COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi....

52
COVER DEPAN (FILE TERPISAH)

Transcript of COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi....

Page 1: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

COVER DEPAN(FILE TERPISAH)

Page 2: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

2 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Dari Redaksi

SEKITAR 30 tahun yang silam, futurolog kenamaan, Alvin Tofler dalam salah satu bukunya membagi perkembangan peradaban manusia itu menjadi 3 gelombang. Pertama, masyarakat agraris (8000 SM-1700 Masehi). Masa ini masyarakat mulai mengenal tekhnologi pertanian. Kedua, masyarakat industri (1700-1970), sifat manusia mulai serakah, ‘tidak puas’ dengan bercocok tanam dan memanfaatkan sumberdaya alam, mulailah mencari keuntungan dari alam. Ketiga, masyarakat Informasi (1979-2000), masyarakat yang sebagian besar menjadikan informasi sebagai salah satu kebutuhan utama dalam hidupnya. Ini sesuai dengan ‘ramalan’ Marshal Mc.Luhan di era 1960-an bahwa dengan teknologi komunikasi dunia menjadi desa global (global village). Teknologi, perangkat, software, jaringan, dan saudara-saudaranya menjadi ‘icon’ penting dalam era saat ini.

Saat ini juga disebut era disruptif yang tidak hanya berlaku bagi dunia bisnis, tapi juga birokrasi. Gesit (agile), cepat dalam berinovasi, memiliki budaya eksperimental dan berani mengambil risiko untuk mengeksplorasi peluang baru serta mengeksploitasi peluang untuk pelayanan menjadi kunci penting bisa meraih keunggulan kompetitif. Era Pandemi COVID-19 memaksa semua kalangan melakukan transformasi, termasuk bagaimana teknologi digital menjadi salah satu perangkat yang solutif. Para birokrat dan APIP harus mampu beradaptasi dalam semua bidang, termasuk dalam hal pengawasan.

Inforwas edisi ini mengangkat Laporan Utama Transformasi Pengawasan yang berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan kualitas, konsultasi dan

TIM REDAKSI BULETIN INFORWAS

PELINDUNGInspektur Jenderal

PENASEHATInspektur IInspektur IIInspektur IIIInspektur IVInspektur Investigasi

PENANGGUNG JAWABSekretaris Inspektorat Jenderal

REDAKTURPemimpin Redaksi

Kepala Bagian Program dan Informasi

Anggota Dewan RedaksiKepala Bagian TU, Hukum dan KepegawaianKepala Bagian APTLHPKepala Bagian Keuangan dan BMNKepala Sub Bagian Evaluasi, Informasi dan Humas

Penyunting/EditorKanser Arif Ardianto, SKMdr. Doli Wilfried H.S, M.Kes, CFrAWarseno, S.Kom, MM, QRMAAchmad Rofik, SKM, MMHadi Gusnaidi, SKM, MMYelma, S.Kom, MMDr.drg. Ossie Sosondoro W.W., MPH, QRMABondan Wicaksono Adhi, SE, MBAMohamad Taufiq Nugroho, SEdr. Dian RamadhaniNurhayati, SE

Design Grafis

Ario Agung Bramanthi, S.KomAndri Rubiana, S.KomLenggo Geni, S.KomInti Rohdika, S.Kom

FotograferJuwita Puspita, S.I.KomLisa Yuliana, S.PdGita Lestari Ade Novindry, S.PdTitin Suprihatin, S.KomLailatus Syarifah, S.Kom

SekretariatAdhitya Andy Widyatmono, SE, AkWidyastuti, SEIta Oktavianti Gartiwa, SEAsep Rizkana, SKMRizki Agus Priana, SKM

Page 3: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

3INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Pedoman Umum & Etika Penulisan:

1. Naskah/artikel merupakan tulisan, gagasan pemikiran, opini, ulasan, pembahasan atau penjelasan atas peraturan, pengalaman di lapangan, dengan prioritas bidang pengawasan. Redaksi juga menerima tulisan selain bidang pengawasan yang berkaitan dengan program kesehatan, pengetahuan umum dan lainnya.

2. Naskah/artikel harus merupakan karya asli atau saduran. Bila mengambil atau mencuplik kalimat penulis lain, harus mencantumkan nama penulis atau sumbernya, yang kemudian diikuti dengan muatan analisis atau kajian dari penulis, sehingga tidak semata-mata hanya menyadur/menjiplak kalimat/tulisan orang lain saja tanpa ulasan penulis.

3. Naskah/artikel dikirim dalam format microsoft words, theme fonts arial 12, paragraph 1,5 line spasing, diberi judul singkat, jelas dan informatif, yang menggambarkan materi yang akan disampaikan, memuat juga foto-foto pendukung, tabel/grafik sesuai kebutuhan.

4. Sistematika penulisan naskah meliputi: judul, penulis, pendahuluan, sub-sub judul sesuai kebutuhan, analisis permasalahan dan pembahasan saran penulis, penutup atau kesimpulan, dan kepustakaan/rujukan/referensi.

5. Redaksi berhak merubah tulisan tanpa merubah substansi materi tulisan artikel.6. Penulisan kepustakaan/rujukan/referensi terdiri dari nama pengarang, tahun, judul, edisi, penerbit.7. Naskah/artikel ditulis dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing agar dicetak miring, dan

sedapat mungkin diberi makna/arti.8. Nama penulis sedapat mungkin ditulis lengkap termasuk gelar, jabatan, dan unit organisasi, serta alamat/

alamat email penulis, dan dapat disertai dengan electric file pasfoto penulis. Untuk satu naskah/artikel, penulisnya dibatasi maksimal 3 orang (dengan menyebutkan penulis utama dan penulis pembantu).

9. Setiap naskah/artikel yang dimuat akan diberikan honor sesuai dengan Standar Biaya yang berlaku, sedangkan naskah/artikel yang tidak dimuat akan diberikan tanggapan (dapat secara lisan atau tertulis) kepada penulis yang bersangkutan.

Untuk pengiriman/penyampaian naskah/artikel dapat disampaikan langsung ke tim redaksi atau dikirim ke: [email protected] dan ke [email protected]

kegiatan pencegahan korupsi serta ditandai dengan perubahan proses bisnis yang mengedepankan pendekatan audit berbasis risiko. Diluar tema itu, ada sejumlah artikel yang diharapkan juga memberi warna dan manfaat.

Hormat Kami, Rudi Supriatna Nata Saputra, S.Kp, M.Kep, QRMAPemimpin Redaksi

Page 4: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

4 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

LAPORAN UTAMA

DAFTAR ISI INFORWAS

EDISI III . TAHUN 2020

Pedoman Penyusunan PKPT Berbasis Risiko Pedoman Penyusunan PKPT Berbasis Risiko direncanakan untuk mendukung alokasi sumber daya pengawasan ke area yang mewakili prioritas yang paling signifikan.

Irjen Kemkes drg. Murti Utama

Pandemi Covid-19 MomentumKita Harus Berubah

6

11

13Inspektur I Itjen Kemkes Edward Harefa, SE, MM, QCRO

“Kami Terapkan Manajemen Risiko dalam Tugas Pengawasan”

Page 5: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

5INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

ARTIKEL

Satker Jangan Tergantung Tindak Lanjut LHA Melalui Mekanisme TPTDAudit merupakan salah satu bentuk pengawasan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan. Hasil audit Inspektorat Jenderal diharapkan dapat menjadi upaya perbaikan serta memberikan nilai tambah bagi satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

E-PuldatawasKementerian KesehatanKementerian Kesehatan memiliki 418 satuan kerja (satker) yang terdiri dari satker Kantor Pusat, Kantor Daerah, dan Dekonsentrasi (Dinas Kesehatan Provinsi).

Beradaptasi dengan Digitalisasi ArsipSeluruh instansi pemerintah wajib menerapkan e-government. Digitalisasi tata kelola pemerintahan ini juga merupakan langkah nyata reformasi birokrasi yang bermuara pada peningkatan kualitas layanan publik.

22

28

16

Tata Kelola Obat Publik, Optimalkan PersediaanObat Nasional

Masterplan Tata Kelola TIK Itjen Kemenkes

Whistle Blowing System Kemenkes: Jangan Takut Menyuarakan Kebenaran

On Going Process PBJ di Masa Pandemi

30

37

44

48

istim

ewa

med

ium

.com

Page 6: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

6 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Upaya pencapaian tujuan bernegara sangat memerlukan peran pemerintahan yang bersih, baik, berdaya guna, berhasil guna, dan bertanggungjawab

dan berwibawa. Nah, untuk mewujudkan

Pedoman Penyusunan PKPT Berbasis Risiko

PEDOMAN PENYUSUNAN PKPT BERBASIS RISIKO DIRENCANAKAN UNTUK MENDUKUNG ALOKASI SUMBER

DAYA PENGAWASAN KE AREA YANG MEWAKILI PRIORITAS YANG PALING SIGNIFIKAN.

hal tersebut, perlu dilakukan pengawasan yang profesional dan akuntabel. Namun, agar lebih mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan dan tata kelola pemerintahan, perlu disusun perencanaan pengawasan yang berbasis risiko.

laporan utama

Keputusan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/4410/2019 Tentang Pedoman Penyusunan Program Kerja Tahunan

(PKPT) Berbasis Risiko

Page 7: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

7INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

publik). Auditor harus mengevaluasi proses tata kelola sektor publik, manajemen risiko dan pengendalian intern auditi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan.

Agar peran penjaminan dan konsultasi dapat diselenggrakan dengan baik, Inspektorat Jenderal harus menyusun perencanaan Pengawasan Intern yang terdiri (1) Perencanaan Strategis. (2) Perencanaan Pengawasan Intern Tahunan.

Perencanaan Pengawasan Intern Tahunan merupakan bagian dari Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). Disamping itu, setiap aktivitas pengawasan yang dilakukan tidak terlepas dari adanya risiko yang dapat berpengaruh dalam pencapain tujuan.

Perencanaan Pengawasan Intern Tahunan meliputi:(1) Pemilihan sasaran pengawasan

(auditable units)(2) Jenis, cakupan, lama, waktu dan tujuan

pengawasan intern yang akan dilakukan(3) Perkiraan kebutuhan sumber daya

pengawasan, dan alokasi sumber daya pengawasan yang tersedia.

Berdasarkan pertimbangan besarnya jumlah satuan kerja yang luas, keterbatasan anggaran, dan sumber daya manusia pengawasan, maka perencanaam pengawasan di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan perlu ditetapkan, selain berdasarkan faktor risiko juga mempertimbangkan profil risiko yang melekat pada masing-masing satuan kerja.

Perencanaan pengawasan tersebut dilakukan melalui pemanfaatan teknologi informasi dalam bentuk Sistem Informasi Perencanaan Pengawasan Berbasis Risiko (SIPPISKO), sehingga perencanaan pengawasan di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan diharapkan

Di Kementerian Kesehatan sendiri, penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) berbasis risiko sudah dilakukan sebelumnya lewat Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/I.4/4114/2018 Tentang Pedoman Penyusunan PKPT Berbasis Risiko. Namun, untuk menyesuaikan perubahan faktor risiko dan penambahan profil risiko, ketentuan tersebut dicabut dan tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, munculah Keputusan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan Nomor HK.02.02/4410/2019 Tentang Pedoman Penyusunan Program Kerja Tahunan (PKPT) Berbasis Risiko.

Pedoman penyusunan PKPT berbasis risiko yang baru ini didasarkan pada prinsip keserasian, keterpaduan, menghindari tumpang tindih dan pemeriksanaan berulang, serta memperhatikan efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya dan ketepatan ruang lingkup pengawasan (auditi).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.64 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata kerja Kementerian Kesehatan bahwa Inspektorat Jenderal mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pengawasan intern di Kementerian Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Satu Kesatuan Tak TerpisahkanPengawasan intern adalah kegiatan yang

independen dan objektif dalam bentuk pemberian keyakinan (assurance activities) dan konsultasi (consulting activites), yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasional sebuah organisasi (auditi). Kegiatan ini membantu organisasi (auditi) mencapai tujuannya dengan cara menggunakan pendekatan sistematis dan teratur untuk menilai dan meningkatkan efektivitas dari proses manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola (sektor

Page 8: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

8 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

dapat tersusun secara lebih akurat, efektif dan efesien.

Proses Penilaian RisikoUntuk memastikan kelancaran

penyusunan PKPT berbasis risiko di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemkes, maka perlu dibentuk Tim Penyusunan PKPT. Tim ini tugasnya mengumpulkan, menyusun, menganalisa data dan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian risiko terhadap sasaran pengawasan. Hasil penilian risiko itu nantinya dilaporkan kepada Inspektur Jenderal sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun PKPT pada Inspektorat Jenderal Kemkes.

Akan halnya susunan keanggotaan Tim Penyusun PKPT terdiri atas Ketua dan Anggota (Sekretaris Inspekorat Jenderal, para Inspektir, Auditor Utama, Auditor Madya, Auditor Muda, dan pejabat struktural di lingkungan Inspektorat Jenderal).

Untuk melakukan proses penilaian risiko, Tim Penyusun PKPT harus melakukan beberapa tahapan. Pertama, pengumpulan data. Dalam tahap ini tim melakukan pengumpulan data pengawasan sebagai acuan menentukan/memvalidasi/ memperbaharui Audit Universe. Audit Universe adalah peta komprehensif tentang daftar sasaran penagwasan dan berbagai variabel terkait sasaran pengawasan, menyangkut kepentingan pengawasan intern yang dibangun oleh auditor berkenaan dengan

seluruh proses pengawasan intern dan sesuai dengan tujuan pengawasan intern. Audit Universe yang dimaksud merupakan satuan kerja yang diurutkan sesuai dengan prioritas risikonya.Pengumpulan data dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek yang dapat dijadikan acuan dalam penentuan penentuan/pemilihan satuan kerja (auditable units) melalui faktor-faktor dan profil risiko.

