DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

50
GAMBARAN UMUM DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE PENULIS: dr. NI KETUT SRI DINIARI, SpKJ (K) DIVISI PSIKIATRI GERIATRI DEPARTEMEN PSIKIATRI UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

Transcript of DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

Page 1: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

GAMBARAN UMUM

DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

PENULIS:

dr. NI KETUT SRI DINIARI, SpKJ (K)

DIVISI PSIKIATRI GERIATRI DEPARTEMEN PSIKIATRI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Page 2: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena

atas karunia-Nya tinjauan pustaka ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam

penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis banyak memperoleh bimbingan-bimbingan, serta

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ(K), selaku Koordinator Program Studi Ilmu Kedokteran

Jiwa FK UNUD

2. dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ, selaku Kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FK

UNUD/ RSUP Sanglah Denpasardan yang selalu memberi semangat dan masukan dalam

pembuatan tinjuan pustaka ini.

4.Seluruh staf dosen pada Bagian/KSM Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan referensi, dan

dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.

5. Semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungan dalam

penyusunan tinjauan pustaka ini

Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna

sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis mengucapkan

terima kasih.

Denpasar, Agustus 2018

Dr. N.K. SRI DINIARI, SpKJ (K)

Page 3: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI .............................................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL .................................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ iv

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 4

2.1 Epidemiologi Depresi Pada Perimenopause ................................................................................. 4

2.2 Definisi Depresi ............................................................................................................................ 6

2.3 Definisi Perimenopause .............................................................................................................. 13

2.4 Perubahan Hormonal pada Menopause ....................................................................................... 18

2.4.1 Vasomotor symptoms (VMS) .............................................................................................. 19

2.4.2 Perubahan Tidur ................................................................................................................... 20

2.4.3 Kekeringan vagina ............................................................................................................... 21

2.4.4 Gangguan Mood ................................................................................................................... 21

2.5 Depresi Pada Perimenopause ...................................................................................................... 23

2.5.1 Faktor Resiko Depresi Pada Perimenopause........................................................................ 26

2.5.2 Kualitas Hidup pada masa Perimenopause .......................................................................... 31

2.5.3 Penatalaksanaan Depresi Pada Perimenopause .................................................................... 31

BAB III. SIMPULAN .............................................................................................................. 39

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40

Page 4: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gejala-gejala depresi .................................................................................................... 6

Tabel 2. Kriteria Diagnosa MDD berdasar DSM-5 ................................................................... 7

Tabel 3. Faktor resiko depresi . ................................................................................................ 12

Tabel 4. Alat Ukur Pemeriksaan MDD................................................................................... 13

Tabel 5. Nomenkelatur STRAW untuk fase menopause ........................................................ 18

Tabel 6. Prinsip Penanganan MDD secara Klinis ................................................................... 32

Tabel 7. Fase Terapi MDD ..................................................................................................... 33

Tabel 8. Penatalaksanaan Depresi pada Perimenopause ......................................................... 34

Page 5: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. HPA axis ................................................................................................................ 11

Gambar 2. Perubahan Kadar Hormon Wanita ( Estrogen) (Karaoulanis, et al., 2012). .......... 14

Gambar 3. Tahapan Transisi Menopause (Zhou et al., 2012). ................................................. 17

Gambar 4. Kuesioner MRS (Mauas, Kopala-Sibley and Zuroff, 2014). ................................. 23

Gambar 5. Patofisiologi Depresi pada Perimenopause (Soares, 2010). ................................. 26

Gambar 6. Luaran penatalaksanaan depresi ............................................................................. 33

Page 6: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

v

DAFTAR SINGKATAN

SWAN :Study of Women’s Health Across the Nation

VMS :Vasomotor sympthoms

MDD : Major depressive disorder

DSM -5 :Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition

DSM –IV –TR: Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition, Text

Revision (DSM-IV-TR)

E2 :estradiol

HPA Aksis : hypothalamic-pituitary-adrenalaksis

MAO : monoamine oxidase

SSP : susunan saraf pusat

5-HT1 : 5-hydroxytryptamine

ESR1 : Estrogen Reseptor 1 (ESR1)

GABA : Gamma-Aminobutyric Acid

SSRIs : Selective serotonin reuptake inhibitors

SNRI : Selective serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors

GSM : genitourinaria menopause

HRT :Hormon Replacing Terapi

MRS :Menopause Rating Scale

NE : Norepinefrin

LC :locus cereolus

CRH :Corticotropine Releasing Hormone

BDI :Beck Depression Inventory

HAM-D :Hamilton Depression Rating Scale

ACTH :adrenocortocotropin-hormone

PST : Problem Solving Therapy

Page 7: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

1

BAB I

PENDAHULUAN

Kasus bunuh diri sering terjadi beberapa tahun terakhir ini. Depresi berat

dianggap menjadi penyebab utama bunuh diri di seluruh dunia. Badan Kesehatan

Dunia (WHO) memperingati Hari Kesehatan Sedunia pada tanggal 7 April 2017

dengan memperingatkan bahwa depresi sebagai penyebab kesakitan dan kecacatan

utama yang berdampak pada 300 juta orang di seluruh dunia.Direktur Departemen

Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Obat-obatan WHO, Shekhar Saxena,

mengatakan depresi menjadi penyebab epidemi kematian akibat bunuh diri.Depresi

meningkat lebih dari 18 % antara tahun 2005 sampai 2015.

Perwujudan depresi di masyarakat dapat kita lihat pada kecenderungan

tingginya konflik di masyarakat, agresivitas di jalan raya, kekerasan dalam rumah

tangga, kesurupan massal baik di sekolah dan di pabrik-pabrik, meluasnya

penggunaan narkoba yang merupakan upaya pelarian dari tekanan jiwa, juga

maraknya kasus bunuh diri. Semua hal ini menunjukkan adanya depresi baik yang

bersifat individual atau perorangan, depresi yang bersifat massal maupun depresi

yang bersifat terselubung, makin serius di Indonesia. Hal itu memicu gangguan

kecemasan dan menjadi tanda awal depresi yang dapat menjadi keadaan patologis

atau keadaan yang semakin parah jika berlanjut.

Riset Kesehatan Dasar 2007 menyebutkan di Indonesia prevalensi

gangguan mental emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke atas 11,6

persen.Gangguan mental emosional itu terutama adalah kecemasan dan depresi.

Prevalensi depresi global berkisar 5-10 persen dan angka di Indonesia tak jauh

berbeda. Prevalensi 5-10 persen itu sudah besar dan sudah bisa menjadi masalah

Page 8: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

2

masyarakat. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, maka mencapai 11-22 juta

jiwa.

Seorang wanita melalui berbagai tahap kehidupan mulai dari pubertas,

menstruasi, kehamilan, hingga menopause, yang tidak lepas dari peran hormon

estrogen. Menopause adalah tahap akhir dari siklus kehidupan wanita yang ditandai

dengan berakhirnya siklus menstruasi. Ada beberapa tahapan yang dialami wanita

sebelum mengalami menopause.Perimenopause merupakan fase transisi menuju

menopause yang dimulai sebelum menopause terjadi. Fase perimenopause

menimbulkan dampak fisik maupun psikologis pada seorang wanita. Dampak

psikologisnya bisa berupa gejala depresi seperti kecemasan berlebihan, paranoid,

mudah marah dan tersinggung oleh hal-hal sepele, merasa dirinya adalah beban,

sedih berlebihan, tertekan, dan selalu berpikiran negatif hingga sulit tidur.

Beberapa tahun terakhir, media sosial dihebohkan dengan meme bertema

“The power of emak-emak”. Ibu atau mak yang biasanya digambarkan lemah

lembut dan penyayang belakangan menjelma menjadi sosok perkasa, berkuasa, dan

terkadang agresif. Hal tersebut mungkin terkait dengan depresi yang dialami oleh

wanita.

Beberapa penelitian menemukan kecenderungan seorang wanita pada fase

perimenopause mengalami depresi. Perimenopause digambarkan sebagai fase

dengan banyak masalah antara lain merasakan pergeseran dan perubahan dan psikis

yang mengakibatkan timbulnya satu krisis dan simptom-simptom psikologis yang

akan mempengaruhi kualitas hidup pada wanita.

