Chitin Chitosan_Cindy Indra Claudia_12.70.0097_A3_Unika Soegiapranata
-
Upload
reed-jones -
Category
Documents
-
view
23 -
download
1
description
Transcript of Chitin Chitosan_Cindy Indra Claudia_12.70.0097_A3_Unika Soegiapranata
Acara II
LAPORAN PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
ISOLASI DAN PEMBUATAN CHITIN & CHITOSAN
Oleh:
Cindy Indra C (12.70.0097)
Kelompok A3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2014
1. HASIL PENGAMATAN
1.1. Rendemen Chitin dan Chitosan
Hasil pengamatan dari praktikum “Chitin dan Chitosan” dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Rendemen Chitin dan Chitosan
Kel PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
A1 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
30 10 21,765
A2 Kulit udang + HCl 0,75 N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
34 28,571 24,875
A3 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
20 30 16,462
A4 Kulit udang + HCl 1 N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
4 90 45,455
A5 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 40 10,355
A6 Kulit udang + HCl 1,25 N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
30 20 10,4
Keterangan:
Rendemen chitin I = Rendemen chitin demineralisasi dengan menggunakan tiga jenis HCl dengan
molaritas yang berbeda (0,75 N ; 1,00 N ; 1,25 N).
Rendemen chitin II = Rendemen chitin deproteinasi dengan menggunakan NaOH 3,5%.
Rendemen chitosan = Rendemen chitosan dengan menggunakan tiga jenis NaOH dengan konsentrasi
yang berbeda (40%; 50%; 60%).
Pada Tabel 1. menunjukkan hasil pengamatan chitin dan chitosan bahwa pada rendemen
chitin I paling besar yaitu 34% (kelompok A2) dan rendemen chitin paling kecil yaitu
4% (kelompok A4). Rendemen chitin II yang paling besar yaitu 90% (kelompok A2)
rendemen chitin II yang paling kecil yaitu 10% (kelompok A1). Rendemen Kitosan
yang paling besar yaitu 45,455% (kelompok A4) dan rendeman kitosan paling kecil
yaitu 10,355%. Sehingga dapat disimpulkan kelompok A1-A6 menghasilkan rendemen
kitin I 4-34%, rendemen kitin II 10-90% dan rendemen kitosan 10,355-45,455%.
Hubungan antara tiga perlakuan yang berbeda: (1) HCl 0,75 N, NaOH 40%; (2) HCl
1N, NaOH 60%; (3) HCl 1,25 N, NaOH 80%, terhadap rendemen chitin dan chitosan
1
2
yang dihasilkan. Dengan cara merata-ratakan hasil rendemen kelompok A1 dan A2; A3
dan A4; A5 dan A6 sehingga dapat diperoleh hubungan antara ketiganya. Dapat dilihat
pada grafik 1 sebagai berikut.
HCL 0.75N + NaOH 3,5% + NaOH 40%
HCL 1N + NaOH 3,5% + NaOH 60%
HCL 1,25N + NaOH 3,5% + NaOH 80%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
Rendemen IRendemen IIRendemen Kitosan
% R
ende
men
Grafik 1. Hubungan Tiga Perlakuan yang Berbeda Terhadap Rendemen Chitin dan Chitosan yang Dihasilkan
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rendemen I mengalami penurunan % rendemen
yang drastis namun pada saat HCL 1,25N mengalami peningkatan. Sedangkan pada
rendemen II serta rendemen chitosan mengalami peningkatan namun pada NaOH 80%
mengalami penurunan.
2. PEMBAHASAN
2.1. Isolasi dan Pembuatan Chitin
Pada industri pangan akan menghasilkan limbah, khususnya industri pengolahan
crustacean yang menghasilkan 2 jenis limbah, yaitu limbah cair yang berupa suspensi
air dan kotoran, serta yang kedua adalah limbah padat yang berupa kulit, kepala, dan
juga kaki. Limbah tersebut akan menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga perlu
dilakukan proses penanganan limbah. Salah satu cara penanganan olahan limbah padat
udang adalah kitin, karena limbah udang merupakan sumber yang kaya akan kitin, yaitu
sekitar 30% dari berat keringnya (Purwaningsih, 1994). Dari hasil penelitian,
kandungan kitin tertinggi dihasilkan dari limbah udang (Shahidi and Synowieecki,
____). Oleh karena itu pada praktikum ini menggunakan limbah udang yang memiliki
banyak kegunaan. Hal tersebut didukung oleh Hirano, (1996); Wang dan Huang, (2001)
yang mengatakan bahwa kitin dan turunannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi
karena aktivitas biologis serbaguna dan aplikasi agrokimia.
