DAMPAK MAKRO PERUBAHAN IKLIM PADA SUB...
Transcript of DAMPAK MAKRO PERUBAHAN IKLIM PADA SUB...
PROPOSAL OPERASIONAL TA 2013
DAMPAK MAKRO PERUBAHAN IKLIM PADA SUB SEKTOR PANGAN INDONESIA
Oleh:
Sumaryanto Adi Setiyanto
Muhammad Suryadi Andi Askin
Yana Supriyatna
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
RINGKASAN
Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap ketahanan pangan khususnya dan kinerja sektor pertanian pada umumnya. Oleh karena itu Kementerian Pertanian telah berkomitmen melakukan langkah-langkah antisipasi, adaptasi, dan mitigasi. Mengingat perubahan iklim bukan merupakan fenomena temporal maka mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim tidak dapat ditempuh secara sporadis dan ad hoc. Terkait dengan itu, Kementerian Pertanian memandang bahwa pengarus utamaan (mainstreaming) mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam kebijakan pembangunan pertanian merupakan konsekuensi logis.
Petani adalah aktor utama pembangunan pertanian. Dalam menjalankan usahataninya, petani senantiasa dihadapkan pada risiko. Secara empiris, faktor-faktor ekternal yang menentukan risiko usahatani adalah iklim, harga-harga masukan maupun harga-harga keluaran usahatani, dan kebijakan pemerintah. Dalam konteks makro, secara simultan penawaran (produksi), harga, dan permintaan (konsumsi) adalah endogen.
Efektivitas kebijakan dan program tersebut tidak hanya ditentukan oleh ketepatan disain dan strateginya tetapi juga ditentukan oleh anggaran yang dialokasikan untuk mengimplementasikannya; sedangkan anggaran pemerintah terbatas. Oleh karena itu pembiayaan program adaptasi perlu mempertimbangkan adanya skala prioritas. Prioritas tertinggi adalah pada sub sektor pangan pada umumnya dan usahatani padi khususnya. Prioritas berikutnya diarahkan pada cabang-cabang usahatani yang peranannya dalam pembentukan pendapatan domestik bruto (PDG) menonjol tetapi rentan terhadap perubahan iklim. Dengan kata lain, perumuskan kebijakan dan program adaptasi yang efisien dan efektif membutuhkan tersedianya data dan informasi mengenai dampak makro perubahan iklim terhadap sektor pertanian.
Penelitian ini ditujukan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi, pasokan, permintaan, dan harga komoditas pertanian utama; bukan hanya pada sub sektor tanaman pangan tetapi juga sub sektor perkebunan, khususnya komoditas pertanian yang peranannya dalam struktur pembentukan produk domestik bruto sangat menonjol. Data dan informasi hasil penelitian sangat diperlukan sebagai masukan untuk penyempurnaan kebijakan dan program adaptasi terhadap perubahan iklim di sektor pertanian.
2
I. PENDAHULUAN1
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan produksi pangan yang tak stabil dan harga pangan yang
makin volatil dan makin tinggi dalam dasawarsa terakhir ini merupakan salah satu
wujud dari dampak yang perubahan iklim. Pada Bulan Agustus 2012 ini, organisasi
multilateral dan FAO (2008) juga menyatakan bahwa terkait dengan kekeringan
yang terjadi di USA, sebagian kawasan Timur Eropa, dan curah hujan di bawah
normal di India maka harga pangan tahun ini dan tahun depan diperkirakan akan
meningkat. Sementara itu, sebagaimana yang dimuat dalam media massa, BMKG
memperkirakan bahwa tahun ini musim kemarau untuk sebagian besar wilayah di
Indonesia lebih panjang daripada tahun lalu.
Salah satu kesimpulan kajian ADB (2009) menyebutkan bahwa prospek
keberlanjutan ketahanan pangan di kawasan Asia Tenggara tergantung pada
tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dalam penerapan teknologi produktif yang
adaptif terhadap perubahan iklim dalam skala yang luas. Berpijak dari kesimpulan
itu, direkomendasikan agar kebijakan dan program adaptasi terhadap perubahan
iklim harus diposisikan sebagai bagian integral dari strategi mempertahankan
status ketahanan pangannya dan dilakukan akselerasi dalam implementasinya.
Terkait dengan kemampuan finansial dan penguasaan teknologinya, secara
umum petani kecil lebih rentan terhadap perubahan iklim. Ini logis karena
tindakan adaptasi terhadap variabilitas iklim yang tajam membutuhkan
kemampuan manajerial, penguasaan teknologi, dan biaya yang memadai. Terkait
dengan itu, mengingat sebagia besar petani Indonesia adalah petani kecil maka
dapat disimpulkan bahwa petani Indonesia rentan terhadap perubahan iklim
(Sumaryanto, 2010)2.
Pada dasarnya, tanpa diprogramkan-pun secara alamiah petani telah dan
selalu berusaha melakukan adaptasi terhadap lingkungannya; termasuk pengaruh
1 Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Budiman Hutabarat atas sumbangan pemikirannya
dalam penyusunan proposal ini. 2 Analisis data ‘Pendataan Usahatani Tahun 2009’ (PUT 2009 - BPS), menunjukkan bahwa 76 persen petani
penghasil pangan utama (padi, jagung, kedele, tebu) termasuk petani dengan luas garapan di bawah 1 hektar. Bahkan andaikanpun yang disebut petani kecil adalah petani dengan luas garapan 0.5 hektar ke bawah, ternyata proporsinya juga masih sangat besar yakni sekitar 53 persen (Sumaryanto, 2010).
3
variabilitas iklim terhadap usahataninya. Akan tetapi untuk beradaptasi terhadap
kondisi iklim yang ekstrim, “autonomous adaptation” seperti itu tidak memadai
memadai. Diperlukan kualifikasi adaptasi yang lebih tinggi; dan hal itu dapat
diwujudkan jika Pemerintah mengambil peran yang tepat. Peran Pemerintah
sangat diperlukan, baik dalam konteks penguatan kapasitas adaptasi petani
melalui inovasi teknologi dan pengembangan kemampuan manajerialnya maupun
dalam penyediaan infrastruktur, kebijakan harga, dan perbaikan kelembagaan
pendukungnya (ADB, 2009; Lasco, 2011).
Efektivitas aksi adaptasi dipengaruhi oleh aksi mitigasi. Di sisi lain, sangat
banyak kiat-kiat adaptasi yang sebenarnya merupakan penerapan lebih lanjut dari
praktek-praktek adaptasi yang diorientasikan untuk kepentingan jangka panjang.
Dengan kata lain, aksi mitigasi akan lebih mudah ditempuh jika pelakunya
berpengalaman dalam menerapkan teknologi yang adaptif terhadap perubahan
iklim. Implikasinya kebijakan dan program aksi adaptasi beserta mitigasi harus
dilakukan secara simultan dan sinkron sehingga sinergi antar keduanya dapat
didayagunakan secara optimal.
Perubahan iklim bukanlah fenomena yang sifatnya sementara. Iklim
memang telah berubah perilakunya; dalam arti bahwa pola musimannya, suhu
rata-ratanya, pola dan intensitas curah hujannya telah berubah. Secara umum
variabilitas iklim saat ini dan pada masa mendatang tidak kondusif untuk
pertanian. Oleh karena itu aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
tidak efektif jika dilakukan secara sporadis, ad hoc, dan responsif. Alasannya,
mitigasi dan adaptasi adaptasi bukanlah sekedar “coping strategies”, tetapi
merupakan manifestasi dari proses penyesuaian terhadap kondisi lingkungan serta
proses pembelajaran dan perencanaan dalam strategi pengembangan eksistensi
dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada. Mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim harus diposisikan sebagai bagian integral dari pembangunan
pertanian jangka pendek – jangka panjang dan dilakukan secara holistik dan
konsisten dari waktu ke waktu.
Perubahan iklim berimplikasi terhadap (hampir) semua aspek kehidupan
dan aktivitas ekonomi. Menurut Stern et al (2006), total biaya dan risiko
diperkirakan setara dengan kehilangan GDP dunia sekitar 5 persen per tahun
4
(Stern et al., 2006). Dalam konteks demikian itu persoalan yang dihadapi negara-
negara berkembang pada umumnya lebih kompleks kompleks karena selain terjadi
penurunan laju pertumbuhan ekonomi, jumlah penduduk miskin dan rawan
pangan yang saat ini masih sangat besar diprediksikan akan meningkat tajam. Di
sisi lain, penguasaan teknologi dan ketersediaan infrastruktur untuk “coping
strategies” maupun mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara
berkembang pada umumnya lebih terbatas pula. Oleh karena itu secara umum
dampak negatif yang diderita negara-negara berkembang diperkirakan lebih besar
(IPCC, 2001).
