Daftar Isi -...
Transcript of Daftar Isi -...
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1PB WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Daftar IsiDari Redaksi
Dampak Stabilisasi Harga Bahan Pangan terhadap Inflasi 2014
Hal. 2
Hal. 7
Hal. 12
Strategi pemerintah dalam melakukan kebijakan stabilisasi satu bulan lebih awal menjelang puasa dan lebaran selama tahun 2014 dinilai cukup berhasil, karena perubahan harga bahan pangan pokok menjadi lebih terkendali.
Cadangan Penyangga Minyak, Upaya menuju
Ketahanan Energi
Indonesia sebagai negara yang berdaulat menyadari pentingnya energi tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga keamanan dan ketahanan. Hal ini tertuang dalam Undang-undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi. Pasal 5 ayat 1 dalam Undang-undang tersebut menyatakan bahwa untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi.
Perdagangan Indonesia-Nigeria (2009-2014)Nilai ekspor Indonesia ke Nigeria
mengalami tren peningkatan sebesar 25,18% pada periode 2009-2013. Peningkatan tersebut terjadi pada produk non migas karena ekspor ke Nigeria hampir 100% merupakan produk non migas.
Minyak Sawit, Andalan Eskpor Indonesia yang Terus Dihadang
Hal. 17
Hal. 21
Produk berbasis minyak sawit (CPO) adalah produk andalan masa kini dan masa depan. Namun, Indonesia harus terus berjuang karena produk berbasis sawit Indonesia di pasar internasional demikian dimusuhi.
Pro Kontra Rencana Pengenaan PPnBM pada Ponsel
Derasnya laju impor ponsel bukan disebabkan adanya keinginan pemerintah yang akan memberlakukan PPnBM, melainkan adanya permintaan produk yang sangat tinggi. Pemerintah menjamin kebijakan pemberlakuan PPnBM pada ponsel hanya akan berlaku bila ada industri produksi ponsel di dalam negeri.
Kemungkinan Program Raskin Bersyarat
Hal. 27
Apakah mungkin Raskin dilengkapi dengan persyaratan, sebagaimana diterapkan pada bantuan langsung tunai di negara-negara lain, sehingga berdampak ganda untuk peningkatan kesejahteraan keluarga miskin?
Berita Pendek Perdagangan
Serba - Serbi
Statistik Perdagangan Pusdatin
Halaman 32
Halaman 34
Halaman 40
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 32 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Fluktuasi Harga Pangan Tahun 2014 Masih TerkendaliBahan pangan pokok merupakan kebutuhan mendasar
masyarakat sehingga fluktuasi harganya harus selalu tetap
terjaga. Bergejolaknya harga merupakan resiko yang harus
ditanggung baik oleh konsumen maupun produsen. Secara
psikologis, gejolak harga memicu timbulnya masalah sosial
dan politik di masyarakat (Business News, 2011). Karena
dampak yang ditimbulkan tersebut, ketika harga bergejolak
diluar batas normal stabilisasi harga, sehingga Pemerintah
dengan segera melakukan intervensi, misalnya saat kenaikan
harga yang terjadi pada komoditi gula, daging sapi, cabe,
bawang, daging dan telur ayam. Intervensi pemerintah dapat
berupa peraturan maupun surat keputusan guna mendukung
stabilisasi harga. Implementasi peraturan akan dinilai efektif bila
terjadi perubahan harga pada tingkat yang diharapkan oleh
pemerintah, pedagang dan konsumen. Untuk bisa mencapai
target tersebut, diperlukan pengawasan dan monitoring yang
berkelanjutan serta komitmen dalam upaya peningkatan
produksi, jaminan pasokan dan distribusi barang. Ketika harga
pangan naik, maka daya beli masyarakat menurun (asumsi
pendapatan tetap) sehingga aksesibilitas terhadap bahan
pangan pokok terganggu.
ISU PERDAGANGAN
Yati Nuryati
Kenaikan harga bahan pangan pokok terjadi karena
adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan.
Faktor yang mempengaruhi penawaran umumnya berkaitan
dengan gangguan produksi seperti iklim/cuaca, bencana alam
serta sistem distribusi, sedangkan faktor yang mempengaruhi
permintaan adalah harga, pendapatan, intensitas konsumsi,
selera serta jumlah penduduk. Permintaan masyarakat terhadap
pangan cukup dinamis, sebagai contoh ketika memasuki bulan
puasa dan lebaran (Idul Fitri) permintaan masyarakat terhadap
pangan cenderung naik. Kenaikan tersebut bisa mencapai 10-20%,
sementara selain bulan puasa dan lebaran permintaan biasanya
hanya naik pada kisaran 3-7%. Selain faktor dari dalam, harga
pangan domestik juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti
harga pangan dan minyak dunia, mengingat beberapa komoditi
pangan di dalam negeri ketergantungan pasokan dari impor
masih cukup tinggi. Strategi pemerintah dalam melakukan
kebijakan stabilisasi satu bulan lebih awal menjelang puasa
dan lebaran selama tahun 2014 dinilai cukup berhasil, karena
perubahan harga bahan pangan pokok menjadi lebih terkendali.
Pengelolaan harga bahan pangan pokok penting dalam
mengurangi dampak terhadap inflasi nasional yang berasal dari
kelompok bahan makanan.
Dampak Stabilisasi Harga Bahan Pangan terhadap Inflasi 2014
Tabel 1. Laju Perubahan dan Fluktuasi Harga Bahan Pangan Pokok, 2009-2014
Ket : 2014 (Januari-September)
Sumber : BPS, diolah
Indikator stabilitas harga bahan pangan pokok dapat diukur
dengan nilai koefisien variasi. Renstra Kementerian Perdagangan
2009-2014 (2010) menetapkan sasaran penurunan koefisien
variasi harga komoditi berada pada kisaran 5-9%. Nilai koefisien
variasi komoditi yang lebih dari 9% dikatakan kurang stabil.
Tabel 1 menunjukkan fluktuasi harga bahan pangan pokok yang
cenderung menurun selama tahun 2009-2014. Harga bahan
pangan pokok di tahun 2014 lebih terkendali dibandingkan harga
tahun 2013 kecuali produk hortikultura (cabe dan bawang). Harga
bahan pangan pokok yang terkendali memberi dampak positif
terhadap menurunnya inflasi dari kelompok bahan makanan.
Keberhasilan ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam
kebijakan stabilisasi harga melalui peningkatan pasokan dan
pengawasan distribusi lebih awal dan dilakukan secara berkala.
Selain peran kebijakan pemerintah, menurunnya harga-
harga pangan pokok juga dikarenakan faktor pertumbuhan
penjualan yang melambat serta perubahan struktur pemenuhan
kebutuhan pangan pokok masyarakat. Pertumbuhan penjualan
yang melambat dapat dilihat dari menurunnya volume penjualan
selama semester I 2014 dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya. Melambatnya konsumsi masyarakat ditunjukkan
oleh volume penjualan makanan dan minuman di pasar ritel
modern yang hanya tumbuh sebesar 6,4% dibandingkan
pertumbuhan pada periode yang sama tahun 2013 yaitu 11,4%.
Struktur pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat beralih ke
toko modern & pusat belanja yang lebih besar yaitu sekitar 15-
17% sedangkan pasar tradisional hanya tumbuh 5-7% (Kompas,
4 Agustus 2014). Kondisi ini menunjukkan bahwa penyediaan
barang dari toko modern & pusat belanja dengan harga yang
sudah ditetapkan (price tagging) memberi dampak pada
menurunnya instabilitas pada harga pangan pokok.
Secara global, stabilitas harga bahan pokok juga tidak luput
dari pengaruh harga pangan dunia. FAO (2014) melaporkan
bahwa harga pangan dunia cenderung terkendali dalam lima
tahun terakhir. Kondisi ini juga memberikan situasi yang kondusif
terhadap harga pangan dalam negeri. Namun, beberapa aspek
yang masih harus terus diwaspadai yaitu iklim dan anomali
cuaca. Isu terkini yang mempengaruhi harga pangan yaitu iklim
El-nino dan hal ini bahkan telah menjadi perhatian produsen
pangan di dunia. Sejalan dengan itu, meningkatnya risiko
terjadinya El-Nino di triwulan IV perlu diantisipasi dampaknya
pada musim panen tahun 2015 karena diperkirakan akan terjadi
kemarau panjang. Beberapa negara produsen pangan dunia
sudah melakukan antisipasi untuk menjaga ketahanan pangan
domestik melalui pengurangan ekspor. Situasi ini menjadi
perhatian bagi negara importir pangan karena pasokan dunia
akan berkurang yang berimplikasi pada naiknya harga pangan di
pasar dunia. Kebijakan di dalam negeri untuk mengurangi impor
pangan dengan melakukan perubahan pola konsumsi pangan
(beras) ke produk pangan olahan berbasis pangan lokal yang
diimplementasikan melalui himbauan yang sifatnya regional
seperti “one day no rice”.
Gambar 1. Pergerakan Indeks Harga Pangan DuniaSumber: Food Agriculture Organization (FAO), September 2014
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 54 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Stabilnya harga bahan makanan pokok penting dalam upaya
pengendalian inflasi nasional. Wakil Menteri Keuangan, KIB II
Bambang Brodjonegoro menyatakan target laju inflasi hingga
akhir tahun 2014 sebesar 5,3% dapat tercapai jika melihat
capaian pemerintah sejauh ini dalam mengendalikan harga bahan
makanan pokok. Dalam sejarah perkembangan inflasi, kontribusi
bahan makanan terhadap inflasi cukup besar dibandingkan
kelompok lainnya dalam struktur inflasi nasional. Oleh karenanya
naiknya harga bahan makanan pokok sangat beresiko terhadap
munculnya inflasi di periode berikutnya. Selama tahun 2009-
2014 menunjukkan bahwa kontribusi bahan makanan terhadap
inflasi cenderung menurun. Selama periode tersebut, peran
bahan makanan terhadap inflasi turun dari 50,3% (2009) menjadi
23,2% (2014). Namun demikian, perlu juga diperhatikan dampak
kenaikan harga dari kelompok lainnya diluar bahan makanan
yang terlihat cenderung meningkat (Tabel 2). Hal ini berimplikasi
bahwa target inflasi tidak hanya ditentukan oleh stabiltas harga
bahan pangan pokok tetapi juga ada kontribusi dari kenaikan
harga-harga non makanan.
Tabel 2. Inflasi dan Peran Kelompok Bahan Makanan
Ket : * Periode Jan-Sept 2014
Sumber : BPS, diolah
Meski andil inflasi bahan makanan cenderung menurun,
ada beberapa kemungkinan dalam 3 (tiga) bulan terakhir di
tahun 2014 yang akan berperan dalam penyumbang stabilitas
harga pangan, seperti terjadinya musim paceklik dan iklim El-
Nino. Selama periode Januari-September 2014, inflasi nasional
mencapai 3,71%. Jika target inflasi tahun 2014 sebesar 4,5%
maka upaya untuk mencapai target tersebut adalah menekan
inflasi dalam 3 (tiga) bulan terakhir pada kisaran 0,3-0,4%.
Pengelolaan inflasi hingga akhir tahun 2014 dapat dilakukan
melalui pengelolaan pasokan pangan di dalam negeri serta
distribusinya, dan mengingat ada kemungkinan terjadi kenaikan
harga pangan (beras) yang memberikan bobot sangat tinggi
dalam inflasi terhadap bahan makanan sebesar 3,66%.
Jika dibandingkan dengan beberapa negara, inflasi dari
volatile food di Indonesia cukup tinggi (Gambar 2). Kontribusi
bahan makanan pokok terhadap volatile food di Indonesia sekitar
80%, artinya jika ada kenaikan harga pada bahan makanan
pokok maka secara langsung akan menimbulkan inflasi bahan
makanan dan inflasi bergejolak (volatile
inflation)1. Masih tingginya inflasi volatile food
di Indonesia dikarenakan adanya perbedaan
harga antar wilayah akibat gangguan distribusi
pasokan. Selain itu, kebijakan stabilisasi harga
yang ditetapkan pada bahan makanan pokok
belum disertai dengan kebijakan tataniaga
komoditi. Meskipun kebijakan stabilisasi harga
melalui mekanisme impor telah dilakukan dalam
bentuk penentuan harga referensi, namun masih
sebatas pada komoditi daging sapi dan produk
hortikultura (cabe dan bawang) serta kebijakan
penetapan harga dasar untuk gula dan kedelai
Gambar 2. Inflasi dari sisi Volatile Food Indonesia
Masih Lebih TinggiSumber: Adiningsih dalam bahan Presentasi Masyarakat Ekonomi Asean, 2014
1 Volatile inflation merupakan inflasi yang didorong oleh komoditi yang memiliki fluktuasi (volatile) cukup tinggi. Komoditi yang masuk dalam volatile inflation terdiri dari 82 komoditi (Survei Biaya Hidup/SBH, 2012)
Stabilitas Harga Pangan Menentukan Pola Pengeluaran Masyarakat
Naiknya harga pangan berimplikasi terhadap inflasi dan daya
beli masyarakat yang secara langsung berimplikasi pada pola
pengeluaran masyarakat terhadap pangan, hal ini disebabkan
pengeluaran masyarakat untuk pangan masih cukup tinggi.
Menurut Soekirman (2000), rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran pangan ≥ 60% dapat dikategorikan rawan pangan
dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi pengeluaran
pangan <60% dikategorikan tahan pangan. Pemerintah terus
berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya.
Usaha ini membawa hasil yang ditunjukkan dengan semakin
rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Data Susenas (2013)
menunjukkan bahwa ada penurunan proprorsi pengeluaran
masyarakat Indonesia (kota+desa) dari 62,9% (1999) menjadi
47,2% (2013).
Adanya perubahan proporsi pengeluaran ini menunjukkan
bahwa pengeluaran untuk bahan pangan pokok oleh masyarakat
sudah mencapai titik maksimal sehingga proporsi untuk pangan
cenderung menurun, dan beralih pada meningkatnya permintaan
terhadap yang bukan makanan, seperti belanja pakaian,
makanan siap saji (makanan olahan), liburan, serta pendidikan.
Tren gaya hidup masyarakat modern di era tahun 2000-an
menjadikan makanan olahan lebih praktis, yang menyebabkan
peningkatan terhadap konsumsi pada makanan olahan.
Harga pangan yang tinggi di kota-kota besar tertentu seperti
DKI Jakarta, Bandung, Surabaya merupakan indikator inflasi, akan
mempengaruhi nilai riil dari pendapatan masyarakat yang terdapat
di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Dampak jangka panjang,
tingginya harga-harga pangan berdampak pada fluktuasi inflasi
yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Perkembangan teknologi dan informasi memudahkan
masyarakat mendapatkan informasi barang-barang non makanan
dengan jenis dan kualitas yang baik. Hal ini memicu pola
konsumsi masyarakat menjadi lebih tinggi dengan akses yang
lebih mudah sehingga terjadi peningkatan pangsa pengeluaran
rumah tangga untuk non makanan.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 76 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Tabel 3. Persentase Pengeluaran Masyarakat (Rumah Tangga)
Sumber: BPS: Susenas, (2013) diolah
Resiko dan AntisipasiInstabilitas harga bahan pangan pokok memiliki dampak
yang luas terhadap pendapatan masyarakat dan perekonomian
nasional. Penataan dini terhadap situasi pangan di dalam negeri
dapat mengurangi tekanan kenaikan harga yang tidak normal.
Kebijakan stabilisasi harga di dalam negeri terus diintensifkan
untuk menjaga pasokan dan pengawasan distribusi pangan.
Pengaturan dan pengendalian harga dengan strategi membuat
treatment diawal menjelang puasa dan lebaran menjadi
pengalaman berharga untuk masa yang akan datang karena
dapat meminimalkan peran-peran pedagang dalam mengelabui
harga serta meminimkan ekspektasi inflasi.
