DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL … · Pasal 27 hanya terkait kepemilikan ......
Transcript of DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN HALAMAN SAMPUL … · Pasal 27 hanya terkait kepemilikan ......
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ......................................................................... i
HALAMAN SAMPUL DALAM ........................................................................ ii
HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ....................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .............................. iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ........................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................. x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi
ABSTRAK ......................................................................................................... xiv
ABSTRACT ........................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ................................................................................. 8
1.4 Orisinalitas Penelitian ..................................................................................... 8
1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 12
1.5.1 Tujuan umum ........................................................................................ 12
1.5.2 Tujuan khusus ....................................................................................... 12
1.6 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 12
1.6.1 Manfaat teoritis ..................................................................................... 12
1.6.2 Manfaat praktis...................................................................................... 13
1.7 Landasan Teoritis ............................................................................................ 13
xii
1.8 Metode Penelitian............................................................................................ 22
1.8.1 Jenis penelitian ..................................................................................... 23
1.8.2 Jenis pendekatan................................................................................... 23
1.8.3 Bahan hukum ....................................................................................... 24
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ..................................................... 26
1.8.5 Teknis analisa ....................................................................................... 26
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSEROAN TERBATAS
DAN ORGAN PERSEROAN
2.1 Tinjauan Umum Tentang Perseroan Terbatas ............................................. 28
2.1.1 Pengaturan perseroan terbatas ....................................................... 28
2.1.2 Pengertian perseroan terbatas ........................................................ 32
2.1.3 Modal dan saham perseroan terbatas ............................................ 36
2.1 Tinjauan Umum Tentang Organ Perseroan Terbatas .................................. 39
2.2.1 Kedudukan rapat umum pemegang saham ...................................... 39
2.2.2 Kedudukan direksi dalam perseroan terbatas ................................... 42
2.2.3 Kedudukan dewan komisaris dalam perseroan terbatas................... 43
BAB III KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS OLEH
DIREKTUR UTAMA
3.1 Subjek Hukum Pemegang Saham ................................................................ 46
3.2 Hak Dan Kewajiban Pemegang Saham ....................................................... 48
3.3 Pemilikan Saham Mayoritas Oleh Direktur Utama ..................................... 53
xiii
BAB IV BENTUK PENGATURAN PEMILIKAN SAHAM MAYORITAS
OLEH DIREKTUR UTAMA
4.1 Pengaturan Pemilikan Saham Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas .................. 56
4.2 Pengaturan Pemilikan Saham Mayoritas Oleh Direktur Utama sebagai
Organ Perseroan Pada Perseroan Terbatas .................................................. 57
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 60
5.2 Saran ............................................................................................................ 62
DAFTAR PUSTAKA
RINGKASAN
xiv
ABSTRAK
Pengaturan tentang Perseroan Terbatas dapat ditemukan dalam Undang -
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas
dijalankan oleh organ-organ yang mewakili perseroan tersebut yaitu direksi, dewan
komisaris dan rapat umum pemegang saham. Para pemegang saham dapat
“mengendalikan” jalannya rapat umum pemegang saham dan sekaligus dapat
dijadikan untuk mengendalikan perseroan. Permasalahan yang timbul yaitu ketika
direksi yang sekaligus sebagai pemegang saham mayoritas dalam perseroan
tersebut, akan mengakibatkan pemegang saham mayoritas dapat mengendalikan
kebijakan manajemen dengan bebas tanpa harus menimbulkan konflik antar
pemegang saham serta sangat berpotensi tidak terpenuhi standard of care maupun
terjadi direktur boneka disebabkan belum tentu memiliki persyaratan standard of
care, khususnya berkaitan dengan skill profesionalisme maupun record serta
kelakukan/karakter yang bersangkutan. Adapun rumusan masalah yang diangkat
adalah apakah direktur utama sebagai organ perseroan dapat menjadi pemegang
saham mayoritas dan bagaimana pengaturan dalam hal direktur utama menjadi
pemegang saham mayoritas.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan
konseptual.
Subjek hukum pemegang saham maupun hak-hak pemegang saham serta
kewajiban pemegang saham, tidak ada batasan pasti terkait pemegang saham
mayoritas yang sekaligus sebagai direksi. Pemilikan saham mayoritas oleh direktur
utama sudah seperti sifat hukum yang tidak tertulis, lebih banyak dipatuhi oleh
perseroan. Azas yang berlaku, siapa yang memiliki modal terbanyak atau pemegang
saham terbesar (mayoritas), maka dialah yang memimpin perseroan. Pasal 93
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terkait
mekanisme pengangkatan direksi tidak ada persyaratan direksi yang sekaligus
sebagai pemegang saham mayoritas diperbolehkan maupun dilarang. Undang-
Undang No. 5 Tahun 1995 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat pemilikan saham yang dilarang berdasarkan ketentuan pada
Pasal 27 hanya terkait kepemilikan saham mayoritas oleh pelaku usaha yang
memiliki saham mayoritas pada perusahaan sejenis. Sehingga tidak adanya
kepastian hukum.