Dalam era perubahan iklim posisi sektor pertanian sangat strategis. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari kondisi berikut: (1) peran vital sektor pertanian
dalam penyediaan pangan dan bahan baku industri pengolahan, (2) dibandingkan
sektor lain, sektor pertanian adalah paling rentan terhadap perubahan iklim
karena cabang usaha utama (core business) pada sektor ini berbasis usahatani,
dan (3) pertanian sangat potensial sebagai kontributor utama aksi mitigasi. Oleh
karena itu tidaklah berlebihan bahwa UNFCCC menempatkan sektor pertanian
sebagai prioritas pertama dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan
iklim.
Mengingat sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim maka
perumusan kebijakan serta penentuan alokasi anggaran untuk pembangunan
sektor pertanian sangat membutuhkan data dan informasi mengenai dampak
makro perubahan iklim terhadap produksi dan harga-harga komoditas pertanian.
Data dan informasi tersebut dapat diperoleh melalui simulasi berdasarkan model
yang pengembangannya berbasis pada karakteristik adanya saling keterkaitan
antar sub sektor melalui sistem kelembagaan yang berdasarkan kondisi obyektif di
lapangan didominasi oleh mekanisme pasar.
1.2. Dasar Pertimbangan
Pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan aksi nasional adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim di sektor pertanian. Sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi dan target yang akan dicapai maka mitigasi diprioriatskan pada sub
sektor perkebunan, sedangkan adaptasi dilakukan di semua sub sektor namun
5
prioritas utamanya pada sub sektor tanaman pangan. Khusus untuk sub sektor
pangan, perlu adanya langkah-langkah akselerasi agar tidak terlambat; karena jika
terlambat bukan hanya nasib petani yang dipertaruhkan tetapi keberlanjutan
ketahanan pangan nasional juga akan terancam.
Efektivitas kebijakan dan program adaptasi tidak hanya ditentukan oleh
ketepatan rancangan dan instrumennya tetapi juga ditentukan oleh ketepatan
strategi implementasinya (IPCC, 2007; FAO, 2007) beserta dukungan
pendanaannya. Dalam konteks demikian itu mengingat anggaran pemerintah pada
dasarnya terbatas maka diperlukan adanya langkah-langkah efisiensi.
Dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa aksi nasional adaptasi
terhadap perubahan iklim harus diterapkan pada semua sub sektor efisiensi dan
efektivitas pendanaan program adaptasi perlu dilakukan. Ini dapat ditempuh
dengan cara memprioritaskan sub-sub sektor yang memenuhi salah satu atau
kombinasi dari kategori berikut:
(i) sub sektor tanaman pangan yang peranannya dalam penyediaan
pangan menonjol;
(ii) sub-sub sektor di luar sub sektor padi yang peranannya dalam
pembentukan PDB dan penciptaan lapangan kerja menempati papan
atas;
(iii) sub-sub sektor yang paling rentan terhadap variabilitas iklim yang
tajam sehingga kerugian yang dialami akibat perubahan iklim
termasuk kategori terbesar.
Identifikasi sub-sub sektor yang termasuk kategori (i) dan (ii) dapat
dilakukan dengan cara yang sederhana. Akan tetapi data dan informasi untuk
kategori (iii) sampai saat ini belum tersedia. Dalam ukuran kualitatif, beberapa sub
sektor yang terindikasikan sebagai sub-sub sektor yang rentan dapat diidentifikasi,
namun dalam ukuran kuantitatif prediksi mengenai dampak perubahan iklim pada
masing-masing sub sektor belum diketahui. Selama ini berbagai prediksi mengenai
dampak perubahan iklim bersifat parsial dan mikro. Prediksi-prediksi demikian itu
sangat berguna untuk masukan dalam perumusan kebijakan sub sektor yang
bersangkutan, namun untuk sebagai bahan masukan untuk perumusan kebijakan
yang sifatnya komprehensif tidak memadai karena belum memperhitungkan
6
keterkaitan antar sub sektor. Sebagai implikasi dari persaingan dalam
pemanfaatan sumberdaya (lahan, air, modal, tenaga kerja); sangat jelas bahwa
salah satu simpul strategis kebijakan lingkup makro adalah perlunya sinkronisasi
dan harmonisasi antar sektor atau sub sektor terkait. Untuk itulah penelitian ini
dilakukan.
1.3. Tujuan
Sasaran penelitian adalah menghasilkan data informasi mengenai dampak
makro perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Data dan informasi tersebut
diperlukan dalam penyempurnaan kebijakan dan program adaptasi terhadap
perubahan iklim; termasuk penentuan skala prioritas dalam pendanaan program
terkait. Orientasinya adalah untuk mendukung keberlanjutan ketahanan pangan
khususnya dan kinerja sektor pertanian pada umumnya. Untuk itu, tujuan
penelitian ini adalah:
(1) Untuk mengidentifikasi cabang-cabang usahatani yang peranannya
menonjol dalam sektor pertanian yang tingkat kerentanannya pada
perubahan iklim termasuk kategori sangat tinggi;
(2) Untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi, harga,
konsumsi komoditas pertanian yang peranannya dalam pembentukan
pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja termasuk peringkat atas.
(3) Untuk mengetahui simpul-simpul strategis dan alternatif program yang
efektif untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim pada produksi
pangan khususnya, dan sektor pertumbuhan pertanian pada umumnya.
1.4. Keluaran yang Diharapkan
Keluaran dari penelitian ini adalah satu paket data, informasi, dan
rekomendasi kebijakan dalam konteks adaptasi terhadap perubahan iklim dalam
rangka mendukung keberlanjutan ketahanan pangan khususnya dan pertumbuhan
sektor pertanian pada umumnya. Secara lebih rinci, keluaran yang diharapkan
adalah:
(1) Data dan informasi mengenai cabang-cabang usahatani yang peranannya
pada sektor pertanian sangat menonjol, tetapi termasuk paling rentan
terhadap perubahan iklim;
7
(2) Perkiraan dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dalam
lingkup makro, terutama pada aspek-aspek produksi, harga, konsumsi
komoditas pertanian terpenting serta pendapatan petani;
(3) Simpul-simpul strategis dan implikasinya terhadap alternatif program yang
efektif untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim pada produksi
pangan khususnya, dan pertumbuhan sektor pertanian pada umumnya.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Manfaat dari penelitian ini adalah tersedianya data dan informasi mengenai
dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian dalam lingkup makro.
Perkiraan dampak difokuskan pada aspek produksi, harga, dan konsumsi
komoditas pertanian yang peranannya dalam pembentukan PDB dan penyerapan
tenaga kerja menonol; dalam arti menempati peringkat atas. Data dan informasi
tersebut dapat digunakan untuk menyusun alternatif program adaptasi yang
efektif untuk meminimalkan tingkat kerentanan ketahanan pangan khususnya
maupun sektor pertanian pada umumnya terhadap perubahan iklim.
Dampak penelitian adalah terhindarkannya tingkat kerugian yang lebih
besar akibat perubahan iklim pada sub sektor pangan khususnya, dan sektor
pertanian pada umumnya. Kerugian yang lebih besar itu dapat dihindari karena
program adaptasi terhadap perubahan iklim dapat difokuskan pada cabang-
cabang usahatani yang peranannya dalam sektor pertanian dominan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Iklim adalah rata-rata cuaca jangka panjang. Jadi perubahan iklim adalah
perubahan rata-rata perilaku cuaca yang sifatnya jangka panjang. Beberapa hasil
penelitian menyimpulkan bahwa penyebab utama perubahan iklim bersifat
anthropogenic; dalam arti merupakan konsekuensi dari ulah manusia (Trenberth
et al., 1995). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, 2001),
konsentrasi gas-gas rumah kaca (khususnya CO2, CH4, dan N2O) dalam dua abad
terakhir meningkat sangat tajam sehingga rata-rata suhu atmosfer global naik
8
sekitar 1O C. Hal ini kemudian mempengaruhi perilaku pergerakan udara dan
presipitasi. Polanya berubah dari pola normal, bahkan kadang-kadang ekstrim.
Secara umum perubahan iklim berimplikasi munculnya kejadian-kejadian
yang tidak kondusif untuk kehidupan manusia. Selain rata-rata suhu global
meningkat, di belahan bumi tertentu kadang-kadang terjadi pula perubahan cuaca
yang ekstrem. Secara mendadak, suhu meningkat tajam atau sebaliknya
mendadak sangat rendah. Kondisi demikian itu selain merupakan cekaman
lingkungan yang menyebabkan turunnya daya tahan sebagian makhluk hidup
(kecuali sejumlah spesies serangga dan bakteri) sehingga rentan terhadap
penyakit. Bagi manusia, kondisi tersebut menyebabkan kesegaran jasmaninya
turun, mudah terserang penyakit, stres, dan dan berimplikasi turunnya
produktivitas kerja.
Dalam hubungannya dengan pertanian, unsur iklim yang paling
berpengaruh adalah presipitasi. Pola distribusi temporal dan spatial curah hujan
tidak normal. Demikian pula intensitasnya; kadang-kadang sangat ekstrim. Awal
dan durasi musim hujan maupun musim kemarau tidak teratur dan kadangkala
bergeser. Frekuensi dan intensitas badai juga meningkat. Implikasinya, banjir dan
atau kekeringan sering terjadi dan cenderung sulit diprediksi.
