DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi **...

27
1 APLIKASI MASLAHAH DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** Pengantar Dalam rangka pengembangan hukum pidana Islam dalam konteks keindonesiaan dan kemodernan, dipandang perlu adanya upaya pengkajian teori maslahah beserta aplikasinya dalam konstruksi hukum pidana Islam dan kemudian dalam tatanan hukum pidana nasional. Ini pada gilirannya menuntut objektivikasi hukum pidana Islam. Salah satu tindak pidana yang menyita perhatian intens aparat penegak hukum dan masyarakat pada umumnya ialah tindak pidana pencucian uang (money laundrying). Tindak pidana ini sering berjalin-berkelindan dengan tindak pidana korupsi. Sebagai wujud politik kiminal tentang isu ini, telah disahkan oleh DPR dan Presiden UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tulisan berikut ini akan berupaya menyoroti kriminalisasi pencucian uang-yang tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang-dengan kerangka teori maslahah. Dengan penerapan kerangka teori maslahah ini, akan dapat disimpulkan ada tidaknya corak “keislaman” dari UU Anti - Pencucian Uang tersebut. Reformulasi Teori Maslahah Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda’) 1 , sumber atau dalil hukum (source, masdar, dalîl) 2 , doktrin (doctrine, al-dâbit) 3 , konsep (concept, al-fikrah) 4 , metode (method, al-tarîqah) 5 , dan teori (theory, al-nazariyyah) 6 . ** Asmawi adalah dosen tetap (Lektor Kepala) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1 Identifikasi maslahah sebagai sumber atau dalil (masdar, dalîl) ditunjukkan dalam, misalnya , ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass fîh, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M). Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-‘Arabiy, 1395 H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bugâ, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî‘ al- Taba‘iyyah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.); dan Wahbah al-Zuhaili, Usûl al- Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H/1986 M); dan ‘Ali Hasaballah, Usûl al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), hlm. 107; dan Ahmed Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), hlm. 53; ‘Abdullah ‘Abd al -Muhsin al- Turki, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqaha’, (Riyad: Maktabah al-Riyâd al-Hadîtsah, 1397 H/1977 M); dan Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M); dan Muslih ‘Abd al-Hayy al-Najjâr, al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ ‘inda al-Usûlyyîn wa Tatbîqâtuhâ al-Mu‘âsirah, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1424 H); 2 Identifikasi maslahah sebagai prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda) ditunjukkan dalam, misalnya, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy, 1403 H/1983 M), hlm. 16; dan Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al- Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1991), hlm. 96. 3 Identifikasi maslahah sebagai doktrin (doctrine, al-dâbit) ditunjukkan dalam, misalnya, Muhammad Sa‘îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1421 H/2000 M). Lihat juga Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, (New York: Oxford University Press, 2003), hlm. 40-47. 4 Identifikasi maslahah sebagai konsep (concept, al-fikrah) ditunjukkan dalam, misalnya, Mustafa Ahmad al-Zarqâ’, al-Istislâh wa al-Masâlih al-Mursalah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Usûl Fiqhiha, (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1408 H/1988 M). Lihat juga Felicitas Opwis, “ Maslaha in Contemporary Islamic

Transcript of DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi **...

Page 1: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

1

APLIKASI MASLAHAH

DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG*

Oleh: Asmawi **

Pengantar

Dalam rangka pengembangan hukum pidana Islam dalam konteks keindonesiaan

dan kemodernan, dipandang perlu adanya upaya pengkajian teori maslahah beserta

aplikasinya dalam konstruksi hukum pidana Islam dan kemudian dalam tatanan hukum

pidana nasional. Ini pada gilirannya menuntut objektivikasi hukum pidana Islam.

Salah satu tindak pidana yang menyita perhatian intens aparat penegak hukum dan

masyarakat pada umumnya ialah tindak pidana pencucian uang (money laundrying). Tindak

pidana ini sering berjalin-berkelindan dengan tindak pidana korupsi. Sebagai wujud politik

kiminal tentang isu ini, telah disahkan oleh DPR dan Presiden UU No. 25 Tahun 2003 jo.

UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tulisan berikut ini akan berupaya menyoroti kriminalisasi pencucian uang-yang

tertuang dalam UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana

Pencucian Uang-dengan kerangka teori maslahah. Dengan penerapan kerangka teori

maslahah ini, akan dapat disimpulkan ada tidaknya corak “keislaman” dari UU Anti-

Pencucian Uang tersebut.

Reformulasi Teori Maslahah

Dalam kajian teori hukum Islam (usûl al-fiqh), maslahah diidentifikasi dengan

sebutan (atribut) yang bervariasi, yakni prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda’)1,

sumber atau dalil hukum (source, masdar, dalîl)2, doktrin (doctrine, al-dâbit)3, konsep

(concept, al-fikrah)4, metode (method, al-tarîqah)5, dan teori (theory, al-nazariyyah) 6.

** Asmawi adalah dosen tetap (Lektor Kepala) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 1 Identifikasi maslahah sebagai sumber atau dalil (masdar, dalîl) ditunjukkan dalam, misalnya , ‘Abd

al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass fîh, (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1392 H/1972 M).

Lihat juga Zakariyya al-Birri, Masâdir al-Ahkâm al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Ittihâd al-‘Arabiy, 1395

H/1975 M); dan Mustafa Dîb al-Bugâ, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî‘ al-

Taba‘iyyah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.); dan Wahbah al-Zuhaili, Usûl al-

Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1406 H/1986 M); dan ‘Ali Hasaballah, Usûl al-Tasyrî‘ al-Islâmiy,

(Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), hlm. 107; dan Ahmed Hassan, The Early Development of Islamic

Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 1994), hlm. 53; ‘Abdullah ‘Abd al-Muhsin al-

Turki, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqaha’, (Riyad: Maktabah al-Riyâd al-Hadîtsah, 1397 H/1977 M); dan Mustafa

Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384

H/1964 M); dan Muslih ‘Abd al-Hayy al-Najjâr, al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ ‘inda al-Usûlyyîn wa

Tatbîqâtuhâ al-Mu‘âsirah, (Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1424 H); 2 Identifikasi maslahah sebagai prinsip (principle, al-asl, al-qâ‘idah, al-mabda’) ditunjukkan dalam,

misalnya, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy,

(Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy, 1403 H/1983 M), hlm. 16; dan Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al-

Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1991), hlm. 96. 3 Identifikasi maslahah sebagai doktrin (doctrine, al-dâbit) ditunjukkan dalam, misalnya, Muhammad

Sa‘îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,

1421 H/2000 M). Lihat juga Mashood A. Baderin, International Human Rights and Islamic Law, (New York:

Oxford University Press, 2003), hlm. 40-47. 4 Identifikasi maslahah sebagai konsep (concept, al-fikrah) ditunjukkan dalam, misalnya, Mustafa

Ahmad al-Zarqâ’, al-Istislâh wa al-Masâlih al-Mursalah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Usûl Fiqhiha,

(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1408 H/1988 M). Lihat juga Felicitas Opwis, “ Maslaha in Contemporary Islamic

Page 2: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

2

Secara etimologis, arti al-maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,

kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan dengan kata

al-mafsadah yang artinya kerusakan.7

Secara terminologis, maslahah telah diberi muatan makna oleh beberapa ulama usûl

al-fiqh. Al-Gazâli (w. 505 H), misalnya, mengatakan bahwa makna genuine dari maslahah

adalah menarik/mewujudkan kemanfaatan atau menyingkirkan/menghindari kemudaratan

(jalb manfa‘ah atau daf‘ madarrah) Menurut al-Gazâli, yang dimaksud maslahah, dalam

arti terminologis-syar’i, adalah memelihara dan mewujudkan tujuan Syara’ yang berupa

memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-

Gazâli bahwa setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal

tersebut dikualifikasi sebagai maslahah; sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu

dan merusak kelima hal tersebut dinilai sebagai mafsadah; maka, mencegah dan

menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai maslahah.8

Pengertian maslahah juga dikemukakan oleh ‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H).

Dalam pandangan ‘Izz al-Dîn ‘Abd al-Salâm, maslahah itu identik dengan al-khair

(kebajikan), al-naf‘(kebermanfaatan), al-husn (kebaikan).9 Sementara Najm al-Dîn al-Tûfi

(w. 716 H) berpendapat bahwa makna maslahah dapat ditinjau dari segi ‘urfi dan syar’i.

Menurut al-Tûfi, dalam arti ‘urfi, maslahah adalah sebab yang membawa kepada kebaikan

dan kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan sebab yang membawa kepada

keuntungan, sedang dalam arti syar’i, maslahah adalah sebab yang membawa kepada

Legal Theory “, dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 2, No. 12, 2005, Koninklijke Brill NV, Leiden,

2005). 5 Identifikasi maslahah sebagai metode (method, al-tarîqah) ditunjukkan dalam, misalnya,

Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.), hlm. 115. Lihat juga Tâhâ Jâbir

al-‘Alwânî, Source Methodology in Islamic Jurisprudence ( Usûl al-Fiqh al-Islâmî), (Virginia: IIIT, 1415

H/1994), hlm. 12-14; dan ‘Ali al-Khafîf, Asbâb Ikhtilâf al-Fuqahâ’, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1416

M/1996), hlm. 176; dan Mohammad Hashim Kamali, An Introduction to Sharî‘ah, (Kuala Lumpur: ILMIAH

Publishers, 2006), hlm. 119-125; dan Sâlih ibn ‘Abd al-‘Azîz Âli Mansûr, Usûl al-Fiqh wa Ibn Taimiyyah,

(Mesir: Dâr al-Nasr, 1405 H/1985 M), hlm. 465. 6 Identifikasi maslahah sebagai (theory, al-nazariyyah) ditunjukkan dalam, misalnya, Husain Hâmid

Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-‘Arabiyyah, 1971); dan

Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Nazariyyat al-Fiqh fi al-Islâm: Madkhal Manhajiy, (Beirut: al-Mu’assasah

al-Jâmi‘iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1418 H/1998 M). 7 Lihat Ismâ‘îl ibn Hammâd al-Jauhari, al-Sihâh Tâj al-Lugah wa Sihâh al-‘Arabiyyah, (Beirut: Dâr al-

‘Ilm li al-Malâyîn, 1376 H/1956 M), Juz ke-1, hlm. 383-384; dan Abû al-Husain Ahmad ibn Fâris ibn

Zakariyyâ, Mu‘jam Maqâyîs al-Lugah, (Kairo: Maktabah al-Khânjî, 1403 H/1981 M), Juz ke-3, hlm. 303; dan

Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram ibn Manzûr al-Ifrîqi, Lisân al-‘Arab, (Riyad: Dâr ‘Âlam al-Kutub,

1424 H/2003 M), Juz ke-2, hlm. 348; dan Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qâdir al-Râzi, Mukhtâr al-

Sihâh, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1979), hlm. 376; dan Muhammad ibn Abi Bakr ibn ‘Abd al-Qâdir al-

Râzi, Mukhtâr al-Sihâh, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, 1979), hlm. 376; dan Muhammad Murtadâ al-

Husaini al-Zabîdî, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1414 H/1994 M), Juz ke-4, hlm.

125-126; dan Ibrâhîm Mustafa, dkk., al-Mu‘jam al-Wasît , (Tahrân: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), Juz ke-1,

hlm. 522.. 8 Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli (selanjutnya disebut al-Gazâli), al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl,

tahqîq wa ta‘lîq Muhammad Sulaimân al-Asyqar, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M), Juz ke-1,

hlm. 416 - 417. 9 ‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, (Kairo: Maktabat al-Kulliyyât

al-Azhariyyah, 1994), Juz ke-1, hlm. 5.

Page 3: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

3

tujuan al-Syâri’, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah.10 Tegasnya, maslahah

masuk dalam cakupan maqâsid al-syarî‘ah.11

Syariah Islam compatible bagi segala kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia.

