CTEV-referat-satrio
-
Upload
lia-nur-aini -
Category
Documents
-
view
103 -
download
16
description
Transcript of CTEV-referat-satrio
REFERAT
CTEV (CONGENITAL TALIPES EQUINOVARUS)
Dokter Pembimbing :
dr. M.Nasir Zubaidi, Sp.OT
Disusun oleh:
Joko Satrio
01.208.5693
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD Dr. R. SOEDJATI SOEMODIHARJO
PURWODADI
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Congenital Talipes Equino-varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot
merupakan deformitas yang umum terjadi pada anak-anak. Congenital talipes
Equino Varus (CTEV) adalah deformitas yang meliputi flexi dari pergelangan
kaki,inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia.
Menurut Sharrard, congenital talipes equinovarus (CTEV) merupakan
abnormalitas kongenital pada kaki yang paling sering dijumpai. Menurut
Wynne- Davies, insiden di negara Amerika Serikat dan Inggris adalah 1 kasus
dalam 1000 kelahiran hidup, dengan perbandingan laki-laki:perempuan 2:1.
Insiden akan meningkat 2,9 % bila saudara kandung menderita CTEV. Insiden
pada kaukasia adalah 1,12; Oriental: 0,57; sedangkan yang tertinggi adalah
pada suku Maori, yaitu 6,5-7 per 1000 kelahiran. Hal ini menunjukkan bahwa
ras juga mempunyai efek terhadap resiko CTEV.
Deformitas ini memerlukan terapi dan penanganan sedini mungkin.
Tanpa terapi, pasien dengan clubfoot akan berjalan dengan bagian luar
kakinya, yang mungkin menimbulkan nyeri dan atau disabilitas.
1.2. Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mempelajari Congenital talipes
equinovarus yang meliputi definisi, etiologi, patogenesis, klasifikasi,
diagnosis, pemeriksaan radiologis dan penanganan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan
suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada
ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (meng.kuda) + varus
(bengkok ke arah dalam/medial).
Clubfoot sering disebut juga CTEV (Congeintal Talipes Equino
Varus) adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi
dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of
Surgery, Schwartz).
2.2. Epidemiologi
Insidens talipes ekuinovarus kongenital adalah dua dari setiap 1000
kelainan hidup. Lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki daripada
perempuan (2:1). 30% persen bersifat bilateral. Insiden akan meningkat 2,9
% bila saudara kandung menderita CTEV (Rasjad, 2003).
2.3. Etiologi
Sampai sekarang, penyebab dari deformitas ini masih belum dapat dipastikan,
dikemukakan berbagai macam teori tentang hal itu. Antara lain (Ribes,2008;
Apley Graham,1995):
1. Mekanik
Teori ini dikemukakan oleh Hippocrates yang menyatakan bahwa posisi
equinovarus kaki fetus disebabkan oleh tekanan mekanik eksternal.
2. Environmental
Browne (1936) menyatakan teori peningkatan tekanan intrauterin yang
menyebabkan imobilisasi ekstremitas sehingga menyebabkan deformitas.
3. Herediter
Wynne-Davies(1964) bahwa deformitas tersebut terjadi pada 2,9% saudara
kandung.
4. Idiopatik
Böhm menyatakan teori terhambatnya perkembangan embrio. Kaki embrio
normal saat usia 5 minggu kehamilan dalam posisi equinovarus, jika
terjadi terhambatnya perkembangan kaki pada salah satu fase fisiologi
dalam kehidupan embrio, maka deformitas ini akan persisten hingga
kelahiran.
Beberapa teori mengenai penyebab terjadinya CTEV:
Teori kromosomal, antara lain defek dari sel germinativum yang tidak
dibuahi dan muncul sebelum fertilisasi.
Teori embrionik, antara lain defek primer yang terjadi pada sel
germinativum yang dibuahi (dikutip dari Irani dan Sherman) yang
mengimplikasikan defek terjadi antara masa konsepsi dan minggu ke-
12 kehamilan.
Teori otogenik, yaitu teori perkembangan yang terhambat, antara lain
hambatan temporer dari perkembangan yang terjadi pada atau sekitar
minggu ke-7 sampai ke-8 gestasi. Pada masa ini terjadi suatu
deformitas clubfoot yang jelas, namun bila hambatan ini terjadi setelah
minggu ke-9, terjadilah deformitas clubfoot yang ringan hingga
sedang. Teori hambatan perkembangan ini dihubungkan dengan
perubahan pada faktor genetic yang dikenal sebagai “Cronon”.
“Cronon” ini memandu waktu yang tepat dari modifikasi progresif
setiap struktur tubuh semasa perkembangannya. Karenanya, clubfoot
terjadi karena elemen disruptif (lokal maupun umum) yang
menyebabkan perubahan faktor genetic (cronon).
Teori fetus, yakni blok mekanik pada perkembangan akibat
intrauterine crowding.
Teori neurogenik, yakni defek primer pada jaringan neurogenik.
Teori amiogenik, bahwa defek primer terjadi di otot.
2.4. Klasifikasi
a. EASY CASE / FLEKSIBEL :
Dimana belum terjadi kekakuan pada sendi.
Akan banyak berhasil dengan terapi konservatif (manipulasi, strapping,
plastering)
Tumitkecil, equinus, dan inversi. Kulit dorsolateral pergelangan kaki ti
pis dan teregang,sedangkan kulit medial terlipat , kurang olahraga.
b. RESISTANT CASE/RIGID :
Masih terdapat deformitas walaupun koreksi telah dilakukan berbulan
bulan.
Sulit dikoreksi secara konservatif.
Tumit normal dan terdapat lipatan kulit pada bagian dorsolateral
pergelangan kaki.
2.5. Patofisiologi
Clubfoot bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki yang pada
mulanya normal akan menjadi clubfoot selama trimester kedua kehamilan.
Clubfoot jarang terdeteksi pada janin yang berumur dibawah 16 minggu.
Pada clubfoot, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan medial
ankle serta sendi tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat menahan kaki
pada posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi
adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot betis berbanding terbalik dengan derajat
deformitasnya. Pada kaki pengkor yang sangat berat, gastrosoleus tampak
sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis. Sintesis kolagen yang berlebihan
pada ligament, tendo, dan otot terus berlangsung sampai anak berumur 3-4
tahun dan mungkin merupakan penyebab relaps (kekambuhan). Sintesis
kolagen ini menyebabkan ligamen mudah digerakkan.
Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan gentle, tidak
membahayakan. Sintesis kolagen akan muncul lagi beberapa hari berikutnya,
yang memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut. Inilah sebabnya
koreksi deformitas secara manual mudah dilakukan.
Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang
tarsal, yang hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan, berada dalam
posisi fleksi, adduksi, dan inversi yang berlebihan. Sendi-sendi tarsal secara
fungsional saling tergantung. Pergerakan satu tulang tarsal akan menyebabkan
pergeseran tulang tarsal disekitanya. Pergerakan sendi ditentukan oleh
kelengkungan permukaan sendi dan struktur ligamen yang mengikatkanya.
Sehingga koreksi tulang tarsal kaki pengkor yang inversi serta bergeser jauh
ke medial, harus dilakukan dengan menggeser navicular, cuboid, dan
calcaneus ke arah lateral bertahap dan simultan.
Pergeseran ini mudah dilakukan karena ligament tarsal
dapat diregangkan secara bertahap. Koreksi tulang tarsal kaki pengkor yang
telah bergeser hebat memerlukan pengertian yang baik mengenai anatomi
fungsional talus.
2.6. Gambaran Klinis
Kelainan ini bisa bersifat bilateral atau unilateral. Kelainan yang ditemukan
berupa:
Inversi pada kaki depan
Adduksi atau deviasi interna dari kaki depan terhadap kaki belakang
Ekuinus atau plantar fleksi
Pengecilan dari otot-otot betis
Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan
dorsofleksi normal.
Tanda lain :
Betis seperti tangkai pipa (pipe stem colf)
Tendo achiles pendek
Bagian distal fibula menonjol
Kaki lebar dan pendek
Metatarsal I pendek
2.7. Diagnosis
Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada
waktu lahir (early diagnosis after birth).
Berupa deformitas pada :
Adduksi dan supinasi kaki depan pada sendi mid dorsal
Subluksasi sendi talonavikulare
Equinus kaki belakang pada sendi ankle
Varus kaki belakang pada sendi subtalar
Deviasi medial seluruh kaki terhadap lutut
Inversi tumit
2.8. Pemeriksaan Radiologi
X-ray dibuat bayi umur 3-6 bulan. Cara yang paling sederhana yaitu membuat
foto AP dan akan kelihatan talus dan calcaneus tumpang tindih. Penting untuk
menilai x-ray apakah ada “paralelisme” antara sumbu talus dan calcaneus yang
terjadi pada CTEV. Normal besar sudut sumbu talus dan calcaneus 30 (sudut dari
kite). Demikian pula x-ray posisi lateral dimana kaki dibuat dorsofleksi
maksimal juga akan memberikan gambaran “paralelisme” pada CTEV. Pada
kaki yang normal ujung talus dan calcaneus selalu overlap (tumpang tindih),
sedangkan pada CTEV tidak ada, menunjukan adanya kapsul posterior yang tegang dan varus.
Lateral x-ray juga bisa untuk melihat adanya “ricket bottom” yaitu garis yang melalui tepi
bawah calcaneus melewati bagian bawah sendi calcaneocuboid, dan
juga bias untuk melihat adanya flat topped talus. Sering x-ray
selain untuk operatif dan post-operatif di pakai intraoperatif untuk
melihat apakah release dan realigment sudah cukup.
2.9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus dimulai sedini mungkin, lebih baik
segera sesudah lahir. Tiga minggu pertama setelah lahir
merupakan periode emas/ golden period , sebab jaringan ligamentosa bayi
baru lahir masih kendor karena pengaruh hormon maternal.
. Terapi non-operatif
1.Koreksi Gips Ponseti
• Manipulasi dan Pengegipan (dimulai segera setelah lahir)
– Menentukan letak kaput talus dengan tepat
– Manipulasi
Tindakan manipulasi adalah melakukan abduksi dari kaki dibawah
caput talus yang telah distabilkan.
– Mengoreksi (memperbaiki) cavus
Mengoreksi cavus dengan memposisikan kaki depan
( forefoot ) dalam alignment yang tepat dengan kaki
belakang ( hindfoot). Alignment (kesegarisan) forefoot dan
hindfoot untuk mencapai arcus plantaris yang normal sangat
penting agar abduksi --yang dilakukan untuk mengoreksi adduksi
dan varus -- dapat efektif.
– Pemasangan Gips
2. Bracing
• Tiga minggu setelah tenotomi, gips dilepas, dan brace segera dipakai.
• Tujuannya untuk mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi.
• Brace berupa bar (batang) logam direkatkan pada sepatu yang
bertelapak kaki lurus dengan ujung terbuka (straight-last open-
toe shoes).
• Pada kasusunilateral, brace dipasang pada 60-70 derajat eksternal
rotasi pada sisi sakit dan 30-40 derajateksternal rotasi pada sisi yang
sehat [2] . Pada kasus bilateral, brace diatur 70 derajat eksternalrotasi
pada kedua sisi.
• Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama semenjak
gips terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama
12 jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang. Sehingga total
pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4tahun.
Terapi operatif
• Indikasi pemilihan pelaksanaan terapi operatif adalah adanya komplikasi
yang terjadi setelah terapi konservatif.
• Pada kasus resisten, terapi operatif paling baik dilakukan pada usia 3-6
minggu, ketika tidak tampak adanya perbaikan yang signifikan setelah me
njalani terapi konservatif yang teratur.
1.Koreksi jaringan lunak
• Koreksi jaringan lunak dilakukan pada bayi dan anak dibawah 5 tahun.
Pada usia ini, biasanya belum ada deformitas pada tulang-tulang kaki, bila
dilakukan operasi pada tulang dikhawatirkan malah merusak tulang dan
sendi kartilago anak yang masih rentan.
• Tenotomi
Indikasi : untuk mengoreksi equinus setelah cavus adduksi, dan varus
sudah terkoreksi baik akan tetapi dorsofleksi ankle masih kurang dari 10
derajat.Pastikan abduksi sudah adekuat sebelum melakukan tenotomi.
Tenotomi merupakan operasi minor, dengan anestesi lokal, dan dilakukan
di klinik rawat jalan.
• Gips paskatenotomi
Gips dipertahankan selama 3 minggu setelah koreksi komplet. Gips dapat
diganti jika rusak atau kotor sebelum 3 minggu.
