Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

11
Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara LINGKAN Dulu, di Minahasa, ada seorang gadis yang sangat cantik. Lingkan, begitu nama gadis itu. Ia seorang yang ramah, baik hati, dan tidak sombong. Para pemuda menginginkannya menjadi istrinya. Para orang tua ingin menjadikannya sebagai menantu. Suatu ketika, tersiar berita bahwa Raja Mongondow akan datang ke Minahasa. Ia datang bersama anak buahnya. Mereka membawa perhiasan, emas, permata, dan barang berharga lainnya. Mendengar itu, penduduk Minahasa seketika amat mencemaskan Lingkan. Mereka takut Raja akan mengambilnya. Untuk menghindari hal itu terjadi, orang tua Lingkan lalu menyembunyikan Lingkan di dalam hutan, di atas sebuah pohon besar di tepi sungai. Untuk makan gadis itu, mereka menyediakan makanan yang dimasak dalam bambu. Raja dan para pengiringnya tiba di Minahasa. Setelah beberapa hari di daerah itu mereka pun kembali ke Mongondow. Dalam perjalanan, mereka beristirahat di tepi sungai. Tiba-tiba Raja melihat suatu benda mengapung di sungai. Diperintahkan seorang anak buahnya mengambil benda itu. Benda itu adalah bumbung bambu dan daun bekas memasak nasi. Raja pun berpendapat, bahwa di udik sungai itu pasti ada penghuninya. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dari mana benda-benda itu berasal. Anak buah Raja segera menyusuri sungai. Mereka bertemu dengan seorang lelaki tua tengah duduk di bawah pohon besar. Lelaki itu adalah ayah Lingkan yang sedang menjaga Lingkan. Anak buah Raja lalu melihat seorang gadis sangat cantik duduk di atas pohon. Cepat mereka menghadap raja mereka dan melaporkan apa yang telah mereka temui. Raja sangat senang mendengar laporan itu.

Transcript of Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

Page 1: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

Cerita Rakyat dari Sulawesi Utara

LINGKAN

Dulu, di Minahasa, ada seorang gadis yang sangat cantik.

Lingkan, begitu nama gadis itu. Ia seorang yang ramah, baik

hati, dan tidak sombong. Para pemuda menginginkannya

menjadi istrinya. Para orang tua ingin menjadikannya sebagai

menantu.

Suatu ketika, tersiar berita bahwa Raja Mongondow akan

datang ke Minahasa. Ia datang bersama anak buahnya. Mereka

membawa perhiasan, emas, permata, dan barang berharga

lainnya. Mendengar itu, penduduk Minahasa seketika amat

mencemaskan Lingkan. Mereka takut Raja akan mengambilnya.

Untuk menghindari hal itu terjadi, orang tua Lingkan lalu

menyembunyikan Lingkan di dalam hutan, di atas sebuah pohon

besar di tepi sungai. Untuk makan gadis itu, mereka

menyediakan makanan yang dimasak dalam bambu.

Raja dan para pengiringnya tiba di Minahasa. Setelah beberapa

hari di daerah itu mereka pun kembali ke Mongondow. Dalam

perjalanan, mereka beristirahat di tepi sungai.

Tiba-tiba Raja melihat suatu benda mengapung di sungai.

Diperintahkan seorang anak buahnya mengambil benda itu.

Benda itu adalah bumbung bambu dan daun bekas memasak

nasi. Raja pun berpendapat, bahwa di udik sungai itu pasti ada

penghuninya. Ia kemudian memerintahkan anak buahnya untuk

menyelidiki dari mana benda-benda itu berasal.

Anak buah Raja segera menyusuri sungai. Mereka bertemu

dengan seorang lelaki tua tengah duduk di bawah pohon besar.

Lelaki itu adalah ayah Lingkan yang sedang menjaga Lingkan.

Anak buah Raja lalu melihat seorang gadis sangat cantik duduk

di atas pohon. Cepat mereka menghadap raja mereka dan

melaporkan apa yang telah mereka temui.

Raja sangat senang mendengar laporan itu. Katanya, “Bawa

gadis itu ke mari! Katakan padanya bahwa aku akan memenuhi

apa saja yang ia minta asal ia mau menjadi istriku!”

Anak buah Raja menemui Lingkan dan menyampaikan apa

yang dikatakan raja mereka pada gadis itu. Lingkan tak mau.

Anak buah Raja membujuknya. Akhirnya Lingkan dapat dibawa

ke hadapan Raja. Penuh suka cita, Raja menyambut gadis

cantik itu.

Mereka kemudian meneruskan perjalanan. Namun, setiap kali

akan menyeberangi sebuah sungai Lingkan berhenti. Ia tak mau

meneruskan perjalanan. Ia baru mau terus setelah keinginannya

dipenuhi Raja. Akhirnya, semua barang yang dibawa Raja habis

diberikan pada Lingkan.

Mereka hampir sampai di Mongondow. Satu sungai lagi harus

mereka seberangi untuk sampai di sana. Lingkan berhenti dan

meminta sesuatu. Raja bingung. Ucapnya, “Lingkan, barang-

barang yang kubawa telah habis kuberikan padamu. Mari kita

meneruskan perjalanan. Nanti, setelah kita sampai di istana,

Page 2: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

apa yang kau minta pasti kuberi.”

“Aku ingin hadiah itu sekarang!” tukas Lingkan. “Jika tidak, aku

tak mau di bawa ke Mongondow!”

“Tapi apa yang harus kuberi?”

“Hmh,” ucap Lingkan tersenyum, “aku ingin seluruh tanah

sebelah utara sungai ini untukku!” 

Raja terdiam. Bila ia memenuhi keinginan Lingkan, itu berarti ia

melepaskan daerah kekuasaanya yang terletak di sebelah utara

sungai itu. Kalau tidak memenuhi keinginan Lingkan, berarti ia

gagal memperistri gadis yang sangat cantik itu. Raja akhirnya

merasa berat untuk melepaskan Lingkan. Cetusnya, “Baiklah

kupenuhi keinginanmu!”

Sungai itu dijadikan batas daerah Mongondow dan Minahasa

dan diberi nama Posigadan yang artinya perbatasan. Sekarang

daerah itu telah berganti nama menjadi Sungai Poigar.

Cerita Burung Moopo

Alkisah, di sebuah daerah di Minahasa, Sulawesi Utara,

hiduplah seorang kakek bersama dengan cucu laki-lakinya yang

bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di tepi

hutan lebat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari,

sang Kakek pergi ke hutan mencari hasil hutan dan menjualnya

ke pasar. Sementara Nondo hanya bisa membantu kakeknya

memasak dan membersihkan rumah, karena kakinya pincang.

Kedua orang tua Nondo meninggal dunia ketika ia masih kecil.

Sejak itu, Nondo diasuh oleh kakeknya hingga dewasa.

Setiap hari Nondo selalu bersedih hati. Ia ingin sekali membantu

kakeknya mencari kayu bakar di hutan, namun apa daya

kakinya tidak mampu berjalan jauh. Ia juga ingin sekali

menyaksikan sendiri binatang-binatang yang hidup di hutan

sebagaimana yang sering diceritakan oleh kakeknya setiap

selesai makan malam.

Setiap kakeknya bercerita, Nondo selalu mendengarkannya

dengan penuh perhatian. Ia hanya bisa membayangkan seperti

apakah binatang-binatang yang diceritakan kakeknya itu. Ia juga

sering bermimpi bertemu dengan binatang-binatang itu. Bahkan,

ia kerap menirukan bunyi burung-burung yang diceritakan

kakeknya.

Pada suatu hari, seperti biasanya, sang Kakek hendak pergi ke

hutan untuk mencari kayu bakar.

