CO2 Flux in the Coastal Waters of Lombok, West Nusa …
Transcript of CO2 Flux in the Coastal Waters of Lombok, West Nusa …
91
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
Fluks CO2 di Perairan Pesisir Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat
CO2 Flux in the Coastal Waters of Lombok, West Nusa Tenggara
Afdal
Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
Email: [email protected]
Submitted 29 January 2016. Reviewed 15 August 2016. Accepted 22 August 2016.
Abstrak
Wilayah pesisir dan laut memainkan peranan penting dalam pengaturan iklim dengan menyerap CO2
dan bertukar karbon dengan berbagai kompartemen penyimpan karbon seperti atmosfer, daratan, dan biota.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertukaran CO2 antara permukaan air laut dan atmosfer di perairan
pesisir Pulau Lombok beserta komponen penyerap dan pelepasnya, serta parameter yang berpengaruh
terhadap proses tersebut. Penelitian dilakukan pada bulan April 2012 di perairan Teluk Sekotong (10 stasiun)
dan Teluk Kodek (6 stasiun). Tekanan parsial (pCO2) dan fluks CO2 di permukaan laut dihitung dengan
menggunakan model ABIOTIC dari ocean carbon cycle model intercomparison project phase-2 (OCMIP-2).
Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum, perairan Teluk Kodek dan Teluk Sekotong bagian luar
adalah penyerap CO2, sedangkan perairan Teluk Sekotong bagian dalam berperan sebagai pelepas CO2.
Fluks CO2 di perairan Teluk Sekotong berkisar dari -0,61 hingga 0,52 mmol.m-2.hari-1, sedangkan di Teluk
Kodek berkisar dari -0,80 hingga -1,84 mmol.m-2.hari-1 dengan rata-rata 0,05 ± 0,40 dan -1,29 ± 0,40
mmol.m-2.hari-1. Teluk Kodek berperan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer karena dipengaruhi oleh massa
air Selat Lombok yang mempunyai konsentrasi nutrien dan klorofil yang tinggi. Keberadaan ekosistem
lamun dan terumbu karang yang mendukung pulau-pulau kecil yang ada di Teluk Kodek turut mengurangi
peningkatan pCO2 kolom air dan memperkuat penyerapan CO2 di perairan tersebut. Teluk Sekotong Bagian
Dalam berperan sebagai pelepas CO2 karena perairan ini cenderung lebih tertutup, sehingga waktu tinggal
massa air menjadi lebih lama yang mengakibatkan peningkatan pengayaan DIC dan pCO2.
Kata kunci: pCO2, fluks CO2, klorofil-a, Lombok, penyerap CO2, pelepas CO2
Abstract
Coastal and marine areas play an important role in the climate regulation by absorbing CO2 and
exchanging carbon with various carbon storing compartments like atmosphere, land, and biota. This study
aimed to determine the exchange of CO2 between the sea surface and the atmosphere in the coastal waters of
Lombok island as well as its source and sink components, and the parameters that influence the process. The
study was conducted in April 2012 in the waters of Sekotong Bay (10 stations) and Kodek Bay (6 stations).
The partial pressure of CO2 (pCO2) and CO2 flux at sea level was calculated using abiotic models of the
ocean carbon cycle models intercomparison project phase-2 (OCMIP-2). The results showed that in general,
Afdal
92
waters in Kodek Bay and outer part of Sekotong Bay acted as a CO2 sink from the atmosphere, whereas the
waters in the inner part of Sekotong Bay acted as a CO2 source to the atmosphere. CO2 flux in the waters of
Sekotong Bay ranged from -0.61 to 0.52 mmol.m-2.hari-1, whereas in Kodek Bay ranged from -0.80 to -1.84
mmol.m-2.hari-1 with an average of 0.05 ± 0.40 and -1.29 ± 0.40 mmol.m-2.hari-1. Kodek Bay played a role as
a CO2 sink from the atmosphere as it was influenced by the water mass of Lombok Strait rich in nutrients and
chlorophyll. The existence of seagrass and coral reef ecosystems that supported the small islands within
Kodek Bay helped reduce the elevated pCO2 water column and strengthen the absorption of CO2 in these
waters. Inner Sekotong Bay acted as a CO2 source since these waters tended to be enclosed. This made the
retention time of the water mass become longer, resulting in an enrichment of DIC and pCO2.
Keywords: pCO2, CO2 flux, chlrophyll, Lombok, CO2 sink, CO2 source
Pendahuluan
Wilayah pesisir dan laut memainkan
peranan penting dalam pengaturan iklim dengan
menyerap CO2 dan sebagai tempat pertukaran
karbon dengan berbagai kompartemen penyimpan
karbon seperti atmosfer, daratan, dan biota.
Beberapa perubahan dalam faktor fisika perairan
pesisir akibat pemanasan global dapat mengubah
siklus karbon dan fluks CO2 udara–laut, seperti
peningkatan stratifikasi massa air, peningkatan
luas zona upwelling pesisir, peningkatan luas zona
oksigen minimum, dan perubahan volume air
tawar yang masuk ke laut (Borges, 2011). Selain
itu, perubahan penggunaan lahan, run off air tawar
dari daratan, dan perubahan kesetimbangan
karbonat air laut turut memengaruhi siklus karbon
dan pertukaran antara CO2 atmosfer dan laut
(Borges, 2011).
