Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara
Transcript of Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara
![Page 1: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/1.jpg)
Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara
LINGKAN
Dulu, di Minahasa, ada seorang gadis yang sangat cantik.
Lingkan, begitu nama gadis itu. Ia seorang yang ramah, baik
hati, dan tidak sombong. Para pemuda menginginkannya
menjadi istrinya. Para orang tua ingin menjadikannya sebagai
menantu.
Suatu ketika, tersiar berita bahwa Raja Mongondow akan
datang ke Minahasa. Ia datang bersama anak buahnya. Mereka
membawa perhiasan, emas, permata, dan barang berharga
lainnya. Mendengar itu, penduduk Minahasa seketika amat
mencemaskan Lingkan. Mereka takut Raja akan mengambilnya.
Untuk menghindari hal itu terjadi, orang tua Lingkan lalu
menyembunyikan Lingkan di dalam hutan, di atas sebuah pohon
besar di tepi sungai. Untuk makan gadis itu, mereka
menyediakan makanan yang dimasak dalam bambu.
Raja dan para pengiringnya tiba di Minahasa. Setelah beberapa
hari di daerah itu mereka pun kembali ke Mongondow. Dalam
perjalanan, mereka beristirahat di tepi sungai.
Tiba-tiba Raja melihat suatu benda mengapung di sungai.
Diperintahkan seorang anak buahnya mengambil benda itu.
Benda itu adalah bumbung bambu dan daun bekas memasak
nasi. Raja pun berpendapat, bahwa di udik sungai itu pasti ada
penghuninya. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk
menyelidiki dari mana benda-benda itu berasal.
Anak buah Raja segera menyusuri sungai. Mereka bertemu
dengan seorang lelaki tua tengah duduk di bawah pohon besar.
Lelaki itu adalah ayah Lingkan yang sedang menjaga Lingkan.
Anak buah Raja lalu melihat seorang gadis sangat cantik duduk
di atas pohon. Cepat mereka menghadap raja mereka dan
melaporkan apa yang telah mereka temui.
Raja sangat senang mendengar laporan itu. Katanya, “Bawa
gadis itu ke mari! Katakan padanya bahwa aku akan memenuhi
apa saja yang ia minta asal ia mau menjadi istriku!”
Anak buah Raja menemui Lingkan dan menyampaikan apa
yang dikatakan raja mereka pada gadis itu. Lingkan tak mau.
Anak buah Raja membujuknya. Akhirnya Lingkan dapat dibawa
ke hadapan Raja. Penuh suka cita, Raja menyambut gadis
cantik itu.
Mereka kemudian meneruskan perjalanan. Namun, setiap kali
akan menyeberangi sebuah sungai Lingkan berhenti. Ia tak mau
meneruskan perjalanan. Ia baru mau terus setelah keinginannya
dipenuhi Raja. Akhirnya, semua barang yang dibawa Raja habis
diberikan pada Lingkan.
Mereka hampir sampai di Mongondow. Satu sungai lagi harus
mereka seberangi untuk sampai di sana. Lingkan berhenti dan
meminta sesuatu. Raja bingung. Ucapnya, “Lingkan, barang-
barang yang kubawa telah habis kuberikan padamu. Mari kita
meneruskan perjalanan. Nanti, setelah kita sampai di istana,
![Page 2: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/2.jpg)
apa yang kau minta pasti kuberi.”
“Aku ingin hadiah itu sekarang!” tukas Lingkan. “Jika tidak, aku
tak mau di bawa ke Mongondow!”
“Tapi apa yang harus kuberi?”
“Hmh,” ucap Lingkan tersenyum, “aku ingin seluruh tanah
sebelah utara sungai ini untukku!”
Raja terdiam. Bila ia memenuhi keinginan Lingkan, itu berarti ia
melepaskan daerah kekuasaanya yang terletak di sebelah utara
sungai itu. Kalau tidak memenuhi keinginan Lingkan, berarti ia
gagal memperistri gadis yang sangat cantik itu. Raja akhirnya
merasa berat untuk melepaskan Lingkan. Cetusnya, “Baiklah
kupenuhi keinginanmu!”
Sungai itu dijadikan batas daerah Mongondow dan Minahasa
dan diberi nama Posigadan yang artinya perbatasan. Sekarang
daerah itu telah berganti nama menjadi Sungai Poigar.
Cerita Burung Moopo
Alkisah, di sebuah daerah di Minahasa, Sulawesi Utara,
hiduplah seorang kakek bersama dengan cucu laki-lakinya yang
bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di tepi
hutan lebat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari,
sang Kakek pergi ke hutan mencari hasil hutan dan menjualnya
ke pasar. Sementara Nondo hanya bisa membantu kakeknya
memasak dan membersihkan rumah, karena kakinya pincang.
