D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau...
Transcript of D1216049.docx · Web viewkrama (halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau...
JURNAL
TRANSFORMASI WARUNG WEDANGAN SEBAGAI RUANG PUBLIK
(Studi Kasus di Kota Surakarta)
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Seelas Maret Surakarta
Diajukan oleh:
Putri Rizky Pradani
D1216049
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
TRANSFORMASI WARUNG WEDANGAN SEBAGAI RUANG PUBLIK(Studi Kasus di Kota Surakarta)
Putri Rizky PradaniPawito
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrac
Wedangan stalls in Surakarta City have shifted its functions into public sphere for the community. Public sphere is a place for all levels of society to gather and hold various critical discussions freely without pressure from the authorities. The existence of modernization began to influence the metamorphosis of wedangan. Various transformations were carried out by traders in the area to produce various types and forms of wedangan stalls. This research examines traditional wedangan, middle-level wedangan (developing), and modern wedangan. This study aims at describing the significance impact of transformation on the wedangan as public sphere; physical wedangan stalls, visiting participants, exchanged messages, languages used and the developing atmosphere within them.
This is a qualitative research with the use of quasi-participant-observation methods and in-depth interviews in a structured manner at nine sites from three categories of wedangan stalls. The data source is people with theoretical construct sampling technique by determining certain aspects of the concept used. Data is also supported by various literature studies. Data analysis techniques is interactive analysis models; data reduction, data presentation and conclusion drawing.
The result shows that the three types of wedangan stalls still retained public sphere, despite having differences in terms of size, public composition, work style, peak debate, and differences in topic orientation. Traditional and developing wedangan stalls have three institutional criteria or three basic characteristics of public space, namely democracy, meaningfulness and responsiveness. Although it is known that public sphere in the wedangan stalls are developing into squares because of the vast land that does not allow all people who come to the area to join in a discussion, visitors tend to be with their groups. Whereas transformation in modern wedangan stalls seems to have an effect on pseudo public sphere. The transformation towards modernity blurs the value of public sphere as a forum for the unity of citizens without carrying any attributes to conduct critical discussions about public anxiety and the formation of a public opinion as a form of deliberative democracy.
Keyword: public sphere, transformation, warung wedangan, traditional, developing, modern
1
Pendahuluan
Perkembangan warung hik saat ini megalami kemajuan dan bertransformasi
menjadi warung wedangan. Sebutan warung wedangan merujuk pada warung yang
menetap tanpa melupakan ciri khas warung hik sebagai penjual wedang (minuman)
panas, sego kucing (nasi bungkus dengan sambal dan sedikit ikan bandeng) dan
jajanan tradisional yang cocok untuk mendampingi minuman panas tersebut.
Perbedaan yang nampak dari adanya transformasi warung hik menjadi warung
wedangan terlihat dari cara berdagang ataupun dari segi waktu.
Transformasi warung hik menjadi warung wedangan juga mempengaruhi kesan
dan pola konsumtif masyarakat. Jika warung hik lebih terkesan maskulin karena
konsumen didominasi kaum lelaki dewasa dan dibuka pada malam hari dengan
penerangan minim. Warung wedangan justru bertransformasi ke dalam format yang
lebih menarik dan dapat dinikmati oleh masyarakat dari berbagai rentang usia serta
status ekonomi sosial. Saat ini telah banyak bermunculan warung wedangan ala café
dengan mengusung berbagai konsep tema, yaitu adat jawa yang kental, urban
modern, vintage, dan sebagainya, namun tetap memusatkan pada sajian kuliner
tradisional khas warung wedangan.
Transformasi warung wedangan juga membuat pergeseran pada sistem budaya
sosial di masyarakat, karena selain untuk pemenuhan kebutuhan biologis seperti
makan atau minum, warung wedangan mulai beralih fungsi menjadi tempat
pemenuhan kebutuhan sosial. Pada umumnya motivasi orang datang ke warung
wedangan adalah keinginan untuk berkomuniaksi secara “asli”, “utuh”, “berasal dari
sumber pertama” dan manusiawi. Warung wedangan menjadi wadah yang
memfasilitasi komponen masyarakat untuk berkomunikasi, bertukar pendapat,
berinteraksi sosial secara informal tanpa ada batasan substansi pesan yang akan
disampaikan, mulai dari hal pribadi hingga masalah ekonomi politik. Pengunjung
dapat menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk duduk bersama dan membahas
berbagai isu tanpa ada batasan untuk mengutarakan pendapat. Warung wedangan
juga dikenal sebagai tempat yang egaliter karena pembeli datang tanpa membedakan
2
strata sosial, suku, agama dan ras. Hal tersebut yang merubah wedangan yang
awalnya sebagai tempat makan menjadi “ruang publik”.
Ruang publik bukan representasi status aristokrasi ataupun tindakan elit politis
yang terjadi di dalam apa yang disebut dengan ‘ruang politik borjuis’, melainkan
partisipasi warga dalam memperbincangkan persoalan-persoalan publik. Menurut
Habermas “hak-hak komunikatif para warganegara terlaksana terutama di dalam
diskursus-diskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat
mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin.” (Hardiman, 2009:133).
Indonesia sebagai negara demokrasi pasca rezim pemerintahan Orde Baru
membutuhkan pembumian makna di mana setiap perilaku yang terkait dengan publik
dan interaksi sosial politik di dalamnya didasari atas sesama, toleransi, penghargaan
atas pendapat orang lain dan kesamaan atau kesederajatan sebagai warga (Arif
2013:78-82). Keberhasilan demokrasi tidak ditentukan dari semata-mata partisipasi
masyarakat dalam suatu pemilihan saja, melainkan lebih dari itu, syarat terpenting
dalam sebuah demokrasi adalah ruang publik yang utuh dimana hak-hak berpendapat
secara bebas diutarakan, terutama dalam diskursus-diskursus informal. Cukup jelas
bahwa ruang publik bukanlah sekedar ‘tempat fisik’, melainkan komunikasi warga itu
sendiri yang memproduksi ruang diantara mereka.
Fenomena diatas menarik perhatian penulis untuk mendalami bagaimana
sebuah warung wedangan yang notabennya sebagai ruang publik terus berkembang
dan bertransformasi menjadi lingkup yang lebih luas. Transformasi warung
wedangan dirasa memiliki persoalan yang menarik untuk dikaji, baik dari budaya
masyarakat maupun dari imaji ruang publik itu sendiri. Berdasarkan hal diatas, maka
penulis ingin tuangkan dalam tulisan yang berjudul “Transformasi Warung
Wedangan Sebagai Ruang Publik di Kota Surakarta”
Rumusan Masalah
Berdasarkan dari paparan latar belakang diatas, maka pertayaan khusus
penelitian yang dikemukakan dalam studi ini ialah: Bagaimana transformasi
3
modernisasi warung wedangan khususnya di Kota Surakarta dan bagaimana
perubahan bentuk serta peran ruang publik yang mengikuti didalamnya?
Dilihat dari perspektif komunikasi, maka penelitian dibatasi oleh lima aspek
yaitu: (1) Bagaimana transformasi warung wedangan secara fisik? (2) Bagaimana
karakteristik pengunjung warung wedangan? (3) Apa saja topik bahasan yang
diperbincangkan oleh sesama pengujung warung wedangan? (4) Bahasa apa yang
sering digunakan pengunjung ketika berinteraksi mengenai berbagai isu? (6)
Bagaimana atmosfer yang dibangun dan berkembang diantara pengunjung warung
wedangan?
Telaah Pustaka
1. Ruang Publik
Ruang publik bagi Arendt dan Habermas bukanlah sebuah ruangan secara
fisik, namun lebih menekankan pada komunikasi yang dilakukan oleh warga
untuk menciptakan sebuah ruang di antara mereka. Habermas menganalisis
fenomena sosial yang terjadi di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18 (zaman
Aufklarung) dimana literary salon (salon) dan café (kedai kopi) digunakan oleh
warga sebagai tempat berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis
warga. Kedai-kedai kopi dan salon telah beralih fungsi menjadi ruang diskusi
bahkan berfungsi pula sebagai “tempat oposisi” dari ruang-ruang yang tidak
dapat diakses oleh masyarakat umum, seperti istana, gedung parlemen, maupun
teater musik kaum ningrat. Tempat-tempat seperti itu yang kemudian disebut
sebagai “ruang publik” oleh Habermas.1 Hadirnya ruang publik ini mampu
menampung seluruh lapisan masyarakat dalam sebuah diskusi kritis dan diwarnai
dengan wacana-wacana yang menarik, baik mengenai isu politik maupun sastra.
Masyarakat dari kalangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya mulai merasa
mendapatkan tempat yang bebas untuk berdiskusi mengenai berbagai isu dan
wacana. Ruang publik memberikan kesempatan bagi warganegara untuk 1 Jurgen Habermas, Op.Cit, Hlm. 32
4
menggalang gerakan solidaritas dan partisipasi politis sebagai aksi melawan
dominasi, represi dan marginalisasi (Hadriman, 2009:185-186).
Ruang-ruang publik yang dianalisis Habermas, yaitu obrolan di coffe
house (Inggris), salons (Prancis) dan tichgesllschaften atau himpunan masyarakat
meja (Jerman) mungkin memiliki perbedaan dalam segi ukuran, komposisi
publik, gaya bekerja, puncak perdebatan, maupun perbedaan dalam orientasi
topik, namun ada tiga kriteria intitusional atau tiga ciri dasar ruang publik yang
umum ditemui, yaitu: Pertama, para aktornya bukan berasal dari birokrasi atau
dari kalangan bisnis, melainkan orang-orang privat atau warga biasa sehingga
komunikasi yang dibangun berciri otonom dari otoritas; Kedua, terjadi sebuah
pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of reason’ dimana para aktor
tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional mereka secara publik yang
dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan publik dan kegelisahan
warga yang meghendaki adanya perubahan; Ketiga, ruang publik menjadi
mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian diatasi lewat pencarian
kepentingan publik. Proses yang sama yang mengubah budaya kedalam
komoditi, pada dasarnya ruang publik bersifat inklusif.
2. Komunikasi
Harold Laswell yang mengatakan bahwa komunikasi adalah proses
penyampaian pesan/informasi dari komunikator kepada komunikan melalui
media tertentu yang menimbulkan efek, yang digambarkan dengan menjawab
pertanyaan Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
(Effendy, 2005:12) Komunikasi secara luas dapat diartikan sebagai “berbagi
pengalaman” sampai batas tertentu. Komunikasi yang dilakukan di warung
wedangan (sebagai ruang publik) juga menjadi wadah bagi pengunjung
(partisipan) untuk saling bertukar lambang (ide/gagasan/pendapat) serta menjadi
wadah untuk saling berbagi pengalaman atau memahami pengalaman lawan
bicara dan dari komunikasi yang dijalin tersebut akan membentuk pengalaman
baru yang bermakna.
5
3. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal (interpersonal communication) dalam arti luas
adalah interaksi antara dua orang atau lebih tanpa mempersoalkan kenal atau
tidak dengan lawan bicaranya, dan terjadi dalam segala setting kehidupan sosial.
(Suranto, 2011:53) Pengertian komunikasi interpersonal dalam arti luas sesuai
dengan apa yang terjadi di dalam ruang publik warung wedangan dimana
masyarakat umum berdatangan dan saling menjalin komunikasi tatap muka tanpa
mempersoalkan siapa lawan bicaranya dan status sosialnya. Komunikasi
interpersonal merupakan proses penggunaan informasi secara bersamaan, dimana
pelaku komunikasi memperoleh kerangka pengalaman yang sama dimana
kerangka pengalaman ini merupakan kumpulan pengetahuan, nilai-nilai,
kepercayaan dan sifat lainnya dalam diri seseorang (Wiryanto, 2004:37). Melalui
proses komunikasi yang terjalin, setiap orang akan menyesuaikan dirinya dengan
orang lain lewat peran yang disebut dengan transmitting (mengirim pesan) dan
receiving (menerima pesan) dalam rangka untuk mencapai tujuan dalam
komunikasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi interpersonal memegang
peranan penting dalam perkembangan masyarakat kita. Tanpa komunikasi
interpersonal, orang tidak akan saling memahami, saling bekerjasama dan
mendorong perkembangan masyarakat tanpa henti (Wang, 2009:155). Pemaparan
dari Hiyan Wang tersebut sejalan dengan konsep ruang publik, sebuah ruang
yang menjadi wadah pertemuan seseorang dengan orang lain untuk berkumpul
bersama dan menciptakan hubungan yang bermakna melalui komunikasi
antarpribadi yang mereka jalin, salah satunya mampu membentuk sebuah opini
publik yang diharapkan mampu memberikan perubahan bagi kepentingan
masyarakat luas.
4. Warung Wedangan Sebagai Ruang Publik
6
Demokrasi memang mengandaikan kebebasan untuk berpikir, berbicara
dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan represi. Sehingga ruang
publik yang utuh dan otonom dari imperatif-imperatif pasar dianggap sebagai
syarat terpenting bagi terwujudnya sistem demokrasi. Indonesia sebagai negara
demokrasi nampaknya masih memiliki ruang-ruang publik yang dapat digunakan
oleh masyarakat umum serta memiliki aksesibilitas yang mudah dijangkau oleh
semua kalangan, salah satunya yaitu warung wedangan. Para pengunjung warung
wedangan bertemu satu sama lain, berbincang mengenai persoalan yang menarik
bagi mereka, dan bahkan semuanya dilakukan dengan leluasa tanpa ada tekanan.
Interaksi yang terjalin di ruang publik seperti warung wedangan, merupakan
pemenuhan akan kebutuhan sosial dan hak tiap individu sebagai warga negara
yang demokratis. Interaksi juga dapat berupa perdebatan, terutama perdebatan
yang bersifat non-formatif sesuai dengan sifat ruang publik yang bebas.
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai adalah studi kasus. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode observasi dan wawancara. Metode quasi-participant
observation dipilih karena peranan peneliti sebagai pengamat tidak sepenuhnya ikut
berperan serta dalam kelompok masyarakat yang diteliti (tidak melebur dalam arti
sesungguhnya) dan metode in-depth interview (wawancara mendalam) yang
dilakukan secara terstruktur. Sumber data berupa manusia dengan teknik theoretical
construct sampling dengan menetapkan aspek-aspek tertentu dari konsep yang
digunakan. Data juga didukung dengan berbagai studi literatur. Teknik analisis data
menggunakan model analisis interaktif dimulai dari reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Sedangkan validitas data menggunakan triangulasi sumber
(data) dan triangulasi metode.
Sajian dan Analisis Data
7
Dalam penelitian ini akan menitik beratkan pada bagaimana transformasi
warung wedangan sebagai ruang publik (khususnya di Kota Surakarta) dan
dampaknya terhadap ruang publik yang mengikutinya. Sejauh apa perbedaan maupun
persamaan diantara berbagai jenis warung wedangan, yang dalam penelitian ini
dikategorikan kedalam tiga jenis yaitu warung wedangan tradisional, warung
wedangan berkembang dan warung wedangan modern. Penelitian ini dilakukan di
sembilan situs dari tiga kategori warung wedangan di Kota Surakarta, (1) kategori
warung wedangan tradisional, diantaranya warung Wedangan Mbah Trimo, warung
Wedangan Nolid dan warung Wedangan Jebres; (2) kategori warung wedangan
berkembang, diantaranya warung Wedangan Pak No, warung Wedangan Kapal ISI
dan warung Wedangan Lingkar Selatan; (3) kategori warung wedangan modern
diantaranya warung Wedangan Omah Lawas, warung Wedangan Cangkir Blirik dan
warung Wedangan Omahe Whawin.
1. Transformasi Warung Wedangan Secara Fisik
Antoniades (1992:66) menjelaskan pengertian transformasi sebagai sebuah
proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga pada tahap ultimate (tahap
yang paling optimal), perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap
pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan pada perubahan
dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara
berulang-ulang atau melipatgandakan. Pengaruh unsur eksternal maupun internal
dalam perubahan secara fisik dalam proses transformasi disebabkan oleh adanya
kekuatan non fisik, seperti perubahan budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini
juga terjadi pada warung hik (yang dalam penelitian ini disebut dengan
‘wedangan’) yang di’sulap’ oleh para pemodal menjadi ruang yang lebih akrab
oleh khalayak luas seiring dengan budaya modernitas. Mengamati keberadaan
yang dalam penelitian ini di istilahkan sebagai “wedangan”, ditemukan kenyataan
bahwa terdapat beragam jenis dan atau tingkatan yang kemudian dikerucutkan
8
dalam tiga ketegori berbeda, yaitu warung wedangan tradisional, warung
wedangan berkembang dan warung wedangan modern.
Warung wedangan mulai mengalami perubahan yang sangat kentara yaitu
warung hik sudah tidak dijajakan dengan cara berkeliling dan dipikul lagi namun
sudah menetap di satu lokasi dengan menggunakan gerobak, tenda sebagai atap,
serta lampu yang tidak terlalu terang. Lokasi yang dipilih umumnya berada di
perkampungan yang mudah dijangkau oleh warga sekitar dengan berjalan kaki.
Pada awal abad ke-20, beberapa penjaja wedangan tradisional mulai
mengembangkan usahanya dari yang awalnya hanya menggunakan gerobak
dorong dengan sistem bongkar pasang, kini sudah menetap di suatu titik/lokasi
(umumnya di pinggir jalan) dengan bangunan semi permanen atau ruko dengan
sistem kontrak. Selain itu dilihat dari ruang yang awalnya hanya memuat delapan
hingga dua belas orang, sekarang mampu memuat lebih dari seratus orang dengan
menggunakan dua tipe tempat duduk. Tempat duduk berupa kursi dan meja
(indoor) dan lesehan diletakkan di area sekitar wedangan (outdoor). Warung
wedangan berkembang juga telah meperluas usaha dengan membuka cabang di
daerah lain. Ciri khas tersebut yang menandai transformasi warung wedangan
berkembang dalam skala yang lebih besar. Menginjak abad ke-21 para pemodal
mulai menyulap warung wedangan dengan kelas yang lebih ‘mewah’ layaknya di
restauran atau café. Berbagai konsep mulai diterapkan oleh masing-masing warung
wedangan modern, seperti urban modern, vintage, Jawa tempo dulu, hingga
perpaduan Jawa dan Bali. Selain itu lahan yang digunakan merupakan lahan milik
pribadi dengan bangunan bersifat permanen. Penataan tempat duduk di warung
wedangan sudah dibentuk dengan memberikan ruang privasi pada tiap meja.
Transformasi juga mengalami pergeseran dalam segi waktu atau jam kerja
dan sistem kerja. Warung wedangan yang identik dengan budaya lek-lekan atau
begadang sepanjang malam hingga pagi kini justru bertransformasi dengan
merubah jam buka mulai dari sore hari (rata-rata buka pukul 17.00 WIB) hingga
tengah malam saja. Namun ada beberapa juga yang masih mempertahakan budaya
9
lek-lekan ini, ada juga warung wedangan modern yang beroperasi dari pagi hari.