Page 9: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

3

Tinjauan pustaka ini akan membahas tentang psikodinamika terjadinya

depresi pada perimenopause dan penatalaksanaannya. Hal tersebut bertujuan agar

deteksi dini gejala depresi pada perimenopause dapat dilakukan secara rutin

sehingga kualitas hidup wanita pada fase perimenopause dapat ditingkatkan .

Page 10: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Depresi adalah penyebab terbesar kecacatan di seluruh duniadengan

prevalensi 17 % mengalami gangguan depresi mayor dan wanita mempunyai

kemungkinan dua kali lebih banyak mengalamigangguan depresi mayor

dibandingkan laki-laki(OR: 1,7 ; interval kepercayaan 95%: 1.5-2.0)(Ali et al.,

2017).Wanita memiliki prevalensi mengalamimajor depressive disorder ( MDD )

sebesar 4,9% dibandingkan laki-laki (sebesar 2,8%) (MacQueen et al., 2016).The

Global Burden of Disease Study 2010 menemukan bahwa gangguan depresi

merupakan penyebab utama kedua kecacatan di seluruh dunia, dan MDD

bertanggung jawab atas 2,5% dari total beban penyakit di dunia. MDD dikaitkan

dengan penurunan produktivitas utama akibat bertambahnya waktu tunda kerja dan

juga masalah kesehatan (kehilangan produktivitas terkait penyakit saat bekerja).

Survei Kesehatan Mental WHO menemukan bahwa depresi menyumbang lebih dari

5% kehilangan produktivitas akibat penyakit akibat populasi(MacQueen et al.,

2016).

Faktor hormon reproduksi cenderung berkontribusi pada perbedaan jenis

kelamin dalam depresi, yang dimulai sekitar masa pubertas dan bertahan sampai

paruh baya. Pada beberapa wanita muncul kerentanan berkembang menjadi depresi

selama masa fluktuasi hormon, termasuk fase pramenstruasi dari siklus menstruasi,

periode postpartum, dan perimenopause. Fluktuasi estrogen dan progesteron

diketahui mempengaruhineurotransmiter terlibat dalam depresi, termasuk serotonin

dan norepinephrine(Kornstein, et al., 2010).

Page 11: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

5

Di Amerika Serikat, 1,3 juta wanita mencapai menopause setiap

tahunnya.Diperkirakan bahwa ada 57 juta wanita di Amerika Serikat yang

setidaknya berumur 45 tahun; sekitar 6.000 di antaranya mengalami menopause

setiap hari. Usia onset natural menopause mungkin berbeda sedikit oleh ras dan

faktor lainnya, median usia onset adalah 47,5 tahun dan periode menstruasi terakhir

terjadi pada median usia 51,3 tahun pada wanita Kaukasia(Friedman et al., 2005).

Jumlah wanita menopause di Asia, menurut data WHO pada tahun 2025 melonjak

dari 107 juta jiwa akan menjadi 373 juta jiwa. Depkes RI (2005), memperkirakan

penduduk Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah

wanita yang hidup dalam usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dengan usia rata-

rata 49 tahun yang mengalami menopause(Muniroh, 2013). Data BPS menunjukkan

bahwa 5.320.000 wanita Indonesia memasuki masa menopause per tahunnya(Putri

and Hamidah, 2012).

Sebagian besar wanita beralih ke masa menopause tanpa mengalami

masalah kejiwaan, diperkirakan 20% mengalami depresi selama

menopause(Kusumawardhani, 2006).Freeman dkk, 2004 dalamGibbs et al.,

2012menemukan wanita mengalami peningkatan skor depresi pada saat masa

perimenopause dan kemungkinan tiga kali lebih besar melaporkan gejala depresi

dibandingkan wanita pramenopause. Cohen et al. (2006) menemukan bahwa wanita

tanpa riwayat depresi berat yang mengalami hot flashes selama perimenopause

secara signifikan cenderung mengalami depresi dibandingkan wanita yang tidak

memasuki perimenopause (Gibbs, Lee, & Kulkarni, 2012).

Page 12: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

6

2.2 Definisi Depresi

Depresi merupakan suatu sindrom gangguan mood yang ditandai dengan

sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing -masing

individu. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan seperti

murung, sedih dan rasa putus asa maka diagnosis mudah ditegakkan. Tetapi bila

gejala depresi muncul dengan keluhan somatik( seperti nyeri kepala, nyeri ulu hati,

malas bekerja), depresi sering tidak terdiagnosis. Depresi berbeda dalam

manifestasi klinik, perjalanan penyakit, dan respon pengobatan berdasarkan berat

ringan gejala yang muncul dan kondisi medik lain/ gangguan psikiatrik lain sebagai

penyebab gangguan. Tabel 1 menampilkan beberapa gejala yang dapat muncul pada

pasien dengan gangguan depresi(Amir, 2016).

Tabel 1. Gejala-gejala depresi(Amir, 2016)

Kriteria diagnosis depresi berat ( MDD) dapat berdasarkan pada

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5).

Page 13: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

7

DSM-5, diperkenalkan pada tahun 2013, menyingkirkan kategori gangguan mood

yang luas dan mengklasifikasikan gangguan depresi secara terpisah dari gangguan

bipolar. Gejala mayor dan durasi dariMajor Depression Episode (MDE) DSM-5

tidak berubah dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth

Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Perubahan penting dalam DSM-5 mencakup

klasifikasi baru depresi kronis sebagai gangguan depresi persisten, yang terdiri dari

diagnosis DSM-IV-TR sebelumnya dari MDE kronis dan gangguan

distimia(MacQueen et al., 2016). Tabel2 memaparkan kriteria DSM-5 untuk

depresi(Lam et al., 2016)

Tabel 2. Kriteria Diagnosa MDD berdasar DSM-5(MacQueen et al., 2016)

Page 14: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

8

Diagnosis depresi sesuai dengan katagori diagnosis Episode Depresif

menurut PPDGJ-III, adanya gejala utama ( pada derajat ringan, sedang dan

berat)ditandai dengan afek depresif, adanya kehilangan minat dan kesenangan yang

semula dinikmati dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnyakeadaan

mudah lelah ( rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya

aktivitas. Disertai dengan gejala lainnya : konsentrasi dan perhatian berkurang,

harga diri dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak

berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan

membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan terganggu.

Diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu atau bisa juga lebih pendek bila

gejala sangat berat, untuk penegakan diagnosis. Beberapa diantara gejala tersebut

mungkin mencolok dan memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas

mempunyai makna klinis khusus yang disebut sebagai sindrom somatik. Biasanya

sindrom somatik ini hanya dianggap ada apabila terdapat empat (4) dari gejala

dijumpai. Contoh paling khas dari gejala somatik ini adalah :

1. Kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya

dapat dinikmati,

2. Tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang

biasanya menyenangkan,

3. Bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya,

4. Depresi yang lebih parah pada pagi hari,

5. Bukti obyektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (

disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain),

6. Kehilangan nafsu makan yang mencolok,

Page 15: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

9

7. Penurunan berat badan ( sering ditentukan sebagai 5% atau lebih

dari berat badan bulan terakhir),

8. Kehilangan libido secara mencolok.

Gangguan distimik adalah suatu kondisi penurunan mood atau anhedonia

kronik tanpa ciri psikotik. Pasien merasa sedih, sulit masuk tidur, merasa lebih baik

pada pagi hari ( khas), sangat sedih di sore dan malam hari, terlihat tanda-tanda

depresi. Kondisi tersebut berlangsung selama 2 tahun. Gangguan distimik sama

dengan MDD tetapi gejalanya lebih ringan. Sekitar 20% atau lebih pasien yang

mengalami MDD tidak sembuh sempurna dan secara kronik mengalami gejala sisa

berupa gejala distimia (Amir, 2016).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa depresi diakibatkan karena

berkurangnya neurotransmiter monoamine, terutama norepinefrin ( NE) dan

serotonin. Teori ini diperkuat lagi dengan ditemukannya obat-obatan seperti

antidepresan trisiklik dan monoamine oksidase inhibitor yang bekerja

meningkatkan monoamine di celah sinap yang menyertai perbaikan gejala depresi.