Pengertian kitin menurut Deshpande (1986) yaitu, suatu homopolimer N-asetil D-
glukosamin residu dihubungkan oleh ikatan beta 1-4. Sumber utama kitin adalah limbah
crustasea, yang juga merupakan bahan dinding sel utama di sebagian besar jamur
(Nicol, 1991). Hal itu juga didukung oleh Rismana (2001) kitin berasal dari hasil
ekstrak kulit, seperti crustacean dan insect. Selain itu, chitin juga ditemukan pada
dinding sel fungi, kulit kerang, paruh burung, hingga tulang rawan (bagian tengah)
cumi-cumi. Sedangkan kitosan merupakan produk diasetilasi kitin melalui proses kimia
menggunakan enzim kitin diasetilase. Kitin bersifat lebih fleksibel dan lebih mudah
larut dalam asam encer. Kitosan bersifat sukar larut dalam air serta mempunyai
kemampuan untuk menyerap lemak.
Karakteritik dari kitin yaitu; berwarna putih, keras, inelastis, dan merupakan
polisakarida yang mengandung nitrogen. Kitin juga merupakan polimer alami dari
sumber perairan yang ditemukan pada kulit hewan golongan crustaceae seperti pada
kepiting dan udang (Wang et al., 2010). Dalam cangkang udang, chitin terdapat sebagai
mukopoli sakarida yang berikatan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium
3
4
karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu untuk
memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan mineral
(demineralisasi) dan pemisahan protein (deproteinasi) (Ratna dan Sugiyanti, _____).
Pada percobaan ini, proses ekstraksi kitin dari limbah kulit udang dilakukan dalam 3
tahap, yaitu demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. sedangkan proses deasetilasi
bertujuan menghilangkan gugus asetil dari khitin melalui pemanasan dalam larutan
alkali kuat dengan konsentrasi tinggi sehingga menghasikan chitosan.
2.1.1.Tahap Demineralisasi
Pada dasarnya, kulit udang mengandung mineral sebanyak 30-50% (berat kering)
mineral, dengan komposisi utama kalsium karbonat dan kalsium fosfat sehingga perlu
dilakukan tahap demineralisasi. Menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi
dapat mengurangi kadar mineral pada limbah kulit udang melalui penguraian oleh asam.
Komponen mineral dilarutkan dengan penambahan asam encer seperti asam klorida
(HCl) atau asam sulfat (H2SO4). Hal tersebut didukung oleh Yunizal et al. (2001),
proses demineralisasi bertujuan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3) dengan
menggunakan asam konsentrasi rendah untuk mendapatkan khitin.
Pada proses demineralisasi, tahap-tahap yang dilakukan adalah limbah udang dicuci
dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali dan
dikeringkan kembali. Pencucian limbah udang dilakukan untuk membersihkan limbah
udang dari kotoran-kotoran yang menempel pada limbah udang. Menurut teori
Ramadhan et al (2010), yang mengatakan bahwa proses pencucian sebaiknya dilakukan
dengan menggunakan aquades. Karena proses pencucian dengan menggunakan air dapat
mempengaruhi jumlah kitosan yang diperoleh, dimana air yang digunakan tersebut bisa
saja mengandung mineral bermassa molekul tinggi yang apabila dipanaskan akan
menjadi garam seperti kalsium. Hal ini akan mempengaruhi jumlah kitosan yang
terekstrak dari kitin, karena setelah proses pencucian, proses selanjutnya adalah proses
pengeringan. Seharusnya praktikum ini menggunakan aquades agar menghasilkan
kitosan yang maksimal.
5
Kemudian, dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
Proses penghancuran limbah udang bertujuan untuk memperkecil ukuran limbah
sehingga luas permukaan kontak meningkat. Lalu dicampur dengan HCl (10 :1) untuk
HCl 0,75 (kelomok A1 dan A2) 1 (kelompok A3 dan A4), dan 1,25 N (kelompok A5
dan A6). Penambahan HCl dengan konsentrasi tertentu untuk melarutkan kalsium
sebagai kalsium klorida (Austin, 1981). Pada saat larutan HCl dicampurkan kedalam
sampel maka akan terbentuknya gas CO2 yang berupa gelembung-gelembung udara.