Selain itu perubahan dari adanya transformasi berdampak pada sistem kerja yang
diterapkan di masing-masing jenis warung wedangan. Semakin modern sebuah
warung wedangan, maka jumlah penjaja (atau pegawai) semakin bertambah
dengan penerapan SOP yang semakin ketat dan penggunaan sistem yang canggih.
2. Karakteristik Pengunjung Warung Wedangan
Warung wedangan tradisional masih sama seperti warung hik pada
umumnya yang lebih terkesan maskulin karena konsumen didominasi kaum lelaki
dewasa dan dibuka pada malam hari dengan penerangan minim. Hal ini
dikarenakan pengunjung yang nongkrong dalam kurun waktu yang lama
didominasi oleh kaum laki-laki (dewasa madya usia 40-60 tahun dan dewasa dini
usia 18-40 tahun). Jenis warung wedangan berkembang dan modern memiliki
pengunjung yang tergolong umum dari segi usia, mulai dari golongan anak-anak
hingga golongan dewasa lanjut terlihat mengunjungi warung wedangan tersebut.
Sedangkan jika dilihat dari jenis kelamin, warung wedangan berkembang memiliki
jumlah pengunjung yang hampir sama antara pengunjung laki-laki dengan
pengunjung perempuan, namun semakin malam akan lebih didominasi oleh kaum
laki-laki. Sedangkan warung wedangan modern memiliki prosentase 60%
pengunjung perempuan dan 40% laki-laki. Hal ini didukung dengan hasil
wawancara bersama Ibu NA, manager warung Wedangan Omahe Whawin yang
mengungkapkan hal serupa.
Dari segi agama, semua tipe warung wedangan memiliki hal yang serupa
yaitu adanya pengunjung yang menggunakan atribut keagamaan seperti hijab bagi
kaum wanita yang menunjukkan identitas agama Islam dan aksesoris salib untuk
menunjukkan pengunjung Kristiani. Dari segi etnis, karena penelitian mengambil
di Kota Surakarta, maka sebagian besar pengunjungnya memiliki etnis Jawa,
Tionghoa dan Arab jika dilihat secara visual. Di teliti lebih lanjut melalui bahasa
dan logat daerah yang dipakai. Warung wedangan tradisional sangat kental dengan
10
etnis Jawa ditandai dengan penggunaan Bahasa Jawa yang sangat dominan,
meskipun terkadang logat yang digunakan oleh pengunjung tidak medok.
Sedangkan warung wedangan berkembang lebih umum dalam segi etnis
pengunjung dikarenakan pengunjung yang datang tidak hanya warga dari sekitar
warung wedangan, namun masyarakat luar Kota Surakarta, bahkan hingga luar
pulau Jawa. Ada yang merupakan warga negara asing (WNA). Warung wedangan
modern juga memiliki pengunjung dengan etnis yang beragam karena berasal dari
dua golongan, yaitu golongan lokal (masyarakat Kota Surakarta) hingga luar Kota
Surakarta, seperti warga Jakarta dan sekitarnya.
Berdasarkan strata sosial dalam masyarakat, warung wedangan tradisional
memiliki pengunjung dari beragam latar belakang yang hanya dapat diketahui
melalui topik obrolan dan pengakuan mereka secara pribadi. Hal tersebut
dikarenakan pengunjung yang datang ke warung wedangan tradisional telah
melepaskan atribut mereka dan menjadi ‘sama’ atau setara dengan pengunjung
lainnya baik secara visual maupun obrolan. Hampir serupa dengan pengunjung
warung wedangan berkembang dimana pengunjung melepaskan atribut sosial
mereka dan dengan bebas nongkrong di warung wedangan berkembang.
Pengunjung warung wedangan berkembang memiliki pengunjung yang umum dan
diunjungi oleh berbagai golongan strata, mulai dari lower, middle, hingga upper.
Sedangkan warung wedangan modern lebih didominasi dengan golonggan middle-
up (menengah keatas) dimana para pengunjung masih memperhatikan gaya busana
ketika datang ke warung wedangan ala café tersebut. Selain itu masih banyak
pengunjung yang datang dengan membawa atribut mereka secara tersirat, baik
melalui kendaraan, style maupun gaya obrolan.
3. Topik Bahasan atau Obrolan di Warung Wedangan
Topik bahasan atau obrolan yang dibicarakan oleh pengunjung warung
wedangan hampir serupa yaitu topik pribadi (privat) dan topik khusus (sosial-
ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya). Pola yang sering terjadi biasanya
11
diawali dengan menyampaikan kegelisahan atau cerita mengenai diri sendiri (topik
privat) yang berifat ringan atau sekedar basa-basi yang kemudian akan
berkembang menjadi topik yang lebih serius. Persamaan yang lain pada ketiga
jenis warung wedangan ini adalah topik khusus yang dibicarakan lebih dominan
yang menyangkut tentang sosial-budaya, sedangkan topik sosial-politik lebih
cenderung dihindari oleh pengunjung, bahkan partisipan dapat secara tegas
mengatakan perihal tersebut di ruang publik tanpa ada paksaan atau rasa takut.
Kriteria intitusional atau ciri dasar ruang publik yang kedua yang umum
ditemui adalah terjadi sebuah pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of
reason’ dimana para aktor tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional
mereka secara publik yang dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan
publik dan kegelisahan warga yang meghendaki adanya perubahan. Ciri ketiga
yaitu ruang publik menjadi mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian
diatasi lewat pencarian kepentingan publik. Para peserta diskusi senantiasa
mengaitkan materi diskusi dengan kepentingan masyarakat luas dan isu yang
menjadi bahan diskusi dapat diakses oleh siapa saja serta siapapun dapat
bergabung (Hadirman, 2009:133). Salah satu contohnya yaitu ketika isu mengenai
sosial-ekonomi yang berkaitan langsung dengan kehidupan banyak orang,
kemudian diikuti rentetatan panjang opini dari pengunjung lainnya yang kemudian
menghasilkan suatu opini publik. Skala pembicaraan akan berbeda pada tiap jenis
warung wedangan berdasarkan partisipan yang beropini didalamnya. Contohnya
warung wedangan tradisional akan mengangkat isu-isu berskala lokal yang setiap
hari bersinggungan dengan mereka, seperti harga BBM, sembako, dan kebutuhan
lainnya. Berbeda dengan warung wedangan modern yang mengangkat isu krisis
ekonomi hingga skala internasional seperti kenaikan dollar, jatuhnya rupiah,
export import, bursa saham, dan lain sebagainya. Perbedaan pada latar belakang
partisipan/ pengunjunglah yang mempengaruhi pilihan topik yang dibicarakan.
12
4. Bahasa Yang Digunakan di Warung Wedangan
1) Bahasa yang digunakan di warung wedangan berbeda-beda tergantung
siapa yang berbicara dan siapa lawan bicara mereka. Rata-rata pengunjung yang
penulis wawancara menggunakan bahasa campuran, entah campuran Bahasa
Indonesia-Jawa, Bahasa Indonesia-Inggris, atau campuran ketiganya dengan
penambahan bahasa gaul seperti “nggak”, “ngapain”, ”bro” dan sebagainya.
Bahasa campuran ini sering ditemui di warung wedangan berkembang
dikarenakan ragam partisipan/pengunjung didalamnya. Sedangkan di warung
wedangan modern lebih cenderung menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat
khas orang Jakarta dan terkesan formal. Pengunjung banyak menggunakan bahasa
gaul maupun bahasa asing untuk menjelaskan suatu hal. Pemilihan kata yang
intelek dan penggunaan kata-kata ilmiah juga terkadang terlontar oleh pengunjung
yang sedang membahas topik/isu tertentu. Namun juga tidak dipungkiri masih ada
beberapa pengunjung yang menggunakan bahasa Jawa, baik Bahasa Jawa krama
(halus) maupun Bahasa Jawa ngoko (kasar) bahkan bahasa atau prokem-prokem
dengan konotasi negatif. Sedangkan di warung wedangan tradisional lebih
dominan menggunakan Bahasa Jawa dikarenakan patisipan didominasi oleh etnis
Jawa atau pendatang yang sudah tinggal lama di Kota Surakarta. Namun terkadang
juga menggunakan Bahasa Indonesia ketika mengobrol. Penggunaan prokem
negatif juga sering terdengar sebagai penakanan pada penyampaian ekspresi atau
emosi mereka. Di warung wedangan tradisional lebih cederung tanpa ragu untuk
berkata kasar/sumpah serapah sebagai ungkapan emosi mereka. Begitu juga halnya
di warung wedangan berkembang. Sedangkan di warung wedangan modern
cenderung sungkan untuk berkata kasar secara lantang.
5. Atmosfer Yang Berkembang di Warung Wedangan
Atmosfer dalam warung wedangan merupakan hasil dari adanya interaksi
yang dilakukan antar orang perorangan yang bersifat dinamis, baik antar
pengunjung dengan pengunjung dan atau pengunjung dengan penjaja. Tiap warung
13
wedangan pasti memiliki atmosfer yang berbeda tergantung siapa yang
berinteraksi didalamnya serta pesan seperti apa yang saling dipertukarkan oleh
partisipan. Selain itu hasil transformasi bentuk warung wedangan nyatanya juga
mempengaruhi atmosfer tersebut. Rata-rata warung wedangan memiliki atmosfer
yang santai dilihat dari kebiasaan pengunjung yang lebih menghabiskan banyak
waktu di warung wedangan hanya untuk sekedar ngobrol.
Atmosfer yang berkembang di warung wedangan tradisional sangat santai dan
bebas perbendapat hingga terbentuk suasana kekeluargaan. Penjaja juga ikut
berpartisispasi bahkan membangun obrolan dalam ruang publik agar budaya
wedangan terasa hidup. Pengunjung di warung wedangan berkembang mulai
datang berkelompok namun area tempat duduk yang tidak ada jarak antar
pengunjung membuat pengunjung bisa saling mendapat informasi dari kelompok
lain atau bahkan ikut bergabung untuk mengobrol dengan santai dan bebas.
