Chapter 2 Konversi Lahan Dan Ketahanan Pangan-After Edit Siti

download Chapter 2 Konversi Lahan Dan Ketahanan Pangan-After Edit Siti

of 65

Transcript of Chapter 2 Konversi Lahan Dan Ketahanan Pangan-After Edit Siti

DAFTAR ISI12.1PendahuluanII.

32.2Kajian Teori Konversi Lahan dan Ketahanan PanganII.

32.2.1Pengertian Konversi LahanII.

52.2.2Faktor yang Mempengaruhi Konversi LahanII.

72.2.3Dampak Positif dan Negatif Konversi LahanII.

82.2.4Pengertian Ketahanan PanganII.

92.2.4Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Ketahanan PanganII.

102.2.5Ketersediaan BerasII.

102.2.6Kebutuhan BerasII.

112.2.9Kecukupan BerasII.

112.2.9Perkembangan Kota dan Daerah Pinggiran KotaII.

132.3Metode PenelitianII.

132.3.1Daerah PenelitianII.

142.3.2Data yang DigunakanII.

142.3.3Analisis DataII.

162.4Hasil PenelitianII.

162.4.1Kajian Konversi Lahan di Daerah Pinggiran Kota YogyakartaII.

282.4.2Kajian Ketahanan Pangan di Daerah Pinggiran Kota YogyakartaII.

452.5Kesimpulan dan SaranII.

452.5.1KesimpulanII.

452.5.2SaranII.

46DAFTAR PUSTAKAII.

48INDEKSII.

49GLOSARIUMII.

DAFTAR TABELKota" Tabel 2. 1 Zonifikasi Daerah Pinggiran KotaII.13

Lahan" Tabel 2. 2 Luas Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" di Desa Caturtunggal danII.18

Lahan" Tabel 2. 3 Konversi Lahan di Desa Nogotirto, Trihanggo, Kecamatan GampingII.20

Lahan" Tabel 2. 4 Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" di Desa Sinduadi dan Kecamatan MlatiII.22

Lahan" Tabel 2. 5 Konversi Lahan di Desa Tirtonirmolo dan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan,Bantul Tahun 2000-2011 (ha)II.24

Lahan" Tabel 2. 6 Konversi Lahan di Kecamatan Kasihan, BantulII.24

Lahan" Tabel 2. 7 Konversi Lahan di Desa Panggungharjo, Kecamatan SewonII.25

Lahan" Tabel 2. 8 Konversi Lahan di Kecamatan Sewon Tahun 2000-2011 (ha)II.26

Lahan" Tabel 2. 9 Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" di Desa Banguntapan, Tamanan, Baturetno, Potorono, Wirokerten, Kecamatan Banguntapan Tahun 2000-2011II.27

29Tabel 2. 10 Perhitungan Ketercukupan Kalori di Kabupaten Sleman Tahun 2000-2030II.

31Tabel 2. 11 Perhitungan Ketercukupan Kalori Beras di Kecamatan Depok Kabupatan Sleman Tahun 2000-2030II.

33Tabel 2. 12 Perhitungan Kecukupan Kalori Beras di Kecamatan Gamping Tahun 2000-2030II.

35Tabel 2. 13 Perhitungan Kecukupan Kalori Beras di Kecamatan Mlati Tahun 2000-2030II.

37Tabel 2. 14 Perhitungan Kecukupan Kalori Beras di Kecamatan Mlati Tahun 2000-2030II.

40Tabel 2. 15 Perhitungan Kecukupan Kalori Beras di Kecamatan Sewon Tahun 2000-2030II.

42Tabel 2. 16 Perhitungan Kecukupan Kalori Beras di Kecamatan Kasihan Tahun 2000-2030II.