Auditable Unit adalah suatu topik, subjek, proek, departemen, proses, entitas, fungsi atau lainnya yang mengandung risiko dan dapat dijadikan dasar untuk pendekatan audit.Beberapa faktor risiko yang digunakan antara lain (a) Target Pendapatan; (b) Jumlah Belanja (Belanja Barang dan Belanja Modal); (c) Jumlah Aset; (d) Periode Audit Terakhir; (e) Hasil Pemeriksaan (Kerugian Negara dan/atau Administratif); (f) Perubahan Organisasi dan Proses Bisnis; (g) Pengendalian Intern (Tingkat Maturitas SPIP); (h) Pengaduan Masyarakat (berkadar pengawasan); (i) Kerumitan dan Mudah Berubahnya Kegiatan (jumlah revisi DIPA tahun sebelumnya).

Apabila jumlah satuan kerja cukup banyak dan memiliki karateristik yang berbeda-beda, penggunaan faktor risiko berpotensi tidak lagi relevan untuk digunakan. Untuk itulah, faktor risiko harus selalu dipastikan memiliki jumlah yang cukup untuk mengakomodasi cakupan satuan kerja yang luas.

Mengingat lingkungan internal maupun eksternal yang terus mengalami perubahan, faktor-faktor risiko harus juga diperbaharui,

“Pedoman penyusunan PKPT berbasis risiko yang baru ini didasarkan pada prinsip keserasian, keterpaduan, menghindari tumpang tindih dan pemeriksanaan berulang, serta memperhatikan efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya dan ketepatan ruang lingkup pengawasan (auditi)”

laporan utama

Page 9: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

9INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

baik dari jenis faktor risiko yang digunakan, kriteria, dan pembobotan/penilaian yang digunakan.

Selain mempertimbangkan faktor-faktor risiko tersebut, dalam penilaian risiko Inspektorat Jenderal Kemkes juga harus mempertimbangkan profil risiko yang melekat pada masing-masing satuan kerja.

Profil risiko tersebut antara lain mempertimbangkan:a. Pengelompokan satker yang memiliki

karateristik sejenis (clustered).b. Dasar penyusunan mengacu pada

pencapaian tujuan, indikator kinerja/

indikator keberhasilan.c. Penilaian daftar masing-masing risiko

satker berdasarkan dampak (impact) dan kemungkinan (likelihood) terhadap tercapainya indikator kinerja satker.

Dalam penyusunan profil risiko, satker dapat mempergunakan tools/instrumen bantuan, salah satunya berupa Risk Register yang berisikan indikator kinerja/Indikator keberhasilan/tujuan organisasi, daftar risiko yang teridentifikasi memiliki pengaruh terhadap pencapaian indikator dan tujuan organisasi berikut dengan dampak (apabila terjadi) dan kemungkinan (seberapa sering terjadi) dari risiko tersebut.

Apabila satker belum mampu menyusun Risk Register dengan baik, sebaiknya auditor/sumber daya pengawasan turut membantu, diantaranya melalui Forum Group Discussion (FGD) maupun asistensi.

Profil risiko setiap satker bersifat dinamis, selalu berubah mengikuti perubahan lingkungan di internal maupun eksternal. Untuk itulah, daftar risiko harus selalu diperbaharui secara periodik untuk dapat terus memastikan langkah strategis yang harus diambil. Penyusunan risiko harus memanfaatkan segala macam sumber informasi yang tersedia atau segala macam informasi yang tersedia atau bahkan melibatkan stakeholder terkait.

Identifikasi RisikoUntuk melakukan identifikasi risiko, bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:1. Pahami struktur organisasi, daftar

produk, proses bisnis, aset dan faktor lain yang mendukung.

2. Pahami tujuan organisasi dan identifikasi nilai-nilai dan faktor kunci keberhasilan organisasi.

3. Menentukan aktivitas/proses bisnis/kegiatan yang berpengaruh besar.

4. Lakukan analisa terhadap aktivitas/proses bisnis/kegiatan yang masuk dalam daftar.

5. mengkaji semua data yang menjadi sumber risiko (faktor risiko dan profil risiko) terhadap kemungkinan keterkaitan dari masing-masing risiko yangd apat menghambat pencapaian tujuan organisasi.

6. mengubah data kualitatif menjadi kuantitatif melalui penilaian tingkat dampak dan kemungkinan dari masing-masing risiko yang teridentifikasi.

7. Meng-input faktor risiko dan profil risiko (risk register) ke aplikasi SIPPISKO untuk menghasilkan sasaran pengawasan

harm

ony.

co.id

Page 10: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

10 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

(auditable unit) sesuai daftar urut satker berdasarkan nilai skor komposit masing-masing satker dan kelompok sejenis (clustered). Nilai komposit merupakan penjumlahan bobot dari faktor risiko dan profil risiko.

8. Bobot penilaian untuk faktor risiko sebaiknya lebih kecil dibandingkan bobot penilaian profil risiko. Hal ini dikarenakan faktor risiko lebih cenderung mempertimbangkan unsur operasional ataupun kepatuhan (compliance), sedangkan profil risiko merupakan gambaran dari hal-hal yang bersifat lebih strategis (memberikan pengaruh langsung terhadap pencapaian tujuan dari organisasi).

9. Dalam pedoman ini, bobot penilaian yang digunakan untuk faktor risiko adalah sebesar 40% dari total nilai skor komposit satuan kerja. Sisanya, sebanyak 60% merupakan bobot dari profil risiko. Terkait dengan komposisi pembobotan nilai skor komposit ini bersifat dinamis, mengikuti perkembangan yang terjadi di internal maupun eksternal Inspektorat Jenderal, sehingga kajian ulang terkait komposisi pembobotan ini perlu dilakukan secara berkala.

Penentuan Prioritas PengawasanSasaran pengawasan (auditable unit)

yang telah tersusun dari hasil skoring aplikasi SIPPISKO, selanjutnya dibahas oleh Inspektur Jenderal bersama dengan Inspektur terkait yang kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan Inspektur Jenderal tentang Penetapan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) Inspektorat Jenderal. Apabila terdapat perubahan pada sasaran-sasaran pengawasan (auditable unit) hasil aplikasi SIPPISKO, maka perubahan tersebut dilakukan atas pertimbangan profesional manajemen. Setiap perubahan sasaran

pengawasan (auditable unit) yang dihasilkan atas dasar pertimbangan profesional manajemen haus disetujui dan diotorisasi oleh masing-masing Inspektur dan Inspektur Jenderal melalui mekanisme rapat pleno.

Dari hasil rapat pleno tersebut, lalu disusunlah rencana pengawasan yang lebih rinci, yaitu:a. area-area prioritas pengawasan dari

masing-masing satker yang perlu dilakukan pendalaman, melalui pemanfaatan profil risiko dari satker yang telah teridentifikasi sebelumnya;

b. sumber daya pengawasan yang dibutuhkan;

c. lama dan waktu pelaksanaan;d. bentuk pengawasan intern yang

dilaksanakan;e. jumlah anggaran yang dibutuhkan.

Penyusunan Laporan PKPTLaporan PKPT Inspektorat Jenderal dilaporkan kepada Inspektur Jenderal Kemkes dengan susunan seperti ini:

Kata PengantarDaftar IsiI. Pendahuluan

A. Latar BelakangB. Dasar HukumC. Maksud dan TujuanD. Ruang LingkupE. Jangka Waktu Pelaksanaan

II. PembahasanIII. Penutup

Lampiran1. Tabel I: Ranking dan Perhitungan

Penilaian Risiko dari aplikasi SIPPISKO2. Tabel II: Risk Register

laporan utama

Penulis:

Rudi Supriatna Nata Saputra, S.Kp, M.Kep, QRMAKepala Bagian Program & Informasi Itjen Kemenkes

Page 11: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

11INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, termasuk Indonesia, memacu kita untuk berubah

di setiap aspek kehidupan. Dalam situasi pandemi, para abdi negara di lingkungan Kementerian Kesehatan, khususnya di Inspektorat Jenderal diharapkan tetap produktif, namun tetap aman dari Covid-19. Oleh karena itu “Adaptasi Kebiasaan Baru” dengan menerapkan protokol kesehatan merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi. Demikian benang merah wawancara redaksi Inforwas dengan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan, drg. Murti Utami, MPH., belum lama ini. Berikut nukilannya:

Kasus Covid-19 semakin meningkat tiap harinya. Sebagai pimpinan tertinggi di Inspektorat Jenderal, hal apa saja yang sudah dan akan ibu lakukan untuk melindungi pegawai Itjen?

Pandemi Covid adalah masalah bersama, harus menjadi perhatian bersama. Bukan hanya urusan dokter spesialis paru atau bukan urusan Rumah Sakit ,tapi kita di kantor juga harus menjadikan masalah bersama. Kita tidak bisa lepas tangan. Tanggungjawab itu harus kita tanggung bersama. Maka, dengan pandemi ini, yang saya lakukan

adalah membentuk Tim, agar senantiasa kita waspada, mulai dari hal yang kecil. Tim ini dibangun dari segala macam kelompok, harus ada yang mengawasi cuci tangan, pakai masker, melihat jendela harus dibuka. Saya nggak tahu kalau di tempat lain apakah ada Surat Keputusan eselon 1 Pembentukan Tim. Bagi saya itu penting.

Terus bagimana setelah tim ini terbentuk? Saya terus mengevaluasi, memonitor, ini jalan atau nggak. Makanya pakai WA Grup, jadi komunikasi tanpa batas. Alhamdulilah pengendalian Covid di Itjen cukup terkendali, walaupun sempat ada 17 orang yang positif di Itjen dalam hitungan 2 minggu. Dan itu kita evaluasi penyebabnya, kenapa tiba-tiba dalam kurun waktu 2- 3 minggu ini (ada

Pandemi Covid-19 MomentumKita Harus Berubah

Irjen Kemkes drg. Murti Utama, MPH Kalau saya melihat momentum covid ini adalah momentum supaya kita memang harus berubah

11INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Page 12: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

12 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

yang positif). Oh ternyata ikut pelatihan yang tidak online, ikut audit ke satu tempat, ternyata ikut reviu. Itu semua kita evaluasi. Jadi tim inilah yang memberikan informasi. Jangan sampai terjadi tambah banyak yang terpapar.

Lantas, kebijakan apa saja yang sudah Itjen ambil dalam pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan ItjenKemenkes?

Detailnya sih banyak ya, misalnya mau pergi harus melakukan tes. Terus kalau sudah sampai sana terus positif, saya harus berani mengatakan tidak boleh pulang, nggak boleh balik dulu ke Jakarta. Misalnya dia dinas ke Makassar dan memiliki tiket 2 hari, namun di sana ternyata tes swab positif, maka dia menunggu sampai dinyatakan negatif. Jadi inilah yang saya bangun. Apabila Inspektur2 menugaskan seseorang, itu ada konsekuensinya dong. Dia sudah pulang dari daerahnya, dia harus isolasi mandiri. Nggak bisa ujuk-ujuk masuk kantor. Minimal (tidak masuk kantor) 5 hari kerja karena saya tidak mau yang bersangkutan kembali menularkan kepada orang lain. Kita harus sadar bahwa keluarga itu penting. Makanya, susah-susah gampang saya mengendalikan covid di Itjen ini.

Ada kesan saya menghambat perjalanan dinas seseorang sampai mereka nggak dapat tambahan uang saku. Sebetulnya bukan itu. Saya ingin menyelamatkan teman-teman di Itjen, bahwa covid ini unpreaditcable. Kita lalai saja habis pegang sesuatu terus kita kucek-kucek (mata), itu kan bisa terjadi (penularan). Lagi pula kita kan belum terbiasa sedikit-sedikit cuci tangan, pakai masker. Itu yang menjadi concern saya. Saya tidak mau teman saya sakit, karena ternyata seseorang yang divonis positif Covid itu down banget. Saya juga down begitu dapat kabar di lantai 2 ada yang positif, terus akhirnya saya dan supir saya melakukan swab. Nunggu (hasilnya) saja stresnya minta

ampun.Selama pandemi ini terjadi apakah

mempengaruhi kinerja Itjen sebagai Pengawas Intern di lingkungan Kemenkes? Bila benar terjadi, bagaimana Itjen mengatasinya agar tetap menjalankan tugas dan fungsinya?

Jadi Covid itu akhirnya menjadi penyakit yang menimbulkan kematian, itu menyeramkan. Ya iyalah kalau paru-parunya sudah teriveksi kena virus itu, kita tidak bisa bernafas secara baik layaknya orang sehat. Walaupun jantungnya berdetak, tapi oksigenya nggak bisa dihirup. Itulah sebabnya pikiran saya sempat bertanya-tanya mengapa supir saya begitu down dan sedih setelah divonis positif, layaknya divonis penyakit kanker stadium 4, karena supir saya adalah orang pertama di Itjen yang divonis Covid. Makanya, Satgas ini bukan hanya menjalankan protokol kesehatan, mengingatkan teman-teman, tapi juga memastikan logistik yang diperlukan, misalkan masker, sanitizer. Tapi bukan hanya itu saja, juga bisa memberikan spirit dan dukungan kepada teman-teman Itjen (yang terpapar virus). Tolong cek keadaannya, jangan dibiarkan sendiri, jangan dibiarkan akhirnya berhalusinasi yang tidak-tidak. Makanya saya selalu memantau bagi yang sakit, untuk memberikan semangat dan memberikan vitamin C serta asupan vitamin lain.

Inilah menurut saya hal kecil tapi bisa mendorong semangat bagi para penderita jauh lebih bermanfaat, apalagi kita semua bisa saling mendoakan. Itulah yang kita lakukan di Itjen, selain melakukan pendekatan fisik ataupun pemenuhan logistik, tetapi penanganan covid harus bisa diberikan support. Saya juga memberikan tanggungjawab kepada Inspektur, kalau berani menugaskan (auditor) berarti berani menerima konsekuensi, coba dipikir lagi

12 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

laporan utama

Page 13: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

13INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Virus Corona yang mewabah dan akhirnya menjadi pandemi di Indonesia, tentu membawa risiko tersendiri bagi para pegawai di lingkungan Inspektorat Jenderal

Kemenkes, khususnya bagi auditor. Mereka harus melakukan audit yang mungkin saja masuk zona merah Covid-19, dan bisa jadi tertular sepulang dari tugas tersebut. Bagaimana Inspektorat I menangani atau melindungi para auditornya? Berikut jawaban yang diberikan oleh Edward Harefa, SE, MM, QCRO, Inspektur I Itjen Kemenkes

Bagaimana upaya Inspektorat I dalam menangani atau melindungi auditornya dalam pencegahan covid ini?