Kedua orang tua Nondo meninggal dunia ketika ia masih kecil.
Sejak itu, Nondo diasuh oleh kakeknya hingga dewasa.
Setiap hari Nondo selalu bersedih hati. Ia ingin sekali membantu
kakeknya mencari kayu bakar di hutan, namun apa daya
kakinya tidak mampu berjalan jauh. Ia juga ingin sekali
menyaksikan sendiri binatang-binatang yang hidup di hutan
sebagaimana yang sering diceritakan oleh kakeknya setiap
selesai makan malam.
Setiap kakeknya bercerita, Nondo selalu mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Ia hanya bisa membayangkan seperti
apakah binatang-binatang yang diceritakan kakeknya itu. Ia juga
sering bermimpi bertemu dengan binatang-binatang itu. Bahkan,
ia kerap menirukan bunyi burung-burung yang diceritakan
kakeknya.
Pada suatu hari, seperti biasanya, sang Kakek hendak pergi ke
hutan untuk mencari kayu bakar.
”Kek! Bolehkah Nondo ikut ke hutan bersama Kakek?” pinta
Nondo kepada kakeknya.
![Page 3: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/3.jpg)
”Kamu di rumah saja, Cucuku” jawab sang Kakek.
”Tapi, Kek! Nondo ingin sekali melihat binatang-binatang yang
sering Kakek ceritakan itu.”
”Jangan, Cucuku! Bukankah kakimu sedang sakit? Kakek
khawatir dengan kesehatanmu.”
”Kek! Nondo mohon, izinkanlah Nondo pergi ke hutan bersama
Kakek sekali ini saja,” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.
Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun
mengizinkannya.
”Baiklah! Kamu boleh ikut bersama Kakek, tapi selesaikan dulu
pekerjaan rumahmu,” ujar sang Kakek.
Dengan perasaan senang dan penuh semangat, Nondo segera
membersihkan rumah dan memasak untuk makan siang
sepulang dari hutan. Beberapa saat kemudian, Nondo telah
menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
”Kek! Ayo kita berangkat! Pekerjaan Nondo sudah selesai,” seru
Nondo.
”Ya!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.
Setelah itu, berangkatlah mereka ke hutan. Sang Kakek berjalan
di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika
memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya,
karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap
melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan
menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena
keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia
semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.
Awalnya Nondo tidak menyadari keadaan itu. Ketika hari
menjelang sore, ia baru tersadar jika ia tinggal sendirian di
tengah hutan. Hari pun semakin gelap, suasana hutan semakin
menyeramkan dengan suara-suara binatang yang menakutkan.
”Kakek…! Kakek….! Kakek di mana…?” teriak Nondo
memanggil kakeknya sambil menangis.
Beberapa kali Nondo berteriak, namun tidak ada jawaban sama
sekali. Ia mencoba mencari jalan pulang ke rumah, namun
semakin jauh ia berjalan semakin jauh masuk ke tengah hutan.
Ia pun bertambah bingung dan tersesat di tengah hutan.
Malam semakin larut, Nondo belum juga menemukan kakeknya.
Ia pun semakin takut oleh suara-suara burung yang bersahut-
sahutan, seperti burung uwak, kedi-kedi, kakaktua, toin tuenden
dan burung hantu. Apalagi ketika ia mendengar suara burung
kuow yang keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan
berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar oleh
kakeknya. Namun, usahanya sia-sia, karena tidak mendapat
jawaban sama sekali.
Sementara itu sang Kakek menjadi panik ketika menyadari
cucunya sudah tidak ada lagi di belakangnya. Ia sangat
mengkhawatirkan keadaan cucu kesayangannya itu.
”Nondo…! Nondo…! Kamu di mana?” teriak sang Kakek.
Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban
sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena
![Page 4: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/4.jpg)
mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di
rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang
Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore
hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak
memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh
karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke
rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang
aneh.
`moo-poo…, moo-poo…, moo-poo….!” terdengar suara burung
aneh itu.
”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku
mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.
Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara
aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun
menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung
yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan
mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.
”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di
hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti
itu,” gumamnya.
Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang
lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara,
”moo-poo”.
Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun
setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari
jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih
meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia
amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu
menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu
adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang
dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat
ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa,
Sulawesi Utara.
