Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

16
Cerita di Balik Mundurnya Soeharto TANGGAL 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang singkat, Soeharto antara lain mengatakan, Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998. Pengumuman pengunduran diri Soeharto Kamis pagi itu sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan, karena sehari sebelumnya sudah ramai dibicarakan bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Yang menjadi pertanyaan, apa yang mendorong Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur? Karena, beberapa hari sebelumnya, Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan. Kejutan ke arah mundurnya Soeharto diawali oleh keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko usai Rapat Pimpinan DPR, Senin (18/5) lalu. Tanggal 18 Mei 1998 Pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad. Namun, kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu, tidak berlangsung lama. Karena malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif. Walaupun sikap ABRI itu disampaikan setelah Wiranto memimpin rapat kilat dengan para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri serta

Transcript of Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Page 1: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Cerita di Balik Mundurnya SoehartoTANGGAL 21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, Jakarta. Saat itu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam pidato yang singkat, Soeharto antara lain mengatakan, Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Pengumuman pengunduran diri Soeharto Kamis pagi itu sesungguhnya tidaklah terlalu mengejutkan, karena sehari sebelumnya sudah ramai dibicarakan bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Yang menjadi pertanyaan, apa yang mendorong Soeharto akhirnya memutuskan untuk mundur? Karena, beberapa hari sebelumnya, Soeharto masih yakin dapat mengatasi keadaan.

Kejutan ke arah mundurnya Soeharto diawali oleh keterangan pers Ketua DPR/MPR Harmoko usai Rapat Pimpinan DPR, Senin (18/5) lalu.

Tanggal 18 Mei 1998

Pukul 15.20 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, dengan suara tegas menyatakan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana. Harmoko saat itu didampingi seluruh Wakil Ketua DPR, yakni Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad.

Namun, kejutan yang disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR itu, tidak berlangsung lama. Karena malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto mengemukakan, ABRI menganggap pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri itu merupakan sikap dan pendapat individual, meskipun pernyataan itu disampaikan secara kolektif.

Walaupun sikap ABRI itu disampaikan setelah Wiranto memimpin rapat kilat dengan para Kepala Staf Angkatan dan Kapolri serta para panglima komando, tetapi diketahui bahwa pukul 17.00 WIB Panglima ABRI bertemu dengan Presiden Soeharto di kediaman Jalan Cendana. Dengan demikian, muncul dugaan bahwa apa yang dikemukakan Wiranto itu adalah pendapat Presiden Soeharto.

Pukul 21.30 WIB, empat Menko diterima Presiden Soeharto di Cendana untuk melaporkan perkembangan. Mereka juga berniat menggunakan kesem-patan itu untuk menyarankan agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan saja, bukan di-reshuffle. Tujuannya, agar mereka yang tidak terpilih lagi dalam kabinet reformasi tidak terlalu "malu". Namun, niat itu - mungkin ada yang membocorkan - tampaknya sudah diketahui oleh Presiden Soeharto. Ia langsung mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya." Akibatnya, usul agar kabinet dibubarkan tidak jadi disampaikan. Pembicaraan beralih pada soal-soal yang berkembang di masyarakat.

Page 2: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Tanggal 19 Mei 1998

Pukul 09.00-11.32 WIB, Presiden Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat, yakni Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, budayawan Emha Ainun Nadjib, Direktur Yayasan Paramadina Nucholish Madjid, Ketua Majelis Ulama Indonesia Ali Yafie, Prof Malik Fadjar (Muhammadiyah), Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra, KH Cholil Baidowi (Muslimin Indonesia), Sumarsono (Muhammadiyah), serta Achmad Bagdja dan Ma'aruf Amin dari NU.

Usai pertemuan, Presiden Soeharto mengemukakan, akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi. Presiden juga membentuk Komite Reformasi. Nurcholish sore hari mengungkapkan bahwa gagasan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi itu murni dari Soeharto, dan bukan usulan mereka.

