Dek Lia,,( Kti Fraktur Humeri)
-
Upload
ratih-wijaya-ratih -
Category
Documents
-
view
420 -
download
18
Transcript of Dek Lia,,( Kti Fraktur Humeri)
BAB 1
PENDAHULUAN
Dewasa ini pelayanan di bidang kesehatan terus ditingkatkan . Pelayanan
di bidang kesehatan tersebut meliputi 4 aspek yaitu peningkatan (promotif),
pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang
bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Depkes RI, 1992). Salah
satu pelayan kesehatan yang ditingkatkan adalah layanan fisioterapi. Fisioterapi
adalah salah satu tenaga paramedik yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada individu atau kelompok individu yang mengalami gangguan gerak dan
fungsi pada proses pertambahan usia atau mengalami gangguan akibat sakit atau
cidera. Gerak dan fungsi yang sehat dan maksimal adalah inti dari hidup sehat
(Word Confederation for physioterpy/WCPT, 1990). Salah satu peranan fisioterapi
adalah memberikan pelayan fisioterapi pada kondisi fraktur atau patah tulang
yang telah mendapatkan tindakan medis berupa pemasangan plate and srew.
A. Latar Belakang Masalah
Fraktur adalah hilangnya kontinyuitas dari tulang (Mc Rae,1994).
Fraktur pada tulang panjang dikelompokan menjadi tiga tipe yaitu tipe I fraktur
pada segmen proksimal, tipe II fraktur pada diafisis atau shaft dan tipe III fraktur
pada segmen distal (Mc Rae,1994). Dalam hal ini akan dibahas fraktur caput
humeri. Berdasarkan data dari bangsal bougenville RSOP Dr Soeharso surakarta
bulan Desember 2005-pebruari 2006, terdapat 27 pasien dengan kasus fraktur
1
humeri dari 68 pasien fraktur anggota gerak atas dan fraktur untuk anggota gerak
bawah terdapat 117 pasien.
Tindakan medis yang sering diberikan pada fraktur caput humeri ada 2
yaitu jenis operatif dan non-opertif. Jenis tindakan dipengaruhi oleh tingkat
kestabilan fraktur. pada fraktur yang stabil tindakan yang diberikan berupa
tindakan non operatif yaitu backslap atau gips dan plaster spica. Sedangkan pada
fraktur yang tidak stabil tindakan medis yang diberikan berupa tindakan operatif
yaitu dengan fiksasi internal misalnya intramedulary nail dan plate and screw
serta fiksasi eksternal misalnya illizarov (Thomson, 1991)
Tindakan medis yang sering diberikan pada fraktur caput humeri adalah
dengan pemasangan plate and screw. Akibat yang ditimbulkan pasca operasi
pemasangan plate and screw adalah gangguan berupa impairment, functional
limitation dan participation restriction. Impairment misalnya oedema, nyeri,
keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS) siku dan bahu, serta penurunan kekuatan
otot penggerak sendi siku dan bahu. Fuctional limitation berupa gangguan self
care seperti mandi, makan dan berpakaian. Participation restriction berupa
ketidakmampuan pasien untuk beraktifitas sesuai dengan usia dan peranannya.
Fisioterapi sebagai salah satu profesi yang bertanggung jawab atas gerak
dan fungsi dapat berperan pada kondisi di atas. Dengan modalitas fisioterapi
berupa infra merah dan terapi latihan dapat digunakan untuk mengurangi oedema,
mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS), meningkatkan
kekuatan otot, meningkatkan kemampuan fungsional. Modalitas yang digunakan
adalah static contraction untuk mengurangi nyeri, free active movement untuk
23
meningkatkan kekuatan otot, relaxed passive movement dan assisted passive
movement untuk memelihara LGS, infra merah untuk mengurangi oedema dan
mengurangi nyeri, dan latihan fungsional untuk meningkatkan kemampuan
fungsional (Kisner and Colby,1996)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada KTI ini adalah untuk mengetahui manfaat: (1)
apakah static contraction dapat mengurangi nyeri dan oedema?, (2) apakah free
active movement dapat meningkatkan kekuatan otot?, (3) apakah assited active
movement dan relaxed passive movement dapat memelihara LGS?, (4) apakah
latihan fungsional dapat mengembalikan aktifitas fungsional?, (5) apakah infra
merah dapat mengurangi oedema dan mengurangi nyeri pada pasien fraktur caput
humeri pasca operasi pemasangan fiksasi internal berupa plate and srew .
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan KTI ini adalah untuk mengetahui manfaat: (1) static
contraction dalam mengurangi nyeri dan oedema, (2) free active movement dalam
meningkatkan kekuatan otot, (3) assited active movement dan relaxed passive
movement dalam memelihara LGS, (4) latihan fungsional dalam mengembalikan
aktifiats fungsional, (5) infra merah dalam mengurangi oedema dan mengurangi
nyeri pada pasien fraktur caput humeri pasca operasi pemasangan fiksasi internal
berupa plate and screw.
33
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Definisi
a. Pasca operasi pemasangan plate and screw
Pasca operasi berasal dari kata pasca yang berarti setelah dan operasi yang
berasal dari kata operate yang berarti membedah. Plate and screw berasal dari
kata plate yang berarti lempengan baja dan screw yang berarti sekrup yang
berfungsi sebagai alat fiksasi tulang panjang yang mengalami fraktur. jadi pasca
operasi pemasangan plate and screw adalah suatu keadaan setelah dilakukan
tindakan pembedahan untuk pemasangan fiksasi internal yang terdiri dari
lempengan platina dan sekrup pada fraktur yang tidak stabil (Thomson, 1992).
b. Fraktur caput humeri
Fraktur adalah hilang kontinyuitas dari tulang (Mc Rae,1994). Humeri
adalah tulang panjang seperti tongkat yang membentuk struktur lengan atas.
Caput adalah bagian paling atas dari tulang panjang. Jadi fraktur caput humeri
adalah hilang kontinyuitas dari tulang humeri pada bagian paling atas.
c. Terapi latihan
Terapi latihan merupakan upaya penyembuhan yang terdiri dari gerak aktif
dan gerak pasif anggota gerak tubuh yang bertujuan untuk mengurangi oedema,
43
4
mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan kekuatan otot
serta meningkatkan kemampuan fungsional ( Kisner and Colby, 1996)
d. Infra merah
Infra merah merupakan pancaran gelombang elektromagnetik. Infra merah
mempunyai frekuensi 7 x 1014 – 400 x 1014 Hz dan panjang gelombang 700 –
15.000 nm (Wadsworth, 1983). Klasifikasi infra merah berdasarkan panjangang
gelombang : (1) gelombang panjang (non penetrating), adalah panjang gelombang
di atas 12.000 A sampai dengan 150.000 A. Daya penetrasi sinar ini hanya sampai
pada lapisan superfisial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm, (2) gelombang pendek
(penetrating), adalah gelombang dengan panjang gelombang antara 7.700 –
12.000 A. Daya penetrasi lebih dalam dari gelombang panjang, yaitu sampai
jaringan subcutan kira-kira dapat mempengaruhi secara langsung terhadap
pembuluh darah kapiler, pembuluh lymphe, ujung-ujung saraf dan jaringan –
jaringan lain di bawah kulit (Sujatno, dkk, 2002).
Efek fisiologis yang ditimbulkan dari pemberian infra merah adalah (1)
meningkatkan proses metabolisme pada lapisan superficial kulit sehingga
pemberian oksigen dan nutrisi kepada jaringan lebih diperbaiki, begitu juga
pengeluaran sisa-sisa pembakaran, (2) vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan
arteriolae akan terjadi segera setelah penyinaran, (3) terhadap saraf sensoris,
pemanasan yang ringan mempunyai pengaruh sedatif terhadap ujung-ujung saraf
sensoris, (4) terhadap jaringan otot, kenaikan temperatur di samping membantu
terjadinya releksasi juga akan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi,
(5) kenaikan temperatur tubuh, penyinaran yang luas yang berlangsung dalam
53
waktu yang relatif cukup lama dapat mengakibatkan kenaikan temperatur tubuh,
(6) mengaktifkan kerja kelenjar keringat, pengaruh rangsangan panas yang dibawa
ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat
(Sujatno,dkk, 2002).
Efek terapeutik yang ditimbulkan dari pemberian infra merah adalah (1)
mengurangi / menghilangkan rasa nyeri, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan
suplai darah, (4) menghilangkan sisa-sisa metabolisme (Sujatno, dkk, 2002).
Indikasi dari pemberian infra merah yaitu (1) kondisi peradangan setelah
sub acut, (2) artrhitis, (3) gangguan sirkulasi darah, (4) penyakit kulit, (5) sebagai
persiapan exercise dan massage (Sujatno, dkk, 2002).
Kontra indikasi dari sinar infra merah adalah (1) daerah dengan
insufisiensi pada darah, (2) gangguan sensibilitas kulit, (3) adanya kecenderungan
terjadinya perdarahan (Sujatno, dkk, 2002).
Bahaya yang dapat ditimbulkan dari pemberian sinar infra merah adalah
(1) adanya luka bakar, yang terjadi pada daerah superficial epidermis, (2) electric
shock, ini bisa terjadi apabila terdapat kabel penghantar yang terbuka dan
tersentuh oleh pasien, (3) meningkatkan keadaan gangrene, (4) headache, adalah
perasaan pusing setelah penyinaran infra merah, (5) kaitness, penderita menjadi
pingsan atau tidak sadar secara tiba-tiba, (6) menggigil, (7) kerusakan pada mata,
sinar infra merah merupakan predisposing terjadinya katarak pada mata (Sujatno,
dkk, 2002
63
2. Anatomi
a. Humeri
Humeri merupakan tulang panjang seperti tongkat, bagian yang
mempunyai hubungan dengan bahu bentuknya bundar membentuk kepala sendi
yang disebut caput humeri. Caput humeri dan cavitas glonoidalis bersatu
membentuk articulatio glenohumeralis. Pada caput humeri terdapat tonjolan yang
disebut tuberculum mayus dan tuberculum minus, di sebelah bawah caput humeri
terdapat lekukan yang disebut columna humeri. Pada bagian yang berhubungan
dengan bagian bawah terdapat epicondylus lateralis humeri dan epicondylus
medialis humeri. Di samping itu juga mempunyai lekukan yaitu fossa coronoid
(bagian depan) dan fossa olecrani (bagian belakang). (syaifuddin, 1997).
b. Sendi bahu
Secara anatomi sendi bahu merupakan sendi peluru (ball and socket joint)
yang terdiri atas bonggol sendi dan mangkuk sendi. Cavitas sendi bahu sangat
dangkal, sehingga memungkinkan seseorang dapat menggerakkan lengannya
secara leluasa dan melaksanakan aktifitas sehari-hari. Namun struktur yang
demikian akan menimbulkan ketidakstabilan sendi bahu dan ketidakstabilan ini
sering menimbulkan gangguan pada bahu.