Kata Kunci : Direktur Utama, Mayoritas, Saham
xv
ABSTRACT
The arrangement of the Limited Company can be found in Statute No. 40
Year 2007 regarding Limited Liability Company. Limited Company run by organ -
an organ that represents the company directors, commissioners and general
meeting of shareholders. The shareholders can "control" the course of the general
meeting of shareholders and may also be used to control the company. The problem
that arises is when the board of directors who is also a majority shareholder in the
company, will lead to the majority shareholder to control management policies
freely without causing conflicts between shareholders and is potentially not met the
standard of care or occur director doll caused not necessarily have standard of
care requirements, particularly with regard to the skill and professionalism and
record behavior / character concerned. The formulation of the issues raised is
whether the principal director as an organ of the company can be the majority
shareholder and how the arrangement in terms of the chief executive becomes the
majority shareholder.
The method used in this study is a research method normative approach to
the statutes and conceptual approaches
Subject of law and the rights of shareholders - shareholders' rights and obligations
of shareholders, no restrictions will be related to the majority shareholder as well
as directors. Majority share ownership by major directors are like the nature of the
unwritten law, more respected by the company. Azas applicable, who have the
highest capital or largest shareholder (majority), then he will lead the company.
Article 93 of Statute No. 40 Year 2007 on Limited Liability associated lifting
mechanism of directors there is no requirement that directors as well as the
majority shareholder is allowed or prohibited. Statute No. 5 Year 1995 on
Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition
shareholding prohibited under the provisions of Article 27 related only majority
share ownership by businesses that have majority shares in similar companies. So
the lack of legal certainty.
Keywords: Director, Majority, Stocks
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bentuk-bentuk badan usaha (business organization) yang ada di Indonesia
sekarang ini demikian beragam jumlahnya. Sebagian besar dari bentuk-bentuk
usaha tersebut merupakan peninggalan masa lalu, yaitu dari pemerintah Belanda.
Diantaranya memang ada yang telah diganti dengan sebutan dalam bahasa
Indonesia, tetapi masih ada juga sebagian tetap mempergunakan nama aslinya.
Nama-nama yang masih terus digunakan dan belum diubah pemakaiannya misalnya
Maatschap, Firma disingkat Fa, dan Commanditaire Vennootschap yang disingkat
CV.
Namun selain itu, ada pula yang sudah diIndonesiakan seperti Perseroan
Terbatas (yang selanjutnya disebut PT) yang sebenarnya berasal dari sebutan NV
atau Naamloze Vennootschap. Kata “vennootschap” diterjemahkan menjadi kata
“Perseroan”, sehingga dengan demikian dapat dijumpai sebutan Perseroan Firma,
Perseroan Komanditer dan Perseroan Terbatas. Bersamaan dengan itu, ada juga
yang menggunakan kata Perseroan dalam arti luas, yaitu sebagai sebutan atau untuk
penyebutan perusahaan pada umumnya.1
Apabila memperhatikan kata “Perseroan”, pokok katanya adalah “sero”
yang artinya saham atau andil (aandeel-Belanda), sehingga perusahaan yang
mengeluarkan saham atau sero disebut Perseroan, sedangkan yang memiliki sero
1 I.G.Rai Widjaya, 2007, Hukum Perusahaan dan undang – undang dan peraturan
pelaksanaan di bidang usaha, Kesaint Blanc, Jakarta, (selanjutnya disingkat I.G. Rai Widjaya I),
h. 1
2
dinamakan “pesero” atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan pemegang
saham.2 Pengaturan tentang Perseroan Terbatas dapat ditemukan dalam Undang-
Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
“UUPT”), yang mulai berlaku sejak diundangkan, yaitu tanggal 16 Agustus 2007.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 ini menggantikan berlakunya Undang-Undang
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.3 Perseroan Terbatas didefinisikan
sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang
serta peraturan pelaksanaannya. 4
Modal perseroan terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham. Dengan
demikian, berapa jumlah saham yang dikeluarkan dan disetor penuh oleh pemegang
saham merupakan terminan modal riil awal suatu perseroan terbatas. Saham itu
merupakan hak terhadap harta kekayaan PT, bahkan merupakan deelgerechtigheid
suatu hak atas bagian dari sesuatu terhadap harta kekayaan PT.5 Perseroan
mengeluarkan saham tujuannya untuk dimiliki oleh orang-orang yang berminat
untuk menyerahkan kekayaannya kepada perseroan. Oleh karena itu pada
hakikatnya sebuah perseroan tidak lebih dari sebuah persekutuan saham (modal).