Peran strategis pemerintah diperlukan dalam menjaga
kestabilan harga terutama harga pangan. Dengan mencermati
berbagai resiko harga dan kemungkinan kedepan, beberapa
langkah perlu menjadi perhatian pemerintah dalam upaya
stabilisasi harga dan pengendalian inflasi. Upaya tersebut
diantaranya meningkatkan koordinasi antar Kementerian/
Lembaga di tingkat pusat secara intensif untuk mengantisipasi
tekanan harga khususnya pada komoditas beras. Kementerian
teknis yang terkait dengan upaya stabilitas harga diantaranya
Kementerian Pedagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, Bulog, serta Kementerian Perhubungan. Selain itu,
sejalan dengan meningkatnya risiko terjadinya El-Nino di triwulan
IV perlu diantisipasi dampaknya pada musim panen tahun 2015
akibat gangguan pada musim tanam di akhir tahun ini termasuk
juga untuk produk hortikultura. Sejalan dengan hal tersebut, Tim
Pengendalian Inflasi (TPI) dalam forum Tim Pengendalian Inflasi
Daerah (TPID) sepakat melakukan langkah-langkah antisipasi
yang antara lain menyiapkan dukungan penyediaan saprodi
(a.l. benih, pupuk, pompa, pengering gabah), mengoptimalkan
Sekolah Lapang Iklim (SLI) termasuk melakukan sosialisasi
terutama pada daerah-daerah yang berpotensi mengalami
kekeringan, dan memperkuat kerjasama dengan daerah lain
yang mengalami surplus pangan.
Meski demikian, hal yang perlu diantisapasi terhadap
resiko tekanan Inflasi hingga akhir tahun 2014 adalah: 1) risiko
inflasi dari dampak kenaikan harga BBM bersubsidi; 2) risiko
potensi naiknya inflasi pangan terkait faktor iklim El-Nino jika
intensitasnya meningkat menjadi kuat; 3) risiko dari rencana
pemerintah untuk menyesuaikan tarif batas atas angkutan
udara pasca Lebaran. Resiko menjelang akhir tahun 2014 yang
berdampak pada tekanan harga kelompok bahan makanan
masih akan terjadi mengingat tiga bulan terakhir memasuki
musim paceklik dan diperkirakan akan terjadi kenaikan harga
beras. Selain itu, ada tekanan harga dari kebijakan kenaikan
harga BBM subsidi. Dalam jangka menengah dan panjang,
Pemerintah harus mempunyai outlook pangan sebagai acuan
dalam menentukan kebijakan antisipatif untuk melindungi
pangan di dalam negeri dengan mempertimbangkan faktor
lingkungan strategis di dalam dan luar negeri. Faktor lingkungan
strategis merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
secara langsung maupun tidak langsung terhadap harga
pangan, seperti produksi, konsumsi, stok, energi, ekonomi,
serta kebijakan perdagangan.
Cadangan Penyangga Minyak, Upaya Menuju
Ketahanan EnergiNaufa Muna
Tantangan yang dihadapi pemerintah baru dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah 1)
Banjirnya produk impor sehingga produk domestik terpinggirkan,
2) penyediaan infrastruktur yang belum memadai, 3) kualitas
tenaga kerja yang rendah dan terbatasnya jumlah pekerja
berpendidikan tinggi, 4) ketidakseimbangan pembangunan
wilayah barat dan timur Indonesia, sehingga 84,33% PDB
Indonesia disumbang oleh Jawa, Sumatera, Bali dan NTB,
5) ketimpangan pendapatan yang semakin melebar yang
diindikasikan rasio gini yang mencapai 0,413 (2013) dan 6)
subsidi energi yang memberatkan keuangan negara (Kompas,
11 April 2014).
Subsidi energi telah menjadi polemik besar bagi pemerintah
sejak lama. Mengurangi subsidi energi adalah tindakan yang
tidak populis. Pemerintah pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono sempat menunda pengurangan subsidi
Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2012 akibat mendapat
tekanan dari rakyat yang diwakilli oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. Padahal, menunda pengurangan subsidi energi/BBM
hanya merupakan penundaan masalah, karena beban yang
harus ditanggung pemerintah semakin besar. Walaupun banyak
pihak tidak menyetujuinya, pengurangan subsidi akhirnya jadi
dilaksanakan pada bulan Juni 2013. Langkah tersebut memang
perlu dilakukan untuk menyehatkan kondisi keuangan negara.
Beban yang harus ditanggung pemerintah karena subsidi
migas terus meningkat. Peningkatan ini terutama dikarenakan
membengkaknya beban biaya impor hasil migas akibat
peningkatan konsumsi migas yang tidak dibarengi dengan
peningkatan ekspor migas. Indonesia menjadi net importir migas
sejak tahun 2003 dan resmi keluar dari keanggotaan organisasi
penghasil minyak dunia (Organization of the Petroleum Exporting
Countries-OPEC) sejak tahun 2008.
Peningkatan impor BBM inilah yang menyebabkan neraca
perdagangan Indonesia pada tahun 2012 dan 2013 mengalami
defisit. Defisit perdagangan pada tahun 2012 mencapai USD 1,7 miliar
disebabkan oleh meningkatnya defisit perdagangan migas sebesar
USD 5,7 miliar sementara neraca perdagangan non migas masih
mencatat surplus USD 4,0 miliar. Defisit neraca perdagangan
meningkat mencapai USD 4,1 miliar pada tahun 2013, karena
surplus nonmigas sebesar USD 8,6 miliar lebih rendah dibandingkan
defisit neraca migas sebesar USD 12,6 miliar.
Defisit neraca perdagangan Indonesia pada periode Januari-
September 2014 mencapai USD 1,6 miliar. Jauh lebih baik
dibandingkan defisit perdagangan pada periode yang sama tahun
sebelumnya yang mencapai USD 6,4 miliar. Defisit perdagangan
tahun 2014 juga disebabkan oleh defisit necara migas yang
mencapai USD 9,6 miliar, sementara neraca non migas surplus
sebesar USD7,9 miliar.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 98 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Tabel 1. Perkembangan Ekspor Impor Periode Januari-September 2013-2014
Sumber: Puska Daglu
Penyebab terjadinya defisit perdagangan adalah tingginya
permintaan BBM impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
nasional. Selama tahun 2009-2012, konsumsi BBM bersubsidi
melebihi kuota yang ditentukan.
Gambar 1. Kuota dan Realisasi Volume BBM BersubsidiSumber: ESDM dan APBNP-2013, diolah Puska Daglu
*) Realisasi Kuartal I 2014
Impor BBM yang tinggi dan realisasi volume BBM bersubsidi
yang terus meningkat menunjukkan rentannya kemampuan
Indonesia menyediakan pasokan energi untuk seluruh kebutuhan
rakyat Indonesia. Hal ini jelas berkorelasi dengan rendahnya
ketahanan energi di dalam negeri. Ketahanan atau keamanan
energi didefinisikan oleh Internasional Energy Agency (IEA)
sebagai “the uninterrupted availability of energy sources at an
affordable price” atau jika diartikan adalah keamanan pasokan
energi pada harga yang terjangkau.
Sebagai satu organisasi otonom, IEA bekerja untuk
memastikan energi yang dapat diandalkan, terjangkau dan bersih
bagi negara-negara anggotanya dan dunia secara global. Empat
bidang fokus utama IEA adalah: keamanan energi, pembangunan
ekonomi, kesadaran lingkungan, dan keterlibatan seluruh dunia.
Untuk menjaga ketahanan energi, IEA mewajibkan negara
anggotanya memiliki stok minyak yang setara dengan setidaknya
90 hari impor bersih. Selain itu, IEA juga meminta setiap negara
anggotanya untuk menyiapkan langkah-langkah darurat yang
dapat secara kolektif menanggapi gangguan pasokan minyak dari
segala kemungkinan sehingga tidak menyebabkan kerusakan
ekonomi di negara anggotanya.
Indonesia sebagai negara yang berdaulat menyadari
pentingnya energi tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga
keamanan dan ketahanan. Hal ini tertuang dalam Undang-
Undang No. 30 tahun 2007 tentang Energi yang menyebutkan
bahwa energi berperan sangat penting bagi peningkatan kegiatan
ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi
yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya
harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional,
optimal, dan terpadu.
Pasal 5 ayat 1 dalam Undang-Undang tersebut menyatakan
bahwa untuk menjamin ketahanan energi nasional, pemerintah
wajib menyediakan cadangan penyangga energi. Definisi
cadangan penyangga adalah jumlah ketersediaan sumber energi
dan energi yang disimpan secara nasional yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan energi nasional pada kurun waktu tertentu.
Menurut Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur
Hilir Migas dan Gas Bumi (BPH) Migas, definisi Cadangan
Penyangga Energi adalah cadangan dalam bentuk crude oil,
solar, bensin, elpiji yang berfungsi mengatasi krisis jika terjadi
darurat energi atau mengalami force majeure seperti gempa
bumi, bencana, perang dan lain-lain (Suplemen Ketahanan
Energi Tempo, April 2014).
Permasalahannya Indonesia belum mempunyai cadangan
penyangga energi sama sekali (Suplemen Ketahanan Energi
Tempo, 31 Maret-6 April 2014). Indonesia hanya memiliki
cadangan operasional BBM yang dimiliki PT Pertamina (Persero).
Cadangan operasional BBM itu tersedia dalam jumlah variatif
antara 18 sampai 23 hari dan tersebar di SPBU yang dimiliki
Pertamina, serta bukan cadangan BBM yang bisa dipakai dalam
keadaan darurat (Hilir Migas edisi 13, 2014). Ini berarti jika terjadi
keadaan darurat di Indonesia akibat bencana alam atau peristiwa
katastropik lainnya akan terjadi goncangan ekonomi yang sangat
besar bagi Indonesia.
Keadaan darurat yang dimaksud tidak hanya dapat terjadi
di Indonesia, tetapi termasuk berbagai peristiwa di dunia yang
dapat mengganggu pasokan minyak dunia. Beberapa kejadian
besar di dunia yang mengganggu pasokan minyak dunia
dapat dilihat pada Gambar 2. Terganggunya pasokan minyak
dunia berpengaruh pada besarnya impor Indonesia. Hal ini
menunjukkan kerentanan Indonesia terhadap ketersediaan
minyak sebagai salah satu sumber energi di dalam negeri.
Gambar 2. Puncak Penurunan Pasokan Minyak Dunia Akibat Beberapa Peristiwa Besar
Di Dunia (Juta Barel/Hari)Sumber: International Energy Agency, 2012
Tahun 2012, 79,3% konsumsi BBM bersubsidi berasal dari
impor (sekitar 35,6 juta KL), sedangkan pada triwulan I 2014,
realisasi BBM bersubsidi sudah mencapai 23,6% dari kuota
(Gambar 1).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1110 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Negara maju umumnya memiliki fasilitas penyimpanan
minyak mentah (Strategic Petroleum Reserves/SPR) yang
cukup besar. Amerika Serikat memiliki SPR dengan kapasitas
727 juta barel atau lebih kurang setara dengan 60 hari impor
bersih minyak mentah AS yang mencapai 12 juta barel per
hari. Jepang memiliki SPR sebesar 583 juta barel atau setara
dengan 115 hari total konsumsinya. Dua negara di Asia yang
pertumbuhannya tinggi, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT)
dan India juga memiliki SPR cukup besar. RRT memiliki SPR
tidak kurang dari 281 juta barel dan India memiliki SPR minimum
sebesar 37 juta barel (Suplemen Ketahanan Energi Tempo, 31
Maret-6 April 2014).
Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak
memiliki cadangan penyangga energi (Hilir Migas edisi 13, 2014).
Kebijakan cadangan minyak strategis yang dimiliki oleh berbagai
negara di ASEAN (International Energy Agency, 2014) adalah
sebagai berikut:
• Brunei telah memiliki Rencana Kontinjensi Energi yang
mewajibkan 31 hari impor minyak untuk keperluan industri;
• Kamboja mewajibkan industri untuk memiliki cadangan
penyangga paling tidak untuk mencukupi 30 hari kebutuhan
domestik; dan
• Indonesia mempunyai 22 hari cadangan operasional untuk
konsumsi domestik nasional.
• Laos mewajibkan industri minyaknya untuk mempunyai
minimal cadangan impor paling sedikit 15 hari.
• Malaysia adalah salah satu negara net eksportir minyak
sehingga tidak perlu mempunyai cadangan strategis minyak.
• Myanmar mempunyai cadangan 50 hari impor minyak tahun 2013
dan berencana memiliki cadangan 70 hari impor tahun 2015.
• Filipina mewajibkan level cadangan tidak kurang dari 30
hari kebutuhan domestik baik cadangan operasional dan
cadangan penyangga.
• Singapura memiliki stok terbesar di ASEAN. Singapura
mewajibkan cadangan operasional di perusahaan refinery
untuk sekitar 50 hari dan mewajibkan perusahaan pembangkit
listrik untuk mempunyai cadangan minyak selama 90 hari
sebagai bahan bakar pengganti.
• Melalui Undang-undang Perdagangan Bahan Bakar tahun
2000, Thailand mewajibkan perusahaan pengolahan minyak
memiliki cadangan 6% dari penjualan tahunan minyak
mentah dan hasil minyak. Perusahaan retail dan importir
di Thailand juga wajib mempunyai cadangan 6% minyak
mentah dan 10% hasil minyak. Total keseluruhan, Thailand
memiliki cadangan penyangga dan cadangan operasional
yang mencukupi untuk 45 hari kebutuhan domestik.
• Vietnam mempunyai cadangan minyak untuk konsumsi
selama 47 hari yang terdiri dari 30 hari stok komersial dan 10
hari stok produksi nasional.
Indonesia perlu membangun kilang penampungan yang cukup
untuk memperkuat ketahanan energi. Sebenarnya membangun
kilang tidak butuh biaya besar. Menurut Kepala Badan Pengatur
Hilir Migas dan Gas Bumi (BPH) Migas, untuk membangun dua
tunnel besar, LPG, crued dan fuel di Jepang hanya dibutuhkan
Rp 18 triliun. Dengan subsidi BBM pada tahun 2014 yang telah
ditetapkan dalam APBN 2014 sebesar Rp 210,7 triliun, maka itu
artinya dapat dilakukan dengan tidak memberikan subsidi BBM
selama sebulan (Hilir Migas edisi 13, 2014).
Selama ini Indonesia tidak memiliki cadangan BBM nasional
karena terkendala dengan permasalahan biaya. Padahal biaya
pembangunan kilang cadangan penyangga tidak harus dari
pemerintah saja. Dalam prakteknya ada 2 sistem stockholding di
negara anggota IEA yaitu saham pemerintah (public stocks) dan
saham industri (industry stocks).
Sebanyak 18 negara anggota IEA menggunakan saham
publik sebagai skema pembiayaan cadangan minyak
strategisnya, yaitu Australia, Belgia, Republik Czech, Denmark,
Finlandia, Perancis, Jerman, Hungaria, Irlandia, Jepang,
Korea, Belanda, New Zealand, Polandia, Portugal, Republik
Slovak, Spanyol, dan Amerika Serikat. Negara-negara tersebut
menggunakan berbagai cara untuk pembiayaan awal, antara
lain: 1) menggunakan dana pemerintah baik langsung dari
anggaran pemerintah atau pinjaman (loan) pemerintah dan 2)
mempercayakan dananya dari kreditor swasta dalam bentuk
pinjaman bank atau obligasi pemerintah. Biaya pelaksanaan
(running cost), anggota IEA menggunakan skema pembiayaan
yang bervariasi yaitu: 1) dari anggaran pemerintah, 2) melalui
beban biaya yang dibayar oleh operator pasar, atau 3) melalui
pajak yang dibayar oleh konsumen akhir. Denmark merupakan
pengecualian dari ketiga skema ini, karena biaya pelaksanaan
diambil dari surplus finansial yang diperoleh lembaga Danish
Stockholding yang telah didirikan pada tahun 1990.
Sementara, negara dengan skema industry stockholding,
biaya pelaksanaannya dibebankan kepada perusahaan yang
pada akhirnya dibebankan kepada konsumen. Berbagai
pendekatan yang berbeda tersebut menunjukkan fleksibilitas
dalam pembiayaan dan mencerminkan upaya untuk
meminimalkan beban pada anggaran negara, industri dan
konsumen akhir. Di banyak negara, biaya ke konsumen akhir
berjumlah kurang dari satu sen per liter.
Bagaimanapun skema pembiayaan cadangan penyangga
yang akan dipilih pemerintah, pasti memberikan banyak manfaat.