Neurotransmiter monoamine terdiri dari :

1. Serotonin

Neuron serotoninergic berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke

korteks serebri, hipotalamus, thalamus, ganglia basalis, septum dan

hipokampus. Proyeksinya ke tempat --tempat ini mendasari keterlibatannya

pada gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin. Serotonin

berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan dan libido. Sistem serotonin

yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur

ritmik sirkadian ( misal : siklus bangun tidur, temperatur tubuh, dan fungsi

Page 16: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

10

aksis hypothalamic-pituitary-adrenal ( HPA Aksis)). Neurotransmiter

serotonin terganggu pada deresi. Beberapa penelitian dengan pencitraan

mendapatkan penurunan jumlah reseptor postsinap 5-HT1A dan 5-HT2A

pada pasien depresi berat. Triptofan merupakan prekursor serotonin,

menurun pada pasien depresi. Penurunan kadar triptofan dapat menurunkan

daya ingat, atensi dan fungsi eksekutif.

2. Noradrenergik

Badan sel neuron adrenergic terletak di locus cereolus (LC) batang batang

dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia,

hipotalamus, dan thalamus. Stresor akut dapat meningkatkan aktivasi LC.

Stressor menetap dapat menurunkan kadar NE di forebrain medial.

Penurunan ini menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada

depresi. NE hipotalamus berproyeksi ke paraventricular nucleus

hipotalamus. Aktivasi NE dapat meningkatkan sintesis dan pelepasan

Corticotropine Releasing Hormone (CRH).

3. Dopamine

Ada empat jaras dopamine di otak, yaitu : sistem tuberoinfundibular, sistem

nigrostriatal, sistem mesolimbic, sistem mesokortikal. Penurunan aktivitas

dopamine dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik dan anhedonia.

Neurotransmitter lain yang berperan dalam depresi adalah Gamma-Aminobutyric

Acid (GABA). GABA memiliki efek inhibisi terhadap monoamine, terutama pada

system mesokortek dan mesolimbic. Stresor kronik dapat mengurangi kadar GABA

dan antidepresan meningkatkan regulasi reseptor GABA (Amir, 2016).

Page 17: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

11

Tubuh akan meningkatkan kewaspadaan jika terpapar stresor dengan

mengaktifkan kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormone kortisol

untuk mempertahankan kehidupan. Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan

terjadi mekanismeumpan balik negative, yaitu hipotalamus menekan sekresi CRH,

kemudian hipofisis akan menurunkan produksi adrenocortocotropin-hormone

(ACTH). Pesan akan diteruskan ke adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.

Sistem CRH merupakan sistem yang paling berpengaruh oleh stresor yang dialami

seseorang pada awal kehidupan. Stresor di awal kehidupan menyebabkan

peningkatan sekresi CRH, penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis,

perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik yang mengakibatkan

kerentanan terhadap stress meningkat. Gambar 1 menampilkan mekanisme umpan

balik negatif dari HPA aksis.

Gambar 1. Mekanisme umpan balik negatif HPA axis(Kornstein et al., 2013)

Page 18: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

12

MDD juga dikaitkan dengan penurunan kualitas hidup yang serius dan

memiliki dampak ekonomi yang besar karena biaya pekerjaan, biaya layanan

kesehatan, dan biaya yang berkaitan dengan bunuh diri. Faktor sosial (misalnya,

hubungan dan aktivitas sosial) memiliki keterkaitan yang kompleks dengan

gangguan depresi, termasuk peran substansial dalam penyebab MDD.Suasana hati

yang tertekan, kehilangan minat, konsentrasi terganggu, dan menyalahkan diri

sendiri adalah gejala yang paling terkait dengan gangguan sosial.Depresi pada

orang tua juga dapat mempengaruhi kesehatan mereka.anak-anak. Depresi ibu

perinatal dikaitkan dengan banyak efek samping pada anak-anak, termasuk

peningkatan masalah dengan regulasi emosional, gangguan internalisasi, gangguan

perilaku, hiperaktif, berkurangnya kompetensi sosial, keterikatan yang tidak aman,

depresi remaja, dan efek negatif pada perkembangan kognitif. Tabel 3 menampilan

faktor resiko MDD (Lam et al., 2016).

Tabel 3. Faktor resiko depresi(Lam et al., 2016).

Pasien jarang melaporkan stres dan sering melaporkan gejala somatik.

Pemeriksaan dalam waktu yang singkat singkat, membuat penilaian depresi yang

Page 19: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

13

panjang menantang. Salah satu tantangan dalam perawatan primer adalah tingkat

deteksi rendah dalam mendiagnosis depresi(Sarri, Davies, & Lumsden, 2015).Skala

penilaian terhadap depresi mungkin dapat menilai beratnya gejala yang

muncul.Ada dua instrument yang sering digunakan untuk menilai depresi, yaitu

Beck Depression Inventory ( BDI) dimana pertanyaan dijawab sendiri oleh pasien

dan Hamilton Depression Rating Scale (HAM-D) dimana pertanyaan dinilai oleh

terapis(Amir, 2016).

Tabel 4. Alat Ukur Pemeriksaan MDD(MacQueen et al., 2016).

2.3 Definisi Perimenopause

Perimenopause didefinisikan dari sudut pandang endokrinologi oleh

tingkat FSH> 25 IU / L (indikasi adanya usaha gonadotropin untuk merangsang

fungsi ovarium yang menurun) dan tingkat estradiol (E2) <40 pg / ml (Gibbs et al.,

2012)dan E1 kurang dari 25 pg / ml(Soares, 2010). Tiga definisi paling banyak

digunakan dari sudut pandang klinis: pertama, ketika wanita memiliki irregular

periode atau amenore berkepanjangan kurang dari 12 bulan kedua, kedua, periode

Page 20: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

14

waktu dengan ketidakteraturan haid lebih dari tujuh hari (mengenai hal yang umum

terjadi pada wanita yang bersangkutan) dengan atau tanpa amenore lebih dari tiga

bulan, dan ketiga, periode amenorea 3 sampai 11 bulan(Soares, 2010).

Perimenopause adalah hal yang normal, akan dialami oleh semua wanita yang

berusia 45-55 tahun, rata-rata usia 51 tahun (Kusumawardhani, 2006).

Gambar 2. Perubahan Kadar Hormon Wanita ( Estrogen)(Karaoulanis, et al., 2012).

E2 adalah hormon yang terkenal dengan perannya pada reproduksi dan

perilaku aktivitas seksual. Selain E2 ini juga ada sifat ansiolitik, meningkatkan

kemampuan belajar dan ingatan, dan meningkatkan kemampuan dari wanita untuk

merespon dengan tepat terhadap bahaya sinyal di lingkungan mereka. E2

memodulasi berbagai jalur di sistem saraf pusat (SSP) termasuk HPA aksis dan efek

modulasi pada neurotransmitter monoamine (Cekmez, et al., 2015). Estrogen

bekerja merangsang sintesis neurotransmiter, ekspresi reseptor, dan mempengaruhi

permeabilitas membran. Di antara mekanisme lainnya, estrogen menurunkan

aktivitas monoamine oxidase (MAO) di SSP, yang menghambat pemecahan

serotonin dan NE.Selain itu, estrogen meningkatkan sintesis serotonin,

Page 21: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

15

meningkatkan reseptor 5-hydroxytryptamine (5-HT1), dan penurunkan reseptor 5-

HT2. Estrogen juga meningkatkan aktivitas norepinephrine di otak, mungkin

dengan menurunkan reuptake dan degradasi melalui penghambatan enzim MAO

dan catechol O-methyltransferase. Estrogen Reseptor 1 (ESR1) ditemukan dalam

konsentrasi tinggidi hipotalamusdaerah preoptik dan amigdala. ESR2 didapatkan

dominan di hippocampus,korteks dan talamus. Hal ini menunjukkan bahwa ESR1

memainkan lebih banyak peran penting dari ESR2 dalam fungsi afektif(Ryan and

Ancelin, 2012).

E2 terbukti memodulasi turn-overneurotransmitter dan merangsang

aktivitas serotonergik melalui regulasidari jumlah dan fungsi reseptor. E2

memodulasi sintesis, ketersediaan, dan metabolisme serotonin(neurotransmitter

kunci dalam depresi). Hal tersebut menunjukkan bahwa estrogen dapat

mempengaruhi mood. Wanita cenderung mengalami gangguan depresi selamafase

pertengahan sampai akhir luteal dari siklus menstruasi, periode dimana kadar

progesteronmemuncak dan kadar E2 menurun(Cekmez, et al., 2015).

