Current Concepts in the Pathophysiology and Treatment of Aplastic Anemia

20
Current Concepts in the Pathophysiology and Treatment of Aplastic Anemia Neal S. Young Hematology Branch, National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institutes of Health, Bethesda, MD Telah lama dipandang sebagai penyakit darah yang aneh, jarang dan memiliki tingkat kefatalan yang berbeda pada tiap orangnya, anemia aplastik sekarang menjadi banyak menarik perhatian dikarenakan proses imunologi patofisiologinya, hubungannya dengan sindrom gagal sumsum tulang dan leukemia, dan juga kesuksesan dari terapi imunosupresif dan transplantasi sumsum tulang dalam meningkatkan angka harapan hidup pasien secara dramatis. Perbaharuan kali ini mengutamakan tentang perkembangan dari pemahaman kami tentang mekanisme imun dan biologis hematopoiesis stem sel. Dan juga pendekatan klinis baru yaitu terapi stimulasi stem cell, dapat menjadi terapi sendiri atau dikombinasikan dengan terapi konvensional penekanan berlebihnya system imun. Pendahuluan Kemajuan dalam bidang pengetahuan mengenai sindrom kegagalan sumsum tulang hampir selalu menjadi topik utama tahunan di program pendidikan ASH, dan pada kali ini kami mengutamakan perkembangan terbaru dalam pemahaman kami tentang patofosiologi dan paradigma penatalaksanaan aplastik anemia didapat. Jumlah hitung sel darah dapat

description

Current Concepts in the Pathophysiology and Treatment of Aplastic Anemia

Transcript of Current Concepts in the Pathophysiology and Treatment of Aplastic Anemia

Current Concepts in the Pathophysiology and Treatment of Aplastic Anemia

Neal S. YoungHematology Branch, National Heart, Lung, and Blood Institute, National Institutes of Health, Bethesda, MD

