DEMOKRASI DAN ANTAGONISME HORIZONTAL DI INDONESIA …
Transcript of DEMOKRASI DAN ANTAGONISME HORIZONTAL DI INDONESIA …
Perjanjian No: III/LPPM/2018-01/21-P
DEMOKRASI DAN ANTAGONISME HORIZONTAL DI INDONESIA
PADA PERIODE REFORMASI
Disusun Oleh:
Mireille Marcia Karman, M.Litt
Sylvia Yazid, Ph.D
Agatha Lydia Natania, S.IP
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Katolik Parahyangan
2018
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya yang memberikan
gambaran tentang keadaan politik dan sosial yang terjadi di Indonesia selama proses
demokratisasi di era Reformasi pasca-1998. Dalam penelitian lanjutan ini, peneliti berfokus
pada hubungan sosial dan politik di tengah masyarakat yang mengandung unsur-unsur
antagonisme sehingga menjadi hambatan bagi terciptanya proses demokratisasi yang damai
dan ideal. Dengan penekanan pada studi pustaka dan studi media mengenai fenomena
antagonisme horizontal tersebut, penelitian ini hendak menjawab latar belakang penyebab
terjadinya antagonisme tersebut, serta menganalisis lebih jauh penyebab keadaan tersebut terus
berlanjut di tengah masyarakat. Publikasi hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam jurnal
internasional menerangkan bahwa teori landasan proses demokratisasi yang dianggap dapat
menjamin terciptanya rezim demokrasi yang damai kurang dapat menjelaskan permasalahan
antagonisme yang terjadi di Indonesia pada Era Reformasi. Walaupun prasyarat-prasayarat
proses demokratisasi telah cukup terpenuhi dalam proses demokratisasi di Indonesia, namun
didapati bahwa faktor warisan budaya politik yang terus direifikasi pada rezim-rezim
sebelumnya menyebabkan terganggunya proses demokratisasi yang ideal. Karena itu, hasil
penelitian ini menggarisbawahi pentingnya pemahaman budaya politik dan penggunaannya
untuk dapat memahami kesulitan-kesulitan rezim demokrasi di Indonesia saat ini dalam
menangani permasalahan antagonisme horizontal.
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian
Sesuai dengan konstitusi negara yang tercatat dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945), Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan
rakyat.1 Dengan mengacu pada hal tersebut, dapat dilihat bahwa demokrasi merupakan sistem
pemerintahan yang telah dipilih oleh pendiri bangsa walaupun keadaan politik, ekonomi, dan
sosial pada tahun-tahun awal berdirinya mempersulit penerapan demokrasi di Indonesia.
Dalam berbagai duskursus publik, Indonesia tidak pernah secara resmi meninggalkan
demokrasi, namun makna demokrasi tersebutlah yang terus berganti dalam setiap rezim seperti
pengenalan Demokrasi Terpimpin pada tahun 19592 yang memperkuat posisi Soekarno sebagai
presiden pada rezim Orde Lama maupun Demokrasi Pancasila3 yaang diperkenalkan pada
periode kepemimpinan Soeharto sebagai bentuk monopoli ideologi secara rigid oleh
pemerintah. Walaupun demikian, secara esensial demokrasi yang dijalankan dalam kedua
periode tersebut tidak benar-benar berlandaskan atas kedaulatan rakyat yang tercermin dengan
besarnya kekuatan militer yang menjadi alat utama pemerintah dalam menekan oposisi
politiknya serta keterbatasan kebebasan masyarakat untuk mendapat informasi maupun
memberikan opini di ruang publik.
Berbagai krisis politik yang dimulai dari kalangan elit sejak awal dekade 1990
kemudian bertambah luas ke kalangan masyarakat dengan adanya krisis ekonomi pada tahun
1997 yang kemudian mendorong masyarakat untuk merebut kembali kedaulatan yang selama
ini telah dimonopoli oleh kalangan elit tertentu. Mahasiswa dan buruh memulai aksi
demonstrasi dan protes di berbagai kota besar guna menuntut pergantian rezim dan perbaikan
ekonomi sementara perpecahan di tubuh militer sejak adanya krisis politik di kalangan elit
membuat respon represif tidak dilakukan secara total.4 Keadaan ini berujung pada berakhirnya
masa kepemimpinan Soeharto dan bergantinya rezim Orde Baru menjadi periode yang saat ini
dikenal sebagai periode Reformasi.
Pada periode Reformasi ini, proses demokratisasi mulai dilakukan dalam hal pemberian
hak-hak politik yang lebih besar kepada masyarakat serta mendorong partisipasi publik dalam
1 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200: Third Edition (London: Palgrave, 2001), 321. 3 Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia: Second Edition (New York: Cambridge University Press,
2013), 166. 4 Kevin O’Rourke, Reformasi: the struggle for power in post-Soeharto Indonesia, (Singapore: Allen & Unwin,
2002), 81.
proses politik, transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintahan yang lebih baik, serta
pemberian keleluasaan kepada pers dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ataupun
kelompok masyarakat untuk ikut serta memberikan informasi dan mempengaruhi opini publik;
sebuah aktivitas yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah. Proses perubahan ini dapat
terlihat melalui amandemen UUD 1945 yang membatasi kekuasaan pemerintah dan
memberikan hak partisipasi politik yang lebih besar kepada masyarakat, keputusan
desentralisasi kekuasaan dengan Otonomi Daerah,5 pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), tumbuhnya berbagai LSM dan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) baru,6 serta
keleluasaan bagi media massa untuk saling berlomba membagikan informasi dan
mempengaruhi opini masyarakat melalui pembingkaian isu. Secara garis besar, proses
demokratisasi ini bertujuan untuk memperkecil dominasi pemerintah dan memperbesar peran
dan pengaruh masyarakat di ruang politik karena seperti yang telah diamanatkan oleh
konstitusi, kedaulatan negara seharusnya berada di tangan rakyat.
Namun demikian, proses demokratisasi ini tidak serta merta menciptakan perdamaian
dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Berbagai pergesekan kepentingan antar masyarakat
seringkali tidak diselesaikan melalui diskusi atau kompromi, melainkan melalui cara kekerasan
atau paksaan. Hal ini menyebabkan munculnya antagonisme antar kelompok masyarakat yang
dapat berujung pada pecahnya konflik dan kekerasan antar anggota masyarakat. Beberapa isu
identitas seringkali menjadi penyebab maupun alat dalam konflik kepentingan tersebut dan
kelompok-kelompok minoritas rentan menjadi korban dalam konflik yang terjadi. Berbagai
aksi masyarakt di ruang politik yang berujung pada intimidasi maupun kekerasan juga
seringkali menggunakan kebebasan berekspresi dan demokrasi sebagai justifikasi seperti yang
terjadi pada tahun 2009 ketika beberapa aktivis HAM berusaha untuk menghapuskan
Penetapan Presiden mengenai Penodaan Agama dengan mengajukan permohonan uji pasal
kepada Mahkamah Konstitusi. Selama proses uji pasal tersebut berbagai aksi intimidasi
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang menentang usaha para aktivis HAM
tersebut.7 Berbagai aksi serupa juga terjadi dalam aksi penyerangan kantor LBH Jakarta oleh
5 I Ketut Putra Erawan, “Tracing the Progress of Local Governments since Desentralisation”, Indonesia:
Democracy and The Promise of Good Government (Singapore: Utopia Press, 2007), 56. 6 Sylvia Yazid, Indonesia's Civil Society in the Age of Democratization: NGO-Responses on the Issue of Labor
Migration (Baden-Baden: Nomos, 2013), 103 7 Jeremy Menchik, “Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia”, Comparative Studies in Society
and History 56, No. 3 (2014): 608.
kelompok massa pada pertengahan 2017 atas tuduhan mendukung komunisme8 maupun aksi
demonstrasi buruh yang seringkali perlu mendapat pengamanan dari petugas kepolisian untuk
meminimalisir kemungkinan terjadinya pengerusakan fasilitas publik maupun tindak
kekerasan.9
Contoh-contoh kekerasan oleh anggota masyarakat tersebut menunjukkan bahwa
pengimplementasian sistem demokrasi di Indonesia masih belum sempurna. Sistem demokrasi
yang ideal seharusnya tidak hanya menjamin adanya stabilitas rezim, namun juga menciptakan
perdamaian dalam lingkup domestik karena tiap-tiap aspirasi masyarakat dapat diekspresikan
dengan baik sehingga berbagai perbedaan kepentingan dapat didiskusikan dan dikompromikan
demi mencapai kepentingan bersama. Dengan eksistensi antagonisme dan kecenderungan
relasi konfliktual yang ters menerus, penelitian ini hendak menganalisis sumber antagonisme
antar kelompok masyarakat dan pengaruh proses demokratisasi yang dilakukan terhadap
kondisi tersebut.
