Cbd Bell Palsy
-
Upload
anggamadesanthika -
Category
Documents
-
view
233 -
download
2
description
Transcript of Cbd Bell Palsy
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 60 Tahun
Suku Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Bonangrejo,3/2 Bonang Demak
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Masuk : 26.05.2015
Tanggal Periksa : 26.05.2015
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mata Sebelah kanan tidak bisa menutupWajah
perot ke kekiri.(pengecapan 2/3, ada ganguan
pengecapan / tidak),
RPS
Lokasi : Wajah sebelah kanan.
Onset : Keluhan timbul mendadak dan dirasakan sejak 1
minggu yang lalu SMRS.
Kualitas : Wajah dirasakan perot kekiri sehingga pasien
merasa tidak nyaman dan mata dirasakan pedas karena mata sulit
untuk menutup.
Kuantitas : Keluhan ini pertama kali timbul mengakibatkan
pasien tidak bisa bekerja. Pasien masih bisa melakukan aktivitas
sehari- hari secara mandiri.
Kronologis : Keluhan ini timbul secara mendadak sekitar 1
minggu yang lalu tanpa diketahui sebab yang jelas. Sudah di
periksakan di dokter umum namun keluhan belum berkurang.
Kemudian pasien berobat ke poli saraf RSUD Sunan Kalijaga
demak
Faktor modifikasi : -
Keluhan penyerta : pasien mengeluh matanya pedas.
RPD : Riwayat sakit sebelumnya dengan keluhan yang sama seperti yang
dialami pasien saat ini disangkal Riwayat stroke disangkal.
Riwayat penyakit mata disangkal. Riwayat hipertensi diakui dan
riwayat diabetes mellitus disangkal. Riwayat trauma disangkal.
RPK : Riwayat keluarga yang mempunyai sakit dengan keluhan yang
sama seperti pasien disangkal.
RSS : Pasien merupakan seorang pekerja swasta, dirumah tinggal
bersama suami dan anaknya.
3. PEMERIKSAAN FISIK
3.1. PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan darah : 150/90 mmHG
Nadi : 84x
Frekuensi nafas : 20x
Suhu : 36,5
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Sadar penuh
3.2. KEPALA & LEHER
Bentuk & posisi : Mesocephal
Conjungtiva anemis : -/-
Sclera ikterik : -/-
Rongga mulut & gigi : dbn
Kelenjar getah bening : dbn
Telinga : Serumen -/-
3.3. RONGGA DADA & ABDOMEN
Dada Abdomen
o Inspeksi : Simetris Simetris
o Palpasi : Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
o Perkusi : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
o Auskultasi : Ronki (-) Peristaltik(+) N
4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Kesadaran : GCS E4 V5 M6
NERVI KRANIALIS :
NERVUS I
Subyektif : dbn
Dengan Bahan : Tidak dilakukan pemeriksaan
NERVUS II Kanan Kiri
Tajam penglihatan : dbn
Lapang penglihatan : dbn
Melihat warna : dbn
NERVUS III, IV, VI Kanan Kiri
Kelopak mata : dbn dbn
Gerak bola mata : dbn dbn
Strabismus : - -
Nistagmus : - -
Eksoftalmus : - -
Bentuk pupil : tidak dilakukan
Ukuran pupil : tidak dilakukan
Refleks cahaya : tidak dilakukan
Diplopia : - -
NERVUS V
Membuka mulut : dbn
Mengunyah : dbn
Menggigit : dbn
Sensibilitas wajah
- Taktil : tidak dilakukan
- Nyeri : tidak dilakukan
- Suhu : tidak dilakukan
NERVUS VII Kanan Kiri
Motorik
Mimik : asimetris simetris
Mengerutkan dahi : - +
Menutup mata : - +
Tersenyum : - +
Bersiul : - +
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak dilakukan
Produksi kelenjar Ludah : tidak dilakukan
NERVUS VIII
Kanan Kiri
Gesekan : dbn dbn
Detik arloji : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes webber : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes rinne : Tidak dilakukan pemeriksaan
NERVUS IX
Pengecapan lidah : tidak dilakukan
Sensibilitas faring : tidak dilakukan
NERVUS X
Arcus faring : simetris
Berbicara : dbn
Menelan : dbn
Nadi : regular
NERVUS XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : tidak dilakukan
Memalingkan kepala : dbn
NERVUS XII
Lidah
Tremor : (-)
Atropi : (-)
Fasikulasi : (-)
Artikulasi : dbn
Ujung lidah sewaktu Istirahat : Medial
Ujung lidah sewaktu Dijulurkan : medial
5. SISTEM MOTORIK
Gerakan : Bebas
Kekuatan otot : 5/5 5/5
Tonus otot : N/N N/N
REFLEKS
REFLEKS FISIOLOGIS
Kanan Kiri
Biceps : N N
Triceps : N N
Patella : N N
Akhiles : N N
REFLEKS PATOLOGIS
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-trommer : (-) (-)
6. RESUME PEMERIKSAAN
Telah diperiksa pasien perempuan umur 60 tahun dengan keluhan mata
bagian kanan sulit ditutup dan wajah perot kekiri, Keluhan timbul 1 minggu
SMRS, keluhan timbul mendadak. Keluhan pasien diserati mata terasa pedas.
