Case Fraktur TIbia Ulnaris
-
Upload
richesio-sapata-tomokumoro -
Category
Documents
-
view
69 -
download
2
description
Transcript of Case Fraktur TIbia Ulnaris
Overview
Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan
sendi. Penyebab terseringnya adalah trauma.
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu-lintas di Indonesia baik dari segi jumlah
pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan
jalan dan kecepatan kendaraan, maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan lalu-lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada
terhadap kemungkinan politrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain seperti
trauma kapitis, trauma toraks, trauma abdomen, trauma ginjal, dan lain-lain. Fraktur yang
diakibatkan juga sering fraktur terbuka derajat tiga.
Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, kecelakaan
domestik dan kecelakaan atau cidera olahraga. Kita harus dapat membayangkan rekonstruksi
terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur apa yang dapat terjadi, misalnya penderita
adalah pengemudi mobil yang menabrak pohon. Kemungkinan yang bisa terjadi adalah
trauma kapitis, trauma toraks, oleh benturan dada dengan kemudi mobil, fraktur servikal,
fraktur torakolumbal, fraktur patela, fraktur femur, fraktur kolum femur, dislokasi panggul
atau fraktur asetabulum.
Kebanyakan fraktur lengan bawah dapat terjadi baik akibat jatuh dengan posisi lengan
bawah terbuka maupun pukulan langsung saat kecelakaan kendaraan bermotor atau
perkelahian.1
Manajemen fraktur terbagi atas 4 R, yaitu :1
1. Recognize
Dari anamnesis untuk mengetahui Mechanism of Injury (MOI), pemeriksaan fisik untuk
mencari komplikasi umum, kemudian pemeriksaan status lokalis dengan cara Look, Feel,
Move, dan pemeriksaan penunjang.
2. Reduction
Closed reduction : biasa dilakukan pada fraktur yang simpel. Biasanya dapat terjadi
malunion.
Continous traction : biasa dilakukan pada fraktur shaft femur pada anak.
Open reduction : dilakukan bila semua metode gagal atau ada indikasi khusus.
3. Retention
Dapat menggunakan beberapa metode, yaitu cast splintage (gips), continous traction,
functional bracing, fiksasi internal, dan fiksasi eksternal.1
4. Rehabilitation
Yaitu dengan fisioterapi dan latihan.
Komplikasi fraktur terbagi atas 2, yaitu komplikasi dini dan komplikasi lanjut.1
Komplikasi dini :
a. Lokal: -. Vaskuler : compartment syndrome (Volkmann's ischaemia), dan trauma vaskuler
-. Neurologis : lesi medula spinalis atau saraf perifer
b. Sistemik : emboli lemak
Komplikasi lanjut :
a. Lokal : -. Kekakuan sendi/kontraktur
-. Disuse atrofi otot-otot
-. Malunion : fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi, perpendekan atau rotasi)
-. Nonunion/ infected nonunion : fraktur yang tidak menyambung dalam 20 minggu
-. Gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis)
-. Osteoporosis post trauma
LAPORAN KA SUS
2
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Hariyanto
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Kalibaru Barat VI,
Tanggal MRS : 5 Juni 2015
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2015
B. PRIMARY SURVEY
1. Jalan Napas (Airway) : Sumbatan jalan napas (-), secret pada mulut (-)
2. Pernapasan (Breathing) : Napas spontan, respirasi 22 x/menit
3. Sirkulasi (Circulation) : Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi 92 kali/menit
4. Deformitas (Deformity) : Trauma pada regio antebrachii sinistra 1/3 proximal.
Terdapat hematom pada lokasi trauma.
Angulasi pada regio antebrachii sinistra 1/3 proximal.
5. Keadaan Umum : Baik
6. Kesadaan : Compos Mentis
7. GCS : E4V5M6
C. SECONDARY SURVEY
Keluhan Utama :
Nyeri pada tangan kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUD Koja dalam keadaan sadar diantar oleh pekerja
bangunan di sekitar lokasi pasien terjatuh. Pasien mengeluhkan nyeri lengan bawah
kirinya dan bengkak.
Pasien mengaku bahwa mengalami kecelakaan 1 jam SMRS. Pasien mengaku
mengendarai sepeda motor sendirian. Pasien mengendarai sepeda motor dengan
pelan. Namun di perjalanan pasien terjatuh dari sepeda motor karena ditabrak dari
belakang, di sebelah kiri pasien ada truk melintas sedangkan di sebelah kanan ada
kontainer melintas. Pasien terjatuh ke arah kiri, sepeda motor menimpa pasien. Saat
pasien terjatuh ada truk yang melajur dari arah belakang pasien, namun pasien tidak
3
dapat menghindar, kemudian motor dan tangan pasien terlindas oleh ban belakang
dari truk tersebut. Setelah itu paien merasakan kesakitan. Oleh pekerja bangunan di
sekitar tempat kejadian, pasien dibawa ke RSUD Koja.
