DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi **...
Transcript of DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi **...
1
APLIKASI MASLAHAH
DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG*
Oleh: Asmawi **
Pengantar
Dalam rangka pengembangan hukum pidana Islam dalam konteks keindonesiaan
dan kemodernan, dipandang perlu adanya upaya pengkajian teori maslahah beserta
aplikasinya dalam konstruksi hukum pidana Islam dan kemudian dalam tatanan hukum
pidana nasional. Ini pada gilirannya menuntut objektivikasi hukum pidana Islam.
Salah satu tindak pidana yang menyita perhatian intens aparat penegak hukum dan
masyarakat pada umumnya ialah tindak pidana pencucian uang (money laundrying). Tindak
pidana ini sering berjalin-berkelindan dengan tindak pidana korupsi. Sebagai wujud politik
kiminal tentang isu ini, telah disahkan oleh DPR dan Presiden UU No. 25 Tahun 2003 jo.
UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tulisan berikut ini akan berupaya menyoroti kriminalisasi pencucian uang-yang
tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang-dengan kerangka teori maslahah. Dengan penerapan kerangka teori
maslahah ini, akan dapat disimpulkan ada tidaknya corak “keislaman” dari UU Anti-
Pencucian Uang tersebut.
Reformulasi Teori Maslahah
Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan
sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda’)1,
sumber atau dalil hukum (source, masdar, dalîl)2, doktrin (doctrine, al-dâbit)3, konsep
(concept, al-fikrah)4, metode (method, al-tarîqah)5, dan teori (theory, al-nazariyyah) 6.
** Asmawi adalah dosen tetap (Lektor Kepala) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. 1 Identifikasi maslahah sebagai sumber atau dalil (masdar, dalîl) ditunjukkan dalam, misalnya , ‘Abd
al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass fîh, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M).
Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-‘Arabiy, 1395
H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bugâ, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî‘ al-
Taba‘iyyah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.); dan Wahbah al-Zuhaili, Usûl al-
Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H/1986 M); dan ‘Ali Hasaballah, Usûl al-Tasyrî‘ al-Islâmiy,
(Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), hlm. 107; dan Ahmed Hassan, The Early Development of Islamic
Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), hlm. 53; ‘Abdullah ‘Abd al-Muhsin al-
Turki, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqaha’, (Riyad: Maktabah al-Riyâd al-Hadîtsah, 1397 H/1977 M); dan Mustafa
Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384
H/1964 M); dan Muslih ‘Abd al-Hayy al-Najjâr, al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ ‘inda al-Usûlyyîn wa
Tatbîqâtuhâ al-Mu‘âsirah, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1424 H); 2 Identifikasi maslahah sebagai prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda’) ditunjukkan dalam,
misalnya, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy,
(Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy, 1403 H/1983 M), hlm. 16; dan Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1991), hlm. 96. 3 Identifikasi maslahah sebagai doktrin (doctrine, al-dâbit) ditunjukkan dalam, misalnya, Muhammad
Sa‘îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
1421 H/2000 M). Lihat juga Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, (New York:
Oxford University Press, 2003), hlm. 40-47. 4 Identifikasi maslahah sebagai konsep (concept, al-fikrah) ditunjukkan dalam, misalnya, Mustafa
Ahmad al-Zarqâ’, al-Istislâh wa al-Masâlih al-Mursalah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Usûl Fiqhiha,
(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1408 H/1988 M). Lihat juga Felicitas Opwis, “ Maslaha in Contemporary Islamic
2
Secara etimologis, arti al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,
kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata
al-mafsadah yang artinya kerusakan.7
Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl
al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah
adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan
(jalb manfa‘ah atau daf‘ madarrah) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam
arti terminologis-syar’i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara’ yang berupa
memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-
Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal
tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu
dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan
menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai maslahah.8
Pengertian maslahah juga dikemukakan oleh ‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H).
Dalam pandangan ‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm, maslahah itu identik dengan al-khair
(kebajikan), al-naf‘(kebermanfaatan), al-husn (kebaikan).9 Sementara Najm al-Dîn al-Tûfi
(w. 716 H) berpendapat bahwa makna maslahah dapat ditinjau dari segi ‘urfi dan syar’i.
Menurut al-Tûfi, dalam arti ‘urfi, maslahah adalah sebab yang membawa kepada kebaikan
dan kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan sebab yang membawa kepada
keuntungan, sedang dalam arti syar’i, maslahah adalah sebab yang membawa kepada
Legal Theory “, dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 2, No. 12, 2005, Koninklijke Brill NV, Leiden,
2005). 5 Identifikasi maslahah sebagai metode (method, al-tarîqah) ditunjukkan dalam, misalnya,
Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.), hlm. 115. Lihat juga Tâhâ Jâbir
al-‘Alwânî, Source Methodology in Islamic Jurisprudence ( Usûl al-Fiqh al-Islâmî), (Virginia: IIIT, 1415
H/1994), hlm. 12-14; dan ‘Ali al-Khafîf, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ’, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1416
M/1996), hlm. 176; dan Mohammad Hashim Kamali, An Introduction to Sharî‘ah, (Kuala Lumpur: ILMIAH
Publishers, 2006), hlm. 119-125; dan Sâlih ibn ‘Abd al-‘Azîz Âli Mansûr, Usûl al-Fiqh wa Ibn Taimiyyah,
(Mesir: Dâr al-Nasr, 1405 H/1985 M), hlm. 465. 6 Identifikasi maslahah sebagai (theory, al-nazariyyah) ditunjukkan dalam, misalnya, Husain Hâmid
Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971); dan
Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Nazariyyat al-Fiqh fi al-Islâm: Madkhal Manhajiy, (Beirut: al-Mu’assasah
al-Jâmi‘iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1418 H/1998 M). 7 Lihat Ismâ‘îl ibn Hammâd al-Jauhari, al-Sihâh Tâj al-Lugah wa Sihâh al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dâr al-
‘Ilm li al-Malâyîn, 1376 H/1956 M), Juz ke-1, hlm. 383-384; dan Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn
Zakariyyâ, Mu‘jam Maqâyîs al-Lugah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1403 H/1981 M), Juz ke-3, hlm. 303; dan
Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Ifrîqi, Lisân al-‘Arab, (Riyad: Dâr ‘Âlam al-Kutub,
1424 H/2003 M), Juz ke-2, hlm. 348; dan Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qâdir al-Râzi, Mukhtâr al-
Sihâh, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1979), hlm. 376; dan Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qâdir al-
Râzi, Mukhtâr al-Sihâh, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1979), hlm. 376; dan Muhammad Murtadâ al-
Husaini al-Zabîdî, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), Juz ke-4, hlm.
125-126; dan Ibrâhîm Mustafa, dkk., al-Mu‘jam al-Wasît , (Tahrân: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz ke-1,
hlm. 522.. 8 Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli (selanjutnya disebut al-Gazâli), al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl,
tahqîq wa ta‘lîq Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1,
hlm. 416 - 417. 9 ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, (Kairo: Maktabat al-Kulliyyât
al-Azhariyyah, 1994), Juz ke-1, hlm. 5.
3
tujuan al-Syâri’, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah.10 Tegasnya, maslahah
masuk dalam cakupan maqâsid al-syarî‘ah.11
Syariah Islam compatible bagi segala kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia.
Teks-teks Syariah (nusûs al-syarî‘ah) dapat mewujudkan-bagi manusia-maslahah pada
setiap ketentuan hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul kecuali sudah
ada-di dalam Kitab Allah-petunjuk jalan solusi atasnya.12 Syariah Islam merupakan syariah
yang selaras dengan fitrah kemanusiaan (syarî‘at al-fitrah), yang memperhatikan segenap
sisi kehidupan manusia, dan yang menawarkan tuntunan hidup yang berkeadilan. Syariah
Islam juga merupakan syariah yang selaras dengan moralitas kemanusiaan yang luhur, yang
membebaskan manusia dari cengkeraman kuasa hawa nafsu yang destruktif. Syariah Islam
merupakan syariah yang bervisi dan bermisi mulia.13 Syariah Islam senantiasa
memperhatikan realisasi maslahah bagi segenap hamba-Nya. Karena itulah, konsep
maslahah memberi saham besar bagi terwujudnya panduan yang layak diperhatikan sang
mujtahid guna mengetahui hukum Allah atas perkara yang tidak ditegaskan oleh nass
Syara’.14 Jelaslah bahwa maslahah menjadi elan vital bagi Syariah Islam sehingga ia
senantiasa memiliki relevansi dengan konteks zamannya; dan ini pada gilirannya
menjadikan Syariah Islam tetap up to date menyapa segenap persoalan kehidupan manusia
dengan cahaya ajarannya yang mencerahkan.
Fondasi bangunan Syariah Islam itu direpresentasikan oleh maslahah yang
ditujukan bagi kepentingan hidup manusia sebagai hamba Allah, baik menyangkut
kehidupan duniawinya maupun kehidupan ukhrawi-nya. Syariah Islam itu menjunjung
tinggi prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), kasih sayang (rahmah), dan maslahah,. Setiap
aturan hukum yang menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya bukanlah
bagian dari Syariah Islam, meskipun dicari rasionalisasi (ta‘wîl) untuk menjadikannya
sebagai bagian dari Syariah Islam.15 Keagungan dan keluhuran Syariah Islam
termanifestasikan pada kompatibilitas hukum-hukum Syariah dengan perkembangan
kehidupan manusia lantaran ruh maslahah yang menggerakkannya.16 Eksistensi maslahah
dalam bangunan Syariah Islam memang tidak bisa dinafikan karena al-maslahah (المصلحة(
dan al-Syarî‘ah (الشريعة) telah bersenyawa dan menyatu, sehingga kehadiran al-maslahah
meniscayakan adanya tuntutan al-Syarî‘ah (الشريعة ).
10 Najm al-Dîn al-Tûfi, Syarh al-Arba‘în al-Nawawiyyah, hlm. 19, lampiran dalam Mustafa Zaid, al-
Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M), hlm.
211. 11 Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,
1991), hlm. 97. 12 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1971), hlm. 607. 13 Lihat Mannâ‘ al-Qattân, Raf‘ al-Haraj fi al-Syarî‘at al-Islâmiyyah, (Riyad: al-Dâr al-Su‘ûdiyyah,
1402 H/1982 M), hlm. 61-62. 14 Sa’îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasat al-
Risâlah wa al-Dâr al-Muttahidah, 1421 H/2000 M), hlm. 69 15 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts,
1425 H/2004 M), hlm. Juz ke-3, hlm. 5. 16 Husain Hâmid Hisân, Fiqh al-Maslahah wa Tatbîqâtuhu al-Mu‘âsirah, hlm. 4, dalam Seminar
Internasional Tatanan Fundamental Ekonomi Islam Kontemporer, (Jeddah: IRTI-Islamic Development Bank,
Ramâdan, 1413 H), hlm. 4. (tidak diterbitkan).