Teks-teks Syariah (nusûs al-syarî‘ah) dapat mewujudkan-bagi manusia-maslahah pada

setiap ketentuan hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul kecuali sudah

ada-di dalam Kitab Allah-petunjuk jalan solusi atasnya.12 Syariah Islam merupakan syariah

yang selaras dengan fitrah kemanusiaan (syarî‘at al-fitrah), yang memperhatikan segenap

sisi kehidupan manusia, dan yang menawarkan tuntunan hidup yang berkeadilan. Syariah

Islam juga merupakan syariah yang selaras dengan moralitas kemanusiaan yang luhur, yang

membebaskan manusia dari cengkeraman kuasa hawa nafsu yang destruktif. Syariah Islam

merupakan syariah yang bervisi dan bermisi mulia.13 Syariah Islam senantiasa

memperhatikan realisasi maslahah bagi segenap hamba-Nya. Karena itulah, konsep

maslahah memberi saham besar bagi terwujudnya panduan yang layak diperhatikan sang

mujtahid guna mengetahui hukum Allah atas perkara yang tidak ditegaskan oleh nass

Syara’.14 Jelaslah bahwa maslahah menjadi elan vital bagi Syariah Islam sehingga ia

senantiasa memiliki relevansi dengan konteks zamannya; dan ini pada gilirannya

menjadikan Syariah Islam tetap up to date menyapa segenap persoalan kehidupan manusia

dengan cahaya ajarannya yang mencerahkan.

Fondasi bangunan Syariah Islam itu direpresentasikan oleh maslahah yang

ditujukan bagi kepentingan hidup manusia sebagai hamba Allah, baik menyangkut

kehidupan duniawinya maupun kehidupan ukhrawi-nya. Syariah Islam itu menjunjung

tinggi prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), kasih sayang (rahmah), dan maslahah,. Setiap

aturan hukum yang menyimpang dari prinsip-prinsip tersebut pada hakikatnya bukanlah

bagian dari Syariah Islam, meskipun dicari rasionalisasi (ta‘wîl) untuk menjadikannya

sebagai bagian dari Syariah Islam.15 Keagungan dan keluhuran Syariah Islam

termanifestasikan pada kompatibilitas hukum-hukum Syariah dengan perkembangan

kehidupan manusia lantaran ruh maslahah yang menggerakkannya.16 Eksistensi maslahah

dalam bangunan Syariah Islam memang tidak bisa dinafikan karena al-maslahah (المصلحة(

dan al-Syarî‘ah (الشريعة) telah bersenyawa dan menyatu, sehingga kehadiran al-maslahah

meniscayakan adanya tuntutan al-Syarî‘ah (الشريعة ).

10 Najm al-Dîn al-Tûfi, Syarh al-Arba‘în al-Nawawiyyah, hlm. 19, lampiran dalam Mustafa Zaid, al-

Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, t.tp.: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M), hlm.

211. 11 Hamâdi al-‘Ubaidi, Ibn Rusyd wa ‘Ulûm al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,

1991), hlm. 97. 12 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1971), hlm. 607. 13 Lihat Mannâ‘ al-Qattân, Raf‘ al-Haraj fi al-Syarî‘at al-Islâmiyyah, (Riyad: al-Dâr al-Su‘ûdiyyah,

1402 H/1982 M), hlm. 61-62. 14 Sa’îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî’ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Mu’assasat al-

Risâlah wa al-Dâr al-Muttahidah, 1421 H/2000 M), hlm. 69 15 Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, (Kairo: Dâr al-Hadîts,

1425 H/2004 M), hlm. Juz ke-3, hlm. 5. 16 Husain Hâmid Hisân, Fiqh al-Maslahah wa Tatbîqâtuhu al-Mu‘âsirah, hlm. 4, dalam Seminar

Internasional Tatanan Fundamental Ekonomi Islam Kontemporer, (Jeddah: IRTI-Islamic Development Bank,

Ramâdan, 1413 H), hlm. 4. (tidak diterbitkan).

Page 4: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

4

Penelitian yang mendalam atas sedemikian banyak nass al-Qur’an dan Hadis

memang menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa hukum-hukum Syariah

senantiasa dilekati hikmah dan ‘illah yang bermuara kepada maslahah.17 Bahkan, hukum-

hukum dimaksud bukan saja di bidang muamalat umum (non-ibadah mahdah), tetapi juga

ibadah mahdah. Jadi, semua bidang hukum dengan aneka norma hukum yang telah

digariskan oleh al-Qur’an dan Hadis berhulu dari, sekaligus bermuara kepada, maslahah

bagi kehidupan umat manusia. Hal ini karena Allah tidak butuh kepada sesuatupun,

sekalipun itu ibadah mahdah. Tegasnya, manusialah-sebagai hamba Allah-yang

diuntungkan dengan adanya kenyataan bahwa maslahah menjadi alas tumpu hukum-hukum

Syariah itu.18 Hadirnya hikmah dan ‘illah dalam norma hukum Allah (baik berupa al-amr

maupun al-nahy) itu pada gilirannya menjamin eksisnya maslahah. Pada sisi lain, formulasi

sejumlah legal maxim (al-qawa‘id al-syar‘iyyah) bertumpu pada penemuan hikmah dan

‘illah yang nota bene menjadi garansi eksisnya maslahah. Dengan demikian, maslahah

merupakan poros dan titik beranjak bagi formulasi al-ahkâm al-syar‘iyyah dan al-qawa‘id

al-syar‘iyyah.19

Mewujudkan maslahah merupakan elan vital Syariah Islam. Dalam setiap aturan

hukumnya, al-Syâri‘ mentransmisikan maslahah sehingga lahir kebaikan/kemanfaatan dan

terhindar keburukan/kerusakan, yang pada gilirannya terealisasinya kemakmuran dan

kesejahteraan di muka bumi dan kemurnian pengabdian kepada Allah. Sebab, maslahah itu

sesungguhnya adalah memelihara dan memperhatikan tujuan-tujuan Syara‘ berupa

kebaikan dan kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara‘, bukan oleh hawa nafsu

manusia.20 Norma hukum yang dikandung teks-teks Syariah (nusûs al-syarî‘ah) pasti dapat

mewujudkan maslahah, sehingga tidak ada maslahah di luar petunjuk teks Syariah; dan

karena itu, tidaklah valid pemikiran yang menyatakan maslahah harus diprioritaskan bila

berlawanan dengan teks Syariah.21 Maka, maslahah pada hakikatnya ialah sumbu peredaran

dan perubahan hukum Islam, di mana interpretasi atas teks Syariah dapat bertumpu

padanya.22

Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan bahwa identifikasi maslahah-sebagai

inti maqâsid al-syarî‘ah-dapat didasarkan pada: (1) nusûs al-syarî‘ah, terutama al-amr dan

al-nahy, (2) ‘illah dan hikmah yang dikandung nusûs al-syarî‘ah, dan (3) istiqrâ’.

Identifikasi maslahah melalui pembacaan nusûs al-syarî‘ah, terutama al-amr dan al-nahy

dianut oleh ulama teoritisi hukum Islam Mazhab Zâhiri-kaum tektualis dalam aliran

17 Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm,

1427 H/2006 M), hlm. 12. 18 Yûsuf al-Qaradâwi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1421 H/2001 M), hlm. 58. 19 ‘Allâl al-Fâsiy, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, (Rabat: Maktabah al-Wihdah

al-‘Arabiyyah, t.thlm.), hlm. 138. 20Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuha fi al-Tasyrî‘, (t.tp: Matba‘at

al-Sa‘âdah, 1403 H/1983 M), hlm.12 dan 13. 21 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1971), hlm. 607. Lihat juga Syed Abul Hassan Najmee, Islamic Legal Theory and The

Orientalists, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1989), hlm. 94-96. 22 Inilah yang disebut-oleh ‘Ali Hasaballah-dengan Qiyâs al-Maslahah. Lihat ‘Aliy Hasaballah, Usûl

al-Tasyrî’ al-Islâmiy, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1383 H/1964 M), hlm. 257.

Page 5: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

5

pemikiran hukum Islam. Sedangkan identifikasi maslahah melalui elaborasi ‘illah dan

hikmah yang dikandung nusûs al-syarî‘ah dipraktikan oleh kalangan mayoritas ulama

teoritisi hukum Islam. Sementara itu, identifikasi maslahah melalui pendekatan istiqrâ’

merupakan tawaran genuine al-Syâtibi, meskipun al-Syâtibi sendiri tidak menafikan fungsi

dua metode sebelumnya dalam upaya identifikasi maslahah.23

Sehubungan dengan relasi maslahah dan ijtihâd, di kalangan ulama dikenal istilah

ijtihâd istislâhiy, yakni suatu upaya pengerahan segenap kemampuan untuk memperoleh

hukum Syara‘ dengan cara menerapkan prinsip-prinsip hukum yang umum-universal

terhadap suatu masalah/kasus yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘ yang spesifik dan

Ijmâ’ ulama, yang pada intinya bermuara kepada mewujudkan maslahah (jalb al-

maslahah) dan menghindari/menghilangkan mafsadah (daf‘u al-mafsadah), yang sejalan

dengan tuntutan prinsip-prinsip Syara‘. Model ijtihâd ini sebenarnya mengarah pada

memasukkan hukum kedalam medan cakupan nass Syara‘.24 Menurut Ahmad Fathi

Bahnasi, sebagian ulama ahli hukum Islam generasi al-tabi‘în berpaling dari aplikasi

tekstual nass Syara’ yang bersifat mutlak atau umum lantaran aplikasi tersebut berimplikasi

tereliminasinya maslahah. Mereka justru menginterpretasi dan melakukan aplikasi nass

Syara’ itu dengan kerangka pikir maslahah meskipun memberikan kesan taqyîd atau

takhsîs atau ihmâl terhadap nass.25

Hukum-hukum Syariah itu dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori: (1) hukum-

hukum yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah secara langsung26, dan (2) hukum-

hukum yang bersumber kepada ijtihâd, tanpa bersandar secara langsung kepada al-Qur’an

dan Sunnah; dan yang terakhir inilah yang merupakan hukum-hukum yang dibentuk di atas

fondasi maslahah. Akan tetapi, kedua kategori hukum itu sama-sama bertujuan merealisasi

maslahah; dan sebagian maslahah itu berubah dan berkembang lantaran

perubahan/perkembangan zaman dan faktor lainnya. Sudah menjadi pakem para ulama

bahwa maslahah yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘ terbuka kemungkinan untuk

berubah dan berkembang; dan ini merupakan sesuatu yang rasional dan riil.27

Menurut Ahmad Hassan, legislasi al-Qur’an itu mempertimbangkan tabiat dan

kemampuan manusia serta kondisi sosial. Tujuan al-Qur’an dalam penetapan hukumnya-

meskipun elemen hukum yang dituangkan dengan bahasa yang tegas sedikit jumlahnya-

ialah maslahah. Al-Qur’an bertujuan membentuk individu dan masyarakat yang ideal yang

lebih berlandaskan kepada moralitas ketimbang hukum. Karena itulah, ia terkadang

menjelaskan perintah-perintahnya melalui bahasa nalar dan tujuan, meskipun suatu otoritas-

23 Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective, (Kuala Lumpur: Ilmiah

Publisher, 2002), hlm. 93 24 Muhammad Sallâm Madkûr, al-Ijtihâd fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Kairo: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1404 H/1984 M), hlm. 45. 25 Mengenai deskripsi dan model aplikasi taqyîd, takhsîs, tarjîh, dan yang semisalnya, lihat

Muhammad Ibrâhîm Muhammad al-Hafnâwiy, al-Ta‘ârud wa al-Tarjîh ‘ind al-Usûliyyîn, (t.tp.: Dâr al-

Wafâ’, 1408 H/1987 M) 26 Lebih jauh mengenakan kedudukan Sunnah/Hadis sebagai sumber legislasi hukum Islam, lihat

Mustafa Hasaniy al-Sibâ‘iy, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (Damaskus: al-Dâr al-

Qaumiyyah, 1379 H/1960 M), hlm. 343-352. 27 Bustâmi Muhammad Sa‘îd, Mafhûm Tajdîd al-Dîn, (Kuwait: Dâr al-Da’wah, 1405 H/1984 M),

hlm. 260-261.