Peta fluks CO2 global atmosfer–laut yang
dihasilkan oleh Takahashi et al. (2002)
menunjukkan bahwa tidak semua lautan dan
pesisir berfungsi sebagai penyerap CO2
antropogenik. Lautan tropis pada umumnya
berfungsi sebagai pelepas CO2, sedangkan
perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi
sebagai penyerap CO2 (Chen & Borges, 2009).
Posisi laut Indonesia yang berada di daerah tropis
memiliki indikasi kuat sebagai pelepas CO2
karena temperatur permukaan laut tinggi,
sehingga tekanan parsial CO2 di permukaan laut
lebih tinggi daripada di atmosfer. Hal ini
menjadikan perairan tropis sebagai pelepas CO2.
Sebaliknya, di lintang menengah dan tinggi
temperatur permukaan laut rendah, sehingga
tekanan parsial CO2 di permukaan laut lebih
rendah daripada di atmosfer.
Namun, beberapa penelitian yang telah
dilakukan di perairan pesisir Indonesia
menunjukkan bahwa tidak semua perairan laut
dan pesisir Indonesia berperan sebagai pelepas
CO2. Perbatasan Laut Jawa dan Laut Bali
(Muchtar et al., 2013), perairan Teluk Banten
pada musim barat (Rustam et al., 2013), serta
perairan Ternate dan sekitarnya (Afdal & Giyanto,
2013) berperan sebagai penyerap CO2, sedangkan
Laut Timor, Laut Sawu, Laut Bali (Muchtar et al.,
2013), perairan Selat Nasik, Belitung (Afdal et al.,
2012), perairan Cilacap (Afdal et al., 2011), Laut
Jawa (Muchtar et al., 2013), dan perairan Teluk
Banten pada musim timur (Rustam et al., 2013)
berperan sebagai pelepas CO2. Hal ini
menunjukkan bahwa temperatur bukan satu-
satunya faktor yang memengaruhi pertukaran CO2
antara atmosfer dan laut. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa arah dan besar
pertukaran CO2 udara–laut di perairan pesisir juga
sangat tergantung pada jenis ekosistem di perairan
pesisir (Borges et al., 2005), selain arus laut yang
dominan di perairan pesisir (Liu et al., 2000) dan
posisi lintang secara geografis (Borges et al.,
2005; Liu et al., 2000).
Perairan pesisir Lombok Barat berhubungan
langsung dengan Selat Lombok. Dilihat dari segi
oseanografi, Selat Lombok merupakan selat yang
mempunyai peranan penting di kawasan
konvergensi Indo-Pasifik, di antaranya adalah
fenomena Arlindo (Murray & Arief, 1988), yaitu
fenomena aliran massa air dari Pasifik Barat ke
Lautan Hindia yang bisa berpengaruh terhadap
pertukaran CO2 udara–laut di perairan tersebut.
Selain itu, Teluk Sekotong dan Teluk Kodek
didukung oleh ekosistem pesisir tropis seperti
terumbu karang, lamun, dan bakau yang turut
memengaruhi fluks CO2 di perairan pesisir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pertukaran CO2 antara permukaan air laut dan
atmosfer di perairan pesisir Pulau Lombok beserta
komponen penyerap dan pelepasnya, serta
parameter yang berpengaruh terhadap proses
tersebut.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
93
Metodologi
Penelitian dilakukan pada bulan April 2012
di perairan pesisir Barat Pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat, yaitu di perairan Teluk Sekotong
dan Teluk Kodek. Pengambilan sampel air
dilakukan di lapisan permukaan 10 stasiun yang
tersebar di perairan Teluk Sekotong dan 6 stasiun
di perairan Teluk Kodek (Gambar 1). Pengukuran
parameter fisika kimia suhu, salinitas, intensitas
cahaya, DO, pH, dan CO2 atmosfer langsung
dilakukan di lapangan, sedangkan parameter CO2
kolom air, klorofil-a fitoplankton, dan konsentrasi
nutrien diukur dengan menganalisis sampel air
laut di Laboratorium Biogeokimia Pusat
Penelitian Oseanografi LIPI. Pengambilan data
suhu dan konsentrasi oksigen terlarut dilakukan
dengan menggunakan DOmeter, salinitas dengan
refraktometer, intensitas cahaya dengan
lightmeter, pH dengan pHmeter, dan CO2
atmosfer dengan CO2meter. Khusus untuk
parameter sistem CO2, sesaat setelah pengambilan
sampel, ditambahkan HgCl2 pada sampel air untuk
menghentikan aktivitas biologis dan sampel
disimpan dalam coolbox suhu rendah untuk
mencegah CO2 terlepas ke udara. Analisis lebih
lanjut dilakukan di laboratorium.
Pengukuran Sistem Karbonat Laut
Sistem karbonat laut di perairan dikaji
melalui empat parameter, yaitu Dissolved
Inorganic Carbon (DIC), alkalinitas total, pH, dan
tekanan parsial CO2 (pCO2) (Lewis & Wallace,
1997; Dickson et al., 2007).
Gambar 1. Lokasi stasiun pengambilan sampel di perairan Teluk Sekotong dan Teluk Kodek.
Figure 1. Location of sampling stations in Sekotong and Kodek Bays.
Afdal
94
Dalam penelitian ini DIC diukur menggunakan
metode titrimetri (Giggenbach & Goguel, 1989)
dengan prinsip yang didasarkan pada perubahan
pH setelah penambahan HCl dan NaOH. DIC
didapatkan dari penjumlahan HCO3- dan CO3
2-
dalam satuan μmol/kg.