Telah lama dipandang sebagai penyakit darah yang aneh, jarang dan memiliki tingkat kefatalan yang berbeda pada tiap orangnya, anemia aplastik sekarang menjadi banyak menarik perhatian dikarenakan proses imunologi patofisiologinya, hubungannya dengan sindrom gagal sumsum tulang dan leukemia, dan juga kesuksesan dari terapi imunosupresif dan transplantasi sumsum tulang dalam meningkatkan angka harapan hidup pasien secara dramatis. Perbaharuan kali ini mengutamakan tentang perkembangan dari pemahaman kami tentang mekanisme imun dan biologis hematopoiesis stem sel. Dan juga pendekatan klinis baru yaitu terapi stimulasi stem cell, dapat menjadi terapi sendiri atau dikombinasikan dengan terapi konvensional penekanan berlebihnya system imun.PendahuluanKemajuan dalam bidang pengetahuan mengenai sindrom kegagalan sumsum tulang hampir selalu menjadi topik utama tahunan di program pendidikan ASH, dan pada kali ini kami mengutamakan perkembangan terbaru dalam pemahaman kami tentang patofosiologi dan paradigma penatalaksanaan aplastik anemia didapat. Jumlah hitung sel darah dapat berkurang dalam keadaan infeksi yang parah (contoh: bacterial sepsis) dan sekunder terhadap beberapa penyakit (eg, cirrhosis dengan hypersplenism, systemic lupus), namun, pansitopenia parah dan persisten memiliki diagnosis banding yang terbatas dan hamper selalu tmemiliki keterkaitan dengan sumsum tulang. Sumsum tulang yang kosong terdefinisikan sebagai anemia aplastik dengan criteria morfologi simple dan uniformis dengan sedikit variasi patologis atau diperlukan adanya klasifikasiberdasarkan morfologi. Sumsum tulang tidak sebenarnya kosong, namun digantikan dengan sel lemak.4 Model tikus dari anemia aplastik, diproduksi dengan penghancuran sumsum tulang dengan menggunakan radiasi, obat-obatan sitotoksik dan sel imun, telah sangat berguna dalam menjelaskan proses hematopoiesis stem sel dan menggambarkan potensi dari sebagian kecil limfosit yang menginduksi apoptosis sel target dalam sumsum tulang secara spesifik. 5 serta sitokinnya (eg, IFN-) sebagai molekul efektor negatif.6 Penghancuran Sumsum Tulang yang dimediasi ImunBukti terkuat yang menyatakan bahwa anemia aplastik didapat pada orang dewasa merupakan kejadian sekunder terhadap penghancuran oleh imun dating dari klinik. Dalam trial klinis terbaru National Institutes of Health (NIH) kami, menunjukkan hampir 70% pasien menunjukkan respon hematologik terhadap terapi antithymocyte globulin (ATG) yang didapat dari kuda dan cyclosporine dalam 6 bulan. Pasien yang gagal dalam terapi pertama kemudian diterapi dengan ATG yang diambil dari kelinci atau Campath, 30% dari pasien yang awalnya tidak menunjukkan respon terhadap terapi awal menunjukkan perbaikan hematologis, bahkan beberapa tidak lagi tergantung terhadap transfuse.9 Namun, sepertiga dari jumlah pasien yang menunjukkan respon terapi, mengalami relapse atau membutuhkan administrasi cyclosporine yang diperpanjang untuk mempertahankan jumlah total hitung darahnya. Tapering lama dari cyclosporine dapat menunda kejadian relapse dan menjaga pasien dalam kondisi yang baik walau hanya mengonsumsi obat dengan dosis rendah. Ada banyak data laboratorium yang mendukung proses imunologis patofisiologi, namun detil mengenai mekanismenya masih kuranghal ini dikarenakan anemia aplastik yang biasanya diderita oleh manusia merupakan penyakit autoimun atau penyakit yang dimediasi imunitas. Beberapa antigen telah terdeteksi dari skrining peptide sera, namun hubungannya terhadap respon sel T masih belum jelas. Limfosit sitotoksik dan sitokin tipe 1 nampak sebagai sel efektor. Mengapa terjadi kelebihan imunitas seluler yang persisten masih belum jelas. Terlihat sel T-regulatory berkurang dalam jumlah dan fungsinya dan jumlahnya sangat jauh berbeda dalam percobaan acak lengkap yang menguji tentang ATG yang diambil dari kuda dan kelinci. Dengan penyembuhan berhubungan dengan respon yang lebih baik. Dalam granular limfositosis yang besar, dimana klon sel T tunggal mendominasi dan mensupresi fungsi sumsum tulang, mutasi didapat dari STAT3 sering terjadi dan secara fungsional menghasilkan aktivasi konstitutif.12 (mutasi STAT3 didapat telah banyak dilaporkan dalam banyak penyakit autoimun). Mutasi ini mungkin juga Nampak pada anemia aplastik didapat. Genomik yang diaplikasikan pada oligoclones pada keadaan kegagalan sumsum tulang mungkin dapat menunjukkan dasar kelainan genetik didapat dari persistensi abnormal respon imun yang awalnya normal ini. (Figure 1).Stem cell loss in aplastic anemia

Penemuan dari tidak nampaknya precursor hematopoiesis pada specimen klinis sumsum tulang didapatkan dari studi fungsional progenitor dewasa dan primitive, yang jumlahnya selalu berkurang, dan jumlah sel CD34 yang sedikit dan subpopulasi spesifik yang memiliki korelasi dengan progenitor. Sel inisiator jangka panjang dan sel pembentuk cobblestone sudah semirip mungkin dengan pemeriksaan stem sel manusia dan sel ini masih terlalu berbeda pada setiap pasiennya. Walaupun pemeriksaan sidah dirancang secanggih mungkin, total hitung darah, mencerminkan keadaan stem sel, masih merupajan predictor hasil terbaik pada terapi non-transplantasi. Walaupun Kriteria Camitta tetap menjadi criteria yang menentukan parahnya aplastik anemia, pada era immunosupresu dan limfosit pra-terapi.14 dan perbaikan keadaan resspon hematologic setelah ATG15 merupakan predictor terkuat dari respon terapi yang kemudian dapat dijadikan penentu prognosis. Selain itu, apabila dihubungkan dengan persediaan stem sel, hasil yang lebih baik ditemukan pada kelompok usia anak disbanding dewasa, dan sesuai dengan yang dideskiripsikan lebih lanjut di bawah, hal ini disebabkan dari panjangnya telomere dan merupakan komplikasi lanjut terapi imunosupresi. Kenyataan bahwa sebuah molekul kecil stimulator stem sel dapat memperbaiki hitung jenis pada pasien dengan anemia aplastik refraktori kronis dan mempercepat penyembuhan hematologis pada pasien yang belum diterapi sebelumnya menunjukkan bahwa stem sel ada, sekalipun pada sumsum tulang yang hiposeluler secara ekstrim, dan sangat rentan terhadap sinyal proliferative. Apakah stroma merupakan penyebab kegagalan respon terhadap immunosupresi? Hiposis ini sepertinya salah karena engraftment jarang menghalangi transplantasi stem sel pada populasi ini dan tidak adanya data yang mensupport mekanisme tersebut. Alas an yang lebih sederhana dan lebih mungkin untuk kurangnya respon terhadap imunosupresi ialah jumlah stem sel hematopoietic yang terbatas dan secara fungsional dapat melakukan regenerasi kompartemen hematopoietic gagal dengan baik.

Gambar 1. Mutasi somatic dari limfosit dapat meginduksi imun respon yang berlebihan. Kerusakan jaringan merupakan komponen normal dari respon inflamasi dan membaik dengan dihilangkannya agen stimulator. Mutasi didapat, mengubah proliferasi, kerentanan terhadap apoptosis, dan menyebabkan berbagai macam sinyal pathway dalam populasi afektor atau dalam sel regulator akan memicu kepada kehancuran jaringan, dan paparan baru terhadap antigen baru yang bersifat menetap, yang kemuddian berakibat rekruitmen sel imun baru. Genetics of BM failure in acquired aplastic anemia

Perbedaan yang dulunya jelas antara anemia aplastik konstitusional dengan anemia aplastik didapat sekarang tidak lagi jelas dengan ditemukannya mutasi pada telomere repair complex pada kasus orang dewasa yang tidak memiliki riwayat anemia aplastik dalam keluarga sebelumnya atau mereka yang tidak memiliki anomaly fisik yang klasik. Hematologists berpengalaman telah dikejutkan dengan adanya kenampakan baru ini, orang yang tumbuh dewasa dengan baik, dengan Fanconi anemia, dan pasien muda yang jarang, pansitopenia namun menunjukkan morfologi yang tipikal dengan mutasi Schwachman-Diamon.16 Pasien dengan telomeropathies, terutama karena mutasi TERT dan TERC, mungkin tidak seharusnya diklasifikasikan sebagai dyskeratosis congenital (eg, classically in boys with X-linked mutations in DKC1) lanjut karena sangat bervariasinya penetrasi dari TERT dan TERC, efek pleomorfik dari mutasi telomere yang tepengaruh pada organ yang berbeda (Sumsum tulang, paru, dan hepar), dan prognosis dari adanya lesi ini masih belum ditentukan secara klinis.Telomeres merupakan susunan kromoson linear yang terdiri dari ratusan pengulangan hexamer (TTAGGG) dan berhubungan dengan protein shelterin . Struktur telomere melindungi akhir kromosom dari pengenalan terhadap enzim eksisi DNA sebagai DNA asing. Namun, dikarenakan replikasi DNA yang tidak simetris, kehilangan dari DNA telomere tidak dapat terhindarkan dengan adanya tiap pembelahan sel, dan telomere merupakan penjelasan dari fenomena hayflick, (pembelahan sel yang terbatas pada kultur sel) dan jam mitosis pada sel individual. Telomere tentunya akan memendek secara fisiologis seiring dengan bertambahnya usia organism, termasuk manusia. Namun, hilangnya telomere secara aktif akan dikompensasi dengan mesin molekuler, yang disebut telomerase atau telomere repair complex. Kompleks ini terdiri dari enzim TERT sebuah enzim transkriptase, RNA templatenya, TERC, dan protein penstabil temasuk didalamnya DKC1. Mutasi turunan pada gen yang mengkode komponen repair complex akan menyebabkan terjadinya percepatan dari berkurangnya. Telomerase diregulasi dengan sangat ketat, terutama gen TERT, dan transkripsinya sangat bergantung dengan banyak pathway, termasuk Myc, WNT dan banyak sinyal lainnya. Telomerase aktif dalam jaringan embrio dan pada sel orang dewasa pada saat sel mengirim sinyal replikasi, termasuk pada hematopoietic stem cells dan limfosit. Pengurangan telomere yang berlangsung dengan cepat juga dapat menjadi patofosiologi: telomere terdiri dari DNA dan dapat dirusak oleh reactive oxygen species dan stress replicatif stress juga dapat mempercepat hilangnya telomer. Saat telomere pada individu telah menjadi sangat pendek, akan terjadi senescence atau apoptosis, sebuah mekanisme tidak berbahaya yang normal untuk melindungi organ dari sel berusia tua. Namun, apabila DNA damage responses dihalangi, sel dengan telomere yang sangat pendek akan terus berproliferasi dan kromosomnya akan menjadi tidak stabil, aneuploid dan terjadi nonreciprocal translocations, yang akan