DARI REDAKSI - pii.or.idpii.or.id/wp-content/uploads/EW-3.pdf · dengan mengikuti Program Profesi...
Transcript of DARI REDAKSI - pii.or.idpii.or.id/wp-content/uploads/EW-3.pdf · dengan mengikuti Program Profesi...
Sudah diketahui bahwa jumlah insinyur Indonesia
sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan. Sebagian dari 750.000 sarjana teknik
yang dimiliki Indonesia, tidak semuanya insinyur.
Mereka bekerja di luar bidang keinsinyuran.
Seseorang dapat memeroleh gelar Insinyur setelah
menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana (strata 1),
dengan mengikuti Program Profesi Insinyur (PPI)
yang diselenggarakan bersama oleh perguruan tinggi
(Perti) dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII),
sebagai organisasi profesi yang diamanatkan oleh
Undang-undang.
Perti sangat berperan untuk menghasilkan sarjana
teknik (ST) dan sarjana dari program studi (prodi)
lainnya yang dimungkinkan untuk memeroleh gelar
Insinyur. Tanpa penambahan „pasokan‟ dari Perti,
mustahil jumlah insinyur akan bertambah. Maka,
salah satu upaya untuk mendorong pertambahan
insinyur adalah menambah kapasitas (daya
tampung) prodi teknik atau membuka Perti baru di
bidang teknik.
Sejak 2012, pemerintah telah membuka 2 perguruan
tinggi negeri (PTN) di bidang teknik, yaitu Institut
Teknologi Sumatera (Itera) dan Institut Teknologi
Kalimantan (ITK). Untuk memercepat proses
pendidikan, dua PTN terkemuka di bidang teknik
ditunjuk untuk „membina‟ kedua institut ini. ITB
membantu pendirian Itera dan ITS membantu ITK.
Kini sarana fisik Itera sudah siap di Lampung, dan
beberapa dosen ITB telah ditugaskan untuk juga
mengajar di sana. Dari sini, diharapkan, Indonesia
bakal memeroleh penambahan jumlah sarjana
teknik.
Kemudian, bersama PII, Perti diharapkan mampu
mencetak insinyur-insinyur yang dibutuhkan dalam
pembangunan. Lebih jauh, PII dapat menghasilkan
insinyur profesional yang berkualitas dan mampu
bersaing di kancah global.
Mengingat peran pentingnya, isu-isu pendidikan
tinggi teknik dan pendidikan profesi insinyur akan
diulas dalam Engineer Weekly edisi ini dengan
beberapa artikel dari kalangan perguruan tinggi dan
PII. Selain itu, seperti biasa, juga akan disajikan
infografis tentang perbandingan Angkatan Kerja
berdasarkan komposisi pendidikan yang akan
memberi gambaran ringkas tentang kondisi
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.
Selamat membaca!
Aries R. Prima
Pemimpin Redaksi
DARI REDAKSI
Pendidikan Tinggi Teknik dan Profesi Insinyur
1
Lebih dari 60 tahun yang lalu pencantuman gelar
Ir., Dr., Mr., Drs., biasa dilakukan di depan nama
oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
ilmu teknik, ilmu kedokteran, ilmu hukum dan ilmu
sains serta non eksakta. PII didirikan pada era ahli
teknik adalah Insinyur, dan anggota PII adalah para
insinyur. Kemudian jaman berubah. Mungkin
dengan semangat mengindonesiakan semua yang
berbau Belanda, kemudian dalam ijazah, muncul lah
gelar sarjana teknik (ST), sarjana kedokteran
(S.Ked), sarjana hukum (SH), juga S.Sos., SE., dan
lainnya, sebagai gelar yang diperoleh setelah
mahasiswa menyelesaikan pendidikan strata 1.
Diletakannya pun di belakang nama.