DAFTAR GAMBAR

Lahan" Gambar 2. 1 Grafik Perubahan Luas Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" (Sawah dan Bukan Sawah) di Desa Caturtunggal Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Tahun 2000 2011II.19

Lahan" Gambar 2. 2 Grafik Perubahan Luas Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" (Sawah dan Bukan Sawah) di Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman Tahun 2000 2011II.21

Lahan" Gambar 2. 3 Grafik Perubahan Luas Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" (Sawah dan Bukan Sawah) di Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman Tahun 2000 2011II.23

Lahan" Gambar 2. 4 Grafik Perubahan Luas Konversi Lahan Pertanian XE "Pertanian" (Sawah dan Bukan Sawah) di Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul Tahun 2000 2011II.28

Lahan" Gambar 2. 5 Peta Tingkat Konversi Lahan di Daerah Pinggiran Kota XE "Kota" Yogyakarta Tahun 2000-2011II.27

Proyeksi" Gambar 2. 6 Peta Proyeksi Ketahanan Pangan XE "Pangan" di Daerah Pinggiran Kota XE "Kota" YogyakartaII.44

Chapter IIPeran Geografi Pertanian XE "Pertanian" dalam Pembangunan XE "Pembangunan" :Studi Kasus Konversi Lahan XE "Lahan" dan Ketahanan Pangan XE "Pangan" di Daerah Pinggiran

Kota XE "Kota" Yogyakarta1Dr.Rika Harini,M.P, 2 Siti Puji Lestariningsih, S.Si

1Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

2Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada2.1 Pendahuluan

Pertanian XE "Pertanian" merupakan suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam agar bermanfaat bagi manusia dan kehidupannya. Manfaat pengembangan sumberdaya alam tersebut terutama untuk menghasilkan bahan pangan guna memenuhi kebutuhan pangan hidup manusia. Selain itu, kegiatan pertanian bermanfaat untuk menghasilkan bahan baku untuk industri dan sumber energi. Pertanian dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi perekonomian nasional, penyedia kesempatan investasi bagi sektor swasta, dan penggerak utama industri-industri yang terkait dengan pertanian dan perekonomian non pertanian (Bank Dunia, 2008). Pertanian dapat dikembangkan bersama dengan sektor lainnya seperti manufaktur dan jasa untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, sektor pertanian mampu membantu dalam melestarikan lingkungan. Kegiatan pertanian di suatu wilayah akan berbeda dengan wilayah lain.

Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor, yaitu tanaman pangan, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sebaran jenis pertanian dan hasilnya dapat dianalisis secara spasial dengan kajian geografi. Geografi merupakan salah satu ilmu yang patut diperhatikan dalam pembangunan, terutama pada perencanaan pembangunan, sebab geografi mempelajari manusia dan kondisi lingkungan suatu wilayah secara spasial. Salah satu bentuk interaksi manusia dengan lingkungan terwujud dalam kegiatan pertanian. Menurut Yani dan Mamat (2007). Perbedaan dengan ilmu pendukung lainnya, Geografi lebih menitikberatkan pembahasannya dari sudut pandang organisasi keruangan (spasial setting) yang meliputi:

a. Pola persebaran seluruh gejala geosfer di permukaan bumi (spatial pattern);

b. keterkaitan atau hubungan sesama antargejala tersebut (spatial system);

c. perkembangan atau perubahannya yang terjadi pada gejala tersebut (spatial process)

Geografi dapat diimplementasikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, misalnya industri, permukiman, transportasi, budaya, pariwisata, dan pertanian. Salah satu terapan geografi dalam kehidupan sehari-hari adalah Geografi Pertanian XE "Pertanian" . Geografi mempelajari aspek pertanian secara menyeluruh dan memperhatikan keseimbangan unsur alamnya, seperti unsur pengairan, cara pengolahan lahan, maupun aspek sosial budaya penduduk yang menggarap lahan (Yani dan Mamat, 2007).

Peran Geografi Pertanian XE "Pertanian" dalam pembangunan yaitu melalui kajian pertanian secara spasial mampu dijadikan dasar dalam perencanaan dan pengaturan ruang yang sesuai untuk pertanian dan non pertanian. Geografi Pertanian dapat digunakan untuk analisis berbagai permasalahan di bidang pertanian secara keruangan. Permasalahan pertanian yang saat ini menjadi isu penting adalah konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. Hal ini disebabkan karena pentingnya peningkatan produksi pangan untuk menciptakan ketahanan pangan. Akan tetapi, dengan adanya konversi lahan pertanian justru akan mengakibatkan produksi pangan menurun. Oleh karena itu dikhawatirkan beberapa negara termasuk Indonesia akan mengalami kondisi rawan pangan jika konversi lahan tidak mampu dikendalikan.