4
Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nass al-Qur’an dan Hadis
memang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum-hukum Syariah
senantiasa dilekati hikmah dan ‘illah yang bermuara kepada maslahah.17 Bahkan, hukum-
hukum dimaksud bukan saja di bidang muamalat umum (non-ibadah mahdah), tetapi juga
ibadah mahdah. Jadi, semua bidang hukum dengan aneka norma hukum yang telah
digariskan oleh al-Qur’an dan Hadis berhulu dari, sekaligus bermuara kepada, maslahah
bagi kehidupan umat manusia. Hal ini karena Allah tidak butuh kepada sesuatupun,
sekalipun itu ibadah mahdah. Tegasnya, manusialah-sebagai hamba Allah-yang
diuntungkan dengan adanya kenyataan bahwa maslahah menjadi alas tumpu hukum-hukum
Syariah itu.18 Hadirnya hikmah dan ‘illah dalam norma hukum Allah (baik berupa al-amr
maupun al-nahy) itu pada gilirannya menjamin eksisnya maslahah. Pada sisi lain, formulasi
sejumlah legal maxim (al-qawa‘id al-syar‘iyyah) bertumpu pada penemuan hikmah dan
‘illah yang nota bene menjadi garansi eksisnya maslahah. Dengan demikian, maslahah
merupakan poros dan titik beranjak bagi formulasi al-ahkâm al-syar‘iyyah dan al-qawa‘id
al-syar‘iyyah.19
Mewujudkan maslahah merupakan elan vital Syariah Islam. Dalam setiap aturan
hukumnya, al-Syâri‘ mentransmisikan maslahah sehingga lahir kebaikan/kemanfaatan dan
terhindar keburukan/kerusakan, yang pada gilirannya terealisasinya kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi dan kemurnian pengabdian kepada Allah. Sebab, maslahah itu
sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan Syara‘ berupa
kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara‘, bukan oleh hawa nafsu
manusia.20 Norma hukum yang dikandung teks-teks Syariah (nusûs al-syarî‘ah) pasti dapat
mewujudkan maslahah, sehingga tidak ada maslahah di luar petunjuk teks Syariah; dan
karena itu, tidaklah valid pemikiran yang menyatakan maslahah harus diprioritaskan bila
berlawanan dengan teks Syariah.21 Maka, maslahah pada hakikatnya ialah sumbu peredaran
dan perubahan hukum Islam, di mana interpretasi atas teks Syariah dapat bertumpu
padanya.22
Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan bahwa identifikasi maslahah-sebagai
inti maqâsid al-syarî‘ah-dapat didasarkan pada: (1) nusûs al-syarî‘ah, terutama al-amr dan
al-nahy, (2) ‘illah dan hikmah yang dikandung nusûs al-syarî‘ah, dan (3) istiqrâ’.
Identifikasi maslahah melalui pembacaan nusûs al-syarî‘ah, terutama al-amr dan al-nahy
dianut oleh ulama teoritisi hukum Islam Mazhab Zâhiri-kaum tektualis dalam aliran
17 Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm,
1427 H/2006 M), hlm. 12. 18 Yûsuf al-Qaradâwi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1421 H/2001 M), hlm. 58. 19 ‘Allâl al-Fâsiy, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, (Rabat: Maktabah al-Wihdah
al-‘Arabiyyah, t.thlm.), hlm. 138. 20Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuha fi al-Tasyrî‘, (t.tp: Matba‘at
al-Sa‘âdah, 1403 H/1983 M), hlm.12 dan 13. 21 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1971), hlm. 607. Lihat juga Syed Abul Hassan Najmee, Islamic Legal Theory and The
Orientalists, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1989), hlm. 94-96. 22 Inilah yang disebut-oleh ‘Ali Hasaballah-dengan Qiyâs al-Maslahah. Lihat ‘Aliy Hasaballah, Usûl
al-Tasyrî’ al-Islâmiy, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), hlm. 257.
5
pemikiran hukum Islam. Sedangkan identifikasi maslahah melalui elaborasi ‘illah dan
hikmah yang dikandung nusûs al-syarî‘ah dipraktikan oleh kalangan mayoritas ulama
teoritisi hukum Islam. Sementara itu, identifikasi maslahah melalui pendekatan istiqrâ’
merupakan tawaran genuine al-Syâtibi, meskipun al-Syâtibi sendiri tidak menafikan fungsi
dua metode sebelumnya dalam upaya identifikasi maslahah.23
Sehubungan dengan relasi maslahah dan ijtihâd, di kalangan ulama dikenal istilah
ijtihâd istislâhiy, yakni suatu upaya pengerahan segenap kemampuan untuk memperoleh
hukum Syara‘ dengan cara menerapkan prinsip-prinsip hukum yang umum-universal
terhadap suatu masalah/kasus yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘ yang spesifik dan
Ijmâ’ ulama, yang pada intinya bermuara kepada mewujudkan maslahah (jalb al-
maslahah) dan menghindari/menghilangkan mafsadah (daf‘u al-mafsadah), yang sejalan
dengan tuntutan prinsip-prinsip Syara‘. Model ijtihâd ini sebenarnya mengarah pada
memasukkan hukum kedalam medan cakupan nass Syara‘.24 Menurut Ahmad Fathi
Bahnasi, sebagian ulama ahli hukum Islam generasi al-tabi‘în berpaling dari aplikasi
tekstual nass Syara’ yang bersifat mutlak atau umum lantaran aplikasi tersebut berimplikasi
tereliminasinya maslahah. Mereka justru menginterpretasi dan melakukan aplikasi nass
Syara’ itu dengan kerangka pikir maslahah meskipun memberikan kesan taqyîd atau
takhsîs atau ihmâl terhadap nass.25
Hukum-hukum Syariah itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori: (1) hukum-
hukum yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung26, dan (2) hukum-
hukum yang bersumber kepada ijtihâd, tanpa bersandar secara langsung kepada al-Qur’an
dan Sunnah; dan yang terakhir inilah yang merupakan hukum-hukum yang dibentuk di atas
fondasi maslahah. Akan tetapi, kedua kategori hukum itu sama-sama bertujuan merealisasi
maslahah; dan sebagian maslahah itu berubah dan berkembang lantaran
perubahan/perkembangan zaman dan faktor lainnya. Sudah menjadi pakem para ulama
bahwa maslahah yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘ terbuka kemungkinan untuk
berubah dan berkembang; dan ini merupakan sesuatu yang rasional dan riil.27
Menurut Ahmad Hassan, legislasi al-Qur’an itu mempertimbangkan tabiat dan
kemampuan manusia serta kondisi sosial. Tujuan al-Qur’an dalam penetapan hukumnya-
meskipun elemen hukum yang dituangkan dengan bahasa yang tegas sedikit jumlahnya-
ialah maslahah. Al-Qur’an bertujuan membentuk individu dan masyarakat yang ideal yang
lebih berlandaskan kepada moralitas ketimbang hukum. Karena itulah, ia terkadang
menjelaskan perintah-perintahnya melalui bahasa nalar dan tujuan, meskipun suatu otoritas-
23 Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective, (Kuala Lumpur: Ilmiah
Publisher, 2002), hlm. 93 24 Muhammad Sallâm Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1404 H/1984 M), hlm. 45. 25 Mengenai deskripsi dan model aplikasi taqyîd, takhsîs, tarjîh, dan yang semisalnya, lihat
Muhammad Ibrâhîm Muhammad al-Hafnâwiy, al-Ta‘ârud wa al-Tarjîh ‘ind al-Usûliyyîn, (t.tp.: Dâr al-
Wafâ’, 1408 H/1987 M) 26 Lebih jauh mengenakan kedudukan Sunnah/Hadis sebagai sumber legislasi hukum Islam, lihat
Mustafa Hasaniy al-Sibâ‘iy, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Damaskus: al-Dâr al-
Qaumiyyah, 1379 H/1960 M), hlm. 343-352. 27 Bustâmi Muhammad Sa‘îd, Mafhûm Tajdîd al-Dîn, (Kuwait: Dâr al-Da’wah, 1405 H/1984 M),
hlm. 260-261.
6
absolut sesungguhnya tidak perlu melakukan demikian. Inilah yang menjadi alasan
mengapa genre dan nada legislasi al-Qur’an bersifat umum dan rasional sehingga ia dapat
beradaptasi dengan kondisi-kondisi kehidupan yang terus berubah.28
Menurut Mohammad Hashim Kamali, maslahah tidak diikat dengan pembatasan-
pembatasan sebagaimana yang diberlakukan terhadap qiyâs dan istihsân; ia meminta
mujtahid berinisiatif menentukan ukuran-ukuran yang diperlukan, termasuk penetapan
hukum kasus-kasus baru, dalam rangka mewujudkan sesuatu yang dipandang maslahah
bagi masyarakat banyak. Lebih dari itu, maslahah yang bersifat umum (general), yang
genuine, yang mendukung terwujudnya tujuan-tujuan Syariah Islam, dan yang tidak
bertentangan dengan nass Syara‘, merupakan dasar, pijakan dan kerangka acuan yang valid
bagi legislasi hukum Islam.29 Menurut Imran Ahsan Khan Nyazee, para ulama (ahli hukum
Islam) bersepakat bahwa maslahah dapat diaplikasikan sebagai alas dasar suatu ketetapan
hukum, dan maslahah ini dapat dijadikan dasar pikiran ketika memperluas ketetapan
hukum itu kepada kasus-kasus baru. Inilah yang merupakan basis doktrin maslahah.30
Konsep maslahah-sebagai inti maqâsid al-syarî‘ah-merupakan alternatif terbaik
untuk pengembangan metode-metode ijtihad, di mana al-Qur’an dan Sunnah harus
dipahami melalui metode-metode ijtihad dengan memberi penekanan pada dimensi
maslahah.31 Konsep maslahah merupakan wahana bagi perubahan hukum. Melalui konsep
ini para ulama fikih memiliki kerangka kerja untuk menangani masalah hukum, yang
inheren di dalam sistem hukum yang didasarkan kepada nass Syara‘ (al-Qur’an dan Hadis),
yang nota bene mengandung fondasi materiil hukum yang terbatas mengenai urusan
kehidupan dalam situasi lingkungan yang terus berubah. Dengan demikian, konsep
maslahah memberi legitimasi bagi aturan hukum baru dan memungkinkan para ulama fikih
mengelaborasi konteks masalah yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘. Seberapa besar
perubahan hukum dapat dicapai melalui aplikasi konsep maslahah tergantung pada,
terutama, pola penalaran hukum berbobot maslahah yang diterapkan para ulama fikih.32
Yusuf al-Qaradawi mengkonstatir bahwa substansi maslahah yang dikehendaki oleh
Syariah Islam untuk ditegakkan dan dipelihara itu merupakan maslahah yang
komprehensif, integral dan holistik, yang mencakup perpaduan maslahah dunyawiyyah dan
maslahah ukhrawiyyah, maslahah maddiyyah dan maslahah rûhiyyah, maslahah fardiyyah
dan maslahah mujtama‘iyyah, maslahah qaumiyyah khâssah dan maslahah insâniyyah
‘âmmah, maslahah hâdirah dan maslahah mustaqbalah. Atas dasar ini, Yusuf al-Qaradawi
menegaskan bahwa konsep maslahah yang menjiwai Syariat Islam, tidak bisa diidentikkan
28 Ahmad Hassan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of the Juridical Principle
of Qiyâs, (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), hlm. 153. 29 Mohammad Hashim Kamali, “ Fiqh and Adaptation to Social Reality “ dalam Jurnal The Muslim
World, 1996, Vol.86, No.1 hlm. 72. 30 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, (New Delhi:
Adam Publishers & Distribution, 1996), hlm. 236-237 31 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1996), hlm. 168. 32 Felicitas Opwis, ”Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory ”, dalam Journal Islamic Law
and Society, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2005), Vol. 12, No. 2, hlm. 183.