Tidak ada riwayat pingsan. Tidak ada riwayat mual muntah. Pasien ingat
kejadian. Tidak ada nyeri kepala. Terdapat hematom pada lengan bawah kiri,
berwarna kemerahaan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat trauma sebelumnya disangkal
- Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
Trauma (-), Operasi (-), Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-), Alergi (-), Asma (-)
Pemeriksaan Fisik Umum :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : TD : 120/70 mmHg
HR : 75x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37oC
Kepala – Leher : Bentuk dan ukuran normal, hematome (-)
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Hematome pada leher (-), gerakan leher normal
Nyeri saat leher digerakkan (-)
Thorax – Cardiovasculer :
Inspeksi : thorax tampak simetris, hematome (-), gerakan napas simetris,
reguler
Palpasi : gerakan napas simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi :
Cor : batas jantung : Batas atas pada ICS II linea parasternal sinistra
4
Batas bawah kiri pada ICS V linea midclavicula
sinistra
Batas kanan bawah pada ICS IV linea
parasternal kanan
Pulmo : terdengar sonor pada semua lapang paru
Auskultasi :
Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen – Pelvic – Inguinal :
Inspeksi : abdomen datar, hematome (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : thympani pada keempat quadran abdomen
Uro – Genital :
Hematome pada regio CVA (-), nyeri tekan suprapubik (-), hematuria (-),
genital tidak ada kelainan.
Anal – Perianal : tidak ada kelainan
Extremitas atas – Axilla :
Pada extremitas kanan : Hematome (-), deformitas (-), gerakan normal, nyeri
saat digerakkan (-).
Pada extremitas kiri : hematome (+) pada regio antebrachii 1/3 proximal.
Angulasi pada regio antebtachii 1/3 distal. Gerakan terbatas, nyeri saat
digerakkan (+)
Extremitas bawah : hematome (-), deformitas (-), gerakan normal, nyeri saat
digerakkan (-)
Pemeriksaan Fisik Lokal (Status Lokalis) :
Regio antebrachii sinistra
Look :
Tak tampak luka terbuka, terlihat deformitas berupa pembengkakan.
Feel :
5
Didapatkan adanya nyeri tekan setempat, suhu sama dengan bagian yang normal, teraba
hangat, sensibilitas (+), capillary refill time < 3 detik. Arteri radialis teraba.
Move :
Gerakan aktif dan pasif terhambat, sakit bila digerakkan, tampak gerakan terbatas (+),
keterbatasan pergerakan wrist & elbow joint (karena terasa nyeri ketika digerakkan).
Pemeriksaan Penunjang :
Laboratorium tanggal 15-06-2015:
Hb : 14,7 g/dl
Leukosit : 8.700/mL
Trombosit : 294.000/mL
Hematokrit : 42,8 %
PT : 9,3 detik (N=9,9-11.8) APTT : 35,5 detik
Na : 143 mEq/L K : 4,40 mEq/L Cl : 106 mEq/L
SGOT : 41 U/L (N=<40) SGPT : 130 U/L(N=<41)
Ureum : 28,7 mg/dL Creatinin : 0,97 mg/dL
GDS : 83 mg/dL
Rontgen:
Rontgen thorax : Cor tidak tampak cardiomegali, tampak trakea lurus di tengah.
Rontgen antebrachii sinistra : fraktur radius dan ulna 1/3 proximal
D. RESUME
Primary Survey :
Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi : normal.
Deformitas pada extremitas atas sinistra.
Secondary Survey :
1. Anamnesis :
Pasien laki-laki, usia 39 tahun datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada lengan
bawah kiri setelah kecelakaan 1 jam SMRS.
mengeluhkan nyeri pada tangan kiri. Luka robek (-), terlihat tulang (-).
6
2. Pemeriksaan Fisik :
Status generalis normal. Dari pemeriksaan lokalis pada regio antebrachii sinistra
didapatkan deformitas (+) berupa pembengkakan dan pemendekan bila dibandingkan
regio antebrachii dextra, didapatkan adanya nyeri tekan setempat, krepitasi, suhu
sama dengan bagian yang normal, teraba hangat, gerakan aktif dan pasif terhambat,
keterbatasan pergerakan wrist & joint elbow karena terasa sakit bila digerakkan. False
of movement (+).
3. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen antebrachii sinistra : fraktur radius dan ulna 1/3 proximal
E. DIAGNOSIS :
1) Fraktur radius dan ulna 1/3 distal tertutup dengan compartment syndrome
F. DIFERENSIAL DIAGNOSIS : (-)
G. USULAN PEMERIKSAAN UNTUK :
Diagnosis : (-)
Rencana Terapi : Darah Lengkap, PT, aPTT, Rontgen Thorax
H. RENCANA TERAPI :
Non Operatif :
a. Medika Mentosa
Bactesin 2x1,5mg
Ketorolac 3x300mg
Transamin 3x500mg
Vit K 3x1
Metilprendisolon 1x125mg
Omeprazole 1x40mg
b. Non Medika mentosa
Istirahat
Pemasangan bidai melewati 2 sendi
Edukasi kepada pasien beserta keluarganya tentang penyakit yang diderita pasien.
Reposisi tertutup dan pemasangan gips
7
Operatif :
Reposisi terbuka dan fiksasi interna (open reduction and internal fixation)
H. PROGNOSIS : Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang
patah dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang
menyebabkan patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal
patah.
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan arahnya.
Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah
dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di
dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang
disebut fraktur dislokasi.2
Komplikasi yang sering terjadi pada fraktur adalah sindrom kompartemen. Sindrom
kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan dalam suatu
kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah dan otot di
dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan
tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan
kematian jaringan.
Anatomi
1. Radius
Ujung proximal radius membentuk caput radii (capitulum radii) ,berbentuk roda, letak
melintang. Ujung cranial caput radii membentuk fovea articularis (fossa articularis) yang
serasi dengan capitulum radii. Caput radii dikelilingi oleh facies articularis, yang disebut
circumferentia articularis dan berhubungan dengan incisura radialis ulnae. caput radii
terpisah dari corpus radiioleh collum radii. Di sebelah caudal collum pada sisi medial
terdapt tuberositasradii. Corpus radii di bagian tengah agak cepat membentuk margo
interossea (=crista interossea), margo anterior (=margo volaris), dan margo posterior.
8
Ujung distal radius melebar ke arah lateral membentuk processus styloideus radii,
dibagian medial membentuk incisura ulnaris, dan pada facies dorsalis terdapatsulcus-
sulcus yang ditempati oleh tendo. Permukaan ujung distal radiusmembentuk facies
articularis carpi.2
Gambar 1. Tulang Radius3
2. Ulna
Ujung proximal ulna lebih besar dari pada ujung distalnya. Hal yang sebaliknya
terdapat pada radius. Pada ujung proximal ulna terdapat incisura trochlearis (incisura
semiulnaris), menghadap ke arah ventral, membentuk persendian dengan trochlea humeri.
Tonjolan di bagian dorsal disebut olecranon. Di sebelah caudal incisura trochlearis
terdapat processus coronoideus, dan disebelah caudalnya terdapat tuberositas ulnae,
tempat perlekatan m.brachialis. dibagian lateral dan incisura trochlearis terdapat incisura
radialis, yang berhadapandengan caput radii. Di sebelah caudal incisura radialis terdapat
crista musculisupinatoris. Corpus ulnae membentuk facies anterior, facies posterior,
faciesmedialis, margo interosseus, margo anterior dan margo posterior. Ujung distal ulna
disebut caput ulnae (capitulum ulnae). Caput ulnae berbentuk circumferentia articularis,
dan di bagian dorsal terdapt processus styloideus sertasilcus m.extensoris carpi ulnaris.
Ujung distal ulna berhadapan dengan cartilago triangularis dan dengan radius.2
9
Gambar 2. Tulang Ulna3
Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulnar yang diperkuat oleh
ligamentum anulare yang melingkari kapitulum radius, dan didistal oleh sendi radioulnar
yang diperkuat oleh ligamen radioulnar, yang mengandung fibrokartilago triangularis.
Membranes interosea memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna merupakan satu
kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya mengenai satu tulang agak jarang
terjadi atau bilapatahnya hanya mengenai satu tulang, hampir selalu disertai dislokasi
sendiradioulnar yang dekat dengan patah tersebut.
Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antartulang, yaitu ototsupinator,
m.pronator teres, m.pronator kuadratus yang membuat gerakan pronasi-supinasi. Ketiga
otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi pada radius danulna menyebabkan patah
tulang lengan bawah disertai dislokasi angulasi danrotasi, terutama pada radius.
Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk
melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan
organik (kolagen dan proteoglikon). Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam
(hidroksida patit), yang tertimbun pada matriks garam (hidroksia patit) yang tertmbun
pada matriks kolagen dan proteaglikan matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu
osteoid.