Keterangan:
A dan B = Volume HCl yang digunakan untuk
menurunkan pH.
C dan D = Volume NaOH yang digunakan untuk
menaikkan pH.
Vs = Volume sampel air laut yang dianalisis
Hasil pengukuran DIC dengan metode ini
kemudian dikoreksi dengan hasil pengukuran
Certified Reference Material (CRM) dari Marine
Physical Laboratory, University of California, San
Diego.
Alkalinitas Total diukur menggunakan
metode titrimetri (Grasshoff, 1976) dengan
prosedur berikut, yaitu ke dalam 50 mL sampel air
laut ditambahkan 5 mL HCl 0,025 M dan
dididihkan selama ± 5 menit, kemudian
didinginkan dalam penangas air. Setelah dingin,
ke dalam sampel ditambahkan 3–5 tetes
bromothymol blue sebagai indikator. Sampel
kemudian dititrasi dengan NaOH 0,02 M. Selama
titrasi, gas bebas CO2 (nitrogen atau helium)
dialirkan ke dalam sampel. Proses titrasi
dihentikan setelah sampel bewarna biru. Volume
NaOH yang terpakai dicatat dan dimasukkan ke
dalam rumus berikut:
Keterangan:
V = Volume HCl dan NaOH
t = Molaritas HCl dan NaOH
Vb = Volume sampel
Tekanan parsial CO2 (pCO2) kolom air
dihitung dengan menggunakan model OCMIP
(Ocean Carbon Cycle Model Intercomparison
Project) yang dikembangkan oleh Orr et al.
(1999). Tekanan parsial CO2 atmosfer diukur
menggunakan CO2meter secara simultan dengan
pengambilan sampel untuk pengukuran pCO2
kolom air. Berdasarkan nilai pCO2 laut dan
atmosfer dapat ditentukan apakah suatu perairan
bertindak sebagai penyerap (sink) atau pelepas
(source) CO2.
Fluks CO2 atau pertukaran aliran gas CO2
antara udara dan laut dihitung menggunakan
rumus:
Fluks CO2 = K. α. Δ pCO2 air–atm
ΔpCO2 = pCO2 air-pCO2 atm
Keterangan:
K = kecepatan transfer gas (fungsi dari kecepatan
angin yang diambil dari data BMKG)
Α = koefisien daya larut (fungsi dari suhu dan
salinitas)
ΔpCO2air–atm = selisih antara tekanan parsial CO2
permukaan air dan atmosfer
Pengukuran Nutrien dan Klorofil-a
Pengukuran konsentrasi nutrien (fosfat,
nitrat, dan silikat) dilakukan dengan menggunakan
spektrofotometer HACH (APHA, 2005; Rustam et
al., 2014). Pengukuran konsentrasi klorofil-a
fitoplankton dilakukan secara fluorometrik
mengikuti Cochlan & Hendorn (2012). Sebanyak
0,1–1,0 L air disaring dengan menggunakan filter
Whatman CNM berpori 0,45 µm dan berdiameter
25 mm. Untuk mempercepat penyaringan
digunakan pompa vakum dengan kekuatan hisap <
30 cmHg. Setelah penyaringan, filter diekstraksi
dengan menggunakan larutan aseton 90%.
Selanjutnya, disentrifugasi pada putaran 4.000
rpm selama kurang lebih 30 menit untuk
memisahkan filtrat dari cairan yang mengandung
klorofil. Kemudian, cairan tersebut dibaca
fluoresensinya dengan menggunakan fluorometer
Turner Trilogy tipe AU-10. Konsentrasi klorofil-a
fitoplankton diperoleh dengan menggunakan
rumus:
Klorofil-a (μg/L) = ((y-b)/m)(v/V)
Keterangan:
Y = nilai fluoresensi
B = nilai sumbu y yang berpotongan pada kurva
kalibrasi
M = kemiringan (slope) garis regresi pada kurva
standar (kalibrasi)
V = volume ekstrak (penambahan aseton 90%)
(mL)
V = volume sampel yang disaring (mL)
Penentuan parameter fisika-kimia
oseanografi dan sistem CO2 yang dominan
terhadap perubahan nilai tekanan parsial dan fluks
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
95
CO2 dilakukan dengan analisis PCA (Principal
Component Analysis). Hasil analisis PCA ini
menunjukkan parameter-parameter atau variabel
penelitian yang berperan penting. Analysis PCA
dilakukan dengan data yang sudah distandardisasi
per variabel terhadap total masing-masing
variabel dengan menggunakan software Primer
(Clarke & Warwick, 2001). Untuk melihat beda
nyata antara lokasi penelitian dilakukan t-test
menggunakan software RStudio (R Core Team,
2015).
Hasil
Sistem Karbonat Laut
Sistem karbonat dalam air laut ditentukan
oleh empat parameter, yaitu pH, konsentrasi DIC,
alkalinitas total, dan tekanan parsial CO2 (Lewis &
Wallace, 1997; Zeebe & Wolf-Gladrow, 2001;
Dickson et al., 2007). Nilai pH merupakan
parameter penting dalam sistem CO2 karena
sangat memengaruhi keseimbangan karbonat
dalam air laut. Nilai pH yang rendah akan
menggeser keseimbangan karbonat yang
menyebabkan HCO3-dan CO2 bebas lebih banyak
terbentuk. Sebaliknya, kondisi pH yang tinggi
akan menyebabkan ion karbonat lebih banyak
terbentuk (Zeebe & Wolf-Gladrow, 2001).
Perubahan keseimbangan karbonat tersebut akan
berpengaruh terhadap pCO2 dalam air laut.
Gambar 2 menunjukkan sebaran pH di
perairan Teluk Sekotong dan Teluk Kodek pada
bulan April 2012. Secara umum, pH perairan
Teluk Kodek lebih tinggi dan lebih homogen
Gambar 2. Pola distribusi pH di wilayah studi, April 2012
Figure 2. Distribution pattern of pH in study area, April 2012.
Afdal
96
Gambar 3. Pola distribusi karbon anorganik terlarut (DIC) di wilayah studi, April 2012.
Figure 3. Distribution pattern of dissolved inorganic carbon (DIC) in study area, April 2012.
dibandingkan Teluk Sekotong, dengan pH rata-
rata di kedua perairan tersebut masing-masing
8,23 ± 0,04 dan 8,18 ± 0,06. Perbedaan pH ini
disebabkan oleh perairan Teluk Kodek yang lebih
terbuka dan berhubungan langsung dengan Selat
Lombok, sehingga massa air Teluk Kodek
cenderung lebih dipengaruhi oleh massa air Selat
Lombok yang mempunyai salinitas yang lebih
tinggi. Salinitas dan pH merupakan faktor penting
yang memengaruhi kelarutan CO2 dalam air laut.
Semakin tinggi salinitas, kelarutan CO2 akan
semakin tinggi dan CO2 terlarut akan bereaksi
dengan kalsium membentuk CaCO3.
Parameter sistem karbonat laut yang lain
adalah konsentrasi DIC yang menggambarkan
total konsentrasi CO2 dalam air laut yang terdiri
atas bikarbonat (HCO3-), karbonat (CO3
2-), dan
CO2 bebas terlarut (Zeebe & Wolf-Gladrow,
2001). Secara umum, konsentrasi DIC di perairan
Teluk Kodek lebih tinggi dibandingkan Teluk
Sekotong. Konsentrasi DIC di perairan Teluk
Kodek dan Teluk Sekotong masing-masing
berkisar 1.567–1.948 µmol/kg dan 1.750–2.106
µmol/kg dengan rata-rata 1.971,38 ± 118,55
µmol/kg dan 1.818,74 ± 147 µmol/kg.
Berdasarkan pola sebaran DIC (Gambar 3)
tampak bahwa di perairan Teluk Sekotong,
konsentrasi DIC yang tinggi ditemukan di
perairan teluk bagian dalam dan konsentrasinya
semakin rendah menuju teluk bagian luar,
sedangkan di perairan Teluk Kodek konsentrasi
DIC yang tinggi ditemukan di sekitar Pulau Gili
Terawangan, Gili Meno, dan Gili Air.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
97
Gambar 4. Pola distribusi tekanan parsial CO2 (pCO2) kolom air di wilayah studi.
Figure 4. Distribution pattern of water column CO2 partial pressure (pCO2) in the study area
Konsentrasi DIC yang tinggi di kolom air
laut diiringi dengan kenaikan gradien tekanan
parsial CO2 air laut, tampak pada pola sebaran
pCO2 (Gambar 4) di perairan Teluk Sekotong dan
Teluk Kodek yang mirip dengan pola sebaran DIC
(Gambar 3). Tekanan parsial CO2 kolom air di
perairan Teluk Sekotong berkisar 342,27–411,39
µatm dengan rata-rata 383,54 ± 23,61 µatm, lebih
tinggi dibandingkan di perairan Teluk Kodek yang
berkisar 217,19–269,89 µatm dengan rata-rata
252,25 ± 20,25 µatm. Secara umum, pCO2 kolom
air di perairan pesisir Lombok Barat lebih rendah
dibandingkan pCO2 atmosfer terutama di perairan
Teluk Kodek dan Teluk Sekotong bagian luar.
Tekanan parsial CO2 atmosfer di Teluk Sekotong
dan Teluk Kodek masing-masing berkisar 336–
414 µatm dan 314–390 µatm.
Fluks CO2
Fluks atau pertukaran aliran gas CO2 antara
udara dan laut merupakan fungsi dari perbedaan
konsentrasi CO2 antara laut dan udara, daya larut,
dan kecepatan transfer gas CO2 di permukaan laut.
Afdal
98
Gambar 5. Fluks CO2 di wilayah studi. Nilai (+) menunjukkan pelepasan CO2 ke atmosfer (pelepas); nilai
(–) menunjukkan penyerapan CO2 dari atmosfer (penyerap).
Figure 5. CO2 flux in the study area. Value (+) indicates the release of CO2 into the atmosphere (source);
value (–) indicates the absorbption of CO2 from the atmosphere (sink).
Gambar 5 menunjukkan bahwa secara
umum perairan Teluk Kodek pada pengamatan
April 2012 berperan sebagai penyerap CO2 yang
ditunjukkan oleh nilai fluks CO2 yang negatif,
sedangkan Teluk Sekotong berperan sebagai
pelepas CO2 yang ditunjukkan oleh nilai fluks CO2
positif. Fluks CO2 di perairan Sekotong berkisar -
0,61–0,52 mmol.m-2.hari-1 dengan rata-rata 0,05 ±
0,40 mmol.m-2.hari-1. Teluk bagian dalam
berperan sebagai pelepas CO2, sedangkan teluk
bagian luar berperan sebagai penyerap CO2. Di
perairan Teluk Kodek, fluks CO2 berkisar dari -
0,80 hingga -1,81 mmol.m-2.hari-1 dengan rata-rata
-1,29 ± 0,40 mmol.m-2.hari-1. Penyerapan CO2 dari
atmosfer disebabkan oleh tekanan parsial CO2
dalam kolom air lebih rendah dibandingkan
tekanan parsial CO2 di atmosfer, sehingga terjadi
aliran gas CO2 dari atmosfer ke permukaan laut.
