Definisi
-
Upload
dadan-kurniawan -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
description
Transcript of Definisi
Definisi
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan jumlah trombosit yang rendah dan perdarahan mukokutan.
Epidemiologi
Perkiraan insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar setengah dari
kasus-kasus ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000,
PTI akut umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak dengan
PTI akut berkembang menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) pada
anak berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa
yang khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun.
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8-6,6
per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura Trombositopenia
Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan median rata-rata
usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada pasien PTI akut
sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1
Pasien PTI refrakter didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi dengan
kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena
angka trombosit di bawah normal atau ada perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-
kira 25-30 persen dari jumlah pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap
pemberian terapi dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.
Patofisiologi
Sindrom PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklir melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama
mengidentifikasi membran trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang
dominan dengan mendemostrasikan bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI
berikatan dengan trombosit normal.
Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient
trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan perkiraan ini
didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang menerima transfuse
plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG
akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan
reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar pasien, akan
terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Pada sebagian kecil
yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis), kadar trombopoetin
tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI untuk
berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan kompleks glikoprotein IIb/IIIa.
Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X, Ia/ITa, IV
dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap
berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,
yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia
Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa memperlihatkan restriksi
penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien PTI
dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor
sel T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak dapat dikethui dengan pasti. faktor yang memicu produksi autoantibodi
tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibody terhadap glikoprotein pada
permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya
glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali
glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi
akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor
Fcg kemudian mengalami proses intenalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak
hanya merusak glikoprotein Ilb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein
trombosit yang lain (3). Sel penyaji antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida
baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi
antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD-4
positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-cell clone I dan T cell clone II (5) Reseptor
imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet antigen tambahan (B-cell clone 2) dengan
demikian juga terdorong untuk berkembang biak dan mensintesis antibodi anti-glikoprotein
Ib / IX (hijau) Selain memperkuat produksi anti-glikoprotein IIb / IIIA antibodi (oranye) oleh B-
1 cell clone(6).
Metode yang saat ini digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada
berbagai aspek berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitasi, klirens dan produksi
trombosi. Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat terjadinya klirens
anti bodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada makrofag jaringan
(1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini namun mungkin pula
mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis antibody pada beberapa
pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara
menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan
trombosit, sedangkan trobopoietin berperan merangsang progenitor megakariosit (2).
Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathioprin dan siklosforin, bekerja pada
tingkat sel T (3). Antibodi monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji
klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T
makrofag dan interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibody dan pertukaran
klas (4). Immunoglobulin IV mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat
produksi antibody. Antibody monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga
masih dalam penelitian (5). Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari
dalam plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi
perdarahan (7).
Genetik
PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa keluarga, serta telah
diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada anggota keluarga yang
sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410 dihubungkan dengan
respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid, dan HLA-DRB1*1501
dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap splenektomi. Meskipun
demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang konsisten antara PTI dan
kompleks HLA kelas I dan II.
Manifestasi Klinik
PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang,
sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas
yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia
imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr.
Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi
kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya
terjadi bentuk yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan teijadi
pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6
bulan.
PTI Kronik
Awitan PTI kronik biasanya tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan sampai
sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis yang
fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu,
mungkin intermitten atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan
tampaknya remisi tidak lengkap.
Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya berat dan
frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum hubungan antara
jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/µL maka biasanya
asimptomatik, AT 30.000-50.000 /µL terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-30.000/µL
terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT
<10.000>
Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala yang dikeluhkan berupa
perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti hidung berdarah, mulut
perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi dan epistaksis sering
terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga dapat ditemukan pada
tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat perdarahan yang paling
sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI dan mungkin tampak
pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang sering. Perdarahan
gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi dengan hematemesis.
Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1% pasien dengan
trombositopenia berat.
Pada pemeriksaan, pasien tampak normal, dan tidak ada temuan abnormal selain yang
berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa harus mengarah pada mempertanyakan
diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang sering muncul seperti purpura, petechiae,
dan perdarahan bula di mulut.
Diagnosis
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta tidak
terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder
dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat
menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena
trombosit yang rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain).
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati. Selain
trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain.
Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa
dideteksi oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa
perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung
trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada
sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung
trombosit.
Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun,
pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien
yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri
hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai
terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan
dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%,
spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak
menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI.
