cutaneous larvae migrans

53
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian. Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan.

description

cutaneous larvae migrans

Transcript of cutaneous larvae migrans

BAB IPENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian.Salah satu jenis penyakit dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth (STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah. Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected diseases tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan kurang terpantau oleh petugas kesehatan. Penyakit kecacingan yang diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun 2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan tempat tinggalnya. Lima spesies cacing yang termasuk dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma sp).Cutaneous Larva Migrans (CLM) adalah penyakit infeksi kulit parasit yang merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang khususnya pada daerah tropik yang diakibatkan infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah. Awalnya ditemukan pada daerah daerah tropikal dan subtropikal beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah daerah tersebut. Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar, merupakan karakteristik utama dari CLM.Faktor resiko utama bagi penyakit ini adalah kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada orang dewasa, faktor resikonya adalah pada tukang kebun, petani, dan orang-orang dengan hobi atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir.Aktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah. Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah.Infeksi akibat cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan infestasi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan analisa keliru kearah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal. Penularan infeksi cacing tambang melalui hewan vektor (zoonosis) dengan gejala klinis berupa ground itch dan creeping eruption, Pneumonitis, abdominal discomfort, hipoproteinemia dan anemia defisiensi besi merupakan manifestasi infeksi antropofilik. Komponen sistim imun yang berperan utama ialah eosinofil, IgE, IgG4 dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan yang permanen dan adekuat terhadap infeksi cacing tambang. Diagnosis data epidemiologi berupa pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang termasuk pemeriksaan imunologis.Pengobatan dilakukan dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif terhadap cacing tambangsehingga perbaikan higiene dan sanitasi adalah hal yang utama. CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan beberapa penelitian yang ada terapi sistemik merupakan terapi yang terbaik karena tingkat keberhasilannya lebih baik daripada terapi topikal.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN

2.1. INFEKSI CACING TAMBANG2.1.1. DEFINISIInfeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma duodenale (A. duodenale) dan Necator americanus (N.americanus). Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum Nematoda. Selain kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum yang ditemukan pada berbagai jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif lebih ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva migrans. Terdapat juga infeksi Ancylostoma ceylanicum yang diduga menyebabkan enteritis eosinofilik pada manusia. Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia. Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah. Penyakit akibat cacing tambang lebih banyak didapatkan pada pria yang umumnya sebagai pekerja di keluarga. Hal ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih besar terhadap tanah terkontaminasi larva cacing. Sampai saat ini infeksi cacing tambang masih merupakan salah satu penyakit tropis terpenting. Penurunan produktifitas sebagai indikator beratnya gangguan penyakit ini. Dalam kondisi infeksi berat, infeksi cacing tambang ini dapat menempati posisi di atas tripanosomiasis, demam dengue, penyakit chagas, schisostomiasis dan lepra.

2.1.2 TAKSONOMICacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis.. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dari filum nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari kelas nematoda terdiri atas dua genus, yaitu genus Ancylostoma dan genus Necator. Dari genus Ancylostoma dapat ditemukan Ancylostoma duodenale, Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazilliensis dan Ancylostoma ceylanicum. Sedangkan dari genus Necator dapat ditemukan Necator americanus. Taksonomi cacing tambang secara lengkap diuraikan sebagai berikut.Sub Kingdom : MetazoaPhylum : NemathelminthesKelas : NematodaSub Kelas : PhasmidiaOrdo : RhabtidiaSuper Famili : StrongyloideaFamili : StrongyloidaeGenus : Ancylostoma, NecatorSpesies : Ancylostoma duodenale, Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazilliensis, Ancylostoma ceylanicum, Necator americanus