Dalam pertemuan ini, sesungguhnya tanda-tanda bahwa Soeharto akan mengundurkan diri sudah tampak. Namun, ada dua orang yang tidak setuju bila Soeharto menyatakan mundur, karena dianggap tidak akan menyelesaikan masalah.

Pukul 16.30 WIB, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita bersama Menperindag Mohamad Hasan melaporkan kepada Presiden soal kerusakan jaringan distribusi ekonomi akibat aksi penjarahan dan pembakaran. Bersama mereka juga ikut Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng yang akan melaporkan soal rencana penjualan saham BUMN yang beberapa peminatnya menyatakan mundur.

Pada saat itu, Menko Ekuin juga menyampaikan reaksi negatif para senior ekonomi; Emil Salim, Soebroto, Arifin Siregar, Moh Sadli, dan Frans Seda, atas rencana Soeharto membentuk Komite Reformasi dan me-reshuffle kabinet. Mereka intinya menyebut, tindakan itu mengulur-ulur waktu.

Tanggal 20 Mei 1998

Pukul 14.30 WIB, 14 menteri bidang ekuin mengadakan pertemuan di Gedung Bappenas. Dua menteri lain, yakni Mohamad Hasan dan Menkeu Fuad Bawazier tidak hadir. Mereka sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi, ataupun Kabinet Reformasi hasil reshuffle. Semula ada keinginan untuk menyampaikan hasil pertemuan itu secara langsung kepada Presiden Soeharto, tetapi akhirnya diputuskan menyampaikannya lewat sepucuk surat.

Pukul 20.00 WIB, surat itu kemudian disampaikan kepada Kolonel Sumardjono. Surat itu kemudian disampaikan kepada Presiden Soeharto. Soeharto langsung masuk ke kamar dan membaca surat itu. Soeharto saat itu benar-benar terpukul. Ia merasa ditinggalkan. Apalagi, di antara 14 menteri bidang Ekuin yang menandatangani surat ketidaksediaan itu, ada orang-orang yang dianggap telah "diselamatkan" Soeharto.

Ke-14 menteri yang menandatangani - sebut saja Deklarasi Bappenas - itu, secara berurutan adalah Ir Akbar Tandjung; Ir Drs AM Hendropriyono SH, SE, MBA; Ir Ginandjar Kartasasmita; Ir Giri Suseno Hadihardjono MSME; Dr Haryanto Dhanutirto; Prof Dr Ir Justika S. Baharsjah

Page 3: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

M.Sc; Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto M.Sc; Ir Rachmadi Bambang Sumadhijo; Prof Dr Ir Rahardi Ramelan M.Sc; Subiakto Tjakrawerdaya SE; Sanyoto Sastrowardoyo M.Sc; Ir Sumahadi MBA; Drs Theo L. Sambuaga; dan Tanri Abeng MBA.

Alinea pertama surat itu, secara implisit meminta agar Soeharto mundur dari jabatannya. Perasaan ditinggalkan, terpukul, telah membuat Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memutuskan untuk mundur.

Soeharto benar-benar tidak menduga akan menerima surat seperti itu. Persoalannya, sehari sebelum surat itu tiba, ia masih berbicara dengan Ginandjar untuk menyusun Kabinet Reformasi. Ginandjar masih memberikan usulan tentang menteri-menteri yang perlu diganti, sekaligus nama penggantinya.

Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang. "Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu. Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.

Probosutedjo menggambarkan suasana di kediaman Soeharto malam itu cukup tegang. Perkembangan detik per detik selalu diikuti dan segera disampaikan ke Soeharto. Dikatakan, "Saya berusaha memberikan informasi terkini, tentang tuntutan dan permintaan yang terjadi di DPR, informasi bahwa akan ada orang-orang yang bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri," ujar Probosutedjo, seraya menambahkan bahwa pada saat itu semua anak-anak Soeharto berkumpul di Jalan Cendana. Soeharto kemudian bertemu dengan tiga mantan Wakil Presiden; Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno.

Pukul 23.00 WIB, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Soeharto sudah berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Wapres BJ Habibie.