Belakangan disepakati bahwa, untuk mendapatkan
gelar Insinyur, seseorang harus menyelesaikan
pendidikan tinggi dengan mengantungi lebih dari
160 SKS. Namun sejak tahun 1993, untuk lulus dari
pendidikan tinggi teknik , mahasiswa hanya harus
menyelesaikan 144 SKS dengan masa kuliah 4 tahun.
Mulai saat itu juga lulusannya bergelar ST.
Lambat laun gelar Insinyur seperti hilang dan seolah
menjadi sejarah. Hanya PII yang terus menghimpun
anggotanya, para insinyur. Pada saat itu terjadi
kesepakatan bahwa ST adalah gelar akademis yang
diberikan perguruan tinggi, dan Insinyur adalah
gelar profesi yang diberikan karena yang
bersangkutan berkarir atau berprofesi di bidang
keinsinyuran. PII sangat berkepentingan dengan
masalah gelar ini, yang sejak tahun 1997, sistemnya
memberi gelar Insinyur Profesional (IP) yang diakui
kesetaraannya di lingkungan APEC, dengan syarat
harus menyandang gelar Insinyur terlebih dulu.
Pada 2003, UU SISDIKNAS No 20/2003 disahkan.
Pasal 21 UU ini menyatakan bahwa gelar profesi
hanya diberikan oleh perguruan tinggi (Perti).
Pengaturan yang lebih lengkap muncul di UU DIKTI
No 12/2012 pasal 24, yang mulai menyebut program
profesi sebagai pendidikan untuk sarjana guna
memeroleh kecakapan yang diperlukan dalam dunia
kerja. Program profesi diselenggarakan oleh Perti
bekerja sama dengan organisasi profesi. Lulusan
program profesi ini berhak menggunakan gelar
profesi, termasuk apa yang sekarang dikenal sebagai
program profesi insinyur.
Setelah PII berjuang hampir 20 tahun, akhirny a
lahirlah UU No 11/2014 tentang Keinsinyuran.
Pengesahan UU ini semakin menegaskan bahwa
gelar profesi di bidang keinsinyuran adalah Insinyur,
yang dapat disandang seseorang dengan mengikuti
Program Profesi Insinyur (PPI). Menurut UU ini,
seorang sarjana teknik atau ST yang ingin mendapat
gelar Insinyur, dapat mengikuti PPI. Dari kajian
yang dilakukan PII, program ini direncanakan
memiliki nilai studi antara 18-36 SKS yang dua
pertiganya adalah dengan magang di industri.
Namun yang penting adalah semangat program ini
yang bertujuan untuk menjadikan para ST siap
berprofesi sebagai Insinyur.
Insinyur adalah universal, dengan kriteria insinyur
yang berlaku universal. Acuan yang biasa digunakan
dalam bidang keinsinyuran dunia adalah yang
diperkenalkan oleh ABET (Accreditation Board for
Engineering and Technology), sebuah lembaga
akreditasi untuk program studi keinsinyuran yang
berlokasi di Amerika Serikat. Ada beberapa kriteria
yang harus dipenuhi oleh seorang insinyur. Di sisi
lain, Insinyur juga mempunyai standar nasional,
sehingga perlu memahami standar layanan insinyur
serta hak dan kewajiban insinyur sebagaimana yang
tertera dalam UU Keinsinyuran.
Dengan demikian, kini, kita memasuki era baru
bahwa gelar Insinyur dapat digunakan secara luas
dan legal, asal telah lulus dari Program Profesi
Insinyur yang diselenggarakan bersama oleh Perti
dan PII. Silakan gunakan gelar ini di kartu nama
atau pun kartu undangan Anda.
EDITORIAL
Pendidikan Menjadi Insinyur Ir. Rudianto Handojo, IPM Direktur Eksekutif PII
2
Pertanyaan yang selalu muncul dan menjadi pemicu
dalam setiap perubahan penataan pendidikan tinggi
di tanah air adalah apa saja parameter kriteria
capaian dalam pendidikan tinggi yang mampu
menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam
era perdagangan global dengan tetap menjaga
kondisi dan budaya kita?
