CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

27
CASE REPORT SESSION PNEUMOTORAKS Disusun Oleh : Nor Saadah Redzwan 1301-1211-3054 Huda Abdul Halim 1301-1211-3093 Hanis Syamimi 1301-1211-3067 Preceptor : Rama dr., Sp.BTKV BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

Transcript of CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Page 1: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

CASE REPORT SESSION

PNEUMOTORAKS

Disusun Oleh :

Nor Saadah Redzwan 1301-1211-3054

Huda Abdul Halim 1301-1211-3093

Hanis Syamimi 1301-1211-3067

Preceptor :

Rama dr., Sp.BTKV

BAGIAN ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN

BANDUNG

2012

Page 2: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

I. KETERANGAN UMUM

Nama : An. A

Umur : 12 tahun

Agama : Islam

Alamat : Cikancung, Ciluluk

Masuk RS : 26 Oktober 2012

Tanggal Pemeriksaan : 29 Oktober 2012

II. ANAMNESIS (auto dan heteroanamnesa)

Keluhan Utama : Sesak nafas

Anamnesis khusus :

Sejak 3 hari dirawat di RSHS, pasien merasakan keluhan sesak nafas yang

terus menerus dan semakin lama semakin berkurang setelah di pasang selang pada

dada. Keluhan nyeri dada tidak ada.

Riwayat trauma ada yaitu 3 jam SMRS, pasien jatuh dari pohon dengan

ketinggian 2 meter. Punggung pasien terkena pagar sehingga menyebabkan luka

tembus di punggung kanan. Riwayat pingsan tidak ada, tidak ada perdarahan dari

hidung, mulut dan telinga, tidak ada mual dan muntah. Keluhan sesak ada yang

dirasakan semakin lama semakin memberat. Keluhan nyeri dada tidak ada. Pasien

kemudiannya dibawa ke RS Majalaya dan dirujuk ke RSHS.

Keterangan tambahan :

Di UGD RSHS, pasien dipasang selang pada dada. Pasien telah dirawat

selama 3 hari di IHC.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status generalis

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

Tanda vital : T : 110/80 mmHg HR : 92 x / mnt

R : 30 x / mnt S : 36,5 ºC

Gizi : Cukup baik

Kepala : Konjungtiva tak anemis, Sklera tak ikterik

Page 3: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Pupil bulat isokor, diameter ODS 3mm, RC +/+

Leher : JVP tak meningkat

KGB tak teraba membesar

Thorax : lihat status lokalis

Abdomen : Datar, lembut

Hepar dan Lien tak teraba

Bising usus (+) normal

Genitalia : tidak ada kelainan

Extremitas : akral hangat, CRT <2”

Status lokalis

a/r Thoraks dextra : Bentuk dan gerak simetris

Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris dekstra

Produksi cairan (-), air buble (-), undulasi (+)

a/r Thoraks sinistra : Bentuk dan gerak simetris

Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris sinistra

Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+)

a/r Thorax posterior dx : Tertutup verban

Jantung : Bunyi jantung murni reguler, S1=S2 N, Murmur (-)

Paru-paru : Vokal Fremitus ka=ki, sonor

VBS ka=ki, Ronkhi -/-, Wheezing -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium(28 Oktober 2012)

Hb 9,8L 8,400Ht 28Tr 178,000pH arteri 7,410pCO2 arteri 33pO2 arteri 212,0HCO3 arteri 21,0Tot CO2 arteri 22BEA - 3Sat O2 arteri 100

Page 4: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Foto thoraks (26 Oktober 2012)

Kesan : Pneumothorax sinistra

Foto Thoraks (27 Oktober 2012)

Page 5: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Foto Thoraks (28 Oktober 2012)

V. RESUME

Seorang anak laki-laki, berusia 12 tahun, dengan keluhan utama sesak nafas.

Penderita dirujuk dari RS Majalaya.

Dari anamnesis didapatkan keluhan sesak nafas semakin lama semakin

berkurang setelah dipasang selang di dada. Riwayat pasien jatuh dari pohon dengan

ketinggian 2 meter dengan punggung pasien terkena pagar sehingga menyebabkan

luka tembus di punggung kanan. Pingsan (-), PTHM (-), Muntah (-). Pasien telah

dirawat selama 3 hari di IHC.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Status

lokalis

a/r Thoraks sinistra : Bentuk dan gerak simetris

Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris sin

Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+)

a/r Thoraks dekstra : Bentuk dan gerak simetris

Terpasang CTT pada anterior linea midaksilaris dx

Produksi cairan (-), air buble(-), undulasi (+)

a/r Thorax posterior dx : Tertutup verban

Dari foto toraks ditemukan kesan pneumotorax.

Page 6: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

VI. DIAGNOSIS KERJA

Post insersi CTT bilateral ai open pneumotoraks dekstra ec trauma penetrans

aspek thoracalis dekstra aspek posterior + closed pneumotoraks sinistra ec

trauma tumpul sinistra + post sutur primer ai vulnus penetrans a/r thorax

dekstra aspek posterior

VII. USUL PEMERIKSAAN

o Periksa laboratorium darah lengkap, urinalisa, AGD ulang

VIII. TERAPI

Umum : - Bed rest

- Diet lunak

Khusus : - Infus RL 1500cc/24 jam

- O2 nasal kanul 3 L/menit

- Cefotaxim 2x1 gr i.v

- Ranitidin 2x1 ampul i.v

- Ketorolac 2x1 ampul i.v

- Chest fisioterapi

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Page 7: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

PEMBAHASAN PNEUMOTORAKS

PENDAHULUAN

Pneumothoraks adalah suatu keadaan ditemukannya gas atau udara di dalam

rongga pleura, terjadi karena adanya hubungan terbuka antara rongga dada dan dunia

luar. Hubungan mungkin melalui luka di dinding dada yang menembus pleura

parietalis atau melalui luka di jalan nafas yang sampai ke pleura visceralis.

Dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru

leluasa mengembang terhadap rongga dada. Pada pneumothoraks, udara masuk ke

dalam rongga pleura melalui 3 jalan, yaitu :

1. Udara dari luar dan terdapat penetrasi dinding dada,

2. Udara dari dalam yang masuk melalui robekan dinding alveoli dan seterusnya

ke rongga pleura. Dapat juga udara berasal dari esophagus atau viskus

abdomen (amat jarang),

3. Pembentukan gas/udara oleh mikroorganisme dalam dinding pleura pada

penyakit empiema.

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan terdapat 20.000 kasus pneumotoraks spontan setiap tahunnya di

Amerika serikat. Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Persahabatan Jakarta pada tahun

1999 didapat 253 penderita pneumotoraks dan angka ini merupakan 5,5 % kunjungan

dari seluruh kasus respirasi yang datang. Peningkatan angka kejadian kasus

pneumotoraks berdasarkan penelitian setiap tahunnya, belum dapat dijelaskan dengan

pasti. Peningkatan angka kejadian ini mungkin berhubungan dengan polusi udara

perubahan tekanan atmosfir, rokok dan belakangan ini dikatakan juga dipengaruhi

oleh genetik.

Terdapat hubungan antara insiden pneumotoraks spontan dengan jenis

kelamin, umur, dan penyakit penyerta. Pneumotoraks Spontan lebih banyak terjadi

pada laki-laki dibandingkan perempuan. Berdasarkan umur, terlihat 2 kali

penambahan kecenderungan pneumotoraks pada usia 20-30an dengan pneumotoraks

spontan primer dan 50-60an dengan pneumotoraks spontan sekunder. Walaupun

Page 8: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

angka kejadian PSP pada perempuan lebih kecil daripada laki-laki namun angka

rekurensinya lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu 71,4 % : 46,2 %.