Pentingnya pertanian bagi Indonesia dan Dunia mendorong munculnya konsep pertanian berkelanjutan sebagai upaya melestarikan sektor pertanian. Menurut Martodireso dan Widada (2001), konsep pertanian berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang efisien input teknologi produksi,ramah lingkungan dan mampu meningkatkan daya dukung lahan. Hal ini bertolak belakang dengan fenomena konversi lahan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, kajian konversi lahan kaitannya dengan ketahanan pangan merupakan salah satu bentuk pemanfaatan Geografi Pertanian XE "Pertanian" dalam pembangunan. Hal ini menjadi salah satu contoh penerapan Geografi Pertanian di dalam pembangunan.

Kajian konversi lahan dan ketahanan pangan dalam chapter ini bertujuan untuk memberikan contoh penerapan Geografi Pertanian XE "Pertanian" untuk penelitian guna memberikan masukan bagi perencanaan pembangunan. Daerah penelitian adalah pinggiran Kota XE "Kota" Yogyakarta. Salah satu isu kependudukan yang berkaitan dengan korversi lahan dan ketahanan pangan adalah jumlah serta distribusi penduduk. Sebagian besar bahkan mencapai 70% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Salah satu kota yang menjadi tujuan di Pulau Jawa adalah Kota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar dan kota pariwisata, Kota Yogyakarta mengalami pertambahan penduduk yang cukup besar. Di sisi lain, luas kota terbatas, sedangkan jumlah penduduk terus bertambah. Hal ini mengakibatkan terjadinya urban sprawl yaitu perembetan kegiatan kota ke daerah pinggiran kota, termasuk perkembangan permukiman di daerah pinggiran. Perluasan permukiman di daerah pinggiran dilakukan dengan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi non pertanian. Oleh karena, konversi lahan dan ketahanan pangan di Daerah Pinggiran Kota XE "Pinggiran Kota" Yogyakarta menjadi penting untuk dikaji.

2.2 Kajian Teori Konversi Lahan XE "Lahan" dan Ketahanan Pangan XE "Pangan" 2.2.1 Pengertian Konversi Lahan XE "Lahan" Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia salah satu pengertian konversi adalah perubahan dari suatu bentuk ke bentuk yang lain. Dalam penelitian ini konversi yang dimaksud adalah merubah bentuk lahan dari penggunaan untuk kegiatan pertanian menjadi kegiatan di luar pertanian. Menurut Sumaatmaja (1997) konversi lahan atau perubahan fungsi lahan adalah peralihan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya atau berubahnya lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain. Konversi lahan XE "Konversi lahan" juga dapat diartikan sebagai berubahnya fungsi sebagian/seluruhnya kawasan lahan dari fungsinya semula seperti yang direncanakan menjadi fungsi lain.

Pergeseran fungsi tata guna lahan tanpa memperhatikan kondisi geografis yang meliputi segala faktor fisik dengan daya dukungnya dalam jangka panjang akan membawa dampak negatif terhadap lahan dan lingkunganyang bersangkutan yang akhirnya pada kegiatan manusia itu sendiri. Terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan, akan tetapi faktor utamanya adalah kondisi sosial ekonomi penduduk. Selain faktor tersebut pembangunan industri dan perdagangan (kegiatan non pertanian), penggunaan teknologi dan secara umum kebijakan pembangunan di luar pertanian oleh pemerintah pusat maupun daerah juga sebagai pemicu timbulnya konversi lahan.

Selain dampak positif konversi lahan juga akan berdampak negatif bagi masyarakat terutama jika konversi lahan yang terjadi tidak terkendali. Dampak negatif yang muncul terutama kerusakan lingkungan dan berkurangnya areal pertanian sehingga mengurangi sumber pangan. Dampak tersebut secara tidak langsung pada akhirnya akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Dampak positif yakni lengkapnya fasilitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreatif olahraga dan sebagainya.

Proses konversi lahan pertanian dapat ditinjau dari beberapa aspek. Menurut pelaku konversi dibedakan menjadi 2. Pertama, konversi dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha dan membangun rumah tinggal yang sekaligus digunakan untuk usaha. Proses konversi ini bisa terjadi dimana saja tidak memperhitungkan faktor lokasi atau jarak dengan pusat pertumbuhan ekonomi, jumlahnya kecil-kecil dan menyebar. Dampak secara signifikan terhadap eksistensi lahan pertanian akan timbul dalam jangka waktu yang lama setelah daerah tersebut berkembang. Kedua, konversi lahan diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkan untuk usaha non pertanian atau kepada makelar tanah. Secara empiris konversi lahan melalui cara ini terjadi pada lahan yang luas terkonsentrasi dan berkorelasi positif dengan proses pengkotaan (Sumaryanto, 1997). Dampak konversi terhadap eksistensi lahan pertanian di sekitarnya akan berlangsung secara cepat dan nyata.

Berdasarkan prosesnya konversi lahan pertanian dapat terjadi secara gradual dan instant (seketika). Secara gradual pada umumnya disebabkan fungsi lahan pertanian sudah tidak optimal. Kondisi ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usahatani tidak dapat berkembang bersaing dengan usaha di luar pertanian atau kebijakan pemerintah yang kurang mendukung kegiatan pertanian sehingga hasil yang diperoleh kurang menguntungkan. Konversi secara instant terjadi pada wilayah di sekitar perkotaan, yang berubah menjadi kawasan permukiman (perumahan yang dikelola oleh pengembang) maupun untuk kawasan industri. Adanya aktivitas ekonomi non pertanian tersebut mendorong kegiatan sekunder lain berkembang misalnya pertokoan, laundry, tempat-tempat kos, bengkel maupun kegiatan ekonomi non pertanian lainnya.2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan XE "Lahan" Konversi lahan XE "Konversi lahan" yang terjadi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Beberapa penelitian menunjukkan variasi terhadap faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan. Fauzi (1992) mengemukakan bahwa konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk, jumlah rumah tangga non pertanian, pengaruh jarak lokasi dan dekatnya lahan dari kawasan industri. Terjadinya konversi lahan sawah ke non sawah di Provinsi Jawa Timur sebagaimana dikemukakan Ashari (1995) disebabkan oleh kepadatan penduduk, nilai tukar petani yang rendah, dan PDRB per kapita. Kepadatan penduduk di suatu tempat (terutama di perkotaan) yang juga mencerminkan man land ratio akan mendorong penduduk mencari tempat lain untuk membangun pemukiman di luar kota (pedesaan). Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan tersebut adalah banyak lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian mengalami konversi menjadi kawasan pemukiman.

Selain faktor klasik seperti pertumbuhan penduduk dan ekonomi, juga pembangunan infrastruktur perhubungan. Pelaksanaan otonomi daerah diduga akan semakin mempercepat terjadinya konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Faktor pendorong konversi yang tidak kalah penting khususnya di Jawa menurut Rusastra, dkk (1997) adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Dengan jumlah rupiah yang sama petani akan mendapatkan lahan yang jauh lebih luas.

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan pertanian adalah adanya konsumsi dari lahan yang merupakan manifestasi dari kekuatan-kekuatan demografis dan ekonomi (Rusastra, dkk. 1997). Secara konseptual ada 7 variabel yaitu : (1) perubahan penduduk, (2) fungsi ekonomi yang dominan, (3) ukuran kota, (4) rata-rata nilai lahan residensial, (5) kepadatan penduduk, (6) geografis dan (7) kemampuan lahan untuk pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan cepat. Apabila lahan pertanian lokasinya berdekatan dengan pertumbuhan ekonomiMenurut Denny (1999) terdapat empat hal yang menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian :

a. pertimbangan ekonomi yaitu merupakan keputusan untuk mempertahankan lahan pertanian atau merubah lahan pertanian dipengaruhi oleh adanya perbedaan sudut pandang petani kecil, di lain pihak orang yang berperan berorientasi pada uang dan keuntungan;

b. sempitnya luas lahan pertanian, lokasi dekat dengan pusat kota menyebabkan masyarakat enggan mengolah tanah pertanian karena tidak bisa menutupi kebutuhan hidup, sehingga tanah pertanian dijual untuk dimanfaatkan lainnya yang bernilai ekonomi tinggi;

c. secara teknis lahan tidak dijual, akan tetapi kesulitan dalam pengolahannya secara irigasi;d. pertimbangan secara hukum, kemungkinan konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dicegah.