7
dengan utilitiarianisme dan pragmatisme, yang nota bene berhulu pada faham
materialisme.33
Sementara itu, patut kiranya dipertanyakan bagaimanakah cara yang meyakinkan
untuk mengetahui al-maqâsid al-syar’iyyah, baik dalam level kulliy maupun juz’iy ?
Menjawab hal ini, al-Syâtibi menggagas pemikiran bahwa al-maqâsid al-syar’iyyah dapat
diketahui dengan cara sebagai berikut. Pertama, memahami tujuan legislasi suatu hukum
melalui logika kebahasaan dari bahasa Arab. Kedua, memahami, secara tekstual sekaligus
secara kontesktual, al-amr dan al-nahy dari teks-teks Syariah yang . Ketiga, memahami
tujuan-tujuan primer (al-maqâsid al-asliyyah) dan tujuan-tujuan sekunder (al-maqâsid al-
taba‘iyyah). Kelima, menerapkan metode induksi (al-istiqrâ’).34
Sementara Yusuf al-Qaradawi mengajukan pandangan tentang cara yang
meyakinkan untuk mengetahui al-maqâsid al-syar’iyyah tersebut. Pertama, meneliti setiap
‘illah (baik mansûsah maupun gair mansûsah) pada teks al-Qur’an dan Hadis. Misalnya
Q.s al-Hadîd/57:25, ayat ini sesungguhnya mempromosikan keadilan sebagai tujuan
seluruh doktrin agama samawi, di mana hal demikian merupakan simpulan dari adanya lâm
ta‘lîl yang menyertai frase ليقوم الناس ابلقسط . Hal yang sama juga terdapat pada Q.s. al-
Hasyr/59:7 (لكي اليكون دولة بني األغنياء منكم), Q.s. al-Anbiyâ’/21/107 (وما أرسلناك إال رمحة للعاملني),
dan al-Baqarah/2:179 (ولكم ىف القصاص حيوة أيوىل األلباب ). Kedua, mengkaji dan menganalisis
hukum-hukum partikular, untuk kemudian menyimpulkan cita pikiran hasil pemaduan
hukum-hukum partikular tersebut.35
Menurut pandangan al-Gazâli, berdasarkan segi ada tidaknya ketegasan justifikasi
Syara’ terhadapnya (syahâdat al-syar’i), maslahah dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)
maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syara’ terhadap penerimaannya (maslahah
mu‘tabarah); (2) maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syara’ terhadap
penolakannya (maslahah mulgah); dan (3) maslahah yang tidak mendapat ketegasan
justifikasi Syara’, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya (maslahah
mursalah).36 Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah dengan trilogi
maslahah mu‘tabarah-maslahah mulgah- maslahah mursalah tetap harus
mempertimbangkan dimensi kepentingan masyarakat dan realitas sosial yang terus berubah
sehingga hukum Islam (Syariah) harus bergerak seiring sejalan dengan perubahan realitas
33 Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1990), hlm. 62. 34 Dalam kaitan ini, al-Syâtibi menguraikan mutiara pikirannya tentang teori maqâsid al-syarî‘ah
dalam bagian khusus yang diberi tajuk “Kitâb al-Maqâsid”. Lihat Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl
al-Syarî‘ah, , hlm. Jilid I, Juz ke-2, hlm. 3-313. Bandingkan dengan Ahmad al-Raisûniy, Nazariyyat al-
Maqâsid ‘ind al-Imâm al-Syâtibi, (Beirut: al-Ma’had al-‘Âlamiy li al-Fikr al-Islâmiy), hlm. 295-314; dan
Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abû Ishaq al-Shâtibi’s Life and Thought,
(New Delhi: International Islamic Publishers, 1989), hlm. 221-225; dan Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-
Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M), hlm. 16-20; dan Jamâl
al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâsid al-Syarî‘ah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hlm. 15-27. 35 Yusuf al-Qaradawi, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran
Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 23-25. 36 Abu Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,
1417 H/1997 M), Juz ke-1, hlm. 414.
8
sosial yang terjadi, yang pada gilirannya fleksibilitas hukum Islam (Syariah) dapat
dipertahankan.37
Di sisi lain, al-Gazâli juga mengkategorisasi maslahah berdasarkan segi kekuatan
substansinya (quwwatiha fi dzâtiha), di mana maslahah itu dibedakan menjadi tiga, yaitu
(1) maslahah level darûrât, (2) maslahah level hâjât, dan (3) maslahah level
tahsînat/tazyînat. Masing-masing bagian disertai oleh maslahah penyempurna/pelengkap
(takmilah/tatimmah). Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-usûl al-khamsah) yang
berada pada level darûrât merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahah. Kelima
tujuan/prinsip dasar mencakup (1) memelihara agama (hifz al-dîn), (2) memelihara jiwa
(hifz al-nafs), (3) memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql), (4) memelihara keturunan (hifz al-
nasl), dan (5) memelihara harta kekayaan (hifz al-mâl).38 Pandangan al-Gazâli tentang al-
usûl al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihâb al-Dîn al-Qarafi (w. 684 H) dengan
menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi, yakni memelihara kehormatan diri (hifz al-
‘ird) meskipun diakui sendiri oleh al-Qarafi bahwa hal ini menjadi bahan perdebatan para
ulama.39 Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya nass Syara‘ yang secara
eksplisit melarang al-qadzf (tindakan melemparkan tuduhan palsu zina terhadap orang lain)
dan sekaligus mengkriminalisasinya (Q.s. al-Nûr/24:4 dan 23).
Dalam pemikiran ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) maslahah dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu (1) maslahah yang terkandung dalam urusan yang bersifat
boleh/halal (masâlih al-mubâhât), (2) maslahah yang terkandung dalam urusan yang
bersifat sunnat (masâlih al-mandûbât), dan (3) maslahah yang terkandung dalam urusan
yang bersifat wajib (masâlih al-wâjibât). Sedangkan mafsadah dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu (1) mafsadah yang terkandung dalam urusan yang bersifat makruh
(mafâsid al-makrûhât) dan (2) mafsadah yang terkandung dalam urusan yang bersifat
haram (mafâsid al-muharramât).40
Lebih dari itu, al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm memandang maslahah itu dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu (1) maslahah dalam arti denotatif (haqîqiy), yakni kesenangan
dan kenikmatan, dan (2) maslahah dalam arti konotatif (majâziy), yakni media yang
mengantarkan kepada kesenangan, kebaikan dan kenikmatan. Bisa saja terjadi bahwa media
yang mengantarkan kepada maslahah itu berupa mafsadah, sehingga mafsadah ini
diperintahkan atau dibolehkan, bukan lantaran statusnya sebagai mafsadah, tetapi sebagai
sesuatu yang mengantarkan kepada maslahah.41
Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ menandaskan bahwa dengan mengacu pada
batasan maslahah, dapat dibedakan dua kategori maslahah. Pertama, maslahah ‘ammâh,
yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap
37 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, (New Delhi: Markazi
Maktaba Islami, 1985), hlm. 160. 38Abu Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Juz ke-1, hlm. 417. 39 Syihâb al-Dîn al-Qarafi, Syarh Tanqîh al-Fusûl fi Ikhtisâr al-Mahsûl fi al-Usûl, (Mesir: al-
Matba‘ah al-Khairiyyah, 1307 H) sebagaimana dikutip dalam ‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Ali ibn
Rabî‘ah, ‘Ilm Maqâsid al-Syâri‘, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 1423 H/2002), hlm. 63. 40 ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, (Beirut: Dâr al-Jail, 1400
H/1980 M), Juz ke-1, hlm. 9. 41 ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Juz ke-1, hlm. 14.
9
masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan-satuan individu dari
mereka. Kedua, maslahah khâssah, yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan
kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat individuil; dari yang bersifat individuil ini akan
mengarah kepada kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat kolektif (publik).42
Dalam pemikiran Najm al-Dîn al-Tûfi maslahah dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu maslahah dalam arti ‘urfi dan maslahah dalam arti syar’i. Menurut al-Tûfi
yang disebut pertama ialah hal penyebab yang membawa kepada kebaikan dan
kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan penyebab yang membawa kepada
keuntungan; sedang yang disebut terakhir ialah penyebab yang membawa kepada tujuan al-
Syâri’, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah. Di sisi lain, al-Tûfi membedakan
maslahah itu menjadi dua macam: (1) maslahah yang dikehendaki al-Syâri’ untuk hak-
Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2) maslahah yang dikehendaki al-Syâri’ untuk
kebaikan makhluk-Nya dan keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.43
Abû Ishâq al-Syâtibi mengkategorisasi maslahah menjadi 3 (tiga) macam, yaitu (1)
darûriyyah, (2) hâjiyyah, dan (3) tahsîniyyah. Lebih jauh al-Syâtibi menjelaskan bahwa
darûriyyah ialah sesuatu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya kebaikan dan
kesejahteraan, baik menyangkut urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, di mana
manakala ia lenyap, tidak ada, maka tidak dapat terwujud kehidupan duniawi yang tertib
dan sejahtera; bahkan, yang terwujud ialah kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan
ukhrawi yang celaka dan menderita.. Bagi al-Syâtibi, darûriyyah itu mencakup upaya-
upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta
kekayaan, dan memelihara akal budi.44
Adapun hâjiyyah, dalam pandangan al-Syâtibi, ialah sesuatu yang dibutuhkan dari
sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan kesempitan yang
biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusahpayahan yang diringi dengan luputnya
tujuan/sasaran. Apabila hâjiyyah tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran dan
kesusahpayahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada
maslahah darûriyyah, yang bersifat umum. Kategori hâjiyyah sesungguhnya mengarah
kepada penyempurnaan darûriyyah, di mana dengan tegaknya hâjiyyah, akan lenyap segala
masyaqqah dan tercipta keseimbangan dan kewajaran, sehingga tidak menimbulkan
ekstrimitas (ifrât wa tafrît).45
Sedangkan tahsîniyyah, menurut pendapat al-Syâtibi, ialah sesuatu yang berkenaan
dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari kebiasaan-
kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat. Hal ini sering disebut dengan
makârim al-akhlâq. Bagi al-Syâtibi, keberadaan tahsîniyyah bermuara kepada kebaikan-
42 Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ, al-Ra’yu wa Atsaruhu fi Madrasat al-Madînah: Dirâsah
Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat al-Syarî‘ah li Kulli Zamân wa Makân, (Beirut: Mu’assasat al-
Risâlah, 1405 H/1985 M), hlm. 338. 43 Najm al-Dîn al-Tûfi, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah, hlm. 19, sebagaimana dimuat sebagai
lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (t.tp.: Dâr al-Fikr
al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M), hlm. 211. 44 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th.), Jilid I, Juz ke-2, h. 7-13. 45 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Jilid I, Juz ke-2, h. 9-14.