Aktivitas utama (core business) di sektor pertanian adalah usahatani
tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan maupun perikanan.
Terkait karakteristik intrinsiknya, hampir semua cabang usahatani tersebut rentan
terhadap variabilitas iklim yang tajam yang berdasarkan berbagai ramalan
dinyatakan akan sering terjadi dalam era perubahan iklim. Oleh karena itu
perubahan iklim disimpulkan merupakan salah satu ancaman paling serius
terhadap keberlanjutan ketahanan pangan. Berpijak pada karakteristik iklim
sebagai suatu sistem yang sifatnya global maka ruang lingkup dampak negatif
perubahan iklim tidak eksklusif lokal, nasional, atau regional, tetapi bersifat global
(IPCC, 2001; ADB, 2009).
Petani, terutama petani kecil adalah kelompok paling rentan terhadap risiko
iklim (kekeringan, banjir, badai). Leary et al (2007) menyatakan bahwa strategi
adaptasi yang ada pada saat ini pada umumnya belum memadai untuk
menghadapi perubahan iklim. Laporan ADB and IFPRI (2009) menyatakan jika
9
tidak ada perbaikan produktivitas dan strategi adaptasi yang memadai maka
kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia) akan sangat terancam
keberlanjutan ketahanan pangannya.
Dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian terjadi melalui
turunnya produktivitas dan atau luas panen. Produktivitas turun karena variabilitas
iklim yang tajam merupakan cekaman lingkungan yang menyebabkan proses
metabolisme sel-sel tanaman tidak berlangsung optimal, dan bersamaan dengan
itu intensitas gangguan OPT (organisme pengganggu tanaman) juga meningkat.
Penurunan luas panen terkait dengan meningkatnya persentase puso yang terjadi
akibat kekeringan, banjir, ataupun gangguan OPT. Dalam jangka panjang,
turunnya luas panen juga merupakan akibat dari penyusutan lahan pertanian
akibat naiknya permukaan air laut dan turunnya motivasi petani memperluas areal
tanam karena meningkatnya risiko usahatani.
Secara langsung maupun tidak langsung, kondisi tersebut di atas
menyebabkan pasokan dan harga-harga komoditas pertanian berubah. Turunnya
produksi pertanian dan volume pasokan yang tidak stabil mengakibatkan harga-
harga komoditas pertanian meningkat dan makin volatil.
2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait
Angka-angka prediksi mengenai seberapa besar dampak perubahan iklim
terhadap produksi pertanian dunia cukup banyak versinya. Sumber perbedaan
selain terkait dengan perbedaan pendekatan dan model yang diaplikasikan juga
terkait dengan skenario yang dikembangkan. Variasi dalam skenario ini tak lepas
dari pertimbangan adanya feed back dari perkembangan yang dicapai dalam
mitigasi dan adaptasi. Sebagai ilustrasi, dalam Rosenzweig and Iglesias (2010)
diungkapkan proyeksi produksi pangan biji-bijian negara (ataupun kelompok
negara) di dunia menurut berbagai macam skenario yang didasarkan atas efek
CO2 dan level adaptasi yang dicapai. Sebagai ilustrasi, salah satu diantara
skenario tersebut adalah adanya efek peningkatan CO2 sampai 475 ppm, dengan
level adaptasi “1” (adaptasi sederhana yang intinya adalah melakukan perubahan
pola usahatani dengan basis kondisi terkini, tanpa melakukan perubahan
10
fundamental dalam aplikasi teknologi di bidang perbenihan yang sifatnya
revolusioner). Dengan skenario tersebut diperkirakan bahwa pada Tahun 2020,
produksi pangan di sebagian besar negara di dunia masih mengalami penurunan
dari minus 3 persen sampai minus 13 persen dan hanya sebagian kecil negara
yang mengalami kenaikan, itupun hanya berkisar antara 2 – 3 persen saja.
Prediksi yang agak optimistis dikemukakan Fischer et al. (2002) yang
menunjukkan bahwa terkait dengan perubahan iklim, sampai dengan 2080
produksi pangan turun 0.6 – 0.9 persen, namun terjadi perbedaan yang menyolok
antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara-negara maju,
diperkirakan akan mengalami peningkatan produksi karena kesiapan
infrastrukturnya kondusif untuk mendukung sistem adaptasi yang efektif,
sementara itu karena secara geografis sebagian besar negara-negara maju
terletak di wilayah temperate maka naiknya rata-rata suhu global justru
menyebabkan luas lahan yang sesuai untuk pertanian bertambah luas. Di pihak
lain, negara-negara berkembang yang secara geografis kebetulan banyak yang
terletak di wilayah sekitar khatulistiwa justru mengalami penurunan produksi
pangan. Dalam konteks ini, khususnya di Asia Tenggara, produksi serealianya
diperkirakan akan turun 2.5 persen – 7.8 persen.
IPCC (2007) memperkirakan bahwa perubahan iklim akan mengakibatkan
ketergantungan impor bahan pangan negara-negara berkembang semakin besar.
Sebelumnya, FAO Commitee on Food Security, Reports of 3st Session (2005)
dalam FAO (2007) mengungkapkan bahwa 11 persen dari lahan pertanian negara-
negara berkembang akan sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Dampaknya
adalah terjadinya penurunan produksi pangan biji-bijian di 65 negara dan
mengakibatkan penurunan 16 persen GDP. Sementara itu, Warren et al. (2006)
memprediksi jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
(business as usual) sehingga suhu rata-rata global meningkat sampai 30C maka
kelaparan akan melanda sekitar 600 juta penduduk dunia; dan sebagian besar
adalah di negara-negara berkembang.
Di dalam negeri (Indonesia), kondisi iklim yang tidak kondusif juga
menyebabkan pertumbuhan produksi padi tidak stabil. Setelah pertumbuhan yang
rendah pada tahun 2007, terjadi angka kenaikan produksi yang cukup menyolok
11
pada Tahun 2008. Pada Tahun 2009, kenaikan produksi padi masih bertahan pada
level yang aman. Namun pada Tahun 2010 pertumbuhan produksi tidak mencapai
target, bahkan Tahun 2011 turun. Terkait dengan kondisi tersebut, harga beras
pada Tahun 2010 dan 2011 meningkat cukup tajam. Sebagai contoh, sejak paruh
kedua tahun 2010, harga beras meningkat cukup tajam. Meskipun sempat turun
(November 2010), namun kemudian meningkat kembali dan sampai awal Januari
2011. Maret – Juni 2011 turun kembali, namun kemudian naik lagi dan kondisi
harga tinggi berlangsung sampai Januari 2012. Bulan Februari – Mei, harga beras
ada tendensi menurun atau setidaknya tidak mengalami kenaikan yang berarti,
namun kemudian naik lagi sampai Bulan Agustus 2012 ini.
Dalam penelitian empiris, salah satu pendekatan untuk mengetahu dampak
perubahan iklim terhadap produksi dan ketahanan pangan adalah melalui analisis
dampak anomali iklim. Dengan pendekatan seperti itu, hasil penelitian terbaru
(Sumaryanto et al, 2011) memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
(1) Untuk lingkup agregat nasional, El Nino berdampak negatif terhadap luas
panen agregat komoditas pangan utama (padi, jagung, dan kedelai),
sedangkan La Nina berdampak positif. Rata-rata penurunan luas panen
akibat El Nino adalah sekitar 5.4 persen, sedangkan rata-rata kenaikan luas
panen akibat La Nina adalah sekitar 2.7 persen. Dampak terbesar terjadi jika
anomali iklim tersebut terjadi pada periode September - Desember dan Mei
- Agustus.
(2) Untuk padi, El Nino menyebabkan rata-rata luas panen turun 3.83 persen,
produktivitas turun 0.15 persen, dan produksi turun 3.99 persen. La Nina
mengakibatkan luas panen meningkat sekitar 2.78 persen, produktivitas naik
sekitar 0.19 persen, dan produksi naik sekitar 2.95 persen.
(3) Variasi dampak El Nino maupun La Nina terhadap produksi padi antar
provinsi cukup besar. Sumber utama variasi adalah kondisi iklim serta
ketersediaan dan kualitas irigasi wilayah yang bersangkutan.
(4) Iklim ekstrem menyebabkan indeks ketahanan pangan turun karena
meskipun La Nina berdampak positif tetapi besarannya lebih kecil daripada
dampak negatif El Nino. Dampak perubahan iklim terhadap tingkat
12
ketahanan pangan agregat maupun pola temporer yang dialami rumah
tangga perdesaan adalah lebih besar daripada rumah tangga perkotaan.
(5) El Nino dan La Nina mempengaruhi pola musiman indeks ketahanan pangan,
tetapi secara agregat nasional tidak significant. Dalam satu tahun terdapat 3
kategori tingkat kerawanan pangan. Periode “baik” dicirikan oleh indeks
ketahanan pangan yang lebih tinggi dari rata-rata bulanan. Ini terjadi pada
periode Februari – Mei. Kategori “sedang” terjadi pada Bulan Juni –
November, sedangkan periode “tidak baik” adalah November – Februari.