”Kek! Bolehkah Nondo ikut ke hutan bersama Kakek?” pinta

Nondo kepada kakeknya.

Page 3: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

”Kamu di rumah saja, Cucuku” jawab sang Kakek.

”Tapi, Kek! Nondo ingin sekali melihat binatang-binatang yang

sering Kakek ceritakan itu.”

”Jangan, Cucuku! Bukankah kakimu sedang sakit? Kakek

khawatir dengan kesehatanmu.”

”Kek! Nondo mohon, izinkanlah Nondo pergi ke hutan bersama

Kakek sekali ini saja,” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.

Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun

mengizinkannya.

”Baiklah! Kamu boleh ikut bersama Kakek, tapi selesaikan dulu

pekerjaan rumahmu,” ujar sang Kakek.

Dengan perasaan senang dan penuh semangat, Nondo segera

membersihkan rumah dan memasak untuk makan siang

sepulang dari hutan. Beberapa saat kemudian, Nondo telah

menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

”Kek! Ayo kita berangkat! Pekerjaan Nondo sudah selesai,” seru

Nondo.

”Ya!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.

Setelah itu, berangkatlah mereka ke hutan. Sang Kakek berjalan

di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika

memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya,

karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap

melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan

menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena

keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia

semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.

Awalnya Nondo tidak menyadari keadaan itu. Ketika hari

menjelang sore, ia baru tersadar jika ia tinggal sendirian di

tengah hutan. Hari pun semakin gelap, suasana hutan semakin

menyeramkan dengan suara-suara binatang yang menakutkan.

”Kakek…! Kakek….! Kakek di mana…?” teriak Nondo

memanggil kakeknya sambil menangis.

Beberapa kali Nondo berteriak, namun tidak ada jawaban sama

sekali. Ia mencoba mencari jalan pulang ke rumah, namun

semakin jauh ia berjalan semakin jauh masuk ke tengah hutan.

Ia pun bertambah bingung dan tersesat di tengah hutan.

Malam semakin larut, Nondo belum juga menemukan kakeknya.

Ia pun semakin takut oleh suara-suara burung yang bersahut-

sahutan, seperti burung uwak, kedi-kedi, kakaktua, toin tuenden

dan burung hantu. Apalagi ketika ia mendengar suara burung

kuow yang keras dan menyeramkan. Ia pun menangis dan

berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar oleh

kakeknya. Namun, usahanya sia-sia, karena tidak mendapat

jawaban sama sekali.

Sementara itu sang Kakek menjadi panik ketika menyadari

cucunya sudah tidak ada lagi di belakangnya. Ia sangat

mengkhawatirkan keadaan cucu kesayangannya itu.

”Nondo…! Nondo…! Kamu di mana?” teriak sang Kakek.

Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban

sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena

Page 4: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di

rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang

Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore

hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak

memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh

karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke

rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang

aneh.

`moo-poo…, moo-poo…, moo-poo….!” terdengar suara burung

aneh itu.

”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku

mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.

Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara

aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun

menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung

yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan

mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.

”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di

hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti

itu,” gumamnya.

Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang

lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara,

”moo-poo”.

Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun

setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari

jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih

meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia

amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu

menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu

adalah jelmaan cucunya, Nondo. Sesuai dengan suara yang

dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat

ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa,

Sulawesi Utara.

Lipan dan Konimpis (Asal Usul Penduduk dan Nama Desa Rumoong Atas)

(Cerita ini diadaptasi dari diktat “SEJARAH JEMAAT

RUMOONG ATAS”, yang disusun oleh Tim Pelaksana “Seminar

dan Penulisan Sejarah Jemaat GMIM Rumoong Atas”,

diterbitkan di Rumoong Atas tahun 1984)

Lipan dan Konimpis

Dikisahkan bahwa Lipan dan Konimpis adalah dua orang kakak

beradik yang tadinya hidup rukun, mesra dan sentosa. Lipan

merupakan kakak dari Konimpis. Ia berperawakan tinggi besar

dan kekar, berwajah kasar sesuai dengan perangainya, dan

suka berburuh. Konimpis berperawakan kecil, berkulit halus.

