan koordinasi teknis intra-organisasi (sebagai sub sistem) maupun inter-organisasi (dalam sistem pembangunan peternakan);
3. Peran dan fungsi kelembagaan
: a. Tahap perencanaan: a) Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta
Kementerian dan Lembaga lain yang terkait mengajukan usulan program/kegiatan dalam dokumen perencanaan (Renstra, RKA K/L);
b) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian (bersama Kementerian PPN/Bappenas) merencanakan skenario sinergi dan koordinasi program lintas K/L untuk diakomodir dalam Renstra K/L dan RPJMD propinsi/kabupaten/kota;
b. Tahap pelaksanaan: a) Kementerian Koord. Bid. Perekonomian memfasilitasi
koordinasi teknis pelaksanaan program lintas K/L dan daerah, serta pemangku kepentingan utama lainnya;
b) Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, serta
187
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Strategik-Taktikal Kementerian dan Lembaga lain yang terkait melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan lingkup peran, fungsi dan tanggungjawabnya;
c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri
(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;
4. Tantangan : a. Penyelarasan pencapaian kinerja K/L/D dalam waktu, kualitas, kuantitas secara sinergis yang membangun tingkat efektivitas secara optimal;
b. Perencanaan ulang (program/kegiatan dan anggaran), baik pada tingkat lembaga mandiri (sub sistem) maupun sebagai integrasi lintas K/L/D (sistem) sebagai antisipasi perubahan lingkungan strategis, maupun terjadinya kesenjangan dalam implementasi;
c. Kelangsungan pelaksanaan koordinasi teknis secara periodik, kontinyu dan terfokus pada pencapaian tujuan swasembada;
d. Adanya ego-sektoral yang melemahkan upaya sinergi dan koordinasi program/kegiatan;
Koordinasi operasional dilakukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah
sebagai sub sistem yang otonom. Pada level ini Kementerian Pertanian Kementerian
Perdagangan dan Kementerian/Lembaga lain yang terkait, sesuai hasil koordinasi
pada tingkat strategik-taktikal, mengarahkan program dan sasaran pencapaian
kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan peran dalam mendukung
swasembada daging sesuai dengan kondisi dan potensi (kearifan lokal) yang dimiliki
oleh daerahnya. Penjelasan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 55.
Tabel 55. Mekanisme koordinasi kelembagaan tingkat operasional
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional 1. Pelaku
pembangunan : a. Kementerian Pertanian
b. Kementerian Perdagangan c. Kementerian dan Lembaga lain yang terkait d. Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupeten, Kota)
2. Hubungan kelembagaan
: a. Untuk pelaksanaan swasembada daging, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan K/L lain yang terkait memfasilitasi pemerintah daerah dalam bentuk bimbingan teknis, pilot project, maupun bentuk intervensi program yang lain yang lebih bersifat berkelanjutan, antara lain: dana alokasi khusus, dekonsentrasi, tugas perbantuan, urusan bersama);
b. Pemerintah daerah sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki (kearifan lokal), dengan mengoptimalkan peran dan fungsi instrumen kelembagaan yang ada (organisasi, struktur, sistem,
188
Koordinasi Kelembagaan Tingkat Operasional kebijakan) secara terintegrasi melaksanakan kegiatan dengan fokus mendukung pencapaian sweasembada daging sapi;
c. Pemerintah daerah melaksanakan koordinasi dengan pelaku pembangunan yang terkait swasembada daging pada tingkat perwilayahannya;
3. Peran dan fungsi kelembagaan
: a. Tahap perencanaan: a) Berdasarkan program dan kegiatan yang tercantum pada
dokumen perencanaan (Renstra, RKA K/L), masing-masing K/L menidentifikasi potensi program/kegiatan yang dapat dilaksanakan pada tingkat kelembagaan maupun kerjasama dengan Pemerintah Daerah;
b) Sesuai kondisi dan potensi perwilayahan yang dimiliki, pemerintah daerah merencanaan program/kegiatan yang dapat mendukung pencapaian tujuan swasembada daging sapi;
c) Koordinasi antara K/L dengan Pemerintah Daerah dalam lingkup kerjasama yang sesuai peran, fungsi K/L dengan kondisi dan potensi daerah;
b. Tahap pelaksanaan: a) K/L terkait maupun pemerintah daerah melaksanakan
program/kegiatan sesuai dengan lingkup peran, fungsi dan tanggungjawabnya;
b) K/L bersama-sama pemerintah daerah melaksanakan kerjasama dalam lingkup yang telah disepakati dan fokus pada pencapaian swasembada daging sapi;
c) Pemerintah Daerah bersama para pelaku pembangunan pada tingkat perwilayahan melaksanakan kerjasama dalam lingkup yang telah disepakati dan fokus pada pencapaian swasembada daging sapi;
c. Monitoring dan evaluasi: a) Pencapaian kinerja K/L/Daerah sebagai lembaga madiri
(stand-alone/sub sistem) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
b) Keselarasan kinerja lintas K/L/Daerah sebagai sistem pembangunan peternakan (interaksi, interrelasi, interkoneksi) yang diperhitungkan dalam efisiensi dan efektivitas;
c) Problem identification and corrective actions (PICA) pada tingkat direktif;
4. Tantangan : a. Distorsi implementasi kebijakan yang disebabkan karena ketidakselarasan kebijakan pada tingkat pusat (undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, lainnya), maupun kebijakan tingkat daerah (perda, peraturan kepala daerah);
b. Penyelarasan pencapaian kinerja K/L/D dalam waktu, kualitas, kuantitas secara sinergis yang membangun tingkat efektivitas secara optimal;
c. Perencanaan ulang (program/kegiatan dan anggaran), baik pada tingkat lembaga mandiri (sub sistem) maupun sebagai integrasi lintas K/L/D (sistem) sebagai antisipasi perubahan lingkungan strategis, maupun terjadinya kesenjangan dalam implementasi;
d. Kelangsungan pelaksanaan koordinasi teknis secara periodik, kontinyu dan terfokus pada pencapaian tujuan swasembada;
e. Adanya ego-sektoral dan ego-regional yang melemahkan upaya sinergi dan koordinasi program/kegiatan;
189
Pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata dilakukan oleh komunitas yang
bergerak sesuai dengan kondisi dan potensi perwilayahan yang dapat mendukung
pencapaian tujuan swasembada atau disebut sebagai agroekologi dalam rantai nilai
peternakan yang dimulai dari hulu sampai hilir dan juga termasuk industri dan jasa
pendukung yang terkait secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: (1)
agroekologi rantai nilai budidaya, (2) agroekologi rantai nilai pakan, (3) agroekologi
padang gembala, (4) agroekologi pendukung peternakan. Komunitas ini bergerak
dalam sektor formal maupun informal dan aktif sebagai sebuah jejaring yang saling
melengkapi sebagai sebuah rantai nilai. Efektivitas pencapaian program swasembada
secara konkrit dapat ditemukenali pada level ini. Secara rinci dapat dikemukakan
dalam Tabel 56.
Tabel 56. Mekanisme pelaksanaan aktivitas pada praktek nyata
Pelaksanaan Aktivitas pada Praktek Nyata 1. Pelaku
pembangunan : a. Para pelaku usaha dalam rantai nilai peternakan
b. Masyarakat peternakan c. Organisasi masyarakat sipil (OMS) yang terkait pada rantai nilai
peternakan d. Pemerintah daerah dalam konteks fasilitasi dan koordinasi e. K/L terkait dalam konteks monitoring dan evaluasi
2. Hubungan antar pihak
: Aktivitas para pelaku pembangunan (para pihak) akan terkait erat dengan kondisi dan potensi perwilayahan baik secara kultural, sosial, dan geografis maupun dalam konteks peluang usaha, sebagai berikut: a. Para pihak melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk
perusahaan, koperasi, maupun usaha rumahan dan individu dengan orientasi nilai tambah ekonomi maupun nilai tambah sosial;
b. Para pihak melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri/invidual maupun berserikat dalam bentuk organisasi/lembaga formal maupun komunitas informal;
c. Para pihak terdampak langsung dengan implementasi kebijakan baik pada tingkat pusat maupun kebijakan pada tingkat daerah;
d. Pada tingkat teknis implementasi, pemerintah daerah melakukan fasilitasi dengan para pihak untuk mengatasi distorsi kebijakan pada tingkat teknis aktivitas;
3. Peran dan fungsi para pihak
: a. Para pelaku usaha dalam rantai nilai peternakan, masyarakat peternakan, OMS yang terkait pada rantai nilai peternakan:
a) Melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk perusahaan, koperasi, maupun usaha rumahan dan individu dengan orientasi nilai tambah ekonomi maupun nilai tambah sosial;
b) Melakukan kegiatan secara sendiri-sendiri/invidual maupun berserikat dalam bentuk organisasi/lembaga formal maupun komunitas informal;
b. Pemerintah Daerah, melakukan: a) Pemantauan penyimpangan yang disebabkan karena distorsi
kebijakan tingkat daerah;
190
Pelaksanaan Aktivitas pada Praktek Nyata b) Fasilitasi dengan para pihak untuk mengatasi distorsi
kebijakan pada tingkat teknis aktivitas; d. K/L terkait, melakukan monitoring dan evaluasi atas :
a) Penyimpangan yang disebabkan karena distorsi kebijakan tingkat pusat;
b) Efektivitas pelaksanaan intervensi program yang lain yang lebih bersifat berkelanjutan, antara lain: dana alokasi khusus, dekonsentrasi, tugas perbantuan, urusan bersama;
4. Tantangan : a. Distorsi kebijakan tataniaga yang menyebabkan kegiatan dalam rantai nilai peternakan kurang menguntungkan sebagai kegiatan usaha baik pada tingkat perusahaan dalam skala kecil, menengah maupun masyarakat/individu;
b. Pemerintah daerah maupun para pihak tidak merasakan perolehan nilai tambah (usaha maupun ekonomi) dalam jangka pendek, sehingga enggan untuk melaksanakan aktivitas tersebut;
c. Orientasi kedaerahan (dampak negatif otonomi daerah) menjadi penghambat sinergi, koordinasi maupun kemitraan strategis antar daerah;
6.4 Kemitraan Strategis dalam Swasembada Daging Sapi
Model kerjasama Academicians, Business, Government, Community
(ABGC) diharapkan dapat menjadi sarana bagi masing-masing kelembagaan untuk
saling melengkapi. Masing-masing pihak dapat melaksanakan peran sesuai dengan
lingkup tugas dan tanggungjawabnya, antara lain:
1. Pemerintah akan memberikan insentif berupa kebijakan yang kondusif bagi
dunia usaha, menyiapkan program intervensi maupun fasilitasi bagi pelaku
usaha dan masyarakat yang mendukung program swasembada daging sapi.
Bentuk-bentuk insentif antara lain dapat dilakukan dengan:
a. Peningkatan keahlian dan keterampilan peternak yang diprogramkan
secara sistematis dan terarah yang mencakup semua aspek
manajemen, produksi, pasca panen dan pemasaran;
b. Kebijakan pasar (tataniaga), tarif dan suku bunga;
c. Pengembangan wilayah baru peternakan, dalam bentuk VBC (Village
Breeding Center) maupun bentuk lainnya;
d. Pengembangan sistem joint produksi antar wilayah;
e. Pengembangan zona produksi hijauan pakan;
f. Pembangunan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan dan
kelancaran rantai pasok peternakan.
191
2. Akademisi bersama lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) sebagai
basis pengetahuan dapat mendorong penemuan dan pemanfaatan teknologi
bagi rantai nilai produksi peternakan meliputi perbibitan, pemulia-biakan
sapi, pengolahan hasil produksi peternakan, maupun dukungan rantai nilai
peternakan berupa penataan dan pengembangan wilayah peternakan rakyat,
serta produksi penyangga ketersediaan bahan baku pakan.