Selanjutnya apa yang dinamakan saham, dapat diartikan sebagai kertas berharga
2 Ibid, h. 1 - 2 3 Gunawan Widjaja, 2008, Seri Pemahaman Perseroan Terbatas 150 Pertanyaan Tentang
Perseroan Terbatas, Forum Sahabat, Jakarta, h. 1 4 Ibid, h. 2. 5 Nindyo Parmono, 2006, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Cet I, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h. 133.
3
yang digunakan sebagai tanda bukti bahwa pemiliknya ikut penyertaan modal ke
dalam suatu perseroan. 6
PT adalah artificial person, sesuatu yang tidak nyata atau tidak riil. PT tidak
dapat bertindak sendiri. Untuk dapat bertindak dalam hukum, PT dijalankan oleh
organ-organ yang mewakili perseroan tersebut. Organ-organ tersebut terdiri dari
orang perorangan (yang cakap untuk bertindak dalam hukum). Jadi untuk dapat
bertindak dalam hukum, PT tetap memerlukan orang perorangan untuk bertindak
mewakilinya.7 Sebagai subjek hukum, PT tidak mungkin memiliki kehendak, dan
karenanya juga tidak dapat melakukan tindakannya sendiri. PT untuk membantu
dalam melaksanakan tugasnya dibentuklah organ-organ yang secara teoritis ini
disebut organ theory8.
Menurut Otto von Gierke, badan hukum itu seperti manusia menjadi
penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi
suatu “verband personlichkeit” yaitu suatu badan hukum yang membentuk
kehendak dengan perantara alat-alat atau organ-organ badan hukum tersebut,
misalnya anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang
mengucapkan kehendaknya dengan perantara mulutnya atau dengan perantara
tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka putuskan adalah
kehendak dari badan hukum.9 Untuk itu maka dikenal adanya tiga organ perseroan
terbatas, yaitu:
6 Gatot Supramono, 2009, Hukum Perseroan Terbatas, Cet V, Djambatan, Jakarta, h. 112 7 Gunawan Widjaja, op cit h. 3. 8 Ibid, h. 49 9 Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Cet I,
Ghalia Indonesia, Bogor, h. 78.
4
a. Direksi;
b. Dewan Komisaris; dan
c. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).10
Dari ketiga alat perlengkapan tersebut, hanya Rapat Umum Pemegang
Saham (yang selanjutnya disebut RUPS) merupakan organ perseroan yang
mempunyai segala wewenang yang tidak diserahkan kepada organ perseroan
lainnya. RUPS merupakan forum pertemuan dari para pemegang saham untuk
mengambil keputusan yang menentukan arah dan jalannya perseroan untuk
mencapai tujuannya. Kewenangan RUPS antara lain menetapkan perubahan
anggaran dasar perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUPT, dapat
mengambil keputusan apakah perseroan berjalan terus atau bubar, mengangkat
direksi dan anggota komisaris, hal ini memang tidak dimiliki oleh organ perseroan
lainnya. Mengenai direksi merupakan organ yang mengurus kegiatan usaha
perseroan. Direksi mempunyai tanggung jawab penuh dalam bertindak untuk
kepentingan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UUPT. Direksi
bertindak mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tindakan
direksi selaku eksekutif dilakukan dengan memperhatikan anggaran dasar
perseroan. Resiko pelanggarannya, masing-masing direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi. Sedangkan dewan komisaris merupakan organ perseroan
yang mempunyai tugas melakukan pengawasan dan memberi nasihat kepada
direksi dalam mengurus perseroan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut dewan
komisaris juga dibatasi wewenangnya oleh anggaran dasar perseroan. Dewan
10 Gunawan Widjaja, loc cit.
5
komisaris diharapkan bukan hanya dapat memberikan koreksi kepada direksi,
melainkan diharapkan pula dapat memberikan jalan keluar jika terjadi hambatan -
hambatan yang dialami oleh direksi. Jika di dalam menjalankan tugasnya dewan
komisaris melakukan kesalahan dapat digugat oleh pemegang saham atas nama
perseroan.11
Rapat Umum Pemegang Saham adalah rapat yang diselanggarakan oleh
Direksi perseroan setiap tahun dan setiap waktu berdasarkan kepentingan
perseroan, ataupun atas permintaan pemegang saham sesuai ketentuan anggaran
dasar.12 Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Apabila hal tersebut tidak tercapai, maka keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak biasa dari jumlah suara yang dikeluarkan secara sah. Secara umum