I.2. Urgensi Penelitian dan Rencana Temuan
Penelitian mengenai permasalahan antagonisme horizontal dalam rezim demokrasi di
Indonesia selaras dengan 2 bidang unggulan yang tercantum dalam Rencana Induk Penelitian
Universitas Katolik Parahyangan yaitu dalam poin Integrasi Nasional dan Harmoni Sosial,
serta poin Pembangunan Manusia dan Daya Saing Bangsa. Penelitian ini dilandaskan pada
permasalahan budaya politik lokal dan ketidaksetaraan dalam akses sumber daya kontemporer
yang kemudian mengganggu jalannya proses demokrasi dalam bentuk antagonisme horizontal
yang dapat sewaktu-waktu berujung pada konflik sosial. Dengan mengidentifikasi akar
permasalahan yang ada, diharapkan nantinya dapat dilakukan penelitian lanjutan yang
memberikan solusi menuju masyarakat demokratis yang inklusif dan dapat berkompromi untuk
hidup bersama dalam keberagaman (harmonious coexistence).
Rencana temuan dalam penelitian ini adalah akar permasalahan penyebab
kelanggengan antagonisme horizontal. Asumsi awal dalam penelitian ini adalah bahwa
keberadaan budaya politik dan ketidaksetaraan dalam akses sumber daya kontemporer
mendorong model relasi konfliktual antar anggota masyarakat. Namun demikian, penelitian ini
8 “Detik-detik Penyerangan Kantor LBH Jakarta,” Tempo.co, 18 September 2017, diakses pada 6 Desember
2017, https://nasional.tempo.co/read/910039/detik-detik-penyerangan-kantor-lbh-jakarta
9 Toiskandar, “Tolak Upah Murah, Demo Buruh di Cirebon Berujung Ricuh,” Sindonews.com, 9 Desember
2017, diakses pada 6 Desember 2017, https://daerah.sindonews.com/read/1153878/21/tolak-upah-murah-demo-
buruh-di-cirebon-berujung-ricuh-1478659072
hendak menjawab pertanyaan yang lebih mendalam seputar budaya politik seperti apa dan apa
saja sumber ketidaksetaraan akses yang menyebabkan permasalahan antagonisme ini terus
menerus bertahan di dalam rezim demokrasi.
I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyebab kelanggengan relasi antagonisme
antar masyarakat di tengah sistem demokrasi di Indonesia. Peneliti beranggapan bahwa
meskipun demokrasi bukan merupakan sistem pemerintahan yang sempurna, namun sistem
demokrasi merupakan sistem yang paling baik dibandingkan sistem pemerintahan lainnya.
Namun demikian, penerapan sistem demokrasi hanya dapat berhasil bila beberapa prasyarat
keadaan politik, sosial, dan ekonomi telah terpenuhi. Kegagalan penerapan prasyarat ini dapat
berakibat pada pengadopsian beberapa masalah maupun konflik laten dari rezim sebelumnya
ke rezim demokrasi. Karena itu, penelitian ini hendak menganalisis proses demokratisasi yang
terjadi di Indonesia dari sisi pemenuhan prasyarat tersebut. Pengidentifikasian prasyarat yang
tidak terpenuhi maupun faktor-faktor lainnya dapat menjadi sumber kelanggengan
antagonisme antar kelompok masyarakat maupun antar elit politik. Dengan adanya identifikasi
faktor penyebab antagonisme, diharapkan penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pengkajian
solusi ataupun pemberian rekomendasi untuk menghilangkan akar penyebab masalah tersebut
dan dengan demikian, memperbaiki jalannya sistem demokrasi di Indonesia.
1.4. Luaran Penelitian
Luaran kongkrit dari penelitian ini adalah artikel jurnal yang telah dipublikasikan dalam
jurnal internasional, yaitu Journal of Conflict and Integration. Jurnal ini di kelola oleh Center
for Advanced Research in Integrated Future Society, Yonsei University, Republik Korea. Hasil
penelitian ini juga telah dipresentasikan dalam 2nd International Conference on Internastional
Relations (ICON-IR) 2018. Setelah menyelesaikan publikasi yang pertama, tim peneliti saat
ini juga sedang menindaklanjuti hasil temuan dengan penelitian selanjutnya yang masih dalam
tahapan penelitian awal, namun telah dipresentasikan dalam Konvensi Nasional IX Asosiasi
Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) tahun 2018. Diharapkan, penelitian lanjutan
ini nantinya juga dapat dipublikasikan di jurnal internasional atau jurnal nasional terakreditasi.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi materi pengayaan untuk mata kuliah
“NGO dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil”
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Kajian pustaka yang dikembangkan dalam penelitian ini tersebar baik dalam bidang
ilmu politik dan sosial. Kajian mengenai demokrasi dan perdamaian diambil dari pemikiran
Immanuel Kant, J. J. Rousseau, John Rawls, dan Charles Tilly sementara permasalahan
antagonisme dan kekerasan dalam demokrasi akan mengacu pada literatur dari Hannah Arendt
dan Karl van Holdt. Lebih jauh lagi, beberapa literatur yang digunakan untuk melihat kondisi
politik dan sosial di Indonesia antara lain Benedict Anderson, David Bourchier, James Scott,
dan Jeremy Menchik.
Pertama adalah konsep demokrasi itu sendiri yang telah melalui berbagai
konseptualisasi dan rekonseptualisasi oleh berbagai ilmuwan politik, bahkan terdapat berbagai
padanan kata di samping demokrasi untuk mendeskripsikan sebuah bentuk pemerintahan yang
menjamin kebebasan warga negaranya untuk berpartisipasi dalam proses politik. Immanuel
Kant misalnya, menggunakan konsep ‘republikan’ yang dalam penelitian ini akan disamakan
dengan demokrasi. Kant beranggapan bahwa tiap-tiap negara harus berlandaskan pada sistem
pemerintahan republikan sebagai dasar negaranya untuk menjamin perdamaian di tingkat
domestik maupun internasional.10 Prinsip pemerintahan republikan antara lain kebebasan bagi
warga negara untuk berpartisipasi dalam politik, kesetaraan antar warga negara, dan adanya
konstitusi yang didasarkan atas kesepakatan bersama tentang cara-cara untuk hidup bersama
dalam perdamaian. Lebih jauh lagi, sistem pemerintahan republikan harus menjamin adanya
pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, serta memastikan bahwa kedua badan
pemerintahan tersebut didukung oleh warga negaranya melalui mekanisme keterwakilan.11
Mekanisme keterwakilan ini menjadi penting untuk mencegah adanya dominasi kelompok
mayoritas terhadap minoritas dan dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah
akan mencerminkan aspirasi seluruh elemen warga negaranya secara merata. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Rousseau dalam memandang model negara ideal yang berlandaskan atas
kesepakatan bersama oleh rakyatnya. Rousseau memandang bahwa hubungan ideal antara
pemerintah dan warga negaranya berlandaskan atas janji yang diberikan oleh pemerintah sesuai
dengan kesepakatan bersama dan hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi politik
mereka.12 Lebih jauh lagi, guna mencapai kesepakatan bersama tersebut, kebutuhan dan
10 Immanuel Kant, Toward Perpetual Peace and Other Writings on Politics, Peace, and History (New Haven: Yale University Press, 2006), 74. 11 Ibid. 76 12 J.J. Rousseau, Discourse on Political Economy and The Social Contract (New York: Oxford University Press,
1994), 4.
kebebasan dasar warga negaranya harus terjamin terlebih dahulu. Karena itu, salah satu
prasyarat terciptanya kedaulatan rakyat adalah dengan terpenuhinya hak atas hidup, properti
atau kepemilikan, dan kebebasan untuk mengejar kepentingannya dengan cara-cara damai.