3. Dunia usaha dengan kompetensi, mesin dan peralatan, serta jejaring yang
dimiliki diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membuka akses
pada pasar maupun pengembangan kapasitas teknis dan manajerial sesuai
program yang dikembangkan. Bentuk-bentuk partisipasi maupun kemitraan
yang dapat dilakukan oleh dunia usaha antara lain dapat dilakukan dengan:
a. Ikut berperan dalam pengembangan wilayah baru peternakan, dalam
bentuk VBC (Village Breeding Center) maupun bentuk lainnya;
b. Membuka kawasan baru usaha sapi potong melalui pola kerjasama
inti-plasma maupun integrasi dengan usaha perkebunan;
c. Mengembangkan sistem bagi hasil (gaduhan) dengan komunitas
peternak maupun masyarakat peternak;
4. Komunitas atau masyarakat selain sebagai muara dalam penciptaan nilai
tambah, harus berperan aktif dapat proses penciptaan nilai tambah yang
dapat dilakukan dalam basis potensi perwilayahan (agroekologi), maupun
sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki, baik secara
individu maupun sebagai kumpulan masyarakat;
Selain kemitraan dalam bentuk ABGC, untuk pencapaian swasembada
daging sapi dapat juga dilakukan dengan pendekatan public private partnership
(PPP), yang melibatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas publik, koperasi
peternak atau masyarakat peternak, pelaku usaha peternakan maupun investor dan
lembaga keuangan. Pada dasarnya bentuk-bentuk kerjasama tersebut bertujuan untuk
membangun kehidupan masyarakat, menyehatkan kedaulatan ekonomi dan menuju
kemandirian komunitas masyarakat peternak. Dengan dukungan pemerintah,
akademisi dan litbang, maupun dunia usaha pada pembangunan peternakan tersebut
diharapkan dapat memicu bertumbuhnya dunia usaha peternakan sesuai kondisi dan
potensi perwilayahan, khususnya pada skala kecil dan menengah, sehingga rantai
192
nilai usaha peternakan dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan basis
dukungan kontribusi agroekologi perwilayahan. Bentuk lain dari kemitraan strategis
dapat dilihat pada Gambar 62 dan Tabel 57 yang menjelaskan hubungan dan peran
masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan strategis.
Tabel 57. Peran para pelaku dalam kemitraan swasembada daging sapi
No Pelaku Uraian (1) (2) (3)
1. Kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan sapi
a. Adalah kegiatan usaha yang terbangun dengan kepemilikan berbasis komunitas
b. Lini usaha meliputi produk dan jasa dalam integrasi vertikal maupun horizontal terkait dengan rantai nilai peternakan sapi (hulu – hilir – kegiatan pendukung)
c. Kapasitas (produktivitas) kegiatan usaha ini dirancang untuk dapat memenuhi kebutuhan (daya serap pasar/pelanggan) pada perwilayahan setempat
2. Otoritas publik (pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah)
a. Mendorong iklim kondusif bagi kegiatan kewirausahaan b. Dapat diperankan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah (propinsi, kabupaten, kota) c. Memfasilitasi terbangunnya kewirausahaan terkait berbasis
kekuatan perwilayahan atau potensi peluang yang ada d. Membuat kesepakatan dengan lembaga keuangan untuk
memfasilitasi penyediaan modal bagi kewirausahaan terkait swasembada daging sapi
e. Pendefinsian transfer risiko untuk dilakukan pertanggungan 3. Lembaga keuangan a. Sebagai agen menjalankan program insentif pemerintah dalam
penyediaan modal bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan;
b. Memberikan fasilitasi permodalan untuk merangsang investor mau berinvestasi di usaha perbibitan yang kurang menarik dibanding usaha penggemukan;
c. (atau) sebagai lembaga keuangan yang menyediakan skema pinjaman bagi kegiatan usaha
4. Koperasi dan atau masyarakat peternak
a. Dapat berkontribusi sebagai penyandang dana bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan, baik secara kelompok maupun sebagai individu;
b. Sesuai kemampuan (kegiatan usaha) yang dimiliki, memungkinkan untuk melakukan hubungan transaksional baik sebagai supplier maupun pelanggan bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan;
c. Melaksanakan berbagai bentuk kemitraan antar pelaku usaha, antar komunitas/masyarakat, maupun antara pelaku usaha dan komunitas/masyarakat;
5. Perusahaan dan atau pelaku usaha
6. Penyandang dana Berkontribusi sebagai penyandang dana bagi kegiatan usaha dalam rantai nilai peternakan, baik secara kelompok maupun sebagai individu
7. Asuransi Memberikan jaminan pertanggungan atas sisa risiko yang dimungkinkan akan timbul
8. Perguruan tinggi dan lembaga litbang terkait
a. Pengembangan produk, pemanfaatan teknologi tepat guna b. Bimbingan teknis dan pendampingan dalam pengembangan
kapasitas SDM pelaku usaha c. Penetapan SOP maupun standar proses, produk bagi keluaran
yang dihasilkan
193
d. Pembinaan kemampuan manajemen bagi kegiatan usaha 9. Dunia usaha yang
terkait a. Melaksanakan berbagai bentuk kemitraan antar pelaku usaha,
antar komunitas/masyarakat, maupun antara pelaku usaha dan komunitas/masyarakat;
b. Penguatan rantai nilai penciptaan nilai tambah yang masih memerlukan dukungan
c. Bimbingan teknis dan fasilitasi dalam konteks Inti – Plasma, “bapak angkat”, atau bentuk lain yang sesuai
d. Berperan sebagai early customer maupun memberikan kesempatan sebagai sourcing bagi bagian produk/jasa yang akan diproduksi perusahaan
e. Penetapan SOP maupun standar proses, produk bagi keluaran yang dihasilkan
f. Pembinaan kemampuan manajemen bagi kegiatan usaha
194
Gambar 62. Pola pikir kemitraan strategis dalam swasembada daging sapi.
195
6.5 Pengukuran Kinerja Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi
Dalam UU Keuangan Negara yang baru, pengalokasian anggaran
menggunakan kementerian/lembaga sebagai unit analisanya berdasarkan prestasi
kerja yang dijanjikan oleh kementerian/lembaga pengusul yang bersangkutan.
Digunakannya kementerian/lembaga sebagai unit analisis memberikan penekanan
bahwa anggaran tidak lagi berdasarkan substansi akan tetapi telah bergeser ke
“fungsi” kementerian/lembaga yang bersangkutan. Dari perspektif keuangan,
alokasi anggaran didasarkan atas prestasi kerja yang ditargetkan, sedangkan dari
perspektif perencanaan, substansi alokasi anggaran perlu mempertimbangkan
prestasi kerja sebelumnya. Hal ini membawa konsekuensi pada proses perencanaan
dari optimalisasi kegiatan sektoral ke optimalisasi fungsi kementerian/lembaga
terhadap pencapaian tujuan nasional.
Dengan demikian, penganggaran berbasis kinerja adalah penyusunan
anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja, yang terdiri dari program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan dan indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu
entitas anggaran (budget entity). Pendekatan ini jelas akan memperbaiki kelemahan
sistem tradisional dimana anggaran disusun berdasarkan line item dengan perubahan
yang cenderung konservatif dan inkremental dari anggaran tahun sebelumnya
sehingga kurang mempertimbangkan prioritas dan kebijakan lembaga. Paradigma
penilaian kinerja berubah. Pencapaian kinerja dalam anggaran berbasis kinerja
diukur dengan indikator-indikator substansif yang dihasilkan suatu program atau
kegiatan yang dilaksanakan secara efisien, efektif, dan ekonomis, serta sejalan
dengan kebijakan organisasi (Indrawati, 2007).
Sejalan dengan semangat reformasi sistem perencanaan dan reformasi sistem
anggaran, dengan dasar pemikiran bahwa upaya pencapaian sasaran pembangunan
swasembada daging sapi dilaksanakan dengan prinsip cybernetik, maka dengan
pendekatan VSM dapat dibangun model pengukuran kinerja yang lebih menekankan
pada indikator substantif yang dihasilkan oleh suatu program atau kegiatan. Untuk
sebuah organisasi atau lembaga, model pengukuran kinerja ini digunakan untuk
mengukur produktivitas unit kerja secara stand alone, dan sekaligus akan mengukur
kinerja yang dicapai lintas unit kerja (intra-organisasi), bila dilakukan koordinasi
196
dan sinergi yang dapat mengoptimalkan pemanfaat sumberdaya secara efektif dan
sekaligus mengatasi hambatan yang ada. Dengan analogi yang sama bila model
tersebut digunakan untuk mengukur kinerja lintas kementerian dan lembaga (inter-
organisasi) dalam lingkup nasional, sebagai upaya mencapai sebuah tujuan yang
melibatkan peran, fungsi maupun sumberdaya yang harus disinergikan sebagai
sebuah sistem.
Gambar 63. Pengukuran kinerja dalam pencapaian swasembada daging sapi
Gambar 63 menjelaskan adanya 3 jenis pencapaian (aktualitas, kapabilitas
dan potensialitas) ketiga hal tersebut digabungkan dengan tiga indeks (produktivitas,
laten dan kinerja). Model ini dapat digunakan sebagai ukuran kinerja yang
komprehensif dalam hubungannya dengan semua jenis sumber-sumber yang ada
dalam organisasi. Tiga tingkat pencapaian didefinisikan dengan jelas sbb:
1. Aktualitas adalah apa yang sekarang kita lakukan, dengan sumber daya yang
ada dan dengan kendala-kendala yang ada.
2. Kapabilitas adalah apa yang dapat kita lakukan sekarang jika kita benar-
benar berusaha untuk itu, dengan sumber-sumber yang ada dan dengan
kendala yang ada.
3. Potensialitas adalah apa yang bisa kita lakukan dengan mengembangkan
sumberdaya serta menghapus kendala, meski masih beroperasi dalam batas-
batas yang masih dapat ditoleransi.
Selanjutnya dari tiga tingkat pencapaian tersebut dapat terbangun indeks
berdasarkan rasio yang pada akhirnya bermuara pada pengukuran kinerja.
197
1. Produktivitas : Ratio aktualitas dan kapabilitas
2. Efektivitas : Ratio kapabilitas dan potensialitas
3. Kinerja : Rasio aktualitas dan potensialitas, atau juga rasio antara efektivitas
dan produktivitas
Dalam pelaksanaan pencapaian swasembada daging sapi, model pengukuran
kinerja ini tiga tingkat pencapaian dapat diilustrasikan pada Tabel 58.
Tabel 58. Pengukuran kinerja kelembagaan
Tingkat Pencapaian
Implementasi Intra-organisasi (tingkat lembaga/kementerian)
Implementasi Inter-organisasi (tingkat nasional)
(1) (2) (3)
Kapabilitas Rencana pencapaian oleh fungsi/unit kerja/unit organisasi untuk hal yang terkait swasembada daging sapi, meliputi: a. Target pencapaian dengan kualitas,
kuantitas, waktu, dalam besar an anggaran;
b. Jumlah anggaran yang tersedia atau disetujui dalam dokumen perencanaan;
Rencana pencapaian oleh kementerian/ lembaga/daerah untuk hal yang terkait swasembada daging sapi, meliputi: a. Target pencapaian dengan
kualitas, kuantitas, waktu, dalam besar an anggaran;
b. Jumlah anggaran yang tersedia atau disetujui dalam dokumen perencanaan;
Aktualitas Realisasi pencapaian oleh fungsi/unit kerja/unit organisasi dalam satuan kuantitatif, seperti: kualitas, kuantitas, waktu, dan besar anggaran yang terpakai
Realisasi pencapaian kementerian/ lembaga/daerah dalam satuan kuantitatif, seperti: kualitas, kuantitas, waktu, dan besar anggaran yang terpakai
Potensialitas Hasil pencapaian bila dilakukan upaya: a. Konsolidasi sumberdaya lintas
fungsi/unit kerja/unit organisasi secara optimal;
b. Koordinasi program lintas fungsi/unit kerja/unit organisasi untuk meningkatkan kualitas hasil;
c. Sinergi dalam pelaksanaan proses kerja dan penyelarasan waktu untuk pelaksanaan kegiatan;
Hasil pencapaian bila dilakukan upaya: a. Konsolidasi sumberdaya lintas
kementerian/lembaga/daerah secara optimal;
b. Koordinasi program lintas kementerian/lembaga/daerah untuk meningkatkan kualitas hasil;
c. Sinergi dalam pelaksanaan proses kerja dan penyelarasan waktu untuk pelaksanaan kegiatan;
6.6 Penguatan Kelembagaan Perencanaan Pembangunan Nasional
Dalam penyajiannya dokumen RPJMN 2010-2014 disusun dalam 3 (tiga)
buah buku yang merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan fokus muatan yang
berbeda yaitu: buku pertama memuat fokus prioritas nasional, buku kedua dengan
fokus memperkuat sinergi antar bidang pembangunan, dan buku ketiga dengan
fokus pembangunan berdimensi perwilayahan: memperkuat sinergi antara pusat-
daerah dan antardaerah. Sebagai perwujudan prinsip-prinsip perencanaan yang
198
mengetengahkan partisipasi masyarakat atau konsultasi publik dalam proses
penyusunan kebijakan pemerintah, serta prinsip-prinsip koordinasi perencanaan
kebijakan, program, dan kegiatan, pada saat ini dilaksanakan beberapa forum
koordinasi perencanaan pembangunan, antara lain sebagai berikut:
1. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), yang
merupakan bentuk koordinasi dalam dua arah: top-down (dari Pemerintah
Pusat ke pemerintah daerah) dan bottom-up (dari aspirasi daerah ke
Pemerintah Pusat);
2. Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat (Rakorbangpus), proses
penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan yang bertujuan untuk
mensosialisasikan dan menyempurnakan rancangan awal RKP tahunan dan
pagu indikatif tahunan per kementerian dan lembaga sebagai bahan
penyiapan rencana kerja (RENJA) kementerian/lembaga tahunan;
3. Trilateral Meeting, merupakan forum konsultasi yang intensif antara masing-
masing kementerian/lembaga dengan Kementerian PPN/Bappenas dan
Kementerian Keuangan.