Analisis yang dilakukan IEA menunjukkan nilai keuntungan
global dari cadangan darurat dengan volume saat ini sebesar
USD 41/barel. Nilai ini sama dengan USD 3 ,5 triliun dalam
waktu 30 tahun. Cadangan darurat berfungsi seperti “asuransi”
terhadap gangguan pasokan minyak. Keuntungan cadangan
darurat yang berfungsi sebagai penyeimbang atas kurangnya
pasokan berpotensi meningkatkan harga minyak. Hal ini tentunya
akan mengurangi kerugian PDB dan biaya impor (Stelter, Jan
dan Yuichiro Nishida, 2013). Dengan demikian, cadangan
penyangga minyak sangat penting bagi Indonesia, karena dapat
sedikit meredam gejolak harga minyak dunia terhadap APBN.
Memiliki cadangan penyangga minyak hanyalah merupakan
salah satu langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk
mencapai ketahanan energi. Langkah-langkah lain yang dapat
ditempuh pemerintah antara lain mengurangi ketergantungan
terhadap minyak bumi dengan jenis sumber energi lainnya
seperti gas dan batubara, menciptakan energi mix yang
terdiversifikasi melalui energi terbarukan seperti energi
panas bumi, tenaga angin dan produksi biofuel (bioetanol
dan biodiesel), dan sebagai salah satu produsen minyak
sawit terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa menjadi
leading industry untuk biodiesel dari sawit dan yang juga dapat
dikembangkan adalah bioediesel dari mikroalgae. Namun
demikian, pengembangan energi terbarukan tersebut tidak akan
dapat berkembang jika subsidi BBM tidak segera dikurangi oleh
pemerintah karena nilai keekonomiannya tidak dapat bersaing
dengan energi fossil fuel. Karena itu, mengurangi subsidi BBM
merupakan langkah pemerintah lainnya yang perlu dilakukan
untuk menjamin ketahanan energi.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1312 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Indonesia-Nigeria (2009-2014)
Perdagangan
Yudi Risman Hadiyanto
Profil NigeriaRepublik Federasi Nigeria (the Federal Republic of Nigeria)
atau Nigeria merupakan salah satu negara di kawasan Afrika
Barat, dengan ibu kota negaranya adalah Abuja. Nigeria
merupakan negara Federal yang terdiri dari 36 negara bagian.
Luas wilayah negara Nigeria adalah 923,768 km2 (356,669 mil2)
yang berada pada 4° – 14° Lintang Utara dan 2°-15° Bujur Timur.
Di sebelah Barat, Utara dan Timur Nigeria berbatasan darat
dengan beberapa negara tetangganya. Di bagian Barat, Nigeria
berbatasan dengan Republik Benin, di Bagian Timur berbatasan
dengan Chad dan Cameroon dan berbatasan dengan Nigeria di
bagian Utara. Sedangkan di Bagian Selatan berbatasan dengan
Teluk Guinea di Samudra Atlantik.
Dilihat dari jumlah penduduknya, Nigeria merupakan salah
satu negara terbesar di Afrika. Jumlah penduduk Nigeria pada
tahun 2013 sebanyak 173,615,345 orang (World Bank, 2014).
Jumlah penduduk Nigeria Kota terbesar dengan penduduk
terbanyak terdapat di Lagos (7,94 juta orang), Kano (3,85 juta
orang), Ibadan (3,08 juta orang), Kaduna (1,65 juta orang), Port
Harcourt (1,32 juta orang), Benin City (1,05 juta orang), Maiduguri
(1,04 juta orang) dan Zaria (1,02 juta orang).
Perekonomian dan Perdagangan NigeriaSelain memiliki jumlah penduduk terbanyak di Benua Afrika,
Nigeria juga merupakan negara terbesar dari sisi perekonomian.
Bedasarkan World Bank (2014), Produk Domestik Bruto (PDB)
Nigeria merupakan yang tertinggi di Afrika dengan PDB sebesar
USD 522,5 Miliar, diikuti oleh PDB Afrika Selatan sebesar
USD 350,5 Miliar dan PDB Mesir sebesar USD 272 Miliar. Di
samping itu, Nigeria masuk ke dalam golongan negara dengan
pendapatan menengah rendah (lower middle income country)
dengan PDB per kapita sebesar USD 3.010,32.
Di samping memiliki PDB yang paling besar di Afrika, Nigeria
juga memiliki nilai ekspor yang juga cukup besar. Nilai ekspor
Nigeria ke dunia tahun 2012 sebesar USD 143,15 miliar dengan Gambar 1. Peta Republik Federasi NigeriaSumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Nigeria, 2014
tren peningkatan selama periode 2009-2012 sebesar 42,36%.
Nilai ekspor tersebut berasal dari nilai 408 jenis produk yang
diekspor ke 83 negara mitranya. Sebagaimana terlihat pada
tabel 1, Nigeria juga melakukan impor dari 126 negara mitranya
dengan nilai sebesar USD 35,87 miliar dari 2.471 jenis produk
impor. Seperti halnya ekspor yang mengalami tren peningkatan,
nilai impor juga mengalami hal sama memiliki tren meningkat
rata-rata sebesar 5,53% selama periode 2009-2012.
Meskipun nilai ekspor dan impor sama-sama memiliki tren
yang meningkat, namun tren ekspor meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan tren impor. Kondisi ini membuat Nigeria mengalami
surplus perdagangan yang meningkat setiap tahun dengan tren
peningkatan yang sangat tinggi yaitu 83,66%. Dengan demikian
surplus perdagangan yang semula hanya USD 16,03 miliar pada
tahun 2009 meningkat menjadi USD 107,28 miliar pada tahun
2012.
Tabel 1. Neraca Perdagangan Nigeria dengan Dunia
No Uraian Nilai : Juta USD Trend % 2009 2010 2011 2012 09-12
1 Total Ekspor 49.937 86.568 125.641 143.151 42.36
2 Total Impor 33.906 44.235 63.972 35.873 5.53
3 Neraca 16.031 42.333 61.670 107.279 83.66
Sumber: World Integrated Trade Solution (WITS), 2014
Pada tahun 2012, Nigeria memiliki 83 negara mitra tujuan
ekspor dan 126 negara mitra asal impor. Negara tujuan ekspor
Utama Nigeria adalah Amerika Serikat dengan nilai ekspor tahun
2012 sebesar USD 24,14 miliar (16,86%), India dengan nilai
ekspor USD 15,859 miliar (11,10%,) Brazil sebesar USD 10,791
miliar (7,54%), Belanda sebesar USD 9,958 miliar (6,96%), dan
Inggris sebesar USD 9,042 miliar (6,32%). Sedangkan ekspor
Nigeria ke Indonesia hanya senilai USD 1,51 miliar (1,05%).
Perdagangan Indonesia-NigeriaNilai ekspor Indonesia ke Nigeria mengalami tren
peningkatan sebesar 25,18% pada periode 2009-2013.
Peningkatan tersebut terjadi pada produk non migas karena
ekspor ke Nigeria hampir 100% merupakan produk non migas.
Sebaliknya, Indonesia juga melakukan impor dari Nigeria.
Impor yang dilakukan Indonesia sebagian besar adalah produk
migas. Impor tersebut memiliki tren peningkatan rata-rata
sebesar 60,47% per tahun. Nilai impor Indonesia meningkat
dari USD 508,85 juta (tahun 2009) menjadi USD 1.674,90 juta
(tahun 2012).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1514 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Tabel 2. Neraca Perdagangan Indonesia dan Nigeria
No Uraian Nilai: Juta USD Jan-Jun Trend (%) 09-13 Perub. (%) 2014/2013 2009 2010 2011 2012 2013 2013 2014
1 Total Perdagangan 716.21 1.238.46 2.092.86 3.183.74 3.680.62 2,014.18 1,992.98 52,47 -1.05
Migas 503.63 913.21 1.606.11 2.735.10 3.092.38 1,720.85 1,668.38 60,43 -3,05
Non Migas 212.57 325.25 486.75 448.64 588.24 293.33 324.61 26,58 10,66
2 Total Ekspor 207.36 316.87 465.99 413.08 558.18 272.56 318.08 25,18 16.70
Migas 0,0 0.02 0.02 0.10 0.42 0.26 0.17 0,00 -36.17
Non Migas 207.36 316.85 465.96 412.98 557.75 272.30 317.91 25,16 16.75
3 Total Impor 508.84 921.59 1.626.87 2.770.66 3.122.44 1,741.62 1,674.90 60,47 -3.83
Migas 503.63 913.19 1.606.09 2.735.00 3.091.96 1,720.59 1,668.21 60,42 -3.04
Non Migas 5.21 8.40 20.79 35.66 30.49 21.04 6.69 64,49 -68.19
4 Neraca Total -301.48 -604.73 -1.160.88 -2.357.58 -2.564.26 -1,469.07 1,256.82 75,80 -7.64
Migas -503.63 -913.17 -1.606.06 -2.734.90 -3.091.53 -1,720.33 -1,668.08 60,42 -3.04
Non Migas 202.14 308.44 445.18 377.32 527.27 251.26 311.22 23,60 23.86
Sumber: BPS( 2014), diolah Pusdatin Kemendag
Tren peningkatan ekspor dan impor
baik produk migas maupun non migas
berdampak pada peningkatan total nilai
perdagangan kedua negara. Perdagangan
migas kedua negara meningkat dari
USD 503,63 juta (tahun 2009) menjadi
USD 3.092 Juta (tahun 2013). Demikian
halnya dengan nilai perdagangan non
migas yang mengalami peningkatan
sebesar 176,71% dari USD 212,58 juta
(2009) menjadi USD 588,24 juta (2012).
Adanya kesenjangan antara
peningkatan ekspor dan impor
membuat defisit neraca perdagangan
Indonesia terhadap Nigeria terus
meningkat. Defisit tersebut terus
meningkat dari USD 301,49 juta (tahun
2009) menjadi USD 2.564,26 juta (tahun
2013). Peningkatan defisit ini terutama
disebabkan oleh meningkatnya impor
produk migas dari USD 503,63 juta
(tahun 2009) meningkat menjadi
USD 3.091,96 juta (tahun 2013).
Ekspor produk non migas Indonesia
ke Nigeria terus meningkat. Peningkatan
tersebut terjadi hampir pada setiap
produk ekspor utama Indonesia terutama
20 produk ekspor terbesar pada periode
2009-2013. Produk-produk tersebut
antara lain produk kelapa sawit dan
turunannya, kertas, peralatan elektronik,
pakaian dan karet.
Tabel 3. 20 Produk Ekspor Utama Indonesia ke Nigeria (2009 - 2014)
NO HS URAIAN 2009 2013 Januari-Juni Perub. % Trend (%)
2013 2014 14/13 09-13
TOTAL EKSPOR SEMUA PRODUK 207,362 558,178 272,560 318,081 16.70 25.18
TOTAL EKSPOR 20 PRODUK TERBESAR 84,454 379,993 182,097 207,201 13.79 41.95
1 151190 PALM OIL AND ITS FRACTIONS, REFINED BUT
NOT CHEM MODIFIED 8,338 74,058 18,572 74,422 300.72 26.59
2 480256 PAPER & PAERBOARD, NOT CONTAINING FIBRES 3,925 43,816 21,407 16,121 -24.69 79.97
3 340120 SOAP IN FORMS NESOI, INCLUDING POWDERS
AND LIQUIDS 2,418 24,501 12,962 9,254 -28.61 90.50
4 151710 MARGARINE, EXCLUDING LIQUID MARGARINE 11,302 21,889 9,418 11,521 22.33 14.47
5 210390 SAUCES AND PREPARATIONS THEREFOR, NESOI;
MIXED CONDIMENTS 11,429 20,176 7,834 9,115 16.36 16.13
6 300490 MEDICAMENTS, IN MEASURED DOSES, ETC.
(EXCLUDING VACCINES 4,151 20,020 10,346 10,003 -3.31 47.89
7 151790 EDIBLE MIXTURES OR PREPARATIONS OF ANIMAL
OR VEGETABLE FATS 6,959 18,746 10,416 14,174 36.07 25.37
8 852851 MONITORS AND PROJECTORS OF A KIND SOLELY 6 17,701 11,065 13,768 24.43 487.15
9 852190 VIDEO RECORDING OR REPRODUCING APPARATUS 5,166 17,068 10,995 3,026 -72.48 52.50
10 310510 FERTILIZING MATERIALS, IN TABLETS OR
SIMILAR FORMS - 15,973 14,053 - -100.00 -
11 300390 MEDICAMENTS (EXCLUDING VACCINES, BANDAGES
AND PHARMACEUTICAL GOODS) 6,827 15,542 7,650 6,693 -12.50 22.97
12 480257 PAPER & PAPERBOARD, NOT CONTAINING FIBRES
OBTAINED BY MECHANICAL/CHEMICAL 8,877 15,174 7,448 7,697 3.35 11.21
13 481029 PAPER AND PAPERBOARD FOR WRITING, PRINTING
OR OTHER GRAPHIC PURPOSES, OVER 10% (WT.)
MECHANICAL FIBERS, CLAY COATED NESOI,
IN ROLLS OR SHEETS - 13,825 6,016 6,976 15.95 -
14 151110 PALM OIL AND ITS FRACTIONS, CRUDE,
NOT CHEMICALLY MODIFIED 805 12,095 8,971 - -100.00 -
15 210690 FOOD PREPARATIONS NESOI 2,027 9,861 5,304 3,773 -28.86 49.35
16 620799 MEN’S OR BOYS’ SINGLETS AND OTHER
UNDERSHIRTS, BATHROBES, DRESSING GOWNS
AND SIMILAR ARTICLES OF TEXTILE MATERIALS
NESOI, NOT KNITTED OR CROCHETED 494 8,746 4,499 4,004 -11.00 102.76
17 841850 REFRIGERATING OR FREEZING CHESTS, DISPLAY
COUNTERS, CABINETS, SHOWCASES AND SIMILAR
EQUIPMENT, NESOI 1,393 7,920 4,393 2,502 -43.04 49.70
18 340111 SOAP AND ORGANIC SURFACE-ACTIVE PRODUCTS
IN BARS OR OTHER SHAPES AND PAPER,
WADDING ETC. CONTAINING SOAP OR DETERGENT,
FOR TOILET USE 5,541 7,710 4,675 3,221 -31.10 23.84
19 401110 NEW PNEUMATIC TIRES, OF RUBBER, OF A KIND
USED ON MOTOR CARS (INCLUDING
STATION WAGONS AND RACING CARS) 4,797 7,634 3,150 4,155 31.90 9.41
20 481014 PAPER & PAPERBOARD OF A KIND USED FOR
WRITING / PRINTING/ OTHER GRAPHIC
PURPOSES, COATED ON ONE/BOTH SIDE WITH
KAOLIN (CHINA CLAY)/OTHER INORGANIC SUBST - 7,537 2,924 6,773 131.67 -
Sumber: BPS (2014), diolah Pusdatin Kemendag
NILAI : Ribu USD
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1716 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
TINJAUAN PERDAGANGAN
Namun dari tabel 3 terdapat beberapa produk yang perlu
dicermati lebih jauh. Hal ini perlu dilakukan karena selama
periode 2009-2013 produk tersebut mengalami peningkatan
ekspor yang cukup besar akan tetapi pada periode terakhir
(Januari-Juni 2014) terjadi tren penurunan dibandingkan periode
sebelumnya (Januari-Juni 2013). Produk-produk tersebut yaitu
Harmonized System (HS) 480256 , HS 340120, HS 300490,
HS 852190, HS 310510, HS 300390, HS 151110, HS 210690,
HS 620799, HS 841850, dan HS 340111 namun demikian tidak
terdapat satu produkpun yang nilai ekspornya sangat dominan.
TOTAL IMPOR SEMUA PRODUK 508,849 3,122,441 1,741,625 1,674,901 -3.83 60.47
TOTAL IMPOR 20 PRODUK TERBESAR 508,528 3,122,441 1,741,624 1,631,087 -6.35 60.38
1 270900 PETROLEUM OILS AND OILS FROM BITUMINOUS
MINERALS 503,633 3,060,334 1,688,968 1,581,082 -6.39 59.68
2 271113 BUTANES, LIQUEFIED - 31,621 31,621 43,810 38.55 -
3 520100 COTTON, NOT CARDED OR COMBED 4,782 22,773 16,142 3,084 -80.90 58.31
4 410510 Tanned/crust skins of sheep/lambs, without wool - 2,274 1,029 1,264 22.81 -
5 760120 ALUMINUM ALLOYS, UNWROUGHT - 2,158 1,746 199 -88.62 -
6 780199 LEAD, OTHER THAN REFINED, NESOI, UNWROUGHT - 1,281 731 207 -71.67 -
7 180320 COCOA PASTE, WHOLLY OR PARTLY DEFATTED - 625 625 - -100.00 -
8 780191 LEAD, OTHER THAN REFINED, CONTAINING ANTIMONY - 522 318 106 -66.58 -
9 091010 GINGER - 360 319 133 -58.14 -
10 180100 COCOA BEANS, WHOLE OR BROKEN, RAW OR ROASTED 10 245 - 1,202 - -
11 470710 WASTE AND SCRAP OF UNBLEACHED KRAFT PAPER - 92 52 - -100.00 -
12 120220 PEANUTS (GROUND-NUTS), NOT ROASTED - 73 73 - -100.00 -
13 080131 CASHEW NUTS, IN SHELL,FRESH OR DRIED. - 49 - - - -
14 440799 NONCONIFEROUS WOOD NESOI, SAWN OR CHIPPED 103 19 - - - -24.34
15 842131 INTAKE AIR FILTERS FOR INTERNAL
COMBUSTION ENGINES - 9 - - - -
16 842123 OIL OR FUEL FILTERS FOR INTERNAL
COMBUSTION ENGINES - 3 - - - -
17 842539 WINCHES NESOI AND CAPSTANS,
NOT POWERED BY ELECTRIC - 2 - - - -
18 841590 PARTS, NESOI, OF AIR CONDITIONING MACHINES - 1 - - - -
19 854129 TRANSISTORS, OTHER THAN PHOTOSENSITIVE, NESOI - 1 - - - -
20 847170 STORAGE UNITS FOR DIG AUTOMATIC
DATA-PROC. MACHINES. - 1 - - - -
NO HS URAIAN 2009 2013 Januari-Juni Perub. % Trend (%)
2013 2014 14/13 09-13
NILAI : Ribu USD
Tabel 4. 20 Produk Impor Utama Indonesia dari Nigeria (2009 - 2014)
Sumber: BPS (2014), diolah Pusdatin Kemendag
Pada tabel 4 tampak nilai impor produk yang sangat dominan,
yaitu minyak mentah (HS 270900). Impor minyak mentah selalu
tinggi sedangkan produk lainnya cenderung sangat rendah,
bahkan pada beberapa periode Indonesia tidak mengimpor.
Hal ini menunjukkan bahwa selama periode tersebut Indonesia
sangat membutuhkan minyak mentah dari Nigeria.
Wayan R. Susila
Minyak Sawit, Andalan Eskpor Indonesia
yang Terus DihadangIndustri Berbasis Sawit yang Strategis
Produk berbasis minyak sawit
(CPO) adalah produk andalan masa
kini dan masa depan. Produk tersebut
telah menyediakan lapangan kerja lebih
dari 5 juta pekerja di sektor hulu, belum
termasuk di sektor hilirnya (KADIN, 2014).
Dengan daya saing tinggi yang dimiliki
serta ketersediaan lahan dan tenaga
kerja yang memadai, Indonesia kini
menjadi produsen sawit terbesar di dunia
dengan produksi tahun 2013 mencapai 26
juta ton atau 48% produksi minyak sawit
dunia. Produk berbasis minyak sawit juga
merupakan salah satu ekspor andalan
dengan pangsa ekspor sekitar 10%
dari nilai ekspor non-migas dengan nilai
eskpor mencapai USD 20 miliar per tahun
selama tiga tahun terakhir (Kementerian
Perdagangan, 2014).
Minyak sawit juga merupakan lokomotif
pembangunan, khususnya di pedesaan,
suatu peran yang sangat penting guna
mengurangi arus urbanisasi. Sebagai
bahan baku biodiesel, minyak sawit
berpeluang menjadi salah satu komponen
dalam upaya mewujudkan kedaulatan
energi, salah satu elemen penting dari Tri
Sakti Pemerintahan Jokowi-JK.
Dibalik peran strategis tersebut,
Indonesia harus terus berjuang karena
produk berbasis sawit Indonesia di pasar
internasional demikian dimusuhi, seolah-
seolah produk sawit Indonesia adalah
mahluk yang penuh dosa dan harus
segara dimusnahkan. Oleh karena itu,
tidaklah aneh kalau berbagai tuduhan
negatif telah dan terus dialamatkan
terhadap minyak sawit Indonesia,
baik oleh pemerintah maupun LSM.
Sebagai akibatnya, berbagai instrumen
kebijakan perdagangan digunakan
untuk membendung atau paling tidak
menghambat masuknya minyak sawit
Indonesia ke pasar mereka. Instrumen
kebijakan safeguard mereka gunakan
dengan anggapan Indonesia melakukan
perdagangan yang “fair”, namun mereka
terpaksa melakukan untuk melindungi
dari lonjakan impor sawit Indonesia. Yang
lebih parah, mereka menuduh Indonesia
melakukan praktek perdagangan yang
tidak fair seperti dengan melakukan
dumping. Yang lebih berat lagi adalah
upaya tersebut tidak saja dilakukan oleh
negara maju seperti Uni Eropa (EU)
tetapai sesama negara berkembang
seperti India.
Dengan latar belakang tersebut,
tulisan ini akan mencoba membahas
secara lebih rinci mengenai hambatan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 17
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
yang dihadapi ekspor minyak sawit
Indonesia. Tulisan ini juga berusaha
mengulas berbagai upaya dan kebijakan
yang dapat dilakukan Indonesia untuk
mengatasi hadangan tersebut dan diakhiri
dengan penutup.
Ekspor Sawit Indonesia Terus Dihadang
Untuk menghambat ekspor minyak
sawit Indonesia, ada dua kelompok
besar sumber “dosa” yang dituduhkan
pada produk sawit Indonesia. Dosa
pertama adalah isu yang bersifat klasik
yaitu berkaitan dengan isu pengrusakan
lingkungan khususnya hutan primer dan
biota yang ada dalam hutan tersebut seperti
orang utan. Pembangunan kebun sawit di
Indonesia dituduh mengorbankan secara
masif hutan primeryang dikhawatirkan
akan menghilangkan bio-diversity baik
tanaman dan hewan serta mengakibatkan
perubahan iklim yang signifikan. Cara
membuka lahan dengan tebas tebang
bakar juga dianggap memperparah efek
negatif yang ditimbulkan baik pada tanah,
air, udara, dan mahluk hidup yang ada
disekitar pembukaan lahan tersebut.
“Dosa kedua” yang dituduhkan
terhadap produk sawit berkaitan dengan
isu kesehatan. Minyak sawit sebagai
bahan baku minyak goreng dituduh
mengandung asam lemak tak jenuh yang
berlebihan sehingga bila dikonsumsi
akan meningkatkan kolesterol jahat yang
berbahaya bagi kesehatan manusia.
Tuduhan ini tentu akan menghambat
ekspor minyak sawit Indonesia pada
negara-negara maju yang memberi
perhatian besar terhadap isu kesehatan.
Dengan menggunakan dua isu
tersebut, beberapa pihak khususnya LSM
dan beberapa negara telah melakukan
dua hal demi menghambat ekspor CPO
Indonesia. Pertama, mereka melakukan
berbagai upaya public compaign guna
memperkuat stigma minyak sawit,
khususnya minyak sawit Indonesia.
Berbagai lembaga seperti Green Peace
dan Wahana Lingkungan Indonesia
secara konsisten dan tidak mengenal
lelah telah melakukan public compaign
guna menjatuhkan citra minyak sawit
Indonesia. Upaya mereka cukup
berhasil untuk mempengaruhi persepsi
masyarakat, khususnya di negara-negara
maju.
Upaya selanjutnya yang dilakukan
adalah dari sisi hambatan investasi.
Dengan memanfaatkan isu lingkungan
dan kesehatan, beberapa negara
atau LSM yang ingin menghambat
perkembangan minyak sawit Indonesia,
meminta pihak perbankan untuk selektif
dalam memberikan kucuran kredit untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit
di Indonesia. Dengan latar belakang
tersebut, beberapa bank di negara maju di
Eropa seperti Rabo Bank, mensyaratkan
pada investor untuk memastikan
pembangunan sawit sesuai dengan
standar RSPO (Roundtable Sustainable
Palm Oil) untuk memperoleh pinjaman.
Persyaratan RSPO yang sangat ketat
sejak dari pembukaan lahan sampai
dengan proses produksi berpotensi
menjadi hambatan investasi sawit di
Indonesia secara terselubung. Pada saat
yang sama, persyaratan tersebut tentunya
akan meningkatkan biaya sehingga
akan membuat daya saing minyak sawit
Indonesia menurun.
Upaya selanjutnya adalah dengan
menerapkan instrumen kebijakan
hambatan perdagangan yang akhir-akhir
ini semakin digalakkan dan mempunyai
dampak yang besar. Berbagai upaya
dilakukan sesuai dengan artikel-artikel
yang ada pada ketentuan perjanjian
perdagangan internasional, sehingga
upaya tersebut seakan-akan memiliki
landasan hukum yang kuat dan memiliki
legalitas untuk menerapkan hambatan
perdagangan.
Upaya pertama yang kini tengah
mereka lakukan adalah dengan menuduh
industri sawit Indonesia melakukan
praktek perdagangan secara tidak fair
(unfair trade) seperti menuduh industri
sawit Indonesia melakukan dumping dan
atau subsidi. Berdasarkan Perjanjian
Anti-Dumping, industri yang melakukan
dumping dapat dikenakan bea masuk
tambahan anti dumping. Proses ini
sedang berlangsung dan bersifat rahasia
karena masih dalam proses penyelidikan.
Dalam hal ini, industri sawit Indonesia
dituduh menjual produknya di luar negeri
dengan harga (export value) yang lebih
rendah dari pada harga harga di dalam
negeri (normal value).
Instrumen perdagangan lainnya
yang juga berpotensi dikenakan pada
produk sawit Indonesia adalah kebijakan
countervailing (anti-subsidy) karena
ada upaya untuk menuduh Indonesia
melakukan subsidi untuk industri berbasis
sawit. Tuduhan ini juga termasuk kategori
praktek unfair trade. Jika nantinya mereka
melakukan tidakan anti-subsidi, maka
ekpsor sawit Indonesia akan menghadapi
hambatan yang lebih besar sepeti dalam
bentuk pengenaan bea masuk yang lebih
tinggi atau kuota impor di negara yang
menuduh. Hal ini tentu membuat pasar
minyak sawit Indonesia akan semakin sulit
berkembang bahkan berpotensi menurun.
Dengan mengemas isu kesehatan,
beberapa negara maju seperti EU mulai
menerapkan kebijakan perdagangan
yang berkaitan dengan technical barrier
to trade (TBT). Tindakan tersebut tentu
dapat dibenarkan karena diatur dalam
perjanjian yang berkaitan dengan
beberapa aspek seperti sanitasi dan
phito-sanitari, penetapan standar yang
lebih ketat dan akhir-akhir ini mereka
melakukan labeling. Semua instrumen
tersebut pada dasarnya sangat potensial
menghambat ekspor produk minyak sawit
Indonesia baik karena akses pasar akan
menjadi semakin terbatas serta biaya
menjadi lebih tinggi karena ada biaya
sertifikasi atau labeling.
Jika instrumen-instrumen perdaga-
ngan yang telah disebutkan sebelumnya
sulit untuk diterapkan karena berbagai
pertimbangan, maka mereka dapat
malakukan tindakan safeguard
(pengamanan perdagangan) dengan
menerapkan tarif yang lebih tinggi dan atau
kuota impor. Sesuai dengan perjanjian
yang berkaitan dengan safeguard, suatu
negara dapat dibenarkan melakukan
tindakan pengamanan perdagangan jika
impor sawit dari Indonesia membanjiri
pasar mereka. Hal ini ditunjukkan oleh
lonjakan impor di negara tersebut
yang bersifat tajam, mendadak, dan
terkini. Tindakan yang mereka lakukan
sebenarnya tindakan untuk melindungi
industri dalam negeri mereka terhadap
praktek perdagangan yang “fair”. Namun
demikian, tindakan ini dapat dibenarkan
dengan persyaratan dan jangka waktu
terbatas yaitu 3 tahun untuk negara maju
dan 4 tahun untuk negara berkembang.
Perlu Upaya yang Konsisten dan Sistematis
Mengingat upaya untuk menghambat
ekspor minyak sawit Indonesia demikian
sistematis dan terus-menerus, maka
Indonesia tidak memiliki cara lain kecuali
terus secara konsisten dan sistematis
melakukan upaya untuk menetralisir atau
melawan instrumen kebijakan tersebut.
Upaya tersebut perlu dilakukan secara
konsisten dalam artian terus dilakukan
baik pada saat ada serangan isu dan
atau proaktif mencegah isu-isu yang
mungkin dikembangkan pada masa
mendatang. Upaya-upaya tersebut juga
harus dilakukan secara sistematis, yaitu
dilakukan secara terencana berdasarkan
bukti-bukti atau data yang valid dan
handal sehingga efektif meniadakan isu-
isu yang menghambat pengembangan
ekspor produk sawit Indonesia.
Upaya pertama yang perlu dilakukan
adalah pada tatanan citra (image)
dengan melakukan public campaign
guna mengimbangi bahkan melebihi
upaya kampanye negatif yang dilakukan
oleh berbagai LSM. Kerjasama dengan
Malaysia harus terus dilakukan guna
melakukan kampanye bersama untuk
melawan tuduhan tersebut. Kerjasama
Indonesia dan Malaysia dalam melawan
isu kesehatan berkaitan dengan sawit
selama ini cukup efektif. Hasil penelitian
oleh pihak independen menunjukkan
bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan
untuk menuduh minyak sawit tidak baik
untuk kesehatan. Bahkan kandungan
Omega 3 yang tinggi pada minyak sawit
justru baik untuk kesehatan. Kampanye
negatif berkaitan dengan lingkungan perlu
terus ditangkal dengan kampanye yang
menunjukkan bahwa proses budidaya
dan produksi sawit sudah terus diperbaiki
sehingga tidak berdampak negatif
terhadap lingkungan.
Upaya kedua adalah pada tatanan
upaya dan kebijakan, khususnya yang
berkaitan dengan perbaikan budidaya
sawit. Produsen sawit Indonesia harus
terus menerus melakukan perbaikan
sejak dari pemilihan lahan, pembukaan
lahan, sampai dengan proses produksi
yang ramah lingkungan. Upaya ini tentu
terus dilakukan sehingga paling tidak
mendekati standar RSPO sehingga
mereka tidak punya alasan lagi untuk
menyerang dari sisi aspek lingkungan.
Tatanan ketiga yang perlu terus
diperjuangkan adalah perjuangan
menghadapi berbagai instrumen
penghambat perdagangan yang telah
dan akan diterapkan. Posisi Indonesia
oleh banyak ahli dinilai cukup kuat.
Kalau dilihat secara jernih, berbagai
tuduhan dan tindakan pengamanan
yang dilakukan oleh berbagai negara,
pada dasarnya mencerminkan ketidak-
mampuan produk mereka bersaing
dengan produk sawit Indonesia. Dengan
kata lain, mereka memindahkan isu
kompetisi/persaingan ke isu lingkungan
dan kesehatan. Selanjutnya, mereka
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 1918 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 5, Tahun 2014 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 5, Tahun 2014
menggunakan berbagai instrumen
kebijakan perdagangan untuk melindungi
produknya yang tidak kompetitif.
Hal ini dapat dilihat dari dua hal.
Pertama, negara-negara atau LSM
yang gencar menyerang produk
sawit Indonesia adalah negara yang
memproduksi minyak nabati pesaing yaitu
minyak kedele, minyak bunga matahari,
minyak jagung dan sebagainya. Dengan
produkstivitas diatas 3.8 ton minyak/ha/
tahun, minyak sawit tentu sulit disaingi
dengan produktivitas minyak-minyak
tersebut yang berkisar antara 0.4-0.8 ton
minyak/ha/tahun (www.simedarby.com/
upload/Palm_Oil_Facts, 2014). Kedua,
mereka cenderung mencoba-coba sambil
melakukan taktik “buying time”. Ketika
isu lingkungan kurang mempan, mereka
mencoba mengalihkan ke isu kesehatan.
Ketika mencoba membawa CPO Indonesia
ke WTO dengan isu subsidi dirasa akan
kalah, mereka coba menyerang dengan
isu dumping kemudian disusul dengan
kebijakan palabelan (labeling). Ini semua
menunjukkan bahwa pada intinya minyak
mereka tidak mampu bersaing dan
mencoba menggunakan berbagai isu dan
instrumen kebjakan untuk melindunginya
atau paling tidak melakukan taktik “buying
time”.