2.Koreksi jaringan keras
• Operasi pada tulang atau osteotomi dilakukan setelah usia anak 5-10
tahun. Karena pada usia
ini biasanya telah terjadi deformitas struktur tulang dan koreksi yang di
harapkan tidak mungkin berhasil tanpa pembenahan tulang.
• Tindakan berupa :
1.Osteotomi calcaneus untuk koreksi inversi
2.Wedge reseksi sendi calcaneocuboid
3.Osteotomi cuboid
4.Osteotomi cuneiformis untuk koreksi adduksi yang berlebihan
5.Osteotomi tibia dan fibula, jika torsi tibia berlebihan (jarang terjadi).
Tindakan pada anak dengan usia lebih tua, lebih dari 10 tahun,
biasanya:
1. Rekonstuksi tarsal, termasuk triple arthrodesis. Dilakukan pada kaki
yang rigid dan seringkali diserta nyeri serta tidak berespon pada gips
serial atau prosedur operasi yang lain.
2. Osteotomi femur
2.10. Prognosis
Rata-rata 50% CTEV pada neonatus dapat diperbaiki secara non-operatif.
Ponseti
melaporkan 89% tingkat kesuksesan dengan menggunakan tekhniknya (termas
uk tenotomi Achilles).
Terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat
diperbaiki. Meskipun demikian, keadaan ini tidak dapat sembuh sempurna dan
sering kambuh, terutama pada bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata atau
disertai penyakit neuromuskuler.
BAB III
KESIMPULAN
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau sering disebut
congenital club foot (kakigada) adalah suatu kelainan kongenital
bentuk kaki dan pergelangan kaki yang berupa equines (plantar
fleksi), varus (inversi) dan adduksi.
C T E V d i k l a s i f i k a s i k a n a t a s : CTEV rigid bisa fleksible
(misalnya: dapat dikoreksi tanpa tindakan bedah) atau resisten
(membutuhkan tindakan bedah,meskipun ini tidak sepenuhnya benar
berdasarkan penelitian Ponseti).
Insidens talipes ekuinovarus kongenital adalah dua dari setiap 1000
kelainan hidup. Lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki dari
pada perempuan (2:1). Tiga puluh persen bersifat bilateral.
Diagnosa CTEV dapat ditegakkan melalui anamnesa,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Untuk
pemeriksaan radiologi, metode evaluasi radiologis yang standar
digunakan adalah foto polos. Pemeriksaan tambahan lainnya CT
scan, USG dan MRI.
P e n a t a l a k s a n a a n h a r u s d i m u l a i s e d i n i m u n g k i n ,
l e b i h b a i k s e g e r a s e s u d a h l a h i r . Asalkan terapi dimulai sejak
lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat diperbaiki. Walau
demikian, keadaan ini tidak dapat sembuh sempurna dan sering kambuh.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Apley Graham A. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ed 7. Jakarta: PenerbitWidya Medika, 1995.
Ribes Ramon. Learning Diagnostic Imaging . Heidelberg: Springer, 2008
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta.3.Salter, Robert B. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal system.Edisi 3, 2008. Jakarta : FKUI RSCM
Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3, 2009. Jakarta : PT.Yarsif Watampone
Crenshaw AH.Campbell‘s Operative Orthopaedics. 7th ed. Missouri: Mosby Co, 1987.
Clubfoot . T a k e n f r o m http://emedicine.medscape.com/article/1237077-overviewonJanuary 1, 2012.
C l u b f o o t I m a g i n g . T a k e n f r o m http://emedicine.medscape.com/article/407294-overview#showallon January 1, 2012.5.Orto-CTEV. Taken from www.staff.undip.ac.id/FK/tantiajoe/files/2010/07/orto-ctev.doc
C a m p b e l l S u z a n n a K . Physical Therapy in Children. P h i l a d e l p h i a : W . B. S a u n d e r s Company, 1995.
Lovell Wood W, Winter Robert B. Pediatric Orthopaedics. 2nd ed. Philadelphia: J.B.Lippincott company; 1986.
Ferner H, J. Staubesand.T h e S o b o t t a A t l a s o f H u m a n A n a t o m y , V o l I I , E d . B a h a s a Indonesia. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 1985.