Wiranto sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto. Wiranto perlu berbicara dengan para Kepala Staf Angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam menanggapi keputusan Soeharto untuk mundur. Setelah mencapai kesepakatan dengan Wiranto, Soeharto kemudian memanggil Habibie.

Pukul 23.20 WIB, Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan Amien Rais. Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan bahwa Soeharto bersedia mundur dari jabatannya. Yusril juga menginformasikan bahwa pengumumannya akan dilakukan Soeharto 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB.

Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned". Kabar itu lalu disampaikan juga kepada Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, H Amidhan, dan yang lainnya. Lalu mereka segera mengadakan pertemuan di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat, yang merupakan rumah dinas Dirjen Pembinaan Lembaga Islam, Departemen

Page 4: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Agama, Malik Fadjar. Di sana Cak Nur - panggilan akrab Nurcholish Madjid - menyusun ketentuan-ketentuan yang harus disampaikan kepada pemerintahan baru.

Pukul 01.30 WIB, Amien Rais dkk mengadakan jumpa pers. Dalam jumpa pers itu Amien mengatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru". Keduanya menyambut pemerintahan transisi yang akan menyelenggarakan pemilihan umum hingga Sidang Umum MPR untuk memilih pemimpin nasional yang baru dalam jangka waktu enam bulan.

Tanggal 21 Mei 1988

Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kekecewaannya tergambar jelas dalam pidato pengunduran dirinya, ... Saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan ke-7, namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.

Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara-cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI.

Seusai Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya, dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden, Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto dalam pidatonya menyatakan, ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto dan keluarga. (Tim Kompas)

Setelah berkuasa dan mengabdi selama 32 tahun, Pak Harto meletakkan jabatan presiden dan menyerahkannya kepada BJ Habibie, Kamis 21 Mei 1998. Dia meletakkan jabatan secara sukarela, padahal dia masih didukung Jajaran TNI dan berbagai komponen bangsa. Keputusan pengunduran dirinya mengejutkan, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa, melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya menjilat, ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik.

Setelah Pak Harto meletakkan jabatan, bukan hanya yang berseberangan dengannya yang memaki dan menghujatnya, tetapi juga beberapa mantan pembantunya. Dia dihujat dan dipojokkan seolah-olah tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.

Apalagi kala itu, dia telah hidup sendirian. Sebelumnya, dia telah kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto, isteri yang dicintainya, meninggal dunia (Minggu 28 April 1996). Pak

Page 5: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan dukungan dan keberadaan isterinya menjadi penopang kekuatan. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.

Artikel dibawah ini dikutip dari Laporan Utama Majalah Tempo Edisi. 33/XXXV/09 - 15 Oktober 2006.

Satu Babak Sebelum LengserKontroversi seputar buku mantan presiden Habibie menyingkap fakta baru sejarah Mei 1998. Pihak militer disebut-sebut berperan mempercepat pergantian rezim. Dua mayor jenderal dan sejumlah kolonel diduga ”membiarkan” mahasiswa merajai Senayan. Tempo mencoba memotret momen-momen penting 24 jam menjelang lengsernya Soeharto.

Soeharto melangkah ke kamar kerjanya. Lalu jenderal besar itu kembali dengan dua surat di tangan. Isinya, instruksi pembentukan Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Satu surat dia sodorkan kepada Jenderal Wiranto, Panglima ABRI merangkap Menteri Pertahanan dan Keamanan. Satunya lagi dia ulurkan ke Jenderal Subagyo Hadisiswoyo, Kepala Staf Angkatan Darat.

Soeharto mewanti-wanti Wiranto saat surat berpindah tangan: ”Mbok menowo mengko ono gunane—siapa tahu kelak ada gunanya,” sumber Tempo yang hadir di ruangan menirukan ucapan Soeharto dalam bahasa Jawa. Melalui surat itu, Wiranto dilimpahi wewenang sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional. Kedudukan ini memberi dia kekuasaan hampir tak terbatas untuk menjaga keterbitan negara.