Dengan posisi yang cukup kuat,
Indonesia dapat melakukan dua
pendekatan. Pendekatan pertama adalah
penyelesaian secara bilateral melalui
forum konsultasi dan bila perlu semacam
kompensasi. Pada tahap ini, Indonesia
dan negara yang menerapkan atau
akan menerapkan kebijakan hambatan
perdagangan dapat melakukan dialog atau
konsultasi untuk mencari solusi kompromi.
Dengan menjelaskan posisi strategis
minyak sawit Indonesia dan klarifikasi
terhadap berbagai tuduhan yang didukung
dengan data yang valid dan meyakinkan,
maka negera yang menerapkan hambatan
perdagangan diharapkan bersedia
meniadakan atau paling tidak menurunkan
tingkat hambatan perdagangannya. Jika
diperlukan, Indonesia dapat memberi
kompensasi akses pasar produk negara
tersebut ke pasar Indonesia sepanjang
tidak berdampak besar terhadap industri
dalam negeri.
Jika pendekatan konsultasi
bilateral tidak efektif, maka Indonesia
dapat mengajukan kasus hambatan
perdagangan yang dialami ke forum WTO
(Dispute Settlement Body/DSB). Secara
de fact, Indonesia tidak melakukan
tuduhan yang dialamatkan seperti dumping
dan subsidi. Dengan dasar tersebut,
banyak ahli perdagangan internasional
berpendapat bahwa berbagai tuduhan
unfair trade yang dituduhkan pada produk
sawit Indonesia tidak didasari data dan
argumen yang kuat. Oleh sebab itu, jika
Indonesia membawa kasus tersebut
ke DSB, posisi Indonesia sangat kuat.
Tuduhan dumping dan subsdi diyakini
akan dapat dipatahkan.
BIODATA PENULISNama : Wayan R. SusilaJabatan : Tenaga Ahli Asosiasi Gula IndonesiaEmail : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2120 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Upaya strategis lainnya yang lebih
bersifat antisipatif dan fundamental
adalah melakukan upaya dan kebijakan
untuk terus memacu dan memfasilitasi
perkembangan industri hilir sawit,
khususnya biodiesel. Dengan memacu
industri biodiesel, Indonesia dapat
mengurangi ketergantungan secara
signifikan terhadap pasar internasional.
Upaya ini juga sekaligus untuk
memperbaiki neraca perdagangan migas
dimana Indonesia selalu dalam posisi
defisit. Dengan pengaturan yang lebih pro
kepada sumber energi yang berkelanjutan
dan ramah lingkungan seperti mewajibkan
menggunakan biodiesel dengan proporsi
tertentu, misalnya 10%, maka pasar
biodiesel akan dapat terserap di pasar
negeri. Produksi biodiesel juga dapat
diekspor sehingga sekaligus untuk
memperbaiki kinerja neraca perdagangan
Indonesia. Upaya ini sangat logis karena
hal ini merupakan pengejawantahan
Trisakti dari pemerintah Jokowi-JK yang
memberi prioritas tinggi pada kedaulatan
energi di samping kedaulatan pangan.
Oktavianti, S.Sos
Pro Kontra Rencana Pengenaan PPnBM
pada PonselAnjloknya nilai tukar mata uang rupiah
terhadap USD pada Agustus 2013 yang
mencapai angka Rp 11.000/USD 1 dan
tingginya impor telepon seluler (ponsel)
ke dalam negeri membuat pemerintah
merancang strategi untuk menekan
impor guna mengendalikan defisit neraca
perdagangan. Saat itu, pemerintah
tengah mengkaji kebijakan pemberlakuan
Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM) pada ponsel termasuk ponsel
pintar (smartphone) seperti BlackBerry,
iPhone, dan produk sejenis dalam rangka
mengurangi defisit neraca perdagangan.
Namun sudah berjalan selama 1,5 tahun
lebih, gagasan tersebut belum terealisasi.
Hingga kini, rencana pemberlakuan
PPnBM pada ponsel tersebut masih
menuai pro dan kontra di tingkat internal
pemerintah. Ada yang menganggap
PPnBM akan memicu meningkatnya
penyelundupan ponsel impor ilegal, di
sisi lain PPnBM diyakini akan mendorong
tumbuhnya industri ponsel di dalam
negeri.
Permintaan masyarakat Indonesia
terhadap produk ponsel memang tinggi,
saat ini tercatat 230 juta nomor ponsel aktif
yang beredar di masyarakat. Tingginya
permintaan ponsel menyebabkan
impor ponsel yang masuk ke Indonesia
semakin deras. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik tahun 2014, impor ponsel
mencapai USD 332,16 juta pada April
2014 atau naik 58,9% dari realisasi Maret
2014 sebesar USD 209,04 juta (Tempo,
2014). Secara komulatif, sepanjang
Januari hingga April 2014, impor ponsel
mencapai USD 1,06 miliar, naik 45%
dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar USD 731,9 juta.
Derasnya laju impor ponsel bukan
disebabkan adanya keinginan pemerintah
yang akan memberlakukan PPnBM,
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
melainkan adanya permintaan produk
yang sangat tinggi. Pemerintah menjamin
kebijakan pemberlakuan PPnBM
pada ponsel hanya akan berlaku bila
ada industri produksi ponsel di dalam
negeri. Apabila kebijakan ini diterapkan,
pemerintah berharap dapat menekan
banyaknya impor ponsel ke Indonesia
serta membuat perusahaan ponsel mau
berinvestasi di Indonesia.
Berkembangnya Black Market
Saat ini, wacana pemberlakuan
PPnBM pada ponsel impor masih sebatas
bahan diskusi antar kementerian terkait.
Namun, tidak menutup kemungkinan
adanya usulan pengenaan PPnBM
sebesar 20% pada ponsel yang harganya
lebih dari Rp 5 juta atau bisa juga
pemerintah memberlakukan PPnBM
sebesar 20% pada ponsel impor untuk
semua kategori ponsel tanpa ada
pembatasan harga.
Nampaknya, kriteria pengenaan
PPnBM pada ponsel impor sudah pas
dengan menempatkan smartphone
sebagai barang mewah, dan bukan
memberlakukan pada semua produk
ponsel. Hal ini karena smartphone
bukanlah barang kebutuhan pokok dan
hanya dikonsumsi masyarakat tertentu.
Definisi barang mewah menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu
barang yang mahal harganya dan bukan
barang kebutuhan pokok, melainkan
untuk kemegahan, kebanggaan,
kecantikan, kesenangan. Meski
demikian, tidak dapat dipungkiri dengan
adanya rekomendasi kenaikan PPnBM
smartphone, dikhawatirkan tetap akan
terjadi penyelundupan terhadap barang
mewah tersebut. Selain itu, sumbangan
penerimaan PPnBM dari smartphone
masih kecil terhadap total penerimaan
pajak selama ini, sehingga dampaknya
tidak akan signifikan terhadap total
penerimaan pajak.
Risiko lain juga patut diantisipasi,
apabila opsi PPnBM dikenakan pada
seluruh produk ponsel. Tentu saja hal ini
akan berpengaruh lebih besar terhadap
penerimaan pajak, dan bisa mengubah
perilaku konsumen menjadi menunda
atau membatalkan pembelian ponsel
baru. Sebagai akibatnya, pasar menjadi
lesu dan berujung pada lesunya usaha
di sektor tersebut. Selain itu, kebijakan
tersebut justru bisa mendorong konsumen
beralih untuk membeli ponsel di pasar
gelap (black market) sehingga tidak dapat
dipungkiri impor ponsel ilegal justru akan
semakin marak.
Masyarakat menengah ke bawah
akan semakin beralih ke pasar ponsel
ilegal. Hal itu karena masyarakat berdaya
beli rendah tidak akan mampu membeli
ponsel setelah adanya pengenaan
PPnBM. Kemudian, para importir akan
mencari cara untuk menyelundupkan
produk ke konsumen agar terhindar
dari beban pajak. Dengan demikian,
pengenaan PPnBM pada ponsel tidak
akan mampu mengatasi persoalan
mengenai tingginya jumlah produk-produk
impor di pasar dalam negeri seperti
yang diwacanakan. Saat ini, masyarakat
semakin tergantung dengan perangkat
mobile untuk akses informasi, kegiatan
pemerintahan, pendidikan, bisnis dan
lainnya. Selain itu, para pengguna
internet broadband melalui ponsel di
Indonesia juga terus meningkat. Untuk itu,
pemerintah diharapkan memikirkan opsi
lain yang lebih bijaksana dengan tidak
merugikan industri dan masyarakat.
Pemberlakuan PPnBM pada ponsel
impor memang diharapkan dapat
mendorong perkembangan ponsel dalam
negeri. Namun, jika memang industri
ponsel di dalam negeri belum berkembang
dan perlu untuk didorong, maka yang
perlu diperbaiki adalah daya saing. Salah
satu cara yang dapat diupayakan adalah
penurunan biaya logistik, kemudahan
perpajakan maupun proses barang masuk
dan keluar. Selain itu, agar produksi
ponsel Indonesia bisa bersaing, pelaku
lain seperti operator seluler juga harus
didukung. Pemerintah bisa memberikan
insentif berupa keringanan pajak kepada
operator seluler.
Terkait proses barang masuk dan
keluar, pemerintah telah mengeluarkan
berbagai peraturan untuk mengurangi
melonjaknya impor ponsel. Kementerian
Perdagangan berkoordinasi dengan
Kementerian Perindustrian telah menga-
tur pengendalian impor ponsel melalui
Peraturan Menteri Perdagangan (Permen-
dag) No.82/M-DAG/PER/12/2012 tentang
peraturan impor telepon seluler, komputer
genggam, dan komputer tablet. Peraturan
tersebut bertujuan untuk mendukung
kesehatan, keamanan, keselamatan,
dan lingkungan (K3L) serta mendorong
industrialisasi ponsel dan komputer di
dalam negeri. Dalam Permendag itu,
disebutkan bahwa perusahaan yang
bermaksud mendapatkan importir terdaftar
(IT) ponsel, komputer genggam (handheld),
dan komputer tablet harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Menteri
Perdagangan melalui Dirjen Perdagangan
Luar Negeri, dengan melampirkan sejumlah
kelengkapan. Diantaranya, pertama,
asli surat pernyataan kerjasama dengan
paling sedikit tiga distributor. Kedua, bukti
pengalaman sebagai importir telepon
seluler, komputer genggam (handheld),
dan komputer tablet. Kemudian, ketiga,
bukti sebagai distributor ponsel, komputer
genggam (handheld), dan komputer tablet
paling singkat selama 3 tahun. Keempat,
surat penunjukan atau kerjasama sebagai
distributor ponsel, komputer genggam
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2322 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
(handheld), dan komputer tablet.
Atas permohonan tertulis itu, Dirjen
Perdagangan Luar Negeri atas nama
Menteri Perdagangan menerbitkan IT
telepon seluler, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet
paling lama 5 hari kerja terhitung sejak
permohonan diterima secara lengkap
dan benar. Penetapan sebagai IT telepon
seluler, komputer genggam (handheld),
dan komputer tablet berlaku selama 2
tahun. Dalam Permendag itu ditegaskan
IT telepon seluler, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet juga
harus mendapatkan Persetujuan Impor
(PI) melalui permohonan tertulis kepada
Menteri Perdagangan melalui Dirjen
Perdagangan Luar Negeri, dengan
mencantumkan Tanda Pendaftaran
Produk (TPP) Impor dari Dirjen Industri
Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi
(IUBTT) Kemenperin. Masa berlaku
PI yang dikeluarkan Kemendag
sama dengan masa berlaku TPP
Impor dari Dirjen IUBTT Kemenperin.
Telepon seluler, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet
hanya dapat diperdagangkan dan/atau
dipindahtangankan kepada distributor,
dan dilarang diperdagangkan dan/atau
dipindahtangankan kepada konsumen
atau pengecer (retailer).
Permendag ini hanya memperboleh-
kan impor ponsel, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet melalui
jalur impor sebagai berikut: Pelabuhan
Laut: Belawan (Medan), Tanjung Priok
(Jakarta), Tanjung Emas (Semarang),
Tanjung Perak (Surabaya), dan Soekarno
Hatta (Makassar). Kemudian melalui jalur
pelabuhan udara diantaranya, Polonia
(Medan), Soekarno-Hatta (Tangerang),
Ahmad Yani (Semarang), Juanda
(Surabaya), dan Hasanuddin (Makassar).
Permendag ini juga menegaskan
penetapan sebagai IT ponsel, komputer
Kemendag tidak membatasi merek-
merek yang boleh diimpor dan jumlah
kuota. Sepanjang importir memenuhi
TPP impor tidak akan ada pelarangan
varietas dan jumlahnya. Sehingga, produk
seperti apapun diperbolehkan masuk
ke Indonesia. Namun, produk-produk
itu harus tetap lolos tes uji persyaratan
agar tidak berdampak negatif bagi
keselamatan.
Tumbuhnya Industri Ponsel Dalam Negeri
Pemerintah memperkirakan kapasi-
tas produksi ponsel dalam negeri
meningkat 10% tahun 2014 (Neraca,
2014). Kenaikan produksi ini diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan ponsel
nasional. Hal tersebut karena sejauh
ini sudah ada lima perusahaan ponsel
yang memproduksi ponselnya di dalam
negeri, seperti Axioo di Jakarta, Polytron
di Kudus, Evercoss di Semarang, Hier dan
Smartfren di Serpong. Kelima perusahaan
ponsel itu memproduksi ponsel pintar
dengan harga cukup terjangkau oleh
konsumen menengah ke bawah. Sebagai
bukti tumbuhnya industri ponsel dalam
genggam (handheld), dan komputer
tablet dicabut apabila perusahaan terbukti
memperdagangkan dan/atau memindah
tangankan ponsel, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet kepada
konsumen atau pengecer (retailer).
Kemudian, tidak menyampaikan laporan
atas pelaksanaan impor, tidak melakukan
impor dalam jangka waktu enam bulan
berturut-turut, dan terbukti mengubah
informasi yang tercantum dalam dokumen
impor. Pencabutan sebagai IT ponsel,
komputer genggam (handheld), dan
komputer tablet ditetapkan oleh Dirjen
Perdagangan Luar Negeri untuk dan atas
nama Menteri Perdagangan.
Meski demikian, Permendag itu
bukan dimaksudkan untuk pembatasan
dan pelarangan. Hal itu dikarenakan
pemerintah memberikan perlindungan
kepada konsumen secara penuh. Tidak
akan ada kenaikan harga pada barang
yang beredar. Sebab, sudah sejak lama
juga diberlakukan aturan yang sama.
Hanya saja, sekarang ada aturan yang
lebih ketat pada produk-produk impor
khusus ponsel, komputer genggam
(handheld), dan komputer tablet.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
yang tidak terdapat di vendor global,
seperti fitur televisi. Hal ini menjadi
salah satu pemicu yang menyebabkan
pertumbuhan ponsel lokal akan meningkat
di Indonesia.
Selain itu, untuk meningkatkan
pertumbuhan penjualannya di Indonesia,
salah satu perusahaan ponsel lokal
gencar memproduksi smartphone
android di bawah harga satu juta rupiah.
Sebagaimana diketahui, ponsel android
memang sedang digandrungi konsumen
gadget Indonesia. Dengan bertambahnya
produksi ponsel dalam negeri diharapkan
akan mengurangi ketergantungan
masyarakat terhadap impor. Meskipun
dalam waktu cepat tidak memungkinkan
bagi Indonesia untuk bisa lepas 100% dari
impor, namun secara perlahan hal itu bisa
diwujudkan.
Upaya lain yang sedang dilakukan
pemerintah adalah dengan mendorong
produk smartphone 4G yang diproduksi
seperti di Batam, Kepulauan Riau, agar
Tingkat Kandungan Komponen Dalam
Negeri (TKDN) produk ponsel pintar itu
bisa ditingkatkan dari 30% menjadi 60%.
Sejauh ini, sebanyak 70% komponen
ponsel masih di impor dari Malaysia dan
Tiongkok. (Detik finance, 2014). Namun,
produk smartphone 4G yang diproduksi
pertama kalinya di Indonesia sudah
dipatenkan oleh produsennya dengan
dibantu ahli-ahli Teknik Elektro ITB.