Sebagai asosiasi yang menghimpun para insinyur
profesional, Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
memahami bahwa dalam era dunia modern,
kekuatan ekonomi bergantung sangat kuat pada
kemampuan rekayasa dan teknis. Di sisi lain, PII juga
menyadari bahwa ada sejumlah kesenjangan yang
harus diisi, baik dari segi jumlah maupun mutu para
insinyur di tanah air. Karenanya PII harus
mengambil posisi penting dalam memersiapkan
generasi dalam bingkai penataan pendidikan tinggi.
Ukuran keberhasilan kegiatan perguruan tinggi dapat
dilihat dari mutu lulusan dan manfaat ilmu
pengetahuan yang dihasilkan bagi masyarakat,
industri, dan pemerintah. Saat ini ukuran mutu
perguruan tinggi di berbagai negara diukur dengan
hasil akreditasi.
Berdasarkan UU No 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi Pasal 55 ayat 6, kegiatan akreditasi
dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri bentukan
masyarakat yang diakui oleh pemerintah atas
rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi. Selanjutnya pada Peraturan Menteri No 87
tahun 2014 tentang Akreditasi Pasal 25 ayat 1 dan 2
menyebutkan bahwa lembaga akreditasi mandiri
dibentuk berdasarkan rumpun, pohon, dan/atau
cabang ilmu pengetahuan.
Bidang teknik adalah rumpun keenam berdasarkan
UU 12/2012 di atas. Saat ini terdapat 4.201 program
studi bidang teknik (D1 sampai S3) dari 22.191 total
program studi di Indonesia. Bidang teknik
merupakan salah satu dari 8 profesi yang telah
memiliki Memorandum of Arrangement di ASEAN,
sehingga mutu pendidikan tinggi bidang teknik harus
dikendalikan dan senantiasa ditingkatkan.
Pada tataran dunia, mutu pendidikan tinggi bidang
teknik dapat merujuk kepada sistem penjaminan
mutu eksternal yang disepakati dalam Washington
Accord pada tahun 1989 oleh enam badan akreditasi
dari Australia, Kanada, Inggris, Irlandia, Selandia
Baru, dan Amerika Serikat. Lebih dari 60% lembaga
akreditasi pendidikan tinggi bidang teknik di dunia
kemudian berhimpun dalam wadah Washington
Accord (WA) Signatories ini, termasuk Jepang,
Hongkong, Malaysia, Afrika Selatan, dan Singapura.
Saat ini PII juga telah dipandang oleh WA Signatories
sebagai “Councils of Engineers” (CE) atau
“Institutions of Professional Engineers” (IPE).
PII bertekad kuat untuk berpartisipasi dalam
pembinaan mutu pendidikan tinggi bidang teknik
dan teknologi secara berkelanjutan melalui pendirian
lembaga akreditasi yang diberi nama Indonesian
Accreditation Board for Engineering Education
(IABEE).
Dengan memiliki badan akreditasi yang memiliki
prinsip dan orientasi yang sama dengan lembaga
akreditasi penandatangan Washington Accord, akan
memudahkan bagi Indonesia untuk mendapatkan
pengakuan baik programnya maupun lulusannya di
tingkat dunia.
IABEE diharapkan mendapat pengakuan dari
Washington Accord pada tahun 2019 mendatang.
IABEE yang dipersiapkan sejak tahun 2014 terus
mendapat bimbingan dari JABEE (Japan
Accreditation Board for Engineering Education) yang
sudah sejak 2006 berhasil memperoleh “signatory
status” dari Washington Accord.
Dengan demikian, PII melalui IABEE akan dapat
terus berperan untuk menata penyelenggaraan
program studi di bidang teknik di tanah air. Secara
khusus IABEE akan menjamin penyelenggaraan
program studi teknik yang memenuhi standar
minimal, dan senantiasa memperbaiki mutu
penyelenggaraan pendidikan secara berkelanjutan.