KadarGABA menurun secara signifikan terdapat di wilayah ACC/mPFC

pada wanita pascamenopause yang menderita depresi.GABA merupakan

penghambat neurotransmitter utama di SSP, terutama terlokalisir ke neuron

inhibisi, secara kritis mempengaruhi fungsi kortikosteroid. Oleh karena itu, tingkat

GABA yang berkurang,terutama di korteks prefrontal dorsomedial dan korteks

prefrontal dorsallateral pada pasien depresi, dapat mengindikasikan adanya

kehilangan atau disfungsi neuron GABAergik pada wanita pascamenopause dengan

depresi. Normalisasi kadar GABA di otak dengan pengobatan dengan Selective

serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)dikaitkan dengan perbaikan gejala

Page 22: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

16

depresiyang selanjutnya menyiratkan bahwa temuantentang tingkat GABA yang

menurun dapat terlibat dalam patogenesis depresi pada wanita

pascamenopause(Wang et al., 2016).

Ketidakteraturan menstruasi merupakan ciri transisi menopause terjadi

karena penurunan fungsi folikel ovarium. Penurunan jumlah folikel yang tumbuh

ini menyebabkan penurunan produksi inhibin B. Penurunan inhibin B

menghilangkan penekanan fisiologis pada folikel stimulating hormone(FSH) yang

mengendalikan proses folliculogenesis dan terjadi peningkatanFSH. Pada awal

masa transisi, tingkat FSH tidak meningkat secara konsisten, dan seringkali

bervariasi dari bulan ke bulan karena folikel yang tumbuh itu bervariasi dari bulan

ke bulan bulan. Fase folikuler menjadi lebih pendek, dan akibatnya, produksi E2

menurun. Perubahan biologis yang terjadi selama perimenopause adalah proses

degenerative dari HPA aksis. Perubahan utama termasuk variasi hebat dalam kadar

hormon seks plasma, terutama fluktuasi E2 yang lebih tinggi dari pada

premenopause dan efek pada SSP oleh hormon seks seperti estrogen dan androgen

(Wang, et al., 2014).

Page 23: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

17

Gambar 3. Tahapan Transisi Menopause(Zhou et al., 2012)

Penelitian Stages of Reproductive Aging Workshop (STRAW)pada tahun

2012menentukan berbagai tahap transisi menopause. Transisi menopause

berlangsung rata-rata selama 4 tahun dan dibagi menjadi fase awal dan akhir.

Transisi menopause diawali ketika ketidakteraturan menstruasi pertama kali

muncul, didefinisikan secara klasik sebagai periode peningkatan variabilitas

panjang siklus lebih dari 7 hari (Hess , et al., 2012).Tahap STRAW yang relevan

dengan topik ini mencakup tahap reproduksi akhir (-3band-3a), tahap transisi

menopause dan tahap menopause (-2 dan -1 ), dan postmenopause awal (+ 1a dan

+ 1b). Tahapan ini ditunjukkan pada Gambar 3(Santoro, 2016).

Page 24: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

18

Tabel 5. Nomenkelatur STRAW untuk fase menopause(Burger et al., 2007).

2.4 Perubahan Hormonal pada Perimenopause

Perimenopausediketahui sebagai window of vulnerability, di mana

munculketidaknyamanan fisik, emosional dan hormonal. Gejala klinis yang muncul

disebut sindrom menopause atausindrom klimakterik (Karaoulanis, et al.,

2012).Sindrommenopause diantaranya: kecemasan, depresi, penurunan libido,

kekeringan vagina, insomnia, sulit berkonsentrasi, dan gejala vasomotor (hot

flashes dan keringat malam) (Whiteley, et al., 2013).

Beberapa gejala menopause dialami bisa cukup parah untuk mempengaruhi

normal mereka kegiatan sehari-hari. Sayangnya mayoritas wanita ini tidak sadar

akan perubahan yang ditimbulkan oleh menopause(Abdul Rahman, et al., 2010).

Page 25: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

19

2.4.1 Vasomotor symptoms (VMS)

Hot flashes adalah gejala vasomotor utama pada menopause yang hampir

dialami secara universal oleh perempuan. Bukti epidemiologis terkini menunjukkan

bahwa prevalensihot flashes mulai meningkat pada masa perimenopause awal,

menjadi sekitar 39%, dan hampir dua kali lipat untuk tingkat pelaporan kumulatif

67% di antara wanita SWAN. Gejala vasomotor menyebabkan sejumlah besar

tekanandan pengurangan kualitas hidup terkait kesehatan (Santoro, 2016).Hormone

therapy (HT) merupakan terapi standar yang direkomendasikan oleh FDA untuk

keluhan hot flashes(Pinkerton, Stovall and Kightlinger, 2009)

Istilah 'hot flashes', 'hot flushes', 'night sweats', 'gejala klimakterik' dan

'VMS' sering digunakan secara bergantian. VMS yang paling menonjol dari

menopause, hot flash, digambarkan sebagai penyebaran rasa panas melalui tubuh

bagian atas yang progresif sering berlangsung antara 1 dan 5 menit, meskipun bisa

lebih pendek atau bertahan hingga 15 menit. Avis et al. menemukan bahwa hot

flashes dan keringat malam terjadi bersamaan . Keringat dan palpitasi dapat

menyertai hot flashes dan berkontribusi pada ketidaknyamanan pada wanita dalam

masa perimenopause.Kelelahan bisa berkembang sebagai akibat seringnya

terbangun di malam hari. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gejala ini

mulai meningkat sebelum menopause, puncaknya dalam waktu 2-3 tahun setelah

menopause dan kemudian secara bertahap meruncing untuk kebanyakan wanita.

SWAN juga menunjukkan bahwa hot flashes dilaporkan mencapai 57% wanita

selama perimenopause dan 50% selama postmenopause. Faktor risiko untuk hot

flashes termasuk menopause akibat bedah (mengakibatkan penurunan kadar

Page 26: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

20

estrogen secara mendadak), peningkatan IMT, merokok (masa lalu dan saat ini) dan

aktivitas fisik yang berat(Pinkerton, Stovall and Kightlinger, 2009).

Hot flashesdikaitkan dengan pelebaran perifer dengan peningkatan suhu

kulit dan aliran darah, biasanya dalam beberapa detik pertama hot flashes. Teori

Freedman adalah bahwa hot flashesdipicu oleh peningkatan pada suhu tubuh pada

wanita perimenopause. Jika peningkatan suhu tubuh melebihi batas atas maka

gejalahot flashdisertai dengan berkeringat dan vasodilatasi perifer terjadi. Jika suhu

melewati batas bawah, menggigil dapat terjadi. Fluktuasi tingkat estrogen dapat

meningkatkan sensitivitas reseptor 5-HT2A di pusat termoregulator

hipotalamus(Yousef, 2017).

2.4.2 Perubahan Tidur

Wanita mulai mengalami perubahan pola tidur mereka di usia 40-an, dan

ini cenderung memburuk selama masa perimenopause. Secara signifikan, wanita

yang lebih tua mengeluhkan insomnia dibandingkan dengan kelompok demografis

lainnya.Gangguan tidur telah dikaitkan dengan hot flashes. Ohayon mensurvei

sampel 3243 orang dewasa di California dan mengamati prevalensi variabel hot

flashessebesar 12,5% pada wanita pramenopause, 79% pada wanita

perimenopause, dan 39,3% wanita pascamenopause berhubungan dengan masing-

masing tingkat insomnia 36,5%, 56,6%, dan 50,7 %. Keluhan hot flashesyang lebih

parah, lebih mungkin seorang wanita melaporkan insomnia (Mauas, Kopala-Sibley

and Zuroff, 2014). Hubungan antara hot flashesdan tidur yang buruk tentu saja

intuitif, dan beberapa model penjelasan menganggap bahwa antisipasi hot flashes

dapat memengaruhi kemampuan seorang wanita untuk tertidur dan juga

kemampuannya untuk tetap tidur (Al-Safi and Santoro, 2000).

Page 27: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

21

2.4.3 Kekeringan vagina

Gejala vagina umum terjadi pada wanita perimenopausedan kekeringan

vagina, khususnya, dilaporkan terjadi pada sekitar seperempat sampai

sepertigawanita. Gejala kekeringan vagina, iritasi, dan disuria telah diberi nama

sindrom genitourinaria menopause (GSM).Terjadi peningkatan PH vagina dari

nilai normal 3,8-4,5 menjadi 6,0-7,0 . Lingkungan vagina yang semakin alkali ini

meningkatkan v ulnerabilitas pada energi oportunistik(Yousef, 2017).