Untuk lebih mengoptimalkan perwujudan integrasi perencanaan
pembangunan dengan fokus: prioritas nasional, memperkuat sinergi antar bidang
pembangunan dan pembangunan berdimensi perwilayahan: memperkuat sinergi
antara pusat-daerah dan antardaerah yang termuat dalam dalam buku I, II, dan III
RPJMN 2010-2014, dapat dilakukan penguatan forum koordinasi perencanaan
pembangunan yang telah ada, maupun dengan mengembangkan forum koordinasi
lintas kementerian/lembaga dan daerah yang difokuskan untuk meningkatkan kinerja
perencanaan dan pelaksanaan program prioritas nasional (Buku I RPJMN).
Diilustrasikan pada Gambar 64 bahwa penguatan atau pengembangan forum
koordinasi tersebut memposisikan fokus pembangunan nasional dalam sumbu 3
dimensi yaitu, x untuk fokus pembangunan prioritas bidang, sumbu y untuk fokus
pembangunan prioritas nasional, serta sumbu z untuk fokus prioritas pembangunan
perwilayahan. Integrasi optimal digambarkan sebagai keseimbangan bentuk 3
dimensi berbentuk kubus dengan x = y = z yang masing-masing dicapai dalam
kondisi optimum.
199
Gambar 64. Integrasi optimum dari 3 fokus pembangunan nasional
Untuk prioritas pembangunan ketahanan pangan, khususnya bagi
swasembada daging sapi, koordinasi dilakukan secara lintas kementerian, lembaga
dan daerah. Koordinasi tingkat kebijakan dilakukan oleh Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, selanjutnya koordinasi tingkat pelaksanaan, sesuai amanat RPJMN
2010-2014 dapat dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian yang difokuskan untuk dapat mencapai sinergi program lintas
kementerian. lembaga dan daerah yang terlibat dalam pelaksanaan program.
6.7 Implikasi dalam Pola Pengorganisasian
Model peran kelembagaan dengan pendekatan VSM memerlukan proses
pengorganisasian yang dapat mengelola kondisi keterkaitan setiap komponen
sebagai subsistem yang pada akhirnya akan terbangun konstruksi sebagai sebuah
sistem yang lengkap. Garet Morgan (2008) menyatakan karakteristik ini diwakili
oleh kondisi organisasi dengan metaphor organisasi itu seperti makhluk hidup
(organization likes organism). Efektivitas pola pengorganisasian pada metaphor ini
akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan organisasi dalam melaksanakan
aktivitasnya, terlebih pada saat melakukan hubungan lintas unit kerja/lintas fungsi
200
dalam organisasi (intra-organisasi) maupun dalam hubungan lintas lembaga (inter-
organisasi).
6.7.1 Pola Pengorganisasian Intra-Organisasi
Upaya integrasi perencanaan pembangunan nasional dapat dimulai dari
koordinasi lintas unit kerja atau lintas fungsi (khususnya pada tingkat Direktorat)
yang ada pada setiap kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang ikut
berperan. Sebagai ilustrasi pada Gambar 64, pelaksanaan koordinasi intra-organisasi
yang terbangun dari hubungan lintas fungsi/unit kerja diberikan contoh untuk
Kementerian PPN/Bappenas dalam upaya pencapaian swasembada daging sapi.
Gambar 65 menunjukan bahwa upaya pencapaian swasembada akan
melibatkan berbagai Direktorat /Unit Kerja Eselon II pada Kedeputian/Unit Kerja
Eselon I yang berbeda. Dapat dipahami bahwa tingkat efektivitas pencapaian
swasembada akan sangat dipengaruhi koordinasi yang terbangun dari lintas fungsi
yang bersifat lintas kedeputian tersebut. Beberapa kelebihan yang dapat diperoleh
dari terlaksananya koordinasi intra-organisasi ini adalah:
1. Setiap Direktorat akan berkoordinasi dengan mitra kerja
kementerian/lembaga masing-masing untuk menjaga muatan program/
kegiatan lintas sektor pembangunan pada masing-masing Rencana Strategis
dari kementerian/lembaga yang terkait;
2. Dapat dilakukan penetapan prioritas pada alokasi anggaran atau alokasi
sumberaya lain, yang difokuskan pada pencapaian sasaran yang menjadi
prioritas nasional;
3. Adanya forum internal Kementerian PPN/Bappenas untuk mewujudkan
amanat UU SPPN, yaitu terciptanya integrasi, sinkronisasi, sinergi antar-
daerah, antar-ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, antara pusat dan
daerah;
Analogi dengan kondisi diatas maka langkah yang sama juga sangat
diperlukan oleh kementerian dan lembaga lain yang terlibat dalam pelaksanaan
swasembada daging sapi, atau bahkan juga diperlukan untuk sektor pembangunan
lainnya.
201
Gambar 65. Pengorganisasian intra-organisasi pada Kementerian PPN/Bappenas
202
6.7.2 Pola Pengorganisasian Inter-Organisasi
Tingkat efektivitas pelaksanaan koordinasi intra-organisasi yang dilakukan
lintas fungsi/unit kerja dalam sebuah kementerian/lembaga (sebagai sub sistem),
akan menjadi dasar dalam membangun kualitas koordinasi inter-organisasi yang
bersifat lintas kementerian/lembaga dan daerah. Keberhasilan pelaksanaan
koordinasi ini sekaligus akan mendorong terciptanya iklim kondusif dalam
pelaksanaan program/kegiatan (oleh masing-masing sub sistem), serta menjadi
modal yang kondusif bagi upaya koordinasi dan sikronisasi yang dilakukan oleh
Kementerian Koordinator Perekonomian dalam perannya sebagai bagian dari sub
sistem menejemen swasembada daging sapi. Hubungan inter-organisasi dalam
swasembada daging sapi dapat dilihat pada Gambar 66.
Dalam supra sistem sektor peternakan terdiri dari beberapa sub sistem yang
yang saling interkasi, interkoneksi dan interrelasi, yaitu:
1. Sub sistem produksi dari on-farm sampai dengan off-farm, dalam su sistem
ini Kementerian Pertanian memiliki peran yang sangat strategis;
2. Sub sistem tataniaga, yang dapat menjamin kelancaran rantai pasok dan
distribusi, serta penetapan besaran impor ternak sapi, daging sapi, maupun
3. produk turunannya. Pada subsistem ini Kementerian Perdagangan memiliki
peranan yang sangat penting;
4. Sub sistem teknologi, diperankan oleh jajajarn Kementerian Riset dan
Teknologi (LIPI, BPPT, BATAN), lembaga litbang Kementerian, dan
Perguruan Tinggi. Berperan dalam memberikan dukungan tekonologi tepat
guna yang dapat mendukung pengembangan sektor peternakan;
5. Sub sistem sarana dan prasarana, adalah berbagai bentuk dukungan bagi
pengembangan sektor peternakan yang meliputi ketersediaan lahan
penggembalaan, mesin dan peralatan, sarana transportasi, dan bentuk
infrastruktur lainnya.
203
Gambar 66. Hubungan inter-organisasi dalam swasembada daging sapi
204
6.7.3 Tingkat Intelektualitas Organisasi
Kemampuan sebuah organisasi atau lembaga dalam melaksanakan aktivitas
melalui hubungan intra-organisasi dan inter-organisasi sangat ditentukan oleh modal
intelektual organisasi/lembaga yang terdiri dari (1) modal intelektual yang terbangun
dari modal insani, modal organisasi dan modal relasional, dan (2) aktivitas
organisasi yang dalam hal ini adalah peran kelembagaan dalam melaksanakan
mandat yang telah diberikan oleh pemerintah. Tingkat efektivitas dalam pelaksanaan
aktivitas organisasi dapat dikarakerisaikan dalam beberapa komponen yang
mewakili tingkat kemampuan kognitif organisasi, antara lain:
1. Waktu respon dalam pengambilan keputusan (OIt);
2. Kecepatan penyelesaian tugas, dan tetap menjaga kolaborasi (OIs);
3. Kemampuan analisis, sintesis, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan untuk
menyelesaikan masalah (OIq);
4. Kemampuan melakukan pertukaran informasi intra dan inter-organisasi
dalam format terpadu (OIwr);
5. Kemampuan mengolah, menyajikan data dan informasi dalam bentuk
gambar pola, grafis, animasi dan bentuk visual lainnya (OIv);
6. Kemampuan menyimpan dan mengolah data, serta menyajikan dalam
laporan (OImr);
Secara umum kinerja kelembagaan yang dihasilkan dapat diukur dengan
atribut yang secara umum digunakan oleh organisasi publik dalam penciptaan nilai
tambah bagi masyarakat, antara lain:
1. Menghasilkan substansi yang berkualitas baik dan bernilai dan dapat
mensejahterakan masyarakat (substantively valuable);
2. Dapat diterima secara hukum dan memperoleh pengakuan secara politik
secara berkelanjutan (legitimate and politically sustainable);
3. Memiliki kemampuan operasional dalam melaksanakan peran dan fungsi,
dengan tatakelola yang dapat dipertanggungjawabkan (operationally and
administratively feasible);
Secara lebih spesifik tingkat kecerdasan berkaitan dengan upaya pencapaian
swasembada daging sapi nasional dapat dilihat pada Gambar 67.
205
Gambar 67. Intelektualitas organisasi kementerian/lembaga dalam program swasembada daging sapi
206
Mencermati komponen yang membentuk modal intelektual organisasi, bagi
kementerian/lembaga/pemerintah daerah dapat ditengarai bahwa untuk kualitas
modal insani (dalam jumlah maupun kompetensi) diyakini telah berada pada kondisi
yang baik, demikian juga untuk modal organisasi yang secara struktur telah terbagi
dalam peran dan fungsi yang lengkap untuk mewakili lingkup perencanaan
pembangunan nasional dengan landasan sistem perencanaan pembangunan yang
didukung secara hukum. Namun demikian untuk kualitas modal relasional masih
cukup sulit untuk diukur, mengingat kulaitas modal relasional akan sangat
ditentukan oleh tata nilai yang dianut oleh individu maupun organisasi, yang pada
akhirnya akan tercermin dalam artefak yang nyata baik pada tingkat individu
maupun kelembagaan.
Modal relasional secara langsung mempengaruhi kualitas modal insani dan
modal organisasi, yang secara bersama-sama terbangun sebagai modal intelektual
organisasi dalam mendukung pelaksanaan aktivitas organisasi. Dengan demikian
modal relasional merupakan yang berperan sangat penting dalam penyelenggaraan
koordinasi baik dalam lingkup intra-organisasi maupun inter-organisasi.
207
7 SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
1. Dari analisis situasional ditemukan bahwa kondisi yang berkaitan dengan
tingkat keberhasilan pencapaian swasembada daging sapi nasional, walaupun
telah ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sebagai bagian dari prioritas ke-5,
ketahanan pangan nasional, namun belum seluruh kementerian dan lembaga
yang terkait mencantumkan sebagai program/kegiatan dalam dokumen
perencanaan strategisnya. Koordinasi program lintas kementerian/lembaga dan
antara pusat dan daerah merupakan faktor yang penting dan kritikal.
2. Swasembada daging sapi nasional tidak terbatas dengan neraca supply –
demand, namun juga dipengaruhi oleh keandalan manajemen distribusi,
kebijakan tataniaga, maupun harga pasar terkait dengan kemampuan masyarakat
untuk memperolehnya. Pencapaian swasembada daging sapi nasional
memerlukan jaminan ketersediaan perbibitan dan pemulia-biakan sapi, penataan
dan pengembangan wilayah peternakan rakyat, serta produksi penyangga
ketersediaan bahan baku pakan.
3. Dengan menggunakan teknik analitycal network process (ANP) disimpulkan
bahwa keberhasilan swasembada daging sapi nasional memerlukan prasyarat
utama: (1) integrasi perencanaan pembangunan sektor pertanian dalam
swasembada daging sapi nasional; (2) penataan peran kelembagaan dan
koordinasi pelaksanaan program, dan (3) pengembangan kapasitas dan
peningkatan sarana prasarana yang harus menjadi fokus utama pemerintah.