2.1.3 MORFOLOGI DAN SIKLUS HIDUP CACING TAMBANG2.1.3.1 Ancylostoma duodenale dan Necator americanusCacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke belakang. Cacing jantan lebih kecil dari cacing dewasa. Spesies cacing tambang dapat dibedakan terutama karena rongga mulutnya dan susunan rusuknya padabursa. Namun telur-telurnya tidak dapat dibedakan. Telur-telurnya berbentuk ovoid dengan kulit yang jernih dan berukuran 74 76 x 36 40 . Bila baru dikeluarkan di dalam usus telurnya mengandung satu sel tapi bila dikeluarkan bersama tinja sudah mengandung 4 8 sel, dan dalam beberapa jam tumbuh menjadi stadium morula dan kemudian menjadi larva rhabditiform (stadium pertama).Cacing tambang dewasa adalah nematoda yang kecil, seperti silindris. Bentuk kumparan (fusiform) dan berwarna pulih keabu - abuan. Cacing betina ( 9- 13x 0,35 - 0,6 mm) lebih besar daripada yang jantan (5 - 11 x 0,3 - 0,45 mm). A.duodenale lebih besar dari pada N. americanus. Cacing ini mempunyai kutikilum yang relative tebal. Pada ujung posterior terdapat bursa kopulatrik yang dipakai untuk memegang cacing betina selama kopulasi. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale mempunyai huruf C. Telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lainnya. Telur berbentuk lonjong atau ellips dengan ukuran sekitar 65x40 mikron. Telur yang tidak berwarna ini memiliki dinding tipis yang tembus sinar dan mengandung embrio dengan empat blastomer. Telur cacing tambang mempunyai ukuran 56-60 x 36-40 mikron berbentuk bulat lonjong, berdinding tipis. Didalamnya terdapat 1- 4 sel telur dalam sediaan tinja segar. Terdapat dua stadium larva, yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif danlarva filariform yang infektif. Larva rhabditiform bentuknya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, sedangkan larva filariform yang bentuknya langsing, panjangnya kira-kira 600 mikron.

Gambar Cacing Ancylostoma duodenale Dewasa

Gambar Cacing Necator americanus Dewasa

Telur-telur yang keluar bersama feses biasanya pada stadium awal pembelahan. Bentuknya lonjong dengan ujung bulat melebar dan berukuran kira-kira, panjang 60 m dan lebar 40 m. Ciri khasnya yaitu adanya ruang yang jernih diantara embrio dengan kulit telur yang tipis.

Gambar Telur Cacing TambangTelur dapat tetap hidup dan larva akan berkembang secara maksimum pada keadaan lembab, teduh dan tanah yang hangat, telur akan menetas 1-2 hari kemudian. Dalam 5-8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap hidup dalam tanah untuk beberapa minggu. Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat berlangsung dari 6-10 bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma duodenale tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru.

Patologi dan Gejala KlinisGejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung dari jumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena garukan. Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut sebagai ground itch. Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva tergantung dari pada jumlah larva yang ada. Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus yang berada dalam mulut cacing dewasa dan kehilangan darah langsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan terus-menerus di tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi antikoagulan oleh cacing.Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea, muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang keluar), lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada anak-anak dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian. Selama fase usus akut dapat dijumpai peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi dengan tanda pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar hemoglobin 5g/dL . Dapat dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.2.1.3.2 Strongyloides stercoralisManusia merupakan hospes utama cacing ini. Cacing ini dapat menyebabkan penyakit stongilodiasis. Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.Cacing betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenalum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm.

Cacing ini mempunyai tiga macam daur hidup :1. Siklus langsungSesudah 2 sampa 3 hari di tanah, larva rhabditiform yang berukuran kira-kira 225 x 16 mikron berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk yang infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk kedalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Setelah sampai di laring terjadi refleks batuk sehingga perasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi.2. Siklus tidak langsungPada siklus tidak langsung, larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform dan selama beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes baru atau larva rhabditiform dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup bebas parasit ini.3. AutoinfeksiLarva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di sekitar anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehinggabentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus, pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar dubur. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita.