Selanjutnya, diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Pengadukan dilakukan untuk menghomogenkan larutan sehingga pemanasan terjadi
secara merata pada seluruh bagian larutan. Sedangkan pemasanan, bertujuan untuk
mencapai keadaan yang optimum bagi HCl dalam melarutkan mineral-mineral.
Kemudian dicuci sampai pH netral, dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.
Pencucian dilakukan beberapa untuk membantu proses hilangnya mineral dari limbah
udang sehingga mineral yang mungkin masih berikatan dengan limbah udang akan ikut
terlarut dalam air bilasan dan kadar mineral pada limbah udang menjadi berkurang.
Cara mengetahui pH netral maka digunakan indikator berupa kertas pH. Setelah dibilas,
lalu kertas pH disentuhkan dengan residu yang tersisa sehingga kertas pH dapat
menunjukkan pH residu. Setelah dikeringkan, hasilnya adalah endapan yang
mengadung kalsium klorida di bagian dasar gelas. Kemudian, dihitung berat
rendemennya sebagai berat rendemen chitin I dengan menggunakan rumus:
Rendemen Chitin I ¿ berat keringberat basah
x 100%
Dari hasil pengamatan tahap demineralisasi, diketahui bahwa rendemen tertinggi hingga
terendah diperoleh pada perlakuan HCl 0,75 N, HCl 1,25 N dan HCl 1 N. Menurut
Supitjah (2004), pada penggunaan asam dengan konsentrasi yang terlalu tinggi, reaksi
berjalan terlalu cepat sehingga HCl bereaksi juga dengan protein dan ditandai dengan
munculnya bau amoniak, padahal komponen mineralnya belum terlepas secara
sempurna. Namun pada hasil praktikum tidak sesuai dengan teorinya dimana
konsentrasi HCl 1 N menghasilkan kadar mineral yang lebih rendah dibandingkan
dengan konsentrasi 0,75 N.
6
2.1.2. Tahap Deproteinasi
Pada dasarnya, protein yang terkandung dalam limbah udang adalah 30% sehingga
dalam praktikum ini dilakukan tahap deproteinasi. Karena menurut Hagono dan Haryani
(2004), tahap deproteinasi bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan
antara protein dan kitin. Tahap ini menggunakan larutan NaOH, karena menurut
Supitjah (2004) larutan NaOH dengan suhu yang tinggi akan lebih efektif memisahkan
kitin dari gugus protein. Namun, jika konsentrasinya rendah, maka reduksi gugus
protein kurang sempurna, sedangkan pada konsentrasi tinggi dapat terjadi degradasi
struktur protein. Dapat disimpulkan bahwa tahap deproteinasi bertujuan untuk
menghilangkan kandungan protein pada limbah kulit udang.
Tahap-tahap yang dilakukan adalah tepung (hasil dari demineralisasi) dicampur dengan
NaOH 3,5% dengan perbandingan pelarut dan cangkang udang (6:1), lalu diaduk
selama 1 jam. Protein yang terikat pada kitin cenderung lebih sulit dipisahkan
dibandingkan dengan mineral pada tahap sebelumnya. Oleh karena itu digunakan
larutan NaOH karena larutan ini sifatnya sebagai larutan alkali yang paling efektif
dalam menghidrolisis gugus asetil pada kitin. Pada setiap kelompok mengguakan
konsentrasi NaOH yang konstan sehingga tidak dapat dibandingkan secara pasti.
Kemudian dipanaskan selama 1 jam dengan suhu 90 oC, lalu disaring dan didinginkan.
Tahap selanjutnya residu dicuci sampai pH netral dan dikeringkan dengan suhu 80 oC
selama 24 jam maka akan dihasilkan chitin.
Dari hasil pengamatan, meskipun konsentrasi NaOH yang digunakan sama yaitu sebesar
3,5% namun hasil yang rendemen setiap kelompok yang berbeda-beda yaitu diantara
10-90%. Rendemen tertinggi dihasilkan oleh kelompok A4, sedangkan yang terendah
pada kelompok A1. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh perbedaan perlakuan pada
tahap demineralisasi sehingga diperoleh rendemen II yang berbeda satu sama lain.
Selain itu, ketelitian praktikan dalam proses pencucian rendemen, mungkin ketika
menyaring rendemen, rendemen tidak tersaring dan ikut terbuang bersama air cucian,
hal tersebut menyebabkan jumlah rendemen yang diperoleh menjadi kurang presisi.
