Dermatitis Atopik

download Dermatitis Atopik

of 38

Transcript of Dermatitis Atopik

DERMATITIS ATOPIK (EKSEMA ATOPIK) Dermatitis atopik adalah suatu penyakit kulit kronik kambuh-kambuhan yang biasa terjadi selama bayi dan anak-anak. Penyakit ini sering kali berhubungan dengan kelainan di fungsi barier kulit dan sensitisasi alergi. Tidak ada suatu ciriciri yang berbeda pada dermatitis atopik atau tes diagnostik lab. Dengan demikian, diagnosis berdasarkan pada konstelasi temuan klinis yang dijelaskan oleh Hanifin and Rajka1 dan tercantum pada Tabel 14-1.

Epidemiologi Sejak 1960, telah terjadi lebih besar dari kenaikan tiga kali lipat pada prevalensi dermatitis atopik,,2 sesungguhnya, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak 10-20 % di Amerika, Eropa Selatan dan Barat, perkotaan Afrika, Jepang, Australia dan negara-negara industri3. Prevalensi terjadinya dermatitis atopik pada orang dewasa kira-kira 1-3%. Menariknya, prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di negara-negara pertanian seperti China, Eropa Timur, pedesaan Afrika, dan Asia Tengah. Wanita juga memiliki jumlah yang lebih besar pada dermatitis atopik, dengan perbandingan wanita/pria yaitu 1,3:1,0. Dasar untuk peningkatan prevalensi pada dermatitis atopik belum diketahui dengan pasti. Bagaimanapun, variasi luas pada prevalensi telah dilakukan observasi di negara dengan etnik yang sama, memperlihatkan bahwa faktor lingkungan penting dalam menentukan ekspresi penyakit.4 Beberapa faktor risiko potensial yang telah mendapat perhatian yaitu berhubungan dengan munculnya penyakit atopik termasuk jumlah keluarga kecil, peningkatan pendapatan dan pendidikan baik dalam putih dan hitam, migrasi dari lingkungan desa ke kota serta peningkatan penggunaan antibiotik yang disebut sebagai gaya hidup barat.5,6 Hasil pada hipotesis higienis menyatakan bahwa penyakit alergi dapat dicegah dengan infeksi pada awal masa anak-anak karena kontak dengan saudara kandung yang lebih tua yang tidak higienis.7

Eti l

i an at

n sis

Dermatiti at

i merupakan penyakit kulit inflamasi pruri us yang berasal dari t

interaksi kompleks antara gen kerentanan genetik yang mengakibatkan pada sebuah kerusakan barier kulit kerusakan sistem imun bawaan, tingginya respon8 imunologi terhadap alergen dan antigen mikrobia.

Prevalensi paling tinggi pada anak -anak yang tinggal di daerah perindustrian Tanda-tanda kronis berupa kriteria mayor yang berupa: y Pruritus y Dermatitis eksematous (akut, subakut, atau kronik) dengan morfologi tipikal dan pola usia yang spesifik y Peningkatan pada wajah dan ekstensor pada anak-anak y Eksema fleksura/likenifikasi pada anak -anak dan dewasa Umumnya dihubungan dengan: y Riwayat atopi personal atau keluarga y Xerosis/disfungsi skin barrier y Reaktivitas Imunoglobulin E Dasar genetik dipengaruhi oleh faktor lingkungan dengan respon sel T, antigen, sitokin inflamasi senstivitas alergen dan infeksi

Tabel 14-1Gambaran dari Dermatitis Atopik Gambaran may r y Pr r s y Ras pada muka dan eks ens r pada infant dan anak anak y Likenifikasi pada area fleksura pada beberapa anak y Mengarah pada kr nisitas y Pers nal atau riwayat keluarga atopi Penemuan tanda-tanda lainnya y Kekeringan y Dennie-Morgan folds y Ptyriasis alba y Keratosis pilaris y Ichtyosis vulgaris y Hiperlinearity dari telapak tangan y Konjugtivitis y Keratokonus y Katarak anterior subkapsular y Peningkatan serum IgE y Reaktivitas skin test

Pe uru

fu g i d ri b rier kuli

Dermatitis atopik berhubungan dengan penurunan fungsi dari skin barrier karena adanya penurunan regulasi gen dalam proses kornifikasi (flaggrin dan locic in), menurunkan tingkat seramid, meningkatkan proteolitik enzim endogen dan mengatur penguapan air pada transepidermal.9,10 Penggunaan sabun dan deterjen pada kulit meningkatkan pH dari kulit itu sendiri, dengan meningkatnya aktivitas dari protease endogen, dan akhirnya dapat merusak fungsi barrier dari epidermis. Barrier epidermis dapat rusak karena paparan protease exogen dari debu rumah tangga dan Staphylococcus aureus. Ini dapat menjadi lebih buruk dengan terbatasnya inhibitor protease endogen pada kulit yang atopi. Perubahan epidermis behubungan dengan peningkatan absorbsi alergen pada kulit dan kolonisasi

mikroba. Karena epikutaneus, sensitisasi pada alergen pada tingkat yang lebih tinggi menghasilkan respon alergi, menurunkan fungsi skin barier dapat terjadi karena senstisasi alergen dan selanjutnya menjadi predisposisi pada anak-anak untuk menderita alergi pernafasan pada usia selanjutnya.11

Imu op ologi p d Derm i i A opik Secara klinis pasien dermatitis atopik bermanifestasi hiperplasia epidermal ringan dan tampak adanya infiltrat sel T.8 Eksematus akut pada lesi kulit secara khas tampak adanya edema interseluler dari epidermis. Dendritic presentic antigen cell (seperti sel Langerhans, dan makrofag) pada kulit yang tidak berlesi dermatitis atopi menghasilkan molekul IgE. Infiltrat epidermis terdiri dari sel limfosit T seringkali ditemukan. Pada dermis pada lesi yang akut, terdapat influks dari sel T dengan disertai monosit-makrofag. Infiltrat limfosit terdiri dari aktivasi memori sel T melalui CD3, CD4, dan CD45RO. Eosinofil jarang nampak pada Dermatitis atopik yang akut. Sel mast ditemukan normal pada degranulasi yang berbedabeda. Lesi likenifikasi kronis ditemukan secara khas dengan hiperplasia epidemis dengan elongasi dari rete ridges, hiperkeratosis yang mencolok, dan spongiosis minimal. Terdapat peningkatan dari IgE pada epidermis dan dominasi makrofag pada infiltrat mononuklear. Sel mast meningkat tetapi masih tergranulasi. Netrofil menghilang pada lesi Dermatitis atopik walaupun infeksi dan kolonisasi dari S. aureus. Peningkatan dari eosinophil kadang ditemukan pada Dermatitis Atopi lesi yang kronis. Eosinofil ini mengalami sitolisis dengan menghasilkan granul protein. Eosinofil yang berkontribusi pada inflamasi alergi dengan sekresi sitokin dan mempengaruhi kerusakan jaringan pada dermatitis atopik dengan produksi reaktif oksigen intermediat dan melepaskan toksik granul protein.

Si oki d

Chemokines

Inflamasi kulit atopi diatur dari ekspresi local dari sitokin dan chemokines proinflamasi.12 Sitokin seperti TNF- dan IL-1 dari sel tersebut (keratinosit, sel mast, sel dendrit). Yang bekerja pada reseptor vaskuler endotelium, mengaktivasi

jalur signal vaskuler, yang menyebabkan induksi adhesi molekul vaskuler endotelial. Kejadian ini mengawali proses aktivasi dan adhesi pada vaskuler endothelium dengan diikuti ekstravasasi sel-sel inflamasi pada kulit. Dermatitis atopik akut berhubungan dengan produksi sitokin Th-2, yaitu IL-4 dan IL-13, yang bertidak sebagai mediator isotop imunoglobulin mengubah sintesa IgE, dan meningkatkan pengaturan ekspresi adhesi molekul pada sel endotel. Sebaliknya, IL-5, juga terlibat dalam perkembangan dan kelangsungan hidup eosinofil, dan berperan besar dalam dermatitis atopik kronis.13 Peranan pentingnya adalah sitokin Th-2 juga bermain/berperan dalam respon inflamasi kulit yang di dukung oleh penelitian, dimana tikus transgenik terlatih secara genetik untuk terlalu banyak mengeluarkan IL-4 pada perkembangan pruritus kulit inflamasi mereka yang mirip dengan lesi/kelainan pada dermatitis atopik, menyarankan bahwa ekspresi kulit lokal sitokin Th-3, berperan kritis dalam aturan di dermatitis atopik.14 Kulit tikus yang kurang tersensitisasi IL-5, tidak ditemukan eosinofil dan memperlihatkan penurunan pengentalan (melentur), padahal kulit tikus yang kekurangan IL-4 menunjukan kelenturan yang normal, namun mempunyai penurunan eosinofil.15 Kenaikan produksi koloni granulosit makrofag, yang menjadi faktor stimulan dermatitis atopik, dilaporkan mencegah kematian sel (apoptosis) monosit,yang juga berkontribusi atas kegigihan dermatitis atopik.16 Pertahanan dermatitis atopik kronik, termasuk juga memproduksi Th-1 serupa dengan sitoin IL-2 dan IL-8, di samping beberapa remodeling gabungan sitokin, termasuk IL-11 dan transformasi faktor pertumbuhan 1.17 Chemokines spesifik kulit, sel T kulit-menarik kemokin [CTACK; kemokin CC ligan 27 (CCL27)], sangat diregulasi di DA dan sangat menarik antigen limfoid cutanous (PKB) kulit + CC kemokin reseptor 10 + (CCR10 +) Sel T ke ckin tersebut.12 CCR4 di tunjukan pada kulit homing sel PKB + T juga dapat mengikat untuk CCL 17 pada endotelium vaskular dari venula kulit. Perekrutan Selektif f CCR4 mengekspresikan sel Th-2 dimediasi oleh kemokin makrofag sehingga diperoleh dan timus dan aktivasi sitokin yang teratur, yang keduanya meningkat pada dermatitis atopik. Keparahan pada dermatitis atopik,berhubungan dengan