2.4.4 Gangguan Mood

Gejala depresi lebih mungkin dilaporkan oleh wanita yang mengalami

perimenopause. Depresi mayor ternyata lebih mungkin terjadi pada wanita selama

transisi menopause akhir. Penting untuk membedakan gejala depresi, yang terjadi

pada sebagian besar wanita, dari mayor depresi, yang merupakan diagnosis

kejiwaan yang jauh lebih serius. SWAN menemukan prevalensi gejala depresi pada

wanita pada masa premenopause sebesar 20,9%, pada masa perimenopause sebesar

27,8% dan turun menjadi 22% oleh postmenopause.

Berbagai alat atau instrumen telah dirancang untuk mengukur dan menilai

gejala selama masa menopause, di antaranya adalah Menopause Rating Scale

(MRS) yang dirancang untuk mengukur tingkat keparahan gejala

menopausedengan menilai profil gejala, terdiri dari 11 item(Rahman, Zainudin and

Mun, 2010). MRSmerupakan instrumen self reported yang telah banyak digunakan,

telah divalidasi dan telah digunakan dalam banyak penelitian klinis dan

epidemiologi. Penilaian meliputi :

(a) somatik : hot flash, ketidaknyamanan / palpitasi jantung, masalah tidur dan

masalah otot dan sendi;

Page 28: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

22

(b) psikologis/mood : gejala depresi, mudah tersinggung, cemas dan kelelahan fisik

dan mental;

(c) masalah seksual-urogenital : masalah kandung kemih dan kekeringan pada

vagina.

Masing-masing dari sebelas gejala tersebut mengandung skala penilaian

dari "0" (tidak ada keluhan) sampai "4" (gejala sangat parah) (Rahman, Zainudin

and Mun, 2010).

Page 29: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

23

Gambar 4. Kuesioner MRS(Mauas, Kopala-Sibley and Zuroff, 2014).

2.5 Depresi Pada Perimenopause

Fase perimenopause sangat berkaitan dengan perubahan afektif, mulai

dari gejala depresi ringan hingga terdiagnosa sebagai episode depresi berat (MDD).

Depresi pada perimenopause adalah keadaan depresi yang terjadi pada wanita yang

berada dalam periode waktu saat menjelang menopause (Kusumawardhani,

2006).SWAN mengukur “psychological distress“untuk sindrom depresi pada

masa perimenopausedengan gejala berupa : kesedihan, kegelisahan, dan mudah

Page 30: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

24

tersinggung , dimana gejala tersebut bertahan selama ≥ 2 minggu(Sarri, Davies and

Lumsden, 2015).Skrining untuk depresi perimenopause, harus mempertimbangkan

faktor risiko tambahan utama termasuk episode depresi sebelumnya, stresor

psikososial, dan gejala klimakterik berat (misalnya, gangguan tidur, gejala

vasomotor) (Sarri, Davies, & Lumsden, 2015).

Penyebab gejala depresi yang mendasar selama perimenopause masih

belum jelas. Hormon seks dianggap memainkan peran penting dalam patologi

depresi perimenopause. Hipotesis penurunan estrogen untuk depresi

perimenopause adalah penurunan estrogen secara langsung dengan perubahan

biokimiawi pada otak dan postulat bahwa insufisiensi estrogen menyebabkan

depresi. Namun, mayoritas dari sebelumnya studi tentang hubungan langsung

antara depresi perimenopause dan hormon seks plasma telah ditunjukkan hasil yang

tidak konsisten(Wang, et al., 2014). Namun, apakah hormon memiliki dampak

langsung atau tidak langsung masih kontroversial.Gallicchio dkk, tidak

menemukan asosiasi yang signifikan secara statistikantara hormon (estradiol, FEI,

estrone, androstenedione, testosteron, FTI, DHEA-S, danSHBG) dan gejala depresi

pada wanita perimenopause. Namun, gejala menopause yang muncul dilaporkan

secara signifikan terkait dengan gejala depresi (Brown, et al., 2009).

Gejala VMS telah dikaitkan dengan depresi pada perimenopause.Terdapat

hubungan yang signifikan antara hot flashes dan depresi perimenopause. Keluhan

hot flashes dan gejala depresi terjadi di awal transisi menopause pada wanita tanpa

pengalaman sebelumnya dari gejala ini. Gejala depresi lebih cenderung mendahului

hot flashes pada wanita yang melaporkan kedua gejala tersebut. Temuan ini

mendukung konsep bahwa perubahan lingkungan hormonal dari perimenopause

Page 31: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

25

adalah satu dari beberapa faktor yang terkait dengan timbulnya gejala

depresi(Borkolesa, et al., 2015).

Asosiasi seperti itu menambahkan dukungan terhadap ‘domino theory’ dari

patofisiologi depresi perimenopause yang mengalami gejala somatik. Gejala

somatik yang muncul seperti hot flashes, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi,

insomnia, dan gejala vasomotorkarena penurunankadar estrogen, menyebabkan

ketidaknyamanan secara mental dan fisik menjadi penyebab timbulnya depresi

selama perimenopause. Secara khusus, bila dikombinasikan dengan kekurangan

memahami atau mengendalikan kondisi menopause akan menyebabkan semakin

parahnya gejala depresi yang dialami (Whiteley, et al., 2013).Faktor psikososial dan

faktor perilaku (misalnya : dukungan sosial, kehilangan minat seks,peristiwa

traumatik) yang dialami wanita saat beralih ke masa menopause mungkin juga

merupakan pemicu munculnya gangguan mood pada umumnya dan gejala depresi

pada khususnya (Borkolesa, et al., 2015).

Page 32: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

26

Gambar 5. Patofisiologi Depresi pada Perimenopause(Soares, 2010).

2.5.1 Faktor Resiko Depresi Pada Perimenopause

Mengidentifikasi risiko depresi pada perimenopause sangat penting

karena kecacatannya yang signifikan dan hubungan yang kuat dengan penyakit lain

pada wanita paruh baya seperti sindrom metabolik, osteoporosis, dan penyakit

kardiovaskular. Faktor risiko untuk depresi perimenopause antara lain: kerentanan

hormonal/factor biologi, gejala VMS yang muncul, dukungan social, stressful life

event, riwayat gangguan mood, status sosial ekonomi, merokok, olahraga, indeks

massa tubuh (BMI), dukungan sosial, mekanisme koping

(Borkoles et al., 2015).

2.5.1.1 Biologi

Pembahasan sebelumnya telah diketahui peran hormon reproduksi dalam

menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap depresi. Penelitian ini memusatkan

perhatian pada efek estradiol, estrogen yang dominan saat ini selama masa

Ketidakstabilan

Hormon

Gangguan tidur Hot

Flashes DEPRESI

Page 33: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

27

reproduksi (WK, et al., 2017). Bukti penemuan biologis dan epidemiologis

mendukung peran estradiol (E2) pada depresi. Sebuah penelitian dengan wanita

berusia 40 sampai 60 tahun, didapatkan wanita yang memiliki gejala vasomotor

memiliki kemungkinan lebih besar menderita gejala depresi dibandingkan mereka

yang tidak memiliki gejala vasomotor, bahkan setelah mengendalikan latar

belakang depresi(Garcia-Portilla, 2009).Sebagian besar penelitian tentang mengapa

beberapa wanita tampaknya rentan terhadap depresi perimenopause berkisar pada

kadar estrogen yang berfluktuasi. Kemunculan depresi dan perubahan pada hormon

reproduksi secara intuitif menunjukkan bahwa mekanisme endokrin terlibat dalam

etiologi depresi perimenopause(Cekmez, et al., 2015).