KLASIFIKASI PNEUMOTORAKS

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,

iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer

dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan

pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostic ataupun

terapeutik.

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang

mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural

ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan

video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan

primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari

pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan komputasi

tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adalah

perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan perokok.

Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah

teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh

rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan netrofil dan makrofag. Proses ini

menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan–

antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses

inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran

udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura parietalis

pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.

Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh

udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya

keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru

akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari

proses ini adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan

turunnya PO2.

Page 9: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam

patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks

spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan,

homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang

sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan

alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah

ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya

udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan

menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan

sekunder adalah:

Penyakit saluran napas

o PPOK

o Kistik fibrosis

o Asma bronchial

Penyakit infeksi paru

o Pneumocystic carinii pneumonia

o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram

negatif atau staphylokok)

Penyakit paru interstitial

o Sarkoidosis

o Fibrosis paru idiopatik

o Granulomatosis sel langerhans

o Limfangioleimiomatous

o Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung

o Artritis rheumatoid

o Spondilitis ankilosing

o Polimiositis dan dermatomiosis

o Sleroderma

o Sindrom Marfan

Page 10: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

o Sindrom Ethers-Danlos

Kanker

o Sarkoma

o Kanker paru

Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun

non-penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat

menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes

karena tidak ada lagi tarikan ke luar dinding dada. Pengembangan dinding dada pada

saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau bahkan paru

tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya negatif akan

meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian yang mengalami

pneumotoraks.

Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau

bedah. Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic

needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan

positif (positive pressure mechanical ventilation). Angka kejadian kasus

pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.

Pneumotoraks ventil (tension pneumothorax) terjadi akibat cedera pada

parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini

mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya

aliran balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan

intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi

mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik. Udara

yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura sehingga

menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral. Hal

ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung

turun karena venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat

gangguan pertukaran udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi

kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan

hemodinamik yang akan berakibat fatal jika tidak ditangani secara tepat.

Page 11: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

GEJALA KLINIK

Keluhan dan gejala-gejala klinik pneumothoraks amat bergantung pada besar-

kecilnya lesi pneumothoraks dan ada tidaknya komplikasi penyakit paru. Beberapa

pasien menunjukkan keadaan asimptomatik dan kelainan hanya dapat ditemukan

pada pemeriksaan foto dada rutin. Pada beberapa kasus, pneumothoraks terluput dari

pengamatan.

Gejala utama adalah adanya rasa sakit yang tiba-tiba, umumnya bersifat akut,

terlokalisasi pada sisi yang terkena serta diikuti sesak nafas. Kelainan ini ditemukan

pada 80-95% kasus. Gejala ini akan nampak jelas pada saat penderita melakukan

aktivitas berat. Namun rasa sakit tidak selalu timbul, dapat menghebat atau menetap

bila telah terjadi perlengketan antara pleura parietalis dan visceralis. Pada tekanan

kuat pneumothoraks suatu saat perlengketan ini dapat sobek sehingga terjadi

perdarahan (hemopneumothoraks).

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital pasien umumnya normal, namun beberapa

pasien dapat timbul takikardia. Pada inspeksi akan didapatkan sisi dada yang terkena

akan tampak lebih besar dan kurang bergerak saat bernapas. Akan ditemukan pula

penurunan taktil fremitus dan vokal fremitus, perkusi yang hiperresonans, serta suara

napas tidak ada atau berkurang pada sisi yang terkena.

Pada pasien dengan tension pnuemothorax biasanya terdapat manifestasi

kolaps kardiovaskuler dan ketidakstabilan hemodinamik. Biasanya muncul pada

pasien dengan ventilasi mekanik. Secara tipikal pasien biasanya akan mengalami

sudden respiratory distress dan agitasi. Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan

takikardia berat (>140 x/menit), hipotensi, sianosis atau deviasi trakea.