Selama ini beberapa kajian ataupun penelitian mengenai perubahan iklim
ataupun anomali iklim dan kaitannya dengan produksi pertanian khususnya
pangan di Indonesia mulai banyak dilakukan. Dapat disebutkan misalnya Boer
(2007), Irawan (2002), Handoko dkk (2008), dan sebagainya. Namun sebagian
besar penelitian tersebut belum memperhitungkan bahwa pada dasarnya petani
secara mandiri maupun dengan bantuan pemerintah ataupun pihak lain juga
melakukan adaptasi; baik dalam konteks minimalisasi risiko maupun secara
terencana untuk mengembangkan eksistensinya. Adaptasi yang dilakukan juga
tidak semata-mata terhadap kondisi iklim tetapi termasuk pula adaptasi terhadap
lingkungan sosial ekonomi.
Di Indonesia, prediksi mengenai dampak perubahan iklim terhadap sektor
pertanian dalam konteks agregat masih sangat sedikit. Salah satu studi terbaru
adalah yang dilakukan oleh Hutabarat dan kawan-kawan (2012). Namun untuk
dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan dan program
adaptasi, hasil studi tersebut masih membutuhkan kajian lebih lanjut; terutama
dalam hal kemutakhiran data, verifikasi empiris yang lebih luas cakupannya, dan
pendalaman aspek-aspek kualitatif yang bermanfaat untuk mengidentifikasi
simpul-simpul strategis kebijakan dan program adaptasi terhadap perubahan iklim
di sektor pertanian.
13
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
3.1.1. Mekanisme Dampak Perubahan Iklim Pada Sektor Pertanian
Sebagian besar komoditas pertanian dihasilkan dari suatu proses produksi
yang keberhasilannya dipengaruhi oleh kondisi iklim. Upaya untuk melepaskan
pengaruh iklim hanya dapat dilakukan pada unit-unit usahatani secara terbatas
karena memerlukan biaya yang mahal. Implikasinya, perubahan iklim yang secara
umum tidak kondusif untuk pertumbuhan tanaman dan atau ternak sangat
mempengaruhi kemampuan dunia dalam mencukupi kebutuhan pangan
khususnya dan pertumbuhan pertanian pada umumnya.
Mekanisme dampak perubahan iklim terhadap pertanian terjadi melalui 4
cara (Hulme, 1996) yaitu:
(1) Perubahan suhu dan presipitasi mendorong terjadinya perubahan distribusi
spatial zona agroekologi. Implikasinya: (i) pada wilayah lintang tinggi
(tengah ke atas), areal yang cocok untuk pertanian meluas; sebaliknya
pada lintang rendah (tenngah ke bawah), beberapa wilayah yang semula
optimal untuk pertanian makin menyempit luasannya (Rosenzweig and
Hillel, 1995), (ii) wilayah rawan kekeringan dan kebanjiran meningkat dan
sebaran spatialnya berubah, (iii) teknologi usahatani dan pengelolaan
sumberdaya air untuk pertanian berubah.
(2) Meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer menyebabkan laju fotosintesis
meningkat dan penggunaan air mungkin menjadi lebih efisien.
(3) Ketersediaan air (terutama air limpasan) merupakan simpul kritis
determinan usahatani; dan di beberapa wilayah (terutama di Afrika)
mungkin mengalami kondisi yang gawat;
(4) Kerugian yang terjadi pada pertanian meningkat karena variabilitas iklim
yang lebih tajam meningkatkan level cekaman lingkungan pada tanaman,
dan iklim ekstrim menyebabkan terjadinya kerusakan pada pertanaman.
Dampak perubahan iklim pada pertanian ditentukan oleh tingkat
kerentanan sistem usahatani yang bersangkutan (Brooks and Adger, 2005).
Kerentanan adalah derajat mudah-tidaknya cedera, rusak, merugi, atau melemah
14
eksistensinya. Semakin rentan maka semakin tinggi risiko rugi yang dialami;
sebaliknya semakin tangguh (resilience) maka semakin kecil peluangnya untuk
rugi. Di sisi lain, Berbeda dengan kerentanan, resiliensi mengacu pada
kemampuan merancang untuk bertahan, pulih, atau bahkan berkembang dari
kondisi yang tercipta dari akibat yang muncul terkait dengan perubahan iklim
(ECA, 2009).
Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, besaran, dan tingkat variasi
iklim terhadap suatu sistem (misalnya usahatani) yang terpapar, sensitivitas
sistem tersebut terhadap paparan, dan kapasitas adaptasinya (Lasco, 2011).
Dalam IPCC (2001), paparan (exposure) didefinisikan sebagai ”the nature and
degree to which a system is exposed to significant climatic variations”, sensitivitas
didefinisikan sebagai “the degree to which a system is affected, either adversely or
beneficially, by the climate-related stimuli”, sedangkan kapasitas adaptasi (adaptif
capacity) didefinisikan sebagai “the ability of a system to adjust to climate change
(including climate variability and extremes), to moderate the potential damage
from it, to take advantage of its opportunities, or to cope with its consequences”.
3.1.2. Penelitian Kuantitatif Dampak Perubahan Iklim Pada Sektor
Pertanian
Estimasi dampak perubahan iklim yang selama ini dilakukan sebagian besar
berbasis pendekatan eksperimen dan studi-studi penampang lintang (cross-
sectional studies). Pendekatan eksperimen mencakup model-model simulasi agro-
ekonomi sebagaimana yang dilakukan oleh Parry et al (1988), Adam et al (1989).
Pendekatan lain yang prinsipnya hampir sama adalah agro-ecological zone
analysis, yakni suatu teknik simulasi produktivitas tanaman menurut zona
agroekologi dan perubahan iklim. Setelah itu hasilnya diinkorporasikan ke dalam
ekonomi dan general circulation models (GCM) untuk memprediksi skala dan
kisaran dampaknya.
Mendelson et al (1994) dan Mendelson and Dinar (1999) menggaris bawahi
sejumlah kritik terhadap pendekatan agronomis atau fungsi produksi tersebut.
Kritik terpenting adalah bahwa prediksinya cenderung menghasilkan kerugian
yang overestimate karena tidak memperhitungkan adanya tindakan adaptasi;
15
padahal adaptasi – setidaknya autonomous adaptation – dilakukan oleh sebagian
besar pelakunya.
Sebaliknya, kini mulai makin banyak kajian yang fokusnya pada adaptasi
yang efisien. Salah satu cara yang ditempuh dalam penelitian di bidang ekonomi
adalah melalui penerapan pendekatan Ricardian. Tujuannya adalah agar dapat
menangkap pengaruh faktor-faktor ekonomi, iklim, dan linkungan terhadap
pendapatan usahatani atapun nilai lahan (Mendelson, Nordhaus, and Shaw, 1994).
Dengan pendekatan ini, adaptasi yang dilakukan oleh petani dapat
diinkorposarikan dalam model secara efisien.
Kritik utama pendekatan Ricardian adalah ketidak berhasilannya untuk
mengontrol secara penuh dampak variabel-variabel penting yang semestinya juga
menerangkan variasi pendapatan usahatani. Hasil estimasi cenderung
overestimate pada aspek keuntungan dan underestimate dalam konteks
kerusakan/kerugian. Quiggin and Horowitz (1999) menyatakan bahwa pada
pendekatan Ricardian diasumsikan bahwa penyesuaian (adjustment) tidak
memerlukan biaya dan karena itu merupakan salah satu sumber bias pula dalam
hasil estimasi akhir. Tambahan pula, asumsi mengenai harga tetap (constant
price) juga merupakan salah satu titik lemahnya (Cline, 1996).
Salah satu model terbaru adalah IFPRI’s IMPACT Modeling Suite (Nelson et
al, 2010) yang didalamnya terintegrasikan tiga model yaitu IFPRI’s IMPACT Model
(Rosegrant et al, 2008), suatu model keseimbangan parsial pertanian yang
menekankan pada simulasi kebijakan; suatu model hidrologi yang diinkorporasikan
dalam IMPACT; dan DSSAT Crop Model Suite (Jones et al, 2003) untuk
mengestimasi produktivitas tanaman pada berbagai sistem pengelolaan dan
skenario perubahan iklim.
Untuk kasus di Indonesia, Hutabarat dan kawan-kawan (2012) dalam
penelitian kerjasama dengan IFPRI mengembangkan model ICASEPS, yakni
modifikasi dari multi market model dan untuk simulasinya menggunakan data dari
sebagian prediksi (yang sesuai dengan kondisi Indonesia) CSIRO dan MIROC. Dari
penelitian tersebut telah dihasilkan sejumlah prediksi mengenai dampak
perubahan iklim terhadap produksi, harga, dan konsumsi pada beberapa jenis
cabang usahatani.