Diagnosis Banding
Trombositopenia dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal atau
kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang menghasilkan
kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosa seperti myelodysplasia baru dapat
dihilangkan hanya setelah dengan memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar penyebab
trombositopenia akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi awal.
Kelainan seperti DIC, trombotik trombositopenia purpura, sindrom hemolitik-uremic,
hypersplenisme, dan sepsis mudah dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Pasien
harus ditanya mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamid, kina, thiazides,
simetidin, emas, dan heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling umum obat
yang menginduksi trombositopenia pada pasien yang dirawat. Sistemik lupus erythematosus
dan CLL merupakan penyebab yang sering trombositopenia purpura sekunder, yang secara
hematologis identik dengan PTI.
Penatalaksanaan
Terapi PTI lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga
mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari aktivitas fisik
berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari pemakaian obat-
obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis.
Terapi Awal PTI (Standar)
Prednison
Prednison, terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 – 1,5 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya
terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan ,
kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT <30.000>50.000/µL setelah
10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT
<30.000/>50.000/ mL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT <>6,
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IglV) dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut digunakan
bila terjadi perdarahan intemal, saat AT <5,0oo>6
Mekanisme kerja IglV pada PTI masih belum banyak diketahui namun meliputi blockade fc
reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan autoantibodi dengan
trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi.
Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI, dan kebanyakan pasien
dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis tinggi tidak boleh
berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi. Splenektomi diindikasikan jika
pasien tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison dosis tinggi yang
tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai. Pasien lain
mungkin tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih memilih terapi bedah
alternatif . Splenektomi dapat dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung
trombosit kurang dari 10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi
baik dengan remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.
Penanganan Relaps Pertama
Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D.
Dari gambar 2.4 dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000
/µL, Tidak ada konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan
imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk
pasien Rh-positif. Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal
tergantung pada beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk
memutuskan apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /µL sampai 50.000/µL
bergantung pada ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya
risiko tinggi untuk trauma. Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau
setelah trauma pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/µl>
Terapi PTI Kronik Refrakter
Pasien refrakter (+ 25%-30% pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid
dosis standar dan splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang
rendah atau terjadi perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang rendah,
mempunyai morbiditas yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki
mortalitas sekitar 16%. PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai
berikut: a). PTI menetap lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan splenektomi;
c). AT <30.000>
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua
Untuk pasien yang dengan terapi standar kortikosterpid tidak membaik, ada beberapa
pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk terapi lini kedua menggambarkan relatif
kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual.
Steroid Dosis Tinggi. Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan
deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28
hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang
tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya.
Metilprednisolon
Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga
pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI anak dan dewasa
yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada
pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis
diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien PTI klinis
ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang mendapat
terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan
mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara
pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi
Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut, sering
dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan cepat. Efek samping,
terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan secara intermiten atau
disubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena
Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-
D 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-
positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan
autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade.
Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika
terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya
vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu.
Danazol
Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon sering lambat.
Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampai dosis
maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4
bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi
Immunosupresif diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya. Terapi
dengan azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal
dapat dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,
simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3
bulan turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone
Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus
diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis
yang serius.
Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua
Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan
memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih
banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada umumnya
PTI refrakter kronis bisa mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai
kualitas hidup normal atau mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini
pertama dan kedua hanya memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, (ii) anti-
CD20, (iii) Campath-1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya.
Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua
Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi dan bagi
mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu antibodi
monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 – 50%, dan
memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan.
Kesulitan utama dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan,
seringnya, mempunyai onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa
bulan. Selain itu, supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan
pengobatan dengan menggunakan obat yang imunosupresif.
Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru yang menjanjikan untuk ITP yang refrakter
untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini mungkin juga dapat sebagai alternatif bagi
pasien yang tidak dapat mentolerir terapi imunosupresif atau pada calon yang tidak dapat
menggunakan untuk itu. Tempat agen ini pada armamentarium dari terapi ITP,
bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut
dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman yang lebih baik dari kontribusi relatif
penghancuran platelet dan gangguan produksi trombosit pada masing-masing pasien
dengan ITP.
Prognosis
Respons terapi dapat mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien PTI dewasa hanya
sebagian kecil dapat mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya
disebabkan oleh perdarahan intracranial yang berakibat fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih
dari 40 tahun dan sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun