D. Asesmen Kebutuhan Pendidikan Dasar · Web viewDitinjau dari sumber daya sudah memadai menurut...
Transcript of D. Asesmen Kebutuhan Pendidikan Dasar · Web viewDitinjau dari sumber daya sudah memadai menurut...
1
ABSTRACT
Assessment needs to be done because there are many educational needs of service recipients who do not meet expectations, such graduates are less qualified, human resources who do not meet quality standards, and the means of infrastructure is not adequate , commu rakat who can not play an active role in order to keep an eye on Sustainable Forest laan education in schools . Teams of researchers - tian aims to describe how the management of the education system from centralization to decentralization of the authority and independence of the autonomous region (district / city ) including the management of basic education authority become the responsibility of District / city . This study used a descriptive method with qualitative approach . Data was collected through interviews, observation , and documentation. Subject of this research is the head of education, heads of primary and secondary education, the head of the religion department, section heads Mapenda, a school / madrasah and the school committee . The results showed that the basic education needs of regional autonomy in Pidie district in general has not been fulfilled to the maximum, which is not the fulfillment of students' welfare equally. Infrastructure needs not maximal, which formed the organizational structure has not shown that management accountable. In terms of the resources are sufficient in number, but the quality and professionalism has not met the requirements , with the role and contribution is not based on need , but rather refers to the desire of stake - holders. Menyang - kut priorities of basic education in the district Pidie oriented to quality improvement, system improvement , guarantees the welfare of teachers and students as well as the provision of adequate funding, because all the elements are part of the educational needs of autonomy .
ABSTRAKAsesmen perlu dilakukan karna masih banyak kebutuhan penerima layanan pendidikan yang belum memenuhi harapan, seperti lulusan yang kurang bermutu, sumberdaya manusia yang belum memenuhi standar kualitas, sarana dan prasa- rana yang belum memadai, masya rakat yang belum bisa berperan aktif dalam rangka mengawasi pengelo laan pendidikan di sekolah. Penelitian ini bertujuan men-deskripsikan bagaimana pengelolaan sistim pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi yaitu kewenangan dan kemandirian daerah otonom (Kabupaten/ Kota) termasuk otoritas pengelolaan pendidikan dasar menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/ kota. Penelitian ini gunakan metode diskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah kepala dinas pendidikan, kepala bidang pendidikan dasar dan menengah, kepala kantor departemen agama, kepala seksi mapenda, kepala sekolah/ madrasah serta komite sekolah. Hasil penelitian menun- jukkan bahwa kebutuhan pendidikan dasar era otonomi daerah di Kabupaten Pidie se-cara umum belum terpenuhi secara maksimal, yaitu belum terpenuhinya ke-sejahteraan siswa secara merata. Kebutuhan sarana dan prasarana belum maksimal, struktur organisasi yang terbentuk belum menunjukkan pengelolaan yang akuntable. Ditinjau dari sumber daya sudah memadai menurut jumlah, akan tetapi kualitas dan profesionalitas belum memenuhi per-syaratan, peran penyandang dan kontribusi-nya bukan berdasarkan kebutuhan, me-lainkan mengacu pada keinginan stake-holders. Menyangkut prioritas pendidikan dasar di Kabupaten Pidie berorientasi pada peningkatan mutu, pembenahan sistem, jaminan kesejahteraan guru dan siswa serta penyediaan dana yang cukup, karena semua
1
ASESMEN KEBUTUHAN PENDIDIKAN DASAR ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN PIDIE
Yusmadi AbdullahSTIT Al-Hilal Sigli
Jl. Lingkar Keuniree Sigli Kabupaten Pidie Provinsi AcehEmail: [email protected]
2
unsur tersebut bagian dari kebutuhan otonomi pendidikan.
Kata kunci: otonomi dan pendidikan dasar
I. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan otonomi daerah
berkisar tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, pengaturan, pembagian
dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan
pusat dan daerah, harus dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal-hal yang berkaitan dengan otonomi
daerah tersebut lebih lanjut diwujudkan
dalam Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 yang menitikberatkan pada prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pe-
merataan dan keadilan serta memper-
hatikan potensi dan ke-anekaragaman
daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, Tentang Otonomi Daerah
Bab I, Pasal 1.i, daerah otonom yang
selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang batas
daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat se-
tempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Supaya kewenangan mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat
dapat terwujud dengan baik maka
pemerintah pusat sudah seharusnya
memberikan kewenangan yang luas
kepada pemerintah daerah secara nyata.
Khusus bagi Provinsi Daerah Aceh,
Pemerintah telah mensahkan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus sebagai Provinsi
Provinsi Aceh yang mempunyai we-
wenang dalam rangka pelaksanaan
otonomi khusus di mana salah satu
aspeknya adalah otonomisasi sektor pen-
didikan. Hal ini sangat dimungkinkan
dengan alokasi dana dari sektor pen-
didikan sebesar 30 persen dari dana per-
imbangan. selanjutnya juga di kuatkan
dengan UUPA No. 11 tahun 2006 sebagai
kelanjutan dari penjabaran yang lebih
terarah dalam mendukung penjaminan
mutu pendidikan di daerah.
Adapun tujuan pemerintah pusat
memberikan wewenang kepada pe-
merintah daerah adalah dalam rangka
pemanfaatan sumber daya nasional se-
bagaimana disebutkan Greenberg dan
Baron (1995 : 134) yaitu “untuk me-
ningkatkan efisiensi manajemen dan ke-
puasan kerja, serta untuk meningkatkan
mutu pendidikan bagi seluruh
masyarakat.” Sehingga pengelolaan
pendidikan di daerah tersebut dapat lebih
efektif, efisien dan aspiratif, dan secara
makro dapat memberikan kontribusi bagi 2
3
pembangunan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sistem
sentralisitik dalam bidang pendidikan
harus ditinggalkan. Menurut Sidi (2001 :
30) Suatu sistem pengelolaan sistem pen-
didikan nasional yang sentralistik tidak
memungkinkan lahirnya suatu
masyarakat yang terbuka dan demokratis,
atau terwujudnya masyarakat madani di
mana setiap manusia mempunyai ke-
sempatan untuk mengembangkan
potensinya dan menyumbangkannya
untuk sebesar-besarnya bagi ke-
sejahteraan masyarakat.
Pemerintah pusat dalam Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999, bab I,
Pasal 1.a dimaksudkan sebagai perangkat
Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri dari Presiden dan para
Menteri. Sedangkan pemerintah daerah di
dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah otonom oleh pemerintah daerah
dan DPR menurut asas desentralisasi.
Kewenangan pelaksanaan otonomi
daerah tidak mencakup kewenangan di
bidang politik, ekonomi, luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan,
moneter, fiskal, agama serta kewenangan
lain. (Undang-Undang No. 25 tahun
1999).
Kewenangan daerah menurut
Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun
1999 meliputi: pertanahan, pertanian,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
tenaga kerja, koperasi, pekerjaan umum,
perhubungan, penanaman modal,
industri, perdagangan, lingkungan hidup,
pengolahan sumber daya nasional yang
tersedia di wilayah masing-masing dan
bertanggung jawab memelihara ke-
lestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan pentingnya
otonomi di bidang pendidikan di daerah/
kabupaten, maka ia berhubungan erat
dengan arahan-arahan perencanaan
strategi yang meliputi (Hamijoyo, 1999:
4):
1. Pemerataan kesempatan Belajar
sesuai dengan kemampuan
intelektual, mental, dan sosial.