Sifatnya manis, lembut, ramah, menawan hati, sopan serta

hormat. Pekerjaannya adalah bertani.

Page 5: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

Akibat perbedaan sifat khas yang mencolok antara keduanyandi

masyarakat, maka sang kakak ditakuti dan lama-kelamaan

sukar mendapat pengaruh dan dukungan; sebaliknya, Konimpis

yang ramah dan sopan sangat disegani. Melihat situasi itu,

timbullah rasa iri sang kakak, dan ia bermaksud untuk

menghabisi adiknya. Segala upaya dan tipu daya diaturnya.

Pada suatu tempat yang menurut Lipan adalah tempat lalu-

lalang Konimpis, di sanalah Lipan menunggu kesempatan

terbaiknya membunuh Konimpis, adiknya. Lipan bersembunyi

dalam sebuah lubang pohon akel/ seho (enau) yang roboh. Tak

berapa lama kemudian, Konimpis datang dalam keadaan lelah

dan terengah-engah. Ia pun beristirahat di pohon akel, tempat

persembunyian kakaknya. Tak sadar, batang pohon itu dipukul-

pukul oleh Konimpis. Lipan yang bersembunyi di dalamnya

terkejut dan malu, mengira bahwa Konimpis telah mengetahui

rencananya. Ia pun keluar. Di tempat itu mereka bertengkar dan

akhirnya mengangkat sumpah bahwa mulai saat itu mereka

tidak bersaudara lagi, bahkan siap angkat perang “Taar-era”.

Tempat kakak-beradik itu mengangkat sumpah terletak di

puncak pegunungan + 200 meter sebelah barat desa Rumoong

Atas sekarang. “Taar-era” lama kelamaan menjadi Tareran.

Pembuktian menunjuk bahwa Lipan dan Konimpis pernah hidup

disana, dimana jembatan Tuunan sekarang (kuala memeak) ada

tempat penyeberangan Lipan tanpa jembatan atau titian, yang

dikenal dengan sebutan “kopat i Lipan” (langkah lompat Lipan).

Begitu pula ada pengikut Konimpis yang sudah mulai singgah di

sana, yaitu dua orang wanita yang bernama Mawole dan

Manimporok. Kedua perempuan itu berteduh di bawah sebuah

pohon besar nan rindang yang bernama pohon Lowian (sejenis

pohon beringin). Kemudian datanglah tiga orang lelaki yang

masing-masing mempunyai kesaktian:

Sage: Tonaas yang punya keahlian memasang patok. Sebab

saat itu tidak sembarang orang yang bisa memasak patok.

Palandi: Tonaas yang ahli memanggil burung (sumoring).

Dengan cara meniru suara burung tertentu(soring), burung

tersebut akan datang untuk menyampaikan bunyi. Bunyi tiap

jenis burung dipercaya mempunyai arti tertentu.

Mamarimbing: Tonaas yang punya keahlian membaca/

memeriksa bunyi burung dan tahu apa artinya. Burung yang

bisanya memberi tanda adalah burung Wara. Jenis burung

Wara malam disebut Manguni. Sedangkan wara siang disebut

wara inen do. Ada juga burung lainnya seperti: Titicak (burung

Sri gunting), Tangka lio-liowan (burung kuning) dan lain-lain.

Tonaas Mamarimbing tahu arti dari bunyi burung-burung

tersebut.

Setelah mereka mendengar bunyi burung dan punya arti baik,

maka Tonaas Sage memasang patok di bagian barat pohon

Lowian. Itulah sebabnya pemukiman di sekitar pohon tersebut

dinamakan Lowian (nama sebelum menjadi Rumoong Atas).