Penanggalan hari itu 20 Mei 1998, menjelang tengah malam. Senyap meliputi seantero Jalan Cendana 10, Jakarta Pusat kediaman pribadi keluarga Presiden. Soeharto duduk. Wajahnya pias. Bahunya luruh. Dia berkata dengan pelan: ”Saya sudah bicara dengan anak-anak. Saya akan mundur besok agar tidak ada korban lebih besar,” sumber Tempo kembali menirukan ujaran Soeharto.

Wiranto mengeluarkan secarik kertas dari saku. Rupanya ia sudah menyiapkan catatan. Dia berkata kepada Presiden: ”ABRI akan melindungi semua mantan presiden beserta keluarganya.” Soeharto mengangguk. Di sudut ruangan Siti Hediati ”Titiek” Harijadi meneteskan air mata. Putri Soeharto itu menangis dengan suara tertahan. Komandan Pasukan Pengamanan Presiden Mayor Jenderal Endriartono Sutarto hadir pula di ruangan itu.

Pertemuan selesai. Wiranto dan Subagyo meninggalkan Jalan Cendana. Tengah malam sudah lewat.

Penanggalan berganti ke 21 Mei 1998.

l l l

Page 6: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Sembilan jam kemudian Bacharuddin Jusuf Habibie disumpah di Istana Merdeka sebagai Presiden Indonesia ketiga. Tongkat estafet berpindah tangan. Tapi Soeharto sejatinya sudah menyerah pada malam sebelumnya. Semua pilar kekuasaan yang dia bangun sejak 12 Maret 1967 runtuh. Golongan Karya, kekuatan politik utama yang selama bertahun-tahun menopangnya, telah berpaling. Empat belas menteri meninggalkan dia.

Tiga hari sebelumnya di Senayan Ketua MPR/DPR Harmoko bersama pimpinan Dewan lain meminta Soeharto turun takhta. Padahal, selama belasan tahun Harmoko membuktikan diri sebagai pembantu yang amat takzim. Bekas Menteri Penerangan itu adalah salah satu confidant, orang kepercayaan Soeharto selama separuh lebih masa kepresidenannya.

Dari Jalan Cendana, Soeharto menyaksikan semua kartu as lepas dari tangannya. Salah satu yang utama, faktor ekonomi. Indonesia pernah dijuluki ”Macan Asia” karena keperkasaan negeri ini di bidang ekonomi. Sejarah pertumbuhan pada awal era Orde Baru pernah mencatat sejumlah prestasi. Ekonom Emil Salim pernah menulis bahwa indeks biaya hidup di Indonesia antara tahun 1960 dan 1966 naik 438 kali lipat.

Pemerintah saat itu menggulirkan antara lain kebijakan deregulasi dan debirokratisasi untuk menyelamatkan ekonomi. Sebut contoh, Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967. Pemerintah membuka diri untuk penanaman modal asing secara bertahap. Dengan cara itu, inflasi bisa dijinakkan perlahan-lahan. Dari sekitar angka 650 persen (1966) hingga terkendali di posisi 13 persen (1969). ”Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,” tulis Emil.

Hampir tiga dekade kemudian, Soeharto turun panggung dengan utang Republik tak terkira. Utang baru US$ 43 miliar (kini setara Rp 387 triliun) dari Dana Moneter Internasional, IMF, tak mampu menyangga nilai rupiah. Hari itu, 21 Mei 1998, pasar uang menutup transaksi dengan Rp 11.236 per dolar AS—terjun bebas dari Rp 2.500 per dolar AS. Pada awal 1998, rupiah sampai terjengkang ke jurang: Rp 17.000 per dolar AS.

Seorang pakar sistem dewan mata uang (currency board system/CBS) asal Amerika, Steve Hanke, didatangkan ke Indonesia menjelang kejatuhan Soeharto. Berkali-kali dia mengingatkan Soeharto agar tak mempercayai IMF, karena lembaga ini khawatir CBS bakal sukses diterapkan di Indonesia. ”Washington punya kepentingan agar krisis berlangsung terus sehingga Anda jatuh,” kata Hanke kepada Soeharto seperti diulanginya kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Soeharto percaya. Dan Hanke diangkat sebagai penasihat khusus. Ia bahkan sempat menyebut CBS dalam pidatonya di depan Sidang Umum MPR 1 Maret 1998. Tapi utang terus melemahkan posisi Soeharto. Sembari para sekutunya lepas satu-satu.