PII dan Rekonstruksi Pendidikan Tinggi Melalui IABEE Prof. Dr.-Ing. Misri Gozan, M.Tech. Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia
3
Pendidikan tinggi teknik di Indonesia segera
mengubah evaluasi akreditasi dari format yang
mengutamakan mutu masukan (input-based
approach/IBA) menjadi mutu manfaat (outcome-
based approach/OBA). Hal ini disepakati karena
berdasarkan pengalaman dan data global
internasional memastikan bahwa OBA memberikan
manfaat pendidikan tinggi teknik yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan IBA.
Untuk memercepat peningkatan manfaat pendidikan
tinggi teknik di Indonesia, pada akhir tahun lalu,
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi (Kemenristekdikti) telah mengeluarkan dua
dokumen, yaitu Common Criteria (CC) atau Kriteria
Umum (KUM) dan Criteria Guide (CG) atau
Dokumen Panduan (Dopan).
Manfaat yang dimaksud adalah untuk menciptakan
dan menjamin mutu lulusan pendidikan tinggi
teknik yang memunyai kemampuan dengan standar
mutu KUM. Dengan memenuhi kriteria ini, lulusan
diyakini telah memiliki kemampuan bekerja yang
baik untuk menciptakan nilai tambah sesuai prinsip
ilmu keteknikan atas sumberdaya yang digunakan.
Kriteria Umum dijabarkan sebagai rambu utama
yang dapat menyediakan fleksibilitas penetapan
berbagai alternatif cara pendidikan tinggi teknik
mengikuti proses perbaikan penyelenggaraan secara
berkelanjutan, yang harus senantiasa dilakukan
sebagai penyesuaian terhadap dinamika yang terjadi.
Format penulisan KUM dibuat dengan mengikuti
proses plan, do, check, act (PDCA). Siklus
penyelenggaraan pendidikan tinggi teknik yang
dilengkapi dengan Dopan dapat menjadi bahan awal
untuk dipelajari semua program studi (prodi) teknik
yang ingin mengajukan akreditasi internasional dari
Indonesian Accreditation Board for Engineering
Education (IABEE), sebuah lembaga akreditasi
pendidikan teknik di Indonesia yang saat ini masih
dalam proses pembentukan.
Banyak pihak telah mendesak agar seluruh
pemangku kepentingan perguruan tinggi di
Indonesia dapat segera menindaklanjuti
pemahaman atas KUM dan Dopan sebagai rujukan
peningkatan mutu pendidikan tinggi, agar para
lulusannya dapat memenuhi standar mutu insinyur
yang telah ditetapkan, baik untuk skala nasional
maupun global.
PENDIDIKAN TINGGI TEKNIK
Mengenal Kriteria Umum (KUM) Aries R. Prima – Engineer Weekly
m 4
Menjelang penerimaan mahasiswa baru, biasanya
siswa SMA kelas 12, dan para orangtuanya, sibuk
mencari informasi tentang perguruan tinggi sebagai
tempat untuk melanjutkan pendidikan. Berbagai
kriteria ditetapkan, berbagai data ditelusuri. Salah
satu yang dapat digunakan sebagai acuan adalah
pemeringkatan yang dirilis oleh Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
pada Agustus 2015.
Dengan menetapkan 4 kriteria penilaian, yaitu
kualitas sumberdaya manusia, kualitas manajemen
dan organisasi, kualitas kegiatan kemahasiswaan,
serta kualitas penelitian dan publikasi ilmiah,
kementerian ini menetapkan Institut Teknologi
Bandung (ITB) sebagai perguruan tinggi terbaik di
Indonesia, dari sekitar 3.320 perguruan tinggi di
Indonesia.