10
kebaikan yang melengkapi prinsip maslahah darûriyyah dan maslahah hâjiyyah; ini karena
ketiadaan tahsîniyyah tidak merusak urusan darûriyyah dan hâjiyyah; ia hanya berkisar
pada upaya mewujudkan keindahan, kenyamanan dan kesopanan dalam tata hubungan sang
hamba dengan Tuhan dan dengan sesama makhluk-Nya.46
Dalam pada itu, Tâhir ibn ‘Âsyûr berpendapat bahwa maslahah dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘ammâh dan maslahah khâssah. Yang disebut pertama
ialah sesuatu yang mengandung kebaikan/kemanfaatan bagi seluruh masyarakat atau
mayoritas masyarakat, seperti pemeliharaan harta benda dari bahaya kebakaran dan
tenggelam. Jenis maslahah ‘ammâh inilah yang merupakan perhatian sebagian besar
legislasi al-Qur’an dan Sunnah.47
Husain Hâmid Hisân menyimpulkan bahwa maslahah yang macam (nau’)-nya atau
genus (jins)-nya tidak diakui oleh nass syara’ merupakan maslahah yang palsu, yang
ditolak; hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Seiring dengan itu, maslahah yang
diyakini al-Tûfi tidak berbeda dengan macam (nau’) maslahah yang palsu, yang ditolak
tersebut; hanya ia lebih mengistimewakan dan mengutamakan maslahah ini ketimbang nass
Syara’ dan Ijmâ‘ ulama.48
‘Abdullah Yahya al-Kamâli berpendapat bahwa dalam rangka pengembangan
hukum Islam, harus dipahami 3 (tiga) model kategorisasi maslahah. Pertama, kategorisasi
maslahah yang meliputi maslahah mu‘tabarah, maslahah mulgah, dan maslahah mursalah.
Kedua, kategorisasi maslahah yang mencakup al-masâlih al-darûriyyâh, al-masâlih al-
hâjiyyâh, dan al-masâlih al-tahsîniyyah. Ketiga, kategorisasi maslahah yang terdiri atas
maslahat al-dîn, maslahat al-nafs, maslahat al-‘aql, maslahat al-nasl, dan maslahat al-
mâl.49
Penting untuk dibedakan dua domain aplikasi maslahah untuk legislasi hukum
Islam. Pertama, kasus-kasus dan masalah-masalah yang dicakup oleh nass Syara‘ dan
diberikan aturan hukum relatif rinci olehnya. Kedua, kasus-kasus dan masalah-masalah
yang tidak dicakup oleh nass Syara‘ yang spesifik dan tidak diatur secara rinci olehnya.
Yang ramai dan gencar diwacanakan oleh para pakar hukum Islam ialah domain yang
disebut pertama. Sedangkan domain kedua tetap diwacanakan oleh mereka, tetapi tidak
seramai dan segencar yang pertama.50
Adagium bahwa Syariah Islam itu adalah Syariah maslahah, telah diterima oleh
hampir segenap umat Islam, baik kalangan ulama maupun kalangan awam. Proposisi yang
kerap dikemukakan mereka sehubungan dengan hal tersebut, antara lain, ialah: “ Syariah
Islam itu datang membawa misi realisasi maslahah dan eliminasi madarrah “; “ Syariah
Islam itu intinya mendatangkan kemanfaatan dan mencegah kerusakan “; “Syariah Islam itu
46 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Jilid I, Juz ke-2, h. 9-10. 47 Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm,
1427 H/2006 M), hlm. 63. 48 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-
‘Arabiyyah, 1971), hlm. 608. 49 Lihat ‘Abdullah Yahya al-Kamâli, Maqâsid al-Syarî‘ah fi Dau’ Fiqh al-Muwâzanât, (Beirut: Dâr
Ibn Hazm, 1421 H/2000 M), hlm. 26-28, 111-116, dan 147-164. 50 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 29.
11
datang membawa misi realisasi dan maksimalisasi maslahah serta misi eliminasi dan
minimalisasi madarrah “; “ Syariah Islam itu diciptakan (oleh Allah) untuk mewujudkan
maslahah bagi hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak “; “Syariah Islam
itu dibangun dan dilandaskan pada alas hikmah dan maslahah bagi umat manusia, ia
sepenuhnya mengandung keadilan (al-‘adâlah), kasih sayang (al-rahmah), dan maslahah;
dan “ Di mana saja didapati maslahah, di situlah hukum Allah, dan di mana saja ada
hukum Allah, di situlah didapati maslahah”.51
Adagium bahwa maslahah itu adalah Syariah Islam52, termanifestasikan pada
sejumlah teori dan legal maxim hukum Islam yang berhulu dari dan bermuara kepada
maslahah.53 Sedangkan sebagai contoh legal maxim hukum Islam, yakni : (i) al-asl fi al-
manâfi‘ al-hill wa fi al-madârr al-man‘u, (ii) lâ darar wa lâ dirâr; (iii) al-darar yuzâl, (iv)
yutahammal al-darar al-khâss li daf‘ al-darar al-‘âmm, (v) al-darar al-asyadd yuzâl bi al-
darar al-akhaff , (vi) tasarruf al-imâm ‘ala al-ra‘iyyah manût bi al-maslahah.54
Tidak dapat dipungkiri bahwa Syariah Islam tidak memiliki tujuan kecuali realisasi
maslahah bagi manusia. Semua nass dan aturan hukumnya hanya bertujuan realisasi
maslahah sekaligus eliminasi mafsadah. Atas dasar ini, Ahmad al-Raisûni mengajukan
proposal model aplikasi maslahah dalam pengembangan hukum Islam. Menurut Ahmad al-
Raisûni, merupakan suatu keharusan untuk meresponi semua nass dan aturan hukum
Syariah Islam dengan model pemahaman yang berorientasi maslahah (al-fahm al-maslahiy)
dan model penerapan yang juga berorientasi maslahah (al-tatbîq al-maslahiy). Inilah yang
dinamakan respon yang berorientasi maslahah (al-ta‘âmul al-maslahiy ma‘a al-nusûs),
yang nota bene menyingkirkan respon yang mengasumsikan adanya kontradiksi nass
dengan maslahah, dan juga menggusur respon yang mengasumsikan nass yang nihil
maslahah, seperti yang diasumsikan oleh aliran literalis-skripturalistik-reduksionistik.55
Dalam pandangan Ahmad al-Raisûni, isu respons berorientasi maslahah terhadap
nass Syara‘ meliputi: (1) kualifikasi maslahah dengan parameter nass Syara‘; (2)
interpretasi beorientasi maslahah terhadap ass (al-tafsîr al-maslahiy li al-nusûs); dan (3)
aplikasi berorientasi maslahah terhadap nass (al-tatbîq al-maslahiy li al-nusûs).
Mengenai isu kualifikasi maslahah dengan parameter nass Syara‘, Ahmad al-
Raisûni menjelaskan bahwa semua nass Syara‘ bermuatan nilai-nilai ‘adâlah, rahmah, dan
maslahah. (Perhatikan Q.s. al-Anbiyâ’/21:107). Maka dari itu, tiada sikap yang bisa
dipegang melainkan memposisikan nass-nass Syara‘ sebagai parameter untuk
51 Lihat Muhammad Sa‘îd Ramadan al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
(Beirut: al-Dâr al-Muttahidah dan Mu’assasat al-Risâlah, 1421 H/2000 M), hlm. 6, 8, 9, dan 13-22. 52 Adagium ini maksudnya bahwa di mana saja didapati maslahah, di situlah ada hukum Allahlm.
Dalam kaitan ini pula al-Gazâli menyatakan: “ Kadang kami menjadikan maslahah sebagai penanda hukum,
dan kadang kami menjadikan hukum sebagai penanda maslahahlm.” Lihat Ahmad al-Raisûni dan
Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd : al-Nass, wa al-Wâqi‘, wa al-Maslahah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422
H/2002 M), hlm. 32-33. 53 Lihat Husain Hâmid Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut; Dâr al-Nahdah
al-‘Arabiyyah, 1971), hlm. 50, 220, 258, dan 322. 54 Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, Qawâ‘id al-Maqâsid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi :
‘Aradan wa Dirâsatan wa Tahlîlan, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 84-87. Buku ini semula merupakan
disertasi doktor ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, yang juga menjabat Guru Besar Ilmu Hukum Islam di
Universitas Mu’tah, Yordania. 55 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 50.