Freeman dkk. (2004a) menemukan peningkatan risiko depresi berat selama

perimenopause dibandingkan dengan premenopause atau postmenopause, terlepas

dari variabel seperti riwayat depresi masa lalu, gejala vasomotor (VMS) dan

kualitas tidur. Hal ini menunjukkan bahwa itu adalah fluktuasi hormon reproduksi

yang memicu depresi pada wanita yang rentan. Melalui studi hewan dan manusia,

dan data klinis, diketahui bahwa hormon reproduksi progesteron dan estrogen dan

neurotransmiter yang bertanggung jawab atas mood, serotonin, berbagi jalur dan

lokasi reseptor yang umum di otak.Hal ini menunjukkan bahwa, bagi beberapa

wanita, mungkin ada kerentanan fisiologis yang menggarisbawahi untuk kesulitan

suasana hati yang berkaitan dengan kejadian reproduksi (Bromberger et al. 2010).

2.5.1.3 Riwayat Gangguan Psikiatri sebelumnya dan Riwayat Keluarga

Woodsetal, menemukan riwayat keluarga dengan depresisebagai faktor

risiko potensial untuk depresi pada 302 wanita AS berusia 35 sampai 55 tahun

(Shafiee et al., 2016).Depresi selama perimenopause terutama terkait dengan

Page 34: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

28

episode depresi sebelumnya yang terkait dengan siklus menstruasi atau periode

perubahan fungsi hormonal yang berubah, seperti sindrom pramenstruasi dan

depresi pascamelahirkan. Lebih dari separuh wanita dengan depresi perimenopause

mengalami episode depresi sebelumnya (Cohen et al 2006; Freeman et al 2006a).

Dalam sebuah studi longitudinal, Avis et al. (1994) dalam Jamil & Khalid, 2016

menemukan bahwa depresi sebelumnya adalah variabel yang paling prediktif untuk

depresi berikutnya pada wanita berusia 45-55 tahun.

2.5.1.4Persepsi tentang menopause

Penelitian telah menunjukkan bahwa cara wanita mengalami menopause

dan harapan yang mereka dapatkan dalam masa transisi, mempengaruhi kondisi

psikologis mereka selama periode perimenopause. Avis dan McKinlay (1991)

menemukan bahwa wanita yang memiliki sikap negatif terhadap menopause

mempunyai gejala perimenopause lebih banyak dan cenderung mengalami depresi.

Pengalaman perimenopause dipengaruhi oleh faktor budaya, dan persepsi

kita tentang hal ini sangat bergantung pada pembelajaran sosial tentang apa yang

harus diantisipasi pada usia paruh baya. Wanita dengan keyakinan negatif

sebelumnya tentang perimenopause lebih cenderung mempunyai gejala klimakterik

yang parah. Keyakinan negatif tentang menopause dapat bertindak sebagai filter

untuk gejala yang dialami dan karenanya mempengaruhi persepsi perimenopause

perempuan(Gibbs, Lee and Kulkarni, 2012).

2.5.1.5Stressful life event

Hubungan antara peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dan kejadian

depresi telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa perimenopause dan usia paruh baya dikaitkan dengan kejadian

Page 35: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

29

kehidupan yang jauh lebih menekan daripada tahap lain kehidupan seorang wanita

(Schmidt et al., 2004). Peningkatan kejadian kejadian negatif ini didominasi

berkaitan dengan kejadian yang terkait dengan problem interpersonal (misalnya

anak-anak yang meninggalkan rumah dan kematian orang tua) (Gibbs, Lee and

Kulkarni, 2012).

2.5.1.6Mekanisme koping

Cara di mana seseorang mengatasi stres telah ditunjukkan untuk

memoderasi hubungan antara perimenopause dan gangguan mood. Ada banyak

penelitian yang meneliti bagaimana individu mengatasi stres, terutama karena hal

ini berkaitan dengan risiko episode depresi secara umum dan sejumlah penelitian

yang sangat sederhana yang melihat dampak gaya mengatasi depresi selama

perimenopause. Berkenaan dengan penelitian yang melihat depresi secara umum,

ada beberapa gaya penanggulangan yang berbeda yang diidentifikasi lebih efektif

daripada yang lainnya (Soares, 2010).

Carver dkk. (1989) dalam (Soares, 2010), dalam model strategi

penanggulangan multidimensi mereka, mengidentifikasi beberapa mekanisme

koping utama yang digunakan orang untuk mengatasi situasi yang penuh tekanan.

Antara lain : penanganan aktif, perencanaan, melakukan kegiatan lain yang lebih

positif, pengendalian diri yang ketat, pencarian dukungan sosial , pikiran yang

positif, penerimaan, penyangkalan, pendekatan keagamaan, melampiaskan emosi.

Mekanisme koping ini berimplikasi pada pengelolaan depresi pada perimenopause.

Tampaknya sumber psikologis seseorang mempengaruhi bagaimana mereka

mengatasi selama periode perimenopause. Tampaknya wanita-wanita yang

mungkin tidak menggunakan strategi penanganan yang paling membantu lebih

Page 36: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

30

cenderung terkena dampak negatif selama periode kerentanan hormonal (Soares,

2010).

2.5.1.7 Dukungan sosial, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan

Dukungan sosial telah ditemukan sebagai alat modulasi depresi

perimenopause yang penting. Dukungan sosial yang baik dianggap memoderatori

efek negatif dari peristiwa kehidupan selama paruh waktu, yang konsisten dengan

apa yang kita ketahui dari melihat depresi yang lebih luas. Harlow dkk. (1999)

dalam (Ali et al., 2017) menemukan bahwawanita yang belum pernah menikah atau

bercerai, janda atau berpisah berisiko tinggi mengalami depresi selama

perimenopause.

Status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan diketahui protektif terhadap

depresi. Dalam penelitian cross-sectional, Harlow dkk. (1999) menemukan bahwa

wanita yang saat ini bekerja dan mempunyai status sosial ekonomi yang lebih tinggi

cenderung memiliki skor depresi yang lebih rendah. Penelitian ini juga

menunjukkan bahwa pencapaian pendidikan yang lebih tinggi dikaitkan dengan

sedikit penurunan risiko depresi pada tahun-tahun perimenopause. Ada beberapa

kemungkinan yang bisa menjelaskan sifat proteksi pendidikan tinggi. Ini mungkin

karena wanita yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki pemahaman yang

lebih baik tentang perimenopause dan depresi. Selain itu, pendidikan dapat

menawarkan sumber penting bagi wanita, yang memungkinkan mereka untuk

beradaptasi terhadap perubahan selama perimenopause (Choi et al., 2004).

Page 37: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

31

2.5.2 Kualitas Hidup pada Fase Perimenopause

Tidak semua wanita yang melaporkan terganggu oleh gejala menopause.

Beberapa penelitian besar telah menunjukkan hubungan antara gejala menopause

dan penurunkan kualitas hidup.Kualitas hidup diartikan sebagai persepsi individu

mengenai keberfungsian mereka di dalam bidang kehidupan. Lebih spesifiknya

adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam

konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka hidup dalam kaitannya dengan

tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian(Friedman et al.,

2005).

SWAN mengukur hubungan kesehatan kualitas hidup sekitar 3.000

wanita dan ditemukan bahwa beberapa gejala yang terkait dengan menopause

(misal:hot flashes, keringat malam, kekeringan vagina, inkontinensia urine) juga

terkait dengan penurunan kualitas hidup (Lee & Kim, 2008).Beberapa wanita

pascamenopause dengan defisiensi estrogen jangka panjang mengalami perubahan

pada kardiovaskular atau tulang yang menyebabkan osteoporosis mempengaruhi

kualitas kehidupannya.

2.5.3 Penatalaksanaan Depresi Pada Perimenopause

Depresi pada perimenopause perlu diidentifikasi secara dini. Semakin dini

diberikan penatalaksanaan maka prognosisnya semakin baik. Penatalaksanaannya

pada dasarnya tergantung pada tingkat keparahan gejala depresi. Terapi mencakup

antidepresan, psikoterapi, terapi estrogen, dan meningkatkan aktifitas fisik(Garcia-

Portilla, 2009).Pada tahun 2009, Canadian Network for Mood and Anxiety

Treatments (CANMAT) menerbitkan sebuah revisi pedoman klinis berbasis bukti

Page 38: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

32

untuk pengobatan gangguan depresi yang telah diperbaharui pada tahun 2016

(MacQueen et al., 2016).