Page 6: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

6

absolut sesungguhnya tidak perlu melakukan demikian. Inilah yang menjadi alasan

mengapa genre dan nada legislasi al-Qur’an bersifat umum dan rasional sehingga ia dapat

beradaptasi dengan kondisi-kondisi kehidupan yang terus berubah.28

Menurut Mohammad Hashim Kamali, maslahah tidak diikat dengan pembatasan-

pembatasan sebagaimana yang diberlakukan terhadap qiyâs dan istihsân; ia meminta

mujtahid berinisiatif menentukan ukuran-ukuran yang diperlukan, termasuk penetapan

hukum kasus-kasus baru, dalam rangka mewujudkan sesuatu yang dipandang maslahah

bagi masyarakat banyak. Lebih dari itu, maslahah yang bersifat umum (general), yang

genuine, yang mendukung terwujudnya tujuan-tujuan Syariah Islam, dan yang tidak

bertentangan dengan nass Syara‘, merupakan dasar, pijakan dan kerangka acuan yang valid

bagi legislasi hukum Islam.29 Menurut Imran Ahsan Khan Nyazee, para ulama (ahli hukum

Islam) bersepakat bahwa maslahah dapat diaplikasikan sebagai alas dasar suatu ketetapan

hukum, dan maslahah ini dapat dijadikan dasar pikiran ketika memperluas ketetapan

hukum itu kepada kasus-kasus baru. Inilah yang merupakan basis doktrin maslahah.30

Konsep maslahah-sebagai inti maqâsid al-syarî‘ah-merupakan alternatif terbaik

untuk pengembangan metode-metode ijtihad, di mana al-Qur’an dan Sunnah harus

dipahami melalui metode-metode ijtihad dengan memberi penekanan pada dimensi

maslahah.31 Konsep maslahah merupakan wahana bagi perubahan hukum. Melalui konsep

ini para ulama fikih memiliki kerangka kerja untuk menangani masalah hukum, yang

inheren di dalam sistem hukum yang didasarkan kepada nass Syara‘ (al-Qur’an dan Hadis),

yang nota bene mengandung fondasi materiil hukum yang terbatas mengenai urusan

kehidupan dalam situasi lingkungan yang terus berubah. Dengan demikian, konsep

maslahah memberi legitimasi bagi aturan hukum baru dan memungkinkan para ulama fikih

mengelaborasi konteks masalah yang tidak ditegaskan oleh nass Syara‘. Seberapa besar

perubahan hukum dapat dicapai melalui aplikasi konsep maslahah tergantung pada,

terutama, pola penalaran hukum berbobot maslahah yang diterapkan para ulama fikih.32

Yusuf al-Qaradawi mengkonstatir bahwa substansi maslahah yang dikehendaki oleh

Syariah Islam untuk ditegakkan dan dipelihara itu merupakan maslahah yang

komprehensif, integral dan holistik, yang mencakup perpaduan maslahah dunyawiyyah dan

maslahah ukhrawiyyah, maslahah maddiyyah dan maslahah rûhiyyah, maslahah fardiyyah

dan maslahah mujtama‘iyyah, maslahah qaumiyyah khâssah dan maslahah insâniyyah

‘âmmah, maslahah hâdirah dan maslahah mustaqbalah. Atas dasar ini, Yusuf al-Qaradawi

menegaskan bahwa konsep maslahah yang menjiwai Syariat Islam, tidak bisa diidentikkan

28 Ahmad Hassan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of the Juridical Principle

of Qiyâs, (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994), hlm. 153. 29 Mohammad Hashim Kamali, “ Fiqh and Adaptation to Social Reality “ dalam Jurnal The Muslim

World, 1996, Vol.86, No.1 hlm. 72. 30 Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, (New Delhi:

Adam Publishers & Distribution, 1996), hlm. 236-237 31 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

1996), hlm. 168. 32 Felicitas Opwis, ”Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory ”, dalam Journal Islamic Law

and Society, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2005), Vol. 12, No. 2, hlm. 183.

Page 7: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

7

dengan utilitiarianisme dan pragmatisme, yang nota bene berhulu pada faham

materialisme.33

Sementara itu, patut kiranya dipertanyakan bagaimanakah cara yang meyakinkan

untuk mengetahui al-maqâsid al-syar’iyyah, baik dalam level kulliy maupun juz’iy ?

Menjawab hal ini, al-Syâtibi menggagas pemikiran bahwa al-maqâsid al-syar’iyyah dapat

diketahui dengan cara sebagai berikut. Pertama, memahami tujuan legislasi suatu hukum

melalui logika kebahasaan dari bahasa Arab. Kedua, memahami, secara tekstual sekaligus

secara kontesktual, al-amr dan al-nahy dari teks-teks Syariah yang . Ketiga, memahami

tujuan-tujuan primer (al-maqâsid al-asliyyah) dan tujuan-tujuan sekunder (al-maqâsid al-

taba‘iyyah). Kelima, menerapkan metode induksi (al-istiqrâ’).34

Sementara Yusuf al-Qaradawi mengajukan pandangan tentang cara yang

meyakinkan untuk mengetahui al-maqâsid al-syar’iyyah tersebut. Pertama, meneliti setiap

‘illah (baik mansûsah maupun gair mansûsah) pada teks al-Qur’an dan Hadis. Misalnya

Q.s al-Hadîd/57:25, ayat ini sesungguhnya mempromosikan keadilan sebagai tujuan

seluruh doktrin agama samawi, di mana hal demikian merupakan simpulan dari adanya lâm

ta‘lîl yang menyertai frase ليقوم الناس ابلقسط . Hal yang sama juga terdapat pada Q.s. al-

Hasyr/59:7 (لكي اليكون دولة بني األغنياء منكم), Q.s. al-Anbiyâ’/21/107 (وما أرسلناك إال رمحة للعاملني),

dan al-Baqarah/2:179 (ولكم ىف القصاص حيوة أيوىل األلباب ). Kedua, mengkaji dan menganalisis

hukum-hukum partikular, untuk kemudian menyimpulkan cita pikiran hasil pemaduan

hukum-hukum partikular tersebut.35

Menurut pandangan al-Gazâli, berdasarkan segi ada tidaknya ketegasan justifikasi

Syara’ terhadapnya (syahâdat al-syar’i), maslahah dibedakan menjadi tiga, yaitu (1)

maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syara’ terhadap penerimaannya (maslahah

mu‘tabarah); (2) maslahah yang mendapat ketegasan justifikasi Syara’ terhadap

penolakannya (maslahah mulgah); dan (3) maslahah yang tidak mendapat ketegasan

justifikasi Syara’, baik terhadap penerimaannya maupun penolakannya (maslahah

mursalah).36 Muhammad Muslehuddin melihat bahwa kategorisasi maslahah dengan trilogi

maslahah mu‘tabarah-maslahah mulgah- maslahah mursalah tetap harus

mempertimbangkan dimensi kepentingan masyarakat dan realitas sosial yang terus berubah

sehingga hukum Islam (Syariah) harus bergerak seiring sejalan dengan perubahan realitas

33 Yusuf al-Qaradawi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah Wahbah,

1990), hlm. 62. 34 Dalam kaitan ini, al-Syâtibi menguraikan mutiara pikirannya tentang teori maqâsid al-syarî‘ah

dalam bagian khusus yang diberi tajuk “Kitâb al-Maqâsid”. Lihat Abû Ishâq al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl

al-Syarî‘ah, , hlm. Jilid I, Juz ke-2, hlm. 3-313. Bandingkan dengan Ahmad al-Raisûniy, Nazariyyat al-

Maqâsid ‘ind al-Imâm al-Syâtibi, (Beirut: al-Ma’had al-‘Âlamiy li al-Fikr al-Islâmiy), hlm. 295-314; dan

Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abû Ishaq al-Shâtibi’s Life and Thought,

(New Delhi: International Islamic Publishers, 1989), hlm. 221-225; dan Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-

Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm, 1427 H/2006 M), hlm. 16-20; dan Jamâl

al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâsid al-Syarî‘ah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001), hlm. 15-27. 35 Yusuf al-Qaradawi, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran

Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 23-25. 36 Abu Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah,

1417 H/1997 M), Juz ke-1, hlm. 414.

Page 8: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

8

sosial yang terjadi, yang pada gilirannya fleksibilitas hukum Islam (Syariah) dapat

dipertahankan.37

Di sisi lain, al-Gazâli juga mengkategorisasi maslahah berdasarkan segi kekuatan

substansinya (quwwatiha fi dzâtiha), di mana maslahah itu dibedakan menjadi tiga, yaitu

(1) maslahah level darûrât, (2) maslahah level hâjât, dan (3) maslahah level

tahsînat/tazyînat. Masing-masing bagian disertai oleh maslahah penyempurna/pelengkap

(takmilah/tatimmah). Pemeliharaan lima tujuan/prinsip dasar (al-usûl al-khamsah) yang

berada pada level darûrât merupakan level terkuat dan tertinggi dari maslahah. Kelima

tujuan/prinsip dasar mencakup (1) memelihara agama (hifz al-dîn), (2) memelihara jiwa

(hifz al-nafs), (3) memelihara akal pikiran (hifz al-‘aql), (4) memelihara keturunan (hifz al-

nasl), dan (5) memelihara harta kekayaan (hifz al-mâl).38 Pandangan al-Gazâli tentang al-

usûl al-khamsah ini disempurnakan lagi oleh Syihâb al-Dîn al-Qarafi (w. 684 H) dengan

menambahkan satu tujuan/prinsip dasar lagi, yakni memelihara kehormatan diri (hifz al-

‘ird) meskipun diakui sendiri oleh al-Qarafi bahwa hal ini menjadi bahan perdebatan para

ulama.39 Pandangan ini nampaknya cukup berdasar lantaran adanya nass Syara‘ yang secara

eksplisit melarang al-qadzf (tindakan melemparkan tuduhan palsu zina terhadap orang lain)

dan sekaligus mengkriminalisasinya (Q.s. al-Nûr/24:4 dan 23).

Dalam pemikiran ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) maslahah dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu (1) maslahah yang terkandung dalam urusan yang bersifat

boleh/halal (masâlih al-mubâhât), (2) maslahah yang terkandung dalam urusan yang

bersifat sunnat (masâlih al-mandûbât), dan (3) maslahah yang terkandung dalam urusan

yang bersifat wajib (masâlih al-wâjibât). Sedangkan mafsadah dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu (1) mafsadah yang terkandung dalam urusan yang bersifat makruh

(mafâsid al-makrûhât) dan (2) mafsadah yang terkandung dalam urusan yang bersifat

haram (mafâsid al-muharramât).40

Lebih dari itu, al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salâm memandang maslahah itu dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu (1) maslahah dalam arti denotatif (haqîqiy), yakni kesenangan

dan kenikmatan, dan (2) maslahah dalam arti konotatif (majâziy), yakni media yang

mengantarkan kepada kesenangan, kebaikan dan kenikmatan. Bisa saja terjadi bahwa media

yang mengantarkan kepada maslahah itu berupa mafsadah, sehingga mafsadah ini

diperintahkan atau dibolehkan, bukan lantaran statusnya sebagai mafsadah, tetapi sebagai

sesuatu yang mengantarkan kepada maslahah.41

Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ menandaskan bahwa dengan mengacu pada

batasan maslahah, dapat dibedakan dua kategori maslahah. Pertama, maslahah ‘ammâh,

yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan kebaikan dan kesejahteraan segenap

37 Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, (New Delhi: Markazi

Maktaba Islami, 1985), hlm. 160. 38Abu Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Juz ke-1, hlm. 417. 39 Syihâb al-Dîn al-Qarafi, Syarh Tanqîh al-Fusûl fi Ikhtisâr al-Mahsûl fi al-Usûl, (Mesir: al-

Matba‘ah al-Khairiyyah, 1307 H) sebagaimana dikutip dalam ‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Ali ibn

Rabî‘ah, ‘Ilm Maqâsid al-Syâri‘, (Riyad: Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 1423 H/2002), hlm. 63. 40 ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, (Beirut: Dâr al-Jail, 1400

H/1980 M), Juz ke-1, hlm. 9. 41 ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ’id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Juz ke-1, hlm. 14.