Sendi bahu merupakan sendi yang komplek pada tubuh manusia dibentuk
oleh tulang-tulang yaitu : scapula (shoulder blade), clavicula (collar bone),
humerus (upper arm bone), dan sternum. Daerah persendian bahu mencakup
73
empat sendi, yaitu sendi sternoclavicular, sendi glenohumeral, sendi
acromioclavicular, sendi scapulothoracal. Empat sendi tersebut bekerjasama
secara sinkron. Pada sendi glenohumeral sangat luas lingkup geraknya karena
caput humeri tidak masuk ke dalam mangkok karena fossa glenoidalis dangkal
(Sidharta, 1984).
Sendi glenohumeral dibentuk oleh caput humeri yang bulat dan cavitas
glenoidalis scapula yang dangkal dan berbentuk ball and socket. Permukaan sendi
meliputi oleh rawan hyaline, dan cavitas glenoidalis diperdalam oleh adanya
labrum glenoidale (Snell, 1997).
Berbeda dangan cara berpikir murni anatomis tentang gelang bahu, maka
bila dipandang dari sudut klinis praktis gelang bahu ada 5 fungsi persendian yang
kompleks, yaitu:
1. Sendi glenohumerale
Sendi glenohumerale Dibentuk oleh caput humerrus dengan cavitas
glenoidalis scapulae, yang diperluas dengan adanya cartilago pada tepi cavitas
glenoidalis, sehingga rongga sendi menjadi lebih dalam. Kapsul sendi longgar
sehingga memungkinkan gerakan dengan jarak gerak yang lebih luas. Proteksi
terhadap sendi tersebut dilakukan oleh acromion, procecus coracoideus, dan
ligamen-ligamen. Tegangan otot diperlukan untuk mempertahankan agar caput
humerus selalu dipelihara pada cavitas glenoidalisnya.
Ligament yang memperkuat antara lain: (1) ligamentum coraco humerale,
yang membentang dari procesus coracoideus sampai tuberculum humeri, (2)
83
ligament coracoacromiale, yang membemtang dari procesus coracoideus sampai
acromion, (3) ligament glenohumerale, yang membentang dari tepi cavitas
glenoidalis ke colum anatobicum, dan ada 3 buah yaitu: ligament gleno humerale
superior, yang melewati articulasio sebelah cranial, Ligament glenohumeralis
medius, yang melewati articulatio sebelah ventral, Ligamentum gleno humeralis
inferius, yang melewati articulation sebelah inferius.
Bursa-bursa yang ada pada shoulder joint yaitu (1) Bursa otot latisimus
dorsi, terletak pada tendon otot teres mayor dan tendon latisimus dorsi, (2) Bursa
infra spinatus, terdapat pada tendon infra spinatus dan tuberositas humeri, (3)
Bursa otot pectoralis mayor, terletak pada sebelah depan insertion otot pectoralis
mayor, (4) Bursa subdeltoideus, terdapat diatas tuberositas mayus humeri
dibawah otot deltoideus, (5) Bursa ligament coraco clavikularis, terletak diatas
ligamentum coraco claviculare, (6)Bursa otot subscapularis terletak diantar sisi
glenoidalis scapulae dengan otot subscapularis, (7) Bursa subcutanea acromialis,
terletak diantas acromion dibawah kulit.
Ada dua tipe dasar gerakan tulang atau osteokinematika adalah rotasi atau
gerakan berputar pada suatu aksis dan translasi merupakan gerakan menurut garis
lurus dan kedua gerakan tersebut akan menghasilkan gerakan tertentu dalam sendi
atau permukaan sendi yang disebut gerakan artrokinematika. Rotasi tulang atau
gerakan fisiologis akan menghasilkan gerakan roll-gliding di dalam sendi dan
translasi tulang menghasilkan gerakan gliding, traction ataupun compression
dalam sendi yang termasuk dalam joint play movement (Mudatsir, 2002).
93
Join play movement adalah istilah yang digunakan pada Manipulative
therapy untuk menggambarkan apa yang terjadi didalam sendi ketika dilakukan
gerakan translasi, geraka-gerakan tersebut dilakukan secara pasif oleh terapis
pada saat pemeriksaan maupun terapi. Ada 3 macam joint play movement: (1).
Traction/ traksi, (2). Compression/ kompresi,(3). Gliding.
(1). Traction/ traksi
Apabila translasi tulang arahnya tegak lurus dan menjauhi bidang
terapi,serta terjadi peregangan permukaan sendi disebut traksi, apabila tidak
sampai menimbulkan peregangan permukaan sendi disebut distraksi.
(2). Compression/ kompresi
Apabila arah gerakan translasi tegak lurus terhadap dan ke arah bidang
terapi, dan kedua permukaan sendi saling mendekat/ menekan disebut kompresi.
Apabila timbul nyeri akibat kompresi sendi, hal ini mengindikasikan adanya lesi
sendi.
(3). Gliding
Apabila gerakan yang terjadi paralel sejajar dengan bidang terapi (bukan
sejajar dengan permukaan sendi), dan menimbulkan geseran/ luncuran antara
kedua permukaan sendi disebut gliding (Mudatsir, 2002).
Gerakan arthrokinematika pada sendi gleno humeral yaitu : (1) gerakan
fleksi terjadi rolling caput humeri ke anterior, sliding ke posterior (2) gerakan
abduksi terjadi rolling caput humeri ke cranio posterior, sliding ke caudo ventral
103
(3) gerakan eksternal rotasi terjadi rolling caput humeri ke dorso lateral, sliding
ke ventro medial (4) gerakan internal rotasi terjadi rolling caput humeri ke ventro
medial dan sliding ke dorso lateral (Kapanji, 1982).
2. Sendi sterno claviculare
Sendi sterno claviculare Dibentuk oleh extremitas glenoidalis clavikula,
dengan incisura clavicularis sterni. Menurut bentuknya termasuk articulation
sellaris, tetapi fungsionalnya glubiodea. Diantar kedua facies articularisnya ada
suatu discus articularis sehingga lebih dapat menyesiakan kedua facies
articularisnya dan sebagai cavum srticulare. Capsula articularis luas, sehingga
kemungkinan gerakan luas.
Ligamentum yang memperkuat yaitu (1) ligamentum interclaviculare,
yang membentang diantara medial extremitas sternalis, lewat sebelah cranial
incisura jugularis sterni, (2) ligamentum costoclaviculare, yang membentang di
antara costae pertama sampai permukaan bawah clavicula, (2) ligamentum sterno
claviculare, yang membentang dari bagian tepi caudal incisura clavicularis sterni,
kebagian cranial extremitas sternalis claviculare. Gerak osteokinematika yang
terjadi adalah gerak elevasi 45° dan gerak depresi 70°, serta protraksi 30° dan
retraksi 30°. Sedangkan gerak arthrokinematikanya meliputi: (1) gerak protraksi
terjadi roll clavicula kearah ventral dan slide kearah ventral, (2) gerak retraksi
terjadi roll clavicula kerah dorsal dan slide kearah dorsal, (3) gerak elevasi terjadi
roll kearah cranial dan slide kearah caudal, gerak fleksi shoulder 10° (sampai
113
fleksi 90°) terjadi gerak elevasi berkisar 4°, (4) gerak depresi terjadi roll ke arah
caudal dan slide clavicula kearah cranial.
3. Sendi acromioclaviculare
Sendi acromioclaviculare Dibentuk oleh extremitas acromialis clavicula
dengan tepi medial dari acromion scapulae. Facies articularisnya kecil dan rata
dan dilapisi oleh fibro cartilago. Di antara facies articularis ada discus
artucularis. Secara morfologis termasuk ariculatio ellipsoidea, karena facies
articularisnya sempit, dengan ligamentum yang longgar.
Ligamentum yang memperkuat yaitu (1) ligamentum acromio claiculare,
yamg membentang antara acromion dataran ventral sampai dataran caudal
clavicula, (2) Ligamentum coraco clavicuculare, terdiri dari 2 ligament yaitu (1)
Ligamentum conoideum, yang membentang antara dataran medial procecus
coracoideus sampai dataran caudal claviculare, (2) Ligamentum trapezoideus,
yang membentang dari dataran lateral procecus coraoideus sampai dataran bawah
clavicuare,
Gerak osteokinematika sendi acromio clavicularis selalu berkaitan dengan
gerak pada sendi scapulothoracalis saat elevasi di atas kepala maka terjadi rotasi
clavicula mengitari sumbu panjangnya. Rotasi ini menyebabkan elevasi clavicula,
elevasi tersebut pada sendi sterno clavicularis kemudian 30% berikutnya pada
rotasi clavicula.
123
4. Sendi subacromiale,
Sendi subacromiale berada di antara arcus acromioclaviculare yang
berada di sebelah cranial dari caput serta tuberositas humeri yang ada di sebeleh
caudal, dangan bursa subacromiale yang besar bertindak sebagai rongga sendi.
5. Sendi scapulo thoracic
Sendi scapulo thoracic (bukan sendi yang sebenarnya, hanya berupa
pergerakan scapula terhadap dinding thorax)[ anatomi gerak atas (Pujiastuti,
Susilowati),2002].