Melalui teknik strategic assumption surfacing and technique (SAST), para
pakar menyimpulkan asumsi bahwa pencapaian swasembada daging sapi
nasional memerlukan kebijakan tataniaga yang kondusif, selain daripada itu
keseimbangan supply – demand, dan koordinasi tingkat kebijakan juga
merupakan hal yang penting dan besar pengaruhnya.
208
4. Penggunaan teknik interpretative structural modeling (ISM) untuk sembilan
elemen sistem, dapat disimpulkan pada tahap perencanaan program
swasembada daging sapi nasional, Kementerian PPN/Bappenas bersama-sama
Kementerian Keuangan dengan memiliki daya dorong yang paling tinggi,
sedangkan pelaku usaha dan masyarakat peternak adalah pemangku
kepentingan yang paling terpengaruh. Kondisi yang menjadi prasyarat
dicapainya perencanaan swasembada daging sapi secara teruntegratif, yaitu: (1)
tataniaga yang kondusif bagi penciptaan nilai tambah industri peternakan, (2)
kejelasan kebijakan program sektoral peternakan rakyat, dan (3) ketersediaan
anggaran bagi penyelenggaraan perbibitan, pemulia-biakan serta pengembangan
wilayah peternakan rakyat. Sedangkan pada tahap pelaksanaan, lembaga yang
paling besar peran dan pengaruhnya adalah Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian, bersama-sama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian
Perdagangan;
5. Kendala yang paling berpengaruh dalam menghambat pencapaian swasembada
daging sapi adalah: ketidakharmonisan peraturan perundangan sehingga
menghambat tercapainya swasembada daging sapi, dan ketidak konsistenan
antara perencanaan yang ditetapkan dan realisasi besaran anggaran yang
disediakan. Untuk mengatasi kendala tersebut, perubahan yang paling
dimungkinkan adalah meningkatkan koordinasi kebijakan antara: Kementerian
PPN/Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian agar meningkatkan efektivitas penggunaan sumberdaya nasional.
6. Untuk mencapai tujuan swasembada, aktivitas yang menjadi pendorong utama
adalah harmonisasi lintas kementerian dan lembaga dalam penerapan kebijakan
perdagangan ternak, daging dan produk turunannya. Ukuran keberhasilan yang
paling berpengaruh atas pencapaian tujuan adalah tidak adanya distorsi dalam
pelaksanaan tataniaga importasi dan distribusi sapi potong, daging, produk
samping, serta produk turunannya. Pencapaian tersebut akan berpengaruh pada
peningkatan efektivitas program insentif bagi masyarakat peternak, berupa
akses permodalan (seperti Kredit Usaha Perbibitan Sapi), penguatan organisasi
dan manajemen, serta penguasaan tekonologi tepat guna;
209
7. Untuk mencapai perencanaan dan pelaksanaan program swasembada daging
sapi secara integratif dikembangkan Model Kelembagaan yang dapat
memfasilitasi hubungan lintas pemangku kepentingan sebagai sebuah sistem
yang saling berinteraksi, interrelasi, dan interkoneksi antar kementerian
lembaga, antara pusat dan daerah, serta dengan pelaku usaha peternakan.
Model ini terbangun atas empat tingkatan, yaitu: koordinasi tingkat direktif,
koordinasi tingkat strategik-taktikal, koordinasi operasional, serta pelaksanaan
aktivitas pada praktek nyata.
8. Keandalan dan efektivitas proses pertukaran informasi dan kecepatan dalam
pengambilan keputusan yang bersifat lintas fungsi atau lintas unit kerja
merupakan faktor penting dan perlu diwujudkan dalam membentuk forum
kerjasama antar pihak baik intra-organisasi maupun inter-organisasi pada
tingkat pusat maupun daerah.
7.2 Saran
Dari penelitian disertasi ini dapat disarankan kepada beberapa pihak yang
terkait untuk segara mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
1. Untuk lebih mengoptimalkan pelaksanaan program prioritas nasional, sebelum
pelaksanaan Musrenbangnas dan Musrenbangpus dilakukan penyelarasan antara
perencanaan program lintas sektor, alokasi ketersediaan anggaran, dan pola
pengelolaan koordinasi pelaksanaan antara Kementerian PPN/Bappenas,
Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai koordinator
pelaksanaan program prioritas ketahanan pangan nasional, khususnya
swasembada daging sapi disarankan untuk lebih mengoptimalkan koordinasi
dan sinergi lintas sektor dari kementerian, lembaga, maupun pemerintah daerah,
serta pelaku usaha. Fasilitasi dapat dilakukan melalui Rapat Koordinasi yang
bersifat teknis-operasional yang secara periodik memantau perkembangan
maupun permasalahan import ternak, daging dan produk samping dan
kelancaran rantai pasok sapi lokal untuk dilakukan upaya penyelesaian secara
efektif.
210
3. Kementerian PPN/Bappenas disarankan untuk meningkatkan kualitas modal
relasional organisasi, dan penataan fungsi pada jajarannya sehingga dapat
melakukan fasilitasi terhadap kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah
yang menjadi mitra kerja sektoralnya, agar substansi yang terkait dengan
swasembada daging sapi termuat sebagai program/kegiatan dalam dokumen
rencana strategis masing-masing, serta dapat mengantisipasi terjadinya
kesenjangan dalam implementasi perencanaan maupun perubahan lingkungan
strategis;
4. Diharapkan kebijakan dan pelaksanaan program swasembada dilaksanakan
dengan memperhatikan keberpihakan pada peternakan skala kecil dan
menengah, khususnya kegiatan yang diusahakan oleh peternak perorangan
maupun koperasi produksi pada tingkat desa, terutama bagi penyelenggaraan
perbibitan, pemulia-biakan serta pengembangan wilayah peternakan rakyat yang
diselenggarakan melalui kemitraan strategis, serta difokuskan pada Koridor Bali
dan Nusatenggara sebagaimana ditetapkan dalam Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Tahun 2011 – 2025.
5. Berkaitan dengan pelaksanaan substansi penelitian dan pendekatan metodologi
dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Penelitian ini telah menghasilkan model kelembagaan integrasi
perencanaan pembangunan peternakan pada tingkat direktif-strategik,
untuk melengkapi penelitian ini sangat disarankan untuk dilakukan
penelitian lebih untuk pengembangan model kelembagaan pada tingkat
taktikal dan operasional, baik bagi tatakelola dalam lingkup intra-
organisasi maupun inter-organisasi;
b. Untuk dapat mengungkap kondisi (tantangan/permasalahan) yang
komplek, multi dimensi dan melibatkan berbagai disiplin kepakaran,
disarankan untuk menggunakan pendekatan soft system methodology
dengan memanfaatkan beberapa metode secara terintegrasi (misal: ANP,
SAST, dan ISM) dengan melakukan analisis dan sintesis, yang secara
konsisten berfokus pada prinsip system thinking (goal oriented, holistic,
effective).
211
DAFTAR PUSTAKA
Abudullah L. 2010. Penyusunan Naskah Kebijakan: Pokok-Pokok Pemikiran Strategi dan Kebijakan Dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging 2014, Suatu Penelahaan Konkrit
Action Canada. 2011. Fuelling Canada’s Economic Success: A National Strategy for High Growth Entrepreneurship
Albus JS. 1991. Outline for a Theory Intelligence. IEEE Transactions on Systems, Man, and Cybernetics, No.3. Vol. 21: halaman 473-509.
Alkhafaji AF. 1989. A Stakeholder Approach to Corporate Governance: Managing in a Dynamic Environment, Quorum Books, Connecticut.
Alappatt F. 2005. Mahatma Gandhi Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi , Terjemahan Welfare in The Gandhian Economics and in The Welfare State, Terj: S. Farida. 2005. Nusamedia-Nuansa. Bandung
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Anantan L. 2010. Manajemen Modal Intelektual: Strategi Memaksimalkan Nilai Modal Intelektual dalam Technology Driven Business.
Arifin B. 2007. Ekonomi Pertanian dalam era Revitalisasi Pertanian: Harmonisasi Mikro-Usaha Tani dengan Makro-Kebijakan, Mungkinkah Petani Sejahtera. In B. Arifin. Ekonomi Pertanian. Brigther Press. Bogor.
Ashby WR. 1956. An Introduction to Cybernetics, Methuen, London
Ascarya. 2005. Analytical Network Process (ANP), Pendekatan Baru Studi Kualitatif. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Jakarta.
Asep. 2004. Pengantar Sistem Dinamik, Tehnik Lingkungan ITB, Bandung. Tehnik Lingkungan ITB. Bandung.
Bappenas. 2005. Undang-Undang No.25/2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Bappenas. Jakarta.
Bappenas. 2004. Laporan Akhir Stakeholder Pool: Persepsi dan kebutuhan masyarakat terhadap proses penyusunan kebijakan dan perencanaan di Indonesia. Jakarta
Baginski OS, Soussan J. 2002. A Methodology for Policy Process Analysis Livelihood-Policy Relationships in South Asia. Working Paper 9. Department for International Development.
Beer S. 1984. The Viable System Model: Its Provenance, Development, Methodology and Pathology. Journal of the Operational Research Society, No.35, halaman. 7-26.
212
Beer S. 1984. Diagnosing the System for Organization. John Wiley & Sons, Chichester, UK.
Bontis N. 1998. Intellectual Capital: An Exploratory study that Develops Measures and Models Management Decision, No.2. Vol. 36: halaman. 63-76.
Bontis N. 1998. Cases: MGT 492S. University of Toronto. Dept. Of Management. Custom Publishing Service. University of Toronto Bookstores.
Bontis N. 2001. Assessing Knowledge Assets: A Review of the Models Used to Measure Intellectual Capital. International Journal of Technology Menegement. No.1. Vol. 3: halaman 41-60.
Burgelman, RA, Doz YL. 2001. “The Power of Strategic Integration”, MIT Sloan Management Review, No. 42. Vol. 3: halaman. 28 – 38
Boudreau JW, Ramstead PM. 2007. Beyond HR- The New Science of Human Capital.Boston, MA: Harvard Business School Publishing.
Bourgeois R, Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis-Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA.
Campbell S, Fainstein S. 1996. Readings in Planning Theory. Blackwell Publishers, Cambridge, MA.
Checkland PB. 1981. Systems Thinking, Systems Practice. Wiley, Chichester.
Choo CW, Bontis N. 2002. The Strategic Management of Intellectual Capital and Organizational Knowledge. New York, NY: Oxford University Press
Christensen CM. 2006. The Innovator's Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail. Harvard Business School. Boston. Massachusetts.
Darwanto H. 2010. Decoupling Rencana-Rencana Pusat dan Daerah?. Bappenas. Jakarta
Daryanto A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
Dewit B, Chambell A, Alexander M. 2004. Strategy: Process, Content, Context an International Perspective. 3rd edition. Thomson Learning. G.Canaly& C
Djunaedi A. 2000. Keragaman Pilihan Corak Perencanaan (Planning Styles) untuk mendukung Kebijakan Otonomi Daerah. Seminar dan Temu Alumni MKPD 2000. MKPD. Bali.
Drucker PF. 1985. The Practice of Innovation, Innovation and Entrepreneurship Practice and Principles, Harper & Row, New York.
Durlauf. 1998. The Washinton Quarterly, What Shouls Policymakers Know About Economic Complexity?, halaman 157-165
Dyer JH. and Singh, H. 1998. The relational view: cooperative strategy and sources of interorganizational competitive advantage, Academy of Management Review, No. 4. Vol. 23: halaman. 660-79
213
Edvinsoon L, Sullivan P. 1996. Developing Model For Managing Intellectual Capital. European Management Journal, No. 4. Vol. 14: halaman. 356-364.
Eriyatno. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pasca Sarjana. IPB Press. Bogor.
Fainstein, Susan S, Fainstein N. 1996. City Planning and Political Values: An Updated View. Dalam buku Scott Campbell dan Susan Fainstein (eds.). Readings in Planning Theory. Blackwell Publishers, Cambridge, MA.
Farquharson E. Yescombe ER. 2011. How to Engage with the Private Sector in Public-Private Partnerships in Emerging Markets. The International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank. Washington DC 20433
Ferdian. 2011. Benahi Sistem Logistik Nasional Secara Serius. Ekonomi dan Bisnis. InfoBankNews. http://www.infobanknews.com/2011/11/benahi-sistem-logistik-nasional-secara-serius/
Fisher M.L. 1997. What is the right supply chain for your product?, Harvard Business Review. No.2. Vol. 75: halaman. 105-16
Forrester J. 1961. Industrial Dynamic. MT Press. Cambrige.
Freeman R.E. 1984. Strategic Management: A stakeholder Approach. Boston, MA: Pitman.
Freeman R.E, Evan WM. 1990. Corporate Governance: A stakeholder Interpretation, Journal of Behaviour Economics, No. 19. Vol. 59: halaman 337.