ukuran thymus dan tingkat regulasi sitokin yang teraktivasi. disampig itu, pembongkran kemokin fractalkine , interferonyang di induksi protein 10,dan

monokin yang diinduksi oleh IFN- ,juga mengontrol keratonisit dan hasil migrasi Th-1 ke epidermis terlebih pada kronik dermatitis atopik. Peningkatan pengeluaran kemokin CC, chemoattractant protein 4 makrofag,eotaksin, dan RANTES (pengaturan aktivitas normal, pengeluaran dan penyimpanan sel T) berperan pada infiltrasi makrofag, eosinofil, dan sel T pada lesi dermatitis atopik akut maupun kronik. Lihat bab 11 dan 12 untuk detail lebih lanjut mengenai pembahasan sitokin dan chemokines pada inflamasi kulit. Tipe Sel Pe u juk P d Kuli Derm i i A opik APC Kulit dermatitis atopik mengandung dua jenis afinitas yang tinggi, IgE-reseptorbearing myeloid DC: (1) LC dan (2) inflamasi epidermis sel dendritik (IDECs), LC bantalan IgE yang tampaknya memainkan peran penting dalam

mempresentasikan alergen kulit kepada IL-4 yang memproduksi produksi sel Th2.18 Dalam hal ini, LC IgE-bearing dari lesi kulit DA, tetapi bukan permukaan LC yang kekurangan IgE, mampu menyajikan alergen inhalan ke sel T. Hasil ini menunjukkan bahwa IgE sel-terikat pada fasilitas penangkapan LC dan internasionalisasi alergen ke LC sebelum memproses mereka dan antigen yang mempresentasikan ke sel T. IgE yang mendasari LC, yang telah menangkap alergen mungkin mengaktifkan sel-sel memori Th-2 di kulit atopik, tetapi mereka juga dapat bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk merangsang sel T untuk lebih memperluas daerah sel Th-2 sistemik. Stimulasi Fc RI pada permukaan LC oleh alergen menginduksi pelepasan sinyal chemotactic dan rekrutmen sel prekursor dari IDECs dan sel T in vitro. Stimulasi Fc ri di IDECs mengarah ke rilis dalam jumlah yang tinggi sinyal proinflamasi, yang memberikan kontribusi amplifikasi pada respon kekebalan alergi. Berbeda dengan penyakit inflamasi kulit lainnya, seperti dermatitis kontak alergi, psoriasis vulgaris, jumlah DC plasmacytoid (pDCs) yang sangat rendah, yang memainkan peranan penting dalam pertahanan host terhadap infeksi virus, dapat

dideteksi dalam lesi kulit dermatitis atopik.19 pDCs dalam darah perifer pasien dengan dermatitis atopik telah ditunjuk untuk menanggung varian trimerik dari Fc ri di permukaan sel mereka, yang ditempati oleh molekul IgE. Fungsi kekebalan tubuh diubah dari pDCs pasien dengan dermatitis atopik setelah stimulasi alergen FcERI-dimediasi mungkin berkontribusi terhadap kekurangan tipe 1 IFNs lokal, sehingga berkontribusi untuk meningkatan kerentanan pasien dermatitis atopik terhadap infeksi virus kulit seperti eksema herpetikum.20 Sel T Sel T kulit yang berkemampuan untuk mengingat memainkan peran penting dalam patogenesis dermatitis atopik, terutama selama fase akut penyakit. Konsep ini ditunjang dengan pengamatan bahwa gangguan imunodefisiensi sel T utama ini sering berhubungan dengan lesi kulit eksema yang jelas, setelah transplantasi sumsum tulang berhasil.21 Selanjutnya, pada hewan percobaan dermatitis atopik, ruam eczematous tidak terjadi dalam ketiadaan sel T. Selain itu, pengobatan dengan penghambat kalsineurin topikal, dengan aktivasi target sel T khusus, secara signifikan mengurangi ruam kulit pada dermatitis atopik.22 Beberapa penelitian telah menunjukkan pada dermatitis atopik akut, kehadiran Th-2 seperti sel T, mengurangi sitokin yang mempertinggi peradangan kulit alergi. Selama fase kronis dermatitis atopik, ada pertukaran untuk sel Th-1 yang terutama menghasilkan IFN- . Sel yang menyerupai sel Th-2 menginduksi aktivasi dan apoptosis keratinosit.23 Baru-baru ini peraturan (Treg) sel T telah digambarkan sebagai subtipe lebih lanjut dari sel T yang memiliki fungsi sitokin imunosupresif dan profil yang berbeda baik dari sel Th-1 dan Th-2.24 Sel Treg yang mampu menghambat perkembangan kedua respon Th-1 dan Th-2. Mutasi dalam faktor nuklir diekspresikan di sel Treg, FoxP3, mengakibatkan sindrom IPEX (kekebalan disregulasi, poliendocrinpati, enteropti, X-linked) ditandai oleh serum IgE, makanan alergi dan eksema.25 Menariknya, superantigens

Staphylococcal menumbangkan fungsi sel treg dan dengan demikian dapat meningkatkan peradangan kulit.26

Ker i o i Kertinosit memainkan peran kritis dalam augmentasi peradangan kulit atopik. Dermatitis atopik keratinosit mengeluarkan profil kemokin dan sitokin setelah terpapar sitokin pro inflamasi. Hal ini mencakup RANTES tingkat tinggi setelah stimulasi dengan TNF- dan IFN-K.27 Mereka juga merupakan sumber penting limfopoietin stroma thymus (TSLP), yang mengaktifkan DC untuk sel T awal untuk menghasilkan IL-4 dan IL-13 (yaitu, diferensiasi sel Th2)28. Pentingnya TSLP dalam patogenesis dermatitis atopik didukung oleh pengamatan bahwa tikus yang secara genetik dimanipulasi untuk overekspresi TSLP di kulit

mengembangkan dermatitis atopik seperti peradangan kulit. Keratinosit juga memainkan peranan penting dalam respon bawaan kulit kekebalan melalui ekspresi reseptor seperti Toll, produksi sitokin proinflamasi dan peptida antimikroba (seperti defesins manusia dan cathelicidins) dalam menanggapi cedera jaringan atau mikroba penyerang.29 Beberapa penelitian sekarang menunjukkan bahwa produksi keratinosit dermatitis atopik mengurangi jumlah peptida antimikroba dan ini dapat mempengaruhi individu tersebut untuk kolonisasi kulit dan infeksi dengan S. aureus, virus, dan jamur. Defek ini, bagaimanapun juga, tampaknya diperoleh sebagai akibat dari sitokin Th-2 (IL-4, IL-10, dan IL-13)-memediasi inhibitor TNF dan IFN-K menyebabkan

pembangkitan peptida mikrobia.

Ge e ik Dermatitis atopik secara familial ditransmisikan dengan pengaruh maternal yang kuat. Layar genom keluarga dengan dermatitis atopik telah melibatkan regio kromosom yang overlap dengan penyakit kulit inflamasi lainnya seperti psoriasis. Bersama dengan studi gen kandidat, hal ini telah memberikan wawasan yang menarik ke dalam patogenesis dermatitis atopik. Meskipun banyak gen yang mungkin terlibat dalam perkembangan dermatitis atopik, telah dermatitis atopik bagian tertentu yang menjadi perhatian dalam peran potensial barier kulit / gen diferensiasi epidermal dan respon imun / pertahanan gen host.

Mutasi hilangnya fungsi dari protein barier epidermis, filaggrin, telah terbukti merupakan faktor predisposisi utama dermatitis atopik30 seperti iktiosis vulgaris, gangguan keratinisasi yang terkait dengan dermatitis atopik. Dari catatan, gen filaggrin ditemukan pada kromosom 1q21 yang mengandung gen (termasuk loricrin dan S100 calcium binding proteins) di kompleks diferensiasi epidermis, yang dikenal untuk diekspresikan selama diferensiasi terminal epidermis. Analisis DNA microarray telah menunjukkan upregulasi S100 calcium binding proteins dan downregulasi dari loricrin dan filaggrin pada dermatitis atopik. Pendekatan gen kandidat juga terlibat varian pada gen SPINK5, yang dinyatakan pada epidermis paling atas dimana produknya, LEKT1, menghambat dua protease serin yang terlibat dalam deskuamasi dan peradangan (enzim tryptic stratum korneum dan enzim chymotryptic stratum korneum). Ekspresi enzim tryptic stratum korneum dan enzim tryptic stratum korneum meningkat pada dermatitis atopik, menunjukkan bahwa ketidakseimbangan protease versus aktivitas protease inhibitor dapat menyebabkan inflamasi kulit atopik. Observasi ini menetapkan peran kunci gangguan fungsi barier kulit pada patogenesis dermatitis atopik, sebagai formasi gangguan barier kulit memungkinkan peningkatan kehilangan air transepidermal dan bagian yang penting,yaitu meningkatnya masuknya alergen, antigen, dan bahan kimia dari lingkungan yang menyebabkan respon inflamasi kulit. Penting untuk dicatat bahwa mutasi filaggrin ini, dan mutasi lainnya yang kemungkinan mempengaruh barier kulit, dapat terjadi pada individu-individu tidak terpengaruh, pasien dengan ichthyosis vulgaris yang tidak memiliki dermatitis atopik, dan mayoritas pasien dengan dermatitis atopik mengatasi penyakit inflamasi kulit mereka. Dengan demikian, produk gen lainnya juga seharusnya terlibat dalam patologi dermatitis atopik. Kromosom 5q31-33 berisi kelompok cluster yang secara fungsional terkait dengan gen sitokin IL-3, IL-4, IL5, IL-13, dan granulocyte macrophage colonystimulating factor yang dinyatakan oleh sel Th-2. Perbandingan kasus kontrol telah menyarankan hubungan genotip antara T alel dari 590C/T polimorfisme dari regio gen promotor IL-4 dengan dermatitis atopik. Karena alel T dikaitkan dengan peningkatan aktivitas gen promotor IL-4 jika dibandingkan dengan alel C, hal ini menunjukkan bahwa