Patologi dan Gejala KlinisBila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit akan timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Gejala lain adalah ada terasa mual dan muntah, diare dan konstipas yang saling bergantian. Pada Strongiloidiasis juga terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Sindroma Hiperinfeksi Autoinfeksi merupakan mekanisme terjadinya infeksi jangka panjang, apabila pada saat-saat tertentu keseimbangan dan imunitas penderita menurun, maka infeksinya semakin meluas dengan peningkatan produksi larva dan larva dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh, sehingga terjadi kerusakan pada jaringan tubuh. Penderita dapat meninggal akibat terjadinya peritonitis, kerusakan otak dan kegagalan pernafasan.

Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing TambangRespon imun dari tubuh manusia sebagai host definitif tergantung dari stadium cacing tambang yang menginfeksi.a. Terhadap larva filariformSaat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian luar kutikula dan mensekresi berbagai enzim yang mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul imunoreaktif oleh tubuh. Saat memasuki sirkulasi, terutama sirkulasi paru, larva filariform menghasilkan berbagai antigen yang bereaksi dengan sistem imun peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi creeping eruption atau ground itch akibat terperangkapnya larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk ke sirkulasi jauh lebih banyak dari yang berdiam di kulit. Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia) tidak terjadi kumpulan larva di kulit. Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan mengenai minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini. Antibodi yang berperan ialah Imunoglobulin M (IgM), IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II (antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan disini.Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal ini dicerminkan oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil melepaskan superoksida yang dapat membunuh larva filariform. Jumlah eosinofil makin meningkat saat larva berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran cerna. Sistem komplemen berperan dalam perlekatan larva pada eosinofil.29) Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa eosinofil lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil meningkat pada infeksi larva yang diinokulasikan pada tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum terbukti.b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasaRespons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE, yang dikontrol oleh pelepasan sitokin pengatur sel Th2. Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah 1 tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus, didapatkan bahwa kadar IgG terus menurun sementara kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak setinggi seperti sebelum dilakukan terapi. Di sini kadar IgE hanya menurun sedikit, sedangkan kadar IgA dan IgD meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para pakar menyimpulkan bahwa dibutuhkan lebih sedikit paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain itu disimpulkan bahwa kadar IgG dan IgM merupakan indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa dan untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kadar antibodi berhubungan dengan imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang dewasa.3) Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan sitokin yang predominan, sedangkan sitokin perangsang sel Th1 seperti interferon yang menghambat produksi IgE, lebih sedikit ditemukan. Para peneliti membuktikan bahwa IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik infeksi larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan IgG4 lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih spesifik dibandingkan IgG4. Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan IgG4 berperan menghambat respons imun dengan inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan tubuh yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast. Imunoglobulin G4 tidak mengikat komplemen dan hanya mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada infeksi cacing tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibodi IgG terhadap IgE.3 Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang mengatur produksi IgE dan menyebabkan eosinofilia. Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus kulit dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64 setelah infeksi. Sel mast yang terdegradasi akibat pengaruh IgE melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen N. americanus. Selain itu terjadi pelepasan neutralizing antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan sel mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing tambang tampaknya lebih tahan terhadap reaksi inflamasi dibandingkan dengan familinematoda lainnya.c. Bentuk larva hipobiosisPada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis di mana terjadi penghentian pertumbuhan larva pada jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal untuk pelepasan larva A. doudenale. Penyebab fenomena tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis pelepasan telur cacing melalui feses baru terjadi 40 minggu setelah masuknya larva A. duodenale melalui kulit. Fenomena ini juga terjadi pada infeksi A. caninum pada anjing. Bukti-bukti menunjukkan bahwa aktivasi bentuk hipobiosis pada akhir kehamilan yang berakhir dengan penularan transmamaria/transplasental dari A. duodenale. Proteksi sistem imun terhadap infeksi cacing tambang, tidak terdapat bukti yang jelas mengenai proteksi imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang. Beberapa penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa penderita yang memiliki titer IgE lebih tinggi, lebih jarang mengalami reinfeksi N. americanus.