Ligamen-ligamen yang memperkuat sendi glenohumeral antara lain
ligamen glenoidalis, ligamen humeral tranversum, ligamen coraco humeral dan
ligamen coracoacromiale, serta kapsul sendi melekat pada cavitas glenoidalis dan
collum anatomicum humeri (Snell, 1997).
Gerak osteokinematika sendi ini meliputi (1) gerakan ke arah abduksi-
adduksi, (2) gerakan ke arah eksorotasi-endorotasi (down ward-up ward), (3)
gerakan ke arah elevasi-depresi.
c. Sendi siku
Sendi siku dibentuk oleh tiga tulang, yaitu humeri, radius dan ulna yang
saling berhubungan. Pada sendi siku dibentuk oleh 3 articulatio yaitu, (1)
articulation humeroulnar, (2) articulatio humeroradial dan (3) articulatio
radioulnar proksimal. Pada sendi ini terdapat gerakan kedua arah yaitu fleksi dan
ekstensi yang terjadi pada bidang sagital dan rotasi (pronasi dan supinasi) yang
133
terjadi pada bidang rotasi. Fleksi dan ekstensi terjadi antara humeri dan lengan
bawah (radius dan ulna). Untuk gerakan fleksi siku sebesar 1450 dan ekstensi
sendi siku sebesar 00 tapi dalam keadaan hiperekstensi dapat mencapai 100
lingkup gerak sendi siku untuk gerakan fleksi dan ekstensi dapat ditulis S 0-0-145
(tanpa hiperekstensi) atau S 10-0-145 (hiperekstensi) (Russe and Gerardt, 1975).
Pronasi dan supinasi terjadi karena radius berputar pada ulna, sementara itu radius
juga berputar pada porosnya. untuk gerakan supinasi sampai sebesar 900 dan
pronasi sebesar 800 sehingga dapat ditulis R 90-0-80. (Russe and Gerhardt, 1975).
Sendi siku merupakan sendi yang stabil. Sendi ini diperkuat oleh
ligamentum colaterale laterale, ligamentum colaterale mediale dan ligamentum
annulare radii yang menstabilkan caput radii. Otot-otot yang berperan penting
untuk menggerakan siku antara lain tertera di dalam table di bawah ini :
143
Tabel 1. Otot-otot region lengan
No Otot Origo Insertio Fungsi
1 Bicep brachialis a. Caput brevis processus coracoideus.
b. Caput longum: tuberositas supra glenoidalis
Tuberositas radii
Fleksi dan supinasi siku
2 Brachialis 2/3 distal permukaan anterior humeri
Tuberositas ulna
Fleksi siku
3 Brachioradialis Epicondilus lateral humeri (supracondilair)
Proksimal processus styloideus radii
Fleksi dan supinasi siku
4 Triceps brachii a. Caput longum: tuberositas infraglenoidalis
b. Caput medial: permukaan posterior humeri
c. Caput lateral: permukaan posterior humeri
Olecranon Ekstensi siku
5 Supinator Condilus lateralis Permukaan dorsal dan lateral radius 1/3 distal
Supinasi siku
6 Prenator teres a. Caput humeri: epicondilus lateralishumeri
b. Caput ulnar: processus coronoideus
Permukaan lateral radius 1/3 tengah
Pronasi siku
7 Pronator quadratus
Permukaan anterior ulna 1/4 distal
Permukaan anterior ulna 1/3 distal
Pronasi siku
Sumber: Hislop and Mongomery, 1995
153
Selain otot-otot penggerak siku juga terdapat otot fleksor dan ekstensor
pergelangan tangan. Otot-otot ekstensor pergelangan tangan berasal dari sekitar
epicondylus lateralis humeri sedangkan otot-otot fleksor pergelangan tangan
berasal dari sekitar epicondylus medial humeri. pada sisi medial di lengan atas di
antara m.biceps brachii dan m.coraco brachialis terdapat sebuah cabang saraf. (1)
nervus ulnaris berjalan lewat belakang bagian medial dari epicondylus medialis
humeri, (2) nervus medianus berjalan ke dalam fassa cubiti dan (3) nervus
radialis yang berada pada sisi lateral siku (Wolf, 1994).
163
Keterangan gambar 1
1. Caput humeri
2. Collum anatomikum
3. Collum chirugicum
4. Sulcus nervi radialis
5. Facies posterior
6. Crista supra epicondylaris medialis
7. Fossa olecrani
8. Epicondylus medialis
9. Sulcus nervi ulnaris
10. trohlea humeri
11. Epicondylus lateralis
12. Crista supra epicondylaris
13. Corpus humeri
14. Tuberculum majus
173
Gambar 1 Tulang humeri tampak dari belakang
(Putz, R dan Pabst, R, 2000)
183
Keterangan gambar 2
1. Sulcus intertubercularis 13. Trohlea humeri
2. Tuberculum majus 14. Epicondylus medialis
3. Collum chirugicum 15. Crista supraepicondylaris
medialis
4. Crista tubercului majoris 16. Fossa coronoidea
5. Tuberositas deltoidea 17. Facies antero medialis
6. Margo lateralis 18. Margo medialis
7. Facies anterolateralis 19.Crista tuberculi minoris
8. Crista supraepicondylaris lateralis 20.Tuberculum minus
9. Fossa radialis 21. Collum anatomicum
10. Epicondylus lateralis 22. Caput humeri
11. Capitatum humeri
12. Condylus humeri
193
Gambar 2 Tulang humeri tampak dari depan
(Putz, R dan Pabst, R, 2000)
203
Keterangan gambar 3
1. M. trapizius 15. M. exstensor pollicis brevis
2. Spina scaplae 16. Retinaculummusculorum
exstensorum
3. M. deltideus 17. M. exstensor pollicis longus,
tendo
4. M. triceps bracii, caput laterale 18. M. exstensor carpi radialis,
tendines
5. Septum intermusculare Bracii laterale 19. Caput ulnae, proc. Stiloideus
ulnae
6. N. cutaneus brachii posterior 20. M. extensor digiti minimi
7. M. biceps brachii 21. M. extensor carpi ulnaris
8. N. cutaneus antebrachii posterior 22. M. flexor carpi ulnaris
9. M. brachioradialis 23. M. anconius
10. Epicondilus lateralis 24. Bursa subcutanea olecrani
11. M. extensor carpi radialis longus 25. Olecranon
12. M. extensor digitorum 26. M. triceps brachii, caput mediale
13. M. extensor carpi radialis brevis 27. M. triceps brachii, caput longum
14. M. abductor pollicis longus 28. M. teres major
213
gambar 3 otot-otot region lengan dan tangan tampak dari depan
223
(Putz, R dan Pabst, R, 2000)
Keterangan gambar 4
1. Clavikula 15. N. cutaneus brachii medialis
2. Fossa infraclavicularis 16. Fascia antebrachii
3. M. deltoideus 17. Aponeurosis palmaris
4. M. pectoralis major, pars clavikularis 18. M. fleksor carpi ulnaris
5. V. cephalica 19. M. palmaris longus
6. N. medianus 20. M. fleksor carpi radialis
7. V. basilica 21. Epicondylus medialis
8. M. biceps brachii 22. Septum inermusculare brachii
9. M. brachialis 23. M. triceps brachii
10. N. musculo cutaneus, 24. N. cutaneus antebrachii medialis
N. cutaneus ante brachii lateralis
11. Aponeurisis musculi bicipitis brachii 25. N. cutaneus brachii medialis
12. V. mediana cubiti 26. N. intercostobrachialis
13. N. radialis, R. superficialis 27. M. biceps brachii, caput breve
14. M brachioradialis, tendo
233
243
gambar 4 otot-otot region lengan dan tangan tampak dari belakang (Putz, R dan Pabst, R, 2000)
253
3. Etilogi
Pada fraktur caput humeri mendapatkan tindakan medis berupa operasi
yang bertujuan untuk reduksi dan pemasangan fiksasi internal berupa plate and
screw. Saat operasi dilakukan incisi sehingga akan Terjadi kerusakan jaringan
lunak di bawah kulit maupun pembuluh darah yang akan mengakibatkan
terjadinya oedema pada lengan atas dan lengan bawah, nyeri pada lengan atas,
penurunan LGS siku dan bahu serta penurunan kekuatan otot penggerak sendi
siku dan sendi bahu.
4. Patologi
Tindakan medis yang diberikan pada pasien fraktur caput humeri adalah
tindakan operatif. Pada saat operasi dilakukan incisi yang menyebabkan
kerusakan jaringan lunak
Menurut Dandy (1993) yang dikutip oleh hassenkam (1999) penyembuhan
pada cidera jaringan lunak ada 3 tahap yaitu injury, inflammation, dan repair.
a. Injury(Trauma)
Pada tahap ini otot dan jaringan lunak disayat pada proses operasi yang
menyebabkan luka dan pendarahan serta kematian pada beberapa jaringan
tersebut. Akan terjadi pendarahan pada ruang incisi yang kemudian akan diikuti
dengan penggumpalan. Setelah itu tubuh akan mengeluarkan leoukosit untuk
fagositosis jaringan yang mati.
263
b. Inflamation (peradangan)
Dalam 24 jam pertama akan terjadi reaksi radang mendadak atau acout
inflammation. Pada masa ini karena terjadi kerusakan jaringan maka akan
menstimulasi pengeluaran zat-zat kimiawi dari dalam tubuh yang membuat nyeri
seperti histamin dan bradykynin. Pada masa ini juga terdapat tanda-tanda
peradangan seperti bengkak, nyeri, teraba panas, kemerah-merahan, dan
kehilangan fungsi. Bengkak dapat terjadi karena penimbunan exudat di bawah
kulit. Teraba panas dan kemerah-merahan karena terjadi perubahan vaskuler.