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdiri atas
tiga jenis dasar osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas berfungsi dalam pembentukan
tulang dengan mensekresi matriks tulang.
10
Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan fungsi tulang dan
terletak dalam osteum (unit matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuklear (berinti
banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorbsi dan remodeling tulang.
Radius adalah tulang di sisi lateral lengan bawah merupakan tulang pipa dengan
sebuah batang dan dua ujung dan lebih pendek dari tulang ulna. Ujung atas radius kecil
dan memperlihatkan kepala berbentuk kancing dengan permukaan dangkal yang bersendi
dengan kapitulum dari humerus. Sisi-sisi kepala radius bersendi dengan takik radial dari
ulna. Di bawah kepala terletak leher dan di bawah serta di sebeelah medial dari leher ada
tuberositas radii, yang dikaitkan pada tendon dan insersi otot bisep.
Batang radius. Di sebelah atas batangnya lebih sempit dan lebih bundar daripada di
bawah dan melebar makin mendekati ujung bawah. Batangnya melengkung ke sebelah
luar dan terbagi dalam beberapa permukaan, yang seperti pada ulna memberi kaitan
kepada flexor dan pronator yang letaknya dalam di sebelah anterior dan di sebelah
posterior memberi kaitan pada extensor dan supinator di sebelah dalam lengan bawah dan
tangan.
Ujung bawah agak berbentuk segiempat dan masuk dalam formasi dua buah sendi.
Persendian inferior dari ujung bawah radius berbendi dengan ska foid dan tulang
semilunar dalam formasi persendian pergelangan tangan. Permukaan persendian di
sebelah medial dari yang bawah bersendi dengan kepala dari ulna dalam formasi
persendian radio-ulna inferior. Sebelah lateral dari ujung bawah diperpanjang ke bawah
menjadi prosesus stiloid radius.
Fungsi dari tulang pada lengan bawah atau tulaang radius adalah untuk pronasi dan
supinasi harus dipertahankan dengan menjaga posisi dan kesejajaran anatomik yang baik.2
Gambar 3. Sendi radioulna proksimal3
11
Gambar 4. Sendi radioulnar distal3
Gambar 5. Potongan melintang sepanjang tulang lengan bawah, tampak distal3
3. Kompartemen
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang, interosseus
membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. Otot
mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana fascia ini melindungi semua
serabut otot dalam satu kelompok.4
Gabungan otot berbentuk kumparan dan terdiri dari :
a) Fascia, adalah jaringan ikat padat ireguler yang melapisi dan juga mengelompokkan
otot-otot dengan fungsi yang sama. Fascia juga dilewati oleh serabut saraf, pembuluh
darah dan limfe. Ujung-ujung dari fascia ini akan memanjang membentuk tendon
yang berfungsi untuk melekatkan otot ke tulang dan apabila ujung tersebut
membentuk lapisan yang lebar dan mendatar disebut sebagai aponeurosis.Ada
kalanya suatu tendon diselubungi oleh jaringan ikat fibrosa yang disebut selubung
tendon yang berisis cairan synovial untuk mengurangi gesekan antara 2 lapis selubung
tersebut.
b) Ventrikel, merupakan bagian tengah yang mengembung.
c) Tendon, yaitu kedua ujung yang mengecil, tersusun dari jaringan ikat dan bersifat liat.
Berdasarkan cara melekatnya pada tulang, tendon dibedakan sebagai berikut.
12
Origo, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang tidak berubah
kedudukannya ketika otot berkontraksi.
Inersio, merupakan tendon yang melekat pada tulang yang bergerak ketika otot
berkontraksi.
Kompartemen otot antebrachii :
a) Anterior/voler : M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M. Palmaris longus, M.
Flexor carpi ulnaris, M. Flexor digitorum superficialis, M. Flexor pollicis longus, M.
Flexor digitorum profundus; A. Ulnaris, A. Radialis ; N. Medianus
b) Lateral (mobile wad) : M. Brachioradialis, M. Extensor carpi radialis longus, M.
Extensor carpi radialis brevis; A. Radialis, A. Brachialis ; N. Radialis
c) Posterior/dorsal : M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor digitorum, M.
Extensor digiti minimi, M. Extensor carpi ulnaris, M. Aconeus, M. Supinator, M.
Abductor pollicis longus, M. Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis longus, M.
Extensor indicis ; Arteriae interoseus anterior dan posterior; Ramus profundus nervi
radialis.
Gambar 6. Kompartemen otot antebrachii4
13
Gambaran Klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut :2,4
1. Nyeri : dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme
otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2. Bengkak / edema : edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma)
yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasasi daerah di jaringan sekitarnya.