perbedaan genetik dalam aktivitas transkripsional dari gen IL-4 mempengaruhi predisposisi dermatitis atopik. Selain itu, asosiasi dermatitis atopik dengan mutasi gain-of-function dalam subunitdari reseptor IL-4 telah dilaporkan, yang

memberikan dukungan lebih lanjut dari konsep bahwa ekspresi gen IL-4 berperan dalam dermatitis atopik. Mutasi fungsional pada regio promotor dari kemokin CC, RANTES dan eotaxin, serta varian dalam IL-13, subunit dari reseptor IgE

afinitas tinggi permukaan sel (Fc R1) yang ditemukan pada basofil dan sel mast menunjukkan overlap basis genetik dengan penyakit atopik lainnya. Keterlibatan immunoglobulin sel-T dan musin-domain-containing molecul-1 serta gen IL-18 mendukung peran sel T CD4 + dan disregulasi dari gen Th1 dalam patofisiologi dermatitis atopik. Selain itu, laporan tentang asosiasi dermatitis atopik dengan polimorfisme gen NOD1, yang mengkode cytosolic pathogen recognition receptor dan Toll-like receptors, menunjukkan peran penting bagi host defense genes pada patogenesis dermatitis atopik. Pembaca dimaksud merujuk subagian 8 dan referensi 31 untuk pembahasan yang lebih rinci dari genetika dermatitis atopik.

Per

Pruri u p d Derm i i A opik

Pruritus adalah fitur yang menonjol dari dermatitis atopik, dinyatakan sebagai hiperreaktivitas kulit dan penggarukan alergen yang terpapar, perubahan kelembaban, keringat berlebihan, dan konsentrasi iritant yang rendah.32 Pengendalian pruritus penting karena cedera mekanik dari menggaruk dapat menginduksi sitokin pro-inflamasi dan pelepasan kemokin, mengarah ke siklus setan scratch-itch yang mengabadikan ruam kulit pada dermatitis atopik.

Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik kurang dipahami. Pelepasan histamin yang diinduksi alergen dari sel mast kulit bukanlah penyebab eksklusif pruritus pada dermatitis atopik, karena antihistamin tidak efektif dalam mengendalikan gatal pada dermatitis atopik.33 Observasi pengobatan dengan kortikosteroid topikal dan inhibitor kalsineurin efektif untuk mengurangi pruritus menunjukkan bahwa sel-sel inflamasi memainkan peranan penting dalam pruritus.34,35 Molekul yang telah terlibat dalam pruritus termasuk sitokin sel-T yang diturunkan seperti

IL-31, st ss-i

bertindak pada prot se-activated receptors, eikosanoid, dan eosi ophil-derived protei s.36,38 Pembaca dimaksud merujuk pada subagian 102 untuk pembahasan lebih rinci tentang patofisiologi pruritus.

TE U N

LN

Diagnosis dermatitis atopik didasarkan pada konstelasi ciri-ciri klinis yang diringkas pada Tabel 14-1. Dermatitis atopik biasanya dimulai pada masa bayi. Sekitar 50 persen pasien, penyakit ini berkembang pad tahun pertama kehidupan dan 30 persen tambahan antara usia 1 dan 5 tahun. A ntara 50 persen dan 80 persen pasien dengan dermatitis atopik, rhinitis alergi atau asma berkembang kemudian pada masa kanak-kanak. Banyak dari pasien mengatasi dermatitis atopik mereka sedang mereka mengembangkan alergi pernafasan.

L si K utan us Pruritus yang intens dan reaktifitas kulit merupakan tanda kardinal dermatitis atopik. Pruritus mungkin sebentar-sebentar sepanjang hari tetapi biasanya lebih buruk pada sore dan malam hari. Konsekuensinya adalah menggaruk, papula prurigo (Gambar 14-1), likenifikasi (Gambar 14-2), dan lesi kulit eksematous. Lesi kulit akut yang ditandai dengan sangat pruritik, papula eritematosa yang terkait dengan ekskoriasi, vesikel di atas kulit yang eritem, dan eksudat serosa (Gambar 14-3). Dermatitis subakut ditandai dengan eritema, ekskoriasi, scali papules (Gambar 14-4).

dengan dermatitis atopik

# "!

Ga

a

14-1. Prurigo papula pada pasien

ti s, protease seperti protease yang dapat

Ga a 14-2. Likenifikasi pada leher dan bahu pada pasien dermatitis atopi dewasa& %$

dermatitis atopi anak-anak. B. Papul ekskoriasi dan krusta pada dermatitis atopi serangan akut.

dengan dermatitis atopi subakut

) ('

) ('

Ga

a

14-3.

0

. Weep yang menonjol dan krusta dari kesi eksema pada

Ga

a 14-4. Papul eritematosa pada pasien

Ga a 14-5. Likenifikasi berat dan papul prurigo hiperpigmentasi terlihat pada pasien dengan dermatitis atopi kronis3 21

Dermatitis atopi kronis ditandai dengan plak tebal pada kulit, kulit yang ditonjolkan (likenifikasi) dan papul fibrotik (prurigo nodularis); Gambar 14-5. Pada dermatitis atopi kronis, ketiga stadium dari reaksi kulit seringkali berdampingan pada individu yang sama. Pada semua stasium dermatitis atopi, pasien biasanya memiliki kulit yang kering (Gambar 14-6). Penyebaran dan pola reaksi kulit bervariasi tergantung dari usia pasien dan aktivitas penyakitnya. Selama masa bayi, dermatitis atopi umumnya lebih akut dan terutama meliputi wajah, kulit kepala, dan permukaan ekstensor ekstremitas (Gambar 14-7). Daerah popok biasanya terhindar. Pada anak yang lebi tua h usianya, dan pada mereka yang memiliki penyakit kulit yang lama, pasien mengembangkan bentuk kronik dermatitis atopi dengan likenifikasi dan lokalisasi ruam pada lipatan fleksura ekstremitas (Gambar 14 -8). Dermatitis atopi sering mereda karena pasien semakin tua, membuat seseorang yang dewasa dengan kulit yang rentan terhadap gatal-gatal dan meradang jika terkena iritan dari luar. Eksema tangan yang kronis dapat menjadi menifestasi utama pada sebagian orang dewasa dengan dermatitis atopi (Gambar 14-9). Ciri lain yang berhubungan dengan dermatitis atopi tercantum dalam Tabel 14-1.

Pemeri saan La Pemeriksaan

rat rium tidak diperlukan pada evaluasi rutin dan

laboratorium

penatalaksanaan dermatitis atopi tanpa komplikasi. Serum Ig E meningkat sekitar 70-80% pada pasien dermatitis atopi. Hal ini dihubungkan dengan sensitisasi terhadap alergen inhalansi dan makanan dan atau rinitis alergika dan asma yang seiring.39.40 Sebaliknya, 20-30% pasien dermatitis atopi memiliki serum Ig E yang normal. Dermatitis atopi subtipe ini memiliki sensitisasi IgE terhadap allergen inhalansi atau makanan yang kurang. Namun demikian, beberapa dari pasien ini dapat memiliki sensitisasi IgE terhadap antigen mikrobia seperti toksin S. aureus, dan Candida al icans atau Malassezia sympodialis dapat diketahui. Juga, sebagian pasien menunjukkan reaksi positif menggunakan atopy patch test walaupun skin test negatif. Sebagian besar pasien dengan dermati is atopi juga memiliki eosinofilia. Pasien t dengan dermatitis atopi memiliki peningkatan pelepasan histamin dari baso Itu fil. merupakan reflek sitemik dari sistem imun (Th2) pada dermatitis atopi khususnya pada pasien dengan peningkatan level serum IgE. Lebih penting, pada darah perifer terdapat CLA+ sel T pada dermatitis atopi yang mengekpresikan salah satu antara CD4 atau CD8 yang secara spontan mengeluarkan IL dan IL-13, yang -5 berfungsi untuk memperpanjang masa hidup eosinofil dan menginduksi produksi IgE.4

Ga a 14-6. Infiltrasi, kulit wajah tampak eritem dengan sisik pada seorang pemuda dengan dermatitis atopi. Catatan tampak lipatan kulit yang tipis di lateral alis dan intra okuler (Dennie-Morgan)7 65