Berupa vasodilatasi pembuluh darah sehingga darah banyak terkonsentrasi pada
luka tersebut. Nyeri terjadi karena peningkatan ketegangan jaringan dan adanya
zat-zat kimiawi yang dikeluarkan tubuh sehingga menyebabkan nyeri. Kehilangan
fungsi terjadi karena bengkak, nyeri dan peningkatan ketegangan jaringan lunak
sehingga menghambat gerakan.
c. Repair (perbaikan)
Repair terjadi antara 2-3 hari, mulai terbentuk fibroblast (jaringan
pengikat muda) dan gumpalan darah atau haematoma akan diganti oleh jaringan
granulasi yaitu jaringan berwarna merah dan banyak mengandung pembuluh
darah, dimana pada ke 3-4 jaringan granulasi akan mengganti exudat dan jaringan
yang mati dengan jaringan yang baru. Antara hari ke 3-14, fibroblast akan
menghasilkan serabut kolagen dan akhirnya akan terbentuk jaringan parut atau
cicatric yang miskin vaskularisasi. Pada hari ke 5 akan tensil strength yaitu
kekuatan untuk mencegah terbukanya luka kembali tetapi belum maksimal. Pada
273
hari ke 7-8 epitilisasi luka mulai terjadi dengan kecepatan 0,5 mm per hari yang
berjalan dari tepi luka dan menuju ke tengah. Setelah hari ke 14, tensil strength
mempunyai kekuatan 1/5 dari kekuatan maksimal dan saat itu juga jaringan parut
akan mengkerut. Luka yang semula bewarna ungu akan berangsur-angsur menjadi
pucat. Tensil strength akan mencapai kekuatan maksimal pada 3 bulan setelah
luka terjadi.
Menurut Appley (1995) proses penyembuhan fraktur ada 5 tahap yaitu
hematoma, proliferation, calsification, consolidation, dan remodelling.
a. Hematoma (perdarahan)
Hematoma terjadi pada pembuluh darah rusak sehingga terjadi perdarahan
di antara fragmen dan sekitar fraktur. Ujung-ujung fragmen fraktur tidak
mendapatkan suply darah sehingga akan terjadi kematian jaringan sepanjang 1-2
mm.
b. Proliferation (perbanyakan jaringan)
Proliferation terjadi dalam 8 jam setelah operasi akan terjadi perdarahan
dan inflamasi akut di bawah periosteum dan saluran medulare yang tertembus.
Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan baru dan menghubungkan fragmen
fraktur. Hematoma perlahan membeku dan diabsorbsi lalu terbentuk kapiler-
kapiler baru.
283
c. calsification (pembentukan callus)
Jaringan yang berkembang memiliki potensi chondrogic dan osteogenic
yaitu membentuk tulang dan kartilago. Selain itu juga terdapat osteoclast yang
dihasilkan pembuluh darah baru yang memfagositosis tulang-tulang yang mati.
Jaringan yang berkembang dan tulang-tulang yang immature serta kartilago
membentuk callus pada permukaan periostium dan endosteum. Selama 4 minggu
setelah cedera tulang-tulang immature menjadi lebih padat.
d. Consolidation (maturisasi tulang)
Pada consolidation terjadi aktivitas osteoblast dan osteoclast terus yang
berlanjut. Tulang yang immature berubah menjadi tulang lamellar. Osteoblast
mengisi celah-celah yang masih tersisa di antara fragmen fraktur dengan tulang
baru. Proses ini merupakan proses yang lambat selama 1-2 bulan.
e. Remodelling (pengembalian bentuk tulang)
Pada proses Remodelling tulang semakin menguat. Proses resorbsi dan
pembentukan tulang terus berlanjut sehingga tulang kembali ke bentuk seperti
semula.
5. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien pasca operasi fraktur
caput humeri adalah oedema pada lengan atas dan lengan bawah, nyeri pada
293
lengan atas, penurunan LGS siku dan bahu, penurunan kekuatan otot penggerak
siku dan bahu, dan fungsilaesa (Appley, 1995).
6. Komplikasi atau faktor penyulit
Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukan tindakan operasi pada
pasien fraktur caput humeri adalah infeksi yang terjadi karena luka bekas operasi
yang tidak steril sehingga memperlama proses penyembuhan dan peralatan
operasi yang tidak steril, dan nerve injury yaitu kelumpuhan saraf radialis (drop
hand) karena saraf terluka akibat tindakan operasi (Appley, 1995).
7. Prognosis gerak dan fungsi
Kasus fraktur caput humeri mempunyai prognosis gerak dan fungsi yang
baik jika pasien secepat mungkin di bawa ke rumah sakit setelah trauma untuk
mendapatkan penanganan yang tepat oleh tim medis dan pasien pasca operasi
segera mendapatkan penanganan dari fisioterapi untuk mendapatkan terapi
latihan, sehingga oedema, nyeri, penurunan LGS, dan penurunan kekuatan otot
dapat diatasi, serta kontraktur dan kekakuan sendi dapat dicegah. Prognosis gerak
dan fungsi akan buruk apabila fraktur disertai komplikasi atau faktor penyulit dan
tidak mendapatkan fisioterapi.
B. Diskripsi problematik fisioterapi
Dari segi fisioterapi pada fraktur caput humeri akan menimbulkan
gangguan berupa impairment, functional limitation, participation restriction.
303
a. Impairment
1 oedema pada lengan atas kanan
terjadi karena adanya suatu reaksi suatu radang atau respon tubuh terhadap
cidera jaringan. tindakan operasi pada pasien fraktur caput humeri akan dilakukan
incisi sehingga akan terjadi kerusakan jaringan lunak di bawah kulit maupun
pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya oedema.
Parameter yang digunakan untuk mengetahui oedema adalah pengukuran
lingkar segmen tubuh (antropometri) dengan menggunakan midline/meteran.
Pengukuran dilakukan pada satu titik sebagai patokan di proksimal fraktur berupa
tonjolan tulang seperti acromion.
2 Nyeri pada daerah lengan atas kanan
Terjadi karena akibat adanya luka incisi yang menyebabkan ujung-ujung
saraf sensoris teriritasi dan karena adanya oedema pada daerah fraktur.
Parameter yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah Verbal
Descriptive Scale (VDS) yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan 7 skala
penilaian. Terapis menjelaskan 7 skala nyeri lalu pasien diminta untuk
menyebutkan seberapa nyeri yang dirasakan dengan memilih salah satu dari 7
skala. Pemeriksaan derajat nyeri meliputi nyeri diam, nyeri tekan, nyeri gerak.
313
Tabel 2. Kriteria nyeri menggunakan verbal descriptive scale (VDS)
No Skala Nyeri Kriteria
1 1 Tidak nyeri
2 2 Nyeri sangat ringan
3 3 Nyeri ringan
4 4 Nyeri tidak begitu berat
5 5 Nyeri cukup berat
6 6 Nyeri berat
7 7 Nyeri hampir tak tertahankan
Sumber : Sri Surini dan Budi Utomo, 2002
3 Penurunan kekuatan otot penggerak sendi siku dan gerak bahu kanan
Penurunan kekuatan otot penggerak siku dan bahu kanan disebabkan oleh
nyeri sehingga pasien cenderung memposisikan lengan pada posisi yang nyaman
(inaktif lama)
Parameter yang digunakan untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah
pemeriksaan kekuatan otot secara manual atau manual muscle testing (MMT)
dengan ketentuan sebagai berikut.
323
Tabel 3. Kriteria Nilai Kekuatan OtotNo Nilai Kriteria Cara1 5 Subyek bergerak dengan LGS
penuh melawan gravitasi dan tahanan maksimal
Terapis memberikan tahanan yang maksimal pada gerak fleksi dan ekstensi
2 4+ Subyek bergerak dengan LGS penuh melawan gravitasi dan tahanan moderat
Terapis memberikan tahanan yang moderat pada gerak fleksi dan ekstensi
3 4 Subyek bergerak dengan LGS penuh melawan gravitasi dan tahanan minimal
Terapis memberikan tahanan minimal pada gerak fleksi dan ekstensi
4 4- Subyek bergerak dengan LGS hampir penuh melawan gravitasi dan tahanan minimal
Terapis memberikan tahanan minimal pada gerak fleksi dan ekstensi
5 3+ Subyek bergerak dengan LGS kurang dari midle range dan tahanan minimal
Terapis memberikan tahanan minimal pada gerak fleksi dan ekstensi
6 3 Subyek bergerak dengan LGS penuh melawan gravitasi
Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri
7 3- Subyek bergerak dengan LGS penuh melawan gravitasi dengan LGS lebih dari midle range
Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri
8 2+ Subyek bergerak dengan sedikit melawan gravitasi
Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri
9 2 Subyek bergerak dengan LGS penuh tanpa melawan gravitasi
Posisi pasien tidur miring lengan pasien yang berada diatas disangga oleh terapis ,Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri
10 2- Subyek bergerak dengan LGS tidak penuh tanpa melawan gravitasi
Posisi pasien tidur miring lengan pasien yang berada diatas disangga oleh terapis, Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri
11 1 Kontraksi otot dapat di palpasi Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri lalu terapis mempalpasi otot
12 0 Kontraksi otot tidak terdeteksi dengan palpasi
Pasien disuruh untuk begerak fleksi dan ekstensi sendiri lalu terapis mempalpasi otot
Sumber : Medical Research Council
333
4 Penurunan Lingkup Gerak Sendi (LGS) siku dan bahu kanan
Penurunan LGS adalah suatu kondisi dimana sendi tidak dapat bergerak
dengan LGS penuh. Pada pasien pasca operasi fraktur caput humeri dengan
pemasangan plate and screw akan immobilisasi cukup lama. Selain itu adanya
nyeri dan oedema dapat membuat pasien takut untuk bergerak dan cenderung
memposisikan yang menetap dan dirasa nyaman oleh pasien. Jika hal ini dibiarkan
lama LGS akan menurun (Kisner and colby, 1996).