Sebaliknya, laut berperan sebagai pelepas CO2
ketika pCO2 kolom air lebih tinggi dibandingkan
di atmosfer, sehingga terjadi aliran CO2 dari
kolom air ke atmosfer.
Pembahasan
Teluk Sekotong dan Teluk Kodek
mempunyai peran yang berbeda dalam pertukaran
CO2 udara–laut. Teluk Sekotong cenderung
berperan sebagai pelepas CO2, sedangkan Teluk
Kodek sebagai penyerap CO2. Perbedaan tersebut
disebabkan oleh perbedaan tekanan parsial CO2
(pCO2) kolom air di antara kedua lokasi.
Berdasarkan uji t untuk pCO2 di kedua lokasi,
pCO2 di Teluk Sekotong secara signifikan
(p<0,001) lebih tinggi dibandingkan di Teluk
Kodek. Selain itu, parameter fisika-kimia di kedua
lokasi juga menunjukkan karakteristik yang
berbeda (Gambar 6 dan Gambar 7).
Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa
fosfat dan nitrat merupakan faktor dominan yang
memengaruhi pCO2 di perairan Teluk Kodek,
diikuti oleh konsentrasi klorofil-a. Fosfat dan
nitrat dapat menjelaskan variasi sebesar 89,9%
dan berada di komponen satu, sedangkan klorofil-
a menjelaskan variasi sebesar 14,4% dan berada di
komponen dua. Konsentrasi nutrien dan klorofil-a
yang tinggi mengindikasikan potensi penyerapan
CO2 oleh fitoplankton yang juga tinggi dalam
proses fotosintesis. Air permukaan dapat menjadi
net autotrofik jika CO2 lebih banyak dikonsumsi
untuk produksi biologis (Chen et al., 2008). Selain
itu, Dai et al. (2009) mengemukakan bahwa pCO2
dalam air laut juga dipengaruhi oleh proses
metabolisme seperti fotosintesis, respirasi,
presipitasi, dan disolusi kalsium karbonat yang
mengubah keseimbangan massa dalam sistem
karbonat.
= CO2 flux T. Sekotong
= CO2 flux T. Kodek
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
99
Gambar 6. Hasil analisis Welch Two Sample t-test antara kedua lokasi penelitian.
Figure 6. The results of the analysis of Welch Two Sample t-test between the two sites.
Gambar 7. Grafik analisis komponen utama (PCA) karakteristik biofisika-kimia perairan. s = Teluk Seko-
tong, k = Teluk Kodek
Figure 7. Graph of principal component analysis (PCA) biophysico-chemical characteristics of the waters.
s = Sekotong Bay, k = Kodek Bay.
Perairan pesisir seperti teluk, selat, dan
estuari mempunyai kondisi hidrologis yang
kompleks, dan pCO2 permukaan laut di daerah ini
dapat secara signifikan dipengaruhi oleh massa air
yang berbeda. Umumnya, arus laut dan arus
pasang surut adalah dua kekuatan utama yang
R = 0.888
P<0.001
Afdal
100
membawa massa air yang berbeda ke lokasi
tersebut. Perairan Teluk Kodek yang berhubungan
langsung dengan Selat Lombok mempunyai
massa air yang lebih besar dengan salinitas yang
lebih tinggi, sehingga terjadi pengenceran yang
menyebabkan pCO2 kolom air turun, sehingga
perairan tersebut lebih bersifat autotrofik dan
menyerap CO2.
Pengaruh massa air Selat Lombok yang
cenderung bersifat oseanik dan tidak ada sungai-
sungai besar yang bermuara ke perairan tersebut
menyebabkan kondisi perairan Teluk Kodek
cenderung homogen. Perairan Teluk Kodek juga
mempunyai tingkat kesuburan yang lebih tinggi
yang ditunjukkan oleh konsentrasi nutrien (fosfat,
nitrat, silikat) dan klorofil-a yang tinggi (Tabel 1).
Selain itu, keberadaan ekosistem lamun dan
terumbu karang yang mendukung pulau-pulau
kecil yang ada di Teluk Kodek turut mengurangi
peningkatan pCO2 kolom air dan memperkuat
penyerapan CO2 di perairan tersebut. Konsentrasi
DIC yang tinggi di sekitar pulau-pulau kecil
tersebut dapat disebabkan oleh dekomposisi
ekosistem lamun. Namun, dengan kemampuan
fotosintesisnya, lamun mampu memanfaatkan
DIC yang sudah ada, bahkan menyerap dari
atmosfer jika tidak mencukupi.