16
Model yang akan dipergunakan untuk mengestimasi dampak perubahan
iklim pada sektor pertanian pada penelitian ini adalah model ICASEPS. Beberapa
modifikasi akan dilakukan, terutama dalam hubungannya dengan cabang-cabang
usahatani yang akan dicakup dalam model dan dengan menggunakan data terkini
yang tersedia. Dengan melengkapi data terkini dan pendalaman aspek
kualitatifnya pada verifikasi empiris di lapang, diharapkan penelitian ini dapat
menghasilkan angka-angka prediksi yang lebih akurat dan menemukan simpul-
simpul strategis yang diperlukan untuk memperkecil dampak negatif perubahan
iklim yang diperkirakan terjadi. Kerangka analisis dampak perubahan iklim
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Analisis Dampak Perubahan Iklim
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
3.2.1. Ruang Lingkup, Definisi, dan Unit Analisis
Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada estimasi dampak kuantitatif
perubahan iklim pada sejumlah komoditas pangan utama dan komoditas
Perubahan Iklim Global
Penurunan Produktivitas
Penurunan Produksi Domestik
Perubahan Harga Internasional
Perubahan Pendapatan Pertanian
Penurunan Produksi Dunia
Perubahan Penawaran dan Permintaan Domestik
Perubahan Penawaran dan Permintaan Dunia
Perubahan Harga D tik
Pendapatan Non Pertanian
Perubahan Konsumsi Domestik
Perubahan Pendapatan Petani Total
Ekspor
Impor
Penurunan Areal
17
perkebunan terpenting dalam sektor pertanian di Indonesia. Aspek yang analisis
mencakup produksi, harga, konsumsi, dan pendapatan.
Dampak makro didefinisikan sebagai dampak dalam konteks agregat, dalam
arti mencakup beberapa komoditas; dan karakteristik saling keterkaitan antar
komoditas diperhitungkan sebagai bagian dari mekanisme terbentuknya dampak
untuk masing-masing komoditas yang tercakup dalam model maupun dalam
konteks agregat komoditas tersebut.
Komoditas pangan utama adalah komoditas pangan yang pangsanya dalam
penyediaan pangan nasional termasuk kelompok 5 besar yaitu padi, jagung,
ubikayu, kedele, dan gula. Komoditas perkebunan terpenting dalam konteks ini
adalah komoditas perkebunan yang sumbangannya dalam pembentukan PDB
termasuk paling menonjol yaitu kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, dan teh.
Unit analisis adalah nasional. Agar tersedia informasi yang lebih lengkap
untuk bahan masukan dalam perumusan kebijakan maka dampak terhadap
konsumsi rumah tangga dirinci lebih lanjut menurut kelompok pendapatan
maupun wilayah yakni perkotaan dan perdesaan.
3.2.2. Identifikasi Cabang Usahatani Terpenting
Khususnya untuk komoditas pangan, mengingat bahwa peran utama sektor
pertanian adalah sebagai penyedia pangan dalam membangun ketahanan pangan
nasional maka kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasinya dapat pula
didekati dari sisi konsumsi. Untuk itu data SUSENAS dapat dipergunakan.
Berbeda dengan komoditas pangan, untuk komoditas perkebunan maka
yang kriterianya difokuskan pada kontribusi sektor (cabang usahatani) tersebut
dalam pembentukan PDB, ekspor, dan penyerapan tenaga kerja. Untuk komoditas
perkebunan maka pendekatan yang lebih tepat adalah dengan menganalisis data
Input – Output perekonomian Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat
Statistik setiap 3 tahun sekali.
Mengacu pada sasaran penelitian, aspek lain yang digunakan sebagai
kriteria penentuan cabang usahatani terpenting adalah tingkat kerentanannya
terhadap perubahan iklim. Ini dapat dilakukan dengan studi pustaka maupun dari
18
hasil-hasil penelitian empiris yang dilakukan, baik di dalam negeri ataupun di
negara lain.
3.2.3. Estimasi Dampak Perubahan Iklim
Estimasi dampak perubahan iklim pada sektor pertanian dilakukan dengan
melakukan simulasi. Dalam hal ini model yang akan dipakai adalah multimarket
model yang telah dimodifikasi. Sesuai namanya, model ini pada dasarnya untuk
melakukan simulasi dimana mekanisme terbentuknya dampak adalah melalui
keterkaitan antar pasar; baik antar pasar keluaran maupun antar pasar masukan,
serta pasar masukan – keluaran. Mengikuti cara yang ditempuh dalam IFPRI’s
IMPACT Model Suite, skenario simulasi dalam penelitian ini memanfaatkan
sebagian data dari hasil studi CSIRO dan MIROC.
3.2.4. Identifikasi simpul-simpul strategis
Penentuan simpul-simpul strategis untuk meminimalkan dampak negatif
perubahan iklim dilakukan dengan cara mengkombinasikan hasil estimasi dampak
dari butir (3.2.3) yang dipadukan dengan hasil analisis kualitatif yang diperoleh
dari survey di lapangan. Simpul-simpul strategis tersebut akan terpilah menjadi
setidaknya dua ketegori: (1) simpul-simpul strategis untuk perumusan kebijakan
adaptasi terhadap perubahan iklim yang sifatnya lintas sektor, dan (2) simpul-
simpul strategis untuk akselerasi kapasitas adaptasi untuk masing-masing sub
sektor pada sektor pertanian.
3.3. Lokasi Penelitian dan Responden
3.3.1. Dasar Pertimbangan
Pertanian di Indonesia sangat heterogen; dalam konteks komoditas yang
dihasilkan maupun dalam sistem usahatani yang diterapkan oleh petani. Di sisi
lain, tidaklah mungkin untuk menangkap semua sumber keragaman secara
lengkap karena sumberdaya (dana, waktu, dan tenaga) yang tersedia terbatas.
Oleh sebab itu perlu dipilih lokasi-lokasi dan responden yang secara relatif dapat
merepresentasikan kondisi Indonesia secara umum. Dasar pertimbangan untuk
pemilihan lokasi adalah sebagai berikut:
19
(1) Lokasi tersebut termasuk sentra produksi komoditas pangan utama dan
atau komoditas perkebunan terpenting,
(2) Sistem usahatani yang diterapkan di lokasi tersebut cukup beragam,
(3) Sebagian mewakili kondisi di Pulau Jawa, sebagian lainnya di luar Pulau
Jawa karena sistem usahatani di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa
berbeda, terutama dalam hal tingkat perkembangan aplikasi teknologinya
maupun usahatani dominan yang dilakukan sebagian besar petani di kedua
wilayah tersebut.
3.3.2. Lokasi dan Responden
Mengacu pada dasar pertimbangan tersebut di atas, maka lokasi penelitian
adalah di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Sumatera Utara dipilih sebagai lokasi penelitian yang mewakili wilayah pertanian
dengan komoditas pertanian berupa komoditas perkebunan. Jawa Barat dan Jawa
Timur dipilih untuk merepresentasikan wilayah sentra produksi pangan, sedangkan
Sulawesi Selatan dipilih untuk mewakili wilayah sentra produksi pangan dan
komoditas perkebunan.
Mengacu pada unit analisis dan konteks penelitian, responden dalam
penelitian ini terdiri dari dua kategori yaitu: (i) para perumus kebijakan,
perencana, dan pelaksana program pembangunan pertanian; terutama yang
terkait dengan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan (ii) pelaku
usahatani. Untuk kategori (i), respondennya mencakup aparat pemerintah dari
Kementerian Pertanian di Provinsi dan Kabupaten yang terpilih sebagai sampel
dan aparat pemerintah di luar Kementerian Pertanian yang banyak kaitannya
dengan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. Untuk kategori (ii),
respondennya adalah kelompok tani karena data dan informasi yang akan digali
lebih banyak yang sifatnya kualitatif terutama yang berhubungan dengan aspek-
aspek kelembagaan yang terkait dengan kegiatan adaptasi terhadap perubahan
iklim.
20
3.4. Data dan Metode Analisis 3.4.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data kuantitatif
maupun data kualitatif. Untuk data kuantitatif, yang terutama adalah data
sekunder. Untuk data kualitatif, himpunan data yang terbanyak diperlukan adalah
data mengenai aspek kelembagaan yang secara langsung maupun tidak langsung
terkait dengan aksi adaptasi terhadap perubahan iklim pada sektor pertanian.
Sumber data kuantitatif adalah dari Badan Pusat Statistik, Kementerian
Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, BAPPENAS, Pemerintah Daerah
(Provinsi dan Kabupaten contoh), data dari FAO, dari World Bank, dari MIROC,
dan dari CSIRO. Sumber data kualitatif adalah dari aparat pemerintah lingkup
kementerian yang terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim di sektor
pertanian dan dari Kelompok Tani di lokasi contoh. 3.4.2. Metode Analisis
Model yang akan diterapkan untuk memprediksi dampak perubahan iklim
pada sektor pertanian dalam penelitian ini adalah modifiksi dari model yang
dikembangkan dalam penelitian Hutabarat dan kawan-kawan (2012). Modifikasi
tersebut mencakup jenis komoditas yang akan dianalisis dan pemanfaatan data
yang lebih mutakhir. Deskripsi umum model adalah sebagai berikut.