DIAGNOSIS

Diagnosis didasari dengan gejala yang didapatkan melalui anamnesis dan

pemeriksaan fisik disertai pemeriksaan penunjang. Pemeriksan foto roentgen dada

merupakan prosedur standar untuk menegakkan diagnosa pneumothoraks. Sebaiknya

dilakukan foto dada tegak dengan posisi PA (Posteroanterior) karena dengan posisi

semi supine dan AP tidak selalu tampak pada kedua thoraks. Bila penderita tidak

dapat tegak dilakukan foto dengan posisi lateral dekubits dengan sisi yang tekena di

bagian atas.

Page 12: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Foto rontgen penderita pneumotoraks

Dapat terjadi pengumpulan cairan pada pneumothoraks yang terjadi lebih dari

24 jam. Cairan ini biasanya jernih dan tidak perlu dilakukan analisa cairan. Kejadian

efusi pleura pada penderita pneumothoaks spontan berkisar antara 15-20 %. Efusi

yang luas dengan cairan > 200 cc sering kemerahan akibat robeknya pembuluh

darah.

Pasien dengan emfisema bulosa dapat memiliki gambaran radiografi bula

yang besar yang bisa tampak seperti pneumotoraks. Untuk mengidentifikasi adanya

pneumotoraks adalah dengan garis pleura viseral yang tampak lurus atau cembung

terhadap dinding dada, sementara pada bula memiliki gambaran konkaf. Pada pasien

yang diagnosisnya belum dapat ditegakkan, pemeriksaan CT-scan dada mungkin

diperlukan untuk membedakan dua keadaan ini karena hanya pneumotoraks yang

bisa diterapi dengan pemasangan tube torakostomi.

Pada pemeriksaan CT-scan pneumotoraks tension didapatkan adanya kolaps

paru, udara di rongga pleura, dan deviasi dari struktur mediastinum. Pemeriksaan

CT-scan lebih sensitif daripada foto toraks pada pneumotoraks yang kecil walaupun

gejala klinisnya masih belum jelas. Penggunaan USG untuk mendiagnosis

Page 13: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

pneumotoraks masih dalam pengembangan. Di beberapa pusat trauma, pendeteksian

pneumotoraks sudah dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan FAST (Focused

Abdominal Sonography for Trauma).

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penatalaksaan pneumotoraks spontan adalah evakuasi udara di

dalam rongga pleura, memfasilitasi penyembuhan pleura dan mencegah terjadinya

rekurensi secara efektif. Pilihan terapi meliputi, yaitu terapi oksigen, observasi,

aspirasi sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi

single port, dan torakotomi.

Terapi oksigen

Suplemen oksigen akan mempercepat absorbsi udara di rongga toraks

sebanyak 4 x dibandingkan dengan tanpa suplementasi oksigen. Oksigen akan

mengurangi tekanan parsial nitrogen di dalam kapiler darah sekitar rongga pleura dan

akan meningkatkan gradien tekanan parsial nitrogen. Hal ini akan menyebabkan

nitrogen ke dalam kapiler pembuluh darah di sekitar rongga pleura dan diikuti oleh

gas lain. Suplementasi oksigen pada konsentrasi tinggi harus diberikan pada seluruh

kasus pneumotoraks.

Observasi (tanpa tindakan invasif)

Bila hubungan antara alveoli dan rongga pleura dihilangkan, maka udara di

dalam rongga pleura akan diabsorbsi secara betahap. Kecepatan absorpsi antara

berkisar 1,25 % dari volume hemitoraks setiap 24 jam. ACCP membagi klinis

penderita atas penderita dalam kondisi stabil, jika :

- laju napas < 24 x/menit

- denyut jantung 60-120 x/menit

- tekanan darah normal

- saturasi oksigen > 90 % (tanpa asupan oksigen)

Setelah observasi penderita dapat dipulangkan dan datang kembali ke rumah sakit

bila terdapat gejala klinik yang memberat. Tindakan fisioterapi dengan pemberian

Page 14: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

penyinaran gelombang pendek pada pneumotoraks spontan kurang dari 30%, secara

bemakna meningkatkan absorbsi udara dibandingkan dengan hanya observasi saja.