Dengan demikian, warga negara tidak memiliki kebebasan absolut, melainkan kebebasan yang
sesuai dengan kesepakatan yang berlaku dan tanpa mencederai hak orang lain.13 Rawls
kemudian menambahkan pentingnya pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar tersebut sehingga
warga negara dapat menyampaikan aspirasi yang logis dan rasional, serta dapat menggunakan
kebebasannya untuk mencapai kesepakatan dengan sesamanya.14 Ia juga menambahkan
pentingnya institusi publik yang bertugas untuk melakukan internalisasi kesepakatan yang
telah dibuat sebelumnya kepada calon-calon warga negara yang akan terjun ke dalam ruang
politik sehingga mereka nantinya dapat memahami budaya politik dan hukum yang berlaku
saat itu.15 Terakhir adalah Tilly yang memandang demokrasi sebagai proses aktivitas relasional
terus menerus antara pemerintah dan warga negaranya guna mempertahankan 4 nilai dasar
yaitu kesetaraan warga negara, inklusivitas ruang politik, keamanan warga negara dari tekanan
yang dapat menghalangi aspirasi politiknya, dan komitmen pemerintah untuk mendengarkan
dan mengimplementasikan aspirasi politik warga negaranya.16
Bagian kedua dalam tinjauan pustaka yang dilakukan adalah permasalahan kekerasan
yang dapat membahayakan ruang politik sebuah negara, khususnya dalam sistem demokrasi.
Hal ini terjadi karena demokrasi harus menjamin ruang politik yang aman bagi warga
negaranya untuk melakukan menyampaikan opininya, saling mempengaruhi, dan meyakinkan
satu sama lain guna mencapai kesepakatan. Sementara itu, kekerasan menjadi variabel yang
merusak fungsi ruang politik tersebut karena membungkam segala bentuk aspirasi serta
membuat diskusi tidak dapat berjalan dengan lancar.17 Namun demikian, Holdt melihat
perilaku kekerasan dalam rezim demokrasi, khususnya di negara-negara post-kolonial sebagai
bentuk protes atau perlawanan warga negara terhadap pemerintah yang menolak untuk
mendengarkan aspirasi mereka.18 Dalam hal ini, perilaku kekerasan menjadi satu-satunya
bahasa yang dimengerti oleh pemerintah yang belum menginternalisasi nilai-nilai demokrasi
seperti yang dipahami oleh negara-negara Barat sehingga penggunaan kekerasan menjadi
integral dalam sistem demokrasi negara-negara post-kolonial. Namun demikian kajian ini tidak
13 Ibid. 10. 14 John Rawls, The Law of Peoples (Cambridge: Harvard University Press, 1999), 14. 15 Ibid. 15. 16 Charles Tilly, Democracy (New York: Cambridge University Press, 2007), 14-15. 17 Hannah Arendt, On Violence (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1970), 4. 18 Karl vol Holdt, “On violent democracy,” The Sociological Review, 62: S2 (2014): 135.
menjelaskan apakah penggunaan kekerasan yang berlarut-larut dapat merusak konsepsi
demokrasi, khususnya dalam hal membungkam kelompok-kelompok minoritas yang tidak
memiliki kekuatan cukup besar untuk melakukan kekerasan.
Pada bagian ketiga, literatur-literatur yang digunakan didominasi oleh para pemikir
dengan latar belakang sejarah, politik, dan antropologi. Pada bagian ini, Anderson dan
Bouchier menjelaskan proses demokratisasi Indonesia dengan membandingkan periode Order
Baru dan Reformasi, serta memberikan penekanan pada warisan-warisan Orde Baru yang
masih diadopsi pada periode Reformasi yang disebabkan oleh masih banyaknya elit-elit politik
Orde Baru yang menempati posisi politik strategis setelah pergantian rezim. Selain itu,
Menchik menggarisbawahi model demokrasi di Indonesia yang menjunjung tinggi toleransi
namun tanpa konsep liberalisme sehingga ada beberapa pembatasan atas sikap toleransi
tersebut seperti yang dicontohkan dalam kasus toleransi antar umat beragama, namun toleransi
tersebut tidak dapat mencakup kelompok sekte-sekte yang tidak diakui sebagai agama maupun
aliran keagamaan yang tidak sesuai dengan aliran utama agama tersebut.19 Pembahasan
mengenai Indonesia yang terakhir bersumber dari literatur Scott yang menekankan pada
keberadaan little tradition yang menyebabkan perbedaan konsepsi politik antara negara-negara
Barat dan post-kolonial, terutama akibat pengaruh kultur peasantry yang cukup kuat.20
19 Jeremy Menchik, Islam and Democracy in Indonesia: Tolerence without Liberalism (Cambridge: Cambridge
University Press, 2016), 91-92. 20 James C. Scott, “Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part I,” Theory and Society
4 No. 1 (Spring 1977): 4.
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengandalkan literatur dan media
digital dan cetak sebagai sumber informasi. Pelaksanaan penelitian mengikuti tahapan-tahapan
seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Tahap-tahap Penelitian
Tahap
Rincian Kegiatan
Tahap I
Tujuan
- Mengidentifikasi prasyarat kondisi untuk menunjang proses demokrasi yang
ideal
- Mengumpulkan data-data yang relvean dari media digital dan cetak
- Merancang outline penulisan
Lokasi
- Bandung (studi literatur, media massa, dan elektronik)
Luaran:
- Pembaharuan outline dan data hasil studi media
Indikator Capaian:
- Laporan perkembangan sementara dan studi literatur mendalam
Alokasi waktu: 3 bulan
Tahap II
Tujuan:
- Mengidentifikasi akar permasalahan penyebab kelanggengan antagonisme
horizontal dalam sistem demokrasi di Indonesia
- Melihat relevansi kajian literatur yang telah ada dalam kasus demokrasi di Indonesia dan menambahkan faktor-faktor prasyarat demokrasi ideal di luar arus
teori utama yang dibutuhkan untuk pengembangan demokrasi di Indonesia
Lokasi
- Bandung
Luaran
- Artikel Jurnal Internasional
Indikator Capaian
- Publikasi artikel Jurnal
Alokasi waktu 4 bulan
Tahap III
Tujuan:
- Mempersiapkan presentasi artikel yang telah terbit dalam jurnal
- Menyusun tindak lanjut penelitian yaitu mencari model demokrasi ideal yang
sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia
Lokasi
- Bandung
Luaran
- Laporan akhir Penelitian
- Presentasi untuk konferensi internasional
Indikator Capaian - Laporan akhir Penelitian
- Presentasi dalam konferensi internasional
Alokasi waktu 3 bulan
Dalam penelitian ini pertama dilihat bagaimana antagonisme antar kelompok masyarakat
dan elit politik cenderung terus berlangsung, bahkan setelah proses demokratisasi berlangsung.
Perubahan yang terjadi lebih pada bentuk interaksi yang terjadi dan bahkan akhir-akhir ini
cenderung terjadi peningkatan eksistensi antagonism ini di ruang publik. Kemudian dianalisis
faktor-faktor apa yang berkontribusi terhadap kondisi ini dengan menggunakan preposisi dari
Charles Tilly tentang prekondisi demokrasi sebagai dasar analisa. Data utama didapatkan dari
literatur yang telah membahas perkembangan politik, ekonomi dan sosial Indonesia dan
didukung dengan pemberitaan tentang kondisi terakhir Indonesia terkait peristiwa-peristiwa
yang dapat digolongkan sebagai bentuk antagonism dan proses demokratisasi itu sendiri. Data
dikumpulkan berdasarkan studi media digital maupun cetak dengan dukungan pemberitaan di
televisi.