mengarah kepada transformasi keganasan. Pada praktek klinisnya, panjang telomere dapat didapat di laboratorium komersil, dan biasanya diukur dengan flow cytometry dari masing-masing sel (Flow-FISH) atau amplifikasi dari suatu populasi sel tertentu. (quantitative PCR amplification untuk telomere DNA total leukocytes atau lymphocytes dan granulocytes), dengan hasil yang disesuaikan dengan usia pasien. karakteristik tertentu dari riwayat keluarga atau personal yang dapat menunjukkan adanya kemungkinan telomeropathy ialah: chronic macrocytic anemia atau thrombocytopenia, frank aplastic anemia, myelodysplastic syndrome atau acute myeloid leukemia, pulmonary fibrosis, dan liver cirrhosis. Uban yang tumbuh dini (terkadang tertutupi dengan cat rambut) merupakan factor sugestif yang kurang spesifik. Apabila ditemukan adanya kelainan tersebut, perlu diperiksa panjangnya telomere pada pasien tersebut. Karena pasien dengan mutasi TERT dan TERC biasanya tidak memiliki satu tanda dari trias muskutanus klasik berupa dyskeratosis congenita danbanyak dari pasien tidak memiliki riwayat keluarga, pemeriksaan panjang telomere dapat disarankan pada semua kasus gagal sumsum tulang. Telomer yang sangat pendek (Pada kelompok usia muda) menentukan diagnosis dari telomeropathy. Genetic sequencing dilakukan pada beberapa penelitian laboratorium dan ekspresi gen serta aktivitas enzim ditinjau secara semikantitatif. Mutasi TERT atau TERC dianggap sebagai faktor risiko, bukan sebagai deteminan genetic dari gagal sumsum tulang. not genetic determinants of BM failure. Dalam silsilah, Individu dengan gen mutan menunjukkan sumsum tulang yang hiposeluler, dengan jumlah sel CD34 sedikit, dan jumlah sel progenitor yang menurun, namun, mereka biasanya memiliki hitung jenis darah yang normal dan hanya didapatkan kelaianan yang sedikit seperti makrositosis. Pasien dengan mutasi dapat berespon terhadap terapi immunosuppressive, sehingga, adanya komponen imun terhadap berkembangan anemia aplastik dapat dipertimbangkan. (seperti alcohol dan infeksi virus pada cirrhosis dan merokok pada pulmonary fibrosis). Belum ada data sistematik mengenai hasil transplantasi pada pasien dengan mutasi TERT dan TERC, namun pemeriksaan genetik dari anggota keluarga potensial sangat penting untuk menghindari donor dari individu yang memiliki mutasi yang sama dan dapat menyebabkan cadangan stem sel yang tidak mencukupi. Hormon seksual meningkatkan aktivitas telomerase dengan cara meningkatkan regulasi gen TERT, dan perbaikan hitung jenis darah terjadi pada pasien dengan mutasi pada gen telomere repair complex yang diterapi dengan androgen.19-21 Modulator kimia lain dari aktivitas telomerase telah atau dapat dikembangkan. Pada kasus gagal sumsum tulang didapat, jumlah terbatas dari stem sel yang mensupport hitung jenis, dan stress hematopoietic menghasilkan dipercepatnya pemendekan telomere, sebuah mekanisme yang independen terhadap mutasi genetic yang diwariskan. Telomere yang pendek dari leukosit meningkatkan risiko relapse terutama pada evolusi klonal dari anemia aplastik. 8 serta tidak stabilnya kromosom dapat dideteksi pada sumsum tulang pasien jauh sebelum transformasi ke myelodysplasia atau leukemia.23 ditandai dengan dipercepatnya pemendekan telomeredan tidak adanya mutasi dan akumulasi mutasi pada gen kandidat menunjukkan kemungkinan adanya malignant myeloid disease yang didahului clonal evolution pada aplastic anemia.24 Gen yang diimplikasi pada myelodysplastic syndromes dan acute myeloid leukemia tampak jarang termutasi pada pasien dengan aplastic anemia25 (and Feng, our unpublished data).