Tabel 6. Prinsip Penanganan MDD secara Klinis(MacQueen et al., 2016)

Depresi merupakan penyakit kronis yang cenderung rekuren. Tujuan

pengobatan depresi adalah asimtomatik atau pulih ( recovery).Ada tiga jenis luaran

terapi depresi, yaitu :

1. Respon

Respon yaitu berkurangnya simtom depresi, bila dibandingkan dengan

ketika terapi dimulai ( base line), sebanyak 50% dinilai dengan HAM-D,

selama 3 minggu berturut-turut.

2. Remisi

Remisi yaitu simtom depresi hampir atau tidak ada sama sekali. Nilai skor

HAM-D adalah ≤ 7, berturut- turut selama 3 minggu. Remisi parsial yaitu :

1. Beberapa simtom depresi mayor masih ada ( residual simtom) tetapi tidak

lagi memenuhi kriteria episode depresi, atau 2. Simtom depresi sudah tidak

ada lagi tetapi waktunya kurang dari 2 bulan. Remisi parsial merupakan

Page 39: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

33

factor resiko terjadinya relaps. Oleh karena itu, mengevaluasi simtom

residual merupakan strategi terapeutik untuk mencapai remisi sempurna.

3. Pulih

Pulih yaitu menetapnya remisi ( asimtomatik) dalam waktu lebih lama ( ± 4

– 6 bulan). Fungsi pekerjaan dan social kembali pulih seperti semula(Amir,

2016).

Gambar 6. Luaran penatalaksanaan depresi

Tabel 7. Fase Terapi MDD(MacQueen et al., 2016)

Page 40: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

34

Tabel 8. Penatalaksanaan Depresi pada Perimenopause(Lam et al., 2016)

2.5.3.1 Psikoterapi

Cognitive Behavioral Therapy ( CBT )signifikan menurunkan skor pada

Beck DepressionInventory-IIpada pasien dengan depresi perimenopuse

(Lam et al., 2016).

Problem Solving Therapy (PST)merupakan salah satu bentuk CBT.

PSTtelah terbukti sama efektifnya dengan antidepresan untuk pengobatan

depresi berat pada perawatan primer. Ini dianggap sebagai terapi

pengembangan keterampilan singkat dan praktis yang mengobati depresi

dengan mengajarkan kepada pasien bagaimana secara sistematis

Page 41: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

35

memecahkan masalah kehidupan sehari-hari saat ini.Tujuh langkah utama

PST adalah:

1. mengidentifikasi masalah

2. menetapkan sasaran terukur yang terkait dengan masalah

3. solusi brainstorming

4. mempertimbangkan pro dan kontra dari setiap solusi

5. memilih solusi

6. mengidentifikasi langkah-langkah untuk menerapkan solusi / menerapkan

solusi

7. Mengevaluasi pelaksanaan solusi pada kunjungan berikutnya

Pasien yang mengalami kesulitan mengidentifikasi masalah didorong

untuk berjalan melalui proses dengan menggunakan aktivitas menyenangkan yang

meningkat sebagai tujuannya. Ini sering merupakan cara positif untuk memulai

perubahan perilaku yang kecil dan dimulai. Pada kunjungan selanjutnya, pasien

mengevaluasi kepuasannya dengan menerapkan solusinya dan mengulangi

langkah-langkahnya dengan masalah pilihan lainnya(Larocco-cockburn et al.,

2014).

2.5.3.2 Psikofarmaka

A. Antidepresan

Agen antidepresan dan perawatan psikoterapeutik diterima secara luas

sebagai pengobatan lini pertama untuk depresi sepanjang masa hidup. Selective

serotonin reuptake inhibitors (SSRI) dan selective serotonin-norepinephrine

reuptake inhibitors (SNRI) mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan gejala

vasomotor terkait menopause sebesar 10% sampai 64%. Efek samping dari SSRI

Page 42: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

36

dan SNRI, termasuk mual, konstipasi, dan mulut kering, umumnya tidak parah dan

sering mereda dalam minggu pertama.

SSRI dan SNRI adalah pengobatan lini pertama untuk depresi

perimenopause, namun terapi hormon dapat dipertimbangkan untuk wanita yang

mengalami gejala menopause kecuali ada kontraindikasi (Karaoulanis et al.,

2012).

1. SSRI

a) Citalopram

Freeman dkk, menemukan bahwa terapi SSRI (escitalopram) selama

delapan minggu pada kasus depresi perimenopause memperbaiki

gejala psikologis, vasomotor, dan somatik secara signifikan. Soares

dkk, menemukan bahwa pada wanita peri dan postmenopause

dengan gangguan depresi yang gagal menunjukkan remisi depresi

setelah terapi estrogen selama empat minggu, memperoleh manfaat

dari pengobatan tambahan selama delapan minggu dengan 20-60 mg

citalopram(Parry, 2010).

b) Fluoksetine

Merupakan terapi lini kedua atau ketiga pada depresi

perimenopause. Fluoksetin diabsorpsi secara oraldan

dimetabolisme terutama di hepar. Waktu paruh eliminasi fluoksetin

yaitu 1- 3 hari ( pemberianjangka pendek) dan 4 -6 hari ( pemberian

jangka panjang). Kemampuan fluoksetin menghambat ambilan

serotonin 23 kali lebih kuat dibanding penghambatan terhadap NE.

Afinitas terhadap muscarinic, kolinergik, histamin, α1 adrenergik, 5-

Page 43: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

37

HT1 atau 5-HT 2 kurang. Afinitas pada saluran sodium jantung

kurang sehingga aman dari toksisitas jantung. Tidak ada

pengaruhnya pada aktivitas monoamine oxidase( MAO). Dosis

Fluoksetine 20- 60 mg selama 6 minggu terapi terbukti efektif dalam

terapi depresi. Pada wanita perimenopause, penambahan estrogen

lebih efektif daripada pemberian fluoksetin tunggal (Amir, 2016).

c) Paroksetin

Paroksetine terbukti efektif untuk mengurangi hot flashes dan

mungkin direkomendasikan bagi wanita yang ingin menghindari

risiko HRT. Paroksetin adalah SSRI yang palin kuat menghambat

NE. Afinitas terhadap antikolonergik cukup bermakna sehingga

menimbulkan adanya gejala mulut kering, konstipasi, mata kabur,

dan gangguan buang air kecil. Paroksetin tidak bekerja pada saluran

sodium cepat jantung sehingga tidak menimbulkan gangguan

konduksi jantung, paroksetin juga tidak menghambar aktifitas

MAO. Dosis paroksetine 10 – 50 mg per hari menunjukkan efek

antidepresan dibandingkan placebo (Amir, 2016).

d) Sertraline

Sertraline diabsorbsi secara oral, sediaan dalam bentuk tablet dan

cairan. Bila diberikan bersama makanan, rata-rata konsentrasi

plasmanya naik 25 %. Sekitar 98% terikat protein plasma.

Didemetilasi di hati menjadi N-desmethylsertraline dengan waktu

paruh 26 jam. Dosis sertraline untuk gangguan depresi 50-200 mg

perhari (Amir, 2016).

Page 44: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

38

2) SNRI

Desvenlafaxine merupakan pilihan lini 1 pada terapi depresi

perimenopause. Meskipun kurang efektif daripada HRT, SSRI / SNRI ditunjukkan

untuk mengurangi hot flashes dan mungkin direkomendasikan bagi wanita yang

ingin menghindari risiko HRT. Dosis desvenlafaxine yang direkomendasikan

adalah 50 mg per hari. Sediaan yang tersedia 50 mg dan 100 mg(Parry, 2010).

B. Hormon Replement Therapy (HRT)

HRT masih dianggap sebagai pengobatan yang paling efektif untuk

mengurangi hot flashes pada wanita perimenopause.Terapi hormon yang

digunakan dalam HRT adalah lebih rendah dibandingkan dengan fluktuasi

hormon pramenopause wanita. Schmidt et al, menggunakan 0,05 mg / hari patch

17β-estradiol selama tiga minggu mengurangi gejala depresi pada wanita

perimenopause, terlepas dari adanya hot flashes atau durasi perawatan (Parry,

2010). Transdermal estradiol telah dievaluasi baik sebagai monotherapy dan terapi

tambahan untuk mengobati perimenopausaldepresi. Dalam 2 RCT kecil lainnya,

estrogen augmentasilebih unggul dibanding plasebo pada wanita perimenopause,

sementara tidak ada perbedaan antara transdermal estradioldan plasebo pada

wanita pascamenopause akhir.HRT direkomendasikan sebagai agen lini kedua

untuk wanitasiapa yang mengerti risikonya dan tidak memiliki

kontraindikasiterapi hormonal(Lam et al., 2016).