Greenland (1983) menjelaskan sebab-sebab terjadinya konversi lahan pertanian adalah pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah dan faktor alami. Akibat yang ditimbulkan adalah masalah produksi makanan, ekonomi, lingkungan dan sosial budaya yang akan menimbulkan kelaparan, stok pangan berkurang, peningkatan biaya untuk pangan, polusi udara, keindahan berkurang, sumberdaya alam yang rusak, dan terjadi ketidakseimbangan penduduk Konversi lahan XE "Konversi lahan" pertanian juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, internal dan kebijakan pemerintah (Kustiwan, 1997). Faktor eksternal meliputi faktor dinamika pertumbuhan perkotaan baik secara spasial, demografis maupun ekonomi yang memacu atau mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Faktor eksternal ini berkaitan dengan perkembangan kawasan terbangun, pertumbuhan penduduk perkotaan dan pertumbuhan PDRB. Faktor internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong mereka melepaskan kepemilikan lahannya. Faktor internal ini menyangkut pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan. Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan menyebabkan semakin besar perubahan luas penguasaan lahan pertanian. Demikian juga semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per rumah tangga pertanian pengguna lahan maka semakin besar pengaruhnya terhadap laju penyusutan lahan pertanian. Faktor kebijakan merupakan suatu kebijakan yang disatu pihak memacu konversi lahan pertanian dan lain pihak mencegah terjadinya konversi lahan pertanian. 2.2.3 Dampak Positif dan Negatif Konversi Lahan XE "Lahan" Konversi lahan XE "Konversi lahan" dapat memberikan dampak bagi pelaku dan lingkungan, baik dampak positif maupun negatif. Manfaat yang timbul dari konversi lahan, berdasarkan hasil studi Sumaryanto, dkk. (1997) di Jawa Timur dan Jawa Barat menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian mampu memberikan tambahan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Menurut Irawan, dkk. (2000) dalam skala makro terjadi perkembangan ekonomi wilayah, sementara secara mikro (petani penjual lahan pertanian) berdampak positif (1) Petani mampu membeli lahan pertanian baru yang lebih luas walaupun lokasinya lebih jauh, (2) Adanya perubahan mutu kualitas hidup dengan perbaikan rumah tinggal, (3) Pertambahan aset non tanah atau tabungan dan (4) Peningkatan sumberdaya manusia lewat pengalokasian uang hasil penjualan lahan untuk biaya pendidikan anak.

Konversi lahan XE "Konversi lahan" pertanian dapat menimbulkan dampak negatif yaitu hilangnya lahan produktif sebagai penghasil pangan, akan tetapi konversi tersebut juga memberi manfaat secara ekonomi berupa pendapatan dari kegiatan di luar pertanian. Dengan demikian, sesungguhnya tidak mudah untuk membuat perhitungan tentang manfaat dan kerugian akibat konversi lahan sawah ini, apalagi cukup banyak juga manfaat dan kerugian yang sifatnya intangible (tidak dapat dirasakan secara langsung).

Dampak negatif (kerugian) akibat konversi lahan terutama adalah pada sisi hilangnya peluang memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahannya. Jenis kerugian tersebut mencakup produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usahatani, dan kesempatan kerja pada usahatani, hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kaitan ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage) dari kegiatan usahatani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi (Sumaryanto, dkk. 1997).2.2.4 Pengertian Ketahanan Pangan XE "Pangan" Pengertian tentang pangan menurut Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Undang-undang tersebut menjelaskan pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. FAO (1992) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai situasi dimana dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman danbergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992) ketahanan pangan yakni akses semua orang setiap saat pada pangan yang cukup untuk hidup sehat (secure access at all times to sufficient food for a healthy life)Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus lebih dipahami sebagai pemenuhan kondisi :

1. terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, dengan pengertian ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan dan memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, vitamin dan mineral serta turunan, yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia;2. terpenuhinya pangan dengan kondisi aman, diartikan bebas dari pencemaran biologis, kimia, dan benda lain yang lain dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman untuk kaidah agama;3. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan bahwa distribusi pangan harus mendukung tersedianya pangan pada setiap saat dan merata di seluruh tanah air,4. terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan bahwa pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