DIAGN

IS DAN DIAGN SIS BANDING

Tabel 14-1 menunjukan tanda dari dermatitis atopik. Tanda mayor dari dermatitis atopik adalah adanya pruritus dan kronik atau dermatitis eksematous dengan morfologi yang dapat dianggap sebagai ciri khasnya dan distribusi yang dapat digunakan untuk mendiagnosik. Tanda lainnya adalah, masuknya alergen dari luar atau peningkatan serum IgE, yang be rvariasi, dan beberapa diantaranya terdapat tanda yang bergabung pada tabel yang mungkin tidak ada gunanya dibedakan untuk masing-masing individu dengan dermatitis atopi dari populasi umum yang sebenarnya. Variasi kriteria diagnosis telah diusulkan untuk membantu dengan diagnosis klinik, definisi pasien untuk pembelajaran klinik, dan epidemiologi populasi klinik.41 Penyempurnaan daftar kriteria diagnostik pantas diperoleh untuk pembelajaran epidemiologi dan divalidasi oleh pekerja di United Kingdom.42

dengan likenifikasi fosa antecubiti dan generalisata pruritus yang parah disertai palk yang ezematous

Kotak 14-1 menunjukan daftar jumlah penyakit inflamasi kulit, penurunan imun, keganasan kulit, penyakit genetik, penyakit infeksi, dan infestasi bagian tanda dan

C BA

Ga

@ 98

Ga

a 14-7. Gatal pada bayi dengan dermatitis atopi (digunakan dengan ijin dari Oholm Larsen, MD)

a

14-8. Dermatitis atopi pada anak kecil

gejala dengan dermatitis atopik. Itu telah dipertimbangkan dan hukumnya telah keluar sebelum diagnosis untuk dermatitis atopik dibuat. Anak kecil akan tampak pada tahun pertama kehidupannya dengan kegagalan pertumbuhan, eritematous rash pada seluruh tubuh dengan sisik, dan penyakit kulit yang kambuh dan atau infeksi sistemik yang dapat dievaluasi untuk dikombinasi dengan keparahan

sindrom imunodefisiensi. Sindrom Wiskott-Aldrich adalah kesalahan gen resesif X-linked dengan karakteristik ditemukannya kulit yang mirip yang tidak bisa dibeda-bedakan dari dermatitis atopik. Itu dapat diasosiasikan dengan trombositopenia, variasi abnormalitas pada humoral dan seluler imunitas, dan rekuren infeksi bakteri. Sindrom IgE dikarakteristikan dengan peningkatan level serum IgE, tidak sempurnanya fungsi sel T, rekuren infeksi bakteri, adanya abses kulit yang disebakan oleh Staphylococcus aureus dan atau rasa gatal di kulit yang disebabkan karena adanya pustulosis Staphylococcus aureus, atau oleh dermatofitosis. Erupsi papulopustular pada wajah dan scalp mun gkin terlihat diawal kehidupan.43 Meskipun Staphylococcus aureus merupakan patogen terpenting pada kelainan ini, namun infeksi oleh bakteri lain, virus, dan jamur mungkin terjadi, terutama ketika pasien mengkonsumsi profilaksis antibiotik antistaphylococcal dalam jangka lama. Tanda lain dari sindrom pen ingkatan IgE meliputi pneumonia dengan pneumatocele formation, kelainan gigi, patah tulang, dan osteopenia.

erosi seperti dermatitis atopi pada tangan

Penting untuk mengetahui pada manusia dewasa dengan tanda adanya eksematous dermatitis dengan atau tanpa riwayat penyakit eksema pada saat kecil, alergi pada pernapasan, atau adanya riwayat atopi dermatitis kontak pada keluarga. Kontak

F ED

Ga

a

14-9. Papul tipikal, vesikel, dan

dengan alergen dapat difikirkan pada sebagian pasien dengan dermatitis atopi yang tidak berespon terhadap terapi. Sebagai catatan, kontak alergi untuk glukokortikoid topikal dan penghambat calcineurin topikal telah dilaporkan terjadi pada pasen dengan dermatitis kronik. Sebagai tambahan limfoma sel T kulit harus dipresentasikan keluar pada orang dewasa dengan dermatitis kronik yang lemah responnya dengan terapi glukokortikoid topikal. Idealnya, pemeriksaan biopsi diperoleh dari tiga lokasi terpisah, karena pemeriksaan histologi mungkin menampilkan spongiosis dan infiltrasi sel yang menyerupai dermatitis atopi. Dermatitis eksematous juga tampak pada orang dengan virus imunodefisiensi serta dengan macam-macam infestasi seperti scabies. Pada kondisi yang lain dapat terjadi kebingungan dengan dermatitis yang meliputi psoriasis, iktiosis, dan dermatitis seboroik.

Kotak 13-1 Diagnosis

Kemungkinan besar Dermatitis kontak (alergi dan iritan) Dermatitis seboroik Scabies Psoriasis Ichthyosis vulgaris Keratosis pilaris Dermatofitosis Dipertimbangkan Asteotic eczema Liken simplek kronis Dermatitis numular Juvenil palmar-plantar dermatosis Impetigo Drug eruptions Perioral dermatitis Pityriasis alba Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias) Moluscum dermatitis Gangguan kurang umum atau langka terutama pada remaja dan dewasa Cutaneous -cell lymphoma (kycosis fungoides atau sindrom Sezary) Human immunodeficiency virus Dermatosis Lupus eritematosus Dermatomitosis Graft-versus-host disease Pemphigus foliacues Dermatitis herpetiformis Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption, porphyrias) Gangguan kurang umum atau langka terutama pada bayi dan anak Metabolik / nutrisi Phenilketonuria Prolidase deficiency Multiple carboxylase deficiency Defisiensi Zinc (Acrodermatitis enteropathica; prematuritas; defisiensi breast milk zinc; cystic fibrosis) Lainnya: Biotin, essential fatty acids, organic acidurias Primary immunodeficiency disorders Severe combined immunodeficiency disorder DiGeorge syndrome Hypogammaglobulinemia Agammaglobulinemia Wiskot Aldrich syndrome Ataxia telengiektasi Hyperimmunoglobulin E syndrome Chronic mucocutaneous candidiasis menn syndrome Sindrom genetik Netherton syndrome Hurler syndrome Inflammatory, autoimune disorders Eosinophilic syndrome Gluten-sensitive enteropathy Neonatal lupus erythematous Proliferative disorder Langerhans cell histiocytosis

H

anding Dermatitis Atopik

I

G

P

KOMPLIKASI M l hm

Komplikasi mata yang terkait dengan dermatitis atopik dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan. Dermatitis pada kelopak mata dan blefaritis kronis umumnya berkaitan dengan dermatitis atopik dan dapat menyebab gangguan penglihatan dari skar kornea. Keratokonjungtivitis atopik biasanya bilateral dan dapat memiliki gejala yang mencacatkan termasuk gatal, terbakar, sobek dan discharge mukoid berlebihan. konjungtivitis vernal adalah proses inflamasi bilateral berat berulang kronis yang berhubungan dengan hipertrofi papiler, atau cobblestone dari konjungtiva kelopak mata atas. Biasanya terjadi pada pasien yang lebih muda dan memiliki kejadian musiman, sering pada musim semi. Keterkaitan gatal tersebut diperburuk oleh paparan iritan, cahaya atau keringat. keratokonus adalah deformitas kerucut dari kornea diyakini hasil dari gosokan kronis mata pada pasien dengan dermatitis atopik dan rinitis alergi. Katarak dilaporkan dalam literatur awal terjadi pada hingga 21 persen pasien dengan dermatitis atopik parah. Namun, tidak jelas apakah ini merupakan manifestasi utama dermatitis atopik atau hasil penggunaan glukokortikoid sistemik dan topikal yang luas, khususnya di sekitar mata. Memang, studi lebih baru menunjukkan bahwa skrining rutin untuk katarak pada pasien dengan dermatitis atopik mungkin tidak produktif kecuali ada kekhawatiran tentang potensi efek samping dari terapi steroid.

I fek i Dermatitis atopik dapat menjadi rumit dengan berulangnya infeksi kulit karena virus yang mungkin mencerminkan cacat lokal dalam fungsi T-sel. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simplex (lihat Bab 193.), yang dapat mempengaruhi pasien dari segala usia, dihasilkan erupsi Kaposi varicelliform atau herpeticum aczema. Setelah jangka waktu inkubasi dari 5 sampai 12 hari, multipel, gatal, lesi vesiculopustular meletus dalam pola yang tersebar luas; lesi

vesikuler ,cenderung muncul, dan sering menjadi hemoragik dan berkrusta (Gambar 14-10). Menekan keluar dan hasil erosi yang sangat menyakitkan. Lesi ini dapat menyatu sampai besar, gundul, dan perpanjangan area pendarahan di seluruh tubuh. Meskipun infeksi cacar telah diberantas di seluruh dunia sejak akhir 1970-an, ancaman bioterorisme (dengan cacar dan agen menular lainnya), telah membuat negara-negara kembali ke kebijakan mereka terhadap program vaksinasi. Pada pasien dermatitis atopik, vaksinasi cacar (atau bahkan paparan kepada individu divaksinasi) (lihat bab 195) dapat menyebabkan letusan besar yang sangat merugikan (disebut vaccinatum eksim) yang muncul sangat mirip dengan herpeticum eksim. Demikian, pada pasien dengan dermatitis atopik, vaksinasi merupakan kontraindikasi kecuali ada resiko cacar yang jelas. Selain itu, keputusan mengenai vaksinasi anggota keluarga harus memperhatikan

pertimbangan potensi vaccinatum eksema dalam kontak rumah tangga. infeksi jamur superfisial juga lebih sering terjadi pada individu atopik dan mungkin dapat berkontribusi pada eksaserbasi dermatitis atopik. Pasien dengan dermatitis atopik memiliki peningkatan prevalensi infeksi Trichophyton rubrum dibandingkan dengan kontrol non atopik. ada kekhususan pada peran Pityrosporum o ale, M.furfur atau P.orbiculare di dermatitis atopik. M.furfur adalah ragi lipofilik (lihat Bab 189.) umumnya ada di daerah seboroik pada kulit. IgE antibodi melawan resiko M. furfur yang biasanya ditemukan pada pasien dermatitis atopik dan paling sering pada pasien dengan dermatitis kepala dan leher. Sebaliknya, sensitisasi IgE untuk M.furfur jarang diamati dalam kontrol normal atau asma. Positif alergen pada reaksi uji tempel terhadap ragi ini juga telah ditunjukkan. Pentingnya potensi M.furfur serta infeksi dermatofit lain ini lebih didukung oleh pengurangan keparahan kulit pada pasien dermatitis atopik tersebut setelah perawatan dengan agen antijamur. S. aureus ditemukan di lebih dari 90 persen dari lesi kulit dermatitis atopik. Pengerasan kulit berwarna madu, folikulitis, dan pioderma merupakan indikator infeksi bakteri kulit sekunder, biasanya karena S. aureus, yang membutuhkan terapi antibiotik. limfadenopati regional adalah umum pada pasien tersebut.Q