Freeman R.E. (2004). A Stakeholder Theory of Modern Corporations, Ethical Theory and Business, 7th edn.
Gardner H. 1983. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence. New York, NY: Basic Books.
Goold M. 1994. Corporate Level Strategy – Creating Value in the Multibusiness Company. John Wiley & Sons.
Hanafie R. 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Andi. Jogjakarta.
Hanani N. 2009. Paradigma Ketahanan Pangan Indonesia.
Hanani N. 2009. Pengertian Ketahanan Pangan. In N. H. A.R., Sumbangan Pemikiran Arah Pembangunan Ketahanan Pangan. PERHEPI.
Hanson JD. 2008. Challenges for Maintaining Sustainable Agricultural Systems in the United States, Renewable Agricultural and Food Systems.
Hendricson J. 2008. Interactions in integrated US agricultural systrems: The past, present and future Renewable Agriculture and Food Systems: halaman 314-324
214
Indrawati SM. 2007. Penganggaran Berbasis Kinerja dalam Perspektif Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jurnal Administrasi dan Pembangunan. (Edisi Khusus). halaman 57-64
Isenberg DJ. 2010. How to Start an Entrepreneurial Revolution. Harvard Business Review. June. halaman. 41-50.
Jackson MC. 2003. Systems Thinking, Creative Holism for Managers. John Wiley and Sons.
Jung Y. 2009. An Approach to Organizational Intelligence Management (A Framework for Analyzing Organizational Intelligence Within the Construction Process)., Doctor of Philosophy Dissertation. Virginia Polytechnic Institute and State University.
Kaplan RS, Norton DP. 1996. Translating Strategy into Action – The Balanced Scorecard, Harvard Business School Press, Boston, MA.
Kartasasmita G. 1996. Kebijakan Perencanaan Pembangunan Memasuki Abad ke-21. Pidato Lustrum ke-6 Universitas Pancasila. Universitas Pancasila. Jakarta.
Kartasasmita G. 1995. Pembangunan Menuju Bangsa yang Maju dan Mandiri. Pidato Penerimaan Gelar Doktor HC Dalam Ilmu Administrasi Pembangunan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Kathleen ME. 2001. Balanced Measures for Stategic Planning. In A Public Sector Handbook. Management Concept. halaman. 184, 185.
Kementerian Pertanian. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta.
Ketut K. 2005. Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia Sebelum Dan Saat Krisis Ekonomi: Suatu Analisis Proyeksi Swasembada Daging Sapi 2005. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Kusnadi U. 2008. Inovasi Teknologi Peternakan Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak Untuk Menunjang Swasembada Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Lassa J. 2006. Politik Ketahanan Pangan Indonesia 1952-2005.
Lee, HL. 2000. Creating value through supply chain integration, Supply Chain Management Review, No. 4. Vol. 4: halaman 30-36
Lewis WA. 1951. The Principles of Economics Planning. Washington DC: Public Affairs Press.
Maani K, Sun D. 2010. A Systemic View of Innovation Adoption in the Australian Beef Industry. The University of Queensland. Melbourne.
215
Manton S. 2006. Integrated Intellectual Asset Management (A Guide to Exploiting and Protecting your Organization's Intellectual Assets). Burlington, VT: Gower Publishing Limited.
Marimin. 2007. Kata Pengantar. In Eriyatno, Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor.
Marimin. 2007. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor.
Marimin, Maghfiroh. 2010. Aplikasi Tehnik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press. Bogor.
MenkoPerekonomian. 2010. Indonesia Economic Development Corodors. East Java Bali Nusa Tenggara Economic Development Corridor Master Plan. Jakarta
MenkoPerekonomian. 2010. Indonesia Economic Development Corodors. Northern Java Economic Development Corridor Master Plan. Jakarta
MenkoPerekonomian. 2008. Cetak Biru Penataan dan Pengembangan Sektor Logistik Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Jakarta
Millett JD. 1946. Planning and Administration. In F. M. Marx, Element of Public Administration (p. 132). Prentice Hall Inc. New York.
Mitchel R.K, Wood JD, Agle BR. 1997. ”Towards a theory of stakeholders identification and salience: defining the principle of who and what really counts”, Academy of Management Review, No. 4. Vol. 22: halaman. 853-887.
Morgan G. 2006. Images of Organization. Updated edition. Sage Publication, Inc.
Mulatsih S. 2010. Pasar Sapi di Indonesia, Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Pencapaian Swasembada Daging 2014. Koordinasi Pelaksanaan Program Swasembada Daging 2014. Bappenas. Jakarta.
Muslim C, Nurasa T. 2003. Kebijakan Pengembangan Ternak Sapi Potong Di Wilayah Sentra Produksi Berbasis Tanaman Pangan Di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Litbang, Departemen Pertanian. Bogor.
Myrdal G. 1957. National Economic Planning in Under Developed Countries. May. London.
Nitisastro W. 1963. Analisa Ekonomi dan Perencanaan Pembangunan. PidatoPengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi Universitas Indoenesia. Jakarta.
Peraturan Presiden. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Perpres No.5/2010. BAPPENAS. Jakarta.
Peraturan Presiden. 2010. Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 – 2015. Perpres No.32/2010. Kemenko Bidang Perekonomian. Jakarta
216
Permana. 2009. Analisis Peranan dan Dampak Investasi Infrastruktur terhadap Perekonomian Indonesia, Journal of Management and Agribusiness. halaman 48-58
Porter ME. 1990. Competitive Advantages of Nations. The Free Press. New York.
Purnamadewi. 2010. Dampak Perubahan Produktivitas Sektoral Berbasis Investasi Terhadap Disparitas Ekonomi Antar Wilayah dan Kondisi Makroekonomi Di Indonesia, Journal of Management and Agribusiness. halaman 146-154.
Ristek. 2006. Indonesia 2005-2025, Buku Putih: Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta
Saaty TL. 2003. The Seven Pillars of the Analytic Hierarchy Process.
Saaty TL, Vargas LG. 2006. Decision Making with the Analytic Network Process. Political. Social and Technological Applications with Benefits, Costs, and Rosks. Springer Science Business Media.
Salim E. 1976. Perencanaan Pembangunan dan Perataan Pendapatan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Saputra H. 2009. Strategi Pengembangan Ternak Sapi Potong Berwawasan Agribisnis di Provinsi Aceh, Journal of Management and Agribusiness. halaman 152-162
Sargent RG. 1998. Verification and Validation Of Simulation Models, Proceedings of the 1998 Winter Simulation Conference
Saxena JP, Vrat P, Shusil. 1990. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretive Structural Modeling, System Practice. Vol 5 (6): halaman 651-670.
Sen A. 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Clarendon Press. Oxford.
Senge PM. 1990. The Fifth Discipline, Doubleday, New York, NY
Simatupang et al. 2002. The knowledge of Coordination for Supply Chain Integration. Business Process Management Journal, halaman 289-308.
Sivapalan V. 2011. Fostering the Creation of the Next Generation of Innovative Technology Enterprises in Malaysia.
Steinfeld. 2003. Economic Constraint on Production and Consumption of Animal Source Foods for Nutrition in Developing Countries. The Journal of Nutrition, Research Library, edition November.
Stevens CG. 2000. The WTO Agreement on Agriculture and Food Security. Commonwealth Secretariat.
217
Subagyo I. 2009. Potret Komoditas Daging Sapi. Economic Review No. 217 bulan September.
Sumarlin BJ. 1981. Pembangunan Negara-negara berkembang dalam Interdependensi Ekonomi Dunia. Universitas Indonesia. Jakarta.
Thomas A. 2002. The Wealth of Knowledge: Intellectual Capital and the Twenty-First Organization. London: Nicholas Brealey Publishing.
Thornton PK. 2010. Livestock Produstion: Recent Trends, Future Prospects. Retrieved November 2010, from The Royal Society Publishing: http://rstb.royalsocietypublishing.org
Tim Direktorat Kesmavet, Ditjennak. 2010. Strategi Penguatan Produksi Daging Sapi Dalam Negeri. Kementian Pertanian. Jakarta.
Tjokroamidjojo B. 1995. Perencanaan Pembangunan. Gunung Agung. Jakarta.
USAID. 2007. Agribusiness Market and Support Activity (AMARTA), A Value Chain Assessment of the Livestock Sector in Indonesia. USAID
Vietor RH. 2007. How Countries Compete: Strategy, Structure, and Government in the Global Economy. Harvard Business School Press.
Weick KE. 2001. Making Sense of the Organization. Malden, MA: Blackwell Publishing
William BS. 1952. The Planning Agency in the State Government. University of Arkansas Journal Seriees,Research Paper, No. 1043.
218
halaman ini sengaja dikosongkan
219
LAMPIRAN
220
halaman ini sengaja dikosongkan
221
Lampiran 1. Contoh Kuesioner ANP
222
223
Lampiran 2. Prosedur kerja pengolahan data menggunakan ANP dengan Piranti Lunak Super Decisions
1. Aktifkan piranti lunak Super Decisions dengan cara sebagai berikut.
Pilih (click) shortcut Super Decisions:
Atau Dari menu Start, All Programs, pilih Super Decesions seperti Gambar 1.
Gambar 1. Pengaktifan program Super Decisions
Kemudian akan ditampilkan menu Utama Super Decisions seperti Gambar 2.
Gambar 2. Menu utama program Super Decisions
224
2. Membuat file baru Untuk membuat file baru menggunakan menu File, New seperti Gambar 3.
Gambar 3. Pembuatan file baru Super Decisions
Apabila dalam pembuatan file baru dapat menggunakan tamplate yang telah tersedia oleh piranti lunak Super Decisions seperti terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tamplate Super Decisions
225
Apabila dalam pembuatan file baru perlu mendesain file sesuai dengan kerangka ANP yang telah dirancang, maka dapat digunakan menu design sebagai berikut (Gambar 5).
Gambar 5. Menu Design
Menu design ini fungsi utamanya adalah untuk medesign menu Cluster dan node baru, namun pada menu ini juga dapat juga membuat/menghapus sub-network, node conenctions sampai pembuatan rating. Untuk mendisain cluster baru lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Menu design cluster
Untuk mendisain kluster Supply secara lengkap dibuat pada Gambar 7, sedangkan untuk pembuatan cluster-cluster lainnya seperti Goal, Demand, Input Lingkungan, Langka Solusi, dan Strategi Kelembagaan.
226
Gambar 7. Kotak menu pembuatan cluster baru
Setelah semua cluster terbentuk, masing-masing cluster harus dibuatkan node. Pembuatan node baru dapat dijelaskan secara rinci pad Gambar 8. Misalkan akan membuat node pada cluster Input Lingkungan, maka pilih cluster tersebut, new, kemudian inputkan nama node sesuai dengan kerangka yang sudah dirancang, misal 1. Nilai tukar, tulis deskripsinya, jika sudah selesai, lanjutkan dengan pembuatan node yang lain dengan perintah click create another sampai selesai. Apabila sudah selesai kemudian simpan “save”.
Gambar 8. Proses pembuatan node masing-masing cluster
227
Apabila pembuatan node semua cluster sudah selesai, maka lanjutkan pembuatan hubungan antar cluster (network) berdasarkan node dengan tools bar Do connexion, kemudian masing-masing cluster perlu dihubungkan dengan masing-masing node sesuai dengan hubungan, kepentingan dan pengaruh yang diperlukan. Setelah tools bar tersebut dipilih, maka tandai node yang akan dihubungkan sebagai titik awal dengan cara men-click misalnya node 1. Nilai tukar pada cluster Input Lingkungan akan dihubungkan dengan node 7. Harga daging lokal di cluster Supply. Sehingga hubungan antar cluster berdasarkan node dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 9. Menu do connexion
Gambar 10. Hubungan antar cluster ANP dengan Super Decisions 2,0 salah satu nara sumber
228
Setelah semua cluster terhubung, maka dilakukan input data dengan pairwise comparison, yaitu node comparisons seperti Gambar 11, kemudian pilih node atau cluster yang akan diperbandingkan. Sedangkan proses perbandingan antar node dengan pairwise comparison secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12. Pengisian data untuk pairwise comparison berdasarkan matriks kuesioner yang telah diisi oleh para pakar/nara sumber.
Gambar 11. Menu untuk melakukan proses node comparison
Gambar 12. Proses pairwise comparisons dengan Super Decisions
Setelah semua data pada Matriks diinputkan, maka dapat diperoleh bobot prioritas masing-masing node lengkap dengan inconsistency indexnya sebagaimana diperlihat pada Gambar 13.