Pemilik selalu berada di warung wedangan namun komunikasi dilakukan hanya
dengan pelanggan atau pengunjung yang sedang berada didekatnya. Warung
wedangan modern terkesan lebih formal karena bentuk bangunan ala café dan
pengunjung yang memperhatikan penampilan saat datang. Tempat duduk terpisah
antar meja membuat pengunjung hanya fokus dengan kelompoknya layaknya
ruang pribadi (privat). Interaksi dengan kelompok pegunjung lain hanya jika
mengenal dan sebatas salam/sapaan basa-basi yang diakhiri dengan kembali lagi
ke meja masing-masing. Pemilik jarang terlihat berada di warung wedangan
sehingga komunikasi antar pengunjug dan pemilik hanya sebatas kritik dan saran
atau pengunjung yang sudah akrab/kenal. Dari interaksi yang terjalin terdapat hasil
positif berupa bertambahnya wawasan hingga terjadinya kerjasama dan hasil
negatif berupa pertengkaran akibat adu argumen.
6. Transformasi Warung Wedangan Sebagai Ruang Publik
Dari kelima aspek diatas, bisa kita lihat bahwa transformasi karena adanya
modernisasi tidak hanya merubah bentuk warung wedangan secara fisik saja,
14
namun diikuti oleh perubahan dalam karakteristik pengunjungnya, topik diskusi,
hingga atmosfernya yang membentuk apa yang disebut dalam penelitian ini
sebagai ruang publik.
Ruang publik bukan sekedar ‘ruang fisik’, melainkan interaksi atau
komunikasi warga yang memproduksi ruang diantara mereka untuk mencapai apa
yang disebut demokratisasi. Komunikasi yang dilakukan di warung wedangan
(sebagai ruang publik) juga menjadi wadah bagi pengunjung (partisipan) untuk
saling bertukar lambang (ide/gagasan/pendapat) serta menjadi wadah untuk saling
berbagi pengalaman atau memahami pengalaman lawan bicara dan dari
komunikasi yang dijalin tersebut akan membentuk pengalaman baru yang
bermakna.
Ruang publik yang menurut Arendt dan Habermas merupakan sebuah
wadah imajier yang mampu menampung seluruh lapisan masyarakat untuk
melakukan diskusi kritis mengenai berbagai isu-isu menarik lebih mengarah ke
warung wedangan tradisional dan berkembang. Meskipun keduanya memiliki
perbedaan dalam segi ukuran, komposisi publik, gaya bekerja, puncak perdebatan,
maupun perbedaan orientasi topik, namun keduanya memiliki tiga kriteria
institusional atau tiga ciri dasar ruang publik yaitu Pertama, para aktornya bukan
berasal dari birokrasi atau dari kalangan bisnis, melainkan orang-orang privat atau
warga biasa sehingga komunikasi yang dibangun berciri otonom dari otoritas;
Kedua, terjadi sebuah pemberdayaan yang disebut dengan ‘public use of reason’
dimana para aktor tanpa rasa takut menyampaikan pemikiran rasional mereka
secara publik yang dilandasi rasa prihatin atas persoalan yang merugikan publik
dan kegelisahan warga yang meghendaki adanya perubahan; Ketiga, ruang publik
menjadi mediasi antara isu privat para aktor yang kemudian diatasi lewat
pencarian kepentingan publik. Meskipun diketahui bahwa ruang publik di warung
wedangan berkembang mulai terkotak-kotak karena lahan yang luas yang tidak
memungkinkan semua orang yang datang ke wedangan ikut bergabung dalam
suatu bahasan, sehingga pengunjung nampak lebih bersama kelompoknya.
15
Sedangkan transformasi warung wedangan modern secara fisik yaitu
penataan kursi yang memiliki jarak atau sekat antar meja satu dengan yang lainnya
-bahkan sekat tembok- berimplikasi pada ruang publik didalamnya yang terkotak-
kotak secara jelas. Hal ini didukung dengan pernyataan para pemilik warung
wedangan modern yang memang menata meja sedemikian rupa untuk memberikan
ruang-ruang privat kepada para pengunjung. Pengunjung datang bersama rekan
satu kelompoknya, memilih tempat duduk yang hanya memuat kelompoknya,
berbincang hanya dengan kelompoknya dan tidak peduli dengan kelompok lain di
sekitarnya. Selain itu, nilai ruang publik yang demokratis juga mulai
dipertanyakan lantaran para aktor tidak tumbuh dari ruang publik itu sendiri,
melainkan muncul di depan publik. Mereka memperalat ruang publik yang telah
ada itu sebagai panggung presentasi kepentingan-kepentingan mereka belaka.