Seakan belum cukup semua bala, Soeharto ditinggalkan pula oleh pilar yang dibinanya selama puluhan tahun: ABRI. Seorang jenderal purnawirawan yang cukup berperan pada era 1998 membuka ceritera ini kepada Tempo pekan lalu. ”ABRI,” kata jenderal itu, ”satu-satunya kekuatan yang disangka Pak Harto masih mendukungnya, juga meninggalkan dia.” Itulah pukulan telak terakhir yang menghantam jenderal tua yang sudah goyah itu.

Page 7: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Maka, pada Kamis malam 20 Mei—sebelum dia memanggil Wiranto dan Subagyo—Soeharto mengumpulkan putra-putri dan kerabatnya. Seorang tokoh dari lingkar dalam Cendana menuturkan kembali kenangan delapan tahun silam itu kepada Tempo, pekan lalu: ”Titiek dan Mamiek (nama kecil Siti Hutami Adiningsih) menangis selama pertemuan.”

Dia juga menirukan kata-kata putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, yang bertanya kenapa ayahnya tidak mundur sesuai dengan jadwal. Siti ”Tutut” Hardijanti Rukmana, anak sulung keluarga Cendana, membuka suara: ”Sama saja, besok atau lusa Bapak harus mundur!”

Jadwal yang dimaksudkan Bambang adalah skenario awal mundurnya Soeharto yang telah disampaikan mantan presiden itu kepada keluarganya. Yakni, mengumumkan pembentukan Komite Reformasi pada 21 Mei, merombak kabinet pada 22 Mei. Dan, lengser pada 23 Mei.

Soeharto ternyata mundur lebih cepat.

Ahli ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid, yang dulu dekat dengan kalangan militer, menyatakan bahwa ABRI memang sudah sepakat agar Soeharto mundur. Ia menuturkan, pertemuan di Jalan Merdeka Barat pada 20 Mei malam yang dihadiri Jenderal Wiranto, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono kini Presiden RI. Juga, Mayor Jenderal Agus Widjojo dan Letnan Jenderal Hari Sabarno.

Ryaas hadir bersama pakar hukum tata negara Harun Alrasid, Rektor Universitas Indonesia Asman Boedisantoso, dan pengamat militer Salim Said. Ryaas dan kawan-kawannya menanyakan sikap ABRI jika Habibie menjadi presiden. Yudhoyono saat itu menjawab: ”Kami bisa menerima.” Wiranto, menurut Ryaas, mengiyakan jawaban Kepala Staf Sosial Politik ABRI itu.

Menurut Ryaas, dia dan rekan-rekannya bertanya lagi kapan kira-kira menurut ABRI Soeharto akan turun. Yudhoyono kembali menjawab: ”Enam bulan sampai setahun lagi.” Jawaban ini, menurut Ryaas, cocok dengan pembawaan Yudhoyono yang dikenal sebagai sosok moderat. Hasil pertemuan ini yang kemudian disampaikan kepada Soeharto.

Nah, kondisi tentara sendiri saat itu terbelah. Jenderal Subagyo menyebut adanya faksi Wiranto dan faksi Letnan Jenderal Prabowo Subianto, Panglima Kostrad. ”Saya di tengah-tengah,” tulisnya dalam buku KSAD dari Piyungan.

Mayor Jenderal Kivlan Zen, mantan Kepala Staf Kostrad, berada di kelompok Prabowo bersama sejumlah jenderal lain. Ketika ribuan mahasiswa menduduki gedung parlemen, ia mengaku menggalang sejumlah organisasi massa pro-Soeharto merebut kembali gedung parlemen dari tangan mahasiswa. Tapi massa ini urung beraksi karena Soeharto mundur lebih cepat.