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan yang dimulai dari Januari 2018 dan berakhir
pada Oktober 2018. Rincian kegiatan penelitian yang dilakukan dideskripsikan dalam Tabel
4.1 di bawah ini
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Rincian Kegiatan Penelitian
Januar
i
Feb
ruar
i
Mar
et
Apri
l
Mei
Juni
Juli
Agust
us
Sep
tem
ber
Okto
ber
Pengumpulan bahan literatur
Pengumpulan data dari media
Pembaharuan kerangka penelitian
Proses penulisan dan editing
Proses review oleh editor jurnal
Revisi artikel
Publikasi jurnal internasioanl
Penyusunan presentasi untuk
konferensi
Formulasi penelitian lanjutan
Presentasi awal penelitian lanjutan
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketiga prekondisi yang dielaborasi oleh Chales Tilly dalam bukunya Democracy adalah
posisi trust networks dalam politik, hubungan antara categorical inequality dan politik, dan
kapasitas pemerintah dalam mengamankan dan menyatukan ruang public. Dalam Era
Reformasi di Indonesia, ketiga hal ini cukup berkembang baik dibandingkan dengan rezim
sebelumnya, walaupun perkembangan positif tersebut ternyata tidak berhasil meredam
antagonism horizontal di tengah masyarakat.
Pembahasan perkembangan pertama adalah posisi trust networks dalam politik. Dalam
penelitian ini, terdapat 2 dikotomi trust networks besar yang mendominasi kehidupan sosial
dan politik di Indonesia. Dikotomi pertama adalah trust networks etnis yaitu Etnis Jawa yang
menjadi mayoritas dan etnis Tionghoa yang menjadi minoritas. Sementara dikotomi kedua
adalah trust networks agama yaitu kelompok Agama Islam sebagai mayoritas dan kelompok
agama non-Islam. Relasi antar kedua dikotomi trust networks ini menunjukkan perkembangan
signifikan bila dibandingkan dengan rezim sebelumnya.
Sebagai kelompok etnis mayoritas, etnis Jawa mendapatkan keistimewaan sejak zaman
penjajahan karena Pulau Jawa dijadikan pusat administrasi Indonesia dan bangsa penjajah
mengintegrasikan aristocrat kerajaan-kerajaan di Jawa sebagai birokrat dalam sistem politik.
Hal ini terus dilanggengkan setelah kemerdekaan Indonesia, bahkan hingga pada masa Orde
Baru. Konsep dominasi tersebut terus ada dalam tradisi sosial dan politik masyarakat di Era
Reformasi dengan adanya pemahaman bahwa elit politik dan pemimpin politik tingkat nasional
mayoritas berasal dari kelompok Etnis Jawa, atau setidaknya merupakan orang-orang yang
paham akan tradisi Jawa. Hal ini juga kemudian dilanggengkan dengan mengesahkan beberapa
tradisi budaya Jawa menjadi bagian dari tradisi nasional (Berger 1997: 179).
Walaupun demikian, masuknya Indonesia dalam Era Reformasi memberikan
kesempatan lebih terbuka bagi etnis-etnis lainnya untuk turut bersuara dan menjadi lebih
signifikan di ruang publik, khususnya etnis Tionghoa yang sebelumnya tidak mendapat tempat
dalam ruang politik di Era Orde Baru. Pada masa awal Reformasi, etnis Tionghoa turut
mengambil kesempatan dalam kebebasan untuk membentuk Partai Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia (PBI) yang kemudian ikut serta dalam Pemilihan Umum tahun 1999 walaupun partai
tersebut akhirnya hanya mendapatkan 3 kursi di parlemen (Freedman 2000: 93).
Berkembangnya proses demokratisasi di Indonesia lebih jauh juga kemudian membuka
berbagai akses sosial dan politik yang sebelumnya tertutup untuk etnis Tionghoa, seperti
kebijakan pemerintah untuk menghapus kebijakan asimilasi Era Orde Baru yang melarang etnis
Tionghoa untuk menunjukan identitas budaya mereka di ruang publik (Setijadi 2016: 4).
Pencapaian signifikan dalam akses politik etnis minoritas ini juga terlihat dalam karir politik
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang berhasil menjadi Bupati Belitung Timur dan kemudian
berlanjut menjadi Wakil Gubernur Jakarta pada tahun 2012 hingga menjadi Gubernur Jakarta
pada tahun 2014 menggantikan Joko Widodo, Gubernur Jakarta sebelumnnya, yang dilantik
menjadi Presiden. Dalam hal ini terlihat bahwa dominasi kelompok Etnis Jawa sebagai etnis
dominan dalam ruang public masih terlihat di Era Reformasi, namun di saat yang sama, proses
demokratisasi membuka askes-akses sosial dan politik di ruang publik yang sebelumnya
tertutup untuk etnis-etnis lainnya, termasuk kelompok Etnis Tionghoa yang merupakan etnis
minoritas.
Dikotomi kedua adalah trust networks berbasis agama. Kelompok Islam menjadi
kelompok terbesar dalam trust networks ini dibandingkan kelompok-kelompok berbasis agama
lainnya. Namun demikian, tidak seperti dominasi mayoritas dalam trust networks berbasis
etnis, kelompok Islam selama Era Orde Baru secara aktif ditekan oleh pemerintah yang
khawatir bahwa solidaritas dan kekuatan kelompok Islam berpotensi untuk menjadi terlalu
besar dan mengancam posisi elit politik. Hal ini termanifestasikan dalam kampanye pemerintah
Orde Baru tentang bahasa ideologi-ideologi ekstrimis yang menjadi ancaman nasional.
Kampanye itu menyebutkan keberadaan ideologi ekstrim kanan dan ideologi ekstrim kiri yang
harus dilawan, dimana ekstrim kanan merujuk pada ideologi Islam, sementara ekstrim kiri
merujuk pada komunis (Brown 2003: 201).
Keadaan ini berubah pada Era Reformasi yang mengedepankan proses demokratisasi
dengan membuka akses ruang publik untuk semua kelompok. Keterbukaan ini memicu
munculnya banyak gerakan sosial dan organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasiskan Islam
baru seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Umat Islam (FUI) yang bertujuan untuk
memerangi tradisi dan kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Selain
itu, ormas-ormas ini juga berkomitmen untuk membela masyarakat Islam yang dipersekusi
oleh pemerintah maupun kelompok lainnya di ruang publik (Hefner 2008: 141). Ormas-ormas
ini terbukti memiliki kekuatan besar untuk memobilisasi massa melakukan protes dan
demonstrasi melawan perilaku masyarakat maupun kebijakan pemerintah yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam seperti keberadaan pusat-pusat lokalisasi, pembiaran konsumsi alcohol,
dan masalah perjudian. Lebih jauh lagi, ormas-ormas ini juga berelasi aktif dengan elit-elit
politik seperti dalam aksi dukungan FPI terhadap pasangan Jusuf Kalla-Wiranto pada
pemilihan Presiden dan Calon Presiden tahun 2009 (Buehler 2016: 147).