Diagnosis Cacing TambangUntuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan secara klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis yang terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas berbagai catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang sama dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan: a) eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml), b) feses normal, c) infiltrat patchy pada foto toraks dan d) peningkatan kadar IgE. Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara infeksi larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing strongyloides stercoralis. Pemeriksaan penunjang pada cacing tambang dewasa dilakukan dan dapat menemukan telur cacing dan atau cacing dewasa pada pemeriksaan feses.Hal-hal penting pada pemeriksaan laboratorium, diantaranya adalah telur cacing tambang yang ditemukan dalam tinja sering dikacaukan oleh telur A. lumbricoides yang berbentuk dekortikasi. Tinja yang dibiarkan lebih dari 24 jam tanpa diawetkan maka telur yang ada di dalamnya akan berkembang, menetas dan mengeluarkan larva labditiform. Larva labditiform cacing tambang harus dibedakan dengan Stronyloides stercoralis dan Trichostrongylus (melalui pembiakan larva metode Harada Mori). Telur cacing tambang mudah rusak oleh perwanaan permanen dan telur lebih mudah di lihat pada sediaan basah.

Siklus Biologis Cacing TambangCacing tambang jantan berukuran 8-11 mm sedangkan yang betina berukuran 10-13 mm. Cacing betina menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host) dan mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat infeksius. Larva tingkat ketiga disebut sebagai larva filariform. Proses perubahan telur sampai menjadi larva filariform terjadi dalam 24 jam. Larva filariform kemudian menembus kulit terutama kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan larva filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di bawah kulit (subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan rasa gatal serta timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus yang disebut sebagai ground itch. Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi migrasi larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan, dan tertelan sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang terutama pada daerah 1/3 proksimal usus halus. Pematangan larva menjadi cacing dewasa terjadi disini. Proses dari mulai penetrasi kulit oleh larva sampai terjadinya cacing dewasa memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan dan betina berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan feses manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama terjadi pada lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan lembab dengan suhu antara 23-33o C. Penularan A. Duodenale selain terjadi melalui penetrasi kulit juga melalui jalur orofekal, akibat kontaminasi feses pada makanan. Didapatkan juga bentuk penularan melalui hewan vektor (zoonosis) seperti pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan A. caninum. Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanicum. Jenis cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut tidak mengalami maturasi dalam usus manusia. Cacing N. americanus dewasa dapat memproduksi 5.000 - 10.000 telur/hari dan masa hidup cacing ini mencapai 3-5 tahun, sedangkan A. duodenale menghasilkan 10.000-30.000 telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.

Larva masuk / penetrasi kekulit, masuk ke alirandarahLarva dewasa masukke usus halusCacing dewasaLarvaberkembangTelur dikeluarkanbersama denganfecesLarva diatas rumputLarva dibatukkan dantertelan

Gambar Siklus Biologis Cacing Tambang

2.2. CUTANEOUS LARVA MIGRANS2.2.1 Definisi dan EtiologiCutaneus larva migrans adalah kelainan kulit khas berupa garis lurus atau berkelok-kelok, progresif, akibat larva yang menginvasi kulit. Sedangkan creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invansi larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.Cutaneous larva migrans dapat juga disebut creeping eruption, dermatosis linearis migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering ditemukan di tanah pasir atau di pantai), atau strongyloidiasis (creeping eruption pada punggung). Etiologi umum kulit larva migrans (CLM) yang paling sering ditemukan adalah sebagai berikut:1. Braziliense Ancylostoma (cacing tambang dan domestik anjing liar dan kucing) adalah penyebab paling umum. Hal ini dapat ditemukan di Amerika Serikat tengah dan selatan, Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan Karibia.2. Ancylostoma caninum (cacing tambang anjing) ditemukan di Australia.3. Uncinaria stenocephala (cacing tambang anjing) ditemukan di Eropa.4. Bunostomum phlebotomum (ternak cacing tambang)