3. Memar / ekimosis : merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasasi
daerah di jaringan sekitarnya.
4. Spasme otot : merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5. Penurunan sensasi : terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
6. Gangguan fungsi : terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme
otot, paralisis dapat terjadi karena kerusakan syaraf.
7. Mobilitas abnormal : adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang
padakondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
8. Krepitasi : merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian tulang digerakkan.
9. Deformitas : abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma
dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
10. Gambaran X-ray menentukan fraktur : gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe
fraktur
Gejala klinis yang terdapat pada sindrom kompartemen juga hampir sama dengan
gejala klinis fraktur. Gejala klinis sindrom kompartemen juga dikenal dengan 5P yaitu :5,6,7
1. Nyeri
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma
langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya
nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah
atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Biasanya nyeri yang dirasakan
dideskrpsikan seperti terbakar. Nyeri tidak bisa dijadikan dasar pasti untuk diagnosa,
contohnya pada kasus fraktur terbuka, kita tidak tahu rasa sakitnya berasal dari frakturnya
atau dari peningkatan komparemen.
2. Pallor (pucat)
14
Diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
3. Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi)
Pulsasi perifer biasanya normal terutama pada ekstremitas atas pada sindrom
kompartemen akut.
4. Paresthesia (rasa baal)
Parastesia atau baal adalah gejala yang tidak biasa diandalkan untuk keluhan awal,
penurunan hasil pemeriksaan 2 titik lebih bisa diandalkan pada saat awal untuk
mendiagnosis.
5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan
hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.
Pada sindrom kompartemen akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olahraga. Biasanya setelah berlari atau be-
raktivitas selama 20 menit.
Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah beristirahat 15-30 menit.
Terjadi kelemahan atau atrofi otot.
Klasifikasi Fraktur
Tanda pasti fraktur, yaitu adanya deformitas, berupa pemendekan, angulasi, rotasi.
Bila digerakkan teraba krepitasi, dan terdapat false movement. Sedangkan tanda tidak pasti
adalah bengkak/memar, nyeri dan kesemutan, dan keterbatasan gerak/kaku. Fraktur dapat
dibagi menjadi :2,4
a) Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
b) Frakur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga
derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
Derajat I:
1. Luka < 1cm
2. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
3. Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
4. Kontaminasi minimal
15
Derajat II:
1. Laserasi > 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi
3. Fraktur kominutif sedang
4. Kontaminasi sedang
Derajat III:
1.Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi.
c) Komplit/tidak komplit
1. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2. Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang,
seperti :
Hairline fracture (patah retak rambut)
Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak
Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang anak
d) Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma
1. Garis patah melintang: trauma angulasi atau langsung
2. Garis patah oblik: trauma angulasi
3. Garis patah spiral, trauma rotasi
4. Fraktur kompresi: trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa
5. Fraktur avulsi: trauma tarikan/traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur
patela
e) Jumlah garis patah
1. Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis
patah disebut pula fraktur bifokal
3. Fraktur multipel: garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan
tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang
f) Bergeser/tidak bergeser
16
1. Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser, periosteumnya masih utuh
2. Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi:
Dislokasi ad longitudinum cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping)
Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut)
Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi)
g) Komplikasi-tanpa komplikasi, bila ada harus disebut.
Komplikasi dapat berupa komplikasi dini atau lambat, lokal atau sistemik, oleh trauma
atau akibat pengobatan
Klasifikasi Fraktur Radius Ulna
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork deformity).
Pasien terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke
dalam (endorotasi). Tangan terbuka terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi supinasi).
Gambar 7. Fraktur Colles
2. Fraktur Smith.
Fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut reverse colles
fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan tangan menahan
badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan dan pronasi.
17
Gambar 8. Fraktur Smith
3. Fraktur Galeazzi.
Fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius radius ulna distal. Saat pasien jatuh
dengan tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah dalam posisi
pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi.
4. Fraktur Montegia.
Fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi radius ulna proksimal.
18
Gambar 9. Perbedaan Fraktur Galeazzi dan Monteggia
Diagnosis
Fraktur
a) Anamnesis
Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan
terjadinya, dimana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi
pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk
meneliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada,
dan perut
19
b) Pemeriksaan umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel, fraktur pelvis,
fraktur terbuka; tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi.
c) Pemeriksaan status lokalis
Tanda-tanda klinis pada fraktur tulang panjang :
1. Look, dicari apakah terdapat :
Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal(misalnya pada fraktur kondilus
lateralis humerus), angulasi, rotasi, dan pemendekan)
Functio laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur kruris tidak dapat berjalan
Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan, misalnya pada
tungkai bawah meliputi apparent length (jarak antara umbilikus dengan maleolus
medialis) dan true length (jarak antara SIAS dengan maleolus medialis)
2. Feel, apakah terdapat nyeri tekan. Pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi
karena akan menambah trauma.
3. Move, untuk mencari :
Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan. Tetapi pada tulang spongiosa atau tulang
rawan epifisis tidak terasa krepitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan
karena menambah trauma
Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif
Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu
dilakukan, range of motion (derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan
kekuatan
Sindrom Kompartemen
Selain melalui gejala dan tanda yang ditimbulkannya, penegakan diagnosa sindrom
kompartemen dilakukan dapat diperoleh dari : 5,6,7
a) Anamnesis
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah kecelakaan
atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk mendiagnosis kompartemen
sindrom yaitu nyeri dan parestesia, namun parestesia gejala klinis yang datangnya
belakangan.
20
b) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang terkait dengan
sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar, penurunan kekuatan
dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal didapatkan pallor (pucat) dan
pulseness (denyut nadi melemah) akibat menurunnya perfusi ke jaringan tersebut.
Menindaklanjuti pemeriksaan fisik penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang
terjadi, antara lain nyeri pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke
arah tertentu, terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut biasanya
tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin. Kemudian bandingkan
daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.
c) Laboratorium
Hasil laboratorium biasanya normal dan tidak dibutuhkan untuk mendiagnosis
kompartemen sindrom, tetapi dapat menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Hitung sel darah lengkap
Creatinin phosphokinase (CPK), Jika nilainya berkisar 1000-5000 U/ml bisa menjadi
tanda adanya sindrom kompartemen. Jika dilakukan tes serial CPK dan hasil
meningkat bisa menjadi indikai sedang terjadinya proses sindrom kompartemen.
Mioglobin serum
Mioglobin urin
Toksikologi urin: dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu
dalam menentukan terapi pasiennya.
Urin awal: bila ditemukan mioglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis
rhabdomyolysis.
Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT): untuk
persiapan preopratif
d) Imaging
Pemeriksaan ini biasanya kurang membantu dalam menegakkan diagnosis sindrom
kompartemen tetapi pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
X-ray/Rontgen : pada ekstremitas yang terkena, pemeriksaan ini digunakan untuk
melihat ada tidaknya fraktur.
USG
21
USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein
Thrombosis (DVT) di ektremitas bawah, selain itu, bisa untuk mngevaluasi otot yang
robek. Tetapi pemeriksaan USG sendiri tidak berguna dalam menegakkan sindrom
kompartemen, tetapi untuk diagnosis banding lainnya.
CT (Computed Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Pemeriksaan ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding saja.
e) Pengukuran tekanan intrakompartemen
Pengukuran intrakompartemen ini diperlukan pada pasien-pasien yang tidak sadar,
pasien yang tidak kooperatif, seperti anak-anak, pasien yang sulit berkomunikasi dan
pasien-pasien dengan multipel trauma seperti trauma kepala, medula spinalis, atau trauma
saraf perifer. Tekanan kompartemen normalnya adalah 0. Perfusi yang tidak adekuat dan
iskemia relatif ketika tekanan meningkat antara 10-30 mmHg dari tekanan diastolik.
Tidak ada perfusi yang efektif ketika tekanannya sama dengan tekanan diastolik.
Kateter Stic
Kateter stic adalah alat portable yang memungkinkan untuk mengukur tekanan
intrakompartemen secara terus-menerus. Pada kateter stic, tindakan yang dilakukan
adalah memasukkan kateter melalui celah kecil pada kulit kedalam kompartemen otot.
Sebelumnya kateter dihubungkan dengan transduser tekanan dan akhirnya tekanan
intrakompartemen dapat diukur.
Alat tranduser yang dihubungkan dengan kateter bisa digunakan untuk
mengukur tekanan kompartemen, ini adalah cara yang paling akurat untuk mengukur
tekanan dan mendiagnosa sindrom kompartemen. Untuk sindrom kompartemen akut
tekanan berkisar 30-45mmHg, tetapi masih dijadikan perdebatan. Pemeriksaan ini
merupakan kriteria standard dan harus menjadi prioritas untuk sindrom kompartemen.
Alat yang digunakan adalah Stryker pressure tonometer.