Page 45: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

39

BAB III

SIMPULAN

Studi kasus oleh WHO memperkirakan di tahun 2020, gangguan depresi

akan menjadi alasan utama kecacatan di dunia. Depresi dialami wanita dua kali

lebih sering dibanding pria. Wanita lebih rentan mengalami depresi, salah satunya

karena mengalami perubahan hormon selama siklus reproduksi, seperti masa

menopause. Faktor hormon reproduksi cenderung berkontribusi pada perbedaan

jenis kelamin dalam depresi, yang dimulai sekitar masa pubertas dan bertahan

sampai paruh baya. Klasifikasi depresi saat ini didasarkan pada Diagnostic and

Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5). Depresi pada

perimenopause adalah keadaan depresi yang terjadi pada wanita yang berada dalam

periode waktu saat menjelang menopause. Faktor risiko untuk depresi

perimenopause antara lain: kerentanan hormonal/faktor biologi, gejala VMS yang

muncul, dukungan sosial, stressful life event, riwayat gangguan mood, status sosial

ekonomi, merokok, olahraga, indeks massa tubuh (BMI), dukungan sosial,

mekanisme koping. Pengobatan pada dasarnya tergantung pada tingkat keparahan

gangguan dan mencakup antidepresan dan/ atau psikoterapi, terapi estrogen, dan

meningkatkan aktifitas fisik.

Page 46: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

40

DAFTAR PUSTAKA

Al-Safi, Z. and Santoro, N. (2000) ‘The Postmenopausal Woman’, Endotext, (3).

Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25905354.

Ali, A. et al. (2017) ‘Depression and Menopausal Symptoms in Perimenopausal

Women Attending Primary Care’, Journal of Evidence Based Medicine and

Healthcare, 4(44), pp. 2677–2681. doi: 10.18410/jebmh/2017/532.

Amir, N. (2016) Depresi, aspek neurobiologi, diagnosis dan tatalaksana.

Borkoles, E. et al. (2015) ‘The role of depressive symptomatology in peri- and post-

menopause’, Maturitas, 81(2), pp. 306–310. doi: 10.1016/j.maturitas.2015.03.007.

Burger, H. et al. (2007) ‘Nomenclature and endocrinology of menopause and

perimenopause.’, Expert review of neurotherapeutics, 7(11 Suppl), pp. 35–44. doi:

10.1586/14737175.7.11s.S35.

Friedman, S. H. et al. (2005) ‘Menopause-related quality of life in chronically

mentally ill women.’, International journal of psychiatry in medicine, 35(3), pp.

259–71. doi: 10.2190/BR03-8GYD-5L9J-LU17.

Garcia-Portilla, M. P. (2009) ‘Depression and perimenopause: A review’, Actas

Espanolas de Psiquiatria, 37(4), pp. 213–221.

Gibbs, Z., Lee, S. and Kulkarni, J. (2012) ‘What factors determine whether a

woman becomes depressed during the perimenopause?’, Archives of Women’s

Mental Health, 15(5), pp. 323–332. doi: 10.1007/s00737-012-0304-0.

Karaoulanis, S. E. et al. (2012) ‘The role of cytokines and hot flashes in

perimenopausal depression’, Annals of General Psychiatry, 11, pp. 1–7. doi:

10.1186/1744-859X-11-9.

Kornstein, S. G. et al. (2013) ‘Do menopausal status and use of hormone therapy

affect antidepressant treatment response? Findings from the Sequenced Treatment

Alternatives to Relieve Depression (STAR*D) study.’, Journal of women’s health

(2002), 22(2), pp. 121–31. doi: 10.1089/jwh.2012.3479.

Kusumawardhani, A. (2006) Depresi Perimenopause.

Lam, R. W. et al. (2016) ‘Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments

(CANMAT) 2016 clinical guidelines for the management of adults with major

depressive disorder: Section 1. Disease burden and principles of care’, Canadian

Journal of Psychiatry, 61(9), pp. 510–523. doi: 10.1177/0706743716659416.

Larocco-cockburn, A. et al. (2014) ‘NIH Public Access’, 36(2), pp. 362–370. doi:

10.1016/j.cct.2013.08.001.Improving.

MacQueen, G. M. et al. (2016) ‘Canadian Network for Mood and Anxiety

Treatments (CANMAT) 2016 clinical guidelines for the management of adults with

major depressive disorder: Section 6. Special populations: Youth, women, and the

elderly’, Canadian Journal of Psychiatry, 61(9), pp. 588–603. doi:

10.1177/0706743716659276.

Page 47: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

41

Mauas, V., Kopala-Sibley, D. C. and Zuroff, D. C. (2014) ‘Depressive symptoms

in the transition to menopause: The roles of irritability, personality vulnerability,

and self-regulation’, Archives of Women’s Mental Health, 17(4), pp. 279–289. doi:

10.1007/s00737-014-0434-7.

Muniroh, S. (2013) ‘Faktor yang Berpengaruh terhadap Skor Kecemasan pada

Wanita Menopause’, 2, pp. 51–56.

Parry, B. L. (2010) ‘Optimal management of perimenopausal depression’,

International Journal of Women’s Health, 2(1), pp. 143–151. doi:

10.2147/IJWH.S7155.

Pinkerton, J. V, Stovall, D. W. and Kightlinger, R. S. (2009) ‘Advances in the

Treatment of Menopausal Symptoms’, Women’s Health, 5(4), pp. 361–384. doi:

10.2217/WHE.09.31.

Putri, A. K. and Hamidah (2012) ‘Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan

Depresi Pada Wanita Perimenopause’, Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan

Mental, 1(2), pp. 1–6.

Rahman, S. A. S. A., Zainudin, S. R. and Mun, V. L. K. (2010) ‘Assessment of

menopausal symptoms using modified Menopause Rating Scale (MRS) among

middle age women in Kuching, Sarawak, Malaysia.’, Asia Pacific family medicine,

9(1), p. 5. doi: 10.1186/1447-056X-9-5.

Ryan, J. and Ancelin, M.-L. (2012) ‘Polymorphisms of Estrogen Receptors and

Risk of Depression’, Drugs, 72(13), pp. 1725–1738. doi: 10.2165/11635960-

000000000-00000.

Santoro, N. (2016) ‘Perimenopause: From Research to Practice’, Journal of

Women’s Health, 25(4), pp. 332–339. doi: 10.1089/jwh.2015.5556.

Sarri, G., Davies, M. and Lumsden, M. A. (2015) ‘Diagnosis and management of

menopause: summary of NICE guidance’, Bmj, 351(nov12 10), pp. h5746–h5746.

doi: 10.1136/bmj.h5746.

Shafiee, Z. et al. (2016) ‘The Effect of Spiritual Intervention on Postmenopausal

Depression in Women Referred to Urban Healthcare Centers in Isfahan: A Double-

Blind Clinical Trial’, Nursing and Midwifery Studies, Inpress(Inpress), pp. 1–7. doi:

10.17795/nmsjournal32990.

Soares, C. N. (2010a) ‘Can depression be a menopause-associated risk?’, BMC

Medicine. BioMed Central Ltd, 8(1), p. 79. doi: 10.1186/1741-7015-8-79.

Soares, C. N. (2010b) ‘Can depression be a menopause-associated risk?’, BMC

Medicine, 8. doi: 10.1186/1741-7015-8-79.

Wang, Z. et al. (2016) ‘GABA+ levels in postmenopausal women with mild-to-

moderate depression’, Medicine, 95(39), p. e4918. doi:

10.1097/MD.0000000000004918.

Yousef, E. (2017) ‘The Effect of Group Counseling on the Level of Depression and

Anxiety in a Sample of Women in the Menopausal Stage in Jordan’, 13(2), pp. 70–

77. doi: 10.3968/9300.

Page 48: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

42

Zhou, B. et al. (2012) ‘The symptomatology of climacteric syndrome: Whether

associated with the physical factors or psychological disorder in

perimenopausal/postmenopausal patients with anxiety-depression disorder’,

Archives of Gynecology and Obstetrics, 285(5), pp. 1345–1352. doi:

10.1007/s00404-011-2151-z.

Page 49: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

43

Page 50: DEPRESI PADA PERIMENOPAUSE

44