Walaupun demikian, kelompok Islam yang memiliki jumlah besar ini kemudian tidak
serta merta menjadi kekuatan politik besar yang terkonsolidasi akibat banyaknya percabangan
dan perbedaan pendapat di dalam kelompok tersebut. Keberhasilan kelompok masyarakat dan
gerakan-gerakan sosial kelompok Islam tidak serta merta menjadikan kelompok ini mendapat
porsi besar di dalam birokrasi. Beberapa kelompok Islam dengan dukungan besar memang
berhasil membentuk partai politik, namun hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang
memiliki basis pemilih yang terus meningkat selama Era Reformasi. Bahkan PKS sendiri pun
memiliki kesulitan untuk melakukan mobilisasi massa karena terpecah-pecahnya basis massa
PKS dalam beberapa isu politik (Buehler 2016: 123). Hal ini berdampak pada kekuatan politik
PKS dan partai-partai berbasis Islam lainnya karena ketidakmampuan memobilisasi massa
maupun mengamankan jumlah suara dalam pemilu berarti partai-partai ini tidak memiliki
posisi tawar yang cukup tinggi dalam relasinya dengan elit-elit politik lainnya.
Penggambaran 2 dikotomi trust networks di atas menunjukkan bahwa kelompok-
kelompok yang sebelumnya termarjinalisasi pada periode Orde Baru telah diberikan akses yang
lebih baik ke ruang publik, baik kelompok Tionghoa yang menjadi minoritas maupun
kelompok Islam yang menjadi mayoritas yang ditekan pada periode Orde Baru. Namun
demikian, integrasi yang terjadi dengan terburu-buru pada awal Reformasi menyebabkan
adanya diskoneksi antara suara masyarakat di tingkat akar rumput dengan wakil-wakil elit
politiknya, seperti yang tergambar dalam kedua kelompok tersebut yang tetap tidak mendapat
dukungan signifikan ketika mendirikan partai politik. Dengan adanya diskoneksi ini, elit-elit
politik tersebut tidak hanya sulit untuk melakukan mobilisasi, namun juga kesulitan untuk
menyelesaikan permasalahan antagonism di tingkat akar rumput yang telah menjadi warisan
rezim sebelumnya. Lebih jauh lagi, terdapat kecenderungan elit-elit politik ini untuk tidak
menyelesaikan permaslahan antagonism tersebut karena mereka dapat mengeksploitasi
fragmentasi antar masyarakat demi keuntungan politik mereka. Hal ini sangat terlihat dalam
proses kampanye dan pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jakarta pada tahun 2016 hingga
2017 lalu dimana mobilisasi massa menjadi sangat efektif ketika elit-elit politik dapat
menggunakan antagonisme antar kelompok masyarakat sebagai bagian dari strategi politik
(Aspinall and Masudi 2017: 420).
Pembahasan perkembangan kedua adalah hubungan antara categorical inequality dan
politik. Secara ideal, proses demokratisasi harus menjamin bahwa segala bentuk
ketidaksetaraan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat tidak menghasilkan ketidaksetaraan
di dalam ruang publik. Dalam kasus Indonesia, penelitian ini menemukan bahwa secara tertulis
dan legal, terdapat jaminan kesetaraan di ruang publik yang tidak terpengaruh dengan
ketidaksetaraan kelas ekonomi maupun sosial. Sebagai contoh, basis hukum mengenai syarat-
syarat menjadi anggota parlemen,21 ikut serta dalam pemilu (Komisi Pemilihan Umum 2014),
maupun kebebasan untuk menyampaikan opini dan kritik terhadap pemerintah (Al Hadi 2016)
dapat dilakukan oleh siapapun yang memiliki akses ke ruang publik, walaupun dengan
beberapa ketentuan yang bersifat non-diskriminatif.
Walaupun demikian, dalam praktiknya, kemampuan ekonomi memiliki peranan
penting dalam partisipasi politik. Biaya kampanye politik yang sangat tinggi baik untuk
legislative dan eksekutif22 serta akses infrastruktur fisik maupun birokratis yang masih belum
sempurna membuat akses politik tidak benar-benar merata untuk seluruh warga negara
Indonesia. Selain itu, isu dominasi mayoritas juga masih ada dalam ruang publik. Formasi
jabatan eksekutif pusat pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 28 dari 34 menteri di cabinet
Joko Widodo beragama Islam, sementara 20 dari 24 menteri lahir di Pulau Jawa. Dengan
demikian, walaupun secara hukum terdapat jaminan kesetaraan di ruang publik, dalam
praktiknya tidak ada basis apapun yang membatasi dominasi actor-aktor ekonomi kuat ataupun
kelompok mayoritas dalam ruang publik.
Pembahasan perkembangan terakhir adalah kapasitas pemerintah dalam mengamankan
dan menyatukan ruang publik. Hal ini menjadi sangat penting di Indonesia karena di rezim-
rexim sebelum Reformasi, aktor-aktor kekerasan memiliki sejarah panjang dalam partisipasi di
ruang publik. Selama masa Orde Baru, actor kekerasan yang biasa disebut sebagai preman
digunakan oleh elit-elit politik untuk memaksa masyarakat mendukung dan memilih pertahana
dalam pemilu, serta digunakan juga untuk mengancam dan mempresekusi rival-rival politik
pertahana (O’Rourke 2002: 11). Hal ini kemudian berusaha diubah dalam Era Rreformasi
melalui pengintegrasian aktor-aktor kekerasan yang berpengaruh ke dalam sistem politik
formal dengan harapan bahwa aktor-aktor ini tidak lagi hanya menjadi alat politik, namun juga
ikut diberikan akses politik sehingga cara-cara kekerasan yang biasa mereka lakukan dapat
diganti dengan cara-cara demokratis yang lebih damai.
Namun demikian, usaha ini ternyata memiliki efek samping. Berdasarkan penelitian
dari tahun 2010 hingga 2014 yang dilakukan oleh Edwar Aspinall, calon legislatif dan eksekutif
daerah secara umum merekrut tim kampanye yang memiliki kemampuan ekonomi kuat untuk
membiayai proses kampanye serta pemimpin komunitas lokal yang memiliki jaringan akar
rumput yang kuat (Aspinall 2014: 554). Dalam hal ini, pemimpin atau tetua komunitas lokal
21 Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 22 “Caleg Harus Punya Modal,” Kompas.com, 30 January 2013,
http://regional.kompas.com/read/2013/01/30/02360592/Caleg.Harus.Punya.Modal5 (accessed 5 February 2018).
merupakan bentuk ameliorasi dan generalisasi dari berbagai tipe pemimpin baik pemimpin
adat, religious, maupun organisasi preman setempat yang dapat mengamankan dukungan untuk
calon-calon legislatif dan eksekutif tersebut (Aspinall 2014: 556). Sebagai gantinya, pemimpin-
pemimpin kelompok ini dijanjikan keuntungan material maupun politik bagi kelompoknya
sehingga terbentuk jaringan patron-klien baru. Dalam usaha untuk mengamankan dukungan
bagi calon-calon pemimpin politik tersebut, pemimpin komunitas lokal ini kemudian
menggunakan strategi represi, intimidasi, maupun politik identitas untuk mengamankan
keuntungan kelompok mereka. Contoh nyata dapat terlihat dalam proses pemilihan gubernur
Jakarta pada tahun 2017 dimana FPI yang mendukung salah satu calon kandidat Islam dengan
mengkampanyekan slogan “Jangan Memilih Pemimpin Non-Muslim” yang menunjuk pada
calon kandidat saingan yang tidak beragama Islam (Kurniawan 2017).
Secara garis besar, proses demokratisasi pada Era Reformasi telah menunjukkan
perkembangan dan usaha-usaha untuk mengamankan dan menyatukan ruang publik dengan
mengintegrasikan aktor-aktor kekerasan yang sebelumnya beraktivitas di luar ruang publik ke
dalam ruang publik guna memudahkan aparat keamanan untuk mengontrol aktivitas politik
mereka. Namun demikian, pengintegrasian ini membuat berbagai aktivitas kekerasan tidak
langsung menjadi bagian dari strategi politik di ruang publik sehingga ruang publik dan
kekerasan menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan. Ketika kekerasan menjadi elemen
penting dalam aktivitas politik, makan antagonisme dan fragmentasi antar kelompok dalam
masyarakat menjadi tidak terelakkan. Kelompok-kelompok yang memiliki perangkat
kekerasan akan lebih memilih untuk memaksa kelompok lain untuk setuju dengan pandangan
politik mereka daripada berusaha untuk menyatukan pandangan melalui cara-cara demokratis
yang dapat menyatukan perbedaan pendapat.