12
mengidentifikasi dan mengkualifikasi maslahah, membedakan (diferensiasi) maslahah
dengan mafsadah, membedakan (diferensiasi) maslahah yang tinggi dengan maslahah yang
rendah, serta membedakan maslahah yang esensial dengan maslahah yang komplementer.56
Mengenai isu interpretasi berorientasi maslahah terhadap nass (al-tafsîr al-maslahiy
li al-nusûs), Ahmad al-Raisûni mengemukakan bahwa hal itu mengandung arti, yakni
meneliti dan mengkaji tujuan-tujuan hukum (maslahah) yang menjiwai nass Syara‘, dan
yang dikandung aturan-aturan hukumnya, untuk kemudian memahami nass Syara‘,
mengeluarkan saripati makna dan pesannya yang sejalan dengan tujuan-tujuan hukum
(maslahah) tersebut. Model interpretasi ini sesungguhnya tiada lain merupakan aplikasi
dari prinsip yang aksiomatik: “Syariah Islam sepenuhnya maslahah dan sepenuhnya
rahmah (kasih sayang) “.57
Mengenai isu aplikasi berorientasi maslahah terhadap nass, Ahmad al-Raisûni
menegaskan bahwa hal demikian merupakan derivasi dan pengembangan dari interpretasi
beorientasi maslahah terhadap nass. Hal ini juga pada gilirannya mengeliminasi/menegasi
prasangka kontradiksi antara nass Syara‘ dan maslahah. Aplikasi berorientasi maslahah
terhadap nass mengandung arti, yakni memperhatikan tujuan hukum dan maslahah yang
dikandung nass Syara‘ ketika menerapkan (“membumikan”) nass Syara‘ tersebut. Hal ini
menuntut suatu pola “membumikan” nass Syara‘, suatu kerangka acuan yang menentukan
kapan nass itu diterapkan dan kapan ia tidak diterapkan, serta kapan sesuatu itu
dikecualikan dari cakupan nass itu.58
Aplikasi Maslahah dalam Kriminalisasi Pencucian Uang
Indonesia jelas harus memperhatikan desakan internasional untuk segera
mempunyai instrumen hukum anti-pencucian uang. Desakan itu datang dari, antara lain,
IMF (International Monetary Fund), World Bank dan Asian Developmen Bank (ADB),
terutama terkait dengan keadaan ekonomi Indonesia yang memerlukan, baik bantuan dana
maupun investasi asing.59 Sementara itu, dunia internasional telah bersepakat untuk
mencegah dan memberantas praktik pencucian uang dengan cara mengadakan kerja sama
internasional dalam berbagai forum. Indonesia mau tak mau harus mengikuti dinamika
pembentukan dan penguatan rezim anti-pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam
badan-badan atau organisasi internasional.60
Dalam mengucurkan bantuannya, IMF selalu memasukkan klausul atau persyaratan
bahwa negara-negara yang akan dibantu tersebut harus berpartisipasi aktif memberantas
korupsi. Seiring dengan itu, ADB juga memberikan tekanan pada Indonesia agar segera
melakukan kriminalisasi pencucian uang, dalam rangka kelanjutan pencairan pinjaman
sebesar 140 juta US Dollar.61 Perhatian IMF dan World Bank terhadap praktik pencucian
56 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 51. 57 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 53. 58Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 55. 59 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 8. 60 Tb. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang ((Money Laundering), (Jakarta: MQS
Publishing & AYYCCS Group, 2006. 61 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 8.
13
uang tercermin dalam tindakan kedua lembaga tersebut yang menyetujui 40
Recommendations FATF (The Financial Action Task Force on Money Laundering)
berkenaan dengan standar internasional untuk memerangi pencucian uang.62
Kriminalisasi pencucian uang dan penerapannya mendesak untuk segera
dilaksanakan di Indonesia walaupun pada kenyataannya Indonesia memerlukan dana
investasi yang sangat besar. Apabila tidak segera melakukan kriminalisasi pencucian uang
maka tidak mustahil Indonesia akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat keuangan
internasional. Hal ini akan berdampak buruk, misalnya bisa terkena sanksi internasional
berupa larangan bagi masyarakat bisnis internasional untuk mengadakan transaksi finansial
dengan perbankan Indonesia.63
Desakan internasional terhadap Indonesia berwujud, antara lain, dengan
dimasukkannya Indonesia oleh FATF-pada tahun 2001-ke dalam daftar hitam Non-
Cooperative Countries and Territories (NCCT) dalam memberantas kejahatan pencucian
uang. Dalam rangka meresponi kunjungan observasi FATF untuk melihat kesiapan
Indonesia dalam memberantas kejahatan pencucian uang, sambil menunggu lahirnya UU
Anti-Pencucian Uang, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No. 3/10/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer).64
Pencegahan dan pemberantasan aktivitas money laundering (pencucian uang) dapat
dilakukan melalui pendekatan pidana (penal) dan pendekatan bukan-pidana (non-penal).
Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan aktivitas money laundering
(pencucian uang) merupakan pelaksanaan amanat PBB yang tertuang dalam The UN
Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988
(Vienna Convention 1988), yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7
Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara
penandatangan diharuskan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang.65 Dalam
perkembangannya kemudian, pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan kriminalisasi
pencucian uang melalui UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
25 Tahun 2003.66 Diamandemennya UUPU pada tahun 2003 didasarkan pada alasan, antara
62 FATF adalah suatu satuan tugas khusus internasional dalam rangka penegakan hukum anti-
pencucian uang, yang dibentuk oleh KTT G-7 di Paris, Perancis, pada tahun 1989. Salah satu tugas pokok
penting FATF ialah mengembangkan 40 Rekomendasi yang digunakan sebagai pedoman untuk mengukur
kinerja rezim anti-pencucian uang di setiap negara peserta yang berjumlah 29 negara dan wilayah yurisdiksi
termasuk negara-negara Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia, Komisi Eropa, dan Dewan Kerjasama
Negara-Negara Teluk, lihat Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the
Financing Terrorism, (Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003), hlm. 4 63 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 8. 64 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Libarary,
2007), hlm. 96. Selain Indonesia, ada 16 negara lainnya yang masuk dalam daftar hitam dimaksud, yaitu
Rusia, Filipina, Kepulauan Nauru, Kepulauan Cook, Dominica, Mesir, Guatemala, Hongaria, Israel, Lebanon,
Kepulauan Marshall, Myanmar, Nigeria, Niue, St. Kitt and Nevis, dan St. Vincent and Granadines. Lihat
Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 9. 65 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, hlm. 95. 66 yakni UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang. Untuk selanjutnya terkadang digunakan istilah Undang-Undang Pencucian Uang
(UUPU) untuk menunjuk kepada undang-undang dimaksud.
14
lain, adanya penilaian kalangan internasional terhadap UUPU tersebut sebagai perangkat
yuridis yang belum memenuhi standar internasional rezim anti-pencucian uang.67
Hal terpenting dari Vienna Convention 1988 tersebut adalah substansi yang
mengokohkan terbentuknya International Anti-Money Laundering Legal Rezime, yang
merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapakn rezim hukum internasional
baru. Rezim ini pada dasarnya bertujuan memberantas pencucian uang dengan strategi
untuk memerangi hasil kejahatan (proceeds of crime). Di samping itu, rezim hukum
internasional anti-pencucian uang ini menentukan pula arah kebijakan untuk melakukan
kriminalisasi pencucian uang dengan standar-standar tertentu yang tetap memberi tempat
untuk kedaulatan hukum negara-negara pihak peserta (state souvereignity).68
Legislasi UUPU di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, merupakan bukti
adanya perhatian besar Pemerintah RI terhadap pencucian uang sebagai kejahatan lintas
negara (transnational crimes). Kehadiran UUPU itu memberikan landasan hukum yang
kokoh dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
sekaligus bukti nyata komitmen Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional
bahu-membahu menangkal setiap bentuk kejahatan money laundering dalam berbagai
dimensinya. Besarnya perhatian Pemerintah RI terhadap tindak kejahatan ini, terutama,
karena besarnya dampak yang ditimbulkan, antara lain, berupa instabilitas sistem keuangan,
distorsi ekonomi, dan kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang yang
beredar.69
Money Laundering pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap
pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan
negara RI, bahkan dunia internasional. Money Laundering sering didentifikasi sebagai salah
satu bentuk dari kejahatan terorganisasi (organized crime), kejahatan lintas negara
(transnational crime), kejahatan “kerah putih” (white collar crime), dan kejahatan
korporasi (corporate crime).70 Dengan mengacu pada alur proses kriminalitasnya, kejahatan
pencucian uang (money laundering) sesungguhnya merupakan suatu kejahatan pada posisi
hilir, di mana hulunya merupakan berbagai macam kejahatan yang disebut sebagai
predicate crimes.71
Hasil kajian yang komprehensif menyimpulkan bahwa unsur-unsur money
laundering itu meliputi: (1) unsur “act”, yakni conversion, transfer, or concealment of the
true elements of ownership of property, or acquisition or use of property, or assisting, or
counseling; (2) unsur “knowledge”, yakni that the property is derived from one or specified
types of underlying criminal activity; dan (3) unsur “objective”, yakni to conceal the illicit
67 Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), (Jakarta: Pensil-324, 2006),
hlm. xv. 68 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, hlm. 45. 69 Kairo Silalahi, Optimalisasi Peranan Penyedia Jasa Keuangan dalam Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.
iii. (Tesis tidak diterbitkan). 70 M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), (Malang: Bayumedia
Publishing, 2004), hlm. 13. 71 Mengenai kejahatan apa saja yang termasuk predicate crimes telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002.
15
origin of the property, or to assist a person involved in underlying activity in evading the
consequences of discovery of the activity.72
Ketiga unsur itu sudah diakomodasi dalam rumusan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3
ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003. Namun, ada sedikit perbedaan redaksional dan
penempatan unsur ke-(3). Dalam Pasal 1 angka 1 unsur ke- (3) dirumuskan dengan kalimat
“dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah“. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat
(1) dirumuskan dengan kalimat “dengan maksud untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana”. Dalam analisisnya, Barda Nawawi Arief mengusulkan
agar unsur ke-(3) dalam Pasal 3 ayat (1) disinkronisasikan dengan redaksi Pasal 1 angka1.
Di samping itu, dalam Pasal 1 angka 1 , unsur ke-(3) menjadi unsur umum untuk semua
varian pencucian uang; sedang dalam Pasal 3 ayat (1) terkesan hanya menjadi unsur untuk
varian tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 3 ayat (1) huruf g, walaupun mungkin
maksud pembuat undang-undang tidak demikian.73
Dalam Pasal 1 UUPU dinyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,
menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan
lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak
pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dari pengertian atau
batasan “pencucian uang” dalam Pasal 1 angka 1 ini terlihat jelas unsur-unsur sebagai
berikut. Pertama, perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan. Kedua, yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana. Ketiga, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang
sah. Lebih dari itu, pengertian/batasan Pasal 1 angka 1 itu memberi kesan kuat bahwa yang
dimaksud dengan “pencucian uang” identik dengan “tindak pidana pencucian uang” yang
dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003.
Menurut pandangan Barda Nawawi Arief, rumusan pengertian istilah “pencucian
uang” dalam Pasal 1 angka 1 tersebut seyogianya ditinjau kembali. Rumusan tersebut
terlalu panjang dan sudah mirip dengan rumusan delik karena menyebutkan semua unsur
delik “pencucian uang”. Padahal fungsi Pasal 1 (dalam Bab I yang bertajuk Ketentuan
Umum) seharusnya hanya memberi penjelasan arti (maksud) dari suatu istilah atau unsur
yang disebut dalam rumusan delik atau pasal-pasal lain dalam bab lain. Jadi, fungsinya
bukan menyebutkan semua unsur delik, tetapi sekadar memberi arti salah satu unsur delik.