Perairan Teluk Sekotong cenderung lebih
tertutup, sehingga waktu tinggal massa air
menjadi lebih lama yang mengakibatkan
peningkatan pengayaan DIC dan pCO2, terutama
di Teluk Sekotong bagian dalam. Hal yang sama
terjadi di perairan sekitar komunitas bakau Ca
Mau di Vietnam yang menunjukkan bahwa
kombinasi dari volume air yang kecil dan waktu
tinggal massa air yang lama akan meningkatkan
DIC, pCO2, dan alkalinitas total serta menurunkan
konsentrasi oksigen (Kone & Borges, 2008).
Konsentrasi DIC dan pCO2 yang tinggi di kolom
air Teluk Sekotong Bagian Dalam disebabkan
oleh pasokan karbon organik dan anorganik, baik
yang bersifat autochtonus (berasal dari perairan
itu sendiri) maupun allochtonus yang berasal dari
sungai maupun ekosistem bakau. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Cai & Wang (1998) bahwa
perairan pesisir menerima pasokan DIC, baik
yang bersifat eksternal maupun internal. Pasokan
eksternal berasal dari air tawar melalui aliran
sungai, air laut dari pantai, tidal-flush, dan
ekosistem sekitarnya, sedangkan pasokan internal
berasal dari degradasi material organik (respirasi
aerobik dan fotodegradasi).
Hasil ulasan sebaran pCO2 di beberapa
perairan pesisir Indonesia (Gambar 8, Afdal et al.,
2011a; Afdal et al., 2011b; Afdal et al., 2012;
Afdal & Lutan, 2012; Afdal & Giyanto, 2013;
Afdal, 2015) menunjukkan bahwa ekosistem
pesisir (estuari, bakau, lamun, dan terumbu
karang) memengaruhi pCO2 kolom air dan fluks
CO2 udara–laut di perairan pesisir. Perairan pesisir
yang mempunyai ekosistem lamun dan terumbu
karang seperti Teluk Sekotong, Teluk Kodek,
Selat Nasik, Pulau Pari, Ternate, dan perairan
Bintan, cenderung mempunyai tekanan parsial
CO2 kolom air yang rendah dan sebagian besar
berperan sebagai penyerap CO2 dari atmosfer,
sedangkan perairan pesisir yang hanya didukung
oleh ekosistem bakau dan estuari seperti perairan
Cilacap dan Probolinggo mempunyai tekanan
parsial CO2 kolom air yang tinggi dan berperan
sebagai pelepas CO2 ke atmosfer.
Tabel 1. Rata-rata dan kisaran parameter fisika-kimia perairan di Teluk Sekotong dan Teluk Kodek.
Table 1. Average and range of physico-chemical parameters in Sekotong and Kodek Bay waters.
Location Temperature Salinity DO PO4 NO3 SiO3 Chl-a
(oC) (psu) (mg.L-1) (mg.L-1) (mg.L-1) (mg.L-1) (mg.m-3)
Sekotong
Bay
29.4 ± 0.16 32.8 ±
0.42
5.43 ±
0.08
0.033 ±
0.036
0.004 ±
0,004
0.49 ±
0.46 0.53 ± 0.15
29.1–29.6 32–33 5.33–5.6 0.00–0.09 0.00–0.009 0.216–
1.76 0.341–0.802
Kodek Bay
29.58 ± 0.47 33 ± 0.00 5.40 ±
0.11
0.34 ±
0.005
0.038 ±
0.016
0.71 ±
0.17 1.10 ± 0.84
29.2–30.4 33–33 5.26–5.56 0.29–0.41 0.03–0.07 0.503–
0.949 0.404–0.414
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
101
Gambar 8. Perbandingan pCO2 perairan Teluk Sekotong danTeluk Kodek dengan perairan pesisir lain di
Indonesia.
Figure 8. The comparison of pCO2 in Sekotong and Kodek Bay waters with other coastal waters in
Indonesia.
Ekosistem padang lamun dan terumbu
karang mempunyai peran yang berbeda dalam
penyerapan dan pelepasan CO2, sangat tergantung
pada kondisi kedua ekosistem. Ekosistem padang
lamun mempunyai peranan yang penting dalam
siklus karbon di laut karena menghasilkan
produksi primer yang tinggi dan mampu
menyimpan karbon dalam jumlah yang besar
dalam waktu yang lama, baik pada organ
tumbuhan maupun dalam sedimen (Duarte et al.,
2005; Fourqurean et al., 2012), sehingga perairan-
perairan yang didukung oleh ekosistem lamun
cenderung berperan sebagai penyerap CO2. Di
perairan dengan ekosistem lamun yang terganggu
seperti ekosistem lamun Pulau Pari, peranan
sebagai penyerap CO2 dari atmosfer terjadi pada
musim barat dengan suhu sebagai faktor yang
sangat berpengaruh dari empat musim yang
terukur (Rustam et al., 2014). Berdasarkan neraca
karbon yang terjadi di ekosistem lamun Pulau
Pari, besar pelepasan CO2 ke atmosfer sangat
kecil dibandingkan dengan produksi daun yang
dihasilkan, sehingga pemanfaatan CO2 untuk
fotosintesis lebih banyak memanfaatkan CO2
dalam air, yang dalam hal ini DIC spesies
bikarbonat yang berasal dari aktivitas
antropogenik (sungai, serasah bakau dan daratan
Pulau Pari) (Rustam, 2014).
Perairan sekitar ekosistem terumbu pada
kondisi normal adalah sedikit melepas CO2 ke
atmosfer, dikarenakan proses kalsifikasi
(pembentukan kalsium karbonat) (Ware et al.,
1992). Di perairan terumbu karang, produksi
primer kotor dan respirasi oleh zooxanthella
hampir seimbang dan produksi bersih mendekati
nol, sehingga kalsifikasi bersih merupakan proses
utama yang memengaruhi sistem CO2 air laut di
ekosistem terumbu karang (Gattuso et al., 1996).