2.2. Isolasi dan Pembuatan Chitosan
7
Chitosan merupakan bagian dari chitin yang telah mengalami proses deasetilasi yang
terbentuk dari dua unit turunan gula. Bagian dominannya yaitu D-glucosamine yang
terhubung dengan bagian yang jumlahnya lebih sedikit di dalam rantai polimer yaitu N-
acetyl-D-glucosamine (Attasart, et al., 2005). Komponen utamanya adalah struktur
kutikula crutacea, serangga, moluska, termasuk didinding sel jamur serta beberapa
mikroorganisme lainnya. Chitosan merupakan polisakarida yang unik dengan berat
molekul tinggi.
Karakteristik Chitosan adalah memiliki bentuk padatan amorf bewarna putih dengan
struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang
lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam serta
viskositas larutannya tergantung dari derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer
(Ratna & Sugiyani, ____). Teori tersebut didukung oleh Mekawati dkk, (2000),
chitosan memiliki sifat mudah larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam
asetat, dan asam sitrat. Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan
basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam H2SO4.
Selain itu, chitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat
polielektrolitik. Chitosan juga dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik
lainnya seperti protein.
Kualitas chitosan dapat dilihat dari kemurniannya, massa molekul, dan derajat
deasetilasi. Umumnya chitosan mempunyai derajat deasetilasi 75-100%. Massa molekul
chitosan dan distribusinya berpengaruh terhadap sifat-sifat fisiko-kimia polisakarida,
seperti sifat reologi chitosan, fleksibilitas rantai. Derajat deasetilasi dan massa molekul
chitosan pada dasarnya dipengaruhi oleh bahan dasar serta kondisi proses seperti
konsentrasi alkali/basa, rasio larutan terhadap padatan, suhu dan waktu reaksi,
lingkungan/kondisi reaksi selama deasetilasi (Suhardi, 1992).
Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh
suatu basa. Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya dengan bantuan
pemanasan pada suhu 90 – 100oC. Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH-
8
masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO-
sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan (Purwatiningsih, 1992).
Dari teori yang sudah ada, pembuatan chitosan merupakan proses lanjutan dari
pengolahan chitin. Setelah chitin terbentuk, maka proses pembuatan chitosan dapat
dimulai dengan cara deasetilisasi chitin tersebut. Proses deasetilasi sendiri didefinisikan
sebagai proses pembentukan chitosan dari chitin dengan menggunakan larutan NaOH
untuk mengganti gugus asetamida dengan gugus amino (Muzzarelli & Peter, 1997).
Tahap yang dilakukan dalam pembuatan chitosan, dengan cara chitin yang diperoleh
ditambahkan NaOH 40-60% (20:1), lalu diaduk selama 1 jam dan didiamkan selama 30
menit kemudian dipanaskan dengan suhu 90°C selama 1 jam. Proses pengadukan
bertujuan agar larutan tetap homogen selama dipanaskan dan mencegah larutan gosong.
Sedangkan proses pemanasan sendiri berfungsi mengoptimalkan pemutusan ikatan
asetamida sehingga asetilasi dapat berlangsung cepat. Semakin tinggi suhu reaksi, maka
derajat deasetalasi chitosan akan meningkat (Reece & Mitchell, 2003).
Menurut Fessenden & Fessenden (1986), kelarutan kitosan dalam larutan asam asetat
dipengaruhi oleh suhu dan lamanya waktu perendaman dalam larutan NaOH. Titik didih
yang dicapai adalah 118°C. Sedangkan menurut Supitjah (2004) konsentrasi NaOH
yang digunakan berkisar antara 50-70% dengan suhu pemanasan 130-140°C.
Menurut Winarti et al (2008) tahap deasetilasi dapat mengurangi asetil dari kitin untuk
menghasilkan kitosan. Suhu deasetilasi yang tinggi menunjukkan bahwa gugus asetil
yang terkandung dalam kitosan rendah. Jika kandungan asetil dalam kitosan rendah
maka interaksi antara ion dan ikatan hidgrogen dari ikotan akan kuat. Hasil dari
penelitiannya diperoleh kitosan terbaik pada suhu pemanasan 70°C selama 40 menit
pada proses deasetilasi. Sedangkan hasil kitosan tertinggi pada suhu pemanasan 100°C
selama 80 menit pada proses deasetilasi.
Tahap selanjutnya rendemen dicuci dengan air hingga pH netral, lalu dikeringkan
dengan suhu 70°C selama 24 jam hingga diperoleh bobot chitosan yang sebenarnya.