72 Stephen S. Kroll, “ Money Laundering: A Concept Paper Prepared for the Government of
Bulgaria “, sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 220. 73 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 221.
16
Di samping itu, pengertian/batasan “pencucian uang” dalam Pasal 1 angka 1 memberi
kesan hanya Pasal 3 ayat (1) yang menunjuk atau identik dengan “tindak pidana pencucian
uang”. Padahal delik dalam Pasal 6 ayat (1)-yang merupakan pasangan dari Pasal 3 ayat
(1)-juga sebenarnya termasuk tindak pidana pencucian uang. Lebih dari itu, istilah
“pencucian uang” disebut dalam berbagai pasal, tidak hanya dalam Pasal 3 ayat (1), yakni
Pasal 4, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 33, Pasal 37, Pasal 38, Pasal
40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 44. Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah
“pencucian uang” dalam pasal-pasal itu ialah semua tindak pidana yang diatur dalam Bab II
dan Bab III UU No. 25 Tahun 2003. Maka dari itu, formulasi Pasal 1 angka 1 patut dikaji
ulang. 74
Dalam rezim anti-pencucian uang dikenal adanya tindak pidana asal (predicate
crime), yang menghasilkan harta kekayaan, yang kemudian dijadikan obyek tindak pidana
pencucian uang. Menurut UUPU, tindak pidana asal tersebut mencakup tindak pidana-
tindak pidana: (a) korupsi, (b) penyuapan, (c) penyelundupan barang, (d) penyelundupan
tenaga kerja, (e) penyelundupan imigran, (f) perbankan, (g) pasar modal, (h) asuransi, (i)
narkotika, (j) psikotropika, (k) perdagangan manusia, (l) perdagangan senjata gelap, (m)
penculikan, (n) terorisme, (o) pencurian, (p) penggelapan, (q) penipuan, (r) pemalsuan
uang, (s) perjudian, (t) prostitusi, (u) perpajakan, (v) kehutanan, (w) lingkungan hidup, (x)
kelautan, dan (y) tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)
tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah
Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.75
Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan
menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada
tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi
semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara
sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung
dari kebutuhan pelaku tindak pidana.76 Modus operandi kejahatan pencucian uang dapat
dikemukakan, antara lain sebagai berikut. Pertama, modus loan back, yakni dengan cara
meminjam uang si pelaku sendiri; dan modus ini mengambil 3 (tiga) bentuk, yaitu direct
loan, back to loan, dan parallel loan.77 Kedua, modus transaksi dagang internasional, yakni
menggunakan sarana dokumen L/C. Ketiga, modus penyelundupan uang tunai atau sistim
bank paralel ke negara lain, yakni menyelundupkan sejumlah fisik uang ke luar negeri,
yang sering melalui electronic transfer. Keempat, modus real estate carousel, yakni
74 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, hlm. 202 dan 216-218. 75 Pasal 2 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 76 Lihat PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
bagi Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 6 77 Maksud dari direct loan ialah dengan cara meminjam dari perusahaan luar negeri (semacam
perusahaan bayangan, yang direksinya dan pemegang sahamnya si pelaku sendiri; back to loan adalah dengan
cara meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya; parallel loan adalah pembayaran internasional
yang memperoleh asset di luar negeri, di mana lantaran ada hambatan restriksi mata uang dicarilah
perusahaan lain di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu dipertukarkan satu
sama lain. Lihat Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), hlm. 18.
17
dengan cara menjual properti beberapa kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang
sama. Kelima, modus operasi c-hase, yakni menyimpan dana dalam batas jumlah yang tak-
wajib lapor, kemudian mengkonversinya menjadi certificate of deposit untuk mengambil
loan dalam jumlah dana yang sama di negara yang terkenal dengan tax haven-nya, seperti
Karibia. Keenam, modus investasi tertentu, yakni melakukan investasi di bidang yang sama
sekali jauh dari keumuman, misalnya bisnis lukisan atau barang antik. Ketujuh, modus over
invoices atau dub invoices, yakni dengan cara mendirikan perusahaan ekspor impor di
negara pelaku sendiri. Kedelapan, modus perdagangan saham. Kesembilan, modus pizza
connection, yakni dengan cara menginvestasikan sebagian dana hasil kejahatan untuk
mendapatkan konsesi pizza dan sebagian dana lagi diinvestasikan di Karibia dan Swiss.
Kesepuluh, modus LA Mina, yakni menyerahkan dana hasil kejahatan kepada pedagang
grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat, untuk disimpan dalam kotak kemasan
emas dan kemudian dikirim sebagai produk ekspor kepada pedagang perhiasan anggota
sindikat itu. Kesebelas, modus deposit talking, yakni mendirikan perusahaan keuangan
seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Kanada. Keduabelas, modus identitas palsu,
yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutihan uang hasil kejahatan
melalui fasilitas perbankan dengan nama, alamat, dan keterangan diri yang palsu.78
Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, tetapi pada
dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan, yaitu
placement, layering, dan integration.79
Pertama, placement (penempatan), yakni upaya menempatkan dana yang dihasilkan
dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama
bank. Pada tahap placement ini, bentuk dari uang hasil kejahatan dikonversi untuk
menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang dperoleh dari
perdagangan narkoba yang pada umumnya berupa uang-uang yang berdenominasi kecil-
kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan lebih berat dari narkobanya sendiri,
dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar, dan kemudian uang itu
dimasukkan langsung ke dalam suatu rekening, atau digunakan untuk membeli sejumlah
instrumen-instrumen moneter, kemudian menagih uang tersebut dan memasukkannya ke
dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat ditempatkan pada
satu bank maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan,
bahkan kemudian uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan global. Bentuk kegiatan
pada tahap ini antara lain: (i) menempatkan dana pada bank, dan kadang-kadang kegiatan
ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan; (ii) menyetorkan uang pada PJK sebagai
pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; (iii) Menyelundupkan uang tunai dari
suatu negara ke negara lain; (iv) membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait
dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi
kredit/pembiayaan; dan (v) membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk
78 Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), hlm. 18-21. 79 John Madinger, Sydney A. Zalopany, Money Laundering: A Guide for Criminal Investigators,
(Florida: CRC Press, 1999), hlm. 15.
18
keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah
kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.80
Kedua, layering (transfer) atau disebut juga heavy soaping, yakni upaya
memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya (tindak pidananya) melalui beberapa
tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.
Dalam tahap ini pihak launderer berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil
kejahatan itu dari sumbernya. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut
dari satu bank ke bank yang lain dan dari negara yang satu ke negara yang lain hingga
beberapa kali, yang seringkali pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah
jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usul uang
tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter atau para aparat penegak
hukum. Pihak launderer melakukannya dengan mengkonversi atau memindahkan dana
tersebut menjauh dari sumbernya, dengan cara menyalurkannya, antara lain, melalui aksi
pembelian dan penjualan investment instruments, mendirikan perusahan ‘gadungan’
(dummy company), pembayaran barang dan jasa agar terlihat sebagai transaksi yang sah.
Dalam tahap layering ini, pihak launderer melakukan upaya pendirian perusahan-
perusahaan ‘gadungan’ di negara yang tidak ketat aturan kerahasiaan banknya atau yang
tidak punya undang-undang anti-pencucian uang atau yang lemah dalam penegakan hukum
anti-pencucian uang. Uang tersebut kemudian ditransfer di antara perusahaan-perusahaan
‘gadungan’ tersebut sehingga muncul seolah-olah sebaga uang yang bersih atau ‘halal’.
Pada tahap ini juga ada upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana
(dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama
bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain
(terutama bank) sehingga akan menjadi sulit bagi aparat penegak hukum untuk dapat
mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut. Dalam kegiatan ini terdapat proses
pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke
tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan
dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: (i) transfer
dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara; (ii) penggunaan simpanan
tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah; (iii) memindahkan uang tunai
lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.81
Ketiga, integration atau disebut pula spin dry, yakni upaya menggunakan harta
kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam
berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai
kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Pada
tahap ini ada upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang
80 Lihat Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the Financing
Terrorism, (Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003), hlm. 10-11; dan Sutan Remy Sjahdeini,
Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2004); dan PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi
Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 4-5. 81 IBRD, The World Bank, and IMF, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combating the
Financing of Terrorism, (Washington DC: The World Bank, 2006), hlm. 8.
19
telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga
seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal
atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Pada tahap ini pula, uang yang telah
‘dicuci’ dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang ‘bersih’, bahkan
merupakan obyek pajak. Pihak launderer biasanya menginvestasikan dana tersebut ke
dalam bisnis real estate, barang-barang mewah, dan perusahaan-perusahaan.82
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil
yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya
adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya
dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi
secara terpisah atau simultan, tetapi umumnya dilakukan secara tumpang tindih.
Kegiatan money laundering membawa dampak-dampak yang sangat merugikan
masyarakat dan negara. Pertama, merongrong stabilitas keuangan negara. Kedua,
menurunkan pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak. Ketiga, merongrong sektor
bisnis swasta yang sah. Keempat, merongrong integritas pasar keuangan. Kelima,
melemahkan kontrol pemerintah atas kebijakan ekonominya. Keenam, menimbulkan
distorsi dan instabilitas ekonomi. Ketujuh, membahayakan program privatisasi BUMN
yang dijalankan Pemerintah. Kedelapan, mendegradasi reputasi negara di dalam pergaulan
internasional. Kesembilan, menimbulkan biaya sosial yang tinggi.83
Sementara itu, IMF (International Monetary Fund) melaporkan bahwa
konsekuensi-konsekuensi ekonomi dari money laundering adalah:
1. terjadinya kesalahan kebijakan karena terjadinya kesalahan pengukuran data statistik
ekonomi makro sebagai akibat kegiatan money laundering;
2. terjadinya volatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer
dana lintas batas yang tidak terantisipasi;
3. perkembangan dari liability base yang tidak stabil dan struktur-struktur aset yang tidak
sehat dari lembaga-lembaga keuangan atau kelompok-kelompok dari lembaga-lembaga
keuangan tersebut, telah menimbulkan risiko berupa krisis yang sistemik dan pada
gilirannya mengakibatkan ketidakstabilan moneter;
4. Dampak dari pengumpulan pajak dan dari alokasi pembelanjaan publik karena terjadinya
pelaporan yang direkayasa dan pelaporan mengenai pendapatan yang dibuat lebih rendah
daripada jumlah yang sesungguhnya;
5. misalokasi dari sumber-sumber daya karena terjadinya distorsi nilai aset dan harga-harga
komoditas sebagai akibat kegiatan pencucian uang; dan
82 Lihat PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
bagi Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 4-5; dan Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm.33-
36; 83 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “ Pencapaian Stabilitas Perekonomian Nasional Melalui Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “, dalam Emmy Yuhassarie, (eds.), Tindak
Pidana Pencucian Uang: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan
Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 62.