Aspirasi sederhana dengan kateter vena

Aspirasi sederhana terutama direkomendasiksan pada terapi awal penderita

pneunotoraks spontan primer (PSP) pertama, karena memiliki tingkat keberhasilan

lebih tinggi (70%) dibandingkan bila dilakukan pada penderita pneumotoraks

spontan sekunder (PSS). Prosedur ini memiliki keuntungan antara lain morbidity

yang minimal dan dapat dilakukan pada pasien rawat jalan sehingga penderita dapat

bekerja kembali serta relatif mudah dan murah. Kelemahan prosedur ini apabila

gagal maka perlu dilakukan pemasangan tube thoracostomy.

Pemasangan WSD

Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan pertama

sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif seperti torakoskopi

atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada pneumotoraks terutama

ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengan tindakan aspirasi dan penderita

PSS, sebelum menjalani tindakan torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP

angka keberhasilan pemasangan tube thoracostomy lebih tinggi dibandingkan

dengan PSS. Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikan

keuntungan dalam mempercepat pengembangan paru, sehingga pada awal

pemasangan biasanya dihubungkan dengan katup satu arah atau dengan perangkat

WSD tanpa suction, namun bila terjadi kebocoran udara tube thoracostomy

dihubungkan dengan suction.

Pleurodesis

Dilakukan terutama untuk mencegah rekurensi terutama penderita dengan risiko

tinggi untuk terjadinya rekurensi. Zat sklerosan yang ideal harus memenuhi beberapa

kriteria :

- murah

- mudah didapat

- mudah dimanipulasi

Page 15: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

- mudah disterilisasi

- mudah dipakai (pada saat tindakan torakosentesis)

- aman

Bahan yang biasanya digunakan adalah oksitetrasiklin, minosklin, doksisklin, atau

talk.

Torakoskopi

Tindakan yang dilakukan adalah reseksi bula dan pleurodesis. Torakoskopi pada PSS

harus dilakukan bila paru tidak mengembang setelah 48-72 jam.

Torakotomi

Merupakan tindakan akhir apabila tindakan yang lain gagal. Tindakan ini memiliki

angka rekurensi terendah yaitu kurang dari 1 % bila dilakukan pleurektomi dan 2-5

% bila dilakukan pleurodesis dengan abrasi mekanik.

KOMPLIKASI

1. Tension pneumotoraks

Kejadian ini terjadi pada 3 – 5 % penderita pneumotoraks. Tekanan udara yang

terdapat pada tension penumotoraks adalah + 10 s.d 25 cm H2O. Nilai ini jelas

berbeda dengan tekanan subatmosfir yang biasanya terdapat pada pneumotoraks

biasa.

Pengobatan adalah segera melakukan dekompresi dengan jarum, kateter kecil

atau pipa interkostalis dan dihubungkan dengan water sealed drainage.

2. Pyo-pneumotoraks

Ditemukan pneumotoraks disertai dengan empiema secara bersamaan pada satu

sisi paru. Infeksi berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari

robekan jaringan paru atau esophagus ke arah rongga pleura. Kebanyakan dari

abses subpleura dan sering membuat fistula bonko-pleura. Jenis kuman yang

sering terdapat adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Klebsiella, M.

ruberculous.

Page 16: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

Pengobatan dengan chest tube untuk mengeluarkan cairan pus dan udara dari

fongga pleura sehingga paru dapat mengembang kembali. Diberikan pula

antibiotic sistemik, kadang diperlukan pembilasan rongga pleura dengan cairan

antiseptic dan pemberian antibiotic secara local ke dalam pleura.

3. Hidropneumotoraks / hemopneumotoraks

Pada 25% penderita penumotoraks ditemukan sedikit cairan dalam rongga pleura.