Dua perusahaan di dalam negeri,
yakni PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN)
dan PT Tata Sarana Mandiri (TSM)
memproduksi ponsel 4G ini. PTSN
bergerak pada sisi manufaktur dan TSM
untuk desain. Produk yang diberi nama IVO
ini memiliki kandungan lokal 30%, dengan
harga di bawah Rp 2 juta. Smartphone
4G buatan Indonesia ini didukung oleh
Qualcomm Snapdragon 400 chipset,
menggunakan prosesor Quad Core 1.2
GHz, RAM 1 GB, media penyimpanan
berkapasitas 8 GB, kamera 8 MP, dan
dual SIM card yang didesain khusus
untuk kebutuhan Indonesia. Smartphone
4G ini juga dapat bekerja pada berbagai
frekuensi LTE lain seperti 1.800 Mhz,
2.300 Mhz, 2.600 Mhz, termasuk
frekuensi data 3G dan 2G, sehingga,
ponsel ini bisa beroperasi di berbagai
negara (Detik finance, 2014). Selama
setahun, perusahaan bisa memproduksi
sekitar 1,2 juta unit smartphone, sehingga
diharapkan produksi tersebut mampu
mengurangi beban impor ponsel.
Jumlah produksi ponsel di dalam
negeri memang masih sangat kecil
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan
konsumen. Dengan berjalannya pemba-
ngunan pabrik ponsel dalam negeri, dan
adanya pemberian berbagai insentif untuk
perusahaan lokal, animo masyarakat
untuk mencintai produk dalam negeri
juga sangat penting untuk meningkatkan
industri ponsel di tanah air. Saat ini,
stigma produk lokal berkualitas rendah
masih ada, sehingga, adanya dukungan
masyarakat untuk mencintai produk lokal
sangatlah penting untuk menggairahkan
industri ponsel dalam negeri.
Pemerintah menargetkan Indonesia
tidak lagi mengimpor ponsel setelah lima
tahun ke depan. Alasannya, Indonesia
sudah bisa membuat ponsel sendiri.
Pemerintah optimistis dalam lima tahun
ke depan industri ponsel di dalam negeri
bisa menggantikan ponsel impor yang
jumlahnya mencapai 60 juta unit/tahun.
Namun, hal itu tidak bisa serta merta
diwujudkan tanpa adanya kesadaran
masyarakat untuk mencintai produk
dalam negeri, termasuk dalam hal produk
ponsel.
Permendag No. 82 Tahun 2012 Melindungi Konsumen Gadget
Untuk melindungi konsumen gadget di
tanah air, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
82 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor
Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan
Komputer Tablet yang diterbitkan pada
27 Desember 2012 dan mulai berlaku
sejak 1 Januari 2013. Peraturan itu
mengatur ketentuan teknis seperti syarat
pelabelan, manual, dan kartu garansi
purna jual dalam bahasa Indonesia yang
diterbitkan oleh Dirjen Standardisasi dan
Perlindungan Konsumen Kemendag,
juga standar teknis dari Kementerian
Komunikasi dan Informatika. Selain
itu, aturan ini juga mengharuskan
perusahaan yang mengimpor ketiga jenis
perangkat elektronik tersebut mendapat
negeri, Polytron telah mulai melakukan
riset dalam pembuatan chasing, mesin,
speaker dan headset. Investasi yang
dikeluarkan Polytron pun tidak besar,
sebab cukup memanfaatkan sebagian
areal pabrik elektroniknya di Kudus,
Jawa Tengah, kemudian, membeli mesin-
mesinnya dan membuat ruangan bebas
debu.
Kehadiran lima pabrik ponsel di
Indonesia, diharapkan bisa mengisi pasar
ponsel di tanah air yang saat ini masih
didominasi dengan gempuran ponsel
impor dari berbagai negara. Pada tahun
lalu, permintaan ponsel dari dalam negeri
telah mencapai 50 juta hingga 55 juta unit.
Dengan adanya peningkatan kapasitas
produksi, diharapkan produsen-produsen
lokal tersebut mampu memenuhi
kebutuhan ponsel di dalam negeri tahun
ini. Adapun kapasitas produksi ponsel
dari lima perusahaan itu telah mencapai
500 ribu-600 ribu/bulan (Neraca, 2014) .
Selain lima perusahaan ponsel
tersebut, ada Cross dan Advan yang
berniat membangun pabriknya di
Indonesia. Tidak ketinggalan, raksasa
elektronik Korea Selatan, Samsung,
juga menjanjikan penambahan investasi
dengan membangun pabrik ponselnya
di Indonesia pada Desember 2014. Hal
tersebut disampaikan Duta Besar Korea
Selatan untuk Indonesia, Cho Tai Young,
dalam kunjungannya menemui Presiden
terpilih Joko Widodo di Balai Kota Jakarta
pada 13 Agustus 2014.
Indonesia masih mempunyai kendala
dalam pembuatan komponen ponsel
dan masih kalah bersaing dengan
Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Di
RRT, industri rumahan telah mampu
memproduksi komponen-komponen
elektronik untuk ponsel. Meski demikian,
ada dua hal yang menyebabkan ponsel
lokal pantas dijadikan pertimbangan
sebagai kompetitor industri ponsel di
Indonesia. Pertama, distribusi domestik
ponsel rakitan lokal tertinggi. Kedua, cara
distribusi ponsel lokal merupakan yang
terbaik (Neraca, 2014). Misalnya, ponsel
lokal Cross masuk dalam lima besar
vendor ponsel di Indonesia.
Saat ini, Cross memiliki sekitar 40
varian dan menjadi salah satu ponsel lokal
terbesar di Indonesia. Kemudian, strategi
distribusi Cross yang menyasar pasar
tertentu membuat ponsel Cross mendapat
tempat di pasar ponsel Indonesia. Cross
mempunyai basis kuat di Jawa Timur.
Sementara itu, Mito mempunyai basis
kuat di Indonesia bagian Timur. Mito
juga merupakan salah satu ponsel lokal
Indonesia yang masuk dalam peringkat
lima besar vendor ponsel di Indonesia,
dengan pertumbuhan distribusi domestik
produk ke Indonesia sebesar 44% selama
kuartal III 2012 dibandingkan kuartal
sebelumnya (Neraca, 2014). Selain itu,
fitur yang ditawarkan vendor lokal, ada
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2524 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
penetapan sebagai Importir Terdaftar
dan Persetujuan Impor Telepon Seluler,
Komputer Genggam, dan Komputer
Tablet dari Menteri Perdagangan. Tempat
pelabuhan impor yang bisa dilalui dan
perihal distribusi juga termasuk yang
diatur dalam ketentuan baru ini. Setiap
importir hanya boleh memperdagangkan
produk impornya ke distributor, tidak
langsung ke peritel atau konsumen
langsung. Pemerintah mengklaim tujuan
jangka pendek peraturan baru ini semata
untuk melindungi konsumen di tanah
air dan bukan untuk membatasi impor
ketiga jenis produk. Adapun tujuan jangka
panjang adalah mengundang produsen
ponsel, komputer genggam, dan tablet
berinvestasi di Indonesia.
Efektivitas Pengenaan PPnBM pada Ponsel
Apabila rencana pengenaan PPnBM
pada ponsel jadi diterapkan maka
ada beberapa hal positif dan negatif
yang perlu diperhatikan, terutama
mengenai efektivitas kebijakan tersebut.
Ada beberapa dampak positif bagi
perekonomian Indonesia apabila rencana
kebijakan tersebut jadi diterapkan.
Pertama, masyarakat tetap dapat
mengkonsumsi produk ponsel. Kedua,
Indonesia dapat melakukan industrialisasi
dan memproduksi produk-produk
tersebut. Sementara itu, dampak negatif
yang harus menjadi pertimbangan oleh
siapapun adalah sudah terjadi dan masih
akan terjadi pemasukan produk-produk itu
secara ilegal.
Hingga saat ini, pemerintah
masih mencarikan format tepat, guna
meminimalisir tindak penyelundupan
yang mungkin terjadi sebagai akibat
dari penerapan kebijakan PPnBM
terhadap ponsel. Salah satu pengawasan
yang paling tepat dan efisien adalah
memperketat tingkat pengawasan
BIODATA PENULIS
Nama : Oktavianti, S.Sos
Organisasi : Alumni FISIP Universitas Indonesia jurusan
Ilmu Komunikasi tahun 2008
Email : [email protected]
pada unsur Direktorat Bea dan Cukai
Kementerian Keuangan sebagai pintu
masuk barang dagangan termasuk
ponsel. Kemudian, menerapkan
pengawasan terhadap produk ponsel
yang beredar di Indonesia melalui sistem
International Mobile Electronic Identity
(IMEI) oleh Kementerian Komunikasi dan
Informatika. Hal itu perlu dilakukan karena
penerapan PPnBM tidak akan mencapai
sasaran utamanya jika pengawasan
produk ponsel tidak dilakukan maksimal
oleh kementerian/lembaga teknis
terkait. Penggunaan IMEI dalam proses
pengawasan produk ponsel yang beredar
di dalam negeri masih membutuhkan
waktu kurang lebih dua tahun ke depan.
Hal itu dikarenakan, tahap sosialisasi
dibutuhkan untuk memberikan pengertian
kepada seluruh stakeholder. Dengan
adanya jumlah ponsel yang beredar di
tengah masyarakat yang telah mencapai
230 juta unit, maka perlu waktu untuk
proses sosialisasi tersebut. Selain itu, opsi
penerapan Standar Nasional Indonesia
(SNI) Wajib juga penting untuk produk
ponsel dengan tujuan selain menciptakan
standar mutu untuk melindungi konsumen,
juga bisa mendorong produksi ponsel di
dalam negeri.
Sementara ini, upaya yang baru
dilakukan oleh pemerintah adalah
penerapan tarif baru Pajak Penghasilan
(PPh) pasal 22, dari 2,5% menjadi 7,5%
untuk menekan derasnya produk impor.
Produk ponsel adalah salah satunya. Tarif
PPh pasal 22 sebesar 2,5% dikenakan
untuk perusahaan dengan izin Angka
Pengenal Importir (API), sedangkan yang
tanpa izin API dikenakan sebesar 7,5%
dari nilai impor. Tarif PPh pasal 22 dengan
izin API inilah yang dinaikkan agar sama
dengan tarif tanpa izin API, yaitu menjadi
7,5%, sementara untuk tarif PPh pasal
22 tanpa izin API tidak akan mengalami
kenaikan. Aturan ini memang tidak secara
langsung tertuju pada barang, tetapi lebih
kepada importir, dimana untuk mengimpor
ponsel, mereka harus membayar pajak
sebesar 7,5% di awal, meskipun pada
akhir tahun, importir mendapatkan
pengurangan saat membayar PPh Badan.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 5, Tahun 2014 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 5, Tahun 2014
Kemungkinan Program Raskin
Bersyarat
Ir. Mohammad Ismet, MSc, PhD
PendahuluanBaru-baru ini program Raskin menjadi
perhatian publik, termasuk menjadi
perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Bank Dunia, dan Bappenas,
menyangkut efektifitas dan efisiensinya.
Isu tentang efektifitas dan efisiensi
program tersebut memang bukan
merupakan hal yang baru. Perlu menjadi
pemikiran bagi pemerintah (yang baru)
untuk menyempurnakan program ini.
Diperkenalkan sejak krisis ekonomi tahun
1998, sebagai bentuk jaring pengaman
sosial, program Raskin telah mengalami
berbagai perubahan. Namun isu tentang
efektifitas dan efisiensi tersebut belum
juga reda hingga saat ini. Fiszbein dkk
(2009) menulis bahwa jika kebijakan
jaring pengaman sosial dilakukan dengan
tepat akan menjadi “a smart investment
in an uncertain world” untuk menghadapi
dampak krisis ekonomi. Hanya beberapa
negara menerapkan in kind transfer
programmee, pemberian dalam bentuk
natura, seperti Raskin. Sebagian besar
negara menggunakan cash transfer
program, pemberian dalam bentuk uang
tunai. Sebagian negara mengaplikasikan
Conditional Cash Transfers (CCTs) atau
bantuan langsung tunai yang bersyarat.
Skema ini menjadi populer di berbagai
negara berkembang selama beberapa
dekade terakhir. Menjadi populer karena
di samping bisa mengurangi kemiskinan,
sekaligus juga mendorong orang tua
untuk melakukan investasi dalam
bentuk kesehatan dan pendidikan anak-
anak mereka. Timbul pemikiran untuk
mengaplikasikan program yang bersyarat
tersebut untuk program Raskin.
Majalah the Economist tanggal 31
Juli 2010,dalam rubrik Leaders dengan
judul ‘Anti Poverty Programmes: Give the
Poor Money’, sekali lagi menulis tentang
keberhasilan conditional-cash transfer
(bantuan tunai dengan persyaratan)
dalam mengurangi angka kemiskinan
di berbagai negara yang miskin dan
berkembang, seperti Filipina, Kyrgystan,
Brazil, Pakistan, Bangladesh, Haiti dan
Kamboja. Majalah tersebut juga menulis
bahwa demikian pentingnya program ini
sehingga megapolitan New York-pun
ternyata mengadopsi program ini untuk
membantu keluarga miskin. Dalam rubrik
yang lain, majalah tersebut secara khusus
juga menampilkan keberhasilan program
tersebut di Brazil. The Economist juga
mengklaim bahwa program tersebut telah
membantu jutaan orang miskin di seluruh
dunia. Program ini sejak lama didukung
oleh Bank Dunia dan Asian Development
Bank (ADB) dengan pertimbangan,
antara lain karena memberikan dampak
kesejahteraan dalam wujud peningkatan
kualitas SDM rumah tangga miskin.
Menyimak tulisan tentang perkem-
bangan di berbagai negara tersebut di
atas, terdapat kemungkinan Conditional
Cash Transfer Program (CCTP) akan
selalu diperluas implementasinya. Bank
Dunia dan Bank Pembangunan Asia
selalu berpendapat bahwa transfer
dalam bentuk natura menimbulkan
biaya mahal dan berisiko tinggi terhadap
penyimpangan. Timbul pertanyaan bagi
kita, kalau kita tetap mempertahankan
Raskin, kapan kita mampu meningkatkan
efektifitas dan efisiensi Raskin sebagai
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2726 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 2928 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Apa yang harus dilakukan Bulog
agar Raskin tetap menjadi bagian dari
kegiatan kebanggaan Bulog? Kelemahan-
kelemahan Raskin apa saja yang harus
diperbaiki atau penyempurnaan apa
saja yang dapat dilakukan sehingga
Raskin tetap dipandang lebih bermanfaat
dibandingkan pemberian dalam bentuk
uang?
Transfer Pendapatan Dalam Bentuk Uang
Conditional Cash Transfer Program
(CCTP), disebut oleh the Economist
sebagai ‘the world’s favourite new
anti-poverty device’ (cara untuk
mengatasi kemiskinan yang paling
favorit di dunia), merupakan skema
pembagian uang dan barang kepada
penduduk sangat miskin jika mereka
dapat memenuhi persyaratan
tertentu. Persyaratan ter-sebut terkait
dengan upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga berupa
‘persentase minimum kehadiran anak-
anak mereka di sekolah’ atau ‘jika
bayi-bayi mereka telah divaksinasi’.
Program ini disebutkan mampu
mengurangi kemiskinan, memperbaiki
distribusi pendapatan dan dapat
diselenggarakan dengan biaya ‘murah’.
Karena dikaitkan dengan program
pendidikan dan kesehatan, CCTP ini juga
diklaim akan membantu menciptakan
generasi penerus yang lebih baik. Skema
yang bersifat conditional di Bangladesh,
Kamboja dan Pakistan menunjukkan
bahwa program ini mampu mendorong
partisipasi anak-anak perempuan
bersekolah. Majalah tersebut juga
menyebutkan bahwa program ini dapat
berjalan karena dilakukan berdasarkan
pada ketentuan dan aturan serta relatif
bebas dari penyimpangan.
Namun penerapan program ini
bukan tanpa kelemahan atau kegagalan.