Page 9: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

9

masyarakat atau sebagian besar masyarakat, tanpa melihat pada satuan-satuan individu dari

mereka. Kedua, maslahah khâssah, yakni maslahah yang pemeliharaannya menentukan

kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat individuil; dari yang bersifat individuil ini akan

mengarah kepada kebaikan dan kesejahteraan yang bersifat kolektif (publik).42

Dalam pemikiran Najm al-Dîn al-Tûfi maslahah dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu maslahah dalam arti ‘urfi dan maslahah dalam arti syar’i. Menurut al-Tûfi

yang disebut pertama ialah hal penyebab yang membawa kepada kebaikan dan

kemanfaatan, seperti perniagaan yang merupakan penyebab yang membawa kepada

keuntungan; sedang yang disebut terakhir ialah penyebab yang membawa kepada tujuan al-

Syâri’, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah. Di sisi lain, al-Tûfi membedakan

maslahah itu menjadi dua macam: (1) maslahah yang dikehendaki al-Syâri’ untuk hak-

Nya, seperti aneka ibadah mahdah, dan (2) maslahah yang dikehendaki al-Syâri’ untuk

kebaikan makhluk-Nya dan keteraturan hidup mereka, seperti aneka bentuk muamalah.43

Abû Ishâq al-Syâtibi mengkategorisasi maslahah menjadi 3 (tiga) macam, yaitu (1)

darûriyyah, (2) hâjiyyah, dan (3) tahsîniyyah. Lebih jauh al-Syâtibi menjelaskan bahwa

darûriyyah ialah sesuatu yang tidak boleh tidak ada demi tegaknya kebaikan dan

kesejahteraan, baik menyangkut urusan ukhrawi maupun urusan duniawi, di mana

manakala ia lenyap, tidak ada, maka tidak dapat terwujud kehidupan duniawi yang tertib

dan sejahtera; bahkan, yang terwujud ialah kehidupan duniawi yang chaos dan kehidupan

ukhrawi yang celaka dan menderita.. Bagi al-Syâtibi, darûriyyah itu mencakup upaya-

upaya memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan, memelihara harta

kekayaan, dan memelihara akal budi.44

Adapun hâjiyyah, dalam pandangan al-Syâtibi, ialah sesuatu yang dibutuhkan dari

sisi kemampuannya mendatangkan kelapangan dan menghilangkan kesempitan yang

biasanya membawa kepada kesukaran dan kesusahpayahan yang diringi dengan luputnya

tujuan/sasaran. Apabila hâjiyyah tidak diperhatikan maka akan muncul kesukaran dan

kesusahpayahan, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan yang biasanya terjadi pada

maslahah darûriyyah, yang bersifat umum. Kategori hâjiyyah sesungguhnya mengarah

kepada penyempurnaan darûriyyah, di mana dengan tegaknya hâjiyyah, akan lenyap segala

masyaqqah dan tercipta keseimbangan dan kewajaran, sehingga tidak menimbulkan

ekstrimitas (ifrât wa tafrît).45

Sedangkan tahsîniyyah, menurut pendapat al-Syâtibi, ialah sesuatu yang berkenaan

dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari kebiasaan-

kebiasaan yang buruk, berdasarkan pertimbangan akal sehat. Hal ini sering disebut dengan

makârim al-akhlâq. Bagi al-Syâtibi, keberadaan tahsîniyyah bermuara kepada kebaikan-

42 Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ, al-Ra’yu wa Atsaruhu fi Madrasat al-Madînah: Dirâsah

Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat al-Syarî‘ah li Kulli Zamân wa Makân, (Beirut: Mu’assasat al-

Risâlah, 1405 H/1985 M), hlm. 338. 43 Najm al-Dîn al-Tûfi, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyyah, hlm. 19, sebagaimana dimuat sebagai

lampiran dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, (t.tp.: Dâr al-Fikr

al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M), hlm. 211. 44 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th.), Jilid I, Juz ke-2, h. 7-13. 45 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Jilid I, Juz ke-2, h. 9-14.

Page 10: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

10

kebaikan yang melengkapi prinsip maslahah darûriyyah dan maslahah hâjiyyah; ini karena

ketiadaan tahsîniyyah tidak merusak urusan darûriyyah dan hâjiyyah; ia hanya berkisar

pada upaya mewujudkan keindahan, kenyamanan dan kesopanan dalam tata hubungan sang

hamba dengan Tuhan dan dengan sesama makhluk-Nya.46

Dalam pada itu, Tâhir ibn ‘Âsyûr berpendapat bahwa maslahah dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu maslahah ‘ammâh dan maslahah khâssah. Yang disebut pertama

ialah sesuatu yang mengandung kebaikan/kemanfaatan bagi seluruh masyarakat atau

mayoritas masyarakat, seperti pemeliharaan harta benda dari bahaya kebakaran dan

tenggelam. Jenis maslahah ‘ammâh inilah yang merupakan perhatian sebagian besar

legislasi al-Qur’an dan Sunnah.47

Husain Hâmid Hisân menyimpulkan bahwa maslahah yang macam (nau’)-nya atau

genus (jins)-nya tidak diakui oleh nass syara’ merupakan maslahah yang palsu, yang

ditolak; hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Seiring dengan itu, maslahah yang

diyakini al-Tûfi tidak berbeda dengan macam (nau’) maslahah yang palsu, yang ditolak

tersebut; hanya ia lebih mengistimewakan dan mengutamakan maslahah ini ketimbang nass

Syara’ dan Ijmâ‘ ulama.48

‘Abdullah Yahya al-Kamâli berpendapat bahwa dalam rangka pengembangan

hukum Islam, harus dipahami 3 (tiga) model kategorisasi maslahah. Pertama, kategorisasi

maslahah yang meliputi maslahah mu‘tabarah, maslahah mulgah, dan maslahah mursalah.

Kedua, kategorisasi maslahah yang mencakup al-masâlih al-darûriyyâh, al-masâlih al-

hâjiyyâh, dan al-masâlih al-tahsîniyyah. Ketiga, kategorisasi maslahah yang terdiri atas

maslahat al-dîn, maslahat al-nafs, maslahat al-‘aql, maslahat al-nasl, dan maslahat al-

mâl.49

Penting untuk dibedakan dua domain aplikasi maslahah untuk legislasi hukum

Islam. Pertama, kasus-kasus dan masalah-masalah yang dicakup oleh nass Syara‘ dan

diberikan aturan hukum relatif rinci olehnya. Kedua, kasus-kasus dan masalah-masalah

yang tidak dicakup oleh nass Syara‘ yang spesifik dan tidak diatur secara rinci olehnya.

Yang ramai dan gencar diwacanakan oleh para pakar hukum Islam ialah domain yang

disebut pertama. Sedangkan domain kedua tetap diwacanakan oleh mereka, tetapi tidak

seramai dan segencar yang pertama.50

Adagium bahwa Syariah Islam itu adalah Syariah maslahah, telah diterima oleh

hampir segenap umat Islam, baik kalangan ulama maupun kalangan awam. Proposisi yang

kerap dikemukakan mereka sehubungan dengan hal tersebut, antara lain, ialah: “ Syariah

Islam itu datang membawa misi realisasi maslahah dan eliminasi madarrah “; “ Syariah

Islam itu intinya mendatangkan kemanfaatan dan mencegah kerusakan “; “Syariah Islam itu

46 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Jilid I, Juz ke-2, h. 9-10. 47 Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-Salâm,

1427 H/2006 M), hlm. 63. 48 Husain Hâmid Hisân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut: Dâr al-Nahdah al-

‘Arabiyyah, 1971), hlm. 608. 49 Lihat ‘Abdullah Yahya al-Kamâli, Maqâsid al-Syarî‘ah fi Dau’ Fiqh al-Muwâzanât, (Beirut: Dâr

Ibn Hazm, 1421 H/2000 M), hlm. 26-28, 111-116, dan 147-164. 50 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 29.

Page 11: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

11

datang membawa misi realisasi dan maksimalisasi maslahah serta misi eliminasi dan

minimalisasi madarrah “; “ Syariah Islam itu diciptakan (oleh Allah) untuk mewujudkan

maslahah bagi hamba-hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak “; “Syariah Islam

itu dibangun dan dilandaskan pada alas hikmah dan maslahah bagi umat manusia, ia

sepenuhnya mengandung keadilan (al-‘adâlah), kasih sayang (al-rahmah), dan maslahah;

dan “ Di mana saja didapati maslahah, di situlah hukum Allah, dan di mana saja ada

hukum Allah, di situlah didapati maslahah”.51

Adagium bahwa maslahah itu adalah Syariah Islam52, termanifestasikan pada

sejumlah teori dan legal maxim hukum Islam yang berhulu dari dan bermuara kepada

maslahah.53 Sedangkan sebagai contoh legal maxim hukum Islam, yakni : (i) al-asl fi al-

manâfi‘ al-hill wa fi al-madârr al-man‘u, (ii) lâ darar wa lâ dirâr; (iii) al-darar yuzâl, (iv)

yutahammal al-darar al-khâss li daf‘ al-darar al-‘âmm, (v) al-darar al-asyadd yuzâl bi al-

darar al-akhaff , (vi) tasarruf al-imâm ‘ala al-ra‘iyyah manût bi al-maslahah.54

Tidak dapat dipungkiri bahwa Syariah Islam tidak memiliki tujuan kecuali realisasi

maslahah bagi manusia. Semua nass dan aturan hukumnya hanya bertujuan realisasi

maslahah sekaligus eliminasi mafsadah. Atas dasar ini, Ahmad al-Raisûni mengajukan

proposal model aplikasi maslahah dalam pengembangan hukum Islam. Menurut Ahmad al-

Raisûni, merupakan suatu keharusan untuk meresponi semua nass dan aturan hukum

Syariah Islam dengan model pemahaman yang berorientasi maslahah (al-fahm al-maslahiy)

dan model penerapan yang juga berorientasi maslahah (al-tatbîq al-maslahiy). Inilah yang

dinamakan respon yang berorientasi maslahah (al-ta‘âmul al-maslahiy ma‘a al-nusûs),

yang nota bene menyingkirkan respon yang mengasumsikan adanya kontradiksi nass

dengan maslahah, dan juga menggusur respon yang mengasumsikan nass yang nihil

maslahah, seperti yang diasumsikan oleh aliran literalis-skripturalistik-reduksionistik.55

Dalam pandangan Ahmad al-Raisûni, isu respons berorientasi maslahah terhadap

nass Syara‘ meliputi: (1) kualifikasi maslahah dengan parameter nass Syara‘; (2)

interpretasi beorientasi maslahah terhadap ass (al-tafsîr al-maslahiy li al-nusûs); dan (3)

aplikasi berorientasi maslahah terhadap nass (al-tatbîq al-maslahiy li al-nusûs).

Mengenai isu kualifikasi maslahah dengan parameter nass Syara‘, Ahmad al-

Raisûni menjelaskan bahwa semua nass Syara‘ bermuatan nilai-nilai ‘adâlah, rahmah, dan

maslahah. (Perhatikan Q.s. al-Anbiyâ’/21:107). Maka dari itu, tiada sikap yang bisa

dipegang melainkan memposisikan nass-nass Syara‘ sebagai parameter untuk

51 Lihat Muhammad Sa‘îd Ramadan al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,

(Beirut: al-Dâr al-Muttahidah dan Mu’assasat al-Risâlah, 1421 H/2000 M), hlm. 6, 8, 9, dan 13-22. 52 Adagium ini maksudnya bahwa di mana saja didapati maslahah, di situlah ada hukum Allahlm.

Dalam kaitan ini pula al-Gazâli menyatakan: “ Kadang kami menjadikan maslahah sebagai penanda hukum,

dan kadang kami menjadikan hukum sebagai penanda maslahahlm.” Lihat Ahmad al-Raisûni dan

Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd : al-Nass, wa al-Wâqi‘, wa al-Maslahah, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422

H/2002 M), hlm. 32-33. 53 Lihat Husain Hâmid Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, (Beirut; Dâr al-Nahdah

al-‘Arabiyyah, 1971), hlm. 50, 220, 258, dan 322. 54 Lihat ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, Qawâ‘id al-Maqâsid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi :

‘Aradan wa Dirâsatan wa Tahlîlan, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000), hlm. 84-87. Buku ini semula merupakan

disertasi doktor ‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, yang juga menjabat Guru Besar Ilmu Hukum Islam di

Universitas Mu’tah, Yordania. 55 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 50.