pemungutan suara terbanyak yang diperlukan adalah suara terbanyak biasa, yaitu
jumlah suara yang lebih banyak dari kelompok suara lain, tanpa harus mencapai
jumlah yang lebih dari setengah, dari keseluruhan suara dalam pemungutan suara
tersebut.13
Pemegang saham mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk
mengendalikan perusahaan melalui lembaga RUPS. Hal ini disebabkan,
berdasarkan UUPT, Pasal 1 ayat 4 menyatakan bahwa “RUPS adalah organ
perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau
anggaran dasar”, dan dinyatakan kembali, dalam Pasal 75 ayat 1 bahwa “RUPS
11 Gatot Supramono, op cit, h. 10 12 I.G.Rai Wijaya I, op cit, h. 257 13 Ibid, h. 263.
6
mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris
dalam batas yang ditentukan dalam Undang -Undang dan atau anggaran dasar”.
Para pemegang saham dapat “mengendalikan” jalannya RUPS dan sekaligus dapat
dijadikan untuk mengendalikan perseroan.14
Dalam posisi yang demikian, sering kali direksi dalam mengurus
perusahaan harus berhadapan dengan kebijakan yang diputuskan dalam RUPS,
yang hakikatnya merupakan kepentingan pemegang saham (pemilik perseroan) dan
bukan kepentingan perseroan. Sebagaimana diketahui, kepentingan perseroan juga
harus memperhatikan stakeholder. Dengan demikian, dilematis direksi dalam
mengelola perusahaan adalah sering dihadapkan kepada dua tarikan
tanggungjawab, yaitu tanggung jawab kepada shareholder dan kepada
stakeholder.15
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 93 UUPT disebutkan : “Yang dapat
diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap
melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum
pengangkatannya pernah:
a. dinyatakan pailit;
b. menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit;
atau
c. dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan
negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan”.
Pengangkatan direksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 94 angka 1 disebutkan
bahwa “anggota Direksi diangkat oleh RUPS”
Dengan adanya ketentuan mengenai pengangkatan direksi bahwa direksi
harus diangkat oleh RUPS. Terkait RUPS sebagai organ tertinggi untuk
14 Try Widiyono, 2008, DIREKSI PERSEROAN TERBATAS Keberadaan, Tugas,
Wewenang, dan Tanggung Jawab,Edisi II, Cet I, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 72 15 Ibid, h. 71 - 72 .
7
mengendalikan perseroan yang terutama pemegang saham mayoritas dapat
mengendalikan jalannya RUPS dan sekaligus mengendalikan perseroan, ada
permasalahan yang timbul yaitu ketika keberadaan direksi yang diibaratkan nyawa
bagi perseroan, yang dimana biasanya pimpinan direksi disebut sebagai direktur
utama sebagai organ perseroan yang disebutkan pada Pasal 97 berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan, yang sekaligus sebagai
pemegang saham mayoritas dalam perseroan tersebut, akan mengakibatkan
pemegang saham mayoritas dapat mengendalikan kebijakan manajemen dengan
bebas tanpa harus menimbulkan konflik antar pemegang saham serta sangat
berpotensi tidak terpenuhi standar of care maupun terjadi direktur boneka
disebabkan seorang pemegang saham mayoritas yang menunjuk dirinya sebagai
direktur utama belum tentu memenuhi persyaratan standard of care, khususnya
berkaitan dengan skill profesionalisme maupun record serta kelakukan/karakter
yang bersangkutan.16 Direktur boneka pun tidak akan terhindarkan sebab pemegang
saham yang sekaligus sebagai direktur utama akan mempengaruhi kepengurusan
yang dijalankan dan sangat berpotensi terjadi benturan kepentingan yang akan
berujung pada pengendalian terselubung oleh direksi yang sekaligus sebagai
pemegang saham mayoritas hal ini akan membawa dampak yang merugikan bagi
perkembangan perseroan tersebut serta para pelaku usaha dan masyarakat lainnya.
Dari latar belakang tersebut menarik minat penulis untuk kemudian
melakukan penelitian terkait “KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS OLEH
DIREKTUR UTAMA”
16 Ibid, h. 91
8
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dikemukakan dua rumusan masalah yang akan dijadikan objek pembahasan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah Direktur Utama sebagai organ perseroan dapat menjadi
pemegang saham mayoritas ?
