CIDERA KEPALA 2

23
1. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam 1

description

ckb

Transcript of CIDERA KEPALA 2

Page 1: CIDERA KEPALA 2

1. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera akibat langsung

dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu

benda keras maupun proses akselerasi deselerasi dari gerakan kepala. Dalam

mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera

primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah

sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat

benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak

(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(contrecoup) (japardi, 2004)

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses

patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa

perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan

tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)

2. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan

morfologinya.

1

Page 2: CIDERA KEPALA 2

a. Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul

dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan

kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath,

2009).

b. Beratnya cedera

Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale

adalah sebagai berikut :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Glasgow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)

c. Morfologi cedera

2

Page 3: CIDERA KEPALA 2

Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan

lesiintrakranial.

1. Fraktur cranium

Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat

berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.

Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan

dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.

Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk

kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda

tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis

retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan

paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya

hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena

robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan

segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan

yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang

tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura

ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak

mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20

kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi

risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan

20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura

tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk

pengamatan (Davidh, 2009)

2. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,

walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal

termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau

hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,

3

Page 4: CIDERA KEPALA 2

secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan

perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,

2009)

1. Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di

ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri

berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering

terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat

robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap

berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada

sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya

sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.

Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari

keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu

diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak

segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang

terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita

pendarahan epidural berkaitan langsung dengan status neurologis

penderita sebelum pembedahan. Gejala yang sangat menonjol ialah

kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini

seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.

Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau

telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap

orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari

cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi

cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

• Bingung

4

Page 5: CIDERA KEPALA 2

• Penglihatan kabur

• Susah bicara

• Nyeri kepala yang hebat

• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

• Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

• Mual

• Pusing

• Berkeringat

• Pucat

• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya,

pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada

permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi

herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.

Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil

kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil

tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda

kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,

mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar

otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda

lainnya menjadi kabur.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak

selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat

pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral

( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas

duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi

media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali,

2007).

5

Page 6: CIDERA KEPALA 2

2. Hematoma subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra

duramater dan aracnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,

ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling

sering akibat robeknya vena bridging vein antara kortek cerebral dan sinus

draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau

substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. (American college

of surgeon, 1997).

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta

biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma

epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan

operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom

terbagi menjadi akut, subakut, dan kronis:

a.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai

48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.

Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak

dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya

menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut

nadi dan tekanan darah.

6

Page 7: CIDERA KEPALA 2

b. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48

jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma

subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam

ruangansubdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma

kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan

status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu

penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.

Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa

jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran

hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak

memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran

isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi

darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-

tanda neurologik dari kompresi batang otak.

c.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek

salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara

lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan

terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih

tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi

kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini

yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau

pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering

terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada

kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu

gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa

7

Page 8: CIDERA KEPALA 2

menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa

menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih

lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali

diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan

gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

3. Kontusi dan hematoma intraserebral

Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi

otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas

terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi

pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara

kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.

Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat

laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio

jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di

dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus

frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan

(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang

didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan

(Hafidh, 2007).

8

Page 9: CIDERA KEPALA 2

4. Cedera difus

Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera

akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada

cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana

kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang

bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun

karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari

komosio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.

Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio

yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde

dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).

Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan

menurunnya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan

amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya

cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisit neurologis untuk

beberapa waktu. Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing,

mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal

sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan

dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan

tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik. Biasanya

9

Page 10: CIDERA KEPALA 2

penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa

waktu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan

bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.

Penderita sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,

hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera aksonal difus

dan cedeera otak kerena hipoksia secara klinis tidak mudah, dan memang

dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan (American college of

surgeon,1997)

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala.

Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab

kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIAL

1. Faktur maxilaris

Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:

- Mobilitas palatum

- Mobilitas hidung yang menyertai palatum

- Epistaksis

- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Klasifikasi menurut le fort

Lefort 1

Fraktur melintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi (Boies, 2002).

Lefort II

10

Page 11: CIDERA KEPALA 2

Fraktur ini dicirikan mobilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tengah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)

Lefort III

Merupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)

11

Page 12: CIDERA KEPALA 2

2. Fraktur mandibula

Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat

kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen

tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot

akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang

akan tertarik kearah cranial (Boies,2002).

3. Fraktur gigi

Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula,

dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)

4. Fraktur os nasal

Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan

pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam

membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu

dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002)

5. Fraktur orbita

Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia,

hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena

kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai

terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat

terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)

6. Fraktur os zygoma

Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom

orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis

12

Page 13: CIDERA KEPALA 2

ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies,

2002)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto polos kepala

Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala

karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi

meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum,

deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal

neurologis, gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan

mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan

adanya fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian

obat–obatan analgesia/anti muntah.

2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial

dibandingkan dengan kejang general.

3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan

(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).

4) Adanya lateralisasi.

5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi

temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

13

Page 14: CIDERA KEPALA 2

9) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan

jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan

pada 24 - 72 jam setelah injuri.

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika

terjadi peningkatan tekanan intracranial

k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial

l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan

m. Kesadaran (Haryo, 2008)

7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memiliki tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan

umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala

ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,

circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada

penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah

14

Page 15: CIDERA KEPALA 2

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo,

2008).

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat

antara lain:

a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

c. Penurunan tingkat kesadaran

d. Nyeri kepala sedang hingga berat

e. Intoksikasi alkohol atau obat

f. Fraktura tengkorak

g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

h. Cedera penyerta yang jelas

i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan

j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan

suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat

berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid,

barbiturat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan

tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,

temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai

berikut:

a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih

dari 20 cc di daerah infratentorial

b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis

c. tanda fokal neurologis semakin berat

d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

15

Page 16: CIDERA KEPALA 2

i. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

8. PROGNOSIS

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang

agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita

yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan

dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

16