9
Dilakukan pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada chitosan karena
kadar air merupakan salah satu parameter kualitas penting dari chitin dan chitosan
terkait umur simpannya. Jika kandungan air pada bahan tinggi maka dapat
mempengaruhi daya tahan suatu bahan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan
dengan Aw (aktivitas air) yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan (Rogers, 1986).
Dari hasil pengamatan diperoleh rendemen tertinggi secara berurutan dihasilkan oleh
kelompok A4, A2, A1, A3, A6 dan A5, dengan nilai sebagai berikut: 45,455%;
24,875%; 21,765%; 16,462%; dan 10,4% dan 10,355. Hasil tersebut menunjukkan
derajat deasetilasi tertinggi diperoleh oleh kelompok dengan nilai rendemen terendah,
yakni A5 dengan perlakuan penggunaan NaOH 80% pada proses deasetilasi. Namun
pada umumnya konsentrasi NaOH yang digunakan yaitu berkisar antara 50 – 70%. Hal
ini sesuai dengan teori yang ada karena konsentrasi yang digunakan tinggi sehingga
rendemen chitosan semakin rendah. Hal ini disebabkan gugus fungsional amino (-
NH3+) yang mensubtitusi gugus asetil chitin di dalam sistem larutan semakin aktif,
maka proses deasetilasi semakin sempurna. Proses deasetilasi dengan menggunakan
alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari
molekul chitin. Gugus amida pada chitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang
bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas –NH2 (Mekawati dkk.,
2000). Hasil yang tidak sesuai dengan teori dapat disebabkan oleh ketidaktelitian
praktikan baik dalam penentuan pH maupun pada saat melakukan penimbangan.
2.3. Manfaat dan Aplikasi Chitin dan Chitosan
Pemanfaatan limbah kulit udang sebagai chitin maupun chitosan dapat mengatasi
masalah lingkungan dan juga dapat menaikan nilai tambah bagi petani udang
(Ramadhan et al., 2010). Pada saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari chitin dan
chitosan serta turunannya di industri makanan, pemrosesan makanan, bioteknologi,
pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan (Balley & Ollis, 1977).
Beberapa aplikasi dari chitin dan chitosan yaitu;
10
1. Industri makanan
Contoh : flokulasi protein, pakan hewan air dan pakan ternak
2. Pertanian
Contoh : pelapisan buah, pelapisan biji, pengendali nutrien dan kehutanan
3. Pemrosesan makanan
Contoh : Klarifikasi wine dan jus buah, enzim, produsi protein sel tunggal
4. Bahan tambahan
Contoh : penghambat oksidasi, pengental, penstabil dan modifikasi tekstur.
(Shahidi & Botta, 1994).
Selain itu Attasart, et al., (2005) mengatakan bahwa pemberian chitosan pada makanan
udang memengaruhi pertumbuhan udang secara positif. Pemberian chitosan pada
makanan udang dengan dosis 100 ppm menunjukkan kenaikan kandungan chitin pada
cangkang udang pacific white shrimp.
3. KESIMPULAN
Sumber pembuatan chitin dan chitosan salah satunya adalah kulit udang.
Kulit dan kepala udang mengandung chitin, dimana chitin mengandung protein dan
mineral yang tinggi.
Sifat dari Chitin yaitu mudah larut dalam asam encer, tidak larut dalam air, asam
anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam
asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat dan asam formiat anhidrous.
Tahap demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau
kandungan mineral yang ada pada chitin terutama kalsium karbonat (CaCO3).
Tahap deproteinasi bertujuan untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan
protein dan chitin.
Pengadukan dilakukan supaya limbah udang yang dikeringkan bisa terlarut secara
sempurna.
Larutan NaOH merupakan alkali paling efektif dalam meningkatkan kecernaan
limbah pertanian dan industri karena mampu membuat ikatan lignoselulosa menjadi
lebih besar sehingga kecernaannya meningkat.
Semakin tinggi konsentrasi pelarut yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan
semakin kecil karena semakin banyak mineral dan protein dari kulit udang yang
terlarut.
Chitosan merupakan proses hidrolisis chitin menggunakan basa kuat.
Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu chitosan yang menunjukkan
persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen chitin maupun
chitosan.
Derajat deasetilasi chitosan dipengaruhi konsentrasi natrium hidroksida (NaOH) dan
suhu proses.
Larutan NaOH konsentrasi tinggi (>40%) berfungsi memutuskan ikatan antar gugus
karboksil dengan atom nitrogen dari chitin.
Berdasarkan hasil pengamatan rendemen kitosan paling kecil terdapat pada
kelompok A5 yang menggunakan NaOH 80%.