Tapi berhubung pohon Lowian yang sangat rindang itu sulit

ditembus cahaya matahari, maka mereka memindahkan patok

sekaligus tempat perteduhannya di sebelah timur guna

Page 6: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

mendapat cahaya matahari. Mereka menyebut tempat itu

“Sendangan”, yaitu bagian barat desa Lansot yang berbatasan

dengan desa Rumoong Atas sekarang. Tempat itu tetap disebut

“Sendangan” sampai tahun 1950-an. Bersamaan pada waktu itu

datanglah orang lain yang ingin menetap di bawah pohon

Lowian. Mereka dipimpin dotu Moutang, sekitar + tahun 1625.

Dotu inilah yang dipandang sebagai dotu desa Rumoong Atas.

Perubahan Nama Lowian Menjadi Rumoong Atas

Penghuni pemukiman yang dinamakan Lowian merupakan

perpaduan penduduk yang datang lebih dahulu dari penduduk

yang diperkirakan berasal dari jurusan Langowan, dengan

rombongan dotu Moutang dari arah barat sekitar tahun 1625,

yang semakin bertambah banyak. Orang yang datang

bertambah banyak pada suatu tempat yang sudah didiami orang

disebut “Rumoang”. Di sebelah timur sudah ada pemukiman

yang disebut “Lansot”, yang ditempati sejak tahun 1560. Nama

baru desa Lowian secara resmi diubah sebutannya menjadi

“Rumoang”.

Pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 sampai

1945, pada papan nama desa tertulis “Rumoon”. Lama-

kelamaan menjadi Rumoong.

Nama “Rumoong” pada saat itu sudah ada dua, yaitu Rumoong

yang ada di wilayah Tombasian atau Kecamatan Tombasian

dan Rumoong yang sebelumnya disebut Lowian. Maka untuk

membedakan keduanya, Rumoong yang dulunya Lowian

kemudian disebut “Rumoong Atas”. Sengaja disebut demikian

karena tempat yang dulunya Lowian berada di pegunungan,

sedangkan Rumoong yang satunya yang berada di pesisir

pantai di sebut “Rumoong Bawah”.

Rumoong Atas secara resmi menjadi desa tahun 1840.

Dongeng: Toar   Lumimuut

Dahulu kala, di pantai barat Pengunungan Wulur Mahatus

terdapat sebuah batu karang yang bagus bentuknya. Batu

karang itu tidak dihiraukan orang karena memang belum ada

manusia di sekitarnya.

Suatu ketika dimusim kemarau, cahaya matahari begitu

menyengat sehingga batu karang itu mengeluarkan keringat.

Pada saat itu pula, terciptalah seorang wanita yang cantik.

Namanya Karema, Ia berdiri sambil menadahkan tangan ke

langit dan berdoa, “O, Kasuruan Opo e wailan wangko.” Artinya

“Oh Tuhan yang maha besar, jika Kau berkenan, nyatakanlah di

mana aku berada serta berikanlah teman hidup untukku”.

Setelah selesai mengucapkan doa, batu karang itupun terbelah

menjadi dua dan mencullah seorang wanita cantik. Karema pun

tidak sendiri lagi. Ia berkata kepada wanita itu, “Karena kau

tercipta dari batu yang  berkeringat, engkau kuberi nama

Lumimuut., Keturunanmu akan hidup sepanjang masa dan

Page 7: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

bertambah seperti pasir di pantai laut, Akan tetapi, kamu harus

bekerja keras memeras keringat”.

Pada suatu hari, Karema menyuruh putrinya yang cantik molek

itu menghadap ke selatan agar ia hamil dan memberikan

keturunan. Lumimuut pun melaksanakan perintah ibunya, tetapi

tidak terjadi suatu apapun, Karena ke arah selatan tidak

berhasil, Lumimuut disuruh mengadap ke arah timur, barat, dan

utara. Hal inipun didak membawa hasil.