Prinsip demokrasi yang diasalkan dari prinsip Kantian bahwa setiap orang yang
dalam hal ini dimaksudkan warga negara seharusnya diperlakukan tidak sebagai
sarana, melainkan sebagai tujuan untuk mencapai apa yang disebut dengan
kedaulatan rakyat.
Selain itu, atmosfer yang terbangun di warung wedangan modern tidak
sebebas di warung wedangan tradisional ataupun warung wedangan berkemabang.
Hal ini disampaikan oleh AD yang merasa di ’telanjangi’ dengan pandangan
pengunjung lain ketika dirinya datang dengan style hariannya yang sederhana,
seperti celana ripped jeans, kaos, sandal jepit, dan rambut gondrong. Jika menurut
RW, perbedaan terdapat dalam kebebasan berekspresi yang minim di warung
wedangan modern karena adanya rasa sungkan ketika ingin berteriak-teriak
bahkan saru-saruan (bercanda dalam konteks negatif/pikiran kotor). RW lebih
memilih wedangan tradisional karena RW dapat mengekspresikan dirinya secara
bebas dan bisa membaur/mengobrol dengan penjaja maupun dengan pengunjung
yang lain. Ia juga menambahkan bahwa dari basa-basi yang ia lakukan di warung
wedangan tradisional, akan ada tanggapan oleh pengunjung lain dan kemudian
16
obrolan makin meluas hingga munculnya suatu jalinan baru atau kekerabatan baru
diantara mereka. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa informasi lebih banyak
didapat dari warung wedangan tradisional karena omongan ngalor-ngidul yang
dilakukan oleh para pengunjung. AD juga menambahkan bahwa pengunjung yang
datang sangatlah random dan dari berbagai kalangan dan dapat berbicara dengan
gamblang mengenai berbagai isu, bahkan isu sensitif sekalipun.
Kesimpulan
Semua jenis warung wedangan masih bisa dikatakan sebagai ruang publik jika
dilihat sebagai wadah berkumpulnya masyarakat untuk berdialektika. Namun jika
dilakukan pendekatan secara kritis terhadap teori ruang publik, maka ruang publik
yang terbentuk pada awal warung wedangan tradisional itu justru sebenarnya lebih
merepresentasikan ruang publik yang dimaksudkan oleh Habermas karena memiliki
tiga kriteria institusional atau tiga ciri dasar ruang publik yaitu demokrasi,
kebermaknaan dan renponsif. Habermas berpendapat untuk memelihara keutuhan
struktur-struktur komunikasi ruang publik diperlukan peranan masayarakat warga
yang kritis dan aktif. Hal tersebut kurang nampak di warung wedangan berkembang
dan bahkan terasa bias di warung wedangan modern. Jadi dalam penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa transformasi warung hik (tradisional) menjadi warung wedangan
(modern) tidak hanya berupa perubahan secara fisik saja, namun berimplikasi juga
terhadap ruang publik yang terbentuk didalamnya. Temuan besar dalam penelitian
ini adalah bahwa ketika semakin warung wedangan sebagai ruang publik itu di
modernisasi, maka komunikasi publik yang tercipta didalamnya akan semakin kaku
dan kabur.
17
Daftar Pustaka
Antoniades, A.C. (1992). Poetics od Archtecture: Theory of design. New York: Van Nostrand Reinhold
Arif, Saiful & Heri Setyono. (2013). Sejarah & Budaya Demokrasi, Manusia Berstatus Warga dalam Kehidupan Bernegara Bangsa. Malang: Averroes Community
BPS Kota Surakarta. (2018). Kota Surakarta Dalam Angka 2018. Surakarta: Badan Pusat Statistik Kota Surakarta
Effendy, Onong Uchana. (2005). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya
Fitriani, Lucky. (2013). Warung HIK sebagai Ruang Publik (Studi Kass Warung Hik sebagai Ruang Publik di Kota Surakarta). Skripsi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Geertz, Clifford. (1973). Penjaja Dan Raja (Perubahan Sosial Dan Modernisasi Ekonomi Di Dua Kota Indonesia). Terjemahan S. Supomo. Jakarta: PT Gramedia
Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere, dialih bahasa oleh Thomas Burger. Britain: Polity Press
Hardiman, Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif: Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
_____________. (2010). Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Kanisius
Mangkoko. Wedangan dan Hik:Angkringan ala Solo. http://mangkoko.com/jalan-jalan/wisata-kuliner/wedangan-dan-hik-angkringan-ala-solo, diakses pada tanggal 10 Maret 2018, 22.21
Nn. Wedangan. https://menikmatiwaktu.wordpress.com/2011/06/29/wedangan, diakses pada tanggal 11 Maret 2018, 00.09
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKIS Pelangi AksaraSuranto AW. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakrta: Graha IlmuSutopo, H.B. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS PressWang, Haiyan. (2009). Nonverbal Communication and The Effect on Interpersonal
Communiction. Journal of Asian Social Science, Vol.5, No.11, pp. 155-159
Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Gramedia Widasarana Indonesia
18