Memang kalau kita lihat saat ini pandemi covid “gongnya” luar biasa. Apalagi Kemenkes yang menangani langsung, tentunya tidak lepas dari berbagai risiko, apalagi rumah sakit itu dari masyarakat dipandang sebagai zona merah, walaupun didalam rumah sakit itu masih mereka bagi-bagi zonanya (hijau, kuning dan merah). Tentunya kalau kita melaksanakan tugas disana, apalagi Inspektorat 1 ini, kegiatannya selalu di rumah sakit atau di BBLK. Di Inspektorat 1 sudah menerapkan menajemen risiko bagi auditor dalam tugas pengawasan. Entah itu tugas audit, entah tugas monitoring dan evaluasi. Ini saya sudah tetapkan dan identifikasi. Saya menerapkan aturan bagi auditor sebelum

kalau mau menugaskan auditor. Untuk ke depannya apakah akan terus

menerapkan pola kerja seperti ini?Keadaan ini kan mempengaruhi budaya

kerja kita. Akhirnya dengan adanya covid ini kita baru sadar ada kengerian. Akhirnya kita nggak mau kan kalau rapat kita datang secara langsung di ruang pertemuan. Kita lebih senang melakukan daring atau online saja. Lagi pula, belum tentu orang lain sewaspada kita. Kalau saya melihat momentum covid ini adalah momentum supaya kita memang harus berubah. Menurut saya dengan daring kita bisa kok menyelesaikan semua masalah, seperti reviu, bikin konsolidasi laporan pakai daring saja.

Saya melihat ke depan untuk budaya kerja, protokol kesehatan tetap harus dijaga. Mungkin ke depan kita akan tetap pakai masker. Akhirnya kita terbiasa pakai masker. Kalau bertemu orang, nggak pakai masker, kayak melihat orang nggak pakai baju. Bukan berarti selepas ini budaya kerja kita berubah. Saya memberikan secara leluasa kepada Inspektur melaksanakan kegiatan-kegiatan besar. Sudahlah, kita daring saja bisa kok dan kita telah buktikan. Makanya tahun depan kita Insha Allah melakukan renovasi ruangan. Itu sudah saya sampaikan konsep yang berkaitan dengan pandemi covid 19. Artinya meja kerja jangan terlalu banyak, semua kalau bisa sudah digitalisasi. n

“Kami Terapkan Manajemen Risiko dalam Tugas Pengawasan”

13INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Page 14: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

14 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

berangkat sebagai berikut:Pertama, dalam kegiatan persiapan

dan perjalanan PP, saya mewajibkan untuk melakukan rapid test/PCR sebelum dan sesudah berangkat; Kedua, harus menggunakan masker di manapun berada; Ketiga, dilarang kontak fisik/bersalaman jikalau bertemu orang; Keempat, menjaga jarak walau meeting dilakukan secara tatap muka, jarak harus 1 meter; Kelima, ketika ada snack atau mendapat makanan pada saat rapat, saya larang berbicara pada saat makan; Keenam, menghindari menugaskan auditor yang komorbid atau usia di atas 50 tahun.

Di dalam kendaraan saya juga telah menerapkan rambu-rambu diantaranya, tetap menggunakan masker; melarang untuk duduk berdempetan atau kontak fisik; mencuci tangan dengan sabun/ sanitizer setelah melakukan pembayaran tunai atau setelah menerima boarding pass atau karcis; menghindari sentuh muka apabila belum mencuci tangan. Di dalam bandara tetap harus menerapkan protokol kesehatan, jangan memegang railing tangga.

Saya juga sudah menerapkan untuk auditi saya, apa lagi biasanya kita melakukan entry/exit meeting yaitu mewajibkan untuk selalu menerapkan protokol kesehatan, pengukuran suhu tubuh, usahakan menggunakan sarung tangan dalam memberikan dokumen, cuci tangan dengan sabun atau dengan sanitizer setelah menyerahkan dokumen baik auditor atau auditi, saat uji fisik wajib masker, menggunakan sarung tangan, menjaga jarak di dalam kendaraan. Juga dilarang berbicara saat membuka masker. Saat wawancara harus juga selalu menerapkan protokol kesehatan. Ini kami lakukan untuk menghindari penularan Covid-19. Ini saya namakan protokol pengawasan pada saat pandemi.

Perbedaan yang paling mendasar audit dilaksanakan sesudah dan sebelum pandemi?

Perbedaan yang paling mendasar iya ada sih sedikit, tidak bisa leluasa, dalam arti leluasa dalam melakukan wawancara dan uji fisik. Juga dalam melakukan uji pendahuluan, karena kita batasi untuk ke lapangan dalam rangka pengumpulan dokumen atau melakukan wawancara, sebisa mungkin melalui vicon. Dalam melakukan vicon ini sebenarnya kita banyak sekali menemui kendala. Pertama, sinyal dari jaringan internet yang kita miliki, sehingga dalam memperoleh data kita agak sedikit kesulitan. Komunikasi secara vicon dan secara tatap muka kan agak sedikit berbeda ya efektifitasnya. Saat vicon misalnya lagi menanyakan ke auditi, tiba-tiba sinyal down. Nanti selanjutnya biasanya apa yang kita akan tanyakan lagi ketika sinyal sudah bagus, jadi lupa mau menanyakan apa. Kesulitan dalam melakukan uji fisik kan disini kita harus memberikan keyakinan yang memadai, tentunya dengan cara memeriksa fisik alat atau bangunan. Saat ini kita juga tengah uji fisik RITN ini menjadi susah ya, bagaimana kita memeriksa kalau sudah ada pasien covid didalamnya? Jadi tingkat akurasinya sedikit terganggu, jadi biasa kita

Inspektur I Itjen Kemkes Edward Harefa, SE, MM, QCRO

14 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

laporan utama

Page 15: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

15INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

menggunakan videocall untuk uji fisik dengan memperhatihan secara detail. Kita juga kerja sama dengan SPI/SKI kalau kita membutuhkan bantuan dalam melaksanakan audit.

Adakah hambatan besar yang dihadapi auditor pada saat pemeriksaan dilapangan pada masa pandemi?

Kami kesulitan ya itu tadi pada saat uji fisik. Kalau pengumpulan data jadi lumayan makan waktu karena memerlukan banyak ruang penyimpanan ya. Tapi yang paling terkendala adalah pada saat uji fisik, apalagi untuk ventilator penderita covid, ini kan banyak tuh pengadaan ventilator, sharing pam yang ada di ruang perawatan Covid. Kendala besar apabila kita memaksakan untuk bisa masuk ke ruang-ruang tersebut dan itu risiko tinggi. Mengatasinya kita menggunakan aplikasi wa video untuk mengetahui barang-barannya tersebut.

Apa saja yang sudah dilakukan Inspektorat 1 dalam melakukan pengawasan anggaran covid yang relatif besar untuk Kemenkes? Apakah Inspektorat 1 dapat tugas tambahan?

Itu sudah pasti, tugas tambahan yang paling besar itu adanya di Inspektorat I. Cuma saya tidak mau mengeluh, kegiatan baru yang ada di Inspektorat I adalah klaim pasien Covid, kita mendapatkan dana dari BA BUN untuk diserahkan ke Kemenkes untuk klaim itu. Dan kita diwajibkan untuk mengawalnya. Saya rasa itulah anggaran yang paling besar di Kemenkes dalam rangka Covid, selain ada dana dari BNPB. Selanjutnya kita juga

diamanatkan untuk mengawal, baik arahan pimpinan, Irjen dan amanat dari perundangan-undangan, bahwa APIP wajib melakukan pendampingan dalam pengadaan dan pengawasan.

Selain klaim ada juga pengadaan alkes untuk rumah sakit Vertikal dari BA BUN. Ada lagi angaran untuk daerah melalui Bantuan Pemerintah. Kemudian ada pengadaan RITM diperuntukan di 19 Rumah sakit.

Kita juga diwajibkan melakukan pendampingan tentunya saya meng-arange untuk melakukan pendampingan di pusat. Seperti pembayaran uang muka telat atau tidak, telah sesuai dengan ketentuan 50%, dan juga pembayaran yang telah diverifikasi oleh BPJS, apakah kita sudah benar-benar dari PKN itu sudah mentransfer dana tepat waktu? Kalau telat kan kasihan juga rumah sakitnya. Kita juga telah melaksanakan pendampingan pengadaan Alkes dari dana BNPB, pengadaan alkes dari Rumah Sakit Rujukan itu juga dari dana BNPB. Sekarang ini ada dana dari BA BUN. Tentunya sebelum adanya pengadaan itu kami harus mengadakan reviu, di tambah lagi paralelnya pekerjaan di akhir tahun ini. Namun sampai sekarang kita bisa laksanakan.n

15INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Penulis:dr. Dora, M.K.MKepala Sub Bagian Evaluasi, Informasi dan HumasSekretariat Itjen Kemenkes RI

Juwita Puspita, S.I.KomPranata Humas Ahli Pertama Sekretariat Itjen Kemenkes RI

Istimewa

Page 16: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

16 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Arsip??? Kadang kala orang memandang sebelah mata terhadapnya. Padahal tanpa kita

sadari, manusia berhubungan dengan arsip. Kita lahir ditandai dengan akte kelahiran, menikah dengan akte nikah, lulus sekolah ditandai dengan Ijazah, bekerja ditandai dengan surat keputusan, sampai meninggalpun tidak lepas dari arsip berupa akte kematian.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Sesuai Undang-undang No 43 Tahun 2009, Pasal 40 ayat (1) bahwa: ”Pengelolaan arsip dinamis dilaksanakan untuk menjamin ketersediaan arsip dalam penyelenggaraan kegiatan sebagai bahan

Beradaptasi dengan Digitalisasi Arsip

SELURUH INSTANSI PEMERINTAH WAJIB MENERAPKAN E-GOVERNMENT. DIGITALISASI TATA KELOLA

PEMERINTAHAN INI JUGA MERUPAKAN LANGKAH NYATA REFORMASI BIROKRASI YANG BERMUARA PADA

PENINGKATAN KUALITAS LAYANAN PUBLIK.

artikel

Page 17: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

17INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

akuntabilitas kinerja dan alat bukti yang sah berdasarkan suatu sistem yang memenuhi persyaratan: (a) andal; (b) sistematis; (c) utuh; menyeluruh; dan (d) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria.”

Kearsipan (bahasa Inggris Filling) adalah suatu proses kegiatan pengaturan arsip (file) mulai dari penciptaan, penerimaan, pencatatan, penyimpanan. Proses kearsipan menggunakan sistem tertentu dalam penyusunan, pemeliharaan arsip agar dapat ditemukan kembali dengan cepat dan tepat serta untuk pemusnahan arsip berdasarkan

kriteria tertentu.Berdasarkan pengertian di atas, tujuan

pengelolaan kearsipan untuk menemukan kembali dengan cepat dan tepat, maka diperlukan suatu tata cara penyimpanan dan

mengelola arsip yang baik dan benar. Seiring dengan perkembangan jaman, disadari atau tidak, perkembangan Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan peluang bagi pengelolaan arsip dilakukan secara elektronik.

Beberapa alasan perlunya penanganan arsip secara elektronik adalah: 1. Perkembangan kehidupan sekarang ini

berada dalam lingkungan teknologi, 2. Semakin tinggi pertumbuhan volume

arsip dalam organisasi, sehingga membutuhkan banyak tempat.

3. Semakin bervariasi jenis teknologi informasi yang digunakan,

Kehadiran Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) merupakan babak baru bagi tata kelola atau manajemen pemerintahan di Indonesia. Berdasarkan kebijakan tersebut, seluruh instansi pemerintah wajib menerapkan SPBE atau yang lebih dikenal dengan e-government. Digitalisasi tata kelola pemerintahan ini juga merupakan langkah nyata reformasi birokrasi yang bermuara pada peningkatan kualitas layanan publik.

Arsip digital (arsip elektronik) merupakan suatu arsip yang telah mengalami perubahan dari bentuk fisik seperti lembaran kertas menjadi data elektronik, ataupun data yang memang dari awalnya terbuat dari data digital dengan metode penyimpanan juga didalam media digital seperti flasdisk, server dan lain- lain.

Sedangkan Alih Media adalah proses konversi arsip dari lembaran kertas (fisik) menjadi data elektronik, dimana pada umumnya proses alih media ini menggunakan perangkat komputer dan perangkat scanner dalam memproses perpindahan data tersebut, alias otomasi dari sistem arsip manual. Dengan kata lain, sistem

istim

ewa

Page 18: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

18 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

1. Proses penemuan kembali arsip menjadi lebih cepat dan efisien

2. Adanya system pengindeksan yang fleksibel dan mudah dimodifikasi berdasarkan prosedur yang telah dikembangkan

3. Menghemat waktu dan biaya4. Pencarian yang efektif berdasarkan kata

kunci ataupun informasi lainnya.5. Meminimalis adanya kemungkinan

kehilangan file, tentunya dengan perangkat prosedur dan keamanan yang telah diterapkan sebelumnya ataupun prosedur backup data yang bis akita

terapkan.6. Penghematan ruang penyimpanan fisik, 7. Proteksi dari kerusakan dokumen

yang biasanya terjadi pada arsipfisik seperti warna yang luntur akibat waktu, kertas yang rusak atau robek terkait penanganan dokumen yang tidak hati-hati. Dengan menyimpan dokumen dalam bentuk soft copy maka resiko kerusakan yang terjadi pada arsip fisik akan mudah dihindari.

8. Keamanan yang lebih berlapis, dengan melakukan prosedur dalam pengelolaan hak User maka proses keamanan

arsip elektronik sangat tergantung dengan sistem arsip manual. Arsip elektronik tidak akan terbentuk tanpa adanya sistem arsip manual.