Pembentukan kalsium karbonat meningkatkan
konsentrasi CO2, tapi pada saat yang sama proses
ini mengonsumsi 2 mol bikarbonat (HCO3-) untuk
1 mol CaCO3 yang terbentuk. Perilaku berlawanan
tersebut menyebabkan total alkalinitas (TA) dan
DIC berkurang dengan perbandingan 2:1 (Zeebe
& Wolf-Gladrow, 2001). Namun, pada perairan
yang sudah terganggu, perairan di sekitar
ekosistem terumbu karang bisa berperan sebagai
penyerap CO2, seperti yang terjadi di perairan
sekitar terumbu karang Pulau Pari (Afdal &
Lutan, 2012). Gattuso et al. (1996)
mengemukakan bahwa terumbu tepi yang tumbuh
di lokasi yang banyak terdapat aktivitas
antropogenik telah bergeser dari dominasi karang
ke dominasi makroalga, seperti yang terjadi di
terumbu Shiraho, Pulau Ryukyu. Kondisi ini akan
menyebabkan peningkatan produksi ekosistem
bersih dan penurunan kalsifikasi, sehingga
memungkinkan terjadinya pergeseran peran
ekosistem terumbu karang dari pelepas menjadi
penyerap untuk CO2 atmosfer.
638.81
202.44
362.17290.9
1077.45
764.72
1113.5
383.54
252.25
0
200
400
600
800
1000
1200
CO
2p
arsi
al p
ress
ure
(µ
atm
)
pCO2
Afdal
102
Kesimpulan
Teluk Kodek berperan sebagai penyerap
CO2 dari atmosfer karena dipengaruhi oleh massa
air Selat Lombok yang mempunyai konsentrasi
nutrien dan klorofil-a yang tinggi. Keberadaan
ekosistem lamun dan terumbu karang yang
mendukung pulau-pulau kecil yang ada di Teluk
Kodek turut mengurangi peningkatan pCO2 kolom
air dan memperkuat penyerapan CO2 di perairan
tersebut. Teluk Sekotong bagian dalam berperan
sebagai pelepas CO2 karena perairan Teluk
Sekotong cenderung lebih tertutup, sehingga
waktu tinggal massa air menjadi lebih lama yang
mengakibatkan peningkatan pengayaan DIC dan
pCO2.
Persantunan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Sumidjo Hadi Riyono yang telah
membantu dalam pekerjaan di lapangan dan
analisis di laboratorium. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Hendra Sihaloho, MSc
yang telah membantu dalam analisis statistik.
Daftar Pustaka
Afdal. 2015. Sebaran tekanan parsial CO2 (pCO2)
di perairan pesisir Probolinggo. In A. S.
Admadipoera (Eds). Prosiding Seminar
Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XI ISOI,
17–18 November 2014, Balikpapan. p. 31–38.
Afdal & Giyanto. 2013. Sebaran tekanan parsial
CO2 (pCO2) di perairan Ternate dan sekitarnya.
Jurnal Oseanologi dan Limnologi di
Indonesia, 39(1): 95–105.
Afdal, RF Kaswadji & AF Koropitan. 2012.
Pertukaran gas CO2 udara–laut di perairan
Selat Nasik, Belitung. Jurnal Segara, 18(1): 9–
17.
Afdal & RY Luthan. 2012. Sistem CO2 di perairan
ekosistem pesisir, studi kasus di perairan selat
Nasik, Belitung dan Pulau Pari, Kepulauan
Seribu. In R. Nuchsin, Pramudji, M. Muchtar
& Fahmi (Eds). Kondisi Lingkungan Pesisir
Perairan Pulau Bangka Belitung. Pusat
Penelitian Oseanografi, LIPI Jakarta. p. 73–86.
Afdal, LM Panggabean & DR Noerjito. 2011a.
Fluks karbondioksida, hubungannya dengan
produktivitas primer fitoplankton di perairan
Estuari Donan, Cilacap. Jurnal Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia, 37(2): 323–337.
Afdal, LM Panggabean & AF Koropitan. 2011b.
Pertukaran Gas CO2 udara–laut di perairan
pantai Selatan Yogyakarta. Dipresentasikan
pada seminar ISOI di Makassar, 26–27 Sep
2011.
APHA. 2005. Standard Methods for Examination
of Water and Wastewater. M.A.N. Franson
(ed.), Port City Press, Baltimore (MA).
Borges AV, B Delille & M Frankignoulle. 2005.
Budgeting sinks and sources of CO2 in the
coastal ocean: Diversity of ecosystems counts.
Geophys Res Lett, 32: L14601. doi:10.1029/
2005GL023053
Borges AV. 2011. Present day carbon dioxide
fluxes in the coastal ocean and possible
feedbacks under global change. In Oceans and
the atmospheric carbon content. Duarte PMS
and JMS Casiano(Eds). p. 47–77.
Cai WJ & Y Wang. 1998. The chemistry, fluxes,
and sources of carbon dioxide in the estuarine
waters of the Satilla and Altamaha Rivers,
Georgia. Limnology and Oceanography, 43(4):
657–668.