Gambar 2. Angka ketahanan hidup setelah respon terapi immunosuppressi pada severe aplastic anemia. Sebuah studi cohort (N _ 243) dari pasien NIH yang menunjukkan respon terhadap terapi standar ATG kuda dengan cyclosporine. Menunjukkan hasil jangka panjang termasuk akibat negatif dari complicating event. Event merupakan relapse (kebutuhan akan terapi imunosupresi yang lebih panjang sebagai protocol penatalaksanaan) dan evolusi klonal (myelodysplasia/acute myeloid leukemia). Hampir setengah pasien tidak merasakan event dan angka ketahanan hidup merupakan hasil dari perkembangan penyakit.TreatmentImmunosuppressive therapy

ATG yang didapat dari kuda dikombinasikan dengan cyclosporine tetap menjadi terapi imunosupresion lini pertama standar. Berdasarkan studi perbandingan prospektif acak lengkap dengan ATG yang didapat dari kelinci8 dan telah dikonfirmasi pada beberapa studi retrospektif. (untuk review, dapat ditinjau dari Scheinberg dan Young1). Respon hematologis hingga independen terhadap transfuse dapat diharapkan pada setidaknya dua pertiga pasien, namun hal ini mungkin tidak bertahan lama karena 30% hingga 40% dari pasien biasanya mengalami relapse (ditentukan dengan dibutuhkannya pembaruan terapi imun) atau hitung jenis darah tergantung dari administrasi. Dalam uji prospectif kami tentang administrasi cyclosporine untuk jangka waktu panjang (2 tahun, dengan penyesuaian dosis setelah dilakukannya terapi konvensional 6 bulan dosis penuh), kejadian relapse dapat ditunda namun tidak secara penuh dicegah. Meskipun begitu, perubahan kinetic dari hitung jenis darah mengimplikasikan bahwa dosis rendah cyclosporine mungkin cukup untuk terapi maintenance. Umumnya, pasien yang menunjukkan respon terhadap imunosupresi standar dapat bertahan hidup dengan baik. Pada randomized trial, dan usaha lain dalam meningkatkan regimen standard, menunjukkan defisiensi dalam pemahaman kami terhadap mekanisme kerja ATG. Perbedaan biologis yang paling dramatis dideteksi pada pasien yang diterapi dengan antisera yang didapat dari kuda dan kelinci ialah deplesi limfosit yang lebih jelas terlihat dengan terapi Thymoglobulin (ATG kelinci) dibandingkan dengan yang diterapi dengan ATGAM (ATG kuda), spesifiknya, deplesi terjadi pada sel CD4 dan T-regulatory cells, namun perbedaan ini menunjukkan adanya hubungan, bukan penjelasan mengapa ATG kuda lebih superior pada penerapan klinisnya. Namun, terapi dengan ATG kelinci menunjukkan respon yang baik pada pasien yang gagal diterapi dengan ATG kuda. 9,27ATG kelinci pada dosis standar merupakan imunosupresan yang lebih poten daripada ATG kuda, namun tidak meningkatkan rasio penyembuhan hematologic pada pasien dengan anemia aplastik. Usaha lain untuk meningkatkan respon penyembuhan hematologis dengan mengintenskan imunosupresi juga mengalami kegagalan. Termasuk dilakukannya penambahan terapi berupa corticosteroid dosis tinggi, mycophenolate mofetil, atau rapamycin. Cyclophosphamide dosis tinggi (50 mg/kg/hari selama 4 hari) digunakan pada beberapa institusi tertentu namun belum secara luas disetujui. Harga obat yang murah bukan merupakan suatu keuntungan dikarenakan pengeluaran yang tinggi karena neutropenia yang diperpanjang, dan tingkat kematian dini dikarenakan infeksi yang tinggi apabila dibandingkan dengan ATG. Percobaan di China mengenai dosis sedang cyclophosphamide (30 mg/kg/hari selama 4 hari) cukup menarik perhatian pada saat dipresentasikan pada konferensi beberapa tahun lalu dan baru saja dipublikasi.28 Dengan periode neutropenia yang diperpendek, dan angka kesakitan dan kematian yang menurun, serta respon yang cukup baik apabila dibandingkan dengan terapi ATG kelinci.