Di Brazil CCTP dianggap bias karena
pelaksanaannya lebih efektif di pedesaan
daripada di perkotaan. Program ini
dianggap lebih efektif di pedesaan karena
mampu memberikan insentif bagi keluarga
miskin untuk memperoleh pangan, air
bersih, pendidikan dasar dan fasilitas
kesehatan. Di kota, program transfer uang
ini tidak efektif karena terganggu berbagai
faktor, antara lain: tingginya angka
kejahatan, tingginya penyalahgunaan
narkotika, besarnya angka perceraian
keluarga dan meluasnya praktek buruh
anak-anak. Ke depan, diperkirakan
berbagai faktor pengganggu tersebut
akan semakin serius intensitasnya karena
kota-kota besar dunia, tidak terkecuali
Jakarta, akan mempunyai konsentrasi
kemiskinan besar yang membutuhkan
program pengurangan kemiskinan yang
lebih spesifik dan kongkrit.
Di Indonesia, pemberian dalam bentuk
uang yaitu BLT (belum bersifat conditional)
terganggu efektifitasnya karena
penerimaan dalam bentuk uang tunai tidak
selalu dimanfaatkan oleh Rumah Tangga
Miskin (RTM) penerima manfaat untuk
tujuan-tujuan yang produktif. Tidak selalu
digunakan untuk memperbaiki kualitas
kesehatan, pendidikan, permodalan
dan sebagainya sehingga dampak
kesejahteraannya dipertanyakan. Yang
sudah dilengkapi dengan persyaratan
adalah Program Keluarga Harapan
(PKH), dengan sasaran keluarga miskin
program pemberdayaan keluarga miskin.
Apakah mungkin Raskin dilengkapi dengan
persyaratan, sebagaimana diterapkan pada
bantuan langsung tunai di negara-negara
lain, sehingga dapat berdampak ganda
untuk peningkatan kesejahteraan keluarga
miskin? Hingga saat ini Raskin masih
merupakan outlet terbesar bagi beras Bulog
yang dihimpun dalam pengadaan dalam
negeri sehingga program Raskin sangat
terkait dengan kebijakan jaminan harga bagi
petani padi. Pengalihan atau pergeseran
menjadi bantuan dalam bentuk uang tunai
tentu akan menimbulkan implikasi kebijakan
pangan Pemerintah, serta operasional
Bulog manakala belum disiapkan dengan
baik outlet penggantinya.
Tulisan ini mencoba membawa
pembaca kembali mendiskusikan bahwa
upaya untuk meningkatkan kualitas
program Raskin perlu dilakukan karena
kritik terhadap program ini sudah demikian
meluas. Jangan sampai terjadi program
Raskin semakin tidak populer karena
pengaruh keberhasilan bantuan uang
tunai di berbagai negara dan karena kita
tidak mampu meyakinkan publik bahwa
Raskin dapat ditingkatkan efektifitas
dan efisiensinya. Beberapa negara yang
selama ini melakukan program pemberian
bantuan dalam bentuk natura (beras)
selain Indonesia adalah India dan Filipina.
Apa yang harus dilakukan untuk dapat
membuat program tersebut semakin
efektif dan efisien dalam mengatasi
masalah kemiskinan dan kerentanan
ketahanan pangan yang dialami keluarga
miskin?
Program Transfer PendapatanSebagai in-kind transfer program,
Raskin selama ini selalu mendapat kritik
bertubi-tubi dari Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia (ADB). Bank Dunia,
ADB dan Lembaga penelitian SMERU
beberapa kali melakukan penelitian
tentang Raskin dan membandingkannya
dengan subsidi langsung tunai. Mereka
cenderung memilih CCTP sebagi
program yang ‘lebih baik’ dan lebih
efisien. Di Indonesia, Cash Transfer
Program/CTP (baca: Bantuan Langsung
Tunai atau BLT) juga memperoleh
dukungan dari para ekonom penganut
moneterism, yang mempunyai faham
bahwa ‘control the money supply, and
the rest of the economy will take care
itself ’.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
dan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Generasi Sehat
dan Cerdas dengan sasaran kelompok
masyarakat. Pilot Project PKH dan PNPM
Generasi dimulai pada paruh kedua
tahun 2007. Tujuannya adalah untuk
mengurangi kemiskinan melalui CTP dan
meningkatkan akses terhadap pelayanan
kesehatan dan pendidikan, dengan
tujuan jangka panjang untuk mengurangi
kemiskinan melalui peningkatan investasi
sumber daya manusia.
PKH ditujukan untuk keluarga miskin
dengan dengan kewajiban melakukan
aktifitas yang berkaitan dengan
kesehatan (misalnya, untuk ibu-ibu hamil
mengkonsumsi tablet nutrisi besi selama
hamil dan imunisasi untuk anak-anak)
dan pendidikan (misalnya, kehadiran
dalam kelas mimimum 85%). Pada tahun
2007, PKH dilaksanakan di 48 kabupaten
meliputi tujuh propinsi dengan target
500ribu RTM, sedangkan PNPM Generasi
dilaksanakan melalui pengembangan
infrastruktur dan kapasitas. Bantuan
diberikan kepada kelompok masyarakat
bukan rumah tangga dengan persyaratan
bahwa kelompok masyarakat tersebut
harus mampu meningkatkan kondisi
kesehatan dan pendidikan.
Program RaskinSebagaimana telah ditulis banyak ahli,
program Raskin mempunyai berbagai
potensi manfaat walaupun hingga saat
ini belum dapat terukur dengan baik.
Kemungkinan manfaat Raskin antara lain:
(1) Aspek Mikro: meningkatkan ketahanan
pangan rumah tangga, memperbaiki
konsumsi gizi mikro, memperkecil poverty
gap RTM penerima beras RASKIN,
meningkatkan kemampuan anggaran
keuangan RTM sehingga memperbesar
kemampuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan, kesehatan dan permodalan
usaha kecilnya; (2) Aspek Makro: outlet
bagi beras pembelian domestik Bulog
(terkait erat dengan kebijakan perberasan
nasional yaitu pembelian beras petani,
program stabilisasi harga dan kebijakan
stok penyangga), mendorong pertumbuhan
ekonomi pedesaan (karena 2/3 penerima
Raskin berdomisili di pedesaan), berperanan
tidak langsung dalam stabilisasi harga antar
tempat dan antar waktu, menciptakan
dampak distribusi pendapatan baik antar
sektor, antar wilayah, maupun antar
kelompok pendapatan, dan mengurangi
angka kemiskinan.
Timbul beberapa pertanyaan,
apakah Raskin dapat dioptimalkan
dan lebih terukur manfaatnya dengan
mengaitkan pada program pemberdayaan
masyarakat miskin lainnya? Apakah hal
tersebut dapat mempertajam sasaran
dan mengurangi bias dalam penentuan
penerima manfaat? Apakah dengan
lebih terukur maka akan mempermudah
penerapan exit strategy? Apa saja kritik
yang ditujukan terhadap program Raskin
selama ini? Apakah Program Raskin
sangat terkesan sebagai suatu charity
semata, dan kurang ‘mendidik’?. Bank
Dunia, ADB dan Lembaga Penelitian
SMERU menyebutkan dua kelemahan
Program Raskin yaitu mahal (karena
harus mengangkut beras yang bersifat
bulky hingga ke setiap RTM termasuk
menanggung biaya manajemen Bulog)
dan besarnya resiko penyimpangan
(karena dibagikan dalam bentuk natura
dan melewati ‘beberapa’ tangan).
Apa Tambahan Manfaat Raskin Kalau Bersifat Conditional?
The Economist (Juli 2010)
menyebutkan bahwa Presiden Haiti, Réne
Préval, telah memberikan penghargaan
kepada suatu koperasi susu yang
membagikan susu dan yogurt kepada
keluarga miskin dengan syarat anak-anak
keluarga miskin tersebut hadir di sekolah.
Ternyata penambahan persyaratan dalam
program bantuan dalam bentuk natura
dapat berhasil. Apakah skema semacam
ini dapat diterapkan untuk Raskin?
Kalau dapat berhasil diterapkan pada
program Raskin, apa manfaat tambahan
yang dapat diperoleh? Jika terdapat
penambahan persyaratan yang terkait
dengan pendidikan dan kesehatan secara
teoritis,program tersebut akan mendorong
peningkatan kualitas RTM penerima
manfaat. Dengan kualitas SDM yang lebih
baik akan terjadi perbaikan produktifitas
SDM sehingga program Raskin lebih
efektif memberikan kontribusi bagi
pengentasan kemiskinan dengan dampak
kesejahteraan yang lebih terukur.
Dengan sifat conditional, keluarga
penerima manfaat baru dapat membeli
beras Raskin yang menjadi jatahnya,
setelah melakukan sesuatu yang
bermanfaat, misalnya anak-anak mereka
selalu hadir dengan persentase minimum
tertentu di kelas sekolah dasar, ibu dan
anak selalu hadir dalam kegiatan Posyandu
atau selalu mengunjungi Puskesmas.
Dampak yang diharapkan adalah
manfaat tambahan berupa peningkatan
kualitas dan peningkatan produktifitas
sumber daya manusia RTM penerima
beras Raskin. Pada gilirannya, keluarga
penerima manfaat Raskin diharapkan akan
mampu memperoleh pendapatan lebih
besar sehingga lebih sejahtera dan keluar
dari kondisi miskin. Dengan demikian exit
strategy dapat terwujud dan menambah
kepercayaan publik kepada Bulog sebagai
pelaksana kegiatan Raskin.
Penambahan aspek ‘conditional’ perlu
kita pertimbangkan dengan baikagar
manfaat Raskin bagi RTM lebih besar
dan lebih terukur. Penerapan persyaratan
tersebut akan memberikan keyakinan
pada upaya pengurangan kemiskinan
di Indonesia. Selain itu program Raskin
yang melibatkan sekitar 17,4 juta RTM
yang tersebar di seluruh tanah air,
penambahan persyaratan tersebut tentu
akan berdampak sangat luas.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3130 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
BIODATA PENULIS
Nama : Ir. Mohammad Ismet, MSc, PhD
Organisasi : Wakil Rektor Bidang Kerjasama, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
Email : [email protected]
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
Kinerja Ekspor Mebel Menurun, Haruskah Penerapan SVLK Ditinjau Ulang?Penundaan penerapan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) oleh Pemerintah selama satu tahun masih dirasakan berat untuk mendongkrak nilai ekspor mebel Indonesia di tahun 2014. Alhasil, rencana penerapan SVLK pada awal tahun 2015 kembali mengalami penolakan oleh kalangan industri mebel dan kerajinan di dalam negeri. Alasan utamanya, kebijakan ini dirasakan masih memberatkan, terutama bagi pelaku usaha kategori UKM yang menjadi pemain dominan dalam pasar ekspor mebel Indonesia.
Menurut data Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI), pelaku usaha yang sudah mendapatkan standardisasi ekspor dengan melengkapi SVLK sebagai salah satu persyaratannya baru sekitar 20% dari total 5000 pelaku usaha di Indonesia. Sementara sisanya, masih belum bisa melengkapi persyaratan karena masih keberatan untuk mengeluarkan biaya pengurusan SVLK yang dinilai mahal bagi UKM, yaitu sekitar Rp 40 juta. Dalam pandangan AMKRI, penerapan SVLK sebaiknya diperuntukkan terlebih dulu bagi sektor hulu, yaitu industri pengolahan kayu. Sementara industri mebel sebagai industri hilir memerlukan sosialisasi dan pemberlakuan kebijakan secara bertahap.
Penerapan SVLK oleh pemerintah pada dasarnya bertujuan untuk melindungi hutan Indonesia dan menciptakan perdagangan produk kayu olahan yang berkelanjutan. Saat ini kebutuhan akan produk kayu olahan tidak lagi hanya melihat pada hasil akhir, namun juga prosesnya, termasuk asal usul bahan baku apakah diperoleh secara legal atau ilegal.
Peningkatan kesadaran konsumen global akan produk yang ramah lingkungan dan diperoleh dari sumber yang legal menjadi fokus pemerintah untuk menyusun kebijakan yang akan
menguntungkan Indonesia di masa kini dan masa depan. Produk kayu dan turunannya yang tersertifikasi dan diakui secara global adalah jawaban untuk memenuhi keinginan konsumen global akan produk kayu hutan lestari Indonesia yang ramah lingkungan. SVLK sejatinya adalah sebuah solusi yang diharapkan mampu memberikan nilai tambah dan mendongkrak nilai ekspor produk mebel Indonesia ke seluruh dunia. Bahkan jika dibandingkan dengan negara eksportir produk kayu lainnya seperti Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam, Indonesia telah lebih unggul dengan adanya pengakuan terhadap SVLK oleh Uni Eropa pada awal tahun 2014 dan akan disusul segera oleh Australia pada akhir tahun ini.
Sebagai produk andalan ekspor, pemerintah tentu harus memberikan dukungan total kepada industri mebel di tanah air. Apalagi sektor ini tidak hanya berpotensi menghasilkan devisa, namun juga banyak menyerap tenaga kerja langsung ataupun tidak langsung. Sepanjang tahun 2013 lalu BPS mencatat angka USD 1,81 miliar untuk ekspor mebel Indonesia. Sementara itu pada tahun ini total penjualan ke luar negeri diproyeksikan menurun dan diperkirakan hanya mencapai USD 2 miliar dengan prediksi sampai dengan September 2014 sebesar USD 1,8 miliar. Tahun 2015, Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) memiliki target untuk meningkatkan nilai ekspor menjadi USD 5 miliar. Butuh upaya ekstra bagi para pelaku usaha mebel untuk mewujudkan target ini. Tentu saja, juga butuh peran Pemerintah untuk mengkaji kembali penerapan kebijakan SVLK disertai dengan kemudahan bagi UKM untuk mendapatkannya. (Primakrisna T.)
HPP Gula Perlu PengawasanDalam siaran pers tanggal 8 Agustus 2014, Kementerian
Perdagangan (Kemendag) mensosialisasikan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 45/M-DAG/PER/8/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-DAG/PER/5/2014 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih (HPP-GKP) Tahun 2014.Dalam Permendag yang baru tersebut HPP-GKP dipatok pada harga Rp 8.500/kg dari harga sebelumnya sebesar Rp 8.250/kg.
Kenaikan HPP-GKP ditujukan untuk meningkatkan insentif bagi petani agar lebih bersemangat menanam tebu. Insentif ini diharapkan bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan petani, namun pada akhirnya juga diharapkan mampu meningkatkan produktivitas gula. Mendag juga menyadari peningkatan HPP bukan satu-satunya instrumen kebijakan yang dapat mendukung kesejahteraan petani gula. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah peningkatan rendemen serta revitalisasi pabrik gula. Hal itu karena kedua instrumen kebijakan ini merupakan faktor penting dalam rangka meningkatkan produktivitas, sekaligus mendukung kemajuan industri gula dalam negeri dan kesejahteraan petani.
Selain penetapan HPP-GKP dimaksud diperlukan penguatan yang lebih tegas dalam pelaksanaannya, yaitu melalui penerbitan
Surat Menteri Perdagangan Nomor 915/M-DAG/SD/8/2014 tanggal 8 Agustus 2014. Intinya menginstruksikan 11 Importir maupun Produsen Gula Rafinasi (PGR) yang telah mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang totalnya mencapai 502,3 ribu ton diwajibkan menyalurkan sisa alokasi impor raw sugar tahun 2014 langsung kepada industri makanan dan minuman tanpa menggunakan jasa distributor.
Hal ini untuk menghindari penyelewengan dari pihak-pihak yang ingin mengkacaukan pasar gula untuk mencari keuntungan pribadi. Pemerintah juga menghimbau kepada semua pihak terutama para distributor untuk mendukung perdagangan dan peredaran gula dalam negeri agar tetap kondusif. Pengawasan perlu diperketar menjaga agar sisa stok GKR yang masih berada di bawah penguasaan importir tidak dijual ke pasar konsumsi dan hanya boleh disalurkan langsung kepada industri pengguna langsung.
Menanggapi HPP baru ini pengusaha gula memuji dan mengapresiasi penerbitan regulasi kenaikan HPP gula menjadi Rp 8.500/kg. Menurut mereka, kenaikan harga HPP ini akan bermanfaat bagi petani untuk lebih bersemangat kembali menanam tebu, sedangkan bagi industri gula, kenaikan HPP ini memungkinkan harga gula menuju titik ekuilibrium baru
yang rasional untuk petani, produsen dan konsumen gula. Namun demikian, kebijakan pemerintah yang sudah direspon positif ini memerlukan dukungan perlunya konsistensi dalam implementasinya di lapangan, agar benar-benar faktual sehingga dapat dirasakan oleh petani demi mewujudkan Indonesia yang
Prospek Pengembangan Produksi Rumput Laut Indonesia
berdaulat pangan khususnya gula. Menurut salah seorang pengusaha gula, Ismed Putro, aspek pengawasan perlu ditingkatkan terutama mengingat masih ada serbuan gula rafinasi impor yang menguasai perdagangan nasional. (Suler Malau).