2. Bagaimana pengaturan dalam hal Direktur Utama menjadi pemegang
saham mayoritas ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penulisan karya ilimah,
diperlukan batasan yang tegas untuk menghindari pembahasan yang tidak terarah
dan pembahasan yang terlalu luas sehingga pokok bahasan yang diinginkan benar-
benar terarah nantinya serta terdapat sinkronisasi antara pembahasan dengan
permasalahan. Maka ruang lingkup masalah dalam pembahasan pertama akan
membahas mengenai direktur utama sebagai organ perseroan yang menjadi
pemegang saham mayoritas dalam Perseroan Terbatas
Pembahasan kedua membahas mengenai pengaturan terhadap Direktur
Utama sebagai organ perseroan yang menjadi pemegang saham mayoritas dalam
perseroan terbatas.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Dalam orisinalitas penelitian mahasiswa diwajibkan untuk mampu
menunjukan perbedaan dari penelitian yang terdahulu dengan penelitian yang
tengah dibuat sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, akan
9
ditampilkan 2 skripsi terdahulu yang digunakan sebagai pembanding terkait
pembahasannya berkaitan dengan “Kepemilikan Saham Mayoritas Oleh Direktur
Utama”
No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah
1. Perlindungan Hukum
Pemegang Saham
Minoritas Dalam Suatu
Transaksi benturan
Kepentingan Di Pasar
Modal (Studi
Kasus:Transaksi
Penjualan Aset PT.
Karwell Indonesia, Tbk.
Bayu Aji Saputro,
2011, Fakultas
Hukum
Universitas
Indonesia, Depok.
1. Bagaimana konsep
good corporate
governance dan
bentuk perlindungan
hukum terhadap
pemegang saham
minoritas dalam suatu
trasaksi benturan
kepentingan
berdasarkan peraturan
perundang-undangan
yang berlaku?
2. Bagimana suatu
transaksi benturan
kepentingan dan
peranan dari otoritas
pasar modal dalam hal
ini BAPEPAM-LK
terhadap perlindungan
10
pemegang saham
minoritas dalam
transaksi benturan
kepentingan?
3. Bagaimana analisis
yuridis terhadap
pelanggaran peraturan
tentang transaksi
benturan kepentingan
pada kasus transasksi
saham PT. Karwell
Indonesia , Tbk.?
11
2. Perlindungan Hukum
Terhadap Pemegang
Saham Minoritas
Perseroan Terbatas
Terbuka Dalam Rangka
Menciptakan Kepastian
Hukum Sebagai Sarana
Peningkatan Iklim
Investasi Di Indonesia
Aripin, 2009,
Fakultas Hukum
Universitas
Sebelas Maret,
Surakarta.
1. Apa saja asas-asas
yang harus dipenuhi
peraturan perundang-
undangan untuk
melindungi pemegang
saham minoritas
Perseroan Terbatas
Terbuka?
2. Bagaimana bentuk
perlindungan hukum
yang diberikan oleh
peraturan perundang-
undangan terhadap
pemegang saham
minoritas perseroan
terbatas terbuka dalam
melakukan
penanaman modal di
Indonesia?
Dengan memperhatikan tersebut diatas penelitian skripsi yang penulis
kerjakan belum ada yang membahas, sehingga orisinalitas dari penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan.
12
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini tidak jauh dari pokok permasalahan yang dihadapi.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.5.1 Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek
hukum terhadap direktur utama sebagai organ perseroan yang menjadi
pemegang saham mayoritas pada perseroan terbatas. Disamping sebagai
sumbangan pemikiran secara ilmiah tentang peranan dari bidang hukum
khususnya hukum perusahaan serta bertujuan memenuhi salah satu syarat
mencapai gelar sarjana Strata 1 (S-1) dalam jurusan Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum, Universitas Udayana.
1.5.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui tentang Direktur Utama sebagai organ perseroan
yang menjadi pemegang saham mayoritas dalam suatu perseroan.
2. Untuk mengetahui tentang pengaturan Direktur Utama sebagai
organ perseroan yang menjadi pemegang saham mayoritas dalam
suatu perseroan.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penenelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, yaitu :
1.6.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini juga merupakan pembelajaran yang dapat memberikan
pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan untuk menambah
13
kemampuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah khususnya dibidang
hukum perusahaan dan yang berkaitan dengan kepemilikan saham
mayoritas oleh direktur utama dan penelitian ini diharapkan sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjut.
1.6.2 Manfaat praktis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan -
masukan maupun dijadikan acuan bagi masyarakat luas, para pihak
yang berkepentingan dalam kaitannya kepemilikan saham mayoritas
oleh direktur utama sebagai organ perseroan dalam perseroan
terbatas.
2. Dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi penelitian yang
khususnya berkaitan dengan kepemilikan saham mayoritas oleh
direktur utama.
3. Selain itu dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-
pihak yang berkompeten dalam membuat peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hukum bisnis.