229
Gambar 13. Bobot prioritas hasil perbandingan antar node
Untuk perbandingan antar node pada cluster lainnya atau matrik yang lainnya berdasarkan kuesioner yang ada diproses juga dengan cara yang sama sampai semu data terinputkan dengan lengkap pendapat setiap responden pakar. Setelah semuanya terisi maka dapat diperoleh prioritas node secara keseluruhan dengan masing-masing bobot yang dihasilkan. Hasil secara keseluruhan dapat dilihat berdasarkan prioritas dan sintesis secara keseluruhan, demikian juga untuk responden pakar lainnya. Hasil akhir pengolahan data masing-masing responden pakar kemudian diproses lagi dengan mencari rata-rata geometrik (geometric mean) sehingga diperoleh hasil akhir yang merupakan cerminan dari semua responden pakar. Untuk menguji kualitas hasil ANP seluruh responden pakar maka dianalisis kembali dengan rater agreement analysis. Dengan demikian hasil ANP yang diperoleh teruji kualitasnya.
230
Gambar 14. Bobot prioritas hasil akhir pengolahan data dengan ANP
231
Lampiran 3. Contoh Kuesioner SAST
232
Lampiran 4. Contoh Kuesioner ISM
233
234
Lampiran 5. Hasil Pengolahan ISM dengan software ISM 1. ELEMEN STAKEHOLDERS/MASYARAKAT
Jumlah Sub-Elemen Masyarakat : 11
No Sub-Elemen Masyarakat Rangking Sektor (koordinat) 1 Kemen Ekonomi 2 4 (3,9) 2 Kementrian Keuangan 1 4 (2,11) 3 Kementrian PPN/Bapenas 1 4 (2,11) 4 Kementrian Pertanian 3 4 (4,8) 5 Kementrian Perdagangan 4 3 (10,7) 6 Kementrian Kehutanan 4 3 (10,7) 7 Kementrian dalam negri 4 3 (10,7) 8 Kementrian BUMN 4 3 (10,7) 9 Kementrian Riset & Teknologi 4 3 (10,7)
10 Pemerintah Prop/Kota/Kab 4 3 (10,7) 11 Pelaku Usaha 5 2 (11,1)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)
Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 11 V V 1 10 V V 1 9 V V 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V
235
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 3 A A 1 2 A A 2 11 V V 2 10 V V 2 9 V V 2 8 V V 2 7 V V 2 6 V V 2 5 V V 2 4 V V 2 3 X X 3 11 V V 3 10 V V 3 9 V V 3 8 V V 3 7 V V 3 6 V V 3 5 V V 3 4 V V 4 11 V V 4 10 V V 4 9 V V 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 V V 5 11 V V 5 10 X X 5 9 X X 5 8 X X 5 7 X X 5 6 X X 6 11 V V 6 10 X X 6 9 X X 6 8 X X 6 7 X X 7 11 V V 7 10 X X 7 9 X X 7 8 X X 8 11 V V 8 10 X X 8 9 X X 9 11 V V 9 10 V X 10 11 V V
Persentasi konsistensi : 99.17
236
1. KEBUTUHAN PROGRAM
Jumlah Sub-Elemen Kebutuhan : 9
No Sub-Elemen Kebutuhan Rangking Sektor (koordinat)
1 Kejelasan Kebijakan 1 4 (3,9) 2 Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab K/L/D yg terlibat 3 3 (6,5) 3 Tercantumnya substansi Program 3 3 (6,5) 4 Ketersediaan dana 1 4 (3,9) 5 Adanya instrumen Monitoring & evaluasi 4 2 (8,3)
6 Proses perencanaan pembangunan yg bersfat lintass sektoral 2 4 (4,6)
7 Kompetensi SDM 4 2 (8,3) 8 Jaringan kemitraan dgn pelaku usaha 5 2 (9,1) 9 Tata niaga yg kondusif bagi penciptaan nilai tambah 1 4 (3,9)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)
Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 9 X X 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 X X 1 3 V V 1 2 V V 2 9 A A 2 8 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 V V 2 4 A A 2 3 X X
237
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 3 9 A A 3 8 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 V V 3 4 A A 4 9 X X 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 V V 5 9 A A 5 8 V V 5 7 X X 5 6 A A 6 9 A A 6 8 V V 6 7 V V 7 9 A A 7 8 V V 8 9 A A
Persentasi Konsistensi : 100
238
3. KENDALA PROGRAM
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN KENDALA PROGRAM
Jumlah Sub-Elemen Kendala : 7
No Sub-Elemen Kendala Rangking Sektor (koordinat)
1 Ketidak Konsisten antara perencanaan yg di tetapkan dengan relealisasi 1 4 (2,7)
2 Tidak terakaomodir dalam Renstra 2 3 (4,5)
3 Pencapaian kemajuann (lintas sektor pembangunan) tdk terkait dgn penilaian kinerja kelembagaan
3 2 (6,3)
4 Tidak efektif koordinasi dan sinergi lintas sektoral 3 2 (6,3)
5 Keterbatasan (pola) Forum perencanaan pembangunan yg tdk memungkinkan terjadinya integrasi
2 3 (4,5)
6 Adanya peraturan perundangan yg “valuer destroyer” 1 4 (2,7)
7 Adanya ego-sektoral hingga K/L/D enggan untuk “terlibat” dalam upaya integrasi program swasembada dagin sapi
4 2 (7,1)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)
Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
239
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 X X 1 5 V V 1 4 V V 1 3 V V 1 2 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 X X 2 4 V V 2 3 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 X X 4 7 V V 4 6 A A 4 5 A A 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V
Persentasi Konsistensi : 100
240
4. PERUBAHAN INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)
UNTUK ELEMEN PERUBAHAN
Jumlah Sub-Elemen Perubahan : 7
No Sub-Elemen Perubahan Rangking Sektor (koordinat)
1 Meningkatkan koordinasi (directve) antara: Kementrian PPN/Bapenas, Keu, Kemko Perekonomian
1 4 (1,7)
2 Meningkatkan koordinasi (strategic) 4 2 (6,3)
3 Meningkatkan (revitalisasi) peran kemenko perekonomian dlm koordinasi & sinergi lintas sektor bg pelaksana
3 3 (4,5)
4 Koordinasi antara Kemen perdagangan dan Kemen pertanian dlm kebijakan (pengaturan) impor ternak, daging
4 2(6,3)
5 Penataan peraturan perundangan yg bersifat “Value destroyer” 3 3 (4,5)
6 Peningkatan efektivitas forum perencanaan pembangunan bagi pencapaian integritasi lintas sektor pembangunan, dan antar pelaku pembangunan
2 4 (2,6)
7
Ketepatan, keakuratan data dan informasi terkait populasi dan sebaran ternak sapi, serta kecendrungan (potensi) supply demand untuk daging dan produk turunannya
5 2 (7,1)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
241
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V 1 3 V V 1 2 V V 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 X X 2 3 V V 3 7 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 V V 4 7 V V 4 6 A A 4 5 A A 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V
Persentasi Konsistensi : 100
242
5. TUJUAN PROGRAM
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN TUJUAN PROGRAM
Jumlah Sub-Elemen Tujuan : 6
No Sub-Elemen Masyarakat Rangking Sektor (koordinat)
1 Pemenuhan seluruh atau sebagian besar kebutuhan konsumen daging sapi dpt dipasok dr sumber sapi dlm negri
3 2 (5,3)
2 Meningkatkan populasi sapi lokal (galur murni/asli) 2 4 (3,5)
3 Meningkat nya jumlah masyarakat ternak yg sejahtera yg disebabkan meningkat nya nilai tambah
4 2 (6,1)
4 Meningkatkan penciptaan nilai tambah (ekonomi nasional) yg di hasilkan dr sub sektor peternakan dr hulu sampai hilir
2 4 (3,5)
5
Meningkatnya efektivitas penggunaan sumberdaya nasional & peningkatan kinerja kelembagaan dlm pelaksanaan pencapaian sasaran swasembada daging sapi
1 4 (1,6)
6 Tumbuh nya industri pangan berbasis daging sapi, maupun industri pendukung kegiatan usaha peternakan
3 2 (5,3)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
243
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 6 X X 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 A A 2 6 V V 2 5 A A 2 4 X X 2 3 V V 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 6 V V 4 5 A A 5 6 V V
Persentasi Konsistensi : 100
244
6. TOLOK UKUR
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN TOLOK UKUR
Jumlah Sub-Elemen Tolak Ukur : 8
No Sub-Elemen Tolok Ukur Rangking Sektor (koordinat)
1 Keseimbangan jumlah populasi bibit, bakalan dan daging sapi siap potong dlm pemenuhan siklus supply-demand tingkat daerah maupun nasional
5 2 (8,1)
2 Peningkatan jumlah dan sebaran induk sapi galur asli Indonesia 3 3 (5,5)
3 Meningkatnya jumlah pelaku baru usaha peternakan rakyat maupun usaha pendukung peternakan
4 2 (7,3)
4 Meningkatnya luasan pemanfaatan (secara positif) area hutan, perkebunan & lahan bagi kegiatan peternakan
3 3 (5,5)
5 Terbangunnya kerjasama usaha peternakan 2 4 (3,7)
6 Meningkatnya PAD yg bersumber dr kegiatan usaha peternakan sapi 2 4 (3,7)
7 Terbentuknya koperasi peternak (rakyat) sapi potong pada tingkat desa/kecamatan/daerah 4 2 (7,3)
8 Tataniaga perdagangan daging, sapi dan produk pendukung peternakan yg kondusif 1 4 (1,8)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
245
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 8 X X 1 7 V V 1 6 V V 1 5 V V 1 4 V V 1 3 X X 1 2 V V 2 8 V V 2 7 A A 2 6 V V 2 5 V V 2 4 A A 2 3 V V 3 8 A A 3 7 X X 3 6 A A 3 5 V V 3 4 V V 4 8 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 8 V V 5 7 V V 5 6 V V 6 8 V V 6 7 A A 7 8 V V
Persentasi Konsistensi : 100
246
7. KENDALA AKTIVITAS INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM)
Jumlah Sub-Elemen Aktivitas : 7
No Sub-Elemen Tolok Ukur Rangking Sektor (koordinat)
1 Fasilitas Pemerintah bagi peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara kawin alami mau pun inseminasi buatan dan transfer embrio
4 2 (5,3)
2 Penetapan (kebijakan pemerintah) village breeding center di wilayah sumber bibit 3 3 (4,4)
3
Melaksanakan insentif bagi masyarakat (kelompok) peternak dlm hal akses permodalan, pungutan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna.