Page 12: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

12

mengidentifikasi dan mengkualifikasi maslahah, membedakan (diferensiasi) maslahah

dengan mafsadah, membedakan (diferensiasi) maslahah yang tinggi dengan maslahah yang

rendah, serta membedakan maslahah yang esensial dengan maslahah yang komplementer.56

Mengenai isu interpretasi berorientasi maslahah terhadap nass (al-tafsîr al-maslahiy

li al-nusûs), Ahmad al-Raisûni mengemukakan bahwa hal itu mengandung arti, yakni

meneliti dan mengkaji tujuan-tujuan hukum (maslahah) yang menjiwai nass Syara‘, dan

yang dikandung aturan-aturan hukumnya, untuk kemudian memahami nass Syara‘,

mengeluarkan saripati makna dan pesannya yang sejalan dengan tujuan-tujuan hukum

(maslahah) tersebut. Model interpretasi ini sesungguhnya tiada lain merupakan aplikasi

dari prinsip yang aksiomatik: “Syariah Islam sepenuhnya maslahah dan sepenuhnya

rahmah (kasih sayang) “.57

Mengenai isu aplikasi berorientasi maslahah terhadap nass, Ahmad al-Raisûni

menegaskan bahwa hal demikian merupakan derivasi dan pengembangan dari interpretasi

beorientasi maslahah terhadap nass. Hal ini juga pada gilirannya mengeliminasi/menegasi

prasangka kontradiksi antara nass Syara‘ dan maslahah. Aplikasi berorientasi maslahah

terhadap nass mengandung arti, yakni memperhatikan tujuan hukum dan maslahah yang

dikandung nass Syara‘ ketika menerapkan (“membumikan”) nass Syara‘ tersebut. Hal ini

menuntut suatu pola “membumikan” nass Syara‘, suatu kerangka acuan yang menentukan

kapan nass itu diterapkan dan kapan ia tidak diterapkan, serta kapan sesuatu itu

dikecualikan dari cakupan nass itu.58

Aplikasi Maslahah dalam Kriminalisasi Pencucian Uang

Indonesia jelas harus memperhatikan desakan internasional untuk segera

mempunyai instrumen hukum anti-pencucian uang. Desakan itu datang dari, antara lain,

IMF (International Monetary Fund), World Bank dan Asian Developmen Bank (ADB),

terutama terkait dengan keadaan ekonomi Indonesia yang memerlukan, baik bantuan dana

maupun investasi asing.59 Sementara itu, dunia internasional telah bersepakat untuk

mencegah dan memberantas praktik pencucian uang dengan cara mengadakan kerja sama

internasional dalam berbagai forum. Indonesia mau tak mau harus mengikuti dinamika

pembentukan dan penguatan rezim anti-pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam

badan-badan atau organisasi internasional.60

Dalam mengucurkan bantuannya, IMF selalu memasukkan klausul atau persyaratan

bahwa negara-negara yang akan dibantu tersebut harus berpartisipasi aktif memberantas

korupsi. Seiring dengan itu, ADB juga memberikan tekanan pada Indonesia agar segera

melakukan kriminalisasi pencucian uang, dalam rangka kelanjutan pencairan pinjaman

sebesar 140 juta US Dollar.61 Perhatian IMF dan World Bank terhadap praktik pencucian

56 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 51. 57 Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 53. 58Ahmad al-Raisûni, “al-Ijtihâd bain al-Nass, wa al-Maslahah wa al-Wâqi‘ , hlm. 55. 59 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 8. 60 Tb. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang ((Money Laundering), (Jakarta: MQS

Publishing & AYYCCS Group, 2006. 61 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 8.

Page 13: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

13

uang tercermin dalam tindakan kedua lembaga tersebut yang menyetujui 40

Recommendations FATF (The Financial Action Task Force on Money Laundering)

berkenaan dengan standar internasional untuk memerangi pencucian uang.62

Kriminalisasi pencucian uang dan penerapannya mendesak untuk segera

dilaksanakan di Indonesia walaupun pada kenyataannya Indonesia memerlukan dana

investasi yang sangat besar. Apabila tidak segera melakukan kriminalisasi pencucian uang

maka tidak mustahil Indonesia akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat keuangan

internasional. Hal ini akan berdampak buruk, misalnya bisa terkena sanksi internasional

berupa larangan bagi masyarakat bisnis internasional untuk mengadakan transaksi finansial

dengan perbankan Indonesia.63

Desakan internasional terhadap Indonesia berwujud, antara lain, dengan

dimasukkannya Indonesia oleh FATF-pada tahun 2001-ke dalam daftar hitam Non-

Cooperative Countries and Territories (NCCT) dalam memberantas kejahatan pencucian

uang. Dalam rangka meresponi kunjungan observasi FATF untuk melihat kesiapan

Indonesia dalam memberantas kejahatan pencucian uang, sambil menunggu lahirnya UU

Anti-Pencucian Uang, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No. 3/10/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer).64

Pencegahan dan pemberantasan aktivitas money laundering (pencucian uang) dapat

dilakukan melalui pendekatan pidana (penal) dan pendekatan bukan-pidana (non-penal).

Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan aktivitas money laundering

(pencucian uang) merupakan pelaksanaan amanat PBB yang tertuang dalam The UN

Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988

(Vienna Convention 1988), yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7

Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara

penandatangan diharuskan untuk melakukan kriminalisasi pencucian uang.65 Dalam

perkembangannya kemudian, pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan kriminalisasi

pencucian uang melalui UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.

25 Tahun 2003.66 Diamandemennya UUPU pada tahun 2003 didasarkan pada alasan, antara

62 FATF adalah suatu satuan tugas khusus internasional dalam rangka penegakan hukum anti-

pencucian uang, yang dibentuk oleh KTT G-7 di Paris, Perancis, pada tahun 1989. Salah satu tugas pokok

penting FATF ialah mengembangkan 40 Rekomendasi yang digunakan sebagai pedoman untuk mengukur

kinerja rezim anti-pencucian uang di setiap negara peserta yang berjumlah 29 negara dan wilayah yurisdiksi

termasuk negara-negara Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Asia, Komisi Eropa, dan Dewan Kerjasama

Negara-Negara Teluk, lihat Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the

Financing Terrorism, (Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003), hlm. 4 63 Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 8. 64 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, (Bandung: Books Terrace & Libarary,

2007), hlm. 96. Selain Indonesia, ada 16 negara lainnya yang masuk dalam daftar hitam dimaksud, yaitu

Rusia, Filipina, Kepulauan Nauru, Kepulauan Cook, Dominica, Mesir, Guatemala, Hongaria, Israel, Lebanon,

Kepulauan Marshall, Myanmar, Nigeria, Niue, St. Kitt and Nevis, dan St. Vincent and Granadines. Lihat

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 9. 65 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, hlm. 95. 66 yakni UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang. Untuk selanjutnya terkadang digunakan istilah Undang-Undang Pencucian Uang

(UUPU) untuk menunjuk kepada undang-undang dimaksud.

Page 14: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

14

lain, adanya penilaian kalangan internasional terhadap UUPU tersebut sebagai perangkat

yuridis yang belum memenuhi standar internasional rezim anti-pencucian uang.67

Hal terpenting dari Vienna Convention 1988 tersebut adalah substansi yang

mengokohkan terbentuknya International Anti-Money Laundering Legal Rezime, yang

merupakan salah satu upaya internasional untuk menetapakn rezim hukum internasional

baru. Rezim ini pada dasarnya bertujuan memberantas pencucian uang dengan strategi

untuk memerangi hasil kejahatan (proceeds of crime). Di samping itu, rezim hukum

internasional anti-pencucian uang ini menentukan pula arah kebijakan untuk melakukan

kriminalisasi pencucian uang dengan standar-standar tertentu yang tetap memberi tempat

untuk kedaulatan hukum negara-negara pihak peserta (state souvereignity).68

Legislasi UUPU di Indonesia, seperti halnya di negara-negara lain, merupakan bukti

adanya perhatian besar Pemerintah RI terhadap pencucian uang sebagai kejahatan lintas

negara (transnational crimes). Kehadiran UUPU itu memberikan landasan hukum yang

kokoh dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,

sekaligus bukti nyata komitmen Indonesia bersama-sama dengan masyarakat internasional

bahu-membahu menangkal setiap bentuk kejahatan money laundering dalam berbagai

dimensinya. Besarnya perhatian Pemerintah RI terhadap tindak kejahatan ini, terutama,

karena besarnya dampak yang ditimbulkan, antara lain, berupa instabilitas sistem keuangan,

distorsi ekonomi, dan kemungkinan gangguan terhadap pengendalian jumlah uang yang

beredar.69

Money Laundering pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap

pembangunan dan kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan

negara RI, bahkan dunia internasional. Money Laundering sering didentifikasi sebagai salah

satu bentuk dari kejahatan terorganisasi (organized crime), kejahatan lintas negara

(transnational crime), kejahatan “kerah putih” (white collar crime), dan kejahatan

korporasi (corporate crime).70 Dengan mengacu pada alur proses kriminalitasnya, kejahatan

pencucian uang (money laundering) sesungguhnya merupakan suatu kejahatan pada posisi

hilir, di mana hulunya merupakan berbagai macam kejahatan yang disebut sebagai

predicate crimes.71

Hasil kajian yang komprehensif menyimpulkan bahwa unsur-unsur money

laundering itu meliputi: (1) unsur “act”, yakni conversion, transfer, or concealment of the

true elements of ownership of property, or acquisition or use of property, or assisting, or

counseling; (2) unsur “knowledge”, yakni that the property is derived from one or specified

types of underlying criminal activity; dan (3) unsur “objective”, yakni to conceal the illicit

67 Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), (Jakarta: Pensil-324, 2006),

hlm. xv. 68 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, hlm. 45. 69 Kairo Silalahi, Optimalisasi Peranan Penyedia Jasa Keuangan dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.

iii. (Tesis tidak diterbitkan). 70 M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), (Malang: Bayumedia

Publishing, 2004), hlm. 13. 71 Mengenai kejahatan apa saja yang termasuk predicate crimes telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat

(1) UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002.

Page 15: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

15

origin of the property, or to assist a person involved in underlying activity in evading the

consequences of discovery of the activity.72

Ketiga unsur itu sudah diakomodasi dalam rumusan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3

ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003. Namun, ada sedikit perbedaan redaksional dan

penempatan unsur ke-(3). Dalam Pasal 1 angka 1 unsur ke- (3) dirumuskan dengan kalimat

“dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan

sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah“. Sedangkan dalam Pasal 3 ayat

(1) dirumuskan dengan kalimat “dengan maksud untuk menyembunyikan atau

menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak pidana”. Dalam analisisnya, Barda Nawawi Arief mengusulkan

agar unsur ke-(3) dalam Pasal 3 ayat (1) disinkronisasikan dengan redaksi Pasal 1 angka1.

Di samping itu, dalam Pasal 1 angka 1 , unsur ke-(3) menjadi unsur umum untuk semua

varian pencucian uang; sedang dalam Pasal 3 ayat (1) terkesan hanya menjadi unsur untuk

varian tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 3 ayat (1) huruf g, walaupun mungkin

maksud pembuat undang-undang tidak demikian.73

Dalam Pasal 1 UUPU dinyatakan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah

perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,

menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan

lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak

pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta

Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dari pengertian atau

batasan “pencucian uang” dalam Pasal 1 angka 1 ini terlihat jelas unsur-unsur sebagai

berikut. Pertama, perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan,

menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau

perbuatan lainnya atas harta kekayaan. Kedua, yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil tindak pidana. Ketiga, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau

menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang

sah. Lebih dari itu, pengertian/batasan Pasal 1 angka 1 itu memberi kesan kuat bahwa yang

dimaksud dengan “pencucian uang” identik dengan “tindak pidana pencucian uang” yang

dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003.

Menurut pandangan Barda Nawawi Arief, rumusan pengertian istilah “pencucian

uang” dalam Pasal 1 angka 1 tersebut seyogianya ditinjau kembali. Rumusan tersebut

terlalu panjang dan sudah mirip dengan rumusan delik karena menyebutkan semua unsur

delik “pencucian uang”. Padahal fungsi Pasal 1 (dalam Bab I yang bertajuk Ketentuan

Umum) seharusnya hanya memberi penjelasan arti (maksud) dari suatu istilah atau unsur

yang disebut dalam rumusan delik atau pasal-pasal lain dalam bab lain. Jadi, fungsinya

bukan menyebutkan semua unsur delik, tetapi sekadar memberi arti salah satu unsur delik.