1.7 Landasan teoritis
Perseroan terbatas atau naamloze vennootschap (dalam Bahasa Belanda),
company limited by shares (dalam Bahasa Inggris), adapun pengertian menurut
UUPT, PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
14
Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.17 Sebagaimana diketahui
bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. Sesuai pikiran Gierke (1873),
bahwa badan hukum itu tidak berbeda dengan manusia yang mempunyai sifat
kepribadian, dan badan hukum juga mempunyai kehendak yang dibentuk oleh alat-
alat perlengkapannya. Oleh karena itu perseroan sebagai badan hukum, agar dapat,
melakukan kegiatan usahanya seperti manusia, maka diperlukan alat perlengkapan
yang disebut organ perseroan. Organ perseroan dalam UUPT terdiri dari RUPS,
Direksi dan Dewan Komisaris. 18
Perseroan yang berbentuk perseroan terbatas itu sendiri sebagai badan
hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-hal :
Peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Anggaran dasar perseroan
Doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.
Berkaitan dengan tanggung jawab dan hubungan intern perseroan tersebut,
terdapat beberapa doktrin hukum penting dalam corporate law. Doktrin hukum ini
sangat erat dengan pertanggungjawaban para pemegang saham, komisaris, dan
direksi. Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan
hukum perseroan yang lebih komprehensif, dengan mengacu pada doktrin hukum
yang universal, juga sekaligus warning kepada para pemegang saham, komisaris,
dan direksi dalam menjalankan usaha kepada berbagai pihak untuk memanfaatkan
doktrin hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan.
17 Abdul R. Saliman, 2014, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Cet
VIII, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, h.95 18 Gatot Supramono, op cit, h. 9
15
Adapun doktrin-doktrin hukum yang dapat dikemukakan sehubungan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini :
1. Piercing The Corporate Veil
Pada dasarnya pertanggung jawaban pemegang saham, direksi, dan
komisaris dalam perseroan yang berbadan hukum adalah terbatas. Oleh karena itu
timbul suatu prinsip, yakni piercing the corporate veil, yang secara sederhana dapat
dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang saham, direksi, dan atau
komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas.
Chatamarrasjid menyebutkan, apabila terbukti bahwa telah terjadi
pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan,
sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan
pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya, sehingga harus
bertanggungjawab sampai dengan harta pribadinya dana atau bertanggung jawab
pribadinya sendiri, baik pidana maupun perdata.
Dalam hal ini, dikemukakan terjadinya piercing the corporate veil atau
lifting the veil adalah sebagai berikut :
1. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau terpenuhi
2. Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau badfaith)
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
3. Pemegang saham terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh perseroan.
16
4. Pemegang saham, baik langsung maupun tidak langsung, secara
melawan hukum menggunakan kekayaan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang perseroan.19
2. Fiduciary Duty
Tanggung jawab direksi wajib dilakukan berdasarkan 3 (tiga) prinsip yang
terjalin dalam satu sistem, yaitu prinsip fiduciary duty, prinsip duty of care and skill,
dan prinsip standard of care.
Henry Campbell Black, yang menyatakan : suatu tindakan untuk dan atas
nama orang lain, dimana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang
merupakan standar tertinggi dalam hukum. Pendapat lain menyatakan, perseroan
adalah sebab bagi keberadaan (raison d’etre) direksi. Oleh karena itu, tidak salah
bila dikatakan bahwa antara perseroan dan direksi terdapat hubungan fiducia yang
melahirkan fiduciary duties bagi direksi.
Direksi harus mempunyai duty of care and skill, itikad baik, kejujuran, dan
loyalitas kepada perusahaan. Duty of care tersebut mengharuskan direksi bersikap
hati-hati. Artinya, direksi harus mengikuti prosedur yang berlaku dan dengan
pertimbangan yang rasional. Memang tidak ada standar yang baku mengenai duty
of care ini, tetapi standar umum yang berlaku adalah adanya hal berikut.
Itikad baik (good of faith)
Loyalitas yang tinggi (hight degree og loyality)
Kejujuran (honesty)
Kemampuan/kecakapan (skiil)
19 Try Widiyono, op cit, h. 80 – 83.
17
Peduli terhadap pelaksanaan hukum (care of law enforce-ment).20
3. Standartd of care dan Direktur Boneka
Banyak sekali direktur perseroan yang dipilih bukan berdasarkan kecakapan
(Skill), tetapi lebih dititikberatkan pada “kepatuhan” terhadap pemegang saham.
Direktur ini hanya berfungsi sebagai “hiasan” dan pemenuhan perundang-undangan
bahwa dalam perseroan tersebut mempunyai direksi, sedangkan hakikatnya para
direktur tersebut hanya ‘boneka’ dari pemegang saham. Akibat hukum lebih jauh
adalah para direktur boneka dan pemegang saham, pertanggungjawabannya
menjadi tidak terbatas.