6 2 (7,1)
4 Membangun skema kerja sama “win-win” antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yg efektif
2 4 (3,6)
5 Kebijakan pemerintah dalam integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan, perkebunan atau kawasan lain 2 4 (3,6)
6 Harmonisasi lintas K/L dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak 1 4 (3,6)
7 Fasilitas pembentukan dan penguatan kelembagaan usaha peternakan berbasis masyarakat 2 2 (6,2)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain) Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS)
Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
247
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 A A 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 A A 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 V V 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V
Persentasi Konsistensi : 100
248
8. INDIKATOR AKTIVITAS
INTERPRETATIVE STRUCTURAL MODELLING (ISM) UNTUK ELEMEN LEMBAGA YANG TERLIBAT
Jumlah Sub-Elemen Lembaga : 7
No Sub-Elemen Lembaga Rangking Sektor (koordinat)
1 Terlaksananya peningkatan populasi (perbibitan) sapi baik secara ‘kawin alam’, maupun ‘inseminasi buatan’, dan ‘transfer embrio
3 3 (5,4)
2 Terbitnya kebijakan pemerintah tentang penetapan village breeding center di wilayah sumber bibit 3 3 (5,4)
3 Terlaksananya program insentif: akses permodalan, penguatan organisasi & manajemen, serta penguasaan teknologi tepat guna
5 2 (7,1)
4 Terciptanya kerjasama “win-win”, antar daerah maupun dengan pelaku usaha untuk terciptanya sinergi budidaya dan pemasaran yang efektif
2 4 (3,6)
5
Terbitnya kebijakan pemerintah integrasi tanaman-ternak dalam kawasan hutan/perkebunan/kawasan lain. Sebagai ladang gembala maupun sumber pakan
2 4 (3,6)
6 Tidak adanya distorsi dalam penerapan kebijakan perdagangan ternak, daging dan produk turunannya
1 4 (1,7)
7 Terbentuknya koperasi masyarakat peternak dan lembaga berbasis masyarakat lain yang mendukung usaha peternakan
4 2 (6,2)
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
249
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 7 V V 1 6 A A 1 5 A A 1 4 A A 1 3 V V 1 2 X X 2 7 V V 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 V V 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 7 V V 4 6 A A 4 5 X X 5 7 V V 5 6 A A 6 7 V V
Persentasi Konsistensi : 100
250
9. LEMBAGA YANG TERLIBAT
Jumlah Sub-Elemen Aktivitas : 16
Penjelasan Sektor (selanjutnya akan dipakai untuk elemen yang lain)
Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variable (AUTONOMOUS) Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver – strong dependent variable (DEPENDENT) Umumnya peubah disini adalah peubah tidak bebas
Sektor 3 : Strong driver – Strong dependent variable (LINKAGE) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variable (INDEPENDENT) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
No Sub-Elemen Penilaian Hasil Aktivitas Rangking Sektor (koordinat)
1 Kementrian koordinasi Perekonomian 1 4 (1,8) 2 Kementrian Keuangan 4 4 (2,7) 3 Kementrian PPN/Bapenas 4 3 (7,6) 4 Kementrian Pertanian 1 3 (7,6) 5 Kementrian perdagangan 1 3 (7,6) 6 Kementrian Kehutanan 2 3 (7,6) 7 Kementrian Perindustrian 3 3 (7,6) 8 Kementrian dalam negri 2 2 (8,1) 9 Kementrian riset dan teknologi 3 3 (7,6)
10 Kementrian BUMN 2 3 (7,6) 11 Pemerintah propinsi 2 3 (7,6) 12 Pemerintah Kabupaten/Kota 2 3 (7,6) 13 Perguruan tinggi 3 3 (7,6) 14 Lembaga penelitian dan pengembangan 5 3 (7,6) 15 Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha 5 3 (7,6) 16 Masyarakat peternak dan koperasi usaha peternakan 5 3 (7,6)
251
Structural Self Interaction Matriks (SSIM)
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 1 16 V V 1 15 V V 1 14 V V 1 13 V V 1 12 V V 1 11 V V 1 10 V V 1 9 V V 1 8 V V 1 7 V V 1 6 V V 1 5 X X 1 4 X X 1 3 V V 1 2 V V 2 16 V V 2 15 V V 2 14 V V 2 13 A A 2 12 A A 2 11 A A 2 10 A A 2 9 A A 2 8 A A 2 7 A A 2 6 A A 2 5 A A 2 4 A A 2 3 X X 3 16 V V 3 15 V V 3 14 V V 3 13 A A 3 12 A A 3 11 A A 3 10 A A 3 9 A A 3 8 A A 3 7 A A 3 6 A A 3 5 A A 3 4 A A 4 16 V V 4 15 V V 4 14 V V
252
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 4 13 V V 4 12 V V 4 11 V V 4 10 V V 4 9 V V 4 8 V V 4 7 V V 4 6 V V 4 5 X X 5 16 V V 5 15 V V 5 14 V V 5 13 V V 5 12 V V 5 11 V V 5 10 V V 5 9 V V 5 8 V V 5 7 V V 5 6 V V 6 16 V V 6 15 V V 6 14 V V 6 13 V V 6 12 X X 6 11 X X 6 10 X X 6 9 V V 6 8 X X 6 7 V V 7 16 V V 7 15 V V 7 14 V V 7 13 X X 7 12 A A 7 11 A A 7 10 A A 7 9 X X 7 8 A A 8 16 V V 8 15 V V 8 14 V V 8 13 V V 8 12 X X 8 11 X X 8 10 X X
253
Sub-elemen Vs Sub-elemen SSIM Awal SSIM Final 8 9 V V 9 16 V V 9 15 V V 9 14 V V 9 13 X X 9 12 A A 9 11 A A 9 10 A A
10 16 V V 10 15 V V 10 14 V V 10 13 V V 10 12 X X 10 11 X X 11 16 V V 11 15 V V 11 14 V V 11 13 V V 11 12 X X 12 16 V V 12 15 V V 12 14 V V 12 13 V V 13 16 V V 13 15 V V 13 14 V V 14 16 X X 14 15 X X 15 16 X X
Persentasi Konsistensi : 100
254
Lampiran 6. Hasil-Hasil ISM, SSIM Final yang telah memenuhi aturan transivitas 1. Sektor yang terpengaruh
2. Kebutuhan Program
255
3. Kendala Program
4. Elemen Perubahan
256
5. Tujuan Program
6. Tolok Ukur
7. Kendala Aktivitas
257
8. Ukuran penilaian hasil pelaksanaan aktivitas
9. Lembaga yang terlibat
258
Lampiran 7. Gambaran Umum Responden Stakeholder Poll : Persepsi dan Kebutuhan Masyarakat terhadap Proses Penyusunan Kebijakan dan Perencanaan di Indonesia
1. Jumlah Responden Yang Mengisi Kuesioner
Penelitian ini dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang diisi oleh 91 responden dari jumlah sebanyak 400 kuesioner yang disebarkan melalui email, fax dan pengiriman lewat pos. Dari 91 kuesioner yang diterima cukup menunjukan keterwakilan dari responden yang diharapkan.
2. Asal Lembaga/Institusi
Berdasarkan asal lembaga atau institusi, sebagian besar responden berasal dari lembaga pemerintahan dan masyarakat madani dimana masing-masing berjumlah 41.8 persen. Responden yang berasal dari lembaga Pemerintah Daerah sebanyak 23 responden atau 25.3 persen, sedangkan Pemerintah Pusat sebanyak 15 orang atau 16.5 persen. Kemudian dari masyarakat madani terdiri dari LSM sekitar 19.8 persen dan perguruan tinggi 14.3 persen. Sedangkan yang dimaksud dengan responden lain-lain adalah mereka yang berasal dari media massa (pers) dan konsultan individu. Adapun perincian jumlah responden menurut asal lembaga/institusi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Asal Lembaga/Instansi
No Asal Lembaga/Intansi Jumlah
Responden Persen
1 Masyarakat Madani 38 41.8 LSM 18 19.8 Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian 13 14.3 Dunia Usaha 2 2.2 Lain-Lain 5 5.5
2 Wakil Rakyat Terpilih 5 5.5 DPRD 5 5.5
3 Masyarakat Profesional Sektor Publik 3 3.3 Asosiasi Pemerintahan 3 3.3
4 Masyarakat Internasional 7 7.7 Lembaga Internasional 7 7.7
5 Pegawai Pemerintah 38 41.8 Pemerintah Pusat 15 16.5 Pemerintah Daerah 23 25.3 Total 91 100
259
Gambar 1 – Jumlah Responden Berdasarkan Asal Lembaga/Institusi
3
2
5
5
7
18
15
13
23
0 5 10 15 20 25
Asosiasi Pemerintahan
Dunia Usaha
DPRD
Lain-Lain
Lembaga Internasional
LSM
Pemerintah Pusat
Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian
Pemerintah Daerah
3. Pendidikan Terakhir
Sebagian besar responden (atau 59.3 persen) berpendidikan pasca-sarjana dengan rincian pendidikan S2 sebanyak 47 responden atau 51.6 persen dan berpendidikan doktoral (S3) sebanyak 7 responden atau 7.7 persen. Sedangkan responden berpendidikan sarjana (S1) sebanyak 36 responden atau 39.6 persen. Secara lengkap pendidikan terakhir responden sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.
Gambar 2 - Persentase Pendidikan Terakhir Responden
1.1
39.6
51.6
7.7
0
10
20
30
40
50
60
SarjanaMuda/Diploma
S-1 S-2 S-3
260
4. Kota Domisili Berdasarkan kota domisili, sebagian besar responden yaitu sebanyak 51 orang atau 85.3 persen berasal dari pulau Jawa, dengan rincian responden yang berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sebanyak 56 persen dan sisanya dari kota-kota lain seperti: Semarang, Jogyakarta, dll. Responden yang berasal dari luar Pulau Jawa sebanyak 11 responden atau 14 persen yaitu berasal dari kota-kota seperti kota Bandarlampung, Denpasar, dan Kendari.
Gambar 3 – Kota Domisili Responden
Luar Pulau Jawa14%
Jabodetabek61%
Luar Jabodetabek - Pulau Jawa
25%
5. Posisi/Jabatan Responden Sebanyak 32 persen responden yang berasal dari pegawai pemerintahan adalah mereka yang tidak memiliki jabatan (non eselon). Sedangkan untuk responden yang memiliki posisi eselon II, III dan IV memiliki persentase yang sama sebanyak 21 persen. Bahkan terdapat 5 persen responden berasal dari eselon I yakni Staf Ahli Menteri dan Deputi di departemen teknis.
Gambar 4 – Posisi/Jabatan Responden Pemerintah
5
21
21
21
32
0 10 20 30 40
Eselon I
Eselon II
Eselon III
Eselon IV
Non Eselon
261
Untuk posisi/jabatan responden non pemerintah sebanyak 43.3 persen adalah mereka yang berada pada posisi Staf. Selanjutnya 30.2 persen pada middle level seperti project manager, kepala divisi, dan hanya 22.6 persen adalah top level seperti direktur dan kepala lembaga.
Gambar 5 – Posisi/Jabatan Responden Non Pemerintah
22.6
30.2
43.4
0 10 20 30 40 50
Top Level
Middle Level
Staf Level
262
Lampiran 8. Data Responden Pakar untuk Penetapan Prioritas Menggunakan ANP No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/Lembaga Tanggal
Pengisian Telepon/HP
Email (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Taufik K. Kusumo Kabid Peternakan Menko Perekonomian 19/8/2011
2 Wahyuningsih Darajati Direktur Pertanian, Peternakan dan LH S2 Bappenas
3 Hariyadi Halid Staf Ahli Ketahanan Pangan S3 Perum Bulog 15/8/2011 081347482826
4 Ir. Tjahya Widayanti, Msc
Kapusdit Kebijakan Dagang DN S2 Kementerian Perdagangan 15/8/2011 08159545055
5 Mohammad Ismet Ekonomi Pertanian S3 Perum Bulog 11/8/2011 0811103714 [email protected]
6 Teguh Sambodo Pertanian/Ekonomi (Kasubdit) S3 Bappenas 8/8/2011
7 Oktorika Ekonomi Daerah S2 Bappenas 8/8/2011 0818992979 [email protected]
8 Nono Rusono Ekonomi Pertanian S2 Bappenas 12/8/2011 08128020321 [email protected]
9 Herry Suhermanto Perencanaan/Ekonomi S3 Bappenas 4/8/2011 081514086062 [email protected]
10 Erwansyah Retail S2 Dit. Bapokstra, Kemendag 17/8/2011 02192275419
11 Dr. Ir. Anwar Sunari, MP Ekonomi sumber daya S3 Bappenas 16/8/2011 08128050662
12 Tirta Karma Senjaya Distribusi S2 Dit. Bapokstra, Kemendag 15/8/2011 0817207045
13 Abubakar Peternakan S2 Ditperbibitan itjen PKH --/8/2011 0815 3202 0000 [email protected]
14 Mursyid Ma'sum Penyuluhan S3 Ditjen Peternakan dan --/8/2011 0815 1998 4288
263
No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/Lembaga Tanggal Pengisian
Telepon/HP Email
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Pembangunan/pakan Keswan [email protected]