2.2.4 Pengaruh Konversi Lahan XE "Lahan" Pertanian XE "Pertanian" terhadap Ketahanan Pangan XE "Pangan" Ketahanan pangan XE "Ketahanan pangan" merupakan kondisi dimana pangan bagi rumah tangga tercukupi dalam hal jumlah, kualitas, jaminan keamanan mengakses baik dari segi fisik maupun ekonomi dan distribusi merata. FAO (2010) mengemukakan ketika seseorang tidak memiliki akses secara fisik, sosial atau ekonomi yang cukup untuk makan dikatakan seseorang tersebut tidak memiliki ketahanan pangan. Berdasarkan definisi tersebut ketahanan pangan dikaitkan dengan tiga faktor utama: (1) kecukupan (ketersediaan) pangan, (2) stabilitas ekonomi pangan dan (3) akses fisik maupun ekonomi bagi individu untuk mendapatkan pangan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Menurut undang-ndang dan peraturan tersebut ketahanan pangan mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena :

1. akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia merupakan hak yang paling asasi bagi manusia;2. keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia sangat ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan gizi;3. ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Maleha dan Adi S, 2006).

Ketahanan pangan XE "Ketahanan pangan" dapat terwujud apabila (1) Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup. Ketersediaan dalam arti luas termasuk pangan dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. (2) Terpenuhinya pangan dalam kondisi yang aman, yaitu bebas dari pencemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia dan aman dari kaidah agama. (3) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata yaitu pangan tersedia setiap saat dan merata seluruh tanah air dan (4) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang terjangkau yaitu mudah diperoleh dan harga terjangkau.

Ketahanan pangan XE "Ketahanan pangan" merupakan suatu konsep yang komplek yang terkait dengan mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari distribusi, produksi konsumsi dan status gizi. Selain di tingkat rumah tangga ketahanan pangan dapat diterapkan di tingkat regional, nasional maupun global. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, yang mana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif apakah swasembada atau kecukupan.

Maxwell dan Frankenberger (1992) pencapaian ketahanan pangan dapat diukur dari indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses merupakan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Ketersediaan pangan terkait dengan produksi pertanian, iklim akses terhadap sumberdaya alam, pengelolaan lahan dan pasar. Akses pangan meliputi sumber pendapatan, akses terhadap modal dan strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak langsung adalah konsumsi dan frekuensi pangan, sedangkan indikator dampak tidak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi.

2.2.5 Ketersediaan Beras

Ketersediaan pangan (beras) dalam konsep ketahanan pangan adalah tersedia dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan yang terkait dengan cadangan pangan dan pasokan dari luar (impor) faktor sarana dan prasarana pemasaran sangat menentukan untuk kelancaran pasokan pangan tersebut. Produksi pangan secara mandiri tergantung dari luas panen dan produktivitas yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor alam seperti bencana, iklim dan hama penyakit. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi pangan dengan jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

2.2.6 Kebutuhan Beras

Penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yaitu untuk kebutuhan energi, air, gizi dan kesehatan. Untuk mengetahui jumlah kebutuhan pangan berupa beras perlu diperhitungkan dan diketahui jumlah rata-rata kebutuhan rata-rata perkapita perhari dari penduduk. Berdasarkan data dari BPS tahun 2010 mengenai Indikator Sosial Ekonomi, rata rata konsumsi kalori (kkal) perkapita perhari menurut provinsi dan tipe daerah menunjukkan bahwa untuk wilayah Provinsi DIY tipe desa dan kota nilainya sebesar 1852,05 kkal. Jika diperhitungkan kebutuhan beras bagi masyarakat di Provinsi DIY maka setara dengan 0,463013 kilogram per hari, sehingga satu tahun setiap orang dibutuhkan 168.9997 kilogram. Untuk mengetahui kebutuhan beras selama satu tahun pada suatu wilayah maka jumlah penduduk dalam wilayah tersebut di kalikan dengan 168.999 kilogram.

Dalam penentuan ketersediaan pangan dan kebutuhan pangan, dalam penelitian ini juga dilakukan proyeksi secara geometris = Pt = Po(1+r)t. Model proyeksi geometrik merupakan proyeksi yang dapat diterapkan pada suatu wilayah. Dengan pertumbuhan yang tetap (konstan) dari waktu ke waktu, hasil proyeksi ini tumbuh secara linear (Klosterman,1990 dalam Junaidi (2008). Model proyeksi ini berbeda dengan model proyeksi eksponensial yang menunjukkan hasil proyeksi tidak linear. Kelemahan metode proyeksi eksponensial adalah dalam jangka panjang akan menghasilkan angka yang sangat besar atau sangat kecil. Disamping itu berdasarkan nilai standar deviasi model proyeksi geometrik lebih kecil dibandingkan model eksponensial, sehingga tingkat kesalahannya lebih kecil. Model proyeksi geometrik biasa digunakan oleh instansi pemerintah seperti Biro Pusat Statistik, Bappeda yang digunakan dalam perencanaan pembangunan.