Etiologi lainnya meliputi:a. Ancylostoma ceylonicumb. Ancylostoma tubaeforme (cacing tambang kucing)c. Necator americanus (cacing tambang manusia)d. Strongyloides papillosus (parasit domba, kambing, dan sapi)e. Strongyloides westeri (parasit kuda)f. Ancylostoma duodenaleg. Pelodera (Rhabditis) strongyloides

2.2.2 PatogenesisPenyebab utama adalah larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing, yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, seperti Castrophillus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva ini merupakan stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada hospes (anjing, kucing atau babi), ovum terdapat pada kotoran binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva yang mempu mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan sepanjang dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau hari, akan timbul gejala di kulit.Reaksi yang timbul pada kulit, bukan diakibatkan oleh parasit, tetapi disebabkan oleh reaksi inflammasi dan alergi oleh sistem immun terhadap larva dan produknya. Pada hewan, larva ini mampu menembus dermis dan melengkapi siklus hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Sedangkan pada manusia, larva memasuki kulit melalui folikel, fissura atau menembus kulit utuh menggunakan enzim protease, tapi infeksi nya hanya terbatas pada epidermis karena tidak memiliki enzym collagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi kebagian kulit yang lebih dalam.

2.2.3 Gejala KlinisMasuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula-mula, pada point of entry akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok kelok (snakelike appearance bentuk seperti ular) yang terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 3 mm, panjang 3 4 cm dari point of entry, dan berwarna kemerahan. Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM.Perkembangan selanjutnya papul merah ini menjalar seperti benang, berkelok- kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai panjang beberapa sentimeter dan bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya. Umumnya pasien hanya memiliki satu atau tiga lintasan dengan panjang 2-5 cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit tidur. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut, meskipun larva telah mati. Terowongan yang sudah lama, akan mengering dan menjadi krusta, dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi yang rentan terhadap infeksi sekunder. Larva nematoda dapat ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum korneum atau dermis.Tempat predileksi adalah di tempat tempat yang kontak langsung dengan tanah, baik saat beraktivitas, duduk, ataupun berbaring, seperti di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan paha juga di bagian tubuh dimana saja yang sering berkontak dengan tempat larva berada.

2.2.4 DiagnosisBerdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok kelok, menimbul dan terdapat papul atau vesikel diatasnya.

Gambar Creeping Eruption

Gambar Creeping Eruption

2.2.5 Diagnosis Bandinga. Skabies: Pada skabies terowongan yang terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit inib. Dermatofitosis : Bentuk polisiklik menyerupai dermatofitosisc. Dermatitis insect bite : Pada permulaan lesi berupa papul, yang dapat menyerupai insect bited. Herpes zooster : Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini dapat menyerupai herpes zooster stadium permulaan.

2.2.6 PrognosisPenyakit ini dapat sembuh sendiri setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Pengobatan dimaksudkan untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien. Umumnya pengobatan selalu memberikan hasil yang baik.

2.2.7 MortalitasMortalitas karena penyakit ini belum pernah dilaporkan. Kebanyakan kasus larva migran sembuh sendiri dengan atau tanpa pengobatan, dan tanpa diikuti efek samping jangka panjang apapun.

2.2.8 MorbiditasMorbiditas dikaitkan dengan pruritus hebat dan kemungkinan infeksi bakterial sekunder. Sangat jarang sekali, dapat terjadi migrasi ke jaringan dalam, seperti ke paru dan usus, yang dapat menyebabkan pneumonitis (Loefflers Syndrome), enteritis, myositis (nyeri otot.

2.2.9 PencegahanDi Amerika serikat, telah dilakukan de-worming atau pemberantasan cacing pada anjing dan kucing, dan terbukti mengurangi secara signifikan insiden penyakit ini. Larva cacing umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak terlindungi, karena itu penting sekali memakai alas kaki, dan menghindari kontak langsung bagian tubuh manapun dengan tanah.