Lipan dan Konimpis (Asal Usul Penduduk dan Nama Desa Rumoong Atas)
(Cerita ini diadaptasi dari diktat “SEJARAH JEMAAT
RUMOONG ATAS”, yang disusun oleh Tim Pelaksana “Seminar
dan Penulisan Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas”,
diterbitkan di Rumoong Atas tahun 1984)
Lipan dan Konimpis
Dikisahkan bahwa Lipan dan Konimpis adalah dua orang kakak
beradik yang tadinya hidup rukun, mesra dan sentosa. Lipan
merupakan kakak dari Konimpis. Ia berperawakan tinggi besar
dan kekar, berwajah kasar sesuai dengan perangainya, dan
suka berburuh. Konimpis berperawakan kecil, berkulit halus.
Sifatnya manis, lembut, ramah, menawan hati, sopan serta
hormat. Pekerjaannya adalah bertani.
![Page 5: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/5.jpg)
Akibat perbedaan sifat khas yang mencolok antara keduanyandi
masyarakat, maka sang kakak ditakuti dan lama-kelamaan
sukar mendapat pengaruh dan dukungan; sebaliknya, Konimpis
yang ramah dan sopan sangat disegani. Melihat situasi itu,
timbullah rasa iri sang kakak, dan ia bermaksud untuk
menghabisi adiknya. Segala upaya dan tipu daya diaturnya.
Pada suatu tempat yang menurut Lipan adalah tempat lalu-
lalang Konimpis, di sanalah Lipan menunggu kesempatan
terbaiknya membunuh Konimpis, adiknya. Lipan bersembunyi
dalam sebuah lubang pohon akel/ seho (enau) yang roboh. Tak
berapa lama kemudian, Konimpis datang dalam keadaan lelah
dan terengah-engah. Ia pun beristirahat di pohon akel, tempat
persembunyian kakaknya. Tak sadar, batang pohon itu dipukul-
pukul oleh Konimpis. Lipan yang bersembunyi di dalamnya
terkejut dan malu, mengira bahwa Konimpis telah mengetahui
rencananya. Ia pun keluar. Di tempat itu mereka bertengkar dan
akhirnya mengangkat sumpah bahwa mulai saat itu mereka
tidak bersaudara lagi, bahkan siap angkat perang “Taar-era”.
Tempat kakak-beradik itu mengangkat sumpah terletak di
puncak pegunungan + 200 meter sebelah barat desa Rumoong
Atas sekarang. “Taar-era” lama kelamaan menjadi Tareran.
Pembuktian menunjuk bahwa Lipan dan Konimpis pernah hidup
disana, dimana jembatan Tuunan sekarang (kuala memeak) ada
tempat penyeberangan Lipan tanpa jembatan atau titian, yang
dikenal dengan sebutan “kopat i Lipan” (langkah lompat Lipan).
Begitu pula ada pengikut Konimpis yang sudah mulai singgah di
sana, yaitu dua orang wanita yang bernama Mawole dan
Manimporok. Kedua perempuan itu berteduh di bawah sebuah
pohon besar nan rindang yang bernama pohon Lowian (sejenis
pohon beringin). Kemudian datanglah tiga orang lelaki yang
masing-masing mempunyai kesaktian:
Sage: Tonaas yang punya keahlian memasang patok. Sebab
saat itu tidak sembarang orang yang bisa memasak patok.
Palandi: Tonaas yang ahli memanggil burung (sumoring).
Dengan cara meniru suara burung tertentu(soring), burung
tersebut akan datang untuk menyampaikan bunyi. Bunyi tiap
jenis burung dipercaya mempunyai arti tertentu.
Mamarimbing: Tonaas yang punya keahlian membaca/
memeriksa bunyi burung dan tahu apa artinya. Burung yang
bisanya memberi tanda adalah burung Wara. Jenis burung
Wara malam disebut Manguni. Sedangkan wara siang disebut
wara inen do. Ada juga burung lainnya seperti: Titicak (burung
Sri gunting), Tangka lio-liowan (burung kuning) dan lain-lain.
Tonaas Mamarimbing tahu arti dari bunyi burung-burung
tersebut.
Setelah mereka mendengar bunyi burung dan punya arti baik,
maka Tonaas Sage memasang patok di bagian barat pohon
Lowian. Itulah sebabnya pemukiman di sekitar pohon tersebut
dinamakan Lowian (nama sebelum menjadi Rumoong Atas).
Tapi berhubung pohon Lowian yang sangat rindang itu sulit
ditembus cahaya matahari, maka mereka memindahkan patok
sekaligus tempat perteduhannya di sebelah timur guna
![Page 6: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/6.jpg)
mendapat cahaya matahari. Mereka menyebut tempat itu
“Sendangan”, yaitu bagian barat desa Lansot yang berbatasan
dengan desa Rumoong Atas sekarang. Tempat itu tetap disebut
“Sendangan” sampai tahun 1950-an. Bersamaan pada waktu itu
datanglah orang lain yang ingin menetap di bawah pohon
Lowian. Mereka dipimpin dotu Moutang, sekitar + tahun 1625.