Kivlan mengaku mati-matian mencegah demonstrasi yang digalang Amien Rais, Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, pada 20 Mei di kawasan Monas. Ia memerintahkan pasukannya membawa peluru tajam untuk menghadang massa. ”Saya sempat meminta Prabowo menemui Amien agar membatalkan niatnya. Jika tidak, dia bisa ditembak anak buah saya atau saya tangkap,” ujar Kivlan kepada Tempo. Dia juga mengatur agar tank dan panser ditempatkan di

Page 8: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

pusat kota. ”Lindas mereka yang memaksa masuk Monas dengan tank!,” ujar Kivlan kepada pasukannya saat itu.

Aksi sejuta orang di Monas kemudian batal. Namun Soeharto kian terdesak ke tubir jurang. Sejumlah orang yang dihubungi untuk menjadi anggota Komite Reformasi menolak. Ada 14 menteri ekonomi pimpinan Ginandjar Kartasasmita tidak bersedia bergabung dalam kabinet baru Soeharto.

Selepas magrib 20 Mei, Prabowo yang masih mengenakan pakaian tempur loreng menemui Habibie di Patra Kuningan. ”Pak, kemungkian besar Pak Tua akan turun,” tulisnya dalam Buku Putih Prabowo, 1999. Habibie menyatakan siap menggantikan Soeharto.

Dari Kuningan, ia menuju Cendana. Prabowo mengira bakal mendapat pujian karena sudah menggagalkan demonstrasi. Nyatanya, yang dia dapatkan adalah ”kejutan”. Di ruang keluarga, Soeharto sedang duduk bersama Wiranto dan putra-putri Cendana. Jenderal yang dijuluki The Rising Star itu dianggap pecundang di depan keluarga istrinya.

Soeharto kemudian menunjuk bekas ajudannya itu menjadi Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional di detik-detik terakhir kekuasaannya. Dengan kuasa itu, Wiranto bisa memerintahkan semua menteri dan pemimpin lembaga pemerintahan dari pusat hingga daerah untuk membantu tugasnya.

Tapi Wiranto tidak memakainya.

Pada 21 Mei pukul 09.00 WIB Soeharto menyatakan mundur. Habibie mengucapkan sumpah di depan podium. Sesaat setelah itu, Wiranto mengambil alih mikrofon. Lalu berkata: ”ABRI tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden, termasuk mantan presiden Soeharto dan keluarga.”

”Pertempuran” satu babak di lingkar elite menjelang lengsernya Jenderal Soeharto usai sudah. Dan Wiranto keluar sebagai pemenang.

Setidaknya, untuk saat itu.

Budi Setyarso, Wahyu Dhyatmika, HYK

Perintah Siapa

Komando pergerakan pasukan ABRI di Jakarta sejak 14 Mei 1998 ada di tangan Panglima Komando Operasi Jaya Letnan Jenderal TNI Sjafrie Sjamsoeddin, yang juga Panglima Kodam Jaya. Inilah pernyataan sejumlah petinggi di lingkaran elite militer berkaitan dengan tugas mereka di masa genting itu.

Wiranto (Jenderal) Panglima ABRI

Page 9: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Tugas: Penanggung jawab tertinggi pertahanan dan keamanan RI. Semua pergerakan pasukan saat itu harus seizin Panglima.

Pernyataan: ”Ada laporan yang valid tentang pengerahan kekuatan pasukan Kostrad di Jakarta yang tidak dilaporkan ke Mabes ABRI.… Fakta ini merupakan sesuatu yang boleh dianggap sebagai insubordinasi.”

Fachrul Razi (Letnan Jenderal) Kepala Staf Umum ABRI

Tugas: Penanggung jawab operasional pasukan ABRI.

Soebagyo H.S. (Jenderal) Kepala Staf Angkatan Darat

Tugas:Membina pasukan TNI Angkatan Darat.

Pernyataan: ”Penempatan semua pasukan sudah ditetapkan, yaitu berada di bawah kendali Panglima Komando Operasi.”