Terapi stimulasi Stem CellGrowth factors memiliki fungsi yang terbatas pada pasien dengan anemia aplastik, Anemia tidak berespon terhadap erythropoietin ataupun neutropenia terhadap G-CSF. Hal ini bukan merupakan hal yang mengejutkan karena level growth factors endogen sangatlah tinggi pada darah pasien. Oleh karena itu, perbaikan dengan eltrombopag pada pasien dengan refractory severe aplastic anemia tidak diduga sebelumnya.34 Eltrombopag merupakan thrombopoietin mimetic, sebuah molekul kecil yang didesain untuk memicu permukaan reseptor mpl dan mengirimkan sinyal pathway transduksi. Eltrombopag telah disetujui untuk digunakan pada idiopathic thrombocytopenic purpuradan memiliki profil toksisitas yang baik; diadministrasikan secara oral. Eltrombopag seharusnya tidak efektif pada kasus aplastic anemia karena berbeda dengan idiopathic thrombocytopenia, tingkat trombopoietin darah pada anemia aplastik sangatlah tinggi .35 Namun, dalam pilot trial kami, diantara 2 lusin pasien dengan refractory aplastic anemia, lebih dari 40% menunjukkan respon terhadap criteria protocol. Respon sangat baik pada beberapa respek : serangan imun kebanyakan secara bilineage atau trilineage, dan tidak terbatas terhadap platelet dan membaik, menghasilkan independensi terhadap transfusi dan level hemoglobin yang mendekati normal. Rta-rata Hb meningkat sebanyak 4 g/dL; Sumsum tulang pada 9 hingga 12 bulan seringkali menunjukkan selularitas normal, yang tidak biasanya terjadi walaupun setelah dilakukannya intervensi imunosupresif yang berhasil.

Figure 3. Stem cells as limiting in the response to immunosuppressive therapy. Combining immunosuppressive therapy with a factor that increases stem cell proliferation and/or self-renewal might overcome this limit.Beberapa percobaan lain menggunakan thrombopoietin mimetics, eltrombopag,dan romiplostim tengah dijalankan. Pada institusi kami, agen tunggal eltrombopagtengah diuji pada pasien dengan moderate aplastic anemia dan low-risk myelodysplastic syndrome, dan eltrombopag dokimbinasikan dengan ATG kuda standar serta cyclosporine pada pasien anemia aplastik yang sebelumnya belum pernah diterapi (Figure 3). Pada pasein yang belum diterapi ini, hasil preliminernya menjanjikan dan responnya nampaknya akan setidaknya setinggi terapi imunosupresi tunggal dan hitung jenis darah dapat meningkat dengan cepat. (D. M. Townsley, unpublished data).