Pemeriksaan LGS dilakukan dengan goniometer. Untuk
mendokumentasikan hasil pengukuran LGS menggunakan metode Sagital Frontal
Tranversal Rotasi (SFTR) (Russe and Colby, 1975). Pemeriksaan dilakukan pada
sendi siku dan bahu kanan. Pencatatan hasil pengukuran dimulai dengan cara
menuliskan bidang gerak terlebih dahulu lalu diikuti penulisan gerak dalam 3
kelompok angka. Penulisan dimulai dari gerakan yang menjauhi tubuh, posisi
awal (netral) dan gerakan yang mendekati tubuh ditulis paling akhir.
Selain mengalami impairment pasien juga akan mengalami functional
limitation berupa gangguan aktivitas fungsional yaitu belum mampu mandi,
makan, dan berpakaian.
C. Teknologi Interverensi Fisioterapi
Teknologi interverensi fisioterapi yang bermanfaat untuk mengurangi
oedema, mengurangi nyeri, meningkatkan LGS dan meningkatkan kekuatan otot
343
pada pasien fraktur caput humeri pasca operasi pemasangan fiksasi internal
berupa plate and screw adalah :
1. Infra merah
merupakan pancaran gelombang elektromagnetik. Efek terapeutik yang
ditimbulkan dari pemberian infra merah adalah (1) mengurangi / menghilangkan
rasa nyeri, (2) rilaksasi otot, (3) meningkatkan suplai darah, (4) menghilangkan
sisa-sisa metabolisme (Sujatno, dkk, 2002).
2. Active exercise
Active exercise adalah gerakan yang dilakukan oleh kontraksi secara aktif
dari suatu otot yang melewati sendi yang digerakkan (Kisner and Colby, 1996) .
Active exercise dapat memacu reaksi pumping action otot yang membantu cairan
oedema bergerak ke proksimal dan ikut dalam peredaran darah sehingga oedema
akan menurun (Beherns, 1996). Selain itu active exercise dapat meningkatkan
aktivitas fungsional (Kisner and Colby, 1996). Tehnik active exercise yang
dilakukan yaitu :
a. Assisted active movement
Assisted active movement adalah gerak aktif yang dilakukan pasien secara
aktif dengan bantuan dari luar untuk mengeliminasi gravitasi. Jenis terapi latihan
ini dapat membantu mempertahankan fungsi sendi dan mengembalikan LGS
setelah terjadi fraktur (Appley, 1995).
353
b. Free active movement
Free active movement adalah gerakan yang terjadi akibat dari otot yang
bersangkutan tanpa adanya bantuan dan tahanan dari luar, kecuali gaya gravitasi.
Efek dan penggunaannya adalah untuk memperlancar sirkulasi darah sehingga
oedema berkurang, meningkatkan mobilisasi otot sehingga kekuatan otot
meningkat (Priatna, 1985).
3. Passive exercise
Passive exercise adalah gerak yang dihasilkan oleh kekuatan dari luar
tanpa adanya kontraksi dari otot secara voluntair. Teknik passive exercise terdiri
dari 2 teknik yaitu (1) relaxed passive movement yaitu pemberian gerak pasf yang
dilakukan sampai batas nyeri. (2) forced passive movement pemberian gerak pasif
disertai dorongan pada akhir gerakan untuk mencapai LGS yang penuh. (Appley,
1995). Rilexed passive movement tepat diberikan pada kondisi radang akut dan
nyeri (Kisner and Colby, 1996). Pada kasus ini forced passive movement tidak
diberikan karena dapat merusak jaringan terutama cidera di daerah siku. (Appley,
1995).
4. Static contraction
Static contraction adalah kontraksi otot yang tidak disertai perubahan
panjang otot. Jenis terapi latihan ini dapat memberikan rileksasi dan
meningkatkan sirkulasi serta untuk mengurangi nyeri setelah cidera jaringan
selama fase penyembuhan. (Kisner, 1996).
363
BAB III
PELAKSANAAN STUDI KASUS
Sebelum memberikan pelayanan fisoerapi kepada pasien maka seorang
fisioterapis melakukan assesment (pemeriksaan) untuk identifikasi masalah
dengan pengumpulan data tentang kondisi pasien. Data tersebut sangat berguna
untuk menetukan problematika fisioterapi dan menentukan terapi yang tepat bagi
pasien.
A. Pengkajian Fisioterapi
1. Pemeriksaan subyektif
a. Anamnesis
Anamnesis adalah pengumpulan data dengan cara melakukan suatu tanya
jawab dengan pasien ( auto anamnesis ) atau dengan orang lain yang mengetahui
proses kejadian dari penyakit pasien ( hetero anamnesis ). Pada kasus fraktur
caput humeri dextra anamnesis dilakukan secara autoanamnesis yaitu anamnesis
yang dilakukan dengan penderita sendiri, yang terdiri dari anamnesis umum dan
anamnesis khusus
1) Anamnesis umum
Dari anamnesis umum terapis memperoleh informasi tentang data pasien
yang meliputi; nama: Ny Sarijem, Umur: 63 th, jenis kelamin: perempuan, agama:
Islam, pekerjaan; ibu rumah tangga, alamat: margorejo, sragen.
373
26
2) Anamnesis khusus
a) Keluhan utama
Keluhan utama adalah satu atau lebih gejala yang dirasakan yang
membuat pasien mencari pertolongan. Pada kasus ini pasien mengeluh adanya
nyeri pada daerah bahu kanan, nyeri meningkat ketika lengan kanan digerakan.
b) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang menggambarkan riwayat penyakit secara
kronologis dengan jelas lengkap serta pengobatan yang pernah dilakukan
sebelumnya. Pada 5 februari 2008 pasien terpeleset di sumur, pasien mengeluh
tangan kanannya tidak bisa digerakan karena sakit, lalu pasien di bawa ke RSUD
sragen, tanggal 6 februari 2008 pasien dioperasi. Sehabis dioperasi dari tanggal 6
februari-15 februari pasien belum pernah diterapi, tanggal 16 februari pasien di
bawa ke poli fisioterapi RSUD sragen, saat di bawa ke poli fisioterapi pasien
masih mengeluh nyeri pada daerah bahu, nyeri timbul saat digerakan bengkak di
daerah lengan atas, masih terpasang verban pada luka incisi, keterbatasan gerak
pada bahu dan siku kanan.
c) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu pasien yaitu pasien belum pernah mengalami
patah tulang seperti yang dialami sekarang.
383
d) Riwayat penyakit penyerta
Pasien mempunyai hipertensi.
e) Riwayat pribadi
Pasien adalah seorang nenek yang pekerjaannya setiap hari menyapu,
mencuci dan mengepel.
f) Riwayat keluarga
Bukan merupakan penyakit herediter.
g) Anamnesis sistem
Pada sistem kepala dan leher, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,
sistem gastrointestinal dan sistem urogenetalis tidak ada gangguan. Pada sistem
muskuloskeletal ada nyeri tekan pada daerah incisi, nyeri gerak pada bahu kanan
dan siku kanan. Pada sistem nervorum tidak ada keluhan kesemutan pada lengan
kanan.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tanda- tanda vital
Tekanan darah: 140/80 mmHg, denyut nadi: 72 kali permenit, pernafasan
20 kali permenit, temperatur: 36,5° C, berat badan: 40 kg, tinggi badan: 145 cm.
393
b. Inspeksi
Dari inspeksi statis dapat diketahui terpasang verban pada luka incisi,
warna kulit kemerah-merahan, ada bekas jahitan, dinamis diketahui pasien merasa
nyeri saat menggerakkan siku dan bahu kanan.
c. Palpasi
Dari palpasi diperoleh nyeri tekan pada daerah luka incisi, pitting oedema
pada lengan atas, suhu lengan atas kanan lebih hangat dibandingkan dengan lengan
atas kiri, ada spasme pada otot disekitar bahu.
d. Pemeriksaan gerak dasar
pemeriksaan gerak dasar terdiri dari:
1) Gerak aktif
Pasien diminta menggerkkan siku kanannya ke arah fleksi ekstensi,
pronasi dan supinasi. Saat pasien bergerak ke arah fleksi pasien merasa nyeri,
LGS terbatas dan kekuatan otot menurun. Saat pasien bergerak ke arah ekstensi
pasien merasa nyeri, LGS penuh dan kekuatan otot menurun. Saat pasien
bergerak ke arah pronasi dan supinasi tidak merasa nyeri, LGS penuh dan kesan
kekuatan otot normal.
Pasien diminta untuk menggerakan bahu kanannya ke arah fleksi,
ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan endorotasi. Saat pasien bergerak ke
403
arah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eksorotasi dan endorotasi, pasien merasa
nyeri, LGS menurun dan kekuatan otot menurun.
2) Gerak pasif
Siku kanan pasien digerakan ke arah fleksi, ekstensi, pronasi dan supinasi.
Saat digerakan ke arah fleksi, ekstensi didapatkan informasi adanya nyeri, LGS
menurun, saat digerakan ke arah pronasi dan supinasi pasien tidak merasa nyeri.