Untuk produksi, terdapat 20 komoditas pertanian yang akan dicakup dalam
model yaitu 6 komoditas dari sub sektor pangan yang banyak diproduksi petani di
dalam negeri; 5 komoditas perkebunan terpenting, 3 komoditas peternakan
terpenting, 5 komoditas hortikultur, dan satu jenis komoditas yang tidak dihasilkan
oleh petani di dalam negeri tetapi pangsa konsumsi penduduk Indonesia terhadap
komoditas ini sangat menonjol yaitu gandum. Untuk masukan usahatani, yang
dicakup adalam model adalah Urea, Pupuk P, dan pupuk K.
Untuk aspek konsumsi, rumah tangga dirinci lebih lanjut sebagai berikut.
Pertama, dikelompokkan menurut wilayah perdesaan dan perkotaan. Kedua, untuk
masing-masing wilayah tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 3 golongan
menurut tingkat pendapatan yaitu teratas, menengah, dan terbawah. Khusus
untuk wilayah perdesaan, dilakukan pengelompokan menurut wilayah Pulau Jawa
21
dan Luar Pulau Jawa dan untuk masing-masing wilayah tersebut dikelompokkan
juga menurut golongan pendapatan. Alasannya, karakteristik rumah tangga
perdesaan di Pulau Jawa berbeda dengan di Luar Pulau Jawa, utamanya dalam hal
struktur pendapatan dan lapangan kerja. Untuk wilayah perkotaan tidak dilakukan
pengelompokan menurut wilayah Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa dengan alasan
bahwa karakteristik rumah tangga perkotaan di Pulau Jawa dengan di Luar Pulau
Jawa tidak banyak berbeda.
3.4.2.1. Struktur Model
Model terdiri atas 6 blok persamaan yaitu: harga, penawaran (produksi),
permintaan input, konsumsi, pendapatan, dan kondisi keseimbangan:
(1) Blok persamaan harga merepresentasikan hubungan harga produsen
dengan harga konsumen dalam negeri. Untuk komoditas impor/ekspor,
harga domestik terkait dengan harga di pasar internasional, sedangkan
yang non tradable ditentukan oleh keseimbangan penawaran dan
permintaan.
(2) Blok persamaan penawaran merepresentasikan produksi pertanian
(3) Blok persamaan masukan usahatani, utamanya pupuk N, P, dan K.
(4) Blok persamaan konsumsi merepresentasikan konsumsi rumah tangga
untuk komoditas pangan maupun non pangan
(5) Blok persamaan pendapatan, merupakan jumlah pendapatan yang
diturunkan dari aktivitas pertanian maupun pendapatan non pertanian
(eksogenous)
(6) Blok persamaan yang merepresentasikan keseimbangan pasar.
Kerangka analisis blok-blok persamaan tersebut di atas dapat dilihat pada
Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4.
Blok harga komoditas pertanian (harga produsen)
Harga di tingkat produsen (PP) untuk setiap kelompok rumah tangga
adalah lebih rendah daripada harga di tingkat konsumen (PC). Untuk setiap jenis
komoditas (c), perbedaan harga produsen – konsumen tersebut tidak sama dan
mencerminkan margin pemasarannya (MARGc):
PPc,h = PCc,h / (1 + MARGc) ( 1)
22
Gambar 2. Analisis Keterkaitan dan Transmisi Harga
Gambar 3. Kerangka Analisis Multi Market untuk Multi Komoditas dan Multi
Region
Keseimbangan Pasar Dunia
Harga Pasar Dunia
Harga Wilayah Harga Wilayah
Harga Pasar Domestik
Penawaran Permintaan
Penawaran Penawaran Permintaan
Permintaan
Net Trade Net Trade Net Trade
Margin Pengolahan Komoditas
Harga
Harga Produsen Petani
Subsidi Ekspor Tarif Impor Biaya Lainnya
Harga Produsen Domestik Rata-Rata
Harga Konsumen
Harga Impor Rata-Rata
Harga Konsumen Rata-rata
Margin
Margin
23
Gambar 4. Analisis Keterkaitan Kuantitas
Untuk produk tradable, harganya ditentukan oleh harga dunia yang dalam
konteks ini diasumsikan tetap. Konsekuensinya, harus ada persamaan yang
merepresentasikan diferensiasinya. Harga-harga batas produk impor (PM)
terhubungkan dengan harga dunia (PW) melalui nilai tukar (er), tarif impor (tm), dan
margin perdagangan internasional: PMc = PWc *(er*(1+RMARGc))*(1+tm) ( 2)
Dalam hal ini, harga konsumen yang dihadapi rumah tangga perkotaan
berbeda dengan rumah tangga perdesaan. Untuk rumah tangga perkotaan, dapat
diformulasikan sebagai: PMc = PCurbrich, c / (1 + IMARGc) ( 3)
sedangkan untuk rumah tangga perdesaan adalah: PCrh,c = PCurbrich,c / (1+INTMARGc,rh) ( 4) Pada akhirnya, indeks harga untuk setiap kelompok rumah tangga berbanding
lurus dengan pangsanya dalam konsumsi, sehingga:
PINDEXh = Σ (PCWTh,i*0.4)*PCh,i/PC0h,i)+0.6 ( 5)
Input Ternak
Produksi
Penjualan Domestik
Ekspor
Impor
Permintaan Total
Konsumsi Industri Pengolahan
Konsumsi Pakan Ternak Konsumsi Rumah Tangga/Manusia
Intervensi Stok
Input Tanaman
Padi, Jagung, Kedele, Kacang Tanah, Ubikayu, Ubi Jalar, Kentang, Bawang Merah, Cabe Merah, Jeruk, Pisang, Kelapa Sawit, Kakao, Kopi, Kelapa, Gula, Daging, Telur, Susu, Gandum
Pupuk N, P, K
Areal
24
dimana h merepresentasikan kategori rumah tangga, i adalah komoditas yang
dikonsumsi.
Blok Penawaran (Produksi)
Penawaran rumah tangga (petani) komoditas pertanian (F) ditentukan oleh:
(a) total luas lahan pertanian yang ada, (b) pangsa luas lahan yang teralokasikan
untuk masing-masing komoitas, dan (c) produktivitas usahatani masing-masing
komoditas yang bersangkutan. Anggaplah kondisi awal total luas lahan yang
dibudidayakan (AREA0); dan dengan asumsi bahwa tujuan usahatani adalah
maksimisasi laba maka pangsa luas lahan dari setiap kategori rumah tangga rh
yang dialokasikan untuk komoditas pangan fp (SHrh,fp) dipengaruhi oleh harga-
harga komoditas yang bersangkutan:
log(SHrh,f) = ,srh f + , ,
1
fsh i i
i
* log(PPrh,f) ( 6)
Mengacu pada kondisi obyektif di lapangan, diasumsikan bahwa produksi
pangan hanya diproduksi oleh rumah tangga perdesaan (RH), dan gandum tidak
diproduksi di dalam negeri. Demikian pula, Σ Σ SHh,f. juga diasumsikan sama
dengan 1.
Produktivitas usahatani komoditas pangan (FP) untuk rumah tangga
kategori h (YLDh,f) dipresentasikan dalam bentuk log-linear dan merupakan fungsi
dari harga-harga komoditas yang bersangkutan dan harga-harga masukan
usshatani (in):
log(YLDrh,fp) = ,yrh fp + ,
yrh fp * log(PPrh,fp) + , ,
1
in
h fp ii
* log(PCrh,in)
+ fp * log(RDEfp) ( 7)
dimana fp merepresentasikan komoditas pertanian yang bersangkutan,
sedangkan koefisien merepresentasikan elastisitas penawaran.
Total penawaran untuk setiap komoditas pangan merupakan perkalian
antara luas panen dan produktivitasnya. Sudh barang tentu dilakukan
penyesuaian terkait dengan adanya produk pertanian yang kemudian digunakan
untuk benih dan faktor konversi dari bentuknya di tingkat petani ketika dijual
terhadap bentuk produk ketika dijual di pasar konsumen rumah tangga (misalnya
dari padi ke beras):
25
HSCRrh,fp = AREA0 * SHARE0rh,fp *
YLDrh,fp * CCFactorfp * (1-PERTE0fp * CONVfp ( 8)
dan total penawaran untuk seluruh komoditas pangan yang tercakup dalam model
adalah:
SCRfp = 1
rh
i HSCRrh,fp ( 9)
Dalam model ini dilakukan penyederhanaan dimana penawaran untuk
produk peternakan (HSLVrh) dan produk non pertanian (HSNFh) dipresentasikan
merupakan fungsi dari harga di tingkat produsen saja. Total penawaran produk
peternakan (SLV) dan produksi non pertanian (SNF) sama dengan jumlah total
dari penawaran setiap kategori rumah tangga:
log(HSLVrh,l) = lrh + ,
lrh l * log(PPrh,l) + , ,
1
af
h fp ii
* log(PCrh,af) (10)
SLV(L) = ,1
rh
i li
HSLV (11)
Blok Persamaan Permintaan Masukan Usahatani
Permintaan rumah tangga kelompok rh’s untuk masukan usahatani in
(HDINrh,in) merupakan fungsi dari harga masukan yang bersangkutan dan harga
komoditas pertanian yang menggunakannya. Fungsi permintaannya dengan
demikian dapat dipersentasikan dalam bentuki:
log(HDINrh,in) = ,f
rh in + , , ,1
g
rh g g ii
* log(PPrh,g) + ,
1
in
rh ii
* log(PCrh,in) (12)
dimana subscript in menunjukkan pakan, pupuk N, pupuk P, dan pupuk K. Total
permintaan masukan adalah:
DINin = 1
in
ii
HDIN (13)
26
Blok Persamaan Konsumsi
Permintaan konsumsi untuk barang (HC) oleh kelompok rumah tangga di
perkotaan dan di perdesaan dapat dipresentasikan sebagai:
log(HCh,i) = ,dh i + ,
1
fdh i
i
* log(PCh,i) + ,
dh i * log(YHh) (14)
dimana i mengacu pada barang konsumsi yang dibeli rumah tangga, mencakup
produk pertanian termasuk yang berasal dari impor:
CONSf = ,1
h
h fi
HC (15)
Blok Pendapatan
Pendapatan pertanian rumah tangga perdesaan (YHAGrh) merupakan
penjumlahan nilai penerimaan dari komoditas pertanian yang diproduksi dikurangi
biayanya.