22
Gambar 9. Alat pengukur tekanan kompartemen
Teknik Jarum (Whitesides)
Teknik Whitesides merupakan cara yang paling sederhana, mudah dikerjakan, aman,
murah, dan dapat diulang-ulang, namun tidak dapat memonitor secara kontinu. Pada
metode ini, tindakan yang dilakukan adalah memasukkan jarum yang telah
dihubungkan dengan alat pengukur tekanan ke dalam kompartemen otot. Alat
pengukur tekanan yang digunakan adalah modifikasi dari manometer merkuri yang
dihubungkan dengan pipa (selang) dan stopcock tiga arah. Jika tekanan lebih dari 45
mmHg atau selisih kurang dari 30 mmHg dari diastole, maka diagnosis telah
didapatkan. Pada kecurigaan sindrom kompartemen kronik, tes ini dilakukan setelah
aktivitas yang menyebabkan nyeri.
Gambar 10. Teknik Jarum (Whitesides)
Penatalaksanaan
Fraktur
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernapasan (breathing), dan sirkulasi
(circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi,
baru dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya
23
kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat
golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto
radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses
pembuatan foto. Pengobatan fraktur bisa konservatif atau operatif.
a) Terapi konservatif, terdiri dari:
1. Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan
kedudukan baik
2. Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit dan
fraktur dengan kedudukan baik
3. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur suprakondilus,
fraktur colles, fraktur Smith. Reposisi dapat dalam anestesi umum atau lokal
4. Traksi, untuk reposisi secara perlahan. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi
Hamilton Russel, traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5
kg. Untuk traksi dewasa/traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction.
b) Terapi operatif, terdiri dari:
1. Reposisi terbuka, fiksasi interna.
2. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna
Terapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna (open
reduction and internal fixation), artroplasti eksisional, ekssisi fragmen, dan pemasangan
endoprostesis. Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin.
Penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi. Waktu yang optimal untuk
bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan toksoid, antitetanus serum (ATS),
atau tetanus human globulin. Berikan antibiotik untuk kuman Gram positif dan negatif
dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka
fraktur terbuka. 5,6,7
Sindrom Kompartemen
Tujuan dari terapi/penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit
fungsi neurologis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah
dekompresi. Penanganan yang menjadi pilihan untuk sindrom kompartemen akut adalah
dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun beberapa
24
hal, seperti masalah memilih waktu yang tepat masih diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju
bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. 5,6,7
Terapi/penanganan sindrom kompartemen secara umum meliputi:
a) Terapi Non Medikamentosa
Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosa kompartemen masih dalam bentuk dugaan
sementara. Bentuk terapi ini meliputi:
1. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen
yang minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih
memperberat iskemia
2. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus dibuka dan pembalut
kontriksi dilepas. Semua perban dan gips harus dilepas. Melepaskan 1 sisi gips bisa
mengurangi tekanan intrakompartemen sebesar 30%, melepaskan 2 sisi gips dapat
menghasilkan pengurangan tekanan intrakompartemen sebesar 35%.
3. Pada pasien dengan fraktur tibia dan sindrom kompartemen dicurigai, lakukan
imobilisasi pada tungkai kaki bawah dengan meletakkan plantar dalam keadaan fleksi.
Hal ini dapat menurunkan tekanan kompartemen posterior yang mendalam dan tidak
meningkatkan tekanan kompartemen anterior. (Pasca operasi, pergelangan kaki
diletakkan dalam posisi 90° untuk mencegah deformitas equinus).6
b) Terapi Medikamentosa
1. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindroma kompartemen.
2. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.
3. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan
memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang
nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas.
4. Obat-obatan opiod, non-opoid, dan NSAID digunakan untuk mengatasi rasa nyeri.
Tetapi harus diperhatikan efek samping dari obat-obatan tersebut sebelum memilih
obat mana yang akan digunakan.
c) Terapi Bedah
Fasciotomi dilakukan jika tekanan intrakompartemen mencapai >30 mmHg. Tujuan
dilakukan tindakan ini adalah menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Jika
25
tekanannya <30 mm Hg, maka daerah yang terkena cukup diobservasi dengan cermat dan
diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan membaik, evaluasi terus
dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi, jika memburuk, maka segera
lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam.
Secara umum pada saat ini, banyak ahli bedah menggunakan tekanan kompartemen 30
mmHg sebagai indikasi untuk melakukan fasciotomi. Mubarak dan Hargens
merekomendasikan dilakukannya fasciotomi dilakukan pada pasien berikut:
Pasien yang normotensif dengan temuan klinis yang positif, yang memiliki tekanan
intrakompartemen yang lebih besar dari 30 mmHg, dan durasi tekanan yang meningkat
tidak diketahui atau dianggap lebih dari 8 jam.
Pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar, dengan tekanan intrakompartemen lebih
dari 30 mmHg.