Supportive care

Kami menemukan beberapa hal yang perlu diperbaiki mengenai terapi standar sebelumnya: jadwal transfuse darah yang tidak sesuai yang menyebabkan pasien mengalami gejala yang tidak perlu; transfuse platelet profilaksis yang berlebihan, walaupun guaideline terbaru menyatakan batas yang lebih rendah, yaitu 10.000/uL; dan kortikosteroid, yang biasanya diadministrasikan dalam dosis yang tinggi, dalam jangka waktu yang panjang, yang hanya berakibat kemungkinan infeksi jamur infasiv dan iatrogenic Cushing syndrome (kortikosteroid digunakan pada saat pasien diterapi dengan ATG untuk menghindari dan memperkecil kemungkinan terjadinya serum sickness). Penatalaksanaan dari infeksi pada pasien neutropenia telah membaik dengan cukup memuaskan dengan edukasi dan administrasi obat antifungal. Transfusi Granulosit transfusions efektif pada tingkat tertentu.37 Namun, terapi ini hanya tersedia di institusi tertentu dan harganya sangatlah mahal.KorespondensiNeal S. Young, Hematology Branch, National Heart, Lung and Blood Institute, National Institutes of Health, CRC-Building 10, Room 3E-5142, 10 Center Drive, Bethesda, MD 20892; Phone: 301-496-5093; Fax: 301-496-8396; e-mail: [email protected]

1. Scheinberg P, Young NS. How I treat aplastic anemia. Blood. 2012;120(6):1185-1196.

2. Passweg J, Aljurf M. Treatment and hematopoietic stem cell transplant in aplastic anemia. Bone Marrow Transplant. 2013; 48(2):161.

3. Samarasinghe S, Webb DK. How I manage aplastic anaemia in children. Br J Haematol. 2012;157(1):26-40.

4. Takaku T, Malide D, Chen J, et al. Hematopoiesis in 3 dimensions: human and murine bone visualized by confocal microscopy. Blood. 2010;116(15):e41-e55.

5. Scheinberg P, Chen J. Aplastic anemia: what have we learned from animal models and from the clinic. Semin Hematol. 2013;50(2):156-164.

6. de Bruin AM, Demirel O, Hooibrink B, Brandts CH, Nolte MA. Interferon-gamma impairs proliferation of hematopoietic stem cells in mice. Blood. 2013;121(18):3578-3585.

7. Young NS. Mouse medicine and human biology. Semin Hematol. 2013;50(2):88-90.

8. Scheinberg P, Nunez O, Weinstein B, et al. Horse versus rabbit antithymocyte globulin in acquired aplastic anemia. N Engl J Med. 2011;365(5):430-438.

9. Scheinberg P, Nunez O, Young NS. Retreatment with rabbit anti-thymocyte globulin and cyclosporine for patients with relapsed or refractory severe aplastic anemia. Br J Haematol. 2006;133(6):622-627. 10. Solomou EE, Rezvani K, Mielke S, et al. Deficient CD4 CD25FOXP3 T regulatory cells in acquired aplastic anemia. Blood. 2007;110(5):1603-1611.

11. Shi J, Ge M, Lu S, et al. Intrinsic impairment of CD4()CD25() regulatory T cells in acquired aplastic anemia. Blood. 2012;120(8): 1624-1632.12. Jerez A, Clemente MJ, Makishima H, et al. STAT3 mutations unify the pathogenesis of chronic lymphoproliferative disorders of NK cells and T-cell large granular lymphocyte leukemia. Blood. 2012;120(15):3048-3057.

13. Jerez A, Clemente MJ, Makishima H, et al. STAT3-Mutations indicate the presence of subclinical self-reactive cytotoxic T cell clones in aplastic anemia and myelodysplastic syndromes [abstract]. Blood (ASH Annual Meeting Abstracts). 2012; 120(21):646.

14. Scheinberg P, Wu CO, Nunez O, Young NS. Predicting response to immunosuppressive therapy and survival in severe aplastic anaemia. Br J Haematol. 2009;144(2):206-216.

15. Rosenfeld S, Follman D, Nunez O, Young NS. Antithymocyte globulin and cyclosporine for severe aplastic anemia. Association between hematologic response and long-term outcome. JAMA. 2003;289(9):1130-1135.

16. Calado RT, Graf SA, Wilkerson KL, et al. Mutations in the SBDS gene in acquired aplastic anemia. Blood. 2007;110(4): 1141-1146.

17. Calado RT, Young NS. Telomere diseases. N Engl J Med. 2009;361(24):2353-2365.

18. Calado RT, Yewdell WT, Wilkerson KL, et al. Sex hormones, acting on the TERT gene, increase telomerase activity in human primary hematopoietic cells. Blood. 2009;114(11):2236-2243.