2.2.10 PenatalaksanaanModalitas topikal seperti spray etilklorida, nitrogen cair, fenol, CO2 snow, piperazine citrate, dan elektrokauter umumnya tidak berhasil sempurna, karena larva sering tidak lolos atau tidak mati. Demikian pula kemoterapi dengan klorokuin, dietiklcarbamazine dan antimony jugatidak berhasil. Terapi pilihan saat ini adalah dengan preparat antihelmintes baik topikal maupun sistemik.

PENGOBATAN SISTEMIK (ORAL)1. Tiabendazol (Mintezol), antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berturut turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah.2. Solusio topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara oklusi selama 24 48 jam. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang dihancurkan dan dicampur dengan vaseline, di oleskan tipis pada lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran ini memberikan jaringan kadar antihelmintes yang cukup untuk membunuh parasit, tanpa disertai efek samping sistemik.3. Albendazol (Albenza), dosis 400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut turut.4. Ivermectin (Stromectol)

AGEN PEMBEKU TOPIKAL1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice) dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari berturut turut.2. Nitrogen liquid.3. Kloretil spray, yang disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat merusak jaringan disekitarnya.4. Direkomendasikan pula penggunaan Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone) untuk mengurangi gatal.

2.3. Ekologi Cacing TanahAktivitas hidup cacing tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban, kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara) dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta pemanfaatan dan pengelolaan tanah (Buckman & Brady, 1982). Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan bahwa keberadaan dan kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan sumber bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan distribusi cacing tanah tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai berikut: a. Kelembaban tanah Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah cacing tanah.Menurut Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.

b. Suhu (temperatur) tanah Kehidupan hewan tanah juga ikut ditentukan oleh suhu tanah. Suhu yang ekstrim tinggi atau rendah dapat mematikan hewan tanah. Di samping itu suhu tanah pada umumnya mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme hewan tanah. Tiap spesies hewan tanah memiliki kisaran suhu optimum (Odum, 1996). Suhu tanah pada umumnya dapat mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme. Tiap spesies cacing tanah memiliki kisaran suhu optimum tertentu, contohnya L. rubellus kisaran suhu optimumnya 15 18 0C, L. terrestris 10 0C, sedangkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas cacing tanah di permukaan tanah pada waktu malam hari ketika suhu tidak melebihi 10,5 0C (Wallwork, 1970). c. pH tanah Kemasaman tanah sangat mempengaruhi populasi dan aktivitas cacing tanah sehingga menjadi faktor pembatas penyebaran dan spesiesnya. Umumnya cacing tanah tumbuh baik pada pH sekitar 4,5- 6,6, tetapi dengan bahan organik tanah yang tinggi mampu berkembang pada pH 3 (Fender dan Fender, 1990). Tanah pertanian di Indonesia umumnya bermasalah karena pH-nya asam. Tanah yang pH-nya asam dapat mengganggu pertumbuhan dan daya berkembangbiak cacing tanah, karena ketersediaan bahan organik dan unsur hara (pakan) cacing tanah relatif terbatas (Rukmana, 1999). Di samping itu, tanah dengan pH asam kurang mendukung percepatan proses pembusukan (fermentasi) bahan-bahan organik. Oleh karena itu, tanah pertanian yang mendapatkan perlakuan pengapuran sering banyak dihuni cacing tanah. Pengapuran berfungsi menaikkan (meningkatkan) pH tanah sampai mendekati pH netral (Brata, 2006). Cacing tanah sangat sensitif terhadap keasaman tanah, karena itu pH merupakan faktor pembatas dalam menentukan jumlah spesies yang dapat hidup pada tanah tertentu. Dari penelitian yang telah dilakukan secara umum didapatkan cacing tanah menyukai pH tanah sekitar 5,8-7,2 karena dengan kondisi ini bakteri dalam tubuh cacing tanah dapat bekerja optimal untuk mengadakan pembusukan. Penyebaran vertikal maupun horizontal cacing tanah sangat dipengaruhi oleh pH tanah (Edwards & Lofty, 1970). d. Kadar Organik Menurut Suin (1997) mengatakan materi organik tanah sangat menentukan kepadatan organisme tanah. Materi organik tanah merupakan sisa-sisa tumbuhan, hewan organisme tanah, baik yang telah terdekomposisi maupun yang sedang terdekomposisi. Selanjutnya Buckman & Brady (1982) mengatakan bahwa materi organik dalam tanah tidaklah statis tetapi selalu ada perubahan dengan penambahan sisa-sisa tumbuhan tingkat tinggi dan penguraian materi organik oleh jasad pengurai. Materi organik mempunyai pengaruh besar pada sifat tanah karena dapat menyebabkan tanah menjadi gembur, meningkatkan kemampuan mengikat air, meningkatkan absorpsi kation dan juga sebagai ketersediaan unsur hara. Bahan organik tanah sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan populasi cacing tanah karena bahan organik yang terdapat di tanah sangat diperlukan untuk melanjutkan kehidupannya. Bahan organik juga mempengaruhi sifat fisik-kimia tanah dan bahan organik itu merupakan sumber pakan untuk menghasilkan energi dan senyawa pembentukan tubuh cacing tanah (Anwar, 2007) . e. Vegetasi Menurut Suin (1982) menyatakan bahwa pada tanah dengan vegetasi dasarnya rapat, cacing tanah akan banyak ditemukan, karena fisik tanah lebih baik dan sumber makanan yang banyak ditemukan berupa serasah. Menurut Edwards & Lofty (1977) faktor makanan, baik jenis maupun kuantitas vegetasi yang tersedia di suatu habitat sangat menentukan keanekaragaman spesies dan kerapatan populasi cacing tanah di habitat tersebut. Pada umumnya cacing tanah lebih menyenangi serasah herba dan kurang menyenangi serasah pohon gugur dan daun yang berbentuk jarum. Selanjutnya dijelaskan bahwa cacing tanah lebih menyenangi daun yang tidak mengandung tanin.