Berdasarkan paparan sebelumnya, proses demokrasi yang sedang berlangsung tidak
berhasil memberikan kontribusi signifikan pada pengurangan hubungan antagonistik di
masyarakat. Bahkan, beberapa proses demokrasi terhalang dengan antagonisme yang sudah
ada. Hubungan antagonistik ini terlihat dapat beradaptasi dengan perubahan demokrasi dan
sejalan dengan sistem pasca klientalisme yang terus ada di institusi publik. Bagian dari
pembahasan selanjutnya akan meneliti perkembangan politik demokratis Indonesia melalui
cara pandang historis dan kultural.
Karya tulis ini berargumen bahwa pengadopsian demokrasi di Indonesia tidak
meniadakan makna dari kondisi politik pada rezim sebelumnya. Rezim demokratis akan terus
mewarisi budaya politik dari para pemimpin sebelumnya. Khusus pada kasus Indonesia, di
mana beberapa elit politik berhasil melalui perubahan rezim, cara para elit menggunakan
budaya sebagai alat politik dapat mengikuti pola rezim sebelumnya, hanya dengan beberapa
modifikasi untuk dapat beradaptasi dengan pengaturan demokrasi saat ini.
Peradaban Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, diawali dengan masyarakat tani yang
berbeda dengan masyarakat industrial. Pertama, masyarakat industrial membangun hirarki
kelas berdasarkan kepemilikan dan eksploitasi faktor produksi, sementara dalam masyarakat
tani, hirarki kelas didasarkan pada kepemilikan tanah dan kepercayaan bersama (Scott 1977a:
5). Kedua, masyarakat industrial membudayakan nilai individualisme dan mendapatkan kritik
karena mengasingkan dan mengkomersialkan para pekerja sebagai komoditas, sementara
masyarakat tani sangat mementingkan paguyuban dengan tradisi yang kuat yang mana
menyatukan para tuan tanah dan para petani (Popkin 1980: 415). Tradisi ini dianggap lebih
manusiawi daripada sistem pasar kapitalis karena tidak hanya bertentangan dengan ekspolitasi
para petani, tetapi juga memberikan kewajiban kepada para tuan tanah untuk menjamin
kehidupan para petani. Sebagaimana budaya tani sangat melekat di masyarakat Indonesia, ada
dua permasalahan yang muncul ketika demokrasi diadopsi, yaitu permasalahan ‘tradisi kecil’
dan pola penentangan rakyat terhadap perbedaan budaya.
Pertama, permasalahan tradisi kecil merujuk pada perbedaan antara tradisi besar yang
asli dengan pemahaman tradisi tersebut diantara masyarakat tani (Scott 1977a: 2). Perbedaan
pemahaman tersebut muncul karena tradisi besar harus diasimilasikan dengan budaya tani yang
sudah ada supaya dapat diterima oleh masyarakat tani. Permasalahan muncul ketika perbedaan
pemahaman yang menghasilkan ‘tradisi kecil para petani’ juga terjadi ketika tradisi politik
Barat masuk ke dalam masyarakat tani. Tradisi kecil dari politik seringkali lepas atau
menentang dari tradisi asli seperti dalam persebaran komunisme di Indonesia pada tahun 1926-
1927 yang hanya dianggap sebagai pemberontakkan kaum miskin tanpa adanya tujuan lebih
lanjut (Scott 1977a: 4).
Keberadaan tradisi kecil menjadi masalah ketika pemahaman tradisi antara para elit dan
masyarakat berbeda-beda. Variasi pemahaman tersebut membentuk pola ‘masyarakat
bayangan’ yang merujuk pada keberadaan pertentangan budaya antara para rakyat melawan
para elit. Pola ini terlihat dalam pertentangan simbolis dalam bentuk lelucon, cerita rakyat, dan
mitos diantara para petani (Scott 1977a: 19) seperti contohnya dongeng Si Kancil. Dalam cerita
ini, Si Kancil digambarkan sebagai tokoh yang kecil dan lemah namun cerdas, yang seringkali
bisa memanipulasi dan menipu hewan yang lebih besar untuk kepentingannya sendiri.
Sebagaimana para elit yang digambarkan sebagai kelompok kuat, rakyat tidak akan pernah bisa
menunjukkan pertentangan, namun hanya bisa menunjukkan kecaman, pembunuhan karakter
dan pengucilan sebagai bentuk pemberontakan (Scott 1990: 17).
Selain pertentangan, hubungan antara tradisi besar dan tradisi kecil tidak selalu
digambarkan dalam pertentangan tersamar. Ada perasaan kagum yang muncul dari rakyat
kepada para elit. Menurut Geertz (Scott 1977a: 11), rakyat melihat para elit sebagai pemimpin
karismatik dan obyek kekaguman yang mereka harap untuk menjadi, namun gagal. Hal ini
menyokong hirarki budaya antara rakyat dan kaum elit diantara resistensi halus yang dilakukan
secara konstan, seperti yang digambarkan dalam drama berjudul Semar Menggugat. Dalam
cerita ini, Semar adalah tokoh utama wayang Indonesia yang mewakili kaum tertindas yang
menggugat raja karena telah mempermalukan dirinya dan menindas rakyat. Sebagai upaya
untuk membuktikan dirinya, Semar mendapatkan kuasa untuk memimpin kerajaannya sendiri.
Akan tetapi, di akhir cerita, seluruh upaya Semar sia-sia karena sang raja lebih kuat daripada
dirinya. Drama ini menunjukkan bahwa hirarki budaya terus berlanjut melalui pengakuan kaum
elit yang kuat dan tidak akan pernah dapat ditaklukan dan juga adanya kemauan untuk
mempertahankan hirarki tersebut karena memberikan ketertiban dan perdamaian di
masyarakat. Kondisi ini seringkali disebut sebagai hubungan antara ayah dan anak, di mana
sang anak seringkali memberontak namun tetap saja membutuhkan perlindungan dan arahan
dari sang ayah (Scott 1977a: 14). Maka dari itu, budaya patrimonial di Indonesia juga mengakar
dalam budaya tani.
Efek kedua adalah pola pertentangan rakyat terhadap perbedaan budaya. Seperti yang
telah dibahas sebelumnya, cerita rakyat Si Kancil menjadi populer diantara banyak kelompok
petani. Akan tetapi, terdapat pula bukti bahwa setiap kelompok petani dapat mengadopsi
pemahaman tradisi besar secara berbeda yang menyebabkan adanya perbedaan tradisi kecil
(Scott 1977a: 8). Perbedaan ini terlihat dari perbedaan ritual, bahasa dan tata cara di setiap
kelompok petani dan juga menunjukkan kebiasaan untuk mengucilkan orang luar atau anggota
dari kelompok lain. Selain dari budaya patrimonial, budaya tani dengan perbedaan tradisi kecil
juga membuat pola eksklusi-inklusi antar kelompok di masyarakat. Masyarakat tani adalah
masyarakat agrikultur otonom yang tidak hanya memiliki tradisi dan budaya tersendiri tetapi
juga mampu untuk menyokong dirinya sendiri dari segi politik, sosial dan ekonomi yang
disebabkan oleh tingginya nilai kebersamaan dalam masyarakat. Maka dari itu, intervensi dari
pihak luar seringkali dianggap sebagai gangguan terhadap tradisi umum yang telah ada (Scott
1977b: 213). Berdirinya sebuah negara yang mendorong para petani untuk bergabung dalam
komunitas politik yang lebih luas pun sering dibalas dengan pembangunan zona penyangga
untuk mempertahankan dirinya dari pengaruh orang luar. Zona penyangga ini muncul dalam
bentuk para tetua, bupati, dan pemerintah lokal yang menunjukkan klientalisme yang terus
berlanjut dalam masyarakat karena setiap kelompok petani sangat bergantung pada zona
penyangganya untuk memperkecil pengaruh orang luar ke kelompoknya. Para aktor di zona
penyangga ini kemudian akan menggunakan ketergantungan rakyat untuk menjadi broker atau
kandidat politik yang memberi mereka kuasa untuk mengerahkan suara sebagai ganti dari
bentuk perlindungan yang diberikan (Scott 1977b: 220).