Pentingnya S. aureus di dermatitis atopik didukung oleh pengamatan bahwa pasien dengan dermatitis atopik parah, bahkan mereka tanpa infeksi terbuka, dapat menunjukkan respon klinik untuk terapi kombinasi antara antibiotik antistafilokokus dan topikal glukokortikoid. Meskipun kekambuhan pustul

stafilokokus dapat menjadi masalah yang signifikan pada Dermatitis Atopi, Infeksi S. aureus jarang terjadi dan semestinya terjadi pada kemungkinan terjadinya penurunan imunitas misalnya sindrom hipersensitifitas Ig E. Staphylococcus yang resisten terhadap methicillin mungkin merupakan patogen terpenting pada beberapa pasien.

Dermatitis Tan an Pasien dengan dermatitis atopik seringkali berkembang menjadi non spesifik, dermatitis iritan pada tangan. Hal ini seringkali diperburuk dengan pembasahan dan melalui pencucian tangan dengan sabun kasar, deterjen, dan disinfektan. Individual atopi yang berhubungan denga okupasi termasuk pekerjaan basah n memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi dermatitis pada tangan yang membandel pada bidang okupasi. Hal ini sering terjadi pada ketidakmampuan pada okupasi.

T SR

Ga

a 14-10. Eksema Herpeticum. Tipe vesikel dan krusta yang meluas pada pasien

Derm i i Ek foli if Pasien dengan keterlibatan yang meluas dapat berkembang menjadi dermatitis exfoliative (Lihat Bab 23). Hal ini dihubungkan dengan kemerahan yang meluas, scaling, weeping, krusta, toksisitas sistemik, limfadenopati dan demam. Meskipun komplikasinya jarang, hal ini berpotensi terhadap ancaman kehidupan. Hal ini biasanya disebabkan super infeksi misalnya, dengan toksin yang diproduksi staphylococcus aureus dan herpes simplex irus, berlanjut mengiritasi kulit, atau terapi yang tidak sesuai. Dalam beberapa kasus, penghentian glukokortikoid sistemik yang digunakan untuk mengkontrol dermatitis atopik yang parah mungkin menjadi faktor pengendapan untuk eksfoliatif eritroderma.U

PROGNOSIS DAN GAMBARAN KLINIS Perkembangan penyakit dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti karena beberapa penelitian memiliki kekurangan dalam hal ukuran sampel dan definisi yang tidak jelas mengenai remisi, follow up yang tidak adekuat, bias seleksi pada kohort, dan kehilangan banyak pasien yang harus di follow up. Meskipun demikian kesembuhan dermatitis atopi sulit diperkirakan secara individual, dan penyakit secara umum berkembang menjadi parah dan menetap pada anak -anak. Periode remisi seringkali nampak pada pasien yang telah bertumbuh kembang. Resolusi spontan dari dermatitis atopik telah dilaporkan terjadi pada usia setelah lima tahun dalam 40 hingga 60 persen dari pasien yang menderita ketika bayi, umumnya hal ini terjadi jika penyakitnya ringan. Meskipun penelitian terakhir menyarankan bahwa hampir 84 persen dari anak-anak teratasi penyakit dermatitis atopik ketika remaja, lebih banyak penelitian terakhir telah dilaporkan bahwa dermatitis atopi akan menghilang pada hampir 20 persen anak-anak yang diikuti perkembangannya mulai dari bayi hingga remaja, tetapi beberapa menjadi parah pada jumlah 65 persen. Sebagai tambahan, Lebih dari setengah remaja yang telah ditangani, akan kambuh lagi ketika dewasa. Hal yang terpenting dalam konseling okupasi, orang dewasa yang masa kecilnya menderita dermatitis atopi dan telah mengalami remisi selama beberapa tahun,

mungkin

akan

menderita

dermatitis

tangan,

khususnya

jika

pekerjaan

kesehariannya berhubungan dengan hal-hal yang membasahkan tangan. Faktor prediktif yang berhubungan dengan prognosis yang buruk terhadap dermatitis atopi adalah mengalami dermatitis atopi pada masa kanak -kanak, berhubungan dengan rhinitis alergi dan asma, riwayat keluarga dengan dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung, umur awal terhadap onset dermatitis atopik, dan tingkat serum IgE yang meninggi.

Pasien dengan riwayat pruritus dermatitis

Pasien yang memenuhi kriteria Hanafin dan Rajka untuk diagnosis DAa

Tindakan perawatan umum thd kulit: y Edukasi y Hidrasi kulit sec.tepat dan penggunaan emollien/tindakan perbaikan thd barier kulit y Menghindari bahan iritan y Identifikasi dan menghindari alergen penyebab y Terapi anti inflamasi (steroid topikal, penghambat kalsineurin topikalb) y Intervensi antipruritus (antihistamin sedatif, modifikasi kebiasaan) y Identifikasi dan pengobatan komplikasi infeksi bakteri, virus, atau jamur y Pengobatan penyakit dari aspek psikososial

Evaluasi untuk keadaan lain

Berhasil?

Titrasi terapi topikal, penggunaan emolien/tindakan perbaikan barier kulit, steroid topikal atau penghambat kalsineurin topikal sesuai kebutuhan secara intermiten

y Pengkajian ulang diagnosis DA y Pertimbangkan infeksi egen, alergen, dan lain-lain yang tidak diketahui y Pertimbangkan kurangnya pemahaman atau ketidakpatuhan thd rencana pengobatan

Berhasil?

y Konsultasi ke spesialis DA y Pertimbangkan biopsi kulit y Pertimbangkan perawatan rumah sakit y Pertimbangkan siklosporin A, terapi sinar UV, dll

Gambar 14-11 Pendekatan terhadap pasien dengan dermatitis atopik (DA) aLihat tabel 14-1.b

Terapi lini kedua dalam kotak peringatan hitam.

V

TERAPI Keberhasilan terapi pada dermatitis atopik membutuhkan sistematika, pendekatan banyak cabang, yang menggabungkan skin hydration, terapi farmakologis, dan identifikasi serta eliminasi faktor-faktor seperti iritan, alergen, agen infeksius dan stressor emosional (Gambar 14-11).44 Beberapa faktor mengakibatkan gejala kompleks yang mencirikan dermatitis atopik. Maka, perencanaan terapi seharusnya bersifat individu untuk meneliti masing-masing reaksi kulit pada pasien, termasuk ketajaman ruam, dan faktor pencetus yang unik pada pasie n. Pada pasien yang tidak memiliki respon terhadap terapi lama, anti inflamasi alternatif dan agen imuno modulasi mungkin diperlukan.

Ter pi Topik lHidr i Ku eu

Pasien dengan dermatitis atopik mengalami penurunan fungsi barier kulit dan kulit kering (xerosis) berperan terhadap morbiditas melalui perkembangan mikro fissure dan kulit pecah-pecah, yang bisa dijadikan sebagai pintu masuk terjadinya pathogen, iritan dan alergen. Masalah ini diperburuk ketika bulan musim dingin dan pekerjaan tertentu. Berendam pada air hangat-hangat kuku selama minimal 20 menit dilanjutkan dengan pemberian zat pelembut dapat memberikan kesembuhan bagi pasien. Penggunaan zat pelembut yang dikombinasi dengan hydration therapy membantu mengembalikan dan mempertahankan barier stratum corneum, dan mengurangi kebutuhan glukokortikoid topikal. Pelembab bisa digunakan dalam bentuk lotion, cream atau ointment. Beberapa lotion dan creams mungkin dapat mengiritasi akibat zat tambahan, zat pelarut dan zat pengharum. Lotion mengandung air yang mungkin bisa mengering akibat efek evaporasi. Ointment hidrofilik kadang tidak toleran karena penggabungan dengan saluran kelenjar keringat dan menyebabkan folikulitis. Pada pasien tertentu, pengurangan zat oklusif seharusnya dilakukan. Terapi topikal untuk mengganti lemak epidermis abnormal, memperbaiki hidrasi kulit, dan mengurangi disfungsi barier kulit mungkin berguna untuk terapi. Beberapa penelitian menunjukkan keuntungan penggunaan zat topikal dengan