20
6. dampak-dampak tidak sehat terhadap transaksi-transaksi yang sah sebagai akibat
kemungkinan dikaitkannya transaksi-transaksi itu dengan kejahatan.84
Sebagai suatu fenomena kejahatan modern, tindak pidana pencucian uang memiliki
sejumlah varian. Dalam UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002, diungkapkan
varian-varian dimaksud. Menurut pendapat J.E. Sahetapy, pada dasarnya suatu ketentuan
pidana menurut undang-undang terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu (a) pasal yang
mempunyai rumusan yang kompleks, (b) rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian
nama pada rumusan (tindak pidana), yakni suatu kualifikasi, dan (c) ancaman pidana atau
hukuman.85 Sehubungan dengan UUPU, dapat dikatakan bahwa pasal-pasal pokok yang
merupakan tindak pidana pencucian uang pada rumusan deliknya mengandung perbuatan
pidana dan perbuatan perdata, di mana perbuatan pidana tercermin pada penyebutan “tindak
pidana’ (predicate crime) dan “hasil tindak pidana” atau harta kekayaan mengindikasikan
‘perbuatan pidana’. Sedangkan penyebutan “transaksi” dan PJK merupakan ‘perbuatan
perdata’. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kekhususan tindak pidana pencucian uang
terletak pada eksisnya dua entitas perbuatan (perbuatan pidana dan perbuatan perdata)
dalam rumusan delik.86 Pada rumusan delik materiil, yang dibicarakan ialah akibat.
Dalam doktrin hukum pidana, rumusan delik itu memiliki, setidaknya, 2 (dua)
fungsi. Pertama, fungsi melindungi dari hukum, nota bene yang berkait erat dengan asas
legalitas. Kedua, fungsi petunjuk bukti karena rumusan delik menunjukkan apa yang harus
dibuktikan menurut hukum. Dalam doktrin hukum pidana pula dikenal pembedaan 2 (dua)
macam delik, yaitu delik formiil dan delik materiil. Pada rumusan delik formiil, yang
disebutkan ialah perbuatan manusia; yang ditekankan ialah perbuatannya, terlepas dari
akibat yang mungkin timbul; jadi, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan
larangan atau perintah, dan sudah dapat dipidana. Sedangkan pada delik materiil, yang
disebutkan ialah akibat perbuatan manusia. Pada rumusan delik materiil, yang dilarang dan
dapat dipidana ialah menimbulkan akibat suatu perbuatan. Pada rumusan delik formiil
disebutkannya suatu akibat hanyalah untuk dapat memberatkan atau meringankan pidana,
dan tanpa lahirnya suatu akibat, perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapat dipidana.
Dalam tindak pidana pencucian uang, yang ditekankan ialah perbuatannya.
Konsekuensinya, pasal-pasal dalam UUPU mengandung makna delik formiil. Akan tetapi,
terdapat perbuatan yang dilarang oleh pembuat undang-undang dimasukkan ke dalam
rumusan “hasil tindak pidana’, dan ini merupakan sifat melawan hukum materiil sehingga
menjadi delik materiil.87
Dalam doktrin hukum pidana, dikenal pembedaan delik komisi dan delik omisi.
Dalam delik komisi, rumusannya menghendaki ditepatinya norma yang melarang perbuatan
tertentu sehingga terciptalah ketentuan pidana yang mengancam ‘laku berbuat’ itu dengan
84 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm. 25-26. 85 J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 24. 86 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (Bandung: MQS
Publishing, 2006), hlm. 228 dan 230. 87 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 230, 232 dan 233-
234.
21
sanksi pidana. Jadi, dalam delik komisi, yang ditekankan ialah “melarang suatu perbuatan
dilakukan”. Sementara rumusan delik omisi menghendaki ditepatinya norma yang
menyuruh/memerintahkan/mengharuskan suatu perbuatan sehingga terciptalah ketentuan
pidana yang mengancam ‘laku tidak berbuat’ itu dengan sanksi pidana. Jadi, dalam delik
omisi, yang ditekankan ialah mengharuskan/memerintahkan suatu perbuatan dilakukan.
Sehubungan dengan UUPU, dapat dikatakan bahwa semua pasal yang memuat ancaman
atau ketentuan pidana merupakan delik komisi kecuali sejumlah pasal yang merupakan
delik omisi, yakni Pasal 8 dan Pasal 9.88
Terdapat unsur-unsur pokok yang selalu ada dalam berbagai varian tindak pidana
pencucian uang, yaitu (a) transaksi, (b) harta kekayaan, dan (c) melanggar
hukum/melawan hukum. Apabila unsur-unsur pokok ini tidak ada atau tidak dapat
dibuktikan maka dianggap tidak ada money laundering karena unsur pokok atau unsur delik
tertulis merupakan unsur yang harus dibuktikan sehingga berfungsi sebagai petunjuk
bukti.89 Dengan demikian, varian tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 6 ayat (1)
dapat dikonstruksi sebagai berikut. Pertama, transaksi, terdapat pada perbuatan “menerima
atau menguasai” penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,
atau penukaran. Kedua, harta kekayaan, terdapat pada klausa “harta kekayaan”. Ketiga,
melanggar hukum/melawan hukum, terdapat pada klausa “diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana”.
Secara khusus perlu dibicarakan masalah sifat melawan hukum. Dalam doktrin
hukum pidana dikenal 4 (empat) macam sifat melawan hukum, yaitu (a) sifat melawan
hukum formiil, (b) sifat melawan hukum materiil, (c) sifat melawan hukum umum, dan (e)
sifat melawan hukum khusus. Perlu diketahui bahwa sifat melawan hukum formiil adalah
terpenuhinya unsur-unsur dalam rumusan delik yang ditetapkan undang-undang, sedang
sifat melawan hukum materiil ialah melanggar atau membahayakan kepentingan hukum
yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan suatu delik.
Sementara sifat melawan hukum umum merupakan sifat melawan hukum yang ditetapkan
sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya suatu tindak pidana; dan sifat melawan
hukum khusus merupakan sifat melawan hukum yang diposisikan sebagai syarat yang
tertulis secara khusus untuk dapat dipidananya suatu tindak pidana. 90
Dalam UUPU, terdapat sejumlah perbuatan yang dikriminalisasi sehingga
dikualifikasi sebaga tindak pidana pencucian uang, yang terwadahi dalam Pasal 3 ayat (1).
Terdapat 7 (tujuh) macam perbuatan yang dimaksud.
Pertama, penempatan harta kekayaan hasil tindak pidana. Menurut Pasal 3 ayat (1)
huruf a UU No. 25 Tahun 2003, varian tindak pidana ini dianggap terwujud bilamana
memenuhi unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) menempatkan harta
kekayaan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga
88 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 76. 89 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 235-236. 90 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM
Press, 2008), hlm. 197-201.
22
olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, (e) ke dalam Penyedia
Jasa Keuangan. Kedua, pentransferan harta kekayaan hasil tindak pidana. Pasal 3 ayat (1)
huruf b menentukan bahwa varian tindak pidana ini dianggap terwujud jika memenuhi
unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) mentransfer harta kekayaan, baik atas
nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya bahwa
harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, (e) dari suatu Penyedia Jasa Keuangan
ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Ketiga, pembayaran atau pembelanjaan harta
kekayaan hasil tindak pidana. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c ditentukan kualifikasi varian
tindak pidana ini, yakni (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) membayarkan atau
membelanjakan harta kekayaan, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama
pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan
hasil tindak pidana. Keempat, penghibahan atau penyumbangan harta kekayaan hasil tindak
pidana. Kualifikasi varian tindak pidana ini menurut Pasal 3 ayat (1) huruf d ialah (a) setiap
orang, (b) dengan sengaja, (c) menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan, baik
atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya
bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Kelima, penitipan harta kekayaan
hasil tindak pidana. Melalui Pasal 3 ayat (1) huruf e ditetapkan kualifikasi varian tindak
pidana ini, yakni (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) menitipkan harta kekayaan, baik
atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya
bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Keenam, pemindahan harta
kekayaan hasil tindak pidana ke luar negeri. Atas dasar Pasal 3 ayat (1) huruf f, varian
tindak pidana ini dapat dikonstruksi melalui unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan
sengaja, (c) membawa ke luar negeri harta kekayaan, (d) diketahui atau patut diduga
olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Ketujuh, penukaran atau
perbuatan lainnya atas harta kekayaan hasil tindak pidana. Dengan mengacu kepada Pasal 3
ayat (1) huruf g, varian tindak pidana ini harus memenuhi unsur-unsur: (a) setiap orang, (b)
dengan sengaja, (c) menukarkan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan, (d)
diketahui atau patut diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak
pidana, (e) dengan mata uang atau surat berharga lainnya, (f) dengan maksud
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, (g) diketahui atau patut
diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana.
Dalam setiap varian tindak pidana pencucian uang, selalu terdapat unsur pokok,
yakni (i) terdapat perbuatan melanggar hukum (yang dikenal dengan predicate crime), (ii)
menghasilkan harta kekayaan, dan (iii) harta kekayaan itu ditransaksikan. Jadi, ada kegiatan
berupa transaksi; ada obyek berupa harta kekayaan; dan ada perbuatan berupa melanggar
hukum.91
Dalam doktrin hukum pidana Islam, segala tindakan (tasarruf) terhadap harta
kekayaan hasil tindak pidana/kejahatan dipandang sebagai al-ma‘siyyah karena termasuk
91 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (Bandung: MQS
Publishing, 2006), hlm. 57.
23
perbuatan memakan al-suht. Hal ini menjadi pesan penting Q.s. al-Mâ’idah/5:2 dan Q.s. al-
Baqarah/2:188.
Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera
membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa
yang mereka telah kerjakan itu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:2).
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.s. al-Baqarah/2:188).
Begitu pula, pesan penting yang dikandung Hadis berikut ini.
نة عن عمر بن الطاب رضي الل عنه ، أن رسول الل صلى الل عليه وسلم قال : ثن الق ، ، وغناؤها حرام سحت ي ها حرام ، وثن ها مثل ثن الكلب ، وثن الكلب )رواه ، فالنار أول به. السحت ، ومن ن بت لمه على سحت والنظر إلي
92الطرباين(
Dari ‘Umar ibn al-Khattâb, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ Uang upah biduanita
itu haram, nyanyiannya juga haram, menonton dirinya juga haram; uang upahnya
sama halnya dengan uang jual-beli anjing, dan uang jual-beli anjing itu haram;
barangsiapa yang tumbuh dagingnya dengan sesuatu yang harum maka neraka lebih
utama baginya. (H.R. al-Tabrâni).