Selain itu, pola eksklusi-inklusi juga menyokong fragmentasi dalam arena politik yang
lebih luas. Di luar kelompoknya, model keterlibatan didasarkan pada kepentingan pribadi tanpa
kemauan untuk berkompromi (Scott 1977b: 214). Komunalitas juga berarti memprioritaskan
anggota kelompok sendiri daripada pihak luar, terutama menyangkut hak bersama seperti
tanah, air, dan sumber daya lain. Pelanggaran hak umum yang dilakukan oleh pihak luar tanpa
adanya kesepakatan dengan kelompok yang tinggal di daerah tersebut dapat menyebabkan
terjadinya aksi kekerasan kepada para pihak luar, seperti yang dilakukan para preman dan
penjahat untuk melindungi daerahnya.
Hubungan klientelistik ini semakin kuat dengan konsep kekuasaan dimata orang Jawa
yang berbeda dengan orang Barat yang lebih menekankan pada hubungan antara seseorang
atau sebuah kelompok yang memberikan kekuasannya kepada subyek kekuasaan tersebut.
Sementara itu, dimata orang Jawa, kekuasaan adalah energi yang tidak terbatas yang dimiliki
oleh seseorang atau sebuah kelompok yang memiliki kemampuan untuk menyentuh energi ilahi
ke sebuah ritual pemurnian yang mistik (Anderson 2007:8). Dalam hal ini, budaya Jawa tidak
membedakan antara kekuasaan sah dan tidak sah karena kekuasaan diperoleh dari perjuangan
individu, tidak seperti teori sosial kontrak yang percaya bahwa kekuasaan yang sah diperoleh
dari persetujuan rakyat (Anderson 2007: 47). Konsep kekuasaan orang Jawa yang fokus pada
usaha pribadi tanpa tanggung jawab publik membuat budaya Jawa memiliki kepercayaan
bahwa seseorang harus berada dekat dengan sang penguasa supaya memperoleh bagian dari
kekuasaannya. Dalam budaya Jawa, tidak ada perbedaan antara lingkup personal dan politik,
yang menjadi akar dalam negara patrimonial yang mana sang penguasa memiliki kemampuan
untuk menugaskan pejabat publik yang dirasa cocok tanpa adanya sistem kepantasan yang
menyebabkan pemberian posisi tersebut adalah hadiah dari sang penguasa kepada subyek yang
dituju (Anderson 2007: 33). Hubungan ini menyebabkan para pejabat publik menjadi sangat
bergantung pada sang penguasa dan bilamana mereka telah mencapai posisi yang cukup tinggi
dalam sistem birokratis, mereka pun akan membagikan kekuasaannya kepada orang lain.
Semakin sang penguasa bergantung pada pejabat publik, semakin mereka disukai oleh sang
penguasa karena telah menggunakan kekuasaan yang diberikan dengan baik. Hal ini
menyebabkan adanya hubungan ketergantungan secara personal yang kompleks diantara
rakyat yang fokus pada sang penguasa sebagai pemberi kekuasaan, atau dalam kata lain sistem
politik yang berdasarkan pada hubungan patron-klien.
Penjelasan mengenai para petani dan budaya Jawa menunjukkan praktek patrimonial,
inklusi-eksklusi dan hubungan klientelisme yang sangat dalam di masyarakat Indonesia, yang
berkontribusi pada pandangan mereka mengenai politik, terutama dalam hubungan antar
kelompok di masyarakat. Para elit politik yang sedang menjabat juga menggunakan budaya ini
untuk keuntungan politik pribadi, sebagai contoh penggunaan hubungan personal dengan ketua
kelompok di masyarakat untuk memperoleh dukungan suara atau untuk mengintimidasi
pesaing politiknya.
Penggunaan budaya secara halus seperti dalam hal budaya Jawa dan petani di Indonesia
tidak menyebabkan bertahannya antagonisme horizontal secara langsung. Akan tetapi, hal ini
dapat menjadi penyebab berlangsungnya segregasi dan klientelisme secara terus menerus.
Seperti yang telah dijelaskan, para elit politik cenderung mengeksploitasi kondisi masyarakat
yang terpecah-pecah dan budaya klientelisme sebagai strategi politik mereka, akibatnya proses
demokraitisasi menjadi terhambat dan antagonisme terus bertahan di masyarakat.
Penjelasan mengenai pentingnya budaya yang membentuk kondisi politik Indonesia
dan antagonisme yang berlangsung secara terus-menerus di masyarakat tidak selamanya
menjelaskan bahwa prekondisi demokrasi yang disarankan oleh Tilly tidak akurat. Penjelasan
sebelumnya telah menunjukkan bahwa kondisi dalam proses demokrasi memiliki kondisi cacat
dan tidak berhasil untuk mengatasi permasalahan antagonisme serta hubungan antagonistik
yang terus berlangsung dapat terus bertahan karena nilai-nilai budaya. Maka dari itu, bukanlah
proses demokrasi yang cacat yang menyebabtkan negara gagal untuk mengatasi permasalahan
antagonisme, tetapi hubungan timbal balik yang terjadi. Hubungan antagonisme yang bertahan
karena budaya patrimonial, eksklusi-inklusi dan klientelisme mempengaruhi proses
demokratisasi karena telah berhasil beradaptasi dengan rezim demokrasi. Kecacatan tersebut
membuat rezim demokrasi gagal untuk mengatasi permasalan antagonisme di masyarakat.
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Rezim demokrasi di Indonesia telah terbukti gagal untuk mengurangi antagonisme
horizontal di masyarakat dan mendapat efek negatif karena hubungan antagonistik menodai
aktivitas politik dengan berbagai tindakan kekerasan. Setelah mengamati proses demokrasi
Indonesia dan berdasarkan rujukan dari Tilly mengenai prekondisi demokrasi yang ideal, karya
tulis ini meninjau nilai-nilai budaya sebagai kekuatan tambahan yang mengekalkan
antagonisme horizontal di masyarakat yang mana dapat mengakibatkan dampak negatif
terhadap demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang.
Karya tulis ini menjelaskan dua hal penting mengenai keberlangsungan antagonisme
horizontal secara terus menerus dalam rezim demokrasi Indonesia. Pertama, prekondisi untuk
mendukung proses demokrasi di Indonesia telah berkembang menuju arah yang benar terlepas
dari berbagai permasalahan yang ada dalam proses implementasi. Terdapat pula usaha untuk
memadukan jejaring kepercayaan yang sebelumnya dikecualikan ke lingkup politik setelah
pergantian rezim di tahun 1998. Akan tetapi, pemaduan jejaring kepercayan yang dilakukan
secara gegabah menyebabkan terjadinya permasalahan dalam bidang perwakilan karena tidak
adanya hubungan antara rakyat dan elit politik yang bertindak sebagai pemimpin jejaring
kepercayaan mereka. Maka dari itu, hubungan antagonistik antar masyarakat sulit untuk
diselesaikan melalui proses dialog dikalangan para elit. Selain itu, terdapat pula kecenderungan
para elit politik untuk mempertahankan hubungan antagonistik diantara masyarakat karena
mereka dapat menggunakannya untuk menjaga kendali di masyarakat dan memudahkan
mobilisasi berbagai jejaring kepercayaan untuk mengurangi para pesaing politiknya. Namun
demikian, terdapat hukum yang melarang pemindahan ketidaksetaraan kategorial ke dalam
lingkup publik terlepas dari ketidakmampuannya untuk mencegah praktek dominasi beberapa
kelompok dalam politik. Maka dari itu, reformasi hukum dan sistem birokrasi sangat
dibutuhkan. Terdapat pula usaha dari rezim demokrasi Indonesia untuk mengurangi jumlah
kekuasaan otonom yang bekerja di luar lingkup politik. Usaha ini dilakukan melalui
penggabungan kekuasaan ke lingkup politik dan memungkinkan sistem politik untuk
mengendalikan aktivitas mereka. Namun demikian, ada resiko serangan balik dimana
kekuasaan otonom bekerja sama dengan institusi politik yang lemah dan menyatukan tindakan
kekerasan ke dalam aktivitas politik.