komposisi berbeda terhadap lemak, dan ceramides, seperti krim nonsteroid yang mengandung palmitat MEA, asam lemak esensial dan krim hidrolipid dengan asam glisirhetin (MAS063ADP).45,46 Lebih lanjut tentang studi klinis untuk mendeskripsikan keuntungan relatif dari pelembab tradisional dan agen anti inflmasi topikal akan sangat membantu. Hidrasi, dengan berendam ataupun pembalutan basah, dapat mendukung penetrasi transepidermal glukokortikoid topikal. Pembalutan juga dapat berfungsi sabagai penghalang efektif dari penggarukan yang terus menerus, sehingga mempercepat penyembuhan luka ekskoriasi. Pembalutan basah direkomendasikan untuk digunakan pada luka yang parah dan kronis yang mencakup area refraksi dermatitis teradap terapi. Walaupun penggunaan pembalutan secara berlebihan dapat menyebabkan maserasi sebagai komplikasi terhadap kulit akibat infeksi sekunder. Pembalutan basah atau perendaman juga berpotensial untuk menyebabkan kulit kering dan berfisura jika tidak diserati dengan penggunaan emollien. Oleh karena itu, terapi pembalutan basah ditujukan untuk dermatitis atopik dengan pengawasan kurang dan sebaiknya diawasi secara ketat oleh seorang dokter. Ter pi Glukokor ikoid Topik l Glukokortikoid topikal merupakan dasar dari terapi anti inflamasi kulit dengan lesi eksematosa. Karena potensi dari efek sampingnya, kebanyakan dokter menggunakan glukokortikoid topikal hanya untuk pengobatan eksaserbasi akut dermatitis atopik. Akan tetapi penelitian terkini menyarankan kontrol satu kali dari dermatitis atopik didapat dengan regimen harian glukokortikoid, control jangka waktu lama diberikan dua kali seminggu. Flutikason topikal pada area yang sudah sembuh tetapi cenderung berkembang menjadi eksema.47 Pasien harus hati-hati diinstruksikan dalam penggunaan glukokortikoid topikal untuk pencegahan efek samping. Glukokortikoid flourinat kuat harus dicegah untuk wajah, genetalia dan area intertriginosa. Glukokortikoid potensi lemah umumnya direkomendasikan untuk area tersebut. Pasien sebaiknya diinstruksikan untuk menggunakan glukokortikoid topikal untuk lesi kulit mereka dan penggunaan pelembab (emolient) pada kulit selainnya. Kegagalan pasien untuk

penggunaan glukokortikoid topikal terkadang dikarenakan persediaan tidak cukup. Penting untuk diketahui bahwa dibutuhkan kira-kira 30 g krim atau ointment untuk dioleskan padas seluruh permukaan kulit dewasa tiap kalinya untuk pengobatan seluruh tubuh yang mana dioleskan dua kali sehari selama dua minggu. Dibutuhkan kira-kira 250 g (2 lb) glukokortikoid topikal. Ada tujuh tingkatan glukortikoid topikal berdasarkan potensinya dalam penilaian vasokonstriktor. Dikarenakan potensi dari efek sampingnya, glukokortikoid berkekuatan ultra tinggi sebaiknya digunakan hanya untuk periode waktu sangat singkat dan di tempat terjadi likenifikasi selain pada wajah atau area

intertriginosa. Tujuan dari penggunaan pelembab adalah untuk mengingkatkan kelembaban kulit dan glukokortikoid berkekuatan rendah untuk terapi

pemeliharaan. Glukokortikoid berkekuatan sedang dapat digunakan untuk waktu yang lebih panjang untuk perawatan dermatitis atopik kronik termasuk punggung dan ekstrimitas. Glukokortikoid dalam bentuk gel sering berupa propylene glycol base dan mungkin mengiritasi kulit sehingga meningkatkan kekeringan, hal ini membatasi penggunaanya untuk area kepala dan janggut. Faktor-faktor yang mempengaruhi potensi glukokortikoid topikal dan efek sampingnya meliputi struktur molecular bahan, kemasan, jumlah penggunaan dan durasi; faktor lain seperti factor host (pasien) meliputi usia, area permukaan tubuh dan berat, peradangan kulit, lokasi anatomis kulit dan perbedaan individual dari metabolisme kulit atau sistemik. Efek samping dari glukokortikoid topikal berhubungan langsung dengan isi dan lama penggunaan. Sehingga wajib bagi klinisi untuk menyeimbangkan kebutuhan penggunaan steroid lebih kuat dengan potensi efek sampingnya. Sebagai tambahan, ointment mempunyai potensi lebih besar untuk menutup epidermis, berakibat peningkatan absorpsi sistemik dibandingkan dengan krim. Efek samping glukokortikoid topikal dapat dibagi menjadi efek samping local dan efek samping sistemik akibat dari supresi dari axis hipotalamik pituitary adrenal. Efek samping lokal meliputi perkembangan striae, atrofi kulit, dermatitis perioral dan akne rosasea. Potensi glukokortikoid topikal kuat untuk menyebabkan supresi adrenal paling besar pada bayi dan anakanak kecil. Jadi perhatian, sebuah penelitian terhadap anak berusia tiga bulan

didapatkan krim flutikason propionate 0,05% yang berkekuatan sedang adalah aman dan efektif untuk wajah dan daerah tubuh yang lebih luas hingga satu bulan48 dan krim flukortison 0,05% telah disetujui untuk digunakan pada anak berusia tiga bulan selama empat minggu serta lotion flukortison disetujui untuk digunakan pada anak berusia dua belas bulan atau lebih. Krim dan ointment mometason disetujui digunakan untuk anak berusia dua tahun atau lebih. Karena keadaan kulit dermatitis atopik yang tampak normal menunjukkan bukti disregulasi imunologik, penggunaan kortikosteroid topikal sebagai terapi pemeliharaan telah dilaporkan pada studi kontrol.49 Kontrol satu kali pasien dermatitis atopik disetujui dengan regimen sekali sehari, sedangkan kontrol dalam jangka waktu lama dapat diterapi. I hibi or K l i euri Topik l Takrolimus topikal dan pimekolimus telah berkembang sebagai imunomodulator non steroid.50 Oinment takrolimuas 0,03% telah disetujui untuk terapi intermiten dermatitis atopik sedang hingga berat pada anak berusia dua tahun dan yang lebih tua; ointment takrolimus 0,1 % disetujui digunakan untuk dewasa; sedangkan krim pimekolimus 1% disetujui untuk digunakan sebagai terapi pada anak berusia dua tahun dan lebih dengan dermatitis atopik ringan hingga sedang. Kedua obat tersebut telah terbukti efektif dengan profil keamanan yang baik sebagai terapi hingga empat tahun dengan ointment takrolimus51 dan hingga dua tahun dengan krim pimekolimus.52 Pada pengamatan berkali-kali didapatkan efek samping dengan inhibitor kalsineurin topikal adalah rasa terbakar sementara pada kulit. Hal yang penting, terapi dengan inhibitor kalsineurin topikal tidak berhubungan dengan terjadinya atrofi kulit,53 sehingga obat ini istimewa untuk digunakan pada wajah dan daerah intertriginosa. Pada penelitian yang tengah berjalan dan laporan terkini tidak menunjukkan tren peningkatan frekuensi superinfeksi virus, khususnya eksema herpetikum.54 Keamanan penggunaan jangka waktu lama pada penggunaan inhibitor kalsineurin topikal belum dapat ditegakkan. Kasus yang jarang dari keganasan kulit dan limfoma telah dilaporkan karena penggunaan takrolimus topikal, meskipun level

dari kualitas data dan penerapan dari laporan ini dinilai rendah pada sebuah pelaporan dari konferensi konsensus para ahli.55

IDENTIFIKASI DAN ELIMINASI FAKTOR PEMIC P d g mum

Pasien dengan dermatitis atopik lebih rentan terhadap iritan disbanding individu yang tidak mengalaminya, sehingga penting untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor yang menicu siklus gatal. Hal ini mencakup sabun, deterjen, kontak dengan kimia, rokok, pakaian kasar dan terkena suhu dan kelembaban yang ekstrim. Alkohol dan bahan pewangi yang diberikan pada pakaian dikeringkan. Bila menggunakan sabun, sebaiknya gunakan yang mempunyai aktifitas defatting minimal dan pH netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci sebelum dipakai untuk menurunkan kadar formaldehid dan bahan kimia tambahan lainnya. Sisa deterjen pada pakaian dapat mengiritasi. Gunakan deterjen cair lebih jarang daripada deterjen bubuk dan bilas dua kali untuk membuang sisa deterjen. Disarankan untuk memperhatikan lingkungan sekitar termasuk kontrol suhu dan kelembaban untuk mencegah masalah yang berhubungan dengan panas, kelembaban dan prespirasi. Usaha-usaha dilakukan agar naka dapat beraktifitas senormal mungkin. Olah raga tertentu, seperti renang dapat lebih diterima dibanding olah raga lain karena berhubungan dengan intensitas prespirasi, kontak fisik, pakaian dan peralatan berat, tetapi klorin sebaiknya segera dibilas setelah renang dan kulit diberi pelembab. Meskipun sinar ultraviolet dapat

menguntungkan untuk beberapa pasien dermatitis atopik, tabir surya sebaiknya digunakan untuk mencegah kulit terbakar. Akan tetapi karena tabir surya dapat mengiritasi, sebaiknya cari produk yang aman. Alerge Spe ifik Makanan dan alergen udara seperti debu, bulu binatang, jamur dan serbuk bungan terbukti dapat memicu dermatitis atopik. Alergen potensial dapat dikenali dengan pengenalan riwayat yang cermat dan pemeriksaan selektif skin prick test dan level serum Ig E spesifik. Tes kulit negate atau tes serum untuk Ig E spesifik