Standard of care bagi direksi perseroan tidak digantungkan kepada
formalitas akademisi, tidak juga digantungkan pada status sosial seseorang, tetapi
semata-mata digantungkan oleh sikap profesionalisme dan record serta
kelakuan/karakter yang bersangkutan sebelumnya, terutama selama lima tahun
terakhir dalam mengurus atau sebagai pengawas suatu perseroan.
Akibat hukum lebih jauh adalah para direktur boneka dan pemegang saham,
pertanggungjawabannya menjadi tidak terbatas. Tidak ada yang melarang bahwa
pemegang saham mayoritas maupun minoritas sekaligus sebagai pengurus
(Direksi) perseroan atau melarang memilih direktur boneka, sehingga siapa saja
dapat menjadi direktur. 21
4. Self Dealing Transaction
20 Ibid, h. 87 – 88. 21 Ibid , h. 90 – 91.
18
Tugas-tugas direksi dalam mengurus perseroan terkadang akan menemui
transaksi yang menyangkut dirinya sendiri (self dealing transaction). Transaksi ini,
antara lain transaksi yang dilakukan antara perusahaan holding dengan anak
perusahaannya. Dalam perkembangannya, model transaksi yang dikualifikasikan
sebagai self dealing transaction dapat berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman. 22
Dalam transaksi demikian, ketentuan yang dijadikan landasan tindakan
direksi adalah sebagai berikut.
Pasal 92 ayat 1 dan 2 UUPT
(1) Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan
perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang
tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang – undang ini
dan/ atau anggaran dasar.
Pasal 97 ayat 1, 2, dan 3
(1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).
(2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib
dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab.
22 Ibid , h. 93.
19
(3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi
atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai merupakan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Sekalipun secara tegas tidak terdapat larangan terhadap transaksi yang
demikian, tetapi mengingat fungsi dan tugas direksi sebagimana diamanatkan
dalam UUPT, maka direksi tidak dibolehkan melanggar asas fiduciary duty dan
tetap berpegang pada standart of care. Pelanggran atas prinsip ini, direksi yang
bersangkutan dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
5. Doctrine Corporate Opportunity
Munir Fuady memberikan batasan terhadap doktrin ini, yaitu seorang
direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham
utama tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan
pribadi manakala tindakan yang diakukannya tersebut sebenarnya merupakan
perbuatan semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu.
Doctrine corporate opportunity adalah doktrin moral jabatan. Inti doktrin
ini adalah larangan penyalahgunaan jabatan apa pun untuk kepentingan dirinya,
keluarganya dan kelompoknya. Moral yang dipesankan dalam doktrin ini adalah
kejujuran dalam menjalankan amanah sebagai pemegang jabatan.
6. Intavires dan Ultravires
Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan,
sedangkan ultravires diartikan sebagai “bertindak melebihi kewenangan”.
20
Berkaitan dengan intravires, dikemukakan pendapat lain, yang menyatakan
intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit tercakup
dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dan tujuan PT),
sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak
(tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT).23
7. Doctrine Business Judgement Rule
Doktrin ini mendudukan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan
segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari
prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin selalu
benar dalam menjalankan usahanya karena keliruan (error) adalah kelengkapan
manusia. Jadi, sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroan tidak digeneralisir
untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors
of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Doktrin business
judgement rule memberikan perlindungan kepada direksi perseroan atas
kemungkinan adanya kesalahan yang diakibatkan oleh suatu keadaan yang wajar
dan manusiawi.24
8. Insider Trading
Pengertian luas dari kewajiban direksi untuk melakukan kepengurusan
perseroan secara “beritikad baik” sebagimana diatur dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT,
mencakup juga bahwa dalam mengurus perseroan, direksi wajib menghindari
23 Ibid, h. 95. 24 Ibid , h. 98.
21
prinsip insider trading. Insider trading ini hakikatnya lebih banyak dikenal
berkaitan dengan perseroan yang telah go public.25
Pengertian insider trading dikelompokan secara limitatif, yang diatur dalam
Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (selanjutnya
disebut UUPM), yaitu:
Komisaris, direksi dan pegawai emiten atau perusahaan publik,
Pemegang saham utama emiten atau perusahan publik,
Orang perseorangan yang karena kedudukannya atau profesinya
atau karena hubungan usahanya dengan emiten atau perusahaan
publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang
dalam,
Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi
pihak sebagaimana disebut di atas.
Selanjutnya, Pasal 96 UUPM menjelaskan mengenai larangan “orang dalam”
untuk:
Mempengaruhi pihak lain untuk melakukan pembelian atau penjualan atas
efek dimaksud; dan
Memberikan informasi orang dalam kepada pihak mana pun yang patut
diduga dapat menggunakan informasi dimaksud untuk melakukan
pembelian atau penjualan efek.