2.4. PERMASALAHAN2.4.1Data Administrasi Pasien1. Nama / Umur: An. W/ 5 tahun1. No. register : Karang Anyar1. Status kepegawaian: -1. Status sosial : Anak ke 1 dari 2 bersaudara

2.4.2 Data Demografis1. Alamat : Karang Anyar1. Agama : Islam1. Suku : Rejang1. Pekerjaan : -1. Bahasa Ibu : Bahasa rejang1. Jenis Kelamin : Laki-laki

2.4.3Data Biologik1. Tinggi Badan : 78 cm1. Berat Badan : 15 kg1. Habitus : Astenikus

2.4.4Data Klinis1. Anamnesis:Keluhan utama : Timbul bintil- bintil merah dan hitam menyebar menjadi garis lurus yang semakin memanjang, menimbul dan berkelok-kelok bersisik di punggung tangan kanan disertai rasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat Penyakit sekarang : 1 bulan yang lalu, ibu pasien mengeluh timbul bintil berwarna merah pada punggung tangan kanan pasien berbentuk seperti digigit semut. Bintil tersebut merasa gatal dan pasien sering menggaruk sehingga terjadi luka. Pasien tidak berobat. 3 minggu yang lalu, bintil merah menyebar membuat garis lurus berkelok- kelok ke bagian tepi kiri punggung tangan kanan pasien. Keluhan gatal semakin hebat terutama pada malam hari. 2 minggu yang lalu, bintil tersebut semakin memanjang pada punggung tangan kanan pasien. Timbul sisik akibat garaukan. Ibu pasien menemukan bintil- bintil awal yang bergaris lurus berkelok-kelok sudah sembuh. Kisaran 1 minggu yang lalu, ibu pasien menemukan kulit pada bagian lesi pada punggung tangan kanan pasien terkelupas. Pasien sering bermain di tanah dengan menggunakan tangan dan tidak mencuci tangan setelah bermain1. Pemeriksaan jasmani Tanda vital Tekanan Darah : tidak diperiksa Nadi : tidak diperiksa Respirasi : tidak diperiksa Suhu : tidak diperiksa Untuk dugaan diagnosa :