Selain dilakukan penilaian secara keseluruhan, juga
ditetapkan perguruan tinggi terbaik pada masing-
masing kriteria. Untuk kriteria kualitas sumberdaya
manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB) ditetapkan
sebagai yang terbaik. Politeknik Elektronik Negeri
Surabaya (PENS) untuk kriteria kualitas
manajemen, ITB untuk kualitas penelitian dan
publikasi, dan Universitas Gajah Mada (UGM)
untuk kriteria kualitas kegiatan mahasiswa.
Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti,
Patdono Suwignyo, menyatakan bahwa
pemeringkatan ini dibuat agar ke depannya bisa
mendorong perguruan tinggi untuk
mengembangkan kapasitasnya. Berikut adalah 10
perguruan tinggi teratas versi Kemenristekdikti.
Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan nilai total
3.743
Universitas Gajah Mada (UGM), dengan nilai total
3.690
Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan nilai total
3.490
Universitas Indonesia (UI), dengan nilai total 3.412
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dengan
nilai total 3.289
Universitas Brawijaya (UB), dengan nilai total 3.217
Universitas Padjadjaran (Unpad), dengan nilai total
3.075
Universitas Airlangga (Unair), dengan nilai total
3.064
Universitas Sebelas Maret (UNS), dengan nilai total
3.035
Universitas Diponegoro (Undip), dengan nilai total
2.983
PERINGKAT PERGURUAN TINGGI
Sepuluh Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia Aries R. Prima – Engineer Weekly
5
6
Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang
Keinsinyuran adalah solusi pembangunan
keinsinyuran Indonesia sehubungan dengan
keberadaannya dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA). Sebagaimana diketahui, Indonesia bukan
saja ketinggalan dalam jumlah, namun juga pada
pengakuan kualitas insinyur yang menjadi tantangan
amat penting pembangunan daya saing menghadapi
kesejajaran dengan negara-negara di ASEAN. Untuk
itu, UU Keinsinyuran dimaksudkan guna menjawab
tantangan tersebut, dengan mengatur pembangunan
keinsinyuran di Indonesia melalui dua tahap, yaitu
program (pendidikan) profesi insinyur dan
registrasi insinyur profesional, di mana ujung dari
keduanya adalah ijin bagi insinyur (termasuk
insinyur asing) untuk melakukan praktik
keinsinyuran di Indonesia. UU Keinsinyuran
menjamin serta memberikan perlindungan hukum
bagi insinyur teregistrasi (registered engineer),
pengguna (yang memekerjakan tenaga insinyur),
maupun pemanfaat (masyarakat yang
memanfaatkan karya insinyur) yang berkenaan
dengan kegiatan dan karya keinsinyuran. Kata kunci
UU Keinsinyuran adalah kepastian hukum bagi
penyelenggara keinsinyuran, perlindungan hukum
bagi pengguna dan pemanfaat karya keinsinyuran,
kewenangan insinyur, kewajiban, tanggung jawab
dan hak insinyur, serta program (pendidikan) profesi
insinyur oleh perguruan tinggi.
Dalam pendidikan insinyur, UU Keinsinyuran
mengamanatkan kepada perguruan tinggi (PT),
bersama-sama dengan PII serta pemangku
kepentingan terkait, untuk menyelenggarakan
program (pendidikan) profesi insinyur (PPI). Dalam
pelaksanaannya, atas usul PT dan Dewan Insinyur
Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan
menerbitkan standar PPI untuk disiplin/bidang
keinsinyuran yang dibutuhkan oleh industri
dan/atau masyarakat. Mereka yang dinyatakan lulus
dari PPI akan mendapatkan gelar insinyur (Ir) di
depan nama yang bersangkutan dari PT
penyelenggara PPI. Dan bagi mereka yang telah
memenuhi standar PPI, baik melalui program
profesi atau program rekognisi pembelajaran lampau
(RPL), serta telah lulus PPI akan mendapatkan
sertifikat profesi insinyur (SPI) yang diterbitkan oleh
Persatuan Insinyur Indonesia. Dengan pengakuan
tersebut, setiap orang yang memiliki SPI dapat
melakukan pekerjaan (praktik) keinsinyuran yang
dilindungi oleh undang-undang sesuai kualifikasi
yang dimilikinya. SPI adalah „tiket‟ bagi sesorang
untuk berkarier sebagai insinyur profesional.