Bahu kanan pasien digerakan kearah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi,
eksorotasi, endorotasi. Saat digerakan kesemua arah pasien merasa nyeri, LGS
terbatas.
e. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan pada kasus ini meliputi:
a. Pemeriksaan nyeri
Parameter yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah Verbal
Descriptive Scale (VDS) yaitu cara pengukuran derajat nyeri dengan 7 skala
penilaian. Terapis menjelaskan 7 skala nyeri lalu pasien diminta untuk
menyebutkan seberapa nyeri yang dirasakan dengan memilih salah satu dari 7
skala. Pemeriksaan derajat nyeri meliputi nyeri diam, nyeri tekan, nyeri gerak.
hasil pemeriksaan didapatkan hasil:
413
- Nyeri diam : 2 (sangat ringan)
- Nyeri gerak : 6 (berat)
- Nyeri tekan : 4 (sedang)
b. Anthropometri
Pengukuran lingkar segmen tubuh (antropometri) dengan menggunakan
midline/meteran. segmen yang diukur adalah lengan atas yang sakit dan lengan
atas yang sehat kemudian dibandingkan. Pada kasus ini pemeriksaan dilakukan
pada lengan atas dengan patokan acromion ke distal. Dari pengukuran didapatkan
hasil:
Tabel 4 hasil pengukuran lingkar segmen lengan atas kanan (T0) 18 februari 2008
Letak patokan Lengan atss
kanan
Lengan atas
kiri
Selesih
Acromion ke
distal
10 cm
15 cm
20 cm
25 cm
24 cm
22 cm
21 cm
20 cm
21 cm
20 cm
18 cm
19 cm
3 cm
2 cm
3 cm
1 cm
Dari data di atas dapat diketahui bahwa pada lengan atas pasien terdapat
423
bengkak yang dapat dilihat dari selisih lingkar segmen lengan atas kanan dan
lengan atas kiri.
c. Pengukuran LGS
Pemeriksaan LGS dilakukan dengan goniometer. Untuk
mendokumentasikan hasil pengukuran LGS menggunakan metode Sagital Frontal
Tranversal Rotasi (SFTR) (Russe and Colby, 1975). Pemeriksaan dilakukan pada
sendi siku. Gerakan yang terjadi adalah fleksi dan ekstensi. Pada pemeriksaan
gerak fleksi dan ekstensi posisi pasien tidur terlentang. Axis goniometer diletakan
pada epicondylus lateral humeri. tangkai statis sejajar dengan tulang humeri dan
tangkai dinamis sejajar dengan tulang radius. Dilakukan gerak fleksi dan ekstensi
siku tejadi pada bidang sagital. Pencatatan hasil pengukuran dimulai dengan cara
menuliskan bidang gerak terlebih dahulu lalu diikuti penulisan gerak dalam 3
kelompok angka. Penulisan dimulai dari gerakan yang menjauhi tubuh, posisi
awal (netral) dan gerakan yang mendekati tubuh ditulis paling akhir. dari hasil
pengukuran LGS didapatkan:
Tabel 5 hasil pemeriksaan LGS siku dan bahu(T0) tanggal 18 februari 2008
Elbow kanan LGS Pasif
S 0 0 -0 0 -100 0
R 90 0 -0 0 -80 0Terdapat penuruanan LGS
LGS Akif
S 0 0 -0 0 -80 0
R 90 0 -0 0 -80 0Terdapat penuruanan LGS
Shoulder kansn
LGS Aktif
S 10 0 -0 0 -10 0
F 0 0 -0 0 -10 0
R 20 0 -0 0 -80 0
Terdapat penuruanan LGS
LGS Pasif
S 0 0 -0 0 -10 0
F 30 0 -0 0 -100Terdapat penuruanan
433
R 00 -00 -200 LGS
Dari data di atas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan LGS siku dan
bahu kanan.
d. Kekuatan otot
Parameter yang digunakan untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah
pemeriksaan kekuatan otot secara manual atau manual muscle testing (MMT)
dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 6 hasil pemeriksaan kekuatan otot (T0) tanggal 18 februari 2008Kelompok Otot Kekuatan Otot
Pronator kanan
Supinator kanan
Fleksor bahu kanan
Ekstensor bahu kanan
Abduktor bahu kanan
Adduktor bahu kanan
Eksorotator bahu kanan
Endorotaror bahu kanan
Fleksor siku
Ekstensor siku
4
4
2+
3
2
2
2
2
2+
2+
Dari data di atas dapat diketahui bahwa terjadi penurunan kekuatan otot
penggerak siku dan bahu.
443
e. Pemeriksaan aktivitas fungsinal
Pemeriksaan ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pasien
mengalami gangguan dalam melakukan aktifitas fungsional. Pada pemeriksaan
pasien belum mampu bersisir dengan tangan kanan, mandi secara mandiri,
mengancingkan baju , membawa gelas ke mulut.
B. Diagnosa Fisioterapi
Pada kasus pasca operasi fraktur caput humeri dengan plate and screw
meliputi impairment, functional limitation, dan participation restriction. Pada
impairment didapat oedema pada lengan atas kanan dan lutut, nyeri pada daerah
incisi, penurunan LGS pada siku dan bahu kanan, penurunan kekuatan otot pada
siku dan bahu kanan. Pada functional limitation yaitu keterbatasan pasien untuk
melakukan aktifitas fungsional dengan lengan kanan. Pada participation
restriction yaitu pasien dapat bersosialisasi dengan masyarakat seperti semula atau
secara optimal.
C. Pelaksanaan Terapi
1. Tujuan dan modalitas fisioterapi
Dalam pemberian terapi tentunya ada tujuan yang hendak dicapai
berdasarkan prolematika pasien. Tujuan fisioterapi pada kasus ini ada 2 macam
yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun tujuan jangka
pendek adalah (1) mengurangi oedema pada lengan atas; (2) mengurangi nyeri
453
pada lengan atas; (3) meningkatkan LGS siku dan bahu; (4) meningkatkan
kekuatan otot penggerak siku dan bahu kanan. Sedangkan tujuan jangka panjang
meningkatkan aktivitas fungsional.
Untuk mencapai tujuan fisioterapi yang sesuai dengan problematika
pasien. Pada kasus ini modalitas yang digunakan adalah infra merah dan terapi
latihan dengan teknik static contraction, free active movement, assisted active
movement, dan relaxed passive movement.
2. Penatalaksanaan fisioterapi
a. infra merah
Untuk mendapatkan efek yang optimal maka perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
a) Persiapan alat
Perlu dipersiapkan alat serta pemeriksaan alat yang akan digunakan, antara
lain meliputi : kabelnya, jenis lampu besarnya watt.
b) Persiapan pasien
Pada pelaksanaannya posisi pasien tidur terlentang, rileks dan senyaman
mungkin. Pasien menggunakan penutup mata. Daerah yang diobati harus bebas
dari pakaian serta perlu dilakukannya sensibilitas test terhadap panas dan dingin
terlebih dahulu. Tes ini bisa dilakukan dengan cara pasien disuruh merasakan
sensasi yang terjadi dengan menggunakan tabung berisi air hangat dan dingin.
Bila terjadi gangguan sensibilitas panas dan dingin pada daerah tersebut, maka
pengobatan dengan infra merah perlu dihindarkan. Pada pemeriksaan sensibilitas
463
pada pasien ini adalah normal. Perlu pemberitahuan mengenai panas yang
dirasakan dari terapi infra merah yaitu rasa hangat. Bila ternyata ada rasa panas
yang menyengat, pasien diminta untuk segera memberitahukan fisioterapis.
c) Pelaksanaan terapi
Penyinaran dengan infra merah diusahakan tegak lurus dengan daerah
yang diobati yaitu pada daerah bahu, dengan jarak lampu antara 60 cm. Lamanya
waktu penyinaran 15 menit. Setelah terapi selesai alat dirapikan seperti semula.
b. Static contraction
Static contraction merupakan kontraksi otot yang tidak disertai
perubahan-perubahan panjang otot. Jenis terapi latihan ini untuk mengurangi nyeri
dan oedema jaringan selama fase penyembuhan. (1)Posisi pasien: half laying,
lengan kanan disangga bantal, (2) Posisi terapis: disamping pasien memberikan
instruksi, (3) Gerakan: pasien diminta untuk menggenggam tangan, menurut
Kuprian (1984) gerakan ini dilakukan dengan penahanan 6-10 detik, fase istirahat
3-5 detik, kekuatan kontraksi min 40% dari kekutan kontraksi maksimal dengan
12 kali pengulangan. Latihan ini dilakukan 3-5 kali per hari.
473
Gambar 5 Static contraction
c. Assisted active movement
Assisted active movement merupakan gerak aktif yang dilakukan pasien
secara sadar dengan bantuan dari luar. Pada kasus ini bantuan berupa penyangga
dengan tangan terapis dan bantal untuk meminimalisasi gaya gravitasi. Jenis
terapi latihan ini dapat membantu mempertahankan fungsi dan mengembalikan
LGS setelah terjadi fraktur.
1) Assisted active movement siku
(1) Posisi : half laying, lengan disangga bantal, (2) posisi terapis:
disamping pasien memberi instruksi, (3) Gerakan: pasien diminta untuk menekuk
dan meluruskan, serta memutar tangannya ke dalam dan keluar, siku sampai batas
kemampuannya, (4) Dosis: dilakukan 5-10 kali pengulangan.
Gambar 6
Assisted active
movement siku
483
2) Assisted active movement bahu (abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi)
(1) Posisi pasien: terlentang (untuk gerakan abduksi dan adduksi ) miring
ke kiri (untuk gerakan fleksi dan ekstensi ), (2) Posisi terapis: di sebelah kanan
pasien satu tangan di lengan bawah tangan di lengan atas menyangga daerah
fraktur, (3) Gerakan: untuk gerakan abduksi dan adduksi pasien diminta untuk
membuka dan menutup lengan sedangkan untuk gerakan fleksi dan ekstensi
pasien diminta untuk menggerakan lengan ke depan dan ke belakang. (4) Dosis:
dilakukan 5-10 kali pengulangan.
Gambar 7 Assisted active movement bahu
d. Free active movement
Free active movement merupakan gerak aktif yang dilakukan secara sadar
tanpa bantuan dari luar dengan melawan gaya gravitasi. Jenis terapi latihan ini
dapat meningkatkan kekuatan otot, memelihara LGS, dan mengurangi oedema.
493
1) Free active movement siku
(1)) Posisi pasien: tidur terlentang terlentang,(2) Posisi terapis: di samping
pasien untuk memberikan instruksi, (3) Gerakan: pasien diminta untuk menekuk
dan meluruskan siku sampai penuh sesuai batas kemampuannya, (4) Dosis:
dilakukan 5-10 kali pengulangan.
Gambar 8 Free active movement siku
2) Free active movement bahu (pendulum exercise )
(1) Posisi pasien: berdiri dengan badan sedikit membengkuk menghadap
ke tembok lengan satunya lurus bersandar di tembok, (2) Posisi terapis: berdiri
disamping pasien memberikan instruksi, (3) Gerakan: pasien diminta untuk
mengayun lengan ke depan, belakang, samping kanan, samping kiri (fleksi,
503
ekstensi, abduksi, adduksi ) sejauh mungkin, (4) Dosis: dilakukan 5-10 kali
pengulangan.