Seharusnya semakin tinggi mutu chitosan atau chitin berarti semakin tinggi pula
kemurniannya.
11
12
Semarang, 29 September 2012
Praktikan, Asisten Dosen,
Cindy Indra Claudia Stella Gunawan (12.70.0097)
4. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of research. Science, 212(4496), pp. 749 – 753.
Balley, J.E., and Ollis, D.F. (1977). “Biochemical Engineering Fundamental”, Mc. Graw Hill Kogakusha, ltd., Tokyo.
Fessenden R. J., Fessenden J. S., 1986 Kimia Organik. Jilid 2, Edisi Ketiga, Erlangga,Jakarta.
Hirano S (1996). Chitin biotechnology application. Biotechnol. Annu.Rev. 2: 237-258.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000). Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal. Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Muzzarelli and M.G. Peter. (1997). Chitin Handbook. European Chitin Society. Italy.
Purwatiningsih. (1992). Isolasi Chitin dan Karakterisasi Komposisi Senyawa Kimia dari Limbah Kulit Udang Windu(Penaeus monodon). Jurusan Kimia Program Pasca Sarjana ITB. Bandung.
Ramadhan, L.O.A.N., et al. (2010). Deasetilasi Chitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Chitosan. http://www.kimiawan.org/journal/index.php/jki/article/view/32. Diakses pada 14 November 2012.
Ratna, A.W. & Sugiyani S. (____).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. diakses pada 15 November 2012.
Reece, C. dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.Science Published Ltd., England.
Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon Y-J. (1999). Food Applications of Chitin and Chitosans. Trends in Food Science and Technology 10 : 37- Slepecky, R. A. and H. E. Hemphill. 1991. The genus Bacillius-nonmedical the prokaryotes. In Balows, A. (ed). The Procaryotes, 2nd. Edn., Chapter 76, pp. 1663-1696. Springer Verlag. NY.
Shahidi, F. and J. R. Botta. 1994. Seafood: Chemistry, Processing Technology and Quality. Blackie Academics & Profesional. London.
13
14
Suhardi. (1992). Khitin dan Khitosan, Pusat Antar Universitas pangan dan Gizi, PAU UGM, Yogyakarta.
Suhardi 1993 Khitin dan Kitosan. Buku Monograf, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta, 272-278.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualistas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1
Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods. International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.
Wang SL, Huang JR.(2001). Microbial reclamation of shellfish wastes for the production of chitinases. Enzyme Microb. Tech. 28: 376-382.
Winarti Z., Ariesta A., Salmalah E., 2008 Karakterisasi Mutu dan Kelarutan Kitosan dari Ampas Silase Kepala Udang Windu (Panaeus monodon). Buletin Teknologi Hasil Pertanian. Vol XI Nomor 2.
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan chitin dan chitosan
Rendemen Chitin I ¿ berat keringberat basah
x 100%
Rendemen Chitin II ¿ berat chitinberat basah
x 100%
Rendemen Chitosan ¿ berat chitosanberat chitin
x 100%
Kelompok A 1
Rendemen Chitin I ¿ 1,55
×100 %
¿30 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,55
×100 %
¿10%
Rendemen Chitosan ¿0,370
1,7×100 %
¿21,765 %
Kelompok A 2
Rendemen Chitin I ¿ 1,75
×100 %
¿34 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,62,1
× 100 %
¿28,571 %
Rendemen Chitosan ¿ 0,3981,6
×100 %
¿24,875%
Kelompok A 3
Rendemen Chitin I ¿ 15
×100 %
¿20 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,62
× 100 %
¿30 %
Rendemen Chitosan ¿ 0,4022,442
×100 %
¿16,462 %
Kelompok A 4
Rendemen Chitin I ¿ 0,25
×100 %
¿4 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,0010,011
×100 %
¿90 %
Rendemen Chitosan ¿ 0,0050,011
×100 %
¿45,455 %
Kelompok A 5
Rendemen Chitin I ¿ 1,55
×100 %
¿30 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,82
×100 %
¿40 %
Rendemen Chitosan ¿ 0,3213,1
×100 %
¿10,355 %
Kelompok A 5
Rendemen Chitin I ¿ 1,55
×100 %
¿30 %
Rendemen Chitin II ¿ 0,73,5
× 100 %
¿20 %
Rendemen Chitosan ¿ 0,2082
×100 %
¿10,4 %
5.2. Diagram Alir
15
16
5.3. Laporan Sementara