STATUS DERMATOLOGIKUSRegio dorsum manus dekstra: Papul eritematosa: Multipel, linier, berbatas tegas, penyebaran serpiginosa; permukaan ditutupi skuama halus selapis putih. Pada bagian proximal lesi: Papul hiperpigmentasi: Multipel, berbentuk bulat, diskret.

Dugaan DD (-)

2.4.5Pemeriksaan PenunjangTidak dilakukan.Anjuran Pemeriksaan Penunjang :Tidak diperlukan.

2.4.6Diagnosis Cutaneous Larva Migrans

BAB IIIPERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

3.1. Metode PenyuluhanMetode penyuluhan yang dilakukan untuk mensosialisasikan penyakit Cutaneous Larva Migrans adalah metode penyuluhan berkelompok dengan sasaran utama yang memiliki anak, dilakukan diskusi dua arah dan pembagian lembaran leaflet.3.2. Intervensi Menjelaskan kepada orangtua pasien tentang penyakit, bahwa penyakit Cutanoeus Larva Migrans ditularkan melalui kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing. Memberikan edukasi kepada pasien mengenai terapi terhadap penyakit. Menjelaskan kepada para orangtua agar anaknya jangan dibiarkan bermain di tanah, pasir atau rumput tanpa alas kaki. Memberitahukan agar segera berobat ke dokter apabila menjumpai tanda-tanda cacing kulit. Menjelaskan bahwa jangan menggaruk lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder.

BAB IVPELAKSANAAN (PROSES INTERVENSI)

4.1. Strategi Penanganan Masalah Diagnosis Klinis : Cutaneous Larva MigransPenanganan masalah : Promotif penyuluhan tentang penyakit & cara penularan penyakit Cutaneous Larva Migrans. Preventif penyuluhan tentang upaya-upaya supaya penyakit tidak berulang kembali. Kuratif medikamentosa Rehabilitatif anjuran agar pasien kontrol kembali untuk menilai keefektifan terapi dan upaya agar penyakit tidak menjadi burukDiagnosis sosial : Belum mengetahui cara penularan dan pencegahan penyakit.Penanganan masalah: Berobat ke Puskesmas dan mengikuti penyuluhan yang diberikan.4.2. Pelaksanaan Intervensi

Gambar Leaflet Penyuluhan Cutaneous Larva Migrans

BAB VMONITORING DAN EVALUASI5.1 Evaluasi Diharapkan pasien dan keluarga mengerti tentan penyakitnya, cara penularan, pencegahan dan pengobatan penyakitnya. Anggota keluarga ataupun tetangga sekitar rumah yang menderita gejala yang sama agar segera datang ke pelanan kesehatan untuk diobati. Mengetahui cara pengobatan yang benar, berdarkan anjuran dokter. Tidak memelihara binatang peliharaan. Merawat kebersihan diri ( mandi minimal 2x sehari) Membiasakan perilaku cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah melakukan aktivitas seperti bermain, berkebun dan mengetahui cara cuci tangan yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick TB. 2. Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview, Treatment and Medication. Diunduh dariwww.emedicine.com. 3. Anonymous. Clinical Presentation in Humans. Diunduh dari www.stanford.edu/group/parasites/parasites2002/cutaneous_larva_migrans/clinical%20presentation.html, 29 Desember 20094. Aisah, Siti. 2008. Creeping Eruption, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. Hal 125-1265. Emmy dkk. 2005. Creeping Eruption, Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia, Sebuah Panduan Bergambar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : PT Medical Multimedia Indonesia. Hal 716. Siregar, R.S. 2004. Creeping Eruption, Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Hal 172.