Gambar 9 Free active movement
e. Relaxed passive movement
Relaxed passive movement exercise merupakan gerak pasif yang dilakukan
terapis dimana terdapat penguluran selama gerakan sampai batas nyeri. Jenis
terapi latihan ini dapat memelihara LGS. (1) Posisi pasien: tidur terlentang
terlentang, (2) Posisi terapis: di samping pasien, satu tangan di lengan bawah
untuk menggerakan, tangan lain di lengan atas memfiksasi daerah fraktur, (3)
Gerakan: terapis menggerakan siku pasien ke arah fleksi dan ekstensi, bahu ke
arah fleksi, ekstensi, abduksi, dan adduksi, (4) Dosis: dilakukan 5-10 kali
pengulangan.
513
Gambar
10 Relaxed passive movement bahu
Gambar 11 Relaxed passive movement siku
f. Edukasi
523
Edukasi kepada pasien meliputi pembelajaran dan home program.
Pembelajaran tersebut berupa penjelasan tentang kasus yang dialami pasien yaitu
bahwa pasien mengalami patah tulang yang telah mendapatkan tindakan operasi
sehingga timbul problematik seperti: (1) adanya nyeri karena luka incisi pada
lengan kanan atas bagian lateral yang menyebabkan radang sehingga timbul
oedema pada lengan atas kanan, (2) penurunan lingkup gerak sendi siku dan bahu
kanan, (3) penurunan kekuatan otot siku dan bahu kanan, (4) penurunan aktivitas
fungsional seperti mengkancingkan baju. Selain penjelasan di atas ditambah
dengan penjelasan tentang perlunya latihan agar problematik tersebut dapat
diatasi. Home program yang diberikan: (1) pasien disuruh untuk berlatihan sendiri
seperti free active atau latihan-latihan yang sudah diberikan terapis. (2) pasien
dianjurkan untuk memakai mitela pada saat beraktivitas. latihan bisa dilakukan di
rumah, dilakukan 2-3 kali perhari.
D. Evaluasi Hasil Terapi
Evaluasi dibedakan menjadi dua, yaitu evaluasi sesaat dan evaluasi
periodik. Evaluasi sesaat yaitu evaluasi yang selalu kita lakukan sebelum terapi,
selama terapi dan sesudah terapi. evaluasi sesaat penting untuk dilakukan karena
evaluasi sesaat yang cermat akan banyak berarti bagi keberhasilan terapi dan
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama terapi dilakukan.
Evaluasi periodik adalah evaluasi yang telah disusun dan direncanakan dalam
waktu dan jumlah waktu tertentu. Prinsip evaluasi periodik yaitu membandingkan
keadaan sebelumnya atau keadaan awal pertama kali diperiksa dengan keadaan
533
saat dilakukan evaluasi. Evaluasi ini merupakan upaya untuk mengetahui tingkat
keberhasilan dari tujuan yang ditetapkan sekaligus untuk meninjau kembali
program yang telah dilaksanakan mungkin perlu dilakukan modifikasi latihan.
Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari
1. Berkurangnya nyeri
Nyeri dengan VDS
Tabel 7 hasil evaluasi nyeri dengan VDS
T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
Nyeri diam 2 2 - 2 - - 1
Nyeri gerak 6 6 - 5 - - 4
Nyeri tekan 4 4 - 3 - - 2
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan
derajat nyeri.
543
2. Berkurangnya oedema
Oedema dengan antropometri
Tabel 8 hasil evaluasi oedema dalam satuan cmTitik Patokan
dari acromion ke
distal
Lengan
KiriLengan kanan (cm)
T0 T1 T
2
T3 T
4
T5 T6
10 cm
15 cm
20 cm
25 cm
21 cm
20 cm
18 cm
19 cm
2
4
2
2
2
1
2
0
2
4
2
1
2
1
1
9
-
-
-
-
2
3
2
1
2
0
1
9
-
-
-
-
2
1
2
1
1
9
1
9
2
2
1
1
8
1
9
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi penurunan
oedema pada lengan atas kanan.
3. Meningkatnya LGS
LGS dengan goniometer
553
Tabel 9 hasil evaluasi LGSTerapi Sendi Aktif Pasif
T0 Siku S. 00-0-0800
R. 900-00-800
S. 00-00-1000
R. 900-00-800
Bahu S. 100-00-100
F. 00-00-100
R. 00-00-100
S. 200-00-800
F. 300-00-100
R. 00-00-200
T1 Siku S. 00-00-1000
R. 900-00-800
S. 00-00-1200
R. 900-00-800
Bahu S. 100-00-300
F. 50-00-100
R. 00-00-100
S. 200-00-800
F. 300-00-100
R. 100-00-300
T2 Siku S. 00-00-1000
R. 900-00-800
S. 00-00-1200
R. 900-00-800
Bahu S. 100-00-500
F. 200-00-100
R. 50-00-200
S. 200-00-900
F. 600-00-100
R. 200-00-300
T3 Siku S. 00-00-1100
R. 900-00-800
S. 00-00-1200
R. 900-00-800
Bahu S. 150-00-600
F. 300-00-100
R. 150-00-200
S. 200-00-1000
F. 700-00-200
R. 200-00-450
T4 Siku S. 0-00-1150 S. 00-00-1200
563
R. 900-00-800 R. 900-00-800
Bahu S. 200-00-700
F. 600-00-100
R. 200-00-300
S. 300-00-1000
F. 900-00-200
R. 300-00-500
T5 Siku S. 00-00-1200
R. 900-00-500
S. 00-00-1300
R. 900-00-800
Bahu S. 250-00-900
F. 700-00-100
R. 200-00-500
S. 300-00-100
F. 1000-00-200
R. 300-00-600
T6 Siku S. 00-00-1200
R. 900-00-800
S. 00-00-1300
R. 900-00-800
Bahu S. 250-00-1050
F. 700-00-200
R. 300-00-600
S. 300-00-1200
F. 1000-00-200
R. 300-00-600
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi peningkatan LGS
siku dan bahu.
573
4. Kekuatan otot
Kekuatan otot dengan MMT
Tabel 10 hasil evaluasi kekuatan otot ekstrimitas atas
Kelompok otot T1 T2 T3 T4 T5 T6
Pronator kanan 4 - - 4 - 4
Supinator kanan 4 - - 4 - 4
Fleksor bahu kanan 2+ - - 3- - 3-
Ekstensor bahu kanan 3 - - 3 - 3-
Abduktor bahu kanan 2 - - 3+ - 3+
Adduktor bahu kanan 2 - - 3- - 3
Eksoratator bahu kanan 2 - - 2+ - 2+
Endorotator bahu kanan 2 - - 2+ - 3-
Fleksor siku 2+ - - 3+ - 4
Ekstensor siku 2+ - - 3+ - 4
583
Dari data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi peningkatan
kekuatan otot penggerak siku dan bahu.
5. kemajuan dalam melakukan suatu aktivitas fungsinal
- Pasien mampu mandi secara mandiri
- Pasien mampu mengkancingkan baju
- Pasien sudah mampu bersisir
- Pasien sudah mampu membawa gelas kemulut
593
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL
Impairment yang dihadapi pasien dengan kondisi pasca operasi
pemasangan plate and screw pada fraktur caput humeri dextra adalah (1) oedema
pada lengan atas kanan (2) nyeri pada daerah incisi (3) penurunan LGS pada siku
dan bahu kanan (4) penurunan kekuatan ototpenggerak siku dan bahu kanan.
Akibat dari inpairment tersebut pasien mengalami gangguan dalam melakukan
aktivitas fungsional yang menggunakan tangan kanan.
Ny. Sarijem, 63 tahun dengan kondisi tersebut di atas setelah dilakukan
terapi sebanyak 6 kali berupa pemberian Infra merah dan terapi latihan dengan
teknik static contraction, assisted active movement, free active movement dan
relaxed pasive movement mempunyai perkembangan sebagai berikut:
1. Oedema pada lengan atas kanan
Oedem diukur dengan antropometri yang berupa lingkar segmen lengan
atas kanan. Didapatkan hasil penurunan lingkar segmen. Pengukuran dilakukan di
atas elastis bandage dengan titik patokan acromion ke distal Pada T1 didapat hasil
24 cm (10 cm ke distal dari acromion), 22 cm (15cm ke distal dari acromion),
21cm (20 cm ke distal dari acromion), 20 cm (25 ke distal dari acromion). Pada
603
59
T6 didapatkan hasil 21 cm (10 cm ke distal dari acromion), 21 cm (15cm ke distal
dari acromion), 18cm (20 cm ke distal dari acromion), 19 cm (25 ke distal dari
acromion).
Pada kasus ini, infra merah dan terapi latihan yang digunakan untuk
mengurangi oedema yaitu active exercise sisi distal maupun proksimal fraktur,
static contraction dan juga positioning yang berupa elevasi lengan kanan. Proses
pengurangan oedema dengan menggunakan gerak aktif pada prinsipnya adalah
memanfaatkan sifat vena yang dipengaruhi oleh pumping action otot sehingga
dengan kontraksi yang kuat maka otot akan menekan vena dan cairan oedem
dapat dibawa vena menuju proksimal dan ikut dalam peredaran darah sehingga
nyeri akan berkurang. Sedangkan elevasi tungkai bawah bertujuan untuk
membantu venous return dengan memanfaatkan gaya dorong gravitasi bumi.
2. Nyeri pada lengan atas
Derajat nyeri diukur dengan menggunakan skala VDS dan didapatkan
hasil penurunan nyeri diam, tekan, dan nyeri gerak dari T1 – T6. Pada T1 nilai
nyeri diam pada skala 2 dan T6 menurun menjadi skala 1. Untuk nyeri tekan pada
T1 nyeri pada skala 4 menurun menjadi skala 2 pada T6. Untuk nyeri gerak pada
T1 skala 6 menurun pada skala 4 pada T6.