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3332 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3534 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
SERBA SERBI
Berjayalah Waralaba Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan budaya
dan potensi kuliner yang tidak bisa dipandang remeh. Nilai
budaya dan potensi kuliner ini jika dikembangkan mampu
mengungguli merek-merek asing serta memiliki potensi bisnis
waralaba yang menjanjikan. Untuk memacu pelaku Usaha
Kecil Mikro (UKM) agar menjadi bisnis waralaba yang mampu
memasuki pasar Internasional, Kementerian Perdagangan
mengikutkan UKM potensial waralaba ke pameran-pameran,
dan pendampingan agar para UKM menjadi bisnis waralaba.
Bentuk fasilitasi yang diberikan adalah stand atau booth secara
gratis kepada UKM Waralaba atau UKM yang memiliki Potensial
Waralaba yang terpilih. Program tersebut diharapkan mampu
meningkatkan transaksi dan negosiasi bisnis, mendorong
pertumbuhan pengusaha baru, serta terbukanya akses pasar
bagi waralaba lokal baik di dalam maupun luar negeri. Program
tersebut pada akhirnya diharapkan mampu memberikan
kontribusi positif terhadap perekonomian nasional melalui
pengembangan kegiatan perdagangan berbasis waralaba.
Salah satu pameran yang diikuti pada tahun ini adalah Taiwan
International Chain & Franchise Exhibition yang diselenggarakan
di Taipei pada tanggal 26-29 September 2014. Partisipasi
Indonesia dalam Taiwan International Chain & Franchise
Exhibition 2014 terlaksana atas kerjasama Kantor Dagangan dan
Ekonomi Indonesia, Kementerian Perdagangan dengan Asosiasi
Franchise Indonesia. Pameran tersebut bertempat di Taiwan
World Trade Center Exhibition Hall 1- Taipei.
Sejak diselenggarakannya pameran Taiwan International
Chain & Franchise Exhibition yang pertama pada tahun 2000,
pameran ini selalu berhasil dan menghasilkan transaksi yang
cukup besar setiap tahunnya. Selama tiga tahun terakhir
penyelenggaraan, Taiwan International Chain & Franchise
Exhibition didatangi oleh puluhan ribu pengunjung, di mana
lebih dari 18,600 telah menandatangani Memorandum of
Understanding (MoU).
Tahun ini, penyelenggaraan Taiwan International Chain &
Franchise Exhibition merupakan ajang pertemuan Konfederasi
Waralaba Asia Pasifik dengan Dewan Waralaba Dunia. Even
ini juga merupakan ajang pertemuan beberapa penyelenggara
even yang tergabung dalam Asosiasi Waralaba Nasional dari
masing-masing negara yang berada dalam anggota dua
organisasi waralaba dunia. Acara internasional ini merupakan
peluang bisnis internasional bagi merek Asia dan merek
internasional untuk memanfaatkan potensi pasar Asia Pasifik.
Pameran dibuka oleh Wakil Presiden Taiwan Mr. Wu Den
Yih. Pameran ini merupakan penyelenggaraan yang ke 15 kali,
terdiri dari 800 booth dan diikuti oleh 30 negara selain Taiwan
yang menempati 52 booth diantaranya Malaysia, Thailand,
Singapura, termasuk Indonesia.
Dengan slogan “What’s Brand? Not Just a Name”, Taiwan
ingin menunjukkan bahwa brand bukan sekedar nama akan
tetapi dengan strategi yang tepat maka brand Taiwan akan
menjadi yang terbaik. Dengan slogan tersebut, semakin
memacu Taiwan untuk terus menerus meningkatkan kreasi
dan inovasi design-nya serta melakukan ekspansi bisnisnya ke
pasar global. Salah satu contoh produk minuman Taiwan yang
sudah merajai pasar global adalah bubble tea “Chatime”. Brand
ini bahkan sudah masuk ke Indonesia. Minuman ini merupakan
produk minuman yang biasa dijual di pinggir-pinggir jalan di
Taiwan. Dengan kemasan yang menarik, minuman ini sudah
masuk ke pasar global.
Gambar 1. Salah Satu Produk Franchise Minuman Taiwan
Pada partisipasi kali ini Pavillion Indonesia menampilkan
6 (enam) perusahaan Franchise Indonesia yaitu PT. Top Food
Indonesia dengan merek Es Teler 77, PT. Naga Jaya Sejahtera
Indonesia dengan merek Bakmi Naga, PT. Mushroom Factory
Indonesia dengan merek Mushroom Factory, PT. Sinar Harapan
Abadi dengen merek Double Dipp, PT. Jojo Group Indonesia
dengan merek Jojo Cup dan PT. D’Goen dengan merek D’Goen.
Gambar 2. Kunjungan Kepala BP2KP ke Salah Satu Booth Peserta Pameran Taiwan International Chain and Franchise Exhibition 2014
Pavilion Indonesia berlokasi pada areal International
Pavillion telah dikunjungi oleh peminat usaha Waralaba Taiwan
dan beberapa pejabat dari Kementerian Perdagangan antara
lain Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, Kepala Biro Perencanaan, Kepala
Biro Keuangan, Sekretaris Ditjen. PDN, Sekretaris BP2KP,
Direktur Bina Usaha Perdagangan Ditjen. PDN dan beberapa
pendamping lainnya.
Sejumlah kontak bisnis yang perlu ditindaklanjuti dan
transaksi yang diperoleh para peserta pameran adalah Es Teler
77 yang mendapatkan kontak 3 (tiga) pengusaha; Bakmi Naga
yang mendapatkan kontak 4 (empat) pengusaha; Mushroom
Factory yang mendapatkan 16 kontak bisnis dan 2 (dua) kontrak
dari dua orang WNI senilai Rp 150 juta; Double Dipp yang
mendapatkan kontak 6 (enam) pengusaha dan satu estimasi
kontrak senilai USD 200 ribu; Jojo Cup yang mendapatkan
kontak 18 pengusaha; serta D’Goen yang mendapatkan
kontrak dari enam orang WNI senilai Rp 135 juta.
Sebagai rangkaian partisipasi pada pameran Taiwan
International Chain and Franchise Exhibition 2014, Kantor
Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Kementerian
Perdagangan melatih kewirausahaan bagi buruh migran
Indonesia (BMI), pelajar dan mahasiswa melalui Business
Gathering dengan tema ”Peluang Kewirausahaan Waralaba
bagi Masyarakat Indonesia di Taipei” yang diselenggarakan di
Auditorium KDEI Taipei. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman dan pengetahuan tentang peluang usaha dengan
system waralaba kepada Warga Negara Indonesia yang
berada di Taiwan. Program ini sangat bermanfaat, khususnya
para Buruh Migran Indonesia (BMI) dalam rangka exit program
sehingga para BMI punya bekal kewirausahaan sekembalinya
ke Tanah Air.
Sebagai narasumber adalah ke 6 perusahaan Franchise
Indonesia yang berpartisipasi pada Taiwan International Chain
and Franchise Exhibition 2014 dan satu orang pengusaha
Indonesia yang sukses menjalankan bisnisnya di Taiwan yaitu
CEO Indosuara Group Bapak Joy Simpson. Kegiatan Gathering
ini dihadiri oleh 157 orang yang terdiri dari para mahasiswa,
pelajar dan BMI.
Kegiatan ini berhasil menarik minat para BMI untuk
melakukan bisnis waralaba dan langsung melakukan tanda
tangan kontrak usaha waralaba terhadap 6 (enam) buah
waralaba yaitu 2 (dua) kontrak waralaba dengan PT. Mushroom
Factory Indonesia untuk lokasi di Bandar Lampung dan
Cilacap, dan 4 (empat) kontrak waralaba dengan PT. D’Goen
untuk lokasi di Lampung, Cilacap (2 buah) dan Bandung.
(Reni K. Arianti)
Diskusi Terbatas Analisis Kinerja Perdagangan Luar NegeriDiskusi terbatas kegiatan Analisis Kinerja Perdagangan
Luar Negeri dilaksanakan pada tanggal 30 Oktober 2014
dengan mengundang beberapa asosiasi. Diskusi terbatas ini
dibuka oleh Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Kementerian Perdagangan dengan agenda membahas target
ekspor 2014 yang direvisi dan target ekspor 2015-2019 yang
harus meningkat 3 kali lipat. Hasil diskusi antara lain: 1. Untuk
mencapai target diperlukan penegakan hukum terutama untuk
segala pelanggaran; 2. Penggunaan produk dalam negeri perlu
lebih ditingkatkan; 3. Diperlukan perubahan orientasi industri
pada industri otomotif, karet dan CPO; 4. Diperlukan berbagai
aturan lintas kementerian untuk dapat meningkatkan ekspor
tiga kali lipat di tahun 2019.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3736 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
Kunjungan Kerja BP2KP ke Manila
Tim BP2KP yang dipimpin Kepala Pusat Kebijakan
Kerjasama Perdagangan Internasional melakukan kunjungan
kerja ke Manila, Filippina pada tanggal 22 – 26 Oktober 2014.
Kunjungan ini dalam rangka Analisis Aplikasi Rules of Origin
untuk meningkatkan Akses Pasar Produk GVC Indonesia di
Dunia dan Analisis Kesiapan Indonesia dalam menerapkan
ketentuan Agreement on Trade Facilitation. Dalam kesempatan
ini Tim BP2KP bertemu dengan Philippines Chambers of
Commerce and Industry (PCCI), Maritime Industry Autthority
(Marina), Departement of Transportation and Comunication
(DTC), dan Bureau of Customs (BoC). Melalui kunjungan ini tim
juga dapat mengetahui sejauh mana pengusaha di Filippina
memanfaatkan Surat Keterangan Asal (SKA) dalam rangka
liberalisasi dan bagaimana upaya pemerintah Filippina dalam
menekan ekonomi biaya tinggi. Beberapa hal lain yang menjadi
catatan tim adalah Preparatory Committee on Trade Facilitation
di WTO, dimana Filippina sudah menotifikasi 28 provision
dengan katagori A, sedangkan Indonesia baru menotifikasi 3.
Workshop Lecture SeriesWorkshop Lecture Series yang dilaksanakan pada
tanggal 17 November 2014 di Ruang Anggrek Kementerian
Perdagangan, dihadiri oleh Sekretaris BP2KP, Kepala Pusat
dilingkungan BP2KP, dan perwakilan dari unit eselon I dan II
di lingkungan Kementerian Perdagangan. Pembicara pada
workshop kali ini adalah Prof. Dr. Bustanul Arifin, Guru Besar
Ekonomi Pertanian Universitas Lampung dengan moderator Dr.
Wayan R. Susila. Adapun topik yang dibahas adalah kondisi
ketahanan pangan Indonesia saat ini dan solusi menghadapi
tantangan ketahanan pangan di Indonesia pada masa yang
akan datang.
Konsinyering RENSTRAKonsinyering RENSTRA BP2KP dilaksanakan pada tanggal
30 Oktober-1 November 2014 di Jakarta dan dibuka oleh
Sekretaris BP2KP. Kegiatan ini bertujuan membuat konsep
penyusunan RENSTRA dengan agenda prioritas 27 rencana
aksi yang akan dimasukkan pada rencana jangka pendek
tahun 2015 dan jangka panjang tahun 2015-2019. Konsep
NAWACITA Jokowi-JK dan panduan kisi-kisi dari Bappenas
akan menjadi landasan dalam penyusunan RENSTRA ini.
Dalam RENSTRA juga dirumuskan arah kebijakan, strategi,
tujuan dan sasaran strategis serta indikator kinerja yang akan
disesuaikan dengan NAWACITA Jokowi-JK.
Diseminasi Hasil-Hasil Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan di Bali
BP2KP menyelenggarakan kegiatan Diseminasi Hasil-Hasil
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan di
Bali pada tanggal 25 September 2014 di Bali. Dalam kegiatan
kali ini Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional
menjadi narasumber dengan topik perdagangan di kawasan
Amerika Latin. Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk
menyampaikan hasil-hasil kajian terhadap potensi perdagangan
Indonesia di kawasan Amerika Latin, peluang dan hambatan
yang dihadapi dalam usaha pembukaan akses pasar di Amerika
Latin, posisi Indonesia dalam pembukaan akses pasar di pasar
non tradisional dan strategi peningkatan ekspor Indonesia ke
Amerika Latin.
Diseminasi Hasil-Hasil Pengkajian bidang Standarisasi
Kegiatan Diseminasi Hasil-Hasil Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan dilaksanakan pada
tanggal 26 November 2014 di Jakarta. Kepala BP2KP dalam
sambutannya menyampaikan kajian terkait standarisasi
yang menjadi topik dalam kegiatan kali ini dilakukan karena
perkembangan dunia telah menerapkan persaingan yang ketat
sehingga Indonesia harus membuat standar untuk bersaing
dan melindungi produk dalam negeri. Dalam kesempatan ini
Kepala BP2KP juga menekankan bahwa hasil kajian BP2KP
yang disampaikan kepada publik bukan hanya dalam bentuk
kegiatan diseminasi namun juga sosialisasi melalui media
publikasi seperti buletin ilmiah litbang perdagangan.
Konsinyering Rencana Induk Penelitian Kebijakan Perdagangan (RIPKP)
Konsinyering RIPKP BP2KP dilaksanakan pada tanggal
20-21 November 2014 di Jakarta. Kepala Pusat Data dan
Informasi, Kementerian Perdagangan dalam sambutan
pembukanya menyampaikan penjabaran bahan presentasi,
antara lain mengenai outline RIPKP yang masih mengacu pada
format yang lama, outline RIPKP harus mengacu pada isu-isu
perdagangan lima tahun yang akan datang, dan program-
program kajian yang diusulkan dalam lima tahun mendatang
adalah kumpulan dari isu-isu perdagangan yang telah ada
sebelum konsinyering ini. Hasil konsinyering juga menyepakati
bahwa semua hasil program yang akan dilaksanakan dalam
lima tahun mendatang harus berlandaskan pada Nawacita
Jokowi-JK.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 3938 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
DATA STATISTIK PERDAGANGAN
Catatan Per Februari Tahun 2013, Satuan minyak goreng kemasan dan minyak goreng curah berubah menjadi 1 literSumber : Dinas Perindag, diolah Ditjen PDN
Neraca Perdagangan IndonesiaPeriode Juni - September 2014*
Sumber : BPS (diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagang)Catatan : *)Angka Sementara
Neraca Perdagangan IndonesiaPeriode 2009 - 2014 (Januari - Agustus)
Sumber : BPS (diolah Pusdatin, BP2KP Kementerian Perdagang)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014 PB40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume lI. No. 6, Tahun 2014
EKSPOR - IMPOR INDONESIA,
2OO9 - 2O14 (JANUARI-AgUSTUS)(Nilai : Juta USD)
225.000.00
200.000.00
175.000.00
150.000.00
125.000.00
100.000.00
75.000.00
50.000.00
25.000.00
0.0 2009 2010 2011 2012 2013 2013 (Jan-Agt) 2014 (Jan-Agt)
Ekspor 116.510,0 157.779,1 203.496,6 190,020,1 182.551,8 119,240.3 117,430.3
Impor 96.829,2 135.663,3 177.435,6 191.689,5 186.628,7 124,839.7 118,323.6
(Nilai : Juta USD)
30.000,0
25.000,0
20.000,0
15.000,0
10.000,0
5.000,0
0.0
-5.000,0
-10.000,0
-15.000,0
40 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume Il. No.6, Tahun 2014
NERACA PERDAgANgAN INDONESIA,
PERIODE 2OO9 - 2O14 (JANUARI-AgUSTUS)
Sumber : BPS (Diolah oleh Pusdatin Kementerian Perdagangan)
Sumber : BPS (Diolah oleh Pusdatin Kementerian Perdagangan)
2009 2010 2011 2012 2013 2013 (Jan-Agt) 2014 (Jan-Agt)
Migas 37,6 626,9 775,5 -5.586,9 -12.633,3 -8,585.2 -8,588.6
Non Migas 19.643,2 21.488,9 25.285,5 3.917,6 8.556,4 2,985.9 7,190.3