Itjen dan Arsip DigitalMenyambut hal ini, Inspektorat

Jenderal telah melakukan sejumlah langkah taktis. Diantaranya:1. Menggunakan aplikasi

Tata Naskah Dinas Elektronik yang dikembangkan oleh Biro

Umum bersama dengan Pusdatin untuk:a. Surat masuk b. Nota Dinas, Surat

Dinas, Surat Edaran dan Surat Undangan

dengan tanda tangan sudah menggunakan esign.

Manfaat MenggunakanSistem Arsip Digital

artikel

unibless-store.co.id

Page 19: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

19INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kelemahan Menggunakan Sistem Arsip Digital

1. Adanya peluang untuk memanipulasi file (menciptakan, menyimpan, mengurangi, memodifikasi atau bahkan menghapus) serta mudah untuk di Hacker oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

2. Adanya kemungkinan file rusak atau hilang tanpa di ketahui akibat dari serangan virus dan sejenisnya.

3. Bergantung kepada jaringan atau server yang kita gunakan, apabila jaringan atau server sedang mengalami gangguan maka secara langsung mempengaruhi kemampuan kita untuk mengakses data tersebut.

2. Alih media Hasil pengawasan Inspektorat Jenderal berupa laporan hasil audit, reviu, evaluasi, pendampingan, pemantauan tindak lanjut sudah dialihmediakan dan selanjutnya pengiriman ke satuan kerja menggunakan aplikasi e-puldatawas.

Berikut langkah-langkah teknis transformasi tersebut; 1. Penyusunan proses bisnis/ SOP kegiatan

di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

2. Identifikasi data/informasi yang dibutuhkan/dihasilkan dalam proses bisnis/SOP.

3. Identifikasi arsip yang tercipta. 4. Identifikasi proses bisnis/SOP mana yang

harus dilakukan secara manual dan mana yang bisa dan/atau ingin dilakukan secara elektronik.

5. Identifikasi aplikasi yang telah tersedia untuk pelaksanaan kegiatan.

6. Tentukan bagaimana forat dan cara arsip dikelola (sepenuhnya manual-bermediakan kertas/cetak, sepenuhnya elektronik, atau hibrida).

7. Telaah apakah aplikasi yang ada telah memiliki fungsionalitas kearsipan.

8. Lakukan pembangunan dan/atau pengembangan aplikasi agar memiliki fungsionalitas kearsipan.

9. Digitisasi arsip sesuai kebutuhan. 10. Selalu perhatikan ketentuan di Peraturan

Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik ( SPBE ). n

Penulis:Hidayanti, S,Sos, MMKepala Sub Bagian Tata Usaha dan Hukum Inspektorat Jenderal Kemenkes RI

Sri Mulyani, S.Sos, MMArsiparis Ahli Madya Inspektorat Jenderal Kemenkes RI

akan sangat mudah dikontrol dan mencegah orang yang tidak mempunyai akses dapat mengambil informasi dari arsip yang kita simpan didalam media digital

9. Proses recovery yang mudah dan cepat, dengan membackup data kedalam media penyimpanan yang compatible maka proses recovery pada media ini akan sangat mudah dilakukan, bandingkan dengan melakukan recovery pada kertas yang terbakar atau sobek maka proses recovery akan sangat sulit dilakukan.

Page 20: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

20 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Sebagai bentuk komitmen Inspektorat Jenderal  dalam mendukung Gerakan Nasional Sadar Tertib Arsip (GNSTA) di lingkungan Kementerian

Kesehatan, pada tanggal 6 Oktober 2020 Sekretaris Inspektorat Jenderal, drg. Rarit Gempari, MARS, QIA di dampingi oleh Kabag Keuangan dan BMN serta staf melakukan kunjungan ke Record Center Kementerian Kesehatan.  Kunjungan Tim Inspektorat Jenderal yang berjumlah tiga orang ini diterima langsung oleh Arisiparis Utama, dr. Desak Made Wismarini, MKM. 

Kunjungan ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memantau perkembangandan tata kelola arsip Inspektorat Jenderal yang ada di record center sekaligus berdiskusi tentang metode arsip yang disimpan. Pada kesempatan itu Ses Itjen meminta agar dokumen-dokumen arsip itjen bisa dilakukan digitalisasi

sebelum diserahkan ke record center guna menghindari kehilangan dokumen negara sebagai antisipasi kondisi terburuk.

Selain melakukan kunjungan ke record center, Tim Itjen juga melihat secara langsung lokasi gudang itjen tempat penyimpanan arsip Inspektorat Jenderal di gedung B di lingkungan kantor Kementerian Kesehatan yang berada di Percetakan Negara. Kabag Keuangan dan BMN melaporkan kepada Ses Itjen bahwa gudang arsip Inspektorat Jenderal sudah tidak ada lagi Barang Milik Negara (BMN) lagi yang masih tersimpan. BMN milik Inspektorat Jenderal tersebut sudah dilakukan penghapusan BMN melalui proses pelelangan.

Sumber: https://itjen.kemkes.go.id/berita/detail/kunjungan_tim_inspektorat_jenderal_ke_gedung_record_center_kementerian_kesehatan

Melihat Record CenterKementerian Kesehatan

20 INFORWAS • EDISI II • TAHUN 2020

artikel

Penulis:Ario Agung Bramanthi, S.Kom Pranata Komputer Ahli Pertama Itjen Kemenkes RI

Page 21: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

21INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Arsip adalah dokumen tertulis (surat, akta, dan sebagainya), lisan (pidato,

ceramah, dan sebagainya), atau bergambar (foto, film, dan sebagainya) dari waktu yang lampau, disimpan dalam media tulis (kertas), elektronik (pita kaset, pita video, disket komputer, dan sebagainya), biasanya dikeluarkan oleh instansi resmi, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi.

Arsip dalam Bahasa Inggris disebut “record”. Kata “record” diartikan juga sebagai catatan. Dalam konteks global, standar pengelolaan arsip diatur dalam ISO 15489:2016 tentang Record Management. Disana record (catatan) didefiniskan sebagai catatan informasi yang direkam yang dibuat, diterima, dan dipelihara sebagai bukti oleh organisasi atau orang dalam menjalankan kewajiban hukum atau dalam transaksi bisnis.

Beberapa ahli memperkirakan, dari semua dokumen yang dibuat organisasi, hanya 10 hingga 15 persen yang memenuhi syarat sebagai catatan. Setiap catatan dapat mencerminkan dengan tepat apa yang dikomunikasikan, apa yang diputuskan atau tindakan apa yang diambil. Dengan demikian pengelolaan rekaman informasi harus mendukung kebutuhan organisasi, mendukung akuntabilitas, dan pemenuhan

dari segi aspek hukum. Arsip adalah penting sebagai bukti komunikasi, keputusan, tindakan, dan sejarah.

Sebagai organisasi publik, lembaga pemerintah/swasta, lembaga pendidikan, perusahaan bisnis, dan lain sebagainya akan memberikan pertangungjawaban kepada publik dan kepada pemerintah. Setiap catatan mendukung keterbukaan dan transparansi untuk memberikan bukti kegiatan kerja kepada para pemangku kepentingan (stakeholder). Dan pastinya Arsip juga mendukung program dan layanan yang berkualitas, menginformasikan

pengambilan keputusan, dan membantu memenuhi tujuan

organisasi. Tanpa catatan, tidak ada lembaga publik

dan swasta yang dapat beroperasi dengan sukses. Catatan diperlukan sebagai bukti dalam kegiatan lembaga apa pun.

Manfaat arsip atau catatan dalam

organisasia) Menjadi memori

perusahaan; b) Merumuskan kebijakan; c) Membuat keputusan yang tepat; d) Mencapai efisiensi, produktivitas, dan

konsistensi yang lebih besar; e) Memenuhi persyaratan perundang-

undangan dan peraturan; f) Melindungi kepentingan organisasi,

kepentingan staf, dan klien; dan g) Mendokumentasikan semua kegiatan

dan pencapaian organisasi n

Arsip & ManfaatnyaBagi Organisasi

21INFORWAS • EDISI II • TAHUN 2020

Penulis:Ario Agung Bramanthi, S.Kom Pranata Komputer Ahli Pertama Itjen Kemenkes RI

Page 22: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

22 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Audit merupakan salah satu bentuk pengawasan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan. Hasil audit

Inspektorat Jenderal diharapkan dapat menjadi upaya perbaikan serta memberikan nilai tambah bagi satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

Itulah sebabnya, setiap pimpinan satuan harus menindaklanjuti rekomendasi hasil audit Inspektorat Jenderal. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang menjelaskan bahwa tindak lanjut rekomendasi hasil audit harus segera diselesaikan dan dilaksanakan.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Tata Kelola Pengawasan Intern di lingkungan

Penyelesaian Tindak Lanjut LHA Melalui Mekanisme TPTD

jogj

a-tr

aini

ng.c

om

artikel

Page 23: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

23INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kementerian Kesehatan bahwa satuan kerja melaksanakan rekomendasi paling lambat 30 hari sejak LHP diterima. Namun, dalam pelaksanaannya banyak hal yang menjadi kendala dalam proses penyelesaian tindak lanjut LHA, sehingga masih banyak LHA Inspektorat Jenderal yang belum selesai ditindaklanjuti bahkan masih terdapat saldo atas produk LHA Inspektorat Jenderal Tahun 2004.

Berdasarkan data perkembangan tindak lanjut LHA dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pengawasan Semester I Tahun 2020 Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan, masih terdapat saldo LHA Inspektorat Jenderal sebanyak sebanyak 668 LHA di mana sebanyak 339 LHA (50,75%) merupakan saldo atas produk LHA Semester I Tahun 2018 ke bawah (2004-2018).

Beberapa hal yang sering menjadi kendala penyelesaian LHA tersebut antara lain (a) Kurangnya komitmen satuan kerja untuk segera melaksanakan rekomendasi hasil audit, padahal pejabat atau orang yang terkait dalam LHA sudah mutasi, pensiun, atau bahkan meninggal dunia; (b) Pelaksanaan tindak lanjut yang terkait dengan pihak ketiga yang kurang kooperatif; (c) Tidak dapat ditemukan kembali atau sudah bubar/pailit.

Salah satu langkah penyelesaian tindak lanjut LHA tersebut dapat melalui mekanisme Temuan Pemeriksaan yang Tidak Dapat Ditindaklanjuti (TPTD). Dalam Peraturan Menteri PAN Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fungsional dijelaskan bahwa atas temuan hasil pengawasan yang sulit atau tidak dapat ditindaklanjuti dan memiliki sebab yang logis serta telah diupayakan tindak lanjutnya oleh auditi, dapat dihapuskan dari temuan hasil pengawasan.

Inspektorat Jenderal Kementerian

Kesehatan kemudian menyusun prosedur penyelesaian tindak lanjut melalui mekanisme TPTD yang ditetapkan pada Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan RI Nomor. 01T.PS.00.00.212.10.5518 tentang Penetapan Tim Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI yang kemudian diperbaharui dan dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84 Tahun 2019.

Kriteria TPTDDalam Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 84 Tahun 2019 dijelaskan bahwa apabila satuan kerja tidak dapat melaksanakan rekomendasi hasil audit dalam jangka waktu 30 hari, maka kepala satuan kerja wajib memberikan alasan yang sah dengan beberapa kriteria berikut:1. Temuan pemeriksaan yang

rekomendasinya cacata. Rekomendasi yang bersifat

himbauan;b. Rekomendasi perbaikan atas

tindakan masa lalu yang pada saat pemeriksaan tidak perlu dilakukan lagi karena sudah diperbaiki;

c. Rekomendasi kepada instansi diluar instansi yang diperiksa;

d. Rekomendasi terhadap suatu instansi yang diperiksa yang pada saat ini instansi tersebut sudah tidak ada lagi;

e. Rekomendasi yang tidak sejalan dengan ketentuan yang mengatur kegiatan yang bersangkutan;

f. Rekomendasi yang berada diluar wewenang pimpinan instansi yang diperiksa untuk melaksanakannya; atau

g. Rekomendasi yang tindak lanjutnya berkaitan dengan rekanan yang sudah bubar atau alamatnya sudah

Page 24: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

24 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

tidak jelas lagi, disertai dengan pembuktian yang sah.

2. Temuan pemeriksaan yang tidak memadaia. Dasar pembuktian tidak cukup kuat,

antara lain karena kurang dan atau tidak adanya data dukung (termasuk Kertas Kerja Pemeriksa);

b. Sebelumnya tidak dibicarakan dengan instansi yang diperiksa; atau

c. Tidak ada kesepakatan dengan pihak instansi yang diperiksa.

3. Temuan pemeriksaan lain yang tidak dapat ditindaklanjutia. Penanggung jawab sudah tidak

aktif (pensiun, meninggal dan atau tidak diketahui lagi alamatnya) dengan pembuktian yang sah, kecuali untuk temuan yang belum kadaluarsa dan sudah ada ketetapan TP/TGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi) atau SKTJM (Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak);

b. Kurang material nilainya dan sudah berlarut-larut;

c. Sudah ada penetapan Incraht putusan dari pengadilan; atau

d. Pertimbangan lainnya yang dapat dipertangungjawabkan.

Kriteria-kriteria inilah yang digunakan oleh Tim TPTD saat melakukan sidang penetapan TPTD. Apabila usulan serta bukti dukung dari satuan kerja memenuhi kriteria tersebut maka usulan satuan kerja dapat disetujui TPTD, namun jika tidak memenuhi kriteria atau bukti yang disampaikan kurang lengkap maka usulan satuan kerja tidak dapat disetujui TPTD sehingga masih tetap perlu untuk ditindaklanjuti.

Mekanisme Penetapan TPTDPenetapan TPTD atas LHA Inspektorat

Jenderal dilakukan melalui sidang penetapan TPTD yang dilaksanakan sekali dalam setahun. Dalam sidang tersebut akan dilakuan pembahasan atas usulan dari satuan kerja oleh Tim TPTD yang dibentuk melalui Surat Keputusan Inspektur Jenderal

mut

uins

titut

e.co

m

artikel

Page 25: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

25INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kementerian Kesehatan. Kepala satuan kerja menyampaikan surat keterangan yang berisi kronologis serta bukti dukung yang menjelaskan penyebab rekomendasi hasil audit tidak dapat ditindaklanjuti.