YHAGrh = yrhrh +
1
fp
i (PPrh,I * HSCRrh,i) / 1000) -
1
in
i (PCrh,i*HDINrh,i) / 1000)
+ 1
l
i (PPrh,i*HSLVrh,i) /1000 (16)
Selanjutnya, total pendapatan rumah tangga (YHrh) merupakan jumlah
pendapatan dari pertanian dan pendapatan non pertanian (eksogenous) yang
disesuaikan dengan indeks harga: YHrh = YHAGrh + YHNAG rh + PINDEXh (17)
Blok Persamaan yang Merepresentasikan Kondisi Keseimbangan
Keseimbangan ekonomi mensyaratkan terjadinya keseimbangan di setiap
pasar komoditas. Untuk setiap komoditas pangan, hal ini berarti bahwa total
kuantitas penawaran (total penawaran dari produksi di dalam negeri dan impor
bersih) adalah sama dengan total kuantitas yang diminta oleh rumah tangga
maupun permintaan dari non rumah tangga seperti untuk pakan, industri
pengolahan, maupun stok pemerintah).
SCRfp + NIMfp = CONSfp + CONANIMfp + CONSOTHR0fp
+ PRSTKS0fp + GOSTKS0fp (18)
27
dalam hal ini, untuk komoditas pertanian yang diproduksi dalam negari dapat
dipresentasikan sebagai: NIMnp = CONSnp + CONANIMnp + CONSOTHR0np
+ PRSTKS0np + GOSTKS0np (19)
sedangkan untuk komoditas pertanian yang dikonsumsi oleh rumah tangga tetapi
hampir seluruhnya berasal dari impor yaitu gandum, dapat dipersentasikan
sebagai: SINin = DIN0in (20)
Untuk persamaan keseimbangan pada pasar masukan usahatani yaitu Pupuk
Urea, pupuk P, dan pupuk K dapat dipersentasikan sebagai:
SLVl + NIMl = CONSl + PRSTKS0l + GOSTKS0l. (21)
Sebagai implikasi dari adanya keterkaitan antar pasar, antar komoditas,
dan persamaan-persamaan yang diperlukan untuk memenuhi karakteristik
permintaan maupun penawaran maka jumlah persamaan yang tercakup dalam
model berjumlah ribuan. Oleh karena itu untuk mengolahnya akan menggunakan
perangkat lunak (software) General Algebraic Modelling Systems (GAMS).
Struktur model dan persamaan-persamaan yang tercakup didalamnya dan
kodenya dalam GAMS mengacu pada Hutabarat dan kawan-kawan (2012).
3.4.2.2. Skenario Untuk Simulasi Dampak Perubahan Iklim Untuk memprediksi dampak perubahan iklim dengan model tersebut,
skenario simulasi yang diterapkan dalam penelitian ini mengacu pada data yang
dihasilkan dari estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas beberapa
komoditas yang dikembangkan oleh The Commonwealth Scientific and Industrial
Research Organisation/CSIRO, Australia dan Model for Interdisciplinary Research
On Climate/MIROC, Japan for 2030 and 2050 (Nelson et al. 2009). Sesuai dengan
kondisi di Indonesia, terdapat lima skenario yang akan diterapkan yaitu (Tabel
Lampiran 1): (a) CSIRO_A1b, (b) CSIRO_B1, (c) MIROC_A1b, (d) MIROC_B1,
and (e) No Climate Change/NoCC, masing-masing untuk kondisi tahun 2030 dan
2050.
28
IV. ANALISIS RISIKO
Beberapa faktor yang berpeluang menjadi penyebab tak tercapainya
tujuan atau tidak terselesaikannya pekerjaan dalam penelitian dan cara
antisipasinya tersaji dalam Tabel 2 dan 3 berikut ini: Tabel 2. Daftar Risiko
No. Risiko Penyebab Dampak
1. Lokasi penelitian tidak kondusif untuk melakukan survey. (pengumpulan data),
Adanya instabilitas politik dan keamanan nasional dan atau situasi ketertiban dan keamanan
Proses pengumpulan data primer terhambat
2. Adanya penundaan kegiatan
kebijakan pemerintah terkait dengan realokasi anggaran untuk mengatasi situasi darurat,
Proses penelitian mundur
3. pelaksanaan kegiatan tidak dapat dilakukan dengan normal
Adanya bencana alam Proses penelitian dan hasilnya kurang optimal
Tabel 3. Daftar Penanganan Risiko No. Risiko Penyebab Penanganan Risiko 1. Lokasi penelitian
tidak kondusif untuk melakukan survey. (pengumpulan data),
Adanya instabilitas politik dan keamanan nasional dan atau situasi ketertiban dan keamanan
Untuk mengantisipasi risiko yang timbul dalam kaitannya dengan ketertiban dan keamanan di lokasi penelitian, yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan adanya lokasi pengganti (cadangan) berdasarkan atas justifikasi ilmiah agar kualitas hasil penelitian dapat dipertahankan
3. Adanya penundaan kegiatan
kebijakan pemerintah terkait dengan realokasi anggaran untuk mengatasi situasi darurat,
Perancangan Kerangka Acuan Penelitian disusun melalui penjaringan isu-isu kebijakan yang dipandang strategis. Kegiatan ini dikoordinasikan oleh institusi.
4. Pelaksanaan kegiatan tidak dapat dilakukan dengan normal
Adanya bencana alam
Dalam kondisi yang tak mungkin dihindari, antisipasi yang dapat dilakukan adalah melalui perampingan dan pembatasan tujuan penelitian, yang dalam konteks ini dapat difokuskan pada aspek-aspek yang dapat dikaji melalui analisis data sekunder saja
29
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Susunan Tim Pelaksana
No N a m a Gol/ Pangkat Jabatan Fungsional Kedudukan
dalam tim 1 Dr. Sumaryanto IV/c Peneliti Madya Ketua
2 Adi Setiyanto, SP., M.Si. III/d Peneliti Muda Anggota
3 Muhammad Suryadi, SP,M.Si. III/c Peneliti Pertama Anggota
4 Ir. Andi Askin III/d Peneliti Pertama Anggota
4 Yana Supriyatna, SE III/d Peneliti Non Klas Anggota
5.2. Jadual Pelaksanaan
Kegiatan/Aktivitas Bulan ( 1 = Januari), Tahun 2013 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Persiapan
Review
Pengumpulan data
Pengolahan dan Analisis Data
Penulisan Laporan Penelitian
Seminar Hasil Penelitian
Finalisasi Laporan Penelitian
Pendayagunaan Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Richard M., D. Glyer, and Bruce A. McCarl. 1989. The Economic Effects of Climate Change in U.S. Agriculture: A Preliminary Assessment."" In D. Tirpak and J. Smith, eds., The Potential Effects of Global Climate Change on the United States: Report to Congress. EPA 230-05-89-050. Washington, D.C: United States Environmental Protection Agency."
Asian Development Bank (ADB) and International Food Policy Research Institute (IFPRI). 2009. Building climate resilience in the agriculture sector in Asia and the Pacific. Mandaluyong City, Philippines. ADB, 2009.
30
Asian Development Bank (ADB). 2009. The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, Asian Development Bank (ADB).
Boer, R. 2007. Deteksi Perubahan Iklim dan Dampak Sosial-ekonominya. Laporan Proyek Kerjasama BMG dan IPB. Bogor.
Brooks N, Adger WN. 2005. Assessing and enhancing adaptive capacity, In Adpatation Policy Frameworks for Climate Change: Developing Strategies, Policies and Measures, Lim B, Spanger-Siegfried E, Burton I, Malone E, and Hug S (eds), Cambridge University Press, Cambridge.