Pada T1, terlihat adanya nyeri yang cukup besar pada pasien. Hal tersebut
dapat disebabkan karena adanya proses peradangan akut yang pada proses
tersebut akan dihasilkan zat – zat kimiawi yang membuat nyeri seperti histamine,
bradikinin maupun prostagladin (Low et all, 2000).
613
Dengan infra merah dan latihan static contracrion dapat memberikan
rileksasi dan meningkatkan sirkulasi serta untuk mengurangi nyeri setelah cidera
jaringan selama fase penyembuhan. (Kisner, 1996).
3.Lingkup gerak sendi
Pengukuran LGS dilakukan pada sendi siku dan bahu kanan didapatkan
hasil berupa peningkatan LGS sendi siku dan bahu kanan baik secara aktif
maupan pasif
Tabel 11 LGS T0 dan T6
Aktif Pasif
T0 Siku S. 00-00-800
R. 900-00-800
S. 00-00-1000
R. 900-00-800
Bahu S. 100-0-100
F. 00-00-100
R. 00-00-100
S. 200-00-800
F. 300-00-100
R. 00-00-200
Menjadi
Aktif Pasif
T6 Siku S. 00-00-1200
R. 900-00-800
S. 00-00-1300
R. 900-00-800
Bahu S. 250-00-1050
F. 700-00-2000
R. 300-00-600
S. 300-00-1100
F. 1000-00-250
R. 300-00-600
Penurunan LGS pada kasus ini dapat terjadi karena adanya luka incisi yang
menyebabkan oedema sehingga timbul nyeri yang menyebabkan pasien enggan
bergerak. Jika kondisi ini dibiarkan dapat menimbulkan spasme yang akan
623
menyebabkan gerak sendi menjadi terbatas. Dari data di atas, dapat dikatakan
bahwa telah terjadi peningkatan LGS. Hal ini dapat terjadi karena seiring dengan
menurunnya oedem dan nyeri serta spasme otot, maka pasien lebih mudah untuk
menggerakkan sendi yang semula terbatas. Terapi latihan yang digunakan untuk
meningkatkan LGS yaitu berupa passive exercise, active exercise. Dengan gerak
aktif maka perlengketan jaringan akibat immobilisasi dapat dikurangi (Apley dan
Solomon, 1995), sehingga pasien akan lebih mudah untuk menggerakkan sendi
tanpa ada hambatan yang berefek pada peningkatan LGS. (Kisner dan Colby,
1996) dengan mekanisme yang telah dijelaskan di atas bahwa dengan kontraksi
isometrik yang kuat dan disertai dengan rileksasi maka ketegangan otot dan
spasme dapat berkurang. Hal tersebut ditambah dengan mekanisme penguluran
otot sehingga sarcomer otot yang semula memendek akan dapat memanjang
kembali dan berakibat pada kembalinya fungsi otot secara normal.
633
4. Kekuatan otot
Kekuatan otot di ukur dengan MMT
Tabel 12 kekuatan otot T0 dan T6
Group otot T0 T6
Pronator kanan
Supinator kanan
Fleksor bahu kanan
Ekstensor bahu kanan
Abduktor bahu kanan
Adduktor bahu kanan
Eksorotator bahu kanan
Endorotaror bahu kanan
Fleksor siku
Ekstensor siku
4
4
2+
3
2
2
2
2
2+
2+
4
4
3-
3
3+
3
2+
3-
4
4
Dari nilai-nilai kekuatan otot yang diperoleh selama T1-T6, maka penulis
berpendapat bahwa nilai kekuatan otot yang diperoleh tidak begitu valid oleh
karena masih adanya nyeri pada lengan atas kanan pasien. Kekuatan otot lengan
dan tangan kanan pasien akan meningkat seiring dengan berkurangnya nyeri.
643
Tetapi bila pasien tidak dilatih maka dikhawatirkan setelah nyeri menghilang
maka akan terjadi penurunan kekuatan otot karena tidak pernah digunakan. Pada
kasus ini, setelah dilakukan free active exercise telah terjadi peningkatan kekuatan
otot. Menurut Kisner dan Colby (1996) jika suatu tahanan diberikan pada otot
yang berkontraksi maka otot tersebut akan beradaptasi dan menjadi lebih kuat.
5. Kemampuan aktivitas
Peningkatan kemampuan fungsional pada kasus fraktur dipengaruhi oleh
berkurangnya nyeri, motivasi pasien dan dorongan dari terapis, serta lingkungan
di rumah tersebut yang mendukung kesembuhan pasien. Kemampuan fungsional
pada kasus ini dapat seiring dengan menurunnya nyeri. Dengan menurunnya
nyeri, maka pasien akan lebih mudah dalam bergerak tanpa ada rasa takut lagi.
Peningkatan kemampuan fungsional juga tidak terlepas dari peran keluarga pasien
maupun terapis disamping motivasi pasien sendiri. Pada kasus ini, pasien
mempunyai motivasi dan keinginan sembuh yang tinggi, sehingga pengembalian
kemampuan fungsional akan lebih mudah. Peran terapis juga sangat besar untuk
menjelaskan manfaat melakukan latihan dan efek-efek negatif yang akan muncul
jika pasien tidak mau melakukan latihan. Selain itu motivasi dari keluarga pasien
sangat diperlukan. Lingkungan rumah juga sangat membantu dalam proses terapi
pasien, T1 kemampuan fungsional pasien belum mampu mengkancingkan baju,.
Pada T6 kemampuan fungsional pasien sudah mampu mengkancingkan baju.
653
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pembahasan mengenai kondisi pasca operasi
pemasangan plate and screw pada fraktur caput humeri dextra, penulis dapat
menyimpulkan bahwa permasalahan yang dihadapi pada kasus ini oedema pada
lengan atas kanan, nyeri pada lengan atas kanan, keterbatasan LGS siku dan bahu
kanan serta kenurunan kekuatan otot penggerak siku dan bahu kanan, setelah
dilakukan interverensi fisioterapi dengan menggunakan infra merah dan terapi
latihan dengan teknik static contraction, assisted active movement, free active
movemen dan relaxed pasive movement.
B. Saran
Setelah melakukan proses fisioterapi yaitu dengan terapi latihan pada pasien pasca
operasi fraktur caput humeril dengan plate and screws, maka penulis akan
663
65
memberikan saran kepada : 1) bagi pasien Disarankan untuk melakukan terapi
secara rutin, serta melakukan latihan-latihan yang telah diajarkan fisioterapis
secara rutin di rumah 2) bagi fisioterapis Hendaknya benar-benar melakukan
tugasnya secara professional, yaitu melakukan pemeriksaan dengan teliti sehingga
dapat menegakkan diagnosa, menentukan problematik, menentukan tujuan terapi
yang tepat, untuk menentukan jenis modalitas fisioterapi yang tepat dan efektif
buat penderita, fisioterapis hendaknya meningkatkan ilmu pengetahuan serta
pemahaman terhadap hal-hal yang berhubungan dengan studi kasus karena tidak
menutup kemungkinan adanya terobosan baru dalam suatu pengobatan yang
membutuhkan pemahaman lebih lanjut.
3) bagi masyarakat umum untuk berhati-hati dalam melakukan aktivitas
kerja yang mempunyai resiko untuk terjadinya trauma atau cidera. Disamping itu,
jika telah terjadi cidera yang dicurigai terjadi patah tulang maka tindakan yang
harus dilakukan adalah segera membawa pasien ke rumah sakit bukan ke alternatif
misalnya sangkal putung karena dapat terjadi resiko cidera dan komplikasi yang
lebih berat.
673
DAFTAR PUSTAKA
Appley G.A & Salomon L.(1995). Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley. Terjemahan edisi ketujuh. Jakrta : widya medika
Behrens, J. Barbara.(1996). Phusical agent Theory and Pratice for the Physical Therapis Assistant.I Philadelpia : F.A. Davis Company
Cameron, H Mochele.(1999). Psysical Agent in Rehabilitaion from Search to Pratice. Philadelpia : W.B. Saunders Company.
Depkes RI, (1992). Undang- Undang Republik Indonesia : 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta, hal 1
Garden, H.Fae.(1995). Fraktur ekstrimitas. In Garrison,J.Susan. Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitas Fisik. Jakarta : Hipocrates.
Gerhardt, J.John and Russe, A.Cotto.(1975). International SFTR Method of Measuring and Recording Joint Motion. Suttgart : Hans Huber Publiser.
Snell, Richards; (1991), Anatomi Klinik, Edisi Tiga, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Sujatno, dkk, 2002; Sumber Fisis; Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi, Surakarta, hal. 53 – 63.
Priatna H.(1985). Exercise Therapy. Surakarta : Akademi Fisioterapi
683
Hislop, J. Helen and Mongomery, Jaqueline.(1995). Muscle Testing Tecniques of Manual Eximination (sixth edition). Philadelpia : W.B Saundaers company.
Kisner, C . and Colby, L..(1996). Therapeutic Exercise Foundations and Techniques (trird edition).Philadelpia : F.A Davis Company.
Mc Rae, Ronald.(1994). Practical Fracture Treatment (third edition). Hongkong : Churchill Livingstone.
Mudatsir, Syatibi; (2002), Pemeriksaan Regio Bahu Joint Play Movement, Pelatihan Fisioterapi VII Terapi Manipulasi Ekstremitas, Surakarta.
Pudjiastuti, S dan Utomo, B.(2002). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Syaifudin.(1991). Anatomi Fisiologi untuk Siswa Perawat (edisi kedua). Jakarta : Penerbit Buku Kedoteran EGC.
Thomson, Ann.(1991). Tidy’s Physioterpy. Butterwort Heineman.
Wolf,A.N.de.(1994). Pemeriksaan Alat Penggerak Tubuh. Bohn StafleuVan Loghum Houten.
Kuprian, W,et all.(1984). Sport Physioterapy Explained. De tjidstroo, Lochem, hal 95-97.
693