15 Firti Nursanti Poerrnomo Government Relations S2 JAPFA Comfeed Indonesia --/8/2011 0811 950 604
16 Dodi S Riyadi Pengembangan wilayah S2 Kemenko Perekonomian --/8/2011 0816 1812 999 [email protected]
17 Dayan Antoni P. Adiningrat
Produksi dan pemasaran sapi potong S1 PT Santosa Agrindo --/8/2011 0816 800 437
18 Hermanto Nutrisi/ Dosen-Praktisi S2 FAFET UB --/8/2011 0812 3307 775 [email protected]
19 Listyani Wijayanti Flowering Physiologist S3 Badan Pengkajian & Penerapan Teknologi --/8/2011 081381171704
20 Dr.Rosyid Hariyadi Manajemen SDA S3 BPPT 24/10/2011 087882809599/ [email protected]
21 DR.Drh.Herdis MSi Fisiologi dan Reproduksi Ternak S3 BPPT 23/11/2011 08568561391
22 Prof. Dr. Ir. Yudhi Soetrisno Garno Pengelolaan Sumberdaya S3 BPPT 18/10/2011 08161358404 /
23 Zaini Rahman, MS Anggota Komisi XI, bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional.
S2 Anggota DPR RI --/8/2011
24 Prof.Dr.Kusuma Diwyanto Peneliti Utama Peternakan S3 Puslitbang Peternakan --/8/2011
25 Dr. Ir. Mesdin Simamarta Direktur Industri S3 Kementerian
PPN/Bappenas 16/8/2011
264
Lampiran 9. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan dan Strategi dalam Percepatan Swasembada Daging 2014”, diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas
265
266
267
268
Lampiran 10. Data Responden Pakar dalam SAST Swasembada Daging Sapi
No Nama Bidang Keahlian/ Profesi Pend. Institusi/Lembaga Tanggal
Pengisian Telepon/HP Email (1) (2) (3) (4) (5) (5) (7) (8)
1 Dr. Endang Purbowati Produksi Ternak Potong S3 Fakultas Peternakan UNDIP
Semarang 6/10/2011 08122908694 [email protected]
2 Rohayati Sarjana Peternakan S2 Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur
6/10/2011 081330367770 [email protected]
3 Dr. Andi Widodo Wijanarko, MS Reproduksi S3 Ketua UMRSDSK Ditjen Nak
dan Keswan 6/10/2011 081314231099 [email protected]
4 Asri Wahjuni Dokter Hewan S1 Pusat Veterinaria Farma 6/10/2011 031-8291125 081330293279 [email protected]
5 Nurul Qomariyah Dokter Hewan S1 Pusat Veterinaria Farma Ditjen Nak dan Keswan
6/10/2011 031-8287476 08179326696
6 Ir. Riszqina, MP Peternakan/Dosen S2 Universitas Madura - Pamekasan
6/10/2011 081330765144 [email protected]
7 Dr. Listyani Wijayanti Agrinbisis dan Bioteknologi S3 Deputi TAB BPPT 6/10/2011 081381171704 [email protected]
8 Dr. Masrizal S3 Kemenristek Staf Ahli 6/10/2011 021-3169223 08129322385 [email protected]
9 Dr. Ir. H. Syamsul Hidayat Dilaga, MS Nutrisi ruminansia S3 Fapet UNRAM/Dinas
Peternakan & KH Prov. NTB 6/10/2011 0818545428 [email protected]
10 Sri Hadiati Pertanian S2 Kementerian Perindustrian 6/10/2011 081318722763
11 Fauzi Luthan PNS Direktorat Jendral PKH 6/10/2011 08568665949 [email protected]
12 Prof. Dr. Ir. Muladno Pemuliaan dan Genetika Ternak S3 Fakultas Peternakan IPB 6/10/2011 0251-8628251/
08121089118 [email protected]
13 Dr. Heri Suhermanto Planologi Lingkungan S3 Direktur UMKM Bappenas 9/10/2011
269
Lampiran 11. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Kebijakan Pengembangan Peternakan Berbasis Ternak Lokal Mendukung Pencapaian Swasembada Daging 2014” oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
270
271
272
Lampiran 12. Undangan dan Daftar Peserta dalam Seminar “Rancang Bangun Model Kebijakan Integrasi Perencanaan Pembangunan Swasembada Daging Sapi” oleh Kementerian Riset dan Teknologi.
273
274
Lampiran 13. Data Responden Pakar dalam ISM
No Nama Bidang/Keahlian Pendidikan Institusi/ Lembaga
Tanggal Pengisian
Telepon/HP Email
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Dr.Rosyid Hariyadi Manajemen SDA S3 BPPT 24/10/2011 087882809599/ [email protected]
2 Dr. Luki Abdullah Tanaman Pakan S3 Fapet IPB 1/11/2011 08121107022/ [email protected]
3 Bayu Ruikana Peternakan S2 Dit. Perbibitan, Ditjen Peternakan 24/10/11 081316420380,
4 DR.Drh.Herdis MSi Fisiologi dan Reproduksi Ternak S3 BPPT 23/11/2011 08568561391
5 Kusno Wibowo Management Lingkungan Perekayasa Madya S1 BPPT 18/10/2011 08161926639/
6 Ir. Subiyanto MM Perbibitan S2 Dir. Pembibitan ternak Dirjenak & Keswan 27/10/2011 081219243232
7 Prof. Dr. Ir. Yudhi Soetrisno Garno Pengelolaan Sumberdaya S3 18/10/2011 08161358404 /
[email protected] 8 Dr. Ir. Heri Suhermanto Planologi Lingkungan S3 Dir. UMKM/ Bappenas 20/10/2011 081514086062
9 Dr. Ir. Sunari Peternakan S3 Kasubdit Peternakan/ Bappenas 20/10/2011
10 Dr. Listyani Wijayanti Agrinbisis dan Bioteknologi S3 Deputi TAB BPPT 6/10/2011 081381171704 [email protected]
11 Dr. Ir. Mesdin Simamarta, MSc Perencanaan Pembangunan S3 Direktur Industri, IPTEK
dan BUMN Bappenas 4/10/2011 081310691224
12 Ir. Slamet Sudarsono, MPP Administrasi Umum dan Kinerja Kelembagaan S2 Inspektur Utama
Bappenas 4/10/2011 081319171100
275
Lampiran 14. Data Responden Indepth Interview Swasembada Daging Sapi
No Responden Keahlian (1) (2) (3)
1. Prof. Dr. Kusuma Diwyanto
Peneliti Utama, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
2. Prof.Dr.Ir. Kusmartono Dekan Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
3. Drs. Chandra Manan Mangan
Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS)
4. Ir. Abubakar Direktur Perbibitan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
5. Dr.Ir. Mursyid Ma’sum Direktur Pangan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan
6. Dr. Ir. Sunari, MP Kasubdit Peternakan, Direktorat Pertanian Kementerian PPN/Bappenas
7. Zaini Rahman, MS
- Anggota Komisi XI : bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank
- Sebelumnya adalah anggota Komisi IV : membidangi pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, dan pangan.
8. Taufik K. Kusumo Kepala Bidang Produksi dan Distribusi Peternakan
9. Tirta Karmasanjaya Kepala Seksi Distribusi Bahan Pokok Strategis
10. Drs. Goenawan Wybiesana
Asdep Produktivitas Riset IPTEK Strategis, Deputi Bidang Relevansi dan Produktivias IPTEK
276
Lampiran 15. Tatakelola Penelitian dan Langkah Penyelarasan Penggunaan 3 Metode dalam Penelitian 1. Pendekatan yang digunakan dalam tatakelola penelitian ini menggunakan
system thinking dengan pendekatan soft system methodology;
2. Tahapan penelitian mengikuti 7 siklus dalam proses riset dengan pendekatan soft system methodology (Checkland, 1981 dan Jackson, 2003);
3. Pelaksanaan penelitian menggunakan 3 metode yang secara integratif difokuskan untuk melakukan analisis situasi lingkungan strategis bagi pencapaian Program Swasembada Daging Sapi (PSDS).
4. Perancangan substansi kuesioner untuk setiap metode melalui proses diskusi
(awal) dengan pakar secara terbatas, melakukan studi literatur dan menggunakan beberapa model sebagai kerangka berpikir, sebagai berikut :
a. Perancangan kuesioner ANP, menggunakan kerangka berpikir diagram input-output, dan structure, conduct, performance (SCP);
b. Perancangan kuesioner SAST, menggunakan kerangka berpikir model Porter’s Diamond;
c. Perancangan kuesioner ISM, menggunakan 9 elemen Saxena, dan CATWOE untuk pemetaan stakeholder;
5. Hasil analisis lingkungan dari 3 metode tersebut menjadi bahan sintesis dengan menggunakan kerangka berpikir hirarkhi dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: direktif, strategik, taktikal, dan operasional. Dalam hal ini kebijakan swasembada daging sapi mengacu pada RPJMN 2010-2014 dan Blue Print PSDS diposisikan pada level direktif, sehingga analisis dan sintesis lebih difokuskan untuk level strategik, taktikal, dan operasional;
277
4. Tatakelola penelitian dan angkah penyelarasan penggunaan metode penelitian
Tahapan Penggunaan Metode ANP Penggunaan Metode SAST Penggunaan Metode ISM (1) (2) (3) (4)
Pendekatan yang digunakan dalam tatakelola penelitian
a. Pelaksanaan penelitian ini menggunakan system thinking dengan pendekatan soft system methodology; b. Tahapan penelitian mengikuti 7 siklus dalam proses riset dengan pendekatan soft system methodology (Checkland, 1981 dan
Jackson, 2003);
Langkah integrasi penggunaan 3 metode
Langkah integrasi proses dalam penggunaan metode analisis dan sitesis dilakukan dengan langkah sebagai berikut: a. Faktor dominan hasil pengolahan metode ANP menjadi dasar perancangan kuesioner SAST, dengan memetakan
hubungan faktor dominan dengan 5 faktor dalam model Porter’s Diamond; b. Faktor dominan hasil pengolahan metode ANP dan asumsi strategis hasil SAST, menjadi dasar dalam pemetaan
hubungan antar sub elemen bagi 9 elemen dalam ISM (Saxena, 1990) dan CATWOE untuk pemetaan stakeholder; c. Proses sintesis dilakukan dengan kerangka hirarkhi manajemen pengambilan keputusan (direktif, strategik, taktikal, dan
operasional), merumuskan inisiatif strategis dan implikasi kelembagaan pada masing-masing level hirarkhi; d. Pengembangan model dilakukan berdasarkan rekomendasi inisiatif strategis dan implikasi kelembagaan pada masing-
masing level hirarkhi; Proses interaksi dengan pakar dalam perancangan kuesioner dan klarifikasi hasil pengolahan
a. Penyusunan faktor-faktor yang berperan dalam PSDS;
b. Focus Group Discussion di Bappenas (Selasa, 13 Desember 2010);
c. Klarifikasi faktor dominan hasil ANP;
a. Focus Group Discussion diselenggarakan Kementerian Koord. Bidang Perekonomian (Kamis, 6 Oktober 2011);
b. Klarifikasi asumsi strategis hasil SAST;
a. Focus Group Discussion diselenggarakan Kementerian Ristek (Rabu, 19 Oktober 2011);
b. Klarifikasi hubungan kontekstual antar sub elemen hasil ISM;
Pengalaman yang dapat menjadi pembelajaran
a. Ada responden yang mengembalikan kuesioner, karena tidak sesuai dengan kepakarannya;
b. Proses pengisian kuesioner lebih efektif bila dilakukan dengan pendampingan;
a. Kebanyakan kepakaran yang dimiliki adalah teknis peternakan;
b. Dibutuhkan responden dengan kepakaran pada level direktif strategik, berwawasan holistik dalam multi disiplin;
a. Adanya “egosektoral” menyebabkan peta stakeholder terkumpul pada driver power;
b. Memerlukan klarifikasi indepth interview dan proses pengisian ulang;
278
Tahapan Penggunaan Metode ANP Penggunaan Metode SAST Penggunaan Metode ISM (1) (2) (3) (4)
Proses validasi ( face validation)
Dilakukan (dalam 2 kali forum) dengan mempresentasikan hasil dan mendikusikan dengan pakar ekonomi, pakar perencanaan pembangunan nasional, dan pakar peternakan
Proses analisis dan hasil yang diharapkan
a. Analisis terhadap hubungan antar faktor baik dalam klaster yang sama maupun antar klaster;
b. Mencari dan menemukenali urutan dari 33 faktor yang ada, dan menetapkan faktor dominan (urutan teratas) yang memerlukan perhatian khusus;
c. Hasil: faktor dominan yang paling berpengaruh.
a. Analisis asumsi strategis berdasarkan tingkat kepastian dan tingkat kepentingan;
b. Mencari dan menemukenali asumsi strategis dengan tingkat kepastian dan tingkat kepentingan yang paling tinggi (kuadran kartesian kanan atas), sebagai kuadran rencana yang pasti.
c. Hasil: faktor dominan yang menjadi asumsi strategis.
a. Analisis hubungan kontekstual antar sub elemen dari 9 elemen utama (Saxena) untuk mendapatkan posisi sub elemen dalam nilai driver power (DP) dan nilai dependence (D);
b. Merumuskan hubungan kontekstual antar sub elemen pada setiap elemen pada level hirarkhi berdasarkan jenis hubungan, peran dan fungsi setiap sub elemen;
c. Hasil: faktor dominan yang menjadi performance driver (DP).
Sintesis dan perancangan model kelembagaan
a. Menyusun dan mempersandingkan hasil analisis dari masing-masing metode (ANP, SAST, dan ISM) dalam matriks; b. Memposisikan masing-masing faktor dominan dalam kerangka berpikir hirarkhi dalam proses pengambilan keputusan
(tingkat: direktif, strategik, taktikal, dan operasional); c. Mengidentifikasi dan merumuskan implikasi manajerial untuk masing-masing tingkatan, berupa inisiatif strategis dan
kerangka kerja; d. Melakukan rancang bangun model kelembagaan sebagai kerangka kerja masing-masing tingkatan.
Hasil penelitian
Penelitian ini telah menghasilkan model kelembagaan integrasi perencanaan pembangunan peternakan pada tingkat direktif-strategik serta dilengkapi beberapa model dasar pada tingkat taktikal dan operasional, antara lain: (1) integrasi optimum dari 3 fokus pembangunan nasional, (2) pengorganisasian intra-organisasian pada Kementerian PPN/Bappenas, (3) Hubungan inter-organisasi dalam swasembada daging sapi, (4) Intelektualitas organisasi kementerian/lembaga dalam program swasembada daging sapi, serta (5) pola pikir kemitraan strategis dalam swasembada daging sapi.