Oleh karena itu, hukum pidana mengkriminalisasi segala tindakan (tasarruf)
terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana/kejahatan. Dalam hal ini, tindakan demikian
(yang termuat dalam Pasal 3) dikualifikasi sebagai tindak pidana (al-jarîmah) kategori
Ta‘zîr. Dalam konsepsi hukum pidana Islam, berdasarkan rationale kriminalisasinya,
tindak pidana Ta‘zîr dapat dibedakan menjadi: (a) kriminalisasi Ta‘zîr atas dasar al-
ma‘siyyah, dan (b) kriminalisasi Ta‘zîr atas dasar maslahah ‘âmmah.93 Jelaslah bahwa
kualifikasi tindak pidana ala Pasal 3 tersebut didasarkan kepada rationale yang pada
intinya bermuara pada aplikasi maslahah, yang wujudnya berupa, terutama, perlindungan
kepentingan masyarakat, berupa jaminan keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Apalagi,
dengan melihat besarnya dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan
92 Lihat al-Tabrâni, al-Mu‘jam al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz ke-1, hlm. 34, Hadis No. 85. 93 Lihat ‘Abd al-‘Azîz ‘Âmir, al-Ta‘zîr fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,
t.th.), hlm. 83-90; Lihat pula Muhammad ibn ‘Ali ibn Sanân, al-Jânib al-Ta‘zîriy fi Jârîmat al-Zinâ, (t.tp.:
t.np, 1402 H/1982 M), hlm. 130-131; dan Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fi al-Fiqh al-
Islâmiy: al-Jarîmah, (Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 89-96.
24
pencucian uang seperti telah diuraikan terdahulu, kualifikasi sebagai tindak pidana kategori
Ta‘zîr ini jelas memiliki basis maslahah.
UUPU di samping mengkriminalisasi perbuatan aktif berupa “melakukan” seperti
kesepuluh varian tindak pidana di atas-juga mengkriminalisasi perbuatan pasif berupa
“menerima” atau “menguasai” hasil dari perbuatan “melakukan” oleh orang lain, melalui
Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Dalam kaitan ini, patut diperhatikan masalah pemanfaatan bank dalam tindakan
pencucian uang. Berbagai modus kejahatan pencucian uang melibatkan pemanfaatan
lembaga bank dengan beberapa cara. Pertama, menyimpan uang hasil kejahatan dengan
nama palsu atau dalam safe deposit box. Kedua, menyimpan uang di bank dalam bentuk
deposito, tabungan atau rekening giro dengan berlindung di balik ketentuan rahasia bank
dan ketiadaan ketentuan yang mewajibkan bank untuk meneliti asal-usul dana yang oleh
penyimpannya diletakkan pada bank dalam suatu transaksi. Ketiga, menukar pecahan uang
haram (illicit money) dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau kecil. Keempat, bank
yang bersangkutan diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah pemilik simpanan
dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Kelima, menggunakan
fasilitas transfer. Keenam, melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan
fasilitas L/C dengan memalsukan dokumen yang bekerja sama dengan oknum pejabat
terkait. Ketujuh, melakukan pembentukan atau pemanfaatan bank “gelap”.94
Dalam doktrin hukum pidana Islam, Pasal 6 ayat (1) ini punya kedudukan hukum
yang sama dengan Pasal 3. Doktrin hukum pidana Islam memandang perbuatan yang
dikualifikasi Pasal 6 ayat (1) ini sebagai tindak pidana Ta‘zîr lantaran sebagai suatu al-
ma‘siyyah sebagai implikasi dari perbuatan akl al-suht. Sebab, pemanfaatan atau
penggunaan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak kejahatan apapun-dalam pandangan
hukum Islam-jelas merupakan perbuatan haram. Pada sisi lain, perbuatan yang dikualifikasi
Pasal 6 ayat (1) membawa mafsadah, yang terhadapnya harus dilakukan upaya pencegahan
dan pemberantasan, antara lain, melalui sarana hukum pidana, yakni aplikasi hukum Ta‘zîr
yang nota bene dijiwai oleh dasar pertimbangan maslahah yang menjadi ideal tujuan
hukum Islam.
94 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, hlm. 7-8.
25
Penutup
Paparan di atas menunjukkan bahwa teori maslahah telah teraplikasikan dalam
kriminalisasi pencucian uang. Hal ini pada gilirannya mengindikasikan bahwa UU Anti-
Pencucian Uang sesungguhnya secara objektif telah “terislamkan” sehingga kehadirannya
harus diakui sebagai varian implementasi hukum pidana Islam dalam konteks
keindonesiaan sekaligus kemodernan.
Atas dasar ini pula dapat disimpulkan (setidaknya secara hipotetis) bahwa teori
maslahah dapat dijadikan sebagai model objektivikasi/transformasi/kontekstualisasi hukum
Islam di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-‘Azîz ‘Âmir, al-Ta‘zîr fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,
t.th.,
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass fîh, Kuwait: Dâr al-
Qalam, 1392 H/1972
Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ, al-Ra’yu wa Atsaruhu fi Madrasat al-Madînah:
Dirâsah Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat al-Syarî‘ah li Kulli Zamân
wa Makân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1405 H/1985 M
Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, t.th., Jilid I, Juz ke-2
Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta‘lîq
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M, Juz
ke-1
‘Abdullah Yahya al-Kamâli, Maqâsid al-Syarî‘ah fi Dau’ Fiqh al-Muwâzanât, Beirut: Dâr
Ibn Hazm, 1421 H/2000 M
‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Ali ibn Rabî‘ah, ‘Ilm Maqâsid al-Syâri‘,Riyad:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 1423 H/2002
‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, Qawâ‘id al-Maqâsid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi :
‘Aradan wa Dirâsatan wa Tahlîlan, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000
Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the Financing
Terrorism, Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003
‘Allâl al-Fâsiy, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, Rabat: Maktabah al-
Wihdah al-‘Arabiyyah, t.th.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (\Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1996
Ahmad al-Raisûniy, Nazariyyat al-Maqâsid ‘ind al-Imâm al-Syâtibi, Beirut: al-Ma’had al-
‘Âlamiy li al-Fikr al-Islâmiy
Ahmad al-Raisûni dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd : al-Nass, wa al-Wâqi‘, wa al-
Maslahah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422 H/2002 M
Ahmad Hassan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of the Juridical
Principle of Qiyâs, New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994
Ahmed Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, New Delhi: Adam
Publishers & Distributors, 1994
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008
Emmy Yuhassarie, (eds.), Tindak Pidana Pencucian Uang: Prosiding Rangkaian
Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis
Lainnya Tahun 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005
Felicitas Opwis, ”Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory ”, dalam Journal Islamic
Law and Society, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2005), Vol. 12, No. 2
Husain Hâmid Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, Beirut: Dâr al-Nahdah
al-‘Arabiyyah, 1971
26
Husain Hâmid Hisân, Fiqh al-Maslahah wa Tatbîqâtuhu al-Mu‘âsirah, dalam Seminar
Internasional Tatanan Fundamental Ekonomi Islam Kontemporer, Jeddah: IRTI-
Islamic Development Bank, Ramâdan, 1413 H. (tidak diterbitkan).
‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Kairo: Maktabat al-
Kulliyyât al-Azhariyyah, 1994, Juz ke-1
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Kairo: Dâr al-
Hadîts, 1425 H/2004 M, Juz ke-3
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, New
Delhi: Adam Publishers & Distribution, 1996
IBRD, The World Bank, and IMF, Reference Guide to Anti-Money Laundering and
Combating the Financing of Terrorism, Washington DC: The World Bank, 2006
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-
Islâmiy, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy, 1403 H/1983 M
Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâsid al-Syarî‘ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001
J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995
John Madinger, Sydney A. Zalopany, Money Laundering: A Guide for Criminal
Investigators, Florida: CRC Press, 1999
Kairo Silalahi, Optimalisasi Peranan Penyedia Jasa Keuangan dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005. (Tesis tidak diterbitkan).
M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Malang:
Bayumedia Publishing, 2004
Mohammad Hashim Kamali, “ Fiqh and Adaptation to Social Reality “ dalam Jurnal The
Muslim World, 1996, Vol.86, No.1
Mohammad Hashim Kamali, An Introduction to Sharî‘ah, Kuala Lumpur: ILMIAH
Publishers, 2006
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Muhammad Sa‘îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1421 H/2000 M
Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fi al-Fiqh al-Islâmiy: al-Jarîmah, Dâr
al-Fikr, 1998
Muhammad ibn ‘Ali ibn Sanân, al-Jânib al-Ta‘zîriy fi Jârîmat al-Zinâ, t.tp.: t.np, 1402
H/1982 M
Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Nazariyyat al-Fiqh fi al-Islâm: Madkhal Manhajiy,
Beirut: al-Mu’assasah al-Jâmi‘iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1418
H/1998 M
Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abû Ishaq al-Shâtibi’s
Life and Thought, New Delhi: International Islamic Publishers, 1989
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, New Delhi:
Markazi Maktaba Islami, 1985
Mustafa Ahmad al-Zarqâ’, al-Istislâh wa al-Masâlih al-Mursalah fi al-Syarî‘ah al-
Islâmiyyah wa Usûl Fiqhiha, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1408 H/1988 M
Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, t.tp.: Dâr al-
Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M
Mustafa Dîb al-Bugâ, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî‘ al-
Taba‘iyyah fi al-Fiqh al-Islâmiy, Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.
Muslih ‘Abd al-Hayy al-Najjâr, al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ ‘inda al-Usûlyyîn wa
Tatbîqâtuhâ al-Mu‘âsirah, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1424 H
PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan, Jakarta: PPATK, 2003
Tb. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang ((Money Laundering), Jakarta: MQS
Publishing & AYYCCS Group, 2006.
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004
Syed Abul Hassan Najmee, Islamic Legal Theory and The Orientalists, Lahore: Institute of
Islamic Culture, 1989
Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-
Salâm, 1427 H/2006 M
Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Bandung: MQS
Publishing, 2006
27
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang:
UMM Press, 2008
Tâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Usûl al-Fiqh al-
Islâmî), Virginia: IIIT, 1415 H/1994
Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
Yûsuf al-Qaradawi, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan
Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007
Yûsuf al-Qaradâwi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1421 H/2001 M
Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), Jakarta: Pensil-324,
2006
Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, Bandung: Books Terrace & Libarary,
2007