Usulan dari satuan kerja kemudian akan diinventarisasi oleh Sekretariat Inspektorat Jenderal untuk kemudian disampaikan kepada Anggota Tim TPTD di setiap Inspektorat sesuai tanggung jawab dan kewenangannya. Anggota Tim TPTD melakukan telaah awal atas usulan TPTD tersebut dengan melihat kronologis tindak lanjut yang sudah dilakukan sebelumnya serta dokumen pendukung yang diberikan untuk menentukan status sementara usulan TPTD tersebut.

Hasil telaah dari anggota Tim TPTD di masing-masing Inspektorat tersebut selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh seluruh Tim TPTD melalui sidang penetapan TPTD. Pada sidang tersebut akan disepakati apakah usulan tersebut dapat disetujui TPTD atau tidak disetujui TPTD.

Hasil penetapan TPTD atas pembahasan yang dilakukan oleh Tim TPTD dalam sidang

penetapan TPTD dituangkan dalam hasil penetapan TPTD dengan status:1. Selesai, apabila tindak lanjut yang telah

dilakukan sebelumnya dinilai telah menjawab rekomendasi hasil audit.

2. Setuju TPTD, apabila alasan dan bukti dukung yang disampaikan dinilai telah memenuhi kriteria TPTD.

3. Tidak Setuju TPTD, apabila alasan dan bukti dukung yang disampaikan dinilai belum memenuhi kriteria TPTD sehingga masih perlu dilakukan upaya tindak lanjut.

Hasil Penetapan TPTD tersebut dituangkan ke dalam Berita Acara Penetapan TPTD yang akan ditandangani oleh Tim TPTD dan selanjutnya menjadi dasar untuk melakukan hapus catat dalam sistem pemantauan tindak lanjut untuk hasil dengan status selesai dan setuju TPTD. Atas hasil dengan status tidak setuju TPTD maka satuan kerja harus melakukan upaya tindak lanjut kembali sesuai dengan saran yang diberikan oleh tim TPTD. Mekanisme penetapan TPTD dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini:

Gambar Mekanisme Penetapan TPTD

Page 26: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

26 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kendala TPTDDalam pelaksanaan penetapan TPTD

seringkali ditemukan bahwa satuan kerja menyampaikan dokumen pendukung yang tidak lengkap atau dokumen pendukung yang tidak cukup kuat untuk dijadikan pertimbangan bahwa rekomendasi hasil audit tersebut sudah tidak dapat ditindaklanjuti. Sebagai contoh terkait pihak ketiga yang sudah bubar/pailit, biasanya bukti dukung yang disampaikan baru berupa surat keterangan RT/RW setempat atau surat keterangan dari KADIN tetapi belum dilampirkan surat keterangan yang menyatakan bahwa perusahaan telah bubar/pailit dari instansi yang berwenang.

Pertimbangan lain atas tidak disetujui usulan TPTD adalah karena satuan kerja

dinilai belum melakukan upaya tindak lanjut secara maksimal sebelum mengusulkan untuk TPTD. Sering juga ditemui usulan TPTD atas rekomendasi hasil audit yang belum pernah ditindaklanjuti sama sekali oleh satuan kerja namun karena sudah lama, sehingga rekomendasi sudah tidak relevan dengan kondisi terkini atau adanya pergantian atau perpindahan pejabat terkait sehingga tidak dapat lagi menindaklanjuti LHA.

Tidak Tergantung MekanismeMekanisme TPTD merupakan salah satu

upaya Inspektorat Jenderal untuk melakukan percepatan penyelesaian tindak lanjut LHA. Sejatinya TPTD tidak menyelesaikan substansi dari rekomendasi hasil audit,

artikel

Page 27: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

27INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

tetapi membebaskan satuan kerja dari kewajiban untuk melaksanakan tindak lanjut LHA. Sehingga dimungkinkan bagi satuan kerja untuk tetap melakukan tindak lanjut meskipun rekomendasi telah disetujui TPTD dan dihapuskan dari sistem pemantauan tindak lanjut.

Begitu halnya apabila masuk ke dalam proses hukum atau terkait dengan piutang negara. Mekanisme TPTD Inspektorat Jenderal tidak menyelesaikan permasalahan tersebut, namun hanya menghapus dari catatan pemantauan tindak lanjut LHA. Sedangkan penyelesaian permasalahan tersebut tetap berjalan di instansi yang berwenang.

Diharapkan satuan kerja tidak bergantung pada penyelesaian tindak lanjut

LHA melalui mekanisme TPTD ini dan segera melakukan tindak lanjut sesuai rekomendasi yang diberikan dalam jangka waktu 30 hari, kecuali jika memang rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti kembali setelah melakukan upaya maksimal dan memenuhi kriteria TPTD yang telah ditetapkan dengan menyampaikan surat usulan TPTD beserta dokumen dukung yang lengkap terkait penyebab rekomendasi tidak dapat ditindaklanjuti. Apabila dalam jangka waktu tersebut satuan kerja tidak menindaklanjuti rekomendasi hasil audit tanpa ada keterangan, maka pejabat dan pihak yang terkait dalam LHP dapat diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Daftar Pustaka:1. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun

2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.

2. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan, Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Fungsional.

3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 84 Tahun 2019 tentang Tata Kelola Pengawasan Intern di Lingkungan Kementerian Kesehatan.

4. Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan RI Nomor. 01T.PS.00.00.212.10.5518 tentang Penetapan Tim Penyelesaian Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

5. Laporan ikhtisar Hasil Pengawasan Semester I Tahun 2020, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan. n

Penulis:Hendro Santoso, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom, QRMA Kepala Bagian APTLHP Itjen Kemenkes RI

Julius Sam Tito, SKMAuditor Ahli Pertama Itjen Kemenkes RI

okez

one.

com

Page 28: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

28 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kementerian Kesehatan memiliki 418 satuan kerja (satker) yang terdiri dari satker Kantor Pusat, Kantor Daerah, dan Dekonsentrasi (Dinas Kesehatan Provinsi).

Jumlah ini begitu besar jika dibandingkan dengan jumlah SDM Auditor yang dimiliki oleh Inspektorat Jenderal (lebih kurang 159 orang), sehingga cakupan pengawasan belum dapat optimal.

Untuk menunjang kegiatan pengawasan internal, Inspektorat Jenderal melakukan pengumpulan data bahan pengawasan (Puldatawas). Puldatawas ini adalah kegiatan mengumpulkan dokumen-dokumen tertentu milik satker yang akan digunakan sebagai bahan awal pengawasan.

Sebelumnya data bahan pengawasan tersebut dikumpulkan dengan mengunjungi satker. Untuk penyimpanan data hardcopy disimpan dalam lemari arsip dan sotfcopy disimpan di Google Drive dan Personal

Computer kantor. Pengumpulan data dengan metode ini memiliki kekurangan seperti satuan kerja yang kurang kooperatif dalam menyampaikan dokumen yang dibutuhkan dan output berupa dokumen hardcopy yang sulit diakses saat dibutuhkan oleh pengguna (auditor). Selain itu dokumen hardcopy membutuhkan pemeliharaan dan tempat penyimpanan yang cukup besar.

Sejak tahun 2018, Inspektorat Jenderal membangun aplikasi e-Puldatawas untuk mensimplifikasi proses pengumpulan data bahan pengawasan. Aplikasi ini diharapkan dapat mengakomodir data-data bahan pengawasan dari satker Kementerian Kesehatan. Satker diharuskan menggunggah data bahan pengawasan yang diminta oleh auditor pada aplikasi e-Puldatawas sebelum melakukan kegiatan pengawasan (saat ini reviu Laporan Keuangan dan reviu RKA-KL). Output dari aplikasi ini akan digunakan auditor sebagai bahan awal

E-PuldatawasKementerian Kesehatan

med

ium

.com

artikel

Page 29: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

29INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

dalam melakukan kegiatan pengawasan.

Pada aplikasi ini terdapat menu Dashboard (yang menggambarkan persentase kelengkapan data yang telah diinput satker), menu Data Umum (menampung data satker yang bersifat umum seperti profil satker dan pagu anggaran), menu Perencanaan dan Anggaran (menampung informasi/dokumen yang berkaitan dengan perencanaan dan anggaran milik satker, digunakan untuk reviu RKA-K/L), menu Laporan Keuangan (menampung informasi/dokumen yang berkaitan dengan laporan keuangan, digunakan untuk reviu Laporan Keuangan), menu Program Pencegahan Korupsi (menampung informasi/dokumen yang berkaitan dengan pencegahan korupsi), menu Pendukung Laporan Kinerja (menampung informasi/dokumen yang berkaitan dengan Laporan Kinerja), dan menu Laporan Hasil Pengawasan (menampung informasi/dokumen yang berkaitan dengan Hasil Pengawasan), Selain itu, aplikasi ini juga menyediakan fitur chat dengan admin.

e-Puldatawas merupakan aplikasi yang digunakan oleh Satker Kemenkes sebagai Bank Data Satker yang nantinya akan

digunakan oleh Auditor sebagai data Bahan Pengawasan. Aplikasi ini merupakan satu diantara rangkaian aplikasi e-Pengawasan Internal yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi di Kemenkes.

Hingga saat ini, aplikasi e-Puldatawas telah digunakan oleh auditor dan satker Kemenkes sebagai data dukung dalam pelaksanaan Reviu Laporan Keuangan dan Reviu RKA-K/L. Untuk jadwal pelaksanaannya, Reviu LK dilakukan 3 kali per tahun yaitu pada bulan Januari (reviu tahunan), Juli (reviu semester 1), dan Oktober (reviu triwulan III). Sedangkan untuk pelaksanaan reviu RKA-K/L dilakukan 2 kali per tahun yaitu pada bulan Juli (Reviu Pagu) dan Oktober (Reviu Anggaran).

Kedepannya diharapkan aplikasi e-Puldatawas yang merupakan rangkaian aplikasi pengawasan Internal Kemenkes (e-Pengawasan Internal) dapat membuat kegiatan audit, reviu, dan monitoring dan evaluasi yang dilakukan auditor dengan satker lebih efektif dan efisien yang 100% secara online tanpa tatap muka langsung. n

Penulis:Lenggo Geni, S.Kom,Pranata Komputer Ahli Pertama Inspektorat Jenderal Kemenkes RI

Page 30: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

30 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Tidak dapat dipungkiri bahwa anggaran belanja obat di rumah sakit, failitas pelayanan, dan anggaran program penyediaan obat merupakan

salah satu komponen anggaran yang harus dikelola dengan efektif dan efisien, dengan menerapkan prinsip kendali mutu dan kendali biaya. Masih dibutuhkan perbaikan dan penyempurnaan sistem serta

peningkatan layanan untuk membantu masyarakat memperoleh obat yang diperlukan. Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kemudahan akses dalam memperoleh obat berkualitas dianggap belum optimal.

Kondisi inilah yang melatarbelakangi pelaksanaan monitoring dan evaluasi oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan terkait dengan tata kelola obat publik.

Tata Kelola Obat Publik,Optimalkan Persediaan Obat Nasional

artikel

Page 31: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

31INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Pemerintah membutuhkan data rencana kebutuhan obat seluruh fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit sebagai dasar untuk perencanaan kebutuhan obat nasional. Perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit, di fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengelola program yang baik, akan mendorong perencanaan kebutuhan obat nasional yang baik pula, sehingga mengoptimalkan ketersediaan obat secara nasional.

Berdasarkan data statistik pelaporan Rencana Kebutuhan Obat (RKO) tahun 2020 diketahui bahwa persentase jumlah institusi yang belum tertib melaporkan RKO masih mencapai 19.64%. Dari 80.36% institusi yang melaporkan RKO diketahui bahwa pelaporan

didominasi oleh Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) sebanyak 72.34% dan sisanya terdiri dari dinas kesehatan kabupaten/kota (18.32%), Apotek PRB (3.71%), Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/FKTP (1.01%), dan dinas kesehatan provinsi (0.33%).

Berbagai upaya untuk menjamin aksesbilitas obat telah dilakukan, mulai dari perencanaan kebutuhan obat yang kuat (termasuk untuk kebutuhan pemenuhan Standar Pelayanan Minimal dan Program Indonesia SEHAT dengan Pendekatan Keluarga), manajemen pengelolaan obat sesuai standar, monev penggunaan obat, perencanaan dan proses pengadaan sesuai ketentuan (E-Purchasing berbasis e-Katalog), serta monev manajemen pengelolaan keuangan yang baik.

Selain hal tersebut di atas pemerintah telah menetapkan Formularium Nasional (FORNAS) sebagai kendali mutu dan e-Katalog obat sebagai kendali harga. Dalam upaya pencegahan korupsi, FORNAS dan e-Katalog diharapkan dapat merombak praktik korupsi dalam peresepan dan pengadaan obat. Melalui FORNAS, telah dipilih obat-obatan yang bermutu dan penggunaan obat pun diatur untuk setiap tingkat fasilitas kesehatan untuk menghindari penggunaan obat yang tidak rasional. Kondisi ini diharapkan dapat mengurangi korupsi dengan menghilangkan praktik suap/gratifikasi dalam peresepan obat oleh perusahaan farmasi.

Di sisi lain, pengadaan obat yang selama ini menjadi objek korupsi, ditutup melalui sistem e-katalog. Sejumlah obat yang dibutuhkan telah dilelang dan dinegosiasikan dengan harga terbaik oleh LKPP untuk kemudian tayang pada e-katalog. Fasilitas kesehatan dapat melaksanakan belanja obat secara langsung dengan mudah dan transparan tanpa

i0.w

p.co

m

Page 32: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

32 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

perlu lagi melakukan proses lelang yang sangat berpotensi korupsi. Tetapi dalam proses penerapan FORNAS dan e-katalog sebagai kendali mutu, kendali biaya dan alat pencegahan korupsi dalam tata kelola obat, masih ditemukan permasalahan yang mengakibatkannya belum dapat mencapai tujuan secara optimal.