72 Stephen S. Kroll, “ Money Laundering: A Concept Paper Prepared for the Government of

Bulgaria “, sebagaimana dikutip dalam Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 220. 73 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), hlm. 221.

Page 16: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

16

Di samping itu, pengertian/batasan “pencucian uang” dalam Pasal 1 angka 1 memberi

kesan hanya Pasal 3 ayat (1) yang menunjuk atau identik dengan “tindak pidana pencucian

uang”. Padahal delik dalam Pasal 6 ayat (1)-yang merupakan pasangan dari Pasal 3 ayat

(1)-juga sebenarnya termasuk tindak pidana pencucian uang. Lebih dari itu, istilah

“pencucian uang” disebut dalam berbagai pasal, tidak hanya dalam Pasal 3 ayat (1), yakni

Pasal 4, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 18, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 33, Pasal 37, Pasal 38, Pasal

40, Pasal 41, Pasal 42, dan Pasal 44. Sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah

“pencucian uang” dalam pasal-pasal itu ialah semua tindak pidana yang diatur dalam Bab II

dan Bab III UU No. 25 Tahun 2003. Maka dari itu, formulasi Pasal 1 angka 1 patut dikaji

ulang. 74

Dalam rezim anti-pencucian uang dikenal adanya tindak pidana asal (predicate

crime), yang menghasilkan harta kekayaan, yang kemudian dijadikan obyek tindak pidana

pencucian uang. Menurut UUPU, tindak pidana asal tersebut mencakup tindak pidana-

tindak pidana: (a) korupsi, (b) penyuapan, (c) penyelundupan barang, (d) penyelundupan

tenaga kerja, (e) penyelundupan imigran, (f) perbankan, (g) pasar modal, (h) asuransi, (i)

narkotika, (j) psikotropika, (k) perdagangan manusia, (l) perdagangan senjata gelap, (m)

penculikan, (n) terorisme, (o) pencurian, (p) penggelapan, (q) penipuan, (r) pemalsuan

uang, (s) perjudian, (t) prostitusi, (u) perpajakan, (v) kehutanan, (w) lingkungan hidup, (x)

kelautan, dan (y) tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat)

tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah

Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana

menurut hukum Indonesia.75

Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan

menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada

tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi

semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara

sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung

dari kebutuhan pelaku tindak pidana.76 Modus operandi kejahatan pencucian uang dapat

dikemukakan, antara lain sebagai berikut. Pertama, modus loan back, yakni dengan cara

meminjam uang si pelaku sendiri; dan modus ini mengambil 3 (tiga) bentuk, yaitu direct

loan, back to loan, dan parallel loan.77 Kedua, modus transaksi dagang internasional, yakni

menggunakan sarana dokumen L/C. Ketiga, modus penyelundupan uang tunai atau sistim

bank paralel ke negara lain, yakni menyelundupkan sejumlah fisik uang ke luar negeri,

yang sering melalui electronic transfer. Keempat, modus real estate carousel, yakni

74 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, hlm. 202 dan 216-218. 75 Pasal 2 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002 76 Lihat PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

bagi Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 6 77 Maksud dari direct loan ialah dengan cara meminjam dari perusahaan luar negeri (semacam

perusahaan bayangan, yang direksinya dan pemegang sahamnya si pelaku sendiri; back to loan adalah dengan

cara meminjam uang dari cabang bank asing di negaranya; parallel loan adalah pembayaran internasional

yang memperoleh asset di luar negeri, di mana lantaran ada hambatan restriksi mata uang dicarilah

perusahaan lain di luar negeri untuk sama-sama mengambil loan dan dana dari loan itu dipertukarkan satu

sama lain. Lihat Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), hlm. 18.

Page 17: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

17

dengan cara menjual properti beberapa kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang

sama. Kelima, modus operasi c-hase, yakni menyimpan dana dalam batas jumlah yang tak-

wajib lapor, kemudian mengkonversinya menjadi certificate of deposit untuk mengambil

loan dalam jumlah dana yang sama di negara yang terkenal dengan tax haven-nya, seperti

Karibia. Keenam, modus investasi tertentu, yakni melakukan investasi di bidang yang sama

sekali jauh dari keumuman, misalnya bisnis lukisan atau barang antik. Ketujuh, modus over

invoices atau dub invoices, yakni dengan cara mendirikan perusahaan ekspor impor di

negara pelaku sendiri. Kedelapan, modus perdagangan saham. Kesembilan, modus pizza

connection, yakni dengan cara menginvestasikan sebagian dana hasil kejahatan untuk

mendapatkan konsesi pizza dan sebagian dana lagi diinvestasikan di Karibia dan Swiss.

Kesepuluh, modus LA Mina, yakni menyerahkan dana hasil kejahatan kepada pedagang

grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat, untuk disimpan dalam kotak kemasan

emas dan kemudian dikirim sebagai produk ekspor kepada pedagang perhiasan anggota

sindikat itu. Kesebelas, modus deposit talking, yakni mendirikan perusahaan keuangan

seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Kanada. Keduabelas, modus identitas palsu,

yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutihan uang hasil kejahatan

melalui fasilitas perbankan dengan nama, alamat, dan keterangan diri yang palsu.78

Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, tetapi pada

dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan, yaitu

placement, layering, dan integration.79

Pertama, placement (penempatan), yakni upaya menempatkan dana yang dihasilkan

dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama

bank. Pada tahap placement ini, bentuk dari uang hasil kejahatan dikonversi untuk

menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil yang dperoleh dari

perdagangan narkoba yang pada umumnya berupa uang-uang yang berdenominasi kecil-

kecil dalam tumpukan-tumpukan yang besar dan lebih berat dari narkobanya sendiri,

dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar, dan kemudian uang itu

dimasukkan langsung ke dalam suatu rekening, atau digunakan untuk membeli sejumlah

instrumen-instrumen moneter, kemudian menagih uang tersebut dan memasukkannya ke

dalam rekening-rekening di lokasi lain. Sekali uang tunai itu telah dapat ditempatkan pada

satu bank maka uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan,

bahkan kemudian uang itu telah masuk ke dalam sistem keuangan global. Bentuk kegiatan

pada tahap ini antara lain: (i) menempatkan dana pada bank, dan kadang-kadang kegiatan

ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan; (ii) menyetorkan uang pada PJK sebagai

pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; (iii) Menyelundupkan uang tunai dari

suatu negara ke negara lain; (iv) membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait

dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi

kredit/pembiayaan; dan (v) membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk

78 Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), hlm. 18-21. 79 John Madinger, Sydney A. Zalopany, Money Laundering: A Guide for Criminal Investigators,

(Florida: CRC Press, 1999), hlm. 15.

Page 18: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

18

keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah

kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui Penyedia Jasa Keuangan.80

Kedua, layering (transfer) atau disebut juga heavy soaping, yakni upaya

memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya (tindak pidananya) melalui beberapa

tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana.

Dalam tahap ini pihak launderer berusaha untuk memutuskan hubungan uang hasil

kejahatan itu dari sumbernya. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan uang tersebut

dari satu bank ke bank yang lain dan dari negara yang satu ke negara yang lain hingga

beberapa kali, yang seringkali pelaksanaannya dilakukan dengan cara memecah-mecah

jumlahnya sehingga dengan pemecahan dan pemindahan beberapa kali itu asal-usul uang

tersebut tidak mungkin lagi dapat dilacak oleh otoritas moneter atau para aparat penegak

hukum. Pihak launderer melakukannya dengan mengkonversi atau memindahkan dana

tersebut menjauh dari sumbernya, dengan cara menyalurkannya, antara lain, melalui aksi

pembelian dan penjualan investment instruments, mendirikan perusahan ‘gadungan’

(dummy company), pembayaran barang dan jasa agar terlihat sebagai transaksi yang sah.

Dalam tahap layering ini, pihak launderer melakukan upaya pendirian perusahan-

perusahaan ‘gadungan’ di negara yang tidak ketat aturan kerahasiaan banknya atau yang

tidak punya undang-undang anti-pencucian uang atau yang lemah dalam penegakan hukum

anti-pencucian uang. Uang tersebut kemudian ditransfer di antara perusahaan-perusahaan

‘gadungan’ tersebut sehingga muncul seolah-olah sebaga uang yang bersih atau ‘halal’.

Pada tahap ini juga ada upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana

(dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama

bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain

(terutama bank) sehingga akan menjadi sulit bagi aparat penegak hukum untuk dapat

mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut. Dalam kegiatan ini terdapat proses

pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke

tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan

dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: (i) transfer

dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara; (ii) penggunaan simpanan

tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah; (iii) memindahkan uang tunai

lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.81

Ketiga, integration atau disebut pula spin dry, yakni upaya menggunakan harta

kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam

berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai

kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Pada

tahap ini ada upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang

80 Lihat Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the Financing

Terrorism, (Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003), hlm. 10-11; dan Sutan Remy Sjahdeini,

Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,

2004); dan PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi

Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 4-5. 81 IBRD, The World Bank, and IMF, Reference Guide to Anti-Money Laundering and Combating the

Financing of Terrorism, (Washington DC: The World Bank, 2006), hlm. 8.

Page 19: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

19

telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan atau transfer sehingga

seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal

atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Pada tahap ini pula, uang yang telah

‘dicuci’ dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang ‘bersih’, bahkan

merupakan obyek pajak. Pihak launderer biasanya menginvestasikan dana tersebut ke

dalam bisnis real estate, barang-barang mewah, dan perusahaan-perusahaan.82

Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil

yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya

adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya

dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi

secara terpisah atau simultan, tetapi umumnya dilakukan secara tumpang tindih.

Kegiatan money laundering membawa dampak-dampak yang sangat merugikan

masyarakat dan negara. Pertama, merongrong stabilitas keuangan negara. Kedua,

menurunkan pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak. Ketiga, merongrong sektor

bisnis swasta yang sah. Keempat, merongrong integritas pasar keuangan. Kelima,

melemahkan kontrol pemerintah atas kebijakan ekonominya. Keenam, menimbulkan

distorsi dan instabilitas ekonomi. Ketujuh, membahayakan program privatisasi BUMN

yang dijalankan Pemerintah. Kedelapan, mendegradasi reputasi negara di dalam pergaulan

internasional. Kesembilan, menimbulkan biaya sosial yang tinggi.83

Sementara itu, IMF (International Monetary Fund) melaporkan bahwa

konsekuensi-konsekuensi ekonomi dari money laundering adalah:

1. terjadinya kesalahan kebijakan karena terjadinya kesalahan pengukuran data statistik

ekonomi makro sebagai akibat kegiatan money laundering;

2. terjadinya volatilitas pada nilai tukar dan tingkat suku bunga karena besarnya transfer

dana lintas batas yang tidak terantisipasi;

3. perkembangan dari liability base yang tidak stabil dan struktur-struktur aset yang tidak

sehat dari lembaga-lembaga keuangan atau kelompok-kelompok dari lembaga-lembaga

keuangan tersebut, telah menimbulkan risiko berupa krisis yang sistemik dan pada

gilirannya mengakibatkan ketidakstabilan moneter;

4. Dampak dari pengumpulan pajak dan dari alokasi pembelanjaan publik karena terjadinya

pelaporan yang direkayasa dan pelaporan mengenai pendapatan yang dibuat lebih rendah

daripada jumlah yang sesungguhnya;

5. misalokasi dari sumber-sumber daya karena terjadinya distorsi nilai aset dan harga-harga

komoditas sebagai akibat kegiatan pencucian uang; dan

82 Lihat PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

bagi Penyedia Jasa Keuangan, (Jakarta: PPATK, 2003), hlm. 4-5; dan Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk

Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm.33-

36; 83 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “ Pencapaian Stabilitas Perekonomian Nasional Melalui Upaya

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang “, dalam Emmy Yuhassarie, (eds.), Tindak

Pidana Pencucian Uang: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan

Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hlm. 62.