2.2.9 Kecukupan Beras

Kecukupan beras yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah persediaan beras dikurangi dengan jumlah kebutuhan beras. Tingkat kecukupan beras dapat merupakan suatu indikator suatu wilayah tersebut dapat merupakan salah satu indikator keberhasilan swasembada pangan. Tercapainya swasembada pangan pada suatu wilayah merupakan suatu bagian dari ketahanan pangan. Ketahanan pangan XE "Ketahanan pangan" terwujud salah satunya tercermin dari tersedianya pangan yang cukup. Penelitian ketahanan pangan yang dimaksudkan adalah difokuskan pada penyediaan pangan terutama dari produksi sendiri dengan cara mengalokasikan sumberdaya alam (lahan pertanian).2.2.9 Perkembangan Kota XE "Kota" dan Daerah Pinggiran Kota XE "Pinggiran Kota" Terdapat dua orientasi dalam perkembangan kota yaitu orientasi perkotaan dan orientasi ke perdesaan. Pertama yaitu perkembangan kota yang mengarah pada orientasi perdesaan dengan cara melindungi lahan-lahan di sekitar kota. Hal ini berarti bukan menghentikan perkembangan kota tapi mengarahkan dan mencari alternatif tertentu perkembangan itu sendiri sehingga pertimbangan ekologi sangat diperhitungkan. Dalam hal ini terdapat teknik pengelolaan perkembangan kota menekankan upaya pembaharuan keuntungan keuangan pada pemilik lahan pertanian di sekitar kota agar mereka tetap mempertahankan lahan miliknya sebagai lahan pertanian. Selain itu juga adanya kekuatan hukum terhadap pengembangan areal pertanian, dengan cara diberikan sangsi bagi pemilik lahan jika melanggar aturan yang berlaku. Kedua, perkembangan kota yang ke arah orientasi perkotaan yaitu dengan menciptakan suasana kehidupan perkotaan yang 'comfortable' bagi masyarakat kota (Yunus, 2000).

Penggunaan lahan sebagai suatu produk kegiatan manusia di permukaan bumi menunjukkan variasi yang sangat besar. Penggunaan lahan antara daerah perkotaan dan perdesaan dibedakan atas kegiatan pertanian yang menjadi fokus utamanya. Setiap kota mempunyai variasi lingkungan fisikal yang tidak jarang sebagai kendala atau pemacu terhadap perembetan kenampakan kota ke daerah pinggiran kota. Perkembangan kota pada daerah pinggiran dapat diamati pada beberapa hal, meliputi : (1) arah areal terbangun yang paling kuat tarikannya, (2) dominasi penggunaan lahan, (3) pola keruangan yang terjadi, (4) kepadatan bangunan di sepanjang jalur transport dan (5) hubungan intensitas kegiatan sosial ekonomi dan pola pergerakan antara wilayah pinggiran dengan kota (Yunus, 1994).Zone pembagian wilayah yang dikemukakan oleh Yunus (2006) terkait dengan visualisasi spasial urbanisasi non fisikal di sekitar Kota XE "Kota" Yogyakarta dengan menggunakan salah satu indikator struktur matapencaharian penduduk. Daerah pinggiran kota dibagi menjadi 4 zone peralihan antara daerah kenampakan kekotaan sepenuhnya dan daerah dengan kenampakan kedesaan sepenuhnya. Terdapat 6 zone yang dapat diidentifikasi dari daerah bersifat kekotaan sepenuhnya ke daerah bersifat kedesaan sepenuhnya (lihat Tabel 2.1).Tabel 2. 1 Zonifikasi Daerah Pinggiran Kota XE "Kota" KegiatanZona Ruang

ZokotZobikotZobikodesZobideskotZobidesZodes

Pertanian XE "Pertanian" 0%25%-50%>50%-75%100%

Non Pertanian XE "Pertanian" 100%>75%>50%-25%-50%