2. Peningkatan mutu dan pemerataan
semua unit pendidikan sesuai
persyaratan dan standar nasional
dan global.
3. Peningkatan jumlah variasi jenis
dan tingkat pendidikan sesuai
dengan relevansi dan per-
kembangan iptek, pembangunan,
potensi individu, keuntungan
ekonomis (rate of economic
return) dan persyaratan kebutuhan
tenaga kerja (man power
requirement), dan
4. Efisiensi dan efektivitas pe-
ngelolaan dan pemanfaatan 3
4
sumber-sumber yang terbatas
demi kepuasan pelanggan dan
masyarakat.
Perubahan pengelolaan sistem
pendidikan dari sentralisasi ke
desentralisasi dipandang perlu
berdasarkan tujuan yang meliputi.
Pertama, tuntutan orang tua murid,
kelompok masyarakat, para legislator,
bisnis dan perhimpunan guru untuk turut
mengontrol sekolah dan penilaian
terhadap kualitas sekolah. Kedua,
struktur sekolah yang sentralistik tidak
dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa sekolah.
Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang
ada dalam merespon kebutuhan sekolah
setempat dan masyarakat yang heterogen.
Keempat, penampilan fisik sekolah
dinilai tidak memenuhi tuntutan
masyarakat. dan Kelima, tumbuhnya
persaingan dalam memperoleh bantuan
pendanaan dan privatisasi (NCREL`S
Policy Briefs: 1995, report 1)
Faktor pemicu lainnya atas
perubahan pengelolaan pendidikan dari
sentralisasi yang berkewenangan pe-
merintah pusat beralih ke arah
desentralisasi juga dipengaruhi (Soetopo,
1999: 6), antara lain yang terkait dengan:
Pertama, terjadinya tuntutan
reformasi di segala bidang di
Indonesia termasuk bidang
manajemen pendidikan kedua,
kurangnya persaingan antar daerah
dalam memajukan pendidikan
karena tuntutan nasional yang
seragam ketiga, tuntutan
masyarakat untuk mandiri sesuai
dengan kemampuan daerah untuk
menyelenggarakan dan memajukan
pendidikan keempat, terjadinya
ketidak-sesuaian antara tuntutan
nasional dengan potensi sumber
daya daerah kelima, ketergantungan
daerah kepada pemerintah pusat
tentang pendanaan, kurikulum,
fasilitas dan sumber daya manusia
dalam menyelenggarakan
pendidikan keenam, kurangnya
kreatifitas daerah, sekolah, personal
penyelenggaraan dan pelaksanaan
pendidikan dan adanya rasa takut
dari pihak bawahan untuk melanggar
aturan dari pihak atasan dan
kurangnya kemandirian lembaga
pengelola pelaksanaan pendidikan,
karena besarnya ketergantungan
kepada pemerintah.
Pengelolaan pendidikan yang
sentralistik sementara ini sangat me-
mungkinkan untuk terjadinya pem-
bangunan di seluruh tanah air yang
kurang aspiratif atau sentimen aspirasi 4
5
lokal, kurang partisipatif dan birokrasi
yang terlalu panjang sehingga mem-
berikan peluang bagi terjadinya pem-
borosan dan “kebocoran anggaran” akibat
dari manajemen pendidikan nasional kita
yang amat sangat sentralistik sehingga
menimbulkan berbagai masalah
manajerial yang menjadi bias pada
pemasungan partisipasi masyarakat
bahkan sampai kepada pemasungan
otonomi keilmuan, dimana guru, siswa,
dan pengelola pendidikan tak lebih hanya
sebagai pelaksana instruksi, penyampaian
materi tanpa merespon apakah sudah
efektif atau belum. Sehingga proses
belajar mengajar berjalan layaknya
sistem organisasi yang oleh Freire
menyebutnya dengan istilah “Banking
System atau gaya bank dimana guru
berfungsi sebagai penabung sedangkan
siswa sebagai celengan” (Samani, 1999:
1). Atau dengan kata lain hubungan guru
siswa, antar siswa, dan antar guru
menjadi formalitas dan mekanistis
sehingga banyak sekolah dan lembaga
pendidikan telah kehilangan rohnya.
Padahal sekolah bukanlah sebuah
lembaga yang hanya bertugas sebagai
tempat bongkar pasang ilmu pe-
ngetahuan.
Pengelolaan pendidikan yang me-
ngabaikan faktor heterogenitas dalam
masyarakat berdampak pada peluang ter-
jadinya “kebocoran dana, berbelitnya
birokrasi, dan membutuhkan organisasi
besar padahal untuk merespon dinamika
masyarakat yang berkembang cepat yang
sering tidak dapat diprediksi membutuh-
kan kepada unit-unit organisasi yang
lebih kecil” (Bafadhal, 2004 : 67). Di
antara unit-unit organisasi yang lebih
kecil tersebut adalah sekolah, ia dipahami
sebagai unit layanan bukan kepanjangan
tangan dari birokrasi pemerintah.
Otonomi pengelolaan pendidikan
juga sudah berlaku di Kabupaten Pidie,
salah satu kabupaten di Provinsi Aceh.
Khusus pendidikan tingkat dasar,
otonomi pengelolaan pendidikan di
kabupaten Pidie diharapkan dapat
mewujudkan fungsi pendidikan dan
fungsi kemasyarakatan yang senantiasa
saling berhubungan sesuai dengan
konteks masyarakat dan daerah tersebut.
Sehingga tujuan utama pengelolaan
pendidikan di Kabupaten Pidie dapat
terwujud.
Untuk mewujudkan fungsi
pendidikan dan fungsi kemasyarakatan
tersebut harus memperhatikan berbagai
kelebihan dan kekurangan yang terkait
dengan masalah pendidikan agar mencari
solusi terbaik untuk memecahkan
masalah tersebut. Solusi tersebut dengan
cara melakukan Asesmen kebutuhan
5
6
yang terkait dengan otonomi daerah
bidang pendidikan.
Asesmen adalah identifikasi, pe-
ngumpulan informasi, analisis informasi,
menetapkan prioritas dan skala prioritas
tentang kebutuhan, baik kebutuhan
sekarang maupun kebutuhan yang
seharusnya. Sedangkan kebutuhan
adalah kesenjangan antara kebutuhan
yang seharusnya (What should be) dan
kebutuhan sekarang yang sudah tersedia
(what is) (Sarojo, 1998 : 7).
Asesmen ini perlu dilakukan karena
keberhasilan otonomi pengelolaan
pendidikan dasar di Kabupaten Pidie
ditentukan oleh berbagai hal yang terkait
dengan prestasi belajar siswa, struktur
organisasi sekolah, potensi sumber daya
manusia, kebutuhan dana, kebutuhan
sarana dan prasarana, infrastruktur, peran
penting penyandang dana (stake holders),
faktor pendukung dan faktor penghambat.
Mengapa Kabupaten Pidie dipilih
menjadi lokasi asesmen, karena daerah
ini memiliki keunikan dan kelebihan
dibandingkan dengan daerah lain di
Provinsi Aceh Keunikan dan kelebihan
tersebut setidaknya tergambar dalam
beberapa aspek antara lain dari jumlah
penduduknya 462.850 jiwa, terdapat
108.155 jiwa atau 23,3 % tercatat sebagai
siswa yang sedang menyelesaikan pen-
didikan dasarnya.
Di samping sejumlah lembaga
pendidikan formal lainnya, di Kabupaten
Pidie juga terdapat 95 unit madrasah
diniyah dengan jumlah santri 9.068
orang. Kemudian daerah ini juga
memiliki dayah (pondok pesantern
tradisional/salafiyah) yang tergolong
banyak yaitu 188 unit, dengan jumlah
santri yang menetap dan tidak menetap
sejumlah 47.313 orang.
Dengan banyak dan bervariasinya
lembaga kabupaten di Pidie sebagaimana
gambaran di atas, di samping akan
memperkaya khazanah pendidikan,
sekaligus menjadi kendala pelaksanaan
otonomi pengelolaan pendidikan.
Disebutkan kendala, karena stuktur
organisasi sekolah yang tidak efektif,
kurangnya guru, terbatasnya sarana dan
prasarana, rendahnya prestasi siswa,
apalagi banyaknya sekolah yang terbakar,
maka semakin kompleks pula per-
masalahan-permasalahan yang dihadapi.
Untuk itu dalam upaya mencapai target
pendidikan dipandang perlu dan
mendesak untuk diadakan penelitian.
Penelitian dimaksud adalah melalui
asesmen yang terkait dengan otonomi
daerah bidang pendidikan.
Sementara itu menurut Undang-
undang Nomor 22 tahun 1999, pasal 11,
ayat (2) dinyatakan bahwa otonomi
pendidikan termasuk bidang yang wajib 6
7
dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota.
Sedangkan Undang-undang yang sama
bab XV, pasal 125 ayat (2) dinyatakan
bahwa selambat-lambatnya dua tahun
setelah tanggal berlakunya (2 Mei tahun
2001), otonomi terebut harus sudah
dilaksanakan, sehingga konsekuwensinya
dalam waktu yang mendesak kontrol
pendidikan berpindah dari pusat ke
kabupaten (Pidie). Sesuai dengan latar
belakang, pertimbangan dan landasan
pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian tentang Asesmen Kebutuhan
Pendidikan Dasar Era Otonomi Daerah di
Kbupaten Pidie.
I. LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Kebijakan Pendidikan
Kebijakan adalah aturan tertulis
yang merupakan keputusan formal
organisasi, yang bersifat mengikat, yang
mengatur prilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam
masyarakat. Kebijakan akan menjadi
rujukan utama para anggota organisasi
atau anggota masyarakat dalam
berprilaku (Dunn, 2003). Kebijakan pada
umumnya bersifat problem solving dan
proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law)
dan Peraturan (Regulation), kebijakan
lebih adaptif dan interpratatif, meskipun
kebijakan juga mengatur “apa yang
boleh, dan apa yang tidak boleh”.
Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat
umum tetapi tanpa menghilangkan ciri
lokal yang spesifik. Kebijakan harus
memberi peluang diinterpretasikan sesuai
kondisi spesifik yang ada.
Sehubungan dengan Kebijakan
(policy) secara etimologi (asal kata)
diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu
“Polis” yang artinya kota (city). Dalam
hal ini, kebijakan berkenaan dengan
gagasan pengaturan organisasi dan me-
rupakan pola formal yang sama-sama
diterima pemerintah/lembaga sehingga
dengan hal itu mereka berusaha mengejar
tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin,
2008:75). Selanjutnya Abidin (2006:17)
menjelaskan kebijakan adalah keputusan
pemerintah yang bersifat umum dan ber-
laku untuk seluruh anggota masyarakat.
Masih banyak kesalahan pe-
mahaman maupun kesalahan konsepsi
tentang kebijakan. Beberapa orang me-
nyebut policy dalam sebutan ke-
bijaksanaan, yang maknanya sangat ber-
beda dengan kebijakan. Istilah ke-
bijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki
oleh seseorang, sedangkan kebijakan
adalah aturan tertulis hasil keputusan
formal organisasi. Contoh kebijakan
adalah: (1) Undang-Undang, (2)
Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4)
Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan
Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. 7
8
Setiap kebijakan yang dicontohkan di sini
adalah bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan oleh objek kebijakan.
Contoh ini juga memberi pengetahuan
pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan
dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
Imron, (1995: 45) Analisis
Kebijakan Pendidikan menjelaskan
bahwa kebijakan pendidikan adalah salah
satu kebijakan Negara. Selanjutnya
Carter V Good (1959) memberikan pe-
ngertian kebijakan pendidikan
(educational policy) sebagai suatu per-
timbangan yang didasarkan atas system
nilai dan beberapa penilaian atas factor-
faktor yang bersifat situasional, per-
timbangan tersebut dijadikan sebagai
dasar untuk mengopersikan pendidikan
yang bersifat melembaga. Pertimbangan
tersebut merupakan perencanaan yang
dijadikan sebagai pedoman untuk
mengambil keputusan, agar tujuan yang
bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat
hubungannya dengan kebijakan yang ada
dalam lingkup kebijakan publik, misalnya
kebijakan ekonomi, politik, luar negeri,
keagamaan dan lain-lain. Konsekuensi-
nya kebijakan pendidikan di Indonesia
tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada
perubahan kebijakan publik maka
kebijakan pendidikan bisa berubah.
Ketika kebijakan politik dalam dan
luar negeri, kebijakan pendidikan biasa-
nya akan mengikuti alur kebijakan yang
lebih luas. Bahkan pergantian menteri
dapat pula mengganti kebijakan yang
telah mapan pada jamannya. Bukan hal
yang aneh,ganti menteri berganti
kebijakan. Masih ingat dibenak kita ada
pelajaran PSPB yang secara prinsipil
tidak jauh berbeda dengan IPS sejarah
dan lucunya materi itu pun di pelajari di
PMP (sekarang PKN/PPKN).
B. Proses Kebijaksanaan
Kebijaksanaan dalam menentukan
perubahan, pengembangan, atau
restrukturisasi organisasi adalah
terlaksananya kebijakan organisasi
sehingga dapat dirasakan bahwa
kebijaksanaan tersebut benar-benar
berfungsi dengan baik. Hakikat
kebijaksanaan ialah berupa keputusan
yang substansinya adalah tujuan, prinsip
dan aturan-aturan. Format kebijaksanaan
biasanya dicatat dan dituliskan sebagai
pedoman oleh pimpinan, staf, dan
personel organisasi, serta interaksinya
dengan lingkungan eksternal.
Kebijaksanaan diperoleh melalui
suatu proses pembuatan kebijakan.
Pembuatan kebijakan (policy making)
adalah terlihat sebagai sejumlah proses
dari semua bagian dan berhubungan 8
9
kepada sistem sosial dalam membuat
sasaran sistem. Proses pembuatan
keputusan memperhatikan faktor
lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran),
dan feedback (umpan balik) dari
lingkungan kepada pembuat kebijakan.
Berkaitan dengan masalah ini, kebijakan
dipandang sebagai: (1) pedoman untuk
bertindak, (2) pembatas prilaku, dan (3)
bantuan bagi pengambil keputusan
(Pongtuluran, 1995:7).
Berdasarkan penegasan di atas
dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan
dibuat untuk menjadi petunjuk dan
pedoman dalam melaksanakan program
kegiatan yang sifatnya khusus, untuk
melakukan tindakan tersebut perlu
mengarahkan visi organisasi untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, kebijakan merupakan
pedoman umum untuk bertindak bagi
pengambilan keputusan pada semua
jenjang organisasi.
C. Otonomi Daerah
Masalah otonomi daerah menjadi
topik pembahasan penting akhir-akhir ini.
Hal itu bukan hanya karena otonomi
daerah itu merupakan isu politik dan
sistem pemerintahan, tetapi merupakan
isu kebijaksanaan pembangunan di segala
bidang, termasuk bidang pendidikan.
Perubahan penataan manajemen pe-
merintahan tentu berakibat pula pada
penataan manajemen pendidikan. Dasar
perubahannya adalah diberlakukan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.
Sehubungan dengan itu perlu
dipaparkan dampak pemberlakuan UU
tersebut yang meliputi Otonomi Daerah
Otonomi pengelolaan pendidikan,
Pendidikan Dasar, Peran Sumber Daya
dalam Otonomi Daerah Beberapa
perubahan dan hambatan terhadap
perubahan dan Asesmen kebutuhan.
Otonomi Daerah merupakan daerah
otonom yang diberi wewenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri,
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan perundang-undangan. Ia
merupakan proses ketika tingkat-tingkat
hierarki di bawahnya diberi wewenang
oleh badan yang lebih tinggi untuk
mengambil keputusan tentang
penggunaan sumber daya organisasi.
Berdasaran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1999 wewenang dimaksud mencakup
semua bidang pemerintahan yakni
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan
dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan penanaman
modal, lingkungan hidup, pertanahan, 9
10
koperasi serta tenaga kerja. Sedangkan
dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan,
moneter dan Fiskal, agama dan
perencanaan nasional serta pengendalian
nasional secara makro tetap bersifat
sentralistik.
D. Asesmen Kebutuhan Pendidikan
Dasar
Asesmen adalah identifikasi,
pengumpulan informasi, analisis
informasi, menetapkan prioritas dan skala
prioritas tentang kebutuhan yang
seharusnya. Sedangkan kebutuhan adalah
kesenjangan antara kebutuhan yang
seharusnya (What should be) dan
kebutuhan sekarang yang sudah tersedia
(What is).
Secara umum, assesmen secara
lughawi berarti proses penilaian untuk
kepentingan perpajakan (Good, 1959 :
42). Menurut Hargrove dan Poteet dalam
(Abdurrahman, 1999 : 46) bahwa :
assesmen merupakan salah satu dari tiga
aktivitas evaluasi pendidikan, meliputi:
diagnostik dan preskriptif.” Assesmen
dilakukan untuk menegakkan diagnosis
dan berdasarkan diagnosis tersebut
dibuatlah preskripsi. Preskripsi ini dalam
bentuk aktualnya merupakan program
pendidikan yang diindividualkan. Be-
berapa langkah dalam pelaksanaan
assesmen yang dianggap penting adalah:
pertama: mengidentifikasi kriteria objek
yang diasses kedua: mengembangkan
prosedur ketiga: mengidentifikasi
informasi-informasi yang relevan
keempat: mengembangkan skala prioritas
kelima: menentukan arah dan kegunaan
keenam: mengevaluasi dalam bentuk
memonitor ketujuh: mengembangkan
penggunaan prosedur kedelapan: meng-
gunakan pendekatan kesembilan: me-
ngembangkan peran kesepuluh: meng-
gunakan data untuk keperluan assesmen.
Laughlin (1998: 4) lebih jauh
menjelaskan rangkaian kegiatan asesmen
yang bermula dari proses identifikasi
selanjutnya menyusun program sesuai
dengan alokasi sumber dana.
Kebutuhan yang dimaksud di sini
adalah kesenjangan antara ke-
butuhan, mengumpulkan data ke-
butuhan, menyusun prioritas ke-
butuhan dan kebutuhan yang se-
harusnya (what should be) dan ke-
butuhan yang sudah ada (what is)
atau kesenjangan (discrepancy)
antara kondisi yang ada dengan
kondisi yang diinginkan. Need
assessment ini dapat diterapkan
pada individu, kelompok, ataupun
lembaga (institusi).
10
11
Ada dua hal yang dapat dihubungan
dengan kesenjangan dua kebutuhan
dimaksud, yaitu: Ukuran objektif yang
membandingkan antara tingkat pe-
nampilan hasil pengukuran dengan
tingkat penampilan yang dipertimbang-
kan untuk diterima.
Perbedaan antara kedua ukuran
tersebut tidak nampak tegas dan memang
sukar sekali ditarik garis pemisah antara
keduanya. Ukuran objektif dalam need
assessment biasanya melalui langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi wilayah tujuan yang
dipandang penting dalam system
pendidikan (sekolah, kelas, program
latihan dan lain-lain).
2. Memilih atau menentukan ukuran
atau indikator untuk wilayah tujuan
tersebut.
3. Menentukan tingkat ukuran
4. Mengadministrasikan pengukuran
5. Membandingkan tingkat yang di-
peroleh dengan tingkat yang diterima
sebagai ketentuan. (Laughlin, 1998:
47).
Apabila ada kesenjangan antara
tingkat yang diperoleh dan pengukuran
dengan ukuran yang diterima sebagai
ketentuan, maka terlihat adanya
kebutuhan.
Ukuran subjektif dalam need
assessment biasanya berisi sejumlah
langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi tujuan yang
dipandang penting dalam sistem
pendidikan.
2. Mempertimbangkan pilihan: me-
milih atau mengembangkan
ukuran untuk wilayah tujuan dan
mengadministrasikannya.
Langkah ini berguna untuk
mempertimbangkan pilihan ke-
butuhan.
3. Menyusun rating scale untuk
mempertimbangkan tingkatan pe-
nampilan yang ada dari setiap
tujuan yang ditentukan. Langkah-
langkah ini dapat dilakukan
dengan:
a. Memberikan nomor urutan
untuk setiap wilayah tujuan
yang menunjuk pada urutan
keperluan.
b. Memberikan nilai secara
terpisah untuk setiap wilayah
tujuan.
Jika langkah ke-2 pada waktu
penentuan ukuran sudah
dilanjutkan sampai penerapannya
untuk memberikankan penilaian
terhadap masing-masing wilayah
tujuan maka pada langkah ke-3 ini
11
12
tinggal menentukan pertimbangan
saja.
4. Memperoleh hasil akhir dari
urutan ranking setiap tujuan atau
mengambil rata-rata nilai untuk
masing-masing tujuan tersebut.
Dengan demikian dapatlah di-
pahami bahwa assesment kebutuhan
merupakan usaha yang sangat penting
dilakukan sebagai upaya mencoba
menganalisis persoalan-persoalan yang
melingkupi dunia pendidikan sejak dari
proses pendidikan itu bermula serta
faktor apa saja yang sangat berperan
dalam rangka meningkatkan mutu pen-
didikan yang sudah begitu lama terpuruk
di negeri tercinta ini, melalui aktivitas ini
pula akhirnya dapat ditentukan langkah-
langkah apa yang perlu diambil oleh
Pemerintah Daerah dalam upaya
mendongkrak mutu pendidikan, terutama
pada sekolah dasar keagamaan (madrasah
dasar) yang sampai kini belum termasuk
dalam kebijakan desentralisasi.
E. Pengelolaan Pendidikan Dasar
Menurut Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional, bahwa
pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan Dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta sekolah
menengah pertama (SMP) dan madrasah
tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang
sederajat.
Penjelasan yang sama terdapat di
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 1990 tentang pemerintahan daerah
disebutkan bahwa pendidikan dasar
merupakan pendidikan sembilan tahun,
terdiri atas program pendidikan enam
tahun di sekolah dasar dan program
pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan
tingkat pertama (SLTP), dengan
demikian sekolah dasar merupakan salah
satu bentuk satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar, begitu juga
dengan sekolah lanjutan pertama atau
madrasah tsanawiyah.
Pendidikan dasar diselenggarakan
untuk mengembangkan sikap dan
kemampuan serta memberikan
pengetahuan dan ketrampilan dasar yang
diperlukan untuk hidup dalam
masyarakat serta mempersiapkan peserta
didik yang memenuhi persyaratan untuk
mengikuti pendidikan menengah.
Pendidikan dimaksud
diselenggarakan dengan memberikan
pendidikan yang meliputi antara lain
penumbuhan keimanan dan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, pem-
12
13
bangunan watak dan kepribadian serta
ketrampilan dasar.
Hakikat daripada pendidikan dasar
adalah memberikan kesanggupan kepada
peserta didik bagi perkembangan ke-
hidupannya, baik untuk pribadi maupun
untuk masyarakat, karena itu setiap
warga negara harus diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memperoleh pendidikan dasar.
Program pendidikan dasar itu dapat
diberikan melalui pendidikan di sekolah
termasuk yang merupakan pendidikan
diluar sekolah. Menurut Sidi (1999: 69-
70), sebagai pribadi, pengembangan
kehidupan peserta didik sekurang-
kurangnya mencakup upaya untuk:
1. Memperkuat dasar keimanan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
2. Membiasakan diri siswa untuk
berprilaku baik
3. Memberikan pengetahuan dan
ketrampilan dasar
4. Memelihara kesehatan jasmani dan
rohani
5. Memberikan kemampuan untuk
belajar, dan
6. Membentuk kepribadian yang mantap
dan mandiri.
Pengembangan kehidupan peserta
didik sebagai anggota masyarakat se-
kurang-kurangnya mencakup upaya
untuk:
1. Memperkuat kesadaran hidup
beragama dalam masyarakat
2. Menumbuhkan rasa tanggung jawab
dalam lingkugan hidup, dan
3. Memberikan pengetahuan dan
ketrampilan dasar yang diperlukan
untuk berperan serta dalam kehidupan
bermasyarakat.
Pengembangan kehidupan peserta
didik sebagai warga negara sekurang-
kurangnya mencakup upaya untuk:
Mengembangkan perhatian dan
pengetahuan tentang hak dan kewajiban
sebagai warga Negara Republik
Indonesia, menanamkan rasa ikut
bertanggung jawab terhadap kemajuan
bangsa dan negara dan memberikan
pengetahuan dan ketrampilan dasar yang
diperlukan untuk berperan serta dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengembangan kehidupan peserta
didik sebagai anggota umat manusia
mencakup upaya untuk:
1. Meningkatkan harga diri sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat
2. Memberikan pengertian tentang
pentingnya ketertiban dunia ; dan
3. Meningkatkan kesadaran tentang
pentingnya persahabatan antar
bangsa.
13
14
Oleh karena itu menitik beratkan
perhatian pada pendidikan dasar me-
rupakan hal yang semestinya, dan setiap
warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun wajib mengikuti
pendidikan dasar. Begitu juga orang tua
dari anak usia wajib belajar berkewajiban
memberikan pendidikan dasar bagi
anaknya. Hal ini disebabkan pendidikan
dasar merupakan basis dari pembangunan
manusia, karena itu merupakan suatu
yang mutlak apabila pengelolaannya
menjadi tanggungjawab dari masyarakat
di daerah dan bukan menjadi tanggung
jawab birokrasi yang ada di daerah.
Keberhasilan seorang anak didik
mengikuti pendidikan di sekolah
menengah dan perguruan tinggi sangat
ditentukan oleh keberhasilannya dalam
mengikuti pendidikan di sekolah dasar.
Adapun bentuk satuan pendidikan
dasar yang menyelenggarakan pen-
didikan program enam tahun terdiri
atas :Sekolah dasar (SD), dan Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB)
Sedangkan satuan pendidikan dasar
yang menyelenggarakan pendidikan
program tiga tahun terdiri atas:
1. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dan
2. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Luar Biasa (SLTPLB).
Sementara itu sekolah dasar dan
sekolah lanjutan tingkat pertama yang
berciri khas Agama Islam yang di-
selenggarakan oleh Departemen Agama
masing-masing disebut Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
E. Peran Sumber Daya dalam Otonomi
Pengelolaan Pendidikan
Salah satu unsur penting dalam
otonomi pengelolaan pendidikan adalah
pemberdayaan daerah dalam berbagai
sektor yang bermuara pada peningkatan
mutu pendidikan. Otonomi diberikan agar
sekolah dapat leluasa mengelola sumber
daya dengan mengalokasikannya sesuai
prioritas kebutuhan serta tanggap ter-
hadap kebutuhan masyarakat setempat.
rtinya setiap daerah bertanggung jawab
langsung terhadap pengembangan mutu
sumber daya manusia yang ada di
daerahnya.
Ada beberapa sumber daya yang
langsung berhubungan dengan sasaran
yang ingin dicapai dan ini seringkali
diabaikan oleh institusi yang bertugas
mengurus atau mengelola pendidikan
yaitu sumber daya manusia, sumber daya
keuangan dan sumber daya alam
kabupaten/kota tempat dimana pe-
limpahan wewenang mengelola pen-
didikan sebagaimana diatur oleh
14
15
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 22 Tahun 1999.
II. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hal ini mengacu pada rumusan masalah
penelitian yang mengharuskan peneliti
melaksanakan eksplorasi dalam
memahami dan menjelaskan fokus
masalah yang diteliti yaitu masalah
asesmen kebutuhan otonomi daerah
bidang pendidikan dasar di kabupaten
Pidie
Penelitian ini dilaksanakan di
lembaga pendidikan tingkat dasar baik
sekolah umum maupun madrasah di
Kabupaten Pidie. Lembaga pendidikan di
wilayah Barat terdiri dari MIN Kota
Sigli, SD Percontohan dan SMPN 4 Sigli,
MtsN I Sigli dan SMPN I Sigli. Untuk
wilayah tengah masing–masing di-
observasi MIN Beureunuen, MTsN, SD
Mutiara dan SMPN 1 Mutiara.
Penentuan lokasi menempuh model
areal random sampling karena secara
geogarfis keberadaan sekolah berbeda-
beda tempatnya. Seperti daerah Pidie
bagian tengah dengan variasi dua
kecamatan yang berada di daerah
pegunungan yaitu Kecamatan Tangse dan
Kecamatan Geumpang serta daerah Pidie
sebelah Barat. Sementara penggunaan
random dipergunakan karena setiap
populasi sekolah terletak dalam satu area
yang dianggap homogen.
Penelitian ini berlangsung selama
enam minggu yang dimulai sejak 15
Februari 2010 sampai dengan 30 Maret
2010. Penelitian ini memusatkan
perhatian untuk mengidentifikasi
kebutuhan primer yang terdiri dari,
kebutuhan kedisiplinan siswa, dan
kebutuhan kesejahteraan siswa serta
mengidentifikasi kebutuhan sekunder
meliputi: kebutuhan struktur organisasi,
kebutuhan sumber daya manusia, dana,
sarana, prasarana, infrastruktur sekolah
dan faktor-faktor menghambat otonomi
daerah bidang pendidikan dasar di
Kabupaten Pidie. Tentu saja tal bisa
diabaikan adalah mengungkap cara
menentukan prioritas dan skala prioritas
kebutuhan.
Dengan demikian, subjek utama
sebagai sumber data adalah Kepala dinas
Pendidikan, Kepala Bidang Pendidikan
Dasar, Kepala Bidang Pendidikan
lanjutan dan menengah pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Pidie dan Kepala
Kantor Kementrian Agama, Kepala Seksi
Mapenda serta kepala sekolah dan kepala
madrasah, guru, ketua komite madrasah
dan sekolah, sejumlah siswa dari
Madrasah Ibtidaiyah Negeri, Sekolah
Dasar Negeri dan Sekolah Lanjutan 15
16
Tingkat Pertama, baik SMP maupun
MTS Negeri. Untuk memperlengkapi
data diperoleh dari pejabat eselon II, III
dan IV yang terkait pengelolaan
pendidikan di lingkungan Dinas
Pendidikan Nasional dan Departemen
Agama Kabupaten Pidie.
Dengan demikian penetapan subjek
penelitian dilakukan dengan teknik
purposive sampling, yaitu didasarkan
pada pertimbangan tertentu (Patton dalam
Luth, 1998: 82). Pertimbangan yang
dipilih adalah “mereka yang dianggap
mampu memberikan informasi seluas
mungkin mengenai fenomena yang
terjadi sesuai masalah peneitian.”
(Moleong, 1993:165-166). Teknik ter-
sebut digunakan untuk menentukan
subjek dari tenaga-tenaga kependidikan
di lapangan sebanyak yang dibutuhkan.
Perlu dijelaskan bahwa dalam
penelitian dengan pendekatan kualitatif,
jumlah narasumber dan informan tidak
bisa ditetapkan sebelumnya, hal itu
sangat tergantung kepada kondisi
lapangan serta volume dan jenis data
yang dibutuhkan. Identitas subjek
penelitian baru dapat terungkap pasca
pelaksanaan pengumpulan data.
Seperti sudah disebutkan bahwa
dalam penelitian ini, peneliti berfungsi
sebagai instrumen penelitian. Nasution
(1992:9) menyatakan bahwa peneliti
adalah “key instrument” atau alat
penelitian utama. Ia yang mengadakan
sendiri pengamatan atau wawancara tak
terstruktur. Di sini tidak digunakan
instrumen lain seperti tes atau angket
yang lazim digunakan dalam penelitian
kuantitatif.
Selaku instrumen, peneliti dapat
memaknai interaksi antar manusia,
membaca gerak muka, menyelami
perasaan, dan nilai yang terkandung
dalam ucapan atau perbuatan subjek
berdasarkan pandangan subjek yang
diteliti tersebut.. Walaupun digunakan
alat perekam atau kamera, peneliti tetap
memegang peranan utama sebagai
instrumen penelitian. Dalam konteks ini,
pengumpulan data dan informasi
dilakukan melalui kontak langsung
dengan subjek dengan cara mendeskripsi-
kan upaya-upaya yang dilakukan dalam
aktivitas asesmen.
Meskipun instrumen penelitian di
lapangan adalah diri peneliti sendiri,
namun teknik –teknik pengumpulan data
tetap harus terjaga validitas reabilitasnya.
Atas dasar itu proses penelitian tetap
mengggunakan interview guide dalam
bentuk item-item permasalahan yangh
digali (free and depth interview).
Teknik peliputan data di atas
didukung pula dengan teknik Personal
Appraisal System (PAS) yang meng-16
17
gunakan format-format instrumen
checklist yang dikerjakan pada saat
onservasi lapangan. Teknik PAS ini me-
rupakan satu model identifikasi terhadap
kinerja tenaga kependidikan yang
dikembangkan Castater (1986: 343).
Model ini khusus dipakai untuk
mengidentifikasi pola kebutuhan guru,
siswa dan sekolah pada umumnya dalam
pelaksanaan proses kegiatan yang mereka
lakukan selama ini.
Adapun teknik wawancara dilancar-
kan terhadap guru-guru, kepala sekolah,
siswa dan pejabat-pejabat teknis ke-
pendidikan dengan teknik free and depth
interview, dalam arti menggunakan poin-
poin permasalahan sebagai interview
guide, agar terbuka peluang seluas-
luasnya untuk menggali jawaban dari
subjek.
Tahap pengumpulan data didahului
dengan tahap ujicoba instrumen, guna
mendapatkan validitas dan reliabilitas
menyempurnakan alat pengumpulan data
Untuk melengkapi data penelitian ini,
dihimpun data sekunder dengan me-
nelusuri catatan tertulis, dokumen, dan
arsip-arsip, yang diperoleh dari kantor
sekolah/madrasah, Dinas Pendidikan dan
Kantor Departemen Agama Kabupaten
Pidie.
Data yang terkumpul melalui
observasi, wawancara dan studi
dokumentasi diolah dengan pola analisis
kualitatif, proses mengorganisasi dan
mengurutkan data dalam pola, kategori
dan satuan uraian dasar, sehingga di-
rumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data. Berikut ini akan
dijelaskan tahapan dalam mengolah dan
menginterpretasikan data, dilakukan
melalui tiga tahap yaitu: Tahap reduksi,
tahap ini hal yang dilakukan adalah
menelaah seluruh data yang telah
terhimpun dari lapangan, sehingga dapat
ditemukan hal-hal pokok dari obyek yang
diteliti. Kegiatan ini dilakukan untuk
mengumpulkan data atau informasi dari
catatan dari hasil wawancara, observasi
dan studi dokumentasi untuk mencari inti
atau pokok-pokok yang dianggap penting
dari setiap aspek yang diteliti.Tahap
display Tahap ini dilakukan adalah untuk
merangkul data temuan dalam penelitian
ini yang disusun secara sistematis untuk
mengetahui tentang pola asesmen
penyelenggaraan pendidikan pada
sekolah/madrasah yang diteliti, sehingga
melalui display data, dapat memudahkan
bagi peneliti untuk menginterprestasi
terhadap data yang terkumpul. Dilanjut-
kan dengan tahap verifikasi. Tahap ini
dilakukan untuk mengadakan pengkajian
terhadap kesimpulan yang telah diambil
dengan data pembanding dari teori yang
relevan. Pengujian ini dimaksudkan 17
18
untuk melihat kebenaran hasil analisa,
sehingga melahirkan kesimpulan yang
dapat dipercaya.
III. HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Kabupaten Pidie yang secara
geografis luasnya 4.160.55 Km2 bila
ditinjau dari sudut perkembangan pen-
didikan dasarnya secara keseluruhan pada
23 Kecamatan setelah pemekaran dengan
Kabupaten Pidie Jaya memiliki sekolah
dasar negeri (SDN) sejumlah 276 unit
dan sekolah dasar swasta 2 unit. Adapun
jumlah SMP Negeri berjumlah 49 unit,
ditambah SMP swasta sebanyak 4 unit.
(Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie,
Rangkuman Data Pendidikan Kabupaten
Pidie tahun 2010/2011).
Ditinjau dari ruang belajarnya baik
yang layak pakai, rusak ringan dan rusak
berat terdapat 1.668 ruang kelas.
Sementara jumlah siswa sebanyak 39.078
orang baik perempuan dan laki-laki.
Pada 278 unit sekolah dasar
negeri dan swasta tersebut dipimpin oleh
sejumlah 278 kepala sekolah dengan
kualifikasi ijazah 15 orang setingkat
SLTA, 3 orang D1, 115 orang D2, 4
orang Sarjana Muda, sisanya sebanyak
140 orang S1 (Sarjana Lengkap). pada
278 unit sekolah tersebut bernaung
sejumlah 3.947 guru dengan perincian
829 orang atau 21 persen laki-laki dan
3.118 atau 79 persen perempuan.
Untuk tingkat SLTP negeri dan
swasta yang jumlahnya 53 unit terdiri
dari 49 unit Negeri dan 4 unit swasta,
dengan perincian sebagaimana tersebut di
atas terdapat 750 ruang kelas dengan
rincian 456 baik, 229 rusak ringan dan 65
rusak berat, dan menampung sejumlah
15.620 Siswa dengan perincian 8.089
siswa laki-laki dan 7.531 siswi, se-
dangkan guru yang ada pada 53 unit
sekolah menengah pertama baik negeri
maupun swasta tersebut berjumlah 1.750
orang, dengan perincian 570 atau 32,6
persen laki-laki dan 1.180 orang atau
67,4 persen perempuan, maka dengan
demikian baik di sekolah dasar maupun
sekolah lanjutan tingkat pertama di
dominasi oleh guru wanita dengan
perimbangan 73,2 persen guru
perempuan dan 26,8 persen guru laki-
laki.
18
19
Adapun di lingkungan Kementrian
Agama jumlah madrasah ibtidaiyah
negeri sebanyak 76 Unit, ditambah 7 unit
madrasah ibtidaiyah swasta. Pada 83 unit
madrasah ibtidaiyah baik negeri maupun
swasta tersebut belajar sejumlah 16.597
siswa dengan perincian 2.645 orang
dengan usia di bawah 6 tahun, 12.303
orang siswi usia 7 sampai dengan 12
tahun dan sisanya 213 orang berusia di
atas 13 tahun, adapun guru yang bertugas
pada 83 madrasah tersebut sebanyak
1.503 orang guru dengan perincian 345
orang atau 23 persen laki-laki dan 1.158
orang atau 77 persen perempuan.
Untuk tingkat Madrasah
Tsanawiyah berjumlah 35 unit dengan
perincian 16 unit negeri dan 19 unit
swasta. Pada 35 unit Madrasah
Tsanawiyah belajar sejumlah 10.269
siswa dengan perincian 4.056 orang
siswa laki-laki atau 39 persen dan 6.213
orang siswi perempuan atau 61 persen,
sedangkan guru yang bertugas pada 35
unit Madrasah Tsanawiyah tersebut
berjumlah 1.052 orang, dengan perincian
351 orang atau 33 persen laki-laki
sedangkan sisanya 701 orang atau 67
persen perempuan.
Secara keseluruhan di Kabupaten
Pidie terdapat sejumlah 361 unit Sekolah
Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, baik
negeri maupun swasta sedangkan untuk
tingkat SMP/MTS berjumlah 85 unit.
Pada dua tingkat tersebut, baik SD/MI
dan SMP/MTS atau yang dikenal dengan
wajib belajar pendidikan dasar
(wajardikdas), belajar sejumlah 79.482
orang siswa, atau 25,5 persen dari total
jumlah Penduduk Kabupaten Pidie yang
secara keseluruhan berjumlah 462.850
orang. Oleh karena itu maka anak usia
pendidikan dasar merupakan komunitas
masyarakat yang sangat strategis dan
menjadi sangat penting untuk dilakukan
penelitian.
Apa yang penulis temukan melalui
penelitian ini sesungguhnya merupakan
cermin dari sebuah penyelenggaraan
pendidikan yang sudah menyimpang dari
konsep desentralisasi pendidikan dan
konsep otonomi daerah. Kemungkinan
besar gejala-gejala semacam ini terjadi
juga di wilayah-wilayah lain baik di
Provinsi Aceh maupun di luar Aceh.
Dalam sebuah situs pendidikan,
yaitu Pendidikan Net mengadakan
sebuah polling terhadap 614 responden
terhadap isu dan prioritas pendidikan,
dimana salah satu pertanyaannya adalah
apa hal yang paling penting sekarang ini?
Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah
pertama : 213 responden atau 34,69
persen adalah Mutu Pendidikan, kedua:
145 responden atau 23,62 persen Sistem
Pendidikan, ketiga: 126 responden atau 19
20
20,52 persen menjawab Kesejahteraan
Guru, keempat:71 responden atau 11,56
persen menjawab Biaya Pendidikan
sedangkan kelima: 44 responden atau
7,17 persen menjawab Memberantas
Korupsi
Dari hasil polling di atas dapat
dilihat bahwa salah satu persoalan utama
dalam system pengelolaan yang
sentralistik adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan
satuan pendidikan (khususnya pendidikan
dasar), walaupun berbagai upaya telah
pernah dilaksanakan seperti me-
nyelenggarakan berbagai pelatihan
pengembangan keilmuan guru, perbaikan
sarana dan prasarana, pengadaan alat
pengajaran, buku, brosur dan pe-
nyelenggaraan sistem ujian yang terpusat
semacam UN dan UASBN.
Akan tetapi sepertinya usaha
tersebut belum menunjukkan peningkatan
mutu lulusan yang berkualitas atau
dengan bahasa lain telah mengalami
kegagalan. Sebagai ilustrasinya adalah
perolehan NEM rata-rata SLTP se
Indonesia dengan kategari baik sekali
adalah 0,7 persen, baik 8,3 persen,
sedang 28,9 persen, kurang 45,5 persen
dan kurang sekali 16,5 persen.
Untuk konteks Kabupaten Pidie,
perolehan nilai rata-rata UAS sekolah
dasar dan madrasah ibtidaiyah tahun
2009/2010 dan 2010/2011 hanya
mengalami peningkatan sebesar 0,002
poin, atau dalam kesimpulan dari pada
korelasi product moment dari Pearson
dapat dianggap tidak ada peningkatan
(diabaikan), begitu juga untuk tingkat
sekolah lanjutan tingkat pertama dan
atau madrasah tsanawiyah pun hanya
mengalami peningkatan sebesar 0,0086
poin, juga peningkatan yang dapat
diabaikan.
Dalam proses belajar mengajar
terjadi kesenjangan disebabkan
banyaknya guru yang belum mampu
menunjukkan profesionalitasnya sesuai
dengan bidang keahlian atau ‘salah
kamar’ bahkan mismet , penggunaan
dana BOS yang begitu ketat,tingkat
pendistribusian guru yang belum
sepenuhnya sesuai harapan.
Demikian juga masih dijumpai
sejumlah 0,1 persen anak sekolah dasar
dan atau madrasah ibtidaiyah yang tidak
lulus ujian, sedangkan untuk tingkat
sekolah lanjutan tingkat pertama terdapat
sejumlah 0,9 persen yang tidak lulus
ujian serta pada madrasah tsanawiyah
terdapat sebesar 0,7 persen siswanya
yang tidak lulus ujian. Begitu pula masih
ditemukan siswa yang droup out
walaupun masih dalam katagori
persentase rendah yaitu 0,65 persen.
20
21
Menyangkut kesejahteraan siswa
secara berurutan dibutuhkan kepastian
bahwa anak didik mendapatkan layanan
kebersihan dan sanitasi lingkungan yang
bersih serta cukup sinar matahari,
pelayanan kesehatan yang prima,
lingkungan madrasah atau sekolah yang
sehat, adanya koperasi sekolah yang
memenuhi syarat.
Itu makanya, di kabupaten Pidie
belum ada satupun sekolah untuk tingkat
Pendidikan dasar yang dapat dijadikan
model bagi sekolah lain dalam hal
pelayanan kesehatan yang dilakukan
secara terlatih semisal kegiatan pramuka
sehingga secara kontinue Sekolah atau
Madrasah tersebut menjadi terbiasa
dengan model pelayanan kesehatan
sekolah.
IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Kebutuhan terhadap kesejahteraan
siswa seperti layanan kebersihan
dan sanitasi lingkungan, layanan
kesehatan,keberadaan koperasi
sekolah, musalla, pustaka dan
tempat olah raga belum mengalami
peningkatan, sedangkan pe-
ningkatan kesejahteraan siswa
sangat erat kaitannya dengan
kondisi di atas.
2. Salah satu kendala utama me-
nyangkut dengan kebutuhan sarana
dan prasarana yang selanjutnya
disebut kebutuhan sekunder adalah
belum maksimalnya persedian
sarana yang diikuti sesuai dengan
perkembangan zaman dan belum
jelasnya keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan pendidikan
secara resmi, padahal sesuai
dengan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 fungsi Community
Control dan Community
Participation merupakan hal yang
paling prinsipil dalam
desentralisasi pendidikan di
Kabupaten Pidie
3. Bentuk serta sistem organisasi
mempunyai peran yang sangat
dominan dalam mengorganisir
tupoksi masing-masing satker pada
pendidikan dasar, agar dalam
melaksanakan otonomi sekolah
dapat melakukan pengololaan
secara akuntable.
4. Ketersediaan tenaga pengajaran
dari segi jumlah sudah memadai,
akan tetapi dari segi kualitas,
profesionalitas berhubungan
dengan jenjang pendidikan serta
pelatihan yang pernah di diikuti-
masih belum memenuhi
persyaratan.21
22
5. Perioritas Pendidikan Dasar di
Kabupaten yang harus dibenahi
secara berturut-turut peningkatan
mutu, pembenahan sistem,
jaminan kesejahteraan guru dan
siswa serta penyediaan dana yang
cukup, karena semua unsur
tersebut bagian dari kebutuhan
otonomi pendidikan.
B. Rekomendasi
1. Pemerintah Daerah perlu mem-
berikan perhatian yang sungguh-
sungguh dengan menjadikan pem-
bangunan pendidikan pada
berbagai tingkat satuan,
khususnya pendidikan dasar
sebagai isu strategis dan menjadi
landasan pembangunan
Kabupaten Pidie ke depan
2. Menjadikan agenda utama
pemerintah daerah dalam
membangun sarana dan
prasarana pendidikan yang masih
mengalami kekurangan seperti
pustaka, laboratorium musalla,
serta merehabilitasi semua
sekolah yang mengalami
kerusakan berat.
3. Menstimulan angka partisipasi
guru dalam meningkatkan
profesionalitasnya sebagai se-
orang guru dengan memfasilitasi
melalui alokasi dana yang
signifikan dan terukur untuk ber-
bagai pelatihan peningkatan
kualitas personal guru dan mem-
berikan apresiasi yang sungguh-
sungguh terhadap guru yang
berprestasi.
4. Mengadakan asesmen menjelang
penerimaan guru untuk menutupi
kebutuhan Serta peningkatan
mutu pendidikan di Kabupaten
Pidie serta memperkecil angka
mistmatc dalam dunia pendidikan,
khususnya pendidikan dasar di
kabupaten Pidie.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan Publik. Jakarta. Suara Bebas
Azyumardi (2002), Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Rekontruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bafadal, Ibrahim (2003), Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Jakarta: Bumi Aksara.
Castater, William B., (1986). The Personal Function in Education Admi-nistration, 4th Edition, USA: Prentice Hall Corp.
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam (2003), Sistem Perencanaan, Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
22
23
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta. Gajah Mada University Press
Good, Carter V. (1959), Dictionary of Education, New York: Mc Graw Hill Book Company.
Greenberg dan Baron, RA, (1995), Behavior in Organization, London : Engle-wood Cliffs,N.J Pren-Hall, Inc.
Hamijoyo SS, (1998), Pola Otonomi Daerah yang efektif da Efesien untuk diimpli mentasikan dalam Bidang Pendidikan, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Formula Manajemen Pendidkan dalam Kerangka Otonomi Daerah Bidang Pendidikan pada tanggal 23 Agustus 1999, Malang: Universitas Negeri Malang.
Hamijoyo, SS. (1999), Pola Otonomi Daerah Yang Efektif Dan Efisien Untuk Diimple-mentasikan Dalam Bidang Pendidikan, Malang: Universitas Ne-geri Malang.
Idochi Anwar, Moch. (2003), Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan, Teori, Konsep dan Isu, Bandung: Alfabeta.
Loughlin, James A.MC dan Renal B Lewis {1986}, Assesing Special Student, Ohio: Charles Emarril Publishing Company.
Moleong, J. Lexi. (2003), Metodologi Penelitian Kuali- tatif, Bandung: Remaja Rodaskarya.
Murniati AR & Nasir Usman (2009), Implimentasi Manajemen Stratejik Dalam Pemberdayaan Sekolah Menengah Kejuruan, Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Naisbitt (1994), Global Paradox, Alih Bahasa oleh Budi Janto, Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Nasution, S. (1992), Metode Penelitian Naturalistik Kualita- tif, Bandung: Tarsito.
Pongtuluran, Aris. 1995. Kebijakan Organisasi dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Jakarta. LPMP.
Samani, A. (1999), School Based Manajemen: Strategi Pemberd- yaan Sekolah Dalam Kerangka Desentralisasi Pendidikan, Menuju Pendidikan Yang Berkualitas, Malang: Universitas Negeri Malang.
Sarojo, R.J. (1998), Asesmen Kebutuhan Pendidikan, Malang; IKIP Negeri Malang.
Siagian, Sondang P, (1998), Manajeman Stratejik, Jakarta: Bumi Aksara.
Sidi, Indra Jati (2001), Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Soetopo, H.(1999) Desentralisasin Manajemen Pendidikan Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Malang, Kalimasahada Press.
23