Chen CTA & AV Borges. 2009. Reconciling
views on carbon cycling in the coastal ocean:
Continental shelves as sinks and near-shore
ecosystem as sources of atmospheric CO2.
Deep-Sea Res II, 56: 578–590.
Chen CTA, W Zhai & M Dai. 2008. Riverine
input and air–sea CO2 exchanges near the
Changjiang (Yangtze River) estuary: Status
quo and implication on possible future changes
in metabolic status. Continental Shelf
Research, 28: 1476–1482.
Clarke KR & RM Warwick. 2001. Change in
marine communities: an approach to statistical
analysis and interpretation. Plymouth, United
Kingdom, PRIMER-E Ltd.
Cochlan WP & J Hendorn. 2012. Water Quality
Methods. Cochlan Phytoplankton
Ecophysiology Laboratory. Romberg Tiburon
Center for Environmental Studies San
Fransisco State University. Tiburon, CSA,
USA. 317 pp.
Dai M, Z Lu, W Zhai, B Chen, Z Cao, K Zhou,
WJ Cai & CTA Chen. 2009. Diurnal variations
of surface seawater pCO2 in contrasting coastal
environments. Limnol Oceanogr, 54(3): 735–
745.
Dickson AG, CL Sabine & JR Christian. 2007.
Guide to best practices for ocean CO2
measurements. Pices special publication 3.
IOCCP Report 8: 196 pp.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(2): 91–103
103
Duarte CM, JJ Middleburg & N Caraco. 2005.
Major role of marine vegetation on the oceanic
carbon cycle. Biogeoscience, 2: 1–8.
Fourqurean JW, CM Duarte, H Kennedy, N
Marba, M Holmer, MA Mateo, ET Apostolaki,
GA Kemdrick, D Krause-Jemsen, KJ
McGlathery & O Serrano. 2012. Seagrass
ecosystem as a globally significant carbon
stock. Nature geoscience, 1–5.
Gattuso JP, M Pichon, B Delesalle, C Canon & M
Frankignoulle. 1996. Carbon fluxes in coral
reefs. I. Lagrangian measurement of
community metabolism and resulting air–sea
CO2 disequilibrium. Mar Ecol Prog Ser, 145:
109–121.
Giggenbach WF & RL Goguel. 1989. Collection
and Analysis of Geothermal and Volcanic
Water and Gas Discharges. Chemistry
Division. Department of Scientific and
Industrial Research. Petone. New Zeland. 81
pp.
Grasshoff K. 1976. Methods of Seawater Analysis.
Verlag Chemie, Weinheim. New York.
Kone YJM & AV Borges. 2008. Dissolved
inorganic carbon dynamics in the waters
surrounding forested mangroves of the Ca Mau
Province (Vietnam). Estu Coas Shelf Sci,
77(3): 409–421.
Liu KK, L Atkinsion, CTA Chen, S Gao, J Hall,
RW MacDonald, L Talaue-McManus & R
Quinones. 2000. Exploring Continental Margin
Carbon Fluxes on a Global Scale. Eos,
Transactions, American Geophysical Union,
81: 641–644.
Lewis E & D Wallace. 1997. CO2 SYS. Program
Developed for CO2 System Calculations.
Department of Applied Science, Brookhaven
National Laboratory, Upton, New York. 17 pp.
Muchtar M, Ruyitno, SM Natsir, MH Azkab,
Fahmi, H Thoha & S Lastrini. 2013. Ekspedisi
Widya Nusantara 2010. Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI. 81 pp.
Murray SP & D Arief. 1988. Throughflow into the
Indian Ocean through the Lombok Strait,
January 1985–January 1986. Nature, 333:
444–447. doi:10.1038/333444a0.
Orr JC, R Najjar, CL Sabine & F Joos. 1999.
Internal OCMIP report. Lab. des Sci. du Clim.
et de I’Environ./Comm. à I’Energie Atom, Gif-
SuryVette. France. 29 pp.
Rustam A, WS Pranowo, TL Kepel, NS Adi, B
Hendrajana. 2013. Peran Laut Jawa dan Teluk
Banten sebagai Pelepas dan/atau Penyerap
CO2. J Segara, 9(1): 75–84.
Rustam A, DG Bengen, Z Arifin & JL Gaol.
2014. Dinamika Dissolved Inorganic Carbon
(DIC) di Ekosistem Lamun Pulau Pari. J
Segara, 10(1): 31–41.
Rustam A. 2014. Kontribusi Lamun dalam
Regulasi Karbon dan Stabilisasi Ekosistem.
Disertasi. Bogor. IPB.
R Core Team. 2015. R: A language and
environment for statistical computing. Vienna,
Austria: R Foundation for Statistical
Computing. Retrieved from http://www.R-
project.org/.
Takahashi T, SC Sutherland, C Sweeney, A
Poisson, N Metzl, B Tilbrook, N Bates, R
Wanninkhof, RA Feely, C Sabine, J Olafsson
& Y Nojiri. 2002. Global sea–air CO2 flux
based on climatological surface ocean pCO2
and seasonal biological and temperature
effects. Deep-Sea Research Part II, 1601–
1622.
Ware JR, SV Smith & ML Reaka-kudla. 1992.
Coral reefs: Sources or sinks of atmospheric
CO2? Coral reefs, 11: 127–130.
Zeebe RE & D Wolf-Gladrow. 2001. CO2 in
Seawater: Equilibrium, Kinetics, Isotopes.
Elsevier Science B.V, Amsterdam. 346 pp.