Prabowo Subianto (Letnan Jenderal) Panglima Kostrad

Tugas: Mempersiapkan pasukan yang diperbantukan atau di bawah kendali operasi kepada Panglima Kodam.

Pernyataan: ”Tidak ada pergerakan pasukan di luar komando. Semua di bawah kendali Panglima Kodam. Seandainya ada, untuk apa? Apa mau kudeta?”

Sjafrie Sjamsoeddin (Mayjen) Panglima Kodam Jaya Sekaligus Panglima Komando Operasi Jaya

Tugas: Memulihkan keamanan Ibu Kota dan mengendalikan semua pasukan di Jakarta.

Pernyataan: ”Saya tahu betul penempatan dan kedudukan semua pasukan. Saya tidak khawatir. Kalau ada pasukan tidak terkendali, dari mana datangnya?

Kivlan Zein (Mayjen) Kepala Staf Kostrad

Tugas: Menangani urusan internal dan menjadi orang kedua dalam alur komando Kostrad.

Pernyataan: ”Semua pasukan Kostrad didatangkan ke Jakarta atas permintaan Panglima Komando Operasi. Setelah diserahkan, saya tidak tahu lagi urusannya.”

Mengepung Jakarta

Page 10: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

Kerusuhan di Ibu Kota pada 13-14 Mei 1998 masih menyimpan sejumlah tanda tanya. Ada yang menyebut polisi sengaja diperintahkan mundur agar api bebas melalap Jakarta. Ada yang curiga beberapa titik kerusuhan sengaja disulut. Di manakah tentara ketika itu?

12 MeiKostrad hanya memiliki tiga kompi (1 kompi = 100 orang) pasukan di Jakarta.

13 MeiEmpat batalion (1 batalion = 700–1.000 orang) pasukan Kostrad dari Yon Arhanudri 1/Kostrad, Batalion Infanteri (Yonif) 305 dan Yonif 328 yang bermarkas di Cilodong, Jawa Barat, bergerak ke Jakarta.

14 MeiLima batalion dikirim dari Jawa Barat (Yon 303 dari Garut, Yon 321 dari Tasikmalaya, dan Yon 323 dari Ciamis)

14 MeiLima batalion pasukan Kostrad dikirim dari Jawa Tengah (Solo, Salatiga, Purwokerto)

15 MeiLima batalion pasukan Kostrad tiba di Jakarta. Mereka didatangkan dari Jawa Timur dengan pesawat terbang (pasukan Brigade Infanteri Lintas Udara ke-18 dan Yonif 502 dari Malang, Yonif 501 dari Madiun, Yonif 503 dari Mojokerto)

15 MeiBantuan pasukan didatangkan dari Yonif 721 di Makassar dengan pesawat carteran.

16 Mei Kostrad memiliki 20 batalion pasukan di Jakarta.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERNYATAAN BERHENTI SEBAGAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut, dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi tersebut perlu dilaksanakan secara tertib, damai dan konstitusional demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah menyatakan pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet Pembangunan VII.

Namun demikian kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi tersebut tidak dapat terwujud, karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana pembentukan Komite tersebut. Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara yang sebaik-baiknya tadi,

Page 11: Cerita Di Balik Mundurnya Soeharto

saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkan Komite Reformasi maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi.

Dengan memperhatikan keadaan diatas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pimpinan Fraksi-Fraksi yang ada didalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan Pernyataan ini, pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998.

Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia, saya sampaikan dihadapan Saudara-saudara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang juga adalah Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Jakarta, 21 Mei 1998.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO

Sesuai dengan pasal 8 UUD-45 maka Wakil Presiden Republik Indonesia yang Prof Dr. B J. Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998–2003.

Atas bantuan dan dukungan Rakyat selama saya memimpin Negara dan Bangsa Indonesia ini, saya ucapan trima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangannya. Semoga Bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 45 nya.

Mulai ini hari Kabinet Pembangunan ke VII demisioner dan pada para Mentri saya ucapkan trima kasih.

21/5 98