Permasalahan tersebut, mulai dari ketidaksesuaian obat di FORNAS dengan obat yang tayang di e-katalog, perbedaan daftar obat di FORNAS dengan Panduan Praktik Klinik (PPK), belum adanya aturan yang mengatur minimal kesesuaian FORNAS pada formularium Rumah Sakit, keterlambatan proses tayang obat di e-katalog, sampai kelemahan pada aplikasi e-katalog.

Dalam tata kelola obat publik, terdapat beberapa tahapan kegiatan yang sangat penting untuk terjaminnya pemenuhan kebutuhan dan aksesibilitas obat bagi masyarakat/publik, yaitu tahapan perencanaan kebutuhan obat, tahapan pengadaan, dan tahapan distribusi obat.

1. Perencanaan Kebutuhan ObatRencana Kebutuhan Obat (RKO) adalah

perkiraan kebutuhan obat satu tahun berikutnya berdasarkan perhitungan pemakaian rata-rata obat satu tahun dan sisa stok akhir tahun. Setiap institusi pemerintah dan institusi swasta wajib menyampaikan RKO kepada Menteri. Penyampaian RKO dilaksanakan paling lambat bulan April pada tahun sebelumnya menggunakan mekanisme E-Monev Obat. E-Monev obat adalah sistem informasi elektronik untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan perencanaan obat dan pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik.

2. Penyediaan dan Pengadaan ObatPengadaan obat oleh institusi pemerintah dan institusi swasta untuk program Jaminan Kesehatan dilakukan melalui e-purchasing berdasarkan Katalog Elektronik. Meskipun demikian, pengadaan obat tetap memungkinkan untuk dapat dilakukan secara manual dalam hal mengalami kendala operasional dalam aplikasi. Terkait dengan pemantauan dan evaluasi pengadaan obat dilakukan terhadap

artikel

Page 33: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

33INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

data realisasi pemenuhan pesanan, pendistribusian, penerimaan obat, dan pembayaran obat.

3. Distribusi ObatCara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.

Fasilitas distribusi harus mempertahankan sistem mutu yang mencakup tanggung jawab, proses dan langkah manajemen risiko terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan. Fasilitas distribusi harus memastikan bahwa mutu

obat dan/atau bahan obat dan integritas rantai distribusi dipertahankan selama proses distribusi. Seluruh kegiatan distribusi harus ditetapkan dengan jelas, dikaji secara sistematis dan semua tahapan kritis proses distribusi dan perubahan yang bermakna harus divalidasi dan didokumentasikan. Sistem mutu harus mencakup prinsip

manajemen risiko mutu.Semua tindakan yang dilakukan oleh

fasilitas distribusi harus dapat memastikan bahwa identitas obat dan/atau bahan obat tidak hilang dan distribusinya ditangani sesuai dengan spesifikasi yang tercantum pada kemasan. Fasilitas distribusi harus menggunakan semua perangkat dan cara yang tersedia untuk memastikan bahwa sumber obat dan/atau bahan obat yang diterima berasal dari industri farmasi dan/atau fasilitas distribusi lain yang mempunyai izin sesuai peraturan perundang-undangan untuk meminimalkan risiko obat dan/atau bahan obat palsu memasuki rantai distribusi resmi.

Ketiga tahapan penting tersebut diatas menjadi fokus dan objek dalam pelaksanaan

monitoring dan evaluasi atas tata kelola obat publik yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kemenkes.

Adapun tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi atas tata kelola obat public diharapkan dapat menilai kualitas tata kelola obat publik yang meliputi perencanaan, pengadaan, dan distribusi; mengidentifikasi kelemahan dan hambatan pada kegiatan-kegiatan pendukung tata kelola obat publik. Selain itu, diharapkan dapat memberikan rekomendasi atas kelemahan dan hambatan

pencapaian tata kelola obat publik yang ada.Pada tahap perencanaan monitoring dan evaluasi, tim telah mengidentifikasi simpul-simpul risiko pada pelaksanaan tata kelola obat publik pada 3 (tiga) tahapan yang menjadi fokus monitoring dan evaluasi, yaitu Perencanaan Kebutuhan, Pengadaan, dan Distribusi Obat.

dolmanlaw

.com

Page 34: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

34 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

NO BISNIS PROSES TUJUAN DAFTAR RISIKO DAMPAK1 1 FKTP/FKRTL t idak menyusun RKO

2

3 RKO t idak diusulkan tepat waktu

4

5

5

6 FKTP/FKRTL memiliki RKO diluar FORNAS

7

2 1 Pengadaan diluar Formularium yang telah ditetapkan 1. Potensi lebih t ingginya biaya kesehatan2 Pengadaan t idak sesuai dengan RKO yang telah disusun 1. Potensi lebih t ingginya biaya kesehatan3 Mekanisme pengadaan t idak melalui e-Katalog 1. Potensi lebih t ingginya biaya kesehatan4

5

6

7

8 Harga obat yang f luktuat if

9

10 Obat terlambat tayang di e-Katalog

11

3 1 Distribusi obat t idak sesuai dengan RKO

2 Distribusi obat t idak sesuai dengan ketentuan

3

4

Perenacnaan Kebutuhan Obat (RKO)

Kebutuhan obat nasional (RKO) sesuai kebutuhan dan ketentuan

1. Tidak diketahuinya jumlah kebutuhan obat2. Obat berlebih3. Obat kadaluarsa4. Obat t idak tersedia5. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara

RKO FKTP/FKRTL t idak disusun dan disahkan oleh pihak yang berkompeten

1. Tidak diketahuinya jumlah kebutuhan obat2. Obat berlebih3. Obat kadaluarsa4. Obat t idak tersedia5. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara6. Obat diluar ketentuan/standard

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu

Perhitungan kebutuhan obat t idak sesuai kebutuhan/pedoman

1. Obat berlebih2. Obat t idak tersedia/kurang3. Duplikasi Buf fer Stock4. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara5. Obat t idak digunakan/dimanfaatkan

Metode perhitungan kebutuhan obat t idak konsisten (konsumsi, rumus, proyeksi, dll)

1. Obat berlebih2. Obat kadaluarsa3. Obat t idak tersedia4. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara

RKO Dinas Kesehatan t idak disusun berdasarkan RKO FKTP

1. Obat berlebih2. Obat kadaluarsa3. Obat t idak tersedia4. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara

1. Potensi lebih t ingginya biaya kesehatan salah satunya karena adanya iur biaya ke masyarakat2. Obat berlebih3. Obat kadaluarsa

Mekanisme perhitungan dan pengusulan RKO t idak melalui bagian farmasi

1. Potensi kelebihan perhitungan kebutuhan obat2. Potensi kekurangan perhitungan kebutuhan obat

Pelaksanaan Pengadaan Obat

Pengadaan obat sesuai dengan

kebutuhan dan ketentuan

Pengadaan obat dengan ED lebih pendek dari yang seharusnya

1. Obat Kadaluarsa/t idak bisa digunakan2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu

Anggaran pengadaan obat t idak memenuhi kebutuhan obat sepenuhnya

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat

Pengadaan obat tanpa dasar kebutuhan/permintaan yang jelas

1. Potensi pemborosan uang negara2. Duplikasi pengadaan antara pusat dan daerah3. Obat berlebih4. Obat kadaluarsa

Keterbatasan jenis dan/atau jumlah obat yang tersedia/tayang di e-Katalog

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat

Data stok di e-Katalog yang t idak update secara real t ime 1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat4. Gagal pengadaan

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat4. Gagal pengadaan

Respon penyedia yang lambat dalam menanggapi surat pesanan dan pengiriman pesanan

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat4. Gagal pengadaan

Pelaksanaan Pendistribusian obat

Pendistribusian obat sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan

1. Obat berlebih2. Obat t idak tersedia3. Berpotensi terjadinya pemborosan uang negara4. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu

1. Obat rusak2. Obat t idak tersedia3. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu4. Potensi obat t idak terdistribusi

Distribusi obat dengan E.D pendek t idak memperhitungkan waktu

1. Obat Kadaluarsa/t idak bisa digunakan2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu

Kemampuan dan komitmen penyedia/distributor yang masih kurang dalam mendistribusikan obat ke tempat-tempat tertentu

1. Obat t idak tersedia2. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu3. Iur biaya ke masyarakat

artikel

Perencanaan

Page 35: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

35INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Metode Monotoring & EvaluasiPelaksanaan monitoring dan evaluasi

atas tata kelola obat public dilakukan melalui langkah-langkah pengumpulan data dan informasi, analisis perbandingan data dan informasi, dan wawancara kepada pihak terkait. Metode pelaksanaan monitoring dan evaluasi dilakukan dengan membandingkan data dan informasi yang diperoleh pada Satuan Kerja Pusat, Dinas Kesehatan, FKRTL, dan FKTP, dengan objek pelaksanaan monitoring dan evaluasi adalah obat dan vaksin, baik yang termasuk ke dalam obat dan vaksin program maupun non program, dengan menggunakan instrumen monitoring dan evaluasi yang telah disusun dalam bentuk kertas kerja excel.

Kertas kerja monitoring dan evaluasi meliputi instrument untuk memperoleh gambaran dan permasalahan, terkait dengan:1. Instrumen Informasi Umum

Instrument ini untuk mendapatkan gambaran profil satuan kerja yang menjadi objek monev.

2. Instrumen Monev Ketersediaan Obat dan VaksinInstrumen ini bertujuan untuk:a. Identifikasi perencanaan/usulan

dari setiap jenis dan jumlah obat maupun vaksin berikut dengan kesesuaiannya dengan formularium nasional.

b. Identifikasi daftar jenis dan jumlah obat maupun vaksin yang diterima oleh satuan kerja baik yang diperoleh melalui pengadaan maupun hibah/dropping.

c. Identifikasi jumlah obat yang digunakan setiap bulan dari Bulan Januari sampai dengan Desember tahun anggaran.

d. Identifikasi jumlah proyeksi penggunaan obat dan vaksin yang akan digunakan selama 6 (enam) bulan kedepan mulai dari Bulan Januari sampai dengan Bulan Juni.

e. Identifikasi adanya kekurangan maupun kelebihan obat dan vaksin pada satuan kerja.

3. Instrumen Monev Kualitas Tata Kelola Obat dan VaksinInstrumen ini bertujuan untuk:a. Identifikasi kualitas jawaban atas

instrumen monev ketersediaan obat dan vaksin sebelumnya.

b. Menilai kualitas perencanaan kebutuhan obat dan vaksin melalui pengujian kepatuhan terhadap ketentuan mulai dari pembuatan RKO, ketepatan waktu pengusulan, kesesuaian-kesesuaian pihak yang menyusun, menetapkan dan mengesahkan rencana kebutuhan, kesesuaian dengan formularium nasional, efektifitas perhitungan kebutuhan, sampai dengan ketersediaan dukungan anggaran terhadap kebutuhan obat dan vaksin selama tahun anggaran.

c. Mengidentifikasi metode pengadaan obat dan vaksin pada satuan kerja.

d. Menilai kesesuaian antara usulan jenis dan jumlah kebutuhan obat dan vaksin dengan formularium FKTP dan FKRTL.

e. Menilai proporsi metode pengadaan e-katalog dan non e-katalog.

f. Menilai efektifitas proses distribusi dan mengidentifikasi permasalahan/ hambatan pelaksanaan distribusi obat dan vaksin.

g. Menilai efektifitas pengadaan terkait dengan masa berlaku obat.

Page 36: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

36 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

4. Instrumen Root Cause Analysis (RCA)Instrumen ini bertujuan untuk menggali dan mengidentifikasi penyebab hakiki dari masalah yang telah terjadi atas ruang lingkup evaluasi yang kondisinya tidak sesuai kriteria.

5. Pada tahap akhir monitoring dan evaluasi dilakukan perhitungan skor nilai sesuai dengan bobotnya, sehingga

akan diperoleh nilai yang mewakili untuk masing-masing instrumen. Setiap instrumen penilaian akan dilakukan kompilasi dengan instrumen akhir kompilasi dan akan diperoleh skor akhir yang menggambarkan kinerja tata kelola obat dan vaksin pada provinsi tersebut dengan kriteria: SangatBaik, Baik, Cukup, Kurang Baik, dan Baik.

NO KRITERIA SKOR1 Sangat Baik > 912 Baik 81-903 Cukup 71-804 Kurang Baik 61-705 Buruk < 60

Referensi:1. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun

2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 33);

2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2017 Tentang Monitoring dan Evaluasi Terhadap Perencanaan Pengadaan berdasarkan Katalog Elektronik dan Pemakaian Obat (Berita Negara Tahun 2017 Nomor 896)

3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Tahun 2017 Nomor 50)

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit (Berita Negara Tahun 2017 Nomor 49)

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No 30 Tahun 2014 Tentang Standart Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Berita Negara Tahun 2016 Nomor 1170)

6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Perencanaan dan Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (Berita Negara Tahun 2019 Nomor 70)

7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: HK.01.07/MENKES/813/2019 Tentang Formularium Nasional. n

Penulis:Oong Rusmana, SKM, M.AkAuditor Ahli Muda Inspektorat IV Itjen Kemenkes RI

Dadi Suhardiman, SKM, MKMAuditor Ahli Madya Inspektorat IV Itjen Kemenkes RI

artikel

Page 37: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

37INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Masterplan Tata Kelola TIK Itjen Kemenkes

Di era industri 4.0 saat ini, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di lembaga pemerintahan mengarah pada pemanfaatan yang telah

memasuki dan menjadi sebuah keharusan di dalam aktivitas pengelolaan dan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Hampir semua proses bisnis dari organisasi pemerintahan menggunakan TIK dalam kegiatannya, mulai dari perencanaan hingga tahapan implementasi. Alhasil, penggunaan TIK tentunya akan mempercepat pencapaian kinerja dari Kementerian.

Dampak dari itu semua, banyak organisasi Pemeritahan berlomba-lomba untuk menerapkan TIK dengan segala teknologinya. Sayangnya, mereka hanya memperhatikan kebutuhan sesaat dan penerapan TI yang saling tumpang tindih tanpa adanya koordinasi dan integrasi.