alergen mempunyai daya nilai tinggi untuk memperkirakan alergen. Total level serum Ig E normal, bagaimanapun juga, tidak terdapat kemungkinan alergen yang spesifik IgE muncul. Hasil pemeriksaan kulit atau in itro yang positif, terutama terhadap makanan, sering tidak berhubungan dengan tanda klinis dan seharusnya dipastikan dengan kemungkinan pengendalian makanan dan mengeliminasi diet. Penghindaran makanan yang terlibat dalam kemungkinan hasil yang dicoba, dikendalikan dalam perbaikan klinis. Eliminasi diet yang luas, yang dalam beberapa kasus berupa gizi kurang, jarang, jika pernah, diperlukan, bahkan dengan hasil pemeriksaan kulit banyak yang positif, banyak pasien yang bereaksi pada tiga atau sedikit makanan pada kontrol yang dicoba. Pada pasien yang alergi debu dan tungau dengan dermatitis atopik, penghindaran debu tungau berkepanjangan telah digunakan untuk meningkatkan perbaikan penyakit kulit pasien. Penghindaran dalam hal ini termasuk pada bantal, matras dan kotak pegas; mencuci kasur dengan air panas setiap minggu; pemindahan karpet tempat tidur; penurunan tingkat kelembapan dengan pendingin ruangan. Dikarenakan banyak sekali pemicu pengembangan dermatitis atopik, perhatian harus fokus pada identifikasi dan pengendalian faktor pemicu yang penting terhadap individu pasien. Bayi dan balita lebih sering mengalami alergi makanan, sedangkan anak dan dewasa lebih sensitif terhadap alergi lingkungan. S re or Emo i Walaupun stres emosi tidak menyebabkan dermatitis atopik, tetapi sering dapat mengeksaserbasi penyakit. Pasien dermatitis atopik sering frustasi, malu, atau kejadian yang menyebabkan stres lainnya dengan peningkatan pruritus dan garukan. Dalam beberapa bagian, menggaruk adalah kebiasaan dan jarang berhubungan dengan kelebihan sekunder yang signifikan. Evaluasi psikologi atau konseling harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki pemicu emosional yang berat atau problem psikologi, yang mempengaruhi kesulitan mengelola penyakitnya. Hal ini mungkin berguna bagi pasien dewasa dan remaja yang mempertimbangkan keburukan penyakit kulit mereka. Relaksasi, mengubah kebiasaan, atau biofeedback mungkin membantu pada pasien dengan kebiasaan menggaruk.W

Age I fek iu Antibiotik anti-stafilococcus sangat membantu dalam pengobatan pasien yang memiliki koloni besar atau terinfeksi S.aureus.56 Cephalosporin atau penisillinaseresisten penisilin (dicloxacillin, oxacillin, atau cloxacillin) biasanya bermanfaat pada pasien yang tidak terinfeksi strain S.aureus yang resisten. Sebab sangat umum erythromisin resisten terhadap staphylococcus, erytromisin dan antibiotik makrolide yang terbaru biasanya jarang digunakan. Mupirocin topikal

menawarkan beberapa kegunaan pada terapi lesi impetigo; bagaimanapun, pasien dengan infeksi luas, antibiotik sistemik ialah yang paling praktis. Methicillinresisten staphylococcus mungkin diperlukan pengujian sensitifitas kultur untuk membantu pemilihan antibiotik yang tepat. Herpes simplek dapat menyebabkan kekambuhan dermatitis dan mungkin dapat menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai infeksi S.aureus. Munculnya punchedout erosi, vesikel, dan/atau lesi kulit terinfeksi, menandakan tidak adanya respon antibiotik oral harus dimulai pencarian untuk herpes simplek. Hal ini dapat didiagnosis dengan Giemsa-stained T anck smear of cells yang diambil dari dasar vesikel, direct immunofluorescence, identifikasi dengan polymerase chain reaction pada bahan genetik herpes, atau dengan kultur virus. Untuk infeksi yang dicurigai disebabkan herpes simplek, anti inflamasi topikal harus segera dihentikan, paling tidak sementara. Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kutaneus sangat penting pada pasien dengan penyebaran dermatitis atopik sebab dapat mengancam nyawa. Asiklovir, 400 mg tiga kali sehari untuk pemakaian 10 hari atau 200 mg empat kali sehari untuk pemakaian 10 hari secara oral (atau dosis ekuivalen terhadap terapi anti herpes terbaru), hal ini sangat berguna pada pasien dewasa dengan herpes simplek yang terbatas. Terapi intravena mungkin diperlukan penyebaran eksema hepatikum yang parah. Dosis harus disesuaikan dengan berat badan anak. Infeksi dermatofita dapat memperparah dermatitis atopik dan mungkin mempengaruhi kekambuhan penyakit. Pasien dengan infeksi dermatofita atau antibodi IgE untuk Malassezia mungkin berguna dari percobaan terapi antifungal topikal atau sistemik.X

Pru i u Terapi pruritus pada dermatitis atopik harus diarahkan terutama pada penyebab yang mendasari. Reduksi inflamasi dan kekeringan kulit dengan topikal glukokortikoid dan hidrasi kulit, masing-masing, sering sebagai gejala pengurangan pruritus. Alergen inhalasi dan alergen makanan dapat dieliminasi jika telah diketahui penyebab kelainan kulitnya. Reaksi antihistamin sistemik terutama pada penahanan reseptor H1 di kulit, dengan demikian histamin dapat menyebabkan pruritus. Bagaimanapun, histamin hanyalah salah satu mediator yang dapat menyebabkan pruritus pada kulit. Oleh karena itu, pasien tertentu mendapatkan keuntungan minimal dari terapi antihistamin. Beberapa antihistamin merupakan anxiolistik ringan dan mungkin menyebabkan hilangnya gejala melalui efek penenang. Studi terbaru, antihistamin tanda efek sedatif menunjukkan hasil yang bervariasi pada pengontrolan pruritus pada dermatitis atopik, walaupun munkin dapat bermanfaat pada pasien dermatitis atopik yang disertai urtikaria atau rhinitis alergi. Disebabkan pruritus biasanya memburuk pada malam hari, antihistamin dengan sedatif, contohnya, hydroxyzine atau diphenhydramine, menawarkan keuntungan berupa efek sedatif saat digunakan saat jam tidur. Doxepin hydrochloride memiliki antidepresan trisiklik dan efek penahan reseptor histamain H1 dan H2. Obat ini dapat digunakan pada dosis 10-75 mg secara oral pada malam hari atau sekitar lebih dari 75 mg pada pasien dewasa. Apabila pruritus nokturnal semakin parah, pamakaian sedatif jangka pendek untuk membantu pasien beristirahat mungkin dapat dilakukan. Terapi dermatitis atopik dengan antihistamin topikal secara umum tidak direkomendasikan sebab terdapat kemungkinan sensitisasi kulit. Bagaimanapun, penggunaan topikal doxepin krim 5% jangka pendek (satu minggu) telah dilaporkan dapat menurunkan pruritus tanpa adanya sensitisasi. Sedasi ialah efek samping luas penggunaan doxepin krim, dan dermatitis kontak alergi telah dilaporkan.

PENGGUNAAN TAR Penggunaan coal tar mungkin memiliki efek antipruritus dan anti inflamasi pada kulit walaupun kadang tidak muncul seperti penggunaan glukokortikoid topikal.57 Penggunaan tar mungkin bermanfaat pada penurunan potensi glukokortikoid topikal yang diperlukan pada terapi pemeliharaan dermatitis atopik kronis. Produk coal tar terbaru telah dikembangkan menjadi sesuatu yang lebih bisa diterima sehubungan dengan bau dan pewarnaan dibandingkan produk yang lebih lama. Sampo tar bermanfaat pada dermatitis pada kulit kepala dan sering membantu pada penurunan konsentrasi dan frekuensi pemberian glukokortikoid topikal. Efek samping dari tar termasuk folikulitis dan fotosensitif. Secara teoritis resiko pemberian tar ialah dapat menjadi karsinogen berdasarkan penelitian pada pekerja yang menggunakan tar pada pekerjaannya.

FOTOTERAPI Cahaya matahari alami sangat bermanfaat untuk pasien dengan dermatitis atopik. Bagaimanapun, jika sinar matahari terjadi dalam kondisi panas dan kelembaban yang tinggi, itulah yang mencetuskan keluarnya keringat dan pruritus, hal ini yang kemungkinan yang mengganggu pasien. UVB spektrum luas, UVA spektrum luas, UVB spektrum sempit (311 nm), UVA-1 (340-400 nm), dan kombinasi fototerapi UVA-B bermanfaat sebagai terapi tambahan pada dermatitis atopik. Penelitian tentang mekanisme fotoimunologi yang bertanggung jawab pada efektivitas terapi menunjukkan bahwa LCs epidermis dan eosinofil yang mungkin menjadi target dari fototerapi UVA dengan atau tanpa psoralen, yang mana UVB menekan efek imunosupresif dengan memblokade fungsi antigen-presenting LCs dan mengubah produksi sitokin keratinosit. Fotokemoterapi menggunakan sinar psoralen dan UVA mungkin digunakan pada pasien yang parah, dermatitis atopik yang luas, meskipun penelitian yang membandingkannya dengan fototerapi yang lain masih terbatas. Efek samping jangka pendek penggunaan fototerapi meliputi eritema, nyeri di kulit, pruritus, dan pigmentasi. Untuk efek samping jangka panjangnya meliputi penuaan dini, keganasan sel kulit.