Cline, William R. 1996The Impact of Global Warming on Agriculture: Comment. American Journal of Agricultural Economics 86(5): 1309-1312.
ECA. 2009. Shaping Climate-Resilient Development: A Framework for Decision-Making, A report of the Economics of Climate Adaptati on (ECA) Working Group, ClimateWorks Foundation, Global Environment Facility, European Commission, McKinsey & Company, The Rockefeller Foundation, Standard Chartered Bank and Swiss Re.
FAO. 2007. Adaptation to climate change in agriculture, forestry and fisheries: Perspective, framework and priorities, Interdepartmental Working Group on Climate Change, Food and Agriculture Organization (FAO) of the United Nations, Rome.
FAO. 2008. Climate Change and Food Security: A Framework Document. Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO). Rome.
Fischer, G., M. Shah, and H.V. Velthuizen. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA. Luxemberg, Austria.
Gerald C. Nelson, Mark W. Rosegrant, Amanda Palazzo, Ian Gray, Christina Ingersoll, Richard Robertson, Simla Tokgoz, Tingju Zhu, Timothy B. Sulser, Claudia Ringler, Siwa Msangi, and Liangzhi You. 2010. Food Security, Farming, and Climate Change to 2050: Scenarios, Results, Policy Options. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington, D.C.
Handoko, I., Y. Sugiarto, and Y. Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO, BIOTROP, Indonesia.
Hulme, Mike, ed. 1996. Climate Change and Southern Africa. Norwich, United Kingdom: Climatic Research Unit, University of East Anglia.
Hutabarat, A. Setiyanto, R. Kustiari, and T. B. Sulser. 2012. An Examination of Climate Change Impact on Indonesia Agriculture Sector. Paper prepared for the ICASEPS-IFPRI project on "Plausible Futures for Development and Structural Adjustment in Indonesia-Impacts and Policy Implications for the Asia-Pacific Region." Bogor, Indonesia.
IPCC. 2001 Climate change 2001: impacts, adaptation, and Vulnerability. Cambridge University Press, New York.
IPCC. 2007. Summary for Policymakers. In Climate Change 2007: Impacts, Adaptati on and Vulnerability. Contributi on of Working Group II to the
31
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Parry, M.L., O.F. Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, and C.E. Hanson (eds), Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom, 7-22.
Irawan, B. 2002. Multilevel Impact assessment and Coping Strategies against El Nino. Case of Food crops in Indonesia. CGPRT Center Working Paper No. 75, CGPRT Center, Bogor.
Jones, J. W., G. Hoogenboom, C. H. Porter, K. J. Boote, W. D. Batchelor, L. A. Hunt, P. W. Wilkens, U. Singh, A. J. Gijsman, and J. T. Ritchie. 2003. The DSSAT cropping system model. European Journal of Agronomy 18 (3-4): 235-265.
Lasco R.D, C.M.D. Habito, R.J.P. Delfino, F.B. Pulhin, and R.N. Concepcion. 2011. Climate Change Adaptation for Smallholder Farmers in Southeast Asia. World Agroforestry Centre, Philippines. 65p.
Leary, N., J. Adejuwon, V. Barros, I. Burton, J. Kulkarni, R. Lasco (eds). 2007. Climate Change and Adaptati on, London: Earthscan, p. 448.
Mendelsohn, Robert, and Ariel Dinar. 1999. "Climate Change, Agriculture, and Developing Countries: Does Adaptation Matter?" The World Bank Research Observer 14(2): 277-93.
Mendelsohn, Robert, William D. Nordhaus, and Daigee Shaw. 1994. "The Impact of Global Warming on Agriculture: A Ricardian Analysis." American Economic Review 84(4): 753-771.
Nelson, GC; Rosegrant, MW; Palazzo, A; Gray, I; Ingersoll, C; Robertson, R; Tokgoz, S; Zhu, T; Sulser, TB; Ringler, C; Msangi, S; and You, L. Food security, farming, and climate change to 2050: Scenarios, results, policy options. 2010. Research Monograph. International Food Policy Research Institute(IFPRI),Washington,DC. http://dx.doi.org/10.2499/9780896291867
Parry, M. L., T. R. Carter, and N. T. Konijn. 1988. The Impact of Climate Variations on Agriculture. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Quiggin, J. and J. K. Horowitz. 1999. "The Impact of Global Warming on Agriculture: A Ricardian Analysis: A Comment." American Economic Review 89(4): 1044-1045.
Rosegrant, M. W., S. Msangi, C. Ringler, T. B. Sulser, T. Zhu, and S. A. Cline. 2008. International Model for Policy Analysis of Agricultural Commodities and Trade (IMPACT): Model description. Washington, D.C.: International Food Policy Research Institute.
Rosenzweig, C., and D. Hillel. 1995. Climate Change and the Global Harvest: Potential Impacts on the Greenhouse Effect on Agriculture. New York, N.Y.: Oxford University Press.
Rosenzweig, C. and A. Iglesias. 2010. Potential Impact of Climate Change on World Food Supply: Data Set from a Major Crop Modelling Study. Available from http://sedac:ciesin.columbia.edu/cgi-bin/charlotte
32
Stern, N., S.Peters, V.Bakhshi, A.Bowen, C.Cameron, S.Catovsky, D.Crane, S.Cruickshank, S.Dietz, N.Edmonson, S.-L.Garbett, L.Hamid, G.Hoffman, D.Ingram, B.Jones, N.Patmore, H.Radcliffe, R.Sathiyarajah, M.Stock, C.Taylor, T.Vernon, H.Wanjie, and D.Zenghelis (2006), Stern Review: The Economics of Climate Change, HM Treasury, London.
Sumaryanto, B. Irawan, H. Sawit, A. Setyanto, J. Situmorang, dan M. Suryadi. 2011. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kerawanan Pangan Temporer/Musiman. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Sumaryanto. 2010. Eksistensi Pertanian Skala Kecil Dalam Era Persaingan Pasar Global. Dalam Suradisastra, K., P. Simatupang, dan B. Hutabarat. 2010. Prosiding Seminar Nasional: Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Makalah Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Trenberth, K. E., J. T. Houughton, and L. G. Meira Filho. 1995. The Climate System: an Overview. In: Climate Change 1995. The Science of Climate Change. Contribution of Working Group I to the Second Assessment Report of The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Cambridge University Press.
Warren, R., N. Amell, R. Nichols, P. Levy, and J. Price. 2006. Understanding The Regional Impacts of Climate Change. Research Report Prepared for The Stern Review, Tyndall Center Working Paper 90, Norwich. Available from www.tyndall.ac.uk/publications/working.paper/twp90.pdf.
33
Tabel Lampiran 1. Rata-rata perubahan global menurut GCM dan SRES, 2030 - 2050
34
Tabel Lampiran 2. Perubahan produktivitas tanaman berdasarkan beberapa skenario perubahan iklim dibanding tanpa perubahan iklim (Tanpa PI) pada 2030 dan 2050 (dalam persen)
Tanaman/Komoditas CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Padi 0.2% 0.3% ‐1.6% ‐0.7%
Ubikayu 1.7% 1.1% 2.0% 2.1%
Jagung ‐2.8% ‐3.0% ‐1.9% ‐1.5%
Kedelai ‐2.7% ‐2.6% 0.9% 0.8%
Ubi jalar 1.6% 1.0% 0.8% 1.0%
Kentang ‐1.0% ‐0.9% ‐2.0% ‐1.5%
Kacang tanah 1.5% 1.2% 2.2% 2.0%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Pisang/Jeruk 2.0% 1.6% 2.1% 2.7%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Cabai/Bawang merah 0.6% 0.5% 0.5% 1.1%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Kelapa sawit 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Minyak kelapa 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Coklat 0.1% 0.1% 0.1% 0.1%
Kopi 0.1% 0.1% 0.1% 0.1%
Tebu ‐2.4% ‐2.3% ‐2.1% ‐1.6%
Tanaman/Komoditas CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Padi 0.6% 0.9% ‐3.2% 0.9%
Ubikayu 3.7% 2.2% 4.2% 2.2%
Jagung ‐6.7% ‐8.2% ‐4.2% ‐8.2%
Kedelai ‐5.4% ‐5.3% 1.6% ‐5.3%
Ubi jalar 4.1% 1.8% 2.8% 1.8%
Kentang ‐1.8% ‐1.7% ‐3.9% ‐1.7%
Kacang tanah 3.1% 2.5% 4.5% 2.5%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Pisang/Jeruk 4.9% 3.9% 5.4% 3.9%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Cabai/Bawang merah 0.9% 0.6% 0.8% 0.6%
CSIRO_A1b CSIRO_B1 MIROC_A1b MIROC_B1
Kelapa sawit 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Minyak kelapa 0.0% 0.0% 0.0% 0.0%
Coklat 0.2% 0.2% 0.3% 0.2%
Kopi 0.2% 0.2% 0.3% 0.2%
Tebu ‐5.5% ‐5.9% ‐4.9% ‐5.9%
Tahun 2030
Tahun 2050
Skenario
Skenario
Sumber: Nelson et al. (2010)