Kondisi tersebut tidak sejalan dengan misi dan tujuan penerapan TI, yaitu efisiensi dan efektifitas dalam pemenuhan kebutuhan organisasi. Dan sering kali dianggap melakukan pemborosan anggaran, sehingga tata kelola TIK menjadi beban bagi organisasi.

Bagaimana mewujudkan tata kelola TIK yang efektif dan efisien? Pertanyaan ini hanya mampu dijawab dengan memperhatikan faktor integrasi didalam pengembangnnya. Perlu adanya komitmen yang melibatkan semua pihak, dimana peran pimpinan menjadi hal yang utama dalam tata kelola TIK, agar integrasi pengembangan TI yang melibatkan lintas sektoral dan bisa bersinergi antar satu unit kerja dengan unit kerja yang lain, sehingga mengurangi kesenjangan yang terjadi dalam proses pengembangan TIK.

Saat ini, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan sendiri sudah melakukan transformasi TI di semua proses bisnis organisasi. Transformasi dalam tata kelola TIK di lingkungan Inspektorat Jenderal dimulai pada tahun 2018. Tujuannya untuk

eler

ts.c

om

Page 38: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

38 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

menyelaraskan antara strategi proses bisnis pengawasan dan strategi TI.

Meski begitu, transformasi TI membutuhkan suatu acuan berupa roadmap/masterplan yang akan digunakan sebagai pedoman dalam tatakelola TIK. Roadmap/masterplan dimaksudkan sebagai acuan perencanaan, pengembangan dan pengelolaan TIK untuk mencapai tujuan pengawasan intern secara efektif dan efisien.

Masterplan TIK Itjen KemenkesSaat ini penerapan teknologi infromasi di

lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes bisa dilihat dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM), Infrastruktur, Alat Pengolah Data, Sistem Informasi, Anggaran dan Kelembagaan.

(1) Sumber Daya ManusiaPada era global saat ini, SDM di

lingkungan Inspektorat Jenderal diharapkan mampu menjawab tuntutan perkembangan TI di era Revolusi Industri 4.0. Dimana harus memiliki strategi, yaitu harus mampu secara aktif beradaptasi dan selalu meng-update kompetensi yang dimiliki dengan perkembangan TI yang senantiasa berubah secara masif dan cepat.

Pengetahuan tuntutan dan tantangan peran ASN di lingkungan Inspektorat Jenderal pada era revolusi industri 4.0 ini mewajibkan ASN untuk tidak hanya memiliki keahlian dalam bidang tertentu saja, seperti auditing, keuangan, sumber daya manusia, dan sebagainya. Tetapi juga diperlukan pengetahuan teknologi dan informasi mengikuti era revolusi industri, yang suka tidak suka akan dihadapi. Kualitas/kinerja ASN sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan yang dimiliki.

Kebutuhan SDM baik sebagai pengguna maupun pengelola TIK di Lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes perlu

ditingkatkan kemampuannya dalam penggunaan teknologi informasi dasar untuk menunjang tugas dan kewajiban kerjanya. Upaya pengembangan berdasarkan kondisi existing dan kondisi ideal sangat beragam tergantung pada posisi dan tugasnya. hal ini bisa dimulai dengan perencanaan yang baik, agar program-program yang dilakukan akan saling mendukung dan melengkapi menuju ke sasaran yang diharapkan.

Oleh karena itu pola pengembangan/pelatihan SDM yang dapat dicapai pada saat ini adalah:1. Perencanaan pengembangan SDM

yang disesuaikan rencana Implementasi sistem informasi di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes.

2. Pelatihan berkala yang mempertimbangkan kemampuan dasar

artikel

Page 39: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

39INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

teknologi informasi dan lainnya. 3. Pemanfaatan teknologi informasi

akan berdampak langsung terhadap suksesnya tata kelola TIK di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes.

(2) InfrastrukturKeberadaan infrastruktur teknologi

informasi disesuaikan dengan standar tertentu yang berlaku di dunia industri teknologi. Infrastruktur teknologi adalah pondasi atau kerangka kerja yang mendukung suatu sistem atau organisasi. Infrastruktur teknologi mencakup jaringan komunikasi, perangkat pemrosesan informasi (server, workstation dan peripheral pendukungnya), software system (sistem operasi, database RDBMS), dan media penyimpanan data. Infrastruktur teknologi

informasi dapat dipusatkan di dalam pusat data (data center), atau mungkin terdesentralisasi dan tersebar di beberapa data center yang dikendalikan oleh organisasi atau oleh pihak ketiga, seperti fasilitas colocation.

(3) Alat Pengolah DataAlat Pengolah Data merupakan perangkat

PC/notebook/laptop yang digunakan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kantor, mulai dari menulis laporan, kebutuhan desain, multimedia dan presentasi rapat, menulis surat, input data, rekapitulasi data. Alat Pengolah Data (komputer) kantor pada umumnya tidak memerlukan spesifikasi yang paling canggih karena kegiatan komputasi yang dilakukan biasanya ringan. Pegawai biasanya menggunakannya hanya

glob

alte

chre

crui

tmen

t.com

Page 40: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

40 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

untuk melakukan pekerjaan administrasi, menulis surat, membuat laporan pekerjaan di Microsoft Office dan sebagainya. Semua pekerjaan tersebut tidak memerlukan Processor paling canggih untuk bisa mendapatkan performa optimal. Spesifikasi standar sudah mumpuni untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Untuk pekerjaan design grafis diperlukan komputer dengan spesifikasi yang berbeda dengan pekerjaan kantor standar, menghitung pembukuan dan lainnya. Oleh karena itu pemilihan spesifikasi PC kantor yang ideal sangatlah penting untuk dilakukan.

(4) Sistem InformasiKondisi aplikasi existing di lingkungan

Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu :(a) Aplikasi Khusus, yaitu aplikasi yang

memiliki kriteria sebagai berikut :• Aplikasi yang hanya di gunakan

oleh internal Inspektorat Jenderal Kemenkes

• Aplikasi ini mendukung proses bisnis pengawasan Inspektorat Jenderal

(b) Aplikasi Umum, yaitu aplikasi yang memiliki kriteria sebagai berikut :• Aplikasi yang digunakan pada

oleh seluruh Satker di lingkungan Kementerian Kesehatan

• Aplikasi yang terintegrasi dengan aplikasi di dalam Kementerian Kesehatan dan di luar Kementerian Kesehatan.

Tuntutan akan sistem informasi (aplikasi) terpadu (terintegrasi) adalah kemutlakan. Sistem informasi yang terintegrasi akan mempermudah pekerjaan SDM di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes dalam penggunaan aplikasi pengawasan. Saat ini proses integrasi aplikasi dengan

pihak internal dan eksternal Kementerian Kesehatan belum dilakukan, sehingga ada kebutuhan data untuk beberapa pekerjaan yang dihasilkan dari sistem informasi tetap memerlukan pengolahan data manual yang pada akhirnya memberikan beban tambahan kepada SDM pengguna.

Dengan sistem yang terpadu, seluruh kebutuhan data dan proses bisnis aplikasi pengawasan diharapkan menjadi lebih efektif, efisien, transparan, serta mampu menekan hal-hal negatif yang menghambat proses yang sedang berlangsung. Demikian juga, kecepatan arus informasi dalam mendukung Decision Supports System (DSS) akan sangat efektif dalam era kepemimpinan yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pembangunan/pengembangan aplikasi yang perlu dikelola (direncanakan, dibangun/dikembangkan, dipelihara, dan di-monitoring serta dievaluasi kinerjanya) oleh Bagian TataKelola TIK Pengawasan.

(5) AnggaranDalam hal penganggaran terkait tata

kelola pembangunan dan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan Inspektorat Jenderal diharapkan akan menjadi sebuah aktivititas Investasi Teknologi Informasi jangka panjang. Pimpinan di lingkungan Inspektorat Jenderal harus memahami bahwa investasi TI bukan hanya sekedar membeli teknologi, namun juga mencakup membuat rencana investasi, membeli hardware, software, merawat dan mengoperasionalkan sistem TI, menerapkan keamanan TI, meningkatkan kompetensi TI, menyusun dan melaksanakan tata kelola dan manajemen TI, mengevaluasi kinerja dan permasalahan TI, meningkatkan unjuk kerja TI secara terus-menerus, hingga melakukan penghentian/pembuangan TI. Semuanya harus dihitung karena faktanya TI yang sukses membutuhkan semua aspek tersebut.

artikel

Page 41: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

41INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Kesenjangan yang terjadi antara kondisi kebutuhan anggaran dengan realisasi anggaran dalam tata kelola TIK akan menimbulkan perencanaan anggaran yang buruk apabila arah dan prioritas penggunaan anggaran dalam tata kelola TIK tidak berjalan dengan baik dan proses perencanaan anggaran yang tidak sistematik. Untuk menghindarkan pemborosan anggaran, diperlukan tata kelola perencanaan dan realisasi anggaran yang terencana. Baik dalam penyediaan dukungan Sistem Informasi maupun pengembangan SDM.

Indikator keberhasilan dalam investasi Teknologi Informasi dari suatu Unit Kerja adalah :1. Digunakannya Sumber-sumber

pendanaan yang efisien.2. Kesesuaian realisasi penyerapan

anggaran TIK yang berkualitas dengan reallisasi yang direncanakan.

3. Diperolehnya sumber daya TIK yang berkualitas dengan melalui proses belanja TIK yang efisien, cepat , bersih dan transparan

(6) KelembagaanKeberadaan Unit yang berwenang dan

bertanggung jawab atas pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Keberadaan organisasi struktural yang menjalankan fungsi Tatakelola TIK untuk memastikan bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) diharapkan dapat mendukung tujuan sistem kerja Inspektorat Jenderal dengan memperhatikan aspek efisiensi penggunaan sumber daya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang terdiri dari infrastruktur informasi, jaringan dan teknologi, aplikasi, dan SDM. Unit tersebut bertugas: 1. Mengkoordinasikan perencanaan,

realisasi, operasional harian dan evaluasi internal Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

2. Melakukan koordinasi dengan unit kerja lainnya terkait kebutuhan dan pengembangan TIK.

3. Melakukan review secara berkala atas pelaksanaan implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di lingkungan Inspektorat Jenderal Kemenkes.

Sebagai gambaran dalam pengelolaan TIK di Pemerintahan, bisa dilihat di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dimana perencanaan teknologi informasi, pengembangan sistem informasi, operasional teknologi informasi, serta pengelolaan data eksternal dan hukuman disiplin menjadi tanggungjawab Bagian Sistem Informasi dan Pengawasan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 mengenai Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan, Bagian Sistem Informasi dan Pengawasan menjalankan fungsi:1. Penyusunan dan pemutakhiran

rencana strategis teknologi informasi, penyusunan dan evaluasi kebijakan teknologi informasi, perancangan dan evaluasi keamanan informasi, pengelolaan risiko teknologi informasi, perancangan sistem aplikasi, pelaksanaan quality assurance pengembangan aplikasi, dan fasilitasi layanan teknologi informasi clan komunikasi dari unit pengelola teknologi informasi dan komunikasi Kementerian Keuangan; 

2. Pengembangan sistem aplikasi dan basis data, pengujian aplikasi,

Page 42: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

42 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

penyusunan rencana dan implementasi sistem informasi, perumusan standar pengelolaan dokumentasi sistem aplikasi dan basis data, pelatihan sistem aplikasi, dan pengelolaan basis data; 

3. pengelolaan infrastruktur teknologi informasi, administrasi sistem operasi, pengelolaan kepustakaan teknologi informasi, serta pelayanan dan dukungan teknis kepada pengguna; dan pengelolaan pertukaran data elektronis, pengembangan knowledge management, pengelolaan basis data hukuman disiplin pegawai Kementerian Keuangan, dan pemberian clearance dalam proses mutasi jabatan di lingkungan Kementerian Keuangan.

Bagaimana dengan Itjen Kemenkes? Untuk menjalankan tata kelola TIK di lingkungan Itjen Kemenkes diperlukan satu unit organisasi khusus. Unit organisasi tersebut mewadahi seluruh kegiatan dalam tata kelola TIK baik dalam penggunaan TIK, mengkoordinasikan perencanaan dan operasional inisiatif-inisiatif TIK strategis di lingkungan Itjen Kemenkes.

Fungsi organisasi pengelola TIK Strategis adalah:1 Menetapkan perencanaan, monitoring

dan evaluasi2 Menetapkan indikator keberhasilan3 Memberikan pengarahan apabila terjadi

masalah non teknis4 Memberikan support dan sarana

prasarana operasional5 Menerima laporan kegiatan dan

melakukan penilaian kinerja pelaksana6 Melakukan koordinasi antar unit kerja.

Faktor KunciPengetahuan atau pemahaman tentang

Teknologi Informasi dan Komunikasi yang sedemikian kompleks dan rumit serta

semakin lama semakin berkembang, nampaknya semakin sulit untuk diikuti oleh kelompok usia lanjut yang sedang menduduki jabatan sebagai pengambil keputusan.

Pengetahuan pegawai yang memadai tentang tata kelola TIK menjadi kunci utama keberhasilan implementasi Teknologi Informasi. Seberapun anggaran digelontorkan untuk membangun Teknologi Informasi tanpa kunci pengetahuan yang baik maka, akan sia-sia semuanya.

Fokus pada profesionalisme pengetahuan TIK tidaklah cukup tanpa diimbangi dengan dukungan kesejahteraan pelaksananya Para pengambil keputusan hendaknya bisa memahami bahwa setiap individu pasti ingin berkembang pengetahuannya dan semakin sejahtera hidupnya, seiring dengan laju pertumbuhan sosial kemasyarakatan. Keberhasilan pelaksanaan kinerja bidang pengawasan yang berbasis elektronik harus didukung oleh SDM yang sehat lahir dan batinnya.

Beberapa faktor kunci dalam penentu keberhasilan pembangunan dan penerapan teknologi informasi di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan:

stee

mit

.com

artikel

Page 43: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

43INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Komitmen dan Leadership 1. Komitmen dari semua tingkatan di

jajaran Inspektorat Jenderal, khususnya di tingkat pimpinan, merupakan faktor yang sangat dibutuhkan dan penentu keberhasilan pembangunan dan penerapan teknologi informasi di pemerintahan.