PERAWATAN DI RUMAH SAKIT Pasien dermatitis atopik yang menunjukkan gangguan eritrodermal atau mempunyai penyakit kulit parah dan resisten terhadap terapi seharusnya dipondokkan di rumah sakit sebelum dipertimbangkan penggunaan terapi sistemik. Pada beberapa kasus, penghindaran pasien dari alergen dan tekanan emosi, edukasi yang intensif, dan kepatuhan terhadap pengobatan menghasilkan perbaikan pada penyakitnya. Pembersihan kulit pasien selama di rumah sakit serta izin dari psien untuk menjalani tes alergen kulit dan tes provokatif yang sewajarnya berguna untuk mengenali alergen yang potensial dengan baik.

TERAPI SISTEMIK Glukokor ikoid i emik Penggunaan glukokortikoid sistemik, misalnya prednisone oral, jarang

diindikasikan pada penatalaksanaan dermatitis atopik kronis. Beberapa pasien dan dokternya lebih memilih menggunakan glukokortikoid sistemik untuk menghindari perawatan kulit yang lama disertai hidrasi dan terapi topikal. Bagaimanapun juga, kemajuan klinis yang dramatis pada penggunaan

glukokortikoid sistemik sering dikaitkan dengan efek rebound setelah penghentian pemakaiannya. Pemakaian glukokortikoid oral jangka pendek mungkin tepat digunakan untuk dermatitis atopik eksasebasi akut yang mana terapi yang lain sedang dimulai. Apabila oral glukokortikoid jangka pendek diberikan, sangat penting untuk memberikan dosis secara bertingkat untuk memulai perawatan kulit yang intensif, terutama dengan glukokortikoid topikal dan mandi yang sering disertai terapi emolien, untuk mencegah kekambuhan dermatitis atopik. Siklo pori Siklosporin adalah obat imunosupresif yang poten, bekerja terutama di sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Obat ini mengikat siklofilin, sebuah protein intrasel, kemudian ikatan ini menghambat kalsineurin, sebuah molekul yang diperlukan untuk inisiasi pada transkripsi gen sitokin. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa penderita dermatitis atopik yang parah, yang sukar disembuhkan dengan pengobatan konvensional,

berespon baik dengan pengobatan siklosporin jangka pendek. Beragam resimen dosis oral yang direkomendasikan : 5 mg/ Kg telah secara umum berhasil digunakan pada pengobatan jangka pendek dan panjang (lebih dari 1 tahun), yang mana beberapa ahli menganjurkan penggunaan dosis harian mikroemulsi siklosporin berdasarkan berat badan independen, yaitu 150 mg (dosis rendah) atau 300 mg (dosis tinggi). Pengobatan dengan siklosporin dikaitkan dengan berkurangnya penyakit kulit dan paningkatan kualitas hidup. Penghentian pengobatan mungkin mengakibatkan kekambuhan yang cepat pada penyakit kulit, meskipun beberapa pasien mungkin telah menunjukkan adanya perbaikan. Peningkatan serum kreatinin atau kerusakan ginjal yang lebih bermakna dan hipertensi merupakan efek samping utama pada penggunaan siklosporin. A ime boli Mycophenolate mofetil adalah sebuah inhibitor sintesis purin yang digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, yang telah digunakan pada pengobatan kelainan kulit akibat proses inflamasi yang hebat. Penelitian-

penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Mycophenolate mofetil jangka pendek, 2 g perhari, sebagai terapi tunggal berhasil membersihkan lesi pada kulit pada penderita dermatitis atopik dewasa yang sudah resisten pada berbagai pengobatan, termasuk pengobatan steroid oral dan topikal, psoralen, dan sinar UVA. Obat ini secara umum mempunyai toleransi yang baik pada penderita herpes renitis. Supresi sumsum tulang belakang yang terkait dosis obat ini juga telah dip[elajari. Hasil yang sama seperti yang diberitakan sebelumnya, pada pasien dengan pengurangan indeks SCORAD (SCOring Atopic Dermatitis) yang bermakna, 68 % pada semua pasien. Dengan catatan, tidak semua pasien

mendapatkan keuntungan yang sama. Sehingga pengobatan dengan obat ini harus dihentikan jika pasien tidak menunjukkan respon yang bagus. Penelitian tentang control dan dosis optimal untuk obat ini sangatlah diperlukan. Methotrexate adalah sebuah antimetabolit dengan efek inhibisi yang poten pada sintesa sitokin dan kemotaksis sel. Methotrexate telah digunakan pada pasien dermatitis atopik yang susah diatasi. Dosis yang lebih sering, digunakan pada psoriasis. Azathioprin adalah sebuah analog purin dengan efek antiinflamasi dan

antiproliferasi. Azatropin telah digunakan pada dermatitis atopik yang parah. Myelosupresi adalah salah satu efek samping yang paling sering muncul. Dan kadar thiopurinemethil transferase mungkin mempresiksi risiko individu tersebut.

TERAPI YANG TIDAK TERBUKTI I erfero IFN dikenal untuk menekan respon IgE dan menurunkan regulasi proliferasi dan fungsi sel Th2. Beberapa penelitian pada pasien dermatitis atopik, termasuk pada multicentre, double-blind, placeco-controlled trial,58 dan two long-term open trials,59,60 telah menunjukkan bahwa pengobatan dengan rekombinan IFN manusia menghasilkan perbaikan klinis. Berkurangnya keparahan dermatitis

atopik terkait dengan kemampuan IFN untuk mengurangi angka eosinofil. Gejala menyerupai influenza secara umum merupakan efek samping awal pada pengobatan ini. Om lizum b Pengobatan pasien dermatitis atopik yang berat dan peningkatan level serum IgE dengan anti-IgE monoclonal menunjukkan kemanjuran yang kecil pada tiga pasien dewasa dan perbaikan yang bermakna pada tiga pasien remaja.62 Imu o er pi lerge Tidak seperti rhinitis alergika dan asma berat, imunoterapi dengan aeroalergen tidak menunjukkan kemanjuran yang berarti. Ada laporan yang bersifat anekdot pada eksaserbasi penyakit dan kesembuhannya. Penelitian terbaru tentang imunoterapi yang spesifik selama lebih dari 12 bulan pada pasien dermatitis atopik dewasa yang disensitisasi dengan alergen debu menunjukkan perbaikan pada indeks SCORAD sama seperti pengurangan penggunaan steroid topikal.63 Bagaimanapun juga, penelitian yang terkontrol dengan baik masih dibutuhkan untuk menentukan hubungan imunoterapi dengan penyakit ini. Ex r corpore l Pho ophere i Extracorporeal Photopheresis terdiri dari bagian dari psoralen-pengobatan leukosit yang melalui sistem sinar UVA extracorporeal. Perkembangan klinis di lesi kulit berhubungan dengan penurunan level IgE yang telah dilaporkan pada

beberapa pasien berat, dermatitis atopik resisten yang telah diobati dengan Extracorporel Photopheresis dan glukokortikoid topikal. Probio ik Pemberian probitik Lactobacillus rhamnosus jenis GG pada perinatal

menunjukkan penurunan insidensi dermatitis atopik pada anak-anak berisiko selama 2 tahun pertama kehidupan.64 Ibu diberikan salah satu plasebo atau Lactobacillus GG setiap hari selama 4 minggu sebelum persalinan dan kemudian ibu yang lain (apabila menyusui) atau pada bayi dilanjutkan dengan terapi harian selama 6 bulan. Pada studi selanjutnya, grup yang sama dinilai potensi persisten pada pencegahan dermatitis atopik dalam 4 tahun.65 Hasilnya menunjukkan bahwa pencegahan efek Lactobacillus pada DA dapat diperpanjang hingga diluar masa pertumbuhan anak-anak. Studi yang kedua, anak-anak dengan dermatitis atopik diobati dengan 2 jenis Lactobacillus selama 6 minggu mengalami perbaikan pada eksema dibandingkan pasien yang diberikan plasebo, meskipun indeks SCORAD tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.66 Respon pengobatan yang ditemukan lebih menyatakan pada pasien dengan tes skin prick positif dan kenaikan level IgE. Studi yang lain pada anak-anak dari dermatitis atopik sedang sampai berat yang diobati selama 8 minggu dengan L. fermentum pada studi kontrol plasebo menunjukkan kemajuan persisten dari SCORAD dalam 16 minggu.67 Studi ini menunjukkan probiotik ini, atau sekurangnya beberapa jenis Lactobacillus, mungkin dapat mencegah, efek akhir dari insidensi dermatitis atopik pada sebuah subset pasien. Penemuan lain dalam subkelompok responden, terapi optimal [rute yaitu (langsung pada bayi atau melalui susu ibu) lama pengobatan; jenis Lactobacillus], sebagai mekanisme yang terlibat sangatlah dibutuhkan.68 Chi e e Herb l Medic io Beberapa kontrol plasebo percobaan klinis telah menunjukkan pasien dengan dermatitis atopik berat lebih menguntungkan dengan pengobatan tradisional terapi herbal China. Hal tersebut mengurangi secara signifikan penyakit kulit dan menurunkan kejadian pruritus. Keuntungan hasil pengobatan terapi herbal China,

meskipun, seringkali untuk sementara, dan keefektivan membuthkan pengobatan yang berkesinambungan. Kemungkinan untuk hepatotoksik, efek samping ke jantung, atau reaksi aneh masih menjadi perhatian. Kandungan spesifik herba juga dijelaskan dan beberapa preparasi telah ditemukan terkontaminasi dengan kortikosteroid. Saat ini, terapi herbal China untuk dermatitis atopik perlu dipertimbangkan untuk diteliti.