19. Armanios M, Blackburn EH. The telomere syndromes. Nat Rev Genet. 2012;13(10):693-704.

20. Ziegler P, Schrezenmeier H, Akkad J, et al. Telomere elongation and clinical response to androgen treatment in a patient with aplastic anemia and a heterozygous hTERT gene mutation. Ann Hematol. 2012;91(7):1115-1120.

21. Savage SA, Dokal I, Armanios M, et al. Dyskeratosis congenita: the first NIH clinical research workshop. Pediatr Blood Cancer. 2009;53(3):520-523.

22. Le Saux CJ, Davy P, Brampton C, et al. A novel telomerase activator suppresses lung damage in a murine model of idiopathic pulmonary fibrosis. PLoS One. 2013;8(3):e58423.

23. Calado RT, Cooper JN, Padilla-Nash HM, et al. Short telomeres result in chromosomal instability in hematopoietic cells and precede malignant evolution in human aplastic anemia. Leukemia. 2012;26(4):700-707.

24. Dumitriu B, Ueda Y, Kajigaya S, Townsley DM, Young NS. Very short telomeres of peripheral blood leukocytes precede clinical progression to myelodysplasia with monosomy 7 in aplastic anemia patients [abstract]. Blood (ASH Annual Meeting Abstracts). 2012;120(21):1265.

25. Lane AA, Odejide O, Kopp N, et al. Low frequency clonal mutations recoverable by deep sequencing in patients with aplastic anemia. Leukemia. 2013;27(4):968-971.

26. Socie G. Allogeneic BM transplantation for the treatment of aplastic anemia: current results and expanding donor possibilities. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2013;2013: 82-86.

27. Di Bona E, Rodeghiero FBB, Gabbas A, et al. Rabbit antithymocyte globulin (r-ATG) plus cyclosporine and granulocyte colony stimulating factor is an effective treatment for aplastic anaemia patients unresponsive to a first course of intensive immunosuppressive therapy. Gruppo Itlaian Trapianto di Midollo Osseo (GITMO). Br J Haematol. 1999;107(2):330- 334.

28. Zhang F, Zhang L, Jing L, et al. High-dose cyclophosphamide compared with antithymocyte globulin for treatment of acquired severe aplastic anemia. Exp Hematol. 2013;41(4):328-334.29. Scheinberg P, Townsley DM, Dumitriu B, et al. Even moderate dose cyclophosphamide fo severe aplastic anemia I associated with significant toxicities and does not preven relapse and clonal evolution [abstract]. Blood (ASH Annua Meeting Abstracts). 2012;120(21):1259.

30. Li X, Shi J, Ge M, et al. Outcomes of optimized over standar protocol of rabbi antithymocyte globulin for severe aplastic anemia: a single-center experience. PLoS One. 2013;8(3): e56648.

31. Song Y, Li N, Liu Y, Fang B. Improved outcome of adults with aplastic anaemia treated with arsenic trioxide plus ciclosporin. Br J Haematol. 2013;160:266-269.

32. Tang X, Liu F, Li L, et al. Antithymocyte globulin/ antilymphocyte globulin plus kidney-nourishing Chinese medicinal: effect on severe aplastic anemia. J Tradit Chin Med. 2012;32(4):604-608.33. Marsh JCW, Kulasekararaj AG. Management of the refractory aplastic anemia patient: what are the options? Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2013;2013:87-94.

34. Olnes MJ, Scheinberg P, Calvo KR, et al. Eltrombopag and improved hematopoiesis in refractory aplastic anemia. N Engl J Med. 2012;367(1):11-19.

35. Emmons RVB, Reid DM, Cohen RL, et al. Human thrombopoietin levels are high when thrombocytopenia is due to megakaryocyte deficiency and low when due to increased platelet destruction. Blood. 1996;87(10):4068-4071.

36. Valdez JM, Scheinberg P, Nunez O, et al. Decreased infectionrelated mortality and improved survival in severe aplastic anemia in the past two decades. Clin Infect Dis. 2011;52(6):726-735.

37. Quillen K, Wong E, Scheinberg P, et al. Granulocyte transfusions in servere aplastic anemia: an eleven-year experience. Haematologica. 2009;94(12):1661-1668.