Kedua, nilai-nilai budaya memiliki peran penting dalam membentuk kondisi politik
termasuk dalam keberlangsungan antagonisme diantara masyarakat Indonesia. Dalam hal ini,
budaya memiliki kemampuan untuk beradaptasi ke dalam perubahan situasi politik yang
mendorong perspektif rakyat di bidang politik dan ditunjukkan melalui penggunaan budaya
sebagai kekuasaan politik. Budaya tani dan budaya orang Jawa yang telah mengakar secara
dalam telah membina berbagai pola inklusi dan eksklusi diantara kelompok-kelompok, sistem
patrimonial dan sistem klientelistik. Walaupun budaya itu tidak diubah secara langsung ke
dalam hubungan antagonistik, namun berbagai budaya tersebut seringkali disalahgunakan oleh
para elit politik dan berbagai kelompok untuk memecah belah masyarakat dan memelihara
hubungan antagonistik untuk mencapai agenda politiknya. Dengan memahami kekuatan
budaya sebagai komponen penting dalam mempengaruhi kondisi politik, karya tulis ini
menyarankan adanya kebutuhan untuk mempertegas bidang budaya dalam usaha untuk
mengurangi antagonisme dalam politik di Indonesia. Akan tetapi, sangat penting untuk diingat
bahwa menyoroti komponen budaya tidak seharusnya disalahartikan sebagai anjuran untuk
menghapus nilai-nilai budaya dalam rangka mengurangi antagonisme yang ada. Sebaliknya,
karya tulis ini mempercayai bahwa nilai-nilai budaya yang telah digunakan sebagai alat untuk
menyangga antagonisme juga dapat digunakan untuk mengurangi antagonisme dan
mendukung proses demokrasi. Maka dari itu, pengetahuan yang lebih kuat dan komprehensif
mengenai kekuatan budaya dalam bidang politik sangatlah dibutuhkan untuk menyeimbangi
antagonisme yang ada melalui penggunaan bahasa politik yang layak secara budaya dalam
upaya untuk mencapai kondisi hidup berdampingan secara damai.
DAFTAR PUSTAKA
“Caleg Harus Punya Modal.” Kompas.com, 30 Januari 2013.
http://regional.kompas.com/read/2013/01/30/02360592/Caleg.Harus.Punya.Modal5
(diakses pada 5 Februari 2018).
“Detik-detik Penyerangan Kantor LBH Jakarta.” Tempo.co, 18 September 2017.
https://nasional.tempo.co/read/910039/detik-detik-penyerangan-kantor-lbh-jakarta
(diakses pada 6 Desember 2017).
Al Hadi, Yayan Sopyani. 2016. “Aliansi Rakyat Miskin Jakarta Mau Demo di MK Agar
Batalkan UU Pengampunan Pajak,” Rmol.co, (24 Agustus),
http://politik.rmol.co/read/2016/08/24/258078/Aliansi-Rakyat- Miskin-Jakarta-Mau-
Demo-Di- MK-Agar- Batalkan-UU- Pengampunan-Pajak- (diakses pada 2 Februari
2018).
Anderson, Benedict and Richard O’Gorman. 2007. “The Idea of Power in Javanese Culture.”
dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia. Singapore: Equinox
Publishing.
Arendt, Hannah. 1970. On Violence. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Aspinall, Edward and Wawan Mas’udi. 2017. “The 2017 Pilkada (Local Elections) in
Indonesia: Clientelism, Programmatic Politics and Social Networks.” Contemporary
Southeast Asia 39 (3), 417-426.
Aspinall, Edward. 2014. “When Brokers Betray: Clientelism, Social Networks, and Electoral
Politics in Indonesia.” Critical Asian Studies 46(4), 545-570.
Berger, Mark T. and Douglas A. Borer. 1997. The Rise of East Asia: Critical Visions of the
Pacific Century. London: Routledge.
Brown, Colin. 2003. A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation? NSW: Allen &
Unwin.
Buehler, Michael. 2016. The Politics of Shari’a Law: Islamist Activists and the State in
Democratizing Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.
Erawan, I Ketut Putra. 2007. “Tracing the Progress of Local Governments since
Desentralisation.” Indonesia: Democracy and The Promise of Good Government.
Singapore: Utopia Press.
Freedman, Amy L. 2000. Political Participation and Ethnic Minorities: Chinese Overseas in
Malaysia, Indonesia, and the United States. New York: Routledge.
Kant, Immanuel. 2006. Toward Perpetual Peace and Other Writings on Politics, Peace, and
History. New Haven: Yale University Press.
Komisi Pemilihan Umum. “Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2014 Tentang
Penyusunan Daftar Pemilih Untuk Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2014.” https://kab-
bogor.kpu.go.id/images/publikasi/PKPU%209%202014%20UPLOAD%201.pdf.
Komisi Pemilihan Umum. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012,”
ppid.kpu.go.id/?download=20160830121407
Kurniawan, Eka. 2017. “An Election in Jakarta, an Omen for Indonesia.” The New York Times,
(2 May), https://www.nytimes.com/2017/05/02/opinion/an-election-in-jakarta-an-omen-
for-indonesia.html (diakses pada 8 Februari 2018).
Menchik, Jeremy. 2014. “Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia.”
Comparative Studies in Society and History 56, No. 3.
Menchik, Jeremy. 2016. Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism.
Cambridge: Cambridge University Press.
O’Rourke, Kevin. 2002. Reformasi: the struggle for power in post-Soeharto Indonesia.
Singapore: Allen & Unwin.
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Popkin, Samuel. 1980. “The Rational Peasant: The Political Economy of Peasant Society.”
Theory and Society 9 (3), 411-471.
Rawls, John. 1994. The Law of Peoples. Cambridge: Harvard University Press.
Ricklefs, M. C. 2001. A History of Modern Indonesia since c.1200: Third Edition. London:
Palgrave.
Rousseau, J.J. 1994. Discourse on Political Economy and The Social Contract. New York:
Oxford University Press.
Scott, James C. 1977a. “Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part
I.” Theory and Society 4(1), 1-38.
Scott, James C. 1977b. “Protest and Profanation: Agrarian Revolt and the Little Tradition, Part
II.” Theory and Society 4 (2), 211-246.
Scott, James C. 1990. Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts. New Haven:
Yale University Press.
Setijadi, Charlotte. 2016. “Ethnic Chinese in Contemporary Indonesia: Changing Identity
Politics and the Paradox of Sinification.” ISEAS Yusof Ishak Institute 12, 1-11.
Tilly, Charles. 2007. Democracy. Cambridge: Cambridge University Press.
Toiskandar. “Tolak Upah Murah, Demo Buruh di Cirebon Berujung Ricuh,” Sindonews.com,
9 Desember 2017, diakses pada 6 Desember 2017,
https://daerah.sindonews.com/read/1153878/21/tolak-upah-murah-demo-buruh-di-
cirebon-berujung-ricuh-1478659072
Vickers, Adrian. 2013. A History of Modern Indonesia. 2nd ed. New York: Cambridge
University Press.
von Holdt, Karl. 2014. “On Violent Democracy.” The Sociological Review 62:S2, 129-151.
Yazid, Sylvia. 2013. Indonesia's Civil Society in the Age of Democratization: NGO-Responses
on the Issue of Labor Migration. Baden-Baden: Nomos Verlag.