Riwayat sakit sebelumnya dengan keluhan yang sama seperti yang dialami
pasien saat ini disangkal. Riwayat hipertensi diakui. Riwayat stroke disangkal.
dan riwayat diabetes mellitus disangkal. Riwayat sering menggunakan kipas
angin diakui.
Riwayat keluarga yang mempunyai sakit dengan keluhan yang sama
seperti pasien disangkal.
STATUS PRESENS
Sensorium Compos Mentis
Tekanan Darah 150/90 mmHg
Heart Rate 84 x/menit
Respiratory Rate 20 x/menit
Temperatur 36, 5 C
STATUS NEUROLOGIS
Sensorium GCS E4 V5 M6
NERVI KRANIALIS
Paresis N VII dextra perifer
REFLEKS FISIOLOGIS
Biceps / TricepsKanan Kiri
N/N N/N
Patella N N
Achiles N N
REFLEKS PATOLOGIS
BabinskyKanan Kiri
- -
Hoffman / TromnerKanan Kiri
-/- -/-
KEKUATAN MOTORIK
5-5 5-5
5-5 5-5
Status neurologi N VII (Facialis)
- kerutan kulit dahu : kanan : menghilang, Kiri : normal
- kedipan mata : kanan : tidak adekuat, Kiri : adekuat
- Lakrimasi : kanan ; nerocos, Kiri : normal
- Sudut Mulut : tidak simetris, Kanan tidak dapat diangkat,
Kiri : dapat diangkat
- Pengecapan 2/3 lidah : tidak dilakukan pemeriksaan spesifik
- reflek visual palpebra : kanan : mata terpejam (-), kiri : mata
terpejam (+)
Badan : tidak ada kelainan
Anggota gerak : tidak ada kelainan
Fungsi otonom : tidak ada kelainan
Fungsi vegetatif : tidak ada kelainan
Fungsi koordinasi : tidak ada kelaian
Keseimbangan : tidak ada kelainan
Skala ugo fisch
Posisi Nilai Skor
Istirahat 20 20x70% = 14
Mengerutkan dahi 10 10 X30% = 3
Menutup mata (0,5) 30 30X30% = 9
Tersenyum 30 30X30% = 9
Bersiul 10 10X30% = 3
Total L 38
7. DIAGNOSIS
Diagnosa Klinis : paresis N VII dextra perifer
Diagnosa Topis : nervi VII perifer dextra setinggi foramen
stilomastoideus(karena
Diagnosa Etiologi : Bels palsy
Diferensial Diagnosis :
- Syndrom Ramsay Hunt
- Tumor otak, mastoiditis
- Trauma
8. RENCANA AWAL
Pemeriksaan penunjang : Darah rutin
kimia darah, ureum creatinin, elktrolit
EMG (motorik dan sensorik)
Rencana Terapi :
a. Medikamentosa:
i. Kortikosteroid: metylprednislon 2x4 mg
ii. Neurotropik: B1 B6 B 12 3x1
b. Fisioterapi:
i. Pemanasan
1. Pemanasan superfisial dengan infra red.
2. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy
atau Microwave Diathermy
ii. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah
Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase
akut. Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik,
mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat sudut
mulut, tersenyum, bersiul/meniup
Edukasi :
Memberikan dorongan mental agar penderita tidak cemas dengan
penyakitnya
Memberikan dorongan mental agar penderita rajin menjalankan
fisioterapi dan melakukannya dirumah agar segera sembuh.
9. PROGNOSA
Qua ad Vitam : dubia ad bonam
Qua ad Sanam : dubia ad bonam
Qua ad Fungsionam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan
n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan
banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan
cuaca dingin
ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga
hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas,
tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam
sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin
seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada
Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut
bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara
lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di
lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetic.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b.trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
Sindroma paralisis n. fasialis familial
GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan
gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas
bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal,
linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal
yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
· Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos).
· Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata
berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
· Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi
lesi :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang
terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus
menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik
seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus
menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis(suara terdengar terlalu keras).
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion
genikulatum)gangguan lakrimasi
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan
di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran
timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat
di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b),
(c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA
A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di
ruangan terbuka atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran
pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan
CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke
tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada
pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement)
pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
DIAGNOSA BANDING
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan
ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
· Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga,
saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau
lidah
· Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
· Kesulitan menutup satu mata
· Sakit telinga
· Pendengaran berkurang
· Dering di telinga (tinnitus)
· Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
· Perubahan dalam persepsi rasa
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang
jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan
kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada
Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan
rasa kebas, pusing dan mual.
PENATALAKSANAAN
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau
1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari
kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset
penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya
kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus
fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan
prednison atau dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang
tidak dapat mengkonsumsi prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika
diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan
lakrimasi yang hilang.
· Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air
mata buatan tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu
kerugiannya adalah pandangan kabur.
· Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan
pengeringan dengan menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.
Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit
pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
· tidak terdapat penyembuhan spontan
· tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa
bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari
serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar
lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu
timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan
timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau
berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang
mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya
mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.
Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini
terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau
1-2 tahun kemudian.
PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala
sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi
dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya
cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor
resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh
dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang
berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko
tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang,
hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM.
Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses tanggal
29 januari 2014)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses
tanggal 29 januari 2014).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s
-palsy-case-report/” (diakses tanggal 29 januari 2014)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 29 Januari 2014)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses 29 Januari 2014)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta :
Dian Rakyat, 1985 : 311-17