Kemudian upacara diadakan lagi. Lumimuut disuruh menghadap

kearah barat yang sedang berembus angin kencang. Lama-

kelamaan, setelah upacara selesai, badan Lumimuut menjadi

lain. Ternyata Lumimuut sudah hamil.

Selama hamil, Lumimuut selalu dijaga dan dirawat dengan

penuh kasih sayang oleh Karema. Ketika saatnya tiba,

Lumimuut pun melahirkan anak laki laki yang diberi nama Toar.

Toar pun diberi pengetahuan dan kemampuan seperti yang

dimiliki Karema.

Pertumbuhan badan toar sangat cepat. Bentuk tubuhnya besar,

kuat, kekar, dan perkasa. Di belantara hutan, Toar tidak takut

dan tidak dapat ditaklukkan oleh anoa, babi rusa, maupun ular.

Setelah  Toar dewasa, berkatalah Karema kepada Toar dan

Lumimuut, “Sekarang sudah saatnya kalian berdua

mengembara mengelilingi dunia. Aku sudah menyediakan dua

tongkat sama panjang. Tongkat untuk Toar terbuat dari pohon

tuis dan tongkat untuk Lumimuut terbuat dari pohon tawaang.

Kalau nanti dalam pengembaraan, kalian bertemu dengan

seseorang baik pria maupun wanita membawa tongkat seperti

ini, bandingkanlah dengan tongkat kalian. Kalau tongkat kalian

sama panjang, berarti kalian masih terikat keluarga. Akan tetapi,

bila tongkat itu berbeda dan tidak lagi sama panjang, kalian

boleh membentuk rumah tangga. Semoga hal ini terjadi dan

kalian akan menghasilkan keturunan. Keturunan kalian akan

hidup terpisah oleh gunung dan hutan rimba. Namun, akan tetap

ada kemauan untuk bersatu dan berjaya.”

Nuwu (amanat) Karema menjadi bekal bagi Lumimuut dan Toar

dalam pengembaraan mereka. Gunung dan bukit mereka daki

Lembah dan ngarai mereka lalui. Toar ke arah utara dan

Lumimuut ke arah selatan. Tuis di tangan Toar bertambah

panjang, tetapi tawaang di tangan Lumimuut tetap seperti biasa,

Pada suatu malam bulan purnama, di tengah kilauan sinar

bulan, bertemulah Toar dengan Lumimuut. Sesuai amanat

Karema, merekapun membandingkan tongkat masing masing.

Ternyata, tongkat mereka tidak sama panjang lagi sehingga

upacara pernikahan pun dilaksanakan. Bintang dan bulan

sebagai saksi. Puncak gunung tempat pelaksanaan upacara

tampak bagaikan bola emas. Gunung itu kemudian dinamakan

Lolombulan.

Setelah upacara pernikahan, mereka pun mencari Karema.

Akan tetapi, ia tidak ditemukan. Kemudian, mereka menetap di

daerah pegunungan yang banyak ditumbuhi buluh tui (buluh

Page 8: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara

kecil). Disanalah mereka beranak cucu. Keturunan demi

keturunan, kembar sembilan (semakarua siyouw), dua kali

sembilan. Kelahiran keturunan itu selalu disambut bunyi siul

burung wala (doyot) yang dipercaya sebagai pertanda

memperoleh limpah dan berkat karunia.

 

Kesimpulan:

Cerita ini dapat digolongkan pada legenda. Banyak penduduk

Minahasa menganggap cerita ini sebagai suatu kebenaran

walaupun untuk membuktikan kebenarannya hampir tidak

mungkin. Pesan moral yang terkandung dalam cerita ini adalah

hendaknya kita ingat petuah orang tua. Selain itu, walaupun kita

wanita cantik atau pemuda perkasa, kendaklah kita selalu

bekerja keras agar dapat hidup layak.