UU Keinsinyuran juga memberi mandat kepada
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk
menerbitkan surat tanda registrasi insinyur (STRI)
kepada setiap insinyur profesional yang memiliki
sertifikat kompetensi insinyur (SKI), yaitu mereka
yang telah lulus uji kompetensi insinyur. Uji
kompetensi insinyur dilakukan oleh suatu lembaga
sertifikasi profesi (LSP) mandiri berdasarkan standar
kompetensi yang ditetapkan oleh Dewan Insinyur
Indonesia (DII). Dalam hal ini LSP menerbitkan
sertifikat kompetensi insinyur (SKI) untuk setiap
insinyur yang lulus uji kompetensi. Pemegang SKI
dalam terminologi umum dikenal pula sebagai
insinyur profesional (IP). Hanya kepada pemegang
STRI (yaitu pemilik SKI) yang kemudian dapat
melakukan praktik keinsinyuran di Indonesia,
beserta sanksi-sanksi yang melekat bagi yang tidak
memiliki STRI namun melakukan pekerjaan
keinsinyuran. Demikian pula halnya insinyur asing
yang hendak melakukan praktik keinsinyuran di
Indonesia. Mereka harus memiliki STRI yang
berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperbaharui melalui program pengembangan
keprofesian berkelanjutan (PKB) dan proses uji
ulang kompetensi oleh LSP terkait.
Untuk semua di atas, yang menjadi objektif
keinsinyuran, adalah mencakup disiplin teknik
kebumian dan energi; rekayasa sipil dan lingkungan
terbangun; industri; konservasi dan pengelolaan
sumber daya alam; pertanian dan hasil pertanian;
teknologi kelautan dan perkapalan; dan aeronautika
dan astronotika.
Pembangunan Keinsinyuran Indonesia
Prof. Dr. Ir. Harijono A. Tjokronegoro, DEA, IPM. Guru Besar Institut Teknologi Bandung
7
Sementara itu, bidang-bidang keinsinyuran yang
menjadi perhatian UU Keinsinyuran meliputi
pengkajian dan komersialisasi; konsultasi, rancang
bangun, dan konstruksi; teknik dan manajemen
industri, manufaktur, pengolahan, dan proses
produk; eksplorasi dan eksploitasi sumber daya
mineral; penggalian, penanaman, peningkatan, dan
pemuliaan sumber daya alami; dan pembangunan,
pembentukan, pengoperasian, dan pemeliharaan
aset.
Dalam UU ini juga terdapat dua lembaga yang
mendapatkan amanat langsung yang berhubungan
dengan penyelenggaraan kinsinyuran di Indonesia,
yaitu Dewan Insinyur Indonesia dan Persatuan
Insinyur Indonesia. Dewan Insinyur Indonesia atau
DII adalah lembaga yang bertanggung jawab kepada
Presiden, yang memiliki fungsi perumusan kebijakan
penyelenggaraan dan pengawasan pelaksanaan
praktik keinsinyuran di Indonesia. Di antara tugas
serta kewenangan DII adalah berhubungan dengan
standar PPI, standar PKB, dan menetapkan standar
kompetensi serta uji kompetensi insinyur.
Sedangkan Persatuan Insinyur Indonesia atau PII
adalah himpunan insinyur Indonesia, yang memiliki
fungsi pelaksanaan praktik keinsinyuran di
Indonesia. Di antara tugas dan kewenangan PII
adalah berhubungan dengan pelayanan
keinsinyuran, pelaksanaan PPI bersama perguruan
tinggi, pelaksanaan PKB, melakukan pengendalian
dan pengawasan bagi terpenuhinya kewajiban
insinyur, dan menerbitkan, memperpanjang,
membekukan dan mencabut STRI.