Page 20: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

20

6. dampak-dampak tidak sehat terhadap transaksi-transaksi yang sah sebagai akibat

kemungkinan dikaitkannya transaksi-transaksi itu dengan kejahatan.84

Sebagai suatu fenomena kejahatan modern, tindak pidana pencucian uang memiliki

sejumlah varian. Dalam UU No. 25 Tahun 2003 jo. UU No. 15 Tahun 2002, diungkapkan

varian-varian dimaksud. Menurut pendapat J.E. Sahetapy, pada dasarnya suatu ketentuan

pidana menurut undang-undang terdiri atas 3 (tiga) komponen, yaitu (a) pasal yang

mempunyai rumusan yang kompleks, (b) rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian

nama pada rumusan (tindak pidana), yakni suatu kualifikasi, dan (c) ancaman pidana atau

hukuman.85 Sehubungan dengan UUPU, dapat dikatakan bahwa pasal-pasal pokok yang

merupakan tindak pidana pencucian uang pada rumusan deliknya mengandung perbuatan

pidana dan perbuatan perdata, di mana perbuatan pidana tercermin pada penyebutan “tindak

pidana’ (predicate crime) dan “hasil tindak pidana” atau harta kekayaan mengindikasikan

‘perbuatan pidana’. Sedangkan penyebutan “transaksi” dan PJK merupakan ‘perbuatan

perdata’. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kekhususan tindak pidana pencucian uang

terletak pada eksisnya dua entitas perbuatan (perbuatan pidana dan perbuatan perdata)

dalam rumusan delik.86 Pada rumusan delik materiil, yang dibicarakan ialah akibat.

Dalam doktrin hukum pidana, rumusan delik itu memiliki, setidaknya, 2 (dua)

fungsi. Pertama, fungsi melindungi dari hukum, nota bene yang berkait erat dengan asas

legalitas. Kedua, fungsi petunjuk bukti karena rumusan delik menunjukkan apa yang harus

dibuktikan menurut hukum. Dalam doktrin hukum pidana pula dikenal pembedaan 2 (dua)

macam delik, yaitu delik formiil dan delik materiil. Pada rumusan delik formiil, yang

disebutkan ialah perbuatan manusia; yang ditekankan ialah perbuatannya, terlepas dari

akibat yang mungkin timbul; jadi, perbuatan itu sendiri sudah bertentangan dengan

larangan atau perintah, dan sudah dapat dipidana. Sedangkan pada delik materiil, yang

disebutkan ialah akibat perbuatan manusia. Pada rumusan delik materiil, yang dilarang dan

dapat dipidana ialah menimbulkan akibat suatu perbuatan. Pada rumusan delik formiil

disebutkannya suatu akibat hanyalah untuk dapat memberatkan atau meringankan pidana,

dan tanpa lahirnya suatu akibat, perbuatan itu sendiri sudah dilarang dan dapat dipidana.

Dalam tindak pidana pencucian uang, yang ditekankan ialah perbuatannya.

Konsekuensinya, pasal-pasal dalam UUPU mengandung makna delik formiil. Akan tetapi,

terdapat perbuatan yang dilarang oleh pembuat undang-undang dimasukkan ke dalam

rumusan “hasil tindak pidana’, dan ini merupakan sifat melawan hukum materiil sehingga

menjadi delik materiil.87

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal pembedaan delik komisi dan delik omisi.

Dalam delik komisi, rumusannya menghendaki ditepatinya norma yang melarang perbuatan

tertentu sehingga terciptalah ketentuan pidana yang mengancam ‘laku berbuat’ itu dengan

84 Lihat Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan

Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004), hlm. 25-26. 85 J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 24. 86 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (Bandung: MQS

Publishing, 2006), hlm. 228 dan 230. 87 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 230, 232 dan 233-

234.

Page 21: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

21

sanksi pidana. Jadi, dalam delik komisi, yang ditekankan ialah “melarang suatu perbuatan

dilakukan”. Sementara rumusan delik omisi menghendaki ditepatinya norma yang

menyuruh/memerintahkan/mengharuskan suatu perbuatan sehingga terciptalah ketentuan

pidana yang mengancam ‘laku tidak berbuat’ itu dengan sanksi pidana. Jadi, dalam delik

omisi, yang ditekankan ialah mengharuskan/memerintahkan suatu perbuatan dilakukan.

Sehubungan dengan UUPU, dapat dikatakan bahwa semua pasal yang memuat ancaman

atau ketentuan pidana merupakan delik komisi kecuali sejumlah pasal yang merupakan

delik omisi, yakni Pasal 8 dan Pasal 9.88

Terdapat unsur-unsur pokok yang selalu ada dalam berbagai varian tindak pidana

pencucian uang, yaitu (a) transaksi, (b) harta kekayaan, dan (c) melanggar

hukum/melawan hukum. Apabila unsur-unsur pokok ini tidak ada atau tidak dapat

dibuktikan maka dianggap tidak ada money laundering karena unsur pokok atau unsur delik

tertulis merupakan unsur yang harus dibuktikan sehingga berfungsi sebagai petunjuk

bukti.89 Dengan demikian, varian tindak pidana pencucian uang menurut Pasal 6 ayat (1)

dapat dikonstruksi sebagai berikut. Pertama, transaksi, terdapat pada perbuatan “menerima

atau menguasai” penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan,

atau penukaran. Kedua, harta kekayaan, terdapat pada klausa “harta kekayaan”. Ketiga,

melanggar hukum/melawan hukum, terdapat pada klausa “diketahuinya atau patut

diduganya merupakan hasil tindak pidana”.

Secara khusus perlu dibicarakan masalah sifat melawan hukum. Dalam doktrin

hukum pidana dikenal 4 (empat) macam sifat melawan hukum, yaitu (a) sifat melawan

hukum formiil, (b) sifat melawan hukum materiil, (c) sifat melawan hukum umum, dan (e)

sifat melawan hukum khusus. Perlu diketahui bahwa sifat melawan hukum formiil adalah

terpenuhinya unsur-unsur dalam rumusan delik yang ditetapkan undang-undang, sedang

sifat melawan hukum materiil ialah melanggar atau membahayakan kepentingan hukum

yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan suatu delik.

Sementara sifat melawan hukum umum merupakan sifat melawan hukum yang ditetapkan

sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya suatu tindak pidana; dan sifat melawan

hukum khusus merupakan sifat melawan hukum yang diposisikan sebagai syarat yang

tertulis secara khusus untuk dapat dipidananya suatu tindak pidana. 90

Dalam UUPU, terdapat sejumlah perbuatan yang dikriminalisasi sehingga

dikualifikasi sebaga tindak pidana pencucian uang, yang terwadahi dalam Pasal 3 ayat (1).

Terdapat 7 (tujuh) macam perbuatan yang dimaksud.

Pertama, penempatan harta kekayaan hasil tindak pidana. Menurut Pasal 3 ayat (1)

huruf a UU No. 25 Tahun 2003, varian tindak pidana ini dianggap terwujud bilamana

memenuhi unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) menempatkan harta

kekayaan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga

88 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 76. 89 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), hlm. 235-236. 90 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM

Press, 2008), hlm. 197-201.

Page 22: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

22

olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, (e) ke dalam Penyedia

Jasa Keuangan. Kedua, pentransferan harta kekayaan hasil tindak pidana. Pasal 3 ayat (1)

huruf b menentukan bahwa varian tindak pidana ini dianggap terwujud jika memenuhi

unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) mentransfer harta kekayaan, baik atas

nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya bahwa

harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana, (e) dari suatu Penyedia Jasa Keuangan

ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Ketiga, pembayaran atau pembelanjaan harta

kekayaan hasil tindak pidana. Dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c ditentukan kualifikasi varian

tindak pidana ini, yakni (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) membayarkan atau

membelanjakan harta kekayaan, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama

pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan

hasil tindak pidana. Keempat, penghibahan atau penyumbangan harta kekayaan hasil tindak

pidana. Kualifikasi varian tindak pidana ini menurut Pasal 3 ayat (1) huruf d ialah (a) setiap

orang, (b) dengan sengaja, (c) menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan, baik

atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya

bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Kelima, penitipan harta kekayaan

hasil tindak pidana. Melalui Pasal 3 ayat (1) huruf e ditetapkan kualifikasi varian tindak

pidana ini, yakni (a) setiap orang, (b) dengan sengaja, (c) menitipkan harta kekayaan, baik

atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, (d) diketahui atau patut diduga olehnya

bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Keenam, pemindahan harta

kekayaan hasil tindak pidana ke luar negeri. Atas dasar Pasal 3 ayat (1) huruf f, varian

tindak pidana ini dapat dikonstruksi melalui unsur-unsur: (a) setiap orang, (b) dengan

sengaja, (c) membawa ke luar negeri harta kekayaan, (d) diketahui atau patut diduga

olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana. Ketujuh, penukaran atau

perbuatan lainnya atas harta kekayaan hasil tindak pidana. Dengan mengacu kepada Pasal 3

ayat (1) huruf g, varian tindak pidana ini harus memenuhi unsur-unsur: (a) setiap orang, (b)

dengan sengaja, (c) menukarkan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan, (d)

diketahui atau patut diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak

pidana, (e) dengan mata uang atau surat berharga lainnya, (f) dengan maksud

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, (g) diketahui atau patut

diduga olehnya bahwa harta kekayaan itu merupakan hasil tindak pidana.

Dalam setiap varian tindak pidana pencucian uang, selalu terdapat unsur pokok,

yakni (i) terdapat perbuatan melanggar hukum (yang dikenal dengan predicate crime), (ii)

menghasilkan harta kekayaan, dan (iii) harta kekayaan itu ditransaksikan. Jadi, ada kegiatan

berupa transaksi; ada obyek berupa harta kekayaan; dan ada perbuatan berupa melanggar

hukum.91

Dalam doktrin hukum pidana Islam, segala tindakan (tasarruf) terhadap harta

kekayaan hasil tindak pidana/kejahatan dipandang sebagai al-ma‘siyyah karena termasuk

91 Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), (Bandung: MQS

Publishing, 2006), hlm. 57.

Page 23: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

23

perbuatan memakan al-suht. Hal ini menjadi pesan penting Q.s. al-Mâ’idah/5:2 dan Q.s. al-

Baqarah/2:188.

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera

membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa

yang mereka telah kerjakan itu. (Q.s. al-Mâ’idah/5:2).

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu

dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada

hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu

dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (Q.s. al-Baqarah/2:188).

Begitu pula, pesan penting yang dikandung Hadis berikut ini.

نة عن عمر بن الطاب رضي الل عنه ، أن رسول الل صلى الل عليه وسلم قال : ثن الق ، ، وغناؤها حرام سحت ي ها حرام ، وثن ها مثل ثن الكلب ، وثن الكلب )رواه ، فالنار أول به. السحت ، ومن ن بت لمه على سحت والنظر إلي

92الطرباين(

Dari ‘Umar ibn al-Khattâb, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “ Uang upah biduanita

itu haram, nyanyiannya juga haram, menonton dirinya juga haram; uang upahnya

sama halnya dengan uang jual-beli anjing, dan uang jual-beli anjing itu haram;

barangsiapa yang tumbuh dagingnya dengan sesuatu yang harum maka neraka lebih

utama baginya. (H.R. al-Tabrâni).

Oleh karena itu, hukum pidana mengkriminalisasi segala tindakan (tasarruf)

terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana/kejahatan. Dalam hal ini, tindakan demikian

(yang termuat dalam Pasal 3) dikualifikasi sebagai tindak pidana (al-jarîmah) kategori

Ta‘zîr. Dalam konsepsi hukum pidana Islam, berdasarkan rationale kriminalisasinya,

tindak pidana Ta‘zîr dapat dibedakan menjadi: (a) kriminalisasi Ta‘zîr atas dasar al-

ma‘siyyah, dan (b) kriminalisasi Ta‘zîr atas dasar maslahah ‘âmmah.93 Jelaslah bahwa

kualifikasi tindak pidana ala Pasal 3 tersebut didasarkan kepada rationale yang pada

intinya bermuara pada aplikasi maslahah, yang wujudnya berupa, terutama, perlindungan

kepentingan masyarakat, berupa jaminan keamanan, ketertiban dan kesejahteraan. Apalagi,

dengan melihat besarnya dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh kejahatan

92 Lihat al-Tabrâni, al-Mu‘jam al-Kabîr, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz ke-1, hlm. 34, Hadis No. 85. 93 Lihat ‘Abd al-‘Azîz ‘Âmir, al-Ta‘zîr fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,

t.th.), hlm. 83-90; Lihat pula Muhammad ibn ‘Ali ibn Sanân, al-Jânib al-Ta‘zîriy fi Jârîmat al-Zinâ, (t.tp.:

t.np, 1402 H/1982 M), hlm. 130-131; dan Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fi al-Fiqh al-

Islâmiy: al-Jarîmah, (Dâr al-Fikr, 1998), hlm. 89-96.