Dotu inilah yang dipandang sebagai dotu desa Rumoong Atas.
Perubahan Nama Lowian Menjadi Rumoong Atas
Penghuni pemukiman yang dinamakan Lowian merupakan
perpaduan penduduk yang datang lebih dahulu dari penduduk
yang diperkirakan berasal dari jurusan Langowan, dengan
rombongan dotu Moutang dari arah barat sekitar tahun 1625,
yang semakin bertambah banyak. Orang yang datang
bertambah banyak pada suatu tempat yang sudah didiami orang
disebut “Rumoang”. Di sebelah timur sudah ada pemukiman
yang disebut “Lansot”, yang ditempati sejak tahun 1560. Nama
baru desa Lowian secara resmi diubah sebutannya menjadi
“Rumoang”.
Pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 sampai
1945, pada papan nama desa tertulis “Rumoon”. Lama-
kelamaan menjadi Rumoong.
Nama “Rumoong” pada saat itu sudah ada dua, yaitu Rumoong
yang ada di wilayah Tombasian atau Kecamatan Tombasian
dan Rumoong yang sebelumnya disebut Lowian. Maka untuk
membedakan keduanya, Rumoong yang dulunya Lowian
kemudian disebut “Rumoong Atas”. Sengaja disebut demikian
karena tempat yang dulunya Lowian berada di pegunungan,
sedangkan Rumoong yang satunya yang berada di pesisir
pantai di sebut “Rumoong Bawah”.
Rumoong Atas secara resmi menjadi desa tahun 1840.
Dongeng: Toar Lumimuut
Dahulu kala, di pantai barat Pengunungan Wulur Mahatus
terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Batu
karang itu tidak dihiraukan orang karena memang belum ada
manusia di sekitarnya.
Suatu ketika dimusim kemarau, cahaya matahari begitu
menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan keringat.
Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik.
Namanya Karema, Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke
langit dan berdoa, “O, Kasuruan Opo e wailan wangko.” Artinya
“Oh Tuhan yang maha besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di
mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku”.
Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itupun terbelah
menjadi dua dan mencullah seorang wanita cantik. Karema pun
tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau
tercipta dari batu yang berkeringat, engkau kuberi nama
Lumimuut., Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan
![Page 7: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/7.jpg)
bertambah seperti pasir di pantai laut, Akan tetapi, kamu harus
bekerja keras memeras keringat”.
Pada suatu hari, Karema menyuruh putrinya yang cantik molek
itu menghadap ke selatan agar ia hamil dan memberikan
keturunan. Lumimuut pun melaksanakan perintah ibunya, tetapi
tidak terjadi suatu apapun, Karena ke arah selatan tidak
berhasil, Lumimuut disuruh mengadap ke arah timur, barat, dan
utara. Hal inipun didak membawa hasil.
Kemudian upacara diadakan lagi. Lumimuut disuruh menghadap
kearah barat yang sedang berembus angin kencang. Lama-
kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi
lain. Ternyata Lumimuut sudah hamil.
Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan
penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba,
Lumimuut pun melahirkan anak laki laki yang diberi nama Toar.
Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang
dimiliki Karema.
Pertumbuhan badan toar sangat cepat. Bentuk tubuhnya besar,
kuat, kekar, dan perkasa. Di belantara hutan, Toar tidak takut
dan tidak dapat ditaklukkan oleh anoa, babi rusa, maupun ular.
Setelah Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan
Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua
mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediakan dua
tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon
tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang.
Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan
seseorang baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti
ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian
sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi,
bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian
boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan
kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan
hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap
ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”
Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar
dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki
Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan
Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah
panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa,
Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar
bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai amanat
Karema, merekapun membandingkan tongkat masing masing.
Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga
upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan
sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara
tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan
Lolombulan.
Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema.
Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di
daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (buluh
![Page 8: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082317/55cf94d6550346f57ba4bcc3/html5/thumbnails/8.jpg)
kecil). Disanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi
keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali
sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul
burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda
memperoleh limpah dan berkat karunia.
Kesimpulan:
Cerita ini dapat digolongkan pada legenda. Banyak penduduk
Minahasa menganggap cerita ini sebagai suatu kebenaran
walaupun untuk membuktikan kebenarannya hampir tidak
mungkin. Pesan moral yang terkandung dalam cerita ini adalah
hendaknya kita ingat petuah orang tua. Selain itu, walaupun kita
wanita cantik atau pemuda perkasa, kendaklah kita selalu
bekerja keras agar dapat hidup layak.