25 Ibid, h. 99.
22
Sedangkan pada Pasal 97 terdapat ancaman bagi pihak lain yang berusaha untuk
memperoleh informasi dari orang dalam dengan melawan hukum dan atau tidak
disediakan oleh emiten.
Perkembangan pengertian insider sebagimana diatur dalam UUPM dalam
international best practice dianggap ketinggalan zaman, sebab kini berkembang
pengertian insider berdasarkan teori penyalahgunaan (misappropriation theory).
Teori ini didasarkan atas putusan pengadilan di Amerika Serikat atas kasus United
State vs Newman.26
Putusan tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk kategori insider adalah
seseorang yang melakukan penyalahgunaan informasi fakta material non-publik.
Sehingga insider adalah siapa saja dan tidak dibatasi secara limitatif, seperti
ketentuan yang selama ini dianut di Indonesia, sepanjang pihak tersebut melakukan
transaksi saham yang didasarkan pada informasi fakta material tersebut melakukan
transaksi saham yang didasarakan pada informasi yang belum terbuka untuk
umum.27
1.8 Metode penelitian
Dalam melakukan pembahasan suatu masalah wajib diperlukan suatu
metode penelitian yang digunakan baik untuk mengungkapkan kebenaran secara
sistematis, metodologis, dan konsisten maupun untuk memperoleh bahan hukum.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut
:
26 Ibid, h 100 – 101. 27 Ibid. h. 101
23
1.8.1 Jenis penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif.
Penggunaan metode normatif ini karena penelitian ini menguraikan
permasalahan-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian
berdasarkan teori-teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam praktek hukum.28 Penelitian hukum
normatif yang hanya mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari: bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka dalam
mengolah dan menganalisis bahan hukum tersebut tidak bisa melepaskan diri
dari berbagai penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum.29
1.8.2 Jenis pendekatan
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).30
Penelitian ini, jenis pendekatan yang diterapkan untuk memecah
masalah yaitu :
28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Edisi I, Cet V, PT Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 29 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi I,
PT. Raja Grafindo Persada, h 163 30 Peter Mahmud Marzuki, 2016, Penelitian Hukum, Cet XII, PT Kharisma Putra Utama,
h. 133.
24
1. Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statue approach) yaitu suatu pendekatan yang
dilakukan dengan menelaah terhadap berbagai aturan hukum yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai
permasalahan yang diangkat, seperti Kitb Undang – Undang Hukum
Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, dan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) yaitu pendekatan
yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang didalam ilmu hukum. Pendekatan ini merupakan suatu
pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum yang dapat digunakan sebagai pijakan untuk
menyelesaikan suatu isu hukum yang dihadapi. Dengan mempelajari
hal tersebut peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
yang relevan dengan permasalahan yang diangkat.
1.8.3 Bahan hukum
Penelitian hukum berbeda dengan penelitian sosial. Untuk menyelesaikan
isu mengenai masalah hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa
25
yang seyogianya, peneliti memerlukan sumber-sumber penelitian yang disebut
bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas
(autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas: (a) peraturan perundang-undangan.
(b) catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan
perundang-undangan (c) putusan hakim. 31
Dalam penulisan ini bahan hukum primer diperoleh dari peraturan
perundang-udangan yang berlaku seperti : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, atau pendapat pakar hukum.32 Sebagai bahan hukum sekunder yang
terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan
jurnal-jurnal hukum.33
3. Bahan Hukum Tersier
31 H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 47 32 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op cit, h.32 33 Peter Mahmud Marzuki, op cit, h. 195
26
Sumber bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus-
kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya. Agar diperoleh
informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannnya, maka
kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.34
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Begitu isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk
mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Apabila di
dalam penelitian menyebutkan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), yang harus dilakukan adalah mencari peraturan perundang-undangan
mengenai atau yang berkaitan dengan isu tersebut. 35 Dalam teknik pengumpulan
bahan maka langkah pertama mengadakan studi kepustakaan yang berkaitan
dengan permasalahan dan bahan hukum dengan menafsirkan dan mengkaji
peraturan perundang-undangan.
1.8.5 Teknik analisis
Bahan hukum yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisa secara kualitatif
yaitu dengan menghubungkan antara bahan hukum yang ada yang berkaitan dengan
pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis yaitu suatu cara
analisis data yang dilakukan dengan menyusun secara sistematis dan menyeluruh
menyangkut fakta yang berhubungan dengan penelitian serta dianalisis secara
34 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, Edisi I , PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 14 35 Peter Mahmud Marzuki, op cit, h. 237