Page 24: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

24

pencucian uang seperti telah diuraikan terdahulu, kualifikasi sebagai tindak pidana kategori

Ta‘zîr ini jelas memiliki basis maslahah.

UUPU di samping mengkriminalisasi perbuatan aktif berupa “melakukan” seperti

kesepuluh varian tindak pidana di atas-juga mengkriminalisasi perbuatan pasif berupa

“menerima” atau “menguasai” hasil dari perbuatan “melakukan” oleh orang lain, melalui

Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan:

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:

a. penempatan;

b. pentransferan;

c. pembayaran;

d. hibah;

e. sumbangan;

f. penitipan; atau

g. penukaran,

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).

Dalam kaitan ini, patut diperhatikan masalah pemanfaatan bank dalam tindakan

pencucian uang. Berbagai modus kejahatan pencucian uang melibatkan pemanfaatan

lembaga bank dengan beberapa cara. Pertama, menyimpan uang hasil kejahatan dengan

nama palsu atau dalam safe deposit box. Kedua, menyimpan uang di bank dalam bentuk

deposito, tabungan atau rekening giro dengan berlindung di balik ketentuan rahasia bank

dan ketiadaan ketentuan yang mewajibkan bank untuk meneliti asal-usul dana yang oleh

penyimpannya diletakkan pada bank dalam suatu transaksi. Ketiga, menukar pecahan uang

haram (illicit money) dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau kecil. Keempat, bank

yang bersangkutan diminta untuk memberikan kredit kepada nasabah pemilik simpanan

dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Kelima, menggunakan

fasilitas transfer. Keenam, melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan

fasilitas L/C dengan memalsukan dokumen yang bekerja sama dengan oknum pejabat

terkait. Ketujuh, melakukan pembentukan atau pemanfaatan bank “gelap”.94

Dalam doktrin hukum pidana Islam, Pasal 6 ayat (1) ini punya kedudukan hukum

yang sama dengan Pasal 3. Doktrin hukum pidana Islam memandang perbuatan yang

dikualifikasi Pasal 6 ayat (1) ini sebagai tindak pidana Ta‘zîr lantaran sebagai suatu al-

ma‘siyyah sebagai implikasi dari perbuatan akl al-suht. Sebab, pemanfaatan atau

penggunaan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak kejahatan apapun-dalam pandangan

hukum Islam-jelas merupakan perbuatan haram. Pada sisi lain, perbuatan yang dikualifikasi

Pasal 6 ayat (1) membawa mafsadah, yang terhadapnya harus dilakukan upaya pencegahan

dan pemberantasan, antara lain, melalui sarana hukum pidana, yakni aplikasi hukum Ta‘zîr

yang nota bene dijiwai oleh dasar pertimbangan maslahah yang menjadi ideal tujuan

hukum Islam.

94 Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, hlm. 7-8.

Page 25: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

25

Penutup

Paparan di atas menunjukkan bahwa teori maslahah telah teraplikasikan dalam

kriminalisasi pencucian uang. Hal ini pada gilirannya mengindikasikan bahwa UU Anti-

Pencucian Uang sesungguhnya secara objektif telah “terislamkan” sehingga kehadirannya

harus diakui sebagai varian implementasi hukum pidana Islam dalam konteks

keindonesiaan sekaligus kemodernan.

Atas dasar ini pula dapat disimpulkan (setidaknya secara hipotetis) bahwa teori

maslahah dapat dijadikan sebagai model objektivikasi/transformasi/kontekstualisasi hukum

Islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-‘Azîz ‘Âmir, al-Ta‘zîr fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy,

t.th.,

‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Masâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmiy fîmâ lâ Nass fîh, Kuwait: Dâr al-

Qalam, 1392 H/1972

Abû Bakr Ismâ‘îl Muhammad Mîqâ, al-Ra’yu wa Atsaruhu fi Madrasat al-Madînah:

Dirâsah Manhajiyyah Tatbîqiyyah Tutsbitu Salâhiyyat al-Syarî‘ah li Kulli Zamân

wa Makân, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1405 H/1985 M

Abû Ishâq Ibrâhîm al-Syâtibi, al-Muwâfaqât fi Usûl al-Syarî’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, t.th., Jilid I, Juz ke-2

Abû Hâmid Muhammad al-Gazâli, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, tahqîq wa ta‘lîq

Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1417 H/1997 M, Juz

ke-1

‘Abdullah Yahya al-Kamâli, Maqâsid al-Syarî‘ah fi Dau’ Fiqh al-Muwâzanât, Beirut: Dâr

Ibn Hazm, 1421 H/2000 M

‘Abd al-‘Azîz ibn ‘Abd al-Rahmân ibn ‘Ali ibn Rabî‘ah, ‘Ilm Maqâsid al-Syâri‘,Riyad:

Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyyah, 1423 H/2002

‘Abd al-Rahmân Ibrâhîm al-Kailani, Qawâ‘id al-Maqâsid ‘inda al-Imâm al-Syâtibi :

‘Aradan wa Dirâsatan wa Tahlîlan, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2000

Asian Development Bank, Manual on Countering Money Laundering and the Financing

Terrorism, Sydney: ADB’s Regional Tehnical Assistance, 2003

‘Allâl al-Fâsiy, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa Makârimuha, Rabat: Maktabah al-

Wihdah al-‘Arabiyyah, t.th.

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi, (\Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 1996

Ahmad al-Raisûniy, Nazariyyat al-Maqâsid ‘ind al-Imâm al-Syâtibi, Beirut: al-Ma’had al-

‘Âlamiy li al-Fikr al-Islâmiy

Ahmad al-Raisûni dan Muhammad Jamâl Bârût, al-Ijtihâd : al-Nass, wa al-Wâqi‘, wa al-

Maslahah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1422 H/2002 M

Ahmad Hassan, Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of the Juridical

Principle of Qiyâs, New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994

Ahmed Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, New Delhi: Adam

Publishers & Distributors, 1994

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008

Emmy Yuhassarie, (eds.), Tindak Pidana Pencucian Uang: Prosiding Rangkaian

Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis

Lainnya Tahun 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005

Felicitas Opwis, ”Maslaha in Contemporary Islamic Legal Theory ”, dalam Journal Islamic

Law and Society, (Leiden: Koninklijke Brill NV, 2005), Vol. 12, No. 2

Husain Hâmid Hissân, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islâmiy, Beirut: Dâr al-Nahdah

al-‘Arabiyyah, 1971

Page 26: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

26

Husain Hâmid Hisân, Fiqh al-Maslahah wa Tatbîqâtuhu al-Mu‘âsirah, dalam Seminar

Internasional Tatanan Fundamental Ekonomi Islam Kontemporer, Jeddah: IRTI-

Islamic Development Bank, Ramâdan, 1413 H. (tidak diterbitkan).

‘Izz al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, Qawâ‘id al-Ahkâm fi Masâlih al-Anâm, Kairo: Maktabat al-

Kulliyyât al-Azhariyyah, 1994, Juz ke-1

Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Kairo: Dâr al-

Hadîts, 1425 H/2004 M, Juz ke-3

Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law: The Methodology of Ijtihad, New

Delhi: Adam Publishers & Distribution, 1996

IBRD, The World Bank, and IMF, Reference Guide to Anti-Money Laundering and

Combating the Financing of Terrorism, Washington DC: The World Bank, 2006

Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, al-Masâlih al-Mursalah wa Makânatuhâ fi al-Tasyrî‘ al-

Islâmiy, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jâmi‘iy, 1403 H/1983 M

Jamâl al-Dîn ‘Atiyyah, Nahwa Taf‘îl Maqâsid al-Syarî‘ah, Damaskus: Dâr al-Fikr, 2001

J.E. Sahetapy, Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1995

John Madinger, Sydney A. Zalopany, Money Laundering: A Guide for Criminal

Investigators, Florida: CRC Press, 1999

Kairo Silalahi, Optimalisasi Peranan Penyedia Jasa Keuangan dalam Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005. (Tesis tidak diterbitkan).

M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Malang:

Bayumedia Publishing, 2004

Mohammad Hashim Kamali, “ Fiqh and Adaptation to Social Reality “ dalam Jurnal The

Muslim World, 1996, Vol.86, No.1

Mohammad Hashim Kamali, An Introduction to Sharî‘ah, Kuala Lumpur: ILMIAH

Publishers, 2006

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Muhammad Sa‘îd Ramadân al-Bûti, Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,

Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, 1421 H/2000 M

Muhammad Abû Zahrah, al-Jarîmah wa al-‘Uqûbah fi al-Fiqh al-Islâmiy: al-Jarîmah, Dâr

al-Fikr, 1998

Muhammad ibn ‘Ali ibn Sanân, al-Jânib al-Ta‘zîriy fi Jârîmat al-Zinâ, t.tp.: t.np, 1402

H/1982 M

Muhammad Kamâl al-Dîn Imâm, Nazariyyat al-Fiqh fi al-Islâm: Madkhal Manhajiy,

Beirut: al-Mu’assasah al-Jâmi‘iyyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1418

H/1998 M

Muhammad Khalid Masud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abû Ishaq al-Shâtibi’s

Life and Thought, New Delhi: International Islamic Publishers, 1989

Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, New Delhi:

Markazi Maktaba Islami, 1985

Mustafa Ahmad al-Zarqâ’, al-Istislâh wa al-Masâlih al-Mursalah fi al-Syarî‘ah al-

Islâmiyyah wa Usûl Fiqhiha, Damaskus: Dâr al-Qalam, 1408 H/1988 M

Mustafa Zaid, al-Maslahah fi al-Tasyrî’ al-Islâmiy wa Najm al-Dîn al-Tûfi, t.tp.: Dâr al-

Fikr al-‘Arabiy, 1384 H/1964 M

Mustafa Dîb al-Bugâ, Atsar al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ au Masâdir al-Tasyrî‘ al-

Taba‘iyyah fi al-Fiqh al-Islâmiy, Damaskus: Dâr al-Imâm al-Bukhâri, t.th.

Muslih ‘Abd al-Hayy al-Najjâr, al-Adillah al-Mukhtalaf fîhâ ‘inda al-Usûlyyîn wa

Tatbîqâtuhâ al-Mu‘âsirah, Riyad: Maktabah al-Rusyd, 1424 H

PPATK, Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan, Jakarta: PPATK, 2003

Tb. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang ((Money Laundering), Jakarta: MQS

Publishing & AYYCCS Group, 2006.

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan

Terorisme, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004

Syed Abul Hassan Najmee, Islamic Legal Theory and The Orientalists, Lahore: Institute of

Islamic Culture, 1989

Tâhir ibn ‘Âsyûr, Maqâsid al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Tunis: Dâr Suhnun, Kairo: Dar al-

Salâm, 1427 H/2006 M

Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Money Laundering), Bandung: MQS

Publishing, 2006

Page 27: DALAM KRIMINALISASI PENCUCIAN UANG* Oleh: Asmawi ** …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/33835/1/Maslahah_Kriminalisasi... · Dalam rangka pengembangan hukum pidana

27

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang:

UMM Press, 2008

Tâhâ Jâbir al-‘Alwânî, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Usûl al-Fiqh al-

Islâmî), Virginia: IIIT, 1415 H/1994

Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007

Yûsuf al-Qaradawi, Fiqih Maqashid Syariah: Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan

Aliran Liberal, terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007

Yûsuf al-Qaradâwi, Madkhal li Dirâsat al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah

Wahbah, 1421 H/2001 M

Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), Jakarta: Pensil-324,

2006

Yunus Husein, Bunga Rampai Anti-Pencucian Uang, Bandung: Books Terrace & Libarary,

2007