Biasanya bersifat serosa, seroanguinus atau kemerahan (berdarah). Jika

pneumotoraks baru saja terjadi, hendaknya segera ditentukan apakah terjadi juga

hidrotoraks. Untuk itu perlu dilakukan tindakan torakosentesis. Hidrotoraks dapat

timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumotoraks pada kasus-kasus trauma,

perdarahan intra pleura atau perforasi esophagus (cairan lambung masuk dalam

rongga pleura).

Bila terjadi hemopneumotoraks pemasangan chest tube dipertahankan untuk

mengembangkan paru dan mengukur jumlah darah yang hilang. Pada

penumotoraks spontan perdarahan terjadi karena robeknya bagian perlengketan

(adhesi) antar pleura.

Pada pneumotoraks traumatic perdarahan terjadi pada dinding dada (jarang) dan

jaringan paru (lebih sering). Sesudah paru kembali mengembang biasanya

perdarahan intra pleura akan segera berhenti. Tetapi bila tetap bila tetap berlanjut

setelah dilakukan terapi konservatif perlu dipertimbangkan torakotomi untuk

mengikat pembuluh darah yang bocor.

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan

Adanya pneumomediastinum dapat ditentukan dengan pemeriksaan foto dada.

Insidensinya 1 % dari seluruh penumotoraks.

Kelainan dimulai dari robeknya alveoli ke dalam jaringan interstitial paru dan

kemudian diikuti oleh pergerakan udara yang progresif ke arah mediastinum

(pneumomediastimum) dan ke arah lapisan fasicia otot-otot leher (emfisema

subkutan).

Pneumomediastinum jarang menumbulkan kelainan-kelainan klinis walau secara

potensial dapat menimbulkan tamponade saluran darah besar. Untuk mencegah

komplikasi yang jarang terjadi ini dilakukan tindakan dekompresi pada

mediastinum tersebut.

Page 17: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

5. Pneumotoraks simultan bilateral

Pneumotoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak terdapat pada 2 %

dari kejadian pneumotoraks. Keadaan ini timbul sebagai kelanjutan

pneumomediastinum yang secara sekunder timbul dari emfisema jaringan

interstitial paru. Sebab lain bisa juga dari emfisema mediastinal yang berasal dari

perforasi esophagus.

Pengobatan tergantung dari berat ringannya gejala. Bila ringan pengobatan sama

dengan penumotoraks spontan primer lainnya. Bila berat, disertai sesak nafas

perlu torakotomi untuk mengobati sumber penyebabnya atau melakukan

obliterasi secepatnya pada salah satu rongga pleura yang terkena.

6. Pneumotoraks kronik

Dinyatakan kronik bila tetap ada selama waktu > 3 bulan. Pneumotoraks kronik

ini terjadi bila fistula bronco-plelura 5 % dari seluruh penumotoraks.

Faktor penyebabnya adalah :

- perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka

- adanya fistula bronco-pleura yang melalui bulla atau kista

- adanya fistula bornko-pleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul

rematoid atau tuberkuloma.

Pengobatan yang terbaik adalah dengan menutup fistula bronco-pleura.

Page 18: CRS Pneumotorax Huda Adah Mimi

REFERENS

1. Arief N, Syahruddin E. Pneumotoraks. Hal 1-2 Jakarta. 2008.

2. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74

3. Bascom R. Pneumothorax. 2006. Available from:

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm#section%7EIntroduction

4. Chang AK. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and Pneumomediastinum. 2007.

Available from: http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM

5. Boowan JG. Pneumotoraks, Tension and traumatic. 2006. Available from:

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM

6. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA. Fishman’s Pulmonary diseases and disorders ; 2008

7. American College of Chest Physicians. Management of spontaneous pneumothorax: An

American College of Chest Physicians Delphi Consensus Ststement. Chest 2001 ; 119:

590-602