Pasien dengan hipotensif dan tekanan intrakompartemen yang lebih besar dari 20
mmHg.
Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi
ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif,
sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan risiko kerusakan
arteri dan vena peroneal. 7
Fasciotomi pada Regio Antebrachii :
1. Pendekatan volar (Henry)
Dekompresi kompartemen fleksor volar profunda dan superficial dapat
dilakukan dengan insisi tunggal. Insisi kulit dimulai dari proksimal ke fossa antecubiti
sampai ke palmar pada daerah tunnel carpal. Tekanan kompartemen dapat diukur
selama operasi untuk mengkonfirmasi dekompresi. Tidak ada penggunaan torniket.
Insisi kulit mulai dari medial ke tendon bicep, bersebelahan dengan siku kemudian ke
sisi radial tangan dan diperpanjang kearah distal sepenjang brachioradialis,
dilanjutkan ke palmar. Kemudian kompartemen fleksor superficial diinsisi, mulai
pada titik 1 atau 2 cm di atas siku kearah bawah sampai di pergelangan.
Kemudian nervus radialis diidentifikasi dibawah brachioradialis, keduanya
kemudian ditarik ke arah radial, kemudian fleksor carpi radialis dan arteri radialis
ditarik ke sisi ulnar yang akan mengekspos fleksor digitorum profundus fleksor
pollicis longus, pronatus quadratus, dan pronatus teres. Karena sindrom kompartemen
26
biasanya melibatkan kompartemen fleksor profunda, harus dilakukan dekompresi
fascia disekitar otot tersebut untuk memastikan bahwa dekompresitelah dilakukan. 7
2. Pendekatan Volar Ulnar
Pendekatan volar ulnar dilakukan dengan cara yang sama dengan pendekatan
Henry. Lengan disupinasikan dan insisi mulai dari medial bagian atas tendon bisep,
melewati lipat siku, terus ke bawah melewati garis ulnar lengan bawah, dan sampai ke
carpal tunnel sepanjang lipat thenar. Fascia superficial pada fleksor carpi ulnaris
diinsisi ke atas sampai ke aponeurosis siku dan ke carpal tunnel ke arah distal.
Kemudian dicari batas antara fleksor carpi ulnaris dan fleksor digitorum sublimis.
Pada dasar fleksor digitorum sublimis terdapat arteri dan nervus ulnaris, yang harus
dicari dan dilindungi. Fascia pada kompartemen fleksor profunda kemudian diinsisi.7
3. Pendekatan
do rsal
Setelah
kompartemen superficial dan fleksor profunda lengan bawah didekompresi, harus
diputuskan apakah perlu dilakukan fasciotomi dorsal (ekstensor). Hal ini lebih baik
ditentukan dengan pengukuran tekanan kompartemen intraoperatif setelah dilakukan
27
fasciotomi kompartemen fleksor. Jika terjadi peningktan tekanan pada kompartemen
dorsal yang terus meningkat, fasciotomi harus dilakukan dengan posisi lengan bawah
pronasi. Insisi lurus dari epikondilus lateral sampai garis tengah pergelangan. Batas
antara ekstensor carpi radialis brevis dan ekstensor digitorum komunis diidentifikasi
kemudian dilakukan fasciotomi. 7
DAFTAR PUSTAKA
2. Textbook of
Orthopedics :
with Clinical Examination Methods in orthpopedics 2010. Jaypee. John Ebnezar. New
Delhi.p 21-5
3. Buranda Theopilus et. al., Osteologi dalam : Diktat Anatomi Biomedik I.
Penerbit Bagian Anatomi FK Unhas. Makassar. 2011. Hal 4-7.9.
4. Puts R and Pabst R.. Ekstremitas Atas dalam: Atlas Anatomi ManusiaSobotta .
Edisi 22. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jilid 1. Jakarta. 2006.Hal 158, 166, 167, dan
169.10
5. Diunduh dari http://www.mayoclinic.com/health/chronic-exertional-
compartement-syndrome/DS00789 , pada tanggal 30 Juni 2015
6. Sjamsuhidayat R., dan de Jong Wim. Patah Tuland dan Dislokasi dalam: Buku
Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 2005.
7. Canale, S.T (ed), 2003, Campbell’s Operative Orthopaedics volume three tenth
edition, Mosby, Philadelphia
8. Konstantakos EK, Dalstrom DJ, Nelles ME, Laughlin RT, Prayson MJ (December
2007). Diagnosis and Management of Extremity Compartment Syndromes: An
Orthopaedic Perspective. Am Surg 73 (12): 1199–209. PMID 18186372.
28