Dengan terdapatnya perlindungan hukum atas hak
serta kewenangan insinyur yang diatur oleh UU
Keinsinyuran, maka akan didapat bukan saja
pertumbuhan jumlah isinyur, namun juga
peningkatan atas kualitas insinyur guna penguatan
kemandirian hingga daya saing insinyur dan
keinsinyuran Indonesia. Tidak ada pilihan, setiap
institusi dan atau organisasi harus segera melakukan
upaya kualifikasi (mendapatkan SKI) hingga
registrasi (mendapatkan STRI) untuk setiap insinyur
yang dimilikinya sehingga institusi yang
bersangkutan memiliki kapasitas untuk menjalankan
berbagai pekerjaan atau praktik keinsinyuran.
Kehadiran UU Keinsinyuran diharapkan pula
mampu menumbuhkan minat dan kesadaran
individu untuk berkarier sebagai insinyur
profesional dengan pengakuan kompetensi
(memiliki SKI) hingga memiliki STRI yang
dilindungi undang-undang. Dan dengan cara
demikian maka daya saing insinyur Indonesia dapat
terwujud, bukan saja untuk MEA namun juga untuk
kemandirian pembangunan Indonesia.
Menuju diberlakukannya secara penuh UU
Keinsinyuran, serta sambil menunggu terbentuknya
Dewan Insinyur Indonesia (DII) - yang antara lain
akan menetapkan rumusan kebijakan yang
berhubungan dengan kualifikasi dan kompetensi
insinyur Indonesia - Persatuan Insinyur Indonesia
(PII) membuka kesempatan kepada mereka yang
telah memiliki cukup pengalaman dalam pekerjaan
keinsinyuran untuk menjadi anggota PII dan
mendapatkan pengakuan insinyur profesional (IP).
PII pada saat ini menerbitkan tiga macam kualifikasi
IP (setara dengan SKI), yaitu IP Pratama (IPP), IP
Madya (IPM) dan IP Utama (IPU). Kualifikasi IP
diberikan kepada anggota PII berdasarkan
kompetensi yang dapat ditunjukkan/dibuktikan
berdasarkan pengalaman yang dimiliki anggota.
Mereka yang mendapatkan pengakuan IP dari PII,
menurut UU Keinsinyuran, dinyatakan sebagai
insinyur teregistrasi, atau setara pemegang STRI.
Upaya ini dimaksudkan guna mempercepat
tumbuhnya jumlah IP yang diakui oleh UU
Keinsinyuran guna terwujudnya daya saing
keinsinyuran bangsa.
PII menerbitkan sertifikat pengakuan IPP, IPM, dan
IPU berdasarkan rekomendasi dari Majelis Penilai
(MP) berbasis hasil penilaian kompetensi yang
besangkutan, yang ditunjukkan/dibuktikan oleh
himpunan pengalaman dalam pekerjaan
keinsinyuran yang dituangkan di dalam form
aplikasi insinyur profesional (FAIP).
Pada saat ini, melalui MP Badan Kejuruan (BK), PII
melakukan penilaian kompetensi keinsinyuran
untuk 15 bidang/kejuruan: Sipil, Teknik Arsitektur,
Mesin, Kimia, Teknik Fisika, Teknik Pertanian,
Teknik Kedirgantaraan, Teknik Kebumian dan
Energi, Teknik Elektro, Teknik Material, Teknik
Industri, Teknologi Pertambangan, Teknik Geodesi,
Teknik Kelautan, dan Teknik Lingkungan. PII adalah
anggota dari Lembaga Pengembangan Jasa
Konstruksi (LPJK), ASEAN Engineer, dan APEC
Engineer. Dengan demikian, melalui PII, setiap
anggota PII mempunyai hak untuk mendapatkan
pengkuan dari LPJK (mendapatkan sertifikat
keahlian atau SKA), ASEAN Engineer Register, dan
APEC Engineer Register, sesuai dengan kualifikasi
yang dimilikinya. ♦