2. Pimpinan di lingkungan Inspektorat Jenderal harus memiliki kemampuan leadership dan mempunyai wawasan yang memadai tentang pentingnya penggunaan teknologi informasi di manajemen pemerintahan.

3. Pimpinan di lingkungan Inspektorat Jenderal harus siap untuk menjadi motor penggerak pembangunan di bidang teknologi informasi ini.

4. Komitmen terhadap penerapan teknologi informasi di di semua jajaran Inspektorat Jenderal Kemenkes haruslah didasarkan pada pertimbangan untuk menciptakan proses bisnis pengawasan yang efisien, dan diwujudkan dalam bentuk pemberian prioritas yang tinggi dalam pembangunannya.

Perubahan Proses dan Budaya Kerja 1. Fungsi penggunaan teknologi informasi

di Inspektorat Jenderal tidak hanya sebagai faktor pendukung manajemen, tetapi juga berfungsi sebagai agen perubahan (driver of change) untuk membawa kinerja Inspektorat Jenderal menjadi lebih efisien dalam bidang pengawasan.

2. Perubahan proses dan budaya kerja yang dilakukan harus berorientasi pada efisiensi dan peningkatan kualitas kinerja. SDM di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan harus mampu beradaptasi dengan perubahan dan perbaikan proses dan budaya kerja, khususnya dalam pemanfaatan

Teknologi Informasi sebagai sarana kerja.

Peningkatan Kualitas SDM1. Teknologi informasi hanyalah sebuah

alat (tools) yang tidak akan dapat menciptakan suatu perubahan apapun jika tidak didukung dengan sumber daya manusia dan budaya kerja yang memadai untuk menjalankan alat-alat tersebut.

2. Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pendidikan formal ataupun pelatihan pelatihan yang dilaksanakan baik secara internal ataupun eksternal.

3. Peningkatan kualitas dan pemanfaatan SDM semaksimal mungkin adalah merupakan faktor kunci keberhasilan penerapan teknologi informasi di Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan.

Anggaran Ketersediaan anggaran yang memadai

adalah merupakan salah satu elemen kunci dan sangat menentukan keberhasilan pembangunan dan penerapan teknologi informasi di lingkungan Inspektorat Jenderal. Pengalokasian anggaran di Inspektorat Jenderal akan disesuaikan dengan tingkat prioritas dari kegiatan, sehingga diperlukan komitmen baik oleh seluruh pegawai untuk keberhasilan pembangunan dan penerapan teknologi informasi ini.

Demikian Dokumen Master plan tatakelola TIK ini disusun sebagai acuan dan panduan dalam pelaksanaan kegiatan perencanaan, pembangunan, dan pengembangan TIK di lingkungan Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan. n

Penulis:Ario Agung Bramanthi, S.Kom., Pranata Komputer Ahli Pertama Inspektorat Jenderal Kemenkes RI

Page 44: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

44 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Dalam rangka mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), Menteri Kesehatan menetapkan Permenkes Nomor 29 tahun

2014 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistle Blowing System) Dugaan Tindak

Whistle Blowing System Kemenkes: Jangan Takut Menyuarakan Kebenaran

artikel

Page 45: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

45INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Whistle Blowing secara umum diartikan dengan meniup peluit, jika kita mendengar ada seseorang yang meniup peluit dengan bunyi yang bernada tinggi dan melengking pasti akan mengusik perhatian. Siapapun yang mendengar tiupan pluit itu maka akan berusaha mencari dimana suara itu berasal. Itulah gambaran sederhana tentang definisi whistleblowing.

Whistleblowing System Kemenkes adalah sistem pelaporan pelanggaran yang memungkinkan setiap masyarakat/pegawai untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang kerahasiaan identitas Pelapor dijamin serta diberikan

perlindungan oleh pimpinan Kementerian Kesehatan. Jadi, definisi Whistleblowing System tidaklah terbatas hanya pada WBS online yang ada pada website yang selama ini kita fikirkan ketika kita ditanya tentang Whistleblowing System, namun lebih luas merupakan sistem pelaporan pelanggaran untuk mempermudah pegawai/masyarakat yang hendak melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kemenkes.

Penerapan Whistleblowing System di lingkungan Kementerian Kesehatan merupakan tindak lanjut Inpres 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, antara lain menetapkan Program Wilayah Bebas dari Korupsi yang mewajibkan penerapan sistem pelaporan pelanggaran (Whistleblowing System). Sistem ini memberikan kesempatan kepada masyarakat/pegawai Kementerian Kesehatan yang mengetahui atau memiliki informasi/bukti-bukti tentang perbuatan tindak pidana korupsi pejabat dan atau pegawai di lingkungan kerjanya, untuk mengungkapkan penyimpangan tersebut tanpa merasa khawatir kerahasiaannya diketahui oleh orang lain.

Kemana Saluran Jika Ada dugaan tindak pidana korupsi di Kemenkes?

Penangananan pelaporan pelanggaran (Whistleblowing System) di lingkungan Kementerian Kesehatan merupakan bagian dari sistem penangananan pengaduan masyarakat terpadu yang memfokuskan pada laporan yang berindikasi tindak pidana korupsi, laporan adanya dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Kesehatan dapat disampaikan melalui saluran:

Apa saja kriteria pengaduan yang disampaikan melalui Whistleblowing System Kemenkes?

inte

rnat

iona

lban

ker.c

om

Page 46: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

46 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Pengaduan yang disampaikan melalui Whistleblowing System hanya pengaduan pelanggaran yang mengindikasikan adanya Tindak Pidana Korupsi (TPK). Laporan suatu penyimpangan harus didukung dengan bukti-bukti yang cukup dan jelas unsur-unsurnya sebagai berikut :1) Adanya

penyimpangan kasus yang dilaporkan;

2) Dimana kasus tersebut terjadi;

3) Kapan kasus terjadi;

4) Siapa dan pejabat/pegawai Kementerian Kesehatan yang

5) melakukan penyimpangan atau terlibat dengan kejadian; dan

6) Bagaimana cara perbuatan tersebut terjadi.

Apakah kerahasiaan Identitas saya terjamin?

Inspektorat Jenderal wajib melindungi dan menjaga kerahasiaan identitas Pelapor Pelanggaran (Whistleblower), memberikan perlindungan hukum serta perlakuan yang wajar. Sesuai dengan Permenkes Nomor 29

tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistle Blowing System) Dugaan Tindak Pidana Korupsi di

Lingkungan Kementerian Kesehatan Pasal 10 ayat (1) “bahwa

Inspektorat Jenderal wajib melindungi dan menjaga

kerahasiaan identitas Pelapor Pelanggaran (Whistleblower), memberikan perlindungan hukum serta perlakuan yang

wajar”.

Apakah ada jaminan perlindungan bagi Saya ketika saya

melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kemenkes?

Pada tanggal 28 September 2015, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam rangka Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kesehatan Nomor: HK.05.01/MENKES/373/2015 dan Nomor: NK-042/I.DIV4.2/LPSK/09/2015. MoU

• WBS online Inspektorat Jenderal : https://itjen.kemkes.go.id/wbs/• Email pengaduan : [email protected]• Kolom pengaduan : https://itjen.kemkes.go.id/pengaduan_form• Datang langsung : Kantor Inspektorat Jenderal• Surat : Jl. HR. Rasuna Said Blok X-5 Kavling No. 4-9 : Kuningan, Jakarta-Jakarta Selatan 12950• Telepon : 021-5223011, 5201589 (Direct) 021-5201589• Fax : 021-5201589

artikel

lpmpmalut.id

Page 47: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

47INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

ini merupakan bagian dari Whistleblowing System Kemenkes dimana selain ada saluran pengaduan, jaminan kerahasiaan identitas pelapor juga diperlukan perlindungan bagi pelapor yang melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian Kesehatan. Hal ini sesuai dengan Permenkes Nomor 29 tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistle Blowing System) Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kesehatan Pasal 10 ayat (3) bahwa “Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan melaporkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) apabila Pelapor Pelanggaran (Whistleblower) mengalami ancaman keselamatan jiwa”.

Siapa yang akan menangani pengaduan saya terkait dugaan adanya tindak pidana korupsi dilingkungan Kemenkes?

Pelaporan pelanggaran tindak pidana korupsi yang disampaikan oleh pelapor, selanjutnya ditindaklanjuti oleh Tim Penangananan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) pada Inspektorat Investigasi.

Yuk jangan takut menyuarakan kebenaran yang anda lihat, bantulah Kementerian Kesehatan untuk menjadi lebih baik dengan melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi di Kemenkes melalui Whistle Blowing System. Jika kita hanya diam melihat dan mendengar adanya penyimpangan, sama saja kita setuju dengan perbuatan itu, atau lebih ekstrem kita dianggap bagian dari penyimpangan itu. Salam Sehat Tanpa Korupsi!!!!. n

Sumber: Permenkes Nomor 29 tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistle Blowing System) Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Lingkungan Kementerian Kesehatan

Penulis: Ahmad Fahrudin, SEAuditor Ahli Pertama Inspektorat Investigasi Kemenkes RI

Page 48: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

48 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Saat ini sebagian besar negara, termasuk Indonesia menghadapi permasalahan yang sama: pandemi coronavirus desease (Covid-19). Presiden Indonesia Joko Widodo

sendiri sudah mengumumkan bahwa penyebaran Covid-19 ini sebagai bencana nasional. Pemerintah harus bergerak lebih cepat demi menganggulangi penyebaran penyakit baru ini. Meski begitu, pemerintah tetap perlu mengedepankan transparansi dalam proses penanganan bencana, termasuk dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Hal ini diperlukan untuk memastikan upaya pemerintah sejalan dengan kebutuhan warga dan uang negara pun tak terbuang percuma.

Bagi kementerian/lembaga, pengadaan barang/jasa di masa darurat ini dilematis. Di satu sisi barang/jasa tersebut harus tetap dilakukan. Di sisi lain, harga barang/jasa tersbut sangat fluktiatif dan cenderung sangat mahal.

Menghadapi kenyataan tersebut, tentunya seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Kesehatan diharapkan mampu mendapatkan barang/jasa yang dibutuhkan, namun dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip pengadaan.

Untuk mengatasi kondisi yang dilematis tersebut, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020. Surat Edaran ini pada dasarnya adalah penjelasan dari pasal 59 Peraturan

Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa. Surat edaran ini juga merupakan penjelasan dari Peraturan Kepala LKPP nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat. Pada surat edaran tersebut dijelaskan bahwa dalam pengadaan barang/jasa penanganan Covid-19 Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tidak perlu membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

Dalam kondisi normal, fungsi dari HPS adalah untuk menilai kewajaran harga penawaran dari penyedia. Kemudian, ketika PPK tidak perlu membuat HPS, bagaimana PPK dapat menilai harga yang ditawar penyedia tersebut adalah wajar?

Mengingat hal tersebut, maka peran Aparat Pengawasan

On Going Process PBJdi Masa Pandemi

artikel

Page 49: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

49INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

Intern Pemerintah (APIP) dalam melakukan pengawasan terhadap pengadaan barang/jasa menjadi sangat penting. APIP diharapkan dapat mengawal dan memastikan akuntabilitas keuangan dan proses pengadaan barang/jasa dalam penanggulangan COVID-19.

Tim Pendampingan PBJSehubungan dengan pemenuhan

peran APIP tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan telah membentuk Tim Pendampingan Pengadaan Barang/Jasa Percepatan Penanganan Covid-19.

Pendampingan dilakukan oleh tim secara on going process, yaitu mendampingi

satuan kerja dalam setiap tahapan pengadaan barang/jasa. Tim akan mendampingi satuan kerja yang memiliki program pengadaan penanggulangan Covid-19 yang strategis dengan dana yang besar, mulai dari proses

perencanaan

sampai dengan pemanfaatan. Pada setiap tahapan pengadaan tersebut,

Tim memberikan alternatif solusi atas permasalahan yang muncul. Bahkan, Tim juga melakukan pendampingan pada saat satuan kerja dilakukan pemeriksaan oleh pihak eksternal.

Pada akhirnya, pendampingan on going process dalam pengadaan penanggulangan Covid-19 bertujuan menciptakan Governance, Risk, Compliance (Tata Kelola, Risiko dan Kepatuhan) yang baik.

Dengan adanya alternatif solusi/rekomendasi yang diberikan pada saat pendampingan, diharapkan permasalahan pengadaan barang/jasa yang seringkali berulang tidak terjadi lagi, sehingga tujuan pengadaan dapat tercapai secara optimal sesuai dengan harapan.

Disamping itu, dengan adanya pendampingan oleh Tim Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan, diharapkan pengadaan penanggulangan COVID-19 pada Kementerian Kesehatan RI terbebas dari praktik KKN dan Kerugian Negara. n

Referensi:1. Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus disease.

2. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres PBJ).

3. Peraturan Kepala (Perka) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 Tahun 2018 (Perka LKPP No. 13/2018).

Penulis:Lisa Angelia, SKM, MTD, QRMA, Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi Kemenkes RI

redb

ox.c

om

Page 50: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

50 INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

galeri foto

1

32

4

50

1-2 Audit PNBP di B2P2TOOT Tawangmangu (23-29 Agustus 2020)

3-4 Audit PNBP BKOM Bandung (28 September - 2 Oktober 2020)

Page 51: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

51INFORWAS • EDISI III • TAHUN 2020

5-6 Monitoring dan Evaluasi Sistem Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Program JKN di RS Paru H.A. Rotinsulu Bandung (21-25 September 2020)

7-8 Pendampingan Penilaian Usulan Awak DAK pada Ditjen Pelayanan Kesehatan (Juli 2020)

Collected by: Lisa Yuliana

5 6

8

7

Page 52: COVER DEPAN (FILE TERPISAH) - kemkes.go.id · 2021. 1. 21. · berbasis Teknologi Informasi. Tentunya dengan tetap mengacu pada standar internal audit internasional dengan penjaminan

COVER BELAKANG(FILE TERPISAH)